esdm

33
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sosial karena memiliki peran dan fungsi di keluarga serta lingkungan masyarakat. Mereka bagian dari sekumpulan individu yang memiliki interaksi sosial dan hidup bersama di masyarakat. Hidup bersama ini merupakan bagian dari kehidupan sosial. Definisi kehidupan sosial yaitu kehidupan bersama manusia atau kesatuan manusia yang hidup bersama dalam suatu pergaulan (Nawawie, 2010) yaitu kesatuan hidup manusia dibangun kebersamaan dalam waktu lama, ruang tempat dan jarak yang dekat serta memiliki hubungan emosional secara manusia. Demikian pula dalam keluarga yang hidup bersama dan memiliki kesadaran dalam satu kesatuan antara orang tua dan anak. Anak berada di antara orang tua, dan saudara kandung, hidup dalam lingkungan sekitarnya yaitu tetangga dan teman-teman, hal ini saling mempengaruhi dalam kehidupan anak. Keterkaitan dalam kehidupan sosial anak di antara lingkungan sosial internal dan eksternal. Lingkungan internal yang dimaksud 1

Upload: angga-abdillah

Post on 17-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

About Ekonomi Sumber Daya Manusia

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar BelakangAnak merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sosial karena memiliki peran dan fungsi di keluarga serta lingkungan masyarakat. Mereka bagian dari sekumpulan individu yang memiliki interaksi sosial dan hidup bersama di masyarakat. Hidup bersama ini merupakan bagian dari kehidupan sosial. Definisi kehidupan sosial yaitu kehidupan bersama manusia atau kesatuan manusia yang hidup bersama dalam suatu pergaulan (Nawawie, 2010) yaitu kesatuan hidup manusia dibangun kebersamaan dalam waktu lama, ruang tempat dan jarak yang dekat serta memiliki hubungan emosional secara manusia. Demikian pula dalam keluarga yang hidup bersama dan memiliki kesadaran dalam satu kesatuan antara orang tua dan anak. Anak berada di antara orang tua, dan saudara kandung, hidup dalam lingkungan sekitarnya yaitu tetangga dan teman-teman, hal ini saling mempengaruhi dalam kehidupan anak. Keterkaitan dalam kehidupan sosial anak di antara lingkungan sosial internal dan eksternal. Lingkungan internal yang dimaksud adalah keluarga inti terdiri orang tua dan saudara, sedangkan lingkungan eksternal adalah orang-orang yang hidup dekat dengan anak yaitu tetangga, kerabat dan teman-teman. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan sosial anak tidak terlepas dari lingkungan dan saling mempengaruhi, dimana hak- hak yang melekat pada diri anak yang merupakan hak dasar sebagai Hak Asasi Manusia.Hak anak dalam keluarga yaitu hak mendapatkan perhatian, kasih sayang, perlindungan, pertolongan dan pendidikan mendasar. Pendidikan mendasar dalam keluarga untuk membentuk karakter dan tumbuh kembang anak sebagaimana manusia seutuhnya. Demikian juga hak anak untuk mendapatkan akses pendidikan formal di sekolah. Selain

