emulsi.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Emulsi adalah sistem dua fase , yang salah satu cairannya terdispersi dalam
cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Jika minyak yang merupakan fase
terdispersi dan larutan air merupakan fase pembawa, sistem ini disebut emulsi
minyak dalam air. Sebaliknya jika air atau larutan air yang merupakan fase terdispersi
dan minyak atau bahan seperti minyak merupakan fase pembawa, sistem ini disebut
emulsi air dalam minyak. Emulsi dapat distabilkan dengan penambahan bahan
pengemulsi yang mencegah koalesensi, yaitu penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan
besar dan akhirnya menjadi satu fase tunggal yang memisah . Bahan pengemulsi
(surfaktan) menstabilkan dengan cara menempati antar permukaan antara tetesan dan
fase eksternal, dan membuat batas fisik disekeliling partikel yang akan berkoalesensi .
Surfaktan juga mengurangi tegangan antar permukaan antara fase, sehingga
meningkatkan proses emulsifikasi selama pencampuran. ( FI edisi IV, 1995 )
1.2 Prinsip
Prinsip pembuatan emulsi yang didasarkan pada sistem dua fase , yang salah satu
cairannya terdispersi dalam cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Dimana
pada tahap awal dalam pembuatan suatu emulsi dilakukan pemilihan zat
pengemulsi yang mempunyai kualitas trtentu agar tidak mengganggu stabilitas
atau efikasi dari zat terapeutik.
1.3 Tujuan
- Mengetahui bentuk sediaan emulsi
- Mengetahui bahan-bahan pembantu untuk sediaan emulsi
- Mengetahui dan memahami cara pembuatan sediaan emulsi
- Mengetahui evaluasi emulsi
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Emulsi
Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat,
terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfaktan
yang cocok (Depkes RI, 1979).
Emulsi adalah suatu disperse dimana fase terdispers terdiri dari bulatan –
bulatan kecil zat cair yang terdistribusi ke seluruh pembawa yang tidak tercampur
(Ansel, 2005).
Zat pengemulsi: Gelatin, Gom akasia, tragakan, sabun, senyawa amonium
kwartener, senyawa kolesterol, surfaktan atau emulgator lain yang cocok. Untuk
mempertinggi kestabilan dapat ditambahkan zat pengemulsi zat pengental, misalnya
tragakan, tilosa, natrium karboksimetilselulosa (Depkes RI, 1979).
Zat pengawet, emulsi sebaiknya mengandung pengawet yang cocok.
Penyimpanan, kecuali dinyatakan lain, simpan dalam wadah tertutup baik, di tempat
sejuk. Penandaan, Pada etiket harus juha tertera “KOSOK DAHULU” (Depkes RI,
1979).
2.2 Tujuan emulsi dan emulsifikasi
Secara farmasetik, proses emulsifikasi memungkinkan ahli farmasi dapat
membuat suatu preparat yang stabil dan rata dari campuran dua cairan yang saling
tidak bias bercampur. Dalam hal ini obat diberikan dalam bentuk bola – bola kecil
bukan dalam bulk. Ukuran partikel yang diperkecil dari bola – bola minyak dapat
mempertahankan minyak tersebut agar lebih dapat dicernakan dan lebih mudah di
absorbsi, atau jika bukan dimaksudkan untuk itu, tugasnya juga akan lebih efektif,
misalnya meningkatkan efikasi minyak mineral sebagai katartik bila diberikan dalam
bentuk emulsi (Ansel, 2005).
2.3 Pengunaan emulsi
2
Emulsi digunakan untuk pemakaian dalam dan pemakaian luar. Pemakaian
dalam meliputi per oral atau per injeksi, sedangkan pemakaian luar digunakan pada
kulit atau membran mukosa seperti lotion, liniment, cream, dan salep (Anief, 1986).
2.4 Tipe emulsi
Ada dua macam tipe emulsi yaitu emulsi M/A di mana tetes minyak
terdispersi ke dalam fase air, dan tipe A/M di mana fase intern adalah air dan fase
ekstern adalah minyak. Dalam titik peralihan terjadinya inversi dikenal tipe emuls
lain yaitu : M/AM atau A/MA, disebut tipe emulsi ganda.
Tipe emulsi di tentukan oleh jenis emulgator yang dipakai, bila emulgator
larut atau mudah dibasahi dengan air akan terbentuk emulsi tipe M/A dan bila mudah
larut atau mudah dibasahi dengan minyak akan terbentuk emulsi tipe A/M (Anief,
1986).
