eleutheronema tetradactylum. sounding,

27
Seminar Nasio nal Kon ser vas i dan Prot eksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013 STUDI KONSERVASI IKAN KURAU DI SELAT MALAKA PROVINSI RIAL" Pareng Rengi 1 , Arthur Brown 2 1 ' 2 Dosen pacta Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru 28293. ABSTRAK Ikan Kurau ini memiliki nilai 'ekonomis yang tinggi di pasaran, sehingga menJa sasaran tangkap utama dari nelayan. Dari kajian secara terintegrasi nantinya ak disusun arah kebijakan pemanfaatan ikan kurau secara lestari melalui konservasi. Da lar.: penentuan caJon kawasan konservasi perairan dilakukan beberapa tahapan dimul · dengan inventarisasi kawasan perairan, invetarisasi daearah penangkapan ground) dan daerah pemijahan dan asuhan (spawning and nurser y ground). Dengar- kompleksitas permasalahan ikan kurau, maka diperlukan model teknologi konservas yang memiliki potensi pengembangan dengan memperhatikan konsep pengelolaan ik kurau sebagai integrasi ekosistem. Secara umum terdapat tiga strategi konservasi ika:- kurau, yaitu strategi penguatan kelembagaan, strategi penguatan pengelolaan sumbe- daya kawasan, strategi penguatan sosial, ekonomi, dan budaya . Ikan Kurau memi li 1 - nama ilmiah Eleutheronema tetradactylum. Ikan kurau ini merupakan spesies hidup dalam dua kawasan yaitu kawasan perairan !aut dan estuaria. Pacta pengam ata:. bagian dalam , jenis kelamin dapat ditentukan pada panjang total ikan 140 mm. lk ar: kurau dapat dikelompokkan ke dalam jenis ikan karnivor (karena di dal ai:: lambungnya ditemukan anak ikan, ikan petek, cacing, udang· dan Uca). Berdasar ka;- hasil sounding, merupakan echogram yang menampilkan adanya indikasi geromb ola;- ikan. Gerombolan ikan ini ditemukan sedang bennobilisasi di sekitar kawasan Sel - Rengit pada malam hari tepatn ya pukul 11.24. Indikasi tersebut ditunjukkan ole; perbedaan pantulan pada echogram. Dari beberapa hasil echogram, dapat kita ket ah keterkaitan antara tipe substrat dan posisi gerombolan ikan. Untuk tipe substrat lump ditemukan gerombolan ikan yang berada dekat dengan permukaan dasar yang berben cekungan. Diduga ikan-ikan tersebut sedang mencari makan atau Sedangkan pada wilayah yang memiliki tipe substrat pasir berlumpur , gerombolan ik - yang terdeteksi cenderung sedang bermobilisasi di kolom air. Kegiatan Konsen'as sumberdaya ikan kurau di Kabupaten Meranti sudah perlu dilakukan hal ini didas dengan adanya gejala over fishing. Konservasi ikan kurau dapat dilakukan deng - konservasi ekosistem dan konservasi jenis ikan kurau. Rekomendasi ya ng disampa ik - yaitu pelaksanaan konservasi sumberdaya ikan kurau harus dilakukan dengan berbas·- masyarakat dan Rehabilitasi mangrove sudah waktunya dilakukan dengan banyaknya penebangan mangoreve yang dilakukan mas yarakat. Keywords: Konservasi, Jkan Kurau, Over Fishing, Daerah Penangkapan, Mangrove 446

Upload: others

Post on 01-Dec-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Seminar Nasional Konservas i dan Proteks i Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

STUDI KONSERVASI IKAN KURAU DI SELAT MALAKA PROVINSI RIAL"

Pareng Rengi1, Arthur Brown 2

1'

2 Dosen pacta Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru 28293.

ABSTRAK

Ikan Kurau ini memiliki nilai ' ekonomis yang tinggi di pasaran, sehingga menJa sasaran tangkap utama dari nelayan. Dari kajian secara terintegrasi nantinya ak ~ disusun arah kebijakan pemanfaatan ikan kurau secara lestari melalui konservasi. Dalar.: penentuan caJon kawasan konservasi perairan dilakukan beberapa tahapan dimul · dengan inventarisasi kawasan perairan, invetarisasi daearah penangkapan (fish in~ ground) dan daerah pemijahan dan asuhan (spawning and nursery ground). Dengar­kompleksitas permasalahan ikan kurau, maka diperlukan model teknologi konservas yang memiliki potensi pengembangan dengan memperhatikan konsep pengelolaan ik ~

kurau sebagai integrasi ekosistem. Secara umum terdapat tiga strategi konservasi ika:­kurau, yaitu strategi penguatan kelembagaan, strategi penguatan pengelolaan sumbe­daya kawasan, strategi penguatan sosial, ekonomi, dan budaya. Ikan Kurau memi li 1

-

nama ilmiah Eleutheronema tetradactylum. Ikan kurau ini merupakan spesies yan~ hidup dalam dua kawasan yaitu kawasan perairan !aut dan estuaria. Pacta pengamata:. bagian dalam, jenis kelamin dapat ditentukan pada panjang total ikan 140 mm. lkar: kurau dapat dikelompokkan ke dalam jenis ikan karnivor (karena di dal ai:: lambungnya ditemukan anak ikan , ikan petek, cacing, udang· dan Uca). Berdasarka;­hasil sounding, merupakan echogram yang menampilkan adanya indikasi gerombola;­ikan. Gerombolan ikan ini ditemukan sedang bennobilisasi di sekitar kawasan Sel -Rengit pada malam hari tepatnya pukul 11.24. Indikasi tersebut ditunjukkan ole; perbedaan pantulan pada echogram. Dari beberapa hasil echogram, dapat kita ketah keterkaitan antara tipe substrat dan posisi gerombolan ikan. Untuk tipe substrat lump ditemukan gerombolan ikan yang berada dekat dengan permukaan dasar yang berben cekungan. Diduga ikan-ikan tersebut sedang mencari makan atau berlindun~

Sedangkan pada wilayah yang memiliki tipe substrat pasir berlumpur, gerombolan ik -yang terdeteksi cenderung sedang bermobilisasi di kolom air. Kegiatan Konsen'as sumberdaya ikan kurau di Kabupaten Meranti sudah perlu dilakukan hal ini didas dengan adanya gejala over fishing. Konservasi ikan kurau dapat dilakukan deng -konservasi ekosistem dan konservasi jenis ikan kurau. Rekomendasi yang disampa ik -yaitu pelaksanaan konservasi sumberdaya ikan kurau harus dilakukan dengan berbas·­masyarakat dan Rehabilitasi mangrove sudah waktunya dilakukan dengan mel ih~­

banyaknya penebangan mangoreve yang dilakukan masyarakat.

Keywords: Konservasi, Jkan Kurau, Over Fishing, Daerah Penangkapan, Mangrove

446

Seminar Nas ional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konservasi atau perlindungan sumberdaya pesisir dan !aut saat ini telah menjadi

tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan

ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi

masa depan. Berbagai permasalahan dan bentuk ancaman yang sangat serius terhadap . sektor perikanan dan kelautan, yang terkait dengan kelestarian sumberdaya hayati !aut

sebagai masalah utama dalam pengelolaan dan pengembangan konservasi perairan

antara lain: adanya pemanfaatan berlebih (over exploitation) di beberapa wilayah

terhadap sumber daya hayati pesisir dan !aut, penggunaan teknik dan peralatan

penangkapan ikan yang merusak Iingkungan, perubahan dan degradasi fisik habitat,

pencemaran, introduksi spesies asing, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan

pembangunan Iainnya, dan perubahan iklim global serta bencana alam .

