essay+rma

11
Revolution in Military Affairs M Gabriella Cynthia (0706165564) Hani Sulastri (070629xxxx) Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indoenesia 1

Upload: mochamad-wahyudi

Post on 19-Oct-2015

22 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Military - Revolution - technology

TRANSCRIPT

Revolution in Military Affairs M Gabriella Cynthia (0706165564) Hani Sulastri (070629xxxx)

Ilmu Hubungan Internasional

FISIP Universitas IndoenesiaTerdapat banyak aspek dalam RMA yang hingga saat ini masih diperdebatkan, baik terkait dengan definisi, penyebab RMA, kondisi yang dibutuhkan untuk terciptanya RMA, konsekuensinya terhadap perang dan sistem internasional secara luas, hingga apakah perkembangan tertentu mampu dipertimbangkan sebagai RMA atau bukan. Konsep RMA hadir ketika sejumlah pemikir memperhatikan bagaimana pada bagian tertentu dalam sejarah, suatu inovasi ataupun kombinasi dari berbagai bidang mampu berimplikasi pada transformasi penggelaran perang. Konsep RMA pertama kali digunakan secara akademis pada awal tahun 1955 untuk merujuk pada perkembangan yang terjadi pada abad ke-16 dan abad ke-17. Selama periode Perang Dingin, militer Uni Soviet memberikan perhatian besar terhadap RMA dan military-technical revolutions yang merujuk pada dampak senjata nuklir, namun dalam perkembangannya mulai teraplikasi pula pada teknologi sejata perang konvensional yang semakin berkembang. Konsep ini kemudian juga diambil oleh ahli sejarah Barat dan analis militer Soviet sehingga kemudian mulai dikenal secara luas di lingkungan militer Amerika Serikat selama dekade 1980-an dan 1990-an untuk merujuk pada perkembangan kontemporer.

Dalam melihat RMA, spektrum yang paling ketat berada pada pihak yang mengidentifikasi revolusi dalam jumlah yang sangat minim karena dipersepsikan dalam suatu transformasi sosial ekonomi yang luas. Contoh yang paling berpengaruh dalam pemikiran ini ialah Alvin dan Heidi Toffler yang melihat tiga gelombang historis berdasarkan karakter sistem sosial ekonomi. Dalam hal ini Alvin dan Heidi Toffler hanya mengidentifikasi terjadinya dua RMA yaitu transisi dari gelombang pertama (agrarian) ke gelombang kedua (industrial), dan transisi dari gelombang kedua ke gelombang ketiga (pasca-industri). Adapun argumentasi keduanya ialah revolusi dalam perang terlalu dipahami secara berlebihan, bahwasanya pengenalan senjata api, kapal selam, dan pesawat tempur memang membawa perubahan dalam perang, namun hanya dengan menambah elemen baru terhadap hal yang sesungguhnya sudah ada. Mereka menggunakan istilah revolusi untuk merujuk pada suatu kebudayaan (civilization) baru yang menantang kebudayaan sebelumnya dan berimplikasi pada perubahan seagala aspek dalam militer. Pendekatan seperti ini memiliki keuntungan dengan memfokuskan diri pada natur mendasar dari masyarakat dibandingkan detail-detail dalam sistem militer. Sebaliknya pendekatan ini cenderung gagal untuk mengidentifikasi perubahan-perubahan signifikan yang muncul di antara siklus yang sangat panjang tersebut.

Pendekatan lainnya berusaha untuk lebih permissive dalam memandang revolusi, di antaranya ialah Andrew Kepinevich dan James Adams. Kepinevich sendiri mengidentifikasi adanya 10 revolusi sejak abad ke-14, yaitu (1) revolusi infantri, (2) revolusi artileri pada Perang Seratus Tahun, (3) revolution of the sail and shot at sea (abad ke-16 hingga abad ke-17), (4) the fortress revolution pada abad ke-16, (5) the gunpowder revolution, (6) the Napoleonic Revolution, (7) revolusi perang darat di abad ke-19, (8) the naval revolution pada abad ke-19, (9) the interwar revolution dalam mekanisasi, penerbangan, dan informasi, dan (10) revolusi nuklir. Adapun pendekatan ketiga berupaya menjembatani kedua pendekatan yang kontras tersebut dengan mengakui adanya sejumlah kategori yang berbeda dalam suatu revolusi. Pemikirnya di antaranya ialah Steven Metz & James Kievit, Williamson Murray, dan Clolin Gray.

