emergency 3 a2
DESCRIPTION
a2TRANSCRIPT
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL
BLOK KEDARURATAN MEDIK
SKENARIO 3
KELOMPOK A2
Aisah Kusumaning A. (G0011009)
Aulia Muhammad Fikri (G0011045)
Egtheastraqita C. (G0011081)
Fitri Febrianti R. (G0011095)
Nisa’u Luhtfi Nur A. (G0011151)
Sausan Hana Maharani (G0011193)
Arga Scorpianus (G0011035)
Chendy Endriansa (G0011059)
Itqan Ghazali (G0011119)
Septian Sugiarto (G0011195)
Anindhita Ayu (G0010017)
TUTOR
Dian Nugroho, dr.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Skenario 3
MUNGKINKAH KERACUNAN?
Seorang laki-laki berusia 57 tahun diantar oleh keluarganya ke Instalasi Gawat
Darurat (IGD) Rumah Sakit.dari anamnesis didapatkan nyeri kepala, mulut terasa
terbakar dan terasa seperti logam, sesak nafas, nyeri perut, mual, muntah, terjadi 1
jam setelah makan masakan ikan tuna dan minum minuman keras yang dibeli dari
warung makan dekat rumahnya.
Pemeriksaan fisik didapatkan kondisi delirium, tekanan darah 80/60 mmHg,
nadi 120x/menit isi dan tekanan kurang, laju respirasi 28x/menit serta suhu 36,9oC
dengan rash eritematous di wajah dan dada, wheezing pada auskultasi paru
disertai akral yang mulai dingin. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
hemoglobin 12 gr%, hematokrit 40%, leukosit 10.600/ul, trombosit 375.000/ul,
ureum 43 mg/dl, kreatinin 1,3 mg/dl, saturasi oksigen 90%, natrium 130 mmol/L,
kalium 3,3 mmol/L. Saat di IGD diberikan terapi oksigen nasal kanul 3 lpm, Infus
Ringer Laktat tetesan cepat, injeksi adrenalin dan injeksi difenhidramin intravena
1 Ampul, inhalasi salbutamol dan arang aktif. Pasien selanjutnya diputuskan
untuk rawat inap.
BAB II
DISKUSI DAN STUDI PUSTAKA
A. Jump I: klarifikasi istilah dan konsep
Berikut adalah istilah yang perlu dipahami dalam skenario.
1. Minuman keras : Minuman yang mengandung etanol 5-55%
2. Rash eritematous : Kulit kemerahan oleh karena pelebaran
pembuluh darah supefisial
3. Delirium : Suatu keadaan disfungsi otak yang
reversibel yang ditandai dengan manifestasi abnormalitas neuropsikiatri
yang luas
4. Oksigenasi nasal kanul : Pemberian oksigen dengan alat yang
dimasukan melalui hidung dengan kecepatan 1-6 liter per menit,
saturasi 22-24%
5. Difenhidramin : Antihistamin golongan etanolamin, yang
bekerja dengan cara berkompetisi dengan histamin untuk menduduki
reseptor H1. Termasuk golongan I generasi 1.
6. Wheezing : Suara napas tambahan berupa nada tinggi
oleh karena aliran udara pada saluran napas yang menyempit
7. Arang aktif : Suatu zat kimia berupa karbon dalam
bentuk serbuk atau tablet yang berfungsi untuk menyerap racun
8. Salbutamol : Suatu obat golongan agonis reseptor β
adrenergik yang biasa digunakan untuk mengatasi sesak napas dan juga
berfungsi sebagai bronkodilator
B. Jump 2 & 3 : Menentukan/mendefinisikan permasalahan &
Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara
mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah 2)
Berikut adalah permasalahan yang terdapat dalam skenario.
1. Bagaimana patofisiologi manifestasi klinis yang dialami pasien?
2. Apa hubungan konsumsi ikan tuna dan minuman keras 1 jam
sebelumnya dengan munculnya gejala pada skenario?
3. Jenis bahan apa saja yang dianggap racun oleh tubuh? Bagaimana
respon tubuh terhadap racun?
4. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pada
kasus di skenario?
5. Bagaimana analisis terapi yang diberikan pada skenario?
6. Adakah pemeriksaan penunjang lain yang dibutuhkan?
7. Apa saja jenis-jenis dan gejala keracunan?
8. Bagaimana prosedur pemberian terapi oksigen? Apa saja indikasi dan
kontra indikasinya? Bagaimana cara mengevalusinya?
9. Berapa dosis terapi inhlasi salbutamol dan arang aktif yang diberikan?
10. Bagaimana hubungan usia pasien dengan gejala yang dialaminya?
11. Apa saja diagnosis banding kasus pada skenario?
12. Bagaimana cara monitoring pasien pada skenario?
C. Jump 4 : Menginventarisasi permasalahan-permasalahan secara
sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan-
permasalahan pada langkah 3
1. Bagaimana patofisiologi manifestasi klinis yang dialami pasien?
Adanya mulut terbakar dan rasa seperti logam biasa terjadi pada
kondisi keracunan logam seperti merkuri, dan ini terjadi sering pada
kasus dimana seseorang makan jenis ikan scombrid, seperti ikan tuna,
sarden, dsb.Sesak nafasdisertas wheezing pada pemeriksaan
kemungkinan dikarenakan. Salah satu efek dari histamine adalah
adanya bronkospasme.Adanya peningkatan kadar histamine dapat
dikarenakan konsumsi ikan tuna pada kasus. Selain itu, mulut terasa
seperti logam juga bisa disebabkan oleh keracunan merkuri yang
terdapat pada ikan tuna yang terkontaminasi. Pada ikan jenis scombroid
dilaporkan mengandung cukup tinggi kadar histamine apalagi pada
kondisi dimanacara penyimpanan dan pengolahan yang tidak tepat.