1

mendapatkan hak, anak ada juga memiliki kewajiban dalam keluarga yaitu untuk membantu, melindungi dan menolong orang tua. Anak yang dimaksudkan dalam hal ini adalah seseorang berusia dibawah 18 tahun yang termasuk pada anggota dalam keluarga. Indikator usia anak tersebut menunjukkan bahwa masa untuk anak dapat membentuk karakter dan menempuh pendidikan formal di sekolah karena anak berperan sangat penting sebagai generasi penerus.Proses perkembangan anak membutuhkan pendidikan dan kesehatan berkualitas untuk pertumbuhan fisik psikis yang sehat. Kualitas pendidikan dan kesehatan dapat terpenuhi sesuai dengan kondisi sosial ekonomi keluarganya. Kondisi ekonomi keluarga merupakan penentu untuk mencapai kualitas hidup anak. Jika kondisi ekonomi keluarga miskin merupakan masalah bagi anak-anak sebab terbatasnya segala kebutuhan anak dapat terpenuhi. Kondisi sosial keluarga dimana kesadaran membentuk keluarga harmonis maka memberikan dampak positif bagi perkembangan anak. Dengan demikian kondisi sosial ekonomi keluarga termasuk menentukan masuknya anak menjadi pekerja anak, dimana kondisi sosial ekonomi keluarga tidak harmonis dan terbatas dalam mencukupi kebutuhannya sehingga melibatkan anak dalam kegiatan ekonomi.Kondisi ekonomi terbatas atau miskin menyebabkan anak ikut terlibat bekerja untuk membantu orang tua. Keterlibatan anak ke pasar kerja untuk mendapatkan upah disebut pekerja anak. Keterlibatan anak masuk ke pasar kerja atau buruh anak yaitu adanya aktivitas, interaksi sosial, peran serta, partisipasi dan keikutsertaan anak dalam melakukan pekerjaan. Definisi pekerja anak adalah setiap individu yang terlibat dalam aktivitas ekonomi yang berusia di bawah 18 tahun (ILO, 2007). Anak terlibat bekerja untuk membantu meringankan beban orang tua dalam mencukupi segala kebutuhan dasar. Motivasi anak terlibat dalam pasar kerja menjadi pekerja anak disebabkan oleh keterbatasan ekonomi, kondisi miskin, putus sekolah, ingin mendapatkan uang, hidup mandiri dan memiliki pengalaman pekerjaan.Keterlibatan anak dalam aktivitas ekonomi secara dini karena keterpaksaan kondisi kemiskinan keluarga pekerja anak mengalami perangkap kemiskinan. Sebagaimana dikatakan oleh Robert Chambers bahwa perangkap kemiskinan meliputi kemiskinan itu sendiri, kerentanan, keterisolasian, ketidakberdayaan dan kelemahan jasmani (Suyanto, 2003 : 12). Meskipun hidup di kota besar masih mengalami kesulitan di dalam mengakses pendidikan. Masalahnya bukan secara geografis atau sarana transportasi, melainkan disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan dan biaya hidup di kota. Tingginya tuntutan dan persaingan hidup di kota besar, sehingga menuntut persaingan yang tinggi untuk bekerja kera dan melibatkan seluruh anggota keluarga termasuk anak.Pekerja anak adalah masalah sosial yang telah menjadi isu dan agenda global bangsa-bangsa di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Data di dunia mencapai sekitar 200 juta jiwa. Dari jumlah itu, 75% berada di Afrika, 7 % di Amerika Latin, dan 18% di Asia.Di Indonesia, diperkirakan terdapat 2,4 juta pekerja anak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencata angka lebih besar, yaitu 2,5 juta jiwa. Angka yang tercata tersebut baru data anak jalanan, belum termasuk anak-anak yang terjun di sektor industri.Menurut BPS, usia yang dapat dikategorikan pekerja anak adalah mereka yang berumur 10 - 14 tahun. Jika kategori yang dipakai lebih luas sesuai dengan instrumen internasional tentang anak, yaitu usia 0 18 tahun, jumlah pekerja anak akan jauh lebih besar. Pekerja anak diyakini akan terus bertambah menyusul krisis ekonomi yang tidak kunjung usai sejak tahun 1997. Kecendrungan meningkatnya jumlah pekerja anak dapat dilihat dari meningkatnya anak jalanan setiap tahunnya. Dalam banyak kasus, anak-anak yang masuk ke pasar kerja merupakan rasionalisasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang dilanda kemiskinan.Sumbangan pekerja anak untuk ekonomi keluarga tidak kecil. Menurut laporan yang diungkap PBB, pekerja anak rata-rata memberi sumbangan 20% bagi ekonomi keluarga. Bahkan, berdasarkan hasil survei Yayasan Pendidikan Indonesia tahun 2001, terungkap bahwa 100% anak-anak bekerja atas kemauan sendiri. Hal yang menarik, anak-anak juga merasakan manfaat selama mereka bekerja. Beberapa manfaat yang diakui para pekerja anak sebagai faktor yang mendorong mereka bekerja adalah mendapat uang setiap minggu, banyak teman, ada kegiatan yang bermanfaat, dapat membantu orangtua, dan ada pengalaman kerja.1.2. Permasalahan Pekerja Anak Di Indonesia : Karakteristik dan Kondisi KerjaFenomena pekerja anak, khususnya sektor informal yang bekerja karena faktor ekonomi yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, akhir-akhir ini menunjukkan permasalahan tersendiri bagi tumbuh kembang anak. Dalam arti bahwa anak-anak tersebut memiliki keresahan ganda karena selain mereka berhadapan dengan masalah pekerjaan, juga dihadapkan pada perampasan hak yang sering muncul dalam bentuk-bentuk eksploitasi dan tindak kekerasan. Yang lebih memprihatinkan lagi dalam kenyataan dijumapi bahwa pekerja anak, berasal dari kemelut kemiskinan, dalam arti orangtua mereka miskin dengan segala keterbatasan (pendidikan rendah, pendapatan minimum, gizi kurang, kesehatan rendah), sehingga timbul pandangan dari sebagian masyarakat bahwa pekerja anak bukanlah suatu permasalahan melainkan sebagai suatu hal yang positif.[footnoteRef:1] [1: Sri Prastyowati, Kajian Empirik Kondisi Pekerja Anak Sektor Informal di Wilayah Perkotaan, Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial Vol. II, No.4, (Juni, 2003): 6.]