LESSER(GREATER

Metz & KievitMinor RMAMajor RMA

MurrayRMAMilitary Revolution

GrayMilitary Technical RevolutionRMAMilitary Revolution

Collin Gray mendeskripsikan suatu spektrum dari revolusi militer, melalui RMA, menuju ke Military Technical Revolution, serta mengidentifikasi adanya suatu hirarki potensial dalam RMA. Metz dan Kievit sendiri menyarankan suatu pemisahan antara minor dan major RMA. Minor RMA dapat dipahami sebagai perubahan teknologi atau organisasional yang signifikan dan berkontribusi terhadap major RMA yang konteksnya lebih luas dan berdasarkan atas perubahan fundamental pada politik, sosial, dan ekonomi. Sementara itu, Murray membedakan revolusi militer dari RMA, dengan pemahaman bahwa revolusi militer sifatnya lebih fundamental dan merubah natur masyarakat, negara, dan organisasi militer. Berangkat dari pemahaman tersebut, Murray kemudian mengidentifikasi empat revolusi militer, yaitu (1) pembentukan negara-bangsa yang modern dan efektif pada abad ke-17, (2) Revolusi Perancis, (3) Revolusi Industri, dan (4) Perang Dunia I.

Terlepas dari banyaknya variasi literatur yang membahas mengenai RMA, sejumlah generalisasi berhasil dilakukan. Meskipun teknologi cenderung dianggap sebagai prinsip utama RMA, namun teknologi pada kenyataannya bukan merupakan aspek yang cukup untuk terjadinya RMA. Eksistensi teknologi, terlepas dari potensinya, bukan menjadi prasyarat satu-satunya terciptanya RMA, kecuali apabila diikuti oleh pemahaman yang sepenuhnya terefleksikan dalam doktrin militer dan organisasi. Krepinevich mendefinisikan revolusi militer sebagai suatu hal yang terjadi ketika aplikasi teknologi baru ke sejumlah sistem militer yang signifikan dikombinasikan dengan inovasi konsep operasional dan adaptasi organisasional dalam suatu cara tertentu yang secara fundamental merubah karakter dan penyelenggaraan perang. Definisi ini turut menekankan bagaimana teknologi bukan saja tidak sufficient, namun juga bergantung pada perkembangan dan adaptasi dalam bidang terkait lainnya. Contoh yang paling sering muncul dan diterima terkait dengan RMA yang di dorong oleh aspek sosial politik dibandingkan teknologi merupakan periode Revolusi Perancis dan Perang-perang Napoleon. Selain itu, RMA lainnya yang merupakan hasil dari faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik ialah penciptaan modern nation-state, yang merupakan poin kritis dalam mendefinisikan natur dari konflik modern. Kemajuan dalam kimia dan metalurgi misalnya, merupakan dua perubahan dalam teknologi yang membantu perkembangan artileri pada abad ke-15 hingga 16, yang sekalipun secara khusus bukan militer, namun memiliki efek penting terhadap perang. John Keegan dalam tulisannya juga menekankan pentingnya domestication kuda dan perkembangan metalurgi, yang mana keduanya berhasil menciptakan chariot dan dengan demikian membantu menciptakan war-making state. Perkembangan non-militer lainnya yang memiliki efek militer yang besar mencakup roda, oxcart, jalan, peta, timekeepers, dan percetakan. Sementara itu, Murray mengidentifikasi faktor-faktor revolusi militer seperti teknologi, operasional dan organisasional, kultural, sosial, konseptual, ideologikal, finansional, arsitektural, taktikal, administratif, scientific, dan politik. RMA oleh sebab itu dapat dilihat memiliki akar yang luas dan bercabang dibandingkan sebagai hasil dari perkembangan spesifik dalam teknologi.