Mulut terasa terbakar juga bisa diakibatkan oleh adanya refluks HCL
pada lambung.
Mual muntah dapat terjadi karena histamin yang diakandung oleh
ikan yang dikonsumsi oleh pasien berikatan dengan reseptor H2
sehingga merangsang refleks muntah. Nyeri perut terjadi akibat
histamin meningkatan ambang batas rangsang nyeri perut dan
peningkatan peristaltik usus.
Sesak nafas dapat terjadi pada kasus keracunan pada bagian saluran
nafas dikarenakan adanya mekanisme pertahanan pada mukosa saluran
nafas dengan mengeluarkan lendir yang akhirnya dapat menghambat
jalan nafas.
2. Apa hubungan konsumsi ikan tuna dan minuman keras 1 jam
sebelumnya dengan munculnya gejala pada skenario?
Keracunan histamin merupakan salah satu bentuk keracunan yang
paling umum yang terjadi sehubungan dengan konsumsi ikan.
Manifestasi yang muncul mirip dengan reaksi alergi namun sebenarnya
adalah keracunan akibat racun yang dihasilkan bakteri yang hidup di
dalam jaringan tubuh ikan. Gejala yang dapat muncul pada keracunan
ringan adalah munculya ruam, kulit kemerahan, rasa terbakar, dan
muka merah. Keracunan sedang ditandai dengan gejala kulit kemerahan
yang persisten, urtikaria, takikardia, sakit kepala, ansietas, mual,
muntah, dan diare. Sedangkan pada keracuan berat gejala yang dapat
muncul adalah adanya hipotensi, bronkospasme, angioderma, gangguan
pada saluran nafas, dan bisa mengalami gagal nafas.
Jenis ikan yang biasanya menyebabkan keracunan histamin adalah
ikan famili scombroidae seperti ikan tuna, ikan makarel, ikan tongkol,
ikan marlin, dan hampir 100 spesies lainnya. Karena berasal dari ikan
famili scombroidae maka racun yang dihasilkan disebut dengan
skombrotoksin atau disebut juga racun histamin.
Skombrotoksin dapat menyebabkan keracunan ketika seseorang
mengkonsumsi ikan yang telah terbentuk histamin pada tubuhnya.
Keracunan histamin berkaitan langsung dengan proses penanganan ikan
yang tidak benar setelah ditangkap seperti ikan yang sudah tidak segar
lagi dan ikan tidak segera dibekukan. Ikan seharusnya didinginkan
setelah ditangkap agar suhu internalnya mencapai 50oF (10oC) dalam
waktu 6 jam setelah ikan ditangkap. Setelah itu, jika tidak langsung
diolah, ikan harus disimpan dalam suhu dibawah 40oF (<4,4oC).
Apabila ikan tidak didinginkan dengan benar maka amina biogenik
seperti histamin dapat dibentuk di dalam tubuh ikan. Amina biogenik
tersebut akan meningkat jika diletakkan terlalu lama pada air atau tidak
segera didinginkan. Pembentukan histamin berasal dari histidin yang
secara alami terdapat pada semua spesies ikan famili scombroidae.
Bakteri yang hadir dalam usus dan insang ikan (Morganella
morganii, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,Proteus vulgaris,
Hafnia alvei, Enterobacter aerogenes, Citrobactor freundii, Aerobacter
spp., Serratia spp.) memiliki enzim histidine decarboxylaseyang dapat
merubah asam amino histidin pada ikan menjadi histamin pada kondisi
hangat (maksimum produksi histamin yang tercatat pada suhu 20 –
30oC.
Histidin pada jenis ikan tertentu jumlahnya lebih besar sehingga
meningkatkan kemungkinan histamin yang terbentuk akan lebih cepat
selama penanganan dan penyimpanan yang tidak tepat. Setelah
histamin terbentuk, tidak akanhilang selama ikan dibersihkan atau
dimasak. Demikian juga, pembekuan tidak akan mengurangi atau
merusak histamin tersebut. Penanganan ikan yang segera setelah
ditangkap adalah satu-satunya cara untuk mencegah terbentuknya
histamin.
Kandungan histamin pada ikan segar/sehat adalah kurang dari 0,1
mg/gram ikan, sedangkan bila ikan diletakkan pada suhu kamar,
histamin akan meningkat dengan cepat mencapai 1 mg/gram ikan
dalam waktu 24 jam. Histamin tidak membahayakan jika dikonsumsi
dalam jumlah yang rendah, yaitu 8 mg/100 g ikan. Menurut Food and
Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, keracunan histamin akan
timbul jika seseorang mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin
50 mg/100 g ikan. Ikan dengan kandungan histamin lebih dari 20
mg/100 g ikan sudah tidak boleh dikonsumsi.
Mekanisme Alkohol Menimbulkan Efek Toksik
Di balik kenikmatan sesaat setelah konsumsi minuman beralkohol,
tubuh akan mengalami serangkaian perubahan. Hal ini karena alkohol
yang masuk ke dalam tubuh akan langsung diserap dan menyebar
melewati organ-organ tubuh melalui aliran darah, dan sisanya masuk ke
saluran pencernaan, mulai dari kerongkongan, lambung, sampai ke usus
untuk dialirkan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Jantung akan
memompa darah bercampur alkohol ini ke seluruh bagian tubuh,
sampai ke otak. Baru terakhir, hati (liver) akan membakar atau
menghancurkan alkohol dibantu dengan enzim khusus untuk
dikeluarkan melalui air seni dan keringat.