Isu sentral mengenai pekerja anak timbulnya konsekuensi negatif dari usia yang terlalu dini untuk bekerja, yang hal ini jelas akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Untuk itu, yang paling penting dilakukan adalah bagimana menanggulangi masalah pekerja anak ini agar anak tidak terjerumus ke jurang permasalahan yang lebih dalam dan lebih kompleks. Bagaimanapun pekerja anak harus diselamatkan segera dari bentuk-bentuk eksploitasi yang merugikan mereka.[footnoteRef:2] [2: Abu Huraerah, Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak), Ed. Rev., Cet. Ke-2, (Bandung: Nuansa, 2007), Hlm. 83]

Di Indonesia, umumnya anak perempuan mulai melakukan pekerjaan rumah tangga sejak usia antara dua belas dan lima belas tahun. Usia minimum untuk diperbolehkan bekerja di Indonesia adalah lima belas tahun. Anak-anak perempuan inidirekrut oleh para calon majikan, teman, kerabat, atau agen tenaga kerjadari daerah-daerah terpencil atau daerah-daerah miskin untuk menjadi pekerja rumah tangga di pusat-pusat kota. Calon majikan lebih suka mempekerjakan anak-anak karena mereka lebih murah daripada orang dewasa, lebih mudah diatur, dan tidak dapat melarikan diri dari majikan mereka.[footnoteRef:3] [3: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta (Lembaga Bantuan Hukum Untuk Perempuan). Perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga Anak, Segera Wujudkan, http://www.lbh-apik.or.id/fact-62%20PRTA.htm]

Data pekerja anak banyak sektor berbahaya sebanyak 4.201.425 anak, anak usia dibawah 18 tahun dan lebih 1,5 juta anak bekerja sektor berbahaya tersebut adalah perempuan. Pekerja anak di Indonesia usia 10-17 tahun pada tahun 2005 berjumlah sekitar1.148.000 jiwa dan tahun 2010 berjumlah sekitar 1.553.000 jiwa. Angka jumlah pekerja anak mengalami peningkatan dalam kurun waktu lima tahun sebanyak 405.000 jiwa (ILO, 2004). Berdasarkan data ILO-IPEC bekerjasama dengan Universitas Indonesia pada tahun2002/2003 bahwa jumlah pekerja anak yang bekerja sektor berbahaya menjadi pembantu rumah tangga lebih dari 688.132 berusia dibawah 18 tahun atau sekitar 26,5 persen dari total 2.593.399 anak yang bekerja sebagai PRTA di seluruh Indonesia (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2006 : 1).Jumlah tersebut diperkirakan semakin bertambah dan lebih besar di kota-kota besar disebabkan oleh faktor kemiskinan, budaya, pengaruh lingkungan anak dan faktor lainnya. Angka tersebut menunjukkan bahwa masalah pekerja anak belum dapat diatasi, bahkan ada kecenderungan mengalami permasalahan semakin kompleks, sulit dicegah. Data pekerja anak menurut BPS bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2011) bahwa pekerja anak usia 10-17 tahun di Jawa Barat berjumlah354.249 orang. Jumlah pekerja anak lima propinsi kota besar sebagai perbandingan yang

dapat dilihat yaitu DKI. Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan D.I Yogyakarta. Berikut tabel data lima propinsi tersebut :Tabel 1.1Persentase dan Jumlah Anak Usia 10-17 Tahun yang Bekerja Menurut Propinsi dan Kelompok Umur ( Laki-laki dan Perempuan), 2010Provinsi

Kelompok Umur

10 11 12 13-15 16-17

Total Jumlah(1)(2)(3)(4)(5)(6)(7)(8)

DKI. Jakarta-0.630.4418.0380.910093.571

Jawa Barat0.951.232.2129.5366.07100354.249

Jawa Tengah0.691.002.3930.7665.15100382.842

D.I Yogyakarta2.383.933.1941.5348.9810037.088

Jawa Timur0.871.33.2932.0062.55100406.112

Sumber : Sakernas Agustus 2010

Berdasarkan tabel 1.1 di atas bahwa data lima propinsi tersebut menunjukkan usia anak antara 10-17 tahun yang bekerja propinsi tertinggi adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI. Jakarta sedangkan D.I Yogyakarta yang terendah. Hal ini bahwa pekerja anak banyak terdapat di kota-kota besar seperti Jawa Timur, Jawa Barat, DKI. Jakarta dan Jawa Tengah. Pekerja anak di kota besar seperti Jawa Barat dan DKI. Jakarta berasal dari daerah pedesaan yang melakukan urbanisasi ke kota-kota besar mencari pekerjaan sektor informal, lebih banyak sektor jasa domestik.Kompleksitas permasalahan pengurangan pekerja anak dilematis antara kebutuhan hidup menyangkut masalah ekonomi, budaya dan sosial. Kebutuhan ekonomi karena dilatarbelakangi kondisi pendapatan orang tua terbatas untuk memenuhi seluruh kebutuhan anggota keluarga, maka ibu dan anak ikut terlibat dalam kegiatan ekonomi untuk menambah

penghasilan keluarga, tetapi ada faktor lain menyebabkan anak menjadi pekerja anak yaitu faktor budaya dan lingkungan kehidupan sosial anak dimana budaya di masyarakat yang menganggap anak harus mengabdikan dirinya kepada orang tua maka bentuk dari pengabdian itu anak membantu orang tua meringankan beban mencari nafkah dan faktor lingkungan kehidupan sosial dimana anak yang tinggal disekitarnya banyak menjadi pekerja anak maka anak terpengaruh menjadi pekerja anak.