2.5 Zat pengemulsi
Tahap awal dalam pembuatan suatu emulsi adalah pemilihan zat pengemulsi.
Agar berguna dalam preparat farmasi, zat pengemulsi harus mempunyai kualitas
tertentu. Salah satunya, ia harus dapat dicampurkan dengan bahan formulatif lainnya
dan tidak boleh mengganggu stabilitas atau efikasi dari zat terapeutik. Ia harus stabil
dan tidak boleh terurai dalam preparat. Zat pengemulsi harus tidak toksik pada
penggunaan yang dimaksud dan jumlahnya yang dimakan oleh pasien. Juga ia harus
berbau, rasa dan warna lemah. Barangkali yang paling penting adalah kemampuan
dari zat pengemulsi tersebut untuk membentuk emulsi dan menjaga stabilitas dari
emulsi tersebut agar tercapai shelf life dari produk tersebut. Diantara zat pengemulsi
dan zat penstabil untuk system farmasi adalah sebagai berikut:
1. Bahan – bahan karbohidrat seperti zat – zat yang terjadi secara alami: akasia
(gom), tragakan, agar, kondrus dan pectin. Bahan – bahan ini membentuk
koloida hidrofilik bila ditambahkan kedalam air dan umumnya menghasilkan
emulsi m/a.
2. Zat – zat protein seperti : gelatin, kuning telur dan kasein. Zat – zat ini
menghasilkan emulsi m/a. kerugian gelatin sebagai suatu zat pengemulsi
3
adalah bahwa emulsi yang disiapkan dari gelatin seringkali terlalu cair dan
menjadi lebih cair pada pendiaman.
3. Alcohol dengan bobot molekul tinggi seperti: stearil alcohol, setil alcohol, dan
gliseril monosteara. Bahan – bahan ini terutama digunakan untuk zat
pengental dan penstabil untuk emulsi m/a dari lotio dan salep tertentu yang
digunakan sebagai obat luar.
4. Zat – zat pembasa, yang bisa bersifat kationik, anionic, dan monionik. Zat –
zat ini mengandung gugus – gugus hidrofilik dan lipofilik, dengan bagian
lipofilik dari molekul menyebabkan aktivitas permukaan dari molekul
tersebut.
5. Zat padat yang terbagi halus, seperti: tanah liat koloid termasuk bentoit,
magnesium hdroksida, dan aluminium hidroksida ini umunya membentuk
emulsi m/a bila bahan yang tidak larut ditambahkan ke fase air jika ada
sejumlah volume fase air lebih besar daripada fase minyaknya (Ansel, 2005).
Volume relative dari fase dalam dan fase luar suatu emulsi adalah penting,
tanpa melihat tipe zat pengemulsi yang digunakan. Jika konsentrasi dalam dari suatu
emulsi meningkat, terjadi peningkatan viskositas emulsi sampai suatu titik tetrtentu,
sesudah itu viskositas berkurang dengan tajam. Pada titik ini emulsi telah mengalami
inverse yakni telah berubah dari suatu emulsi m/a ke emulsi a/m, atau sebaliknya
(Ansel, 2005).
2.6 Cara menentukan tipe emulsi :
Dapat dilakukan dengan beberapa cara
1. Metode konduktivitas listrik
Alat yang dipakai terdiri kawat dan stop kontak, kawat dengan tahanan 10 K
½ watt, lampu neon ¼ watt, lampu neon ¼ watt dihubungkan scara serri.
Elektroda dicelupkan dalam cairan emulsi, bila neon menyala, tipe emulsi
M/A, bila neon mati tipe emulsi A/M.
2. Metode pengenceran fase
4
Dilihat di bawah mikroskop, bila emulsi ditetesi air segera terencerkan, maka
tipe emulsi M/A. Bila tidak terencerkan tipe emulsi adalah A/M.
3. Metode memberi warna
Dilihat dibawah mikroskop, bila emulsi ditambah larutan sodan III (larut
dalam minya), terjadi warna merah, maka tipe emulsi A/M. bila ditambah
larutan metilen biru (larut dalam air) terjadi air warna biru maka tipe emulsi
adalah M/A (Anief, 1986).
Absorpsi emulsi obat
Emulsi obat dalam basis dapat menurunkan kecepatan absorpsi melalui kulit
dan membran mukosa, jadi terjadi efek “prolonged action” (Anief, 1986).
Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilnya emulsi adalah
1. Ukuran partikel
2. Viskositas
3. Rasio vase volume (efek volume dari Ostwald)
4. Muatan listrik pada lapisan ganda listrik
Ketidakstabilan emulsi untuk farmasi dapat digolongkan sebagai berikut.
1. Flokulasi dan “creaming”
2. Koalesen dan pecahnya emulsi (breaking = cracking)
3. Inversi
1. Creaming
Adalah terjadinya flokulasi dan konsentrasi dari butir-butir tetesan dari fase intern.
Atau terpisahnya emulsi menjadi dua lapisan yang satu mengandung butir-butir
tetesan (fase dispersi) lebih banyak dari pada lapisan yang lain dibanding terhadap
emulsi mula-mula.
“Creaming” adalah proses yang bersifat reversibel, bila digojok perlahan-lahan
butir-butir tetesan akan terdispersi homogen kembali.
2. Koalesen dan cracking
5
Adalah pecahnya emulsi, karena film yang meliputi partikel sudah rusak dan butir
minyak akan koalesen.
Pecahnya emulsi dapat terjadi secara :
a. Kimia, misalkan penambahan CaO atau CaCl eksikatus
b. Fisika, misalkan pemanasan, penyaringan, pendinginan, pemutaran dengan
alat sentrifugal.
3. Inversi
Peristiwa berubahnya sekonyong-konyong tipe emulsi A/M menjadi M/A dan
sebaliknya.
Nilai HLB, adalah nilai kesetimbangan hidrofil dan lipofil suatu surfaktan, HLB =
“Hydrophiele- lipophiele Balance”
Hubungan nilai HLB dan tipe sistem :
3-6 A/M emulgator
7-9 Zat pembasah (wetting agent)
8-18 M/A emulgator
13-15 Zat pembersih (detergent)
15-18 Solubilizer
Tiap molekul surfaktan ada bagian yang bersifaat hidrofil (suka air) dan ada
bagian yang bersifat lipofil (suka minyak). Suatu nilai kesetimbangan tertentu antara
kedua bagian, akan menentukan tipe dan fungsi s.a.a.
Makin rendah nilai HLB surfaktan akan makin lipofil surfaktan tersebut,
sedang makin tinggi nilai HLB surfaktan akan makin hidrofil surfaktan tersebut
(Anief, 1986).
Atlas surfaktan Nilai HLB
Tween 20 16,7
Tween 40 15,6
Tween 80 15,0
Tween 60 14,9 Hidrofil
Tween 85 11,0
6
Tween 65 10,5
Arlacel atau span 20 8,6
Arlacel atau span 60 4,7
Arlacel atau span 80 4,3 Lipofil
Arlacel 83 3,7
Peralatan mekanik untuk membuat emulsi :
1. Pengaduk mekanis
2. Homogenizer
3. Colloid Mills
4. Ultrasonifiers (Anief, 1986).
Preservatif yang digunakan dalam emulsi farmasi :
1. Asam benzoat
2. Asam sorbat
3. Nipagin dan nipasol
4. Fenol, kresol, khlorbutanol
5. Formaldehid
6. Benzalkonii Chlorida, Cetil Piridini Chlorida
7. Fenil merkuri asetas
8. Vanilin
9. Trichloro salisilamid (Anief, 1986).
Antioksidan yang digunakan dalam emulsi farmasi :
1. Asam gallat
2. Propil gallat
3. Asam askorbat
4. L- tocopherol
5. Hidroksi anisol butilat
6. Asam sitrat (Anief, 1986).
7
2.7 Pembuatan emulsi
Tujuan pertama dalam pengemulsian adalah mereduksi fase intern menjadi
butir-butir tetesan kecil. Hal ini dapat dilakukan dengan tenaga luar yang merupakan
sumber energi dan energi ini diperoleh baik dengan kerja tangan atau mesin (Anief,
1986).
Ada beberapa metode dalam membuat emulsi, yaitu :
1. Metode gom basah (Metode Inggris)
Cara ini cocok untuk pembuatan emulsi dengan mucilagines, atau gom
yang dilarutkan sebagai emulgator, seperti kuning telur, chondrus dan
metilselulose. Cara pembuatan dilakukan seperti berikut: mucilago yang
kental dicampur dengan sedikit air, lalu minyak dan air sedikit demi sedikit
ditambahkan dengan diaduk cepat-cepat, bila semua minyak sudah masuk,
baru sisa air ditambahkan sampai volume yang dikehendaki (Anief, 1986).