RMA terbagi atas tiga macam yaitu perubahan secara revolusioner pada teknologi, doktrin, dan juga organisasi. Revolusi teknologi terjadi karena adanya perubahan pada teknologi yang menyebabkan adanya perubahan pada strategi militer, organisasi militer, dan peralatan militer dari masa sebelumnya. Revolusi teknologi ini semakin memperkecil adanya fog of war dengan menciptakan teknologi yang lebih modern dan semakin tingginya ketepatan terhadapat target. Revolusi teknologi terdiri dari tiga jenis yaitu precision force and precision guided munitions; force projection and stealth; dan battlespace awarness and control. Saat ini teknologi diciptakan dengan mengutamakan kepintaran bukan lagi bentuknya yang besar atau kehancuran yang besar tetapi tidak memiliki keakuratan dalam penargetan. Saat ini senjata diciptakan untuk menghancurkan target dengan akurat tanpa harus membunuh innocent people yang bersifat substantial coleteral sehingga presisi teknologi menjadi hal utama untuk mengembangkan teknologi. Precision force dapat berbentuk rudal ataupun senjata-senajta individu. Tomahawk cruise missile merupakan senjata Angkatan Laut Amerika Serikat dan Inggris yang dipandu dengan Global Positioning System (GPS) di mana ia dapat menghancurkan target dalam ukuran yang kecil yang terletak jauh ribuan mil dari senjata tersebut. Salah satu teknologi yang termasuk dalam precision force ialah precision guided munitions (PGMs) yang dikenal dengan istilah smart bomb. PGMs memiliki kecepatan, jarak, dan keakuratan yang luar biasa yang dapat menghancurkan lawan dalam waktu yang singkat dan mematikan.

Selain itu, revolusi teknologi juga terjadi pada force projection and stealth. Perkembangan ini diciptakan di mana senjata-senjata dibuat agar dapat menghilang atau mengelabui musuh sehingga tidak dapat terdeteksi oleh radar. Karena adanya penemuan-penemuan teknologi yang dapat melihat atau memantau persenjataan musuh, maka mulai diciptakan senjata-senjata atau kendaran-kendaraan yang tidak dapat dideteksi oleh radar lawan di mana senjata atau kendaraan tersebut difokuskan pada stealthy-nya. U.S. Armys Comanche armed reconnaissance helicopter dengan adanya fitur stealthy diciptakan untuk menjaga aircraft dari visual, radar, dan thermal infrared detection sehingga tidak dapat terdeteksi keberadaanya. Namun, agar teknologi ini dapat terus bermanfaat maka pengembangannya tidak boleh berhenti karena radar atau alat pendeteksi lainnya akan terus berkembang yang pada akhirnya membuat teknologi yang menggunakan fitur stealthy ini menjadi usang dan kurang bermanfaat.Revolusi terkahir pada teknologi terjadi pada battlespace awarness and control. Kemajuan yang terjadi ialah terciptanya teknologi yang dapat memantau wilayah pertempuran dari jarak jauh dan tidak harus berada di tempat pertempuran. Selain itu, teknologi ini juga dapat memperlihatkan di mana posisi lawan dan aliansi berada sehingga komandan tidak harus berada di tempat wilayah pertempuran untuk memberikan komando. Teknologi ini salah satunya ialah satelit yang dapat memberikan informasi dari angkasa luar untuk kebutuhan dalam pertempuran selain itu manned aircraft atau Unmanned Aerial Vehicles (UAVs). Salah satu teknologi ini ialah Americas Joint Surveilance Target Attack Radar System (JSTARS) yang dapat memperlihatkan posisi kendaraan-kendaraan (vehicles) yang berada 200 sq km. Pada Perang Teluk 1990-1991, terdapat teknologi Pioneer yang merupakan UAV di mana ia dapat melakukan pengawasan pada pertempuran yang terdapat di darat dan laut sehingga membantu komandan untuk menciptakan taktik. Oleh karena itu, dengan adanya teknologi-teknologi ini maka fog of war semakin kecil karena dapat memberikan informasi mengenai area pertempuran sehingga mempermudah dalam mengatur strategi perang. Selain itu, battlespace awarness and control juga mengubah organisasi militer untuk beradaptasi dengan perubahan pada teknologi yang ada. Kemajuan teknologi informasi menyebabkan terjadinya pergeseran konsep memenangkan perang. Pada awalnya, cukup dengan konsep Komando dan Kendali (Kodal / K2), yang pada prinsipnya merupkan hubungan intern antara komandan dengan anak buahnya dalam tugas operasi. Tetapi yang berkembang untuk saat ini ialah Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer, Intelijen, dan Manajemen Pertempuran (k4I / MP) sebagai satu kesatuan yang bulat dalam rangka memenangkan pertempuran. (command, control, communications, computers, intelligence and battle management -C4I / BM). Pada akhirnya perkembangan teknologi yang terjadi saat ini, menciptakan jenis pertempuran yang baru yaitu perang informasi.