Salah satu suinberdaya ikan yang terdapat di perairan !aut Kabupaten Kepulauan

Meranti adaiah jenis Ikan Kurau (Eleutheronema tetradactylum). Ikan kurau merupakan

salah satu spesies ikan air payau/estuaria yang keseluruhan daur hidupnya berada di

Iingkungan perairan estuaria, di muara-muara sungai terutama di kawasan perairan

estuaria atau perairan pantai yang banyak ditumbuhi oleh tumbuhan bakau (mangrove).

Ikan kurau menyukai perairan pantai yang dangkal dengan dasar lumpur, kadang­

kadang pada waktu-waktu tertentu ikan ini juga memasuki sungai-sungai.

Ikan Kurau ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi di pasaran, sehingga menjadi

sasaran tangkap utama dari nelayan. Terdapat dua jenis alat tangkap utama yang

digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan. kurau dari perairan, yaitu; jaring insang

(gil/net) dan rawai (mini long line). Ikan-ikan yang berukuran besar menempati perairan

pantai di bahagian dasar, dan hal ini ditunjukkan dengan alat tangkap yang digunakan

untuk ikan kurau yang berukuran besar adalah jaring dasar (bottom gill net), sedangkan

ikan kurau dengan ukuran yang Jebih kecil biasanya tertangkap dengan alat tangkap

rawai. Dari kajian secara terintegrasi nantinya akan disusun arah kebijakan pemanfaatan

ikan kurau secara lestari. Apakah itu perlindungan terhadap jenis, kawasan atau bentuk

447

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

lainnya.

1.2. Maksud dan Tujuan Kegiatan

Maksud dari kegiatan Kajian Perlindungan Ikan Kurau Kabupaten Kepulauan Me

ini yaitu merumuskan suatu kebijak~n dan rencana strategi dalam perlindungan · - -

kurau supaya terjaga kelestariannya.

Tujuan dari kegiatan Kajian Perlindungan Ikan Kurau Kabupaten Kepulauan Meran · -

adalah:

1. Menentukan aspek ekologi dan tempat hidup (seperti: ffsika, kimia dan bioi = perairan) Ikan kurau.

2. Memetakan daerah penangkapan ikan kurau di perairan Kabupaten Kepula -

Meranti.

3. Mengkaji dan menganalisis kemungkinan teknologi konservasi ikan kurau (lo ' -

teknik, dan kelayakan).

4. Merumuskan kebijakan, rencana strategi, dan program perlindungan ikan ku _

oleh instansi terkait.

1.3. Ruang Lingkup

Kajian Perlindungan Ikan Kurau Kabupaten Kepulauan Meranti ini didasarkan kepae=

ruang lingkup sebagai berikut :

1. Mengumpulkan data sekunder yg berhubungan dengan rencana kegiatan.

2. Survei untuk identifikasi, prediksi dan analisis sebaran daerah penangkapan d -

habitat ikan kurau yang meliputi ;

a. Penentuan stasiun pengukuran berdasarkan data sekunder dan berdasark -

informasi pemerintah dan nelayan setempat.

b. Pengukuran parameter oseanografi dan sifat fisik air (kekeruhan air, mua -

suspensi, kecerahan); sifat kimiawi air (salinitas, suhu, 0 2, C02, kandung -

Nitrogen, dan pH air) ; sifat biologi air (Fitoplankton, Zooplankto

Benthos, Jenis ikan, Makrofita).

3. Analisis data (identifikasi daerah penangkapan dan habitat).

448

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

4. Pembuatan peta daerah penangkapan dan konservasi/perlindungan ikan kurau di

wilayah perairan Kabupaten Kepulauan Meranti.

METODOLOGI

2.1. Waktu dan Tempat

Pelaksanaan Kegiatan Kajian Perlinqungan Ikan Kurau Kabupaten Kepulauan Meranti

dilakukan selama 120 (sembilan puluh hari) kalender atau 4 (empat) bulan, dengan tempat

kajian yaitu meliputi seluruh wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti.

2.2. Tahapan Kegiatan

Untuk proses penyusunan Kajian Perlindungan Ikan Kurau Kabupaten Kepulauan

Meranti ini ineliputi beberapa kegiatan :

a. Tahap Persiapan, perumusan masalah serta tujuan meliputi :

1. Pembentukan tim penyusun serta menyiapkan administrasi

2. Menentukan wilayah kajian

3. Perumusan masalah dan tujuan

4. Menyusun kerangka (bagan alir) dan metodologi pengumpulan informasi/data

sekunder untuk survey data primer.

5. Pengadaan peralatan lapangan dan studi.

b. Tahap Pengumpulan data

Pengumpulan informasi dan data biofisik' baik primer maupun sekunder (peta

daerah, morfologi)

c. Tahap Pengolahan data dan Analisis yang terdiri dari :

I. Analisis potensi dan ruaya ikan kurau

2. Analisis lingkungan perairan (ekosistem)

d. Tahap Pemetaanl Penyusunan Data Digital Spasial

e. Tahap Penyusunan rekomendasi perlindungan ikan kurau sesuai dengan

permasalahan dan tujuan yaitu :

449

Seminar Nasional Konservas i dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

1. Pengembangan lingkungan ditinjau dari aspek ekologi

2. Pemetaan daerah penangkapan ikan kurau

3. Penentuan model teknologi konservasi/perlindungan ikan kurau

4. Perumusan kebijakan, rencana strategi dan program perlindungan ikan kurau.

2.3. Prosedur Pelaksanaan

Beberapa tahapan yang dilaksanakan dalam Kajian Perlindungan Ikan Kurau Kabupa -

Kepulauan Meranti ini adalah meliputi :

1. Pengumpulan datalreferensi

2. Pengamatan langsung ke lokasi kaj ian

2.4. Analisis Lingkungan Perairan

Analisis Lingkungan perairan merupakan salah satu variabel untuk menentukan loka :­

lokasi yang sesuai bagi perlindungan ikan kurau. Parameter yang terdiri dari parame -

fisika, kimia dan biologi ini diukur langsung di lapangan dan ada juga yang diukur

laboratorium berdasarkan sampel yang diambil di lapangan.

SelliiiADJMa

~r~o.A.'II$lAS&J>( Fo(/-Q,IJ~O,..::':A~I

q.p.\l~P'£iUoCA'>AH

OliV&<wJ(.'l 'f.£Pv.A.)I;..'II .YEAA'f11 ~~lilA..) . wf~, v~

; ' ~..u. f • ~'K\

lnut

'

.r-:r:1 iL;:j .. _..- _ . ...., __,-

Jalur Trek Survai Sounding dan Stasiun Sampel Oseanografis.

Untuk pengambilan sampel plankton pada masing-masing stasiun dilakukan dengan

cara mengambil air sebanyak yang dibutuhkan yang dianggap mewakili . Kelimpahan

450

Se1 Pel

pl

I

gan

han

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 201 3

plankton dihitung dengan metode hitung langsung (direct count) dengan rumus sebagai

berikut:

N = nAC1

BDE

Dimana : N = Jumlah total plankton (individu/liter)

n = jumlah rata-rata total individu pada setiap lapang pandang

A = Luas gelas penutup

B = Luas satu lapang pandang mikroskop

C =Volume air tersaring

D = volume air 1 tetes di bawah gelas penutup

E =volume air yang disaring (50 liter)

II. ASPEK EKOLOGI IKAN KURAU

A. PARAMETER OSEANOGRAFI

1. Suhu ( 0 C)

Pada Gambar 4 dapat dilihat suhu perairan di lokasi penelitian. Suhu perairan

memiliki kisaran yang sempit, yaitu 29.5 - 30.6 °C. Suhu permukaan iaut yang

cenderung homogen dapat disebabkan karena pergerakan massa air yang sangat dinamis

di perairan Kepulauan Meranti dengan karakteristik arusnya yang kencang. Selain itu,

pasang surut di daerah ini terjadi setiap 6 jam. Hal ini juga menyebabkan pergerakan

massa air yang sangat dinamis, sehingga massa air tercampur merata . Pengukuran suhu

pada malam hari yaitu pada stasiun 8, 11 , 12, dan 17 berkisar 29.8- 30 °C. Air laut

menyimpan bahang yang lebih lama daripada daratan. Hal inilah yang menyebabkan

suhu permukaan laut pada malam hari tidak berbeda jauh dengan suhu permukaan laut

pada siang hari.

