epistemologi balagah: studi atas miftā ‘ulūm karya...
TRANSCRIPT
i
Epistemologi Balagah: Studi atas Miftāh al-‘Ulūm Karya al-Sakaki
EPISTEMOLOGI BALAGAH
Studi atas Miftāh al-‘Ulūm Karya al-Sakaki
TESIS
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister
Dalam Bidang Pengkajian Agama Islam
Oleh:
Daud Lintang
NIM: 21141200100013
Pembimbing:
Prof. Dr. Sukron Kamil, MA
Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab
Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2017 M / 1439 H
ii
PENGANTAR PENULIS
بسم اهلل الرمحن الرحيم
، وسهل منهج السعادة للمتقني، وبصر بصائر املصدقني والدارسني احلمد هلل الذي أوضح الطريق للطالبنيوأشهد أن ال إله إال اهلل .ميان وأنوار االحسان واليقنيومنحهم أسرار اإل يف الدين،حكام بسائر احلكم واأل
مني، القائل: وأشهد أن سيدنا حممدا عبده ورسوله الصادق الوعد األ .وحده ال شريك له امللك، احلق املبنيم بححسان إ ى يوم صلى اهلل عليه وعلى آله وأصحابه والتابعني هل .من يرد اهلل به خريا يفقهه يف الدين
د:وبع .الدين
Dengan inayah dan pertolongan dari yang Maha Kuasa dan Pemilik segala
Ilmu dhāhir maupun ghaib. Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah
ta’ala, Tuhan semesta alam yang tiada sekutu bagi-Nya, karena atas ridha dan izin -
Nya, draf tesis yang berjudul: “Epistemologi Balagah Studi atas Miftāḥ al-‘Ulūm
Karya al-Sakaki” ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Salawat teriring salam
semoga senantiasa tercurah kepada baginda Muhammad صلى هللا عليه وسلم, keluarga,
para sahabat dan seluruh pengikutnya yang selalu berjuang dan istiqomah demi
agama yang hanif ini dan sunnah Rasul- Nya. Pada kesempatan ini, penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang
telah ikut berperan dalam proses penyelesaian draf tesis ini. Sebab, siapa yang
belum berterima kasih kepada manusia berarti ia belum berterima kasih kepada
Allah ta’ala. Mereka di antaranya adalah:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. (Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta), Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA. (Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta) yang
telah memberikan ruang dan kesempatan kepada penulis untuk menuntut
ilmu dan wawasan keislaman di UIN Syarif Hidayatullah, hingga penulis
dapat menyelesaikan program magister.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA. yang telah meluangkan waktu di tengah
kesibukan aktivitasnya sebagai Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan yang super padat untuk tetap memberikan
bimbingan dan kontrol proses penulisan tesis kepada penulis mulai dari awal
hingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
3. Dr. JM. Muslimin, MA., Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA., Prof. Dr. Yunasril
Ali, MA., Prof. Dr. Achmad Satori Ismail, MA., Dr. Tb. Ade Asnawi, MA.,
Dr. Yusuf Rahman, MA. dan Dr. Abdul Rozak, M.Si., yang terus berupaya
membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan draf tesis
mulai dari proposal sampai menjadi sebuah karya ilmiah.
4. Para pegawai Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
selalu membantu dalam proses administrasi dan memberikan support kepada
penulis untuk mempercepat proses studi.
iii
5. Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr.
Hamka Hassan, MA. dan Wadek Kemahasiswaan Dr. Ahmadi Utsman,
MA., beserta seluruh dosen FDI yang sejak awal memberi motivasi bagi
penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi.
6. Yayasan Baitul Mal Umat Islam Bank Negara Indonesia (Bamuis BNI) yang
telah memberikan support financial kepada penulis untuk menyelesaikan
masa akhir kuliah.
7. Direktur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian
Keuangan RI beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan support
financial berupa beasiswa penelitian/ tesis kepada penulis.
8. Pimpinan Pondok Pesantren Al-Zahra Jakarta Barat beserta seluruh jajaran
dan dewan guru tercinta yang telah memberikan penulis bekal yang kuat
menuju universitas hingga meraih S2 di Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Pimpinan Lembaga Pendidikan Tahfidz al-Qur’an (PTQ) Al-Muhajirin BPI,
Direktur Lembaga Bahasa Internasional Universitas Indonesia dan Pimpinan
Pesantren Modern al-Adzkar Pamulang serta IMLA (Persatuan Guru Bahasa
Arab se- Indonesia) yang telah memberikan support penuh kepada penulis
untuk menyelesaikan tesis dan mengaktualisasikan keilmuan pada lembaga
tersebut.
10. Ayahanda Muhammad Yamin Lintang (yarhamuhullāh rahmatal abrār) dan
Ibunda Siti Yani Lubis (matta’ahullāh bi al-ṣiḥḥah wa ṭūl al-‘umr) yang
telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh perjuangan dan
kasih sayang yang tiada henti-hentinya, sehingga penulis dapat menempuh
pendidikan S2 seperti sekarang. Jihad mereka antara hidup dan mati untuk
menghidupi kami anak-anaknya, tiada lagi mengenal keluh maupun bosan
demi sebuah harapan anak-anaknya kelak sukses dunia maupun akhirat.
Maka hanya Allah yang bisa membalas jasa dan jihad mereka dengan
sebaik-baiknya balasan.
11. Istriku tercinta Sari Anggriani (Allāh yubārik fī ‘umrihā) serta kedua orang
tua kami ayahanda Sani Amson dan Lailatul Aibaiyyah (matta’ahumāllāh bi
al-ṣiḥḥah wa ṭūl al-‘umr) yang senantiasa mendo’akan penulis, terkhusus
istriku tercinta yang selalu ada dalam setiap suka dan duka selama
perkuliahan dan proses menyelesaikan kuliah magister.
12. Adinda Rahmi Ainun, Reni Aisyah, Emmi Wati, Parida Hanum, Dahrul
Lintang, Irwan Syahputra dan Hairunnisa meski terpisah jauh dari penulis,
namun mereka tetap memberikan dorongan semangat bagi penulis untuk
menyelesaikan studi program Magister.
13. Seluruh keluarga, kakak, kemenakan, paman, bibi, yang tetap mengawal
penulis dengan dukungan do’a setiap saat, hingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan studi.
14. Prof. Dr. Abdul Aziz Munadhil guru besar Universitas Ibnu Thufeil
Maroko, Dr. Munal al-Najjar dan Dr. Sawsan Rajab Hassan guru besar
Universitas Thaif KSA, Prof. Dr. Khadijah, dan Dr. Ibtisam guru besar
Universitas Baghdad Irak, Dr. Zahirah Boulfous guru besar Universitas
Qasnathinah Aljazair walau dengan keterbatasan ruang dan waktu, namun
iv
selalu memberikan arahan dan support kepada penulis selama proses
penyelesai studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
15. Dr. H. Esfandiari Abdullah, Hj. Yanni Kussuryani, M.Si., Hj. Lolly Amali
Abdullah beserta seluruh keluarga besar alm. Amaluddin (barakallah fī
‘umrihim ṭūla al-hayāh) yang tidak pernah bosan mengingatkan dan
mensupport penulis untuk menyelesaikan proses perkuliahan S2 di SPs UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
16. Orang tua kami tercinta H. Djoko Prabowo dan Hj. Wintje, H. Tony P. Afiat
dan Hj. Dewi Kurniati, H. Ismet Pesmo dan Hj. Etty, bapak Jamilus Caniago
dan Ibu Maidarlis Piliang, H. M.Z. Iqbal Moenaf, SH. MH dan istri begitu
juga seluruh rekan-rekan sesama mahasiswa program Magister Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang selalu memacu dan
mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan tesis.
Semoga Allah ta’ala menjadikan dukungan moral dan material yang telah
mereka berikan menjadi amal saleh yang bermanfaat kelak dan tidak pernah
terputus. Adapun terhadap tulisan ini bila terdapat kekurangan ataupun kekeliruan
mohon kiranya diberikan saran dan masukan demi mendekati kesempurnaan
sebagaimana layaknya karya ilmiah yang baik dan sempurna. Jazākumullāh Khairan
Kathīran. Aamiin.
Jakarta, 27 November 2017
Penulis
Daud Lintang
v
ABSTRAK
Epistemologi Balagah Studi atas Miftāh al-‘Ulūm Karya al-Sakaki
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui teori penulisan yang
dilakukan oleh al-Sakaki dalam karyanya Miftāh al-‘Ulūm. Miftāh al-‘Ulūm
dipandang sebagai warisan ilm balāghah yang sangat memukau banyak ahli. Telah
dikemukan oleh Al-Suyuthi (1979 M) dan Abbas Baidhun (2013 M) bahwa Miftāh
al-‘Ulūm adalah karya seni linguistic yang sangat brilian bahkan mereka menjuluki
al-Sakaki sebagai bapak ilm balāghah, karena telah melahirkan teori-teori penting
dalam berbahasa. Yusuf Rizqah (1999 M) menyebutnya dengan istilah Qawā’id wa
Dzawq al-Lughowiyyah dengan menggunakan empirisme (al-bayānī), rasionalisme
(al-burhānī) dan intuisionisme (al-‘irfānī).
Kendati demikian, penelitian ini berbeda pendapat dengan Khaṭib al-
Qazwaini (1268 M), Muhammad Waqidi (1999 M), Tammam Hassan (2011 M)
yang mengatakan bahwa Miftāh al-‘Ulūm banyak kelemahan dan kekurangannya,
hingga pada akhir abad ke-7 H al-Qazwaini pun melakukan sebuah terobosan baru
dengan menkonsktuksi kembali karya tersebut, kemudian dikenal dengan Talkhis
Miftāh ‘Ulūm. Bahkan, Ali Nikmah (2013) mengemukakan bahwa epistemologi
Miftāh al-‘Ulūm adalah murni rasionalisme, karena di dalamnya memuat Grammar
Language.
Penulis menggunakan metode penelitian bahasa secara sinkronis yaitu
penelitian deskriptif dan pendekatan hermeneutika rekonstruksi. Penelitian ini
adalah penelitian kualitatif, jenis studi literatur atau kepustakaan.
Tesis ini menyimpulkan bahwa proses epistemologi al-Sakaki melalui sarana
pencapaian ilmu pengetahuan merupakan sebuah sintetik-integralistik yang
mengkombinasikan ketiga epistemologi sekaligus yakni dengan cara menempatkan
ketiga sarana pencapaian ilmu panca indera, akal dan intuisi pada proporsinya, dan
pada kenyataannya ditemukan bahwa Miftāh al-‘Ulūm bagaikan kaidah sintaksis
dan belum mengarah kepada artistik sebagai tujuan utama ilmu balagah.
Dalam penelitian ini penulis mendukung pendapat yang dikemukakan oleh
al-Qazwaini dan Ali Nikmah tentang penyempurnaan epistemologi penulisan
Miftāh al-‘Ulūm agar menjadikan keduanya seimbang sesuai tujuan keilmuannya
yakni Qawā’idiyyah wa Dhawqiyyah. Sebagaimana disarankan oleh Tamman
Hassan untuk meninjau ulang keilmuannya dengan mengunnakan metode critical
linguistic.
vi
ملخص البحث االيبستيمولوجية البالغية دراسة في مفتاح العلوم للسكاكي
هذا اليت قدمها السكاكي يف مفتاح العلوم. إبيستيمولوجية الكتابةملعرفة رسالةالهتدف هذه
كالرتاث القدمي الذي يدهش العديد من اخلرباء يف العامل. وقد نقله جالل الدين السيوطي الكتاب من نوعه حىت هؤالء اخلرباء يصفون ،( بأن مفتاح العلوم من ضمن فن لغوي رائع3192( وعباس بيضون )9191)
( 9111أب البالغة، ألنه قد تولد نظريات مهمة يف اللغة العربية. وادعى يوسف رزقة )السكاكي ب والربهاين (empiricism) والذوق اللغوي باستخدام البياين بااملصطلح اخلاص هلذا العمل اجلليل بالقواعد
(rationalism) والعرفاين (intuitionism). م( 9111م( وحممد وقيدي )9321القزويين )يب طومع ذلك، ختتلف هذه الدراسة عن خ
يف أواخر القرن السابع حىت كان، إن مفتاح العلوم فيه نقاط ضعيفةقالوا حيث م(3199ن )اومتام حسالقزويين بعملية النقد وإعادة تصور العمل الذي عرفه الحقا بتلخيص مفتاح العلوم. كما به اهلجري حقق
ى أن نظرية العلوم فيه كالنحو العريب.كان القزويين، علي نعمة األزهاري ير ستخدم املؤلف طريقة خاصة وهي حبث اللغوي وحتليل الكتاب مث البحث الوصفي وهنج او
هذا البحث هو حبث نوعي بالدراسة وأخريا، . (hermeneutics reconstruction) التعمري اهليكلي املكتبية.
أن نظرية السكاكي يف وسائل حتقيق العلوم نظرية متكاملة جتمع بني على تؤكدة رسالفهذه ال . ويف الواقع، دساحلسية والعقل واحل تعينعن طريق وضع الوسائل الثالث ةالعلوم الثالثإبستيمولوجية هذه مثل إ ى البياين والربهاين، وقليل من العرفاين. وهذا واضح من جوهر العمل ميالأكثر مفتاح العلوم يف ظهر
.(languange sense) ومل ميل إ ى الفنية العربية (languange grammar) قواعد النحويةإعادة يفراء اليت قدمها القزويين وعلي نعمة األزهاري اآلولذلك، يف هذه الدراسة دعم املؤلف
ملراجعة دراسته ناتصور الكتابة إ ى أن يكون متوازنا بني القواعد والفنية العربية. كما اقرتحها متان حس . (critical linguistic) باستخدام النقد األديب
vii
ABSTRACT
Epistemology Balagah Study on Miftāh al-'Ulūm by al-Sakaki
The purpose of this research is to know the theory of writing done by al-
Sakaki in his book named Miftāh al-'Ulūm (the key of knowledge). Miftāhal- 'Ulūm
is viewed as a legacy of ilm balāghah (arabic rethoric) which amazes many experts
in the world. It has been found by Jalaluddin al-Suyuthi (1979) and Abbas Baidhun
(2013) that Miftāh al-'Ulūm is a very brilliant linguistic art, even they called al-
Sakaki as the father of ilm balāghah, because he has demonstrated an important
theories of language. Yusuf Rizqah (1999) calls this term with Qawā'id wa Dzawq
al-Lughawiyyah (grammar and language sense) using empiricism (al-bayānī),
rationalism (al-burhānī) and intuitionism (al-'irfānī).
Even though, this research has a different opinion with Khaṭib al-Qazwaini
(1268 M), Muhammad Waqidi (1999) and Tammam Hassan (2011), they said that
Miftāh ‘Ulūm has many weaknesses and shortcomings. In the 7th century, Al-
Qazwaini made a new breakthrough to reconstruct al-Sakaki’s book, and then
known as Talkhis Miftāh ‘Ulūm (The Resume’s of Miftāh al-‘Ulūm). Similar to al-
Qazwaini, Ali Nikmat al-Azhari (2013) said that epistemology Miftāh ‘Ulūm is
purely rationalism (al-burhānī) because of the Grammar Language.
The author of this research use synchronous language research methods
namely historical research and reconstruction hermeneutics approach. Then, this
research is qualitative research by study of library.
So, this thesis concludes that al-Sakaki epistemology about the tools of the
having knowledge is a integralistic synthetic which combines these there
epistemologies at once. That is by placing the three tools of knowledge are five
senses (al-hissiyyah), mind (al-‘aql) and heart (al-qalb) in proportion.
By this research, the author supports the opinion which delivered by al-
Qawaini and Ali Nikmat al- Azhari about the importance of completing
epistemology on the method al-Sakaki’s book. It mean to balance between
Qawā’idiyyah (grammar language) and Dhawqiyyah (artistics language), as
recommendationed by Tammam Hassan to recheck the knowledge by critical
linguistic method.
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Konsonan
a = أ
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
ḥ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sh = ش
ṣ = ص
ḍ = ض
ṭ = ط
ẓ = ظ
ع = ‘
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
Vokal Pendek : a = ´ i = u =
Vokal Panjang : ā = ا ī = ي ū = و
Diftong : ay = يا aw= وا
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i
PENGANTAR PENULIS .............................................................................................. ii
ABSTRAK .................................................................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Masalah Penelitian
1. Identifikasi Masalah .................................................................... 9
2. Perumusan Masalah .................................................................... 10
3. Pembatasan Masalah ................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian............................................................................... 12
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 12
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................................... 13
F. Landasan Teori .................................................................................. 15
G. Metodologi Penelitian ....................................................................... 17
H. Sistematika Penulisan ....................................................................... 18
BAB II EPISTEMOLOGI DAN SEJARAH ILMU BALAGAH
A. Epistemologi Ilmu dalam Tradisi Islam dan Barat ........................... 21
B. Konsep Epistemologi Ilmu dalam Tradisi Islam ............................... 24
1. Metode Bayānī .............................................................................. 25
2. Metode Burhānī ............................................................................. 26
3. Metode Irfānī ................................................................................. 27
C. Konsep Epistemologi Ilmu dalam Tradisi Barat ............................... 29
x
1. Metode Empirisme ....................................................................... 31
2. Metode Rasionalisme ................................................................... 32
3. Metode Intuisionisme ................................................................... 34
D. Epistemologi Ilmu Bahasa dan Sastra Arab ....................................... 36
E. Sejarah Ilmu Balāghah ........................................................................ 38
1. Pengertian Ilmu Balāghah ............................................................ 40
2. Balāghah Sebelum Masa al-Sakaki .............................................. 43
3. Balāghah Pasca al-Sakaki hingga Era Modern ............................. 49
BAB III DINAMIKA INTELEKTUAL AL- SAKAKI
A. Sejarah Hidup al-Sakaki (550 H – 626 H) ......................................... 55
B. Setting Sosial Intelektual
1. Kelahiran al-Sakaki ....................................................................... 58
2. Pendidikan, Pekerjaan dan Proses Awal Kepengarangannya ........ 61
3. Sastrawan dan Pemikir yang Mempengaruhi al-Sakaki ................ 63
4. Respon Ulama kepada al-Sakaki ................................................... 65
C. Karya Intelektual al-Sakaki ............................................................... 70
D. Pemikiran Balāghah al-Sakaki Kontinuitas dan Perubahan ............. 72
BAB IV EPISTEMOLOGI MIFTAH ‘ULUM
A. Deskripsi Umum Miftāh ‘Ulūm ....................................................... 78
B. Karakteristik Miftāh ‘Ulūm ............................................................. 80
1. Miftāh ‘Ulūm terbagi kepada 3 Komponen Keilmuan ................ 82
2. Miftāh ‘Ulūm Menggunakan Metode Taqrīrī .............................. 88
3. Ma’ānī dan Bayān lebih Utama, Badī’ Penyempurna .................. 91
C. Empirisme sebagai Epistemologi Miftāh ‘Ulūm.............................. 100
1. Empirisme al-Sakaki dalam Kajian al-Amr ................................. 101
2. Empirimse al-Sakaki dalam Kajian al-Nahy ................................ 103
3. Empirisme al-Sakaki dalam Kajian al-Majāz ............................... 104
D. Rasionalisme sebagai Epistemologi Miftāh ‘Ulūm ......................... 105
1. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian al-Istifhām ....................... 109
2. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian al-Hadzf ........................... 113
3. Rasionalisme Al-Sakaki dalam Kajian al-Qaṣr, al-Waṣl, dan
al-Faṣhl ........................................................................................ 117
4. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian al-Taṣbīh .......................... 122
5. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian al-Isti’ārah ....................... 124
E. Intuisi sebagai Epistemologi Miftāh ‘Ulūm ..................................... 125
1. Intuisi al-Sakai dalam Kajian al-Amr ........................................... 128
2. Intuisi al-Sakaki dalam Kajian al-Isti’ārah .................................. 130
2. Intuisi al-Sakaki dalam Kajian al-Taṣbīh ..................................... 132
xi
3. al-Sakaki dalam Kajian al-Majāz dan al-Kināyah ....................... 135
4. Intuisi dalam Kajian al-Ṭibāq dan al-Jinās ................................... 138
F. Kritik dan Apresiasi Epistemologi terhadap Miftāh ‘Ulūm ............ 141
1. Kritik Terhadap Miftāh al-‘Ulūm ................................................ 142
2. Apresiasi Terhadap Miftāh al-‘Ulūm ........................................... 147
G. Relevansi Miftāh al-‘Ulūm dengan Linguistik Modern .................. 149
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 153
B. Saran dan Kritikan .............................................................................. 155
DAFTAR PUSTAKA _157
GLOSARI_165
INDEKS_166
BIODATA PENULIS_170
DAFTAR LAMPIRAN_166
xii
Jika seni bertujuan untuk memelihara akar dari budaya kita,
Maka masyarakat harus membiarkan seniman bebas mengikuti visi mereka
masing-masing, kemanapun hal itu membawa mereka.
John F. Kennedy
Politikus dan presiden ke-35 Amerika Serikat 1917-1963
1
BAB I
EPISTEMOLOGI BALĀGHAH
Studi atas Miftāḥ al-‘Ulūm Karya al-Sakāki
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa cenderung terlibat pada semua aspek kebudayaan, karenanya antara
kedua komponen bahasa dan budaya tersebut sangat memiliki hubungan yang erat
dan tidak akan pernah terpisah. Kecenderungan itu bahkan terjadi bukan saja pada
pengembangan kebudayaan dan cerminan masyarakatnya, tetapi juga tampaknya
pada indentitas suatu bangsa. Dengan demikian, hubungan antara keduanya
merupakan hubungan subordinatif, di mana bahasa itu sendiri berada di bawah
lingkup budaya.1 Dalam hubungannya dengan budaya secara filogenetik,
2 maka
bahasa adalah unsur kebudayaan. Namun, secara ontogenetik justru sebaliknya, di
mana seseorang yang belajar budaya pasti melalui bahasa.3 Misalnya, ketika
seseorang ingin mengetahui budaya Timur Tengah, maka sebagai kuncinya tentu
saja ia harus mengenali bahasa Arab4 terlebih dahulu. Dengan makna lain bahwa
seseorang yang memproleh ilmu, pengalaman bahkan ide-ide dalam kehidupannya
adalah dengan bantuan bahasa.
Dengan demikian, setiap individu dalam masyarakat dipastikan menggunakan
alat komunikasi sosial yakni bahasa secara kontinuitas. Sebab, tidak ada masyarakat
yang berbudaya tanpa bahasa, dan tidak ada bahasa tanpa masyarakat sosialnya.
1Abdul Chaer dan Leonia Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta:
Rineka Cipta, 1995), 57.
2Menurut Nababan budaya dan bahasa dalam kaitannya antara kedua komponen
tersebut dimasukkan pada kelompok filogenetik yaitu untuk menunjukkan adanya
hubungan jenis secara sistemik. Adapun kelompok kedua disebut sebagai ontogenetik
untuk menunjukkan adanya hubungan peorangan dalam mengarungi budaya melalu bahasa
dengan belajar. Lih. Nababan, Hubungan dan Permasalahan antara parawisata,
kebudayaan dan Bahasa (Yogyakarta: Pelita Ilmu, 2001), 8.
3Gerard Holton, Modern Science and the Intelectual Tradition The New Scientist
(New York: Doubleday, 1962), 202.
4Bahasa Arab sebagai bahasa budaya di seluruh Timur Tengah khususnya Arab
Saudi sebagai kelahirannya, ia adalah bahasa tertua di dunia memiliki peran yang
signifikan, bukan saja berpengaruh dalam ranah budaya melainkan juga memberikan peran
tersendiri dalam perekonomian, perpolitikan, kesosialan bahkan kemajuan dan
perkembangan tekhologi di dunia. Itu sebabnya, bahasa Arab pun diakui langsung oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa/ United Nations (PBB) yang berpusat di Swiss sebagai
warisan budaya dan bahasa internasional sejak tahun 1973 M. Lih. Abu Hamza Yusuf al-
Atsari, Pengantar Mudah Belajar Bahasa Arab (Bandung: Pustaka Aohwa, 2007), 5.
Senada dengan kata Azman Ismail (2016 M) bahwa perkembangan sebuah bahasa pasti
dipengaruhi oleh sebuah kebudayaan. Lih. Azman Ismail, Dinamika Perkembangan
Pembelajaran Bahasa Arab antara Teori dan Praktek, Jurnal Arab Lisanuna Vol. 6 No. 2,
Desember 2016, 430. Para pengkaji bahasa Arab sendiri menuturkan bahwa bahasa Arab
memiliki berbagai macam cabang keilmuan diantaranya ilm naḥwiyah (sintaksis Arab), ilm
ṣarfiyyah (morfologis Arab), ilm balāghiyyah (semantik Arab).
2
Benyamin Lee Whort dan Edward Sapir (1971 M), menyimpulkan dalam sebuah
hipotesisnya yang dikenal agak mengejutkan dan melawan arus, mereka
menegaskan bahwa pada kenyataannya bahasalah yang menentukan corak dan
identitas suatu masyarakat.5
Seiring dengan perkembangan budaya pada semua lini yang ada di dunia,
bersama itu pula ilmu pengetahuan tentunya mengalami perkembangan yang sangat
signifikan. Sebab, setiap perkembangan yang terjadi tidak pernah lepas dari
pemahaman manusia yang mengalami perkembangan dan perubahan menuju
kebudayaan yang lebih baik lagi.6 Michael Halliday (1994 M) bahkan mencoba
menghubungkan bahasa, terutama dengan satu sisi yang penting bagi pengalaman
manusia, yaitu struktur sosial. Ia menegaskan bahwa bahasa adalah produk proses
sosial. Sehingga tidak ada fenomena bahasa yang vakum sosial, sebaliknya ia selalu
berhubungan erat dengan aspek-aspek sosial.7 Maka karena itu bahasa pun dapat
disimpulkan bahwa ia adalah bagian dari kekayaan budaya suatu masyarakat.
Lebih jauh, Cavallaro (2004 M) mengungkapkan bahwa kajian budaya dalam
hubungannya dengan bahasa merupakan gerakan keilmuan dan praksis kebudayaan
yang mencoba cerdas-kritis menangkap semangat teori-teori budaya yang bias
kepentingan elit budaya dan kekuasaan, sembari merengkuhkan perhatiannya pada
budaya-budaya yang selama ini tidak terjamah atau tidak diakui oleh ilmu-ilmu
sosial humaniora tradisional yang telah mapan. Karena sifatnya yang kritis, kajian
budaya memiliki sifat disiplin dan metodologi yang sangat berbeda dengan ilmu-
ilmu yang sudah mapan yang umumnya disipliner. Kajian budaya bersifat
interdisiplin atau posdisiplin, bahkan bersifat eklektis. Harapan ini paling tidak dapat
ditemukan dalam dalam bidang linguistik (critical linguistics)8 atau yang sering
disebut oleh Tammam Hassan (2011 M) dalam karyanya al-Uṣūl sebagai al-Naqd
al-Adabi.9
Secara fungsional, ada banyak kelebihan dalam mengkaji linguistik kritis
(critical linguistics) karena ia bertujuan untuk mengungkap hubungan kuasa
5Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 15.
6Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1984), 40.
7Anang Santoso, Jejak Halliday dalam Linguistik Ktiris dan Analisis Wacana
Krisis, Bahasa dan Seni, Vol. 36, No. 1, Februari 2008, 2.
8Linguistik atau ilmu bahasa adalah disiplin ilmu yang mempelajari bahasa secara
luas dan umum. Dalam cakupannya tersebut ilmu bahasa terbagi kepada dua lingkup
penting yaitu mikrolinguistik yang mencakup lingkup linguistik yang mempelajari bahasa
dalam rangka kepentingan ilmu bahasa itu sendiri, tanpa mengaitkan dengan ilmu lain dan
tanpa memikirkan terapan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Bidang ini meliputi
teori-teori linguistik, historis dan deskriptif. Sedang yang kedua adalah makrolinguistik
yaitu lingkup linguistik yang mengkaji bahasa dalam kaitannya degan dunia di luar
bahasa, baik berupa hubungannya antara linguistik dengan bidang ilmu lain maupun
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, model ini pun terbagi kepada 2 macam yaitu
linguistik interdisipliner dan linguistik terapan. Kajian linguistik tersebut menjadi kajian
khusus kebudayaan yang menjadi identitas pada suatu komunitas tertentu. Lih. Soeparno,
Dasar-Dasar Linguistik Umum (Yogyakata: Tiara Wacana, 2013), 25-26.
9Tammam Hassan, Kitab al-Uṣūl Dirāsah Epistīmulūjiyyah li al-Fikri al-Lughawī
‘Inda al- ‘Arab (Kairo: Allamul Kutub, 2000), 243.
3
sembunyi dan proses-proses ideologis yang muncul dalam teks lisan maupun tulis.
Di sisi lain, ia juga mampu untuk meluruskan kekeliruan yang terjadi pada teks lisan
maupun tulis khususnya, seperti karya sastra dari kaidah-kaidah bahasa, sosial,
moral, teori sastra, bahkan kekeliruan epistemologi dan estetikanya. Sebab, critical
linguistics pasti membicarakan arah teori bahasa dalam fungsi yang penuh dan
dinamik dalam konteks-konteks historis, sosial, dan retoris.10
Critical linguistics dalam penerapannya akan memberikan landasan yang
kokoh untuk menganalisis penggunaan bahasa yang nyata antara lain dalam politik,
budaya, media massa, komunikasi multikultural, perang, iklan, dan relasi gender
bahkan dalam karya-karya ilmiah. Piranti-piranti untuk menganalisisnya adalah
seleksi gabungan dari kategori deskriptif yang sesuai dengan tujuannya, khususnya
struktur-struktur yang di identifikasikan sebagai komponen ideasional dan
interpersonal. Pandangan instrumental Halliday (1994 M) terlihat pada pandangan
ahli bahasa Fowler tentang fungsi klasifikasi bahasa. Menurutnya, dunia tempat
hidup manusia bersifat kompleks dan secara potensial membingungkan.
Menghadapi dunianya yang kompleks, manusia melakukan proses kategorisasi
sebagai bagian dari strategi umum untuk menyederhanakan dan mengatur dunianya
itu. Manusia tidak menggunakan secara langsung dunia objektif, tetapi
menghubungkannya melalui sistem klasifikasi dengan menyederhanakan fenomena
objektif dan membuatnya menjadi sesuatu yang mudah dikelola.11
Pada objek teks suatu karya ilmiah, misalnya teks sastra pun menjadi
sebanding dengan tingkah laku sosial yang berlaku dalam masyarakat, baik politik,
ekonomi, maupun sikap sosial lainnya yang menjadi rujukan empirisme ilmu politik,
ekonomi, dan sosiologi. Muhammad Hassan Abdullah (1990 M) menegaskan bahwa
hal semacam inilah yang disebut sebagai teori formalisme dalam kritik sastra.
Karena menurutnya metode tersebut juga mengikuti metode linguistik atau yang
sering disebut sebagai critical linguistics atau al-manhaj al-lughawī dan metode
estetika yang mementingkan keindahan bentuk sastra bahasa. Victor Shklovsky
(1930 M) menambahkan jika dibaca dari sudut pandang formalisme maka dengan
mudah bahasa yang merupakan alat penghubung budaya pasti mampu untuk
menganalisis komponen-komponen linguistik yang ada padanya. Analisa linguistik
tersebut setidaknya dibatasi pada fonetik, morfem maupun sintaksis. Namun, juga
pada semua aspek yang ada dalam sastra bahasa sebagai sarana untuk menggapai
tujuan sebuah cita rasa (artistik).12
Sebab itu, sastra bahasa menurut Ali Ni’mah al-Azhari (2013 M) adalah seni
yang tujuan awalnya untuk membangkitkan rasa, bukan mengungkapkan realitas dan
pikiran dengan sempurna.13
Dalam kitab Uṣūl al-Naqd al-Adabī karya Ahmad al-
Shayib (1964 M), ia menekankan bahwa pada sastra bahasa harus memiliki empat
10Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern (Jakarta: Rajawali
Press, 2012), 53.
11
Anang Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Ktiris dan Analisis Wacana
Krisis, Bahasa dan Seni, Vol. 36, No. 1, Februari 2008, 7.
12
Ahmad Hussein Zayyat, Tārīkh al-Adab al-‘Arabī (Kairo: Dar Nahdhah, t.t.), 27.
13
Ali Ni’mah al-Azhari, Sharh Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm li Imam al-Sakākī (Kairo:
Dar al-Qanat, 2013), 77.
4
unsur penting yaitu; rasa, imajinasi, gaya bahasa yang indah dan ide yang brilian.
Dengan demikian menurutnya sastra harus mampu mengesploitasi rasa,
menyampaikan hal-hal yang eskafistis dari alam kenyataan, diksi dan ungkapan
yang indah serta ide yang dimilikinya harus mencerminkan kehidupan pribadi
pengarang dan sosial budayanya.14
Bahkan sastra sebagai alat komunikasi seni tidak
boleh terlepas dari fungsi emotif, afektif, dan penalaran pengarangnya.15
Hal tersebut bertujuan agar sampai pada artistik bahasa yang berkualitas dan
memiliki seni yang indah. Maka dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang mutlak
dalam seni adalah kemahiran, ketegasan, kecakapan dan keahlian. Sehingga pada
akhirnya seni tersebut akan memberikan arti sebuah nilai yang subyektif.
Sesuatu yang indah pada alam seni akan menimbulkan perasaan imajinatif,
senang, nikmat dan menjadi penalaran. Maka saat itulah seseorang mengalami
penghayatan estetika yang merupakan bagian dari kajian ilmu filsafat.16
Ketika
menyentuh kepada kajian mengenai keindahan, kesenian bahkan kesenangan yang
diakibatkan oleh keindahan tersebut maka pasti akan menimbulkan suatu ilmu
pengetahuan yang besar. Filsuf Yunani Aristoteles (322 SM) dan filsuf Jerman
terkemuka Immanuel Kant (1804 M) menyimpulkan bahwa ada tiga tema besar
dalam kajian filsafat17
sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan, yakni;
Kenyataan, Nilai, dan Pengetahuan. Ketiga tema besar filsafat ilmu tersebut masing-
masing dikaji oleh tiga cabang besar ilmu filsafat. Di mana tema kenyaataan adalah
seni kajian metafisika, nilai pada bidang kajian aksiologi dan pengetahuan
merupakan bidang kajian epistemologi.18
Seorang pakar ilmuwan terkemuka dari Yale University, Koestenbaum (1968
M) mengutarakan bahwa filsafat epistemologi terhadap dasar atau teori sebuah ilmu
pengetahuan sangatlah penting untuk diketahui karena ia bertujuan untuk menguji
dasar-dasar dan proses-proses terbentuknya semua pengetahuan manusia.19
Sebab,
kebenaran suatu ilmu pengetahuan yang ada dalam sebuah karya dan ide manusia
haruslah bisa di ukur. Salah satunya di mana setiap pernyataan-pernyataan yang
14Anang Santoso, Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana
Krisis, 2.
15
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 301.
16
Nanang Rijali, Seni: Estetika, Logika, dan Etika, Jurnal Wacana Seni Rupa Vol.3,
No.6, September 2013, 4.
17
Filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan, berfungsi untuk menetapkan
dasar-dasar yang dapat diandalkan dalam mengukur sebuah kebenaran atau keabsahan
sebuah pengetahuan. Karena dasarnya yang spekulatif, filsafat memiliki tugas utamanya
untuk menelaah segala yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia, sehingga menurut
Wittgenstein (2008 M), selain tujuannya adalah untuk menghasilkan pernyataan filsafati,
maka yang paling terpenting adalah menyatakan pernyataan sejelas mungkin. Dengan
demikian maka epistemologi dan bahasa merupakan gumulan utama para filsuf. Lih. Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2013), 30.
18
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), 24. 19
Wayne Koestenbaum, Philosophy: A General Introduction, (New York: American
Book Company, 1968), 2.
5
menopang pengetahuan tersebut harus memiliki acuan pada kenyatannya, sehingga
dapat dikategorikan menjadi sebuah kebenaran suatu pengetahuan yang valid.20
Dalam hal ini tentu saja tidak terbatas apapun itu jenis keilmuan dan karyanya, maka
haruslah bisa diukur dan diuji teori kebenarannya. Sehingga keilmuan yang ada
padanya menjadi akurat dan berkualitas serta tidak terbantahkan oleh sesuatu
apapun.
Oleh sebab itu, George Fieldman (2002 M) berpendapat untuk setiap pembaca
tidak boleh langsung meyakini kebenaran dan mengimani sebuah pengetahuan,
melainkan harus meragukannya terlebih dahulu.21
Misalnya, pemahaman seorang
sastrawan Prancis Henry Remak (1991 M) mengenai sastra, ia berpendapat bahwa
sebuah estetika sastra hanya estetika kebahasaan yang dapat digunakan pada
pambahasan dan metodologinya. Namun, ternyata ia kembali merevisi pendapatnya
bahwa tidak saja estetika bahasa yang dapat digunakan tetapi juga relasi antarunsur
menjadi sangat urgent. Di mana unsur - unsur itu dilihat sebagai sebuah artefak
(benda seni) yang terdiri dari berbagai unsur intrinsik. Begitu juga menurutnya pada
contoh lainnya pada sebuah prosa, haruslah terdiri dari unsur tema, plot, latar, tokoh
bahkan gaya bahasa.22
Inilah tugas mulia ilmu filsafat untuk kembali mempola atau menkonfirmasi
ulang akan kebenaran sebuah ilmu pengetahuan, dengan artian tidak langsung
mengambilnya begitu saja tanpa adanya teori yang dapat mengukur kebenaran itu.
Tamman Hassan (2011 M) selalu mewanti-wanti agar setiap karya ilmiah
kesusastraan memiliki alat ukur kebenaran cara berifikir para penulis atau
pengarangnya. Bukan hanya sampai disitu, namun juga pada linguistic critical
disebutkan bahwa kepribadian tokoh penulisnya menjadi corak bergumulnya bahasa
dan ide pemikirannya.23
Sebagaimana yang diutarakan oleh Ibn Rusd dalam
karyanya, ia menyebutkan bahwa landasan epistemologi ilmu yang diperoleh oleh
manusia pasti tidak terlepas dari pemikirannya tentang realitas yang bersifat
hierarkis.24
Menurut Tammam Hassan pengetahuan itu bersumber dari tiga hal, yaitu
kashf (intuisi), wahyu (al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah صلى هللا عليه وسلم), dan yang
terakhir adalah ‘aql (rasio).25
Maka pada karya ilmiah tulisan maupun lisan manapun
haruslah memiliki estetika yang memberikan dampak penghayatan dan nalar yang
lebih baik, sehingga dapat menghasilkan sebuah nilai dan moral yang berkualitas
keilmuan. Sebab, sastra bukan hanya pada bahasa, tapi juga mengandung budaya,
adat, kebiasaan bahkan nilai-nilai norma26
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
20
Adrew Seth, The Problem of Epistemology, Vol. 1, No. 5, September 1892, 504-
517. 21
George Fielman, Understanding Psychology, (Boston: McGraw-Hill, 1999), 27. 22
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 70.
23
Tammam Hassan, Kitab al-Uṣūl Dirāsah Epistīmulūjiyyah li al-Fikri al- Lughawī
‘Inda al- ‘Arab, 161. 24
George Fielman, Understanding Psychology, 45.
25
Khudori Sholeh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2016), 243.
26
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Kairo: Dar Tsaqafah al-Islamiyah, 1365 H), 55.
6
Sebab itu, studi terhadap sastra relasinya dengan filsafat keilmuan tampaknya
merupakan studi yang baik dan menarik untuk dilakukan. Dalam sastra Arab, di
antara karya sastra yang layak dilakukan studi untuk melihat sastra relasinya dengan
filsafat epistemologi adalah Miftāḥ al-‘Ulūm, karya Abu Ya’qub Sirajuddin Yusuf
al-Sakaki al-Khawarizmi al-Hanafi yang termasuk ke dalam kategori kitāb al-turāts
al-qadīm.27
Karya al-Sakaki yakni Miftāḥ al-‘Ulūm dikenal sebagai karya tulis yang
telah mematangkan dan menyempurnakan keberadaan ilm balāghah sebagai disiplin
ilmu sastra Arab dengan memetakannya menjadi tiga cabang ilmu sebagai
komponennya yaitu ilm ma’ānī, ilm bayān, dan ilm badi’.28
Al-Suyuti (1979) menambahkan, bahwa sekalipun awal pembahasan dalam
kitab tersebut sebelumnya juga dibahas tentang ilm nahw (sintaksis) dan ilm sharf
(morfologis). Ia beralasan bahwa secara keilmuan sastra bahasa, karya ini telah
melahirkan kontroversi di antara para ahli sastra. Mayoritas ahli bahasa pada masa
kelahiran karya al-Sakaki tersebut sangat terilhami dengan penjabaran dan
pembagian ilm balāghah yang lebih jelas, yaitu kepada tiga komponen ilmu
sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Adapun pada masa sebelumnya, Abdul Qahir
al-Jurjani belum pernah memunculkan pembagian ilmu seperti yang dilakukan oleh
al-Sakaki melainkan hanya pada pembahasan ilmu ma’anī saja.29
Di antara beberapa ahli bahasa yang sangat terkenal dalam menyanjung karya
al-Sakaki adalah Jalaluddin al-Suyuthi (1979), ia menyebut bahwa kehadiran Miftāḥ
al-‘Ulūm adalah awal dari kebangkitan ilmu balagah.30
Senada dengan Abbas
Baidhun (2013) yang menyimpulkan bahwa Miftāḥ al-‘Ulūm adalah karya seni
linguistic yang brilian, tidak hanya sampai disitu bahkan ia menjuluki al-Sakaki
sebagai bapak ilmu balagah. Karena menurutnya ia telah melahirkan teori-teori
penting dalam seni berbahasa yang tidak di dapatkan pada ahli sebelumnya.31
Sukron Kamil menyatakan bahwa sebagai sebuah disiplin ilmu, balāghah
meliputi tiga bidang keilmuan yakni al-ma’ānī, al-bayān dan al-badī’. Namun,
penyebutan balāghah untuk ketiga bidang tersebut baru terjadi ketika al-Sakaki pada
tahun 626 H (sekitar abad ke- 13 M). Sebelumnya, pada abad ke-5 H atau tepatnya
pada tahun 471 H, ketika al-Jurjani menulis Asrār al-balāghah dan Dalāil al-I’Jāz,
kata balāghah digunakan hanya untuk menunjuk ilmu bayān dan badī’ saja. Maka
27
Dalam kitab al-Turāth wa al-Tajdīd disebutkan bahwa kitāb turāts al-qadīm
adalah buku-buku peninggalam terdahulu sebelum abad ke- 17. Pada masa itu buku-buku
tersebut telah menjadi identitas sebuah bangsa dan sebagai penanda kejayaan dan
perkembangan sebuah negara. Di antaranya adalah ada ilmu tafsir, bahasa, budaya bahkan
matematika. Hasan Hanafi bahkan menegaskan bahwa kitab-kitab tersebut di kuasi oleh
negara sebagai kekayaan budaya. Lih. Hasan Hanafi, al-Turāts wa al-Tajdīd mauqifunā fī at-
Turāts al-Qadīm (Beirut: Muassasat Jami’iyyat, 1992), 18. 28
Abdul Muta’ali al-Ṣa’idi, Bughyah al-Īdhōh li Talkhīṣ al-Miftāḥ fī ‘Ulūm al-
Balāghah (Kairo: Maktab al-Adab, 1999), 3.
29
Jalaluddin al-Suyuti, Bughyah al-Wu’āt fī Ṭabaqāt al-Lughawiyyīn wa al-Nuhāt
(Kairo: Dar al-Fikr, 1979), 78.
30
Jalaluddin al-Suyuti, Bughyah al-Wu’āt fī Ṭabaqāt al-Lughawiyyīn wa al-Nuhāt, 23-
25 31
Abbas Baidhun, Istidrōkāt al-Khaṭib ‘Alā al-Sakākī (Beirut: Dar Kutub, 2013), 15.
7
sebagian ahli pada masa klasik sebelumnya telah menyebut ketiganya itu, bukan
dengan sebutan ‘ilm al-balāghah, tetapi ‘ilm bayān.32
Hanya saja menurut Tammam Hassan, ketika al-Sakaki merincikan ilm al-
bayān dan ilm al-badī’ ia masih menggabungkan antara keduanya dalam satu ilmu
dengan istilah ‘ilm al-mahāsin yang terbagi ke dalam dua bagian, yakni al-mahāsin
al-lafẓiyyah dan ma’nawiyyah.33
Begitu juga pada sistematika pembagian al-majāz
kepada mufīd dan ghair mufīd yaitu pada rumpun lughawī dan ‘aqlī belum
dijelaskan secara detail akan penyebab pembagian tersebut masuk ke dalam rumpun
pembahasan lughawī dan ‘aqlī. Belum lagi menurutnya ilm al-balāghah yang
disajikan terkadang mirip seperti qawā’id al-lughawīyyah (language gramatical),
padahal tujuan ‘ilm al-balāghah yang sesungguhnya adalah pada dhawq al-lughawī
(language sense).34
Maka berdasarkan metodologi sajian karya tersebut perlu
kembali dikaji mendalam khususnya pada unsur gaya bahasa, emotif dan nalar yang
dituangkan oleh al-Sakaki ketika memformulasikan karya Miftāḥ al-‘Ulūm,
sehingga dapat dikonstruksi menjadi lebih baik lagi.
Ahmad Mathlub (2013) dalam karyanya buhūts al-balāghiyyah menyebutkan
ada beberapa kejanggalan yang sulit dinalar dan dimengerti oleh para pembaca dan
peneliti, di antaranya al-Sakaki sering sekali menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an untuk
memperbanyak perbendaharaan contoh dalam sub materi yang dijelaskan, namun al-
Sakaki sangat membatasi penjelasan pada bentuk shawāhid dari ayat-ayat al-Qur’an
yang dicantumkan tersebut bahkan cenderung tidak menjelaskan detail alasan
pengutipan ayatnya. Pada beberapa kesempatan lain, ia juga sengaja membatasinya
pada bentuk-bentuk syair-syair atau puisi sebagai permisalannya.35
Tammam Hassan dalam karyanya Kitāb al-Uṣūl menerangkan bahwa
sesungguhnya ilm balāghah al-Sakaki tidak ada ubahnya dengan ilm naḥw, sehingga
dhawq al-lughawī sebagai tujuan dari karya tersebut hampir hilang dari tujuannya.
Bahkan menurutnya ilm al-ma’ānī yang merupakan pembagian dari ilm balāghah
tersebut adalah bagian dari kajian naḥw, hanya saja tidak membahas tentang
pembagian jumlah melainkan rangkain kalimat yang telah disusun secara
sempurna.36
Sebab itu, Ali Ni’mah al-Azhari menyimpulkan bahwa karya Miftāḥ al-
‘Ulūm lebih dekatnya kepada ilm qawāi’id al-lughah karena di dalamnya ia belum
banyak membahas kepada dhawq al-lughah melainkan hanya sekelumit saja sebagai
bagian dari pengembangan setiap kaidah tertentu.37
Maka karena itulah menurutnya
perlu meninjau ulang dan dikembalikan kepada marwah-nya agar para generasi
muda tidak salah dalam memahami ilm balāghah sebagai linguistic sense.
Dhawq al-lughawī atau linguistic sense dalam pembuktiannya setidaknya
diperoleh melalui logika dan ilmiah. Omar Muhammad Aunee (2008) dalam
penelitiannya terhadap dhawq al-lughah, ia menemukan ada hubungan antara naluri
32
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 140.
33
Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl, 282.
34
Sirajuddin Abu Ya’qub al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah,
1987), Cet. 2, 400.
35
Ahmad Mathlub, Buhūts Balāghiyyah (Baghdad: Majma’ Ilmi al-‘Iroqi, 1996), 15.
36
Tammam Hassan, Kitab al-Ushūl, 161.
37
Ali Nikmah al-Azhari, Sharh Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm li Imam al-Sakākī (Kairo:
Dar al-Qanat, 2013), 77.
8
dan usaha ilmiah yang dilakukan oleh manusia sehingga ma’rifat sesuatu ia dapat
mengambilnya dengan mudah. Bahkan, menurutnya cahaya intuisi (‘irfānī)
diperoleh secara alamiah, Allah telah menganugerahkannya ke dalam hati setiap
pewarisnya yaitu para ilmuwan yang mereka terus menerus melakukan sebuah
pelatihan, belajar dan mendalami kebenaran.38
Maka itulah sebabnya, Tammam
Hassan melihat pada karya milik al-Sakaki tersebut bahwa linguistic sense- nya
masih jauh dari tujuan, padahal ia adalah tujuan utama ilm balāghah sebagaimana
yang disebutkan oleh al-Sakaki bahwa ilm balāghah adalah puncak kemahiran
dalam berbahasa. Adapun akibat yang tampak dari penulisan karya tersebut justru
memperlihatkan kelemahan dan kekurangannya secara metodologis.39
Disisi lain, Muhammad Waqidi (1999) dalam karyanya al-balāghah al-
‘Arabiyyah Uṣūluhā wa Imtidāduhā memuji apa yang telah dilakukan oleh al-Sakaki
pada karya fenomenalnya Miftāḥ al-‘Ulūm karena telah meletakkan sebuah sejarah
sastra yang paling penting untuk dipelajari dan diambil manfaatnya. Namun, selain
itu ia juga cederung mengkritik terhadap pembagian ilm balāghah yang menurutnya
ilmu bayān adalah seperti ilm al-manthiq, ilmu al-ma’ānī seperti ilm naḥw,
sedangkan ilmu al-badī’ dan al-‘arūḍ adalah seperti syair.40
Pada awal abad ke- 7 H telah muncul seorang tokoh pembaharu yang
membuat sebuah terobosan baru untuk menyederhanakan karya Miftāḥ al-‘Ulūm,
dan pada kesimpulannya ia tetap mempertahankan ingkatan ‘ilm balāghah kepada 3
istilah penting sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Ia melakukan
penyederhanaan sekaligus menyatukan beberapa ide pemikiran al-Sakaki yang
dianggap kurang fleksibel seperti pembagian cabang-cabang ilm al-ma’ānī kepada 7
cabang khusus yang sebelumnya yaitu Aḥwāl Isnad al-Khabarī, Aḥwāl al-Musnad
Ilaihi, Aḥwāl al-Musnad, Aḥwāl Mutaṭallaqāt al-Fi’il, al-Qaṣr, al-Inshā dan al-Faṣl
wa al-Waṣl. Begitu juga istilah al-mahāsin ia tidak menghilangkannya, hanya saja
membuat Miftāḥ al-‘Ulūm lebih tersusun rapi kepada sub-sub judul yang tentunya
lebih mudah dipahami oleh pembacanya, ia adalah Khatib al-Qazwaini (739 H).41
Terobosan baru tersebut akhirnya dinamai oleh Khatib al-Qazwainī dengan
judul Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm.42
Kitab tersebut telah menjadi rujukan dan pilihan
utama bagi para peneliti bahasa Arab khususnya ilm balāghah. Terlebih karya
tersebut pernah dijadikan rujukan utama materi balagah di Universitas al-Azhar
38Omar Muhammad Aunee, The Linguistic Sense and Its Effect on Languange, Jurnal
Pendidikan Kebahasaan, Vol. 7, No. 4, Mei 2008, 157.
39
Sirajuddin Abu Ya’qub al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 368.
40
Muhammad Waqidi, al-Balāghah al-‘Arabiyyah Uṣūluhā wa Imtidāduhā (Beirut:
Dar Baidha’, 1999), 26.
41
Nama lengkapnya adalah al-Khatib al-Qazwainī Jalaluddin Muhammad ibn
Abdurrahman ibn Umar Ibn Muhammad, lahir di kota Maushul al-Qazwain di Suriah.
Seorang filsuf dan sastrawan non-‘ajm yang sangat masyhur dengan karyanya Talkhīṣ Miftāḥ
al-‘Ulūm. Ia pernah menjabat sebagai qaḍi (hakim) pada masa pemerintahan raja Nashir di
Mesir. Ia wafat tahun 739 pada usianya yang ke-73 tahun di ibukota Damaskus Suriah.
lih.https:ar.wikipedia.org/wiki/al-khatibal qazwainy. (diakses pada 28 September 2017).
42
Tamam Hassan, 280.
9
Kairo Mesir. Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm dinilai telah menyajikan bentuk-bentuk kajian
kosakata dan kalimat serta pengklasifikasian sub judul ketiga cabang keilmuannya.43
Syaikh Azhar Ali Nikmah menuturkan bahwa Khatib al-Qazwaini dalam
karyanya Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm telah mampu mengakomodir tuntutan para
penutur al-‘Arab dan al-‘Ajam.44
Kemampuannya dalam menggabungkan dhawq al-
lughah dan qawā’id al-lughah menjadi ciri khas tersendiri dalam Talkhīṣ Miftāḥ al-
‘Ulūm.45
Usaha yang telah dilakukan oleh Khatib al-Qazwaini tersebut sejalan
dengan pendapat seorang pakar linguistic asal Amerika Lehman’s, ia mengatakan
bahwa keberhasilan sebuah karya bahasa terletak kepada penguasaan ilmu sintaksis
dengan benar kemudian dipadukan dengan dialek yang berlaku pada sebuah tempat,
namun tetap memperhatikan ekspresi bahasa yang naluri, sehingga budaya asli
pengarangnya tetap tercermin menyatu dengan lingkungan masa hidupnya.46
Maka
tentu saja dengan metode yang dibangun tersebut pastinya semakin memberikan
manfaat besar bagi para peneliti ilm balāghah dalam dunia bahasa dan sastra Arab.
Terjadinya penyederhanaan Miftāḥ al-‘Ulūm karya al-Sakaki oleh Khatib al-
Qazwainī pada awal abad ke- 7 H tersebut. Penulis tertarik untuk melihat dan
mengetahui sejauh mana relasi sastra dengan filsafat epistemologi yang
diformulasikan oleh al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm. Sebagaimana yang
telah disampaikan diawal bahwa sebuah ilmu sastra harus dilakukan uji teori untuk
menemukan kebenaran dan keyakinan, agar tidak menimbulkan spekulatif dan
keragu-raguan.
B. Masalah Penelitian
1. Indentifikasi Masalah
Memperhatikan uraian latar belakang masalah ini, sebagaimana telah
disinggung sedikit di atas, penelitian ini akan membatasi diri pada kajian
Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan dalam memformulasikan Miftāḥ al-‘Ulūm
karya al-Sakaki, di mana ia sangat perlu dibahas dalam penelitian ini, karena Miftāḥ
al-‘Ulūm termasuk karya yang sangat besar pengaruhnya dalam keilmuan balagah.
Alasan lainnya, karena mayoritas para linguis telah mengakui isi kitab tersebut
khususnya pada pembagian ilmu balagah kepada ilm al-bayān, ilm al-ma’ānī, dan
43Jamil H. A. Ayyash, Models of Alliteration Derivation in the Quran, International
Journal and Islam Thought,Vol. 3, No. 1, Juni 2013, 114-115.
44
Omar Muhammad Aunee menjelaskan bahwa ilmu balagah sejak awal jahiliyyah
tujuannya terbagi kepada dua yaitu untuk orang-orang Arab sendiri yang kemudian disebut
dengan istilah al-‘Arab, sedangkan yang kedua adalah untuk selain orang-orang Arab yang
dikenal dengan istilah al-‘Ajam. Kalangan al-‘Arab menjadikan ilmu balagah sebagai media
memproleh dhawq al-lughah. Sedangkan al-‘Ajam cenderung mempelajari ilmu balagah
untuk mengetahui kaidah-kaidah dalam berbahasa agar lebih mudah mempelajari al-Qur’an
dan al-Hadis. Sekalipun pada kedua pembagian tersebut berbeda namun pada intinya
tujuannya adalah untuk memperkaya dan memperkokoh kemahiran dalam berbahasa dan
sastra Arab. Lih. Omar Muhammad Aunee, The Linguistic Sense and Its Effect on
Languange, Jurnal Pendidikan Kebahasaan, Vol. 7, No. 4, Mei 2008, 222.
45
Ali Nikmah al-Azhari, Sharh Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm li Imām al-Sakākī (Kairo:
Dar al-Qanat, 2013), 10. 46
A. L. Kroeber, Incorporation as a Linguistic Process, New Series American
Anthropologist, Vol. 13, No. 4, Oktober 1911, 577-584.
10
ilm al-badi’ (art of schemes) yang dianggap sebagai penyempurna ilmu balagah.
Namun, kemunculan Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm karya imam al-Qazwainī telah
berdampak kepada kesempurnaan Miftāḥ al-‘Ulūm yang telah diformulasikan oleh
al-Sakaki dan hasilnya kini lebih mengutamakan Talkhis Miftāḥ al-‘Ulūm dibanding
karya awalnya. Namun, sekalipun demikian keutamaan adalah tetap milik yang
pertama sekalipun datang setelahnya yang lebih baik dan sempurna.
Keilmuan balagah khususnya mengenai dhawq al-lughah dan qawa’id al-
lughah sangat banyak dibicarakan oleh ilmuwan pada masa kini. Apalagi, ilmu
balagah bukan suatu hal yang asing lagi karena sudah dipakai sebagai style
kefashihan dan kematangan seseorang dalam berbicara dan menulis bahasa Arab.
Namun, hal itu tidak terlepas dari pro dan kontra di antara para pakar linguistik Arab
khususnya pada Miftāḥ al-‘Ulūm karya al-Sakaki. Sebagian linguis mengatakan
bahwa Miftāḥ al-‘Ulūm adalah sebuah kemajuan dari perkembangan keilmuan
bahasa Arab dan perkenalan terhadap budayanya karena adanya faktor
perkembangan zaman. Para linguis yang lain khususnya imam al-Qazwainī juga
mengutarakan pendapatnya bahwa sekalipun Miftāḥ al-‘Ulūm menjadi primadona
keilmuan balagah pada masanya, namun ia banyak memiliki kelemahan dalam hal
memformulasikan karya tersebut. Maka menurutnya perlu keberanian untuk
mengkonstruksi ulang agar berada pada tujuan awalnya menyeimbangkan antara
qawa’id dan dhawq, sehingga memiliki kualitas dan nilai manfaat yang tanpa
batas.47
Miftāḥ al-‘Ulūm dari segi isi banyak dipengaruhi kepada rasio dan
keintelektualan al-Sakaki,48
yang jauh berbeda dengan Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm
karya al-Qazwainī, sekalipun objek penelitiannya adalah Miftāḥ al-‘Ulūm. Oleh
sebab itulah, perlu digali kembali gaya bahasa dan metodologi penulisan yang ia
tuangkan, sehingga mampu menunjukkan budaya dirinya, lingkungannya bahkan
tahapan pembentukan atau proses kepengarangan karya tersebut. Maka, pentingnya
mengetahui proses tersebut menjadi pokok pembahasan utama dalam penelitian ini.
2. Rumusan Masalah
Setelah mengidentifikasi dan membatasi berbagai permasalahan yang terjadi
penulis menemukan dan menyimpulkan bahwa al-Sakaki memiliki kelemahan dalam
sistematika penulisan khususnya sumber dan metodologi pengetahuan dalam Miftāḥ
al-‘Ulūm, yang tentu saja hal ini bisa terjadi karena kemajuan ilmu pengetahuan dan
adanya temuan-temuan baru para tokoh pembaharu ilm balāghah khususnya setelah
abad ke- 7 H yang pada puncak kejayaannya adalah Khatib al-Qazwaini.49
Seorang
tokoh sastrawan Mesir bernama Najib Kaelani (1995) mengatakan bahwa kurun
waktu 600 M hingga 1250 M adalah termasuk masa keemasan Islam di mana pada
saat itu munculnya berbagai ilmuwan muslim seperti ibnu Sina, al-Razi, Ibnu
Khaldun, al-Sakaki dan termasuk al-Qazwaini yaitu pada masa kekhalifahan
47
Khatib al-Qazwaini, Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm (Beirut: Dar al-Fikr, 1911 H), 3-6. 48
Lamia Mustafa, A Survey of Autotamted Tools For Translating Arab Chat Alphabet
Into Arabic Language, American & Scholarly Research Journal, Vol. 4, No. 3, Oktober
2012, 1-6.
49
Shauqi Dhaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh, Cet. 7, 15.
11
Abbasiyyah. Kegiatan keilmuan pada masa tersebut difokuskan pada pendalaman
ilmu-ilmu keagamaan, seperti tafsir, hadis, fikih, bahasa dan yang sejenisnya.50
Namun, menurutnya sangat disayangkan jika penelitian-penelitian semacam
itu tidak lagi banyak peminatnya yang akhirnya berhenti hingga saat ini. Padahal
masa-masa sekarang, masa di mana umat manusia harus kembali memperdalam
keilmuan dan pengetahuannya demi sebuah budaya yang lebih baik lagi sebagai
cita-cita kehidupan manusia. Akibatnya ilm balāghah tidak lagi mengikuti
perkembangan kekinian, sehingga menjadi kaidah-kaidah yang kering dari
pembaharuan dan jamah dari tangan para ilmuwan bahasa dan pemikir kejayaan
ilmu Islam lainnnya, bahkan statis tidak berkembang maju sejak zaman itu sampai
sekarang. Maka problematika sejenis inilah yang perlu harus diwaspadai oleh umat
Islam agar keilmuan dan kebudayaan tidak statis. Jika diamati dengan cermat,
mereka yang hadir sebagai ilmuwan bahasa terkini tidak lebih dari melanjutkan,
menambahi atau justru mengkritik keilmuan-keilmuan linguistik terdahulu.
Oleh karena itu, menelaah ulang keilmuan balagah khususnya Miftāḥ al-
‘Ulūm karya al-Sakaki sebagai pionir utamanya saat itu sangatlah diperlukan untuk
direkonstruksi dan kembali mengetahui kelemahan-kelemahan dan kekurangan yang
terjadi baik secara teoritis maupun secara metodologis, karena Miftāḥ al-‘Ulūm
karya al-Sakaki tersebut telah berumur lebih dari seribu tahun.51
Upaya yang akan
dilakukan oleh penulis ini pada dasarnya bukan bertujuan untuk melemahkan
ketokohan ataupun karya al-Sakaki, melainkan adalah sebuah upaya untuk
membantu al-Sakaki mengembalikan wujud cita-citanya yang mulia untuk
melestarikan keilmuan ilm balāghah.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, penulis bermaksud meneliti
Epistemologi Balāghah Studi atas Miftāḥ al-‘Ulūm Karya al-Sakaki. Penelitian ini
tentu saja penelitian kebahasaan dan sastra dengan menggunakan pendekatan filsafat
ilmu dan deskriptif tokoh. Supaya penelitian ini lebih terarah, maka penulis akan
memfokuskan penelitian ini pada pertanyaan berikut:
1. Epistemologi apa yang dipakai oleh al-Sakaki dalam memformulasikan ilm
balāghah dalam Miftāḥ al-‘Ulūm?
2. Apa relevansi Miftāḥ al-‘Ulūm dalam konteks kritik atas epistemologi ilmu yang
sesuai saat ini?
3. Pembatasan Masalah
Melihat kepada luasnya ruang lingkup epistemologi di antaranya batas-batas
pengetahuan, sumber-sumber, struktur pengetahuan, persoalan metodologi dan
persoalan validitas pengetahuan.52
Maka penelitian ini akan memberikan batasan pada dua permasalahan saja
yaitu menganalisis keilmuan balagah pada Miftāḥ al-‘Ulūm untuk mengetahui
sumber dan metodologi pengetahuannya. Dalam analisis ini lebih terfokus pada
pemikiran dan deduktif melalui rasio atau pemikiran imam al-Sakaki dalam
50
Reza Ervani, Tiga Abad Kemunduran Islam (Jakarta: Tastqif Majalah Waqfah, 1997),
5-7.
51
Hussein Aziz, Studi Kritik Terhadap Ilmu Balāghah Klasik, Jurnal Islamica, Vol. 1,
No. 2, Maret 2007, 175.
52
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), 40.
12
memformulasikan Miftāḥ al-‘Ulūm. Maka penelitian ini untuk lebih mudah
menganalisanya akan menggunakan pendekatan deskriftif dan historioratif bahasa.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas,
maka penelitian terhadap Kritik Epistemologi Balāghah Studi atas Miftāḥ al-‘Ulūm
Karya al-Sakaki tentang keilmuan balagah ini akan bertujuan sebagai berikut:
1. Mengungkapkan epistemologi apa yang digunakan oleh Imam al-Sakaki
dalam memformulasikan ilm balāghah dalam Miftāḥ al-‘Ulūm.
2. Menjabarkan dan merincikan relevansi Miftāḥ al-‘Ulūm dalam konteks kritik
atas epistemologi ilmu yang sesuai saat ini
Dengan tujuan tersebut akan terkembangkan nilai-nilai positif dari kitab
Miftāḥ al-‘Ulūm serta dapat menjadi pemicu akan lahirnya kembali gerakan
pembaharu terhadap ilm balāghah dengan lebih cermat dan tepat serta tersusun
dengan rapih dan mudah untuk dicerna oleh siapapun. Terlebih gerakan tersebut
pernah ada seribuan tahun yang silam.
Sebab, sebagai seorang muslim hamba Allah di bumi ini memiliki
tanggungjawab untuk menyampaikan, mengajarkan serta melestarikan ajaran-ajaran
islam dan nilai-nilai kesusastraan dalam al-Qur’an53
untuk diketahui kesempurnaan
dan kemukjizatan yang Allah wahyukan kepada umat manusia. Hal tersebut juga
bertujuan untuk memberikan kontribusi besar terhadap kohesi sosial budaya melalui
pembelajaran dan pendidikan bahasa al-Qur’an54
sebagaimana dijelaskan diawal
penelitian ini.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan
pengetahuan dan pengembangan keilmuan yang terfokus pada sasta bahasa Arab
khususnya ilm balāghah. Dengan demikian manfaat penelitian ini dapat dibagi
kepada manfaat konseptual dan manfaat praktis:
1. Manfaat Konseptual
Pakar pendidikan E. Dale dari New York menguraikan bahwa sebuah
manfaat konseptual adalah bagian dari metode pendidikan untuk memproleh
result yang memuaskan dan dapat dipertanggungjawabkan.55
Maka penelitian
terhadap konsep dan pola pemikiran serta ide-ide al-Sakaki dalam karyanya
Miftāḥ al-‘Ulūm tentu akan sangat banyak memberikan dampak terhadap
perkembangan ilmu sastra khususnya ilm balāghah itu sendiri. Konsep dan pola
penelitian tersebut tersebut jika dipadukan dengan pendekatan deskriptif tokoh
maka juga akan menjadi motor lahirnya al-Sakaki - al-Sakaki lainnya.
53
Hussein Aziz, Studi Kritik Terhadap Ilmu Balaghah Klasik, 176
54
Kamaruddin Salleh, Arabic is a Language Between Qur’anic and Historical
Designations, Journal UII, Vol.2, No. 2, Maret 2012. http://journal.ac.id /index.php./Mikkah/
article/FiewFile/ 341/254 (Diakses 1 Februari 2017).
55
E. Dale, Audiovisual Method in Teaching (New York : The Dryden Press, Holt,
Rinehart and Winston Inc, 1969), 5
13
Selain hal tersebut tentu peneliti ingin memperkaya khazanah konsep-
konsep lingusitik dan sastra Arab yang sudah ada khususnya dalam bidang ilm
balāghah. Secara teoritis penelitian ini bertujuan untuk menjadi kajian, terutama
bagi para peneliti selanjutnya yang mendalami teori-teori linguistik Arab.
2. Manfaat Praktis
Secara fungsional penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
dan pelatihan dalam kebenaran dan ketepatan berfikir untuk melahirkan sebuah
karya ilmiah balagah yang lebih baik bagi para sastrawan yang ada dalam lintas
sejarah keilmuan bahasa dan sastra, khususnya dalam kajian ilmu balagah
mengenai linguistic sense dan lingusitic grammar. Sebab, antara kedua al-‘Arab
dan al-‘Ajam sama-sama mengambil manfaat yang sangat besar demi kemajuan
cara berfikir dan keartistikan dalam mempelajari karya-karya ilmiah dan juga al-
Qur’ān al-Karīm.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Pembahasan mengenai keilmuan balāghah dalam Miftāḥ al-‘Ulūm karya al-
Sakaki memang telah banyak dilakukan oleh para ahli linguis, para peneliti dan para
penggiat ilmu bahasa Arab. Baik dalam kitab-kitab klasik seperti Asās al-Balāghah,
I’jāz al-Bayān ‘an Ma’ānī al-Qur’ān, Istidrākāt al-Khaṭīb ‘Alā al-Sakākī, al-Idhāh
fī ‘Ulūm al-Balāghah, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh, al-Balāghah wa al-
Uslūbiyyah, Kitāb al-Ushūl Dirāsah Epistīmūlūjiyyah, Ma’ānī al-Qur’ān wa
I’rābihi, Maqāyis al-Lughah, I’Jāz al-Qur’ān al-Lughawī, Dalāil al-I’Jāz, al-Alfādh
al-Mutaqāribah al-Ma’nā, al-Tuhfah al-Sāniyyah, al-Bu’du al-Tadāwulī ‘Alā al-
Sakākī, al-Qā’idah wa al-Dhawq fī al-Balāghah al-Sakākiyyah baik secara
etimologis maupun terminologis.
Selain itu juga menggunakan kitab-kitab lain yang ada pembahasannya
mengenai penelitian ini yang tentunya belum ditemukan oleh penulis. Hanya saja
penelitian terhadap landasan epistemologis imam al-Sakaki dalam mengarang
Miftāḥ al-‘Ulūm melalui pendekatan al-manhaj al-waṣfī atau juga disebut metode
deskriptif sama sekali belum pernah ada. Bahkan penelitian ini adalah tergolong
baru karena belum pernah diteliti secara khusus56
di mana objek penelitiannya
adalah sistematika penulisan dan penyusunan Miftāḥ al-‘Ulūm.
Pembahasan tentang ilm al-ma’ānī, al-bayān dan al-badī’ tentu sangat mudah
ditemukan. Hal tersebut tampak pada setiap penjelasan ilm-ilm balāghah dan
cabang-cabangnya. Namun, tidak demikian dengan pembahasan khusus terhadap
salah satu kitab balagah yaitu Miftāḥ al-‘Ulūm yang pembahasannya ditinjau dari
kerangka berfikir imam al-Sakaki dalam memformulasikan kitab tersebut, hingga
memicu adanya perbaikan dan penyempurnaan keilmuan oleh penerusnya yaitu
Khathib al-Qazwaini.
Disertasi yang ditulis oleh Abbas Baidhun (2013) yang berjudul Istidrākāt al-
Khaṭib ‘Alā al-Sakākī membahas khusus mengenai persepsi ketokohan al-Sakaki
oleh al-Qazwaini, di dalamnya banyak membahas pemikiran-pemikiran al-Qazwaini
yang terlahirkan karena peran besarnya al-Sakaki dalam peletakan dan
56Muhammad Abdul Muttholib, Adabiyāt al-Balaghah wa al-Uslūbiyah (Lebanon:
Maktabah Libnun Nasyirun, 1994), 329.
14
penyempurnaan ilm balāghah pada fase al-mu’āṣirūn khususnya ilmu al-bayān
hingga akhirnya disederhanakan oleh al-Qazwaini secara tersendiri.
Abbas Baidhun juga adalah salah seorang pengagum karya-karya al-Sakaki
lainnya, dan bukan hanya pada Miftāḥ al-‘Ulūm, bahkan ia menjuluki al-Sakaki
sebagai bapak ilm balāghah57
. Namun, pada pembahasan karya ilmiah Abbas
Baidhun tersebut, terkesan sangat terbatas hanya kepada ilm al-bayān dan pengaruh-
pengaruhnya terhadap perkembangan ilm balāghah, bahkan sama sekali tidak
menyentuh kepada pola pemikiran apa yang dilakukan oleh al-Sakaki dalam
penyusunan dan sistematikan penulisan kitab Miftāḥ al-‘Ulūm.
Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Pierre Larcher (1990) dalam jurnal
yang ia tulis tentang Abdul Qahir al-Gurgani Note Sur Quatre Editions Recentes
Deses Ouvrages Grammaticaux, ia mengungkapkan apa yang telah dilakukan oleh
Abdul Qahir al-Jurjani adalah bagian kecil tentang keilmuan keindahan berbahasa
atau yang sering disebut sebagai ilmu balagah dan sangat identik dengan ilmu
kaidah kebahasaan. Ia juga menyebut bahwa pembahasan balagah pada masa al-
Sakaki adalah jauh lebih banyak ditemukan keilmuan baru, sehingga tidak hanya
tentang keindahan dalam berbahasa namun juga pada kaidah-kaidah kebahasaan.
Namun, Pierre Larcher menyebut khususnya mengenai kerangka kalimat dan
struktur bahasa yang lebih tepat dan padat tentang keilmuannya. Peneliti menilai
temuan tersebut masih belum menyentuh kepada cara dan formulasi yang digunakan
oleh al-Sakaki dalam menyusun karyanya.58
Tesis karya Darojat yang diterbitkan oleh SPs UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (2006), menulis tentang kajian semantik yang berjudul Kata Nafs dalam al-
Qur’ān”. Ia menuturkan bahwa kajian semantik kata maupun kalimat sangat jarang
pembahasannya dengan metode pendekatan ilm dilālah (semantik). Dalam pesannya
juga menuturkan bahwa kesempurnaan penelitian membutuhkan peninjauan ulang
serta melakukan pembahasan dari celah yang berbeda sekalipun pada tujuan yang
sama khususnya terhadap para tokoh ilmu balagah klasik.
Pembahasan serupa yang dilakukan oleh Shawqi Ḍaif (1119 H/ 1995 M)
dalam karyanya al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh mengisahkan bagaimana
perjalanan panjang sejarah ilm balāghah yang penuh dengan dinamika
perkembangannya dari sebelum diturunkannya al-Qur’an hingga pasca diturunkan.
Bahkan, ia sendiri dalam karyanya membagi sejarah perkembangan ilm al-balāghah
ke dalam empat tahapan penting, yaitu: 1). Marḥalah al-nāshiah (pertumbuhan), 2).
Marḥalah al-numuw (perkembangan), 3). Marḥalah al-izḍihar (kejayaan), dan 4).
Marḥalah al-ḍubul (kemunduran).59
Namun, pada semua titik pembahasan yang
dilakukan olehnya juga tidak ada mengarah kepada landasan dasar epistemologi al-
Sakaki terhadap karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm.
Dalam karya tersebut tersirat bahwa kejeniusan al-Sakaki dalam melahirkan
karya-karya kesastraan adalah yang paling besar. Sehingga karya seperti Miftāḥ
57Abbas Baidhun, Istidrākāt al-Khaṭīb ‘Alā al-Sakākī (Beirut: Dar Kutub, 2013), 11.
58
Pierre Larcher, Abd al-Qāhir al-Ǧurǧānī Note Sur Quatre Editions Récentes de
Ses Ouvrages Grammaticaux, Arabica , Vol. 40, No. 2, Juli 1993, 24-25. 59
Faisal Mubarok, Selayang Pandang Perkembangan Balaghah Telaah Kritis
terhadap Sejarah Perkembangan Balāghah (Banjarmasin: IAIN Press, t.t.), 4.
15
‘Ulūm hampir tidak dapat ditelaah dan dimengerti secara sempurna, yang akhirnya
membutuhkan kepada penyederhanaan yang kemudian dilakukan oleh al-Qazwaini
pada akhir abad ke-7 H.60
Tesis berjudul Ta’ṣīl al-Uslūbiyyah fī al-Maurūts al-Naqdī wa al-Balāghī
(Kitab Miftāḥ ‘Ulūm li al-Sakakī), karya Meis Kholil Mahmud ‘Audah (2012)
tersebut telah diterbitkan oleh Universitas al-Najāh al-Waṭaniyyah Palestina pada
tahun 2006. Karya tersebut banyak membahas tentang kritikan gaya linguistik karya
al-Sakaki terhadap Miftāḥ al-‘Ulūm. Ia banyak sekali menemukan tentang hubungan
antara warisan keilmuan terdahulu dengan gaya linguistik modern serta kematangan
warisan budaya yang tersirat dalam karya Miftāḥ al-‘Ulūm, namun lagi-lagi tidak
ditemukan di dalamnya kajian mengenai proses pembangunan keilmuan balagah
oleh al-Sakaki, baik itu pemikiran ataupun landasan epistemologisnya.61
Oleh karena itu, penelitian tentang Epistemologi Balagah Studi atas Miftāḥ
al-‘Ulūm Karya al-Sakāki khususnya mengenai pola dan dasar pemikiran al-Sakaki
terhadap karya fenomenalnya tersebut sangatlah penting dilakukan. Sebab, sejauh
pengetahuan dan pengamatan penulis hingga saat ini belum menemukannya kecuali
kepada pembahasan yang lebih umum dan berkisar kepada penelitian secara
keilmuan linguistik saja. Mengingat kenyataan tersebut, penelitian ini akan
difokuskan pada sistematika sumber dan metodologi penulisan dan penyusunan
Miftāḥ al-‘Ulūm karya al-Sakāki atau lebih tepatnya ingin mencari tahu kerangka
berifikir al-Sakaki yang dikemukan dalam karya besar tersebut. Selain, itu juga ingin
melihat reaksi kritik dan apresiasi dari para linguis lainnya terhadap kitab Miftāḥ al-
‘Ulūm.