2. Metode gom kering
Metode ini khusus untuk emulsi dengan emulgatoe gom kering. Dari
metode ini dikenal metode Baudrimont yaitu 10 bagian minyak ditambah 5
bagian gom kering (p.g.a) dan ditambah air seb anya 1,5 kali jumlah bagian
minyak dan gom kering, dibuat korpus emuls lalu diencerkan dengan air
samapai jumlah bagian tertentu (Anief, 1986).
Selain itu dikenal pila metode kontinental yaitu mula-mula dibuat
korpus emulsi dengan cara 4 bagian minyak lemak + 1 bagian gom diaduk
sampai tercampur benar, lalu ditambah 2 bagian air semuanya diaduk sampai
terjadi korpus emuls. Tambahkan sirop dan sisa air sedikit demi sedikit
sambil diaduk (Anief, 1986).
3. Metode HLB dengan surfaktan.
Dihitung dulu HLB yang diperlukan, lalu menyusun surfaktan yang
mempunyai HLB yang diperlukan. Minyak ditambah surfaktan ditambah
sebagian air diaduk dule dengan mixer atau dalam mortir dan sisa air
ditambahkan sedikit demi sedikit sambil diauk. Setelah itu emuls dimasukkan
ke dalam alat homogenizer atau colloid mill untuk memperkecil butir tetesan
8
fase inter. Jumlah surfaktan yang digunakan adalah 10-20% fase minyak
(fase inter) (Anief, 1986).
Umumnya masing – masing zat pengemulsi mempunyai suatu bagian
hidrofilik dan suatu bagian lipofilik dengan salah satu diantaranya lebih atau kurang
dominan dalam mempengaruhi dengan cara yang telah diuraikan untuk membuat tipe
emulsi. Suatu metode telah dipikirkan dimana zat pengemulsi dan zat pengakitif
permukaan dapat digolongan susunan kimianya sebagai keseimbangan hidrofi –lipofil
atau HLB nya. Dengan metode ini tiap zat mempunyai harga HLB atau angka yang
menunjukan polaritas dari zat tersebut (Ansel, 2005).
9
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat
Mortir dan stamfer
Sudip
Spatula
Timbangan
Gelas arloji
Cawan porselen
Kertas perkamen
Beaker glass
Anak timbangan
Gelas ukur
Pipet tetes
3.2 Bahan
Oleum Jecoris Aselli
Oleum Cinnamon
Pulv. Gummi Arabici
Natrium Hypophospat
Gliserin
Aqua
3.3 Formula
R/ Oleum Jecoris Aselli 40
Oleum Cinnamon 0,1
Pulv. Gummi Arabici 15
Natrium Hypophospat 0,5
Gliserin 10
10
Aqua 34
m.f emulsi
S.3.dd.C
#
Pro : Khairani (10 th)
3.4 Penimbangan
Oleum Jecoris Aselli : 40 g
Oleum Cinnamon : 0,1 g = 100 mg
Pulv. Gummi Arabici : 15 g
Natrium Hypophospat : 0,5 g = 500 mg
Gliserin : 10 g
Aqua : 34 g
3.5 Prosedur
a. Pembuatan
Dimasukkan kedalam lumpang Pulv. Gummi Arabici dan digerus halus,
kemudian ditambahkan Oleum Jecoris Aselli lalu digerus sampai semua Pulv
Gummi Arabici terdispersi didalam Oleum Jecoris Aselli, kemudian
tambahkan dengan segera Oleum Cinnamon.
Ditambahkan Aqua sekaligus sebanyak satu setengah kali dari jumlah Pulv.
Gummi Arabici lalu digerus hingga homogen.
Didalam lumpang yang berbeda, dimasukkan Natrium Hypophospat dan
digerus bersama dengan Gliserin, lalu tambahkan ke dalam corpus emulsi
kemudian ditambahkan sisa Aqua dan dihomogenkan.
3.6 Evaluasi
3.6.1 Penentuan Tipe Emulsi
a. Pengenceran
11
Dimasukkan emulsi kedalam beaker glass, lalu diencerkan dengan air kemudian
diguncang atau diaduk. Diamati apakan terjadi pemisahan antara air dengan
emulsi.
b. Pengenceran dengan menggunakan Metilen Blue
Diletakkan 3-4 tetes emulsi di atas objek glass, kemudian ditambahkan beberapa
tetes larutan meti biru. Dilihat apakah terbentuk warna biru yang homogeny atau
terbentuk bintik-bintik bewarna biru.