451

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

102 . 2°E 102.4°E 102.6°E 102.8°E 103°E

Gambar 4. Suhu perairan di lokasi penelitian

2. Salinitas (%o)

30 . 6

30 . 4

' 30.2

30

29 . 8

29.6

"

Salinitas air !aut di perairan Kepulauan meranti cenderung payau, dengan kisa -

22 - 27 %o. Kadar garam pada lokasi penelitian masih termasuk dalam kisaran salin itas

habitat ikan Kurau. Pada stasiun yang dekat dengan Selat Malaka, salinitas berkisar 2~-

27 %o. Salinitas minimum di Selat Malaka terjadi pada akhir tahun, pada saat-saa·

seperti ini sedang terjadi musim penghujan. Pada musim ini,tentu saja lebih banyak air

tawar yang memasuki perairan sehingga nilai salinitas perairan pada musim penghuja;::

lebih rendah. Banyaknya sungai yang bermuara di Selat Malaka mempengaruhi ni la·

salinitas di perairan ini. Perairan yang cenderung tertutup (selat yang sempit dan daer

sungai), salinitas air !aut lebih rendah daripada perairan yang terbuka atau lebih deka

dengan Selat Malaka. Hal ini disebabkan karena masuknya air tawar dari sungai.

Sungai yang cukup besar yang bermuara di Selat Air Hitam adalah Sungai Sodor dan

Sungai Suwir. Salinitas di Sungai Suwir yaitu 22 %o, sedangkan di Sungai Sodor adalah

25 %. Di muara pertemuan kedua sungai tersebut yaitu 27 %o. Dari pengukuran

salinitas, dapat dilihat bahwa pengaruh masukan air !aut dari Selat Malaka lebih

berpengaruh, karena pengukuran salinitas di dalam sungai berkisar 22 - 25 %o. Sebaran

nilai salinitas di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

452

Serr Pek;

3.

terse

dika

pH:

ada!<

pera1

kisaran

alinitas

;ar 25-

aat-saat

1yak air

i1ghujan

rhi nilai

1 daerah

ih dekat

sungai.

,dor dan

r adalah

gukuran

ca lebih

Sebaran

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSJL-UR Desember 2013

1.6°N

1.4°N

1. z•N

1°N

o.s•N

' 27

26

(j 25

24

23

) 22 102.2°E 102.4°E 102.6°E 102.8°E 103°E

Gambar 5. Nilai salinitas perairan di lokasi penelitian

3. pH

Sebaran nilai pH di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Pada gambar

tersebut dapat dilihat bahwa kisaran nilai pH di lokasi penelitian berkisar 7- 8.5. Dapat

dikatakan bahwa kisaran pH di perairan Kepulauan Meranti masih dalam kisaran nilai

pH yang normal bagi perairan !aut dan pesisir. Namun, hal yang harus diwaspadai

adalah masuknya limbah ke perairan yang dapat menyebabkan terganggunya kualitas

pera1ran.

1. 6°N

1.4°N

1.2°N

1 °N

o.a•N 102.2°E 102.4°E 102 . 6°E 102.8°E

8 . 25

7 . 75

7 . 5

7.25

~·~ 7

103°E

Gambar 6. Nilai pH perairan di lokasi penelitian

453

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

4. Kecerahan

Gambar 7 menunjukkan sebaran nilai kecerahan di lokasi penelitian. 1 _

kecerahan perairan pada lokasi penelitian berkisar 0.25 - 4 meter. Nilai kecerahan y~-=

paling tinggi terdapat di dekat Selat Malaka. Sedangkan di daerah sungai dan sela· :.

perairan Kepulauan Meranti, kecerahan perairan :S 1.5 meter. Berdasarkan h -

pengukuran, nilai kecerahan menunjukkan bahwa perairan di sekitar Kepulauan Me --, termasuk keruh. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh run-off dari air sun-=­

Selain itu, substrat dasar perairan didominasi oleh lumpur halus. Pergerakan massa -­

yang sangat dinamis menyebabkan naiknya substrat dasar perairan ke kolom perairan.

4 l. . 6°N

l. . 4°N 3

z l. . 2°N 2

1

-

l.02.2°E l.02.4°E l.02.6°E l.02 . 8°E l.03°E

Gambar 7. Nilai kecerahan perairan di lokasi penelitian

5. Nitrat (mg/L)

Peta sebaran konsentrasi nitrat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar

Pad a peta terse but dapat dilihat bahwa kisaran nitrat adalah 0.015 - 0.194 mg.

Perairan Kepulauan Meranti memiliki konsentrasi nitrat yang bervariatif. Pada lokas.

penelitian, konsentrasi nitrat yang tertinggi terdapat di stasiun 1 yang terletak di sun0

Suwir. Tingginya nilai nitrat di daerah sungai dapat disebabkan karena masukan bah ,..

organik dari daratan. Sedangkan nilai nitrat yang terendah terdapat di stasiun 21 yang

terletak di utara Pulau Rangsang.

Nitrat ini digunakan untuk pengelompokkan tingkat kesuburan perairan.

misalnya untuk perairan oligotrofik antara 0-1 mg/L, perairan mesotrofik memi liki

kadar nitrat 1-5 mg/L, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat berkisar 5-50 ma

454

Sem Peka

(Vc

ka>'

olig

ber:

nitr

kad

me1

KeJ

Soc

eut1

6.

ben

lok:

terc

lok:

yan

dap

:nelitian. Ni l"

ecerahan yang

:ti dan selat d­

asarkan hasiJ

lauan Meran ·

ri air sungai.

~an massa air

n perairan.

:Jambar 8.

i4 mg/L.

da lokasi

ji sungai

1n bahan

21 yang

>era iran,

1emiliki

0 mg/L

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

(Volenweider, 1969 dalam Wetzel, 1975). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa

kawasan perairan Kabupaten Kepulauan Meranti umumnya dapat digolongkan perairan

oligotrofik.

0.2

1.6°N

1.4°N 0 .1 5

1. 2°N . .,.. 0. 1

1 °N ~~ ~:i 0. OS

0. 8°N .

102.2°E 102.4°E 102.6°E 102.8°E 103°E

Gambar 8. Kandungan nitra~ (mg/L) di Iokasi penelitian

Menurut Lee et a!. (1978) dalam Effendi (2003) bahwa kisaran nitrat perairan

berada antara 0.01 - 0.7 mg/L, sedangkan menurut Effendi (2003) bahwa kadar nitrat­

nitrogen pada perairan alami hampir tidak pemah Iebih dari 0.1 mg!L, akan tetapi jika

kadar nitrat Iebih besar 0.2 mg!L akan mengakibatkan eutrofikas i yang selanjutnya

menstimulasi pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat. Perairan Kabupaten

Kepulauan Meranti pada umumnya kurang dari 0.1 mg/L, namun perairan di Sungai

Sodor sudah mendekati 0.2 mg/L. Hal ini perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan

eutrofikasi.

6. Orthofosfat (mg/L)

Senyawa anorganik fosfat yang terkandung dalam !aut umumnya berada dalam

bentuk ion ( orto) asam fosfat (Hutagalung et a!., 1997). Konsentrasi orthofosfat pada

Iokasi penelitian berkisar 0.082 - 0.487 mg/L. Nilai tertinggi konsentrasi orthofosfat

terdapat di stasiun 1 yaitu di Sungai Sodor. Hal ini juga dapat disebabkan karena di

Iokasi tersebut banyak masukan organik dari daratan . Sedangkan konsentrasi orthofosfat

yang terendah terdapat di stasiun 17. Sebaran konsentrasi orthofosfat di Iokasi penelitian

dapat dilihat pada Gambar 8.