F. Landasan Teori
Kitāb al-Turāts al-Qadīm tentunya memiliki beragam keilmuan dan teori
pemikiran yang disajikan khususnya pada bidang ilm balāghah seperti, kitab al-
Badāi’ wa al-Ṭarāif li al-Jurjānī, al-Ikhtilāf fī al-Tsaqāfah al-Islamiyyah li ‘Amal
al-Qarāmī, al-Amtsal al-‘Ilmiyyah li Ahmad Timūr Bāshā, Kitāb I’tirāfāt li Abī
Nawās dan Miftāḥ al-‘Ulūm li al-Sakāki. Kajian keilmuan dan jumlah bahasa
penelitian tersebut pernah menggunakan beragam bahasa di dunia. Sejak tahun 1988
tercatat sekitar 4.000 jenis bahasa62
yang tersebar dan dipakai oleh manusia di
seluruh penjuru dunia dalam penelitian secara akademik.
Sedangkan penelitian terbaru pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Summer
Institute of Linguistics tercatat sejumlah 6.912 jenis bahasa63
yang dipakai di seluruh
dunia. Keragaman bahasa tersebut masing-masing memiliki gaya dan karekteristik
tersendiri baik berupa huruf, kosakata, tulisan, lafal, sifat, fungsi bahkan maknanya
sendiri yang akhirnya menjadikan bahasa tersebut sebagai pengenal akan
60
Shawqi Ḍaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh (Kairo: Dar Ma’arif, 1119 H), 99. 61
Meis Kholil Mahmud ‘Audah, Ta’ṣīl al-Uslūbiyyah fī al-Maurūts ‘an Naqdī wa al-
Balāghī Kitāb Miftāḥ al-‘Ulūm li al-Sakākī (Palestina: Dar Jami’ah Waṭaniyyah, 2006), 142. 62
Kamal Badri Yatim, Ilm al-Lughah al-Mubarmaj (Riyadh: Imadah Shu’un al-
Maktabah, 2011), Cet.2, 3-5. 63
Damanhuri, Penguasaan Kosakata Kedwibahasaan antara Bahasa Sunda dan
Bahasa Indonesia pada Anak-Anak, Vol. 2, No. 1, Juli 2014, 60.
16
kebudayaan setempat. Seorang ilmuwan asal Pondok Pesantren Luqmaniyyah
Yogyakarta menuturkan bahwa untuk menentukan tepat dan indah atau tidaknya
suatu bahasa mereka banyak berpegang pada analogi filsafat dan kaidah-kaidah
logika. Miftāḥ al-‘Ulūm adalah salah satu contoh penelitian atau kajian yang
dilakukan dengan bahasa Arab yang tentunya juga memiliki tingkat kesulitan sastra
tersendiri. Sehingga hal tersebut semakin menambahkan kekayaan wawasan para
ilmuwan akan perkembangan kebahasaan khususnya bahasa Arab untuk lebih
mengenal dekat tentang budaya Arab dan warisan kebudayaan ilmuwan Islam
sebagai obyek penelitian ini.
Menurut Badruddin Malik (286 H) dan Khaṭib al-Qazwaini (739 H) Miftāḥ al-
‘Ulūm li al-Sakāki memiliki kelemahan pada lingusitic sense64
(Ihsās al-
Lisāniyyah). Beberapa karakteristik dalam penulisan al-Sakaki pun juga sangat
membutuhkan kepada footnote (hawāmish), subtitle dan beberapa penjelasan
terhadap istilah-istilah yang disampaikan65
serta ketentuan-ketentuan lainnya yang
lazim pada sebuah karya ilmiah sempurna. Misal lainnya, pada bentuk dialek dan
kosakata pada masa tersebut seringkali menimbulkan kerancauan ketika kata
diletakkan dalam susunan sebuah kalimat, yang seharusnya menurut Fayiz Dayah
(1196) digunakan untuk makna haqīqī, namun digunakan untuk makna majāzī.
Selain kedua hal tersebut, sebab-sebab lain adalah karena berkembangnya
bahasa dan ilmu, juga karena tidak adanya baris atau harakat di dalam buku-buku
Arab zaman dahulu kala.66
Sehingga dengan penyempurnaan terhadap kitab tersebut
yang telah dilakukan oleh Badruddin ibn Malik dan Khaṭib al-Qazwainī telah
menjadi penengah dan menutupi akan kelemahan karya al-Sakaki tersebut. Maka
tentu saja ini adalah langkah sangat apresiatif sehingga memberi kemudahan bagi
para pelajar atau pembaca. Bahkan bukan hanya bagi para pemerhati hati bahasa
Arab tetapi juga berguna bagi perkembangan dan pelestarian budaya umat Islam
seperti al-Sakaki maupun al-Qazwaini.
Melihat persoalan yang akan diangkat pada penelitian ini berkenaan dengan
klarifikasi landasan berfikir atau epistemologis al-Sakaki terhadap karya- nya Miftāḥ
al-‘Ulūm dengan pendekatan deskriptif. Maka landasan teoritis dalam pemecahan
masalah ini sangat berkaitan dengan teori tentang pola induktif dan diakletis al-
Sakaki yang berkaitan langsung dengan sistematika penulisan dan penyusunan karya
besarnya Miftah al-‘Ulum.
Dengan demikian Epistemologi Balāghah dalam Miftāḥ al-‘Ulūm Studi atas
Karya al-Sakāki dapat dipetakan dengan baik, sehingga akan tampak apa yang
menjadi landasan besar al-Sakaki terhadap karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm baik dari segi
rasionalisme, emprisme maupun pengaruh intelektual al-Sakāki secara intuitif
(‘irfānī).
64
Abdul Muta’al Sha’idi, Bughyah al-Idhāh li Talkhīṣ al-Miftāḥ fī ‘Ulūm al-
Balāghah, 10. 65
Linguistic Sense (Ihsās al-Lisāniyyah) adalah sisi keindahan dalam berbahasa dari
segi semantik leksikal yang memudahkan pembacanya memiliki atribut arti yang beragam
dan kaya makna. (Tanja Guastad, Linguistic Knowledge and Word Sense Disambiguation
(Belanda: Groningen Dissertations in Linguistics, 2004), 8. 66
Fayiz Dayah, ‘Ilm al-Dalālah al-‘Arabī al-Nadzriyah Dirāsah Tārikhiyyah
Tashhīliyyah Naqdiyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 23.
17
G. Metode dan Langkah-Langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode adalah sebuah penelitian yang memiliki peran yang sangat penting
dalam bertindak dan menjalankan sebuah kajian yang sesuai aturan dan
ketentuannya. Adapun metode pada penelitian ini adalah bentuk kualitatif yang
membutuhkan data-data tertulis. Di mana penulis dalam melakukan penelitian
terhadap konsep pemikiran al-Sakaki pada karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm
menggunakan studi pustaka secara komprehensif. Selain hal itu, juga akan
menggunakan pendekatan deskriptif dengan teori hermeneutika rekonstruktif,67
sebab terkadang karya seseorang akan sangat tergantung kepada tingkat
intelektualitas, sosial budaya, dan biografis kehidupan pengarangnya.
2. Sumber dan Metode Pengumpulan Data
a. Penentuan Sumber Data
Sumber dan metode pengumpulan data ini adalah penelitian yang dilakukan
penulis langsung kepada sumber primer yaitu buku-buku karya al-Sakaki yakni
Miftāḥ al-‘Ulūm, al-Jumal li Abdil Qāhir al-Jurjānī, al-Tibyān, al-Ṭalsam,
Risālah fī ‘Ilm al-Munāḍarah dan berbagai buku lainnya yang dijadikan
sebagai rujukan utama. Sedangkan pada sumber skunder yang membicarakan
al-Sakaki juga berkaitan dengan pembahasan tersebut misalnya; Asās al-
Balāghah, I’jāz al-Bayān ‘an Ma’ānī al-Qur’ān, Istidrākāt al-Khaṭīb ‘Alā al-
Sakāki, al-Idhāh fī ‘Ulūm al-Balāghah, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh, Al-
Balāghah wa al-Uslūbiyyah, Kitāb al-Uṣūl Dirāsah Epistimūlūjiyyah, Ma’ānī
al-Qur’ān wa I’rābihi, Maqāyis al- Lughah, I’jāz al-Qur’ān al-Lughāwī, Dalāil
al-I’Jāz, al-Alfādh al-Mutaqāribah al-Ma’nā, al-Tuhfah al-Sāniyah, al-Bu’du
al-Tadāwulī ‘Alā al-Sakākī, al-Qā’idah wa al-Dhawq fī al-Balāghah al-
Sakākiyyah.
Penulis juga mempelajari dan mengambil data perbandingan dari
perseorangan baik dalam bentuk karya tesis maupun disertasi beserta literatur
yang memiliki hubungan dengan ilm balāghah.
b. Teknik Pengumpulan Data
67
Ketika sebuah teks dibaca seseorang, disadari atau tidak disadari pasti akan
memunculkan interpretasi terhadap teks tersebut. Membicarakan teks tidak pernah terlepas
dari unsur bahasa, Sebab, bahasa adalah dimensi kehidupan yang bergerak yang
memungkinkan terciptanya dunia sejak awal, bahasa mempunyai eksistensi sendiri yang di
dalamnya manusia turut berpartisipasi. Maka pengertian inilah yang disebut sebagai teori
hermeneutika rekonstruktif atau lebih mudahnya sebuah teori dengan kajian teks secara
mendalam. Lih. Muchtar Lutfi, Hermenutika: Pemahaman Konseptual dan Metodologis,
Unair Surabaya, http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/ Hermeneutika.pdf. (Diakses 28
September 2017).Teori hermeneutika rekonstruktif diperkenalkan pertama kali oleh Wilhem
Dilthey (1833-1911). Lih. Sukron Kamil, Teori Bahasa Modern dan Islam (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2016), 78.
18
Jenis teknik dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik
literatur dengan membaca dan menganalisis dengan cermat data sumber-sumber
primer. Pada tahapan ini sering disebut teknik pustaka untuk mengumpulkan
data-data dari sumber-sumber tertulis untuk memproleh data yang lebih akurat
dan berkualitas. Sumber-sumber tertulis itu dapat berwujud majalah, makalah,
surat kabar, karya sastra, buku bacaan umum, karya ilmiah, buku perundang-
undangan dan lain-lainnya.68
Adapun penulis akan lebih cenderung kepada
buku-buku dan penelitian yang ada kaitannya sebagai sumber utama dalam
penelitian ini.
c. Analisis Penelitian Data
Menurut Mahsun (2007) analisa data merupakan upaya yang dilakukan
setidaknya untuk mengklasifikasikan dan mengelompokkan data.69
Maka pada
tahapan analisis data penelitian ini, adalah sebuah proses yang dilakukan secara
sistematis untuk mencari, menemukan dan menyusun transkrip wawancara,
catatan-catatan lapangan dan bahan-bahan lainnya yang telah dikumpulkan
peneliti dengan teknik-teknik pengumpulan data lainnya yang berkaitan.70
Maka pada tahapan ini penulis akan mengelompokkan beragam
kelemahan dalam penulisan Miftāḥ al-‘Ulūm berdasarkan metode pembelajaran
bahasa Arab yang mudah dan pendapat para ahli balāghah kemudian mencari
akar berifikir al-Sakaki terhadap keilmuan badī’, bayān dan ma’ānī. Lalu
pengklasifikasian tersebut akan diteliti dengan menggunakan pendekatan teori
hermenutika atau kajian teks. Sehingga pengklasifikasian tersebut akan mudah
diketahui landasan berfikir al-Sakaki dalam memformulasikan Miftāḥ al-‘Ulūm.
d. Merumuskan Simpulan
Kesimpulan berisi jawaban atas pertanyaan yang diajukan pada bagian
rumusan masalah. Keseluruhan jawaban hanya terfokus pada ruang lingkup
pertanyaan dan jumlah jawaban disesuaikan dengan jumlah rumusan masalah
yang diajukan yang tentu saja berdasarkan hasil analisis data penelitian ini.
Pada kesimpulan juga penulis akan memberikan saran menyesuaikan hasil
penelitian ini, sehingga memberikan dampak positif bagi para pembaca dan
peniliti berikutnya. Sebab, antara yang satu dengan yang lainnya akan selalu
memiliki hubungan satu sama lainnya dalam hal penelitian kebahasaan atau
kesusastraan.
H. Sistematika Penulisan
Agar penelitian ini memenuhi syarat kreteria karya ilmiah yang baik dan
supaya penelitian ini lebih sistematis maka penulisan tesis ini mengacu pada buku
pedoman tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016-2020. Dan penulis akan
memaparkan dan membaginya kepada 5 bab, sebagai berikut:
68
Mahsun, Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya
(Jakarta : Raja Grafindo Prasada. 2005), 131. 69
Mahsun, M.S, Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 253. 70
Robert C. Bogden, Riset Kualitatif untuk Pendidikan, Pengantar,Teori dan Metode
(Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud,1990), 34.
19
Bab I Bab ini mengenai pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, langkah dan metode penelitian serta sistematika
penulisan.
Bab II Berisi tentang epistemologi ilmu dan sejarah ilmu balagah yakni
pengertian dan pemahaman epistemologi balagah serta metode-metode
memproleh ilmu balagah. Kemudian tentang sejarah ilmu balaghah
meliputi pengertian dasar, balagah pra dan pasca al-Sakaki.
Bab III Bab ini menguraikan biografi intelektual Imam al-Sakaki membicarakan
tentang beberapa poin pertama, sejarah hidup Imam al-Sakaki. Kedua,
setting sosial intelektual al-Sakaki. Ketiga, Karya-karya Imam al-Sakaki
dengan tema-tema yang dibuat dalam upaya mengembangkan ilm
balāghah serta peta pemikiran balaghah al-Sakaki.
Bab IV Bab ini akan membicarakan tentang epistemologi Miftāḥ al-‘Ulūm yang
membahas tentang deskripsi Miftāḥ al-‘Ulūm sebagai buku balagah
pertama, rasionalisme dan empirisme sebagai basis penulisan Miftāḥ al-
‘Ulūm karya al-Sakaki kemudia pada akhir bab ini akan mengungkap
kritik dan apresiasi terhadap epistemologi Miftāḥ al-‘Ulūm. Serta
relevansinya dengan linguistik modern.
Bab V Berisi kesimpulan dari rangkaian penelitian yang mencakup simpulan
dan saran-saran.
20
Hal yang paling indah yang dapat kita alami
adalah kemisteriusan.
Ini adalah sumber semua seni nyata dan ilmu pengetahuan
Albert Einstein
Ahli fisika dari Jerman dan Amerika Serikat 1879-1955
21
BAB II
EPISTEMOLOGI ILMU DAN SEJARAH BALAGAH
Pada bab dua ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan teori ilmu
pengetahuan atau yang sering disebut sebagai epistemologi ilmu berikut dengan
sejarah serta epistemologi yang ada dalam balagah dan khususnya Miftāḥ al-‘Ulūm
karya al-Sakaki. Pada bab ini akan lebih memaparkan sejauh mana perkembangan
teori ilmu pengetahuan yang ada pada ilmu balagah dan relevansinya untuk masa
sekarang ini. Pembahasan dalam bab ini juga akan menguraikan tentang bagaimana
teori perkembangan ilmu balagah yang didasarkan atas filsafat keilmuan untuk
menganalisa sumber-sumber keilmuan yang digunakan. Kemudian bab ini lebih
menjelaskan bagaimana definisi epistemologi, metode-metode untuk memperoleh
ilmu pengetahuan, ruang lingkup epistemologi, serta keilmuan balagah dalam
terapan metode epistemologi.
Sistematika pembahasan bab ini akan dimulai dengan pembahasan terhadap
epistemologi ilmu yang akan dibahas di dalamnya mengenai metode empirisme,
rasionalisme dan intusionisme dari persfektif tradisi Islam dan Barat. Kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan tentang epistemologi ilmu bahasa Arab dan Sastra.
Adapun pada akhir bab ini akan membahas mengenai sejarah serta perkembangan
ilmu balagah sebelum dan pasca era al-Sakaki, sehingga akan memperlihatkan
bagaimana keberlangsungan ilmu bahasa Arab dalam hal ini cabangnya yaitu ilmu
balagah hingga masa sekarang.
A. Epistemologi Ilmu dalam Tradisi Islam dan Barat
Korelasi epistemologi dengan filsafat dapat diibaratkan bagaikan pohon
dengan rantingnya. Pohon filsafat memiliki cabang-cabang berupa sub disiplin, di
antaranya: filsafat ilmu, filsafat bahasa, filsafat, agama, filsafat hukum, etika,
estetika, filsafat antropologi dan metafisika dan lain sebagainya. Keseluruhan
cabang disiplin filsafat ilmu tersebut akhirnya memiliki ranting-ranting dan sub-sub
disiplin tersendiri yang berbeda fungsi antara yang satu dengan lainnya yakni logika,
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Namun, pada puncaknya ruang lingkup filsafat
ilmu dapat disederhanakan menjadi tiga pertanyaan mendasar saja, yakni: Apa yang
ingin diketahui (ontologi)? Bagaimana cara memperoleh pengetahuan-pengetahuan
(epistemologi)? Dan apakah manfaat pengetahuan tersebut bagi manusia
(aksiologi)? Ketiga ruang lingkup filsafat tersebut saling berkaitan antara satu
dengan lainnya. Jika ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus
dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu, sehingga korelasi ketiganya bagaikan
pohon yang terdiri dari cabang, ranting dan buahnya.
Kata epistemologi sendiri berasal dari kata Yunani episteme yang mempunyai
arti ilmu pengetahuan dan logos yang juga berarti pengetahuan atau teori. Sehinga
dari kedua makna tersebut dapat dipahami bahwa epistemologi adalah ilmu
pengetahuan tentang ilmu pengetahuan atau lebih fenomenalnya disebut sebagai
teori ilmu pengetahuan. Ia bermaksud untuk membicarakan, menelaah dan
memperdalam tentang hakikat dirinya sendiri, yaitu dalam usaha mencari metode
22
dan sumber untuk mendapatkan pengetahuan terhadap kepribadian ilmu itu sendiri.1
Penemuan istilah epistemologi yang bersifat skeptis-kritik sesungguhnya tercatat
dalam sejarah keilmuan dunia yang ditemukan oleh Plato (428-357 SM). Hal
tersebut baru diungkap dan dipergunakan pertama kali oleh J. F. Ferrier saat berada
di dalam sidang Institutes of Metaphysics yaitu pada abad ke-19. Kemudian dalam
perkembangannya epistemologi memiliki bentuk dan corak sendiri disebabkan
adanya perbedaan standar dalam menentukan validitas dan unsur-unsur yang
terkandung dalam epistemologi.2
Ahmad Atabik (1982 M) menuturkan bahwa pembahasan tentang
epistemologi selalu lebih terfokus pada sumber – sumber pengetahuan (the origin of
knowledge) dan teori tentang kebenaran suatu ilmu pengetahuan (the theory of
truth.3 Sedangkan J.F. Ferrier mengatakan bahwa epistemologi pada dasarnya
berkenaan dengan pengujian filsafati terhadap batas-batas, sumber-sumber, struktur-
struktur, metode-metode dan vailiditas. Kelima hal tersebut dikategorikan sebagai
ruang lingkup epistemologi. Oleh karena itu, menurut Titus Smith dan Nolan konsep
dalam karya Persoalan-Persoalan Filsafat, epistemologi selalu dikaitkan bahkan
disetarakan dengan disiplin ilmu tertentu yang disebut Critica, maksudnya adalah
pengetahuan sistematik mengenai kriteria dan ukuran-ukuran penting untuk
menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar.4
Koestenbaum (1990 M) dalam karyanya Philosophy A General Introduction
mengatakan bahwa epistemologi adalah bagian dari cabang filsafat ilmu.
Menurutnya setiap ilmu pengetahuan termasuk ilmu balagah dalam Miftāḥ al-‘Ulūm
jika dilihat dari sudut filsafat ilmu tentulah memiliki tiang-tiang penyangga yang
bertujuan untuk memperkuat eksistensinya. Tiang penyangga ilmu tersebut terdiri
dari tiga aspek, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dalam teknisnya ketiga
cabang filsafat ilmu tersebut tentu berbeda dalam segi peran dan penekanannya.
Filsafat ilmu pengetahuan Barat lebih menekankan pada aspek proses, yaitu
bagaimana sebuah kebenaran ilmu dibangun sehingga proses ini melahirkan
kebenaran epistemologik.5
The Liang Gie (2012) dari poros ilmu barat, ia mengutip dari The
Encyclopedia of Philosophy dan menguraikan bahwa epistemologi sebagai cabang
filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan, pra
anggapan dan dasar-dasarnya serta realibilitas umum dan tuntutan akan
pengetahuan.6 Sedangkan Harun Nasution (1998 M) memandang dari poros ilmu
Islam bahwa epistemologi adalah ilmu yang membahas apa dan bagaimana proses
1Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Menguatkan Epistemologi Islam dalam
Pendidikan (Yogyakarta: al-Ruzz Media, 2014), 30. 2Abdul Mughist, Epistemologi Ilmu Ekonomi Islam, Hermeheia Kajian Islam
Interdisipliner Vol.2, No. 2, Juli 2014, 177. 3Ahmad Atabik, Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu Sebuah Kerangka Untuk
Memahami Konstruksi Pengetahuan Agama, Fikrah Jurnal, Vol. 2, No. 1, Juni 2014, 253. 4Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),
21-23. 5Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 34.
6Syah Budi, Epistemologi Persfektif Islam dan Barat, Jurnal Filsafat Ilmu STAIN
Sorong, Vol. 3, No. 1, Juni 2016, 3.
23
memperoleh pengetahuan sehingga menjadi anugerah terbesar bagi setiap individu
yang membedakan antara manusia dengan hewan.7 Menurutnya antara kajian filsafat
barat dan Islam memiliki landasan masing-masing yang bisa diterapkan bersamaan
yaitu dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah yang digunakan serta bertujuan
untuk menggali dan membuktikan kebenaran sumber atau orisinilitas keilmuan yang
dimiliki oleh manusia.8
Adapun ilmu pengetahuan dalam tradisi Islam lebih menekankan pada aspek
aksiologi sebagai basis dalam mengonstruksi fakta. Hal tersebut terjadi karena Islam
tidak menghendaki keterpisahan antara ilmu dan sistem nilai. H.G. Hartman (1944
M) tokoh Barat oreantalis bahkan mengakui kedua hal tersebut merupakan sebuah
ide pemikiran yang harus ada dalam satu kesatuan. Sebab, sebuah nilai adalah wujud
dari keilmuan atau pengetahuan itu sendiri. Perbedaan yang sangat mendasar antara
keduanya adalah ilmu pengetahuan Barat secara epistemologis lebih bersifat
antroposentris, sedang dalam Islam ilmu pengetahuan selain bersifat antroposentris9
juga bersifat teosentris.10
Al-Ghazali salah seorang filsuf muslim yang berupaya mengkaji epistemologi
dalam perspektif Islam. Ia beberapa kali mencoba merenungkan tentang keberadaan
epistemologi Islam, hingga ia merasakan lelah dalam proses pencariannya. Di
tengah keputusasaannya, iapun berakhir pada satu kesimpulan bahwa sekalipun
kebenaran harus dicari, tetapi keterbatasan akal manusia harus diakuinya, dan
sentuhan cahaya Tuhanlah yang sesungguhnya paling haqīqī. Hal Ini semakin
meyakinkan bahwa sebuah pengetahuan menurutnya sangat tergantung dari nalar
yang telah dianugerahkan oleh Allah ta’ala kepada manusia.11
Dapat disimpulkan bahwa sebuah ilmu pasti ada sesuatu yang memicu
kehadirannya, sekalipun itu hadirnya dari yang Maha Kuasa tetapi pasti ada sesuatu
yang menjadi penyebabnya. Hal itu, karena alam dunia ini penuh dengan hamparan
ilmu yang sangat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia, maka baik dunia
Islam maupun dunia Barat, keduanya memiliki potensi yang sama untuk
memperoleh dan mengembangkan potensi keilmuan secara besar-besaran. Hanya
saja, keseluruhannya sangat tergantung pada upaya dan kerja yang dilalui.
7Harun Nasution, Filsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) 12-13.
8Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam
(Bandung: Mizan, 2003), 45. 9Antroposentrisme dimaknai sebagai teori etika lingkungan yang memandang pusat
alam semesta adalah manusia. Sehingga kepentingan manusia dalam hal ilmu pengetahuan
misalnya sangat menentukan dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan alam secara
langsung atau tidak. Lih. Philip Shabecoff, A New Name for Peace; International
Environmentalism, Sustanaible Development and Democracy, (Inggris: University Press of
New England, 1996), 221. 10
Islam, menurut pandangan yang sifatnya teosentris, mengandung aspek ketuhanan
dan manusia hidup dimaksudkan untuk mengabdi kepada-Nya sehingga makhluk harus
meyakini sebuah kebenaran yang juga berpusat kepada Allah ta’ala. Lih. Hamlan AB. Andi
Malla, Islam Dan Hak-Hak Asasi Manusia (Sulawesi: Tadulako Press, 2005), 256. 11
Hasnun Jauhari Ritonga, Landasan Epistemologi Komunikasi Islam, MIQOT Vol.
32 No. 2, Juli-Desember 2008, 282.
24
B. Konsep Epistemologi Ilmu dalam Tradisi Islam
Konsep makna epistemologi dalam Islam, perlu pendekatan secara genetivus
subyektivus,12
yaitu menempatkan Islam sebagai subjek dan epistemologi sebagai
objek. Pemisahan antara keduanya akan memberikan pandangan dan pemahaman
yang berbeda, sehingga epistemollogi sebagai hasil pikiran manusia tidak bertujuan
untuk menafsirkan Islam, melainkan bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara,
metodologi dan hakikat memperoleh pengetahuan serta semua yang berhubungan
dengan epistemologi itu sendiri. Epistemologi dalam persfektif Islam secara umum
berkaitan erat dengan wahyu dan ilham sebagai sumber ilmu manusia, sedangkan
epistemologi pada umumnya menganggap bahwa kebenaran berpusat pada manusia
karena manusia mempunyai otoritas untuk menentukan hakikat kebenaran.13
Jika ditelisik dalam al-Quran yang berjumlah 6.236 ayat dan 30 juz,
epistemologi diibaratkan seperti tinta yang dibuat dari air laut untuk menulis ilmu
dan kalimat Tuhan, yang berarti meneliti dan menyelidiki lewat proses ilmiah untuk
menentukan rumusan dan hukum regularitas yang melekat dalam karya-karya dan
kreativitas Tuhan yang menjelma dalam alam semesta yang nyata. Usaha maksimal
yang dilakukan oleh seorang manusia untuk merumuskan dan mempetakan hukum
regularitas tersebut pada akhirnya hanya akan sia-sia saja. Hal tersebut disebabkan
karena melimpahkanya objek studi yang perlu dipelajari oleh manusia. Al-Qur’an
sendiri telah mengisyaratkan manusia agar sampai kepada ilmu pengetahuan yang
diinginkan harus melalui sarana indera mata, telinga, akal dan hati.14
Dengan demikian, epistemologi Islam dapat dibagi kepada tiga bagian
penting, yaitu epistemologi bayānī (penalaran berdasarkan teks), epistemologi irfānī
(penalaran berdasarkan intuisi), dan epistemologi burhānī (penalaran berdasarkan
prinsip logika).15
Mulyadi Kartanegara berpendapat bahwa dalam epistemologi
Islam ada beberapa cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan yakni melalui media
indera, teks-teks keagamaan (wahyu), akal dan hati. Maka cara pertama yang
dilakukan adalah dengan pengamatan indrawi terhadap semua hal yang bersifat
materi kemudian melakukan observasi atau eksperimen.16
Cara kedua (wahyu)
menurutnya merupakan bentuk komunikasi Tuhan kepada manusia dengan perantara
Malaikat atau manusia pilihan Tuhan (Nabi) yang bertugas untuk menyampaikan
wahyu-Nya kepada manusia. Sedangkan cara yang ketiga melalui akal yang
12
Genetivus Subyektivus adalah sebuah pendekatan yang berupaya menempatkan
Islam sebagai subyek atau sebagai titik tolak berpikir. Pada pendekatan tersebut epistemologi
diletakkan sebagai bahan kajian utama. Adapun lawannya yaitu pendekatan Genetivus
Obyektivus yakni menempatkan Islam sebagai obyek kajian atau Islam dijadikan sebagai
bahan kajian dalam berpikir. Pada posisi ini epistemologi dijadikan sebagai titik tolak
berpikir pada saat mengkaji Islam. Lih. Hasnun Jauhari Ritonga, Landasan Epistemologi
Komunikasi Islam, MIQOT Vol. 32 No. 2, Juli-Desember 2008, 281. 13
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), 120 14
Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan
Islam, (Jakarta: UI Press, 1983), 77. 15
Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2016), 187. 16
Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,
52-54.
25
dianugerahkan ole Tuhan yang maha kuasa kepada manusia dengan memfungsikan
kesan-kesan yang disampaikan oleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk
sampai kepada nilai-nilai atau kesimpulan tertentu. Adapun cara terakhir melalui
hati atau pengalaman batin yang sering disebut sebagai ‘irfānī.17
Adapun ketiga
bagian epistemologi Islam tersebut adalah sebagai berikut ini:
1. Metode Bayānī (penalaran berdasarkan teks)
Kata bayānī diambil dari bahasa Arab bayān yang berarti penjelasan
(eksplanasi). Ibn Mandzur (1312 M) dalam karyanya Qāmūs Lisān al-‘Arab
memaknai al-bayān sebagai al-faṣl wa infiṣāl yang artinya memisahkan dan
terpisah. Makna lain dalam kaitannya dengan metodologi disebut sebagai sebagai
al-faṣl wa ihdhār, sedangkan yang kaitannya dengan visi dari metode bayani
disebut sebagai infiṣāl wa dhuhūr.18
Pada masa al-Syafi’i (767-820 M) yang
dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, bayānī berarti nama yag
meliputi makna-makna yang mengandung persoalan uṣūl (pokok) dan yang
berkembang hingga ke furū’ (cabang).
Pengamatan oleh para ilmuwan menerangkan bahwa bayānī sangat
berkaitan dengan teks dan hubungannya dengan ‘realitas’, maka persoalan pokok
(tool of analysis) yang ada dalamnya adalah sekitar lafdh al-makna dan uṣūl-
furū’. Menurut al-Jabiri, persoalan lafdh al-makna mengandung dua aspek yakni
teoritis dan praktis. Dari sisi teori muncul tiga persoalan, (1) tentang makna suatu
kata, apakah di dasarkan pada konteksnya atau aslinya (tawqīf), permasalahan ini
muncul karena pemberian makna atas sebuah kata, muncul akibat perbedaan
pendapat antara kaum rasionalis dan ahli hadis. (2) tentang analogi bahasa,
seperti kata nabidh (perasan gandum) dengan khamr (perasan anggur) atau kata
sāriq (pencuri benda) dengan nabāsh (pencuri mayat di kubur). (3) soal
pemaknaan al-asmā’ al-shar’iyyah, seperti kata ṣalāt, ṣiyām, zakāt dan lainnya.
Menurut al-Baqilani (950-1012 M), salah seorang tokoh teologi al-shar’iyyah
menurutnya hal tersebut terjadi karena al-Qur’an diturunkan dengan tradisi dan
bahasa Arab, maka ia harus dimaknai sesuai dengan kebudayaan Arab, tidak bisa
di dekati dan dengan budaya dan bahasa lain.19
Persoalan uṣūl-furū’, menurut al-Jabiri tidaklah menunjukkan pada dasar-
dasar hukum fiqh, seperti al-Qur’ān, sunnah, ijmā’ dan qiyās. Tetapi dalam
pengertian umum ia adalah pangkal dari proses penggalian pengetahuan.
Sehingga uṣūl adalah ujung rantai dari hubungan timbal balik dengan furū’. Ada
tiga jenis posisi dan peran uṣūl dalam hubungannya dengan furū’ yakni (1) Uṣūl
sebagai sumber pengetahuan yang cara memprolehnya dengan istinbāṭ. (2) Uṣūl
sebagai sandaran untuk pengetahuan yang lainnya yang cara pengaplikasiannya
dengan qiyās. (3) Uṣūl sebagai pangkal dari proses pembentukan pengetahuan,
dengan menggunakan kaidah-kaidah uṣūl al-fiqh.
17
Sari Nusaibah, Epistemologi Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman Jurnal
History of Islamic Philosophy, Vol. 2 No. 2, London Routledge, 1996, 827. 18
Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Markaz Tsaqãfah Arabi, 1991), 20. 19
Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, 116.
26
Adapun Abdul Wahab Khallafi mengatakan bahwa sumber pengetahuan
bayānī adalah al-Qur’an dan Sunnah.20
Sebab, bayānī hanya mendasarkan diri
pada teks, pemikiran dan epistemologi bayānī menjadi terbatas dan terfokus pada
h-l-hal yang bersifat aksidental bukan subtansial yang akhirnya kurang bisa
dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang makin
cepat. Karena kenyataannya pemikiran Islam saat ini banyak didominasi bayānī
fiqhiyyah di mana kurang bisa merespon dan mengimbangi perkembangan.
Kelemahan yang sangat mendasar dari epistemologi ini adalah ketika
berhadapan dengan teks-teks keagamaan dari berbagai kultur madhhab, karena
corak berpikir keagamaan model tekstual bayānī berusaha mengambil setiap
masalah yang dogmatik, diskursus dan devensif. Hal ini, karena akal hanya
digunakan untuk mengukuhkan dan membenarkan otoritas teks keagamaan. 21
2. Metode Burhānī (penalaran berdasarkan prinsip logika)
Kata burhānī diambil dari bahasa Arab burhān yang berarti demonstratif.
Dalam kamus Lisān al-‘Arab karya Ibn Mandhur (1312 M) memberikan arti
burhānī sebagai iẓhāru al-ḥujjah (menunjukkan dengan bukti). Menurut al-Jabiri
bahwa prinsip-prinsip logis yang selalu melekat pada metode ini dibangun
pertama kali oleh Aristoteles dengan istilah analitik (taḥlīlī).22
Jika epistemologi bayānī dan irfānī masih mengaitkan dengan teks suci,
maka burhānī lebih mengandalkan metode kekuatan rasio (‘aql) yang dilakukan
melalui dalil-dalil rasional. Sehingga Abid al-Jabīrī membedakan antara ketiga
epistemologi tersebut kepada tiga perbedaan, yaitu, (1) nalar bayānī
menghasilkan pengetahuan melalui qiyās al-ghaib ala al-shahīd (analogi realitas
non-fisik atas realitas fisik) atau furū’ kepada yang uṣūl. (2) nalar irfānī
menghasilkan pengetahuan melalui proses penyatuan ruhani kepada Tuhan
dengan penyatuan universal (kulliyat). (3) nalar burhānī menghasilkan
pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang
telah diyakini kebenarannya.23
Metode burhānī atau rasional semakin berkembang dan menjadi salah satu
sistem pemikiran Arab Islam. Al-Razi (865-925 M) dan al-Farābi (870-950 M),
kedua tokoh rasional ini telah menempatkan metode ini sebagai dasar penalaran
dan satu-satunya pertimbangan kebenaran yang dapat diterima, keduanya bahkan
menilainya sebagai substansi manusia.24
Salah satu persoalan yang dikaji dan
muncul dalam burhānī adalah masalah bahasa dan logika. Persoalan ini muncul
20
Abdul Wahab Khallafi, Ilm Uṣūl al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), 60. 21
Muhammad Amin Abdullah. Desain Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN
Sunan Kalijaga dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integratif
Interdiciplinary dalam Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan,
2005), 243. 22
Al-Jabīrī, Ishkāliyāt al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’āṣir (Beirut: Markaz Dirāsah Arabiyah,
1989), 59. 23
Kandiri, Epistemologi Pengembangan Pemikiran Islam Menurut Muhammad Abid
Al-Jabīrī, Jurnal Lisān al-Ḥāl, Vol. 4, No. 2, Desember 2012, 77. 24
Ali Sami Nāṣir, Manāhaj al-Baḥts ‘Inda Mufakkiril Islām (Beirut: Dār al-Fikr,
1967), 55.
27
ketika terjadi perdebatan tentang kata dan makna antara Abu Said al-Shirafi
(893-979 M) dan Abu Bishr Matta (870-940 M). Menurut al-Shirafi, kata muncul
lebih dahulu dibanding makna, dan setiap bahasa adalah cerminan dari budaya
masyarakat masing-masing. Sebaliknya menurut Abu Bishr Matta, makna ada
lebih dahulu dibanding kata, begitu pula logika muncul lebih dulu daripada
bahasa, sehingga makna dan logikah inilah yang menentukan kata dan bahasa,
bukan sebaliknya.25
Al-Jabīrī menegaskan bahwa sistem utama penalaran burhānī adalah
silogisme,26
sekalipun tidak setiap selogisme menunjukkan burhānī. Adapun
sebelum melakukan silogisme tersebut ada tiga tahapan yang harus dilalui, yaitu
(1) tahap pengertian (ma’qūlat) dengan proses abstraksi atas obyek-obyek
eksternal yang masuk ke dalam fikiran. (2) tahap pernyataan (ibārat) dengan
proses pembentukan proposisi atas pengertian-pengertian yang ada. (3) tahap
penalaran (taḥlīlāt) dengan proses pengambilan kesimpulan berdasarkan atas
hubungan di antara premis-premis yang ada. Dengan kata lain, penalaran burhānī
menyandarkan melalui argumentasi-argumentasi yang bersifat logis atau sering
disebut sebagai metode demonstratif.27
Metode demonstratif ini sangatlah populer di kalangan filosof, ia bertumpu
pada kekuatan akal. Ia memiliki kemampuan mengola data-data indrawi bahkan
mampu untuk menangkap konsep-konsep mental dan intelektual yang bersifat
nonfisik.28
Maka kekuatan akal adalah adalah satu modal terbesar dalam
pengolahan berpikir dan menyerap ilmu pengetahuan dari eksternal ke internal.
3. Metode Irfānī (penalaran berdasarkan hati)
Kata irfānī diambil dari bahasa Arab kata ‘arafa, semakna dengan makrifat
yang berarti pengetahuan, tetapi berbeda dengan ilmu (‘ilm). Dalam kamus Lisān
al-‘Arab karya Ibn Mandhur (1312 M) memberikan arti irfānī sebagai infiṣāl
baina al-ṣahīh wa al-khaṭa’ (memisahkan antara yang benar dan salah). Adapun
irfānī dan makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang langsung diperoleh dari
Tuhan (kashf) melalui olah rohani, ia dilakukan atas dasar cinta atau kemauan
yang kuat. Sedangkan ‘ilm adalah pengetahuan yang diperoleh melalui naql
(transformasi) atau ‘aql (rasionalitas).29
Mehdi Hairi Yazdi menuturkan bahwa
25
Al-Jabīrī, Takwīn al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Markaz at-Tsaqafi al-Arabi, 1991), 29. 26
Silogisme diterjemahkan dengan qiyās atau al-qiyās al-jam’i yang mengaju pada
makna asal “mengumpulkan”. Sehingga silogisme dikenal dengan suatu bentuk argumen di
mana 2 proposisi yang disebut premis, dirujukkan bersama sedemikian rupa, maka hasilnya
pun menjadi sebuah keputusan (conclusion) pasti menyertai. Lihat karya Khudori Soleh,
Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: al- Ruzz Media, 2016), 221. 27
Premis-premis yang dimaksudkan adalah premis yang benar dan diperlukan. Premis
yang benar adalah premis yang memberi keyakinan dan meyakinkan. Lih. Lorens Bagus,
Kamus Filsafat (Jakarta: Pustaka Utama, 1996), 87. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), Premis adalah apa yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan kemudian;
dasar pemikiran; alasan, asumsi, kalimat atau proposisi yang dijadikan dasar penarikan
kesimpulan di dalam logika. Lihat di http://kbbi.web.id/premis 28
Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam
(Bandung: Mizan, 2003), 55. 29
Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer, 199
28
irfānī adalah pengetahuan yang dihadirkan (‘ilm ḥuḍuri), sedangkan ‘ilm adalah
pengetahuan yang dicari (‘ilm muktasab).30
Muthahhari dalam karyanya Menapak Jalan Spritual, menjelaskan bahwa
irfānī terbagi kepada 2 aspek, yakni; praktis, di dalamnya mendiskusikan tentang
hubungan manusia dengan alam dan Tuhan, dan teoritis yang dalamnya
mendiskusikan tentang hakikat semesta, manusia dan Tuhan.31
Zulfa Makiah
menambahkan bahwa irfānī dengan kedua aspek praktis dan teoritis tersebut
menegaskan bahwa irfānī adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara olah
rohani (ruḥiyyah) dengan kesucian hati (qalb), dengan harapan Tuhan akan
melimpahkan pengetahuan langsung (kashf) kepadanya. Maka kedua metode
memperoleh tersebut menjadi kunci dipermudahnya kashf. Dari hal tersebut
kemudian dikonsepsikan ke dalam pemikiran sebelum dikemukakan kepada
publik. Maka secara metodologi, pengetahuan rūḥiyyah setidaknya diperoleh
melalui tiga tahapan yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan, lisan
maupun tulisan.32
Metode irfānī sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan melalui
penampakan langsung kepada subjek, dalam ilmu tasawuf dinamakan ma’rifah.
Adapun sarana untuk mencapai ma’rifah tersebut haruslah dengan qalb, bukan
dengan indrawi maupun akal. Harold H. Titus dalam karyanya tentang
Persoalan-Persoalan Filsafat mengemukakan bahwa pengetahuan irfānī tidak
didasarkan atas objek eksternal atau runtutan logis, melainkan dari realitas
kesadaran diri sendiri atau yang sering disebut (kashf).
Al-Ghazali bahkan membuat kategori penting untuk mengungkapkan fungsi
dan kelebihan hati. Pertama, hati dalam pengertian fisik dan psikologis, yaitu
segumpal daging yang dimiliki oleh manusia sebagai organ tubuh yang terletak
pada bagian kiri dada. Kedua, hati dalam pengertian rabbaniyah ruhaniyah yaitu
sesuatu yang halus yang memiliki sifat ketuhanan dan keruhanian. Maka tidak
heran jika hati sangat radikal untuk melampaui kemampuan akal. Sebab, hati tu
bisa bicara dengan mata bathinnya bahkan bisa merasakan secara naluriyah.33
Al-Qur’an sendiri menggambarkan bahwa hati sebagai lokus dari apa yang
membuat seseorang menjadi manusiawi dan memiliki akhlak serta prilaku yang
mencerminkan kesucian hati. Sebab, manusia terikat erat dengan Tuhan, pusat ini
merupakan tempat di mana mereka bertemu dengan Tuhan. Bahkan pertemuan
tersebut memiliki dimensi kognitif dan dimensi moral yang tidak diduga
sebelumnya.34
Misalnya, ketika seseorang merasakan sakit dengan jiwanya maka
ia bisa menghubungkan antara jiwanya yang sedang sakit dengan Tuhan-nya
melalui do’a yang ia lafalkan. Do’a pun sebagai komunikasi seorang hamba
kepada Allah membuat diri dan jiwanya menjadi lebih tentram dan nikmat.35
30
Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huḍūri, (Bandung: Mizan, 1994), 47. 31
Muthahhari, Menapak Jalan Spritual (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), 20. 32
Zulfa Makiah, Epistemologi Bayāni, Burhāni dan Irfāni Dalam Memperoleh
Pengetahuan Tentang Maṣlaḥah (Banjarmasin: Antasari Press, 2007), 47. 33
Fritjop Capra, The Tao of Physics (Boston: New Science Library, 1995), 30. 34
William Johnston, Mysthical Theology: The Science of Love (London: Harper
Collins Religious, 1995), 90-93. 35
Ibnul Qayyim, al-Dāu wa al-Dawā’ (Beirut: Dār Kutub Ilmiyyah, 2005), Cet. 3, 7.
29
Berdasarkan penjabaran di atas, maka berikut penulis menggambarkannya
dengan peta epistemologi Islam di bawah ini:
Peta Epistemologi Islam
Konsep epistemologi Islam tersebut menjadi sangat penting karena ia
merupakan studi yang cukup penting di lingkungan akademik. Ia dapat menjadi
bagian untuk menguji dasar-dasar dan proses-proses terbentuknya semua
pengetahuan manusia, termasuk pengetahuan ilmiah. Zaprulkhan mengatakan bahwa
dengan epistemologi maka seorang ilmuwan akan memproleh ilmu pengetahuan
secara utuh serta ia akan mengetahui bagaimana cara menjustifikasi kebenaran
pengetahuan tersebut. Dalam konteks inilah para filusuf kemudian merumuskan
beragam metode untuk memproleh pengetahuan sesuai dengan pradigma filsofisnya
masing-masing. Paling tidak menurut Zaprulkhan secara umum ada 3 metode untuk
mengonstruksi pengetahuan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.36
Dinar Dewi Kania (2010 M) menyimpulkan bahwa perbandingan antara
epistemologi Barat dan Islam sebagai sub bagian pada filsafat ilmu adalah tidak
diakuinya antologis alam dan alam metafisik tidaklah dianggap sebagai obyek ilmu.
Adapun Islam dalam mengartikan espitemologi filsafat ilmu sebaliknya selalu
mengakui antologis alam fisik maupun metafisik. Sehingga dalam konsep Islam
pasti mengakui keduanya sebagai obyek ilmu.37
C. Konsep Epistemologi Ilmu dalam Tradisi Barat
Telah dijabarkan di atas bahwa epistemologi (theory of knowledge), terkait
dengan metode dan cara sebagai sarana atau alat untuk mencapai objek kajian
tertentu. Beberapa metode yang telah lama diakui oleh sains modern adalah akal
(ration) dan indera (senses). Menurut Jujun S. Suriasumantri epistemologgi secara
garis besar, sumber-sumber epistemologi dapat diklasifikasikan menjadi empat,
yakni: rasionalisme, empirisme, kritisisme, dan intuisionisme. Sekalipun
menurutnya metode kritisisme sebenarnya ia diproleh karena adanya pergumulan
rasionalisme dan empirisme.
Farih Sholeh Tsaqafi (2009 M) mengatakan bahwa kritik (naqd) terjadi
karena adanya ketidak sesuaian atau kesalahan pada akal seseorang dan apa yang
langsung dilihat oleh matanya.38
Kritisisme pertama kali digulirkan oleh filsuf besar
36
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer (Jakarta: Rajawali Pers,
2016), 73. 37
Dinar Dewi Kania, Konsep Ilmu Persfektif Islam dan Barat (Jakarta: Insists Press,
2004), 6. 38
Miklōs Marōt, The Role of Qiyās in Arabic Grammar, Acta Orientalia Academiae
Scientiarum Hungaricae, Vol. 48, No. 1, Februari 1995, 103.
30
yang sangat popular diantara para filsuf modern lainnya, asal Jerman abad ke-18
yaitu Immanuel Kant.39
Secara substansial kritisisme bertujuan untuk mengkritik
validitas ilmu pengetahuan, menentukan barometer batas-batas ilmu pengetahuan
serta untuk menguji operasionalitasnya.
Kehadiran kritisisme oleh Immanuel Kant sebagai tonggak dimulainya
zaman baru, sebagai respon terhadap dua aliran sebelumnya yang telah digulirkan.
Ia ingin menyingkap distingsi yang lebih jelas antara obyek dan pengalaman subyek,
antara benda itu sendiri (thing-in self) dan benda itu bagi kita (thing for us).40
Kant
mencoba untuk mencari solusi untuk mengatasi bentrokan antara rasionalisme dan
emprisme dengan menawarkan pertanyaan unsur mana saja dalam pemikiran
manusia yang berasal dari pengalaman dan mana unsur akalnya.41
Yakni, munculnya pengetahuan yang dimiliki oleh manusia apakah dari luar
ataukah dari jiwa manusia itu sendiri.42
Adapun Zaprulkhan menegaskan bahwa
sesungguhnya alasan unsur-unsur yang tidak bisa diketahui secara lengkap karena
manusia selalu dipengaruhi cara kerja sensasi dan persepsi yang sudah berada dalam
batasan ruang dan waktu.43
Paduan metode rasionalisme dan empirisme menurut Kant tidaklah
seimbang. Karenanya ia menyebut setidaknya ada 3 ciri-ciri mendasar pada metode
kritisisme ini, yaitu: (1) Anggapan objek pengenalan berpusat pada subjek, bukan
pada objek. (2) Membuktikan keterbatasan akal manusia untuk mengetahui
kenyataan dan hakikat sesuatu, akal hanya mampu menjangkau gejala dan
fenomenanya saja. (3) Pengenalan manusia terhadap sesuatu apapun itu diperoleh
dari perpaduan antara kedua unsur akal dan pengalaman.44
Sehingga dengan misinya
Immmanuel Kant sangat tepat karena dianggap telah cukup berhasil dalam
mendamaikan empirisme dan rasionalisme.
Berbeda halnya dengan Louis O. Kattsoff ia justru mengklasifikasikan
bahwa sumber-sumber epistemologi terbagi kepada enam bagian, yaitu empirisme,
rasionalisme, fenomenologisme, intuisionisme, metode ilmiah dan hipotesis. Di sisi
lain seorang ahli filsafat modern Pradana Boy ZTF telah mengklasifikasikannya
menjadi tiga bagian penting saja yaitu empirisme, rasionalisme dan kritisisme.
Dalam tulisan ini penulis hanya menjabarkan tiga sumber epistemologi saja
yakni empirisme, rasionalisme, dan intuisionisme. Menurut penulis ketiga sumber
epistemologi tersebut sudah cukup mewakili untuk proses mengetahui sebuah
keilmuan. Sebagaimana juga pernah disebutkan oleh O. Kattsoof bahwa sebenarnya
metode tersebut adalah hasil dari penjabaran mendalam dari ketiga metode yang
akan dibahas berikut ini;
39
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, 77. 40
Simon. E. Frost, Basic Teaching of The Great Philosophers (New York: Ncchor
Books, 1989), 40. 41
Yusriah, Pengaruh Kritisisme Kant Terhadap Filsafat Modern dalam Jurnal
Teologia, (Semarang : Media Kominfo Keilmuan, 1989), 15. 42
Pradana Boy, Filsafat Islam – Sejarah Aliran dan Tokoh, (Malang : UMM Press,
2003), 11. 43
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, 76. 44
Rosita Baiti, Pemikiran Manusia Dalam Aliran-Aliran Filsafat, Jurnal Wardah Vol.
1, No. 29, Juni 2015, 88.
31
1. Metode Empirisme
Kata empirisme (al-manhaj al-tajribī) berasal dari bahasa Yunani έμπειρία
(empiriea) yang berarti coba-coba atau disebut juga empeirikos artinya
pengalaman. Penemu al-manhaj al-tajrībī pertama kali dalam dunia keilmuan
berasal dari tokoh Islam yaitu al-Kindi (806 – 875 M). Bahkan pemikiran filsafat
Islam yang berkembang pasca penerjemahan atas buku-buku Yunani, pertama
kali juga dikenal oleh Qais al-Kindi tepatnya pada abad pertengahan.45
Ia
mengatakan bahwa sumber pengetahuan manusia salah satunya ditopang atas
asas pengalaman atau percobaan yang digagas berdasarkan pengamatan indrawi
(al-ḥissiyyah). Pemikiran empiris tersebut kemudian semakin berkembang hingga
sepeninggal al-Kindi dilanjutkan oleh al-Razi (865-925 M) dan Ibnu al-Farabi
(870-950 M).46
Ibnu al-Farabi, tokoh yang mempunyai pengaruh besar yang
pemikirannya tidak hanya dikenal di dunia Islam, namun juga ia sangat
berpengaruh di Barat hingga sampai Eropa, ia tidak hanya mengembangkan
metafisika Islam, tetapi juga memberikan landasan bagi pengembangan keilmuan
dengan teori emanasi yang menggabungkan antara teori neo-platonis dengan
Tauhid Islam yang menjelaskan antara Tuhan yang Maha Ghaib dengan realitas
empirik. Adapun ilmuan Barat yang pertama kali menggunakan istilah empirisme
di mana aliran ini justru lebih sering disandarkan kepada mereka diantaranya
dimulai oleh Francis Bacon (1561-1626 M), Thomas Hobbes (1588-1679 M),
John locke (1632-1704 M), George Berkeley (1685-1753 M), paham empirisme
tersebut mencapai puncaknya dalam filsafatnya David Hume (1711-1776 M).47
David Hume menegaskan bahwa semua gagasan ilmuwan atau persepsi-
persepsi siapapun yang lebih lemah adalah tiruan dan kesan-kesan para ilmuwan
tersebut. Dengan demikian, pengetahuan a priori akhirya ditolak. Sebab, ia hanya
mengakui pengetahuan a posteriori atau yang pengetahuan yang diproleh dari,
atau setelah pengalaman.48
Maka empirisme sangat menekankan pada metode
eksperimen (tajribī) dalam proses untuk mencapai pengetahuan yang sempurna.
Dalam al-Tikrār Mughāmirah fī ‘Ilmi Nafsi al-Tajrībī karya Sőren
Kiergegaard (2015) ia mengatakan bahwa suatu kebenaran boleh saja tanpa bukti
dan langsung dipercayai seperti jika yang mengajarkan adalah Socarates dan
Plato. Namun, zaman modernisasi saat ini membutuhkan di mana setiap
kebenaran tersebut perlu dibuktikan dengan sebuah kejujuran yang diperoleh dari
eksperimen untuk menguji suatu ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan apabila
seseorang tidak memiliki usaha tertentu dengan satu jenis indrawi, maka jelas ia
tidak dapat memiliki konsepsi tentang pengetahuan yang berhubungan dengan
inderawi tersebut.49
45
Muhammad Mab’uth, al-Manhaj al-Tajrībī al-Tamhīd al-Mithalī wa Shibhu al-
Tajrībī, (Riyadh: Dar Kutub Univ. Imam Sa’ud, 1434 H), 4. 46
Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer, 38 - 41. 47
Ahmad Atabik, Sebuah Kerangka Untuk Memahami Konstruksi Pengetahuan
Agama Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu, Jurnal Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014,
267. 48
K.A. Yuanana, The Greatest Philosophers (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2010), 47 49
Sőren Kiergegaard, al-Tikrār Mughāmirah fī ‘Ilmi Nafsi al-Tajrībī (Kairo: Dār
Kalimah, 2013), 9.
32
Masalah utama yang sering kali timbul dalam penyusunan pengetahuan
secara empiris adalah karena pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung
untuk menjadi suatu kumpulan fakta-fakta. Di mana kumpulan tersebut belum
tentu bersifat konsisten dan mungkin saja masih terdapat hal – hal yang
kontradiktif. Sebab, kumpulan fakta tersebut belum menjamin terwujudnya ilmu
pengetahuan yang sistematis kecuali menurut Jujun Sumantri kalau dia seorang
kolektor barang-barang serbaneka.50
Lebih jauh Einstain mengingatkan bahwa tak terdapat metode induktif yang
memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu. Itulah sebabnya kaum
empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah gejala karena merupakan gejala
yang tertangkap oleh pancaindra. Hal tersebut akan membawa kepada dua
masalah. Pertama, apakah berbagai fakta yang ditemukan sama seperti yang yang
kita sangka? Harus terdapat suatu kerangka pikiran yang memberi latar belakang
misalnya, mengapa X memiliki hubungan dengan Y, sebab jika tidak, maka pada
hakikatnya semua fakta dalam dunia fisik bisa saja dihubungkan dalam kaitan
kausalitas.
Masalah kedua adalah mengenai hakikat pengalaman, di mana ia merupakan
cara untuk menemukan pengetahuan dan panca indera sebagai alat untuk
menangkapnya. Pertanyaanya adalah apakah sebenarnya pengalaman itu?
Apakah ini merupakan stimulus pancaindra, persepsi ataukah sensasi? Sekiranya
iya, lalu seberapa jauh kita dapat mengandalkan pancaindra tersebut? Ternyata
kaum empiris sendiri tidak memberikan jawaban yang meyakinkan mengenai
hakikat pengalaman itu sendiri. Sebab, bisa saja pancara indra yang dimiliki oleh
manusia memiliki kelemahan atau kekurangan dan tidak ada yang bisa menjamin
bahwa ia sempurna. Maka pancaindra yang menjadi andalan para kaum empiris
bisa saja terjadi kesalahan atau ketidak absahan pada saat mengkaji suatu obyek
tertentu.51
2. Metode Rasionalisme
Kata rasionalisme berasal dari bahasa Inggris rationalism, menurut Edward
(1967 M) ia berasal dari bahasa Latin ratio yang artinya akal sehingga para
pemikirnya disebut rationalis. Tokoh utama pada metode ini adalah G.W. Leibniz
(1846-1716 M), Wolf di Jerman. Menurut Zaprulkhan rasionalisme adalah
pandangan bahwa kita mengetahui apa yang kita pikirkan dan bahwa akal
memiliki kemampuan untuk mengungkapkan suatu kebenaran dengan
bersandarkan diri sendiri. Dengan menekankan kekuatan manusia untuk berpikir
dan apa yang diberikan oleh akal kepada pengetahuan, seorang rasionalis pada
hakikatnya berkata bahwa rasa (sense) itu sendiri tidak dapat memberikan kepada
kita suatu pertimbangan yang koheren dan benar-benar universal.52
Sense dan
pengalaman yang dimiliki oleh manusia dari penglihatan, pandangan, suara, rasa
dan bau hanya merupakan bahan baku untuk pengetahuan.
50
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2013), 52. 51
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 54 - 55. 52
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer (Jakarta: Rajawali Pers,
2016), 75.
33
Doyle Johnson (1999 M) menuturkan bahwa kaum rasionalis tersebut selalu
memulainya dengan sebuah pernyataan aksioma dasar, di mana pernyataan
tersebut dipakai untuk membangun sistem pemikirannya, didapat dari ide yang
menurut anggapannya adalah clear, assertive, dan sure dalam pikiran manusia.53
Muhammad Rasyid Ridha (2012 M), seorang filsuf dari Lebanon senada
dengan apa yang disampaikan oleh Zaprulkhan bahwa akal manusia sangat besar
pengaruhnya. Namun, mereka mengatakan bahwa akal dapat dipakai terhadap
dogma-dogma mengenai hidup sosial tidak terhadap ibadah seseorang kepada
Tuhannya. Sebab, ijtihad melalui akal atau rasio soal ibadah tidak diperlukan
lagi, misalnya juga terhadap ayat-ayat al Qur’an dan Hadis yang mengandung arti
tegas (assertive).54
Adapun jika hal tersebut misalnya terhadap kitab-kitab bahasa Arab seperti
Miftāḥ al-‘Ulum karya al-Sakaki sekalipun ia berbahasa al-Qur’an atau bahasa
Tuhan ia tetap harus dihadapkan kepada akal manusia. Ia juga berpendapat
bahwa akal manusia mempunyai potensi yang sangat kuat bahkan akal manusia
dapat sampai pada bukti-bukti wājib al-wujūd, ilmu dan hakekat, kewajiban
bersyukur, mengagungkan dan beribadah kepada- Nya dengan keyakinan akan
kekalan jiwa. Meskipun demikian ia begitu menghargai kedudukan akal manusia
sebagai metode kepemilikan ilmu pengetahuan oleh para kaum rasionalisme
namun masih tetap mengakui kelemahan dan keterbatasannya. Sebab,
menurutnya akal manusia tidak lah diberi kebebasan untuk mentakwilkan
wahyu55
yang diturunkan dari Tuhan seperti al-Qur’an.
G.E.R Lloid (1996 M) dalam karyanya Polarity and Analogy menegaskan
kembali bahwa rasionalisme dapat mencapai pengetahuan yang tidak dapat
disangkal, tanpa pengalaman indrawi. Dengan demikian seorang rasionalis ia
akan mampu memberikan pengetahuan yang benar, hukum tentang alam dan
tidak hanya sebatas aturan berpikir.56
Berbeda hal dengan Jujun Suriasumantri ia
menegaskan dan tegas menjustis langsung bahwa kaum rasionalis telah
memperguunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis
yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya
jelas dan dapat diterima. Di mana ide ini menurut kaum rasionalis bukanlah
ciptaan manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia
memikirkannya. Prinsip tersebut ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui oleh
manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya.
Masalah utama yang timbul dari cara beripikir ini adalah mengenai kreteria
untuk mengetahui kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang jelas dan
dapat dipercaya. Maka hal inilah yang sangat membedakan antara kaum
rasionalis dengan kaum empiris. Perdebatan antara keduanya bahwa kaum
53
Doyle P. Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1994), 1. 54
Masnur Kasim, Muhammad Rasyid Ridha antara Rasionalisme dan
Tradisionalisme, Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 37, No. 2 Juli-Desember, 2012, 130. 55
Masnur Kasim, Muhammad Rasyid Ridha antara Rasionalisme dan
Tradisionalisme, 135. 56
Miklōs Marōt, The Role of Qiyās in Arabic Grammar, Acta Orientalia Academiae
Scientiarum Hungaricae, Vol. 48, No. 1, Februari 1995, 103.
34
rasionalis mengklaim bahwa pengetahuan diproleh bukan melalui pengalaman
yang berdasarkan panca indera yang sudah pasti memiliki kelemahan, melainkan
perlu melalui penalaran rasional. Maka di sinilah yang dasar pengaplikasian cara
perpikir oleh para ilmuwan baha tidak cukup dengan pengalaman saja namun
butuh lebih dari itu khususnya pengolahan data dan penangkapan konsep-konsep
tertentu melalui cara berifikir.57
3. Metode Intuisionisme
Kata intuisionisme berasal dari bahasa latin intuitio yang berarti
pemandangan, Henri Bergson (1941) mengatakan bahwa intuisionisme adalah
suatu aliran filsafat yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi
yang dimiliki manusia, yaitu intuisi.58
Tradisi Kant menuturkan bahwa semua
pengetahuan manusia apapun itu jenisnya selalu diawali oleh intuisi sehingga
menghasilkan konsep-konsep, dan diakhiri dengan ide-ide. Metode intuisionisme
ini kemukakan pertama kali oleh matematikawan Belanda L.J.W. Brouwer
(1882-1966). Sekalipun beberapa ide awalnya dirumuskan oleh Kronecker (1890
M) dan Pincare (1906). Brouwer menegaskan bahwa intuisionisme tidaklah
memandang sebuah validitas sistematis sebagai struktur obyektif seperti pendapat
aliran formalisisme59
dan silogisisme.60
Intuisionisme telah mengklaim bahwa
realitas dunia secara hakiki bisa dipahami melalui intuisi karena ia berhubungan
dekat dengan akal.
Kitab Romantisisme dan Intuisisme karya Febeanus Heatubun mengatakan
bahwa untuk intuisisme ada satu pertanyaan besar yang sering ia kemukakan
yaitu “pengetahuan seperti apa? Menurutnya itulah yang menjadi problem. Kata
kaum intuisionis, bukan pengetahuan intelek yang dapat mengatasi, melainkan ia
adalah pengetahuan intuitif. Pengetahuan yang diyakini lebih tinggi kualitas dan
kemampuannya.61
Secara umum intuisi bersifat spiritual, ia berperan ketika tubuh bersih dari
emosi, hasrat dan nafsu atau sering kali disebut sebagai tingkatan yang tanpa
dosa. Maka intuisi dikategorikan sebagai pengetahuan langsung, ia tidak datang
dari diri sendiri, pengalaman ataupun dari banyaknya pengetahuan kognitif,
justru pengetahuan intuitif itu datang dari jiwa secara asali dan alamiah. Maka
Intuisi adalah suatu kemampuan yang berisifat alamiah, sehingga secara somatik
sering disebut good feeling. Blaise Pascal (1662), dalam karyanya logika hati ia
mengatakan bahwa disiplin tubuh berguna untuk mengolah dan menyediakan
wadah bagi intuisi yang bersifat spiritual. Meditasi sering kali dianggap cara
57
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 50. 58
Milton D. Hunnex, Peta Filsafat (Jakarta: Teraju, 2004), 27. 59
Aliran formalisme berasal dari bahasa latin yang artinya forma, bentuk atau wujud.
Ia adalah sebuah teori yang biasa digunakan untuk menganalisa karya sastra yang
didalamnya meliputi tekhnik pengucapan; ritme, rima, intonasi, bunyi, aliterasi dan asonansi.
Lih. Jonathan P. Seldin, On the proof theory of Coquand’s calculus of constructions
(Kanada: Concordia University, 1995), 24. 60
Agung Prabowo, Aliran-aliran Filsafat dalam Matematika, Jurnal JMP, Vol. 1, No.
2, Oktober 2009, 35. 61
Febeaus Heatubun, Romatisisme dan Intuisisme (Bandung: M-lintas, 2007), 83..
35
yang baik untuk mempertajam dan memperjelas pengetahuan atau kebijaksanaan
intuitif.62
Jujun Suriasumantri dalam pandangannya mengatakan bahwa intuisi bersifat
personal dan tidak dapat diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan
secara teratur maka intuisi tidak bisa diandalkan. Menurutnya pengetahuan
intuituf dalam digunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam
menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakannya. Kegiatan intuitif
dan analitik bisa bekerja saling membantu ddalam menentukan kebenaran. Bagi
Maslow intuisi ini merupakan pengalaman puncak (peak experience). Sedangkan
bagi Nietzsche merupakan intelegensi yang paling tinggi.63
Louis O. Kattsoff membuat sebuah skema perbedaan antara dua
pengetahuan yaitu pengetahuan mengenai (knowledge about) dan pengetahuan
tentang (knowledge of). pengetahuan mengenai (knowledge about) dinamakan
pengetahuan diskursif (pengetahuan simbolis), sedang pengetahuan tentang
(knowledge of) dinamakan sebagai yang langsung (intuitif) di mana pengetahuan
tersebut diproleh secara langsung tanpa perantara sesuatu apapun.64
Henry
Bergson, filsuf Perancis Modern sebagai pencetus aliran intuisionisme modern
berpegang kepaada perbedaan tersebut. Di mana pengetahuan diskursif diproleh
melalui penggunaan simbol-simbol yang mencoba mengatakan kepada kita
mengenai sesuatu dengan jalan berlaku sebagai terjemahan bagi sesuatu itu.
Sekalipun demikian ia sangat tergantung kepada pemikiran dari satu sudut
pandang atau suatu kerangka acuan, dan pelukisan kejadian yang berhubungan
dengan sudut pandang serta kerangka acuan tersebut. Dengan cara demikian kita
memperoleh pengetahuan mengenai suatu segi atau bagian dari kejadian itu yang
terjadi sebelumnya, namun tidak pernah mengenai kejadian itu secara
keseluruhan.65
Ian Barbou (1971 M) mengatakan intuisionisme sekalipun demikian tidak
boleh mengingkari nilai pengalaman indrawi yang biasa dan pengetahuan yang
disimpulkan darinya. Sebab, beberapa filsuf berpendapat bahwa apa yang
diberikan oleh indrawi hanyalah yang terlihat belaka, sebagai lawan dari apa
yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Sedang yang lainnya berkata bahwa
hanya intuisilah yang dapat menyingkap kepada kita keadaan yang lebih nyata.66
Sekalipun demikian para ilmuwan juga banyak yang tidak setuju akan
metode tersebut, alasan mereka adalah karena sebuah ilmu haruslah diupayakan
dengan cara interaksi langsung (al-quwwah al-hissiyyah) atau dengan cara
berpikir (al-quwwah al-‘aqliyyah), sehingga karena kedua hal tersebut menjadi
sebuah pemicu munculnya keilmuan yang disebut dengan metode intuisi, di
mana kehadirannya tanpa disadari.
62
Febeaus Heatubun, Romatisisme dan Intuisisme, 87. 63
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 53. 64
Louis O. Kattsooff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 140 65
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, 78. 66
Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion (New York: Harper Torchbook,
1971), 170.
36
D. Epistemologi Ilmu Bahasa dan Sastra Arab
Dalam tahapan uraian ini, epistemologi bahasa Arab dibagi ke dalam tiga
pokok pembahasan utama. Pertama dimensi epistemologi ilmu pengetahuan menurut
Bahasa Arab yakni suatu kajian filsafat dari aspek bagaimana teori memperoleh
ilmu pengetahuan untuk mengetahui sumber-sumber dan validitas pengetahuan
tersebut. Kedua dimensi ontologi yakni bidang filsafat yang membahas obyek ilmu
pengetahuan atau hakekat segala hal yang menjadi obyek kajian ilmu pengetahuan.
Ketiga dimensi tujuan dan nilai guna serta manfaat dari pada ilmu pengetahuan
tersebut yakni bahasa Arab. Hal tersebut karena bahasa Arab menjadi sangat penting
dalam komunikasi bahasa internasional di seluruh belahan dunia.
Maka berikut penulis jabarkan sekilas tentang epistemologi bahasa Arab
sebagai bahasa al-Qur’an dan Hadis;
a. Pengertian Ilmu Bahasa Arab dan Hakikatnya
Sebelum masuk ke dalam pembahasan ilmu bahasa Arab, penulis terlebih
dahulu akan menjelaskan makna atau definisi bahasa itu sendiri. De Saussure
(1974 M) mendefinisikan bahwa bahasa adalah kumpulan dari kaidah-kaidah
bunyi (ḥarakāt), fonem (makhārij al-ḥurūf), sintaksis dan bahkan semantika
bahasa, sehingga menurutnya bahasa bersifat sistemik karena bahasa itu sendiri
adalah suatu sistem atau subsistem-subsistem. Misalnya subsistem fonologi,
subsistem morfologi, subsistem sintaksis, subsistem semantik, dan subsistem
leksikon.67
Senada dengan Soeparno yang juga mendefinisikan bahwa bahasa
adalah sustu sistem tanda arbitrer yang konvensional.68
Maka dapat disimpulkan
bahwa bahasa tersebut selalu erat kaitannya dengan budaya suara dan fonetik
suatu masyarakat yang terbiasa dengan style bahasa tertentu.
Sedangkan bahasa Arab adalah kumpulan dan susunan kata atau kalimat
yang diucapkan oleh masyarakat Arab untuk meyampaikan maksud dan
keinginan mereka, dan bahasa tersebut telah sampai kepada kita melalui
perpindahan (transfering) atau perkembangannya. Maka kita bisa menghafal dan
menjaga al-Qur’an serta hadis-hadis Nabi, hadis-hadis nabi tersebut diriwayatkan
dengan cara yang thiqah (kuat) dari peninggalan bangsa Arab dengan aturan-
aturanya sampai pada masyarakat yang lebih luas hingga pada zaman sekarang.69
Jika ditinjau dari sisi geografisnya, masyarakat yang mendiami kawasan
semenajung Arab berasal dari satu ras manusia, yaitu rasa Kaukasia atau yang
juga dikenal dengan nama Semit. Para pengkaji filologi dan linguistik Arab
sepakat bahwa bahasa Arab berasal dari bahasa Semit, dan penuturnya disebut
sebagai orang-orang samiyyah atau Arab Kuno (al-'arabiyyah al-qadīmah).70
Bernand Comrie (1998 M) menegaskan bahwa bahasa tersebut menginduk ke
bahasa Mroasia, di mana data 2015 jumlah penuturnya telah mencapai 175 juta
67
H.A. Gleason Jr, Introduction to Descriptive Linguistics (New York: Holt, Rinehart
and Winston Company, 1965), 44. 68
Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 1. 69
Syaikh Musthafa al-Ghalayaini, Jāmī’ al-Durūs al-‘Arabiyyah (Beirut: Maktabah
Aṣriyyah, 1994), 200. 70
Ali Abdul Wahid Wafi, Fiqh al-Lughah (Kairo: Nahdhah Mashr, 2004), 15.
37
orang yang berbeda etnik dan ras. Dialek bahasa Semit yang populer hingga saat
ini terdiri dari bahasa Akadiah, Kananit, Aramaik, Habasyi dan Arab.71
Bahasa Arab berkembang seiring dengan diturunkannya wahyu al-
Qur’an kepada Nabi Muhammad صلى هللا عليه وسلم pada abad ke- 7 M. Wujud
bahasa Arab tidak akan terlepas dari al-Qur’an yang telah mengabadikan dan
menguniversalkan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an.
Terpilihnya bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an karena kosakata dan
makna yang dikandung olehnya sangatlah luas dan besar pengaruh dan
persamaannya dalam bahasa Arab Semit. Peneliti terkemuka asal Jerman Ulrike
Freitag (2000 M) agaknya sangat mengakui bahwa hanya ada satu bahasa unik di
dunia yaitu bahasa Arab, ia menegaskan bahwa tidak ada di dunia ini bahasa
yang paling banyak kosakata dan maknanya kecuali bahasa Arab. Nashif al-
Yaziji (1906 M) juga memperkuat pendapat tersebut dalam hasil penelitiannya
bahwa bahasa Arab tersebut akan terus berkembang pada masa-masa yang akan
datang bahkan ia akan memberikan warna tersendiri dalam kehidupan manusia
selama al-Qur’an masih abadi dalam bumi.72
Proses bahasa Arab tersebut tidak terlepas dari empirisme pengetahuan a
posteriori yang diproleh dari pengalaman hidup dan budaya bangsa Arab sejak
sebelum dirunkannya al-Qur’an. Sehingga teori keilmuan bahasa Arab akan terus
digali seiring besarnya kebutuhan manusia dalam memahami al-Qur’an.
Al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm, merumuskan bahwa bahasa
Arab terbagi kepada tiga bagian saja yaitu ilmu nahwu, ilmu ṣarf dan balagah.
Hal tersebut menurutnya karena fungsi ketiga komponen ilmu bahasa Arab
tersebut sangat berbeda dan saling menguatkan, di mana ilmu ṣarf berfungsi
untuk menjaga perkataan, nahwu menjaga penyusunan kata atau kalimat,
sedangkan balagah untuk menjaga ketepatan makna. Karenanya ia pun membagi
keilmuan balagah kepada tiga komponen penting sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya. Muslim Mustafa (2012 M) menyimpulkan bahwa bahasa
Arab dan kajian teorinya telah memuncak dan terhenti pada masa al-Sakaki.73
Adapun setelahnya hanya sekedar pengulangan atau pembahasan ulang saja.
b. Nilai dan Fungsi Bahasa Arab
Beberapa ayat yang membicarakan khusus akan fungsi dan nilai-nilai
pentingnya mempelajari dan menguasai bahasa Arab di antaranya terdapat dalam
surat Yusuf ayat 2:
انآ أن زلنه ق رانا عربيا لعلكم ت عقلون
“Sungguh Kami menurunkannya berupa al-Quran dengan berbahasa Arab, agar
kamu memahaminya.”
71
Bernand Comrie, Language Universal and Linguistic Typology (Oxford: Basil
Blackwell, 1980), 3. 72
Tasyuki Takida, Juhūd Riwād al-Nahdhah wa al-Majāmi’ al-Lughawiyah fī Ihyā al-
Lughah al-Arabiyah wa Taḥdīthuhumā fi al-‘Alam al-‘Arabi al-Hadīts (Kyoto: Bulletin of
Islamic Area Studies, 2012), 37. 73
Muslim Mustafa, Perbezaan Baris I’rab dan Pesannya dalam Qirā’at (Malaya: Dār
Jami’ah Malaya, 2012), 39.
38
M. Qurays Shihab menerangkan dalam karya tafsirnya bahwa ayat ini
bertujuan untuk menunjukkan bahasa Arab memiliki arti yang paling
mengesankan, jelas, dalam, dan penuh perasaan yang timbul dipikirkan oleh
seseorang. Oleh karena itu, menurutnya kitab yang paling mulia sudah
sepantasnya diwahyukan dalam bahasa yang paling mulia, kepada Nabi dan
Rasul termulia, melalui perantara Malaikat termulia, di atas tanah paling mulia di
permukaan bumi ini yaitu di Makkah.74
Selain itu, ayat ini semakin memperkuat pendapat G.Wolf Leibniz (1716
M) bahwa kebenaran sebuah ilmu harus diungkap langsung oleh akal secara
rasional untuk dapat dinalar dan dihayati makna dan tujuannya. Sehingga dapat
difungsikan sesuai tujuan sebuah bahasa tersebut. Adapun beberapa nilai guna
bahasa Arab selain sebagai bahasa al-Qur’an dan bahasa dunia Islam, juga
merupakan kebutuhan penting dalam bahasa komunikasi resmi antar bangsa,
bahasa perdagangan, bahasa ekonomi dan perbankan Islam, bahasa kebudayaan,
bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa hukum dan lain sebagainya.75
Ibnu Taimiyyah (1328 M) berpendapat bahwa penguasaan terhadap bahasa Arab
merupakan metode paling baik untuk melakukan komunikasi yang lebih aktif
kepada Tuhan, bahkan dengan pembiasaan komunikasi bahasa tersebut akan
semakin memperlihatkan syiar Islam dan kaum muslimin.