BAB IIPEMBAHASAN1. 2. 2.1. Pekerja Anak2. 2.1. 2.1.1. Pengertian Pekerja AnakSalah satu landasan bagi pemerintah tentang peraturan yang mendefinisikan pengertian pekerja anak yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 menyebutkan bahwa : Pekerja anak adalah anak-anak baik laki-laki maupun perempuan yang terlibat dalam kegiatan ekonomi yang menganggu atau menghambat proses tumbuh kembang dan membahayakan bagi kesehatan fisik dan mental anak. Anak-anak boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin dari orang tua dan bekerja maksimal 3 jam sehari.[footnoteRef:4] [4: UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.]

Dari pernyataan tersebut di atas, kondisi anak yang bekerja, sebenarnya tidak menguntungkan bagi proses tumbuh kembang anak secara wajar, sebab anak-anak yang ada saat ini adalah calon generasi muda pemimpin bangsa. Dipundak mereka kemdui bangsa akan dibawa, generasi muda yang berkualitas akan turut mempengaruhi masa depan Indonesia.Namun demikian, kesenjangan dalam pembangunan sering mengakibatkan anak terpaksa bekerja. Jika dalam kondisi yang sangat terpaksa anak harus bekerja, maka pengusaha dan orang tua yang mempekerjakan anak harus memperhatikan perlindungan dan hak mereka, misalnya masalah waktu dan upah yang diberikan termasuk dalam kategori hak dasar anak yang masih terampas harus terus diperhatikan.2.1.2. Dampak Anak yang BekerjaSecara khusus dampak anak yang bekerja padamasing-masing sektor berbeda, seperti dampak anak yang bekerja di sektor pertambangan sangat berbeda dengan dampak anak yang bekerja di sektor penjualan, produksi dan perdagangan narkoba.Selain dampak secara khusus, pekerja anak juga mempunyai dampak secara umum yaitu :1. Tidak memiliki waktu luang untung bermain2. Terganggunya proses tumbuh kembang anak3. Terganggunya kesehatan fisik dan mental anak4. Rasa rendah diri dalam pergaulan5. Rentan terhadap perlakuan diskriminatif6. Rentan mengalami kecelakaan kerja7. Rentan terhadap perlakuan tindak kekerasan, eksploitasi dan penganiayaan8. Rentan menciptakan generasi miskin (dari pekerja anak melahirkan pekerja anak pula) :a) Masa depan suram karena pendidikan rendah atau bahkan tidak berpendidikanb) Tidak mampu bersaing dengan pihak lain dalam era globalisasiPerlindungan hak pendidikan bagi pekerja anak yang seharusnya hanya dibutuhkan membantu meringankan kebutuhan keluarga, akan tetapi anak dijadikan sebagai penopang ekonomi keluarga tanpa memperhatikan faktor lainnya. Hal tersebut karena akan menimbulkan dampak fisik dan psikologis bagi anak. Yang paling penting terhambatnya hak mereka untuk dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan usia mereka.

