endometriosis.docx
TRANSCRIPT
EndometriosisI. Definisi
Endometriosis didefinisikan sebagai adanya jaringan endometrium yang tumbuh diluar dari
jaringan uterus. Daerah yang paling sering terkena adalah organ pelvis dan peritoneum,
walaupun daerah lain bisa terkena. Endometriosis dapat muncul, namun sangat jarang, pada
wanita postmenopause, dan biasanya terjadi pada wanita usia reproduktif. Manifestasi klinisnya
dapat berupa lesi, biasanya didapatkan pada permukaan peritoneum dari organ reproduksi, tetapi
dapat juga muncul didaerah mana saja di tubuh wanita. Ukuran dari lesi sangat bervariasi mulai
dari mikroskopik hingga massa invasive yang luas yang mengikis bagian dalam organ dan
menyebabkan perlengketan luas. Pada beberapa kasus endometriosis dapat berupa asimptomatik,
atau dapat menimbulkan gejala nyeri pinggang dan infertilitas.1
II. Epidemiologi
Insiden endometriosis sulit untuk dinilai, kebanyakan wanita dengan penyakit ini seringkali
tanpa gejala, dan modalitas pencitraan memiliki sensitivitas rendah untuk diagnosis. Wanita
dengan endometriosis tidak menunjukkan gejala, subfertile, atau menderita berbagai tingkat
nyeri panggul. Metode utama dari diagnosis adalah laparoskopi, dengan atau tanpa biopsi untuk
diagnosis histologis (Kennedy, 2005; Marchino, 2005). Dengan menggunakan standar ini,
peneliti telah melaporkan kejadian tahunan pembedahan endometriosis didiagnosa menjadi 1,6
kasus per 1.000 perempuan berusia antara 15 dan 49 tahun (Houston, 1987). Pada wanita tanpa
gejala, prevalensi endometriosis berkisar 2-22 persen, tergantung pada populasi yang diteliti
(Eskenazi, 1997; Mahmood, 1991; Moen, 1997). Namun, karena kaitannya dengan infertilitas
dan nyeri pelvis, endometriosis terutama lebih menonjol pada sub-populasi perempuan dengan
keluhan ini. Pada wanita subur, prevalensi telah dilaporkan antara 20 sampai 50 persen dan pada
mereka dengan nyeri panggul, 40 sampai 50 persen.2
Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini terjadi peningkatan angka kejadian.
Angka kejadian antara 5-15 % dapat ditemukan di antara semua operasi pelvic. Endometriosis
jarang terjadi pada orang negro, dan lebih sering didapatkan pada wanita-wanita dari golongan
sosio-ekonomi tinggi. Yang menarik perhatian adalah bahwa endometriosis lebih sering
ditemukan pada wanita yang belum menikah pada usia muda, dan yang tidak mempunyai banyak
anak. Rupanya fungsi ovarium secara klinis yang terus menerus tanpa diselingi kehamilan,
memegang peranan dalam terjadinya endometriosis. Meskipun endometriosis dikatakan penyakit
wanita usia reproduksi, namun telah ditemukan pula endometriosis pada usis remaja dan
pascamenopause. Ditemukan endometriosis pada pascamenopause menunjukkan bahwa selain
estrogen, steroid jenis lain seperti androgen atau kortikosteroid juga ikut berperan terhadap
tumbuhnya endometriosis. Oleh karena itu, setiap nyeri haid yang terjadi pada usia remaja
maupun pada usia menopause perlu dipikirkan adanya endometriosis.3
Pada endometriosis minimal ringan angka kehamilan cukup tinggi. Pemberian
medrokisprogesteron asetat tanpa pemicu ovulasi didapatkan angka kehamilan sebanyak 70%,
pemberian danazol sebanyak 65% dan pemberian analog GnRH sebanyak 80%. Yang menjadi
masalah adalah pada endometriosis sedang sampai berat, dimana pada stadium ini angka
kehamilan sangat rendah. Agar mendapatkan angka kehamilan tinggi, maka dianjurkan
melakukan terapi tiga tahap yaitu laparoskopi diagnostic, pemberian analog GnRH 3-6 bulan,
dan laparoskopi operatif. Selanjutnya dapat diberikan obat-obat pemicu ovulasi seperti klomifen
sitrat, atau hormone gonadotropin.4
III. Anatomi Uterus
Uterus adalah suatu struktur otot yang cukup kuat, bagian luarnya ditutupi oleh peritoneum
sedangkan rongga dalamnya dilapisi oleh mukosa rahim. Dalam keadaan tidak hamil, rahim
terletak dalam rongga panggul di antara kandung kemih dan rektum. Rahim berbentuk seperti
buah pear, mempunyai rongga yang terdiri dari tiga bagian besar, yaitu: badan rahim (korpus
uteri), leher rahim (serviks uteri), dan rongga rahim (kavum uteri). Bagian rahim antara kedua
pangkal tuba, yang disebut fundus uteri, merupakan bagian proksimal rahim. Serviks uteri
terbagi atas dua bagian yaitu pars supravaginal dan pars vaginal. Bagian rahim antara serviks
uteri dan korpus disebut ismus atau segmen bawah rahim, bagian penting dalam kehamilan dan
persalinan karena akan mengalami peregangan.5
Dinding rahim secara histologik terdiri atas tiga lapisan: lapisan serosa (lapisan peritoneum),
lapisan otot (lapisan miometrium), lapisan mukosa (endometrium). Sikap dan letak rahim dalam
rongga panggul terfiksasi dengan baik karena disokong dan dipertahankan oleh: tonus rahim
sendiri, tekanan intra abdominal, otot-otot dasar panggul, dan ligamen-ligamen seperti lig.