Selain itu, menurutnya berbahasa Arab juga sangat berpengaruh positif
terhadap kualitas akal (rasio), akhlak bahkan agama seseorang.76
Sebagaimana
telah dijelaskan oleh al-Jabiri (2010 M) sebelumnya dengan istilah taḥlīlī.
E. Sejarah Ilmu Balagah
Cikal bakal ilmu balagah dimulai sejak diturunkan al-Qur’an, sekalipun
dalam sejarah jauh sebelum turunnya al-Qur’an, shair-shair Arab telah memiliki
uslub bahasa yang tinggi martabatnya. Namun, turunnya al-Qur’an menjadi pusat
perhatian utama bagi para ahli dan orang-orang Arab pada masa tersebut. Bersamaan
dengan turunnya al-Qur’an berbagai disiplin keilmuan pun mulai tampak seperti
tafsīr, hadīth, naḥw, ṣarf dan keilmuan semisalnya. 77
Seiring dengan pergesakan budaya dan tradisi keilmuan di berbagai daerah
penyebaran Islam termasuk Persia dan Romawi. Muncul berbagai pertanyaan dari
para pemeluk Islam baru, menanyakan kemukjizatan yang dikandung al-Qur’an.
Mereka menyebut bahwa al-Qur’an memiliki sifat i’jāz karena menurut mereka al-
Qur’an itu bukanlah bahasa Arab secara uslub melainkan bahasa Arab secara
kosakata. Persoalan tersebut pun menggelitik para linguis khususnya Abu Ubaidah,
untuk menjawab persoalan baru tersebut, lantas karenya ia mengarang sebuah karya
dengan judul Mujāz al-Qur’ān.
74
Muhammad Qurays Shihab, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Bandung: Pustaka Hidayah,
1997), 145. 75
Carlo Alfonso Nallino, Arabic in World Language (Jeddah: Markaz Al-Mulk Abdul
Aziz Al-Tsaqafy Al-‘Alamy, 2014), 5. 76
Ahmad Abdul Halim Ibnu Taimiyyah, Iqtiḍā al-Ṣirāt al-Mustaqīm (Riyadh:
Maktabah Rushd, t.th), 77. 77
Hasan Barburah, Nash’ah wa Taṭawwur al-Lughah al-‘Arabiyah (Aljazair:
Maktabah Zayyan ‘Āshur, 2011), 15.
39
Karya tersebut berisi tentang penjelasan bahwa uslub (style) yang
disampaikan al-Qur’an adalah berbahasa Arab, yaitu seperti yang digunakan oleh
bangsa Arab. Ia pun membuktikan berupa syair-syair dan sajak yang diriwayatkan
oleh para pujangga Arab pada masa tersebut. Di antara mereka yang sangat terenal
adalah Amrul Qois, al-Mughirah dan Zuhair Ibnu Abi Sulma. Tidak berhenti
sampai di situ, muncullah kembali persoalan baru. Jika al-Qur’an menggunakan
bahasa Arab lalu dimanakah letak i’jāz al-Qur’ān?78
Sebuah kenyataan yang harus
segera dijawab tuntas agar tidak menimbulkan spekulatif, selain untuk memotivasi
umat mempelajari kehebatan dan kemuliaan al-Qur’an.
Para ahli memiliki keyakinan yang kuat bahwa salah satu tujuan dari
diturunkannya al-Qur’an adalah untuk melemahkan kemampuan manusia agar tidak
seorang pun mampu membuat atau mengarang sejenisnya, sehingga persoalan
tersebut pun menjadi sangat menarik perhatian para ahli. Tidak sampai di situ,
bahkan memotivasi para ahli untuk terus berpikir membuktikan kesempurnaan
setiap huruf dan kekekalan ilmu syariah yang terdapat dalam al-Qur’an.79
Sebab, al-
Qur’an dengan mudah dapat menyentuh hati setiap yang membaca dan
mempelajarinya, karena keindahan lafal dan kesempurnaan makna dalam setiap ayat
dan suratnya memiliki keistimewaan tersendiri. Hal tersebut, membuat al-Qur’an
sulit digambarkan dengan detail oleh para ahli kecuali masih terbatas pada sense
yang berbeda.
Para ahli masa tersebut mengatakan bahwa al-Qur’an adalah sesuatu yang
bisa diketahui tanpa bisa diidentifikasi, maka muncullah pertanyaan, mengapa ia
bisa dirasakan tapi tidak bisa dideskripsikan? Berdasarkan pemahaman tersebut para
ahli belum puas bahwa al-Qur’an hanya bisa dirasakan dzauq-nya semata, namun
sulit digambarkan keindahannya. Mereka pun terus melakukan sebuah upaya untuk
mencari ilmu pengetahuan tentang rahasia kebalagahan yang terdapat dalam al-
Qur’an. Pada akhirnya muncullah pertama kali karya-karya baru bertema Ma’ānī al-
Qur’ān yang dikarang oleh Waṣil Ibnu Atho, al-Farra dan Ibnu al-Anbari. Diyakini
kajian inilah yang menjadi faktor besar lahirnya ilmu balagah dalam dunia Islam,
hingga sampai saat ini bahkan sampai ilmu balagah tersebut mencapai pada puncak
kejayaannya, seperti yang dilakukan oleh al-Sakaki dalamnya karyanya Miftãḥ al-
‘Ulûm dan kehadiran Khatib al-Qazwaini yang menyempurnakan karya al-Sakaki
dengan judul Talkhīṣ Miftãḥ al-‘Ulûm.80
Sebelum membahas lebih jauh tentang sejarah ilmu balaghah, penulis
terlebih dahulu akan memulainya dari pengertian ilmu balagah, seterusnya akan
membicarakan balagah pra dan pasca al-Sakaki. Bahkan pada pembahasan ini
penulis akan membahas potret kajian balagah masa kini, dengan tujuan agar dapat
dipahami perkembangan ilmu balagah dari masa ke masa.
78
Ahmad Mathlub, Asālīb Balāghiyah al-Faṣāh al-Balāghah al--Ma’ānī (Kuwait:
Wakalah al-Mathbu’at, 1980), 55. 79
Rif’at al-Sharqowi, Balāghah al-‘Aṭfi fī al-Qur’ān Dirāsah Uslūbiyyah (Beirut: Dar
al- Nahdhah al-Arabiyah), 200 80
Shauqi Ḍhaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh (Kairo: Dār Ma’ārif, 1119 H), 70.
40
1. Pengertian Ilm Balāghah
Kata balāghah berasal dari kata يبلغ -بلغ yang berarti sampai, Ibnu
Mandhur 1312 M) dalam karyanya Lisān al-‘Arab mengartikannya sebagai
ḥusnul kalām wa faṣīḥuhu (حسن الكالم وفصيحه) yang artinya keindahan berbicara
dan kefashihhannya atau disebut maknanya waṣala aw intahā (وصل أو انتهى) yang
artinya telah sampai dan selesai.81
Iyad Said Rajab menuturkan bahwa balāghah
sangatlah penting dipelajari dan diambil ilmunya agar mendapatkan keindahan
dan rasa dalam berbahasa (dhawq al-lughah). Sebab, menurutnya tanpa memiliki
keilmuan balāghah maka makna dan kandungan dari al-Qur’an itu sendiri akan
sulit untuk diambil dan dipahami.82
D. Hidayat dalam karyanya al-Balāghah li al-Jamī’ wa Shawāhid min
Kalāmi al-Badī’ menyebutkan bahwa balāghah bertujuan untuk menyampaikan
maknā yang luhur secara jelas dengan menggunakan ungkapan bahasa yang
benar serta fasih.83
Adapun Khalid Ibn Sufyan (2000) memberikan definisi, arti
balāghah adalah tersampaikannya makna yang dimaksud kepada setiap
pendengar yang membutuhkannya.84
Al-Amadi (370 H), mendefinisikan bahwa
balagah ialah alat untuk mencapai suatu makna dengan lafal yang mudah
digunakan, yang tidak melebihi dari keperluan yang dimaksudkan dan tidak pula
berkurang. Sedangkan al-Rummani (384 H), menuturkan bahwa balagah ialah
alat untuk menyampaikan suatu maksud ke dalam hati sanubari pendengar
dengan cara dan ungkapan yang terbaik.85
Jauh sebelum diturunkannya al-Qur’an telah banyak dari orang Arab yang
mahir dalam berbahasa Arab. Kemahiran tersebut ditandai dengan pengenalan
baik mereka terhadap syair-syair sejak masa jahiliyah,86
bahkan mereka lebih
maju dan berkembang dari pada orator di masanya.87
Syair-syair Arab tersebut
81
Kata balāghah berasal dari bahasa Arab yang berarti sampai kepada puncaknya.
Para ahli sering mengistilahkan bahwa ilmu balāghah adalah ilmu bahasa Arab yang berada
pada tingkatan tertinggi. Adapun sesuatu yang telah sampai artinya ia telah melalui berbagai
proses menuju kepda puncaknya tersebut. Lih. Ibn Mandhur, Lisān al-‘Arab, 34. 82
Iyad Sa’id Rajab, al-Zujāj wa Juhūduhu al-Bālighah fi Ḍaui Kitābi Ma’āni al-
Qur’ān wa I’rābihi (Palestina: Dār al-Gaza, 2010), 118-131. 83
D. Hidayat, al-Balāghah li al-Jamī’ wa Shawāhid min Kalāmi al-Badī’ (Semarang:
PT. Karya Toha Putra, 2013), 8. 84
Abdul Aziz Atiq, Fī al-Balāghah al-‘Arabiyah ‘ilm al-Ma’ānī (Beirut: Dār Nahdhah
Al- ‘Arabiyah, 2009), 9.
85
Athaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah (Malaya: Dār
Jami’ah al-Malaya, 2012), 19. 86
Masa Jahiliyah dalam sejarah Islam disebut juga sebagai bangsa Arab kuno di mana
mereka belum dijamah oleh Islam dan al-Qur’an. Masa tersebut menurut Shauqi Ḍhaif antara
al-‘Aṣrul Jahiliyyah dengan ‘Asrul Islamī terpaut hingga 150 tahun. Jahiliyyah sendiri
artinya masa kesombongan dan ketidak pedulian (sering dikenal sebagai sifat kebodohan),
sebaliknya dengan kehadiran Islam membawa misi ketidak sombongan serta rasa sosial yang
sangat tinggi. Shauqi Ḍaif, Tārīkh al-Adab al-‘Arabī (Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1119 H), 39. 87
Mustaqim dkk, Sejarah Sastra Arab Masa Shadrul Islam (Surakarta: UNS Press,
2015), 4.
41
menujukkan kematangan ilm faṣāhah atau ilm balāghah yang mereka miliki.
Sehingga ilm al-balāghah pada dasarnya bagi orang Arab telah menjadi karakter
dan sifat mereka, bahkan telah menjadi fitrah mereka. Hal tersebut tidak hanya
bagi para orang dewasa namun juga bagi semua golongan dan kabilah Arab.
Banyaknya kata-kata bijak (Al-ḥikam), pesan-pesan (waṣiyyāt) serta pribahasa-
pribahasa (mathal) dalam berbagai rangkaian syair mereka, tentu saja
mengandung unsur al-balāghah yang tinggi.88
Orang Arab pada masa Jahiliyah telah memiliki kegiatan rutin yang mereka
sebut sebagai aswāq adabiyyah (pasar sastra),89
kegiatan tersebut berguna untuk
memberi kesempatan satu dengan lainnya untuk saling mengekspresikan dan
menunjukkan karya sastra tinggi yang tidak diragukan lagi akan faṣāhah dan
balāghah-nya. Peranan penyair yang memiliki kepandaian dalam ilm balāghah
pada masa tersebut menjadi sangat penting, sehingga melalui aswāq adabiyyah
dimaksudkan untuk mencari penyair ulung yang memiliki kefashihan dalam
berbicara serta kemampuannya dalam memberikan kata-kata bijak dan nasehat.
Pada masa tersebut seorang penyair bagus dan memiliki seni berbahasa yang
muncul di antara mereka akan diangkat menjadi ketua kabilah atau pemimpin
dalam upacara-upacara kegiatan mereka. Sebab, dalam tradisi Arab masa
tersebut, ketua kabilah menurut mereka adalah yang pintar berbicara dan cerdas
dalam memilah-milah kata-kata yang akan ia ucapkan, wabil khusus ketika
menghadapi sebuh problematika suku yang harus segera diputuskan. 90
Adapun kepandaian para penyair dalam ilm balāghah masa tersebut terbukti
dari pemilihatan kata, diksi, dan rangkaian kata dan kalimat yang membentuk
makna yang sangat menarik bahkan memberikan kesan kepribadian, sehingga
tidak jarang para penyair tersebut mendapatkan jabatan atau bahkan menjadi
ajang mencari kehidupan bagi mereka. Sebab, di beberapa kesempatan para
penonton yang menyaksikan pertunjukan kemampuan syair tidak hanya dari
kalangan Arab sekitar Makkah saja, namun juga datang dari berbagai daerah
seperti Syam, Irak dan Yaman.91
Dengan demikian, kemampuan orang Arab pada masa sebelum turunnya al-
Qur’an telah tampak dari keilmuan balagah atau uslūb92
al- lughawī yang
88
Muhammad Abdul Hamid, al-Balagah Antara Ilmu Pengetahuan dan Disiplin Ilmu
(Malang: UIN Malang Press, 2014), 71. 89
Masa jahiliyah terkenal dengan kemahiran mereka dalam bersyair. Maka sudah
menjadi suatu kebiasan pada masa itu untuk mengadakan perlombaan-perlombaan untuk
mengumandangkan syair-syair berbagai aspek kehidupan di pasar-pasar, diantaranya di pasar
‘Ukaz. Sofwan Mulyaman, Studi Ilmu Ma’ani (Stylistic) Terhadap Ayat-Ayat Surat Yasin,
Holistik Vol. 12, No. 2, Desember 2011, 98. 90
Shauqi Ḍaif, Tārīkh al-Adab al-‘Arabī, 43. 91
Shauqi Ḍaif, Tārīkh al-Adab ‘Aṣrul Islāmī (Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1119 H), 24. 92
Uslūb diartikan juga sebagai ṭarīqah yang didalamnya berbicara tentang jalan, cara
dan metode. Sedangkan Ibn Mandhur dalam definisinya menjelaskan bahwa uslūb adalah
النخيل، وكل طريق ممتدالسطر من atau diartikan sebagai cara penerapan bahasa dari seseorang dalam
keadaan atau konteks tertentu dengan tujuan yang tertentu pula. Lih. Jamaluddin Ibn
Mandhur, Lisān al-‘Arab (Beirut: Dar Shadir, 1883), 21. Al- Jurjāni menambahkan bahwa
uslūb bahasa harus mencapai dua aspek penting yaitu metode berfikir dan metode
42
dipergunakan.93
Dalam perkembangannya, uslūb lughāwī atau gaya bahasa Arab
yang mereka gunakan tidak hanya menunjukkan pada keahlian bersyair atau
berpuisi yang indah saja. Namun, juga menunjukkan kepandaiannya dalam
membaca dan menulis. Bahkan, digunakan dalam berbagai bidang, baik dalam
studi ilmiah, musik, seni dan sebagainya.94
Sebagaimana diketahui pada masa tersebut perdagangan sebagai pusat
perputaran perekonomian orang Arab telah membuat daya saing yang tinggi
dalam menawarkan barang-barang niagaannya. Hal tersebut tampak di saat salah
seorang di antara mereka memiliki kemampuan dalam berbahasa yang tinggi.
Dengan demikian, bahasa sesungguhnya sejak dahulu telah mampu memberikan
efek positif terhadap kesosialan seseorang.
Terlebih setelah turunnya al-Qur’an bersamaan dengan datangnya agama
Islam di tengah-tengah bangsa Arab Qurasy, telah banyak mencuri perhatian
mereka akan keindahan bahasa dan uslubnya. Di antaranya, kisah masuknya
Umar Ibnu Khatthab dan berpalingnya Walid Ibn al-Mughirah dari Islam adalah
dua contoh tentang riwayat keimanan dan perhatian besar bangsa Arab.
Keduanya adalah bentuk respon positif masyarakar Arab terhadap al-Qur’an. Di
sisi lain, bentuk penerimaan dan penolakan yang terjadi sama-sama menerangkan
akan besarnya daya tarik al-Qur’an. Bahkan, pada masa diturunkannya al-Qur’an
baik yang beragama Islam maupun non- Islam sama-sama memilik daya tarik
yang kuat terhadap keistimewaan bahasa al-Qur’an, dan tentu saja dari sisi al-
balāghahnya adalah perhatian utama bangsa Arab Qurays.95
Sayyid Quthb dalam
karyanya Taṣwīr al-Fannī fī al-Qur’ān menegaskan bahwa sebenarnyaperhatian
besar bangsa Arab pada saat itu tidak terletak kepada pesan dakwah dan syari’at
yang diemban, melainkan keindahan bahasanya serta struktur kalimat-kalimat
ayat al-Qur’an lah yang menjadi penyebab utamanya.96
Al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab sebagaimana kenyataan
masyarakat pada masa tersebut juga menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa
keseharian mereka. Dengan demikian, uslūb al-Qur’an sudah dipastikan sesuai
dengan jenis kaidah-kaidah dan huruf-huruf pembentuknya dengan mengunakan
pola-pola yang telah dikenal lama oleh bangsa Arab sendiri, sehingga tidak
menjadi asing bagi mereka.97
Kajian balāghah yang menunjukkan uslūb-uslūb kebahasaan yang
terstruktur rapih dan penuh makna telah dibahas secara khusus pada berbagai
aspek. Misalnya, pada submateri kalām ishā’ seperti jumlah dalam al-Qur’an,
penyampaian. Lih. Abdul Qāhir Al-Jurjāni, Dalāil al-I’jaz (Kairo: Maktabah al-Khoniji,
1375 H), 330 – 340. 93
M. Abdul 'Adhim al-Zarqani. Manāhij al-‘lrfān fī Ulūm al-Qur’ān (Kairo: Dār al-
Halabi wa Syurākah. t.t), 302. 94
Habib, Gaya Bahasa al-Qur’an Daya Tarik al-Qur’an dari Aspek Bahasa, Jurnal
Adabiyyāt, Vol. 1, No. 2, Maret 2003, 63. 95
Habib, Gaya Bahasa al-Qur’an Daya Tarik al-Qur’ān dari Aspek Bahasa, Jurnal
Adabiyyāt, Vol. 1, No. 2, Maret 2003, 61. 96
Sayyid Quthb, Taṣwīr al-Fannī fī al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Syurūq, t.t), 35-36. 97
Habib, Gaya Bahasa al-Qur’an Daya Tarik al-Qur’ān dari Aspek Bahasa, 66.
43
firman Allah ta’ala إين وهن العظم مين واشتعل الرأس شيبا. Potongan ayat tersebut
menunjukkan statement sentence bahwa telah tampak kelemahan dan kepasrahan
dari nabi Zakariya, jumlah al-Qur’an يا حيىي خذ الكتاب بقوة وءآتيناه احلكم صبيا menunjukkan originative sentence yaitu pada kajian kalam inshā’ fī fi’il amr.
Juga pada jumlah al-Qur’an وهلل ملك السموات واألرض tampak mengkhususkan
Musnad ilaih artinya ia hanya dimiliki oleh musnad yang ada bersamanya, begitu
juga dengan jumlah 98,القصاص حكم به القاضي dan jumlah – jumlah lainnya.
Secara zhahiriyyah, keilmuan balagah dalam ayat-ayat al-Qur’an yang
diturunkan di tengah-tengah bangsa Arab tersebut telah mampu mengalahkan
para pujangga (al-balghā’) bangsa Arab. Hal tersebut tampak dari firman Allah
ta’ala dalam al-Qur’an dengan nada yang menantang para ahli syair untuk
mendatangkan satu surat atau bahkan satu ayat yang semisalnya dengannya.99
Tantangan tersebut alih-alih disambut oleh al-balghā’ yang dahulu mereka sering
berkumpul di aswāq adabiyyah, justru mereka terdiam tidak mampu berbicara.
Tidak sampai di situ, mereka justru mengagumi ketinggian sastra al-Qur’an dan
makna yang tersirat di dalamnya, padahal al-Qur’an masa tersebut adalah sesuatu
yang baru mereka dengar.100
Uslūb kebahasaan yang dimiliki oleh al-Qur’an bukan hanya mampu
menggabungkan argumentasi dan keindahan bunyinya. Sebab, al-Qur’an tidak
hanya menekankan aspek rasio saja, akan tetapi juga aspek rasa (emosi) atau
yang lebih sering disebut dhawq lughawī dan qawāid lughawīyyah.101
Baqilāni
Abu Bakr Muhammad Tayyeb (1980 M) dalam karyanya I’Jāz al-Qur’ān al-
Karīm bahkan menegaskan bahwa kebalagahan al-Qur’an sangat membutuhkan
akal serta keluasan dalam berfikir.102
2. Balagah Sebelum Masa Al-Sakaki
Kata balāghah digunakan pertama kali pada masa pra-Islam yaitu pada
masa al-‘Aṣrul Jāhilī. Pada masa tersebut ilm balāghah belum dirangkai menjadi
sebuah ilmu baku yang menjadi sandaran dalam memahami kandungan al-
Qur’an.103
Abdullah Ibn al-Muqaffa’ (142 H) seorang sastrawan asal Persia pada
masa khalifah ‘Abbasiyah, dialah yang membicarakan pertama kali khusus
mengenai keilmuan sastra Arab yang membahas tentang uslūb kebahasaan
dengan judul karyanya Uslūb al-Muwallad, di dalamnya ia mulai membicarakan
ilm balāghah seperti sajak dan prosa serta pemilihan lafal. Disebabkan oleh
idenya tersebut ia telah memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan sastra
98
Jalaluddin Muhammad, al-Iḍāh fī Ulūm al-Balāghah fī ilmi al-Ma’ānī wa al-Bayān
wa al-Badī’, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.): 108. 99
Lih. Q.S. Al-Baqarah: 24 100
Muhammad Abdullah Daraz, al-Naba al-Adhim (Kuwait: Dār al-Qalam, 1974): 92. 101
Muhammad Abdullah Daraz, al-Naba al-Adhim, 111 -113. 102
Al-Baqilani Abu Bakr , I’jaz al-Qur’ān al-Karim (Kairo: Dār Ma’ārif, 1971), 10. 103
Fahd Abdurrahm al-Rumi, ‘Ulum al-Qur’ān; Studi Kompleksitas al-Qur’an
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), 32.
44
Arab. Para linguis yang hidup semasa khalifah ‘Abbasiyah telah menjuluki karya
tersebut dengan nama al-Uslūb al-‘Abbāsī al-Jadīd (gaya bahasa Abbasiyah
terbaru).104
Sejarah mencatat bahwa perkembangan balāghah pada masa khalifah
‘Abbasiyah telah mulai banyak diperbincangkan para ilmuwan, khususnya
setelah kemuculan Abdullah Ibn al-Muqaffa’ dalam mengajarkan keilmuan
balagah. Sebagai satu bidang kajian bahasa Arab yang tentunya tidak dapat
dipisahkan dari kajian al-I’jāz al-Qur’ānī (kemukjizatan al-Qur’an).105
Berdasarkan hal tersebut, beberapa tokoh balagah fenomenal pra al-Sakaki
dengan karya-karya mereka yang telah memberikan kontribusi besar terhadap
perkembangan ilmu sastra Arab, khususnya ilmu balagah, diantara mereka ialah:
Abu Ubaidah Mu’ammar Ibn Muthanna
Ia adalah seorang sastrawan dan ahli bahasa kelahiran Basra tahun 724 H dan
wafat pada 824 H. Sosoknya adalah orang pertama kali yang mengkaji balāghah
secara khusus, di mana ia berbicara tentang keagungan dan mukjizat al-Qur’an
dari segi bahasa, makna dan uslūb nya secara detail dalam sebuahnya karyanya
bernama Majāzul Qur’ān.106
Istilah Majāz yang menjadi judul karya Abu Ubaidah Mu’ammar tersebut
merupakan istilah yang muncul belakangan jauh setelah periode kenabian
Muhammad صلى هللا عليه وسلم yaitu abad ke- 2 Hijriyah. Dikemukakan pertama kali
olehnya ketika hendak menulis karya Majāzul Qur’ān tahun 207 H. Meskipun
istilah Majāz dikemukakan pertama kali olehnya, namun masih sangat bersifat
umum, sehingga belum mencakup keseluruhan ta’bīr gaya bahasa al-Qur’an.107
Sebagai suatu gaya bahasa yang digunakan dan banyak dikaji oleh para
ahli,108
Majāz Qur’ān memiliki keragaman pengertian sesuai dengan keragaman
para pengkajinya. Terobosan Abu Ubaidah tersebut dalam menulis karya ilmu
balāghah akhirnya mulai diikuti dan ditulis oleh banyak ahli seperti al-Jahidz.
‘Amr ibn Baḥr ibn Maḥbub al-Kinani al-Laitsi al-Baṣri al-Jāḥidh
Ia lebih dikenal dengan sebutan al-Jahizh kelahiran 159 H dan wafat pada
255 H, ia merupakan tokoh terkenal dalam sejarah pengkajian sastra Arab, selain
karena karyanya banyak menarik perhatian para ahli ia juga termasuk tokoh yang
mengembangkan ilmu balâghah. Ia pernah merantau ke Baghdad untuk berguru
bahasa kepada al-Ashmu’i (122-213 H), al-Akhfasy (215 H), dan belajar
ilmu kalâm (teologi Islam) dari al-Nadzham (221 H/835 M). Dari hasil
pengembaraan keilmuannya tersebut ia lalu mengabdikan ilmunya kepada
masyarakat dan sekolah-sekolah, termasuk lembaga-lembaga pendidikan resmi
104
Shawqi Ḍaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh (Kairo: Dar Ma’arif, 1119), 20. 105
Kemukjizatan al-Qur’an terdiri dari 2 aspek yaitu aspek bahasa dan aspek makna,
baik yang menyangkut pengembangan berfikir ilmiah (al-I’jāz al- ‘ilmī), maupun
pengembangan ajaran akidah dan ibadah (al-I’jāz al-Tasyrī’). Lih. Nashr Hamid Abu Zaid,
Tekstualitas Al- Qur’an: Kritik terhadap ‘Ulum al-Qur’an (Yogyakarta: LKis, 2001), 185. 106
D. Hidayat, al-Balāghah li al-Jamī’ wa Shawāhid min Kalāmi al-Badī’, 4. 107
Sukamta, Majāz dalam al-Qur’an Sebuah Pendekatan Terhadap Pluralitas Makna
(Yogyakarta: UIN Suka Press, 1999), 213. 108
Muhammad Nabih Hijab, Balāghah al-Kuttāb fī al-‘Aṣri al-‘Abbāsī, 272.
45
milik kerajaan. Ia dikenal dengan usahanya yang ulet untuk mengembangkan
keilmuan bahasa dan teologi Islam hingga menjadi sosok rujukan masyrakat.109
Selama hidupnya tercatat ia mewariskan lebih dari 250 judul buku dan
risalah. Hanya saja, tidak semua karya akademiknya sampai ke tangan kita,
karena berbagai hal seperti rusak, dijarah, dan terdampak oleh bencana alam
maupun sosial (perang). Di antara karyanya yang telah di-taḥqîq (diedit) dan
diterbitkan adalah al-Bukhālâ’, al-Ḥayawân, al-Bayân wa al-Tabyīn.110
Dari sedemikian banyaknya karya al-Jaḥidh salah satu yang sangat besar
dalam memberikan kontribusi adalah pemikirannya tentang ‘ilm al-
bayân (rhetoric), di antara ruang lingkup pembahasan ilmu rhetoric ini
adalah tashbîh, tamthîl, isti’ârah, ḥaqîqah dan majâz. Kodifikasi ilmu ini
memang mulai dirintis oleh Ma‘mar ibn al-Mutsanna dalam karyanya, Majâz al-
Qur’ān. Peran al-Jaḥizh dalam hal ini adalah meneruskan dan mengembangkan
kajian al-bayān dengan memperjelas kerangka dasarnya melalui pembahasan
mengenai al-faṣâḥah wa al-balāghah berikut kriterianya dan cara mengambil
kesimpulan melalui dasar-dasar al-bayān, terutama untuk kepentingan adu
argumentasi dan perdebatan (munâdharah) mengenai persoalan teologis yang
saat itu cukup menarik dipersoalakan.111
Kontribusi pemikiran al-Jaḥidh lainnya terlihat pada usahanya
mengintegrasikan logika dan retorika dengan menyelaraskan antara pemikiran,
kata-kata, gaya bahasa dan makna. Metode yang digunakan al-Jaḥidh dalam
mengelaborasi pemikiran-pemikirannya bermuara pada satu hal, yaitu:
penghormatan terhadap akal. Ia bersikap obyektif dalam membahas berbagai
persoalan, dimulai dengan sikap ragu menuju kesimpulan yang meyakinkan, lalu
dikemas dengan gaya bahasa sastra dan diselingi humor berkualitas.112
Terlepas dari semua itu, para sastrawan Arab memposisikan al-Jahizh dalam
bidang ilmu balâghah setara dengan Imam al-Syafi‘i (150-204 H) dalam
bidang uṣûl al-fiqh. Jika al-Syafi‘i dinilai sebagai pencetus dan perumus
pertama ushûl al-fiqh dengan al-Risālah-nya, maka al-Jaḥizh dinilai sebagai
pembuka pintu ‘ilm al-bayân dengan karya monumentalnya, al-bayân wa al-
Tabyîn.113
Karya ini pula yang kemudian menginspirasi dan memotivasi para
linguis di masa-masa sesudahnya untuk mengembangkan ilmu balâghah menjadi
lebih kokoh landasan epistemologinya dan lebih sistematis.
Ibnu al-Mu’tazz
Ibnu al-Mu’taz adalah seorang khalifah dan sastrawan terkenal pada
masanya. Ia lahir di lingkungan istana pemerintahan Abbasiyah tahun 147 H dan
menghadapi berbagai macam konflik sosial sehingga ia terbentuk sebagai
seorang yang sangat kritis dan berpikiran luas.114
109
Syauqi Dhaif, Tārīkh al-Adab ‘Aṣrul Islāmī (Kairo: Dar Ma’arif, 1119 H), 55. 110
Shauqi Ḍhaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh (Kairo: Dar Ma’arif, 1119), 180. 111
Syauqi Dhaif, Tārīkh al-Adab ‘Aṣrul Islāmī, 66. 112
Ahmad Mathlub dan Husai Bashir, al-Balāghah wa al-Tathbī 201. 113
Rif’at al-Sharqowi, Balāghah al-‘Aṭfi fī al-Qur’ān Dirāsah Uslūbiyyah, 277. 114
Syadzali Abdul Ghani, Al-Badī’ li Ibnu al-Mu’tazz Nazdārāt fī Qirāat Mu’āṣirah
(Beirut: Dar al-Ilmiyah, t.t), 55.
46
Karya fenomenal Ibnu al-Mu’tazz adalah tentang al-badī’ (art of schemes)
yang ia karang pada tahun 274 H. Karya tersebut tergolong sebagai pembahasan
baru yang didalamnya menghimpun berbagai gaya bahasa. Ia pun dikenal oleh
para ahli linguis sebagai kreator ilm al-Badī’,115
sehingga seringkali para ahli
masa tersebut merasa heran akan perbedaan antara karya Ibnu al-Mu’taz tentang
al-Badī’ dengan karya al-Jahidh yang berjudul al-Bayân wa al-Tabyîn. Sebab,
antara keduanya adalah serupa dalam hal pembahasannya, hanya saja karya Ibnu
al-Mu’taz tersebut lebih banyak menghimpun gaya bahasa terbaru. Ia telah
mengembangkan keilmuan al-badī’ dalam karya tersebut dengan titik utamanya
lebih banyak menjadikan syair sebagai perbendaharaan contoh-contohnya.
Pemikiran dan wawasan Ibnu al-Mu’tazz yang sangat tajam pada kajian
kebahasaan dan sastra pernah mengantarkan menjadi khalifah, sekalipun pada
masa kepemerintahnnya belum sempat terealisasikan akibat korban politik yang
dialami olehnya, ia wafat beberapa saat setelah diangkat sebagai khalifah.
Qudamah Ibnu Ja’far
Adapun ahli linguis terkenal selanjutnya setelah wafatnya Ibnu al-Mu’tazz
ialah Qudama Ibn Ja’far (337 H) yang merumuskan kaidah-kaidah tentang kritik
sastra, dalam bukunya (نقد الشعر). Tsamāmah Ibn Ashras berkata bahwa
Qudamah Ibn Ja’far, pada masa hidupnya terkenal dengan julukan anṭaqa al-Nās
(manusia terfasih). Hal tersebut karena ucapannya sangatl balāghī, fasih, huruf-
huruf dan lafalnya saat diucapkan sangatlah tersusun rapih dan penuh penguasan
terhadap apa yang ia ucapkan. Ia adalah tauladan bagi para ahli lainnya karena
pemikirannnya selalu dituliskan dengan ta’bīr yang indah.116
Qudamah Ibnu Ja’far pernah dimintai pendapatnya untuk menerjemahkan
dan menafsirkan istilah-istilah bahasa Arab Qurays yang berkenaan dengan
ekonomi pada masa pemerintahan Abbasiyah. Keluasan berpikir Qudamah
mengenai sejarah syair-syair jahiliyah membuatnya lebih dikenal oleh para ahli
sebagai sang pengkritik. Hal tersebut adalah karena juga pengaruh besar dari
karyanya yang berjudul Naqd al-Shi’rī.117
Abu Hilāl al-‘Askārī
Abu Hilāl al-‘Askārī adalah seorang linguis yang sangat produktif bahkan
hingga menjelang wafatnya ia sedang menyelesaikan buku berjudul Furūq al-
Lughāt yang dikemudian dilanjutkan oleh Nuruddin bin Sayyid Ni’matullah pada
tahun wafatnya 395 H. Dari beberapa karya Abu Hilāl al-‘Askārī yang sangat
besar kontribusinya bagi perkembangan keilmuan sastra adalah bukunya al-
Shinā’ataini. Ia telah merumuskan kaidah-kaidah balāghah tentang fashahah,118
115
Ahmad Hasan al-Zayat, Tārikh al-Adab al-Arabi (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2001),
109. 116
Shauqi Ḍhaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh, 24-25. 117
Aan Jaelani, Muslim Scholars Contribution for European Civilication: The Roots of
The History and Economic Development Tracing (Malaysia: MPRA, 2015), 7-8. 118
Al-Sakaki mendefiniskan makna fashāhah sebagai penguasaan terhadap dua
komponen penting dalam berbicara yaitu makna dan lafadznya. Pememilihan kata-kata yang
tidak ada sedikipun cacatnya sehingga mudah dan nikmat untuk dicerna oleh pendengarnya.
47
ī’jaz,119
ithnāb120
dan sebagainya. Secara detail karyanya tersebut mempertegas
adanya perbedaan antara dua kata yang berbeda yang memiliki arti yang sama.121
Ia banyak belajar dari para ahli pendahulunya khususnya Abu Ubaidah,
sehingga dengan kesungguhan dan kecintaannya terhadap ilmu bahasa Arab
tersebut memotivasi dirinya sendiri untuk menulis sebuah karya berjuduk
Mu’jam Furūq al-Lughawiyah, di mana karya tersebut sangat fenomenal pada
masanya yang memuat tentang kosakata-kosakata serta kalimat-kalimat istilah
dalam ilmu balagah seperti perbedaan makna pada البالء dengan االبتداع ,االبتالء dengan االخرتاع dan lain sebagainya.
122
Abdul Qahir al-Jurjani
Muhbib Abdul Wahab memberikan julukan kepada Abd al-Qāhir al-Jurjānî
sebagai tokoh maestro linguis Arab karena karya monumentalnya pada puncak
pembahasan al-I’jāz al-Qur’āni. Selain itu, karya fenomenal lainnya adalah
Dalâil al-I‘jâz. Di dalamnya berisi arti bukti-bukti kemukjizatan, untuk
menunjukkan bukti-bukti dan dalil-dalil kemukjizatan al-Qur’an, khususnya dari
segi keindahan bahasa Arab dan nilai-nilai sastranya. Karya tersebut ditulis oleh
al-Jurjânî dengan pendekatan an-nazhm (struktural) membahas balagah teks-teks
al-Qur’an yang dapat menimbulkan efek psikologis dan rasa keindahan.
Shauqi Ḍhaif menegaskan bahwa Dalâil al-I‘jâz telah merumuskan teori
kritik sastra dan teori nazham (structure, versification), sebuah teori mengenai
keserasian struktur ungkapan (kalimat) dan bait-bait syair sesuai dengan kaidah-
kaidah nahwu. Dalam kitab tersebut pembahasan pertama ia kelompokkan ke
dalam ilmu al-Ma’ānī (املعاين) dan pembahasan buku kedua yang kemudian ia
kelompokkan ke dalam bahasan al-Bayān (البيان). Itulah sebabnya al-Jurjani
dipandang sebagai peletak dasar dua ilmu ini, sementara Ibn al-Mu’tazz
dipandang sebagai peletak dasar al-Badī’ (البديع).123
Al-Jurjānī dikenal sebagai penganut aliran Ash‘ariyyah, sehingga tidak
mengherankan jika ia memberikan beberapa sanggahan terhadap pemikiran al-
Lih. Amir Abdulllah Tsabity, al-Maākhidz ‘Alā Fashāhat al-Syi’ri Ilā Nihāyati Qarni al-
Rābi’ al-Hijrī (Madinah: Maktabah al-Mulk Fahd, 1930), 24. 119
I’Jāz diambil dari kata ‘ajaza-yu’jizu yang artinya melemahkan sesuatu. Nuruddin
Atah dalam karya ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karim menjelaskan bahwa i’jāz adalah ciri
keaguangan serta keistimewaan al-Qur’an akan keindahan lafadz dan maknanya. Lih.
Nuruddin Atah, ‘Ulūm al-Qur’ān al- Karim (Beirut: Dār Dabl, 1994), 12. 120
Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa Iṭnāb adalah penguatan makna terhadap sebuah
kata maupun kalimat sehingga tidak ada celah bagi pendengar untuk mencelanya. Lih.
Ahmad Mathlub dan Husai Bashir, al-Balāghah wa al-Tathbīq (Irak: Dar Irāqy, 1999), 201. 121
Hasan al-Makki Abdallah, al-Furūq wa al-Masāhāt al-Dilāliyyah (Malang: UIN
Press, 2003), 7. 122
Abu Hilāl al-‘Askārī, al-Mu’jam al-Furūq al-Lughawiyah (Damaskus: Dar Ma’anī,
1005), 5. 123
Shauqi Ḍhaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh, 88.
48
Qâdhî ‘Abd al-Jabbâr (415 H) seorang tokoh Mu‘tazilah mengenai i‘jâz al-
Qur’ân yang berpendapat bahwa kemukjizatan al-Qur’ân tidak terletak
pada nadzham. Padahal menurutnya, jika ditelusuri secara historis balâghah
muncul dan berkembang karena terkait dengan wacana kemukjizatan al-Qur’ân.
Al-Jâḥidz misalnya, menganggap bahwa poros kemu’jizatan al-Qur’ân
adalah nadzham. Sedang al-Rummânî (384 H) memandang bahwa kemu’jizatan
al-Qur’an terletak pada penentangan, tantangan, balâghah dan berita mengenai
hal-hal yang akan terjadi di masa depan, dan yang berlawanan dengan kebiasaan.
Sementara itu, Abû Hilâl al-‘Askarî yang wafat pada 403 H sangat
memahami letak kemu’jizatan al-Qur’ân ada pada alasan dan argumentasi yang
memuaskan. Begitu juga dengan Al-Bâqillânî yang wafat pada tahun yangs sama
dengan Abu Hilal, ia berpendapat bahwa kemu’jizatan al-Qur’an itu disebabkan
oleh adanya informasi hal-hal gaib, dan oleh keindahan nazham dan redaksinya
yang tidak dapat dijangkau dan ditiru oleh manusia. Adapun al-Qâdhî ‘Abd al-
Jabbâr berpendapat bahwa kemu’jizatan al-Qur’ân itu terletak pada kalimat dan
penampilannya, bukan pada kata-kata tunggal, makna atau bentuk lainnya.
Dalâil al-I‘jâz karya al-Jurjani selain telah mengispirasi banyak ahli seperti
Tammam Hassan dan Chomsky juga telah seringkali menegaskan bahwa
pemikiran yang disajikan olehnya melalui karya Asrār al-Balāghah sungguh
telah melintasi ruang dan waktu.
Al-Zamakhsyari
Pemikiran-pemikiran Abdul Qāhir dalam dua karya tersebut dikembangkan
kembali oleh Zamakhsyari (528 H) dalam tafsirnya al-Kasshāf. al-Kasshāf
diselesaikan oleh Zamakhsyari selama 2,5 tahun dari tahun 525-528 H atau
tepatnya selesai pada 23 Rabi’ul Akhir 528 H (1134 M).124
Ia telah mampu
menjadikan tafsir karyanya menjadi nuansa balagah sehingga dapat dibaca dan
dipahami dengan rasa (sense) yang kuat. Selain itu, pada pertengahan abad ke- 5
H tahun 530 H, ia pun telah menyelesaikan penulisan Mu’jam Asās al-Balāghah
yang berbeda dengan metode alphabet. Ia menyusun kalimatnya menurut huruf
awalnya, seperti kamus-kamus pada umumnya saat ini.125
Dengan metode
penafsiran al-Qur’an khususnya dari segi kebahasaan dan balagahnya sungguh
telah membuatnya lebih dikenal di Makkah dan Madinah.126
Karya Abdul Qāhir al-Jurjānī tidak sedikit juga ahli yang mengaguminya
sehingga pada masa setelah wafatnya, Fakhru al-Rāzi (606 H) adalah tokoh yang
pertama kali melakukan ringkasan terhadap kedua bukunya tersebut untuk
mengambil point-point penting yang terdapat dalam kitab Dalāil al-I’jāz dan
Asrār al-Balāghah, kemudian ringkasan tersebut dinamai oleh Fakhru al-Rāzi
124
Badri Najib Zabir, Balagah as an Instrument of Qur’an Interpretation, a Study of
Kasshāf (London: School Oriental Press, 1999), 26. 125
Musthafa Juwaini, Awsātu al-Balāghah al-Arabiyah (Iskandariyah: Dãr Ma’rifah
Jami’iyyah, 1999), 139. 126
Zamakhsyari, Asās al-Balāghah (Beirut: Dãr Kutub Ilmiyah, 1998), 5.
49
dengan judul Nihāyah al-Îjaz fī Dirāyah al-I’jāz.127
Zamakhsyari dan Fakhru al-
Razi memberikan kesan yang sangat baik kepada kedua karya Abdul Qāhir al-
Jurjāni, hal tersebut sangat tampak ketika mereka mengatakan bahwa
sesungguhnya keilmuan balagah telah sempurna pada kedua karyanya.128
Fase-fase tersebut dikenal dengan fase al-Mutaqaddimin, dimana
perkembangan balagah pada fase pertama tersebut banyak menerima masukan
dari kajian keislaman, seperti dari ilm ṣarf, Ilm al-Qiraāt dan Fiqh al-Lughah
tentang Faṣāhah bahkan sampai kepada analisa pemilihan bunyi dan mufradat.
Begitu juga dari ilm al-kalām tentang makna hakiki dan majazi, dari al-Tafsir
yang hasil- hasil analisannya kemudian dijadikan shawāhid oleh para ahli
balagah, dari al-Fiqh dan Uṣūl al-Fiqh tentang istilah-istilah yang berkaitan
dengan zāhir dan mafhūm suatu teks atau ayat. Adapun masukan yang paling
banyak memberi kontribusi kepada balagah adalah dari ilm nahw.129
Sesuatu yang paling unik dari perkembangan dan pertumbuhan ilmu balagah
adalah para ulamanya yang secara berperingkat berada pada tangan ulama ‘ajami
dan bukan ‘Arabi’. Bahkan perkembangan ilmu balagah (Nahdhah al-lughah)
pada fase al-Mutaqaddimin tersebut mencapai gemilangnya di tangan Abdul
Qāhir al-Jurjānī pada abad 5 H yang juga seorang ‘ajami.130
3. Balagah Pasca Masa al-Sakaki hingga Modern
Fase ini disebut fase al-Mu’aṣirūn yang dipelopori oleh Sirajuddin Yusuf al-
Sakaki (626 H). Dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm, secara sempurna ilm balāghah
dibagi kepada tiga bidang kajian, yaitu ( البديع -البيان -املعاين ). Di mana tiap
bidang kajiannya mengandung bahasan-bahasan tersendiri yang disusun secara
sistematis dan tampil dalam bentuk (القواعد) seperti yang terdapat dalam buku-
buku nahwu.
Tercatat dalam sejarah bahwa sebelum era al-Sakaki, pembahasan cabang-
cabang balagah telah banyak ulama yang berulang kali membahasnya. Sekalipun
demikian, masih banyak ditemukan percampur bauran antara antara ilmu-ilmu
bahasa Arab dengan cabang keilmuan lainnya. Kehadiran al-Sakaki dengan
Miftāḥ al-‘Ulūm- nya merupakan karya pertama yang membahas cabang-cabang
balagah secara sistematis dan tampil dengan bentuk yang lebih menarik. Ia bukan
hanya memisahkan antara ilmu balagah dengan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya,
tetapi juga telah memisahkan antara tiga komponen ilmu balagah dengan
membaginya kepada tiga bagian penting, yakni ilm al-ma’ānī, ilm al-bayān dan
ilm al-badī’ dengan definisinya masing-masing.
Dapat disimpulkan bahwa al-Sakaki merupakan pelopor ilmu balagah dalam
bentuk yang lebih sempurna. Keberhasilannya dalam menyampaikan karya baru
127
Abdul Aziz Atiq, Fī al-Balāghah Al-‘Arabiyah ‘ilm al-Ma’ānī (Beirut: Dar
Nahdhah ‘Arabiyah, 2009), 26. 128
Hasan Barburah, Nash’ah wa Taṭawwur al-Lughah al-‘Arabiyah, 37. 129
D. Hidayat, al-Balāghah li al-jamī’ wa Shawāhid min Kalāmi al-badī’, 5.
130
Athaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah (Malaya:
Dar Jami’ah al-Malaya, 2012), 8.
50
tersebut mendapatkan sambutan yang luar biasa, sehingga tidak sedikit dari
ulama masa tersebut membuat ringkasan atau sharḥ dari kitab al-Miftāḥ.131
Bahkan al-Suyuṭi menggelar al-Sakaki sebagai bapak balagah. Menurutnya, apa
yang dilakukan oleh al-Sakaki adalah bagian dari puncaknya ilmu balagah.132
Pada akhir abad ke- 6 H, tokoh bahasa Arab mulai bermunculan, seperti
Badaruddin Malik (686 H), ia menulis sebuah karya balagah yang di dalamnya
mengomentari karya al-Sakaki dengan judul al-Miṣbāḥ fī al-Ma’ānī, al-Bayān
wa al-Badī’. Ia menegaskan bahwa karya tersebut bukan untuk menandingi
bapak ilmu balagah melainkan adalah untuk memperdalam isinya serta untuk
menuangkannya dalam tulisan yang mudah dan menarik untuk dibaca.133
Adapun pada awal abad ke- 7 H yaitu sekitar tahun 720 H muncul sebuah
kitab yang berupaya menyederhanakan dan menyempurnakan isi kitab Miftāḥ al-
‘Ulūm karya al- Sakaki.134
Kitab tersebut berjudul Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm karya
al-Qazwainī. Dalam sejarahnya ia harus mencari naṣ asli dari Miftāḥ al-‘Ulūm
hingga ke Mesir, bahkan hingga ke tempat al-Sakaki menimba ilmu pengetahuan
di Khawarizm. Tidak berhenti sampai disitu 2 tahun setelahnya ia kembali
meluncurkan karya baru tentang ilmu balagah dengan judul al-Îdhāh fi ‘Ulūm al-
Balāghah, di dalam karya tersebut ia tetap membahas dan memperdalam kajian
al-ma’ānī, al-bayān dan al-badī’. Selain itu, di dalamnya ia juga berbicara
tentang sejarah ilmu balagah dan penjelasan keilmuan dari berbabagi contoh
yang diambil dalam al-Qur’an. Adapun kajian baru yang ditemukan dalam kitab
tersebut adalah kajian tentang ilmu fashāhah.135
Kedua karya al-Qazwainī tersebut yakni Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm dan al-
Îdhāh fi ‘Ulūm al-Balāghah telah banyak mendapatkan pujian, khususnya dari
Naṣruddin dan Shawqi Ḍaif. Hal tersebut disebabkan oleh kemampuannya dalam
menggabungkan misi ilmu balagah sekaligus yakni qawa’id al-lughawīyyah dan
dzawq al-lughawī. Menurut para ahli balagah kontemporer seperti Ahmad
Mathlub dan Abdul Muta’li, buku-buku balagah ala al-Sakaki yang sarat dengan
qawa’id, definisi dan klasifikasi itu telah membuat balagah menjadi kering,
kehilangan rasa seni dan keindahannya, sehingga penghayatan balagah yang
seharusnya menjadi tujuan utama pembelajaran umumnya tidak tersentuh,136
karena perhatiannya hanya terfokus kepada hafalan, tanpa disertai amthilah dan
tamrināt.137
Badaruddin Malik (686 H) dan Khathib al-Qazwaini (739) dalam pandangan
Budi Susetyo dan Muhammad Edy Widiyatmadi sangatlah mempresentasikan
para tokoh lainnya dalam hal keresahan mereka terhadap karya al-Sakaki yakni
131
Shawqi Ḍhaif, al- Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh, 73.
132
Athaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah, 88.
133
Badaruddin Malik, al-Mishbāh fi al-Ma’ānī, al-Bayān wa al-Badī’ (Kairo:
Maktabah Adab, 1989), 2.
134
Shawqi Ḍaif, Tārīkh al-Adab Al-‘Arabī (Kairo: Dar Ma’arif, 1119 H), 50.
135
Khathib al-Qazwainī, al-Îdhāh fi Ulūm al-Balāghah al-Ma’ānī wa al-Bayān wa al-
Badi’ (Beirut: Dār Kutub Ilmiyyah, 2003), 27.
136
Ahmad Mathlub, Buhūts Balāghiyah (Baghdad: Majma’ ‘Ilmi ‘Iraqi, 1996), 22.
137
Adul Muta’ali Sha’idi, Buhyah al-Îdhāh li Talkhīs al-Miftāh fī Ulūm al-Balāghah
(Kairo: Maktabah Adab, 1999), 13.
51
Miftāḥ al-‘Ulūm. Kedua tokoh tersebut mendukung penuh pendapat Badaruddin
Malik (686 H) dan Khathib al-Qazwaini (739) secara isi dan konten perlu ada
konstruksi ulang di dalamnya. Sebab, menurut mereka sebuah karya secara
psikologis harus dapat dengan mudah untuk dihayati atau disebut penghayatan
self,138
karena tulisan dan karya seseorang itu akan semakin menunjukkan
kepribadian penulisnya. Dengam demikian, secara keilmuan mudah diserap oleh
pembacanya dan tidak terkesan mengganggu psikologis seseorang dalam
memahaminya.139
Adapun al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm tersebut
masih sangat jauh dari penghayatan self yang telah dikemukan. Bahkan menurut
Louay Safi (2014 M) untuk kesempurnaan sebuah ilmu pengetahuan harus
memiliki seni yang menarik para penggemarnya, sehingga tidak menimbulkan
kebosanan. Menurutnya, hal yang paling baik adalah harus mampu dengan
mudah mengantarkan seseorang kepada pemahaman yang cepat dan mudah.140
Terobosan baru yang telah diprakarsai oleh Khathib al-Qazwaini (739)
tersebut selain banyak mendapatkan apresiasi dari para ahli. Kini mereka
semakin terinspirasi untuk terus mengembangkan keilmuan balagah. Misalnya,
Sa’aduddin al-Tiftazani, ia menulis karya berjudul al-Muṭawwal Sharh Talkhīs
Miftāḥ al-Ulūm, karya tersebut selesai penulisannya pada awal tahun 748 H dan
ia wafat 791 H. Tokoh sastra terkenal selanjutnya Syaikh Bahauddin al-Sabaki
(773 H), ia menulis karya ‘Arūs al-‘Afrah fī Sharḥi Talkhīs Miftāḥ al-Ulūm.141
Abdul Hamid Hendrawi (1421 H) memberikan pengakuan dalam sambutannya
bahwa karya Bahauddin al-Sabaki tersebut tidak ada bedanya dengan karya-
karya lain sebelumnya. Hanya saja pada karyanya tersebut ia memunculkan
beberapa bioghrafi tokoh yang memberikan kontribusi besar dalam keilmuan
balagah seperti Khathib al-Qazwaini. Dalam isinya ia banyak memunculkan
amtsilah balagah dilengkapi dengan syair-syair modern.142
Perkembangan keilmuan balagah terus menunjukkan peningkatan hingga
memasuki abad ke- 8 H. Di mana beberapa tokoh balagah kembali bermunculan
seiring dengan pentingnya pemahaman yang mendetail terhadap al-Qur’an dan
al-Hadis. Di antara para tokoh fenomenal tersebut adalah Abdul Muta’ali Sha’adī
(1999 M) yang menulis sebuah karya dengan judul Bughyah al-Îdhāḥ li Talkhīs
Miftāḥ al-Ulūm.143
138Pengahayatan Self adalah pemaknaan secara psikologis terhadap sebuah karya dan
perwujudan nyata yang ada di depan mata. Self memberikan kerangka berpikir yang
menggiring kepada pengolahan suatu ilmu atau informasi tentang diri sendiri dari sisi
motivasi, emosional dan evaluasi. Lih. Budi Susetyo dkk, Konsep Self dan Penghayatan Self
Orang Jawa, Psikodimensia Vol. 13, No.1, Januari 2014, 49-52.
139
Budi Susetyo dkk, Konsep Self dan Penghayatan Self Orang Jawa, P, 47.
140
Louay Safi, A Comparative Study In Islamic and Western Method of Inquiry (USA:
Herndon Press, 2014), 76-90.
141
Salamah Musa, al-Balāghah al-Ashriyah wa al-Lughah al-Arabiyyah (Beirut: Dār
Ma’rifah, 1945), 118.
142
Syaikh Bahauddin al-Sabaki, ‘Arūs al-Afrah fī Sharḥi Talkhīs Miftāḥ al-Ulūm
(Beirut: Dār ‘Ashriyah, 2003), 3.
143
Abdul Rouf Dato Hassan Azhari, Sejarah dan Asal Usul Bahasa Arab (Malaysia:
Putra Malaysia Press, 2004), 139-143.
52
Menurut Ahmad Mathlub, keenam judul buku tersebut kesemuanya telah
menjadikan Miftāḥ al-Ulūm karya al-Sakaki sebagai bahasan dan penelitian
mereka dalam mengembangkan keilmuan balagah.144
Hal tersebut karena
keilmuan dan karya balagah sempat terhenti sepeninggal al-Sakaki hingga 50
tahun hijriyyah.145
Taufiq Ahmad Dardiri menegaskan bahwa pada masa pasca
al-Sakaki ilmu balagah mengalami stagnasi, menurutnya tidak ada penelitian
yang berorientasi pada rekonstruksi ilmu balagah. Adapun buku-buku balagah
yang bermunculan setelahnya hanya mengomentari karya-karya sebelumnya atau
berbentuk ringkasan-ringkasan teori untuk bisa dimengerti dan dihafalkan oleh
pelajar balagah.146
Seorang tokoh balagah bernama Abdul Aziz Qalqilah (2006 M), wafat di
Mesir, ia sangat terkenal di Universitas al-Azhar Kairo. Semasa hidupnya ia telah
mewariskan ilmu balagah berjudul al-Balāghah al-Iṣtilāhiyyah. Buku tersebut
berisi tentang istilah-istilah ilmu balagah yang sangat sering digunakan, di
dalamnya juga banyak berbicara tentang tasybīh, isti’ārah, al-majāz dan ithnāb.
Penulisan karya tersebut ia selesaikan pada tahun 1987 M dan tergolong sebagai
buku balagah modern.147
Ahmad Mathlub adalah generasi tokoh balagah sebelum munculnya Aisyah
Abdurrahman Binti Syathi’. Ahmad Mathlub banyak membahas tentang sejarah
para ilmuwan balagah sebelum dan pasca al-Sakaki. Ia menulis karya berjudul
Buhūth Balāghiyyah dan menyelesaikannya karya tersebut pada tahun 1996,148
selain itu ia juga menulis buku balagah berjudul Jamharul Balāghah. Adapun
Aisyah Abdurrahman Binti Shathi’ adalah tokoh ilmu balagah pada abad ke- 20,
ia banyak menyusun sebuah pembaharuan ilmu balagah khususnya yang
berhubungan dengan metode ajar. Keilmuan yang diperolehnya tentu tidak lepas
dari peran sang guru Amin al-Khulli (1966), seorang sastrawan yang merintis
lahirnya kritik sastra atas teks al-Qur’an, yang juga adalah suaminya sendiri.149
Diantara karya terkenal Aisyah Binti Shathi’150
adalah Tafsīr al-Bayānī li al-
Qur’ān al-Karīm li al-Juz al-Awwal wa al-Tasānī.151
Ia menyusun karya-karya
ilmiahnya dengan pendekatan integratif dan pendekatan sastra, di antara model
karya tersebut adalah al-Balāghah al-Wādihah karya Ali al-Jarim.152
Karya
144Ahmad Mathlub, Buhūts Balāghiyah, 102
145
Salamah Musa, al-Balāghah al-Aṣriyah wa al-Lughah al-Arabiyah, 10.
146
Taufiq Ahmad Dardiri, Dinamika Kajian Ilmu-Ilmu Adab dan Budaya (Yogyakarta:
Azzagrafika Printing, 2015), 30.
147
Abdul Aziz Qalqilah, Balāghah al-Iṣṭilāḥiyyah (Kairo: Dar Fikr Arabī, 1987), 2-5.
148
Ahmad Mathlub, Buhūth Balāghyiyah, 87.
149
Masjudi, Amin al-Khulli wa Aṭaruhu fī al-Dirāsah al-Qur’āniyyah (Yogyakarta:
UIN Yogyakarta Press, 2014), 1. 150
Ia adalah Aisyah Abdurrahman terlahir di Dumyat wilayah sebelum barat sungai
Nil pada 6 Nov 1913/ 6 Dzulhijjah 1331 H. Ia wafat pada Desember 1998 M, ayahnya
bernama Syaikh al-Azhar pada masa itu. Dalam karyanya Tafsīr Bayānī li al-Qur’ān mulai
menekankan pertama kali pada semantik historis kebahasaan al-Qur’an.
151
Aishah binti Shati’, al-tafsīr al-Bayānī li al-Qur’ān al-Karīm, (Kairo : Dar
Ma’rifah, 1972), 120. 152
D. Hidayat, al-Balāghah li al-jamī’ wa Shawāhid min Kalāmi al-Badī’, 6.
53
tersebut saaat ini menjadi sebuah buku wajib di pesantren Darussalam Gontor
dan beberapa pesantren lainnya di Indonesia.
Fathullah Saleh menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa kini keilmuan
balagah baik di Barat maupun di Arab kedua-duanya memfokuskan diri pada
kajian intrinsik. Di mana kajian tersebut menurutnya sangat tepat dalam kajian
sastra untuk mengetahui seni dan style berbahasa yang baik secara tulisan
maupun lisan. Bahkan, ia menyebutnya bahwa keilmuan balagah sesungguhnya
mirip teori formalisme, karena ia mampu menganalisis sebuah karya sastra
dengan lebih baik.153
Teori formalisme yang dikenalkan oleh para tokoh bahasa menjadi sebuah
alternatif kajian teori bahasa yang tidak hanya memandang kepada aspek konten
tetapi juga terhadap analisis kepribadian tokohnya. Kehadiran teori tersebut
menandai akan wujud perkembangan keilmuan bahasa, khususnya ilmu sastra
yang menjadi harapan para tokoh pembaharu seperti Badaruddin Malik (686 H)
dan Khathib al-Qazwaini (739).
]
153
Fathullah Saleh, Teori Formalisme Balagah, Jurnal al-Turats FAH UIN Jakarta,
Vol. XX No.1, Januari 2014.
54
Akal adalah timbangan yang cermat
dan hasilnya dapat di percaya.
Ibnu Khaldun Sejarawan Muslim asal Tunisia
55
BAB III
DINAMIKA INTELEKTUAL AL-SAKAKI
Pada bab ketiga ini penulis akan menjelaskan bagaimana perjalanan hidup
al-Sakaki (Ṣāḥib Kitāb Miftah al-‘Ulum) yang merupakan referensi utama dalam
penelitian ini. Di mulai dari sejarah hidupnya al-Sakaki (555 H - 626 H) yang
meliputi; setting sosial intelektual, pendidikan, pekerjaan dan awal kepengarangan
Miftāḥ al-‘Ulum, respon para ulama terhadap kehadiran al-Sakaki, karya-karya dan
pemikiran al-Sakaki. Pada bagian ini juga akan dijelaskan pengaruh besarnya al-
Sakaki dalam keilmuan balagah sehingga dalam perjalanan hidupnya, ia dijuluki
sebagai bapak ilmu balagah. Kegigihan dan keikhlasan perjuangan al-Sakaki dalam
menuntut ilmu dari seorang penempah besi hingga menjadi ulama terkenal pada
masanya, bukan hanya di kalangan para ilmuwan Islam namun juga telah membumi
di berbagai kota dan perguruan-perguruan tinggi di dunia hingga saat ini.
A. Sejarah Hidup Al-Sakaki
Imam al-Sakaki adalah seorang ulama yang agung, ia tidak hanya ahli dalam
bidang ilmu balagah, namun juga pada keilmuan lainnya seprti ilmu fiqh, mantiq
bahkan ilmu falaq. Namanya telah mengarungi ruang dan waktu, ia adalah suatu
karunia bagi para ilmuwan Islam, bahkan bagi alam semesta. Ia tumbuh dalam
keluarga yang tidak memiliki ilmu dan keutamaan, kecuali keahlian keluarganya
dalam menempah besi.1 Ia seorang ulama dari bangsa Khawārizm Republik
Uzbekistan yang terkenal dalam kalangan ahli bahasa, baik yang hidup semasanya
ataupun oleh para tokoh setelahnya. Ketokohannya dalam bidang balagah sangat
besar peranannya, terutama ketika ia mampu membukukan ilmu balagah secara
teoritis,2 dimana keilmuannya ia bagi kepada tiga bagian penting, yaitu al-ma’ānī,
al-bayān dan kajian tentang teknik memperindah bahasa, baik yang merujuk kepada
lafadh3 maupun maknanya, yang kemudian dikenali sebagai ilmu al-badī’.
Walaupun pada akhirnya al-Sakaki lebih terkenal dalam bidang ilmu balagah,
namun kemampuan dan perannya juga tidak diragukan lagi pada beberapa bidang
keilmuan lainnya terutama yang berkaitan dengan ilmu bahasa Arab, seperti ilmu
naḥw,4 ṣarf,
5 ‘arūḍ,
6 dan Qāfiyat.
7 Hal tersebut dapat dilihat dalam karya
1Ahmad Mathlub, Jamharah al-Balāghah (Baghdad: Majma’ ‘Ilmi ‘Irāqi, 1996), 14.
2Taufiq Ahmad Dardiri, Dinamika Kajian Ilmu-Ilmu Adab dan Budaya (Yogyakarta:
Azzagrafika Printing, 2015), 29-33.
3Lafal adalah satu nama yang diberikan pada huruf-huruf yang tersusun atau susunan
dari beberapa huruf yang memiliki arti tersendiri. Ia terbagi kepada dua macam: 1. Lafadz
mufrad (nama sesuatu yang bebas dari waktu), dan 2. Lafadz Murakkab Tām (beberapa kata
yang telah tersusun dengan memiliki makna tersendiri), sehingga sebuah makna yang
vareatif terjadi jika bentuk lafadz tersebut murakkab tām. Lih: Basiq Djalil, Logika Ilmu
Mantiq (Jakarta: Predanamedia Group, 2010), 13-14.
4Ilm Naḥw atau sintaksis adalah kaidah-kaidah bahasa Arab yang membahas tentang
struktur sebuah kalimat yang terdiri dari ism, fi’il dan harf. Lih: Abbas Hassan, al-Naḥw al-
Wāfī (Kairo: Dār al-Ma’ārif, t.t.), 1-3.
5Ilm Ṣarf (morfologis) adalah cabang ilmu bahasa Arab yang membahas tentang
peletakan, penempatan atau perubahan makna dan kata. Lih: Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 10.
56
fenomenalnya Miftah al-‘Ulūm. Selain itu, ia juga menguasai ilmu akidah (‘Ilm al-
Kalām) aliran mu’tazilah, begitu juga bidang fiqh dan uṣul fiqh, sehingga ia terkenal
dalam hidupnya sebagai pengikut setia pada mazhab Hanafi.8 Shawqi Ḍaif
menyebutkan bahwa al-Sakaki hidup dalam didikan aliran Hanafi dalam bidang
fiqh, dan aliran Mu’tazilah dalam didikannya pada bidang akidah. Menurutnya,
memang manusia sudah sewajarnya untuk berpegang teguh kepada dua madhhab
tersebut dalam hidupnya. Beberapa kata-kata al-Sakaki yang berkaitan dengan
akidah yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang pengikut Mu’tazilah ialah:
“Allah adalah Tuhan kita, Muhammad adalah Nabi kita, Islam adalah agama kita,
tauhid dan keadilan adalah madzhab kita, khulafā al-rāsyidīn adalah imam kita, al-
Nāsir li al-Dīnillah (orang-orang yang menolong agama Allah) adalah pemimpin
kita, berdoa dan memujinya adalah tugas kita.9
Kehadiran al-Sakaki sebagai tokoh ilmu balagah telah menjadi perhatian besar
bagi para ulama di seluruh dunia. Padahal ia bukanlah orang Arab apalagi tinggal di
mana al-Qur’an atau wahyu diturunkan yaitu Makkah dan Madinah.10
Maka tidak
menjadi heran jika Universitas al-Mulk al-Su’ūd di salah satu kota besar Saudi
Arabia telah menjadikan Miftah al-‘Ulūm sebagai materi wajib dalam perkuliahan
pada jurusan bahasa dan sastra Arab.11
Begitupun Universitas al-Azhar di Kairo
Mesir yang lebih dulu juga menjadikan Miftah al-‘Ulūm dan Talkhīs Miftah al-
‘Ulūm sebagai referensi wajib yang dipadukan antara keduanya.12
Pada masa kecil al-Sakaki, ia sangat jauh daripada keluarga yang berilmu
tinggi, ia bukan keturunan ulama juga bukan keturunan bangsawan di Khawarizm,
sehingga pada masa kecil al-Sakaki keluarganya terkenal dengan julukan Sakākīn al-
Haddād (pengasah besi terbaik). Mereka sangat terkenal dengan keluarga yang ahli
dalam menempa besi dan tembaga. Adapun al-Sakaki karena telah terbiasa dalam
keluarganya dengan tipe yang bekerja keras. Ia pun tumbuh menjadi penempah besi
yang handal, ia mampu membuat dan menempa besi sesuai dengan keinginan para
pelanggannya. Masa lalunya sebagai penempah besi, ia lalui selama hampir 30 tahun
tanpa menikmati sekolah pendidikan formal seperti kebanyakan pelajar normal
lainnya.13
6Ilm ‘Arūḍ adalah sebuah ilmu yang membahas tentang keadaan sebuah wazan syair,
dan upaya perubahan wazan syair dari beberapa zihāf atau illat, sehingga akan mudah
mengetahui pentasykilan dari kasrah atau sukun. Lih: Abdul Aziz Atiq, Ilm al-‘Arūḍ wa al-
Qāfiyah (Beirut: Dār Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1987), 7.
7Ilm Qāfiyah, para ulama mendefinisikannya sebagai ilmu yang mempelajari bunyi
yang berada pada akhir bait sebuah syair atau qāshidah, juga tentang bunyi-bunyi yang
selalu diulang-ulang pada bait akhirnya. Lih: Abdul Aziz Atiq, Ilm al-Arūḍ wa al-Qāfiyah
(Beirut: Dār Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1987), 134. 8Tammam Hassan, Kitab al-Uṣūl, 179.
9Shawqi Ḍaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh (Kairo: Dārul Ma’ārif, 1119 H), 287.
10
Taufiq Ahmad Dardiri, Dinamika Kajian Ilmu-Ilmu Adab dan Budaya, 30.
11
Abdul al-Rasyid al-Rubaisyi, Tauṣīf Muqarrar Dirāsat fī al-Balāghah (Riyadh: Dār
al- Ma’ārifah al-Islāmiyah, 2014), 5.
12
Ali Nikmah al-Azharī, Sharḥ Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm li Imām al-Sakākī, 28.
13
Ṣoleh Faḍl, Balāghah al-Khiṭāb wa al-Naṣ (Kuwait: Dār Ālim al-Ma’rifah, 1992),
121-123.
57
Berangkat dari seorang penempah besi dan keterkenalannya, ia pun mendapat
inspirasi dari seorang raja sekaligus gurunya Sadid al-Khayyāti (585 H) untuk
menimba ilmu pengetahuan dari para ulama terkenal pada masa tersebut seperti
Mahmud al-Sha’idī bin Mahmud al-Harithī (590 H) dan Muhammad Bin Abdul
Karim al-Turkistāni (610 H), hingga akhirnya kelak ia bukan hanya menguasai
bahasa Arab dengan baik, tetapi juga bahasa Turki dan Persia.14
Di antara daftar
guru yang pernah membimbingnya selain kedua guru tersebut yakni Mahmud Ibn
Ṣalih al-Harithī dan Haitāmī.15
Dengan kesungguhan serta usaha kerasnya ia bahkan
melebihi para murid-murid yang semasa dengannya dalam hal penguasaan ilmu
agama, khususnya ilmu bahasa Arab. Selama perjalanan hidupnya, al-Sakaki telah
mengabdikan ilmu dan usahanya untuk mendidik para penerus generasi Islam.16
Al-Sakaki pernah menduduki jabatan strategis di kerajaan pada masa
kepemimpinan al-Arselan bin Ikaz sebagai ulama sulṭan yaitu selama 7 tahun pada
usianya yang ke- 66 tahun. Selama masa jabatan tersebut al-Sakaki berperan sebagai
penasehat serta pemberi pertimbangan dan saran untuk raja dalam menentukan
sebuah keputusan strategis untuk rakyat. Namun, sekalipun demikian tugas
utamanya dalam memberikan pendidikan tidaklah berhenti, melainkan semakin
menambah semangat dan pengorbanan pengabdiannya terhadap amanah ilmu yang
telah diperolehnya.17
Bahkan, tidak jarang ia merasakan bahwa jabatannya di
lingkungan kerajaan seakan memberinya wadah baru dalam menebar kebaikan dan
mewariskan ilmu pengetahuan sebagai anugerah ilahi.
Al-Suyuṭi (1979 M) dan Abbas Baidhun (2013 M) mengatakan bahwa umat
Islam telah berhutang besar kepada al-Sakaki karena jasa keilmuan dan
kontribusinya yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu bahasa khususnya
ilmu balagah.18
Betapa banyak warisan ilmiah yang telah sampai kepada kita bahkan
mungkin masih ada yang belum bisa dimanfaatkan oleh kita umat muslimin, baik
dari para ulama-ulama terdahulu maupun dari sebelum al-Sakaki. Namun, disisi
lainnya tidak sedikit warisan ilmiah yang hilang dan lenyap, lalu tidak diketahui di
mana tempatnya. Para ilmuwan tersebut meninggal dunia dalam keadaan bersabar,
senantiasa berjuang untuk ikhlas dalam hidupnya, memfokuskan diri pada kitab
Allah ta’ala. Hal ini terdapat manfaat untuk memotivasi diri sendiri dari biografi
para tokoh tersebut. Sebab, dakwah untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang
bermanfaat bagi orang lain tidaklah harus dengan lisan, melainkan juga dengan
karya tulis19
seperti yang dilakukan oleh al-Sakaki. Semoga semangat kecintaan
mereka terhadap perkembangan keilmuan dalam Islam dapat ditauladani oleh para
generasi penerus umat Islam.
14Ahmad Hasan Zayyat, Difā’an al-Balāghah (Kairo: Dār Kutub Ilmiyyah, 1967),
10-35.
15
Mahfudz Siddiq, Kajian Balāghah Berbasis Kearifan Lokal (Semarang: Walisongo
Press, 2016), 55-56.
16
Shawqi Ḍaif, Tārīkh al-Adab al-‘Arabī (Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1119), 77. 17
Athaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah (Malaya: Dār
Jami’ah Malaya, 2012), 67.
18
Abbas Baidhun, Istidrākāt al-Khaṭib ‘Ala al-Sakākī (Beirut: Dār Kutub, 2013),13.
19
Canra Krisna Jaya, Metode Dakwah Salaf Ibn Taimiyyah (Jakarta: Bani Abbas,
2014), 43.
58
B. Setting Sosial Intelektual
1. Kelahiran al-Sakaki
Namanya lengkap al-Sakaki adalah Sirajuddin Abu Ya’qub Yusuf bin Abu
Bakar Muhammad bin Ali Abu Ya’qub al-Sakaki al-Khawarizmi al-Hanafī,20
dan
digelar dengan sebutan al-Sakaki. Nama ini diambil oleh orang tuanya dari
seorang tokoh Khawarizm yang sangat terkenal kegigihan dan kesungguhannya
yakni Muhammad bin Musa al-Khawarizm21
. Kedua orang tuanya menginginkan
kelak al-Sakaki menjadi seorang pejuang yang tidak pernah lelah dan malu. Al-
Sakaki dilahirkan di distrik The Fergana Valley negara Khawarizm sekarang
menjadi negara Uzbekistan, negara yang terbentuk pada 27 Oktober 1924 M,
namun baru merdeka pada 25 Desember 1991 M dengan Ibu kota Samarkand. Ia
lahir pada 11 Mei 1160 M/ 555 H, tepatnya pada masa pemerintahan raja ke- 4
Daulah Khawarizmi (Ṣulṭān al-Khawarizm) yaitu al-Arselan bin Ikaz.22
Kendati
demikian, Yaqut al-Hamawi dalam karyanya Mu’ajam al-Udabā’, ia mengatakan
bahwa al-Sakaki lahir di tahun 554 H di Khawarizm.23
Di tempat inilah al-Sakaki
menghabiskan masa kanak-kanaknya selama 12 tahun, di mana ia bermain dan
dibawa oleh ayahnya untuk sekedar menemaninya di tempat bekerja menempah
besi dan tembaga.24
Qasim Ahmad Ibrahim (2014 M) dan Muhammad Ahmad Saleh (2014 M)
menuturkan bahwa tahun kelahiran calon tokoh balagah ’ajamī tersebut yakni al-
Sakaki bersamaan dengan peristiwa tahun persatuan kekuatan-kekuatan Islam, di
mana Naṣruddin berhasil menyatukan wilayah kekuasaannya di Baitul Maqdis
dengan Damaskus setelah pengepungan umat Islam selama sepuluh hari.25
Semangat kelahiran al-Sakaki telah menyerupai semangat juangnya pada masa
pengabdiannya kelak untuk mencari dan mengamalkan ilmu pengetahuan Islam
yang akan dimilikinya. Ayahnya pun terus mendorongnya agar belajar dari
segala apapun yang dilihat dan dirasakan oleh al-Sakaki kecil masa itu. Ayahnya
berpendapat bahwa apa yang dilihat, diamati dan dirasakan adalah bagian dari
pendidikan yang terpenting sebagai modal masa depan.26
20Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Beirut: Dār Kutub al-Islāmiyah, 2000), 14.
21Muhammad bin Musa al-Khawarizm adalah tokoh dunia yang sangat populer di
dunia pendidikan, ia kelahiran 164 H (780 M) dan wafat di Irak pada 235 H (850 M). Ia
seorang yang ahli dalam bidang sejarah, fisika bahkan ilmu matematika. Sampai saat ini ia
dikenal dengans sebutan al-Khawaizmi. Seorang tokoh Islam fenomenal dari Timur Tengah
pada bidang kedokteran bernama Ibnu Hayyan juga mengakui akan kejenisusan Muhammad
bin Musa al-Khawarizme pada berbagai keilmuan khususnya al-jabar atau ilmu al-hisāb. Lih.
https://ahladif.wordpress.com (Diakses pada 31 Oktober 2017). 22
Misbah Islam, Decline of Muslim States and Societies (Amerika Serikat: Xlibris
Corporation, 2008), 235.