455

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 20 13

Berdasarkan kadar fospat, perairan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori

perairan yaitu oligotrofik yang memiliki kadar fospat (0.003- 0.01 mg/L), mesotrofik

yang memiliki kadar fospat (0.0 11 -0.03 mg/L), dan perairan eutrofik (0 .031-0.1 mg!L)

(Vollenweider dalam Wetzel, 1975). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa

perairan Kabupaten Kepulauan Meranti termasuk perairan eutrofik atau perairan yang

subur. Adanya peningkatan kadar fosfat dalam !aut akan menyebabkan terjadinya

ledakan populasi fitoplankton. Ledakan populasi menyebabkan kematian ikan secara

mas sa.

-c-- -- - - ---- . 0. 2

~ 0 .15

0.1

I ~ .·j 0. 05

·" . >

I ~ ~

" .

~~~ _]- t ~ -- · :· 0

102.2°E 102.4°E 102.6°E 102 . 8 °E 103°E

Gam bar 9. Kandungan orthofosfat (mg/L) di lokasi penelitian

7. TSS (mg/L)

Total Suspended Solid (TSS), adalah salah satu parameter yang digunakan untuk

pengukuran kualitas air. Pengukuran TSS berdasarkan pada berat kering partikel yang

terperangkap oleh filter, biasanya dengan ukuran pori tertentu. Umumnya, filter yang

digunakan memiliki ukuran pori 0.45 )..lm (Clescerl, 1905). Kandungan TSS memiliki

hubungan yang erat dengan kecerahan perairan. Keberadaan padatan tersuspensi

tersebut akan menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan sehingga hubungan

antara TSS dan kecerahan akan menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik

(Blom, 1994).

456

Semina Pekanb

tersus

Keber

tolera

Lingk

konse;

tertinf

Stasiu

terjadi

sedim<

Pada J

Pada t

melebi

mengg

Me ran

menjac

tinggin

semaki

dapat c

3 katego

1esotrofi

).1 mg/L

n bahwa

ran yang

~rjadinya

n secara

ntuk

1ang

'ang

iliki

ms1

5an

tlik

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 20 13

Nilai TSS umumnya semakin rendah ke arah !aut. Hal ini disebabkan padatan

tersuspensi tersebut disupply oleh daratan melalui aliran sungai (Helfinalis, 2005).

Keberadaan padatan tersuspensi masih bisa berdampak positif apabila tidak melebihi

toleransi sebaran suspensi baku mutu kualitas perairan yang ditetapkan oleh Kementrian

Lingkungan Hidup, yaitu 70 mg/1 (Helfinalis, 2005).

Konsentrasi TSS pada lokasi penelitian berkisar 29 - 91 mg/L. Sebaran

konsentrasi TSS di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gam bar 10. Nilai TSS yang

tertinggi terdapat pada stasiun 13, sedangkan yang terendah terdapat pada stasiun 4.

Stasiun 13 terletak di ujung Selat Bengkalis. Tingginya TSS di lokasi tersebut dapat •

terjadi karena pertemuan beberapa massa air sehingga terjadi proses pengadukan

sedimen. Sedimen di perairan Kepulauan Meranti ini didominasi oleh lumpur halus.

Pada pengamatan secara visual di lapang, sedimen mudah sekali naik ke permukaan.

Pada beberapa lokasi stasiun yaitu stasiun 5, 13, 18, dan 19, konsentrasi TSS tingg i dan

melebihi baku mutu yang ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Hal ini dapat

mengganggu kualitas perairan. Tingginya konsentrasi TSS di perairan Kabupaten

Meranti dapat disebabkan karena tingginya masukan dari daratan yang mengendap

menjadi lumpur halus. Selain itu, faktor arus yang kencang di daerah ini menyebabkan

tingginya proses pengadukkan massa air. Pada Gam bar 10, dapat dilihat pula bahwa

semakin ke arah !aut (Selat Malaka), konsentrasi TSS semakin rendah . Hal tersebut

dapat diamati dengan warna yang semakin hijau.

1 . 4°N

1 . 2°N I

1 °N

0.8°N

102.2°E 102.4°E 102 . 6°E 102.8°E 103°E

Gam bar I 0. Kandungan TSS (mg/L) di lokasi penelitian

457

90

so

_, 70

60

50

I~ EJ 40 0. ~ . Q r_'l.~

30

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 20 13

8. Batimetri

Profil kedalaman !aut dapat digolongkan menjadi beberapa karakteristik yaitu

Epipelagis dengan kedalaman 0 - 200 m, Mesopelagis dengan kedalaman berkisar 200 -

I 000 m, Bathypelagis dengan kedalaman 1000 - 2000 m, Abisalpelagis yang berkisar

2000 - 6000 m, dan Hadalpelagis yang memiliki kedalaman lebih dari 6000 m.

Berdasarkan pembagian tersebut, perairan di sekitar Kabupaten Kepulauan Meranti

hingga ke arah Selat Malaka termasuk d·alam perairan yang dangkal (Epipelagis). Secara

umum, kedalaman perairan berkisar 0 sampai 50 m.

Pada Gambar 11 dapat dilihat profit kedalaman perairan Kepulauan Meranti.

Kedalaman yang paling dangkal ditunjukkan dengan warna biru muda. Warna biru yang

semakin gelap menunjukkan bahwa !aut semakin dalam.

B.

1.

1.1

Pet •Blltlofnetrt K .. t.up"'l•n K•pu l•n , •n M ... •ntl

Gambar 11. Peta batimetri Kabupaten Kepulauan Meranti

PARAMETER BIOLOGI

Plankton

Fitoplankton

Pada Gambar 12 hingga 15, dapat dilihat kelimpahan fitoplankton di Ioka i

penelitian. Gambar 12 menunjukkan kelimpahan fitoplankton (sel/L) untuk kelas

Cyanophyceae. Gambar 13 menunjukkan kelimpahan fitolankton kelas

Bacillariophyceae. Gam bar 14 dan 15 menyaj ikan kelimpahan fitoplankton untuk kelas

Chlorophyceae dan Xanthophyceae.

Jumlah spesies yang ditemukan pada kelas Cyanophyceae yaitu

Dactylococcopsis sp., Microcystis sp., Aphanocapsa sp., Oscillatoria sp., Anabaena sp.,

Tolypothrix sp., dan Scy tonema sp. Jumlah spesies yang ditemukan pada kelas

458

Ser Pel

Be

sp

ke

Cl

ke

da

sel

Se

st<

st<

te1

st<

ya

ke

ke

ke

st<

ha

ba

de

"'

·ar:-=

,kasi

:elas

:elas

:elas

·aitu

sp.,

.elas

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

Bacillariophyceae adalah tujuh belas spesies, meliputi Diatoma vulgaris, lsthmia sp.,

Thalassiosira sp., Aulacoseira sp., Synedra sp., Asterionella sp., Stephanodiscus sp.,

Bacillaria sp., Cyclotella sp., Actynocyclus sp., Coscinodiscus sp., Eunotia sp., Surirella

sp., Aulacoseira spl., Plagiogramma sp., Streptotheca sp., dan Raphoneis sp. Pada

kelas Chlorophyceae ditemukan enam spesies yaitu Characium sp., Gonatozygon sp.,

Closterium sp., Hormidium sp., Scenedesmus sp., dan Microspora sp. Sedangkan untuk

kelas Xanthophyceae hanya ditemukan satu spesies yaitu Characiopsis sp.

Secara umum, dapat diamati dari jumlah spesies yang ditemukan, fitoplankton

dari ke1as Bacillariophyceae paling mendominasi kelimpahan fitoplankton yaitu

sebanyak tujuh be1as spesies. Sedangkan yang paling sedikit ditemukan ada1ah kelas