Kardinal kanan dan kiri, lig. Sakrouterina, lig. Rotundum, lig. Latum, dan lig.
Infundibulopelvikum.5
Gambar Uterus
Pada uterus Selaput yang melapisi permukaan dalam miometrium disebut endometrium.
Endometrium ini mempunyai tiga fungsi penting, yaitu sebagai tempat nidasi, tempat terjadinya
proses haid, dan sebagai petunjuk gangguan fungsional dari steroid seks. Pada usia reproduksi
dan dalam keadaan tidak hamil, endometrium mengalami berbagai perubahan siklik yang
berkaitan dengan aktivitas ovarium. Endometrium terdiri atas dua lapisan, yaitu lapisan basal dan
lapisan fungsional. Dibawah pengaruh estrogen, lapisan fungsional akan berploriferasi dan di
bawah pengaruh estrogen dan progesteron lapisan itu akan mengalami sekresi. Bila terjadi
fertilisasi dan implantasi, maka dari lapisan ini akan dibentuk desidua, dan bila tidak, akan
timbul haid lagi. Siklus haid dapat dibedakan atas empat fase endometrium, yaitu 3:
a. Fase haid atau deskuamasi endometrium
Pada fase ini endometrium akan dilepaskan dari uterus yang disertai dengan perdarahan.
Lapisan basalis tetap utuh. Fase ini berlangsung 3-4 hari.3
b. Fase pasca haid atau fase regenerasi endometrium
Pada fase ini endometrium yang terlepas berangsur-angsur sembuh dan dilapisi kembali
oleh selaput lendir yang baru. Fase ini telah dimulai sejak fase haid dan berlangsung sekitar 4
hari.3
c. Fase proliferasi atau fase antar haid
Fase ini dimulai dari hari kelima hingga hari keempat belas siklus haid. Dalam fase ini tebal
endometrium tumbuh menjadi kurang lebih 3,5 mm. Fase ini dibagi atas 3 subfase :3
- Fase proliferasi dini, berlangsung antara hari ke-4 sampai hari ke-7. Fase ini dikenal dari epitel
permukaan yang tipis dan adanya regenerasi epitel terutama dari mulut kelenjar.3
- Fase proliferasi madya, berlangsung antara hari ke-8 sampai hari ke-10. Dikenal dari epitel
permukaan yang berbentuk torak dan tinggi. Tampak banyak mitosis dengan inti berbentuk
telanjang.3
- Fase proliferasi akhir, berlangsung pada hari ke-11 sampai hari ke-14. Dapat dikenal dari
permukaan kelenjar yang tidak rata dan dengan banyak mitosis, inti epitel membentuk
pseudostratifikasi.3
d. Fase sekresi atau fase prahaid
Fase ini dimulai sesudah ovulasi dan berlangsung dari hari ke 14 hingga hari ke 28. Bentuk
kelenjar berubah menjadi panjang, berkelok-kelok dan mengeluarkan getah. Dalam endometrium
tertimbun glikogen dan protein yang diperlukan sebagai makanan bagi zigot. Fase ini berperan
mempersiapkan endometrium untuk menerima zigot.3
Seperti yang akan dijelaskan nantinya bahwa banyak teori mengenai endometriosis, namun
tidak satupun dari teori tersebut memberikan konsep yang menggembirakan. Dari semua teori
yang dikemukakan, regurgitasi darah haid merupakan penyebab tersering endometriosis, karena
pada pasien endometriosis ditemukan lemahnya otot tuba di bagian tubouteriner yang
memungkinkan penyebaran sel-sel endometrium ke dalam kavum peritoneum. Pada laki-laki dan
wanita dengan Sindrom Rokintansky-Kustner ditemukan endometriosis. Hal ini bertentangan
dengan teori regurgitasi darah haid. Hal lain yang bertentangan dengan teori ini adalah bahwa
menjelang datangnya haid, TNF α dan IL-6 menyebabkan apoptosis sel-sel endometrium maka
tidak mungkin sel-sel tersebut dapat terus tumbuh. Endometriosis warna merah merupakan jenis
endometriosis yang paling aktif. Pada jenis ini ditemukan peningkatan aktivitas angiogenesis,
sehingga terjadi peningkatan aliran darah di dalam lesi endometriosis tersebut dan hal ini jugalah
yang menerangkan tingginya kadar nyeri haid. Makrofag dan sel-sel imunokompeten lainnya
mengelilingi lesi endometriosis ini dan mengeluarkan berbagai jenis sitokin katabolik yang
bertujuan untuk menimbulkan reaksi inflamasi kronik dan merangsang terbentuknya jaringan
fibrosis. Perubahan endometriosis dari warna merah menjadi warna hitam dan dari hitam
menjadi putih diduga berlangsung melalui mekanisme yang sama. Oleh karena itu, pendekatan
pengobatan dari segi endokrinologi juga berbeda-beda. Misalnya pada endometriosis warna
merah, pengobatan yang tepat adalah dengan pemberian obat anti angiogenesis. Estrogen
memicu proses angiogenesis, sehingga pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan
obat-obat yang menekan sintesis estrogen di ovarium, seperti GnRH analogagonis/antagonis,
atau obat-obat yang menekan kerja enzim aromatase di dalam jaringan endometrium, sehingga
androgen tidak dapat diubah menjadi estrogen. Selain itu, dapat juga diberikan obat-obat yang
dapat mencegah pengeluaran sitokin dari makrofag. Progesteron memilki sifat menekan
pelepasan sitokin. Kekurangan progesteron menyebabkan tidak hanya pelepasan sitokin
melainkan juga pelepasan metalloproteinase, sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan
endometriosis warna putih menjadi merah. Angiogenesis selain berperan pada timbulnya
endometriosis, juga berperan pada implantasi, remodeling jaringan, dan pada proses metastasis.