23
Yaqut al-Hamawi, Mu’jam al-Udabā’, (Beirut: Dār al-Gharbi al-Islāmi, 1993), 284. 24
Al-Sayyid ‘Adil al-‘Ulwi, Qiṣṣah al-Sakākī wa al-Iṣrār, http://shiavoice.com/play-
hf25w. html (diakses 02 Oktober 2017)
25
Qassim Abdullah Ibrahim dan Muhammad Abdullah Saleh, al-Mausū’ah al-
Muyassarah fī Tārīkh al-Islāmi (Kairo: Dār al-Mizān, 2000), 183-186.
26
Iffa Nurul Laili, Melacak Eksistensi Kosakata Mesir Kuno dalam al- Qur’an, Jurnal
of Qur’an and Hadis Studies, Vol. 3, No. 2. Juli 2014, 287.
59
Peneliti muda bernama Bartolomeus Samho (2010 M) dan Oscar Yasunari
(2012 M) mengungkapkan bahwa pendidikan yang baik adalah tindakan
pendidikan melalui proses membentuk seseorang untuk mampu berpikir kritis
dan memiliki ketetapan pikiran dalam wawasan nilai-nilai agama. Kemampuan
tersebut diperoleh dengan usaha dan perjuangan kehidupan yang dilalui dengan
prinsip kemanfaatan.27
Teori pendidikan tersebut agaknya telah menjadi pola
pendidikan kedua orang tua al-Sakaki selama masa kecilnya.
Ayahnya Abu Bakar Muhammad bin Ali sejak usia 4 tahun selalu
mendidiknya dengan bekerja keras sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya.
Bahkan tidak jarang al-Sakaki kecil membantu ayahnya walau hanya untuk
memperhatikan seni dalam menempa besi di Khawarizm. Kepribadian ayahnya
adalah seorang yang taat akan ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad صلى هللا عليه وسلم. Pola pendidikan itu pula yang diajarkan oleh
ayahnya kepada seluruh anak-anaknya termasuk al-Sakaki. Sebagaimana
diketahui sebelumnya, selama masa kanak-kanaknya tersebut al-Sakaki belum
pernah menikmati bangku sekolah secara formal. Masa kecil al-Sakaki
pendidikannya secara langsung telah diambil alih oleh ayahnya.28
Pendidikan yang diterapkan oleh ayahnya melampaui pendidikan seperti
kanak-kanak lainnya pada masa tersebut yang hanya bermain seharian. Sedang
al-Sakaki melalui proses kanak-kanaknya dengan tuntutan harus bisa mandiri dan
tidak banyak menyia-nyiakan waktu. Setiap sore usai pulang bekerja Muhammad
bin Ali selalu membawa al-Sakaki kecil mendengarkan ta’līm ilmu agama dan
sastra yang berada di sekitar distrik The Fergana Valley. Untuk ukuran usia al-
Sakaki kecil belum terlalu banyak mengerti apa yang akan ia peroleh. Suatu
kondisi yang jauh berbeda dengan teman-teman sebayanya yang lebih memiliki
kebebasan memilih tempat bermain dan menghabiskan waktu sesuka mereka.
Kebiasaan tersebut pun semakin membentuk karakter kepribadian al-Sakaki yang
tangguh di tangan dingin pola pendidikan ayahnya Muhammad bin Ali.29
Suatu hari, al-Sakaki membuat sebuah tempat tinta kecil dari besi dengan
tutup yang indah. Ia bermaksud memberikannya kepada Sulṭān al-Khawarizm.
Ketika hadiah itu diserahkan kepada raja, sang baginda sangat senang dan begitu
mengagumi hasil karyanya itu. Kata-kata pujian pun terlontar dari mulut sang
raja. Al-Sakaki merasa sangat tersanjung dan bangga bisa berbagi kebahagian
dengan apa yang ia miliki saat itu. Hingga kemudian masuklah seorang lelaki
yang hendak bertemu dengan raja, sementara al-Sakaki masih berada di ruangan
tersebut. Demi melihat tamu tersebut, raja meletakkan hadiah pemberian al-
Sakaki sekenanya. Ia pun berdiri dari singgasananya dan menyambut lelaki itu
dengan penuh hormat, lalu mempersilakannya untuk duduk. Melihat itu, al-
Sakaki bertanya siapakah gerangan lelaki itu wahai raja? Dijawab oleh raja
bahwa tamunya itu adalah seorang ulama besar dari negeri yang dipimpinya. Al-
27
Bartolomeus Samho dan Oscar Yasunari, Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
dan Tantangan-tantangan Implementasinya di Indonesia Dewasa Ini (Bandung: Unpar
Press, 2010), 35. 28
Misbah Islam, Decline of Muslim States and Societies, 260.
29
Yaqut al-Hamawi, Mu’jam al-Udabā’, 287.
60
Sakaki berpikir dalam hatinya, betapa beruntungnya laki-laki itu, mendapatkan
sambutan yang lebih hangat dibanding dirinya sendiri.30
Dalam khayalnya, seandainya dia seorang ulama, tentu lebih mudah baginya
memperoleh kemuliaan dan penghargaan tinggi yang selama ini sangat di
dambakannya. Mengamati interaksi dan hubungan antara keduanya, al-Sakaki
merasa kagum. Pujian dan penghormatan yang diberikan seorang raja kepadanya
melebihi apa yang ia terima, padahal ia telah mampu membuat raja bangga
kepadanya melalui karya dan seninya yang dikagumi oleh seluruh pesohor
kerajaan tersebut.31
Al-Sakaki yang terkenal sebagai ahli seni penempah besi itupun bertekad
untuk meninggalkan pekerjaan warisan ayahnya, sehingga pada usianya yang ke-
30 tahun ia membuat sebuah keputusan penting dalam hidupnya, ia merubah
kesehariannya untuk menimba ilmu pengetahuan secara totalitas. Bahkan untuk
belajar ilmu agama dan al-Qur’an kepada ulama-ulama terkenal di masa tersebut.
Tidak ingin menyia-nyiakan waktunya, al-Sakaki pun mendatangi sang guru
yang bertamu tersebut dan menyampaikan keinginannya untuk belajar sekaligus
memohonkan agar dirinya diterima sebagai murid baru. Alhasil, dengan tidak
memiliki latar pendidikan apapun, dia harus belajar dari tingkat dasar. Al-Sakaki
dimasukkan oleh gurunya ke dalam kelas murid-murid yang berusia 7 hingga 10
tahun, padahal dia sudah berumur di atas 30 tahun.
Pada suatu pelajaran, gurunya menjelaskan, "Syaikh berkata, kulit anjing itu
menjadi suci dengan cara disamak." Ketika al-Sakaki diminta untuk mengulangi
apa yang diucapkan oleh gurunya tersebut, ia justru mengatakan sebaliknya,
"Anjing berkata, kulit syaikh itu menjadi suci dengan cara disamak." Jawaban
tersebut spontan mengundang tawa teman-teman kecilnya. Akibat hal tersebut,
al-Sakaki putus asa dan memutuskan untuk kembali menjadi tukang besi seperti
masa lalunya. Dalam perjalanan al-Sakaki menuju rumahnya, ia melihat sebuah
batu karang yang sangat keras. Tampaklah batu itu berlubang bekas tetesan air
yang jatuh ke atas batu karang itu. Dari apa yang dilihatnya itu, al-Sakaki
mendapatkan pelajaran berharga. Ia merenung dan berkata dalam hatinya “otakku
tidaklah sekeras batu karang ini, namun mengapa tidak bisa ditembus oleh ilmu
dan pelajaran?32
Terinspirasi dari peristiwa tersebut, ia kembali membulatkan
tekadnya untuk belajar dan menikmati ilmu dari guru dan ulama lainnya.33
Dengan niat dan usaha yang kuat, Allah pun akhirnya membukakan baginya
pintu-pintu ilmu pengetahuan. Selain itu, juga karena motivasinya agar menjadi
seseorang yang mendapatkan kemuliaan lakyaknya ulama pada umumnya. Ia
menimba ilmu dari masjid ke masjid di kawasan tersebut dan tidak melakukan
pengembaraan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama ternama lainnya.34
30
Al-Sayyid ‘Ādil al-‘Ulwi, Qiṣṣah al-Sakākī wa al-Iṣrār (diakses 02 Oktober 2017)
31
Shawqi Ḍaif, al-Balaghah Taṭawwur wa Tārīkh, 261. 32
Al-Sayyid ‘Adil al-‘Ulwi, Qiṣṣah al-Sakākī wa al-Iṣrār, http://shiavoice.com/play-
hf25w. html (diakses 02 Oktober 2017)
33
Abdul Qadir al-Quraysyi, al-Jawāhir al-Māddiyyah fī Tabaqāt al-Ḥanafiyyah
(Riyadh: Dār al-Ulum, 1988), 622.
34
Mahfudz Siddiq, Kajian Balāghah Berbasis Kearifan Lokal, 56.
61
2. Pendidikan, Pekerjaan dan Proses Awal Kepengarangannya
Pendidikan pertama al-Sakaki diperoleh dari ayahnya Muhammad Ali tanpa
masuk ke sekolah resmi seperti umumnya. Muhammad Ali lebih yakin terhadap
pola pendidikannya dibanding al-Sakaki kecil jika harus terjun langsung sekolah
di lembaga-lembaga pendidikan. Proses pendidikan oleh ayahandanya tersebut
berlangsung selama hampir 30 tahun lamanya. Hingga pada saat ayahnya merasa
pendidikan yang diberikan kepadanya telah cukup sebagai bekal dewasanya, al-
Sakaki pun diberikan kebebasan oleh ayahnya untuk mencari dan menambah
ilmu pengetahuannya secara mandiri.
Sadid al-Din Muhammad al-Khayyati (585 H), guru inspirator al-Sakaki
mengakui bahwa selama mengajar di berbagai majelis ilmu, ia belum pernah
menemukan seorang murid yang lebih tekun dan ulet dibanding tekunnya al-
Sakaki, padahal ia adalah murid tertua pada usianya yang ke 30 tahun. Namun,
al-Sakaki tidak malu untuk bergabung dengan murid-murid yang masih berusia 8
- 12 tahun. Peristiwa tersebut termasuk sejarah baru dalam perjalanan pendidikan
al-Sakaki, di mana ia menuntut ilmu langsung dari para ahlinya dan masuk dalam
kategori sekolah resmi.35
Ketika menjadi pelajar di sekolah formal, secara intelegensia kekuatan al-
Sakaki sesungguhnya terletak bukan pada sastra tetapi pada ilmu kalam dan ilmu
fiqh sebagaimana ia telah diajarkan dan dibentuk kebiasaannya oleh ayahnya
sendiri. Awal ketertarikan al-Sakaki dengan ilmu sastra pada saat sekolah adalah
ketika mendengar bait-bait syair al-Jāhilī yang indah dari gurunya yakni
Muhammad Abdul Karim al-Turkistani. Lantunan dan lafal syair tersebut
membuat al-Sakaki terheran-heran, hingga akhirnya ia mengarang syair-syair
kecil dan mencoba melantunkannya seperti guru ia yang ia amati nada dan
intonasinya.36
Yusuf Rizqah (1999 M) berpendapat bahwa kesungguhan dan kejeniusan
al-Sakaki melebihi para pelajar di masanya. Sebab, menurutnya ia dengan mudah
menyerap ilmu pengetahuan dari berbagai guru dan ulama terkenal pada masa
tersebut.37
Hal itu menurutnya tentu tidak terlepas dari peran sang ayah dalam
tahapan pendidikan yang dirasakan oleh al-Sakaki. Seorang pakar pendidikan
Universitas Terbuka Indonesia Yanti Purnamasari, ia menegaskan bahwa peserta
didik yang berkategori tinggi pada kemampuan penalarannya adalah akibat
kontrol keluarga dan pengalaman yang sangat kuat. Kemampuan dan ketekunan
yang dimilikinya akan jauh lebih tinggi dibanding yang lainnya yang sangat
kurang pada kontroling orang tua dan minim pengalaman hidup.38
Pada usia al-Sakaki memasuki 35 tahun atau telah melewati masa belajarnya
5 tahun. Gurunya Sadid al-Khayyati memintanya untuk mengajar para siswa-
siswi yang baru atau tepatnya mereka yang berusia 10-12 tahun. Kebijakan sang
35Ahmad Hasan Zayyat, Difā’an al-Balāghah, 44.
36
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 5.
37
Yusuf Rizqah, al-Qā’idah wa al-Dhawq fī Balāghah al-Sakākī, Majallah al-Jami’ah
al- Islamiyyah, Vol. 7, No. 1, Januari 1999, 172.
38
Yanti Purnamasari, Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games
Tournaments, Jurnal Pendidikan dan Keguruan Vol. 1, No. 1, 2014, 8.
62
guru tersebut diilhami oleh keyakinan dirinya yang kuat terhadap al-Sakaki untuk
diberi tanggung jawab, sehingga timbul rasa yakin dan percaya diri dalam
jiwanya untuk berbagi ilmu dan wawasan yang ia miliki. Kegiatan baru tersebut
pun membuat al-Sakaki semakin cinta terhadap dunia pendidikan. Ia sangat
memperoleh kebahagian yang tidak terkira di saat ia bisa memberikan manfaat
kepada orang banyak seperti yang telah diajarkan oleh gurunya. Proses
pembelajaran itu ia lalui sebagai perkerjaanya yang baru, ia nikmati sambil terus
berguru kepada ulama-ulama terkenal lainnya, seperti Mahmud Ibn Mahmud al-
Harithī seorang ahli agama bermadzhab hanafī dan ahli ilmu kalam.39
Kecintaannya kepada dunia pendidikan semakin membuatnya tertantang
untuk mempelajari al-Qur’an yang merupakan sumber utama dalam mempelajari
ilmu fiqh madzhab Hanafi dan ilmu syariah. Inilah yang menjadi titik awal al-
Sakaki mempelajari kemukjizatan dan Uslub al-Qur’an (style of Qur’ān) serta
bahasa yang indah melebihi bait-bait syair yang pernah ia dengar langsung dari
guru-gurunya. Dengan kesugguhan yang tidak pernah lelah dan menyerah, al-
Sakaki pun menemukan jalan untuk mempelajari langsung sejarah-sejarah ahli
sastra periode sebelumnya yang sangat memberinya inspirasi, khususnya ilmu
bahasa dan sastra Arab. Misalnya, ia mempelajari al-ṣina’ataini karya al-Jahidz
dan Dalā’il al-I’jāz karya al-Jurjani. Kedua tokoh tersebut menjadi kiblat dan
tauladan belajarnya tentang ilmu bahasa, khususnya ilmu balagah (Art of
Rethoric). Pengembaraannya untuk terus mempelajari ilmu sastra, khususnya
ilmu balagah semakin ia tekuni, bahkan tidak jarang ia pun mencoba memikirkan
sesuatu yang bisa menjadi terobosan baru baginya di saat ia mengajar, yakni
sebuah karya yang memberikan jalan kemudahan bagi para penerusnya.40
Pada usia al-Sakaki menjelang 40 tahun, ia pun mulai mengarang sebuah
karya sastra yang kini dikenal dengan Miftāḥ al-‘Ulūm (The Key to Sciences).41
Proses pengarangan karya tersebut timbul dalam pikirannya karena adanya
keresahan al-Sakaki terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sastra, khususnya
bahasa Arab yang menurutnya belum sempurna dan tidak cukup berkiblat kepada
para ahli sastra sebelumnya. Menurutnya, pada saat itu keilmuan sastra bahasa
Arab masih berputar pada pembahasan ilm ṣarf, ilm naḥw, ishtiqāq, bayān dan
ma’āni.42
Semua keilmuan tersebut seakan terbatas hanya dipelajari di kelas saja
secara terstruktur dan akademik. Padahal menurutnya siapapun yang membaca
dan mempelajari al-Qur’an pastilah ia membutuhkan peralatan untuk memahami
dan memaknai mukjizat terbesar umat Islam tersebut.43
39
Al-Sayyid ‘Adil al-‘Ulwi, Qiṣṣah al-Sakākī wa al-Iṣrār, http://shiavoice.com/play-
hf25w. html (diakses 02 Oktober 2017) 40
Misbah Islam, Decline of Muslim States and Societies, 253. 41
Robert G. Morrison pernah mengungkapkan jika ingin mempelajari ilmu retorika
tentang al-Qur’an maka bacalah Miftāḥ al-‘Ulūm. Ia membuat sebuatan baru dengan karya
tersebut dengan sebutan The Key to Science (Kunci-kunci ilmu pengetahuan). Lih. Robert G.
Morrison, Islam and Science; The Intelectual Career of Nizām al-Dīn al-Nisābūrī (USA:
Routledge, 2010), 23.
42Yusuf Rizqah, al-Qā’idah wa al-Dhawq fī Balāghah al-Sakākī, Majallah al-Jami’ah
al- Islamiyyah, Vol. 7, No. 1, Januari 1999, 156.
43
Yusuf Rizqah, al-Qā’idah wa al-Dhawq fī Balāghah al-Sakākī, 172.
63
Dalam pemikiran al-Sakaki, sudah seharusnya ilmu bahasa dalam al-Qur’an
terus digali dan dikembangkan keilmuannya. Bahkan, menurutnya ilmu sastra
haruslah menyentuh semua kalangan dan tidak boleh berhenti pada beberapa
ruang dan waktu saja. Ilmu sastra adalah sebuah kebutuhan seperti butuhnya
umat Islam kepada al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan.44
Karena itu, karya yang ditulisnya tidak sekali jadi, tetapi membutuhkan
pengulangan dalam menyusun sistematika dan pengeditan. Bahkan, al-Sakaki
acapkali mengalami kemandekan dalam melanjutkan karyanya. Jika hal itu
terjadi maka al-Sakaki menghentikan proses penulisannya terlebih dahulu lalu
melanjutkannya setelah beberapa hari kemudian. Peristiwa ini persis seperti yang
dilakukan oleh Mahfudz dalam mengarang karya novelnya Aulād Hāratinā
(anak-anak kampung kita). Hanya saja Mahfudz akan mudah menemukan
kembali ide-ide berilian di saat ia melalui hari-harinya dengan merokok,
mendengarkan musik dan nyanyi-nyanyian,45
sedangkan al-Sakaki kembali
menemukan ide-idenya di saat mengajar dan mendapatkan berbagai tulisan dan
pertanyaan dari murid-muridnya, maka ia pun bergegas untuk melanjutkan
tulisannya yang tertunda.46
Riwayat pekerjaannya, selain mengabdikan dirinya di lembaga pendidikan
Islam Khawarizm yang berpusat di ibu kota Samarkand, pada tahun 606 H al-
Sakaki pernah bekerja di kerajaan Sulthan al-Arselan bin Ikaz sebagai penasehat
kerajaan. Selain itu, ia juga sebagai pimpinan dewan pengawas ilmu dan budaya
Khawarizm. Dalam kurun waktu yang singkat, ia justru meninggalkan jabatannya
tersebut karena ingin lebih menyibukkan dirinya untuk menulis dan mengajar,
sehingga kehadirannya sangatlah tidak asing bagi para ulama di Asia Tengah
karena ketenarannya setelah banyak memberikan kontribusi keilmuan, khususnya
setelah menyelesaikan proses kepengarangan Miftāḥ al-‘Ulūm dan menjadi ketua
dewan pengawasan ilmu dan budaya di pemerintahan Khawarizm.
3. Sastrawan dan Pemikir yang Mempengaruhi al-Sakaki
Menurut pengakuan guru al-Sakaki, Sadid al-Din Muhammad al-Khayyati
ketika mengamati muridnya yakni al-Sakaki yang tidak malu mengikuti
pendidikan formal, bahkan pada usianya yang sudah dewasa, hingga akhirnya ia
menjadi tokoh linguis terkenal saat ini. Menurutny,a tentu saja tidak terlepas dari
pengaruh para ahli linguis sebelum kelahiran al-Sakaki. Hal tersebut, diakui oleh
al-Sakaki dalam mukaddimah karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm. Ia mengatakan bahwa
apa yang ia hasilkan tidak terlepas daripada peran keilmuan para ahli sebelum
dirinya, di antaranya adalah Abdul Qahir al-Jurjani, al-Zamakhshari dan al-
Jahidz.47
Tammam Hassan menegaskan bahwa salah satu tokoh sastrawan terkenal
dengan karya-karya dan pemikirannya yang telah mempengaruhi perjalanan
keilmuan al-Sakaki termasuk dirinya sendiri adalah Abdul Qahir al-Jurjani
44Yusuf Rizqah, al-Qā’idah wa al-Dzawq fi Balāghah al-Sakākī, 173.
45Sukron Kamil, Najib Mahfuz Sastra, Islam dan Politik Studi Semiotik terhadap
Novel Aulād Hāratinā (Jakarta: Dian Rakyat, 2013), 144. 46
Misbah Islam, Decline of Muslim States and Societies, 299.
47
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm (Ed) Abdul Hamid Handuwiy, 3.
64
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Abdul Qahir al-Jurjani sendiri bermadzhab
mu’tazilah. Pemikiran dan karya-karya yang juga fenomenal membuat al-Sakaki
tertarik untuk mengetahui kejeniusan al-Jurjani, khususnya terhadap karyanya
Asrār al-Balāghah dan Dalāil al-I’jāz. Tercatat dalam sejarah keilmuan, selain
al-Sakaki dan Tammam Hassan yang mengagumi al-Jurjanji, karya monumental
al-Jurjani tersebut juga telah banyak mengispirasi para linguis lainnya termasuk
seorang linguis asal Amerika, Noam Chomsky yang bahkan mereformasi
pemikiran-pemikiranya dengan teori gramatika generatif transformatif yang
diilhami oleh karya al-Jurani tersebut.48
Berkat karya Abdul Qahir yang berjudul Dalāil al-I’jāz, al-Sakaki telah
banyak memperoleh keilmuan tentang kemukjizatan dan uslub al-Qur’an dilihat
dari persfektif keindahan bahasa dan nilai-nilai sastranya. Muhbib Abdul Wahab
mengatakan bahwa Dalâil al-I‘jâz telah di taḥqiq oleh banyak ilmuwan sastra
khususnya mereka para muḥaqqiq (editor manuskrip) dan telah dicetak berulang
kali di berbagai negara. Di antara sekian hasil percetakan tersebut adalah edisi
lengkap dengan indeks yang diterbitkan langsung oleh Dâr Qutaibah di Beirut,
Lebanon. Selain itu, Dalāil al-I’jāz juga diterbitkan dan cetak di Kairo Mesir
oleh Maṭba’ah al-Madānī. Terakhir menurutnya, Dalāil al-I’jāz telah dicetak di
Damaskus Suriah oleh Dâr al-Fikr yaitu pada tahun 1999 M. Karya fenomenal
inilah yang telah banyak mempengaruhi cara pandang al-Sakaki terhadap
keaslian dan kehebatan bahasa Arab melalui al-Qur’an yang telah diturunkan
kepada baginda Muhammad صلى هللا عليه وسلم.49
Al-Sakaki telah terpesona dengan Dalāil al-I’jāz ketika mengetahui
kedalaman ilmunya, belum lagi ketika al-Sakaki mengamati teori sastra dan
naẓam yang dikaji oleh al-Jurjani. Menurut Ṣawqi Ḍaif, al-Jurjani bahkan berani
memberikan komentar telak terhadap seorang tokoh terkenal Mu’tazilah yaitu al-
Qaḍi Abdul Jabbar (415 H) mengenai kemukjizatan al-Qur’an, di mana al-Qaḍi
berpendapat bahwa kehebatan al-Qur’an tidak terletak pada naẓam-nya. Padahal,
Abdul Qahir al-Jurjaji telah mendeskripsikan bahwa struktur kalimat al-Qur’an
sangatlah sistematis dan kaya akan kaidah-kaidah kebahasaan.50
Selain Abdul Qahir al-Jurjani, al-Sakaki juga menurut Tammam Hassan
telah mendapatkan pengaruh besar dari Fakruddin al-Razi. Ia memiliki nama
lengkap Abdullah Muhammad Bin Umar Bin Husain bin Ali al-Tamimi al-Razi,
seorang tokoh sastrawan yang sangat jenius lahir di Ray dekat kota Khurasan
Iran pada tahun 544 H. Menurut Muhammad Husai Dhahabi, ia adalah seorang
penganut paham Syafi’i berbeda dengan Abdul Qahir yang menganut paham
Mu’tazilah. Al-Sakaki banyak belajar dari karya al-Razi yang berjudul Tafsīr
Mafātihul Ghaib atau ia juga menamainya dengan Tafsīr al-Kabīr.51
Bermula
48
Muhbib Abdul Wahab, Mengenal Pemikiran Linguistik al-Jurjani dalam Dalâil al-
I’jâz, al-‘Arabiyat Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaaraban, Vol. 1, No. 1, Juni
2014, 7. 49
Muhbib Abdul Wahab, Mengenal Pemikiran Linguistik al-Jurjani dalam Dalâil al-
I’jâz, 9-10.
50
Ṣawqi Ḍaif, Tārīkh al-Adab al-‘Arabī, 44. 51
M. Husai al-Dhahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassir (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), 291.
65
ketika ia pertama kali belajar dari gurunya di Khawarizm dan mendengarkan
penjelasannya langsung tentang kehebatan tafsir karya al-Razi, hingga mampu
membawa setiap pembacanya ke dalam alam yang berbeda dengan keindahan
sastra yang ia tulis saat menafsirkan al-Qur’an, khusus tentang hal-hal yang
ghaib. Karena kehebatan dan keilmiahan karya al-Razi sering kali ia dijuluki oleh
para ahli sebagai manusia multi talenta. Menurut Muhammad al-Hilawi, al-Razi
bukan hanya seorang penyair, tetapi juga sastrawan, ahli fiqh, tafsir, hikmah
bahkan juga seorang dokter spesialis.52
Al-Sakaki belajar dari Fakhruddin al-Razi banyak hal termasuk ilmu filsafat,
Fiqh, Astronomi bahkan metode penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an. Kendati
demikian al-Sakaki terus mencoba mempelajari Tafsīr al-Kabir yang ditafsirkan
oleh al-Razi dengan metode tahlīlī (analysis method). Menurut al-Umri salah
satu yang menjadi daya tarik dan keterpengaruhan al-Sakaki terhadap karya al-
Razi tersebut adalah karena ia menafsirkan al-Qur’an dengan cara yang unik, di
mana di dalamnya membicarakan lintas ilmu pengetahuan mulai dari ilmu kalam,
filsafat, fiqh, hadis, kedokteran bahkan ilmu astronomi. Menurutnya, yang
menjadi ruh dari Tafsīr Mafātiḥul Ghaib adalah penjelasan yang panjang, dengan
menggunakan al-Ra’yu (rasionalitas) pada seluruh tafsirnya. Terkadang juga
memasukkan pemikiran pribadi dan para pendahulunya berdasarkan kebesaran
dan keluasan ilmu yang dikuasainya.53
Para pendahulu al-Sakaki tersebut telah banyak memberikan inspirasi
kepadanya untuk terus memberikan kontribusi yang besar kepada masyarakat
luas khususnya para pecinta ilmu dan sastra Arab, baik di Khawarizm maupun di
luar Khawarizm. Sebab, jika damati dalam sepanjang sejarah ia termasuk tokoh
yang sangat produktif dan telaten dalam menulis. Ia tidak hanya menulis pada
karya kesastraan saja, tetapi juga berbagai keilmuan filsafat, teologi bahkan ilmu
perbintangan.54
4. Respon Ulama kepada al-Sakaki
Al-Sakaki semakin terkenal pada usianya yang mendekati 60 tahun atau
tepatnya pada saat ia telah menyempurnakan karya tulisnya yang fenomenal yaitu
Miftāḥ al-Ulūm sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Para ahli di masa tersebut,
mengatakan jika dibanding antara al-Qazwaini dan al-Sayuti dalam peran mereka
terhadap keilmuan balagah yang hingga kini keilmuan balagah adalah warisan
mereka semua, maka al-Sakaki jauh lebih baik dan sempurna karena kecerdasan
dan pendapat-pendapatnya yang sangat brilian, sekalipun kedua ulama tersebut
adalah datang lebih akhir. Walaupun al-Qazwaini telah menyempurnakan dan
menyederhanakan karya al-Sakaki menjadi Talkhīs Miftāḥ al-Ulūm.55
52
Muhammad al-Hilawi, Mereka Bertanya Tentang Islam (Jakarta: Gema Insani,
1998), 23. 53
M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis Atas Tafsīr al-Manar
(Jakarta: Lentera Hati, 2006), 157. 54
Djaya Cahyadi, Takdir dalam Pandangan Fakruddin al-Razi (Jakarta: Ciputat
Press, 2011), 28. 55
Muhbib Abdul Wahab, Mengenal Pemikiran Linguistik al-Jurjani dalam Dalâil
al-I’jâz, 5-7.
66
Ahmad Mathlub menegaskan bahwa, selain kemampuan al-Sakaki pada
bahasa Arab yang lebih fasih bicara dan lafalnya juga karya-karyanya telah
menjadikannya lebih terkenal di tengah-tengah ulama lainnya. Maka tidak jarang,
jika pada masa itu ia dikenal sebagai seorang yang ‘ajamī (non-Arab) seakan
telah berubah menjadi ‘Arabī. Disisi lain ketajaman bahasannya pada kajian dan
pembahasan Miftāḥ al-’Ulūm dan berbagai karyanya bukan hanya semata karena
bahasa Arab, lebih dari itu karena ia juga ahli di bidang fiqh, filsafat, aqidah dan
dan psikologi Islam. Perbaduan dari keilmuan yang dimilikinya tersebut semakin
membawanya kepada pemahaman dan pemaknaan yang lebih sempurna.56
Sebagaimana dikatakan oleh al-Farabi (956 H) bahwa sebuah ilmu pengetahuan
haruslah mengantarkannya kepada tempat yang lebih terpuji, dan tentunya harus
berdasarkan perjuangan serta usaha yang kuat untuk memimba ilmu.57
Mustafa al-Maraghī dalam karyanya Tārīkh ‘Ulūm al-Balāghāt wa al-Ta‘rīf
bi Rijālihā menegaskan bahwa setiap pecinta bahasa Arab menurutnya tidak akan
pernah tahu sebelumnya, bahwa sesungguhnya yang berjasa mengklasifikasi ilmu
fashāhah kepada tiga bagian seperti yang kita lihat pada hari ini, baik itu yang
berbentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan kecuali ia adalah al-Sakaki.58
D. Hidayat menilai bahwa sekalipun ada kekurangan di sana-sini dalam
sebuah karya ilmiah adalah hal yang biasa terjadi. Sebab, menurutnya, al-Sakaki
tentu bukan sembarang ilmuwan, karena dialah ilmuwan sastra di dunia dapat
mengenal ilm balāghah dengan baik. Sekalipun datang generasi dan tokoh yang
lebih baik darinya. Balagah tetap menjadi pionir bagi mereka yang berjasa
membangun dan merumuskan ilmu balagah lebih dulu dengan tersistematis dan
rapih. Basiq Djalil (2010 M) dalam karyanya Logika Ilmu Mantiq mengatakan
bahwa ilmu balagah yang telah disempurna pada masa al-mu’āṣirūn (fase
modern) khususnya yang dipelopori oleh al-Sakaki sangat memberikan apresiasi
besar terhadap karya-nya. Senada dengan D. Hidayat, ia menyimpulkan bahwa
ilmuwan era globalisasi ini mungkin tidak akan pernah mengenal ilmu balagah
jika tanpa al-Sakaki. Sebagaimana diketahui karena keilmuan balagah tersebutlah
menurutnya ilmu mantik semakin dibutuhkan sebagai alat membaca keilmuan
dengan logika dan pemikiran para tokoh. Hingga akhirnya al-Farabi muncul
sebagai ulama terkenal yang mempelajari ilmu mantik sebagai kelengkapan pada
keilmuan balagah.59
Paralelitas para tokoh tersebut membuat keilmuan balagah
terus berkembang bahkan sampai pada puncaknya di masa al-Sakaki pada awal
fase al-mu’āṣirūn (fase modern). Dan Muhammad Abduh sebagai puncak
keilmuan balagah modern, yang dengan pemikiran-pemikirannya sastra Arab
terus berkembang pesat di Universitas al-Azhar Kairo. 60
56Ahmad Mathlub, Asālib al-Balāghah wa al-Fashahah wa al-Ma’āni (Kuwait:
Wakālah al- Maṭbu’āt, 1980), 115. 57
Hafidz Abdurrahman, Pengaruh Ilmu Filsafat dan Ilmu Kalam Terhadap
Kemunduran Islam (Bogor: al-Azhar Fresszone Publishing, 2015), 7. 58
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tārīkh ‘Ulūm al-Balāghāt wa al-Ta‘rīf bi Rijālihā
(Beirut: Dār al-Ma’ārif, 1950), 36. 59
Basiq Djalil, Logika Ilmu Mantik (Jakarta: Preadamedia Group, 2010), 5.
60
Ahmad Mathlub, Asālib al-Balāghah wa al-Fashahah wa al-Ma’āni, 205.
67
Adapun beberapa tokoh muslim lainnya di masa pemerintahan khalifah
Mansur atau tepatnya pasca pemerintahan Umayyah, mereka yang sedang
mempelajari ilmu bahasa Arab khususnya balagah diantaranya adalah Ibnu Sina,
Abdullah al-Khawarizmi, Ibnu Bajah, al-Asmawi, al-Samarqandi dan Ibnu al-
Qudamah.61
Ibnu al-Qudamah (1146 M) pernah menggambarkan sosok Imam al-Sakaki.
Menurutnya, ia adalah penulis terkenal ilmu balagah dengan judul Miftāḥ al-
‘Ulūm. Menurutnya, al-Sakaki menulis karya baru tersebut karena ingin
menyempurnakan dan melengkapi karya-karya dan karangan-karangan ulama
terdahulu sebelum dirinya. Sebab, menurut al-Sakaki keilmuan balagah saat itu
masih belum dipandang cukup baik. Ia pun dalam karyanya berupaya untuk
menjelaskan kekurangan yang terdapat dari sebelumnya, dan banyak meneliti dan
mengkritik kaidah-kaidah balagah yang dianggap tidak diperlukan. Masih
menurut Ibnu Qudamah (1146), semua itu ia lakukan karena banyak mempelajari
kitab-kitab mantik dan filsafat, tentu saja kitab ini memiliki kelebihan tersendiri
dibandingkan kitab-kitab yang sama ditulis pada masa-masa sebelumnya.62
Kehadiran Imam al-Sakaki di tengah-tengah para ulama langsung mendapat
respon yang sangat baik dengan menjadikan karya dan ide-idenya sebagai salah
satu pendorong berkembangnya ilmu bahasa Arab khusunya ilmu balagah.
Bahkan, Ibnu Khaldun seorang sejarawan dan sosiolog terkemuka di dunia
akademik mengakui bahwa imam al-Sakaki sesungguhnya telah menjadi pioner
balagah, bukan Abdul Qahir maupun para pendahulunya. Maka Ibnu Khaldun
sebagai salah seorang ulama tafsir mengajak setiap pecinta bahasa Arab agar
tidak menafikan karya tokoh terbaik tersebut pada zamannya. Sebab, menurutnya
memanfaatkan karya dan mengembangkan pemikirannya adalah sebuah apresiasi
bagi penulisnya yang pernah menjadi bagian dari sejarah.63
Terlebih lagi, al-Sakaki merupakan tokoh yang menjembatani antara Abdul
Qahir yang menggabungkan ilmu dan amal dengan orang-orang kontemporer
yang memaksakan diri untuk mengkaji balagah. Mereka menyamakan balagah
dengan ilmu-ilmu nadhariyyah (persfektif akal), serta menafsirkan kalimat-
kalimatnya seperti mengkaji ilmu bahasa Arab. Keadaan tersebut hampir
membuat balagah mirip dengan teka-teki, sehingga batasan dan kriteria ilmu
balagah hampir musnah. Selain itu, kitab-kitab karangan al-Jurjani pun pada
masa itu hampir ditinggalkan, dan tidak lagi dipelajari.64
Barangkali inilah nasib
sebuah ilmu pengetahuan jika dipelajari oleh orang-orang yang berada dalam
masa kehancuran.
Mengamati fenomena keilmuan tersebut membuat para ulama termasuk para
ahli bahasa menjadi sangat resah akan kepunahan keilmuan di masa yang
61Ahmad Mathlub, Asālib al-Balāghah wa Al-Fashahah wa al-Ma’āni, 180.
62
Ibnu Qudamah al-Muqaddasi, al-Mughnī l Ibn al-Qudāmah (Riyadh: Maktabah
‘Askar, 620), 15.
63
Najat Ghiqali, Adabiyyāt al-Khiṭāb al-Nathri fī Kitābāt Ibnu Khaldūn, (Aljazair:
Jami’ah al Hajj, 2005), 33.
64
Bandar Rafid al-Enzi, Ibn Khaldun as a Critic (Riyadh: Jami’ah Sharq Ausaṭ,
2012), 22.
68
mendatang. Universitas al-Azhar Kairo sebagai tempat bernaung para ulama
tersebut pun mengusulkan agar menjadikan kutub al-turāts al-qadīm sebagai
rujukan keilmuan termasuk di dalamnya adalah kitab Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm.
Sekalipun demikian, karya asli al-Sakaki bukan berarti ditinggalkan melainkan ia
dijadikan rujukan besarnya, sehingga karya Khaṭib al-Qazwaini tersebut menjadi
lebih fenomenal dikalangan para ilmuwan bahasa.65
Ahmad Sayuthi Anshari
(2015 M) dalam karyanya Ilm al-Aṣwāt al-‘Arabiyyah mengungkapkan bahwa
secara historis ilmu bunyi dan makna sangat di ilhami oleh perkembangan ilmu
nahw. Hal tersebut menurutnya tampak pada karangan tokoh linguis terkenal
Bergestraser (1990 M) yang ia beri judul Tathawwur al-Naḥwi yang menjadi
salah satu literature ilmu bunyi yang banyak beredar di kalangan orang Arab.
Dan tentu saja perkembangan ilmu nahwu tersebut telah menjadi bahasan khusus
oleh al-Sakaki yang dijadikannya sebagai pengantar keilmuan menuju ilmu
balagah.66
Dan keilmuan tersebut tetap dipertahankan dan disempurnakan oleh
al-Qazwaini sebagai karya aslinya, yang akhirnya karya ini menjadi lebih
tawāzun (seimbang) antara kaidah dan rasa.
Masa al-Sakaki tersebut dikenal sebagai masa keemaasan Abbasiyyah
(Nahḍah al-‘Abbāsiyyah). Dimana kebudayaan Arab jauh dari perubahan
keadaan masyarakat Islam di luar negara-negara Arab. Selain itu, pada masa
tersebut dikenal juga dengan peristiwa percampuran kebudayaan Arab dengan
non-Arab (‘ajamī dan ‘arabī). Hal tersebut seiring dengan perluasan (ekspansi)
pemerintahan Islam di berbagai wilayah di Timur Tengah. Pengaruhnya generasi
campuran Arab dan non- Arab pun semakin tidak terkendalikan dengan berbagai
macam jenis dan bentuk keahliannya, sehingga keadaan semakin tidak terkendali
dari sisi kebudayaan. Salah satu dampak besarnya pada masa tersebut adalah
terjadinya persaingan keilmuan dan idelogi filsafat Islam. Hal yang sangat
mengagumkan di antara para generasi tersebut adalah al-Sakaki. Para ilmuwan
‘Arabī, merasa heran dengan kehebatan al-Sakaki dalam berbahasa padahal jelas
ia bukan dari golongan orang Arab. Hal tersebut tampak dari gaya bahasa al-
Sakaki yang santun dan lugas membuat para lawan bicaranya terkesima dan
penuh perhatian.67
Al-Sakaki wafat di dalam penjara saat menjalani hukuman, ia dihukum
karena dihadapkan dengan fitnah besar yang menyebabkann dirinya harus
meninggalkan jabatan dan pekerjaan pada kerajaan Sulṭan al-Arselan bin Ikaz di
Khawarizm. Ia wafat pada usianya yang ke-76 tahun, dan di makamkan di sebuah
kampung bernama Ātun Nām.68
Sekalipun, Abdul al-Quraishi menyebutkan
65Ali Ni’mah ‘Allamah al-Azhari, Sharḥ Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm li Imām al-Sakākī
(Kairo: Dār al-Qanāt, 2013), 66.
66
Ahmad Sayuti Anshari, Ilm al-Aswāt al-‘Arabiyah (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2010), 8.
67
Fauzan Muslim, Sastra dan Masyarakat Arab (Jakarta: penaku, 2016), 112 - 117.
68
Karena kemashurannya al-Sakaki dalam berwawasan global dan keintelektualannya
di berbagai bidang keilmuan Islam maupun bahasa. Ia telah dipercaya oleh Sulṭan untuk
menjadi seorang ulama di lingkungan kerajaan yaitu pada tahun 616 H - 623 H. Dalam
perjalanannya ia mendapatkan fitnah dari seorang menteri kerajaan Habashi Amid (639 H).
Hal tersebut bermula karena iri hati serta dendam yang disimpan oleh menteri kerajaan
69
dalam karyanya al-Jawāhir al-Mādiyyah fī Tabaqāt al-Ḥanafiyah menyebutkan
bahwa al-Sakaki wafat di desa al-Kindi provinsi al-Mali pada tahun 626 H.
Daerah tersebut menurut para ahli masih tergolong jauh dari tepat kelahirannya
di The Fergana Valley.69
D. Hidayat mengungkapkan bahwa mulai sejak itu hingga saat ini dunia
bahasa Arab telah kehilangan sosok yang santun dan lugas bahasanya itu. Tentu
saja jasa-jasa dan pengabdian keilmuannya khususnya bahasa Arab dan balagah
tidak akan pernah hilang dimakan usia.70
Pendapat yang senada dengan tokoh
bahasa Arab Indonesia Moh. Matsna HS (2015 M), ia menguatkan bahwa selama
al-Qur’an masih dibaca dan dipelajari, maka keilmuan balagah sangatlah penting
dan dibutuhkan. Itu sebabnya, Umar Ibnu Khaṭtab selalu menyemangati umat
Islam dalam perkataannya kepada para sahabat dan umumnya kepada umat ini;71
جزء من دينكم اتعلموا اللغة العربية فإهنArtinya:
“Belajarlah kalian bahasa Arab, karena ia bagian dari agamamu.”
Dengan demikian, sejarah perkembangan ilmu bahasa Arab khususnya
balagah tidak boleh berhenti pada masa al-mu’āṣirūn (fase modern) saja. Harus
ada para pemikir dan filsuf muslim yang mampu menkonstruksi kembali
keilmuan-keilmuan zaman dahulu agar terus dapat dikembangkan dan dirasakan
manfaatnya sesuai kebutuhan umat Islam saat ini dan generasi penerusnya dalam
mengkaji kitab suci-nya yaitu al-Qur’an al-karim.72
Itulah sebabnya, kemunduran pada dunia Islam akan semakin memberikan
kesempatan kepada dunia barat untuk menjajah Islam melalui keilmuan dan
penemuan-penemuan teknologinya yang semakin hari semakin canggih. Hal
tersebut disebabkan karena tokoh semisal al-Jurjani, al-Ghazali, al-Kindi, Ibnu
Sina dan Khawarizmi bahkan al-Sakaki semakin tidak kelihatan akan wujud dan
tanda-tanda kemunculannya. Dunia mencatat dalam sejarah Islam bahwa Islam
pernah menikmati masa keemasannya sejak tahun 750 M sampai 1258 M. Saat
tersebut, sehingga ia berulang kali melakukan serangan fitnah kepada al-Sakaki. Bahkan ia
pun berkata kepada sang raja “Kalau al-Sakaki telah mampu mencapai ke tahap ini maka
jangan heranlah kalau suatu saat nanti dia akan mampu merebut kuasa dari tuanku”.
Fitnahan tersebut pun termakan oleh raja El-Arselan bin Ikaz sehingga akhirnya pihak
kerajaan memenjarakan al-Sakaki selama tiga tahun lamanya. Banyak para tokoh dunia
muslim dan sastrawan yang merasa kecewa dengan keputusan raja mereka, karena tidak
melihat pokok permasalahan dengan adil dan bijaksana. Al-Sakaki seorang tokoh yang kuat
akan iman dan pribadinya sedikitpun tidak membuatnya merasa putus asa apalagi mereka
peristiwa tersebut adalah akhir dari segalanya. Lihat: Athaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan
Peranannya dalam Ilmu Balagah (Malaya: Dar Jami’ah Malaya, 2012), 62-63.
69
Qassim Abdullah Ibrahim dan Muhammad Abdullah Saleh, al-Mausū’ah al-
Muyassarah fī Tārīkh al-Islāmi, 212. 70
D. Hidayat, al-Balāghah li al-Jamī’ wa Shawāhid min Kalāmi al-Badī’ (Semarang:
PT. Karya Toha Putra, 2013), 88.
71
Moh. Mastna , Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemprer, 98. 72
Tammam Hassan, Kitab al-Uṣūl Dirāsah Epistīmūlūjiyyah li al-Fikri al-Lughawī
‘Inda al-‘Arab, 179.
70
itu kemajuan keilmuan bukan hanya terbatas pada sastra dan bahasa tetapi juga
berbagai keilmuan lainnnya seperti kedokteran dan matematika.
Fenomena Islam kini justru semakin jauh dari wujud nyatanya akibat para
generasinya kurang berjuang dalam menemukan berbagai ilmu yang baru dan
eksperimen keilmuan. Ironisnya kini yang menjadi tren perkembangannya adalah
ilmu umum, sedang yang kaitannya dengan al-Qur’an sebagai aqidah umat Islam
sangat minim dan bahkan semakin dijauhi dan cenderung hijrah darinya. Pada
akhirnya ilmu aqidahnya harus terus mengikuti zaman terdahulu.73
C. Karya Intelektual al-Sakaki
Sepanjang hidupnya, Sirajuddin Yusuf al-Sakaki (555 H-626 H/ 1160 M –
1230 M) telah berhasil mengekspresikan pemikirannya melalui beberapa kitab
antara lain, Kitāb al-Jumal, al-Tibyān, al-Ṭalsam dan Risālah fī Ilm al-Munādharah
dan Miftāḥ al-‘Ulūm.74
Selama proses penulisan karya-karyanya tersebut tidak
pernah melakukan pengembaraan dari luar wilayahnya sendiri. Namun, al-Sakaki
sangat tekun menemui para ulama yang datang ke daerahnya tersebut hanya sekedar
kenalan atau justru menanyakan beberapa hal tentang keilmuan-keilmuan yang ia
ingin tahu. Pada masa pengabdian keilmuannya, al-Sakaki pernah menemukan
beberapa kesulitan bagi para penutur non-Arab dalam menyusun struktur kalimat
yang benar sesuai kaidah Arab. Maka ia pun memutuskan untuk menuangkan
pemikirannya pada karyanya yang disebut dengan Kitāb Ṣarḥ al-Jumal (The
Eksplanatian of Language Structure).75
Kitāb Ṣarḥ al-Jumal ditulis oleh al-Sakaki di Khawarizm Republik
Uzbekistan pada tahun 590 H, ia berisi tentang al-naḥw yang berbicara tentang
teori-teori penting dalam penyusunan struktur-struktur kalimat dalam berbahasa
Arab yang lebih teoritis.76
Abdul Hamid Handuwi (1418 H) menambahkan bahwa
karya Kitāb Ṣarḥ al-Jumal yang ditulis oleh al-Sakaki adalah penjelasan dan
penjabaran pada karya Abdul Qahir al-Jurjani Kitāb al-Jumal.77
Al-Sakaki menuturkan bahwa dalam Kitāb al-Jumal tersebut perlu
penjelasan dan penjabaran akan lebih mudah dipahami maksud dan harapan al-
Jurjani. Al-Sakaki lebih cenderung menyebutnya sebagai ‘Ilm al-naḥw yang
berfungsi khususnya untuk menghindari kesalahan-kesalahan (laḥn) pada
penuturnya saat mengeluarkan lafal dari lisannya, disamping juga sangat membantu
dalam penulisan yang tepat. Menurutnya, tujuan berbicara adalah pahamnya
pendengar dari apa yang disampaikan oleh al-mutakallim (speaker), dan hal tersebut
tidak akan terjadi jika kalimat-kalimat yang disampaikan kurang mendapatkan
perhatian dari sisi penyusunan kalimat dan yang mudah dipahami. Dalam berbicara
73Bandar Rafid al-Enzi, Ibn Khaldun as a Critic (Riyadh: Jami’ah Sharq Ausaṭ,
2012), 22.
74
Ahmad al-Alawanah, al-Ulamā al-Arab al-Mu’āshirūn (Beirut: Dār al-Bashāir al-
Islāmiyah, 2011), 70.
75
Shauqi Ḍaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārīkh, 268.
76
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Ed) Abdul Hamid (Beirut: Dār Kutub al-Islāmiyah,
2000), 10. 77
Abdul Hamid Handuwi, Hayāt al-Sakākī wa Ṭalabuhu li al-‘Ulūm (Kairo: Dār
Kutub al-Islāmiyyah, 2014), Cet. 3, 17.
71
dua hal yang sangat penting diperhatikan yaitu (lawan bicara) أو املخطاب القابل dan
(subyek awal) أو املتكلم الفاعل . Di sisi lain, menurutnya adalah األثر (pengaruh), artinya
apapun yang telah disampaikan kepada lawan bicara haruslah mendapat perhatian,
sudahkah memiliki pengaruh atau belum dipahami oleh lawan bicara dari apa yang
telah diucapkan tersebut.78
Para murid-murid al-Sakaki menyambut baik karya Kitāb Ṣarḥ al-Jumal
karena menurut mereka sangatlah bermanfaat dalam hal taḥsīn al-kalimāt fī al-nuṭq.
Mukhtar Mahmud bin Muhammad al-Zahidi (670 H), murid al-Sakaki mengakui
kemudahan dalam proses belajar bahasa Arab dengan menjadikan Kitāb Ṣarḥ al-
Jumal sebagai rujukan utama dalam materi berbahasa Arab.79
Ia bahkan berkata
bahwa dengan karya tersebut ia dan beberapa teman sebangkunya sangat diilhami
rasa kemudahan dan kecintaan ketika mempelajari al-Qur’an karena telah memiliki
alat untuk mempelajarinya yaitu Kitāb Ṣarḥ al-Jumal. Para ulama masa tersebut
berpendapat bahwa Kitāb Ṣarḥ al-Jumal adalah awal dikenalnya al-Sakaki pada
bidang keilmuan secara akademik. Ia bahkan mengajarkan Kitāb Ṣarḥ al-Jumal
kepada para murid-muridnya dari satu masjid ke masjid yang lainnya. Setelah
selesai penulisan pada kitab ilmu nahwu tersebut, al-Sakaki pun menulis kembali
karya baru yaitu al-Tibyān dan al-Ṭalsam yang ditulis dengan bahasa persia.80
Malikah Aṭallah dalam penelitian tesisnya di Aljazair menyebutkan bahwa
kedua kitab tersebut saling berkaitan. Dimana al-Tibyān berisi pembahasan
keilmuan bahasa dengan tujuan menjelaskan hal-hal yang sulit dipahami dalam
memahami al-Qur’an dan al-hadis atau disebut sebagai (al-muṣṭalah al-‘arabiyyah).
Sebaliknya, Kitāb al-Ṭalsam berbicara tentang sesuatu yang al-mubham (yang
meragukan), ia mempertegasnya untuk sebuah keyakinan keilmuan dalam berbahasa
Arab, bahkan di dalamnya ia juga berbicara tentang al-haqīqah dan al-isti’ārah.
Menurutnya, kedua karya tersebut sangat jarang dikaji atau diungkap keilmuannya,
selain karena berbahasa persia yang sedikit terbatas, juga karena para ilmuwan
merasa lebih cukup kepada karyanya yang terakhir yakni Miftāḥ al-‘Ulūm.81
Karya al-Sakaki yang sangat fenomenal di kalangan para ilmuwan Islam
adalah Miftāḥ al-‘Ulūm sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Karya tersebut ditulis
oleh al-Sakaki pada awal abad sampai pada pertengahan abad ke-6 H yaitu pada
masa khilafah ‘Abbasiyyah.82
Dalam kitab Mu’jam al-Maṭbū’āt al-‘Arabiyyah wa
al-Mu’rābāt mencantumkan bahwa Miftāḥ al-‘Ulūm telah dicetak pertama kali di
Dār al-Kutub al-Ilmiyyah Sarkis Mesir pada masa khilafah Utsmaniyyah.83
78Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Ed) Na’im Zarzuri (Beirut: Dār Kutub Islāmiyah,
1983), 76.
79
Aṭaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah (Malaya: Dār
Jami’ah Malaya, 2012), 60.
80
Ibnu Samsul Huda, Sejarah Balāghah antara Ma’rifah dan Ṣinā’ah, Adabiyyāt Vol.
10, No.1, 2011), 27. 81
Malikah Aṭallah, ‘Ulūm al-Balāghah ‘Inda al-‘Ulwī al-Yamanī Baina al-Taqlīd wa
al-Taisīr wa al-Tajdīd (Aljazair: Jami’ah Qasidi al-Mirbah Press, 2010), 61.
82
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 17.
83
Yusuf Ilyas Ibn Musa, Mu’jam al-Maṭbū’āt al-Arabiyah wa al-Mu’rābāt (Mesir:
Dār Sarkis, 1928), 88 .
72
Al-Sakaki menulis Miftāḥ al-‘Ulūm karena adanya dorongan terhadap
keilmuan bahasa yang menurutnya haruslah lebih lengkap dan pembahasannya
disajikan secara menyeluruh, selain itu menurutnya perlu diklasifikasikan, sehingga
keseluruhannya tidak menyatu. Dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm, ia telah membagi
pembahasannya kepada ilm naḥw, ilm ṣarf, qāfiyah, arūḍ dan balāghah. Pada ilmu
balagah ia membaginya kepada tiga komponen keilmuan yaitu al-bayān, al-ma’āni
dan al-badī’. Miftāḥ al-‘Ulūm mempunyai peranan penting dalam menyebar luaskan
keilmuan balagah ke seluruh dunia.84
Para pakar balagah banyak yang memberikan
perhatian terhadap karya tersebut dengan berbagai macam cara, baik itu bentuknya
ringkasan, uraian atau hanya sekedar ulasan terhadap isi Miftāḥ al-‘Ulūm. Karya
tersebut sungguh telah mengharumkan nama pengarangnya di seluruh dunia.
M.A.S Abdul Halem (1984 M) menuturkan bahwa Miftāḥ al-’Ulūm adalah
ibarat pencerah terhadap keilmuan bahasa Arab. Hal tersebut menurutnya karena al-
Sakaki juga telah mengikuti perkembangan keilmuan balagah sebelumnya, sehingga
dalam pengamatannya ia pun melakukan sesuatu yang berbeda dengan ilmuwan
bahasa lainnya. Al-Sakaki meletakkan semua masalah dalam Miftāḥ al-‘Ulūm,
setelah memisahkan sebagiannya dengan sebagian yang lain dan meringkaskan kata
pada tempat yang sesuai, ia menjabarkan semua ini sesuai menurut aturannya, serta
mengemukakan bukti-bukti yang diperlukan dan mengekalkan apa-apa yang sesuai
menurut keilmuannya dari pendapat-pendapat ulama terdahulu. Lalu, ia memberi
keterangan dan bimbingan kepada bagian-bagian perbahasan yang kurang mendapat
perhatian para ulama terdahulu. Maka Ibn al-‘Aṭir (637 H) dan Zarkashi (794 H)
menyimpulkan bahwa jasa terbesar dari karya al-Sakaki yang sangat berpengaruh
dalam perkembangan ilmu bahasa Arab adalah Miftāḥ al-‘Ulūm (The Key to
Sciences).85
D. Pemikiran Balagah al-Sakaki Kontinuitas dan Perubahan
Imam al-Sakaki selain sebagai seorang sastrawan terkenal pada fase al-
Mu’āṣirūn (kontemporer) yang karena hasil pemikirannya terhadap ilmu balagah
mencapai pada puncak kejayaannya. Disisi lain, ia juga merupakan ahli dalam
bidang ilmu akidah (al-kalām) aliran mu’tazilah. Shawqi Ḍaif menuturkan bahwa
pada masa kehidupan al-Sakaki di kawasan Khawarizm telah dikuasai oleh paham
mu’tazilah. Paham ini mempengaruhi pola pikir ulama yang hidup di kawasan
tersebut, terutama dalam bidang teologi termasuk menurutnya juga al-Sakaki.
Senada dengan yang disampaikan oleh Mahfudz Shiddiq (2013 M) bahwa
lingkungan dan pengaruh paham mu’tazilah yang berkembang di kawasan tersebut
telah melahirkan banyak ulama ternama di berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Sebelum kehadiran al-Sakaki, misalnya ulama mashur sebelumnya seperti Abdul
Qahir al-Jurjani juga termasuk penganut aliran yang sama.
Ibadah keseharian al-Sakaki dalam praktek ilmu fiqh dan usul fiqh, ia lebih
terkenal sebagai pengikut aliran madzhab Ḥanafī. Menurutnya, antara madzhab
84Athaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah, 64.
85M.A.S. Abdul Haleem, Grammatical Shift For Rhetorical Purposes: Iltifat and
Related Features In The Qur'an (London: School of Oriental and African Studies Press,
2001), 410.
73
mu’tazilah dan hanafiyah lebih tepatnya harus dipelajari dan diamalkan keduanya.
Sebab, menurut al-Sakaki cara pandang madzhab mu’tazilah dalam bertauhid jauh
lebih kuat dan meyakinkannya karena menempatkan Tuhan semesta alam sebagai
penguasa yang satu-satunya tanpa disertai oleh apapun, sehingga jauh dari prilaku
syirik dan mempercayai aliran sesat lainnya. Al-Sakaki dalam beberapa karyanya,
misalnya pada karya Miftāḥ al-‘Ulūm, ia sering kali mengaitkan contoh-contah ayat
dari al-Qur’an yang berhubungan langsung dengan konsep ketuhanan dan keadilan.
Dalam muqaddimah karya Miftāḥ al-‘Ulūm, al-Sakaki menegaskan bahwa
karya tersebut ia lakukan adalah sebagai upaya untuk meluruskan pemahaman
bahasa dan menegakkan sebuah dasar keilmuan bahasa dengan tujuannya amar al-
ma’rūf dan nahi munkar.86
Begitu juga pada bab 1 dalam buku tersebut tampak
ungkapan bahasa al-Sakaki sangat mencolok pahamnya yang mengikuti rasionalitas
akalnya seperti aliran mu’tazilah, ia berkata: 87
مذهبنا، واخللفاء الراشدون نبينا، واإلسالم ديننا، والتوحيد والعدل صلى اهلل عليه وسلم اهلل إهلنا وحممد أئمتنا، والناصر لدين اهلل خليفتنا، والدعاء له والثناء عليه وظيفتنا.
Artinya:
“Allah adalah Tuhan kami dan Muhammad صلى هللا عليه وسلم adalah Nabi
Kami, Islam adalah agama kami, Tauhid dan keadilan adalah madzhab
kami, Khulafa al-Rasyidin pemimpin kami, penolong agama Allah adalah
khalifah kami, sedangkan do’a dan pujian kepada-Nya adalah tugas kami”.
Tammam Hassan menyimpulkan bahwa konsep aliran Mu’tazilah adalah
sama dengan kalimat di atas, dimana ada 5 teologi penting (al-Uṣūl al-Khamsah),88
yaitu: 1). al-Tauhīd, 2). al-‘Adl, 3). al-Wa’du wa al-Wa’īd, 4). al-Manzilah baina al-
Manzilataini, 5). al-Amru bi al-Ma’rūf wa al-Naḥyu bi al-Munkar.
86
Sirajuddin al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), 7. 87
Aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam, yang menjadikan pemikiran
rasional dalam segala hal, khususnya dalam menjelaskan masalah ketuhanan. Secara
epistemologi pemikiran rasional tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat. Dalam
prakteknya aliran ini mengagungkan metode berfikir filsafat untuk menjelaskan dan
menetapkan persolan ketuhanan. Ia memiliki pandangan bahwa Tuhan telah memberikan
kemerdekaan dan kebebasan (al-ḥurriyah) bagi manusia dalam menentukan kehendak dan
perbuatannya, karena Tuhan tidaklah ijbārī (absolute) dalam memaksakan kehendak-Nya.
Menurut Mu’tazilah, Tuhan mempunyai untuk kewajiban berlaku adil dan bijaksana,
menempati janji, memberi rizki, menjaga dan melindungi para hamba-hambanya. Maka
dalam hubungannya dengan perbuatan manusia, kehendak mutlak Tuhan jadi terbatas karena
kebebasan itu telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan
kehendaknya, sehingga mu’tazilah memposisikan manusia dalam tatanan alam semesta
memiliki pandangan tersendiri. Manusia harus berhubungan dengan alam, dan tidak dapat
menghindarkan diri dari ketentuan-ketentuan yang berlaku berdasarkan hukum alamiah. Jika
dikaitkan dengan paham free will dan free act, sudah menjadi perdebatan panjang dikalangan
teologi Islam. Lih. Zulhelmi, Epistemologi Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya Terhadap
Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal Filsafat, Vol. 14, No. 2, Desember
2013, 119. 88
Tammam Hassan, Kitab al-Uṣūl, 77.
74
Abdul Jabbar Ibn Ahmad (1996 M) menuturkan bahwa kelima ide teologi
tersebut berdasarkan ajaran Islam dari al-Qur’an dan pikiran. Ia juga menambahkan
dengan dasar ajaran tersebut maka mu’tazilah sangat kritis terhadap al-hadis, dan
sumber pemikiran para sahabat dalam setiap tahapan penafsiran al-Qur’an maupun
al-hadis sebagai kedua sumber ajaran Islam. Mu’tazilah sebagai aliran yang
sepenuhnya meyakini kemampuan akal, ide-ide pemikiran mereka sangat banyak
dipengaruhi oleh cara berifikir kritis dan filsafat dari Yunani khususnya Aristoteles
(322 SM) dan Plato (347 SM). Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya
kedua tokoh filsafat tersebut adalah selalu mengagungkan akal dalam memperoleh
ilmu, sehingga tidak mengherankan keduanya tergolong kaum rasionalis.89
Plato adalah seorang pengikut setia Socorates, ia pernah mengungkapkan
intelektual rasionalitasnya bahwa semua pengetahuan sesungguhnya sudah ada
dalam pikiran manusia sehingga apapun yang keluar ke dalam dunia nyata adalah
sebagai tiruan apa yang ada dalam ingatan manusia. Menurutnya, jiwalah yang
mampu menghubungkan antara pengetahuan dan alam nyata tersebut. Bahkan Plato
mengkritik ungkapan bahwa pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan inderawi,
yang sumbernya adalah pengamatan atau pengetahuan inderawi itu sendiri. Sebab
menurutnya, dunia panca indra hanya merupakan cermin dari dunia ide. Selanjutnya
Plato menyimpulkan manusia bersifat dualistik yaitu unsur tubuh (benda) dan jiwa
(ide-ide). Jiwa merupakan bagian dari ide, sedangkan tubuh dari dunia yang bersifat
fana. Keyakinan pada keberadaan jiwa dan ide tersebutlah yang membawa Plato
kepada penyusunan metode dalam mendapatkan pengetahuan (epistemologi), di
mana ia mengembangkan metode deduktif dan cara berfikir yang dimulai dari
premis-premis umum kemudian diperoleh sebuah kesimpulan yang tidak melampaui
premis-premis mayornya.90
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles bahwa ia tidaklah
mengajarkan materi dan bentuk yang dapat dilihat atau bersifat individual,
melainkan sebagai prinsip-prinsip metafisis saja. Materi dan bentuk harus
diandaikan, bukan harus dilihat dan bersifat individual. Bentuk-bentuk yang
dimaksud oleh Aristoteles tersebut dianggap sebagai ide-ide (yang sudah ada dalam
pikiran manusia) yang sudah pindah ke dalam benda-benda konkrit dalam alam
nyata.
Dengan demikian aliran mu’tazilah sangatlah menjunjung tinggi cara
berfikir yang logis sebagaimana cara berfikir yang dikemukakan oleh Aristoteles
dan Plato. Kesesuaian cara padang aliran Mu’tazilah yang menjadi madzhab al-
Sakaki keduanya sama-sama menekankan pada akal budi (rasio) sebagai sumber
utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari
pengawasan inderawi. 91
Abdul Aziz dalam hasil penelitiannya yang berjudul Epistemologi Islam:
Analisis Kritis Pemikiran al-Ghazali, menambahkan bahwa hanya pengetahuan
yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah.
89
Abdul Jabbar, Sharḥ al-Uṣūl al-Khamsah (Kairo: Maktabah Wahbah, 196), 22-25. 90
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat (Jakarta: rajawali Press, 2014), 102-104. 91
Lores Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 929.
75
Adapun menurutnya pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan
yang dipakai oleh akal, sehingga akal tidak memerlukan pengalaman seperti kaum
empirisme. Sebaliknya, akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu
atas dasar asas-asas pertama yang pasti.92
Berdasarkan pemahaman dan cara berifikir tersebut Khaṭib al-Qazwaini pun
semakin meyakini bahwa al-Sakaki dalam kehidupannya dan pola penyusunan karya
ilmiahnya pada Miftāḥ al-‘Ulūm pasti banyak dipengaruhi oleh alasan-alasan
rasional, karena aliran yang dimilikinya sangatlah mendewakan kemampuan
logika.93
Keyakinan tersebut sependapat dengan ungkapan Sukron Kamil (2013 M)
dalam karyanya Najib Mahfudz, Sastra Islam dan Politik Studi Semiotik terhadap
Novel Aulād Ḥāratinā mengatakan bahwa sebuah karya ilmiah pasti memiliki nilai-
nilai moral yang dapat diambil sebagai pelajaran dan pengalaman kehidupan, baik
yang berhubungan langsung dengan pengarangnya, gaya bahasa, sosial budaya
bahkan kampung halaman kehidupannya.94
92
Abdul Aziz, Epistemologi Islam: Analisis Kritis Pemikiran al-Ghazali (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2017), 55
93Abbas Baidhun, Istidrākāt al-Khaṭib ‘Alā al-Sakākī, 78.
94Sukron Kamil, Najib Mahfudz, Sastra Islam dan Politik Studi Semiotik terhadap
Novel Aulād Hāratinā (Jakarta: Dian rakyat, 2013), 420-423.
76
Selalu ada keindahan dalam setiap masalah.
Itu adalah salah satu cara kita belajar
Kecantikan bukan di wajah, melainkan cahaya yang keluar dari dalam hati
Kahlil Gibran Seorang Penyair Fenomenal asal Lebanon
77
BAB IV
EPISTEMOLOGI MIFTÂH AL-‘ULÛM
Pada bab keempat ini penulis akan menjelaskan tentang epistemologi Miftāḥ
al-‘Ulūm, diawali dari analisis Miftāḥ al-‘Ulūm mulai dari sisi karakteristiknya
sebagai buku balagah pertama hingga apresiasi dan kritikan terhadap karya tersebut.
Miftāḥ al-‘Ulūm yang fenomenal dan tergolong sebagai karya pertama tersebut telah
meraih popularitas tinggi dan sangat disukai oleh para pelajar. Ia dan pengarangnya
telah mendapat tempat yang tinggi di kalangan para penulis dalam bidang bahasa
Arab, baik itu di kalangan ‘arabī maupun ‘ajamī. Karya tersebut telah menyebar
laus ke berbagai pelosok daerah-daerah di luar Khawarizm. Dan telah dipelajari di
madrasah-madrasah kerajaan Islam Abbasiyah, Mamlukiyah dan Utsmaniyah di
benua Asia, Afrika bahkan sampai Eropa.
Mahmud al-Sayyid al-Daghim (1989 M) menegaskan bahwa Miftāḥ al-
‘Ulūm telah dicetak sejak zaman kerajaan Islam Utsmaniyah sebagaimana yang
termaktub di dalam Mu’jam al-Maṭbū‘at al-‘Arabiyyāt wa al-Mu‘arrabāt yang
diambil dari percetakan Sarkis di Mesir pada tahun 1346 H. Miftāḥ al-‘Ulūm karya
al-Sakaki tersimpan rapi di museum Irak dan dianggap sebagai manuskrip asli dari
keseluruhan 11 manuskrip, ia diambil dari salinan pengarang pada tahun 703 H.1
Tidak heran jika para peneliti terus berusaha menggali keilmuan - keilmuan yang
ada di dalamnya. Diharapkan setelah menjelaskan analisis buku tersebut akan
diperoleh kerangka teori yang dibangun oleh al-Sakaki selama proses mengarang
Miftāḥ al-‘Ulūm, hingga akhirnya menjadi karya fenomenal di kalangan para ulama
bahasa di Khawarizm dan sekitarnya. Bahkan karya tersebut menurut seorang tokoh
Khawarizm Mahmud al-Sayyid al-Daghim telah mampu mendongkrak nama
daerahnya dan mudah dikenal oleh dunia Islam maupun Barat. Sebutan Khawarizm
hingga kini sekalipun telah berubah nama menjadi negara Uzbeskistan2 nama
tersebut masih sangat membekas di banding nama sekarang, karena peradaban dan
keilmuan Islam telah banyak muncul dari daerah tersebut hingga dikenal oleh dunia
global yang ketika itu masih bernama Khawarizm. Kehadiran al-Sakaki telah
mengharumkan dan mengabadikan nama dan negaranya sendiri.3
Selain itu, dalam bab ini penulis juga akan membahas dan mengungkapkan
empirisme, rasionalisme dan intuisionisme yang menjadi landasan keilmuan al-
Sakaki dalam mengarang Miftah al-‘Ulūm. Diharapkan akan tampak teori pemikiran
dan tujuan mulia yang diinginkan oleh al-Sakaki. Adapun pada akhir bab ini, penulis
akan memberikan apresiasi epistemologi terhadap Miftāḥ al-‘Ulūm.
1Fadhil Sholeh Samarai, Balāghah al-Kalimah fī Ta’bīr al-Qur’ānī (Kairo: Shirkah
al-Atīk, 2006), 95. 2Uzbekistan adalah negara Asia Tengah dan bekas republik Sovyet dan sebelumnya
disebut dengan negara Khawarizm. Negara tersebut sangat dikenal dengan masjid-masjid,
negara muslim dan situs-situs lain yang terkait dengan Silk Road atau jalur perdagangan
kuno antara China dan Laut Tengah. Samarkand, sebuah kota besar yang kini menjadi
ibukota Uzbekistan yang berada di jalur tersebut, corak kotanya sangat tampak arsitektur
Islamnya. Lih; https://en.wikipedia.org/wiki/ Uzbekistan (Diakses 04 September 2017). 3Lale Behzadi, Categories of Proper Language in Classical Arabic Literature, Studia
Orientalia Helsinki Filandia, Vol. 111, No. 2, April 2011, 24.
78
A. Deskripsi Umum Miftāḥ al-‘Ulūm
Miftāḥ al-‘Ulūm merupakan karya al-Sakaki yang sangat fenomenal hingga
detik ini sebagaimana penjelasan sebelumnya. Karya tersebut pernah dijadikan
sebagai bacaan wajib bagi para mahasiswa/i pada tahun 1899 M yaitu ketika
Muhammad Abduh menjabat sebagai Rektor al-Azhar Kairo Mesir setelah buku al-
Jurjani yang berjudul Dalāil al- I’jāz dan Asrār al-Balāghah.4
Miftāḥ al-‘Ulūm terdiri dari 846 halaman dan penulisannya diselesaikan
oleh al-Sakaki selama 22 tahun yang dimulai sejak awal abad ke- 6 H dan selesai
pada pertengahan abad tersebut yaitu pada masa khilafah Abbasiyah. Adapun
pencetakan pertama secara besar-besaran dilakukan di percetakan Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah Beirut ibu Kota Lebanon pada tahun 1983 M, kemudian disebar luaskan
ke berbagai perguruan Islam termasuk Kairo Mesir. Sedangkan cetakan kedua
setelah mengalami revisi penulisan dilakukan pada tahun 1987 M di percetakan
yang sama. Karya tersebut merupakan karya al-Sakaki yang terbaik sebelum
wafatnya pada 626 H di daerah Valley Khawarizm.5
Al-Sakaki telah membagi Miftāḥ al-‘Ulūm kepada tiga bagian besar
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu bagian pertama tentang ilmu
ṣarf, kedua tentang ilmu naḥw, dan ketiga tentang ilmu balāghah. Adapun pada
bagian terakhir ilmu balagah, al-Sakaki menulis kajian khusus tentang ilmu sya’ir,
faṣāhah dan qāfiyah. Sekalipun demikian, keseluruhan kajian Miftāḥ al-‘Ulūm titik
utama kajiannya adalah tentang ilmu balagah. Hal tersebut karena porsi
pembahasannya lebih besar dan meluas. Adapun kedua cabang ilmu sebelumnya
menurutnya adalah sebagai pondasi utama menuju ilmu yang lebih tinggi derajatnya,
dalam hal ini adalah ilmu balagah.6
Linguis asal Finlandi Lale Behzadi (2011 M) memberikan gambaran singkat
mengenai Miftāḥ al-‘Ulūm. Ia menyebutnya sebagai teori di atas teori berbahasa
Arab, menurutnya Miftāḥ al-‘Ulūm adalah kunci teori terpenting bahasa Arab yang
tidak ditemukan pada semua karya bahasa lainnya yang lebih lengkap dan mudah
dipahami selain Miftāḥ al-‘Ulūm. Dikarenakan hal tersebutlah akhirnya Miftāḥ al-
‘Ulūm seringkali diedit dan diresume oleh para tokoh linguis lainnya khususnya
Khathib al-Qazwaini (739) yang dikenal dengan judul bukunya Talkhīs Miftāḥ al-
‘Ulūm.7
Adapun menurutnya linguis sebelumnya belum bisa dikatakan sebagai
bapak balagah karena Asrār al-Balāghah (Secrets of the Art of Rhetoric) masih
tampak banyak berbicara tentang al-Faṣāḥah.8 Padahal al-Sakaki meletakkan
pembahasan al-Faṣāḥah berada pada bagian terakhir setelah ilmu al-badī’, yaitu
yang berbicara tentang keindahan makna dan lafal kata. Peletakan kajian tersebut
4Muhbib Abdul Wahab, Mengenal Pemikiran Linguistik Al-Jurjani Dalam Dalâil Al-
I’jâz, Arabiyat Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaaraban, Vol. 1, No. 1, Juni
2014, 9. 5Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm (Ed) Abdul Hamid Handuwi, 15.
6Jalaluddin Muhammad Khaṭib al-Qazwaini, Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm (Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1303 H), 4 7Lale Behzadi, Categories of Proper Language in Classical Arabic Literature, 22.
8Lale Behzadi, Categories of Proper Language in Classical Arabic Literature, 25-34.
79
bertujuan sebagai akhir dari pembahasan yang diinginkan oleh al-Sakaki.9 Kajian
terhadap Miftāḥ al-‘Ulūm memberikan nuansa keilmuan yang beda karena memiliki
tingkatan yang berjenjang menuju kepada puncaknya.