Xanthophyceae yaitu hanya satu spesies.

Pad a ke1as Cyanophyceae, terdapat satu spesies yang paling mendom inasi yaitu

Dactylococcopsis sp. yang mencapai 8100 sel!L dan 8208 sei!L pada stasiun 1 dan 3.

Se1ain itu, fitop1ankton jenis ini juga ditemukan hampir di semua lokasi, kecua1i pada

stasiun 18, 19, 20, dan 21. Microcystis sp. juga ditemukan di banyak lokasi yaitu di

stasiun 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 12, 13, dan 15. Kelimpahan tertinggi dari spesies ini

terdapat di stasiun 5 dengan jum1ah 3996 sel!L, sedangkan yang terendah terdapat di

stasiun 4 dengan jumlah 216 sel/L. Aphanocapsa sp. hanya ditemukan pada tiga stasiun

yaitu stasiun 9, dan II dengan ke1impahan 864 sei!L serta stasiun 12 dengan

ke1impahan 756 se1/L. Oscillatoria sp. hanya ditemukan di stasiun 11 dengan

ke1impahan 324 sel/L, Anabaena sp. ditemukan pada stasiun 13, 14, dan 18 dengan

kelimpahan 108 sel!L, 432 se1!L, dan 216 se1!L. Tolypothrix sp. hanya ditemukan pada

stasiun 13 dan 17 dengan kelimpahan 216 dan 108 sel/L sedangkan Scytonema sp.

hanya ditemukan pada stasiun 18 dengan kelimpahan 108 sel!L. Lokasi yang paling

banyak ditemukan spesies fitoplankton dari ~e1as Cyanophyceae adalah stasiun 13

denganjumlah empat spesies.

459

Seminar Nasional Konservasi dan Proteks i Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 201 3

Kel impahan Fitopl ank ton (se i/L) Kelas Cyan ophyceae

8000

7000

6000

5000

3000

2000

I 1000

~ I . I I I I: j ,,

1 l 3 ' 5 6 7 8 9 10 11 !2 13 " 15 16 17

Sta siu n I O~ct~cxoccopsis ~ II Mic.rCKysti!. s.p It Aphanocaps.a sp it O!.cill atoria SP

1 Anllbaena sp li TcHypothrix 5P • Scvtonema 5il

,, . 18 19 20 11

Gambar 12. Kelimpahan fitoplankton (sel/L) kelas Cyanophyceae

Kelas Bacillariophyceae merupakan kelas dengan jumlah spesies paling ban_·

ditemukan di lokasi penelitian. Spesies yang paling melimpah yaitu Jshtmia sp. · -=

ditemukan di stasiun 12 dengan jumlah 1188 sel/L, diikuti dengan stasiun 11 deng::­

jumlah 1080 sei/L. Stasiun 19 merupa~an stasiun yang paling banyak ditemukan spe ·::-:

plankton yaitu enam spesies meliputi Isthmia sp., Thalassiosira sp., Bacillaria -=­

Actynocy clus sp., Plagiogramma sp ., dan Strepthoteca sp. Pada stasiun 11 , 12, dan : ­

hanya ditemukan satu spesies.

1200

1100

1000

600

Kelimpa ha n Fitoplankton (se l/l ) Ke las Bacil lariophycea e

I

Ill IIIII Ill I,

f

I I

1: i Ill 1 :J 3 4 S & 7 8 9 10 1! 12 B 1-l. 15 16 17 18 19 20 21

• Diatom~ vui;Url5 • l~thml.l so • Thalassio!Jra s:> "- Aulacoselra • Svredr.J sp • A.SI:erione l1a so

• St•Phlnodi sc u~ sp • ~cill:a ri a \P • Cyclotli'l la 'tl • Actvnocvctus sp • CoKioe>discus so • Eunotia so

-----------··------

Gambar 13 . Kelimpahan fitoplankton (sel/L) kelas Bacillariophyceae

Pada Gambar 14 dapat dilihat kelimpahan fitoplankton (sel/L) pada kelas

Chlorophyceae. Pada stasiun 14 ditemukan dua spesies fitoplankton yaitu Characillff.

460

emi Peka

p.

lain

an

See

ire

::er

ny::. .-

yan:::

ng

:!sie-

sp ..

n 1-

eel as

-::ium

Seminar Nasional Konservasi dan Proteks i Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

sp. dan Hormidium sp. dengan kelimpahan 216 sel/L dan 324 sel/L. Sedangkan di lokasi

lain yaitu stasiun 2, 3, 5, 7, 9, 11 , 12, 13, 16, 17, dan 18 hanya dijumpai satu spesies

saja. Di stasiun 2, 3, 7, 13 hanya ditemukan Characium sp. Di stasiun 5, 11 , 12 dan 18

hanya ditemukan Gonatozygon sp. Di stasiun 19 hanya ditemukan Closterium sp.

Scenedesmus sp. hanya ditemukan di stasiun 16, sedangkan Microspora sp. hanya

ditemukan di stasiun 17.

Kelimpahan Fitoplankton (sei/L} Kelas Chlorophyceae

!>00

1100

HX>O

800

=r- 700

'R -= ,;~"¢

~ ~ 500

4(JO

JOO I

100 I I II I I, 1 2 3 .: s 6 7 8 9 10 11 12 13 }0: 15 16 11 18 19 20 21

Staslun

•<.h<~r<~toum Ul • t..on)lo:yeons.o •<..lo$ttnvm~;:> Ill Hormod•vm s.p • X•n~es.mt.K 5P • MICros.pou 'f)

Gambar 14. Kelimpahan fitoplankton (sel/L) kelas Chlorophyceae

Pada Gambar 15 dapat dilihat kelimpahan fitoplankton kelas Xanthophyceae

dengan spesies Characiopsis sp. Spesies ini hanya ditemukan di stasiun 9 dengan

kelimpahan 108 sel/L.

Kelimpahan Fltoplankton (sei/L) Kelas Xanthophyceae

110

100

80

~ = GO

" ~ •o

'"

1 2 3 4. s 6 7 8 9 10 11 12 l3 }4 15 16 17 18 19 20 21

Staslun

. , . ..... d~l)'>U

Gambar 15. Kelimpahan fitoplankton (sel/L) kelas Xanthophyceae

46 1

Seminar asional Konservasi dan Proteks i Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Des ember 2013

Secara keseluruhan, lokasi yang paling banyak ditemukannya fitoplan k -

adalah stasiun 13 dengan delapan spesies yaitu Anabaena sp., Dactylococcopsis

Microcystis sp., TolypothrL-c sp. dari kelas Cyanophyceae, Actynocyclus sp., Bacillar:­

sp., Coscinodiscus sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Characium sp . dari ke ...:

Chlorophyceae. Nilai Indeks Keragaman (H') yaitu 2.0287 yang berarti ting --­

keragaman sedang dan mengalami tekanan sedang. Indeks Dominansi (C) bemi~.,

' 0.3321 yang berarti tidak ada jenis yang mendominasi, sedangkan Indeks Keseragam"­

(E) bemilai 0.6400 yang berarti kondisi perairan berada dalam kondisi seimbang.

Lokasi yang paling sedikit ditemukan spesies fitoplankton adalah stasiun 16

17 dengan empat spesies. Pada stasiun 16 ditemukan Dactylococcopsis sp. dari ke1~

Cyanophyceae, Asterionella sp. dan Coscinodiscus sp. dari kelas Bacillariophyc e

serta Scenedesmus sp. dari kelas Chlorophyceae. Indeks Keragaman (H ') di stasiun l­

menunjukkan nilai 0.8761 yang berarti tingkat keragaman rendah, mengalami tekan ~

berat. Indeks Dominansi (C) menunjukkan nilai 0. 7122 yang berarti ada jenis an _

mendominasi , sedangkan Indeks Keseragaman (E) menunjukkan nilai 0.4380 an _

berarti kondisi perairan berada dalam kondisi tidak seimbang.

Pada stasiun 17 ditemukan Dactylococcopsis sp. dan Tolypothrix sp. dari kelas

Cyanophyceae, Actinocyclus sp. dan Cyclotella sp. serta Microspora sp. dari kelas

Chlorophyceae. Indeks Keragaman (H') di stasiun 17 menunjukkan nilai 1.4801 ang

berarti tingkat keragaman sedang, mengalami tekanan sedang. Indeks Dominansi (C

menunjukkan nilai 0.5085 yang berarti ada jenis yang mendominasi , sedangkan lnde1'

Keseragaman (E) menunjukkan nilai 0.6374 yang berarti kondisi perairan berada dalam