Angiogenesis terjadi akibat adanya pengaruh steroid seks. Banyak faktor yang dapat memicu
angiogenesis, salah satunya adalah vascular endothelial growth factor (VEGF). VEGF ini
membuat kapiler arteri dan vena mudah dilalui oleh plasma protein. Selanjutnya plasma protein
ini dengan bantuan metalloproteinase menembus sel-sel endotel. Pembentukan VEGF dipicu
oleh keadaan hipoksia. Pada kerusakan jaringan terbentuk fibroblast growth factor (FGF),
sehingga pada pascatrauma terjadi angiogenesis. Steroid seks selain memicu faktor-faktor yang
berperan pada angiogenesis, juga memicu pembentukan bagian-bagian tertentu dari jaringan
seperti metalloproteinase dan molekul-molekul adesi seperti integrin-αvβ3. Integrin ini memicu
sel-sel endotel agar dapat bertahan hidup lebih lama. Faktor-faktor yang dapat menghambat
angiogenesis yang dikenal dengan istilah antiangiogenesis faktor adalah angiostatin,
trombospondin-1, retinoid, gonadotropin, somatostatin, tetrasiklin, dan siklosporin.4
IV. Etiologi & Patogenesis
Walaupun Tanda dan gejala dari endometriosis telaht dikemukakan sejak tahun 1800, tetapi
baru dikenal oleh kalangan dunia kesehatan baru pada aband ke-20. Endometriosis merupakan
suatu penyakit ketergantungan estrogen. 3 teori telah diajukan untuk menjelaskan kelainan
Histologi dari Endometriosis.2,3,4
1. Teori Sampson
Teori histogenesis endometriosis ini yang paling banyak penganutnya. Teori ini pertama kali
dikemukakan pada tahun 1927. Menurut teori ini, endometriosis terjadi karena darah darah haid
mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa
dalam darah haid terdapat sel-sel endometrium yang masih hidup, yang kemudian dapat
mengadakan implantasi di pelvis. Pada wanita dengan polimenore dan pada wanita yang darah
haidnya tidak dapat keluar (stenosis serviks) melalui vagina, angka kejadian endometriosis
dijumpai sangat tinggi. Sayangnya teori ini tidak dapat menjelaskan kejadian endometriosis di
luar pelvis, seperti di paru, umbilikus atau di tempat lain. Sebenarnya regurgitasi darah haid
merupakan suatu hal yang fisiologis, namun yang masih didiskusikan adalah faktor-faktor apa
saja yang menyebabkan jaringan endometrium yang terdapat di dalam darah haid tersebut dapat
terus tumbuh dengan cepat. 2,3,4
2. Teori Robert Meyer
Pada teori ini dikemukakan bahwa endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel
epitel berasal dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di daerah pelvis. Rangsangan ini
akan menyebabkan metaplasia dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium.