2.2. Pekerja Anak Di Sumatera BaratPermasalahan pekerja anak di Sumatera Barat perlu dicermati dan disikapi dengan baik, karena anak-anak merupakan generasi penerus yang memerlukan perhatian yang serius agar dapat tumbuh secara wajar. Disamping itu, Undang- Undang perlindungan anak memberikan hak kepada anak untuk mendapatkan berbagai perlindungan agar dapat tumbuh dengan wajar dan mempunyai masa depan yang baik. Di Sumatera Barat saat ini, pada umumnya anak-anak di bawah umur bekerja pada sektor informal. Permasalahan pekerja anak yang cukup memprihatinkan juga terkait dengan adat dan budaya. Masyarakat Minangkabau di kenal sebagai suku bangsa yang unik, hal ini terlihat jika di tinjau pada bentuk sistim kekerabatannya yang berpolakan sistem matrilineal. Dalam falsafah Minangkabau sangat menekankan sekali bahwa seorang anak harus bisa mengangkat, martabat dirinya sendiri, keluarga dan kaum kerabatnya. Dan cara yang di terapkan untuk mencapainya adalah bekerja keras, pantang putus asa dan tidak mudah menyerah. Pada umumnya anak laki-laki di Minangkabau di orientasikan untuk mempertahankan ekonomi dengan cara berdagang. Oleh karena hal itu seiring dengan perkembangan zaman hal-hal tersebut mengalami perubahan di Minangkabau sendiri. Perubahan yang terjadi adalah perubahan bentuk keluarga, dari bentuk keluarga luas menjadi keluarga inti. Keluarga luas merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri dari 2 atau lebih keluarga inti, yang merupakan suatu kesatuan sosial yang amat erat dan biasanya hidup tinggal bersama pada satu tempat artinya dalam rumah atau dalam satu pekarangan. Ada beberapa bentuk keluarga luas yaitu keluarga luas utrolokal, keluarga luas virilokal.dan keluarga luas uxorilokal. Dalam adat Minangkabau bentuk keluarga luasnya adalah keluarga luas uxorilokal. Salah satu fungsi dari keluarga luas adalah pengasuhan anak-anak dari keluarga inti untuk menjamin kelangsungan hidup anak kemenakan, masyarakat Minangkabau menggunakan harta pusaka berupa tanah pusaka yang dikelola secara komunal oleh keluarga luas.Dalam adat Minangkabau anak akan mendapat perlindungan yang kuat dari keluarga luasnya. Disamping sebagai anak kandung dari orangtuanya, anak juga berkedudukan .sebagai kemenakan. Kedudukan sebagai kemenakan, memberikan hak kepadanya untuk dipelihara oleh mamaknya. Dalam kondisi yang demikian, secara kultural anak tidak akan terlantar. Fenomena pekerja anak di bawah umur dengan demikian mengindikasikan adanya perubahan hubungan antara keluarga luas, mamak, anak dan kemenakannya.Kota Padang merupakan ibukota Sumatera Barat, sehingga menjadi salah satu kota yang sangat padat penduduknya. Para pendatang datang dari berbagai daerah di Sumatera Barat, ataupun dari luar Sumatera barat. Hal ini yang menyebabkan persaingan dalam mencari pekerjaan, karena sulitnya mencari pekerjaan, maka banyak masyarakat yang bermukim di Kota Padang terjerat dalam permasalahan ekonomi yang akhirnya menyebabkan kemiskinan. Dan telah meningkatkan jumlah pekerja anak di kota Padang. Salah satu wilayah di kota Padang yaitu kelurahan Rimbo Kaluang yaitu RT1, RT2, RT3 dan RT4 terdapat lebih kurang 50 orang pekerja anak. Daerah Limbo Kaluang ini merupakan daerah kantong kemiskinan dan merupakan daerah kumuh di kota Padang.[footnoteRef:5] [5: Zahratul Husnaini, Pekerja Anak di Bawah Umur (Studi Kasus Pekerja Anak di Kota Padang), 2011]

Dari penjelasan di atas, ada banyak faktor yang menyebabkan anak mulai bekerja atau terpaksa bekerja pada usia dini. Dan faktor yang menyebabkan anak- anak bekerja di bawah umur adalah himpitan ekonomi yang semakin mendesak sehingga memaksa anak-anak bekerja untuk dapat membantu keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Di lain pihak tingginya biaya pendidikan di Indonesia sekarang ini, menyebabkan banyak keluarga yang tidak mampu menyekolahkan anaknya sehingga sebagian anak terpaksa putus sekolah. Hal ini yang tumbuh berkembang dalam masyarakat pada saat ini, permasalahan ini bukanlah persoalan baru lagi di tengah-tengah masyarakat.2.3. Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA)Di Indonesia, Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan kelompok pekerja dan masyarakat yang memiliki berbagai keunikan persoalannya sendiri. Persoalan-persoalan tersebut adalah persoalan rumit yang sebenarnya sangat memprihatinkan rasa kemanusiaan dan keadilan kita. Sayangnya, dengan persoalan rumit yang sejujurnya sangat memprihatinkan itu, perhatian serius utamanya dari pemerintah masih sangatlah kecil.[footnoteRef:6] [6: Diah Irawaty, PRT : Sebuah Masalah Rumit-Memprihatinkan yang Terabaikan., http://www.komnasperempuan.or.id/2010/02/prt-sebuah-masalah-rumit-memprihatinkan-yang-terabaikan/, 18 Februari 2010.]