Alkohol mengganggu keseimbangan antara eksitantasi dan inhibisi
di otak, ini terjadi karena penghambatan atau penekanan saraf
perangsangan. Sejak lama diduga efek depresi alcohol pada SSP
berdasarkan melarutnya lewat membran iipid. Efek alcohol terhadap
berbagai saraf berbeda karena perbedaan distribusi fosfoliid dan
kolesterol di membran tidak seragam. Data eksperimental menyokong
dugaan mekanisme kerja alcohol di SSP serupa barbiturate. Etanol
adalah bahan cairan yang telah lama digunakan sebagai obat dan
merupakan bentuk alkohol yang terdapat dalam minuman keras seperti
bir, anggur, wiskey maupun minuman lainnya. Etanol merupakan cairan
yang jernih tidak berwarna, terasa membakar pada mulut maupun
tenggorokan bila ditelan. Etanol mudah sekali larut dalam air dan
sangat potensial untuk menghambat sistem saraf pusat terutama dalam
aktifitas sistem retikular. Aktifitas dari etanol sangat kuat dan setara
dengan bahan anastetik umum. Tetapi toksisitas etanol relatif lebih
rendah daripada metanol ataupun isopropanol. Secara pasti mekanisme
toksisitas etanol belum banyak diketahui. Beberapa hasil penelitian
dilaporkan bahwa etanol berpengaruh langsung pada membran saraf
neuron dan tidak pada sinapsisnya (persambungan saraf). Pada daerah
membran tersebut etanol mengganggu transport ion. Pada penelitian
invitro menunjukkan bahwa ion Na+, K+, ATP ase dihambat oleh
etanol. Pada konsentrasi 5 – 10% etanol memblok kemampuan neuron
dalam impuls listrik, konsentrasi tersebut jauh lebih tinggi daripada
konsentrasi etanol dalam sistem saraf pusat secara invivo. Pengaruh
etanol pada sistem saraf pusat berbanding langsung dengan konsentrasi
etanol dalam darah. Daerah otak yang dihambat pertama kali ialah
sistem retikuler aktif. Hal tersebut menyebabkan terganggunya sistem
motorik dan kemampuan dalam berpikir. Disamping itu pengaruh
hambatan pada daerah serebral kortek mengakibatkan terjadinya
kelainan tingkah laku. Gangguan kelainan tingkah laku ini bergantung
pada individu, tetapi pada umumnya penderita turun daya ingatnya.
Gangguan pada sistem saraf pusat ini sangat bervariasi biasanya
berurutan dari bagian kortek yang terganggu dan merambat ke bagian
medula.
Tabel 1. Gejala yang diakibatkan oleh toksisitas etanol
Gejala klinis Konsentrasi alkohol
dalam darah (%)
Bagian otak yang
terkena
1. Ringan.
- Penglihatan
menurun
- Reaksi lambat
- Kepercayaan diri
meningkat
0,005 – 0,10 Lobus depan
1. Sedang
- Sempoyongan
- Berbicara tidak
menentu
- Fungsi saraf
motorik menurun
- Kurang perhatian
- Diplopia
- Gangguan
persepsi
- Tidak tenang
0,15 – 0,30 Lobus parietal
Lobus ocipitalis
Serebellum
1. Berat
- Gangguan
penglihatan
- Depresi
- stupor
0,30 – 0,50 Lobus ocipitalis
Serebellum
Diencephalon
1. Koma
- Kegagalan pernafasan
0,50 Medulla
Sumber: Gossel and Bricker, 1984
Gejala yang ditimbulkan oleh keracunan alkohol antara lain
kekacauan mental, pupil mata dilatasi, sering muntah-muntah, dan
mulut berbau alkohol.
3. Jenis bahan apa saja yang dianggap racun oleh tubuh? Bagaimana
respon tubuh terhadap racun?
Racun adalah segala sesuatu yang dapat membunuh atau melukai
seseorang melalui aksi kimia. Kebanyakan racun masuk ke tubuh
melalui pencernaan. Kata racun atau poison dalam bahasa inggris,
diambil dari kata potare atau minum, namun racun dapat masuk ke
dalam tubuh melalui cara lain, yaitu melalui pernafasan, kulit, injeksi
IV, paparan radiasi, dan racun dari ular atau serangga.
Keracunan makanan berarti penyakit yang terjadi setelah menyantap
makanan yang mengandung racun ataubahan toksin yang berasal
darisuatu mikroorganisme maupun yang secara proses normal ada
bahan beracun pada makanan tersebut. Toksin di sini dapat berartizat
yang beracun atau memiliki efektoksik pada tubuh maupun zat yang
secara normal bermanfaat bagi tubuh namun pada kadar yang
tinggidapat menjadi toksin. Pada dasarnya, racun ini mampu merusak
semua organ tubuh manusia, tetapi yang paling sering terganggu adalah
saluran cerna dan sistem saraf.Gangguan saluran cerna bermanifestasi
sebagai sakit perut, rasa mual, muntah, dan terkadang ada
diare.Sementara itu, gangguan pada sistem saraf timbul sebagai rasa
lemah, gatal, kesemutan, dan kelemahan otot pernafasan (Arisman,
2009).
Tiap zat toksin dapat menyebabkan berbagai gejala tergantung pada
tempat atau reseptor yang ada pada tubuh.Terjadi perubahan biologi
pada sel atau jaringan dimana zat toksin tersebut terpapar
(NiruridanWirasuta, 2006).Tanda dan gejala pada kondisi keracunan
makanan antara lain: (1) nausea dan muntah; (2) diare; (3) nyeri perut
dan kram yang hebat; (4) demam; (5) tanda-tanda keterlibatan system
saraf, seperti nyeri kepala; (6) mialgia; (7) limfadenopati; (8) oligouri;
(10) kaku kuduk dan tanda-tanda rangsang meningeal (Arisman, 2008).