Teori metaplasia selom (coelomic) menunjukkan bahwa peritoneum parietalis adalah jaringan
pluripotensial yang dapat mengalami transformasi metaplasia menjadi jaringan histologi yang
tidak dapat dibedakan dari endometrium normal. Karena ovarium dan progenitor endometrium,
saluran mullerian, berasal dari epitel selom, metaplasia dapat menjelaskan perkembangan
endometriosis ovarium. Selain itu, teori tersebut telah diperluas sampai mencakup peritoneum
karena potensi proliferasi dan diferensiasi dari mesotelium peritoneal. Teori ini menarik pada
kasus endometriosis tanpa adanya menstruasi, seperti pada wanita premenarche dan menopause,
dan pada laki-laki dengan karsinoma prostat diterapi dengan estrogen dan orchiektomi. Namun,
tidak adanya endometriosis pada jaringan lain yang berasal dari epitel selom menentang teori ini. 2,3,4
3. Teori Dmowski
Menurut teori ini faktor genetik dan imunologis sangat berperan terhadap timbulnya
endometriosis. Ditemukan penurunan imunitas seluler pada jaringan endometrium wanita yang
menderita endometriosis. Cairan peritoneumnya ditemukan aktivitas makrofag yang meningkat,
penurunan aktivitas natural killer cell, dan penurunan aktivitas sel-sel limfosit. Makrofag akan
mengaktifkan jaringan endometriosis dan penurunan sistem imunologis tubuh akan
menyebabkan jaringan endometriosis terus tumbuh tanpa hambatan. Makin banyak regurgitasi
darah haid, makin banyak pula sistem pertahanan tubuh yang terpakai. Pada wanita dengan darah
haid sedikit, atau pada wanita yang jarang haid, sangat jarang ditemukan endometriosis. Bila
salah satu orang tua (ibu) menderita endometriosis maka anaknya mungkin mendapatkannya
juga. Disamping itu masih terbuka kemungkinan timbulnya endometriosis dengan jalan
penyebaran melalui darah ataupun limfe. 2,3,4
4. Teori Lain
Bukti juga mendukung konsep endometriosis yang berasal dari penyebaran limfatik atau
vaskular menyebar dari jaringan endometrium. Temuan endometriosis di lokasi yang tidak biasa,
seperti perineum atau pangkal paha, memperkuat teori ini. Wilayah retroperitoneal memiliki
sirkulasi limfatik berlimpah. Dengan demikian, pada kasus-kasus di mana tidak ada ditemukan
implantasi peritoneal, tetapi semata-mata merupakan lesi retroperitoneal yang terisolasi, diduga
menyebar secara limfatik. Selain itu, kecenderungan adenokarsinoma endometrium untuk
menyebar melalui jalur limfatik menunjukkan endometrium dapat diangkut melalui jalur ini.
Meskipun teori ini tetap menarik, beberapa studi telah melakukan eksperimen mengevaluasi
bentuk transmisi endometriosis ini. 2,3,4
Dari beberapa teori penyebab endometriosis yang dikemukakan beberapa pustaka juga
memaparkan faktor-faktor resiko yang terdapat pada endometriosis :
1. Familial clustering
Beberapa bukti yang berkaitan dalam terjadinya endometriosis. Meskipun pola warisan
genetik mendel yang telah diidentifikasi tidak jelas, kejadian meningkat pada anak kandung.
Sebagai contoh dalam studi genetik wanita dengan endometriosis, Simpson dan rekan-rekannya
(1980) mencatat bahwa 5,9% dari saudara kandung perempuan dan 8,1% dari ibu yang telah
menderita endometriosis dibandingkan dengan 1% dari saudara perempuan tingkat pertama
suami. Penelitian lebih lanjut telah mengungkapkan bahwa wanita dengan endometriosis dan
anak kandung yang menderita endometriosis lebih cenderung memiliki endometriosis berat
(61%) daripada wanita tanpa anak kandung yang menderita endometriosis (24%). Selain itu,
Stefansson dan rekan-rekannya (2002), dalam analisis mereka dari studi berbasis populasi besar
di Islandia, menunjukkan koefisien kekerabatan yang lebih tinggi pada wanita dengan
endometriosis dibandingkan dengan kontrol. Dalam studi ini, rasio risiko adalah 5.2 untuk
saudara kandung dan 1,56 untuk sepupu. Studi juga menunjukkan indeks untuk endometriosis
pada pasangan kembar monozigot, memberi kesan sebuah dasar genetik.2
2. Cacat anatomi
Obstruksi saluran reproduksi dapat menjadi predisposisi perkembangan endometriosis,
kemungkinan melalui eksaserbasi menstruasi retrograd. Dengan demikian, endometriosis telah
diidentifikasi pada wanita dengan selaput dara imperforata dan septum vagina transversal.
Karena asosiasi ini, laparoskopi diagnostik untuk mengidentifikasi dan mengobati endometriosis
disarankan pada saat operasi korektif untuk banyak anomali. Perbaikan cacat anatomi tersebut
dilakukan untuk mengurangi risiko pengembangan endometriosis.2
3. Polusi Lingkungan.
Ada banyak penelitian menunjukkan paparan polusi lingkungan mungkin memainkan peran
dalam perkembangan endometriosis. Polusi yang paling sering adalah 2,3,7,8-
tetrachlorodibenzo-p-dioksin (TCDD) dan senyawa dioxin lain. Pada saat berikatan, TCDD
mengaktifkan reseptor aril hidrokarbon. Fungsi reseptor ini sebagai faktor transkripsi dasar, dan
mirip dengan kelompok reseptor hormon steroid protein, mengarahkan ke berbagai transkripsi
gen. Akibatnya, TCDD dan senyawa dioxin lain bisa merangsang endometriosis melalui
peningkatan jumlah interleukin, aktivasi enzim sitokrom P-450 seperti aromatase, dan perubahan
dalam remodeling jaringan. Selain itu, TCDD dalam hubungannya dengan kehadiran estrogen
untuk merangsang pembentukan endometriosis, dan dengan adanya TCDD untuk memblokir
progesteron yang menginduksi regresi endometriosis.3
Dalam lingkungan, TCDD dan senyawa dioxin adalah limbah pengolahan produk industri.
Mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi atau kontak yang tidak disengaja adalah bentuk
paparan yang paling sering terjadi. Meskipun endometriosis dan TCDD pada awalnya dikaitkan
dengan binatang primata, studi pada manusia juga mencatat prevalensi endometriosis lebih tinggi
pada wanita dengan konsentrasi dioxin dalam ASI (air susu ibu) yang tinggi. Selain itu, studi
selanjutnya telah menunjukkan jumlah dioxin serum lebih tinggi pada wanita infertil dengan
endometriosis dibandingkan dengan infertil kontrol.2
V. Gejala Klinis
Endometriosis didapatkan pada wanita subfertil, dengan gejala dismenore, dispareunia, atau
nyeri pelvik kronik. Namun tidak menutup kemungkinan gejala ini disebabkan oleh adanya
penyakit lain. Endometriosis bisa tanpa gejala, bahkan pada wanita dengan ovarium
endometriosis ataupun endometriosis rektovaginal yang sangat invasif.6
Faktor resiko untuk endometriosis termasuk siklus haid yang memendek, menstruasi berat dan
lama haid memanjang, mungkin lebih berhubungan erat dengan insiden menstruasi
retrograd.Endometriosis juga bisa dihubungkan dengan gejala gangguan gastrointestinal (nyeri,
mual, muntah, cepat kenyang, perut kembung, dan perubahan pola defekasi)3,7,6
Dismenore pada endometriosis biasanya merupakan rasa nyeri waktu haid yang semakin
lama semakin menghebat. Penyebab dari dismenore ini tidak diketahui, tetapi mungkin ada
hubungannya dengan vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu
sebelum dan semasa haid. Nyeri tidak selalu didapatkan pada endometriosis walaupun kelainan
sudah luas, sebaliknya kelainan ringan dapat menimbulkan rasa nyeri yang lebih hebat. 3,7
Dispareunia yang merupakan gejala yang sering dijumpai, disebabkan oleh karena adanya
endomteriosis di dalam kavum douglas. Defekasi yang sukar dan sakit terutama pada waktu haid,
disebabkan oleh adanya endometriosis pada rektosigmoid. Kadang-kadang bisa terjadi stenosis
dari lumen usus besar tersebut. Endometriosis pada kandung kencing jarang terdapat, gejalanya
berupa gangguan miksi dan hematuria pada waktu haid. Gangguan haid dan siklusnya dapat
terjadi apabila kelainan pada ovarium yang luas sehingga mengganggu fungsi ovarium. Ada
korelasi yang nyata antara endometriosis dan infertilitas. Sebanyak 30% - 40% wanita dengan
endometriosis mengalami infertilitas. Menurut Rubin kemungkinan untuk hamil pada wanita
dengan endometriosis ialah kurang lebih separuh dari wanita biasa. Faktor penting yang
menyebabkan infertilitas pada endometriosis adalah apabila motilitas tuba terganggu akibat
fibrosis dan perlekatan jaringan di sekitarnya. Pada pemeriksaan ginekologi, khususnya pada
pemeriksaan vaginorektoabdominal, ditemukan pada endometriosis ringan pada benda-benda
padat sebesar butir beras sampai butir jagung di kavum douglas dan pada ligamentum
sakrouterinum dengan uterus dalam retrofleksi dan terfiksasi. Ovarium mula-mula dapat diraba
sebagai tumor kecil, akan tetapi bisa membesar sampai sebesar tinju. Tumor ovarium seringkali
terdapat bilateral dan sukar digerakkan.
VI. Diagnosis
Diagnosis endometriosis dilihat dari gejala klinis seperti yang dijelaskan diatas dengan adanya
gejala-gejala 6,9,10,12
a. Nyeri sebelum dan sesudah Haid
b. Nyeri saat berhubungan
c. Siklus haid yang memanjang atau memendek
d. Gejala – gejala gastrointestinal: mual, muntah, cepat kenyang, perut kembung, dan perubahan
pola defekasi.
e. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan ginekologik. Inspeksi dinding perut, apakah ada parut bekas
operasi. Melihat dinding vagina dan porsio, apakah terdapat lesi yang mudah berdarah.
Pemeriksaan dalam, atau colok rectal kadang-kadang teraba adanya nodul-nodul di daerah
kavum douglasi dan daerah ligamentum sakrouterina yang sangat nyeri. Uterus biasanya teraba
retrofleksi dan sulit digerakkan, dan di parametrium teraba massa kistik yang nyeri saat ditekan.
