erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/id/eprint/18596/1/0f6c087dcc2753fce4... · 2020. 7. 21. · ppok...
TRANSCRIPT
Tatalaksana Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
IGN Bagus Artana
Divisi Paru. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Universitas Udayana/RS Universitas Udayana
Pendahuluan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang ditandai
oleh hambatan aliran udara yang persisten dan progresif, yang ditandai oleh
respons inflamasi kronik jalan nafas akibat partikel atau gas berbahaya. Dua
mekanisme utama yang mendasari hambatan aliran udara ini adalah kelainan jalan
nafas kecil (inflamasi dan fibrosis jalan nafas) serta kerusakan parenkim paru
(berkurangnya elastic recoil). Inflamasi yang terjadi disini diawali oleh pajanan
rokok serta partikel gas berbahaya. Stres oksidatif akan melibatkan berbagai
mediator inflamasi, terutama netrofil, fibroblast, serta protease. Pada akhirnya akan
terjadi hipersekresi mukus, kerusakan dinding alveoli, serta fibrosis jalan nafas.1
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyebab
morbiditas dan mortalitas utama di dunia. Data Global Burden of Disease Study
menunjukkan prevalensi PPOK di dunia lebih dari 9 kasus per 1000 laki-laki dan
7,3/1000 perempuan pada tahun 1990. WHO memprediksi angka ini akan terus
meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan makin tingginya pajanannya dan
makin banyaknya populasi lanjut usia di dunia. Beban yang diakibatkan oleh PPOK
ini juga sangat besar. Konsekuensi medis berupa angka morbiditas dan mortalitas.
Morbiditas ini berupa kunjungan ke dokter, kunjungan ke unit gawat darurat, serta
perawatan di rumah sakit.2,3
Dari segi mortalitas, PPOK merupakan satu-satunya
penyakit yang termasuk dalam lima penyebab kematian utama di dunia yang
memiliki kecenderungan terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Pada
tahun 2020, diperkirakan, kematian akibat PPOK akan mencapai 4,5 juta kematian
(peringkat ketiga dunia).2 Selain konsekuensi medis, PPOK juga memberi beban
ekonomi yang tidak ringan. Berdasarkan data dari Uni Eropa, PPOK
menghabiskan 56% dari dana untuk seluruh penyakit respirasi (38,6 miliar Euro).
Sementara di Amerika, PPOK menghabiskan sekitar 50 miliar dolar Amerika
setahunnya.1,4
PPOK merupakan penyakit inflamasi jalan nafas kronik dan progresif. Hal
ini bermakna bahwa PPOK tidak akan dapat disembuhkan. Apabila kita melihat
kembali beban yang diakibatkan PPOK ini, maka peranan klinisi tidak dapat
dianggap kecil disini. Peranan penting klinisi di sini untuk mendeteksi dan
mendiagnosis PPOK sedini mungkin, untuk kemudian memberikan terapi yang
sesuai agar dapat menghambat progresifitasnya. Berikut ini akan dibicarakan
mengenai manajemen PPOK stabil, terutama difokuskan pada unit pelayanan
kesehatan primer.
Diagnosis PPOK
Diagnosis PPOK dibagi menjadi diagnosis klinis dan fungsi paru. Secara
klinis, keluhan PPOK terdiri dari sesak nafas yang makin lama makin memberat,
batuk kronik yang sering juga disertai produksi dahak. Keluhan-keluhan tersebut
didasari oleh pajanan faktor risiko seperti asap rokok, pekerjaan, serta polusi udara
(indoor maupun outdoor). Setelah PPOK ditegakkan secara klinis, maka
dilanjutkan dengan pemeriksaan fungsi paru, yaitu dengan melakukan
pemeriksaan spirometri. Pada PPOK akan didapatkan hasil FEV1/FVC post-
bronkodilator kurang dari 70%.1
Dalam prakteknya, klinisi cenderung untuk menunggu hingga berbagai
keluhan dan gejala pasien PPOK untuk terjadi, dibandingkan melakukan
pemeriksaan spirometri pada kelompok berisiko tinggi menderita PPOK. Praktek
klinis seperti ini akan menimbulkan under-diagnosis pada kasus PPOK, terutama
pada kasus dengan fungsi paru yang tidak terlalu buruk. Padahal, disinilah tempat
para klinisi berbuat banyak untuk menghambat progresifitas penyakit ini. Berbagai
konsensus dan panduan terapi di dunia juga menampilkan hal tersebut.