Reaksi Toksik dalam Tubuh
A = Absorbsi biasanya terjadi di saluran cerna, paru-paru,
kulit, intraperitoneal , intramuskular maupun subcutan.
D = Distribusi; zat toksik masuk ke dalam darah maupun
jaringan. Faktor resiko yang mempengaruhi distribusi
toksik adalah aliran darahnya, mudah tidaknya melewati
dinding kapiler.
M = Metabolisme atau biotransformasi toksis terbagi menjadi 2
reaksi. Reaksi pertama meliputi reaksi reduksi, hirolisis,
dan hidrasi. Reaksi kedua meliputi reaksi sulfasi,
glukoranidasi, konjugasi,dan konjugasi asam
E = Ekskresi dari toksis biasanyamelalui urine, hati, dan juga
paru.
Reaksi yang terjadi didlm tubuh ada 4 reaksi
1. Reaksi anafilaktik
Dipelopori oleh antigen IGE , dan biasanya dipengaruhi oleh
zat histamin, leukotrien dll. Biasanya menimbulkan gejala
seperti syok, rhinitis, vasodilatasi, oedem.
2. Reaksi sitolitik
Dipengaruhi oleh antibodi IGG dan IGM dimana yang menjadi
pencetusnya yaitu penisilin dan qumidin. Biasanya
menimbulkan gejala anemia hemolitik dan purpura
trombositopenia.
3. Reaksi artrus
Dipacu oleh antibodi IGG, biasanya terjadi reaksi ini karena
obat-obat antibiotik. Menyebabkan gejala sepereti urthikaria,
arthralgia, dan arthritis.
4. Reaksi hipersensitivitas
Dipelopori oleh limfosit T dan makrofag, Biasanya terjadi
gejala dermatitis kontak.
Bila terjadi keracunan kurang dari 1 jam maka senyawa ataupun
toksis masih berada di dalam lambung. Asam lambung yg diproduksi
oleh lambung dapat bekerja untuk mengeluarkan atau
mengekskresikan toksik dari dlm tubuh.
Senyawa ataupun toksik yang berada dalam tubuh lebih dari 1 jam
akan sudah melewati lambung dan mulai masuk ke usus dan sistem
GIT akan mulai melakukan proses absorbsi ke dalam tubuh.
Senyawa akan mulai mengganggu fisiologis tubuh karena sudah
berhasil di absorbsi oleh tubuh dan mulai masuk ke dalam darah, bila
menempel di organ-organ atau jaringan lain akan mempercepat toksin
menyebar dalam tubuh.
Perbedaan racun dan alergi makanan
Pengertian alergi makanan mencakup reaksi imunologik terhadap
makanan atau bahan pelengkap makanan. Istilah alergi makanan (food
hypersensitivity) perlu dibedakan dengan intoleransi makanan ( food
intolerance atau food sensitivity). Alergi makanan adalah reaksi
terhadap makanan yang dapat berulang, mempunyai latar belakang
reaksi imunologik abnormal. Di lain pihak, pada intoleransi makanan,
terdapat faktor makanan itu sendiri, seper ti kontaminasi toksin
bakteri, kandungan farmakologik (seperti tiramin yang terdapat pada
keju yang telah lama), atau kelainan3 metabolik (seperti defisiensi
enzim laktase). Intoleransi makanan bertalian dengan semua jenis
reaksi fisiologik abnormal terhadap makanan atau bahan pelengkap
makanan. Termasuk dalam kategori ini ialah reaksi idiosinkratik
(misal intoleransi laktosa), keracunan makanan, dan reaksi farma
kologik (misal terhadap kafein, tiramin).
Intoleransi makanan merupakan reaksi terhadap makanan yang
dapat berulang, tidak mengenakkan, bukan psikologis, dengan latar
belakang non-imunologik, seperti defisiensi enzim (misal defisiensi
laktase), farmakologis (misal reaksi terhadap kafein), pelepasan
histamin non-imunologis (misal sehabis makan sejenis kerang), dan
iritasi langsung (oleh isi lambung pada esofagus sehingga terjadi
esofagitis) (Christanto, 2011).
Pelepasan histamin sendiri ada 2 macam:
1. Antigen-mediated histamine release
Histamin dilepaskan karena terdapat interaksi antara antibodi
dengan antigen. Hal ini mengakitbatkan degranulasi dari mass
cell dan basophil.
Proses ini dimulai dari adanya alergen / antigen yang
ditangkap oleh makrofag (salah satu antigen presenting cell /
APC). Lalu timbul sinyal di MHC II (Major Histocompatibility
complex) yg terdapat di permukaan APC yang dibawa ke
limfosit T terutama T helper. Limfosit akan mengenali dan
memerintahkan sel B (limfosit B) untuk menghasilkan IgE. IgE
ketemu mast cell dan nempel disana. Kalau terjadi kemasukan
alergen lagi (bahasa kerennya: second exposure) antigen tsb g
akan lewat jalur kaya td. tp langsung ngiket IgE yang udah
nempel di mast cell nah karenanya terjadi pelepasan histamine.
2. Non-antigen-mediated histamine release
Selain dilepaskan karena adanya respon imunologis, histamin
juga dapat dilepaskan karena obat, racun, atau senyawa2 lain yg
dapat mengganggu bahkan merusak dinding sel dan memancing
pelepasan histamin. Atau bisa juga diakibatkan suhu atau
rangsangan mekanis lain.
4. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium
pada kasus di skenario?
Tekanan darah pasien didapatkan 80/60 mmHg, pasien mengalami
hipotensi. Hal ini merupakan tanda syok hipovolemik dan konsumsi
histamin yang mengakibatkan vasodilatasi vena, vasokontrsiksi arteri
kecil, dan kebocoran plasma.