Belum adanya aturan baku yang mengatur pekerjaan PRT termasuk aturan tentang upah, libur kerja, cuti, jam kerja, dan lain-lain, juga menjadi sumber persoalan lain. Perlakuan terhadap PRT, dalam ketiadaan aturan tersebut, lebih banyak didasarkan pada pertimbagnan personal yang fleksibel. Tidak ada kekuatan legal khusus yang bisa mengontrol terjadinya tindakan-tindakan pelanggaran dan eksploitasi. tidak adanya aturan perundangan yang bisa melindungi PRT dari berbagai eksploitasi tidak bisa dilepaskan juga dari pandangan steoreotip yang menganggap pekerjaan tersebut beserta pelakunya sebagai kelompok masyarakat tidak penting yang tak perlu sebuah aturan, apalagi dalam bentuk undang-undang.2.3.1. Permasalahan Yang Dihadapi Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA)Jumlah Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) mengalami peningkatan tiap tahunnya dan pada tahun 2009 International Labour Organization (ILO) memperkirakan di Indonesia terdapat 2,6 juta pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia dan sedikitnya 34,83 persen tergolong anak. Sedikitnya 700.000 orang pekerja rumah tangga di Indonesia berusia di bawah18 tahun dan 99 persen di antaranya adalah anak perempuan yang rentanpenyiksaan dan eksploitasi tenaga. Bahkan, laporan lembar fakta ILO saat ini menunjukkan sekurang-kurangnya 25% dari jumlah pekerja rumah tangga itu berusia dibawah 15 tahun dan hampir 20% pekerja rumah tangga anak bekerja selama lebih dari 15 jam.[footnoteRef:7] [7: 700 Ribu Pekerja Anak Rentan Penyiksaan., http://www.poskota.co.id/kriminal-populer/2009/06/11/700-ribu-pekerja-anak-rentan-penyiksaan, Pos Kota, 11 Juni 2009]

Masalah PRTA penting dan mendesak untuk dibahas selain karena jumlahnya yang sangat signfiikan juga menyangkut masa depan anak-anak yang masih dalam proses tumbuh kembang. Mereka masih membutuhkan jaminan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal serta membutuhkan perlindungan dari segala bentuk eksploitasi dan kekerasan fisik,emntal dan sosial. Bila mengacu pada Konvensi Internasional yang menjamin hak anak yaitu Conventionon the Rights of the Child (KonvensiTentang Hak-Hak Anak) yang memuat pasal-pasal mengenai hak anak antara lain hak untuk kelangsungan hidup, hak untuk tumbuh dan berkembangan, hak perlindungan dari segala bentuk eksploitasi serta hak partisipasi, maka anakyang dipekerjakan sebagai PRT masuk dalam kriteria eksploitasi ekonomi dan pelanggaran hak lainnya. Mengapa ? karena pekerjaan PRT bila dikerjakan oleh anak maka dapat masuk dalam kriteria pekerjaan yang berbahaya (hazardous) dan nature pekerjaanya yang eksploitatif sehingga menyebabkan anak yang bekerja menjadi PRT hampir kehilangan seluruh hak-haknya sebagai anak. Indikator PRTA masuk dalam kriteria eksploitatif (sehingga anak kehilangan hak-haknya) antara lain disebabkan karena jam kerja panjang, standar upah yang tidak jelas, hilangnya kesempatan sekolah dan bermain, tidak ada kesempatan libur, tidak diberi kesempatan mengenyam pendidikan (sebagian besar), tinggal terpisah dengan keluarga, beresiko perlakuan kekerasan majikan maupun calo baik fisik, psikis, dan seksual.Masalah yang sering dihadapi oleh PRTA adalah diskriminasi. Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil terhadap mereka yang dianggap memiliki status yang lebih rendanh oleh mereka yang merasa memiliki kekuasaan lebih tinggi dalam masyarakat. Masalah diskriminasi dalam PRTA berhubungan erat dengan eksploitasi kelompok miskin oleh orang kaya, sekaligus penolakan hak-hak seseorang yang didasarkan karena perbedaan status, usia, atau asal muasal lainnya. Dalam hal PRTA apalagi yang berjenis kelamin perempuan, diskriminasi akan berlangsung secara tumpang tindih. Mengapa ?a) Karena status pekerjaan domestik yang sangat rendah dalam penilaian masyarakat kita. PRTA sering dihubungkan dengan babu, budak atau pelayan seperti yang pernah terjadi dalam masyarakat feodalisme.b) Latar belakang dari orang-orang yang saat ini bekerja sebagai pekerja rumah tangga biasanya berasal dari keluarga yang lebih miskindan lebih rentan seperti yatim piatu, korban bencana, korban konflik, atau rumah tangga yang berantakan (broken home).c) Rendahnya status anak dalam masyarakat kita. Di banyak negara di Asia, anak-anak masih diperlakukan sebagai setengah manusia yang hak-haknya belum dihargai secara penuh.d) Rendahnya status anak-anak perempuan di dalam banyak masyarakat dunia. Kampanye anti diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan belum sepnuhnya menyentuh masyarakat untuk memperlakukan mereka secara adil.e) Situasi kehidupan yang sangat rentan seperti korban bencana, konflik dan kemiskinan. Banyak PRTA yang berstatus sebagai anak yatim-piatu, cacat, anak pengungsian, anak dari orang tua tunggal yang miskin dan lain-lain.Meskipun Indonesia memiliki departemen ketenagakerjaan yang besar, departemen tersebut tidak mengawasi sektor ketenagakerjaan informal dan tidak ada mekanisme yang efektif bagi para pekerja rumah tangga untuk melaporkan kasus pelecehan yang mereka alami. Pekerja rumah tangga inidapat saja melaporkan kasus mereka ke polisi, tetapi pihak kepolisian seringkali menolak menyelidiki atau mengajukan dakwaan, kalaupun pihak kepolisian bersedia menyelidiki kasus tersebut, mereka seringkali memaksakan penyelesaian masalahnya. Karena sifat pekerjaan yang tertutup dan adanya kendali majikan atas apapun yang mereka lakukan, pekerja rumah tangga sering menemui kesulitan apabila mereka ingin mencari bantuan dan mengajukan pengaduan resmi keapda polisi.2.4. Permasalahan Yang Dihadapi PemerintahDi negara berkembangan permasalahan PRTA adalah fenomena yang sangat mudah ditemui dan merupakan salah satu bentuk pekerjaan tradisional. Seperti digambarkan oleh seorang peneliti dair India bahwa PRTA sulit dijangkau dan diketahui kondisinya karena berada di balik pintu rumah dandi bawah pengawasan majikannya.Child Domestic Workers is one of the most common and traditional forms of Child Labour. It is a widespreat practice in many countries with employers recruiting childrenfrom rural areas to work in their houses. These children being hidden behind the closed doors of the houses and guarded by the privacy of personal homes, remain unseen and unheared... (Arunodhaya, 2000).Sekalipun berbagai peraturan telah ditetapkan untuk melindungi pekerja anak, pada kenyataanya tidak sedikit pengusaha atau majikan yang masih memperlakukan anak-anak dengan buruk, seperti: praktik eksploitasi, menempatkan anak-anak pada pekerjaan yang tidak sesuaidengan kondisi fisik anak-anak, dan bahkan berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Oleh karena itu, Mendelievich (1980) dalam Manurung (1998) mengatakan isu utama sesungguhnya bukan anak yang bekerja melainkan adanya potensi untuk mengeksploitasi anak.[footnoteRef:8] [8: Hardius Usmandan Nachrowi Djalan, Pekerja Anak Di Indonesia Kondisi, Determinan, dan Eksploitasi (Kajian Kuantitatif), Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004, Hlm. 3]