Lebih lanjut, Aṭaillah Junaidi dalam hasil penelitian disertasinya tentang al-
Sakaki dan Peranannya dalam Perkembangan Ilmu Balagah, menyebutkan bahwa
al-Sakaki adalah pengarang karya bahasa terbaik yakni Miftāḥ al-‘Ulūm dalam
sejarah dunia Islam. Menurutnya, karena sekalipun Abdul Qahir al-Jurjani dan Ibnu
al-Mu’tazz telah menggagas keilmuan balagah pertama kali. Namun, mereka belum
merincikan pembagiannya dengan baik, apalagi susunan dan tingkatan keilmuan
balagah belum terwujud seperti sekarang ini, sehingga karya-karya tersebut
dikategorikan sebagai bagian dari kajian ilmu balagah. Maka hadirnya Miftāḥ al-
‘Ulūm seperti yang kita nikmati saat ini adalah hasil konstruksi dan pendalaman
yang dilakukan oleh al-Sakaki.10
Metodologi yang digunakan oleh al-Sakaki pun
dalam proses mengarang karya tersebut adalah dengan metodologi taqrīrī. Al-
Sakaki selalu berusaha memberikan penjelasan yang cermat pada setiap bagiannya
agar mudah dipahami dan dicerna maksudnya. Salah satu khas karya tersebut adalah
muatan definisi dan penjelasan pada setiap awal pembahasan cabang keilmuannya.11
Secara terperici kajian yang terdapat pada Miftāḥ al-‘Ulūm mencakup
keilmuan ṣarf, naḥw, ma’āni, bayān, badī’, syi’r, faṣāḥah, manṭiq, ‘arūḍ dan
qāfiyah. Semua cabang ilmu tersebut adalah hasil dari analisa dan pengamatan al-
Sakaki terhadap kebutuhan di dalam mempelajari ilmu sastra Arab, khususnya ilmu
balagah. Itulah sebabnya, Badruddin Malik (686) dan Khathib al-Qazwaini (739)
sekalipun memberikan beberapa kritikan tetapi pada intinya mereka memuji kajian
yang telah dilakukan oleh al-Sakaki terlebih pengklasifikasian keilmuannya,
sehingga menurut para ahli dan peneliti bahkan penerusnya akan lebih mudah
mengikuti dan mempelajari ilmu balagah berkat jasa dan kecerdasan al-Sakaki.12
Tercatat dalam sejarah bahwa tidak sedikit ulama yang memberikan
apresiasi dan rasa kagum yang besar terhadap kajian ilmu balagah yang telah
dibangun oleh al-Sakaki. Sekalipun tidak jarang di antara mereka ada yang
mengatakan bahwa jika ada sedikit demi sedikit kekeliruan atau kesalahan adalah
hal yang wajar terjadi sebagai manusia yang tempatnya salah dan lupa. Namun, satu
hal yang mereka jadikan pegangan bahwa kajian di dalamnya tentu bukan perkara
yang mudah diformulasikan, apalagi sekaliber al-Sakaki yang mengawali proses
belajarnya terhadap sastra setelah usia 30 tahun. Latar belakang hidupnya tersebut
menjadi nilai apresiasi yang tinggi di saat ia mampu mewariskan sebuah ilmu yang
bermanfaat untuk generasi penerusnya.13
Di samping itu, para pengkritik (al-munqidūn) juga banyak bermunculan
karena menurut mereka al-Sakaki hanya sibuk kepada penjelasan-penjelasan yang
terkesan dipaksakan serta pengklasifikasian yang menurut sebagian ulama tidak
9Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm (Ed) Abdul Hamid Handuwi, 6.
10Athaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah, 232.
11Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Beirut: Dar Kutub al-Islamiyah, 1986), 4.
12Badruddin Malik, al-Mishbāh fī al-Ma’ānī wa al-Bayān wa al-Badī’ (Kairo:
Maktabah al-Adab Ali Hussein, t.t.), 27.
13
Shauqi Ḍaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārikh, 301.
80
dibutuhkan. Para peneliti modern ilmu balagah termasuk al-Mubarrid, Tammam
Hassan dan Chomsky telah memberikan jalan tengah atas perdebatan tersebut
sebagaimana disarankan oleh Athaillah dalam penelitiannya agar menjadikannya
sebagai rujukan utama dan melakukan penyempurnaan yang dianggap kurang
seperti yang dilakukan oleh al-Qazwaini.14
B. Karakteristik Miftāḥ al-‘Ulūm
Para ulama hampir di seluruh madrasah di dunia merasa sangat surprise atas
pembahasan yang disajikan oleh al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm.
Menurut mereka penulisan dan pembahasan ilmu balagah yang sebelumnya seperti
Asās al-balāghah karya Zamakhsyari, Kitab al-Shinā’ataini karya Abu Hilal al-
Askari, Kitāb Sirr al-Faṣāhāt karya Ibn Sinan al-Khafajī, Asrār al-Balāghah dan
Dalāil al-I’jāz karya Abdul Qahir al-Jurjanjī atau bahkan yang semasa dengannya
belum pernah ditemukan selengkap Miftāḥ al-‘Ulūm.15
Adapun beberapa
pembahasan ilmu balagah yang muncul setelah Miftāḥ al-‘Ulūm seperti Talkhīs
Miftāḥ al-‘Ulūm karya Khaṭib al-Qazwaini, Jamharah al- Balāghah karya Ahmad
Mathlub, Bughyah al-Idhāh li Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm karya Abdul Muta’ali al-
Sha’idi keseluruhannya tidak lebih dari membahas ulang karya al-Sakaki tersebut
dan menjadikan Miftāḥ al-‘Ulūm sebagai obyek pembahasan semata. Maka tampak
jelas di antara keistimewaan Miftāḥ al-‘Ulūm karya al-Sakaki tersebut selain ia
memulainya dengan pembahasan ilm ṣarf dan naḥw, di dalamnya dikhususkan
pembahasan tentang ilmu balagah, ia membaginya kepada ilm al-ma’āni, al-bayān
dan al-badī’ dan telah merincikannya dengan baik berikut dengan faṣl- faṣl- nya.
Para peneliti penerusnya pun telah tergugah rasanya untuk menemukan
sebuah keilmuan dan gaya penulisan karya sastra baru berkat karya al-Sakaki.
Mereka memiliki motivasi dan harapan baru bahwa setiap ilmu pasti bisa
dikembangkan seperti harapan al-Sakaki dalam penutupan muqaddimah karyanya.
Kehadirannya tidak hanya menjadi karya pedoman ilmu balagah saja, melainkan
juga sebagai kunci perangsang (miftāḥ al-nahḍah) keilmuan berikutnya agar umat
ini tidak terus tertinggal sebagaimana penjelasan sebelumnya.16
Mustafa al-Maraghi dalam kitabnya Tārīkh ‘Ulūm al-Balāghāt wa al-Ta‘rīf
bi Rijālihā dalam muqaddimahnya ia berkata: “Kita tidak pernah tahu bahwa
sebelum al-Sakaki ada yang mengklasifikasikan ilmu faṣahat kepada tiga bagian
penting seperti yang kita lihat pada hari ini, baik dalam bentuk lisan maupun dalam
bentuk tulisan. Kontribusi tersebut sangat besar faedahnya dalam keberlangsungan
ilmu bahasa Arab untuk memahami al-Qur’an.”17
Abdul Hamid Handuwi pada saat
memberikan tahqīq dalam kitab Miftāḥ al-‘Ulūm, ia bahkan mengungkapkan rasa
harunya pada keistimewaan Miftāḥ al-‘Ulūm dengan kalimatnya:
14
Muhbib Abdul Wahab, Mengenal Pemikiran Linguistik al-Jurjani Dalam Dalâil al-
I’jâz, 11. 15
Jamil Abdul Majid, Balāghah al-Naṣ Madkhal Nadhrī wa Dirāsah Taṭbīqiyyah
(Kairo: Dār Gharib, 1999), 44.
16
Shawqi Ḍaif, al-Balāghah Taṭawwur wa Tārikh, 301. 17
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tārīkh ‘Ulūm al-Balāghāt wa al-Ta‘rīf bi Rijāliha
(Kairo: Dār al-Ma’rifah, 2002), 33.
81
فإن مفتاح العلوم للسكاكي كتاب سارت به الركبان يف مشارق األرض ومغارهبا، وال يزال إىل يومنا ،وبعد هناية املطاف، وغاية السالك. تربونههذا عمدة الدارسني يف البالغة العربية، يع
Artinya:
“....dan seterusnya, Miftāḥ al-‘Ulūm karya al-Sakaki bagaikan buku berjalan
di timur dan di barat, hingga saat ini ia terus menjadi rujukan para pelajar
dalam mempelajari ilmu balagah, mereka mempelajarinya sampai tujuan
dari akhir perjalanan keilmuan mereka.” 18
Senada dengan al-Maraghi, al-Sayuti mengungkapkan bahwa al-Sakaki
adalah seorang yang sangat alim, mahir dalam berbagai bidang ilmu, terutamanya
dalam bidang ilmu ma’ānī, bayān, dan badī’. Ia juga menambahkan bahwa semasa
riwayat hidupnya yang ditulis oleh Siraj al-Din al-Bulqaini (1403 H) menuturkan
bahwa al-Sakaki adalah imam dalam bidang ilmu naḥw, ṣarf, istidlāl,’arūḍ dan
puisi, bahkan ia juga memiliki kepakaran dalam bidang ilmu logika (‘ilm manṭiq)
dan banyak lagi bidang ilmu yang ia kuasai.19
Padahal jika ditelisik ulang, al-Sakaki
adalah seorang tokoh yang perjalanan keilmuannya dimulai setelah usia dewasa.
Namun, kenyataannya menurut para ulama pada masanya, keadaan tersebut tidak
menjadi penghalang bagi al-Sakaki untuk bersaing dan dikenal oleh ilmuwan
lainnya, lebih dari itu bahkan saat ini ia justru dikenal sebagai bapak ilm balāghah.20
Kondisi tersebut semakin meyakinkan para generasi umat Islam ini bahwa
segala hal yang tidak mungkin bisa saja terjadi selama memiliki upaya dan niat yang
kuat seperti yang dicontohkan oleh al-Sakaki. Sebab, ia juga berangkat dari
seseorang yang tidak mengetahui apa-apa apalagi tentang ilmu sastra, namun kerja
keras dan kecintaannya terhadap bahasa Arab membawa mengarak karya sekaliber
Miftāḥ al-‘Ulūm.
Dalam muqaddimah Miftāḥ al-‘Ulūm al-Sakaki berkata:
ميزت البعض عن البعض، التمييز املناسب، وخلصت أن "وما ضمنت مجيع ذلك كتايب هذا إال بعد ما أصوال الئقة، وأوردت حججا مناسبة، الكالم على حسب مقتضى املقام هنالك، ومهدت لكل من ذلك
السلف، قدس اهلل أرواحهم، بقدر ما احتملت من التقرير، مع اإلرشاد إىل وقررت ما صادفت من آراء "ضروب مباحث قلت عناية السلف هبا، وإيراد لطائف مفتنة ما فتق أحد هبا رتق.
Artinya:
“Tidaklah saya meletakkan semua masalah itu dalam kitab ini, melainkan
setelah saya memisahkan sebagian dari sebagian yang lainnya, dengan
pemisahan yang tepat dan saya ringkaskan pembicaraan pada tempat yang
sesuai, dan telah saya sajikan semua ini secara bertahap dengan menunjukkan
bukti-bukti yang tepat, dan saya abadikan apa-apa yang saya setujui dari
18Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), 6.
19Taufiq al-Fil, Balāghah al-Tarākīb Dirāsah fī 'Ilm al-Ma’ānī (Kairo: Maktabah al
Adab,t.t.), 127. 20
Gilbert Cangy, Pathfinder Honor Book (Amerika: General Conference Ministries
Departement, 2014), 8.
82
pendapat-pendapat ulama yang terdahulu. (semoga Allah mensucikan ruh
mereka), saya lakukan dengan kemampuan yang saya miliki untuk memberi
keterangan pada bagian-bagian bahasan yang kurang mendapat perhatian para
ulama terdahulu, serta untuk menunjukkan kelembutan yang tulus yang indah
di dengar oleh telinga.” 21
Pernyataan al-Sakaki tersebut telah membuktikan usaha kerasnya dalam
ketelitian dan ketekunannya untuk mengembangkan ilmu bahasa Arab khususnya
ilmu balagah. Al-Sakaki seorang yang tawādu’ karena tidak melupakan para
ilmuwan sebelumnya, ia juga menyadari bahwa para ulama terdahulu telah
memberikan kontribusi keilmuan yang besar terhadap pengetahuan yang ia miliki.
Sebab, menurutnya adanya kita sekarang adalah juga karena sosok mereka yang
memberikan kita bekal dahulu. Sedangkan kondisi dan usaha hari ini menurutnya
akan memperkenalkan kepada dunia siapa kita esok hari. Abdul Salam Yassin (1438
H) bahkan mensinyalir bahwa kemajuan dan kemuduran umat Islam ini salah
satunya dinilai dari produktifitas umatnya. Dengan demikian sudah semestinya lah
umat Islam ini lebih cerdas memikirkan perbekalan keilmuan yang cukup untuk
generasi setelah dirinya sendiri.22
Maka pada bagian ini penulis akan mengungkap beberapa karekteristik yang
membedakan Miftāḥ al-‘Ulūm dengan karya – karya ilmu balagah pra dan pasca al-
Sakaki, sebagiamana berikut ini;
1. Miftāḥ al-‘Ulūm terbagi kepada tiga komponen keilmuan
Miftāḥ al-‘Ulūm terdiri dari tiga komponen keilmuan penting yaitu ilm naḥw
(sintaksis), ṣarf (morfologi) dan balāghah (stilistika). Ketiga komponen tersebut
menurut L. Zemenhof (1980 M) disebut sebagai petunjuk teknik berbahasa Arab.
Ia menegaskan bahwa bahasa akan tercipta di saat ada unsur – unsur yang
melekat dalam susunan bahasa tersebut. Menurutnya tata bahasa terpenting selain
bunyi dan makna adalah gramatikal dan retoriknya agar bahasa memiliki sense
yang menarik.23
Banyak ahli mengemukakan bahwa speech sound (أصوات الكالم) yang mengatur bunyi dan keluar masuknya susunan sebuah kalimat bahasa telah
menjadi konsep penting dalam sebuah ucapan lisan maupun tulisan.24
Ahli
linguistik membagi bahasa ke dalam tiga unsur utama (unsur mikro) yaitu; unsur
bunyi, unsur struktur dan unsur makna.25
Ahmad Sayuti Anshari (2015 M) meyakinkan bahwa bunyi yang merupakan
bagian dari unsur mikro bahasa adalah bagian yang paling utama dalam bahasa.
Sebab, komunikasi lisan tidak akan terlaksana apabila tidak ada bunyi yang
21Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 37.
22Abdul Salam Yassin, al-Islāmu Ghadan: al-‘amal al-Islāmi wa Ḥarakiyyah al-
manhaj al-Nabawi fi Zaman al-Fitan (Maroko: al-Manshûrat al-Maghribiyyah, 1973), 441. 23
Chairns, Helen S. and Chairns, Charles E., Psycholinguistic A Cognitive Vew of
Languange (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1976), 154. 24
Suherman, A. Psikolinguistik Bahasa Arab Sebuah Pengantar, Jurnal Bahasa
Universitas Indonesia Vol. 3 No. 8, November 2015, 12. 25
Saad Abdullah Gharibi, al-Ashwāt al-‘Arabiyyah (Makkah: Maktabah Talib al-
Jami’i, 1986), 25.
83
dituturkan dan diperdengarkan. Maka ilmu yang kompeten mempelajari bagian
tersebut adalah fonetik26
dan fonologi.27
Kedua ilmu inilah yang bertanggung
jawab terhadap kebenaran dan keakurasian pengucapan bunyi, kata dan kalimat
dalam proses berbahasa. Selain hal tersebut menurutnya bunyi yang diucapkan
haruslah memiliki aturan dan susunan tertentu, jika tidak, maka bunyi tersebut
akan dianggap sebagai bunyi brisik tanpa makna, sehingga ilmu yang kompeten
pada bagian tersebut adalah ilmu naḥw dan ṣarf.
Adapun selanjutnya target dalam komunikasi lisan sebagai sarana untuk
menyampaikan pesan kepada lawan bicara dengan baik dan akurat yaitu agar
dapat mentransfer makna dan pengertian yang tepat. Dengan demikian setiap
lafal bahasa yang dihasilkan akan memiliki bunyi, susunan kata yang tepat serta
makna yang tersampaikan. Sedangkan ilmu yang bertanggung jawab untuk
mencapai target tersebut adalah ilmu bayān, ma’ānī dan badī’ sebagaimana yang
telah disampaikan oleh al-Sakaki sebelumnya. Di mana ketiga ilmu tersebut
menurutnya terkadang lebih populer dengan sebutan ilmu semantik28
atau
balagah.29
Adapun untuk memberikan keyakinan terhadap pentingnya unsur makro
dalam berbahasa dan membuktikan keistimewaan Miftāḥ al-‘Ulūm, Al-Sakaki
berkata:
صنفت هذا، وضمنت ملن أتقنه أن ينفتح عليه مجيع املطالب العلمية، ومسيته: )مفتاح العلوم(، وجعلت القسم الثالث ، القسم الثاين يف علم النحو، القسم األول يف علم الصرف هذا الكتاب ثالثة أقسام:
األدب ، ملا كان هو والذي اقتضى عندي هذا، هو أن الغرض األقدم من علم يف علمي املعاين والبيان. االحرتاز عن اخلطأ يف كالم العرب، وأردت أن أحصل هذا الغرض.
Artinya:
“Saya mengarang buku ini, dan menjamin terhadap siapa saja yang
mengusainya untuk mudah mempelajari seluruh tuntutan ilmiah. Dan saya
menamainya Miftāḥ al-‘Ulūm (the keys of science), begitu juga telah saya
bagi kajian buku ini kepada tiga bagian, yakni pertama membahas ‘ilm ṣarf,
kedua membahas ‘ilm naḥw, dan ketiga membahas ‘ilm al-ma’ānī dan al-
26
Fonetik adalah ilmu yang mempelajari tentang bunyi terlepas dari fungsi dan
makna yang terkandung di dalamnya. 27
Fonologi adalah ilmu yang membicarakan tentang fungsi dan arti bunyi. 28
Istilah semantik merupakan sebuah kajian atau bidang studi tentang makna
bahasa. Jika makna adalah bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari
linguistik. Dalam bahasa Yunani, semantik (kata bentuk) berasal dari kata sema yang berarti
“simbol”. Sedang kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau
“melambangkan”. Para ilmuwan bahasa sepakat bahwa semantik adalah istilah yang
digunakan dalam bidang linguistik untuk mempelajari hubungan antara tanda-tanda
linguistik (intralingual) dengan sesuatu yang ditandainya (ekstralingual). Lih; Muhammad
Jazeri, Semantik Teori Memahami Makna Bahasa (Tulungagung: STAIN Tulugagung Press,
2012), 1. 29
Ahmad Sayuti Anshari Nasution, Bunyi Bahasa Ilmu Aṣwāt al-‘Arabiyyah
(Jakarta: Amzah, 2015), 16.
84
bayān. Adapun tujuan peletakan ilmu sastra pada bahasan ini adalah untuk
menghindari kesalahan-kesalahan dalam berbicara bahasa Arab, dan inilah
tujuan yang saya inginkan.”30
Al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm telah membagi keilmuan bahasa
Arab seperti bagan berikut ini:
Miftāḥ al-‘Ulūm sebagai karya ilmu bahasa (linguistic) telah memulai
pembahasannya dengan ilm ṣarf di atas ilm naḥw. Hal tersebut menurut al-Sakaki
adalah seperti mufrad (kata tunggal) dan ta’līf (susunan kata). Menurutnya,
dalam menyusun kalimat harus terdiri dari kata-kata atau mufrad. Sebaliknya,
ta’līf tidak akan pernah terjadi jika tidak terdiri dari kata-kata. Al-Sakaki
mendefinisikan bahwa املفرد adalah طائفة من احلروف (kumpulan dari beberapa
huruf). Maka setiap kata yang memiliki makna (al-ma’nā) harus tersusun dalam
beberapa jumlah huruf. Bahkan al-Sakaki menyebutkan lafdh al-ḥuruf adalah
bagian dari cikal bakal kefaṣihan dalam berbahasa Arab. Sehinga ilm naḥw
memiliki peran penting untuk menyusun mufrad dengan mufrad yang lainnya
agar menjadi ta’līf yang sempurna.31
Misalnya kata األسد dimasukkan ke dalam
ta’līf :
األسد كبري وقوي“Singa itu besar dan kuat”
Kata mufrad األسد pada kalimat diatas menjadi tersusun (murakkab), sehingga
memiliki arti yang sempurna dan mudah dipahami. Jika ditelisik lebih dalam lagi
pada struktur bahasa Arab ilm naḥw, maka diketahui tarkīb kalimat sejenis
30
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 39.
31
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 42.
Linguistik
علم اللغـــة
Morfologi
الصرفعلم Sintaksis
النحوعلم Stilistika
بالغةعلم ال
االستعالء
االشتقاق
المعربة
المبنية
المعــــــــــاني
البيـــــــــــــان
البديـــــــــــع
85
contoh tersebut dinamai jumlah ismiyyah (susunan kalimat yang di dahului
dengan ism). Inilah yang menyebabkan al-Sakaki menjadikan pembahasan ilm
ṣarf lebih awal daripada pembahasan ilm naḥw. Suatu permulaan yang lembut
dan ringat menuju sesuatu yang berat dan bercabang. Kedua ilmu tersebut tidak
dapat dipisahkan peran pentingnya, karena keduanya bertujuan untuk menjaga
dari kesalahan pengucapan maupun tulisan.32
Cristian Julian Robin (2016)
menuturkan bahwa gramatikal bahasa Arab di Saudi Arabia seperti sintaksis dan
morfologi berawal dari sebuah kebutuhan untuk memahami syair- syair yang
kemudian menjadi lebih dibutuhkan ketika adanya tuntutan terhadap pemahaman
isi dari al-Qur’an.33
Para linguistik Arab sepakat bahwa ide atau gagasan awal yang kemudian
berkembang menjadi Ilmu nahwu muncul dari khalīfah amīr al-mukminīn Ali bin
Abi Thalib. Ide tersebut muncul karena didorong oleh beberapa faktor, antara
lain faktor agama dan faktor sosial budaya. Terhadap faktor agama kekhawatiran
terjadinya kesalahan dalam membaca kitab suci agama Islam yakni al-Qur’ān al-
karīm. Dengan demikian dibutuhkan suatu alat keilmuan untuk mewaspadai
adanya kesalahan dari laḥn (kesalahan dalam membaca). Sekalipun sebenarnya
sejak masa Rasulullah صلى هللا عليه وسلم laḥn tersebut telah terjadi, namun sangat
sedikit dan mampu berpusat kepada Rasullullah صلى هللا عليه وسلم langsung.34
Pada
masa tersebut semua urusan selalu dikembalikan keputusannya kepada
Rasulullah صلى هللا عليه وسلم, sedang para sahabat di masa tersebut lebih patuh
terhadap apa yang diajarkan oleh-nya.
Faktor kedua yang mempengaruhi adalah faktor budaya terjadi karena bangsa
Arab yang dikenal sangat merasa bangga dan bersifat fanatisme yang tinggi
terhadap bahasa yang mereka miliki, maka laḥn yang terjadi mendorong mereka
berusaha keras untuk memurnikan bahasa Arab dari pengaruh asing. Kesadaran
itu semakin lama semakin mengkristal, sehingga berlalunya waktu mereka pun
membakukan bahasa dalam bentuk kaidah-kaidah seperti saat ini yang kita
saksikan dalam bentuk ilmu naḥw.35
Kajian ilm naḥw dalam Miftāḥ al-‘Ulūm dibagi oleh al-Sakaki kepada 4
bentuk tarkīb al-kalimāt36
berikut ini:
1. Tarkīb kalimat yang diawali dengan ism (kajian pada مجلة امسية) Contoh:
زيد عارف (Zaid adalah seorang yang bijaksana)
32
Muhammad Abdullah al-Aḥdal, Kawākib al-Dhurriyyah (Riyadh: Dār Ilmiah,
2002), 98. 33
Christian Julien Robin, The development of Arabic as a written language, Papers
from the Special Session of the Seminar for Arabian Studies held on 24 July, 2010. 2. 34
Kholisin, Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu, Bahasa dan Seni, Vol. 31, No. 1,
Februari 2003, 5-6. 35
Abdul Hadi Fadlali, Marākiz Dirāsah Nahwiyyah (Beirut: Maktabah al-Manār,
1986), 100. 36
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 141.
86
2. Tarkīb kalimat yang diawali dengan fi’l (kajian pada مجلة فعلية) Contoh:
ةعارف مه أن أ زيدعرف (Zaid telah mengetahui bahwa ibunya seorang yang bijaksana)
3. Tarkīb kalimat yang menggunakan adat syarat (kajian pada مجلة شرطية) Contoh:
إن تكرمين أكرمك (Kalau kamu menghormatiku pasti aku akan menghormatimu
juga)
4. Tarkib kalimat yang menggunakan keterangan (kajian pada مجلة ظرفية) Contoh:
يف الدار زيد (Di dalam rumah itu ada Zaid)
Keempat bentuk tarkīb tersebut hingga saat ini adalah pengembangan
keilmuan oleh para nuhāt khususnya Sibwayh (180 H) sebagai tokoh yang
pertama kali mengenalkan ‘ilm naḥw yang berjudul kitāb sibwayh.37
Sekalipun
cikal bakal keilmuan naḥw tersebut telah muncul sejak Abu Aswad al-Duali
sebagai orang pertama yang megemban tugas langsung dari Ali bin Abi Ṭalib.
Al-Sakaki menegaskan bahwa keempat bentuk tersebut pasti di dapatkan dalam
keilmuan balagah sebagi sebuah struktur bahasa yang telah baku. Kaidah-kaidah
yang telah baku tersebut dikenal dengan istilah teori bahasa (Arabic Grammar).38
Itulah sebabnya, kajian ilm balāghah ia letakkan pada akhir pembahasan,
karena menurutnya pembahasan tersebut berada pada tingkatan yang lebih tinggi
dibanding kedua ilmu sebelumnya yang masih berbicara bunyi, struktur dan
vokal bahasa. Ditegaskan oleh Tamam Hasan bahwa ilm balāghah termasuk ke
dalam ilmu linguistik terapan dan bukan ilmu linguistik teori. Sebab, ilmu
linguistik teori masih bersifat internal dan mengharuskannya dengan kaidah yang
murni.39
Sedangkan pada ilm balāghah erat hubungannya dengan situasi dan
kondisi. Para linguis sepakat menyebut bahwa ilm balāghah merupakan kajian
stilistika40
atau disebut sebagai al-balāghah al-mi’yāriyyah.41
37
Sibwayh adalah seorang tokoh bahasa Arab terkenal yang berkelahiran Iran, semasa
hidupnya ia sangat gemar menulis tentang kaidah-kaidah bahasa Arab, ia menulisnya
berdasarkan pengamatannya terhadap kebutuhan di dalam memahami al-Qur’an. Namun,
pada saat ia telah selesai menulis karya tersebut, ia wafat dan belum sempat memberikan
judul terhadap karya kaidah bahasa tersebut. Al-Sairafi (640 H) berkata pada masa tersebut
pernah dinamai oleh para ulama yang mengenalnya dengan sebutan Qur’ān al-Naḥwi. Lih:
https://ar.wikipedia.org/wiki/كتاب سيبويه (diaskses pada 15 Nov 2017). 38
Kholisin, Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu,1.
39
Tamam Hassan, Kitab al-Uṣūl, 280. 40
Kajian stilistika dikenalkan pertama kali oleh Charless Bally (1864 – 1946)
87
Seorang linguis barat Aart Van Zoest (1996 M) berkata bahwa upaya untuk
menjelaskan ruang lingkup stilistika meliputi intonasi bahasa, bunyi, kata dan
kalimat sehingga karena hal itu akan muncul gaya intonasi, gaya bunyi, gaya kata
dan gaya kalimat baru.42
Adapun Faisal Mubarak dalam karya penelitiannya, ia
menguraikan pusat perhatian stilistika sebagai sebuah style, yaitu cara yang
diaplikasikan oleh pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan
menggunakan bahasa sebagai style yang dapat diterjemahkan sebagai gaya
bahasa. Dengan analisa stilistika seseorang dapat menduga siapa pengarang
sebuah karya sastra tersebut karena telah ditemukan ciri-ciri penggunaan bahasa
yang khas, kecenderungannya untuk secara konsisten menggunakan struktur
tertentu, gaya bahasa pribadi seseorang. Dalam konteks sekarang ini akan
diupayakan pembahasannya dalam empat ranah; yaitu leksikal, gramatikal, gaya
bahasa retoris, gaya bahasa kiasan. 43
Model style inilah yang disebut oleh beberapa pakar lingui sebagai linguistik
modern, dimana fungsi bahasa tidak saja memperlihatkan struktur kalimat yang
tersusun rapih dan baik tetapi jauh dari itu justru memperlihatkan kepada gaya
dan intonasi yang lebih modern. Style bahasa tersebut dikenal dengan istilah
linguistic modern sejak digunakan pertama kali oleh al-Qazwaini dan Ali Nikmat
Azhari ketika mengupas lebih jauh karya al-Sakaki yakni Miftāḥ al-‘Ulūm.
Linguistik modern dalam konsepnya selalu menitik beratkan kepada rasa
(dhawq al-lughah) dalam berbahasa. Kemudahan dalam memahami makna dan
kalimat bisa dirasakan dari bunyi frase kalimat yang disampaikan baik dalam
bentuk tulisan maupun lisan.44
Peran penting dari wujud hadirnya ilm balāghah
pada karya al-Sakaki menjadi keistimewaan tersendiri yang dimiliki oleh Miftāḥ
al-‘Ulūm. Thomas Munro (1966 M) mengungkapkan bahwa apa yang telah
ditulis oleh al-Sakaki melalui ide, rasa (sense) maupun karyanya semakin
menunjukkan manifestasi budayanya pada masa itu.45
Sehingga keterkaitan ilm
ṣarf (morfologi), naḥw (sintaksis) dan aṣwāt (fonologi) dalam ilm balāghah
memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan. Misalnya:
األسدنظر إىل أمحد هو كا“Perhatikanlah Ahmad dia seperti Singa”
Kata األسدك pada teks di atas bukanlah makna sesungguhnya melainkan bila
ditelisik dari sisi linguistik ia termasuk ke dalam hiperbola (اجملاز). Tarkīb kalimat
41
Faisal Mubarak, Nahwu dan Balaghah dalam Persfektif Ilmu Linguistik Modern,
‘Arabiyyāt Vol. 2, No. 2, Juni 2013, 7. 42
Aart Van Zoest Dan Panuti Sudjiman (Ed), Serba-Serbi Simiotik (Jakarta:
Gramedia, 1996), 70-72. 43
Faisal Mubarak, Nahu Dan Balagah Dalam Perspektif Ilmu Linguistik Modern
(Banjarmasin: Iain Antasari Press, T.T.), 13. 44
Badri Rafid al-‘Utriy, Ibn Khaldun as Critic (UEA: Middle East University, 2011),
139-140. 45
Thomas Munro, The Art and Their Interelations (New York: The Liberal Art Press,
1957), 55-57.
88
yang menyebutkan kata األسدك bisa saja yang dimaksud adalah keberanian atau
kekuatan Ahmad seperti singa karena tidak takut kepada siapapun. Maka contoh
tersebut di atas di dalam ilm balāghah disebut اجملاز للعاقل , sedangkan dari sisi ilm
naḥw disebut jumlah fi’liyyah (tarkīb kalimat yang di dahului dengan verb).
Misal lainnya yang berkenaan dengan majāz yang berisi keterangan (ظرفية) seperti firman Allah ta’ala dalam surat An-Nisa ayat 10:
ا يأك ل ون يف ب ط وهنم نارا وسيصلون سعريا إن الذين يأك ل ون أموال اليتامى ظ لما إنArtinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Pengertian majāz pada ayat tersebeut terletak pada kata ظ لما dan نارا. Kata
di sini makna sesungguhnya adalah ‘kegelapan’ bukan yang dimaksud ظ لما
dalam ayat tersebut. Sedangkan makna kiasannya adalah tidak ada izin atau
perbuatan munkar. Adapun kata نارا juga merupakan kata kiasan, asal kata
tersebut maknanya adalah api, sedangkan menurut Abdullah La’riṭ (2017 M)
makna kiasan yang dimaksudkan adalah musibah ataupun penyakit. Maka
menurutnya ayat tersebut butuh kepada keterangan pada rangkaian ayat
sebelumnya yang mengatakan bahwa harta anak-anak yatim adalah amanah yang
harus dijaga dan dikelola dengan baik tanpa kezaliman.46
Dari misal tersebut di atas telah tampak jelas bahwa keseluruhan cabang
ilmu yang diformulasikan oleh al-Sakaki selalu memiliki keterkaitan antara satu
dengan lainnya. Penempatan level kajian tersebut menjadi salah satu kontribusi
besar dalam memberikan kemudahan bagi para pembacanya. Sama halnya seperti
pelarangan khamar bagi para bangsa Arab, al-Qur’an tidak melarangnya
langsung. Namun, di mulai dari tahapan perbandingan, pencegahan dan dengan
bahasa yang halus dan lembut.
2. Miftāḥ al-‘Ulūm menggunakan metodologi taqrīrī
Rasyidin (2005 M) dan Samsuar Nizar (2005 M) menerangkan bahwa
metode adalah syarat untuk efesiensi aktivitas dalam melalui berbagai jenis
permasalahan yang esensial, agar mudah dipahami dan memberikan pola berfikir
kepada setiap penggunanya.47
Maka sebuah metodologi dalam menulis karya
ilmiah seperti Miftāḥ al-‘Ulūm adalah ciri karekteristiknya yang berperan
penting, hingga digemari oleh para ilmuwan. Metode tersebut akan memastikan
konsistensi dalam penulisannya.48
46
Abdullah La’riṭ, Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Ilmiyyah, 2014), 111. 47
Rasyidin dan Samsuar Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press,
2005), 66.
48
Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl, 66.
89
Metodologi Miftāḥ al-‘Ulūm yang telah sempurna ditulis dan dijabarkan
oleh al-Sakaki adalah menggunakan metodologi taqrīrī atau metodologi ilmī. Di
mana pada setiap bagian ilmu yang disampaikan semuanya berdasarkan
pandangan keilmuan yang dimilikinya pada saat mendefinisikan masing-masing
bagiannya. Misalnya, sebelum ia membahas lebih jauh tentang ilmu ṣarf maka
terlebih dahulu ia akan mendefinisikannya sebagai berikut:
ونعين الواضع يف وضعه من جهة املناسبات واألقيسة.اعلم أن علم الصرف هو تتبع اعتبارات فرضها إىل أن تتحقق، أنه أوال جنس املعاين؟ مث قصد جلنس جنس منها، معينا بإزاء كل أباالعتبارات، و
.من ذلك طائفة طائفة من احلروف
Artinya:
“Ketahuilah bahwa ilm ṣarf adalah kajian cara peletakan yang harus
diposisikan pada posisinya dari sisi kesesuaian dan pembagiannya. Dan
maksudnya adalah mewujudkan penjelasan, bahwa yang pertama kali adalah
jenis maknanya? kemudian dimaksudkan jenis yang satu dengan jenis yang
lainnya, berdasarkan pola dari setiap kelompok hurufnya.”49
Makna ilm ṣarf seperti yang di definisikan oleh al-Sakaki memberikan
penekanan yang sangat kuat bahwa ia termasuk dari golongan tata bahasa Arab
yang paling utama sebelum memulai kajian keilmuan linguistik lainnya. Sebab,
apa yang ia letakkan telah menjadi pedoman penting untuk memahami dan
menganalisa kalimat, ishtiqāq, ṣighat, mufrad, jama’, ibdāl maupun i‘lāl dan lain
- lainnya. Adapun pada ilm naḥw, al-Sakaki dala karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm
memberikan defenisi sebagai berikut:
اعلم أن علم النحو هو أن تنحو معرفة كيفية الرتكيب فيما بني الكلم لتأدية أصل املعىن مطلقا مبقاييس مستنبطة من استقراء كالم العرب، وقوانني مبنية عليها، ليحرتز هبا عن اخلطأ يف الرتكيب من حيث
.رعايةكون من ت اهليئاتتلك الكيفية، وأعين تقدمي بعض الكلم على بعض، و Artinya:
“Ketahuilah! ilmu nahwu ialah cara mengetahui struktur-struktur
kalimat untuk menunjukkan makna aslinya berdasarkan kesimpulan
dari induksi pembicaraan Arab, ia bertujuan agar terhindar dari
kesalahan (laḥn) berbahasa sebagaimana mestinya pada pola
struktur kalimat. Juga untuk mendahulukan sebuah kalimat dengan
sebagian dari yang lainnya serta bertujuan untuk memeliharanya.50
Berdasarkan definisi tersebut al-Sakaki telah memaparkan sebuah metode
terapan dalam keilmuan bahasa sebagaimana dalam Miftāḥ al-‘Ulūm bahwa ilm
naḥw tidak dapat dipisahkan dari ilm ṣarf. Para ulama linguis berkata bahwa
keduanya bagaikan ibu dan bapak. Bentuk ṣighat, jenis, jama’ maupun mufrad
dapat disusun dengan baik dan diletakkan sesuai struktur tata bahasa Arab yang
49
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 42. 50
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 125.
90
tepat. Dalam artian lain ilm naḥw bertujuan untuk memberikan kaidah tata cara
menyusun kalimat sebagaimana yang disediakan oleh ilm ṣarf agar baik dan
benar, termasuk di dalamnya juga sangat memperhatikan ḥarakat atau tanda baca
yang bisa saja dengan mudah menyebabkan kepada makna dan maksud yang
berbeda. Maka atas alasan tersebut al-Sakaki menjadikan setiap bagian dari
tahapan Miftāḥ al-‘Ulūm menjadi metodologi terpenting di dalam tata bahasa
Arab yang baik.
Pada bagian ketiga pembahasan Miftāḥ al-‘Ulūm adalah kajian tentang ilmu
balagah yang dimulai dari ilm ma’āni. Sebuah kajian tentang makna yang lebih
mendalam. Al-Sakaki sebelum memulai pembahasannya ia terlebih dahulu
mendefinisikan ilm bayān sebagai berikut:
، وما يتصل هبا من االستحسان وغريه، ع خواص تراكيب الكالم يف اإلفادةاعلم أن علم املعاين هو تتب . ليحرتز بالوقوف عليها عن اخلطأ يف تطبيق الكالم على ما يقتضي احلال ذكره
Artinya:
“Ketahuilah! Ilmu ma’ani itu adalah bidang kajian khusus tentang karakter
struktur kata, dan semua hal yang berkaitan dengan keindahan ungkapan,
ataupun untuk tujuan lainnya, agar dapat terhindar dari kesalahan dalam
menerapkan suatu ungkapan berdasarkan tuntutan kondisinya.”51
Dengan definisi tersebut al-Sakaki telah meletakkan pendekatan ilmu
ma’ani pada objek-objek pembahasan yang khusus. Definisi ini menjadi ikatan yang
kuat antara ilmu ma’ani dengan sastra Arab atau kajian ilmu linguistik Arab, karena
yang dimaksud dengan struktur di sini adalah struktur pakar-pakar balagah yang
dipandang baik dan briliant. Maka dengan metode tersebut akan diperoleh
ungkapan-ungkapan yang baik, mengandung makna yang tinggi dan indah.
Sekalipun demikian al-Sakaki tidak begitu saja membuat difinisi melainkan setelah
mengamati dan mempertimbangkan dengan matang, hinnga akhirnya definisi
tersebut dijadikan sebuah pedoman penulisan.52
Sedangkan pada ‘ilm al-bayān al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm,
ia mendefinisikannya sebagai berikut:
فهو معرفة إيراد املعىن الواحد يف طرق خمتلفة، بالزيادة يف وضوح الداللة عليه، وبالنقصان وأما علم البيان .عن اخلطأ يف مطابقة الكالم لتمام املراد منه
Artinya:
“Adapun ilmu bayan ialah bidang kajian tentang cara mewujudkan suatu makna
yang serupa dengan tata cara yang berbeda dengan suatu penambahan pada
penjelasan suatu pengertian, dan dengan pengurangan untuk menghindari
kesalahan.”53
51
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 247.
52
Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl, 66. 53
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 437.
91
Adapun pada ilm badī (art of schemes), al-Sakaki mendefinisikannya berikut:
علم البديع أهم فرع من علوم البالغة خيتص بتحسني أوجه الكالم اللفظية واملعنوية Artinya:
’Ilm badī’ adalah kajian cabang ilmu balagah terpenting yang membahas
khusus cara memperindah lafal dan maknanya. 54
Pada setiap definisi yang dijelaskan oleh al-Sakaki tersebut mulai dari ilm
ṣarf, naḥw, ma’ānī, bayān bahkan badī’ dan cabang ilmu lainnya telah menjadi
metodologi keilmuan dalam menyelesaikan penulisan Miftāḥ al-‘Ulūm. Maka
jelaslah bahwa pada setiap pengertian yang disampaikan serta urutan keilmuan
adalah karekteristik khusus serta gambaran tingkatan ilmu balagah yang diinginkan
oleh al-Sakaki. Pola penulisan dalam kajian ilmu balagah prosentasenya lebih
banyak pembahasannya daripada ilmu ṣarf dan naḥw.
Metodologi taqrīrī yang menjadi cara dan jalan penulisan Miftāḥ al-‘Ulūm
tidak hanya terbatas pada setiap definisi dan pengertian tiga keilmuan tersebut di
atas, namun juga pada setiap pembahasan dan sub judulnya Al-Sakaki selalu
memberikan definisinya agar menjadi panduan dalam mengkaji keilmuan yang ingin
disampaikannyas, sehingga hal tersebut menguatkan al-Sakaki ketika menuliskan
dalam mukaddimah karyanya, bahwa pada setiap cabang keilmuannya ia telah
jelaskan dan menggunakan cara yang tepat dan terperinci.
3. ‘Ilm al-Ma’āni dan ‘ilm al-Bayān lebih diutamakan dan ilm Badī’ (art of
schemes) sebagai penyempurna.
Abdul Muta’ali al-Ṣa’adi (1943 M) dalam karyanya Bughyah al-Īḍah li
Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm mengukapkan kekagumanannya pada Miftāḥ al-‘Ulūm
karena menurutnya jauh berbeda dengan al-Jurjāni yang hanya menjadikan karyanya
sebagai pengantar kepada ilmu balagah. Sedang al-Sakaki, telah membagi ilmu
balagah kepada tiga bagian penting. Al-Ṣa’di menuturkan bahwa al-Sakaki dalam
pembahasan ilmu balagah lebih mengkhususkan’ilm al-ma’ānī dan ‘ilm al-bayān
dibanding ‘ilm al-badi’. Sebab, menurut al-Sakaki ‘ilm al-badī’ berfungsi untuk
menjaga kemurnian dan keindahan ungkapan serta tingkatan sastranya yang lebih
khusus terkait kepada ilm faṣāḥah.55
Pengkhususan yang dilakukan oleh al-Sakaki tampak pada kalimat
mukaddimahnya, ia berkata:56
القسم ، و القسم الثاين: يف علم النحو، القسم األول: يف علم الصرف: وجعلت هذا الكتاب ثالثة أقسام الثالث: يف علمي املعاين والبيان.
Maksudnya:
“Dan aku telah menjadikan buku ini (Miftāḥ al-‘Ulūm) tiga bagian yaitu
pertama ilm ṣarf, kedua ilm naḥw dan ketiga al-ma’ānī dan al-bayān.”
54
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 532. 55
Abdul Muta’ali al-Ṣa’idi, Bughyah al-Īdhāh li Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm (Kairo: Dār
al-Ilmiyyah, 1943), 12. 56
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 39.
92
Sedangkan Abdul Hamid al-Handuwi dalam tahqīq nya terhadap Miftāḥ al-
‘Ulūm, ia berkata:
البيان، وأحلق هبما نظرة يف الفصاحة والبالغة ودراسة أما القسم الثالث فخص به علم املعاين وعلمللمحسنات البديعية اللفظية واملعنوية. ووجد أن علم املعاين حيتاج إىل الوقوف على احلد واالستدالل أو
.بعبارة أخرى إىل الوقوف على علم املنطقArtinya:
“Adapun pada bagian ketiga, ia lebih mengkhususkan ‘ilm al-ma’ānī dan ‘ilm
al-bayān, dan mengkhususkan keduanya dalam faṣaḥah dan balāghah, kajian
terhadap keindahan lafal maupun makna. Telah diungkapkan bahwa ‘ilm al-
ma’ānī harus melihat kepada persfektif istidlāl dan ḥad, atau dengan maksud
lain ketetapan pada ilm manṭiq.”57
Pernyataan al-Sakaki tersebut semakin menunjukkan bahwa ada kekhususan
yang ingin diungkapkan oleh-nya pada ilmu balagah, sehingga mengakhirkan ilm
badī’ dibanding kedua kajian ilmu balagah sebelumnya. Tammam Hassan
menyebutkan bahwa apa yang ia amati dari dikhususkannya kedua ilmu tersebut
adalah untuk menunjukkan pentingnya setiap tingkatan keilmuan yang ingin ia
sampaikan sehingga pada ilm badī’ dapat dipahami dan dimengerti dengan baik
untuk mencapai puncaknya ilmu balagah yaitu keindahan dalam berbahasa baik
lisan maupun tulisan.58
Berikut adalah pembagian ilmu balagah dalam Miftāḥ al-‘Ulūm berdasarkan
padangan keilmuan al-Sakaki:
57
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 7.
58
Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl, 207.
Stilistika Arab
بالغةعلم ال
معانيعلم ال
اإلسناد اخلربياعتبارات .1 اعتبارات املسند إليه.2 اعتبارات املسند.3 االلتفات.4 االعتبار ما يتعلق به .5الفصل والوصل واإلجياز .6
واإلطناب
بيانعلم ال بديغعلم ال
التشبية.1 االستعارة.2 اجملاز.3 الكناية.4
البديع املعنوي.1 البديع اللفظي.2
93
Topik-topik ilmu balagah berikut pembagian dan urutan sub judul tersebut telah
disesuaikan oleh al-Sakaki berdasarkan tahapan dan tingkatan keilmuannya. Pada
setiap pembahasan topiknya al-Sakaki selalu memberikan penjelasan dan contoh-
contoh dari dalam al-Qur’an, syair-syair dan ungkapan-ungkapan yang dibuat
sendiri oleh al-Sakaki. Sehingga dari setiap penjelasan yang dijabarkan oleh al-
Sakaki selalu diekspresikan dengan penjelasan yang panjang. Jika diamati pada
bagan ilmu balagah di atas diperoleh bahwa pembahasan yang diuraikan, ‘ilm al-
ma’ānī jauh lebih luas dibanding ‘ilm al-bayān dan al-badī’, begitupun pada ‘ilm al-
bayān pembahasanya lebih luas dari ‘ilm al-badī’ pada bab akhir Miftāḥ al-‘Ulūm.
Ilmu balagah yang diinginkan oleh al-Sakaki adalah menjelaskan dan
memberikan contoh-contoh yang nyata dalam al-Qur’an dan syair-syair, bukan
hanya sekedar teori tanpa bukti-bukti yang nyata. Maka al-Sakaki pun memberikan
contoh-contohnya berdasarkan teori definisi yang telah dibangun olehnya dari
makna awalnya. Secara umum tampak dari permulaan kajian ilmu ma’ānī yang
diawali dengan اإلسناد اخلربي pada bagian topik (berita) اخلرب dan (permintaan) طلبال .
Keduanya memperbincangkan sebuah ungkapan atau berita yang benar ataupun
bohong. Ciri khas yang membedakan antara keduanya adalah bahwa benar dan
bohong hanya berlaku pada اخلرب yang isinya bisa saja berita atau sebuah pernyataan
yang masih membutuhkan klarifikasi tentang keabsahan suatu berita tersebut.
Sedangkan klarifikasi akan keabsahan benar atau bohong tidak berlaku terhadap طلبال . Sebab, ia baru sebatas permintaan atau tuntutan untuk mengklarifikasi suatu
berita atau pernyataan.
Al-Sakaki dalam Miftāḥ al-‘Ulūm secara rinci telah membagi kepada اإلسناد اخلربي
tiga bagian penting dan menyebutnya sebagai بتدائياإل رباخل (berita pendahuluan) yang
bertujuan untuk memberikan informasi kepada lawaan bicara yang belum memiliki
isi, dan hanya sebagai pengantar saja, sehingga lawan bicara akan mudah menerima
tanpa ragu-ragu. Di sisi lain, bahkan menurutnya tidak diperlukan al-tawkīd
(penekanan).59
Misalnya:
أتاين هواها قبل أن أعرف اهلوى # فصادف قليب خاليا فتمكنا
Artinya:
“Romannya telah mendatangiku sebelum kutahu romannya * Disaatnya
bertemulah hatiku yang sedang kosong, lalu kurasakan ia semakin tenang”
Pembagian yang kedua adalah يبلالطرب اخل (berita permintaan) bertujuan untuk
memberikan informasi kepada lawan bicara untuk memperoleh keyakinan benar
atau bohong. Maka طلبال menurut al-Sakaki kalimat yang terdiri dari ستفهام اال ,النداء , tidak bisa dihukumi benar atau bohong, sehingga menurut النهي maupun األمر ,التمين
59
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 251.
94
al-Sakaki dibutuhkan al-tawkīd untuk memberikan kejelasan kepada lawan bicara
tentang posisi berita yang disampaikan. Misalnya:
"لزيد عارفأو ممكنا أن نقول: " "زيدا عارف إن "
Penambahan huruf إن dan ل pada teks diatas berfungsi sebagai al-tawkīd untuk
memberikan informasi yang jelas kepada lawan bicara. Maka dengan penambahan
ḥarf al-tawkīd tersebut mudah dipahami oleh lawan bicara dan tidak lagi
membutuhkan konfirmasi ulang atas informasi yang diperoleh. Adapun bagian
ketiga adalah يرب اإلنكار اخل (berita penolakan) yang bertujuan untuk menolak atau
mengingkari dari sebuah informasi yang diperoleh sehingga membutuhkan
penegasan dan al-tawkīd yang lebih dari satu untuk menguatkan penyataannya. Hal
tersebut terjadi karena bisa saja lawan bicara langsung menolak atau mengabaikan
informasi yang kita sampaikan sebab tidak sesuai dengan keyakinan yang ia miliki
ataupun tidak sesuai keinginannya. Misalnya:
ا ف عززنا بثالث ف قال وا إناإ ( قال وا ما أن ت م إال بشر مث ل نا وما 14إليك م م رسل ون ) ذ أرسلنا إليهم اث ن ني فكذب وه 60.(61( قال وا رب نا ي علم إنا إليك م لم رسل ون )15أن زل الرمحن من شيء إن أن ت م إال تكذب ون )
Artinya:
Ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka
mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan utusan yang ketiga, maka
ketiga utusan itu berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang
diutus kepadamu".(14) Mereka menjawab: "Kamu tidak lain hanyalah manusia
seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatu pun,
kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka". (15) Mereka berkata: "Tuhan kami
mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus padamu.(16)
Pada ayat tersebut berisi informasi akan kebenaran para utusan Allah kepada
seluruh penduduk negeri termasuk penduduk kota Makkah agar mereka meyakini
para utusan tersebut dan mengikuti petunjuknya. Hal tersebut tampak dari lafadh
yang bertaukid إنا إليك م م رسل ون. Namun, sayang para penduduk negeri tersebut justru
mendustakan dan tidak meyakininya. Pada akhirnya Allah kembali menegaskannya
untuk meyakinkan apa yang mereka tolak dengan lafadh yang bertaukid lebih dari
satu إنا إليك م لم رسل ون. Dalam menjelaskan sisi al-tawkīd yang terdapat dalam ayat-ayat di atas, al-
Zamakhshari menerangkan sebagai berikut ini: Bila anda bertanya kenapa pada ayat-
ayat di atas pertama ditegaskan إنا إليك م م رسل ون, yaitu hanya dengan menggunakan
satu ungkapan al-tawkīd yaitu إن, kemudian pada ayat berikut ayat tersebut diulang
dengan menambah satu al-tawkīd yang lain, sehingga berbunyi إنا إليك م لم رسل ون yaitu
huruf lam al-tawkīd. Lalu ia berkata: jawabanku adalah kalimat ber-tawkīd pertama
60
Q.S. Yasin: 15-16
95
menunjukkan awal pemberitaan, sedangkan kalimat ber-tawkīd yang kedua sebagai
jawaban atas keingkaran orang-orang yang telah diberi berita sebelumnya.61
Ahmad Badawi seorang sastrawan Arab mengungkapkan bahwa hal tersebut
terjadi karena mengingat al-Qur’an turun dengan menggunakan lisānan ‘arabiyan
(bahasa Arab) yang merupakan bahasa mereka sendiri. Maka retorika dan
komunikasi yang digunakan al-Qur’an juga berlangsung di antara mereka termasuk
salah satunya penggunaan al-tawkīd. Manifestasi budaya Arab sedikit banyaknya
telah tampak dari bahasa yang digunakan oleh ayat al-Qur’an tersebut. Fenomena ini
bertujuan untuk menguatkan bukti kelemahan (‘ajz) mereka. Hal tersebut karena
manusia memiliki karakter yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang
lainnya, dan semuanya mengajak kepada hawa nafsu. Hal itu tidak dapat terpuaskan
kecuali dengan adanya nasehat-nasehat yang dapat melemahkan dan memberikan
ancaman sebagai pengontrolnya.62
Pada saat terjadi pengulangan dalam sebuah konteks tertentu maka sangat
erat hubungannya dengan penegasan dan penetapan (ta’kīd). Karena penegasan
tersebut merupakan faktor yang mendukung bersemayam dan melekatnya sebuah
gagasan dalam jiwa seseorang. Tujuan penetapan ini dapat dicapai dengan cara
dilafalkan secara berulang-ulang dan kontinyu. Ketika sesuatu itu diulangi secara
terus menerus, maka akan menancap dalam hati dan akan diterima dengan lapang
dada. Pengulangan juga berpengaruh besar bagi nalar orang-orang yang berpikir.
Hal itu dikarenakan sesuatu yang diulang berpengaruh dalam rongga tabiat alam
bawah sadar manusia yang mendorong lahirnya perbuatan mereka. Al-Qur’an
menggunakan penegasan (al-tawkīd) sebagai sarana untuk mengokohkan makna
dalam jiwa pembacanya dan menetapkan kandungan makna dalam sanubarinya
sehingga dapat membentuk suatu keyakinan.63
Al-Sakaki selalu menekankan bahwa tujuan al-tawkīd64
tidak lain adalah
untuk menunjukkan keistimewaan al-Qur’an yang penuh dengan hikmah dan makna
yang padat. Kehadirannya mampu memberikan keyakikan yang kokoh kepada setiap
kata dan kalimat yang dimaksudkan. Itulah sebabnya, al-Sakaki selalu mengingatkan
bahwa لكل مقام مقال, yang artinya pada setiap tempat ada kata-kata yang tepat.65
Pada tiga pembagian tersebut al-Sakaki pun menggolongkan pembahasan-
pembahasan tersebut kepada ملة اخلربيةاجل (kalimat-kaimat yang berkaitan dengan
berita). Dan di dalamnya terdapat beberapa pembagian jumlah oleh al-Sakaki yang
sering disebut sebagai al-isnad al-khabari (al-musnad dan al-musnad ilaihi).
61
Al-Zamakhshari, al-Kasshāf ‘an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwil fī Wujūh al-
Tanzīl (Kairo: Dar al-Fikr, t.t.), 318. 62
Ahmad Badawi, Min Balāghah al-Qur’an al-Karīm (Kairo: Dar Nahdah, t.t.), 64. 63
Al-Zamakhsyari, al-Kasshāf (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 55. 64
Tawkīd terbagi kepada 2 yakni al-lafdhī dan ma’nawī. Tawkid lafdhī berarti
mengulang-ulang lafal taukid itu sendiri, baik berupa ism, ḍamīr, fi’il, hurf ataupun jumlah.
Adapun tawkīd ma’nawī adalah menyebutkan kata nafsun, ‘ain, jami’, ‘ammah, kilā dan kilta
dengan syarat lafal-lafal tawkīd tersebut dimudofkan dengar ḍamir yang sama (muakkad-
nya). Lih. Mushthafa al-Qalaini, Jamī’ al-Durūs al-‘Arabiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘ilmiah, 2006), 170 – 176. 65
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 256.
96
Pada kajian املسند إليه, al-Sakaki telah membagi cabang pembahasannya
kepada 17 bagian penting.66
Al-Musnad ilaihi tersebut bertujuan untuk untuk
mengetahui posisi predikat yang sesungguhnya. Talqis Nurdianto (2016)
mengatakan bahwa kata al-musnad dan al-musnad ilahi sama seperti subyek dan
predikat.67
Sebab, menurut al-Sakaki dalam ilmu ma’ānī hanya ada dua pembagian
kalam yaitu al-musnad dan al-musnad ilahi, sedang dalam ilmu nahwu ia
menyebutnya sebagai jumlah fi’liyyah atau susunan kalimat yang di dahului dengan
fi’il (verb). Kedua adalah al-musnad ilahi dan al-musnad sedang dalam ilmu nahwu
ia menyebutnya sebagai jumlah ismiyyah atau kalimat di dahului dengan ism.
Maka secara rinci berikut adalah posisi al-musnad (اجلملة االمسية) dan al-
musnad ilahi ( ةفعلياجلملة ال )dalam suatu kalimat:
(al-Musnad) المسند (al-Musnad Ilaihi) المسند إليه
1. Al- Fā’il 1. Al-Fi’l
2. Nāib al- Fā’il 2. Ism al-Fi’il
3. Al-Mubtada’ 3. Khabar al-Mubtada’
4. Marfū’ al-Mubtada al-Musytaq 4.Al-Mubtada’ yang tidak memiliki
khabar
5. Asalnya al-Mubtada’ 5. Asalnya khabar
6. Al-Maf’ūl al-Awwal pada Fi’il
yang memiliki dua maf’ūl
6.Al-Maf’ūl al-Tsānī pada Fi’il yang
memiliki dua maf’ūl
Mahfudz Shiddiq (2016) dalam karyanya Kajian Balaghah Berbasis Kearifan
Lokal mengatakan bahwa setiap kalimat yang terdiri dari dua bagian pokok, al-
musnad dan al-musnad ilahi memiliki tujuan balagah khusus selain tujuan sintaksis,
diantara tujuan-tujuan tersebut adalah berupa al-hadzf, al-dzikr, al-taqdīm, al-
ta’khīr, al-ta’rīf, al-tankīr, al-taqyīd dan al-qashr. Hal tersebut menurutnya karena
al-musnad ilahi (al-mahkum alaih) lebih penting dan berharga daripada al-musnad
atau dengan kata lainnya al-musnad ilahi adalah dzatnya (inti) sedang al-musnad
adalah sifatnya.68
Sebab, bila ditelisik dari logika (‘ilm manthiq) Muhammad Husain
al-Jalali (1980 M) berkata bahwa dzat sesuatu itu lebih kuat daripada sifatnya.69
66
Menurut al-Sakaki beberapa aspek kajian dari 17 cabang tersebut adalah املسند طي ذكراملسند إليهإثبات ,إليه ضمريا املسند إليه ,املسند إليه معرفة , املسند إليه إسم ,املسند إليه إمسا موصوال ,املسند إليه علما ,تأكيدا املسند إليه ,املسند إليه إضافة ,اإلشارة إليه بيانا وتفسريااملسند , بدال املسند إليه , ه عطفااملسند إلي , املسند إليه ,تنكريا املسند إليه ,فصال املسند إليه على املسندتقدمي , على املسند املسند إليهتأخري , dan على ملسند املسند إليهقصر . Lih. Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 265-321.
67Talqis Nurdianto, Tahsīn al-Lughah (Yogyakarta: UIN Press, 2016), 5.
68Mahfudz Siddiq, Kajian Balagah Berbasis Kearifan Lokal (Semarang: UIN
Walisongo Press, 2016), 107-108. 69
Muhammad Attuqa Husaini al-Jalali, Taqrīb al-Tahdhīb fī Ilmi al-Manṭiq (Kairo:
Maṭba’ah al-Adab, 1980), 22.
97
Selain dua bentuk jumlah tersebut al-Sakaki telah merincikan ruang lingkup
pembahasan ilmu ma’ani selanjutnya adalah mengenai الفصل (pemisahan), قصرال (pembatasan), اإلطناب (pelebihan), اإلجياز (penyingkatan), الوصل (penyambungan) dan
ملة الطلبيةجلا (kalimat-kalimat yang berkaitan dengan permintaan) sebagaimana yang
telah diuraikan sebelumnya. Keseluruhan kajian tersebut adalah bertujuan untuk
menyingkap makna padat di dalam setiap kata dan kalimatnya.70
Adapun pada tahapan dan tingkatan ilmu balagah kedua yaitu kajian terhadap
ilmu bayan yang diawali dengan pembahasan التشبية (simile) yang terdiri dari empat
unsur penting dan harus dijelaskan pada saat berbicara pada aspek maknanya, empat
unsur tersebut yaitu mushabbah, mushabbah bih, adāt mushabbah dan wajh shibh.
Adapun tujuan dari التشبية (simile) adalah untuk mempersamakan dua atau lebih
karena sama-sama memiliki sifat yang dimaksud oleh si penuturnya.71
Misalnya
dalam al-Qur’an surat al-Mursālat ayat 32 dan 33 Allah ta’ala berfirman:
إن ها ت رمي بشرر كالقصر كأنه مجالة ص فر
Artinya:
Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana,
Seolah-olah ia iringan unta yang kuning.
Kajian kedua yaitu berkaitan dengan االستعارة (pemakaian/peminjaman lafal) ia
diaplikasikan karena adanya hubugan persamaan dengan makna yang dialihkan atau
dipinjam dengan makna yang dipakai disertai alasan yang mengalahkan penggunaan
makna asal. Misalnya dalam surat al-baqarah ayat 16, Allah ta’ala berfirman:
أ ولئك الذين اشت رو ا الضاللة باهل دى فما ربت تارت ه م وما كان وا م هتدين
Artinya:
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah
beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.
Al-Sakaki menilai bahwa pada ayat tersebut terdapat makna الستعارةا yaitu terletak
pada kata اشت رو ا الضاللة dengan اهل دى. Di mana pada ayat tersebut tampak pelaku yang
dimaksud oleh Allat ta’ala memilih sesat daripada mengikuti petunjuk kebenaran
dan menukarnya dengan menggunakan petunjuk itu. Sebab antara kata membeli
dengan menukar sama-sama mengandung makna memberikan pengganti atau
mengambil yang lain. Sedangkan kajian ketiga pada ilmu bayan yaitu tentang اجملاز (metafora), ia bertujuan untuk memberikan sense di mana kata yang dipakai bukan
70
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 357. 71
Ahmad al-Hasyimi, Jawāhir al-Balāghah fī al-Ma’ānī wa al-Bayān wa al-Badī
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 297.
98
makna denotasinya melainkan makna konotasinya,72
seperti yang telah dicontohkan
sebelumnya. Al-Sakaki dalam Miftāḥ al-‘Ulūm memberikan definisi khusus tentang
makna اجملاز, ia berkata:
بالنسبة إىل نوع وأما اجملاز فهو الكلمة املستعملة يف غري ما هي موضوعة له بالتحقيق، استعماال يف الغري، ولك أن تقول: اجملاز هو الكلمة . وقال أيضا: حقيقتها، مع قرينة مانعة عن إرادة معناها يف ذلك النوع
املستعملة، يف غري ما تدل عليه بنفسها داللة ظاهرة، استعماال يف الغري، بالنسبة إىل نوع حقيقتها، مع قرينة 73 النوع.مانعة عن إرادة ما تدل عليه بنفسها، يف ذلك
Artinya:
“Majaz adalah kata yang digunakan bukan pada arti yang dibuat
untuknya berdasarkan penelitian, dengan penggunaannya pada arti
yang lain, dimana ia terkait dengan jenis hakikatnya beserta adanya
tanda yang mencegah dari arti yang sebenarnya pada jenis itu.” Al-
Sakaki juga berkata: “Dan kamu boleh mengatakan bahwa majaz
adalah kata yang digunakan tidak pada arti yang dibuat berdasarkan
penelitian, dengan pemanfaatannya pada yang lain, di mana terkait
dengan jenis kebenaran dan keaslian maknanya serta adanya tanda
yang mencegah dari maksud arti yang sebenarnya pada jenis itu.”74
Beberapa ulama linguistik telah membagi majaz kepada beberapa bagian,
diantaranya ada yang berpendapat bahwa majaz terbagi kepada tiga seperti pendapat
Zamakhshari, sedang yang lainnya ada yang berpendapat dua bagian saja, dan ini
adalah pedapat yang paling banyak.75
Sedangkan al-Sakaki menegaskan bahwa
majaz hanya ada dua yaitu اجملاز اللغوي (majaz secara bahasa) dan اجملاز العقلي (majaz
secara pemahaman/akal).
Pembahasan terakhir yaitu terkait dengan al-kināyah (kiasan), ia dimaksudkan
untuk menunjukkan arti yang bukan aslinya dengan tidak menampik digunakannya
makna asli tersebut karena tidak ada petunjuk yang melarang menggunakannya.76
Misalnya al-Sakaki mengutip surat al-Maidah ayat 64:
يداه مبس وطتان ي نفق كيف يشاء وقالت الي ه ود يد الله مغل ولة غ لت أيديهم ول عن وا مبا قال وا بل
Artinya:
Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan
merekalah yang dibelenggu, dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang
telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka,
Allah menafkahkan sebagaimana yang Allah kehendaki.
72
Al-Zamakhshari, al-Kasshāf ‘an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa’Uyūn al-‘Aqawīl fi Wujūh al-
Ta’wīl (Kairo: Dar al-Fikr, t.t.) 194. 73
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 347. 74
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 359.
75
Moh. Mastna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemprer, 150.
76
Moh. Mastna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemprer, 98.
99
Lafadh yang mengandung makna kināyah dalam ayat tersebut adalah kata مغل ولة dan مبس وطتان yang dinisbahkan kepada kata يداه. Di mana maknanya adalah
menghamparkan atau membentangkan tangan sebagai ungkapan kināyah untuk
makna pelit dan dermawan.
Pada bagian terakhir ilmu balagah adalah terkait dengan kajian al-badī’atau
sering disebut oleh al-Sakaki sebagai حتسني الكالم (ungkapan keindahan). Al-Sakaki
telah membagi cabang keilmuan tersebut kepada dua bagian penting yaitu البديع tahsin atau keindahan) البديع اللفظي dan (tahsin atau keindahan makna) املعنوي
lafadh).77 Pada kedua pembagian kajian ilmu badi’ tersebut memiliki
pembahasannya masing-masing, sebagaimana berikut;
a. البديع املعنوي (Tahsīn atau keindahan makna)
بقةااملط .1 , misalnya:
Allah berfirman: ون قلب ه م ذات اليمني وذات الشمال وحتسب ه م أي قاظا وه م ر ق ود
ملقابلةا .2 , misalnya:
Allah berfirman: ف ليضحك وا قليال وليبك وا كثريا جزاء مبا كان وا يكسب ون نظريال .3 , misalnya:
Allah berfirman: و هو السميع البصري زاوجةامل .4 , misalnya:
Al-Sakaki berkata: إذا ما هنى الناهي فلج يب اهلوى أصاخ إىل الواشي، فلج به اهلجر
Adapun bentuk – bentuk yang lain dari al-badī’ al-ma’nawī banyak sekali
yang telah dipaparkan oleh al-Sakaki seperti: العكس ,االستخدام ,التورية ,املشاكلة, Keseluruhaan kajian tersebut menjadi puncak tujuan ilmu .التجريد dan التبديل
balagah yaitu untuk memperoleh keindahan dalam berbahasa dengan seni dan
dhawq yang dapat dirasakan oleh pembicara dan pendengarnya. Karena
sesungguhnya mood feeling (suasana hati) seseorang bisa membuat ketertarikan
dan kesan yang memberikan dampak positif bagi pembicaranya. Sebaliknya
jika suasana hati seseorang dalam mendengarkannya tidak tertarik maka pesan
yang ingin disampaikan tidak akan mencapai sasarannya.78
77Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 340.
78Robert A. Emmons, Intensity and Frequency: Dimensions Underlying Positive
and Negative Affect, Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 48, No.5, Desember
1985, 1258.
100
b. البديع اللفظي (Tahsīn atau keindahan lafal). ناساجل .1 , misalnya:
Allah berfirman: لك كذ ر ساعة وي وم ت ق وم الساعة ي قسم الم جرم ون ما لبث وا غي كان وا ي ؤفك ون
سجعال .2 , misalnya:
Allah berfirman: بعد الكدر صفو وبعد املطر صحو وازنةامل .3 , misalnya:
Allah berfirman: ونارق مصف وفة و زراىب مبث وثة
:misalnya ,رد العجز على الصدر .4
Allah berfirman: وتشى الناس والله أحق أن تشاه
Dari tahapan dan pembagian al-badī tersebut tampak bahwa ilm al-badī’
(art of schemes) adalah penyempurna keilmuan balagah sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh al-Sakaki sebelumnya. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu
kekhasan dalam Miftāḥ al-‘Ulūm. Pembagian tahsīn al-kalām ini menurut al-
Sakaki juga disebut sebagai al-muhassināt al-ma’nawiyah dan muhassināt al-
lafdhiyyah.79
Ketiga karekteristik tersebut telah menjadi pembeda dan khas tersendiri
antara karya al-Sakaki dengan karya ilmu balagah lainnya. Akibatnya,
kemurniaan ilmu di dalamnya telah menjadikan Miftāḥ al-‘Ulūm lebih dirujuk
daripada karya balagah lainnya.
C. Empirisme sebagai Epistemologi Miftāḥ al-‘Ulūm
Al-Sakaki dalam penulisan karya ilmiahnya sering kali menggunakan al-
Qur’an sebagai contoh atau obyek kajiannya. Sebelum mengutip ayat demi ayat al-
Qur’an ia terlebih dahulu menganalisanya dengan sangat cermat dan penuh
kewaspadaan. Dalam pengamatannya al-Qur’an menggunakan kata ‘ilm dalam
berbagai bentuk dan peristiwa wahyu (asbab nuzūl), dari kata ‘ilm tersebut
memberikan arti yang sangat banyak hingga mencapai 854 kali kata ‘ilm. Di antara
sekian kata tersebut ada yang bertujuan sebagai proses pencapaian ilmu pengetahuan
(processing to science) dan objek ilmu pengetahuan tentang sumber-sumber ilmu
pengetahuan, di samping kumpulan atau klasifikasi dan jenis disiplinnya.80
Ending Ṣalahuddin (2007 M) dalam penelitiannya yang berjudul Filsafat Ilmu
dalam al-Qur’an berpendapat bahwa ‘ilm menurut al-Qur’an seperti yang dianalisa
oleh al-Sakaki mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia
79
Abdul Karim Mujahid, al-Dalālah al-Lughawiyyah ‘Inda al-‘Arab (Yordania: Dar
al-Ḍiya’, 1985), 85. 80
Ummul Khair, al-Bu’du al-Tadāwulī fī al-Balāghah al-Arabiyyah min Khilāli
Miftāḥ al-‘Ulūm li al-Sakākī (Algeria: The University of Ouargla, 2000), 14.
101
dalam kehidupan di dunia maupun di akhiratnya, baik masa sekarang maupun masa
yang akan datang, baik tentang ‘ulūm fisika (empirik) maupun ‘ulūm metafisika
(non empirik).81
Al-Sakaki dalam perjalanan keilmuannya tidak jarang ia memperhatikan
beragam pelajaran kehidupan yang kemudian ia terapkan dalam kehidupan nyata.
Misalnya, ketika pertama kali ia merasa sangat kagum melihat penghormatan sang
raja kepada tamunya yang ternyata seorang ulama besar di masa tersebut. Padahal
dalam waktu yang bersamaan ia baru saja disanjung oleh sang raja karena kreasinya
menempah besi yang sangat mashur. Pengalaman tersebut akhirnya menggugah al-
Sakaki untuk melakukan sebuah perubahan dan mencoba terjun ke dalam dunia
pendidikan pada usianya yang ke-30 tahun.82
Sebuah pengalaman empiris yang dijalani oleh al-Sakaki setelah menempuh
perjalanan panjang akhirnya ia memperoleh penghormatan yang lebih daripada yang
ia lihat dan amati dahulu. Maka tidak jarang ditemukan dalam karya ilmiahnya
tentang proses pemerolehan ilmu pengetahuan melalui pengalaman atau sentuhan
panca indera yang ia lakukan. Hal tersebut semakin meyakinkan bahwa anggota
tubuh manusia yang berperan besar dalam memperoleh ilmu pengetahuan yakni
salah satunya adalah panca indera yang telah dibuktikan oleh al-Sakaki dengan
kesabaran dan pendalaman.83
Senada dengan filusuf barat John Locke (1704 M) yang mendefinisikan
pengetahuan sebagai persepsi (wajh al-nadhariyyah) dari persetujuan atau
ketidaksetujuan dari dua buah ide (Knowledge is the Perception of the Agreement or
Disagreement of two Ideas). Ide yang dimaksud tersebut adalah ide sebagai hasil
persepsi melalui proses pengalaman inderawi dan bukan ide seperti yang diyakini
oleh kalangan rasionalis. Sebab, menurutnya sebuah ide lahir setelah melalui proses
pengalaman dan pengamatan. Maka proses tersebut bisa saja melalui sensasi dan
refleksi yang terjadi. Antara keduanya saling berkaitan dimana sensasi mensyaratkan
adanya kegiatan persepsi indrawi, sementara refleksi bagian dari intropeksi terhadap
konten atau isi dan kegiatan.84
1. Empirisme al-Sakaki dalam Kajian األمر (perintah)
Al-Sakaki menegaskan bahwa bentuk ṣighat amr dalam karyanya yang telah
menyesuaikan al-Qur’an sebagai hasil analisisnya terdapat dalam empat bentuk amr
yang berbeda. Empat bentuk tersebut yakni 1). Fi’il amr (kata kerja yang
dimunculkan dari asal katanya sebagai bentuk perintah, 2). Fi’il muḍāri’ yaitu kata
kerja sekarang yang diikuti dengan lam amr, 3). Ism fi’il amar (sebuah kata yang
berbentuk ism, dan di dalamnya mengandung makna perintah atau amr), 4). Maṣdar
sebagai ganti fi’il amr yaitu sebuah kata bentuk dalam morfologi bahasa Arab yang
kemudian dimaknai sebagai perintah. Keempat bentuk ṣighat tersebut telah
81
Ending Ṣalahuddin, Filsafat Ilmu dalam al-Qur’an, Islamica Journal, Vol. 6, No. 2,
Maret 2012, 265. 82
Al-Sayyid ‘Adil al-‘Ulwi, Qiṣṣah al-Sakākī wa al-Iṣrār, http://shiavoice.com/play-
hf25w. html (diakses 02 Oktober 2017)
83
Yusuf Rizqah, al-Qā’idah wa al-Dhawq fī Balāghah al-Sakākī, 184. 84
Lex Newman, The Cambridge Companion to Locke’s: Essay Concerning Human
Understanding (USA: Cambridge University Press, 2007), 307-314
102
dijabarkan oleh al-Sakaki dalam Miftāḥ al-‘Ulūm berikut dengan contoh-contohnya
dalam al-Qur’an.85
Misalnya, al-Sakaki dalam inshā’ ṭalabī ia mengutip al-Qur’an yang berisi
tentang perintah mentadabburi langsung penciptaan bumi dan langit. Allah ta’ala
berifrman dalam surat Yunus 101:
ت وٱألرض ق ل ٱنظ ر وا و ت غىن ٱلءايت وٱلنذ ر عن ق وم ال ي ؤمن ون وما ماذا ف ٱلسم
Artinya:
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah
bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan
bagi orang-orang yang tidak beriman."
Jika diamati dalam keilmuan balagah pada kajian ilm ma’ānī maka
didapatkan bahwa contoh tersebut di atas adalah sebuah bukti keharusan dalam
melakukan sebuah pengamatan dan pendalaman dengan panca indera. Dalam ayat
tersebut di atas terdapat kata ل انظرواق yang berarti “katakanlah! perharikanlah...!”
termasuk dalam ṣighat fi’il amr.
Senada dengan perintah Jibril kepada nabi Muhammad صلى هللا عليه وسلم pada
saat penlegitimasiannya sebagai Nabi dan Rasul di gua Hira dengan sebuah kata
yang mengguncang mental Muhammad صلى هللا عليه وسلم. Perintah tersebut
disampaikan langsung oleh Jibril dengan mengatakan iqro’ (bacalah), sampai
akhirnya perintah tersebut di ta’kīd sebanyak 3 kali, sedang jumlah kata iqro’ dalam
al-Qur’an ditemukan sebanyak 17 kali.86
Pengulangan tersebut menurut M. Quraish
Shihab sebagai makna perintah membaca sekaligus menghimpun dan meneliti
secara empirik untuk memperoleh data yang akurat, agar tidak terjadi sebuah
kesalahan yang fatal.87
Ayat tersebut di atas bertujuan untuk mengingatkan kewajiban bagi setiap
yang beriman agar berjalan sesuai prosedur yang digariskan oleh Allah ta’ala untuk
memahami penciptaan langit dan bumi serta tanda-tanda yang terdapat di dalam
keduanya. Ṣalahuddin (2007 M) menegaskan bahwa alam jagat raya ini dan semua
realitas yang ada di dalamnya adalah sumber pengetahuan. Maka realitas dan wujud
alam raya ini dapat dikategorikan sebagai pengetahuan empiris.88
Dengan demikian tampak bahwa penulisan Miftāḥ al-‘Ulūm pada beberapa
cabang keilmuan khususnya dalam kajian al-amr sangatlah empirik. Ia sangat
mengakui akan kehebatan sesuatu jika ia melihat dan mengamatinya secara
langsung. Sebab, menurutnya sesuatu yang dilakukan dengan proses penelitian
(tajrībī), maka tidak akan ditemukan sebuah kebohongan dari apa yang diminta atau
yang diinginkan.89
Itulah sebabnya, contoh ayat tersebut menunjukan pentingnya
85
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 231. 86
Kemenag RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), 718. 87
M. Qurasih Shihab, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, (Bandung: PT. Pustaka Hidayah,
1997), 83. 88
Ending Ṣalahuddin, Filsafat Ilmu dalam al-Qur’an, 264-266. 89
Soren Kiergegaard, al-Tikrār Mughāmirah fī Ilmi al-Nafsi al-Tajrībī, 15.