Konsensus bersama ERS-ATS tentang PPOK mengemukakan pentingnya untuk
melakukan spirometri sedini mungkin. Hal ini dikerjakan terutama pada orang yang
terpajan rokok dan/atau polutan lingkungan-pekerjaan, pasien dengan riwayat
keluarga dengan penyakit paru kronik, serta pada pasien dengan gejala khas
PPOK tadi.3,5,6
Berdasarkan konsensus GOLD, langkah selanjutnya dalam manajemen
PPOK adalah penentuan kelas penyakit (assessment). Sejak tahun 2011, GOLD
memperkenalkan suatu sistem assessment PPOK yang mencakup segala aspek
PPOK pada diri pasien. Assesment ini mencakup:
• Assessment keluhan (symptom)
Dengan menggunakan the COPD Assessment Test (CAT) atau mMRC
Breathlessness scale untuk menilainya.
• Assessment derajat hambatan aliran udara
Dengan menggunakan hasil spirometri post bronkodilator. Pedoman
klasifikasinya adalah :
o Derajat I : VEP1 ≥80% prediksi
o Derajat II : 50%≤VEP1<80% prediksi
o Derajat III : 30%≤VEP1 <50% prediksi
o Derajat IV : VEP1<30% prediksi atau VEP1 <50% prediksi ditambah gagal
napas kronik
• Assessment risiko serangan eksaserbasi
Untuk menilai eksaserbasi dilihat riwayat eksaserbasi dalam satu tahun
terakhir dan atau hasil spirometri. Risiko tinggi eksaserbasi disimpulkan dari
dua kali ekseserbasi atau lebih dalam setahun terakhir atau VEP1<50%
• Assessment komorbid
Gambar 1. The Modified British Medical Research
Council (mMRC) dan kuesioner COPD Assesment
Test (CAT)
Setelah dilakukan keempat assessment di atas, semua data dimasukkan
ke dalam matriks. Pada akhirnya kita akan dapat menggolongkan pasien PPOK
menjadi 4 kelas, yaitu: A. low risk, less symptoms; B. low risk more symptoms; C.
high risk less symptoms; D. high risk more symptoms (Gambar 2). Matriks ini akan
memberikan informasi mengenai kondisi personal pasien PPOK, serta membantu
kita untuk memilih jenis terapi jangka panjangnya (Tabel 1).
Gambar 2. Matriks Combined Assesment PPOK
Manajemen pasien PPOK stabil secara umum bertujuan untuk mengurangi
keluhan yang ada serta mengurangi risiko. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui
Ris
k G
OLD
Cla
ssif
icat
ion
of
airf
low
lim
itat
ion
4
3
2
1
≥
2
1
0
Ris
k Ex
acer
bat
ion
his
tory
/yea
r
mMRC 0-1
CAT < 10
mMRC ≥ 2
CAT ≥ 10
C D
A B
empat komponen penatalaksanaan PPOK menurut GOLD, yaitu menilai dan
memonitor penyakit, mengurangi faktor risiko, penatalaksanaan PPOK stabil,
penatalaksanaan PPOK eksaserbasi. Penatalaksanaan ini dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu manajemen non-farmakologi dan manajemen farmakologi.
Beberapa tindakan non-farmakologi yang dapat dilakukan adalah upaya
henti rokok, mempertahankan aktivitas fisik yang adekuat, rehabilitasi pulmonal,
serta vaksinasi flu dan pneumokokal. Sementara untuk manajemen farmakologi
PPOK stabil, secara umum didasarkan pada pemberian bronkodilator (golongan
agonis β2 dengan atau tanpa kombinasi inhalasi kortikosteroid, anti-kolinergik,
metilxanthine, atau inhibitor PDE4). Pemilihan obat yang diberikan didasarkan
pada kelas penyakit pasien.
Tatalaksana non-farmakologi bagi pasien PPOK merupakan hal yang
sangat penting dalam meningkatkan kualitas hidup pasien. Beberapa penelitian di
dunia mendapatkan para klinisi cenderung menomorduakan tatalaksana non-
farmakologi ini. Hal ini akan sangat merugikan pasien PPOK. Terapi non-
farmakologi pertama adalah menghindari faktor risiko, baik berupa asap rokok,
polusi udara dalam ruangan, serta pajanan dari tempat kerja. Pada pasien yang
merokok, upaya konsisten dan serius untuk menghentikan rokok harus dilakukan.
Vaksin influenza juga dapat mengurangi keparahan penyakit. Vaksin polisakarida
peumokokal direkomendasi pada pasien PPOK usia 65 tahun atau lebih tua dan
pada pasien yang lebih muda apabila VEP1< 40% nilai prediksi. Usaha berikutnya
adalah mengingatkan pasien PPOK agar tetap aktif secara fisik. Dengan program
latihan fisik yang baik, pasien akan mendapatkan manfaat dalam hal toleransi
latihan serta perbaikan gejala PPOK yang dideritanya.