Denyut nadi pasien 120x/menit, yang berarti pasien mengalami
takikardi akibat menempelnya histamin pada reseptor histamin yang
terdapat pada otot jantung. RR pasien 28x/menit, pasien mengalami
takipneu yang diakibatka oleh sifat bronkospasme dari histamin.
Rash eritemtous pada kulit pasien diakibatkan oleh adanya histamin
yang mempunyai efek vasodilatasi pada pembuluh darah superfisial.
Sesak nafas dan adanya wheezing pada pemeriksaan paru diakibatkan
oleh sifar bronkospasme dari histamin.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar ureum
pasien. Hal ini mengarah pada kerusakan pre renal. Kadar kalium dan
natrium rendah yang mengindikasikan adanya syok. Hemoglobin
pasien mengalami penurunan. Kadar leukosit meningkat oleh karena
peningkatan produksi basofil. Hematoktit dan trombosit normal.
5. Adakah pemeriksaan penunjang lain yang dibutuhkan?
Pemeriksaan penunjang lain yang dibutuhkan antara lain:
Pemeriksaan toksikologi dengan sampel urin dan serum
pasien
Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya inhalasi zat
racun dan perforasi lambung
Analisis gas darah
Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal
Pemeriksaan darah perifer
EKG
6. Bagaimana prosedur pemberian terapi oksigen? Apa saja indikasi
dan kontra indikasinya? Bagaimana cara mengevalusinya?
Terapi O2 merupakan salah satu dari terapi pernafasan dalam
mempertahankan okasigenasi jaringan yang adekuat. Secara klinis
tujuan utama pemberian O2 adalah (1) untuk mengatasi keadaan
Hipoksemia sesuai dengan hasil Analisa Gas Darah, (2) untuk
menurunkan kerja nafas dan meurunkan kerja miokard.
Syarat-syarat pemberian O2 meliputi : (1) Konsentrasi O2 udara
inspirasi dapat terkontrol, (2) Tidak terjadi penumpukan CO2, (3)
mempunyai tahanan jalan nafas yang rendah, (4) efisien dan ekonomis,
(5) nyaman untuk pasien.
Dalam pemberian terapi O2 perlu diperhatikan “Humidification”.
Hal ini penting diperhatikan oleh karena udara yang normal dihirup
telah mengalami humidfikasi sedangkan O2 yang diperoleh dari sumber
O2 (Tabung) merupakan udara kering yang belum terhumidifikasi,
humidifikasi yang adekuat dapat mencegah komplikasi pada
pernafasan.
Indikasi Pemberian O2
Berdasarkan tujuan terapi pemberian O2 yang telah disebutkan,
maka adapun
indikasi utama pemberian O2 ini adalah sebagai berikut : (1) Klien
dengan kadar O2 arteri rendah dari hasil analisa gas darah, (2) Klien
dengan peningkatan kerja nafas, dimana tubuh berespon terhadap
keadaan hipoksemia melalui peningkatan laju dan dalamnya pernafasan
serta adanya kerja otot-otot tambahan pernafasan, (3) Klien dengan
peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha untuk mengatasi
gangguan O2 melalui peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.
Berdasarkan indikasi utama diatas maka terapi pemberian O2
dindikasikan kepada klien dengan gejal : (1) sianosis, (2) hipovolemi,
(3) perdarahan, (4) anemia berat, (5) keracunan CO, (6) asidosis, (7)
selama dan sesudah pembedahan, (8) klien dengan keadaan tidak sadar.
METODE PEMBERIAN O2
Metode pemberian O2 dapat dibagi atas 2 teknik, yaitu :
1. Sistem aliran rendah
Teknik sistem aliran rendah diberikan untuk menambah
konsentrasi udara ruangan. Teknik ini menghasilkan FiO2 yang
bervariasi tergantung pada tipe pernafasan dengan patokan
volume tidal pasien. Pemberian O2 sistem aliran rendah ini
ditujukan untuk klien yang memerlukan O2 tetapi masih mampu
bernafas dengan pola pernafasan normal, misalnya klien dengan
Volume Tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 – 20 kali
permenit. Contoh sistem aliran rendah ini adal;ah : (1) kataeter
naal, (2) kanula nasal, (3) sungkup muka sederhana, (4) sungkup
muka dengan kantong rebreathing, (5) sungkup muka dengan
kantong non rebreathing. Keuntungan dan kerugian dari masing-
masing sistem :
a. Kateter nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2
secara kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi
24% - 44%.
Keuntungan
Pemberian O2 stabil, klien bebas bergerak, makan
dan berbicara, murah dan nyaman serta dapat juga
dipakai sebagai kateter penghisap.
Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih
dari 45%, teknik memasuk kateter nasal lebih sulit
dari pada kanula nasal, dapat terjadi distensi
lambung, dapat terjadi iritasi selaput lendir
nasofaring, aliran dengan lebih dari 6 L/mnt dapat
menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan mukosa
hidung, kateter mudah tersumbat.
b. Kanula nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2
kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi O2
sama dengan kateter nasal.
Keuntungan
Pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju
pernafasan teratur, mudah memasukkan kanul
disbanding kateter, klien bebas makan, bergerak,
berbicara, lebih mudah ditolerir klien dan nyaman.
Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari
44%, suplai O2 berkurang bila klien bernafas lewat
mulut, mudah lepas karena kedalam kanul hanya 1
cm, mengiritasi selaput lendir.
c. Sungkup muka sederhana
Merupakan alat pemberian O2 kontinu atau selang seling 5 –
8 L/mnt dengan konsentrasi O2 40 – 60%.
Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari
kateter atau kanula nasal, sistem humidifikasi dapat
ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlobang
besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi
aerosol.
Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari
40%, dapat menyebabkan penumpukan CO2 jika
aliran rendah.
d. Sungkup muka dengan kantong rebreathing
Suatu teknik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi
yaitu 60 – 80% dengan aliran 8 – 12 L/mnt.