kendisi seimbang.

1.2 Zooplankton

Pada Gambar 16 dapat dilihat diagram batang yang menyajikan kelimpahan

zooplankton di lokasi penelitian. Berdasarkan gambar tersebut, hanya ditemukan dua

spesies zooplankton dari kelas Dynophyceae dan Rotifera. Masing-masing dari ke las

tersebut ditemukan satu spesies yaitu Histioneis sp. dan Branchiorus sp. , Histioneis sp.

ditemukan di stasiun 13 dengan kelimpahan 108 sel!L dan Branchiorus sp. yang

dijumpai di stasiun 18 dengan kelimpahan 108 sel!L.

462

= ==

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

Kelimpahan Zooplankton (sei/L) Kelas Dinophyceae dan Rotifera

110

100

90

80

70

60

so

,. 30

20

10

1 2 3 .: s 6 7 8 9 10 l l 12 13 ].: 15 16 17 18 19 20 21

Stasiun

• Histioneis !.p 1. Br~nctjorus so

Gambar 16. Kelimpahan fitoplankton (sel/L) kelas Dynophyceae dan Rotifera

2. ~akrozoobenthos

Pada Gambar 17 dapat dilihat diagram batang yang menunjukkan kelimpahan

makrozoobenthos di lokasi penelitian. Pada stasiun 1, 3, 4, 6, 9, 10, 17, dan 19 tidak

ditemukan makrozoobenthos. Sedangkan pada stasiun 13 dan 14 tidak ada sampel

sedimen karena faktor arus yang tidak memungkinkan untuk pengambilan sampel saat

di lapangan.

Makrozoobenthos yang ditemukan pada sampel sedimen digolongkan menjadi

dua kelas yaitu gastropoda dan bivalvia. Makrozoobenthos yang termasuk gastropoda

yaitu Haliotis corrubata, Polinices sp., Haliotis sp., Natica zebra, dan Mitra sp.

Sedangkan yang makrozoobenthos yang termasuk dalam kelas bivalvia yaitu Melampus

sp., Scrobicularia sp. , Donax sp., Modiolus sp. , Glycimeris sp., dan Lioberus sp.

Di stasiun 15, ditemukan paling banyak spesies yaitu Mitra sp., Scrobicularia

sp., Donax sp., dan Modiolus sp. Donax sp. dan Modiolus sp. paling mendominasi di

lokasi ini dengan jumlah 182 individu/m2. Pada lokasi ini, Indeks Keragaman (H')

sebesar 1.9183 yang berarti tingkat keragaman sedang, mengalami tekanan sedang.

Indeks Dominansi (C) sebesar 0.2778 yang berarti tidak ada jenis yang mendominasi ,

dan Indeks Keseragaman (E) sebesar 0.9591 yang berarti kondisi perairan di stasiun

tersebut berada dalam kondisi seimbang.

Pada stasiun 16, 18, dan 20 ditemukan tiga spesies memberikan nilai Indeks

Keragaman (H') sebesar 1.5209 yang berarti tingkat keragaman sedang dan mengalami

463

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

tekanan sedang. Indeks Dominansi (C) menunjukkan nilai 0.3600. Hal ini berarti tidcu::

ada jenis yang mendominasi. Sedangkan Indeks Keseragaman (E) menunjukkan ni la:

0.9602, berarti kondisi perairan dalam keadaan seimbang.

Stasiun 7 dan I 0 ditemukan dua spesies memberikan nilai Indeks Keragama:

(H') sebesar 1.000 yang berarti tingkat keragaman sedang dan mengalami tekan -

sedang. Indeks Dominansi (C) yang berarti tidak ada jenis yang mendominas:.. '

sedangkan Indeks Keseragaman (E) bernilai 1.000 yang menunjukkan bahwa kondis.

perairan dalam keadaan seimbang.

Pada stasiun 2, 5, 8, 11 , 12, dan 21 hanya ditemukan satu spesies. Hal i -

memberikan ni1ai lndeks Keragaman (H') sebesar 0.000 yang berarti tingkat keragam -

rendah dan mengalami tekanan berat. Indeks Dominansi (C) sebesar 1.000 berarti a "

jenis yang mendominasi. Sedangkan Indeks Keseragaman (E) menunjukkan nilai 0. 00~

yang berarti kondisi perairan dalam keadaan seimbang.

Kelimpahan makrozoobenthos (ind/m2)

200

180

160 NE 140

:0 120 c::: =1oo ..s::;

~ 80 E 60 ~

40

:1 I rl 1- . -I I 20 -

0 2 5 8 10 11 12 15 16 18 20 2:

Stasiun

• Haliotis corrubata • Polinices sp 11 Haliotis sp a Natica zebra

a Mitra sp • Melampus sp • Scrobicularia sp • Don ax sp

• Modiolus sp • Glycimeris sp • Lioberus sp

Gambar 17. Diagram kelimpahan makrozoobenthos

C. BIOLOGI IKAN KURAU

i. Klasifikasi Ikan Kurau

Ikan Kurau memiliki nama ilmiah Eleutheronema tetradactylum. Di berbagai daerah di

Indonesia, ikan ini juga dikenal dengan Baling, Kuro (Jawa), Laceh (Madura), Senangin

464

Serr Pek;

(St

me

seh

Ika

per

san

suo

der

en

Ia

ic

_,el

-e

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 20 13

(Sumatera Selatan), Selangih (Sumatera Timur), dan Tikus-Tikus (Ambon) . Ikan Kurau

memiliki eiri khas berupa pectoral filament atau sungut di dada yang berjumlah 4,

sehingga disebut dengan nama ilmiah tetra. Berikut merupakan klasifikasi ikan Kurau:

Ikan Kurau memiliki tubuh memanjang dan agak pipih yang memudahkan

pergerakannya di kolom air. Matanya ditutupi oleh membran gelatin. Bentuk mulut

sangat besar dan tidak mempunyai bibir, keeuali bibir bagian bawah yang terdapat pada

sudut mulut (Weber dan Beaufort, 1992). Sirip dada terdiri dari dua bagian . Bagian atas

dengan satu buah duri keras dan jari-jari sirip lemah berjumlah 17, sedang bagian bawah

terdiri dari tiga atau empat buah sirip berfilamen dengan bagian paling atas memiliki

filamen yang paling panjang hingga meneapai dasar sirip perut (F AO, 1974). Ikan ini

dieirikan pula dengan tubuh yang berwarna hijau keperakan di bagian atas tubuh dan

bagian bawah berwarna krem. Sirip punggung dan ekor berwarna abu-abu dan agak

gelap pad a pinggirannya. Sirip punggung ikan Kurau terdiri dari jari -jari keras ( duri)

yang terletak di depan, terpisah dari sirip punggung berjari-jari lunak di yang terletak di

depan (Gambar 4 .1 ). Sirip ekor berbentuk garpu (eagak), menandakan ikan ini

merupakan perenang eepat dan lineah. Sirip perut dan anus berwarna orange, sedang

sirip dada berfilamen berwarna putih . Ikan ini dapat meneapai ukuran 200 em, tetapi

biasa ditemukan pada ukuran antara 45 -50 em (F AO, 1974).

Ikan Kurau

Ikan kurau hidup pada habitat dengan karakteristik perairan yang masih dipengaruhi

oleh massa air tawar dan banyak dijumpai pada perairan muara-muara sungai yang

relatif dangkal atau tidak dalam. Ikan kurau ini merupakan spesies yang hidup dalam

dua kawasan yaitu kawasan perairan !aut dan estuaria.

Siklus hidup ikan kurau tergolong panjang. Ikan kurau akan mengalami perubahan

jenis kelamin menjadi betina ketika ikan kurau memiliki panjang lebih dari 400 mm

dan berumur sekitar dua tahun . Ikan kurau sendiri dapat meneapai ukuran 2000 mm,

tetapi ukuran yang biasa ditemukan antara 450-500 mm. Penentuan jenis kelamin

465

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 20 13