3.6.2 Ketidakstabilan Emulsi
Dimasukkan 50 ml emulsi kedalam gelas ukur lalu ditutup dengan kertas
perkamen dan diikat dengan benang wol. Dibiarkan selama 7 hari dan dilihat
apakah terjadi up ward creaming/down ward creaming.
12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Diperolah sediaan emulsi yang stabil dengan tipe minyak dalam air, Evaluasi
sediaan yang dilakukan :
1.Pengujian tipe emulsi
Pengujian tipe emulsi dilakukan dengan penambahan zat warna metil biru,
yakni dengan mengambil sedikit massa emulsi ke atas objek glass, kemudian
tetesi dengan metil biru. Prinsip: Metil biru larut dalam air.
Hasil Pengamatan Metil biru larut dalam emulsi, artinya tipe emulsi yang
diperoleh adalah emulsi tipe m/a.
2.Up ward creaming/down ward cream
Up ward creaming/down ward cream dilakukan dengan mengamati emulsi
yang telah didiamkan selama satu minggu apakah terjadi pemisahan massa
terdispersa ke atas atau ke arah bawah.
Hasil Pengamatan terjadi down ward cream dengan volume 4 ml.
4.2 Perhitungan : -
13
4.3 Pembahasan
Dari hasil percobaan yang dilakukan yakni pembuatan sediaan emulsi,
setelah dievaluasi diperoleh hasil emusli tipe minyak dalam air, dimana evaluasi
penentuan tipe emulsi dengan menggunakan pewarna metilen blue menunjukan
warna yang homogen. Menurut teori minyak dalam air adalah emulsi yang terdiri atas
butiran minyak yang tersebar atau terdispersi kedalam air. minyak sebagai fase
internal dan air sebagai fase eksternal (Syamsuni, Apt). Hasil evaluasi kestabilan di
peroleh emulsi yang tidak stabil yakni memisah.
Untuk emulsi yang diberikan secara oral, emulsi memungkinkan pemberian
obat yang harus dimakan tersebut mempunyai rasa yang lebih enak walaupun yang
diberikan sebenarnya minyak yang tidak enak rasanya, dengan menambahkan
pemanis dan pemberi rasa pada pembawa airnya sehingga mudah dimakan dan
ditelan sampai ke lambung. (Ansel, 1989). Berdasarkan teori diatas emulsi yang
dibuat dalam percobaan ini adalah emulsum olei jecoris yang bau dan rasanya tidak
enak itulah sebabnya diberi ol.cinnamon dan sedian ini dibuat dalam bentuk emulsi
supaya dapat diminum. Berdasarkan hasil evaluasi Up ward creaming/down ward
creaming dilakukan dengan mengamati emulsi yang telah disiamkan selama satu
minggu, hasil pengamatan menunjukan emulsi tersebut membentuk down word
creaming (pemisahan massa ke arah bawah) dengan volume 5,6 ml. Artinya, fase
terdispersa dari emulsi memiliki bobot jenis yang lebih besar daripada fase
pendispersa.
14
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
- Tipe emulsi yang dibuat dalam praktikum ini adalah emulsi tipe m/a.
- Bahan –bahan pembantu yang dapat digunakan untuk sediaan emulsi adalah
emulgator, koringensia, dan pengawet.
- Pembuatan emulsi yang dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu metode GOM
kering, metode GOM basah dan metode botol.
- Evaluasi emulsi dapat dilakukan dengan cara sedimentasi rasio, up ward
creaming/down ward creaming, dan dengan penambahan zat warna seperti
metal biru dan sudan 3.
5.2 Saran
Disarankan kepada praktikan untuk melakukan penimbangan dengan teliti
pada setiap bahan obat dan bahan tambahan.
Dharapkan kepada praktikan agar lebih teliti dalam mencampur bahan-bahan
yang diemulsikan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. (1986). Ilmu Farmasi. Jakarta : Ghalia Indonesia. Halaman 95-99
Ansel, Howard. C. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Jakarta : Universitas Indonesia. Hal : 354 – 363.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia Edisi 3. Jakarta : Depkes RI. Halaman 32
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Depkes RI.
Syamsuni. (2007). Ilmu Resep. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.
Howard C. Ansel, (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Jakarta: UI- Press.
16