Keuntungan
Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka
sederhana, tidak mengeringkan selaput lendir.
Kerugian
Tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika
aliran lebih rendah dapat menyebabkan penumpukan
CO2, kantong O2 bisa terlipat.
e. Sungkup muka dengan kantong non rebreathing
Merupakan teknik pemberian O2 dengan Konsentrasi O2
mencapai 99%
dengan aliran 8 – 12 L/mnt dimana udara inspirasi tidak
bercampur dengan udara ekspirasi.
Keuntungan :
Konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapi 100%,
tidak mengeringkan selaput lendir.
Kerugian
Kantong O2 bisa terlipat.
2. Sistem aliran tinggi
Suatu teknik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak
dipengaruhi oleh tipe, sehingga dengan teknik ini dapat
menambahkan konsentrasi O2 yang lebih tepat dan teratur.
Adapun contoh teknik sistem aliran tinggi yaitu sungkup muka
dengan ventury. Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas
yang dialirkan dari tabung akan menuju ke sungkup yang
kemudian akan dihimpit untuk mengatur suplai O2 sehingga
tercipta tekanan negatif, akibatnya udaraluar dapat diisap dan
aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat
ini sekitas 4 – 14 L/mnt dengan konsentrasi 30 – 55%.
Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan
petunjuk pada alat dan tidak dipengaruhi perubahan pola
nafas terhadap FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat
dikontrl serta tidak terjadi penumpukan CO2.
Kerugian
Kerugian sistem ini pada umumnya hampir sama dengan
sungkup muka yang lain pada aliran rendah.
D. Jump 5 : Merumuskan tujuan pembelajaran
1. Mengapa gejala baru muncul setelah 1 jam?
2. Bagaimana analisis terapi yang diberikan pada skenario?
3. Apa saja jenis-jenis dan gejala keracunan?
4. Berapa dosis terapi inhlasi salbutamol dan arang aktif yang diberikan?
5. Bagaimana hubungan usia pasien dengan gejala yang dialaminya?
6. Apa saja diagnosis banding kasus pada skenario?
7. Bagaimana cara monitoring pasien pada skenario?
E. Jump 6: Mengumpulkan informasi baru
F. Jump 7: melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru
yang diperoleh
1. Bagaimana analisis terapi yang diberikan pada skenario?
Analisis terapi : Rumus kebutuhan oksigen yaitu RR x VT x 20%
ml/menit dimana RR= respiration rate, VT= volume tidal (BBx10/
(takipneu)200 - (dead space)150 x RR. Dalam kasus ini kebutuhan
oksigennya 2,8 lpm selain itu dipertimbangkan juga hasil dari saturasi
oksigennya. Untuk kandungan O2 dalam darah arteri (CaO2) dapat
menggunakan rumus Nunn-Freeman yaitu CaO2 = (Hb x Saturasi O2 x
1,34) + PO2 x 0,003).
2. Apa saja jenis-jenis dan gejala keracunan?
Berdasarkan Bentuk Fisik Racun
Terdapat tiga bentuk, yakni padat, cair dan gas. Pada jenis racun
padat, biasanya tidak terlalu banyak yang terabsorbsi dalam darah.
Bentuk padat biasanya masuk lewat makanan kemudian terlarut dalam
cairan selama dalam proses pencernaan. Jadi, tingkat berat-ringannya
gejala tergantung pada kelarutan zat racun padat ini dalam air. Misalnya
arsen trioksida lebih toksik dalam bentuk granul kecil daripada granul
besar, karena granul kecil lebih mudah larut dalam air.
Racun dalam bentuk cair dapat diabsorbsi lewat ingesti maupun
secara langsung melalui kulit. Sedangkan racun dalam bentuk gas
masuk ke dalam tubuh melalui proses inhalasi. Partikel gas dapat
berupa debu, asbes, karbon moniksida, dan sebagainya.
Berdasarkan Sifat Kimiawi Racun
Racun dapat diklasifikasikan menjadi logam dan nonlogam, organik
maupun anorganik, atau bersifat asam maupun basa. Jenis logam
biasanya mengalami proses eliminasi dari tubuh dalam jangka waktu
yang lamadan biasanya terakumulasi dalam tubuh dalam jumlah besar
daripada racun jenis non logam. Racun jenis logam menyebabkan
kejadian keracunan bila terjadi paparan cukup lama (kronis).
Zat organik lebih mudah larut dalam lemak, oleh karena itu biasanya
racun organik lebih mudah melewati membran sel yang kaya lemak
daripada racun anorganik. Pada akhirnya, zat organik lebih banyak
diabsorbsi secara general daripada zat anorganik.
Klasifikasi asam-basa juga penting, karena keduanya merupakan
substansi yang korosif pada mata, kulit, dan gastrointestinal. Zat racun
yang bersifat basa biasanya dapat melakukan penetrasi lebih dalam
daripada zat asam, sehingga menimbulkan kerusakan jaringan yang
lebih parah.
Berdasarkan Target Organ
Dapat berupa neurotoksik, kardiotoksik, hepatotoksik, nefrotoksik,
pulmotoksik, dan sebagainya.
Gejala keracunan
Gejala keracunan dapat terjadi sekitar 8-24 jam setelah
mengkonsumsi pangan yang tercemar bentuk vegetatif bakteri dalam
jumlah besar. Di dalam usus, sel-sel vegetatif bakteri akan
menghasilkan enterotoksin yang tahan panas dan dapat menyebabkan
sakit. Gejala yang timbul berupa nyeri perut, diare, mual, dan jarang
disertai muntah. Gejala dapat berlanjut selama 12-48 jam, tetapi pada
kasus yang lebih berat dapat berlangsung selama 1-2 minggu
(terutama pada anak-anak dan orang lanjut usia).