Eleutheronerna tetradactylurn sulit dilakukan dari luar tubuh. Pada pengama .,­

bagian dalam, jenis kelamin dapat ditentukan pada panjang total ikan 140 mm. I - -

kurau dapat dikelompokkan ke dalam jenis ikan karnivor (karena di dal -

lambungnya ditemukan anak ikan, ikan petek, cacing, udang dan Uca).

ii. Distribusi lkan Kurau

Ikan Kurau bersifat eurihalin, artinya ·ikan Kurau mampu mentoleransi kadar gara­

(salinitas) dengan kisaran yang Iebar sehingga memungkinkan ikan ini menjela>­

wilayah estuari bahkan aliran sungai. Ikan ini diperkirakan memijah di !aut, kem udi -

membiarkan telur-telurnya melayang di kolom perairan mengikuti arus hingga saatn.-­

menetas. Habitatnya di perairan pesisir dan muara sungai, serta memasuki sungai d~­

air tawar. Ikan yang besar biasanya di pantai, sedangkan yang kecil di dekat mua: _

sungai. Ikan Kurau bisa ditemukan pada saat air pasang tapi tidak terlalu tinggi, d -

biasanya pada kondisi air yang cukup jemih.

iii. Sebaran ikan

Berdasarkan hasil sounding, Gambar 4.4 merupakan echogram yang menampi lk -

adanya indikasi gerombolan ikan. Gerombolan ikan ini ditemukan sedang bermobilisas:

di sekitar kawasan Selat Rengit pada malam hari tepatnya pukul 11.24. Indikasi terseb :

ditunjukkan oleh perbedaan pantulan pada echogram. Echogram pertama (A) berasa

dari hasil pantulan substrat yang diduga bersifat keras. Hal tersebut dapat diperki raka:­

dari adanya dua pantulan pada kedalaman 12 dan 24 m. Ketebalan substrat yang mamp ....

ditembus gelombang akustik mencapai 7-8 m. Sedangkan echogram B menunjukkan . segerombolan ikan yang ditandai dengan tidak adanya pantulan kedua. Hal ini terjadi

karena energi akustik yang merambat dari permukaan transduser melalui kolom air

menuju target, sebagian dipantulkan dan sebagian diabsorbsi oleh target, sedimen

tersuspensi, dan molekul air. Sehingga diperoleh bagian dasar yang tidak terdeteksi oleh

sensor karena pelemahan energi yang dialami.

466

em11 Pekru

D

n

I

eminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

Keterangan: Echo: A : d as~r p ~ ra l r an

B . kumpul an ik.an

frelwensi: 50 kHz

Kedolaman 'r'f.Mi ditampilkan echoa: ram dar iG-Z5m

Scol<bor: Hitam·Merah : warn a

pixelyan a: menunjukkan nilai

d i&:ital c!arl rend ah· tinggi

Contoh tampilan echogram yang mewakili kondisi gerombolan ikan yang

terdeteksi transducer.

Dari beberapa hasil echogram, dapat kita ketahui keterkaitan antara tipe substrat dan

posisi gerombolan ikan. Untuk tipe substrat lumpur ditemukan gerombolan ikan yang

berada dekat dengan permukaan dasar yang berbentuk cekungan. Diduga ikan-ikan

tersebut sedang mencari makan atau berlindung. Sedangkan pada wilayah yang

memiliki tipe substrat pasir berlumpur, gerombolan ikan yang terdeteksi cenderung ·

sedang bermobilisasi di kolom air.

Dari pengamatan berdasarkan data yang tersedia, sebaran vertikal nilai echo pada

umumnya berada di kedalaman 3-10 m, baik yang berada di kolom air maupun di atas

permukaan dasar perairan. Sedangkan secara horizontal, lokasi yang sering ditemukan

adanya kumpulan ikan berada pada wilayah yarig berdekatan dengan hutan mangrove.

Tujuan migrasi kumpulan ikan tersebut dapat diduga dari ukurannya. Ikan yang

berukuran kecil pada umumnya butuh lokasi-lokasi yang terlindung seperti hutan bakau.

Gambar 4.5 menampilkan perbedaan hasil pantulan berdasarkan dua frekuensi. Jika

diamati, kita dapat melihat adanya perbedaan yang dihasilkan. Pada echogram yang

diberi perlakuan frekuensi 200 kHz, sebagian besar memiliki nilai digital yang tinggi.

Namun kita tidak dapat membedakan yang mana ikan dan yang mana dasar perairan.

Sedangkan pada frekuensi 50 kHz, temyata terdapat setumpuk ikan yang terdeteksi di

atas permukaan dasar perairan di kedalaman 8 m. Sejauh ini pendugaan ukuran yang

dapat diamati berdasarkan echogram pada frekuensi 200 kHz, dimana warna yang

ditampilkan didominasi merah. Artinya nilai digital lebih tinggi, sehingga nilai Target

467

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

Strength (TS) pun diduga tinggi. Dimana nilai TS tinggi menandakan bahwa ukura:­

ikan cenderung lebih besar. Namun jika diamati pada echogram berfrekuensi 50 kHL

nilai digital berkurang, diduga ikan yang lebih bersifat lunak dibanding dasar perairan.

Echogram pada perairan dengan relung dalam

Dengan demikian, perlu adanya teknologi akustik memiliki beberapa keunggulan yang

dapat diaplikasikan dalam upaya konservasi ikan Kurau antara lain:

Pendugaan stok ikan kurau :

• Pengukuran nilai Target Strength berdasarkan

ukuran,

gelembung renang,

jenis kelamin, dan

tingkat kematangan gonad

• • Studi tingkah laku ikan kurau terhadap perubahan parameter lingkungan .

Pendugaan pola migrasi berdasarkan kecendrungan pergerakan menuju feeding ground,

spawning ground, atau nursery ground. Metode paling efektif adalah dengan melakukan

penandaan dan pelacakan selama minimal setahun. Sehingga dapat diketahui pola

migrasi berdasarkan waktu (per 12 jam, per 24 jam, perbulan dan per-6 bulan).

468

Semi1 Peka1

III.

4.1.

Dac

ben

Set

ped

dio

hal

kec

di

ad~

be1

Da

pe

be

B~

se

kuran

kHz,

ran.

yang

lund,

ukan

pol a

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 20 13

III. DAERAH PENANGKAPAN DAN RUAY A IKAN KURAU

4.1. Daerah Penangkapan

Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan yang menjadi tempat alat

tangkap dioperasikan dengan tujuan untuk mendapatkan berbagai hasil tangkapan baik

berupa j en is ikan, j umlah dan ukurannya.

Setiap wilayah tangkap memiliki karakteristik untuk di jadikan sebagai acuan untuk

pedoman untuk melakukan operasi penangkapan. Jaring batu/kurau biasanya

dioperasikan sejauh 2-4 millaut dengan kedalaman 30-50 meter disekitar Selat Malaka,

hal ini bergantung pada faktor alam berupa musim yang akan memengaruhi besar atau

kecilnya gelombang dan arus dilaut. Daerah penangkapan ikan Kurau banyak di lakukan

di sebelah Tenggara Pulau Rangsang hal tersebut diyakini masayarakat sekitar bahwa

ada sebuah palung dengan kedalaman 60-80 meter didasar perairan tempat ikan kurau

berkumpul atau istilah tempatan sering disebut sebagai lubuk ikan.

Dasar perairan !aut di perairan desa sebelah Tenggara Pulau Rangsang hingga ke