Pemeriksaan kombinasi rektovaginal harus selalu dilakukan. Bila terdapat nodul di kavum
douglasi atau di septum rektovaginal, maka pada colok rectal akan teraba massa tumor yang
nyeri dan mukosa rectum agak mudah digerakkan. Pada umumnya endometriosis rektovaginal
sering tidak terdiagnosis. Bila seorang pasien telah dilakukan tindakan operatif terhadap
endometriosisnya, namun masih terus mengeluh rasa nyeri, perlu dipikirkan adanya
endometriosis rektovaginal. Endometriosis rektovaginal yang tidak terdiagnosis dapat
menyebabkan gagal ginjal akibat telah mengenai ureter.
f. Pada endometriosis ekstrapelvis walaupun sering tanpa gejala, harus selalu dipikirkan bila
terdapat nyeri atau teraba massa diluar pelvis dengan pola yang bersiklus. Pada endometriosis
ekstrapelvik juga bisa menyebabkan perdarahan perrektal yang bersiklik, konstipasi, dan
obstipasi. Juga bisa menyebabkan dysuriam dan hematuria. Pada pulmonari endometriosis dapat
bermanifestasi pneumothorax, hemothorax, atau hemoptisis.
g. Kuldoskopi kurang bermanfaat terutama jika kavum douglasi ikut serta dalam endometriosis.
Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi seperti forniks vagina posterior, perineum, parut
laparotomi, dan sebagainya, biopsy dapat memberikan kepastian tentang diagnosis. Pemeriksaan
laboratorium pada endometriosis tidak memberi tanda yang khas, hanya apabila ada darah dalam
tinja atau air kencing pada waktu haid dapat menjadi petunjuk tentang adanya endometriosis
pada rectosigmoid atau kandung kencing. Sigmoidoskopi dan sistoskopi dapat memperlihatkan
perdarahan pada waktu haid. Pembuatan foto rontgen dengan memasukkan barium dalam kolon
dapat memberi gambaran dengan filling defect pada rectosigmoid dengan batas-batas yang jelas
dan mukosa yang utuh. Laparoskopi merupakan pemeriksaan yang sangat berguna untuk
membedakan endometriosis dari kelainan-kelainan di pelvis. Untuk menentukan berat ringannya
endometriosis digunakan klasifikasi dari American Fertility Society.
h. Pencitraan pada endomeriosis.
Munculnya gambaran filling deffect ( adanya hipertropic atau polipoid endometrium) dideteksi
dengan hysterosalpingography mempunyai korelasi yang bermakna dengan endometriosis.
Gynecologic transvaginal atau transrectal ultrasonography merupakan alat diagnostik yang
sangat membantu pada ovarian endometriotic cysts (membantu mendifferetial diagnosis dari
massa di adnexa) dan rectovaginal endometriosis (sensitivitas 97%, dan spesifitas 96%)
Pencitraan yang lain seperti CT-Scan, dan MRI, dapat digunakan hanya untuk sebagai
konfirmasi tambahan saja, tapi tidak dapat digunakan sebagai alat bantu diagnosis utama, karena
selain biaya lebih mahal dari USG, informasi yang diberikan masih dapat kurang jelas.
Secara garis besar endometriosis dibagi menjadi empat tingkatan berdasarkan beratnya penyakit,
menurut American Fertility Society
1. Stadium 1
Lesi bersifat superficial, perlengketan hanya pada permukaan saja
2. Stadium 2
Adanya perlekatan didaerah cul-de-sac
3. Stadium 3
Stadium 2 ditambah dengan adanya endometrioma yang kecil pada ovarium dan perlengketan
yang lebih banyak
4. Stadium 4
Stadium 3 ditambah dengan endometrioma yang besar dan perlengketas yang sangat luas.
(medicastore)
Gambar 1. Stadium endometriosis berdasarkan American Fertility Society1
Gambar 2. Klasifikasi endometrisosi menurut American Fertility Society
VII. Differential Diagnosis
Nyeri pelvis kronis
a. Chronic pelvic inflammatory disease
b. Ovarian cancer
c. Dysmenorrhea primer
d. Degeneratsi dari myoma uteri
Nyeri pelvis akut
e. Hemorrhagic atau torsion dari ovarian cyst
f. Kehamilan Ektopik
g. Appendicitis, diverticulitis
Lesi pelvis
h. Endosalpingiosis, mesothelial hyperplasia, hemosiderin deposition, hemangioma
i. Metastatic breast or ovarian cancer
j. Adrenal rests, splenosis8,11
Gynecologic
Pelvic inflammatory disease
Tubo-ovarian abscess
Salpingitis
Endometritis
Hemorrhagic ovarian cyst
Ovarian torsion
Primary dysmenorrhea
Degenerating leiomyoma
Nongynecologic
Interstitial cystitis
Chronic urinary tract infection
Renal calculi
Inflammatory bowel disease
Irritable bowel syndrome
Diverticulitis
VIII. Penatalaksanaan
Pengobatan untuk endometriosis bergantung pada gejala khusus wanita itu, tingkat keparahan
gejala, lokasi lesi endometriosis, tujuan untuk pengobatan, dan keinginan untuk melestarikan
kesuburan masa depan. Faktor yang paling penting ketika menentukan pengelolaan yang paling
tepat adalah apakah pasien mencari pengobatan untuk infertilitas atau sakit, sebagai pengobatan
akan berbeda berdasarkan gejala.2
1. Manajemen hamil
Bagi banyak wanita, gejala akan menghalangi mereka dari manajemen memilih hamil.