Keracunan Merkuri
Keracunan Mercury (juga dikenal sebagai hydrargyria atau
mercurialism) adalah penyakit yang disebabkan oleh paparan merkuri
atau senyawanya. Mercury (simbol kimia Hg) merupakan logam berat
yang terjadi dalam beberapa bentuk, yang semuanya dapat
menghasilkan efek racun dalam dosis cukup tinggi. oksidasi nol Its Hg0
negara ada sebagai uap atau sebagai logam cair, negara mercurous yang
Hg + ada sebagai garam anorganik, dan merkuri negaranya Hg2 + bisa
terbentuk baik garam anorganik atau senyawa organomercury; tiga
kelompok bervariasi dalam efek. Keracunan merkuri dapat terjadi
secara kronis atau akut, namun reaksi sistemik pada akut sangat serius,
sehingga gambaran pada oral tidak bisa disepelekan.
Gambaran klinis umum:
Gangguan pada gastric
Diare
Insomnia
Sakit kepala
Mental depresi
Gambaran klinis oral:
Ptyalism
Rasa logam dalam mulut karena merkuri tereksresi
dalam saliva
Kelenjar liur membengkak
Lidah membesar dan terasa nyeri
Gingiva hyperemia dan bengkak
Mukosa mulut cenderung terjadi ulserasi pada gingiva,
palatum dan lidah.
Gigi goyang, bahkan sampai lepasnya gigi (Shafer et al,
1983).
3. Berapa dosis terapi arang aktif yang diberikan?
Dosis pemberian arang aktif adalah 50-100 gram untuk orang
dewasa dan 1-2 gram/kgBB pada anak-panak.
4. Bagaimana hubungan usia pasien dengan gejala yang dialaminya?
Pada orang tua, angka morbiditas dan mortalitas akibat keracunan
lebih tinggi. Gejala yang muncul pun akan lebih berat. Hal ini terjadi
akibat penurunan imunitas tubuh, penurunan produksi asam lambung,
penurunan motilitas usus, kekurangan gizi, kurang olahraga, dan
penggunaan antibiotik yang berlebihan.
5. Apa saja diagnosis banding kasus pada skenario?
Diagnosis banding anatara lain:
Keracunan makanan
Reaksi anafilaktoid
Syok anafilaktik
6. Bagaimana cara monitoring pasien pada skenario?
Monitoring pasien berhubungan dengan evaluasi terapi yang
diberikan seperti pemberian oksigenasi yaitu dievaluasi dengan analisa
gas darah untuk mengetahui penilaian terapi oksigen yang telah
diberikan.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario dituliskan bahwa pasien mengeluh nyeri kepala, mulut
terasa terbakar dan terasa logam, sesak nafas, nyeri perut, mual, muntah, 1
jam setelah makan masakan ikan tuna dan minum minuman keras. Hal ini
merupakan gejala dari keracunan makanan yang dikonsumsi oleh
penderita. Keracunan makanan yang kemungkinan besar disebabkan oleh
masakan ikan tuna. Kandungan zat dari ikan tuna yang dapat bersifat
toksik apabila dikonsumsi secara berlebihan yaitu merkuri dan histamin.
Keracunan merkuri memiliki gambaran klinis seperti gangguan pada
gastric, sakit kepala, rasa logam dalam mulut karena merkuri terekskresi
dalam saliva dan mukosa mulut cenderung terjadi ulserasi pada ginggiva,
palatum dan lidah sedangkan gejala keracunan dari histamin sendiri yaitu
rasa mual dengan atau tanpa muntah, rasa terbakar pada tenggorokkan,
bibir bengkak, sakit kepala, muka dan leher kemerah-merahan, kulit gatal
dan badan lemas. Keracunan makanan tidak mengarah kearah minuman
keras yang kemungkinan disebabkan oleh konsumsi alkohol karena gejala
yang muncul tidak khas pada keracunan alkohol seperti frekuensi muntah
sering, adanya bau alkohol dan pupil mata dilatasi.
Pemeriksaan fisik didapatkan kondisi delirium, tekanan darah 80/60
mmHg, nadi 120x/menit isi dan tekanan kurang, RR 28x/menit, suhu
36,9oC dan akral yang mulai dingin. Hal ini menandakan pasien
mengalami syok, dugaannya syok anafilaktik, karena terjadi setelah pasien
mengkonsumsi makanan ikan tuna yang mengandung histamin. Namun
syok anafilaktik pada kasus ini tidak disebabkan oleh faktor imunologik
namun merupakan reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid yang merupakan
reaksi sistemik umum yang melibatkan penglepasan mediator oleh sel
mast yang terjadi tidak melalui IgE. Secara klinis reaksi ini menyerupai
reaksi hipersensitivitas tipe I seperti pada kasus ini yaitu adanya rash
eritematosus di wajah dan dada, wheezing karena efek dari bronkospasme
yang disebabkan oleh histamin pada ikan tuna.