Kenyataan bahwa PRT bekerja di wilayah yang dikategorikan sebagai privat yang penuh dengan privasi, hubungan kekeluargaan di mana kontrol orang lain sangat kecil menjadi masalah tersendiri yang melingkupi kerja PRT. Sebagai akibatnya, PRT live-in, yang tinggal bersama keluarga yang mempekerjakannya, seringkali mengalami tindak kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan kekerasan seksual, perendahan martabah, penghinaan dan lain-lain bentuk kekerasan. Dan itu terjadi secara berulang di tengah kontrol sosial yang lemah karena di antaranya, tabu mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Bagaimana kita memperlakukan para PRT masuk dalam ranah urusan rumah tangga orang lain itu. Kekaburan relasi kerja yang tidak dijelaskan dalam kontrak kerja dan potensi eksploitasi terhadap PRT menjadi kerentanan dan ancaman serius yang perlu dipikirkan dampak-damapk dan solusinya.[footnoteRef:9] [9: Diah Irawaty, PRT: Sebuah Masalah Rumit-Memprihatinkan yang Terabaikan, http://www.komnasperempuan.or.id/2010/02/prt-sebuah-masalah-rumit-memprihatinkan-yang-terabaikan/, 18 Februari 2010]

Hubungan kerja PRT yang unik dengan pengguna jasanya memunculkan kerentanan berupa eksploitasi terselubung dan hubungan patron-klien (mistress/master-servant) menjadi sangat niscaya. Betapa tidak, hubungan yang seringkali dibungkus rapi dengan nama kekeluargaan atau menganggap PRT sebagai bagian dari keluarga justru menghilangkan substansi persoalan mengenai upah, jam kerja, hari libur, fasilitas, dan hak yang seharusnya didapatkan. Eksploitasi terselubung seringkali tak kelihatan (invisible) karena dengan alasan menganggap PRT sebagai bagian dari keluarga menjustifikasi dan melegitimasi apapun menjadi dibolehkan. Namun, apakah benar hubungan personal dan kerja PRT-majikan setara dan tidak ada ketimpangan kelas dan perbedaan relasi kuasa? Penting disini untuk juga memperhatikan persoalan kelas dan kuasa karena PRT seringkali diposisikan tidak berdaya dan tidak punya kuasa dan merupakan kelas sosial dan ekonomi bawah.Relasi personal dan kekeluargaan hingga sebagia orang menyebut PRT sebagai labour love (seperti anak sendiri) membawa dampak yang sangat merugikan PRT. Bila PRT diperlakukan sama rata dan sama rasa, maka kasus memakan nasi basi, beban kerja yang berat, tidakada hari libur, jam kerja yang tidak jelas, kelaparan, mencuri makanan karena lapar, disiksa, mendapatkan kekerasan verbal, fisik, seksual dan psikologis, tidak dibayar dan lain-lain tidak akan didapatkan dan diterima mereka. Batasan antara kerja dan tidak bekerja menjadi kabur bila hubungan ini yang lebih dikedepankan. Hubungan personal dan keluarga memang harus tetap dibangun dan dipelihara, namun hunbungan kerja juga harus dijelaskan. Bila menjadi bagian keluarga bisa seiring sejalan dengan pemberian hak-haknya sebagai pekerja, maka relasi personal dan profesional tidak akan menimbulkan persoalan.