Namun, bagi mereka dengan gejala ringan atau tanpa gejala untuk wanita didiagnosis kebetulan,
manajemen hamil mungkin sesuai. Namun, studi evaluasi wanita subur telah menunjukkan
tingkat kesuburan yang lebih rendah setelah manajemen hamil daripada setelah perawatan
bedah.2,13
2. Pengobatan dengan NSAID
NSAID menghambat siklooksigenase yang isoenzim 1 dan 2 (COX-1 dan COX-2), dan
dalam kelompok ini, selektif COX-2 inhibitor selektif menghambat COX-2 isoenzyme. Enzim
ini bertanggung jawab untuk sintesis prostaglandin yang terlibat dalam rasa sakit dan peradangan
yang terkait dengan endometriosis. obat anti-inflamasi nonsteroidg menjadi lini pertama terapi
pada wanita dengan dismenorea primer atau nyeri panggul sebelum konfirmasi laparoskopi
endometriosis, dan pada wanita dengan gejala rasa sakit yang minimal atau ringan yang
berhubungan dengan endometriosis diketahui.2,12
3. Pengobatan hormonal
Sebagai dasar pengobatan hormonal ialah bahwa pertumbuhan dan fungsi jaringan
endometriosis, seperti jaringan endometrium yang normal, yang dikontrol oleh hormone-hormon
steroid. Data laboratorium menunjukkan bahwa jaringan endometriosis pada umumnya
mengandung reseptor estrogen, progesterone dan androgen. Pada hewan coba, estrogen
merangsang pertumbuhan jaringan endometriosis, androgen menyebabkan atrofi sedangkan
pengaruh progesterone controversial. Progesterone sendiri mungkin merangsang pertumbuhan
endometriosis, namun progesterone sintetik yang umumnya mempunyai efek androgenic
tampaknya menghambat pertumbuhan endometriosis. Atas dasar tersebut, maka prinsip dasar
pengobatan hormonal endometriosis adalah menciptakan lingkungan hormone yang rendah
estrogen dan asiklik. Kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis.
Sedangkan keadaan yang asiklik mencegah terjadinya haid, yang berarti tidak terjadinya
pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis.1
Prinsip kedua yaitu menciptakan lingkungan hormone yang tinggi androgen atau tinggi
progestogen (progesterone sintetik) yang secara langsung menyebabkan atrofi jaringan
endometriosis.3,12,13,14
- Androgen
Preparat yang dipakai adalah metiltestosteron sublingual dengan dosis 5 mg sampai 10 mg
per hari. Kerugian terapi ini adalah dapat menyebabkan maskulinisasi terutama pada dosis
jangka panjang. Selain itu masih mungkin terjadi ovulasi atau kehamilan terutama pada dosis 5
mg perhari. Bila terjadi kehamilan, terapi harus dihentikan karena dapat menyebabkan cacat
bawaan pada janin.3
- Estrogen-progestogen
Penggunaan kombinasi ini dikenal dengan pseudopregnacy. Pil kontrasepsi yang dipilih
sebaiknya yang mengandung estrogen rendah dan mengandung progestogen kuat. Preparat
standar yang dianjurkan adalah 0,03 mg etinil estradiol dan 0,3 norgestrel perhari sampai 6-9
bulan bahkan ada yang menganjurkan sampai setahun.3
- Progestogen
Progestogen atau progestin adalah nama umum semua senyawa progesterone sintetik.
Progestogen dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu pregnan, estran dan gonan.3
- Danazol
Danazol menimbulkan keadaan asiklik, androgen tinggi, dan estrogen rendah. Dosis yang
digunakan untuk endometriosis ringan (stadium 2) atau sedang (stadium 3) adalah 400 mg
perhari sedangkan untuk endometriosis yang berat (stadium 4) dapat diberikan sampai 800 mg
perhari. Lama pemberian minimal 6 bulan dapat pula diberikan 12 minggu sebelum terapi
pembedahan konservatik dilakukan. Danazol memilki efek samping berupa akne, hirsutisme,
kulit berminyak, perubahan suara, pertambahan berat badan, dan edema. Kehamilan dan
menyusui merupakan kontrindikasi absolute dari pemakaian danazol. Saat ini danazol
merupakan obat yang paling efektif untuk endometriosis yang diijinkan oleh US FDA (federal
drug administration).3
4. Pembedahan konservatif
Pembedahan konservatif ini dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan yakni
laparotomi dan laparoskopi operatif.1 Laparoskopi opetatif adalah dewasa ini dianut. Denagn
teknik ini dapat dilakukan eksisi lesi endometriosis dengan menggunakan laser (CO2). Cara ini
disebut vaporasi lesi endometriosis. Laser ini digunakan dalam bentuk teknik tidak kontak. Untuk
mencegah residif, sebaiknya semua lesi harus tuntas ditangani. Bila hanya permukaan saja yang
dieksisi maka akan timbul residif di kemudian hari.4
IX. Komplikasi
o Gangguan fertilitas sekunder pada distorsi pelvis
o Thromboemboli sekunder pada penggunaan kontraseptif oral
o Osteoporosis sekunder sampai hipoestrogenic, efek dari penggunaan GnRH analog8
X. Prognosis
Harus ditekankan bahwa pengobatan endometriosis hanya bersifat mengurangi keluhan dan tidak
menghilangkan penyakit. Angka rekurensi endometriosis dilaporkan cukup tinggi yaitu mencapai
29-51% setelah pengobatan hormonal dan 7-47% setelah bedah konservatif. Pada endometriosis
dengan infertilitas tanpa perlengketan dan kelainan anatomik, maka tingkat kehamilan spontan
sangat baik. Demikian juga endometriosis sedang maupun berat paska pengobatan
hormonal/bedah, tingkat kehamilan cukup tinggi.8
XI. Pembahasan
Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi
terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini yang terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma, terdapat
di dalam miometrium ataupun di luar uterus. Bila jaringan endometrium terdapat di dalam
miometrium disebut adenomiosis, dan bila di luar uterus disebut endometriosis.