Pemeriksaan lab yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah
keracunan disebabkan oleh alkohol karena alcohol dapat mengakibatkan
perdarahan saluran pencernaan yang tampak pada pemeriksaan lab darah
adanya penurunan kadar hemoglobin, namun dalam kasus ini masih dalam
batas normal yaitu diatas 12 gr%. Pemeriksaan kadar darah lainnya seperti
hematokrit 40% (N), leukosit 10.600/ul meningkat akibat adanya reaksi
inflamasi, trombosit 375.000/ul (N). Pemeriksaan urin juga dilakukan
untuk melihat juga apakah ada kemungkinan adanya keracunan dari
alkohol yaitu gagal ginjal akut, namun dalam kasus ini ureum 43 mg/dl
kompensasi dari adanya kekurangan energi akibat gejala yang ditimbulkan
seperti muntah dan kreatinin 1,3 mg/dl (N), kadar natrium 130 mmol/L
(N), kalium 3,3 mmol/L adanya penurunan akibat muntah dari gejala
klinisnya. Saturasi oksigen 90% menandakan adanya hipoksemia dan
merupakan indikasi pemberian terapi oksigen dengan aliran rendah pada
kasus ini diberikan nasal kanul 3 lpm (liter per menit). Infus ringer laktat
tetesan cepat diberikan untuk menggantikan cairan yang hilang akibat
muntah dan mempermudah pemberian obat melalui intravena yaitu injeksi
adrenalin untuk mengatasi syok anafilaktik dan injeksi difenhidramin 1
ampul sebagai antihistamin yang merupakan antidotum keracunan
histamin selain itu juga merupakan salah satu tata laksana syok anafilaktik
derajat sedang.
Inhalasi salbutamol merupakan suatu bronkodilator untuk mengatasi
bronkospasme yang dialami pasien, sedangkan arang aktif diberikan
bertujuan sebagai penyerap racun yang ada ditubuh utamanya saluran
cerna yaitu lambung dan usus. Pasien dirawat inap bertujuan untuk
monitoring dari terapi yang telah diberikan yaitu adakah komplikasi dari
terapi contoh pada pemberian terapi oksigen yang jika berlebihan dapat
mengakibatkan keracunan dan terapi cairan yang jika berlebihan dapat
mengakibatkan edema paru selain itu perlu adanya pemeriksaan tambahan
lainnya untuk memeriksa kemajuan dari terapi seperti pulse oxymetri
untuk mengetahui saturasi oksigen dan analisis gas darah untuk
memberikan gambaran tentang keseimbangan asam-basa. Jadi pada kasus
ini gejala yang ditimbulkan bukan karena reaksi alergi namun merupakan
suatu intoksikasi makanan yaitu keracunan yang diakibatkan oleh merkuri
atau histamin yang terdapat pada ikan tuna yang dikonsumsi pasien.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pada skenario pasien mengalami keracunan makanan. Keracunan
kemungkinan besar disebabkan oleh masakan ikan tuna yang
dikonsumsi. Kandungan zat dari ikan tuna yang dapat bersifat toksik
apabila dikonsumsi secara berlebihan yaitu merkuri dan histamin.
2. Keracunan makanan tidak mengarah kearah minuman keras yang
kemungkinan disebabkan oleh konsumsi alkohol karena gejala yang
muncul tidak khas pada keracunan alkohol seperti frekuensi muntah
sering, adanya bau alkohol dan pupil mata dilatasi.
3. Dari hasil pemeriksaan fisik, pasien mengalami syok anafilaktik,
karena terjadi setelah pasien mengkonsumsi makanan ikan tuna yang
mengandung histamin. Namun syok anafilaktik pada kasus ini tidak
disebabkan oleh faktor imunologik namun merupakan reaksi
pseudoalergi atau anafilaktoid.
4. Pasien perlu dirawat inap untuk monitoring terapi yang diberikan.
B. Saran
1. Pelaksanaan diskusi tutorial harus dikembalikan pada problem-based
learning dan bukan berorientasi pada problem solving agar hal yang
dipelajari mahasiswa dari skenario lebih luas dan tidak hanya terpaku
pada pemecahan masalah di skenario.
2. Setiap mahasiswa terutama pada pertemuan sesi kedua tutorial
sebaiknya masing-masing telah mencari sumber pustaka, agar diskusi
dapat berjalan dengan hidup dan antar mahasiswa dapat terjadi
pertukaran ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Arisman (2009).Keracunanmakanan: bukuajarilmugizi. Jakarta: EGC; pp 2-15. Niruri R, Wirasuta IMAG (2006). Toksikologiumum.Jimbaran: FMIPA UniversitasUdayana
Badan POM Siker Informasi Keracunan. Pedoman Penatalaksanaan Keracunan Untuk Rumah Sakit. Jakarta: Badan POM
Birkun, Alexei.2014. Histamine Toxicity from Fish. Medscape
Budiana. 2009. Pengaruh
Alkohol. http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2009/bagaimana-
alkohol-mempengaruhi -tubuh-anda/ diakses pada tanggal 17 Desember
2011.
Cunha JP. 2013. Poisoning. emedicinehealth.
http://www.emedicinehealth.com/poisoning/page9_em.htm - Diakses 10
Juni 2014
Christanto A, Tedjo O (2011). Manifestasi Alergi Makanan pada Telinga, Hidung
dan Tenggorok. Jakarta: CDK 187, 38:6, pp: 410-411
Food Poisoning. http://emedicine.medscape.com/article/175569-
overview#aw2aab6b2b5aa. diakses 5 Juni 2014
Gresham C. 2013. Seafood Toxicity. Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/1011549-overview#showall –
Diakses 10 Juni 2014
Harahap, Ikhsanudin A. 2004. Terapi Oksigen dalam Asuhan Keperawatan.
Universitas Sumatera Utara.
James E F Reynolds and Martindale. 1996. The Extra Pharmacopoeia Thirty
first edition. London: Roya Pharmaceutical Society
Katzung, B.G. 2004. Farmakologi: Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika.
Klaassen, CD. Poison. Diunduh dari:
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/466463/poison/28077/Classifi
cation-of-a-poison
Mc Graw Hill Lange. Poisoning & Drug Overdose Kent R. Olson fifth edition. by
the Faculty, Staff, and Associateds of the California Poison Control
System.
Shafer W. Hine M. Levy B. A Textbook of Oral Pathology. 4th Edition. W.B.
SaundersCompany. Philadelpia : 1983