perairan Bengkalis bentuknya landai sehingga alat tangkap jaring batu dapat menyapu

bersih ikan-ikan yang ada didalam perairan tersebut.

Berikut ini merupakan daerah-daerah yang menjadi daerah penangkapan ikan kurau

oleh para nelayan baik dari Kabupaten Kepulauan Meranti maupun dari daerah luar

seperti Tanjung Balai Karimun dan lain sebagainya :

1. Perairan Pantai Desa Mengkopot

2. Perairan Pantai Desa Pacul

3. Perairan Pantai Desa Ketapang

4. Perairan Pantai Desa Mekar Sari

5. Perairan Pantai Desa Dakap

6. Perairan Pantai Desa Pisang

7. Perairan Pantai Desa Selat Akar

8. Perairan Pantai Desa Kuala Merbau

9. Perairan Pantai Desa Tanjung Bunga

10. Perairan Pantai Desa Centai

11 . Perairan Pantai Desa Bantar

12. Perairan Pantai Desa Tanjung Kulim

13. Perairan Pantai Desa Lukit

469

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

14. Perairan Pantai Desa Kedabu Rapat

15. Perairan Pantai Desa Tanah Merah

Kemudian karakteristik daerah ekologis tempat ikan ini sering tertangkap olah nelayar;

adalah sebagai berikut :

1. Perairannya dangkal

2. Curam dan tidak landai

3. Salinitas rendah 5 s/d 15

4. Suhu 26 s/d 28 C

5. Kecepatan arus kuat

6. Banyak terdapat udang dan ikan bilis

7. Masih terdapat hutan mangrove

Selama ini hasil tangkapan nelayan terhadap ikan kurau ini ber ukuran relatif mas..._

kecil yaitu antara 1 s/d 3 kg, namun ukuran maksimum ikan ini dapat mencapai 15 kg

4.2. Daerah Ruaya

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan Desa Sungai su1r, Sungai Tohor, Se,:.­

Renggit di daerah Air Mabok, Perairan Sekitar Pulau Tupang dan Pulau Menggung

bahkan di Sepanjang Perairan Selat Panjang bahwa musim ikan Kurau terdapat pa

bulan Maret- Mei yaitu pada musim timur, hasil tangkapan ikan Kurau waktu mus·­

timur ini sangat melimpah bahkan dalam 1 kali setting alat tangkap bisa mencapai 1

ikan Kurau . Musim paceklik adalah musim tenggara yaitu pada bulan Juli - Septem -

hasil tangkapan Ikan Kurau pada musim ini berkurang bahkan dalam 1 kali mel -

nelayan tidak mendapatkan ikan. Distribusi ikan Kurau hampir di semua perairan seki=

Kepulauan Meranti yakni Pulau Merbau, Pulau Tebingtinggi dan Pulau Rangsang.

Pada bulan Agustus ikan yang kurau yang tertangkap sangat sedikit, dari hasil sun -

pasar ikan hanya ada satu orang pedagang yang menjual 6 ekor ikan kurau dengo­

ukuran 13 - 18 em panjang tubuhnya.

Dari informasi nelayan tempatan terungkap bahwa temyata faktor pasang sw -

dipengaruhi oleh fase peredaran bulan dan sangat besar pengaruhnya terhadap has

tangkapan ikan kurau. Diperkirakan ikan-ikan yang hendak memijah memas -

pera1ran kawasan muara-muara sunga1 yang banyak tersebar di kawasan kepula

meranti.

470

Sem Pek<

Des

Foo

Dep

Djm

Seminar Nasional Konservasi dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

KESIMPULAN

1. Kegiatan Konservasi sumberdaya ikan kurau di Kabupaten Meranti sudah perlu

dilakukan hal ini didasari dengan adanya gejala over fishing yaitu dengan

menurunnya produksi tangkapan ikan kurau secara drastis, sulitnya menemukan

ikan kurau di pasar-pasar lokal dan semakina banyaknya nelayan yang mencari

ikan kurau sehingga sering terjadi konflik antar nelayan.

2. Konservasi sumberdaya ikan telah diatur dalam Peratm:an Pemerintah Nomor.

60 tahun 2007 tentang konservasi sumber daya ikan.

3. Konservasi ikan kurau dapat dilakukan dengan konservasi ekosistem, konservasi

jenis ikan dan konservasi genetik ikan kurau.

4. Dalam penetapan kawasan konservasi perairan telah di atur dalam Peraturan

Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tentang tata cara penetapan

kawasan konservasi perairan. Yang selanjutnya rencana pengelolaan dan rencana

zonasi kawasan konservasi perairan diatur dalam Peraturan Menteri Kelautaun

dan Perikanan Republik Indonesia Nomor. Per 30/Men/20 10 ten tang rencana

pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi perariran.

DAFTAR PUSTAKA

Deshpande, S.D. 1962. An account of ' Dara ' ((Polydactylus indicus Shaw) fishery of

the Bombay coast with particular reference to the fishing method by bottom­

drift nets. lndo-Pacif. Fish. Coun., C 62, Tech 26 I Oth Session, Seoul,

Korea, 1-20.

Food and Agriculture Organization (F AO) 1974. Eastern Indian Ocean and Western

coastal Pacific.Species identification sheets for fisheries purposes.FAO UN,

Rome ,Ill.

Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008. Konservasi Sumberdaya Ikan di Indonesia.

Djamali,A.; Burhanuddin dan Martosewojo, 1985. Telaah Biologi Ikan Kuro

(Eleutheronema tetradactylus) , Polynemidae di Muara Sungai Musi

sumatera Selatan. Makalah diajukan pada Kongres Nas ional Biologi

lndoensia VII di palembang 29 - 30 Juli 1985: 15 halaman.

471

Seminar Nasional Konservas i dan Proteksi Lingkungan Pekanbaru, PSIL-UR Desember 2013

Jayaraman, R., and S.S. Gogate 1957. Salinity and temperature variations in the surface

waters of the Arabian Sea off the Bombay and Saurashtra coasts. Proc.

Indian Acad. Sci. , 45(B) No. 4: 152-164.

Jayaraman, R. , and G. Seshappa, K.H. Mohamed and S.V. Bapat 1959. Observations on

the traw lfisheries of the Bombay and Saurashtra waters, 1949-50 to 1954-

55 . /ndian J. Fish. 6(1 ): 58-·114.

KKP, 2012. Geographic priorities for marine biodiversity concervation in indonesia.

Direktorat konservasi dan jenis ikan, Direktorat jenderal kelautan, pesisir

dan pulau-pulau kecil dan Marine protected areas governance program.

Jakarta

KKP, 2003 . Pedoman pengelolaan dan konservasi biota !aut duyung dan habitatnya.

Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta

KKP, 2012. Strategi dan rencana aksi konservasi dugong di Indonesia. Direktorat

konservasi kawasan dan jenis ikan Ditjen KP3K.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan

Peraturan Menteri nomor PER.O 1/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan

Republik Indonesia (WPP-RI).

Sumiono,B dan S.Iriandi, 2002. Survai pendahuluan sumberdaya ikan di perairan R iau­

sumatera utara. Laporan survai Balai Riset Perikanan Laut, Jakarta (Tidak

diterbitkan): 15 halaman .

. Supriharyono, 2007. Konse~vasi ekosistem sumberdaya hayati di wilayah pesisir dan

!aut tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

472

Ser Pe~

T il t)

Yl

n n b

1