Endometriosis lebih sering ditemukan pada wanita yang belum menikah pada usia muda, dan
yang tidak mempunyai banyak anak. Meskipun endometriosis dikatakan penyakit wanita usia
reproduksi, namun telah ditemukan pula endometriosis pada usis remaja dan pascamenopause.
Oleh karena bukan cuma hormone steroid yang berperan tetapi juga androgen dan kortikosteroid.
Endometriosis peritoneum terjadi karena darah darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui
tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid terdapat sel-sel
endometrium yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis. Pada
wanita dengan polimenore dan pada wanita yang darah haidnya tidak dapat keluar (stenosis
serviks) melalui vagina, angka kejadian endometriosis dijumpai sangat tinggi.
Gejala-gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini adalah:
1) Nyeri perut bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada dan selama haid
(dismenore);
2) Dispareunia;
3) Nyeri waktu defekasi, khususnya pada waktu haid;
4) Polimenore dan hipermenore;
5) Infertilitas. Diagnosis endometriosis biasanya ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan
fisik, dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi.
Pengobatan untuk endometriosis bergantung pada gejala khusus wanita itu, tingkat keparahan
gejala, lokasi lesi endometriosis, tujuan untuk pengobatan, dan keinginan untuk melestarikan
kesuburan masa depan. Faktor yang paling penting ketika menentukan pengelolaan yang paling
tepat adalah apakah pasien mencari pengobatan untuk infertilitas atau sakit, sebagai pengobatan
akan berbeda berdasarkan gejala.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andrew, Anti, Archie et all. Endometriosis. In: (Lange) Current Diagnosis & Treatment
Obstetrics & Gynecology, Ed. 10th. Amerika: The McGraw-Hill Companies. 2007.
2. Cunningham, Shorge, Schaffer, et all. Endometriosis. In: Williams Gynecology, Chapter
10. China: The McGraw-Hill Companies. 2008.
3. Wikojosastro H, Abdul Bari Saifuddin, Triatmojo Rachimhadhi. Endometriosis. Dalam:
Buku Ajar Ilmu Kandungan, edisi ke 2, 2005. Jakarta; Balai Penerbit FKUI. 2007: 78,
95-6,314-27.
4. Baziad A. Endometriosis. Dalam: Endokrinologi Ginekologi, edisi ke 3. Jakarta; Media
Aesculapius FKUI. 2008: 1-31.
5. Mochtar R. Anatomi Alat-Alat Kandungan. Dalam: Sinopsis Obstetri, edisi 2. Jakarta:
EGC. 1998: 5-12.
6. Berek J. Endometriosis. In: Berek & Novak's Gynecology, Ed. 14 th, Chapter 29.
California: Lippincott Williams & Wilkins. 2007.
7. Kapoor D. Endometriosis. Dalam: http:// www.emedicine.com . Diakses tanggal 11
Desember 2009.
8. McGarry K, Long I. Endometriosis. In: 5-Minute Consult Clinical Companion to
Woman's Health, Ed. 1st. Rhode Island: Lippincott Williams & Wilkins. 2007
9. Eisenberg E. Endometriosis. Dalam: http:// www.womenshealth.gov. Diakses tanggal 16
November 2009.
10. Anonym. Endometriosis. Dalam: http:// www.wikipedia.com . Diakses tanggal 11
September 2010.
11. Pernol M. Endometriosis and Adenomyosis. In: Benson and Pernolls, Handbook of
Obstetrics Gynecology, Ed. 10th, Chapter 28. Amerika: The McGraw-Hill Companies.
2001.
12. Simatupang, J. 2003. Referat IV Perubahan Imunologis Pada Endometriosis Peritoneal.FKUNSRI .Palembang.( http://digilib.unsri.ac.id/download/ Perubahan imunologis pada endometriosis.pdf, (diakses pada tanggal 28 juni 2011).29hal.
13. American Fertility Society. 2007a. Booklet Endometriosis A Guide for Patients.AmericanSocietyForReproductiveMedicineAlabama.(http://www.asrm.org/Patients/Booklet/Endometriosis.pdf) (diakses pada tanggal 28 juni 2011) . 16hal.
14. Olive D. 2009.Endometriosis ;328:1759-1769 . (http://content.nejm.org/cgi/external_ref?access_num=000202353400057&link_type=ISI diakses tanggal 29 juni 2011).