Secara umum, penatalaksanaan pasien PPOK stabil mempergunakan
pedekatan individual untuk mengurangi keluhan dan memperbaiki kualitas hidup.
Tidak ada pengobatan spesifik yang dapat memperlambat progresivitas penyakit.
Bronkodilator merupakan obat simtomatik utama pada pasien PPOK, dapat
diberikan kalau perlu saja atau secara teratur. Agonis β-2, antikolinergik, dan
teofilin dapat diberikan monotherapy atau dalam kombinasi. Terapi teratur dengan
bronkodilator kerja-panjang lebih efektif dibandingkan dengan bronkodilator kerja
singkat. Penambahan kortikosteroid pada pemberian bronkodilator bermanfaat
pada pasien PPOK dengan VEP1 <50% nilai prediksi (PPOK derajat III dan IV)
dan pada mereka yang mengalami eksaserbasi berulang. Terapi kronik dengan
kortikosteroid sistemik sebaiknya dihindarkan oleh karena menunjukkan kerugian
yang lebih besar daripada keuntungannya.
Tabel 1. Terapi Farmakologi untuk PPOK stabil
Pasien Pilihan I Pilihan II Pilihan Alternatif
A
SAMA prn
or
SABA prn
LAMA
or
LABA
or
SABA and SAMA
Theophylline
B
LAMA
or
LABA
LAMA and LABA SABA and/or SAMA
Theophylline
C
ICS +LABA
or
LAMA
LAMA and LABA
PDE4-inh.
SABA and/or SAMA
Theophylline
D
ICS + LABA
or
LAMA
ICS andLAMA or
ICS + LABA and LAMA
or
ICS+LABA and PDE4-
inh.or
LAMA and LABA or
LAMA and PDE4-inh.
Carbocysteine
SABA and/or SAMA
Theophylline
Keterangan:
SAMA short acting Anticholinergic; SABA short acting β2 agonist; LAMA Long
acting anticholinergic; LABA Long acting β2 agonist; ICS inhaled corticosteroid;
PDE4-I Phosphodiesterase 4 inhibitor
Aspek penanganan kondisi komorbid pada pasien PPOK juga memiliki
peran penting untuk memberikan kualitas hidup yang baik. Beberapa komorbid
yang dapat terjadi bersama PPOK antara lain kelainan kardiovaskuler,
osteoporosis, infeksi pernafasan, cemas dan depresi, diabetes, serta kanker paru.
Penanganan berbagai komorbid yang sering terjadi pada pasien PPOK pada
prinsipnya harus bersinergi dengan manajemen di atas. Tidak ada perbedaan
manajemen kelainan komorbid pada PPOK dibandingkan kondisi tersebut tanpa
PPOK. Keberhasilan manajemen PPOK dan kelainan komorbidnya akan
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien secara keseluruhan.7
Ringkasan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyebab
morbiditas dan mortalitas utama di dunia. Konsekuensi medis dan ekonomi dari
PPOK diprediksi akan terus meningkat sejalan dengan pajanannya dan makin
banyaknya populasi lanjut usia di dunia. PPOK merupakan satu-satunya penyakit
yang termasuk dalam lima penyebab kematian utama di dunia yang memiliki
kecenderungan terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Diagnosis dini
dan terarah akan memberikan manfaat yang sangat besar pada pasien dan dapat
menghindarkan pasien dari disabilitas dan kualitas hidup yang buruk.
Daftar Pustaka
1. Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global
Strategy for Diagnosis, Management and Prevention of COPD. 2017
2. Buist AS, et al. International variation in the prevalence of COPD (the
BOLD Study): a population-based prevalence study. 2007;370:741-750.
3. Mannino DM, Braman S. The epidemiology and economics of chronic
obstructive pulmonary disease. Proc Am Thorac Soc. 2007;4:502-506.
4. World Health Organization. Preventing chronic diseases: a vital
investment. (2005) Available at:
http://www.who.int/chp/chronic_disease_report/contents/en/index.html.
accessed Sept 2014.
5. Rennard S, Decramer M, Calverley PM, et al. Impact of COPD in North
American and Europe in 2000: subjects’ perspective of Confronting COPD
International Survey. Eur Respir J. 2002;20:799-805.
6. Mannino DM, Homa DM, Akinbami LJ, et al. Chronic obstructive pulmonary
disease surveillance--United States, 1971-2000. Respir Care.
2002;47:1184-1199.
7. Soriano JB, Visick GT, Muellerova H, et al. Patterns of comorbidities in
newly diagnosed COPD and asthma in primary care. Chest
2005;128(4):2099-107.