BAB III KESIMPULANProses ikut sertanya anak-anak dalam kegiatan ekonomi pada dasarnya di pengaruhi oleh beberapa faktor, faktor ekonomi, faktor lingkungan dan faktor teman sebaya. Dari hasil penelitian kemiskinanlah yang menyebabkan hal itu terjadi, akan tetapi di samping faktor kemiskinan ada faktor lingkungan dan teman sebaya. Pemahaman tentang nilai anak dalam konteks keluarga pada dasarnya tidak dapat di pisahkan dari konteks budaya masyarakat setempat, jadi faktor lingkungan sangat mempengaruhi individu. Anak anak yang hidup dalam lingkungan teman-teman yang bekerja, akan menyukai bekerja daripada sekolah meskipun orang tuanya cukup mampu untuk membiayai sekolah mereka. Sebab lingkungan teman-teman sebaya mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam menanamkan nilai-nilai tertentu yang mereka anggap sesuai dengan dunia mereka. Karena dalam kondisi ini mereka mempunyai banyak kesamaan, seperti usia, selera dan penalaran terhadap sesuatu sehingga mereka akan lebih cocok apabila mereka hidup sesuai dengan nilai-nilai yang ada di antara lingkungan teman- teman sebaya tersebut.

Dari berbagai faktor di atas, dapat kita simpulkan bahwa ternyata pengaruh yang datangnya dari lingkungan lebih mendominasi dalam memotivasi anak-anak bekerja ketimbang dari keluarganya sendiri. Hal itu tentunya tidak terlepas dari sosialisasi dimana anak-anak itu tumbuh dan dibesarkan. Anak yang hidup di lingkungan teman-teman yang bekerja maka akan cenderung menyukai dan menyenangi bekerja daripada sekolah, meskipun orang tua mereka masih mampu untuk membiayai sekolah mereka. Karena lingkungan teman sebaya berpengaruh kuat dalam menanamkan nilai-nilai tertentu pada yang mereka anggap sesuai dengan dunia mereka. Karena pada kondisi ini mereka mempunyai banyak kesamaan seperti, usia, selera dan penalaran terhadap sesuatu.Nilai-nilai yang telah ada dalam suatu masyarakat cenderung akan tertanam pada anak-anaknya melalui proses enkulturasi. Enkulturasi sendiri adalah pembudayaan yang berarti proses seseorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.Untuk mengatasi masalah pekerja anak dan anak putus sekolah seyogjanya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil, seperti menyediakan lapangan kerja, memberikan bekal keterampilan dan modal usaha yang dapat dikembangkan, misalnya melalui koperasi unit desa.Hal yang tidak kalah penting adalah sosialisasi atau kampanye mengenai pentingnya pendidikan. Memberikan pembahaman tentang arti pendidikan bagi generasi lanjut sangat mendesak dilakukan. Hal ini mengingat para orang tua dan anak cenderung berpikir pendek, yakni bekerja mencaru uang untuk bertahan hidup. Sosialisasi bisa dilakukan siapa saja, baik oleh lembaga pemerintahan maupun organisasi kemasyarakatan.

DAFTAR PUSTAKANandi. 2006. Pekerja Anak dan Permasalahannya. Jurnal GEA, Jurusan Pendidikan Geografi Vol. 6, No.2Husnaini, Zahratul. 2011. Pekerja Anak Di Bawah Umur (Studi Kasus Pekerja Anak di Kota Padang). Skripsi Jurusan Antropologi Sosial Universitas Andalas.Sugiyani, Emmy. 2009. Perlindungan Hak Bagi Pekerja Anak Melalui Program Pendidikan Literacy Class di yayasan Pemerhati Sosial Indonesia. Skripsi Jurusan FDK Universitas Islam NegeriPurba, Elmi Frida. 2014. Proses Keterlibatan Anak Menjadi Pekerja Rumah Tangga (Studi Pada Pekerja Rumah Tangga Anak di Kota Bandung, Jawa Barat). Skripsi Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah MadaSitanggang, Karnia Cicilia. 2010. Pengaturan Hak-Hak Anak Di Bawah Umur Sebagai Pekerja Rumah Tangga. Skripsi Jurusan Hukum Universitas Indonesia

9