103
proses memiliki ilmu pengetahuan melalui inderawi atau merasakan langsung
sensasi dan refleksinya.
2. Empirisme al-Sakaki dalam Kajian ينهال (larangan)
Al-Sakaki menjelaskan bahwa ṣighat al-nahyu dalam ilmu ma’ani hanya ada
satu ṣighat saja yakni fi’il muḍāri’ yang bersamaan dengan lā al-nahyi. Menurut
filsuf setiap larangan itu berkenaan langsung dengan realitas indra manusia. Di mana
apabila sifat larangan tersebut dilanggar akan berakibat kepada sesuatu yang buruk.
Maka Mulyadi Kartanegara menegaskan bahwa sebuah larangan jika telah tampak
jelas dan akurat akibatnya, maka harus diyakini dengan sepenuh hati tanpa
mempertanyakan kembali keotentikannya. Sebab, secara empiris ia dapat dibuktikan
dengan mudah.90
Misalnya, al-Sakaki dalam Miftāḥ al-‘Ulūm ia mengutip surat al-A’raf ayat
berikut:
ء وال تعلىن مع القوم الظلمني فال ت شمت ىب األعدا Artinya:
Janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah
kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim.
Ibnu Katsir (1373 H) berpendapat bahwa kata larangan dengan menggunakan
lā al-nahyi tersebut di atas adalah ucapan nabi Harun kepada nabi Musa sebagai
bentuk permohonan agar tidak dikumpulkan bersama para musuh Allah dan orang-
orang dhalim. Permohonan tersebut ditanggapi oleh nabi Musa setelah menyelidiki
kebenarannya, ternyata nabi Harun bersih dan tidak termasuk sama sekali seperti
yang dianggapkannnya. Proses yang dilakukan oleh nabi Musa untuk mencari tahu
sebuah kebenaran akan keterlibatan nabi Harun dengan orang-orang yang dhalim
tidak terbukti, sebaliknya ia menemukan kemurnian hati nabi Harun dalam
menghadapi sebuah kenyataan. Ibnu Katsir lalu menegaskan setelah upaya yang
keras oleh nabi Musa, ia menemukan sebuah kebenaran yang akurat pada
saudaranya, ia pun berdo’a kepada Allah:91
رمحتك وأنت أرحم الرامحني قال رب اغفر ل وألخي وأدخلنا يف Artinya:
Musa berdoa: "Ya Tuhanku! Ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah
kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara
para penyayang."
Al-Sakaki menjabarkan bahwa ayat tersebut keduanya adalah bentuk al-du’ā
(permohonan), harapan tidak diberi hukuman sebaliknya diberi kasih sayang Allah.
Konteks larangan tersebut menampakkan kuatnya keyakinan nabi Harun bila ia
dimasukkan ke dalam orang-orang yang dhalim maka akibatnya pasti buruk.
90
Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung:
Mizan Pustaka, 2005), 44. 91
Ibnu Katsir, Lubāb al-Tafsīr li Ibni Katsīr (Kairo: Muassasah Dār Hilal, 1994), 458-
460.
104
Sebaliknya, dugaan nabi Musa terbantahkan karena kebenaran yang dimiliki Harun.
Sebab, ia telah berdakwah dengan upaya yang maksimal.92
Mulyadi Kartanegara menegaskan bahwa bentuk ketaatan atas segala norma-
norma dalam kaidah hukum adalah salah satunya meninggalkan segala yang
dilarang dan merecheck kembali segala tindakan yang kemungkinan dilanggar.
Secara teoritis yang bisa merasakan akibatnya adalah diri sendiri dengan beragam
bentuk hukuman. Maka hal seperti ini disebut sebagai guru yang paling baik, karena
secara tidak langsung telah memberikan pelajaran berharga dalam kehidupan.
Bentuk pengetahuan inilah yang disebut oleh filsuf Islam sebagai al-bayānī
(penalaran berdasarkan kenyataan).93
Sedangkan al-Jabiri menegaskan bahwa pengamatan terhadap sejenis ayat al-
nahyi dalam al-Qur’an disebut sebagai epistemologi al-bayānī, karena sangat
berkaitan dengan teks dan hubungannya dengan realitas. Maka dalam
pengamatannya dibutuhkan tool of analysis (alat untuk menganalisa kebenaran).94
3. Empirisme al-Sakaki dalam Kajian مجازال (metafora)
Sesungguhnya empirisme telah dipandang oleh al-Sakaki sebagai yang paling
produktif di dalam dunia karya ilmiah. Sebab, menurutnya proses yang terjadi dapat
langsung dirasakan tanpa harus berlogika banyak. Bahkan Thomas Hobbes juga
mengatakan hal yang sama bahwa pengenalan dan pengamatan terhadap sesuatu
yang nyata akan tersimpan sebagai pengalaman yang akurat dalam kehidupan,
sehingga dapat diambil manfaat atau pelajaran darinya.95
Sebuah pengalaman kehidupan yang dituangkan oleh al-Sakaki dalam bentuk
syair pada karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm adalah contoh akurat bahwa karyanya tersebut
ia tulis berdasarkan epistemologi empirisme (al-tajrībī), ia berkata:
العشي الغداة ومر كر الكبري وأفىن الصغري أشابArtinya:
Telah membuat anak-anak itu menjadi tua dan telah membuat orang tua punah
disebabkan berulang-ulangnya pagi dan sore.96
Syair al-Sakaki tersebut ia ungkapkan karena adanya keyakinan dalam dirinya
bahwa setiap orang pasti terus menjalani kehidupannya dari lahir menuju kematian.
Dalam pengamatannya yang ia rasakan secara langsung bahwa dahulu ia masih
kecil, namun kini ia telah besar. Pada akhirnya setiap yang tua akan meninggal
dunia akibat perputaran waktu dari siang ke malam dan sebaliknya. Kedua kata أشاب dan أفىن merupakan jenis majāz al-‘aqlī, seakan-akan keduanya yang membuat
segalanya membesar atau habis. Padahal yang sesungguhnya yang menjadikan
seseorang muda, tua ataupun meninggal adalah Allah ta’ala.
92
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 231. 93
Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, 44. 94
Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, 117. 95
Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis,
Aksiologis (Jakarta: PT. Aksara Bumi, 2011), 31. 96
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 503.
105
Dengan demikian telah tampak empiriknya keilmuan al-Sakaki pada beberapa
kajian majāz seperti contoh di atas, karena ia mengungkapkannya dalam bentuk
kenyataan sesuai yang ia rasakan dalam kehidupan sehari-hari.
D. Rasionalisme sebagai Epistemologi Miftāḥ al-‘Ulūm
Descartes (1650 M) pernah mengurung dirinya sendiri dalam kamar karena
ingin merenungkan sebuah proses kesangsian yang terus menghantuinya. Kejadian
tersebut menurutnya karena seluruh ilmu pengetahuan haruslah disangkal dan tidak
boleh dipercaya begitu saja sebagai sebuah pengetahuan yang pasti. Sebab, data-
data yang telah diperoleh selama ini melalui inderawi bisa saja sebuah mimpi yang
kita rasakan menjadi sebuah kenyataan. Proses kesangsian yang dilakukan oleh
Descartes populer dengan ucapannya “aku berfikir maka aku ada’.97
Proses ini pula
yang pernah dilalui oleh al-Sakaki ketika mengarang Miftāḥ al-‘Ulūm, beberapa kali
ia harus menghentikan proses menulisnya demi sebuah perenungan dan logika
keilmuan yang logis serta dapat dibuktikan dengan teks-teks tulisan maupun lisan. Ia
selalu berlandaskan kepada firman Allah ta’ala bahwa sebuah ilmu membutuhkan
al-ta’ammul wa al-mushāhadah98 atau disebut sebagai sebuah langkah meditasi
dalam pencarian sebuah fakta dan data ilmiah yang empirik. Hal tersebut menurut
al-Sakaki bukan berarti tidak menerima pendapat namun ia membutuhkan
pembuktian praktis secara logis.
Al-Sakaki sering kali memperoleh berbagai inspirasi dan ide baru sebagai
sebuah kebenaran yang nyata, khususnya ketika ia usai mengalami proses
pengamatan dan pengalaman mengajar di berbagai tempat pendidikan, lebih dari itu
ia juga sering dihadapkan kepada beragam karakter dan pola perkembangan
pendidikan secara akademis.99
Abdul Malik Fadjar mengungkapkan jika seorang guru ingin mengetahui
proses belajar mengajarnya memberikan dampak yang baik terhadap perkembangan
pendidikan secara menyeluruh atau tidak, maka ada beberapa bekal kemampuan
yang harus dimiliki untuk mencapai hal tersebut. Point pertama adalah keharusan
membagi permasalahan aktual pendidikan ke dalam dua sudut pandang, yakni dari
segi perkembangan akademik dan kebutuhan masyarakat akan layanan pendidikan
yang diselenggarakan, serta yang tidak kalah penting adalah harus memiliki data
perkembangan dunia pendidikan lainnya agar dapat menjadi tolak ukur keberhasilan
para murid khususnya pada materi yang diajarkan. Sedangkan, point penting kedua
adalah dari segi fungsional pedagogik. Keseluruhan perkembangan pendidikan
tersebut adalah sesuatu yang wajar dan keharusan terlebih dari kepiawian seorang
97Abdul Aziz, Epistemologi Islam: Analisis Kritis Pemikiran al-Ghazali (Jakarta:
Satria Publishing, 2017), 55 . 98
Istilah al-ta’ammul wa al-mushāhadah diungkapkan oleh Umar Ibn Mujahid di
dalam penelitian magisternya tentang batasan-batasan kritik sastra Arab lama. Menurutnya
al-ta’ammul wa al-mushāhadah adalah sebuah metode perenungan untuk menggali sebuah
kebenaran melalui empirisme atau pembuktian secara inderawi sehingga dapat dikategorikan
menjadi sebuah ilmu yang logis dan bermanfaat. Lih. Umar Ibn Mujahid, Muhaddadāt al-
Naqd al-Adab al-Qadīm’Inda al-‘Arab (Aljazair: Universitas Wahrān, 2015), 183.
99
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm (Ed) Abdul Hamid, 3.
106
guru sebagai garda depan berhasilnya pendidikan atau sebaliknya tidak berhasil.100
Hal ini pun tidak luput dari pengamatan al-Sakaki dan menjadikannya sebagai
sebuah ilmu besar untuk mengasah pemikirannya.
Al-Sakaki tidak menjadikan, juga tidak langsung menjustifikasi semua apa
yang sedang ia alami adalah sebuah kenyataan dan kepastian seperti apa yang ia
amati dan rasakan langsung dari perkembangan para murid-muridnya. Pola inilah
yang sering disebut oleh para filsuf sebagai al-wahm. Sebab, dalam pengamatannya
pada beberapa kondisi, keadaan tersebut bisa saja berubah dan berbeda pada titik
objeknya. Karena kebenaran hanya ada dalam pikiran kita dan itu diperoleh dengan
akal saja. Kehati-hatian yang ditunjukkan oleh al-Sakaki tersebut memberi peluang
berpikir dan merenung panjang demi sebuah kebenaran yang pasti. Sejalan dengan
pendapat Louis O. Kattsoff (1996 M), ia menegaskan bahwa proses epistemologi
seperti yang dilakukan oleh al-Sakaki tersebut sudah tepat. Ia berargumen bahwa
pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal.
Sebab, menurutnya akal tidak memerlukan pengalaman.101
Maka akal dapat
menurunkan kebenaran pengetahuan dari dirinya sendiri atas dasar asas-asas yang
pasti, dalam artian rasionalisme tidaklah mengingkari nilai pengalaman melainkan
ia dipandang sebagai perangsang bagi pikiran.102
Al-Sakaki di dalam beberapa karyanya, baik yang ditulis sebelum memasuki
kehidupan pemerintahan dengan jabatan baru atau sesudah memiliki jabatan
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Ia selalu menempatkan kedudukan
daya-daya tangkap pada rasa penasaran atau jiwa yang sensitive sebagai sarana
menangkap ilmu pengetahuan dan mentransfer proses perkembangan berpikir bagi
akalnya. Maka baginya panca indera, al-khayāl dan al-wahm adalah pintu masuk
utama untuk memperoleh informasi realitas objektif. Bahkan pada beberapa
kesempatan al-Sakaki sering kali mempelajari karya-karya ilmu balagah dari para
ahli terkenal sebelum dirinya seperti al-Jurjani dan al-Zamakhshari. Kebiasaan
tersebut menurut gurunya sudah lama berlalu yakni sejak ia memutuskan dirinya
mengikuti sekolah formal. Selama proses belajar berlangsung pun ia sering kali
megajukan pertanyaan-pertanyaan baru kepada sang guru agar memperoleh
pemahaman yang mudah secara logika.103
Berbeda dengan para pelajar pada
masanya yang lebih sering pasif. Menurutnya, pola belajar untuk memperoleh
pengetahuan pasti lebih sering ditemukannya dalam bentuk tanya jawab dan
kritis.104
Karakter epistemologi tersebut membuatnya semakin dikenal oleh para
teman-teman se-usianya khususnya para guru al-Sakaki. Karakter tidak mudah
100
Abdul Mukhid, Meningkatkan Kualitas Pendidikan Melalui Sistem Pembelajaran
yang Tepat, Jurnal Tadris, Vol. 1, No. 2, Januari 2007.
101
Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy atau Pengantar Ilmu Filsafat, Terj.
Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 133. 102
Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, 71. 103
Ummul Khair, al-Bu’du al-Tadāwulī fī al-Balāghah al-Arabiyyah min Khilāli
Miftāḥ al-‘Ulūm li al-Sakākī (Algeria: The University of Ouargla, 2000), 14. 104
Ummul Khair, al-Bu’du al-Tadāwulī fī al-Balāghah al-Arabiyah min Khilāli
Miftāḥ Ulūm li Al-Sakākī (Algeria: The University of Ouargla, 2000), 14.
107
menyerah apalagi malu, membuatnya menjadi sosok yang berani mengungkapkan
pendapat dan pemikirannya secara rasionalitas dengan argumen dan bukti data-data
yang valid. Shawqi Ḍaif menjelaskan bahwa salah satu kunci kesuksesan al-Sakaki
dalam memperoleh ilmu yang hakiki adalah karena ia menjadikan tiga kunci
penting sebagai pintu masuk informasi baginya sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnya.105
Michael Beaney (1959 M) memaknai al-khayāl sebagai sebuah imajinasi, di
mana menurutnya di sebagian besar pemikiran barat, imajinasi memiliki status yang
ambigu, hal tersebut tampak dari pola berpikir dan karekter badan, mental dan fisik
dan penengahan antara satu jiwa dan lainnya. Ia menambahkan bahwa bagi
Aristoteles, imajinasi atau phantasia adalah sejenis jembatan antara sensasi dan
pemikiran, memasok gambar atau 'jadian' tanpa pemikiran mana yang tidak dapat
terjadi. Diperkirakan bahwa imajinasi itu tidak akan terjadi seperti yang
dibayangkan oleh otak, karena itu berhubungan dengan gambar di otak yang
eksistensi tidak seperti pikiran yang bisa saja diragukan. Pada kenyataanya disaat
sesuatu itu diperhatikan dan diamati dengan baik, maka akan memunculkan lintasan
pikiran tentang objek tersebut. Di sisi lain, Immanuel Kant (1804 M) juga
berpendapat bahwa imajinasi itu sangat penting bagi manusia, tidak saja
menyatukan kemampuan sensorik dan intelektual kita, tetapi juga bertindak dalam
perbuatan dengan cara-cara yang kreatif sebagaimana yang di temukan dalam karya
Romantisisme dan Ekspresi Puitis oleh Coleridge dan Wordsworth.106
Al-Khayāl oleh al-Sakaki telah menjadi salah satu sumber utama inspirasi
atau disebut juga oleh Michael Beaney sebagai The Ways of Ideas (jembatan
memperoleh ide-ide baru). Ia pernah mengatakan bahwa semua karya manusia
sebenarnya telah terbangun pertama kali di dalam imajinasinya sebelum menjadi
wujud nyatanya di alam dunia. Miftāḥ al-‘Ulūm menurut al-Sakaki telah ia
wujudkan melalui banyak dimensi dan perjalanan panjang dalam proses finalisasi
isinya. Al-Ghazali sangat mendukung pernyataan al-Sakaki tersebut dengan
menguatkan pendapatnya melalui empat tingkat wujud di alam dunia ini, yakni
wujūd al-lawh al-mahfūdh, wujūd jasmāni, wujūd al-khayāli dan wujūd al’aqlī.107
105
Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl Dirasah Epistimologiyah li Fikri al-Lughowī
‘Inda al-Arab, 200. 106
Michael Beaney, Thought and Experience: Themes in the Philosophy of Mind
(Inggris: The Open University Course, 2005), 1. 107
Abu Hamid al-Ghazali menjelaskan keempat wujud tersebut mengandung makna
tingkatan wujud yang paling hakiki. Menurutnya, wujud pertama adalah hakikat-hakikat
sesuatu yang terdapat di al-lawh al-mahfūdz, ia adalah sebuah istilah dalam akidah Islam
yang menunjukkan bentuk sesuatu yang universal. Ia menjadi hak preogratif Tuhan bahwa
segala sesuatu yang akan terjadi di alam dunia sudah ada dalam catatannya, maka bisa
disebut bahwa ia merupakan model (al-nuskhāt) dari alam. Wujud kedua yakni wujūd
jasmāni, ia adalah realitas objekif dari hakikat-hakikat yang ada pada wujud pertama
sebelumnya, sehingga alam semesta merupakan jelamaan dari wujūd jasmāni atas-atas
hakikat-hakikat sebelumnya. Wujud ketiga adalah wujūd al-khayāli, ia merupakan gambar
realitas objektif yang ditangkap oleh panca indera. Sedang wujud yang keempat yakni wujūd
al’aqlī, ia adalah kesan-kesan gambar atau objek yang ditangkap oleh akal untuk kemudian
108
Menurut al-Ghazali wujūd al-khayāli adalah sesuatu yang ada dalam otak
setelah mendapatkan transferan gambar realitas yang langsung dilihat oleh mata atau
dirasakan oleh panca indera lainnya, ia bersumber dari wujūd jasmāni yang pada
hakikatnya semua hal tersebut telah terpotret baik oleh wujud pertama sebelumnya
kemudian ditransfer kepada al-khayāli. Maka pengetahuan tersebut pun diperoleh
tidak bersifat langsung pengetahuan tanpa usaha dan abstraksi. Maka kecenderungan
memperoleh ilmu pengetahuan melalui imajinasi atau al-khayāli tersebut telah
mengantarkan al-Sakaki kepada wujud ke empat di mana segala yang ada dalam
otaknya diproses kembali oleh akalnya untuk menghasilkan sebuah pengetahuan
murni dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran dan keilmiahannya.108
Kemampuan akal yang tinggi pun akan dibuktikan kembali dengan realitas dan
pengalaman yang baru setelah melalui proses pengaplikasian hasil tersebut.
Adapun perbedaannya dengan al-wahm, ia adalah sebuah persepsi, ide dan
mitos yang masih diragukan kebenaranya sebab ia hadir tanpa dasar faktual ilmiah
dan logis mental. Ia butuh kepada verifikasi dalam kenyataan kebenarannya. Charles
S. Pierce (1914 M) menambahkan bahwa dalam berpikirnya seseorang ada dinamika
gerak dari adanya gangguan suatu keraguan (irritation of doubt) atas keyakinan
yang selama ini dipegang olehnya, lalu terangsang untuk melakukan penyelidikan
(inquiry) terhadap keraguan yang ia miliki kemudian diakhiri dengan pencapaian
suatu keyakinan atau kepercayaan baru.109
Sedangkan al-khayāli adalah mentalitas
kekuatan yang tersimpan secara kreatif di luar pemikiran yang biasa melalui bentuk
gambar kehidupan pada manusia kemudian memperluasnya melalui budaya spiritual
kreatif.110
Kedua sumber pengetahuan tersebut menjadi jembatan bagi al-Sakaki menuju
alam ilmu yang lebih luas. Itulah sebabnya, ia tidak lupa memberikan penegasan di
dalam mukaddimah karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm bahwa ia telah melalukan revisi
berulang kali setelah mencermati dengan baik dan meneliti pada setiap bagian
keilmuan yang ia goreskan. Revisi ulang yang dilakukan oleh al-Sakaki memberikan
makna bahwa ia tidak ingin terjadi keilmuan di dalamnya ada yang masih
disangsikan kebenaran dan kepastiannya,111
sehingga menurut al-Ghazali ini adalah
peluang bagi wujūd al’aqlī untuk diperoses dengan baik agar memberikan hasil yang
maksimal. Para ahli menyebut bahwa ciri seorang intelektual ialah kecermatannya
terhadap hasil karya lisan maupun tulisannya. Hal tersebut seiring dengan
perkembangan kemampuan manusia termasuk al-Sakaki maka harus dilakukan
proses penyelidikan (inquiry) ulang terhadap setiap hasil karya manusia yang tidak
luput dari salah dan lupa. Kecermatan dalam berpikir menurutnya dapat
menghindarkan diri dari kecerobohan yang berakibat pada penyesalan.112
diperoses menjadi sebuah kebenaran atau kenyataan. Lih. Abu Hamid al-Ghazali, Ihyā Ulūm
al-Dīn -Terj. (Semarang: Ṭaha Putra, 2003), 36. 108
Michael Beaney, Thought and Experience, Themes in the Philosophy of Mind, 60. 109
Charles S. Pierce, The Camridge Companion to Pierce (Inggris: Camridge
University Press, 2004), 87. 110
Ahmad Barqawi, al-Wahm wa al-Khayāl, lih di http://www.albayan.ae 111
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 3. 112
Charles S. Pierce, The Camridge Companion to Pierce, 22.
109
Al-Qur’an misalnya, sebagai sumber utama keilmuan juga telah menyebutkan
tuntunan penting bagi setiap ilmuwan agar berpedoman kepada tiga potensi
instrumen untuk memperoleh ilmu pengetahuan secara terpadu. Adapun ketiga
instrumen tersebut yakni pendengaran atau inderawi (al-khawās), pengelihatan
(‘aql) dan hati (al-wijdan).
Imam al-Qurṭubi (671 H) pernah berkata bahwa hendaknyalah tiga hal
tersebut dipergunakan secara baik dan maksimal sesuai qadratnya. Menurutnya
pemilihatan kata pendengaran (al-khawās) atas pengelihatan (‘aql) oleh al-Qur’an
sangat tepat menurut ilmu kedokteran, di mana indera pendengaran lebih dulu
berfungsi sebelum pengelihatan. Jika diamati pada anak usia bayi maka akan
didapati fungsi tubuhnya yang berjalan pertama kali adalah pendengaran sehingga ia
dapat merasakan sesuatu dengan pendengarannya.113
Pada tahapan berikutnya fungsi selanjutnya pun berjalan yakni pengelihatan
sehingga apa yang telah ia amati bisa ditransfer kepada akalnya terhadap kebenaran
yang ia lihat dan dengar. Adapun fungsi hati (al-wijdān) menurutnya bertugas untuk
membedakan yang baik dan buruk, setelah terlebih dahulu diproses oleh akalnya
melalui media pendengaran dan pengelihatan. Maka ketiga instrument tersebut
adalah anugerah terbesar yang sang maha Pencipta berikan kepada manusia,
sebagai bekal untuk menjalani proses kehidupannya.114
Pandangan para ahli tersebut semakin menguatkan proses yang telah
dilakukan al-Sakaki bahwa ketika ia melalukan meditasi atas sebuah objek tertentu
maka ia membutuhkan waktu khusus sebagaimana dijelaskan sebelumnya untuk
membuktikan data empirik yang ia peroleh. Ia melakukan serangkain cara berpikir
ilmiah untuk menemukan sebuah kebenaran yang dianutnya agar dapat
menghilangkan kesangsiannya. Selain hal itu, ia juga menginginkan agar siapapun
yang mempelajari dan meneliti tentang karyanya mampu melakukan hal yang sama
dan tidak asal menulis tanpa pertanggung jawaban moral. Sebab, kemunduran umat
ini salah satunya akibat kurangnya penemuan baru. Cara berpikir tersebut akan
membawa kepada keluasan ilmu dan jembatan menuju setiap solusi hidup.115
Tammam Hassan menilai bahwa proses tersebut sudah semestinya menjadi
tauladan bagi setiap generasi ilmuwan setelahnya, termasuk dirinya sendiri.116
Maka
Miftāḥ al-‘Ulūm dapat disimpulkan berepistemologi rasionalisme karena ia bagian
dari wujud gabungan pengalaman pada alam yang nyata yang dialami (empirisme)
oleh al-Sakaki serta pengolahan pengalaman dan data-data yang diamati melalui
akal, khususnya pada cabang ilm al-ma’ānī.117
Sebab, itu Haim Gordon (1990 M) menegaskan bahwa ilm al-ma’ānī dalam
stilistika Arab (balagah) adalah kajian kemaknaan dan kedalaman cara berpikir,
113
Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkām al-Qur’ān (Kairo: Dar al-
Kutub al-Mishriyyah, 1357), 956. 114
Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkām al-Qur’ān, 957-959. 115
Michael Beaney, Thought and Experience: Themes in the Philosophy of Mind, 64. 116
Tammam Hassan, Kitab al-Uṣūl, 188. 117
Tammam Hassan, Kitab al-Uṣūl, 174.
110
seperti tashbīh (smile) yang harus menghadirkan mushabbah dan mushabbah bih
nya, bahkan juga harus menghadirkan adāt mushabbah-nya.118
1. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian خبرال (berita) dan ستهها اال (bertanya)
Pada kajian رباخل dalam topik اإلسناد اخلربي bembahasan pertama dalam ilm al-
ma’ānī tampak al-Sakaki mengibaratkan seorang anak yang berbicara kepada
kedua orang tuanya. Disaat pembicaraan berlangsung menurut al-Sakaki
sebenarnya seorang anak sangat menyadari bahwa apa yang ia sampaikan benar
atau bohong, sehingga disaat berbicara dalam bentuk al-khabar, anak tersebut
pun harus berpikir dengan akal untuk menyampaikan informasi yang ia inginkan
untuk kedua orang tuanya. Proses cara berpikir tersebut memberikan peluang
untuk berkata benar atau bohong.
Al-Farabi (339 H) menyebutkan bahwa dalam diri seorang anak telah terjadi
pencarian teori khusus yang bisa diterima secara linguistik dan secara psikologis
untuk dapat menjelaskan hakikat bahasa yang ia ucapkan.119
Sebab, menurutnya
seorang anak yang baru lahir sekalipun, belum bisa berbicara secara langsung,
namun anak tersebut telah memiliki potensi berbicara yang ia bawa sejak saat
kecil. Hal tersebut karena seorang anak telah dibekali dengan pendengaran (al-
khawās) dan baru terlihat talenta dan bakat bicaranya dengan baik ketika
menjelang dewasanya yaitu disaat pengelihatan (‘aql) dan hati (al-wijdān) mulai
berfungsi dengan baik.120
Misal رباخل dalam al-Qur’an:
121مث إنك م ب عد ذلك لميت ون Artniya:
Kemudian, sesudah itu sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.
Sayyid Quthb menerangkan bahwa pada ayat tersebut adalah bentuk informasi
(al-khabar) penting bagi setiap manusia bahwa mereka pasti mengakhiri
kehidupan alam dunia menuju alam akhirat. Proses perpindahan alam tersebut
menurutnya akan di dahului dengan kematian dan masuk ke dalam alam bazakh.
Maka bentuk al-tawkīd (la) dalam ayat tersebut adalah penegasan ulang agar
118
Haim Gordon, Naguib Mahfuz’s Egypt, Existential Themes in His Writing (USA:
Green Wood Press, 1990), 65. 119
Pencarian teori linguistic pada akan tersebut disebut sebagai psikolinguistik yaitu
ilmu yang merupakan gabungan antara dua ilmu yaitu psikologi dan linguistik. Ia pertama
kali muncul pada abad ke-20 ketika seorang psikologi Jerman Wilhem Wundt
mengungkapkan bahwa bahasa dapat dijelaskan melalui dasar-dasar psikologis. Lih. Dessi
Wardiah, Psikolinguistik Dalam Kemampuan Berbicara Pada Anak Usia Dini Jurnal
Wahana Didaktika Vol. 12 No. 2, Mei 2014, 2. 120
Dessi Wardiah, Psikolinguistik Dalam Kemampuan Berbicara Pada Anak Usia
Dini, 2-3. 121
Q.S Al-Mukminun: 15.
111
informasi tersebut tidak mudah diabaikan begitu saja karena ia adalah sesuatu
yang benar dan akan terjadi dan mesti dipikirkan dan dipersiapkan.122
Fuad Thahari menambahkan bahwa andaikan tanpa melihat ke dalam konteks
dilālah al-lafdhī dalam al-Qur’an apakah sifatnya haqīqī atau majāzī seperti al-
khabar tersebut pastilah informasi tidak dipahami dan diterima dengan baik oleh
objeknya yakni manusia atau semua yang masih berada di alam dunia.123
Maka
kenyataan ini lah yang membuat al-Sakaki menggologkan رباخل sebagai sebuah
berita yang harus dipikirkan dan ditelaah dengan baik, demi sebuah kesimpulan
yang tepat meresponnya.
Adapun dalam proses penyusunan al-ṭalab yang merupakan bagian dari al-
isnad al-khabarī, seorang anak ketika melarang (al-nahyi) atau mengharapkan
sesuatu (al-tamanni) maka menurut al-Sakaki proses berpikir dengan rasio (‘aql)
dipastikan telah bekerja dengan baik. Maka menurut Josep C. Mukalel (2005 M)
menegaskan bahwa mengajak anak untuk berkomunikasi secara interaktif dengan
baik akan memberikan motivasi kepada seorang anak untuk mudah bertanya atau
sekedar berharap bisa berbicara seperti apa yang telah kita ucapkan di
hadapannya. Menurutnya, sekalipun ia belum bisa berbicara dan
mengungkapkannya dengan baik untuk merespon komunikasi seseorang, anak
tersebut bisa menyimpan dalam memorinya sehingga berpengaruh positif
terhadap prilaku budaya dan bahasanya.124
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ida Mafikha tentang Tingkat
Kemampuan Bertanya menyimpulkan bahwa jika seseorang bertanya sesuatu
maka sesugguhnya ia juga sedang mengharapkan sesuatu dari pertanyannya.
Proses tersebut telah menunjukkan bahwa seseorang tersebut adanya rasa ingin
tahu dalam dirinya yang harus segera ditemukan jawabannya. Menurutnya
berbagai macam jenis االستفهام (bertanya) merupakan saat-saat yang sangat
berguna karena seseorang pada kesempatan tersebut sedang memusatkan seluruh
perhatiannya terhadap sesuatu yang baru, bahkan ketajaman dan insensitas
pertanyaan menunjukkan bahwa seseorang tersebut menyadari adanya sebuah
masalah yang harus diselesaikan.125
Para ahli linguis mengatakan bahwa bertanya
dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap orang, serta bukti (االستفهام)
bahwa wujūd al-‘aql berjalan dengan baik disaat menangkap sesuatu yang
diamati oleh inderawinya. Sedangkan menjawab merupakan bukti kekuatan dan
122
Sayyid Quthb, Tafsīr fī Dzilāli al-Qur’ān (Kairo: Dar al-Syuruq, 1872), 2460 123
Fuad Thahari, Tafsir Berbasis Linguistik: al-Tafsīr al-Bayāni li al-Qur’ān al-Karīm
Karya Aisyah Abdurrahman binti Shaṭi’, Jurnal Adabiyyat, Vol. 8, No. 2, Desember 2009,
66. 124
Josep C. Mukalel., Psychology of Language Learning (New Delhi: Discovery
Publishing House, 2003), 99. 125
Ida Mafikha, Penggunaan Model Listening Team Sebagai Sarana Meningkatkan
Kemampuan Bertanya, Jurnal Florea Vol. 2, No. 1, April 2015, 23.
112
kemampuan berpikir, sehingga kemampuan menjawab dapat menjadi tolak ukur
kekuatan al-‘aql yang dimiliki setiap individu.126
Maka tidak mengherankan jika al-Sakaki sendiri dalam proses mengarang
Miftāḥ al-‘Ulūm pernah menunggu beberapa hari untuk memperoleh ide dengan
cara memberikan kesempatan para siswanya untuk bertanya kemudian ia
meminta murid lainnya untuk mencoba menanggapinya. Pada kesempatan yang
lain, al-Sakaki juga pernah menyanggah permohonan pemerintahan kerajaan
Abbasiyah ketika diminta untuk menjabat, ia menyanggah permohonan tersebut
dengan mengatakan “karena saya tidak mengetahuilah maka saya bertanya untuk
saya pikirkan”.127
Aristoteles meranggapan bahwa jika antara pertanyaan dan
jawaban telah menjadi satu kebutuhan yang sama, maka telah terjadi conectivitas
antara empirik dan rasionalitas yang matang.128
Sebuah upaya yang ditawarkan oleh Immanuel Kant untuk menguji
connectivitas antara empirisme dan rasionalisme yaitu dengan sintesis a priori.129
Menurutnya pengetahuan yang benar bersumber dari rasio dan empiris yang
sekaligus bersifat a priori dan a posteriori.130
Sebagai gambaran, al-Sakaki
melihat peristiwa perkembangan berpikir para murid-muridnya dikarenakan mata
melihat ke arah mereka (rasionalisme) dan keadaan tersebut memantulkan sinar
ke matanya (empirisme) yang kemudian ia mengambil sebuah pengetahuan baru
dari proses antara keduanya.
Adapun misal االستفهام dalam al-Qur’an, sebagai berikut ini:
ين أ 131رأيت الذي ي كذب بالدArtinya:
Apakah engkau (wahai Muhammad) telah mengetahui orang-orang yang
mendustakan agama (Islam).
Dalam ayat tersebut Allah mengundang manusia agar menggunakan akal
untuk berpikir siapa saja orang-orang yang mendustakan agama Islam. Menurut
imam al-Qurthubi hal tersebut terjadi karena telah terjadi proses empirik pada
orang-orang yang mencintai dunia berlebihan sehingga mereka melupakan
kehidupan akhirat yang telah diajarkan oleh agama Islam, kepedulian dan
126
Agus Suprijono, Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), 15. 127
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 220.
128
Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy atau Pengantar Ilmu Filsafat, 151. 129
Istilah sintesis a priori digunakan pertama kali oleh Immanuel Kant. makna dari
istilah tersebut adalah sebuah cara berpikir yang dilakukan setelah melihat dan mengalami.
Teori ini disebut dengan teori eksperimental yaitu hanya mengadalkan pengalaman semata,
sehingga kemamuan kognitifnya masih kurang matang karena ia tidak bisa langsung
memvisualisasikan apa yang yang ia lihat dan alami dalam bentuk tulisan. Lih. Aceng
Rahmat dkk, Ilmu Filsafat Lanjutan (Bandung: Kencana Prenada Group, 2015), 16. 130
Michael Beaney, Thought and Experience: Themes in the Philosophy of Mind,
134-136. 131
Q.S. Al-Qashash: 17
113
ketaatan mereka kepada Allah sangatlah minim. Padahal orang-orang tersebut
mengetahui jelas bahwa hal tersebut akan melalaikan dari agama Allah.132
Al-Sakaki dalam gaya penulisannya sangat menampakkan rasionalisme (brain
power) nya seperti pengutipan ayat tersebut di atas. Maka tidak bisa sangkal lagi
bahwa al-istifhām dalam kajian ‘ilm al-ma’ānī sangatlah logik. Alasanya, karena
gaya bahasa al-istifhām diharapkan mampu memperoleh sebuah informasi baru
(al-khabarī). Sukron Kamil menguatkan bahwa jika ingin melihat rasionalitas
termudah pada ilmu balagah, maka liriklah kepada al-istifhām- nya.133
Al-Sakaki menegaskan bahwa semisal الطلب seperti ayat tersebut di atas pasti
didasari dengan pengalaman dan pengamatan terhadap sebuah kenyataan yang
ada. Maka munculnya harapan-harapan baru yang telah diproses terlebih dahulu
oleh akal.134
Pola contoh yang dimaksud oleh al-Sakaki melalui contoh al-
istifhām pada ayat tersebut telah tampak secara sintesis a priori yang dilakukan
oleh orang-orang pendusta agama. Keinginan mereka yang kuat setelah melalui
sebuah proses panca indera membuat segala motorik berpikir mereka menjadi
harapan baru. Pradigma tersebut muncul karena instrument berpikir yang telah
dianugerahkan oleh sang maha Pemberi sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
2. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian الذكر (reminder) dan الحذف (repeal) Jujun Suriasumantri mengungkapkan bahwa proses komunikasi dengan
lawan bicara haruslah jelas dan objektif, bahkan menurutnya harus bebas dari
unsur-unsur emotif. Tolak ukur berbahasa yang jelas menurutnya adalah
memiliki makna yang terkandung dalam kata-kata yang digunakan secara
eksplisit untuk mencegah pemberian makna yang lain. Maka setiap susunan kata
yang dikeluarkan oleh lisan sudah seharusnya dipikirkan dengan baik untuk
mempilah pilih yang terbaik.135
Susunan kalimat terbaik yang telah disepakati bersama oleh para ahli linguis
secara umum hanya ada dua bentuk saja yaitu jumlah ismiyyah (mubtada’-
khabar) dan jumlah fi’liyyah (fi’il, fā’il dan maf’ūl).136
Sedangkan al-Sakaki pada
kajian al-ma’ānī menyebutnya sebagai al-musnah dan al-musnad ilahi
sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Adapun al-dzikr dan al-hadhf keduanya
adalah masuk dalam kajian al-musnah dan al-musnad ilahi.
Ketika al-Sakaki menjabarkan mengenai al-musnah dan al-Musnad ilahi
maka ia juga tidak lupa menyebutkan bahwa keduanya memiliki tujuan-tujuan
semantik selain untuk tujuan-tujuan sintaksis. Adapun beberapa tujuan tersebut
secara tertib menurutnya ialah berupa al-hadzf dan al-dzikr, al-taqdīm dan al-
ta’khīr, al-ta’rīf dan al-tankīr, al-taqyīd dan al-qashr. Keseluruhan sub kajian
tersebut dijelaskan oleh al-Sakaki memiliki metode berpikir yang bertujuan untuk
132
Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 750.
133
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 152. 134
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 259. 135
Jujun Surriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 181.
136
Moh. Mastna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemprer, 131.
114
memperindah dan menguatkan makna-makna yang tersimpul di dalamnya.137
Senada dengan Jujun Suriasumantri, John Kemeny (1992 M) mengungkapkan
bahwa komunikasi akan lebih produktif jika nilai dan maknanya mudah dicerna
oleh lawan bicaranya. Maka menurutnya ketika seseorang mengeluarkan bunyi
(jumlah) baik berupa al-musnad atau al-musnad ilahi dari lisannya maka
dibutuhkan olah pemikiran yang jelas dan tegas.138
Sebuah kalimat merupakan buah pemikiran seseorang yang erat
hubungannya antara jiwa dan akal. Akal sebagai agen pengetahuan yang
mengontrol proses pembentukan pengetahuan dalam bentuk lisan maupun lisan.
Sedangkan persoalan akal tersebut sangat tergantung kepada kondisi kejiwaan
yang tenang atau sebaliknya tidak tenang. Maka uraian serta rangkaian kalimat
yang keluar pun akan mudah ditebak sebagai pola pikir yang dimiliki seseorang.
Jika rangkain bunyi yang keluar dari lisan menunjukkan kata-kata yang singkat
namun padat makna, maka ia digolonggakn sebagai al-quwwah al’aqliyyah.139
Abubakar Madani (2017 M) mengatakan bahwa al-quwwah al’aqliyyah
telah dikelompokkan oleh al-Kindi (873 H) ke dalam tingkatan jiwa manusia, di
mana menurutnya jiwa manusia sangat tampak dari bahasa dan teori komunikasi
yang ia keluarkan dari lisannya baik secara tulisan maupun lisan. Al-Kindi
mengkategorikan ada 3 tingkatan jiwa manusia yang sangat berpengaruh
terhadap komunikasi manusia, yakni; a). daya berpikir (al-quwwah al’aqliyyah),
b). daya marah (al-quwwah al’ghaḍabiyyah), c). daya syahwat (al-quwwah
al’shahwatiyyah). Ketiga tingkatan jiwa tersebut menurut al-Kindi akan
menjembatani cara komunikasi yang baik dengan daya pikir yang tepat, di
samping bertujuan untuk padat makna dan harapan. Maka al-Kindi dalam teori
filsafatnya menilai bahwa sesuatu yang rasional adalah sesuatu yang dapat
mengeluarkan daya akal dari tempatnya yang potensial lewat rangkaian aktualitas
yang dibantu oleh daya-daya perantara seperti pengalaman dan meditasi terhadap
sebuah objek tertentu.140
Fadl Hasan Abbas (548 H) dalam karyanya al-Balāghah Funūnuhā wa
afnānuhā mengatakan bahwa dengan jiwa yang tenang serta al-quwwah
al’shahwatiyyah dan al-quwwah al’ghaḍabiyyah dapat dikontrol baik oleh al-
quwwah al-’aqliyyah. Maka hal tersebutlah yang menjadikan pola berpikir al-
Sakaki lebih produktif dan memiliki wawasan yang lebih luas, tampak ia selalu
belajar dari pengalaman seseorang dalam berkomunikasi dan mengutarakan
pendapatnya dengan susunan kata yang sepadan dan mudah dimengerti oleh
lawan bicaranya.
Fadl Hasan Abbas juga memberikan perumpamaan seperti gaya bahasa al-
dzikr yang ditemukan pertama kali oleh al-Sakaki telah memberikan harapan
untuk menambah keputusan dan penjelasan dalam sebuah redaksi kalimat yang
137
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 231. 138
John Kemeny, A Philosopher Looks at Science (New York: Van Nostrad, 1959), 3. 139
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), 33. 140
Abubakar Madani, Pemikiran Filsafat al-Kindi, Jurnal Lentera, Vol. 100, No. 2,
Desember 2015, 115.
115
diinginkan khususnya dalam penyebutan al-musnad ilaihi. Selain itu, ia juga
bertujuan untuk memperjelas tujuan sesuatu yang disampaikan melalui susunan
kalimat yang diinginkan, bahkan terkadang al-Sakaki memiliki tujuan tertentu
untuk menampakkan atau hanya ingin memaparkan sesuatu yang dijadikan objek
pembahasan. Semua tujuan dan harapan tersebut menurut Fadl Hasan pastinya
dilakukan secara logikal setelah melihat kepada fakta-fakta yang diamati tentang
suatu objek yang diinginkan. Maka menurutnya kekuatan akal dapat menjadi ciri
kepribadian seseorang disaat ia mampu mengeluarkan sebuah kalimat dengan
tanpa diliputi kekuatan al-ghaḍabiyah.141
Misalnya al-Sakaki memberikan contoh dari surat al-Ahqāf ayat 26, Allah
ta’ala berfirman:
وأبصارا وأفئدة فما أغىن عن ه م مسع ه م وال أبصار ه م ولقد مكناه م فيما إن مكناك م فيه وجعلنا هل م مسعا وال أفئدت ه م من شيء إذ كان وا جيحد ون بآيات الله وحاق هبم ما كان وا به يست هزئ ون
Artinya:
Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-
hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan
Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati;
tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit
juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan
mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-
olokkannya.
Al-Sakaki menjelaskan bahwa penyebutan kembali “pendengaran,
pengelihatan dan hati” dalam ayat ini bertujuan untuk menambah keputusan dan
penjelasan bahwa ketiga tanda tersebut merupakan pemberian Allah kepada
mereka yakni manusia yang ingkar atau orang-orang musyrik, benar-benar tidak
berguna, karena mereka justru menggunakan ketiganya untuk mengingkari tanda-
tanda kebesaran Allah sehingga mereka pun akan mendapatkan siksaan di akhirat
yang dahulunya mereka selalu memperolok-olok siksaan itu.
Dalam ayat tersebut terdapat kata yang memiliki indikator (qarīnah) yang
menunjukkan ism mudzakkar. Jika diamati dengan baik maka akan ditemukan al-
musnad ilaihi dan al-musnad pada suatu kalimat yang tidak dihapus (al-dzikr).
Kecuali karena ada beberapa alasan kondisinya seperti untuk menghindari
kalimat yang sia-sia, atau bisa saja karena alasan kritis seperti dalam kondisi
darurat yang tidak memungkinkan seseorang menggunakan kalimat atau kata-
kata yang sempurna berdasarkan al-musnad atau al-musnad ilahi. Dalam hal
darurat tersebut bisa saja seseorang hanya mengungkapkan kata pendek seperti
kata“tolong...!”, “awas....!” atau “tunggu...!” tanpa memperpanjang kata-
katanya. Namun, sekalipun demikian makna yang dimaksud olehnya telah mudah
dipahami.142
141
Fadl Hasan Abbas, al-Balāghah Funūnuhā wa Afnānuhā (Palestina: Dār al-Furqan,
1987), 70-80. 142
Mahfudz Siddiq, Kajian Balagah Berbasis Kearifan Lokal, 113.
116
Penggunaan tujuan al-dzikr pada ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa
al-Sakaki sangat menggunakan kekuatan akalnya dalam kajian tersebut. Selain
itu, pada kondisi sebaliknya rasionalisme al-Sakaki sangat tampak pada kajian al-
hadzf. Misalnya dalam al-Qur’an!
143فما اسطاع وا أن يظهر وه وما استطاع وا له ن قبا
Artinya:
Maka mereka tidak bisa mendakinya dan tidak bisa (pula) melobanginya.
Pada ayat tersebut terdapat al-hadzf yaitu pada kata استطاع وا kemudian
dihapuskan huruf ت dari yang lazimnya, sehingga menjadi اسطاع وا. Huruf yang
hilang tersebut membuat kalimatnya menjadi lebih berat dilafalkan, karena bunyi
huruf س bersambung langsung dengan huruf ط. Sekalipun demikian terjadi al-
hadzf, namun makna dan pengertian telah dipahami langsung oleh pembaca.
Dengan penyingkatan tersebut maka lisan akan lebih ringat mengucapkan karena
ia bertujuan untuk meringkas. Sebab, sesungguhnya al-hadzf adalah leksikal
yang bermakna membuah yaitu membuang musnad ilaihi. Misalnya lain dalams
sebuah sha’ir berikut ini:
سهر دائم وحزن طويل
Artinya:
Susah tidur dan sedih yang berkepanjangan.
Pada contoh syair tersebut di atas tampak musnad ilaihi -nya terbuang atau
terhapus. Padahal pada teks aslinya memiliki kata حال sebelum kalimat tersebut.
Namun, disingkat karena ingin menyembuyikan musnad ilaihi –nya. Sekalipn
ada احلذف (repeal) pada teks tersebut, namun tidak akan mengurangi makna yang
sesunggguhnya. Dengan demikian, baik al-dzikr (reminder) atau al-hadzf
(repeal) keduanya merupakan kajian al-musnad dan al-musnad ilaihi dalam ilm
al-ma’ānī.144
Al-Sakaki dalam kajian ilm nahw, ia berkata bahwa al-musnad dan al-
musnad ialhi yang bertujuan untuk menyingkat kalimat yang sebelumnya demi
kebutuhan darurat. Bentuk tersebut menurutnya digunakan pada kondisi penting
dengan harapan segera direspon dengan cepat. Selain itu, diharapkan bisa
diungkapkan kepada al-mukhātab (lawan bicara) dengan cepat. Proses tersebut
pun terjadi menurutnya karena adanya fungsi pendengar dan pengelihatan yang
sempurna. Maka makna dan kata tersebut mudah dipahami jika telah di dapatkan
maksud darinya.145
143
Q.S. al-Kahfi: 97. 144
Parera JD, Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 1990), 89 145
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 231.
117
Tampak dari pemilihan contoh yang dibuat oleh al-Sakaki terhadap
beberapa kajian al-ma’ānī termasuk al-musnad atau al-musnad ilahi semakin
meyakinkan proses rasionalisme yang lebih diunggulkan daripada intuisionisme.
Keyakinan tersebut diilhami oleh cara berpikir al-Sakaki ketika akan merajut
sebuah contoh dengan pemilihan ayat atau kata yang ia inginkan dan tentunya
mewakili harapannya secara keseluruhan. Ahmad al-Hashimi (1943 M)
menuturkan bahwa gagasan bentuk tulisan maupun lisan seperti yang telah
diungkapkan oleh al-Sakaki melalui al-musnad dan al-musnad ilahi adalah hasil
dari proses berfikir (al-quwwah al-‘aqliyyah).
Ahmad Al-Hasyimi juga menyebutkan bahwa apa yang sudah dilihat dari
penjabaran al-Sakaki tersebut memberikan ketegasan bahwa suatu kalimat ada
yang harus dihapus bagian dari klausa kalimat tersebut. Sebaliknya ada bagian
dari suatu kalimat yang dihilangkan. Maka menurutnya untuk hal tersebut dapat
diketahui dengan menggunakan penalaran terhadap konteks kalimat atau konteks
situasi. Secara umumnya menurutnya biasanya kata yang dihilangkan berupa al-
musnad atau al-musnad ilahi.146
3. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian هصلال قصرال dan ,الوصل , Al-Sakaki memberikan definisi bahwa al-faṣl secara bahasa adalah
memotong atau memisahkan. Sedangkan secara istilah menurutnya al-faṣl adalah
menggabungkan dua kalimat dalam satu waktu dengan tidak menggunakan عطفال (kata sambung). Senada dengan al-Zamakhsyari, ia menjelaskan bahwa al-faṣl adalah susunan kalimat sempurna dengan tidak menggunakan kata sambung atau
kebalikan dari al-waṣl.147
Maka gaya bahasa فصلال menurut al-Sakaki memiliki beberapa ketentuan
yang harus diketahui, setidaknya dalam Miftāḥ al-‘Ulūm ia menuliskannya lima
ketentuan wajib yakni tawassuṭ baina kamālain, shibh kamāl al-inqiṭā’, kamāl
al-inqiṭā’, shibh kamāl al-ittiṣāl dan kamāl al-ittiṣāl. Adapun yang pertama
menurut al-Sakaki adalah kamāl al-ittiṣāl (hubungan yang sempurna), di mana
kedua kalimat merupakan kesatuan yang utuh, yakni kalimat kedua bertujuan
untuk menjadi al-tawkīd (penguat), al-bayān (penjelas) dan al-badal
(pengganti).148
Secara rasional menurut al-Sakaki al-faṣl akan mudah dipraktekkan dan
diketahui dengan baik jika mengamati langsung kepada kata sambung yang tidak
dihadirkan. Maka hal tersebut di dalam proses pemahamannya membutuhkan
hasil pengamatan yang cermat agar mengetahui letak kata sambung yang
seharusnya diposisikan namun ditiadakan.149
Misalnya al-Sakaki mengutip ayat
dari surat al-Anbiya ayat 53-55 berikut ini:
146
Ahmad Al-Hasyimi, Jawāhir al-Balāgah fī al-Ma’āni wa al-Bayān wa al-Badī’
(Kairo: Maktabah Dār Ihyā al-Kutub, 1960), 180.
147
Moh. Mastna , Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 128. 148
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 265. 149
Bakri Syaikh Amin, al-Balāghah al-‘Arabiyah fī Tsaubihā al-Jadīd al-Ma’ānī
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1995), 255.
118
بدين ءابا وجدنا قال وا ا قال و ۞ ؤ ك م ف ضلل مبني قال لقد ك نت م أنت م وءابا ۞ ءنا هلا ع بٱحلق أم أنت من ٱللعبني أجئت نا
Artinya:
Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya"
(Mereka menjawab, "Kami mendapatkan bapak-bapak kami semua adalah
menyembahnya") maka kami mengikuti mereka.* Mereka menjawab:
"Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu
termasuk orang-orang yang bermain-main?"
Kalimat أجئت نا ا pada ayat ketiga di atas merupakan penguat (al-tawkīd) قال و
bagi kalimat sebelumnya yaitu وجدنا Oleh karena itu .قال لقد ك نت م dan قال وا
ketiga kalimat tersebut di atas dipisah namun tidak menggunakan kata
penghubung huruf ‘athaf (و). Ssecara sepintas dibaca tidak terjadi sesuatu pada
ayat tersebut namun sesungguhnya jika diamati dan dipikirkan dengan baik maka
tampak ada al-tawkīd yaitu ketika pada ayat tersebut ada pengulangan kalimat
pada ayat berikutnya. Abraham Kaplan (1970 M) mengungkapkan jika terjadi
proses pengulangan dalam sebuah teks atau kalimat lisan maka ada pesan khsusu
yang sesungguhnya ingin disampaikan kepada pembaca atau pendengar agar
lebih memperhatikannya dengan baik. Istilah tersebut menurutnya adalah bagian
dari cara komunikasi yang menunjukkan kematangan berpikir seseorang,
sehingga dapat direspon dengan cepat.150
Maka al-quwwah al’aqliyyah
(kemampuan daya pikir) menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan untuk
menalar sebuah ayat atau apapun konteksnya seperti ayat tersebut di atas.
Adapun tujuan kedua al-faṣl, yang masih bagian dari kamāl al-ittiṣāl
(hubungan yang sempurna) menurut al-Sakaki yaitu al-bayān (penjelas). Pada
bagian konteks ini pengetahuan yang bersumber secara rasional menuntut
kekuatan daya berpikir untuk memperoleh penjelasan (al-bayān) yang diinginkan
oleh pembicara. Misalnya, Al-Sakaki mengutip dari dalam al-Qur’an Allah ta’ala
berfirman:
151ف وسوس إليه الشيطان قال يا آدم هل أد لك على شجرة اخل لد
Artinya:
Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata:
"Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan
kerajaan yang tidak akan binasa?"
150
Abraham Kaplan, The New World of Philosphy (New York: Alfred A. Knopf dan
Random House Inc, 1961), 66. 151
Q.S. Thaha: 120.
119
Kalimat يا آدم هل أد لك على شجرة اخل لد telah menjelaskan bagaimana iblis dahulu
menggoda nabi Adam dan Hawa untuk memakan buah khuldi yang berujung
kepada pelanggaran peraturan Allah, dan kalimat ini merupakan penjelas (al-
bayān) terhadap kalimat pertama ف وسوس إليه الشيطان. Oleh karena itu, kedua
kalimat ini dipisah, namun tidak menggunakan kata penghubung huruf wāwu (و). Sekilas, jika diamati dengan baik maka konteks ayat semacam ini sangat
membutuhkan kepada ketajaman berpikir untuk menemukan sebuah ungkapan
yang memiliki makna sempurna walau tanpa kata sambung. Al-Sakaki menjelaskan makna dibalik al-bayān (penjelas) berarti adalah
kemampuan daya pikir (al-quwwah al’aqliyyah) untuk mengungkapkan makna di
balik sebuah konteks tertentu. Menurutnya, al-bayān sangat terbantu dengan
objek pengalaman inderawi yang telah merasakan atau yang langsung
mengamati. Sebaliknya, al-bayān (penjelas) tidak akan muncul jika objek yang
diamati tidak memberikan daya tarik untuk dicerna dan diambil faedahnya. Ia
juga menambahkan bahwa metode al-bayān (penjelas) pada kajian ‘ilm al-
ma’ānī juga sangat penting untuk menghilangkan kesangsian atau hanya sekedar
al-wahm.152
Adapun tujuan selanjutnya al-badal (pengganti), Imam al-Zamakhsyari
menyebutnya dengan istilah tukar posisi pada sebagian untuk keseluruhannya.
Al-Sakaki mencontohkannya dengan firman Allah ta’ala sebagai berikut ini:153
وجنات وع ي ون أمدك م بأن عام وبنني وات ق وا الذي أمدك م مبا ت علم ون
Artinya:
Dan tetaplah kamu bertakwa kepada-Nya yang telah menganugerahkan
kepadamu apa yang kamu ketahui, Dia (Allah) yang telah
menganugerahkan kepadamu hewan ternak, anak-anak, kebun-kebun dan
mata air.
Pada konteks ayat tersebut telah terjadi al-badal (pengganti) yaitu pada
kalimat وجنات وع ي ون أمدك م بأن عام وبنني menjadi pengganti sebagian dari kalimat
pertama أمدك م مبا ت علم ون . Hal tersebut karena ternak, anak-anak, kebun-kebun dan
mata air merupakan bagian dari apa yang diketahui. Oleh karena itu kedua
kalimat tersebut dipisah namun tidak menggunakan kata penghubung wāwu (و). Ketiga tujuan utama pada kajian al-faṣl telah meyakinkan para pembaca
terhadap usaha Al-Sakaki dalam merumuskan ilmu pengetahuan tersebut dengan
penuh daya pikir yang kuat atau secara rasionalitas. Namun, bukan berarti al-
Sakaki tidak mengakui akan sumber keilmuan secara empirisme hanya saja
menurutnya tidak cukup yang demikian tetapi harus bisa dipastikan dan masuk
152
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 320. 153
Q.S. al-Syu’ara: 132-134
120
akal. Hal tersebut menurutnya karena akal merupakan sebuah anugerah yang
harus dimanfaatkan dengan baik sesuai fungsinya.
Pembahasan selanjutnya di mana al-Sakaki menjadikan rasionalisme sebagai
epistemologi الوصل (al-waṣl). Mahduz Siddiq memberikan pengertian bahwa al-
waṣl adalah kalimat berbentuk penyambungan atau kebalikan dari al-faṣl. Ia
terjadi apabila kedua kalimatnya sama-sama khabariyyah atau inshāiyyah yang
memiliki kaitan sempurna pada makna dan tidak ada sebab yang mengharuskan
terjadinya dipisah atau dipotong (al-fashl). Menurutnya ia terbentuk karena a.
karena menyamakan dua kalimat dari sisi i’rab -nya, b. karena adanya perbedaan
bentuk antara dua kalimat, sehingga jika tidak digabungkkan dengan huruf wawu,
maka akan menimbulkan gagal paham, c. adanya kesamaan bentuk kalimat
dalam kalimat khabariyah atau kalimat inshāiyyah.154
Misalnya al-Sakaki mengutip ayat 104 surat Ali Imran, Allah berfirman:
هون عن الم نكر ولتك ن منك م أ مة ري ويأم ر ون بالمعر وف وي ن يدع ون إىل اخلArtinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar.
Dalam ayat tersebut tampak ada 3 kalimat yang disambung dengan huruf
wāwu, yaitu mereka yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
kebaikan, dan mencegah dari kemungkaran. Hal tersebut terjadi karena
kedudukan i’rāb-nya sama yaitu sebagai sifah dari kata umat.
Metode penulisan dan sumber keilmuan tersebut menurut Ali al-Jarim (1949
M) sangat mengandalkan logika berpikir yang cermat. Karena setiap penghubung
dalam setiap konteks yang kita inginkan pasti memilik makna yang terkandung di
dalamnya. Demi mengeluarkan makna tersebut butuh kepada perenungan
maksud yang tepat sehingga tidak terkesan salah.155
Ungkapan al-Sakaki bahwa
ia mereview ingatannya tentang karya al-Jurjani sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, menurut Fitzerald Kennedi (1963 M) adalah pesan penting yang
mesti dipahami bahwa ia telah melalui proses empirik, dan sedang memikirkan
sesuatu yang baru melalui pengamatan terhadap data empirik tersebut.156
Menurut David Hume, keseluruhan isi pikiran seseorang atau yang sering kita
sebut sebagai persepsi ia terbagi kepada ide-ide atau pikiran, dan kesan-kesan
serta ingatan tentang sebuah pengalaman. Di mana ingatan menurutnya dapat
disebut sebagai meaning, artinya ia pasti berbicara mengenai teori empirisme
tentang meaning theory. Ia menegaskan bahwa makna terbentuk dari ide atau
pikiran di saat mengingat atau melihat kepada sebuah objek tertentu. Artinya,
bagaimana seseorang memahami benda yang disebut kuda, itu tergantung dari
ide atau pikiran orang tersebut tentang kuda di saat ia kembali melihat atau
154
Mahfudz Siddiq, Kajian Balagah Berbasis Kearifan Lokal, 142. 155
Ali al-Jarim dan Musthafa Amin, al-Balāghah al-Wāḍiḥah al-Bayān al-Ma’ānī al-
Badī’ (Kairo: al-Wizārah al-Tarbiyah, t.t.), 60. 156
Fitzerald Kennedi, Empirisme dan Skeptisisme David Hume: Sang Skeptis Radikal
(Jakarta: Serambi Salihara Community, 2016), 7.
121
mereview ingatannya. Maka ia menyimpulkan bahwa ide itu adalah persepsi
yang kurang hidup dan kurang berdaya. Maka perlu dipikirkan untuk
memisahkan antara yang satu dengan yang lainnya agar mendapatkan hasil yang
lebih optimal melalui kesatuan jiwa sebagai poros utama berpikir.157
Pada kajian القصر (al-habs wa al-ilzām)158 dalam ‘ilm al-ma’ānī juga
termasuk pada konsep meaning theory yaitu kajian keilmuan olah pikiran. Al-
Sakaki menyebutnya sebagai sebuah teori spesifikasi (specific theory) yang
bertujuan mengunggulkan sesuatu yang ingin dijadikan objek pembicaraan.
Dalam prosesnya al-mutakallim sengaja melakukan sebuah pengkhususan
dengan tujuan tertentu, tanpa menyebutkan qarīnah-nya.159
Dalam merumuskan dan memisahkannya antara yang satu dengan yang
lainnya butuh kepada meaning theory yang tepat, sehingga diharapkan tidak lari
dari tujuan awalnya.160
Pemahaman terhadap sebuah arti atau makna terlebih
kepada sesuatu yang dikhususkan menurut Hannapel (1988 M) terletak pada
keluasan berpikir yang dimiliki oleh seseorang, dan keluasan berpikir itu sangat
diilhami oleh pengalaman dan keahlian setiap individu (asosiasi individu) hingga
akhirnya menghasilkan sebuah pengetahuan yang pasti.161
Dale H. Schunk (2014 M) menegaskan bahwa seseorang perlu mendongkrak
cara berpikirnya agar lebih luas salah satunya dengan scientific learning, yaitu
upaya yang dilakukan dengan berpikir kritis.162
Menurutnya upaya berpikir kritis
sangat diilhami dengan kerangka teori perbaduan antara scientific learning skill
murid dengan scientific learning skill guru. Maka perpaduan antara kedua teori
tersebut akan menghasilkan berpikir yang kritis.163
Al-Sakaki sebagai seorang
guru tentunya harus mengasah selalu kekuatan berpikir dan keluwesan hati.
Sebab, dalam proses tersebut mampu memberikan inspirasi dalam setiap
aktivitasnya. Maka pada tahapan inilah meaning theory akan mudah terwujud
157
David Hume, A Treatise of Human Nature, (Oxford: Clarendon Press, 2007), 188. 158
Gaya bahasa bertujuan untuk membatasi sesuatu dan meniadakan yang lainnnya
dalam suatu ungkapan, ia memiliki dua unsur pokok sekaligus yaitu al-ṣifah dan al-mauṣūf.
Perangkat gaya bahasa al-qaṣr terdiri dari إال ,إنا ,ال seperti contoh: إنا يتذكر أولو األلباب. Menurut Mahdufz Siddiq, untuk menghasilkan kalimat al-qaṣr dapat dilakukan dengan
berbagai cara: a. Menggunakan huruf negasi dan lafal pengecualian, b. menggunakan lafal
innama, c.menggunakan huruf ‘athf dengan huruf lā, bal atau lākin, dan d. mendahulukan
yang seharusnya diakhirkan. Lih. Mahfudz Siddiq, Kajian Balāghah Berbasis Kearifan
Lokal (Semarang: UIN Walisongo, 2016), 136. 159
Aṭaillah bin Junaydi, al-Sakākī dan Peranannya dalam Ilmu Balagah, 67.
160
Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl, 230. 161
Hannapel, Alltagssprache (Belanda: Seine Verankerung, 1979), 162 162
Pembelajaran dengan pendekatan saintifik merupakan pembelajaran yang berpusat
pada siswa. Metode tersebut akan memberikan keluasan berpikir kepada siswa untuk lebih
aktif dan respontif terhadap masalah yang ada di hadapannya. Lih. Nuril Yusri, Keterkaitan
Scientific Learning dengan Kemampuan Berpikir Kritis (Yogyakarta: UIN Suka Press,
2015), 16. 163
Dale H. Schunk, Learnihg Theories and Educational Perspective, Terj. Eva
Hamdiah dan Rahmat Fajar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 230.
122
dari setiap pandangan makna yang lebih luas dan memberi ungkapan bahasa
yang lebih bermutu dan padat makna.164
Misal al-Qaṣr, dalam hadits nabawiyyah Muhammad صلى هللا عليه وسلم bersabda:165
ىو ا ن م ئ ر ام ل ك ا ل ن إ ، و ات ي الن ب ال م ع أل ا ا ن إ
Artinya:
Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung kepada niatnya, dan
sesungguhnya setiap orang akan memperoleh apa yang ia niatkan.
Pada hadith tersebut di atas tampak bahwa Rasulullah صلى هللا عليه وسلم
mengkhususkan niat pada setiap segala perbuatan dan tindakan. Penggunaan kata
berfungsi sebagai al-tawkīd (penekanan), sekaligus menampakkan sesuatu إ ن ا
yang dikhususkan olehnya yakni setiap perbuatan dan tindakan manusia
segalanya tergantung kepada niatnya. Adapun kalimat إ ن ا ل ك ل ام ر ئ م ا ن و ى adalah
qaṣr kedua, yakni mengkhususkan al-khabar al-mutaqaddim terhadap al-
mubtada’ atau mengkhususkan manusia dengan sesuatu yang ia niatkan. Misal
lainnya yang berkaitan dengan qaṣr:
إىل اهلل أشكو أن يف النفس حاجة # متر هبا األيام وهي كما هيا
Artinya:
Kepada Allah sajalah aku mengadu bahwa diri ini sedang membutuhkan *
Berlalulah hari-hariku terus seperti apa adanya aku”
Jika diperhatikan syair di atas akan didapati kalimat yang memiliki tujuan
khusus terhadap sesuatu. Al-Mutakallim menunjukkan dirinya bahwa ia hanya
mengkhususkan pengaduan dan curhatan hatinya kepada Allah. Jenis qaṣr pada
syair tersebut adalah qaṣr (pembatasan) berdasarkan pendengaran dengan
langsung menentukan pilihannya (qaṣr ta’yīn).166
Para ahli balagah sepakat untuk terus mempertahankan pendapat al-Sakaki
yang menjabarkan bahwa al-qaṣr terbagi kepada tiga yakni 1). qaṣr haqīqī dan
qaṣr iḍāfī, 2), qaṣr berdasarkan ṭarf –nya, 3). qaṣr berdasarkan kondisi
pendengarnya. Ketiga gaya bahasa qaṣr tersebut ditandai dengan huruf إال ,إنا ,ال dan sebagainya.
167
Rasionalisme al-Sakaki pada al-ma’ānī jelas adalah rasionalisme perpaduan
dengan empirisme. Sebuah, teori ilmu pengetahuan dengan connectivitas antara
pengalaman (al-khawās) dengan pengelihatan (al-‘aql) sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya.
4. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian التشبيه (simile)
164
David Hume, A Treatise of Human Nature, 180. 165
Imam al-Bukhari, Ṣahīh al-Bukhāri (Beirut: Dār al-Fikr, 1987), 4929. 166
Nayif Ma’ruf, al-Mūjiz al-Kāfī fī Ulūm al-Balāghah al-Arabiyyah: Ilm al-Ma’ānī
(Beirut: Dar al-Nafais, 1993), 133. 167
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 288.
123
Rasionalisme al-Sakaki tidak hanya tampak pada kajian ‘ilm al-ma’ānī,
namun juga pada kajian ‘ilm al-bayān seperti al-tashbīh (smile) berikut ini. Hal
tersebut di dasari bahwa Miftah al-‘Ulum bukanlah murni linguistic sense tetapi
juga grammar sense.
Konsep al-tashbīh dimaknai oleh al-Sakaki sebagai sesuatu yang
menyerupai baik itu sifat, subyek atau sesuatu yang lain dengan tujuan
menyerupakan satu perkara atau lebih karena ada tujuan yang diinginkan oleh
pembicara.168
Sedangkan Sukron Kamil memaknai al-tashbīh adalah metafor
lengkap dengan tujuan membandingkan sesuatu dengan hal serupa lainnya. Ia
mengambil konsep al-Sakaki yang mengungkapkan bahwa al-tashbīh terbagi
kepada lima bagian penting yaitu al-tashbīh al-mursal yang bertujuan untuk
menyebutkan media perbandingannya seperti kata “umpama” atau “bagaikan”.
Kedua adalah al-tashbīh al-muakkad dimana di dalamnya tidak disebut
medianya. Ketiga al-tashbīh al-mujmal di dalamnya menyebutkan persamaan
antara mushabbah dan mushabbah bih. Keempat adalah al-tashbīh mufaṣṣal di
mana di dalamnya disebutkan kedua mushabbah dan mushabbah bih. Sedangkan,
bagian yang kelima adalah al-tashbīh al-balīgh yakni al-tashbīh yang tidak
menyebut media perbandingan dan juga tidak menyebut persamaan.169
Salah satu contoh yang disebutkan oleh al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ
Ulūm, ia mengutip surat al-Rahman ayat 37, Allah ta’ala berfirman:
هان فإذا انشقت السماء فكانت وردة كالد
Artinya:
Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti
minyak.
Pada ayat tersebut di atas adalah kategori al-tashbīh al-mursal, di mana
pada ayat tersebut telah tampak mushabbah dan mushabbah bih -nya. Kata انشقت sebagai adāt ك sebagai al-mushabbah bih, huruf وردة ,adalah al-mushabbah السماء
al-tashbīh, sedangkan wajh al-shib -nya adalah احلمرة (kemerahan), namun pada
ayat tersebut wajh al-shib –nya tidak ditampakkan.
Secara epistemologis ayat tersebut jelas adalah rasionalisme karena
keseluruhan perangkat al-tashbīh pada rangkaian kalimatnya menunjukkan
sesuatu yang harus dipahami dengan detail maksud dan tujuannya. Adapun yang
dimaksud pada ayat tersebut adalah berkenaan dengan peristiwa kedahsyatan hari
kiamat, maka pada saat tersebut dibukakan pintu-pintu langit untuk turunnya
seluruh malaikat. Dengan demikian, jelaslah bahwa sebuah metode rasional
benar-benar harus dipahami dengan baik asbāb nuzūl dan tujuan ayat tersebut
sehingga dapat dimaknai dengan baik.
Metode burhānī atau rasionalisme diyakini oleh al-Sakaki sebagai salah satu
cara cara untuk memperoleh pengetahuan melalui pemberitaan langsung seperti
168
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 332.
169
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 141-142.
124
ayat di atas.170
Teori meditasi yang dilakukan oleh al-Sakaki ketika memaknai
sebuah ayat tertentu atau sebelum mengutipnya terbukti berhasil membawa
dirinya kepada feeling sense disaat memaknai sebuah ayat atau contoh tertentu.
Misal lainnya yang diperumpamakan oleh al-Sakaki adalah firmaan Allah ta’ala:
ل مات ال مث ل ه م كمثل الذي است وقد نارا ف لما أضاءت ما حوله ذهب الله بن ورهم وت ركه م يف ظ ي بصر ون
171 Artinya:
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka
setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang
menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat
melihat.”
Tampak pada ayat tersebut bahwa wajh al-tasybīh-nya adalah al-munāfiqūn
(orang-orang mnafik). Menurut al-Sakaki, Allah ta’ala memperumpamakan al-
munāfiqūn tersebut bagaikan orang-orang yang tuli, buta bahkan bisu.
Penyebabnya, adalah karena mereka tidak menggunakan tiga instrument yang
telah anugerahkan kepada mereka yakni inderawi (empirisme) akal (rasionalisme
dan hati (intuisionisme).
Misal tersebut menurut al-Sakaki membuktikan bahwa segala sesuatu yang
berhubungan dengan burhānī terhadap sebuah makna dan pengertian yang
diinginkan harus selalu menempuhnya dengan inderawi dan akal yang sehat.
Sebab, agaknya al-Sakaki sedang ingin menjelaskan bahwa rasionalisme adalah
puncak epistemologi keilmuan yang diperoleh dengan bantuan inderawi dan akal.
Dengan demikian, kata ال ي بصر ون pada akhir ayat tersebut menurutnya adalah
penegasan bahwa manusia mesti melalui rasionalisnya untuk mengungkap makna
dan pengertian yang haqīqī.
5. Rasionalisme al-Sakaki dalam Kajian ستعاة اال (Hipalesa)
Konsep yang diusung oleh al-Sakaki pada karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm sering
kali menonjolkan logika atau cara berpikir yang rasionalis. Hal tersebut bukan
hanya tampak pada tashbīh sebagai metafor lengkap, namun juga pada isti’ārah
sebagai metafor sebagian. Sebab, menurutnya disana tampak pelakunya sedang
melakukan sebuah interaksi sosial dengan pemilihan diksi kata yang tepat agar
indah di dengar, namun juga mudah dipahami.
Di antara contoh rasionalisme al-Sakaki tampak pada struktur sastra Arab
tentang romantisme (unsur emosi) yang diungkapkan oleh Ibnu Zaidun kepada
sang kekasihnya.172
170
William Johnston, Mysthical Theology: The Science of Love (London: Harper
Collins Religious, 1995), 90-93. 171
QS. al-Baqarah: 17 172
Wahab Rumiyah, Sya’ir Ibnu Zaidūn Qirā’ah Jadīdah (Damaskus: Āfaq
Tsaqāfiyyah, 2014), 141.
125
مشت اقا بالزهراء ذك رتك إين راقا ق د األرض وم رأى طل ق واألف ق
Artinya:
Aku merindukanmu di saat bunga-bunga mekar.
Di saat ufuk terang dan wajah memikat.
Pada syair tersebut tampak di dalamnya ada peminjaman kata طل ق واألف ق yang
menyerupakan manusia bagaikan matahari. Sedang kata ذك رتك إين adalah sebuah
ungkapan yang sangat mendalam akibat kerinduan yang tak terbendung kepada
kekasihnya bernama Wiladah. Sukron Kamil mengungkapkan bahwa syair dengan
corak romantisme tersebut adalah bagian dari prosa Arab klasik. Di dalamnya sangat
tampak imajinatifnya Ibnu Zaidun, sehingga lebih menampakkan kesedihan yang
mendalam yang sedang dirasakannya akibat diselimuti rindu yang membuncah.173
Al-Sakaki menegaskan bahwa pada peminjam kata tersebut sangat tampak reaksi
logika yang diungkapkannya, sekalipun dalam bentuk syair seperti di atas. Itulah,
sebabnya ia tampak sangat eskafistik dari kenyataan, di mana terkadang bisa saja
kenyataan lebih indah dari yang sesungguhnnya.174
E. Intuisi sebagai Epistemologi Miftāḥ al-‘Ulūm
The Ways of Ideas al-Sakaki dalam memformulasikan karya Miftāḥ al-‘Ulūm
adalah metode epistemologi yang terkenal darinya yakni al-khayāli, ia merupakan
level ketiga setelah wujūd al-lawh al-mahfūdh dan wujūd al-jasmāni sebagaimana
dijelaskan sebelumnya. Disaat terjadi proses penangkapan hakikat-hakikat oleh akal
seseorang maka sesungguhnya ia berasal dari al-khayāli. Ia berfungsi sebagai
pengetahuan yang tidak langsung atau dalam artian manusia tersebut dalam
memperolehnya tidak bersentuhan langsung dengan alam, maka proses tersebut
dikenal sebagai pengetahuan abstrak. Jika diamati dengan baik, maka didapatkan
kebenaran abstrak berada di dalam alam ide, transendent dan nyata adanya, ia
disebut pengetahuan "mukasshafah". Pengetahuan ini sulit di tembus dengan kata-
kata, tidak dapat diungkapkan dengan pembicaraan, tidak mampu inderawi
menjamahnya dan tidak kuasa akal meluluskannya.175
Bahkan, ia diyakini oleh
imam al-Ghazali bahwa manusia memiliki cara sendiri untuk menghubungkan
langsung antara dirinya dengan al-lawh al-mahfūdh untuk menangkap sebuah
hakikat tersebut. Dengan demikian, tidak mengherankan jika para filusuf
menyebutnya sebagai ilhām, al-dhawq dan al-kashf.176
Pengunaan ketiga kata ilhām, al-dhawq dan al-kashf berfungsi untuk
memperoleh pengetahuan tentang hakikat-hakikat secara langsung. Al-Sakaki
mengungkapkan bahwa objek tertentu mampu membawanya ke alam luar kesadaran
173Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 143.
174Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 487.
175Agus Sutiyono, Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali, Jurnal Nadwa
Pendidikan Islam , Vol. 7, No. 2, Oktober 2013, 316. 176
Abu Hamid al-Ghazali, Ihyā Ulūm al-Dīn (Semarang: Thaha Putra, 2003), 38-40.
126
seperti terbang melayang, tanpa ia sadari bisa merasakan sesuatu yang ia sendiri
tidak bisa mengungkapkannya kepada orang lain sebuah rasa yang ia alami. Busyairi
Haris (2000 M) menegaskan bahwa proses yang dialami oleh al-Sakaki tersebut
bukanlah hal yang biasa. Sebab, untuk sampai kepada alam tersebut harus di dahului
oleh pemikiran yang ditangkap dari al-khayāli. Lalu, mengapa hal demikian terjadi
termasuk kepada al-Sakaki?
Menurut Busyairi karena sebuah rasa menurutnya sulit digambarkan wujud
dan keasliannya jika tidak dengan usaha intutif atau hati yang bersih dan suci, maka
untuk memperoleh hati yang bersih butuh kepada konstruksi jiwa dan akal yang
memandang di atas segala kemampuan masih ada kemampuan yang lebih hebat.177
Bentuk keilmuan tersebut sesungguhnya adalah ranah ilmu laduni yang diperoleh
oleh seseorang ketika ia terus berusaha mengasah hati dan memperbaiki tabi’at
kehidupannya yang buruk kepada yang lebih baik. Dan puncaknya adalah pada
kesempurnaan jiwa dan akal yang telah terkonstruksi baik. Dengan demikian,
cahaya atau ilham Allah pasti akan mudah terbuka luas bahkan tanpa batas.178
Abdul Aziz dalam penelitiannya tentang Epistemologi Islam: Analisis Kritis
Pemikiran al-Ghazali mengungkapkan bahwa pemerolehan pengetahuan hakikat
sebuah ilmu melalui rasa (dhawq) adalah unsur al-wijdān. Di mana seseorang
menyadari tanpa berpikir, lalu dalam satu waktu ia langsung merasakan kehadiran
pengetahuan-pengetahuan itu. Ketika ia menjelma menjadi sebuah ilmu pengetahuan
yang sempurna terjadilah proses pengetahuan al-qaṭ’i yang bertujuan untuk ilmu
makāssyafah. Sebab, al-dzawq selalu berhubungan dengan ilham dan makāsshafah.
Ketiganya digunakan untuk menunjukkan terjadinya pengetahuan yang berasal dari
Tuhan melalui malaikat kepada manusia, tanpa diusahakan dengan jalan berpikir.
Pengetahuan yang diungkap dengan cara tersebut adalah hakikat-hakikat murni.179
Fabeanus Heatubun pun setuju jika menyebutkan bahwa intuisi itu adalah
bersifat spiritual. Karena menurutnya ia akan berperan baik ketika tubuh bersih dari
emosi, hasrat dan nafsu. Intuisi atau ilm al-mukāssyafah sebagai pengetahuan
langsung dan dari dalam itu bukan datang dari diri sendiri, juga bukan datang dari
177
Busyairi Harits, Ilmu Ladunni dalam Perspektif Teori Belajar Modern,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 7. 178
Tiga bentuk cara memperoleh pengetahuan melalui ilhām, al-dhawq dan al-kashf
oleh al-Ghazali merupakan buah pemikirannya yang telah banyak dipergunakan oleh
ilmuwan Islam khususnya. Sebab, al-Ghazali selalu mendasarkan pemikirannya pada ajaran-
ajaran agama yakni ajaran Islam. Oleh karena itu sebagian ahli mengatakan bahwa
epistemologi al-Ghazali adalah epistemologi Iṣlāh. Ia menjelaskan bahwa ilmu itu
menghidupkan hati dari kebutaan, sinar penglihatan dari kegelapan dan kekuatan badan dari
kelemahan yang menyampaikan hamba kepada kedudukan orang-orang yang baik dan
derajat yang tinggi. Memikirkan tentang ilmu itu mengimbangi puasa, mempelajarinya
mengimbangi mendirikan malam, dengan ilmu Allah ta’ala, ditaati, dengannya Dia
ditauhidkan, dimuliakan, dengannya hamba menjadi wara dengannya sanak kerabat
disambung, dengannya diketahui halal dan haram. Ilmu itu pemimpin sedangkan amal adalah
pengikutnya orang-orang yang berbahagia itu diberi ilham mengenai ilmu dan orang-orang
yang celaka itu terhalang. Lih. Agus Sutiyono, Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali,
311-313.
179
Abdul Aziz, Epistemologi Islam: Analisis Kritis Pemikiran Al-Ghzali,71.
127
pengalaman ataupun dari banyaknya pengetahuan kognitif, tetapi ia datang dari jiwa
yang asali dan alamiah, sehingga ia adalah sebuah kemampuan yang berisifat
alamiah, ia juga dikenal dengan istilah good feeling (al-dzawq).
Blaise Pascal (1662 M) menyebutkan bahwa ia juga disebut sebagai “logika
hati”. Sebab, di dalamnya terdiri dari berbagai disiplin tubuh yang berguna untuk
mengolah dan menyediakan wadah bagi intuisi yang bersifat spiritual, sehingga
menghasilkan sebuah penemuan terbaru (al-wijdān), maka meditasi (al-khayāli)
sering dianggap cara yang baik untuk mempertajam dan memperjelas pengetahuan
intuitif tersebut. Hasil dari aktifitas meditasi itu akan membentuk personalitas dan
jiwa menjadi kuat dan utuh (Split personality). Ia bukan hanya keterpecahan jiwa
tapi kurang padupadannya antara tubuh dengan jiwa. Sebab, dalam paham Timur
meditasi itu pasti membuat kepadanan antara jiwa dan pikiran.180
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa intuisi itu datang dari loving
understanding atau pemahaman yang penuh kasih. Oleh karenanya, sebuah putusan
yang berasal dari pengetahuan atau kebijaksanaan intuitif itu bersifat infallible (tidak
pernah keliru). B. Crane (1992 M), seorang ahli filsafat dari kelompok New Age,
menegaskan tentang kekuatan intuisi, ia berkata “You know because you know
because you know directly, without even thinking about it”. (Anda tahu karena anda
tahu dan tahu petunjukknya, sekalipun engkau tidak terlalu memikirkan hal itu).181
Al-Sakaki di kalangan para ahli bukan hanya terkenal sebagai seorang
sastrawan atau bapak balagah. Lebih dari itu, al-Sakaki dikenal dengan keluasan
ilmu pengetahuannya terhadap ilmu aqidah dan ilmu kalam (ilm manṭiq)182
. Sering
kali para tokoh semasanya meminta nasehat dan fatwa keagamaan darinya mengenai
sebuah perkara yang harus dihadapi dengan bijak. Hal tersebut dikarenakan,
keahlian dan pengalaman keilmuannya sangat berpengaruh kepada setiap karya-
karya yang dihasilkannya termasuk Miftāh al-‘Ulūm. Kecerdasan dalam berlogika
dan berbicara menjadi keahlian utama al-Sakaki, sehingga tidak jarang ia
menemukan rasa (dhawq) dibalik setiap ungkapan lisan dan tulisannya.183
Selain itu, juga tampak dari berbagai tulisan al-Sakaki khususnya dalam
proses penulisan ilmu al-bayān dan al-badī’. Ia menegaskan bahwa penyelaman ke
dalam ilmu balagah akan mengantarkan kepada individu yang luwes, puitis dan
balīgh. Di mana setiap kata dan ucapannya mengandung makna, geraknya menjadi
bahasa tubuh dan kepribadiannya. Sebab itu, al-Sakaki sering kali menganjurkan
180
William D. Wood, Axiology, Self-Deception, and Moral Wrongdoing In Blaise
Pascal’s Pensées, Journal Of Religions Of Ethics, Vol. 2, No. 5, Oktober 2013, 325. 181
David Hume, A Treatise of Human Nature, 200. 182
Ilmu mantik atau logika merupakan suatu cabang pengetahuan yang sangat penting
diketahui manusia untuk memperoleh ilmu atau dalam mengembangkan ilmu pengetahuan,
baik pengetahuan umum maupun agama, supaya cara berfikir dalam hal tersebut, lurus, tepat
dan teliti agar tidak keliru atau salah dalam menyusun kata-kata, sehingga dalam mengambil
kesimpulan ikut salah juga. Para Ulama menyepakati pengertian ilmu Mantik adalah ilmu
yang memberikan aturan-aturan berfikir valid, yaitu ilmu yang memberikan prinsip-prinsip
yang harus diikuti supaya dapat berfikir menurut aturan yang benar. Lih. Muhammad Idrus
H. Achmad, Signifikansi Memahami Logika Dasar, Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, April
2012, 38. 183
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 400.
128
agar para generasi muda memadukan kekuatan akal (al-quwwah al-‘aqliyyah) dan
kemampuan hati (al-quwwah al-qalbiyah).184
Seorang filusuf pernah bertanya “apa urgensi pemaduan kekuatan akal (al-
quwwah al-‘aqliyyah) dan kemampuan hati (al-quwwah al-qalbiyah)? Syukron
Kamil pun lantas menegaskan bahwa pemaduan keduanya dapat mewujudkan gaya
bahasa puitis dengan pesan atau makna yang imajinatif, makna emosional dan
makna logis. Sebab, gaya bahasa puitis bisa dikatakan sebagai ungkapan pikiran dan
perasaan yang disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa, maupun
dalam struktur fisik dan struktur luarnya. Hanya saja, agaknya dalam sastra klasik,
kecuali dalam puisi sufustik, pengonsentrasian puisi sebagai bahasa konotatif atau
simbolik tidak terlalu ditekankan. Menurutnya, justru yang perlu ditekankan adalah
struktur luarnya yang harus memenuhi unsur ‘arūḍ dan diksinya yang menyentuh
emosi. Pola kekuatan pikiran dan hati tersebut akhirnya akan mampu memunculkan
gaya bahasa yang puitis yang padat makna.185
Sukron kamil mengungkapkan bahwa gaya bahasa yang dipakai oleh para
penyair dan prosais antara satu priode dengan priode lain agak berbeda dalam
pencapaian kekuatan pikiran dan kekuatan hatinya. Hal tersebut menurutnya tampak
dari gaya bahasa yang dominan pada priode awal Islam yakni gaya bahasa yang
sederhana yang tidak menyulitkan. Pada priode akhir Umayyah dan awal Abbasiyah
yang dominan adalah keselarasan ungkapan dengan makna, kuatnya bahasa kiasan
(tashbīh, isti’ārah dan majāz) ringkas dan apa adanya.186
Kajian pada bahasa kiasan
inilah yang menjadi faktor besar al-Sakaki memperoleh ilmu dan wawasan yang
lebih luas, yang tentu saja karena epistemologi ‘irfāni atau intuisi.
Pada akhir periode Abbasiyah, Ismail al-Faruqi (2015 M) menegaskan ulang
bahwa gaya bahasa yang dipilih oleh sastrawan yang terus bertahan hingga abad
pertengahan adalah gaya bahasa al-badī’ (art of schemes) khususnya saja’ (prosa
yang frase-frasenya yang berirama). Jika dibandingkan sekarang pada masa modern
ini, gaya bahasa yang digunakan tergantung pada aliran sastra yang dianutnya,
karena semakin luas empirik seseorang baik itu pengalaman, pengetahuan dan
wawasannya, maka semakin luas pula persoalan yang ditampilkan dalam
karyanya.187
Sukron Kamil menilai terjadinya, karena kegiatan mengarang tidak
tergantung pada bakat (bawaan), mengingat tanpa pengetahuan, pegalaman, dan
wawasan seseorang pengarang akan kehabisan gagasan yang akan dituangkan dalam
bentuk karya.188
Keterbatasan gagasan dalam menulis sesuatu itu menurut al-Sakaki dapat di
atasi dengan merangsangnya melalui sebuah penyelaman terhadap imajinasi dan
kekuatan pikiran, selai itu juga bias dengan kekuatan hati yang bersih dari segala
tujuan yang buruk. Gaya bahasa yang indah serta berirama ada dalam hati yang
184
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 618.
185
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 12.
186
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 14-17. 187
Islamil R. Al-Faruq dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam Menjelajahi
Peradaban Gemilang. Terj. Ilyas Hasan dari The Culture Atlas of Islam (Bandung: Mizan,
1998), 380-385.
188
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 48.
129
bersih seiring dengan pola berpikir yang tenang (qalbun salīm) dan tidak kurang dari
wawasan yang luas.189
Ketenangan hati dan pikiran dalam menggagas sebuah karya
seperti Miftāḥ al-‘Ulūm menjadi pemicu lahirnya sebuah pengetahuan yang ilhāmī
dan mukasshfah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dapat disimpulkan pula bahwa Miftāḥ al-‘Ulūm khususnya pada kajian al-
bayān dan al-badī’ merupakan kajian yang berepistemologi ‘irfanī atau intuisi. Hal
tersebut berdasarkan ilhām, al-dhawq dan al-kashf yang telah dilalui oleh al-Sakaki
selama mengarang karya tersebut dengan ketekunan dan waktu yang sangat panjang.
Bahkan, ia harus melalui meditasi dan al-khayālī. Dengan demikian, berikut adalah
beberapa kajian intuisial-Sakaki pada al-bayān dan al-badī’ yang tampak, yaitu:
1. Intuisi al-Sakaki dalam Kajian األمر (Perintah)
Al-Sakaki dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm saat proses kepengarangannya
berlangsung, ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang menurutnya sulit ditembus
oleh akalnya adalah wujud sebuah ide atau pemikiran (the real of ideas) yang
tanpa ia sadari, lalu ia menemukannya.190
Menurut al-Qazwaini dalam karyanya
Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm, ia menilai al-Sakaki tidak jarang merasakan penanya
bagaikan air mengalir, seakan penanya memberikan dirinya sebuah bimbingan
dan perintah kepada sebuah goresan kebaikan. Hal tersebutlah yang sering
disebut oleh al-Sakaki sebagai sebuah ilmu yang ia sendiri tidak kuasa
memilikinya kecuali atas izin Allah ta’ala.191
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pengetahuan yang sulit di
tembus dengan kata-kata, tidak dapat diungkapkan dengan pembicaraan, bahkan
tidak diprediksi oleh inderawi inilah sesungguhnya epistemologi intuisi.192
Imam
al-Ghazali menyebutkan, seorang manusia tidak mungkin ia memperolehnya
begitu saja tanpa penyebab. Oleh karena itu, kebersihan jiwanya atau pikirannya
yang selalu posstiff thinking (qalbun salīm) adalah sebuah jembatan menuju
kepada al-wijdān. Hal tersebut adalah sebagai wujud komunikasi seorang hamba
yang bersih dengan Tuhannya melalui al-lawh al-mahfūdh untuk menangkap
sebuah hakikat kebenaran, sehingga intuisi sangat tepat disebut sebagai pribadi
yang religous.193
Jujun Suriasumantri mengungkapkan bahwa posstiff thinking dan hati yang
tenang (qalbun salīm) akan mengantarkan seseorang kepada good feeling (al-
dzawq). Sebuah hasil dari upaya keras penyatuan kekuatan akal (al-quwwah al-
‘aqliyyah) dan kemampuan hati (al-quwwah al-qalbiyah).194
Amin Hassan
menyimpulkan dalam penelitian terbarunya bahwa pengetahuan intuisi (al-dzawq
atau al-wijdan) adalah ilmu pengalaman (direct experience) dan pengalaman
189
Marwan Saridjo, Sastra dan Agama, Tinjauan Kesusastraan Indonesia Modern
Bercorak Islam ( Jakarta: Permadani, 2006), 33. 190
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 30. 191
Al-Qazwaini, Talkhīṣ Miftāḥ al-‘Ulūm, 5-7. 192
Agus Sutiyono, Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali, Jurnal Nadwa
Pendidikan Islam , Vol. 7, No. 2, Oktober 2013, 316. 193
Abu Hamid al-Ghazali, Ihyā Ulūm al-Dīn, 77. 194
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 179.
130
puncak (peak experience). Menurutnya, perpaduan keduanya khususnya
pengalaman hidup adalah sesuatu yang otentik, yang menjadi pelajaran hidup
yang tak ternilai harganya. Selain itu, karena ia juga berkaitan erat dengan
persepsi batin (qalb) yang perpaduan antara keduanya, dimana tak terkatakan
oleh logika dan tak terungkapkan oleh bahasa lisan (knowledge by presence).195
Misalnya, dalam al-Qur’an nabi Musa a.s diperintahkan oleh Allah ta’ala
dalam kondisi yang belum pernah ia perkirakan. Allah ta’ala berfirman:
ي وسى ال تف إن ال خياف ن وىل م دبرا ول ي عقب ف لما رءاها ت هت ز كأن ها جا وألق عصاك 196لدى ٱلم رسل ون
Artinya:
Dan lemparkanlah tongkatmu". Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan)
Musa melihatnya bergerak-gerak seperti dia seekor ular yang gesit, larilah
ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. "Hai Musa, janganlah kamu takut.
Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku.
Pada ayat tersebut tampak nabi Musa a.s merasa heran, tidak cukup sampai
disitu, bahkan Allah ta’ala bahwa ia sedang tidak bermimpi dan mengingatkan
nabi Musa a.s agar tidak takut dan khawatir bahwa perintah- Nya tersebut akan
menolong dirinya menghadapi kecongkakan Fir’aun. Kata perintah وألق عصاك (dan lemparkanlah tomkatmu) kepada Musa a.s adalah sesuatu yang ia tidak
sangka olehnya (impossible), sekalipun saat itu ia berada dalam kebimbangan
dalam menghadapi kebengisan Fir’aun dan pengikutnya. Sayyid Thanthawi
mengatakan kebersihan dan keikhlasan hati nabi Musa a.s dalam menjalankan
perintah Allah ta’ala lah yang mengundang serta membuatnya mampu merubah
keadaan sesuatu yang impossible (mustahil) menjadi possible (mungkin). Gaya
bahasa yang digunakan oleh Allah ta’ala dalam benjhggggttuk perintah tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu kepada nabi Musa a.s adalah bahasa batin yang
diketahui oleh Tuhan-Nya terhadap kebutuhan hamba-Nya.197
Adapun peringatan Allah dalam firman- Nya ي وسى ال تف adalah sebagai
bentuk jaminan Allah agar nabi Musa a.s tetap tenang dan tidak merasa heran,
sekalipun ia memperoleh sesuatu yang diluar dugaannya. Hal yang demikian itu
bisa saja muncul di saat seorang hamba memperoleh ‘ilm al-ḥuḍuri yang ia
sendiri tak akan mampu memperolehnya. Pengetahuan (knowledge by presence)
tersebut lah yang disebut oleh Descartes sebagai sebuah puncak keilmuan akibat
kemurnian hati dan ketulusan dalam berbuat.198
Oleh karena itu, sebuah espitemologi yang ditampakkan oleh al-Sakaki
bahwa pada kajian al-amr (perintah) terkadang juga mengandung epistemologi
195
Amin Hassan, Menyusuri Hakikat Kebenaran: Kajian Epistemologi atas Konsep
Intuisi dalamTasawuf al-Ghazali, Jurnal al-Ta’dib, Vol. 7, No. 2, Desember 2012, 201. 196
Q.S. al-Naml ayat 10 197
Muhammad Sayyid Thanthawi, Tafsīr al-Wasīṭ li al-Qur’ān al-Karīm, 1656-1658. 198
Amin Hassan, Menyusuri Hakikat Kebenaran: Kajian Epistemologi atas Konsep
Intuisi dalamTasawuf al-Ghazali, Jurnal al-Ta’dib, Vol. 7, No. 2, Desember 2012, 213.
131
intuisi. Bahkan, ia menjadi sesuatu yang akurat, seperti yang dicontohkan oleh
Allah ta’ala kepada nabi Musa a.s, sehingga wujud keilmuan merupakan
integralistik antara kekuatan akal dan kekuatan hati yang bersih tanpa dosa.
Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak mungkin dalam logika manusia,
maka bisa saja terjadi karena kebaikan dan kemurnian hati yang telah diperbuat.
2. Intuisi al-Sakaki dalam Kajian االستعاة (Hipalesa)
Jika al-tashbīh adalah metafor lengkap, sebaliknya al-isti’ārah199
dimaknai
sebagai metafor sebagian. Hal tersebut menurut Sukron Kamil, disebabkan kata
atau kalimat bukan dalam makna yang aslinya, karena ada hubungan makna asli
dengan makna yang dipakai, juga adanya tanda yang menunjukkan hal itu.200
Al-
Sakaki membagi al-isti’ārah kepada tiga bagian yang sangat pokok yaitu: 1).
Pembagian al-isti’ārah menurut dua ṭarf yang disebutkan, 2). Pembagian al-
isti’ārah menurut lafadz al-musta’ār (kata yang dipinjam) yang di dalamnya
terdiri dari al-isti’ārah al-kinayah, al-isti’ārah al-aṣliyah dan kebalikannya
adalah al-isti’ārah al-taba’iyyah. dan 3). Pembagian al-isti’ārah menurut
kecenderungan kata.
Al-Zamakhsyari (1143 H) mengungkapkan bahwa sekalipun al-Sakaki
membaginya kepada tiga bagian seperti di atas, serta menggunakan kekuatan
pikiran dan hati, ia tetap tidak luput dalam kajian makna dalam setiap
perumpamaannya.201
Misalnya:
202شره م بعذاب أليم ف ب
Artinya:
Maka kabarkanlah kabar gembira kepada mereka tentang adzab yang
sangat pedih.
Al-Sakaki menegaskan bahwa jenis contoh ayat tersebut masuk ke dalam al-
isti’ārah al-taba’iyyah di mana terdapat di dalamnya lafadz yang dipinjamkan
berupa fi’il. Menurutnya kata ف ب شره م (maka sampaikanlah kabar gembira) adalah
pinjaman kata dari م ه ر ذ ن أ ف (maka sampaikanlah peringatan). Pemahaman pada
ayat tersebut menurut Al-Sakaki tidak hanya sebatas berpikir dengan logika akal.
Namun, butuh kepada feeling sense yang dimaksudkan oleh pembicara yaitu
Allah ta’ala. Maka dengan bantuan feeling sense yang dimaksud, dzawq (rasa)
pun sangat dapat dinikmati dalam ayat tersebut. Tampak seakan-akan Allah
ta’ala memberikan kabar yang baik, padahal maksudnya adalah kabar sebaliknya
yaitu yang buruk berupa adzab yang pedih. Makna haqīqī pada ayat tersebut
199
Isti’arah secara terminologis ialah pemakaian lafal di luar arti asalnya karena ada
hubungan persamaan antara makna yang dialihkan atau dipinjam dengan makna yang dipakai
disertai alasan yang mengalihkan penggunaan makna asal. Ahmad al-Hasyimi, Jawāhir al-
Balāghah fi al-Ma’āni wal Bayān wal Badī (Beirut: Dar Al-Fikr, 1994) 290.
200
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 142. 201
Al-Zamakhsyari, al-Kasyyāf ‘an Haqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwil fī Wujūh al-
Tanzīl (Kairo: Dar al-Fikr, t.t.), 202. 202
Q.S. Ali Imron: 21
132
tidak akan mungkin diperoleh tanpa kemurnian hati dan ketulusan jiwa seseorang
yang memaknainya.203
Abdul Qadir Salami (2015 M) dalam penelitiannya tentang ma’ānī al-
Qur’an menegaskan bahwa bentuk ayat tersebut sangatlah balīgh. Pilihan diksi
kata yang sangat menyentuh di hati dengan tujuan memberikan peringatan. Di
kalangan bangsa Arab kata ب شر sangatlah sering dijumpai dalam beberapa
kalimat dan ucapan mereka dengan tujuan untuk menyampaikan kabar-kabar
yang baik. Namun, pada ayat tersebut Allah ta’ala pun memberikan kabar baik
kepada setiap hamba-hamba yang melanggar aturan juga dengan kata ب شر yaitu ia
diberikan balasan sesuai pekerjaannya dan tidak disia-siakan sedikit pun dari
perbuatannya, sehingga tidak seorang pun yang merasa didzalimi. Maka
bukankah bentuk kemaha adilan Allah tersebut sebagai bentuk kabar gembira?204
Adapun misal lainnya yang merupakan kajian al-isti’ārah namun,
berepistemologi irfānī atau intuisi terdapat pada surat Maryam ayat 4, Allah
ta’ala berfirman:
شقيا ئك رب بد عا قال رب إن وهن ٱلعظم مىن وٱشت عل ٱلرأس شيبا ول أك نArtinya:
Ia berkata "Ya Tuhanku! Sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku
telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada
Engkau, ya Tuhanku.”
Dalam Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka (1981 M) menegaskan bahwa
jenis ayat di atas adalah bentuk keresahan nabi Zakaria karena belum dianugerahi
anak sejak sekian lama, padahal usia nabi Zakaria pada masa itu telah mencapai
80 tahun. Nabi Zakaria khawatir tidak ada penerus keturunan dan dakwahnya
sedangkan ia sudah berumur yang lanjut beserta istrinya.205
Muhyiddin al-
Darwish (1908 M) dalam karyanya I’rāb al-Qur’ān al-Karīm wa Bayānuhu
menegaskan bahwa ayat tersebut jika dilihat dari aspek linguistik termasuk pada
golongan isti’ārah. Kata ٱشت عل yang berarti “menyala” pada ayat tersebut adalah
kata pinjaman dari kata أن تب yang berarti “tumbuh”. Menurutnya sesuatu yang
“menyala” adalah api yang membakar bahan-bahan yang kering dan akan
berakibat habis atau hangus untuk selamanya. Adapun dengan penggunaan kata
pada konteks tersebut adalah uban di kepala nabi Zakaria أن تب dan bukan ٱشت عل
yang telah memutih. Ungkapan tersebut semakin menunjukkan keresahan nabi
zakaria akibat usianya yang sudah lanjut tidak akan ada penerusnya, sedang ia
sadar bahwa kehidupan ini pasti akan berakhir.
203
Al-Sakaki, Miftāḥ al-‘Ulūm, 381. 204
Abdul Qadir Salami, Haqīqah al-Adhdād fī Kitāb Ma’ānī al-Qur’ān li al-Farrā’
(Aljazair: Univeristy Tilmisan Press, 1401 H), 14. 205
Buya Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), 641.
133
Pada ayat tersebut telah tampak dua kekuatan yang sedang menyatu yakni
al-quwwah al-‘aqliyyah (kekuatan akal) dan al-quwwah al-qalbiyyah (kekuatan
hati) sedang menyatu menjadi sebuah harapan (al-tamannī). Perasaan feeling
sense dan resah yang dimiliki oleh nabi Zakaria telah sampai pada puncaknya
dan menggoyahkan hatinya untuk berharap sebuah keajaiban pada istrinya yang
mandul. Edward Nelson (2014 M) mengungkapkan bahwa bentuk al-tamannī
(hoping contecs) semisal ayat tersebut di atas kecenderungannya adalah ‘irfanī.
Sekalipun pada sisi lain ia tampak empirik karena pada ayat tersebut terdapat
sebuah realitas yang terjadi pada kondisi nabi Zakaria.206
Jujun Surisumantri mengungkapkan bahwa setiap konteks yang memiliki
feeling sense dan hoping contecs adalah bagian dari seni estetik yang banyak
mempergunakan aspek emotif dari bahasa sastra. Dengan kata lain, bahasa sastra
tersebut bukan saja dipergunakan untuk mengemukakan perasaan melainkan juga
merupakan ramuan untuk menjelmakan pengalaman yang ekspresif.207
3. Intuisi al-Sakaki dalam Kajian التشبيه (simile)
Al-Jurjani (471 H) dalam karya-nya Asrār al-Balāghah mendefinisikan
bahwa tashbīh itu terbagi kepada dua yakni a). Tashbīh tamthīlī yaitu tashbīh
yang kondisi wajh al-syibhnya tidak tampak tetapi membutuhkan penafsiran
(ta’wīl) dan perubahan (ṣarf) karena al-musyabbah tidak mengikuti musyabbah
bih dalam bentuk yang dhāhir, dan b). Tashbīh ghair tamthīlī yaitu tashbīh yang
keadaan wajh al-syibhnya telah tampak jelas dengan sendirinya, ia tidak
membutuhkan kepada penafsiran (ta’wīl) dan perubahan (ṣarf) karena
musyabbah dan al-musyabbah bih mengikuti sifatnya.208
Berbeda dengan al-
Sakaki sebaliknya ia mendefinisikan tashbīh adalah kondisi wajh syibh yang
yang tidak menjadi sifat baginya dengan mengikuti al-musyabbah bih, juga tidak
menyipati dirinya sendiri. Selain definisi tersebut yang juga menjadi metode
penulisan al-Sakaki tentang tashbīh, ia juga menjadikan tujuan dari tashbīh
adalah kepada al-qurb (dekat) dengan al-bu’du (jauh) dan al-qabūl (penerimaan)
dengan al-rad (penolakan).209
Tammam Hassan pun menilai bahwa al-Sakaki tidak terpaku kepada satu
epistemologi saja dalam kajian tashbīh, sekalipun menurutnya al-Sakaki dalam
kajian tashbīh lebih cenderung kepada epistemologi rasionalisme.210
Di sisi lain
al-Sakaki juga menurutnya telah menampakkan epistemologi intuisionismenya
yakni pada beberapa kajian tashbīh khususnya yang berhubungan langsung
dengan keilmuan al-mukasshafah. Hal tersebut sesuai dengan penjabaran al-
Sakaki yang mengatakan bahwa sesuatu yang jauh bisa saja menjadi lebih dekat
rasanya, sebaliknya sesuatu yang dekat bisa saja jauh rasanya. Bahkan
206
Edward Nelson, Understanding Intuitionisme (USA: Princeton University Press,
t.t.), 15-17. 207
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 179. 208
Abdul Qahir al-Jurjani, Kitāb Asrār al-Balāghah (Kairo: Maktabah al-Khaniji,
1991), 757-763. 209
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 332. 210
Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl, 273.
134
menurutnya terkadang sesuatu tampak diterima tetapi sesungguhnya ia ditolak
atau sebaliknya, sebenarnya ia ditolah tetapi tampak seakan diterima. Peristiwa
seperti ini menurut al-Ghazali bisa di sadari sebagai sebuah kekuatan hati (al-
quwwah al-qalbiyyah) yang menyatu dengan kekuatan akal (al-quwwah al-
‘aqliyyah).211
Michel Faucault (1986 M) menambahkan keilmuan itu tidak selalu muncul
karena sebuah keoptimismean terhadap sesuatu yang sedang dipikirkan,
melainkan terkadang ada pada daya tubuh yang mengalah terhadap suatu keadaan
kemudian tiba-tibu muncul kekuatan hati (the power of hearth) karena telah
memasrahkannya dengan perasaan yang lembut.212
Maka demikian pula pada
pernyataan Tammam Hassan bahwa pada beberapa kesempatan telah tampak
intuisionisme al-Sakaki pada kajian tashbīh. Misalnya ia mengutip surat al-
shu’ara berikut ini:213
نا فٱنفلق فكان ك ل فرق كٱلطود ٱلعظيم أن ٱضرب ب عصاك ٱلبحر إىل م وسى فأوحي Artinya:
Lalu Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan
tongkatmu". Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah
seperti gunung yang besar.
Jika di amati pada ayat tersebut termasuk dalam kategori tashbīh, dimana
kata sebagai ك ,sebagai musyabbah bih ب عصاك ٱلبحر ,sebagai musyabbah م وسى
adat tasybih dan طود ٱلعظيم sebagai wajh syibh. Maka jenis tashbīh tersebut
adalah tasybīh mursal karena tashbīh dan adāt tashbīh telah disebut dalam satu
rangkaian kalimat yang sempurna.
Pada ayat tersebut di atas tampak berepistemologi intuisionisme (al-‘irfānī)
dan bukan rasionalisme. Menurut Muhammad sayyid Thontowi (2010 M), aspek
kekuatan qalbiyyah (al-‘irfānī) pada ayat tersebut muncul pada saat nabi Musa
a.s di kejar-kejar oleh Fir’aun dan bala tentaranya, nabi Musa a.s menemukan
jalan buntu untuk tempat pelarian serta tidak menemukan jalan kecuali berpasrah
diri kepada Allah dengan keyakinan yang sangat kuat. Pada kesempatan yang
sempit tersebut karena Allah maha tahu akan kemurnian niat shaleh nabi Musa,
ia pun diberikan sebuah perintah yang di luar dugaannya dengan memukulkan
tongkat nabi Musa ke luat merah yang ada di hadapannya. Pada akhirnya laut
tersebut terbelah dua dan berbentuk gunung besar di bagian kiri dan kanan ketika
nabi Musa dan pengikutnya lewat di tengah. Tanpa disadari oleh Fir’aun
keseluruhan bala tentara mengikuti jejak nabi Musa melawati laut merah yang
terbelah tersebut, hingga akhirnya Fir’aun dan pengikut-pengikut lainnya Allah
tenggelamkan. Peristiwa di mana Musa a.s tidak pernah menduganya kemudian
ia memperoleh sebuah perintah untuk melakukan sesuatu yang di luar akal dan
211
Abu Hamid al-Ghazali, Ihyā Ulūm al-Dīn, 88. 212
Michel Faucault, The Power of Knowledge Selected Interviews and Other Writings
1972 – 1977 (New York: Pantheon Books, t.t.), 87-90. 213
Q.S. al-Shu’ara ayat 63
135
kemampuannya tersebut menurut Muhammad Sayyid Thantawi tergolong kepada
kemampuan al-‘irfānī.214
Filsuf barat Michel Faucault (1984 M) dalam karyanya The Power of
Knowledge mengatakan bahwa sebuah peristiwa seperti yang dialami oleh para
utusan Allah kemudian mereka diberikan sebuah ilmu pengetahuan tanpa dugaan
mereka sendiri, ia sebut dengan istilah (truth become a power) atau sebuah
kebenaran yang menjadi sebuah kekuatan.215
Muhammad Sayyid Thantawi
menuimpulkan bahwa sebuah ilmu yang tidak terduga dalam betuk ilham yang
Allah berikan adalah bagian dari wujud pertolongan Allah kepada setiap yang
beriman kepada-Nya seperti yang telah ia janjikan kepada para hamba-Nya.216
Michel Faucault menyimpulkan bahwa sebuah intuisi dalam kehidupan
seseorang hanya ditemukan pada segelintir orang dari yang jumlah yang sangat
banyak. Misalnya, apa yang telah tampak dari al-Sakaki adala sesuatu yang tida
mustahil dalam perjalanan kehidupann.217
Dengan demikian jelas bahwa bentuk tashbīh tidak selalu berepistemologi
rasionalisme sekalipun ada musyabbah dan musyabbah bih nya, namun terkadang
juga cenderung kepada intuisi.
4. Intuisi al-Sakaki dalam Kajian المجاز (Metafora) dan الكناية (Mitonime)
Al-Sakaki mengungkapkan bahwa siapa saja yang menguasai salah satu
konsep dasar ilmu al-bayān seperti konsep al-tashbīh, al-isti’ārah dan khususnya
al-majāz dan al-kināyah serta mampu menggunakannya dalam rangka mencari
pengetahuan, maka akan tersingkaplah baginya al-kashf, khususnya jalan
menggunakan sistem penalaran yang sistematis.218
Al-Jabiri mengatakan bahwa
ucapan al-Sakaki tersebut bukanlah omong kosong belaka. Sebab, menurutnya
pengungkapan data-data dan konteks yang nyata akan mudah dinalar oleh
kekuatan ‘aql dan qalb. Hal tersebut termasuk kepada kajian al-majāz dan al-
kināyah yang telah lama menjadi perbincangan para ahli linguis sebelumnya.219
Penghayatan mendalam yang dilakukan oleh al-Sakaki ketika menuliskan
beberapa konsep keilmuan balagah di dalam Miftāḥ al-‘Ulūm tersebut khususnya
al-majāz dan al-kināyah menjadikan al-Sakaki lebih mudah menyelam ke dalam
dunia al-dhawqiyyah atau yang sering disebut sebagai al-tajrībah al-baṭiniyyah.
Hal tersebut menurut Ali al-Harb adalah karena bahasa al-dhawqiyyah yang
berasal dari dalam batin adalah bentuk bahasa yang kreatif dan inovatif, yang
berarti melewati, melampaui, pindah dan beralih. Kehadiranya seakan membawa
rombongan pengetahuan yang hadir tanpa undangan. Ia juga mengutip pendapat
214
Muhamma Sayyid Thantawi, al-Tafsīr al-Wasīṭ li al-Qur’ān al-Karīm (Kairo:
Majma’ al-Buhuth al-Ilmiyyah, 1987), Cet. 2, 1583. 215
Michel Faucault, The Power of Knowledge Selected Interviews and Other Writings
1972 – 1977, 94. 216
Muhamma Sayyid Thantawi, al-Tafsīr al-Wasīṭ li al-Qur’ān al-Karīm, 1584-1587. 217
Michel Faucault, The Power of Knowledge Selected Interviews and Other Writings
1972 – 1977, 106-109. 218
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 390. 219
Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-Arabi, 94.
136
al-Sakaki bahwa al-majāz merupakan kebalikan dari al-haqīqah, yaitu makna
kiasan (elegoris), yakni suatu lafal yang digunakan untuk suatu arti, yang semua
lafal itu bukan diciptakan untuknya. Itulah sebabnya, al-majāz dan al-kināyah
selalu diungkapkan sebagai bentuk pemaknaan yang lebih luas.220
Menurut Ibn Qutaibah (889 H), al-Sakaki telah memberikan batasan-batasan
segi al-majāz dan membaginya kepada tiga bagian penting yaitu majāz al-
lughawī, majāz al-mursal dan majāz al-‘aqlī dengan mengatakan bahwa ketiga
majāz tersebut meliputi peminjaman kata atau ungkapan (isti’ārah),
perumpamaan (tamtsīl), pembalikan (qalb), pendahuluan (taqdīm), pengakhiran
(ta’khīr), pembuangan (hadzf), sindiran (ta’rīḍ), pemfasihan (ifṣāh), bahkan
termasuk kiasan (kināyah), dan lain-lainnya.221
Misalnya al-Sakaki mengutip dari
al-Qur’an:
222القرية الت ك نا فيها والعري الت أق ب لنا فيها وإنا لصادق ون ل ئ واس
Artinya:
Dan tanyalah negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang
bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar.
Ayat tersebut di atas adalah misal dari al-majāz al-lughawī, ia tampak dari
kata القرية (kampung/negeri) berharakat manṣūb (fathah) yang semestinya adalah
majrūr (kasrah), kata tersebut sangatlah berlebihan (metafor) karena ia bukan
pada makna haqīqah-nya. Al-Sakaki menegaskan bahwa kata القرية maksudnya
adalah القرية أهل (penduduk kampung/negeri). Pada contoh tersebut diatas jelas
terlihat kata yang digunakan untuk arti yang tidak sebenarnya karena adanya
‘alaqah (keterkaitan) beserta qarīnah (tanda) yang mencegah dari maksud arti
yang sesungguhnya. Hal inilah yang menjadikan Tammam Hassan yakin bahwa
maksud al-Sakaki adalah sesuatu yang metafor tidak bisa hanya dinalar dengan
logika secara rasionalis, tetapi butuh penghayatan lebih agar menemukan makna
yang sesungguhnya tanpa menduga-duga atau menerka kebenaran yang
dimaksud oleh pembicara.223
Gaya bahasa yang digunakan oleh Allah jelas menurut al-Sakaki menuntut
‘irfānī. Penalaran keilmuan yang tidak hanya menggunakan kekuatan daya pikir
‘aql tetapi juga harus mengedepankan kekuatan logika hati agar menemukan
makna yang sesungguhnya. Kalimat tersebut menurut para linguis membuktikan
keistimewaan atau i’jāz al-Qur’ān sebagai wahyu yang amat sempurna
220
Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran (Yogyakarta: Penerbit LkiS, 2003), 22. 221
Nashr Hamid Abu Zayd, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majaz dalam Al-Qur’an
Menurut Mu’tazilah (Bandung: Mizan, 2003), 55. 222
Q.S. Yusuf ayat 82.
223
Tammam Hassan, 330.
137
bahasanya. Sebab, i’jāz al-Qur’ān sangat tampak dari gaya bahasa yang sangat
tinggi aspek sastra dan seninya.224
Adapun kināyah menurut Al-Sakaki adalah model pengungkapan makna
yang memiliki arti konotatif. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kināyah
memiliki kesamaan dengan majāz karena keduanya memiliki makna konotatif.225
Yayan Nurbayan berpendapat agaknya kināyah bisa dipahami atau mengandung
makna denotatif. Sebaliknya, majāz tidak diperbolehkan mengambil makna
denotatif karena kināyah226
secara leksikal bermakna tersirat.
Berdasarkan definisinya kināyah jika seseorang ingin menyampaikan
seseuatu sesuari nalar pemikirannya berupa sindiran dengan maksud yang bukan
sesungguhnya, sehingga sangat terasa dhawq-nya saat mendengar kalimat
kināyah tersebut.227
Al-Sakaki mengatakan ketika mendengarkan konteks
kināyah dari gurunya sering kali ia tidak memahami, menurutnya butuh
penghayatan mendalam dan pemahaman yang tidak sekedar dengan logika saja.
Misalnya ia menulis kalimat berikut:
الضحىفالنة نؤوم “Fulanah terus menerus tertidur sampai waktu dhuha tiba”
Bentuk kināyah tersebut adalah kināyah ‘an mauṣūf, membicarakan seorang
perempuan yang dilayani di rumahnya atau dengan maksud membicarakan
perempuan yang masih tidur sampai waktu dhuha. Pemahaman pada kalimat
tersebut agaknya penulis setuju dengan pendapat al-Ghazali yang mengatakan
bahwa ungkapan sindiran seperti contoh di atas adalah ungkapan hati secara
psikologis. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam menemukan
pengetahuan ‘irfānī menurut al-Ghazali bisa diungkapkan dengan fungsi dan
kelebihan hati atau dengan makna lain hati dengan pengertian fisik dan
psikologis. Maka tidak heran jika hati sangat radikal untuk melampaui
kemampuan akal. Sebab, hati itu bisa bicara dengan mata bathinnya bahkan bisa
merasakan secara naluriyah seperti ungkapan kināyah al-Sakaki.228
Al-Qurthubi dalam tafsirnya sangat terinspirasi terhadap penggunaan
kināyah oleh al-Sakaki. Itulah sebabnya ia menulis penjelasan kandungan al-
224
Muhbib Abdul Wahab, Mengenal Pemikiran Linguistik al-Jurjani Dalam Dalâil al-
I’jâz al-Qur’ānī, 17. 225
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 400. 226
Kināyah adalah suatu ujaran yang maknanya menunjukkan pengertian pada
umumnya (konotatif), akan tetapi bisa juga dimaksudkan untuk makna denotatif. Definisi di
atas merupakan definisi terkini yang disepakati oleh para pakar balagah. Sebelum definisi di
atas terdapat pengertian kinayah yang dikemukakan oleh para pakar yang menunjukkan
sejarah perkembangan istilah tersebut. Istilah kinayah dalam khazanah ilmu balagah untuk
pertama kalinya diperkenalkan oleh Abu Ubaidah pada tahun 209 H di dalam kitabnya Majaz
al-Qur’an. Menurut pendapatnya, kinayah dalam istilah ahli bahasa, khususnya para ahli
nahwu, bermakna dhomir (kata ganti). Lih. Yayan Nurbayan, Implikasi Hermeneutis dan
Pedagogis Perbedaan Pemahaman Ayat-Ayat Kinayah dalam al-Qur’an (Bandung: UPI
Bandung Press, t.t.), 9. 227
Moh. Mastna , Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemprer, 156. 228
Fritjop Capra, The Tao of Physics, 71.
138
Qur’an dalam tafsir menggunakan beberapa istilah kināyah. Penulisan tersebut
bertujuan untuk mengungkapkan suatu kata atau frase yang berbentuk ism ḍamīr,
irḍāf, majāz, badal, kebalikan dari ungkapan ṣarīh (jelas maknanya), dan bentuk
kināyah seperti yang dipahami sekarang ini.229
Penggunaan kināyah dalam tafsiran al-Qurthubi secara makna didapati lebih
terasa dhawq-nya. Misalnya: lafal اهلل merupakan kināyah (makna ḍamīr) dari dzat
yang ghaib. Kata بأديهم dalam surat al-baqarah ayat 79 merupakan bentuk
kināyah (makna irḍāf) dari kata من تلقائهم. Kata الفضة pada surat al-taubah ayat 34
juga merupakan jenis kināyah (makna majaz) dari kata كل ما أتاه اهلل من مال.
Bahkan dalam beberapa lafal yang tampaknya indah adalah sebuah kiasan yang
menjadi pilihan diksi kata yang penuh dengan makna. Maka disinilah tampak
style language yang yang ada dalam al-Qur’an setiap kata dan struktur
kalimatnya memiliki maksud dan tujuan tertentu, yang terkadang diluar nalar
manusia.230
Bagaimana mungkin al-Qurthubi mengikuti pendapat al-Sakaki bahwa
sebuah konteks akan lebih berfungsi jika gaya bahasa yang digunakan berisi
kināyah (kiasan)? Ia menegaskan bahwa tingkatan pemahaman pada al-kināyah
tidak mampu dilakukan jika hanya mengandalkan rasional secara umum. Lebih
dari itu, unsur al-wijdān menjadi lebih dominan dan memiliki prinsip
pengetahuan yang tidak dapat diungkapkan secara logikal karena ia sangat terasa
secara lafal dan makna yang sesungguhnya. Sedang menurut al-Sakaki selain ia
membutuhkan nalar yang lebih emosional juga menunjukkan bahasa logika
(manṭiq) yang ia kuasai.231
5. Intuisi al-Sakaki dalam طباقال dan جناسال
Al-Sakaki menegaskan dalam karyanya Miftāḥ al-Ulūm bahwa kajian al-
ṭibāq dan al-jinās merupakan bagian cabang kajian ilm badī’ dalam ilmu balagah.
Senada dengan al-Sakaki, Taufiq Ahmad Dardiri dalam penelitiannya tentang
Bunga Rampai Dinamika Kajian Ilmu-Ilmu Adab dan Budaya menyebutkan
bahwa بديععلم ال yang di dalamnya mengkaji al-badī’ al-lafdhī dan al-badī’ al-
ma’nawī yang kedua diorientasikan pada analisa keindahan stilistika. Keindahan
stilistika menurutnya bisa diperoleh dari struktur ujaran atau struktur maknanya.
Struktur ujaran akan disebut indah ketika memiliki irama lafal yang teratur,
sehingga enak untuk di dengar dan terasa mengena di hati.232
Sedangkan Sukron
Kamil dalam karyanya Najib Mahfudz: Sastra, Islam dan Politik Studi Semiotik
Terhadap Novel Aulād Hāratinā mengatakan bahwa menurutnya al-badī’ adalah
kaidah dekorasi ucapan dan makna, seperti kesamaan huruf akhir dalam kalimat
229
Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 185. 230
Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 232. 231
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 435. 232
Taufiq Ahmad Dardiri, Bunga Rampai inamika Kajian Ilmu-Ilmu Adab dan Budaya
(Yogyakarta: Azzagrafika Printing, 2015), 33.
139
prosa (saja’), mengiringi kata atau kalimat dengan lawannya (ṭibāq dan
muqābalah).233
Maka tidak mengherankan jika al-Sakaki menyampaikan bahwa tujuan dari
ilm al-badī’ adalah untuk bisa melihat keindahan kalimat dari aspek strukturnya
yang terdiri dari keindahan style dan keindahan makna. Berbeda halnya dengan
ilm al-bayān yang bertujuan untuk menganalisa keseragaman style dalam
menyampaikan pemikiran dan gagasan-gagasannya. Sedangkan ilm al-ma’ānī
hanyalah untuk melihat kesesuaian teks dengan konteks (muqtadha al-hāl).234
Ketiga keilmuan tersebut bagaikan bangunan yang saling mengokokan antara
yang satu dengan yang lainnya.
Adapun al-badī’ (art of schemes) yang menjadi pokok bahasan al-Sakaki
dalam karyanya Miftāḥ al-‘Ulūm telah menjadikannya sebagai puncak
pembahasan dalam ilm balāghah. Sedang kedua cabang keilmuan sebelumnya
yakni al-ma’ānī dan al-bayān adalah ibarat pengantar menuju kepada puncaknya.
Maka al-Mubarrid pun mengatakan bahwa ilm al-badī’ yang mengkaji al-badī’
al-lafdhī dan al-badī’ al-ma’nawī tidak bisa diremehkan sebab dalam
pemahaman struktur lafal dan maknanya membutuhkan ilmu logika (rational)
yang kuat.235
Maka antara ilmu logika sebagai filsafat berpikir dan pemahaman
teks (burhānī) menjadi tolak ukur mencapai pengetahuan yang dhawqiyyah (rasa
keindahan). Penalaran tersebut agaknya tidak cukup hanya dengan teks dan
logika saja, tetapi membutuhkan epistemologi intuitif sebagai aktivitas
intelektual melalui proses al-kashf sebagaiamana yang tela diungkapkan ole al-
Gazali sebelumnya.
Proses al-kashf diperoleh oleh seseorang sebagai sebuah pengetahuan yang
selalu dinanti-nantikan, karena ia berasal dari cahaya Allah ta’ala yang murni
tanpa mengandalkan dalil-dalil semata. Maka memastikan dengan bukti terhadap
sebuah pengetahuan adalah ilmu, sedang memproses esensi keadaan tersebut
adalah dhawq atau wijdān, adapun yang menerimanya sehingga menjadi sebuah
pengetahuan al-kashf adalah iman. Maka perpaduan antara ilmu empiris, dhawq
dan iman membawa kepada pengetahuan yang tersingkap luas seperti
pemahaman terhadap keindahan lafal maupun keindahan makna. Hal tersebutlah
yang menjadi keyakinan para filsuf bahwa jalan memperoleh pengetahuan dan
kebenaran sangat menekankannya melalui sarana intuisi (dhawq atau wijdān).
Al-Sakaki menyebutkan bahwa keindahan kedua makna dan lafal adalah
wujud penguasaan teori ilmu pengetahuan empirisme dan rasionalisme dan
membutuhkan dhawq sebagai esensinya. Misalnya saja al-Sakaki memberikan
contoh tentang al-ṭibāq kajian al-badī’ al-ma’nawī dalam sebuah syair:
ما والذي أبكى وأضحك والذيأ
233
Sukron Kamil, Najib Mahfudz: Sastra, Islam dan Politik Studi Semiotik Terhadap
Novel Aulād Hāratinā, 125. 234
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 423. 235
Muhbib Abdul Wahab, Mengenal Pemikiran Linguistik Al-Jurjani Dalam Dalâil
al-I’jâz al-Qur’ānī, 34.
140
وأحيا والذي أمره األمرأمات
Artinya:
Adapun aku menangis dan tertawa, bahkan
hidup dan matiku adalah urusan-Nya (Allah)
Pada contoh tersebut adalah bagian dari dekorasi ucapan atau lafal syair,
seingga tampak nada syairnya mengiringi kata-kata dengan sebaliknya yaitu
ṭibāq dan muṭābaqah. Menurut Ali al-Jarim dan Mustafa Amin ṭibāq dan
muṭābaqah di atas, dalam teori stilistika sebanding dengan paradoks (gaya
bahasa yang menggunakan dua kata yang berlawanan) dan antithesis (gaya
bahasa yang mengandung gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan
kelompok kata yang berlawanan).236
Kata أبكى dengan kata أضحك tampak berlawanan, begitu juga kata أمات dengan kata أحيا. Ungkapan tersebut
memberikan kesan akan dekorasi makna yang sangat mengena ke dalam hati.
Hanya saja al-Sakaki dalam Miftāḥ al-‘Ulūm tidak menjelaskan secara detail
mengapa ia memilihkan kalimat tersebut sebagai contoh dari muṭābaqah. Ia jusru
memberikan kata kunci bahwa kalimat tersebut adalah bagian dari unsur
dhawqiyyah khususnya pada struktur maknanya.
Adapun misal dari al-badī’ al-lafdhī yang diungkapkan oleh al-Sakaki, ia
mengutip firman Allah sebagai berikut ini:
رق 237وجىن اجلنت ني دان م تكئني على ف ر ش بطائن ها من إستب
Artinya:
Mereka bertelekan di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutera.
Dan buah-buahan di kedua surga itu dapat (dipetik) dari dekat.
Kemiripan lafal yang digunakan tidak hanya pada huruf, akan tetapi juga pada
syakal dan jumlah hurufnya. Salmah Ahmad (2015 M) menegaskan bahwa jenis
al-jinās tersebut adalah al-jinās al-tām. Di mana menurutnya, al-jinās itu ada 12
macam al-jinās. Ia menambahkan bahwa al-jinās itu bertujuan sebagai bukti
kesempurnaan bahasa al-Qur’an. Sebelum hadirnya Islam di masa silam ia pun
telah sering digunakan dalam syair-syair Arab. Bahkan, ia sangat mendukung
pernyataan al-Qazwaini yang menyebutkan bahwa al-jinās adalah bagian dari
keindahan berbahasa, sehingga ayat-ayat al-Qur’an yang berpola al-jinās
sangatlah banyak. Hanya saja ia bukan dalam bentuk syair, melainkan sebagai
style wisdom (uslub al-hakim) yang menghiasai kata dan kalimat ayat demi ayat
al-Qur’an. Berdasarkan hal inilah menurut Salmah Ahmad orang-orang Qurasy
sangat tertarik dengan Islam, yaitu karena pesona al-Qur’an yang diturunkan
sebagai mu’jizat nabi Muhammad ليه وسلمصلى هللا ع .238
236Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 143.
237Q.S. al-Rahman: 54
238Salmah Ahmad, Namādzij min Jinās al-Ishtiqāq fī al-Qur’ān al-Karīm,
International Journal of Islamic Thought, Vol. 3, No. 3, Juni 2013, 115.
141
Jika diamati pada contah di atas, maka tampak bahwa kata janā memiliki
kesamaan jenis pada huruf dan syakal kata keduanya yaitu al-jannataini. Dalam
makna keduanya juga sangat memiliki kemiripan karena berasal dari asal kata
yang sama. Kata janā memiliki arti memetik buah-buahan, sedang kata al-
jannataini memiliki arti kedua surga, di beberapa tempat dalam al-Qur’an kata
surga selalu diberikan makna sebagai sebuah taman kebahagian yang penuh
dengan buah-buahan. Al-Sakaki menguatkan contohnya dengan mengatakan,
bagaimana mungkin saya memahaminya tanpa penghayatan sedang ia memiliki
lafal yang sangat indah untuk mematahkan setiap bahasa syair orang Qurays?239
Aristoteles murid Plato beranggapan bahwa keindahan dalam kata atau makna
adalah sekedar atribut. Perlengkapan dan sifat yang melekat pada benda itu
sendiri menyebabkan timbulnya rasa indah oleh pembaca. Berbeda dengan Plato
ia menganggap semua keindahan hanya dapat diapresiasi secara trensendental.
Aristoteles secara spesifiknya menganggap bahwa kenikmatan terhadap sebuah
keindahan itu dicapai oleh manusia sendiri dengan kekuatan nalar berpikir, bukan
suatu hal yang harus menunggu al-kashf sebagai karunia Tuhan.240
Platonis mengembangkan lebih jauh tentang konsep keindahan Plato yaitu
mengkonsep bahwa semua yang bisa dinikmati oleh panca indra (mata, telingat
dan hati) hanya merupakan imitasi dari yang sesungguhnya, bayangan dari yang
sejati. Semua menurutnya berasal dari yang Maha Sumber dan kembali kepada
yang Maha Sumber yakni Alla ta’ala,241
sehingga seperti pendapat al-Sakaki
bahwa ia menkosntruksi keilmuan al-badī’ karena ia merasakan kehadiran ilmu
dalam hatinya ketika ia melakukan meditasi dengan mensucikan jiwa dan
menfereshkan pola pikirnya sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya.
F. Kritik dan Apresiasi Epistemologi terhadap Miftā ḥ al-‘Ulū m Sebuah keahlian yang paling penting sebagai salah satu unsur utama
pembentuk peradaban manusia, yang juga sering kali diabaikan adalah keahlian
dalam menulis. Keahlian tersebut tidak diperoleh dengan sendirinya seperti halnya
intuisi, jauh dari itu harus di mulai dengan pengasahan, pelatihan bahkan membaca
adalah jendala untuk sebuah produktifitas yang efektik untuk bisa menulis. Jika
diamati dengan baik, para pewaris ide dan pemikiran pada era al-mutaakhirūn dan
al-mu’āṣirūn, kesungguhan mereka dalam menulis bahkan selama masa hidupnya,
ada yang menghasilkan beragam dan sejumlah karya ilmiah yang bermanfaat
kemudian diwariskan untuk generasi setelahnya. Produktifitas tersebut bertujuan
untuk generasi muda sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap perkembangan
peradaban manusia yang baik di masa depan.242
239
Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 430. 240
.J.A.K Thomson, Introduction on The Ethics of Aristotle (Amerika Serikat: Pinguin
Books, 1961), 421. 241
Madjid Fakhri, A History of Islamic Philoshopy (New York: Culombia University
Press, 1998), 72. 242
Parlindungan Pardede, Penulisan Karya Ilmiah (Jakarta: Universitas Kristen
Indonesia Press, t.t.), 1.
142
Kesadaran seseorang akan pentingnya goresan tangan yakni menulis, sama
seperti kepeduliannya terhadap diri sendiri, lingkungan sosial bahkan negaranya.
Seperti halnya al-Sakaki, tulisannya yang fenomenal bukan hanya mengantarkan
namanya menjadi sangat terkenal di dunia sastra. Lebih dari itu, nama guru, negara
bahkan pemerintahan di masanya turut serta dikenang dan terus ditelisik oleh dunia
internasional. Karya tulisan tersebut menjadi bagian dari kekayaan budaya pada
masa tersebut sampai masa yang akan datang. Kunandar (2008 M) mengungkapkan
bahwa tulisan dalam bentuk karya ilmiah adalah bagian dari perkembangan
pendidikan. Dimana menurutnya, tulisan dalam bentuk karya ilmiah adalah sebuah
indikator atau tolak ukur kemajuan suatu bangsa di mana bangsa yang modern
adalah bangsa yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang cerdas, di samping
sumber daya alam (SDA) yang potensial.243
Ignace Jay Gelb (1985 M), seorang sastrawan populer Amerika membuat
sebuah kesimpulan tentang peradaban manusia, kesimpulan yang diungkapkannya
bahkan mengejutkan para ilmuwan lainnya pada masa tersebut. Menurutnya, jika
bahasa membedakan manusia dari binatang, maka tulisan244
membedakan manusia
beradab dari manusia biadab. Dengan demikian semakin jelas bahwa tulisan hanya
terdapat dalam peradaban manusia, dan peradaban tidak akan ada tanpa tulisan.245
Ibrahim Ali (1430 H) menyebutkan sebuah istilah yang menggambarkan bahwa
tulisan sebagai peradaban manusia dengan perkataannya ‘amal ‘aqlī shu’ūriyyun
lafdziyyun (aktivitas akal dan perasaan lafal).246
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka menulis adalah sebuah kebutuhan
pokok demi sebuah peradaban manusia yang lebih baik dan terlestarikan. Jika para
generasi muda di sebuah lingkup sosial telah minim tulisan, maka mereka
sebenarnya sedang akan mematikan tanda pengenal komunitas mereka. Para tokoh
penulis al-mutakkhirūn adalah bukti kejayaan umat manusia dengan peradabannya.
Andai tanpa tulisan, agaknya generasi umat manusia ini akan kehilangan sejarah
tentang perkembangan keilmuan masa lalu. Kemajuan teknologi modern yang saat
ini dinikmati oleh jutaan manusia, dengan kemudahan yang super canggih serta
kejauhan yang mendekatkan jarak, agaknya tidak murni sebagai hasil manusia
modern saat ini, melainkan pada karya dan kemajuan tersebut ada kontribusi besar
para ilmuwan al-mutakkhirūn.247
Misalnya, perkembangan ilmu filsafat di berbagai universitas di dunia tentu
tidak akan berkembang kecuali atas pemikirian Descartes, Plato, Aristoteles, al-
Jabiri, al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah. Begitu pula perkembangan ilmu sastra Arab
243
Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dan Sukse dalam Sertifikasi Guru (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 37. 244
Tulisan adalah sebuah produktifitas keahlian yang menggabarkan kepribadian dan
akal seseorang di dalamnya terdapat pola dan idiologi kehidupan. Ia ditulis dan disajikan
dengan budaya yang kental dengan bahasa dan kejiwaannya, kemudian dicetak dalam bentuk
karya karya ilmiah. Tulisan tersebut menjadi komunikasi seseorang kepada orang yang
membaca dalam jarak yang dekat maupun yang jauh. Lih. Ibrahim Ali Rababi’ah, Mahārah
al-Kitābah wa Namādzij Ta’līmihā (Arab Saudi: www.alukah.net, 1439 H), 34. 245
Ignace J.Gelb, A Studi of Writing (Chicaga: University of Chicago Press, 1969), 44. 246
Ibrahim Ali Rababi’ah, Mahārah al-Kitābah wa Namādzij Ta’līmihā, 8. 247
Parlindungan Pardede, Penulisan Karya Ilmiah, 2-4.
143
agaknya juga tidak akan sampai kepada kita kecuali atas jasa besar para linguis al-
mutakkhirūn seperti al-Jurjani, al-Mubarrid, Abu Hilal al-‘Askari bahkan sampai
kepada al-Sakaki dengan karya fenomenalnya yang menjadi penyempurna dari
seluruh ilmuwan bahasa pada masa itu yakni Miftāḥ al-Ulūm.248
Sebuah karya ilmiah hasil gagasan dan ide cemerlang seseorang yang
intelektual sebagaimana yang dijelaskan oleh Descartes agaknya pasti mengalami
pro dan kontra terhadap teori keilmuan (epistemologi) yang disajikan di dalamnya,
bahkan termasuk substansi isinya, dan Miftā ḥ al-‘Ulū m adalah bagian dari karya
yang dimaksud tersebut. Sebab, Miftā ḥ al-‘Ulū m juga tidak terlepas dari
banyaknya kritikan dan apresiasi dari para ahli linguis. Kritikan tersebut tidak
hanya sebatas pada isi dan materi yang disajikan, lebih dari itu juga pada
keberadaan Miftā ḥ al-‘Ulū m yang telah berhasil memperoleh tingkatan yang
tinggi dan membawa pengarangnya kepada sosok yang terkenal dan mendapatkan
tempat yang tinggi pula telah menjadi polemik di antara mereka.
Sebuah pemahaman yang mesti ditanamkan ketika berbicara tentang kritik
maka bukan berarti mengejek atau langsung mengucilkan dan memojokkannya, hal
inilah yang disebut oleh Sukron Kamil sebagai makna yang telah menyempit dan
selalu memberikan konotasi makna yang buruk. Walaupun makna ini juga menjadi
bagian dari makna leksikal kritik.249
Padahal sebaliknya bicara tentang kritik berarti
bicara tentang apresiasi secara proporsional terhadap suatu objek dengan cara
memujinya dan menjelekkannya.250
1. Kritik terhadap Miftā ḥ al-‘Ulū m Epistemologi al-Sakaki terhadap Miftā ḥ al-‘Ulū m sangat di dominasi
oleh cara berpikir yang rasional dibanding cara berpikir yang intuitif, bahkan lebih
cenderung teori ilmu pengetahuan al-Sakaki bersifat empirisme. Penulis sepakat
dengan pandangan Tammam Hassan terhadap karya al-Sakaki yang mengatakan
bahwa Miftā ḥ al-‘Ulū m adalah bagaikan teori berbahasa Arab. Menurutnya, al-
Sakaki dianggap sebagai tokoh yang mempelopori dibakukannya balagah menjadi
seperangkat ilmu secara teoritis. Dalam pandangannya, rasio yang lebih cenderung
digunakan oleh al-Sakaki sebenarnya membuktikan pengetahuan yang diskurtif251
dan konseptual yang khas manusiawi.252
Daya pikir yang bersifat diskurtif yang erat dilakukan oleh al-Sakaki
menunjukkan bahwa dirinya sangat logis dan metodik selama tahapan penulisan
karyanya, maka tidak mengherankan jika ia menyajikan keilmuan balagah terlebih
248
Madjid Fakhri, A History of Islamic Philoshopy, 30.
249
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 143. 250
Abdul Razaq Badr, al-Naqd al-Adabi (Riyadh: Kindom of Saudi Arabia Press, t.t.),
70-73. 251
Pemahaman diskurtif adalah keilmuan yang diperoleh dengan cara pengambilan
kesimpulan, yakni dengan metode kemampuan nalar atau berpikir. Adapun lawan dari
diskurtif adalah intuitif yang bermakna pengetahuan yang diperoleh dengan penerangan
langsung tanpa perlu berpikir dengan keras. Lih. Abdul Mughis Mudhofir, Teori Kekuasaan
Michel Foucault: Tantangan bagi Sosiologi Politik, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 18,
No. 1, Januari 2013, 84.
252
Tammam Hassan, Kitāb al-Uṣūl, 115.
144
kepada kaidah-kaidahnya, dapat dengan mudah dimengerti dan dinalar oleh para
pembacanya. Pada beberapa kesempatan sebagaimana yang telah diakui oleh al-
Sakaki, ia juga tidak melupakan ahli balagah sebelumnya seperti al-Jurjani dan al-
Zamakhsyari dalam proses pengarangan Miftā ḥ al-‘Ulū m. Hal tersebut telah
sering kali terjadi proses pembuktian empirisme pada setiap tahapan penulisan yang
dilakukan oleh al-Sakaki sebagaimana dijelaskan sebelumnya, karena dipastikan ia
akan mengambil keilmuan dari yang sebelumnya. Jujun Suriasumantri menegaskan bahwa dengan jiwa rasionalisme seseorang
akan mampu berpikir secara sadar dan membuat metode-metode atau norma-norma
sosial dengan kebijakan moral yang bersifat diskutif, sehingga al-quwwah al-
‘aqliyyah (kemampuan akal) menjadi sumber utama pengetahuan dalam dirinya
sendiri.253
Hal tersebut didasari karena al-Sakaki juga seorang yang sangat manṭiqī
(logical) dalam berbicara di mana para ahli di masanya mengenal sosok al-Sakaki
juga seorang ahli kalām. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa ahli kalām adalah
meraka yang pandai merangkai kata-kata dengan baik dan sistematis serta mampu
memberikan definisi yang tepat pada setiap kata atau istilah yang ia maksudkan.254
Hal itu tampak dari metode penulisan Miftā ḥ al-‘Ulū m dengan menggunakan
metode taqrīrī (‘ilmī) serta memiliki klasifikasi keilmuan dari yang rendah menuju
yang lebih tinggi.
Sebuah, penelitian yang dilakukan oleh Ali Ni’mah al-Azhari yang telah
lama melakukan pengamatan, ia menyimpulkan bahwa Miftā ḥ al-‘Ulū m lebih
dominan kepada qawā’id al-lughawiyyah-nya yang didasari oleh al-quwwah al-
‘aqliyyah (kemampuan akal) dibanding dhawq al-lughah yang didasari oleh al-
quwwah al-qalbiyyah (kemampuan hati). Perbedaan tersebutlah yang menjadi
penguat bahwa al-Sakaki sebenarnya telah membawa arah Miftā ḥ al-‘Ulū m
kepada sesuatu yang sangat teoritis dan metodik.255
Khatib al-Qazwaini
mengatakan bahwa sebenarnya apa yang dilakukan oleh al-Sakaki adalah peristiwa
yang sangat historioratif karena kemampuan menyempurnakan keilmuan balagah
dengan sangat baik sangatlah memiliki peran besar terhadap kemajuan ilmu sastra
Arab, walau menurutnya isi karya tersebut lebih cenderung kepada qawā’id al-
lughawiyyah.256
Kehadiran Talkhīs Miftā ḥ al-‘Ulū m menuruf para filsuf merupakan
bentuk kegusaran para linguis, seperti Khatib al-Qazwaini dan Badruddin Malik
yang menginginkan adanya gerakan penyempurnaan pada espistemologi yang
dibangun oleh al-Sakaki. Keindahan bahasa dan seni penyajian pada karya Miftā ḥ al-‘Ulū m adalah pusat perhatian para linguis dan kritikus, baik dari lafal maupun
maknanya. Maka harapan tersebut tentunya bukan hanya sekedar sebuah keresahan
semata. Namun, lebih dari itu karena didasari kesadaran bahwa sebuah karya sastra
253
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 241. 254
Abu Hamid al-Ghazali, Ihyā Ulūm al-Dīn, 160.
255
Ali Nikmah al-Azharī, Sharh Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm li Imām al-Sakākī, 8. 256
Abdul Muta’al al-Sha’idi, Bughyah al- Īdhāh li Talkhis al-Miftāḥ fī ‘Ulūm al-
Balāghah (Kairo: Makta al-Adab, 1999), 17.
145
khususnya ilmu balagah semestinya harus dominan kepada unsur dhawq al-lughah-
atau setidaknya seimbang antara teori dan seni rasa yang disajikan di dalamnya.257
Terobosan keilmuan tersebut adalah bentuk kritikan membangun yang
dilakukan pertama kali oleh Khatib al-Qazwaini secara proporsional. Ia menempuh
jalan tersebut juga sebagai bentuk kritikan sekaligus apresiatifnya kepada al-Sakaki
agar mencapai seperti yang telah ia cita-citakan di dalam muqaddimah-nya bahwa
Miftā ḥ al-‘Ulū m dalam pengakuannya telah dilakukan dengan sangat cermat.258
Selain hal itu, juga bertujuan untuk menjaga murūah (harga diri) al-Sakaki karena
jasa dan ilmunya yang telah dianugerahkan kepada para pengkaji sastra setelahnya. Ahmad Hussein Zayyat (2016 M) berpendapat bahwa keseimbangan antara
teori dan seni rasa menjadi sangat penting. Menurutnya bisa dilakukan dengan cara
analisa linguistik melalui pembatasan pada fonetik, morfem maupun sintaksis,
bahkan bisa dilakukan pada semua aspek yang ada dalam sastra bahasa sebagai
sarana untuk menggapai tujuan artistik.259
Gerakan inilah yang dilakukan oleh
Khatib al-Qazwaini yang akhirnya dipuji oleh Ali Ni’mah al-Azhari bahwa Talkhīs Miftā ḥ al-‘Ulū m telah mampu mengkombinasikan antara kedua kekuatan akal
dan kekuatan hati yang terwujud melalui language teoritic dan language sense.
Keberhasilan al-Qazwaini pada pengkombinasian antara language teoritic
dan language sense, misalnya tampak pada penyederhanaan kaidah dan penyesuaian
peletakan kajian al-badī’ dan al-ma’ānī. Pada kajian al-badī’ al-Sakaki membahas
al-muḥassināt al-lafdhī dan al-muḥassināt al-ma’nawī yang bertujuan untuk taḥsīn
al-kalām (artistik). Al-Qazwaini menilai bahwa kedua kajian itu semestinya masuk
dalam kajian al-ma’ānī dan bukan pada kajian al-badī’. Sedangkan pembahasan
seperti al-iltifāt, al-qalbu dan uslūb al-ḥakīm menurutnya harus menjadi bagian ilm
al-badī’. Misal kajian al-ma’ānī:
ج احل و اس لن ل ت ي اق و م ي ه ل ق ة ل ه األ ن ع ك ن و ل أ س ي
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang hilâl-hilâl. Katakanlah: “itu adalah tanda-
tanda waktu bagi manusia.”
Jika diamati sekilas menurut al-Qazwaini jelas seakan misal tersebut adalah
bagian dari al-ma’ānī, karena di dalamnya terdiri dari al-musnad dan al-musnad
ilahi dan berjenis al-khabar al-inshā’i. Padahal menurutnya, ia bagian dari al-uslūb
al-hakīm (language wisdom) atau kajian ilm al-badī.260
John McGinnis (1993 M)
dan David C. Reisman (1984 M) mengatakan bahwa languange wisdom muncul dari
sebuah penghayatan terhadap sebuah sentence dan bukan pada strukturnya.261
Al-
Sakaki mengutip perkataan Ibnu Hajjaj dalam sebuah syairnya:
قلت ثقلت كاهلى باآليادي * قال ثقلت إذا أتيت مرارا
257Anang Santoso, Jejak Halliday dalam Linguistik Ktiris, 34.
258Al-Sakaki, Miftāḥ ‘Ulūm, 4.
259
Ahmad Hussein Zayyat, Tārikh al-Adab al-‘Arabi (Kairo: Dar al-Nahdhah, t.t.), 52. 260
Jalaluddin Muhammad Khaṭib al-Qazwaini, Talkhīs Miftāḥ al-‘Ulūm, 142. 261
John McGinnis dan David C. Reisman, Classical Arabic Philosophy an Anthology
of Sources (USA: Hackett Publishing Company, 2007), 17.
146
قال أبرمت قلت حبل ودادي * قال طولت قلت أو ليت طوال Artinya:
Aku telah memberatkan kamu karena aku sering berkunjung kepadamu. Aku
berkata: kamu memberatkan punggungku dengan tangan-tanganmu. Ia
berkata: Aku berlama-lama. Aku menjawab: kamu menyerahkan pemberian.
Ia berkata: Aku membosankan. Aku menjawab: Tali kasih sayangku.262
Pada syair tersebut tampak jelas languange wisdom yang diinginkan oleh al-
Hajjaj. Di dalamnya telah tampak redaksi bahasa yang mengandung nilai moral, seni
dan bentuk kelembutan dari bahasa lisan. Misal tersebut menurut al-Qazwaini jelas
merupakan al-uslūb al-hakīm (language wisdom), sekalipun ada sedikit kekeliriuan
al-Sakaki pada pengkategoriannya sebagai kajian khusus ilm al-shi’ri, padahal ia
adalah bagian dari al-saja’ atau al-badī’ al-lafdhī. 263
Gerakan penyederhanaan serta koreksi terhadap karya besar al-Sakaki oleh
al-Qazwaini tersebut menjadi bagian dari al-naqd al-adabi (kritik sastra), sehingga
dipastikan kehadiran critical linguistic atau kritik sastra (naqd al-adabi) pada
perkembangan modern saat ini, seperti yang telah dicontohkan oleh Khatib al-
Qazwaini tersebut menjadi sangat penting untuk menjadi cerminan akan kekurangan
dan kelebihan yang dimiliki sebuah karya ilmiah. Sebab, kritik sastra tidak akan
mencapai sasaran apabila teori dan sejarah sastra tidak dijadikan landasan berpijak
dalam proses penilaian dan manfaat kegunaanya terhadap para pembaca. Demikian
pula dengan teori sastra dan sejarah sastra karena teori sastra tidak akan pernah
sempurna tanpa bantuan sejarah dan kritik sastra sepanjang zaman. Maka kritik
sastra adalah sebuah metode penyelaras atau penyeimbang, guna mengontrol dan
mengevaluasi capaian dari sebuah karya ilmiah yang berhasil dibukukan seperti Miftā ḥ al-‘Ulū m.
264
Suwardi Endraswara menuturkan bahwa critical linguistic menjadi medan
bagi proses verifikasi (pengujian) aplikatif tidaknya sebuah teori ilmu pengetahuan
yang ada di dalamnya. Bahkan juga tampaknya, critical linguistic merupakan proses
yang menjadi faktor yang mempengaruhi lahirnya teori baru, baik teori sastra
sebagai revisi atau hanya pengembangan terhadap teori sebelumnya. Misalnya,
Badruddin Malik ketika mengamati Miftā ḥ al-‘Ulū m yang pada akhirnya ia
menyimpulkan terjadi pelemahan dari tujuan artistik yang diinginkan oleh al-Sakaki,
sehingga karya itu disebutnya lebih dekat mirip ilm naḥw.265
Ia pun menemukan
sebuah teori yang ia tawarkan sebagai solusi menggiring kembali Miftā ḥ al-
262
Lit. http://uslub-al-hakim-ilmu-badi.html (diakses 16 oktober 2017) 263
Nu’man Su’ban Ilwani, al-Asālib al-Bayāniyyah wa al-Khiṭāb al-Da’awī al-Wā’i
(Palestina: Gazza University Press, 2005), 1392. 264
Muhammad Hasan Abdullah, Muqaddimah fi al-Naqd al-Adabī (Beirut: Dar al-
Buhuts al-Ilmiyyah, t.t), 66. 265
Tanja Guastad, Linguistic Knowledge and Word Sense Disambiguation (Belanda:
Groningen Dissertations in Linguistics, 2004), 10.
147
‘Ulū m kepada tujuan awalnya yang disebut dengan teori sastra struktural yang
belakangan ini dikenal sebagai teori struktural murni dan struktural genetik.266
Munculnya teori strukturalisme genetik pada sastra modern merupakan
revisi dari strukturalisme murni. Jika strukturalisme murni merupakan sebuah teori
yang mementingkan pengkajian unsur intrinsik sastra sebagai kesatuan bentuk
artistik yang koherens saja, dalam strukturalisme genetik justru lebih dari itu, sebab
ia juga mengkaji hal yag sama hingga pada unsur genetik yang di dalamnya
membicarakan asal sosial dan budaya terjadinya sebuah karya seperti Miftā ḥ al-‘Ulū m. Maka, karya sastra dipandang sebagai representasi sosial penulisnya.
Dalam strukturalisme genetik terdapat beberapa aspek kajian penting yang
mempengaruhi karya ilmiah yaitu aspek intrinsik teks sastra, backgroud intelektual
pengarangnya dan latar belakang budaya serta sosial pada masyarakatnya.267
Teori-
teori bahasa tersebut termasuk linguistik modern, yaitu sejak diprakarsai pertama
kali oleh De Saussure pada 1878 M di Universitas Leipzig.
Tammam Hassan dalam karyanya menyimpulkan bahwa pada konteks
pembangunan keilmuan Miftā ḥ al-‘Ulū m pasti dipengaruhi unsur sosial, budaya
dan pendidikan internalnya sejak kecil. Dimana al-Sakaki sejak kecilnya ketika
mendapatkan pendidikan dari ayahnya, ia telah terpola dengan berpikir keras dan
melakukan sesuatu dengan logis serta memanfaatkan setiap kesempatan dengan
baik serta penuh pertimbangan.268
Selain itu, sebuah penelitian yang dangkat oleh Ruth Sihite tentang
Pandangan Realisme Sosialis Cerita Drama Televisi mengakui bahwa saat ia
menghadapi kesulitan besar dalam proses pembuatan drama layar lebar adalah pada
pemindahan seni dan aplikasi artistiknya, yakni sesuai dengan yang ada dalam karya
ilmiah yang berjudul Don’t be Down, You’re Doing Great. Sebuah terobosan yang
ia lakukan hingga akhirnya mengantarkannya kepada keberhasilan dalam seni
perfilman tersebut adalah dengan mempelajari kritik sastra. Dalam prosesnya ia
menggunakan strukturalisme murni dan strukturalisme genetik untuk mengungkap
sosial dan budaya yang turut mempengaruhi karyanya.269
Adapun dalam kitab Uṣūl al-Naqd al-Adabī karya Ahmad al-Shayib, ia
menekankan bahwa keberhasilan sastra haruslah memiliki empat unsur utama yaitu;
rasa, imajinasi, gaya bahasa yang indah dan ide yang brilian. Dengan demikian
menurutnya sastra harus mampu mengesploitasi rasa, menyampaikan hal-hal yang
eskafistis dari alam kenyataan, diksi dan ungkapan yang indah serta ide yang
dimilikinya harus smencerminkan kehidupan pengarang dan sosial budayanya.270
266
Teori Strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang
mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. Lih. Sukron Kamil, Teori
Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 54. 267
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori
dan Aplikasi (Jakarta: Pustaka, Widyatama, t.t), 50.
268
Tammam Hassan, 47. 269
Ruth Novida Sihite, Pandangan Realisme Sosialis Dalam Cerita Drama Televisi
Hana Yoni Dango (Jakarta: Uiniversitas Indonesia Press, 2012), 7.
270
Anang Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Ktiris dan Analisis Wacana
Krisis, Bahasa dan Seni, Tahun 36, No. 1 Februari 2008, 2.
148
2. Apresiasi terhadap Miftā ḥ al-‘Ulū m Seorang pakar ilmu budaya asal Denmark Kristian Hvidtfelt Nielsen dalam
penelitiannya ia mengatakan bahwa budaya kritik terhadap sebuah produktivitas dan
karya seseorang perlu dirubah menjadi yang lebih soft, sehingga tidak hanya melihat
kepada sisi buruk atau kekurangannya saja. Menurutnya, bentuk apresiasi terhadap
sebuah karya adalah mutlak sebagai penghargaan terhadap keilmuan seseorang.
Selain itu, budaya kritik bisa saja muncul akibat kurang dalamnya ilmu yang
dimiliki, atau justru karena faktor sentimen buruk terhadap pengarangnya. Dengan
demikian perlu dilakukan secara obyektif dan bijaksana agar tidak terjadi sebaliknya
memperburuk citra baik seseorang. Banyak orang terkadang tidak menyadari bahwa
jenis kritik maupun apresiasi adalah bentuk komunikasi antara hati ke hati. Maka
keberhasilan dalam berkomunikasi tidak hanya dinilai dari sisi kepiawaian dalam
berbicara, namun juga dari efek bahasa tulisan maupun lisan yang diungkapkan.271
Ahmad Mathlub dalam karya tulisnya Manhaj al-Sakākī fī al-Balāghah
mengakui andai saja Miftā ḥ al-‘Ulū m tidak lahir dari ide briliant al-Sakaki tentu
para pemerhati sastra Arab tidak akan mengenal tingkatan ilmu balagah seperti saat
ini.272
Misalnya, secara historis ‘ilm al-bayān ditemukan pertama kali oleh al-Jaḥidz pada
akhir abad ke- 12 H. Al-Jahidz mengarang karya sastra tentang stilistika dengan
judul al-bayān wa al-tabyīn sebagai karya terakhirnya sebelum ia wafat pada 255 H.
Dalam karya tersebut ia memaparkan teknik pidato, debat, bersyair, komunikasi,
seni keterampilan bahkan tentang berbagai style bahasa di saat berbicara. Sauqi
Ḍaif menilai bahwa karya al-Jahidz tersebut banyak kejanggalan, di antaranya ia
menjadikan satu untuk keseluruhan kajian ilmu balagah seperti al-isti’ārah, al-majāz, al-muhassināt bahkan al-shi’ir semua berada dalam satu kajian keilmuan
yaitu ilm bayān.273 Ilm badī’ dipelopori oleh Ibnu al-Mu’tazz, dan selesai disusun
olehnya pada 274 H. Muhbib Abdul Wahab menuturkan bahwa karya al-Mu’tazz
kitāb al-badī’ tidak ada ubahnya dengan al-bayān wa al-tabyīn. Kaidah-kaidah
kesusastraan di dalamnya belum dibakukan dengan baik sehingga sangat terkesan
mengikuti pola penulisan karya al-Jahidz pada al-bayān wa al-tabyīn.274
Adapun ‘ilm al-ma’ānī dipelopori langsung oleh al-Sakaki, di dalamnya ia
berbicara al-khabar al-ṭalabi dan al-inshāi sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnya. Karya-karya sebelumnya tidak luput dari analisa al-Sakaki, dan sebagai
kesimpulannya ia pun memilah-milih kajian yang berkaitan dengan al-ma’ānī, al-bayān dan al-badī’ dengan menjadikannya sebagai sebuah kajian khusus yang
271
Kristian Hvidtfelt Nielsen, Between Understanding and Appreciation, Current
Science Communication in Denmark, Journal Science of Communication SISSA, Vol. 1, No.
20, Desember 2005, 5. 272
Ahmad Mathlub, Manhaj al-Sakākī fī al-Balāghah (Beirut: Dar Ulum al-Islami,
t.t.), 283.
273
Ṣawqi Ḍaif, Tārīkh al-Adab al-‘Arabī, 44. 274
Muhbib Abdul Wahab, Abdullah Ibn al-Mu’tazz Sang Kreator Ilmu Badī’, Arabiyat
Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaaraban, Vol. 3, No. 7, Juni 2016, 9.
149
memiliki sub kajian mendalam di dalamnya. Sebuah upaya konstruksi keilmuan
balagah secara menyeluruh yang kemudian ia sebut Miftā ḥ al-‘Ulū m.275
Abbas Baidhun (2013 M) menegaskan bahwa al-Sakaki layak diberi gelar
bapak ilmu balagah karena ia sangat berjasa besar terhadap reformasi keilmuan
balagah. Ia telah mampu menjadikan ilmu balagah yang sebelumnya tidak tertata
rapih serta tidak tersistem dengan baik kini akhirya menjadi sebuah kaidah yang
baku.276
Maka, ketenaran dan kebesaran nama al-Sakaki walau datang lebih baik
darinya dalam hal pemikiran dan ide, selama ia merujuk kepada karya seseorang
tersebut, maka yang pertama adalah tetap lebih pantas memiliki dan menyandang
predikat kemuliannya.277
Muhammad Abduh (1905 M) menilai bahwa gerakan perubahan seperti
yang dilakukan oleh al-Sakaki sangat berkontribusi besar terhadap kemajuan umat
Islam khususnya pada perkembangan keilmuan sastra. Hal tersebut menurutnya
telah tampak dari pembaharu-pembaharu sastra seperti al-Sakaki dan al-Qazwaini
yang masuk ke dalam fase al-mu’aṣirūn.278
Muhammad Abduh yang juga seorang tokoh salaf pembaharu keilmuan
mutakhir, ia mengungkapkan bagaimana sebaiknya sikap kita terhadap para tokoh-
tokoh yang telah banyak melahirkan karya-karya ilmiah (al-turāth al-qadīm)? Ia
menegaskan bahwa segala sesuatunya perlu dipikirkan dan dipertimbangkan dengan
baik secara rasionalis agar umat Islam tidak ketinggalan zaman karena hanya sibuk
mengomentari hal-hal yang sudah sempurna kajiannya. Sebaliknya, bagaimana cara
mengimplementasikan hasil dari karya-karya tersebut dalam dunia modernisasi saat
ini. Hal tersebut berpotensi menjadi salah satu pemicu kemunduran umat Islam dan
dirampasnya keilmuan Islam oleh dunia barat.279
Selain itu, jika terus dikembangkan cara berpikir yang tidak produktif,
maka bisa saja kejayaan sains dan filsafat dalam sejarah dunia Islam mengalami
kemuduran yang sighnifikan. Ada banyak asumsi yang dibangun dalam hal tersebut
di antaranya: 1). Melemahnya dukungan para penguasa terhadap karya ilmiah dan
pemikiran rasionalisme, padahal sains berkembang karena dukungan penguasa
seperti yang dicontoh oleh Muhammad Abduh saat menjabat sebagai rektor al-
Azhar al-Sharif. 2). Diharamkannya filsafat oleh al-Ghazali pada abad ke-12 dan
kemudian oleh Ibnu Taimiyyah abad ke-14. 3). Menguatnya sufisme dalam bentuk
tarekat. 4). Kemampuan saling kritik antar tokoh dan antar lembaga, 5). Malasnya
umat Islam pada setiap zaman untuk memikirkan sesuatu yang baru yang bisa
diwariskan untuk generasi sesudahnya. Maka muncul sebuah pertanyaan, lalu
mengapa para tokoh terdahulu terus berproduksi dalam bentuk karya ilmiah seperti
275
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tārīkh ‘Ulūm al-Balāghāt wa al-Ta‘rīf bi Rijālihā, 44. 276
Abbas Baidhun, Istidrōkāt al-Khaṭib ‘Alā al-Sakākī (Beirut: Dar Kutub, 2013), 15. 277
Hanna Djumhana Bastaman, Islamisasi Sains dengan Psikologi sebagai Ilustrasi,
Jurnal Ulum al-Qur’an, No.8, Vol. 2, Oktober 1991, 327. 278
Muhammad Abduh, al-‘Amal al-Kāmilah (Beirut: al-Muassasah al-Arabiyyah,
1972), 324 279
Wahun Muqoyyidin, Pembaruan Pendidikan Islam Menurut Muhammad Abduh,
Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 28, No. 2, Safar 1434 H, 288.
150
Miftā ḥ al-‘Ulū m, ternyata ditemukan jawabannya hanya demi sebuah harapan
ikut serta memikirkan umat Islam di masa depan.280
Dengan demikian, sekalipun Miftā ḥ al-‘Ulū m telah menyisakan beragam
kritik dan kontra pendapat atas munculnya karya tersebut. Namun, tidak akan
menyurutkan apreasiasi para ilmuwan dan pemerhati lainnya dalam menyikap karya
fenomenal tersebut. Sebab, kehadirannya telah membuka mata para linguis untuk
kembali membuka lembaran karya baru bagi para ilmuwan al-mu’ṣirūn. Dan pada
kenyataannya Miftā ḥ al-‘Ulū m hingga hari ini terus dikaji dan diambil
manfaatnya oleh para pembaca dan pelajar di berbagai universitas ternama di dunia.
Sukron Kamil menengahi antara pro dan kontra terhadap karya al-Sakaki
tersebut dengan mengatakan bahwa sudah seharusnya analisis sastra dari pada
kritikus memperhatikan etika-etika mengkritik. Lebih dari itu, hal terpenting
menurutnya adalah memberi sumbangan besar terhadap teori dan sejarah sastra,
sehingga ia sesuai dengan fungsinya untuk meluruskan (li ta’dīl ilā al-ṣawāb) atau
justru menyempurnakan, dan bukan semata untuk memojokkan atau mengucilkan
karya atau tokoh tertentu.281
G. Relevansi Miftā ḥ al-‘Ulū m dengan Linguistik Modern Miftāḥ al-‘Ulūm secara umum yang meliputi pembahasan ‘ilm al-ṣarf
(morphology), ‘ilm al-naḥw (syntaksis) dan ‘ilm al-dilālah (semantics) serta al-
balāgah (stilistika) merupakan kajian linguistik tradisonal yang telah dimulai sejak
pertengahan abad ke- 6 H. Perkembangan linguistik Arab yang diprakarsai oleh al-
Sakaki tersebut adalah sebagai lanjutan keilmuan yang digagas sebelumnya oleh
para linguis terkenal seperti Abu Ubaidah (207 H), Ibnu Mu’tazz (274 H), Ibnu
Qudamah (337 H), Abu Hilal al-‘Askari (395 H), al-Jurjani (471 H), al-Zamakhsyari
(528 H) dan al-Razi (606 H). Keseluruhan tokoh tersebut adalah tokoh linguis yang
hidup pada fase al-mutakkhirūn, sedangkan al-Sakaki adalah seorang linguis sebagai
pembuka lembaran baru pada fase al-mu’aṣirūn.282
Pada fase al-mu’aṣirūn yang bersamaan dengan munculnya karya fenomenal
al-Sakaki berjudul Miftāḥ al-‘Ulūm lebih terkenal dengan al-balāgah (stilistika)
yaitu abad ke- 11 M. Hal tersebut karena al-Sakaki lebih fokus kepada kajian ‘ilm
ma’ānī, ‘ilm al-bayān dan ‘ilm al-badī’ dibanding kajian ‘ilm al-ṣarf (morphology)
dan‘ilm al-naḥw (syntaksis) yang hanya sebagai pengantar kepada ‘ilm al-balāgah
sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Seorang linguis modern pertama De Saussure
(1913 M) menyimpulkan bahwa kajian linguistik pada masa tersebut hingga abad
ke- 18 M berkisar pada tiga hal penting, yakni; 1). Penyusunan tatabahasa
(grammar) dengan metode pengandalan terhadap kecerdasan logika (rasionalisme),
2). Kajian terhadap filologi klasik (philological school) yakni kajian terhadap
naskah tertulis dengan tujuan untuk mempelajari ilmu sastra dan sejarahnya, dan 3).
Pembiasaan kepada filologi komparatif (comparative philology).283
280
Sukron Kamil, Islam, Sains Empiris dan Ilmu Budaya (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2016), 28-29.
281
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 51-56. 282
D. Hidayat, al-Balāghah li al-Jamī’ wa Shawāhid min Kalāmi al-Badī’, 5. 283
F. De Saussure, Course in General Linguistics (London: Peter Owen, 1996), 24-27.
151
Herudjati Puwoko dalam penelitiannya tentang Fakta Sosial Obyek Penelitian
Linguistik Modern mengatakan bahwa tahapan perkembangan linguistik tradisional
pada fase philological school masih sangat mengabaikan bahasa kontemporer,
sampai pada fase selanjutnya di awal abad ke- 18 M mulai terjadi pergeseran
menuju komparasi filologi, dimana pada masa tersebut sudah mulai adanya
kesadaran untuk membandingkan antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya.
Misalnya, memperbandingkan antara bahasa sanskerta dengan bahasa Jerman,
bahasa Yunani dengan bahasa Latin dan lain sebagainya. Komparasi dari setiap
kajian dan perbedaan bahasa tersebut, jika diamati dari fakta sosial, maka akan
menimbulkan sebuah teori baru yang butuh kepada ilmu khusus untuk mengkajinya.
Peristiwa tersebut menjadi awal pergerakan linguistik tradisional kepada modern.284
Moch. Syarif Hidayatullah menuturkan dalam penelitiannya, bahwa kajian
dalam Miftāḥ al-‘Ulūm memang masih berkisar pada grammar dan filologi klasik, di
sisi lain juga masih mengabaikan kajian bahasa kontemporer. Namun, menurutnya
tanpa kajian-kajian klasik tersebut, maka tentu saja perkembangan kepada kajian
perbandingan bahasa dengan bahasa yang lainnya tidak dapat dilakukan.285
Fuady Aziz (2008 M) dalam penelitiannya tentang Sibwaih dalam Lintasan
Linguistik Arab, ia bahkan menyimpulkan bahwa cikal bakal hadirnya linguistik
modern adalah salah satunya dari Kitāb Sibwaih fī al-Naḥw yang berisi tentang
kajian struktur bahasa yang telah matang dan Miftāḥ al-‘Ulūm sebagai kajian style
dan keindahan berbahasa. Menurutnya, para linguis modern tidak akan mengenal
fasahah bahasa apalagi style language tanpa kehadiran kajian al-balāgah (stilistika)
dalam Miftāḥ al-‘Ulūm. Hal inilah menurutnya yang menjadikan keilmuan linguistik
terus bergerak dari tradisional menuju modern.286
Korelasi pentingnya linguistik modern tampak pada al-balāgah (stilistika)
yang membahas makna kalimat dan konteksnya secara ontologis dan epistemologis,
dimana kajian di dalamnya memiliki kesamaan dengan ilmu pragmatik. Selain itu,
‘ilm al-ma’ānī pada kajian al-balāgah (stilistika) juga terkait dengan semantik,
misalnya ketika dibahas di dalamnya tentang kalimat khabarī dan inshā’ī, ia masih
terkait dengan syntaksis, morphology, fonologhy dan semantics. Korelasi pada kajian
tersebut sangat mengilhami hadirnya keilmuan bahasa modern.287
Sejak dimulainya pergerakan kajian linguistik kepada linguistik modern,
kajian kebahasaan kini lebih cederung berbicara tentang fakta filosofis bahasa (al-
falsafah al-lughawiyyah) antara yang satu dengan yang lainnya yaitu dilihat dari
persfektif fakta sosial bahasa288
setempat, selain itu juga linguistik modern kini lebih
284
Herudjati Purwoko, Fakta Sosial Obyek Penelitian Linguistik Modern (Semarang:
Universitas Diponegoro Press, t.t.), 192-194. 285
Moch. Syarif Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab (Jakarta: Gramedia
Indonesia, 2017), 9-10. 286
Fuady Aziz, Sibwaih dalam Lintasan Linguistik Arab, Jurnal Sastra Arab Modern,
Vol. 1, No. 46, Mei 1991, 47. 287
Moch. Syarif Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab, 88. 288
Fakta sosial bahasa adalah sebuah ide atau gagasan (representasi) dalam pikiran
kolektif yakni jiwa kolektif atau nurani kolektif dari suatu masyarakat, sehingga budaya
152
cenderung kepada kajian al-alfādh al-‘Arabiyyah. Kedua kajian linguistik modern
tersebut meliputi karekter, fungsi dan metode pengajaran bahasa bahkan sampai
kepada teori bahasa seperti teori formalisme. Beberapa tokoh linguis Barat yang
memfokuskan kajiannya pada lingustik modern seperti William Wright (1859 M), ia
menulis karya berjudul A Grammar of the Arabic Language.289
Dengan demikian di
saat para pelajar telah mempelajari al-balāgah secara paripurna, maka ia sebenarnya
telah menuju kepada proses awal mempelajari linguistik murni, berikut adalah
bagan linguistik murni tersebut:
bahasa pada masyarakat tersebut menjadi identitas masyarakatnya. Herudjati Purwoko, Fakta
Sosial Obyek Penelitian Linguistik Modern, 181-183. 289
Herudjati Purwoko, Fakta Sosial Obyek Penelitian Linguistik Modern, 198.
Linguistik (علم اللغة)
Linguistik Teoritis
( النظري علم اللغة )
Psikolonguistik
(اللغة النفسية)
Sosiolonguistik
(اللغة االجتماعية)
Balagah (البالغة)
Sintaksi (النحو)
Morfologi (الصرف)
Fonologi (األصوات)
Linguistik Praktis
( التطبيقي علم اللغة )
Tabel Linguistik Murni
153
Hiduplah bersama manusia sebagaimana pohon yang berbuah,
mereka melemparinya dengan batu, tetapi ia membalasnya dengan buah.
Abu Hamid Al-Ghazali Filsuf Muslim asal Persia 1058 - 1111
153
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tesis ini membuktikan bahwa Miftāḥ al-Ulūm bukanlah sembarang karya
ilmiah, melainkan ia adalah sebuah karya yang hebat yang ditulis oleh seorang
‘ajamī (non-Arab). Secara garis besar epistemologi Miftāḥ al-Ulūm merupakan
sebuah sintetik-integralistik dengan cara menempatkan panca indera, akal dan
hati pada proporsinya masing-masing. Maka proses pembangunan keilmuan di
dalamnya terjadi dengan beragam epistemologi yakni empirisme (al-bayānī),
rasionalisme (al-burhānī) dan intuisionisme (al-‘irfānī). Tinjauan terhadap
epistemologi Miftāḥ al-Ulūm telah mengantarkan penulis kepada penalaran tajam
terhadap sumber-sumber, struktur pengetahuan, persoalan metodologi dan
validitas keilmuan yang ditulis oleh al-Sakaki selama proses pengarangannya.
Dalam tesis ini ditemukan bahwa integralistik epistemologi tersebut yang
terjadi dalam Miftāḥ al-Ulūm lebih cenderung kepada empirisme (al-bayānī) dan
rasionalisme (al-burhānī) dibanding intuisionisme (al-‘irfānī) yang justru
memiliki porsi yang sangat sedikit. Hal tersebut didasari oleh teori kritik modern
yang dikembangkan di dalamnya yakni strukturalisme genetik yang tidak hanya
melihat kepada setting sosial pengarangnya yang juga seorang yang sangat
manṭiqī (logical), namun juga kepada latar belakang budaya sosial pada
masyarakatnya, karena aspek sosial secara tidak langsung dapat berpengaruh
terhadap pola berpikir seseorang termasuk dalam hal ini al-Sakaki yang sangat
rasionalis dan memiliki kemampuan di atas rata-rata sebagaimana diakui oleh
para guru dan sahabat-sahabat pada masanya.
Senada dengan pendapat Tammam Hassan (2011) yang menyebutkan
bahwa besarnya faktor epistemologi empirisme (al-bayānī) dan rasionalisme (al-
burhānī) pada karya Miftāḥ al-Ulūm semakin menguatkan bahwa karya tersebut
lebih dekat kepada al-qawā’id al-lughawiyyah (languange grammar) dibanding
al-dhawq al-lughawī (languange sense). Hal tersebut karena Miftāḥ al-Ulūm
telah menjadikan ‘ilm balāghah (stilistika) di dalamnya bagaikan kaidah naḥw,
dan sedikit ditemukan rasa (artistik) yang menjadi tujuan utama ilmu stilistika.
Padahal ilm balāghah semestinya adalah lebih artistik dibanding metodik
atau setidaknya harus seimbang antara keduanya. Secara konteks bahasa saja
menurut Sukron Kamil, makna sebuah bahasa harus dilihat dari sisi konteks
leksikal, termasuk di dalamnya makna cita rasa (konotasinya), makna hubungan
antar kalimat dengan kalimat bahkan hubungan antar paragraf dengan paragraf
lainnya. Maka tidak mengherankan jika studi atas makna sebuah kata atau leksem
disebut olehnya dengan sebutan semantik leksikal.
Dengan demikian semakin artistik keilmuan balāghah, maka akan
semakin baik dan sempurna. Kenyataan tersebut akan mudah terwujud jika
didasari dengan epistemologi yang proporsional antara empirisme (panca indera),
rasionalisme (logika), dan intuisionisme (hati), sehingga tidak lebih cenderung
kepada epistemologi rasionalisme yang berakhir kepada kejumudan ilmu yang
disajikan di dalamnya.
154
Sebagaimana juga diakui oleh Ahmad Mathlub (2016) bahwa ada sebuah rasa
yang ia sulit mengungkapkannya ketika mempelajari Miftāḥ al-Ulūm. Rasa yang
dimaksud bukanlah rasa seni sastra bahasa atau artistik melainkan yang ia
rasakan adalah kejumudan (kemandekan) serta perasaan bosan dalam membaca
dan mempelajari karya al-Sakaki tersebut.
Berdasarkan kenyataan tersebutlah al-Qazwaini sebagai tokoh bahasa
pada fase al-mu’aṣirūn (era modern), melakukan langkah konstruksi ulang
terhadap karya Miftāḥ al-Ulūm dengan tujuan menyeimbangkan antara
languange grammar dan languange sense yang kemudian dikenal dengan
sebutan Talkhīṣ Miftāḥ al-Ulūm. Terobosan tersebut adalah sebuah gerakan
critical linguictics yang bertujuan untuk mengembalikan karya Miftāḥ al-Ulūm
kepada maqāṣid (cita-cita) awalnya sebagai kajian linguistik sastra. Adapun, hasil
analisa yang diperoleh oleh penulis secara epistemologis telah ditemukan juga
bahwa Talkhīṣ Miftāḥ al-Ulūm kini lebih dominan secara artistik, sehingga tidak
lagi menimbulkan kesan mirip kaidah ilmu naḥw (sintaksis).
Pentingnya menguasai keilmuan balāghah dalam kerangka bahasa Arab
khususnya dalam proses memahami al-Qur’ān maupun al-Hadīth sama seperti
pentingnya manusia terhadap garam disaat makan dalam kesehariannya. Hal
tersebut bertujuan untuk mengetahui rasa dan nikmatnya dalam membaca atau
mempelajari al-Qur’ān. Diibaratkan saat makan lalu hilang rasa dan nikmatnya,
maka akan jadi hampa tanpa arti, sekalipun makanan di dalamnya telah disajikan
dengan baik dan beragam pilihan. Dengan demikian tingginya sastra bahasa Arab
tergantung kepada style (uslūb) dan wisdom (al-hakīm) bahasa yang disajikan.
Sebab, bahasa adalah tauqīfī (faktor bawaan), sehingga dibutuhkan kecerdasan
gaya bahasa (style) dan bijaksana (wisdom) untuk menjadikannya lebih berseni
(artistik). Maka bahasa sebagai unsur pembentuk budaya (culture maker) perlu
mendapatkan perhatian dari para budayawan dan pemerhati bahasa.
Upaya yang dilakukan oleh imam al-Sakaki adalah salah satu bukti nyata
pembentukan budaya yang baik. Sekalipun seiring berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi pada era modern saat ini, agaknya keilmuan tersebut
dianggap kurang atau justru mereduksi substansi isinya bahkan tidak jarang
tokoh pewaris ilmu tersebut menjadi bahan ejekan dan cemoohan. Namun,
sejarah tidak akan mudah hilang begitu saja. Sebab, perkembangan keilmuan saat
ini tidak akan terlepas dari pengaruh sejarah masa lalu. Sungguh, kemulian atau
keutamaan itu pasti untuk orang pertama yang meletakkannya, sekalipun datang
setelahnya yang lebih baik. Maka kritikan yang terus dialamatkan oleh para
ilmuwan terhadap al-Sakaki perlu ditinjau ulang, bahwa setiap kritikan tidaklah
selalu bertujuan memojokkan sebuah karya ilmiah atau hasil temuan. Melainkan
ia juga bertujuan untuk memberikan ruang untuk menyempurnakan atau
menyederhanakan karya tersebut seperti yang telah dilakukan oleh al-Qazwaini
Dalam hal pembangunan budaya yang baik terhadap karya-karya ilmiah
harus dilakukan dengan metode critical linguictics yang obyektif. Dengan
melakukan gerakan critical linguictics yang obyektif maka cenderung akan
memunculkan teori baru dalam perkembangan keilmuannya, yang tentu saja
berguna untuk masa yang akan datang. Bahkan, juga berguna untuk meneruskan
perjuangan intelektual para ahli sebelumnya.
155
Dengan demikian, penguasaam terhadap keilmuan al-balāgah (stilistika)
yang sempurna pasti akan mengantarkan kepada linguistik modern. Hal tersebut
karena kajian linguistik teoritis dan pragmatis adalah dua hal yang harus sejalan
bersamaan. Tidak cukup hanya sebagai teori yang terdiri dari ‘ilm al-ṣarf
(morphology), ‘ilm al-naḥw (syntaksis) serta ‘ilm al-dilālah (semantics), tetapi
butuh kepada adaptasi sosial budaya masyarakat yang berlaku. Sebab, setiap
sosial budaya masyarakat pasti memiliki karakter bahasa yang berbeda
(sosialonguistik), tidak hanya itu tetapi juga berpengaruh terhadap kejiawaan
masyarakat tersebut (psikolinguistik).
B. Saran dan Kritikan
Setelah melakukan serangkaian penelitian terhadap Miftāḥ al-Ulūm karya
al-Sakaki serta telah menyimpulkan hasil temuan dalam karya ilmiah ini. Maka
sampailah penulis pada saran dan kritikan sebagai bagian dari inspirasi keilmuan
yang dihasilkan dari proses peneltian ini. Maka berikut adalah beberapa saran
dan kritikan penulis, di antaranya;
1. Kepada para pemerhati bahasa khususnya bahasa Arab hendaknya meniru
semangat perjuangan intelektual al-Sakaki. Perjuangan intelektualnya yang
sangat banyak memberikan kontribusi besar bagi kemajuan pendidikan dan
kebudayaan Islam. Al-Sakaki layak dijadikan sebagai tauladan, yang tidak
mengenal letih atau mengeluh atas keadaanya, sekalipun ia tidak memiliki
kesempatan belajar sebagai anak-anak didik saat ini. Maka diharapkan dengan
menjadikannya sebagai uswah ḥasanah akan muncul al-Sakaki - al-Sakaki
baru di masa depan umat Islam, sehingga umat ini tidak terus mengalami
kemunduran atau bahkan ditindas oleh perkembangan zaman.
2. Kepada pihak pemerintah atau penguasa hendaknya memberikan dukungan
moril dan materil, baik akses maupun biaya kepada para penggiat budaya dan
bahasa agar terus melakukan gerakan penelitian-penelitian khususnya pada al-
turāth al-qadīm agar memperoleh temuan baru yang kemudian bisa dijadikan
sebagai kekayaan pemerintah. Hasil temuan-temuan dari para penggiat
tersebut bisa diimplementasikan untuk mendongkrak kemajuan pendidikan
dan kebudayaan. Wabil khusus di Indonesia hingga hari ini sangat minim
penelitian dan penemuan baru yang inovatif.
3. Kepada para peneliti baik melalui lembaga-lembaga riset ataupun perguruan
tinggi, hendaknya mensupport dan mengarahkan penuh para mahasiswa untuk
melakukan penelitian, baik itu dalam bentuk peninjauan ulang ataupun
menghidupkan kembali karya-karya ilmiah yang sudah tertinggal. Sebab,
sejak era modern (al-mu’āṣirūn) tahun 1258 M perkembangan keilmuan
cenderung terus mundur dan tidak mengalami perkembangan yang sighnifikan
dalam dunia Islam termasuk Indonesia yang mayoritas muslim di dunia.
4. Kepada Kemendikbud dan Kemenristek dikti, hendaknya mendorong para
para pemangku jabatan di PTN atau PTS untuk merubah pradigma (mindset)
tentang makna kritik (critical), agar maknanya tidak semakin menyempit.
Sebab, critical tidak selalu bertujuan buruk, sebaliknya critical bertujuan baik
sebagaimana yang dilakukan oleh al-Qazwaini pada karya Miftāḥ al-Ulūm.
156
5. Kepada para peneliti selanjutnya, penulis menyarankan agar melakukan
penelitian pada aspek kekayaan budaya melalui bahasa, wabil khusus bahasa
Arab pada style bahasa dan artistiknya, sehingga mendorong umat Islam lebih
memahami al-Qur’an dan al-Hadith yang juga berbahasa Arab. Bahkan al-
Qur’an memerintahkan umat ini agar membaca dan menganalisa segala yang
ada di alam kehidupan dunia ini melalui kata iqra’.
6. Kepada setiap pelajar yang kelak akan menjadi generasi penerus hendaklah
menghargai karya-karya klasik dan modern, sehingga membawa dampak
perbaikan pada pengembangan kebahasaan dan kesenian penulisan di masa
yang akan datang.
157
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Bacaan
Al-‘Amilī, Mu’in Daqiq. Durūs al Balāghah, Lebanon: Dār Jawad al-Aimmah,
2012.
Abbas, Fadl Hasan. Al-Balāghah Funūnuhā wa Afnānuhā, Palestina: Dār Al-
Furqan, 1987.
Al-Atsary, Abu Hamza Yusuf. Pengantar Mudah Belajar Bahasa Arab,
Bandung: Pustaka Aohwa, 2007.
Abduh, Muhammad. al-‘Amal al-Kāmilah, Beirut: al-Muassasah al-Arabiyyah,
1972.
Al-Abidin, Zainal. Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2014.
Al-Azhari, Ali Ni’mah. ‘Allamah Syarh Talkhis Miftāh ‘Ulūm li Imām as-Sakāky
Kairo: Dār Al-Qonat, 2013.
Al-Faruqi, Islamil R. dan Lois Lamya. Atlas Budaya Islam Menjelajahi
Peradaban Gemilang. Terj. Ilyas Hasan Dāri The Culture Atlas of Islam,
Bandung: Mizan, 1998
Al-Ahdal, Muhammad Abdullah. Kawakib al-Durriyyah, Riyadh: Dār Ilmiah,
2002.
Al-Anbary, Abu Al-Barakat. al-Farqu Bayna Al-Mudzakkar wa Al-Muannats,
Cairo: Dār Al-Kutub, 1970.
Al-‘Audah, Meis Kholil Mahmud. “Ta’shil Al Uslūbiyyah fi Al Maurūts An
Naqdiy wa Al Balāghiy” Kitab Miftah ‘Ulum li as-Sakaki, Palestina: Dār
Al Jāmi’ah al-Wathoniyyah, 2006.
Anis, Ibrahim Al-Mu’jam Al-Wasīth, Kairo: Dār al-Syuruq Al-Dauliyah, 2002.
Al-Ghazali, Abu Hamid Ihyā Ulūm al-Dīn, Beirut: Dār al-Fikr, 1987.
Al-Jalali, Muhammad Attuqa Husaini. Taqrīb al-Tahdhīb fī Ilmi al-Manṭiq,
Kairo: Maṭba’ah al-Adab, 1980
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tārīkh ‘Ulūm al-Balāghāt wa al-Ta‘rīf bi
Rijāliha, Kairo: Dār al-Ma’rifah, 2002
al-Qalaini, Mushthafa. Jamī’ al-Durūs al-‘Arabiyyah, Beirut: Dār al-Kutub al-
‘ilmiah, 2006
Al-Qurthubi, Ahmad al-Anshari. Tafsir al-Jami’ li Ahkām al-Qur’ān, Kairo: Dār
al-Kutub al-Mishriyyah, 1357
Al-Sakaki, Sirajuddin Abu Ya’qub, Miftāh ‘Ulūm, Beirut: Dār Kutub Al-
‘Ilmiyyah, 1987.
Amin, Bakri Syaikh. Al-Balāghah Al-‘Arabiyah fī Tsaubihā Al-Jadīd Al-Ma’ānī,
Beirut: Dār Al-‘Ilm li Al-Malayin, 1995.
Azzam, Leila. The Life of the Prophet Muhammad, Malaysia: 2002.
Badri, Kamal Ibrahim. ilm Al- lughah Al- mubarmaj, Riyadh: ’Imadah Syu’un
Al- Maktabah, 1997.
Al-Bukhari, Imam. Ṣahīh al-Bukhāri, Beirut: Dār al-Fikr, 1987
Abdul Razaq Badr, al-Naqd al-Adabi, Riyadh: Kindom of Saudi Arabia Press, t.t.
Badawi, Ahmad. Min Balāgah Al-Qur’an, Kairo: Dār Nahdah, t.t.
158
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Pustaka Utama, 1996.
Dāraz, Muhammad Abdullah. An- Naba Al- Adhim Kuwait: Dār Al Qolam, 1974.
Dhoif, Syauqy. Al Balāghah Tathowwur wa Tārikh, Kairo: Dārul Ma’rif,
1995.
Ervani, Reza. Tiga Abad Kemunduran Islam, Jakarta: Tastqif Majalah Waqfah,
1997.
Dale, E. Audiovisual Method in Teaching, New York : The Dryden Press, Holt,
Rinehart and Winston, Inc, 1969
E., Chairns, Helen S. and Chairns, Charles. Psycholinguistic A Cognitive Vew of
Languange (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1976.
Fadlali, Abdul Hadi. Marākiz Dirāsah Nahwiyyah, Beirut: Maktabah al-Manar,
1986
Michel Faucault, The Power of Knowledge Selected Interviews and Other
Writings 1972 – 1977, New York: Pantheon Books, t.t.
Fielman, R.S., Understanding Psychology, Boston: McGraw-Hill, 1999
Fil, Taufiq. Balāghah Al-Tarākīb Dirāsah fi Ilmi Al-Ma’ānī (Kairo: Maktabah Al
Adab, t.t.
Gelb, Ignace Jay. A Studi of Writing, Chicaga: University of Chicago Press, 1969
Guastad, Tanja. Linguistic Knowledge and Word Sense Disambiguation,
Belanda: Groningen Dissertations in Linguistics, 2004
Gharibi, Saad Abdullah. al-Ashwāt al-Arabiyyah, Mekkah: Maktabah Talib El-
Jami’i, 1986.
Gordon, Haim. Naguib Mahfuz’s Egypt, Existential Themes in His Writing, USA:
Green Wood Press, 1990
Hamka, Buya. Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984
Harb, Ali. Hermeneutika Kebenaran, Yogyakarta: Penerbit LkiS, 2003
Hanafi, Hasan. “at-Turāts wa at-Tajdid” muqifuna fi at-Turāts Al-Qodim, Beirut:
Muassasat Jami’iyyat ad-Dirasat, 1992
Handuwi, Abdul Hamid. Hayāt al-Sakākī wa Ṭalabuhu li al-‘Ulūm, Kairo: Dār
al-Ilmiyyah, 2014.
Hassan, Tammam. Kitab al-Uṣūul Dirāsah Epistimolūjiyah li al-Fikri al
Lughawī ‘Inda al-‘Arab), Kairo: Allamul Kutub, 2000.
Hasyimi, Ahmad. Jawāhir al-Balāghah fi Al-Ma’āni wal Bayān wal Badī, Beirut:
Dār Al-Fikr, 1994.
Hidayatullah, Moch. Syarif. Cakrawala Linguistik Arab, Jakarta: Gramedia
Indonesia, 2017.
Hume, David. A Treatise of Human Nature, ed. David F. Norton and Mary J.
Norton, (Oxford: Clarendon Press, 2007.
Jam’ah, Imad Ali. Qowā’id Al-Lughah Al-Arabiyah, Riyadh: Maktabah Al-Mulk
Fahd Al- Wathoniyyah, 1426 H.
Kamil, Sukron. Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta:
Rajawali Pers, 2012
Katsir, Ibnu. Mukhtashor Tafsir Ibn Katsir Beirut: Dārul Ma’rifah, 1999
Khudori Sholeh, Filsafat Islam Dāri Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta:
Ar- Ruzz Media, 2016
159
Kattsoff, Louis O. Element of Philosophy atau Pengantar Ilmu Filsafat, Terj.
Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Kaplan, Abraham The New World of Philosphy, New York: Alfred A. Knopf dan
Random House Inc, 1961.
Kartanegara, Mulyadi. Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, Bandung:
Mizan Pustaka, 2005.
Katsir, Ibnu. Lubāb al-Tafsīr li Ibni Katsīr, Kairo: Muassasah Dār Hilal, 1994
Kementerian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta:
Lentera Abadi, 2010.
Koestenbaum, Philosophy: A General Introduction, (New York: American Book
Company, 1968.
Lauh, Muhammad Ahmad. Al-Usus Al-‘Ilmiyyah li Ad-Da’wah Islamiyyah Al-
Maqoshid wa Al-Wasail, Mesir: Dār Dakar, 2002
M.S, Mahsun. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Majid, Jamil Abdul. Balāghah Al-Nash Madkhal Nadzhriy wa Dirāsah
Tathbīqiyyah, Kairo: Dār Gharib, 1999.
Nasution, Ahmad Sayuti Anshari. Bunyi Bahasa Ilmu Aṣwāt al-‘Arabiyyah,
Jakarta: Amzah, 2015
Nayif, Ma’ruf. al-Mūjiz al-Kāfī fī Ulūm al-Balāghah al-Arabiyyah: Ilm al-
Ma’ānī, Beirut: Dār al-Nafais, 1993
Mujahid, Umar Ibnu. Muhaddadāt al-Naqd al-Adab al-Qadīm’Inda al-‘Arab,
Aljazair: Universitas Wahron, 2015
Mathlub, Ahmad. Buhuts Balaghiyah, Baghdad: Majma’ Ilmi Al-‘Iroqy, 1996
Muslim, Fauzan. Sastra dan Masyarakat Arab Zaman Umayyah Abbasiyyah,
Jakarta: Penaku, 2016.
Muttholib, Muhammad. Abdul. Adabiyāt Al- Balāghah wa Al- Uslūbiyah,
Lebanon: Maktabah Libnun Nasyirun, 1994
Munro, Thomas. The Art and Their Interelations, New York: The Liberal Art
Press, 1957.
Mukalel, Josep C. Psychology of Language Learning (New Delhi: Discovery
Publishing House, 2003.
Nallino, Carlo Alfonso. Arabic in World Languages, Saudi: Markaz Mulk Abdul
Aziz Ats- Staqofi Al- Alamy, 2014.
Newman, Lex. The Cambridge Companion to Locke’s: Essay Concerning
Human Understanding, USA: Cambridge University Press, 2007
Nelson, Edward. Understanding Intuitionisme, USA: Princeton University Press,
t.t.
Nizar, al-Rasyidin dan Samsuar Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat
Press, 2005.
Parera JD, Teori Semantik, Jakarta: Erlangga, 1990
Pierce, Charles S. The Camridge Companion to Pierce (Inggris: Camridge
University Press, 2004.
Quthb, Sayyid. Tashwir Al- Fanniy fi Al- Qur’ūn, Beirut: Dār Al- Syuruq, tth.
Qazwaini, Jalaluddin Muhammad Khathib. Talkhis Miftāh ‘Ulūm, Beirut: Dār
Al-Kutub Al- Ilmiyyah, 1303 H
160
Rahimah, Ilm Balaghah Sebagai Cabang Ilmu Bahasa Arab, Medan: USU Digital
Library, 2004
Rahman, Muhammad Abdul. Esaktralisasi Bahasa Arab Studi Atas Pemikiran
Adonis, Banten: Cinta Buku Media, 2014
Reisman, John McGinnis dan David C. Classical Arabic Philosophy an
Anthology of Sources, USA: Hackett Publishing Company, 2007
Rumiyah, Wahab. Sya’ir Ibnu Zaidūn Qirā’ah Jadīdah, Damaskus: Afaq
Tsaqafiyyah, 2014.
Sa’idi, Abdurrahman Ibn Nashir. Al-Wasail Al-Mufidah li Al-Hayat as-Sa’idah,
Qossim: Dār al Ma’rifah li Al-‘Ulūm Al- Islamy, 2011.
Salami, Abdul Qadir. Haqīqah al-Adhdād fī Kitāb Ma’ānī al-Qur’ān li al-Farrā’,
Aljazair: Univeristy Tilmisan Press, 1401 H
Ṣa’idi, Abdul Muta’al. Bughyatul Idhōh li Talkhis AMiftāh fi ‘Ulūm Al-
Balāghah, Kairo: Makta Al Adab, 1999.
Samarai, Fadhil Sholeh Balāghah Al Kalimah fī Ta’bīr Al Qur’āniy, Kairo:
Syirkah Al-Atik, 2006.
Saussure, Ferdinand De. Course in General Linguistics, London: Peter Owen,
1996.
Seldin, Jonathan P. On the proof theory of Coquand’s calculus of constructions,
Kanada: Concordia University, 1995.
Shihab, M. Qurasih. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, Bandung: PT. Pustaka Hidayah,
1997.
Suyuthi, Jalaluddin. Bughyah Al-Wu’āt fi Thabāqāt Al-Lughayiyyin wa an-Nuhāt,
Kairo: Dār Al-Fikr, 1979.
Saridjo, Marwan. Sastra dan Agama, Tinjauan Kesusastraan Indonesia Modern
Bercorak Islam, Jakarta: Permadani, 2006.
Susanto. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis,
Aksiologis, Jakarta: PT. Aksara Bumi, 2011.
Thantawi, Muhamma Sayyid. al-Tafsīr al-Wasīṭ li al-Qur’ān al-Karīm, Kairo:
Majma’ al-Buhuth al-Islamiyyah, 1987.
Thomson, J.A.K. Introduction on The Ethics of Aristotle (Amerika Serikat:
Pinguin Books, 1961
Wasiny, Abdullah. Miqyas Al-Balāghah Al-Lughawiyyah, Riyadh: Maktabah
Misykat Al- Islamy, 2011.
Yassin, Abdul Salam. al-Islāmu Ghadan: al-‘amal al-Islāmi wa Ḥarakiyyah al-
manhaj al-Nabawi fi Zaman al-Fitan, Maroko: al-Manshurat al-
Maghribiyyah, 1973.
Zamakhsyari, al-Kasyyāf ‘an Haqāiq Al-Tanzīl wa ‘Uyūn Al-Aqāwil fī Wujūh Al-
Tanzīl (Kairo: Dār Al-Fikr, tth.
Zoest dan Sudjiman, Aart Van dan Panuti. (Ed), Serba-Serbi Simiotik, Jakarta:
Gramedia, 1996.
B. Hasil Penelitian
Aunee, Omar Muhammad. The Linguistic Sense and Its Effect on Language,
Mosul: University Mosul Reseach, 2008
Abdul Aziz. Epistemologi Islam: Analisis Kritis Pemikiran Al-Ghazali (Jakarta:
Satria Publishing, 2017.
161
Aṭallah, Malikah. ‘Ulūm al-Balāghah ‘Inda al-‘Ulwī al-Yamanī Baina al-Taqlīd
wa al-Taisīr wa al-Tajdīd, Aljazair: Jami’ah Qasidi al-Mirbah Press,
2010.
Baidhun, Abbas. Istidrōkāt Al Khathib ‘Ala As-Sakāky, Beirut: Dār Kutub, 2013
Beaney, Michael. Thought and Experience: Themes in the Philosophy of Mind
(Inggris: The Open University Course, 2005.
Cangy, Gilbert. Pathfinder Honor Book, Amerika: General Conference
Ministries Departement, 2014.
DeRose, Keith. Contextualism: An Explanation and Defense, Connecticut
Amerika: Blackwell Publisher, 1999
Damanhuri, Penguasaan Kosakata Kedwibahasaan antara bahasa Sunda dan
Bahasa Indonesia pada anak-anak, Karawang: Vol. II, 2014.
Dārdiri, Taufiq Ahmad. Bunga Rampai inamika Kajian Ilmu-Ilmu Adab dan
Budaya, Yogyakarta: Azzagrafika Printing, 2015
Hamdi, Muhammad Barakat. Al Balāghah al Arabiyah fi Dhoui Manhaj
Mutakāmil, Amman: Dārul Bashir, 1991.
Hannapel, Alltagssprache, Belanda: Seine Verankerung, 1979
Harits, Busyairi Ilmu Ladunni dalam Perspektif Teori Belajar Modern,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Nu’man Su’ban Ilwani, al-Asālib al-Bayāniyyah wa al-Khiṭāb al-Da’awī al-
Wā’i, Palestina: Gazza University Press, 2005
Jasmi, Kamarul Azmi. Al- Qur’an Satu Mukjizat yang Menakjubkan in
Penciptaan Manusia Dāri Perspektif Al- Qur’an, Johor Baru: Universiti
Teknologi Malaysia Press, 2013
Jalali, Muhammad Attuqa Husaini. Taqrīb Al-Tahdzīb fi Ilmi Al-Manthiq, Kairo:
Mathba’ah Al-Adab, 1980.
Kamil, Sukron. Najib Mahfudz, Sastra Islam dan Politik Studi Semiotik terhadap
Novel Aulād Hāratinā, Jakarta: Dian rakyat, 2013.
Khair, Ummul Al-Bu’du Al-Tadāwulī fi Al-Balāghah Al-Arabiyah min Khilāli
Miftāh Ulūm li Al-Sakāki (Algeria: The University of Ouargla, 2000.
Kemeny, John G. A Philosopher Looks at Science (New York: Van Nostrad,
1959.
Kennedi, Fitzerald. Empirisme dan Skeptisisme David Hume: Sang Skeptis
Radikal, Jakarta: Serambi Salihara Community, 2016.
KunanDār, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan Sukse dalam Sertifikasi Guru, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007.
Malik, Badruddin Al-Mishbāh fi Al-Ma’āni wa Al-Bayān wa Al-Badī’,
Kairo:Maktabah Al-Adab Ali Hussein, tth.
Mubarok, Faisal. “Selayang Pandang Perkembangan Balaghah” Telah kritis
terhadap sejarah perkembangan Balaghah, Banjarmasin: IAIN Press,
2004.
Mujahid, Abdul Karim. Al-Dalālah Al-Lughawiyah ‘Inda Al-‘Arab, Yordania:
Dār Al-Dhiya’, 1985.
Nurdianto, Talqis. Tahsīn Al-Lughah, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Press,
2016.
162
Nasution, Harun Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
Nurbayan, Yayan.Implikasi Hermeneutis dan Pedagogis Perbedaan Pemahaman
Ayat-Ayat Kinayah dalam al-Qur’an, Bandung: UPI Bandung Press, t.t.
Purwoko, Herudjati. Fakta Sosial Obyek Penelitian Linguistik Modern
Semarang: Universitas Diponegoro Press, t.t.
Schunk, Dale H. Learnihg Theories and Educational Perspective, Ter. Eva
Hamdiah dan Rahmat Fajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Shabecoff, Philip. A New Name for Peace; International Environmentalism,
Sustanaible Development and Democracy, Inggris: University Press of
New England, 1996.
Siddiq, Mahfudz. Kajian Balaghah Berbasis Kearifan Lokal, Semarang: Fatawa
Publishing, 2015.
Suprijono, Agus. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
Utriy, Badri Rafid. Ibn Khaldun as Critic, UEA: Middle East University, 2011.
William, Johnston. Mysthical Theology: The Science of Love, London: Harper
Collins Religious, 1995.
C. Jurnal
Abdul Mukhid. Meningkatkan Kualitas Pendidikan Melalui Sistem Pembelajaran
yang Tepat, Jurnal Tadris, Vol. 1, No. 2, Januari 2007.
Abdul Wahab, Muhbib. Mengenal Pemikiran Linguistik Al-Jurjani Dalam Dalâil
Al-I’jâz, Arabiyat Jurnal Pendidikan Bahasa Arab Dan Kebahasaaraban,
Vol. 1, No. 1, Juni 2014.
Ardiansyah, al-Muhassināt al-Badi'iyyah Pada Ayat-Ayat Hukum Tentang
Berjuang di Jalan Allah, Al-Maṣlahah Vol. 12, No. 6, Oktober 2016
Achmad, Muhammad Idrus. Signifikansi Memahami Logika Dasar, Jurnal
Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012
Ahmad, Suherman. Psikolinguistik Bahasa Arab Sebuah Pengantar, Jurnal
Bahasa Universitas Indonesia Vol. 3 No. 8, November 2015.
Ahmad, Salmah. Namādzij min Jinās al-Ishtiqāq fī al-Qur’ān al-Karīm,
International Journal of Islamic Thought, Vol. 3, No. 3, Juni 2013.
Ayyash, Jamil. Models of Alliteration Derivation in the Quran, International
Journal and Islam Thought,, Vol.3, No. 1, Oktober 2013.
Aziz, Fuady. Sibwaih dalam Lintasan Linguistik Arab, Jurnal Sastra Arab
Modern, Vol. 1, No. 46, Mei 1991.
Aziz, Hussein. Studi Kritis Ilmu Balaghah Klasik, Islamica Vol. 1 No. 2. 2007.
Bastaman, Hanna Djumhana. Islamisasi Sains dengan Psikologi sebagai
Ilustrasi, Jurnal Ulum al-Qur’an, No.8, Vol. 2, Oktober 1991.
Behzadi, Lale. Studia Orientalia “Categories of Proper Language in Classical
Arabic Literature”, Helsinki Filandia, Vol. 111 No. 2, April 2011
Emmons, Robert A. Intensity and Frequency: Dimensions Underlying Positive
and Negative Affect, Journal of Personality and Social Psychology, Vol.
48. No.5, Desember 1985.
163
Huda, Ibnu Samsul Sejarah Balāghah antara Ma’rifah dan Sinā’ah, Adabiyyat
Vol. 10. No.1, Maret 2011.
Hassan, Amin. Menyusuri Hakikat Kebenaran: Kajian Epistemologi atas Konsep
Intuisi dalamTasawuf al-Ghazali, Jurnal al-Ta’dib, Vol. 7, No. 2,
Desember 2012
Kholisin, Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu, Bahasa dan Seni, Vol. 31, No. 1,
Februari 2003
Kroeber, A. L. “American Anthropologist” Incorporation as a Linguistic
Process, New Series, Vol. 13, No. 4, 1911
Larcher, Pierre. ʿAbd Al-Qāhir Al-Ǧurǧānī note sur quatre éditions récentes de
ses ouvrages grammaticaux, Arabica , T. 40, Fasc. 2, Jul., 1993.
Mafikha, Ida. Penggunaan Model Listening Team Sebagai Sarana Meningkatkan
Kemampuan Bertanya, Jurnal Florea Vol. 2 No. 1, April 2015.
Madani, Abubakar Pemikiran Filsafat Al-Kindi, Lentera, Vol. 100, No. 2,
Desember 2015,
Mubarak, Faisal. Nahwu dan Balaghah dalam Persfektif Ilmu Linguistik Modern,
Al- Arabiyat Vol. 2. No. 2 Juni 2013.
Ismail, Azman. Dinamika Perkembangan Pembelajaran Bahasa Arab antara
Teori dan Praktek, Jurnal Arab Lisanuna Vol. 6 No. 2, Desember 2016
Mudhofir, Abdul Mughis. Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan bagi
Sosiologi Politik, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 18, No. 1, Januari
2013.
Muqoyyidin, Wahun. Pembaruan Pendidikan Islam Menurut Muhammad Abduh,
Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 28, No. 2, Safar 1434 H
Nielsen, Kristian Hvidtfelt. Between Understanding and Appreciation, Current
Science Communication in Denmark, Journal Science of Communication
SISSA, Vol. 1, No. 20, Desember 2005
Parlindungan, Pardede. Penulisan Karya Ilmiah, Jakarta: Universitas Kristen
Indonesia Press, t.t.
Ritonga, Hasnun Jauhari. Landasan Epistemologi Komunikasi Islam, MIQOT
Vol. 32 No. 2, Juli-Desember 2008
Robin, C. Julien. The development of Arabic as a written language, Papers from
the Special Session of the Seminar for Arabian Studies, 24 July, 2010.
Salleh, Kamaruddin. Arabic is A Language Between Qur’anic and Historical
Designations, Journal UII, 2012.
Sellars, R. W. “The Journal of Philosophy” The Status of Epistemology
Psychology and Scientific Methods, Vol. 14, No. 25, 1917.
Seth, Adrew. The Poblem of Epistemology, , Vol. 1, No. 5, Sep., 1892
Sutiyono, Agus. Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali, Jurnal Nadwa
Pendidikan Islam , Vol. 7, No. 2, Oktober 2013
Thahari, Fuad. Tafsir Berbasis Linguistik: Al-Tafsīr Al-Bayīni li Al-Qur’ān Al-
Karīm Karya Aisyah Abdurrahman Binti Syathi’, Jurnal Adabiyyat, Vol.
8, No. 2, Desember 2009.
Takida, Tasyuki. “Majallah Dirasat Al-Alam Al-Islāmy” Juhūd Riwād an-
Nahdhoh wa Al-Majami’ Al-Lughawiyah fi Ihyāi Al-Lughah Al-Arabiyah
164
wa Tahditsuhuma fi Al-‘Alam Al-‘Araby Al-Hadits, Kyoto: Bulletin of
Islamic Area Studies, 2012.
Wardiah, Dessi. Psikolinguistik Dalam Kemampuan Berbicara Pada Anak Usia
Dini Jurnal Wahana Didaktika Vol. 12 No. 2, Mei 2014.
165
GLOSARI
Bahasa : Kemampuan yang dimiliki oleh manusia untuk
berkomunikasi dengan orang lain
Linguistik : Disiplin ilmu yang mempelajari bahasa secara luas dan
umum.
Filsafat : Studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan
pemikiran manusia secara kritis kemudian dijabarkan
dengan konsep mendasar
Etika : Ilmu tentang tata kerama kesopanan dan kesantunan
dalam berhubungan dengan sesame manusia atau dalam
berhubungan dengan sang khalik
Agama : Peraktek keyakinan dan pengalaman yang berhubungan
dengan sistem kepercayaan tertentu.
Sastra : Hasil dari peniruan dan gambaran dari kenyataan
Kitāb turāts al-qadīm : Buku-buku peninggalam terdahulu sebelum abad ke-
17 H.
Linguistic Sense : Sisi keindahan dalam berbahasa dari segi semantik
leksikal yang memudahkan pembacanya memiliki
atribut arti yang beragam dan kaya makna.
Antroposentrisme : Teori etika lingkungan yang memandang pusat alam
semesta adalah manusia.
Genetivus Subyektivus : Pendekatan yang berupaya menempatkan Islam sebagai
subyek atau sebagai titik tolak berpikir.
Silogisme : Suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif
yakni penggabungan antara kenyataan dan kesimpulan
Aliran formalisme : Teori yang biasa digunakan untuk menganalisa karya
sastra yang didalamnya meliputi tekhnik pengucapan;
ritme, rima, intonasi, bunyi, aliterasi dan asonansi.
Uslūb : Ṭarīqah yang di dalamnya berbicara tentang jalan, cara
dan metode.
Fashāhah : Penguasaan terhadap dua komponen penting dalam
berbicara yaitu makna dan lafalnya
Iṭnāb : Penguatan makna terhadap sebuah kata maupun
kalimat sehingga tidak ada celah bagi pendengar untuk
mencelanya.
Lafal : Satu nama yang diberikan pada huruf-huruf yang
tersusun atau susunan dari beberapa huruf yang
memiliki arti tersendiri.
Fonetik : Ilmu yang mempelajari tentang bunyi terlepas dari
fungsi dan makna yang terkandung di dalamnya
Fonologi : Ilmu yang membicarakan tentang fungsi dan arti bunyi.
Semantik : Kajian atau bidang studi tentang makna bahasa.
Ulama : Pemimpin agama, orang berilmu, pewaris para nabi dan
Rasul, orang yang ahli dalam agama Islam.
166
DAFTAR INDEKS
A
Abad, 6, 8, 9, 11, 15, 21, 28, 29, 35,
43, 47, 48, 50, 51, 68, 73, 105, 122,
139, 140
Abstrak, 119
Ahli, 3, 6, 13, 18, 24, 29, 37, 38, 41,
42, 43, 44, 45, 46, 47, 49, 52, 53,
57, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 74, 77,
101, 103, 104, 106, 108, 116, 119,
120, 127, 128, 134, 135, 144
Akal, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 31,
32, 33, 36, 37, 42, 44, 70, 71, 94,
100, 102, 104, 107, 108, 109, 114,
118, 119, 121, 123, 124, 125, 126,
129, 133, 135, 136, 142
Al-Jurjani, 6, 14, 46, 59, 60, 61, 62,
64, 66, 69, 73, 74, 75, 101, 114,
125, 128, 134, 135, 143
Al-Qazwaini, 8, 9, 10, 11, 13, 15, 16,
50, 62, 64, 71, 73, 74, 75, 82, 135,
136, 137, 140, 143, 144
Al-Qur’an, 5, 7, 9, 12, 14, 24, 32, 35,
36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 45,
46, 47, 49, 50, 51, 53, 57, 59, 61,
62, 66, 67, 69, 70, 73, 76, 80, 83,
88, 90, 91, 92, 96, 97, 98, 99, 103,
105, 107, 110, 112, 127, 128, 129,
132, 140, 144
Al-Sakaki, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,
14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 32, 36,
38, 42, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54,
55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63,
64, 65, 66, 67, 68, 69, 71, 72, 73,
74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82,
83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 92,
93, 94, 95, 96, 97, 98, 100, 101,
102, 103, 104, 105, 106, 107, 108,
109, 110, 111, 112, 114, 116, 117,
118, 119, 121, 122, 123, 124, 125,
126, 127, 128, 129, 130, 131, 132,
133, 134, 135, 136, 137, 138, 139,
140, 141, 142, 143, 144
Apreasiasi, 141
Arab, 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13,
16, 18, 20, 24, 25, 26, 32, 34, 35,
36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44,
45, 46, 47, 48, 50, 52, 53, 54, 59,
61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 72,
73, 76, 77, 79, 80, 83, 84, 85, 90,
93, 94, 95, 97, 100, 101, 104, 107,
108, 111, 117, 121, 122, 123, 128,
131, 133, 134, 135, 138, 139, 141,
142, 143, 144
Artistik, 3, 4, 136, 137, 138, 142, 143
B
Bahasa, 1, 2, 3, 15, 17, 18, 26, 34, 35,
36, 40, 41, 50, 61, 73, 77, 78, 80,
136, 138, 139
Bahasa Arab, 1, 10, 16, 20, 34, 35,
36, 37, 38, 42, 46, 48, 54, 63, 64,
66, 68, 73, 80, 85, 90, 143
Balāghah, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 14,
15, 17, 18, 19, 38, 39, 40, 41, 42,
43, 45, 48, 63, 68, 73, 75, 76, 77,
79, 81, 82, 83, 87, 127, 130, 142,
143
Bayān, 6, 7, 8, 9, 13, 14, 18, 24, 43,
48, 52, 59, 68, 74, 75, 76, 78, 85,
86, 87, 88, 112, 113, 117, 121, 122,
126, 130, 139
Bunyi, 33, 34, 47, 53, 64, 77, 78, 81,
82, 108, 110
D
Dakwah, 41, 54
Denotatif, 128
Dominasi, 134
Dunia Islam, 30, 36, 38, 66, 72, 140,
144
167
E
Eklektis, 2
Ekonomi, 3, 36, 45
Emosi, 33, 42, 120, 121
Empirisme, 3, 19, 20, 28, 29, 30, 36,
71, 72, 100, 104, 106, 114, 115,
117, 118, 130, 134, 135, 142
Epistemologi, 1, 20, 72
F
Fasih, 39, 45
Fenomenal, 42, 44, 45, 46, 50, 60, 61,
62, 64, 68, 72, 73, 133, 134, 141
Filsafat, 4, 5, 9, 11, 16, 20, 21, 28, 29,
33, 34, 62, 63, 64, 65, 69, 70, 120,
130, 134, 140
Fonem, 34
Fonologi, 35, 78, 82
Formal, 54, 56, 60, 101
Formalisme, 3, 33
G
Gagasan, 30, 90, 111, 122, 130, 131,
134
Gaya Bahasa, 3, 5, 7, 10, 40, 42, 43,
44, 65, 71, 82, 107, 109, 111, 115,
117, 121, 122, 128, 129, 131, 138
H
Hati, 8, 16, 23, 27, 33, 38, 39, 65, 90,
95, 98, 99, 103, 105, 109, 116, 118,
119, 120, 121, 122, 123, 124, 125,
128, 129, 130, 131, 135, 136, 139,
142
Hipotesis, 29, 33
I
Ideologi, 65
Ilmu, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
12, 13, 14, 16, 19, 20, 21, 22, 23,
26, 27, 28, 30, 32, 34, 36, 37, 38,
42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,
51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59,
60, 62, 63, 64, 66, 67, 68, 69, 70,
73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81,
83,84, 85, 86, 87, 88, 91, 92, 93,
94, 95, 96, 98, 99, 100, 101, 102,
103, 104, 107, 114, 117, 119, 120,
121, 126, 128, 129, 130, 132, 134,
135, 136, 137, 139, 140, 142, 143
Imajinasi, 3, 101, 102, 122, 138
Intrinsik, 5, 138
Intuisi, 5, 7, 23, 26, 33, 34, 120, 130,
131, 133
Intuisionisme, 28, 29, 32, 33, 129
Iqra, 144
Islam, 5, 9, 11, 16, 17, 20, 21, 22, 23,
24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 36,
37, 39, 40, 42, 43, 52, 53, 54, 55,
56, 59, 60, 62, 63, 65, 66, 68, 69,
70, 71, 72, 73, 74, 77, 80, 83, 99,
102, 107, 108, 119, 120, 121, 122,
130, 140, 144
K
Kalam, 41, 58, 59, 62, 76, 91, 121
Kalimat, 7, 9, 14, 16, 23, 26, 35, 36,
40, 41, 45, 46, 52, 61, 64, 67, 77,
78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 87,
89, 90, 91, 92, 108, 109, 110, 111,
112, 113, 114, 115, 116, 122, 123,
126, 128, 129, 130, 131, 142
Karakteristik, 16
Karya, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 13,
14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 24,
25, 26, 30, 32, 33, 36, 37, 38, 39,
42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,
51, 52, 55, 57, 59, 60, 61, 62, 63,
64, 67, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 75,
76, 77, 79, 82, 83, 95, 96, 98, 101,
102,103, 104, 114, 118, 121, 122,
124, 133, 134, 135, 137, 138, 139,
140, 141, 142, 143, 144
Kebenaran, 4, 5, 8, 9, 13, 21, 22, 23,
25, 28, 30, 31, 32, 33, 36, 71, 78,
89, 93, 99, 100, 102, 103, 104, 119,
128, 130
Kebudayaan, 1, 2, 11, 15, 24, 36, 65,
144
168
Keindahan Bahasa, 46, 61
Kelemahan, 10, 11, 16, 18, 31, 32, 41,
90, 119
Kenyataan, 4, 142
Kepercayaan, 103
Keyakinan, 9, 26, 32, 58, 78, 89, 90,
99, 103, 126, 130
Komunikasi, 1, 3, 4, 23, 34, 36, 78,
90, 105, 107, 108, 112, 133, 139
Konotatif, 121, 128
Kosakata, 9, 15, 16, 35, 37, 45
Kota, 8, 52, 55, 61, 72, 89
Kritikan, 15, 72, 74, 134, 136, 143,
144
Kritikus, 135, 141
Kuat, 26, 32, 35, 37, 41, 47, 57, 58,
63, 65, 69, 80, 84, 85, 92, 104, 107,
114, 120, 126, 130
L
Leksikal, 16, 82, 110, 128, 134, 142
Linguis, 9, 10, 13, 15, 42, 44, 45, 46,
60, 64, 73, 74, 81, 82, 85, 106, 108,
127, 128, 134, 135, 141
Linguistik, 2, 3, 10, 11, 12, 15, 35, 37,
78, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 93, 104,
124, 136, 138
Logika, 7, 16, 20, 23, 25, 26, 33, 44,
63, 71, 92, 100, 101, 114, 120, 121,
123, 128, 129, 130, 142
M
Ma’ānī, 6, 7, 8, 9, 13, 18, 48, 76, 78,
86, 87, 88, 91, 97, 104, 107, 108,
110, 111, 115, 117, 123, 130, 136,
139
Makna, 1, 16, 20, 22, 24, 25, 26, 34,
35, 36, 38, 39, 40, 41, 42, 44, 45,
46, 47, 52, 64, 74, 77, 78, 79, 82,
83, 84, 85, 86, 87, 88, 90, 91, 92,
93, 94, 97, 102, 103, 106, 108, 109,
110, 111, 113, 114, 115, 116, 118,
121, 122, 127, 128, 129, 130, 131,
132, 134, 142, 144
Manusia, 2, 3, 4, 5, 7, 11, 12, 15, 17,
20, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 30,
31, 32, 33, 35, 36, 37, 45, 46, 53,
61, 69, 70, 75, 89, 90, 96, 98, 102,
103, 104, 105, 107, 108, 109, 116,
118, 119, 120, 121, 131, 132, 133,
136, 143
Metodologi, 2, 7, 10, 11, 15, 23, 24,
27, 74, 83, 84, 85, 86, 142
Miftāḥ Al-‘Ulūm, 1, 3, 6, 7, 8, 9, 10,
11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19,
20, 21, 48, 52, 53, 55, 58, 59, 60,
64, 67, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 75,
76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84,
85, 86, 87, 88, 89, 91, 92, 93, 94,
95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102,
103, 104, 106, 111, 117, 118, 122,
123, 130, 131, 132, 134, 135, 136,
137, 138, 139, 140, 141
Moral, 3, 5, 27, 71, 104, 135, 137
N
Nabi, 23, 35, 36, 53, 56, 69, 97, 124
Nafsu, 33, 90, 120
Naluriyah, 27, 129
Nikmat, 4, 45
P
Panca Indera, 23, 32, 70, 96, 97, 101,
102, 107, 142
Pedagogik, 100
Pemikiran, 8, 10, 12, 13, 14, 15, 17,
19, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 34,
44, 46, 47, 52, 61, 62, 63, 69, 70,
72, 101, 103, 108, 119, 130, 133,
140
Pendengaran, 103, 105, 109, 116
Pendidikan, 12, 43, 52, 54, 55, 56, 57,
58, 59, 60, 96, 100, 133, 138, 144
Pendidikan, 8, 9, 18, 21, 56, 57, 58,
61, 73, 83, 100, 119, 133, 139, 140
Pengalaman, 1, 2, 23, 28, 29, 30, 31,
32, 33, 34, 36, 58, 71, 96, 100, 101,
102, 104, 106, 107, 109, 113, 115,
117, 120, 121, 122, 124
169
Penulis, 5, 10, 11, 13, 15, 17, 18, 27,
29, 34, 38, 52, 63, 72, 77, 82, 129,
134, 142, 143, 144
Penulisan, 11, 13, 14, 15, 16, 18, 19,
47, 67, 73, 75, 85, 86, 96, 98, 107,
114, 121, 125, 135, 139
Persfektif, 20, 23, 61, 87
Politik, 3, 44
Proporsional, 134, 136, 142
Psikologis, 27, 46, 49, 104, 105, 129
R
Rasa, 3, 31, 35, 38, 39, 42, 46, 47, 49,
56, 58, 67, 74, 76, 82, 101, 106,
119, 120, 121, 123, 130, 132, 136,
138, 142, 143
Rasionalisme, 16, 19, 20, 28, 29, 31,
32, 72, 101, 104, 106, 107, 110,
111, 114, 117, 118, 125, 126, 130,
135, 140, 142
Realitas, 3, 5, 24, 25, 27, 30, 33, 98,
99, 101, 102, 124
S
Sarana, 3, 23, 27, 28, 78, 90, 101,
130, 136
Sastra, 3, 5, 6, 8, 9, 11, 12, 13, 16, 18,
33, 39, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 49,
50, 51, 53, 56, 58, 59, 61, 62, 63,
66, 72, 73, 74, 75, 79, 82, 85, 100,
121, 122, 124, 128, 133, 134, 135,
136, 137, 138, 139, 140, 141, 143
Saudi Arabia, 53, 80, 134
Sejarah, 14, 29, 37, 39, 42, 50, 52, 67
Semantik, 1, 14, 16, 35, 51, 78, 108,
142
Seni, 3, 4, 5, 6, 40, 49, 56, 57, 95,
124, 135, 136, 137, 138, 139, 143
Sintaksis, 1, 3, 6, 9, 34, 52, 77, 80, 82,
92, 108, 136, 143
Sosial, 1, 2, 3, 4, 12, 17, 19, 24, 31,
39, 43, 44, 52, 71, 80, 133, 135,
138, 142
Spiritual, 33, 103, 120
Style Bahasa, 35, 139, 144
Sunnah, 5, 24, 52
Syair-Syair, 39, 45
T
Tahun, 1, 6, 8, 11, 12, 15, 18, 39, 42,
43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51,
54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62,
65, 66, 67, 72, 73, 75, 96, 124, 128,
144
Teori, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 12, 15, 16, 17,
18, 20, 21, 22, 24, 30, 33, 34, 36,
46, 50, 61, 67, 72, 73, 81, 88, 104,
106, 108, 115, 116, 117, 130, 131,
134, 136, 137, 138, 141, 142, 144
Tokoh, 5, 8, 11, 12, 14, 22, 24, 25, 29,
42, 43, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52,
53, 54, 55, 59, 60, 61, 62, 63, 64,
65, 66, 70, 72, 73, 76, 121, 134,
140, 141, 143
Tradisi Islam, 20, 22
Tuhan, 23, 25, 26, 27, 30, 32, 37, 53,
69, 89, 102, 120, 127, 132
U
Umat Islam, 11, 55, 66, 77, 140, 144
Uslub, 59
W
Wahyu, 5, 23, 32, 35, 53, 96, 128
170
BIODATA PENULIS
Daud Lintang Al-Yamin, S.S.I, MA. adalah asli anak
Mandailing Natal Sumut lahir di Pakantan, 28 Oktober
1988 dari pasangan alm. M. Yamin Lintang
(yarhumuhullāh) dan Siti Yani Lubis (matta’ahallāhu fī
umrihī). Putra pertama dari enam bersaudara tersebut
adalah sebagai alumni Pondok Modern Al-Zahra Jakarta
Barat tahun 2007, melanjutkan program Tahfidz al-
Qur’an di Yayasan ar-Ridho, Jombang Ciputat hingga
tahun 2011.
Meraih gelar sarjana dan menjadi santri pertama menyandang gelar
sarjana S1 pada alumni angkatan pertama Pondok Modern Al- Zahra di
Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan telah
menyelesaikan program magister pada jurusan yang sama yakni Bahasa dan
Sastra di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada akhir 2017.
Pernah meraih juara umum utusan Indonesia dalam Debate B. Arab
Internasional di Negeri Sembilan, Malaysia. Serta segudang prestasi lainnya
pada bid. Tahfidz al- Qur’an & B. Arab hingga dinobatkan sebagai
mahasiswa Terbaik Nasional oleh Menteri Agama RI Drs. Suryadharma Ali
pada hari amal bhakti Kemenag RI ke- 60 di Hotel Borobudur Jakarta tahun
2012. Dan menerima Arabic Award dari Makkah Saudi Arabia pada Mei
2014 dengan hadiah umroh bersama orang tua.
Selain itu juga pernah menimba ilmu di Ma’had UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yaitu tahun 2010 s/d 2012. Dan 2 kali memproleh
predikat sebagai mahasantri terbaik yaitu tahun 2010 dan 2011. Menikah
dengan wanita asli Simalungun Sumatera Utara, Sari Anggraini tahun 2013.
Saat ini menyibukkan diri pada kegiatan dakwah & bejalar mengajar di
berbagai lembaga pendidikan diantaranya Pesantren Modern al- Adzkar
Yayasan Azkia Pamulang dan Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia, Depok. Wabil khusus saat ini sedang mengasuh sekaligus sebagai
perintis pada Pesantren Tahfidz atau Pendidikan Tahfidz al-Qur’an (PTQ) Al
Muhajirin BPI di Pamulang Tangerang Selatan.
Motto hidupnya adalah memberi manfaat dan berkontribusi untuk
umat walau sekecil apapun itu. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling
baik akhlaknya dan bermanfaat untuk orang lain”.