Selain revolusi teknologi, terdapat revolusi dalam doktrin militer yakni joint doctrine, doktrin Angkatan Laut, doktrin Ankatan Darat, doktrin Angkatan Udara, dan angkasa luar. Revolusi pertama ialah adanya joint doctrine. Perubahan yang terjadi akibat adanya perubahan pada teknologi juga menyebabkan terjadinya perubahan doktrin militer. Saat ini, terjadi integrasi antara angkatan laut, angkatan udara, dan angkatan darat dalam satu pertemperunan di mana ketiga kekuatan ini melakukan kerja sama untuk menciptakan kekuatan yang terintegrasi untuk mencapai tujuan bersama. Selain kerja sama antara angkatan darat, udara, dan laut, RMA juga menyebabkan adanya dorongan untuk melakukan kerja sama antara negara dalam satu pertempuran dengan tujuan menghancurkan kekuatan musuh bersama. Ini menjadi lebih efektif karena dapat memperkuat kekuatan bersama untuk melawan kekuatan musuh. RMA menciptakan negara-negara mengkombinasikan potensi-potensi operasi yang dapat dilakukan secara bersama-sama dengan meningkatkan operational integration diantara komponen-komponen militer negara-negara. RMA juga mempengaruhi doktrin angkatan laut di mana sedang menuju pada littoral warfare. Saat ini Angkatan Laut tidak lagi mempersiapkan pada perang di lautan tetapi lebih pada membangun kekuatan laut untuk menuju perang di daratan dengan bantuan tentara angkatan laut. Pada akhirnya, Angkatan Laut mengubah Tomahawk land attack cruise missile dari yang awalnya hanya sebuah strategic weapon sekarang juga menjadi strike target ashore.

Terdapat perubahan juga dalam doktrin Angkatan Darat di mana pada operasi-operasi militer lebih menempatkan pasukan-pasukan dalam kelompok-kelompok kecil pada saat pertempuran. Kekuatan perang bersifat non linear dan lebih dipencar dan disebar bukan berbentuk kesatuan. Strategi perang lebih memprioritaskan pada mobilitas pasukan yang bersifat offensive, oleh karena itu senjata yang dipergunakan pun senjata yang dapat menunjang mobilitas pasukan yang memiliki letalitas yang tinggi serta fleksibel. Helikopter menjadi komponen yang penting bagi militer untuk mendukung mobilitas dan letalitas pasukan. Pada Angkatan Udara, revolusi terjadi pada berubahanya manned fighters menjadi unmanned combat. Dibawah doktrin unmanned combat, pilot berada diluar area pertempuran secara langsung di mana ia mengendalikan pesawat dengan teknologi canggih yang menggunakan satelit. Doktrin ini memerlukan biaya yang sangat mahal, namun meminimalisir resiko meninggalnya pasukan dalam pertempuran dibandingkan dengan doktrin manned fighters di mana pilot mengendalikn pesawat langsung didalam pesawat di medan pertempuran. Angkasa Luar akan menjadi area utama dalam peperangan di masa mendatang karena dengan adanya perang informasi yang terjadi saat ini, satelit-satelit yang digunakan akan mendapatkan ancaman dari musuh untuk mematikan lawan. Angkasa luar akan menjadi teater perang dan menjadi ancaman bagi suatu negara apabila terdapat musuh yang akan menghancurkan satelit yang meraka miliki akrena pusat kekuatan militer akan berada pada satelit di era perang informasi ini.

RMA juga terjadi dengan adanya revolusi pada organisasi militer. Saat ini, organisasi militer lebih ditransformasikan pada jumlah yang kecil namun berpendidikan tinggi dan memiliki kekuatan yang profesional dibandingkan pasukan dalam bentuk banyak yang kurang memiliki keahlian dan tidak berpendidikan sehingga kurang efisien. Hal ini juga disebabkan oleh semakin tingginya kualitas persenjataan yang berkembang dan juga semakin canggih di mana dituntut adanya pasukan-pasukan yang berkualitas untuk menggunakannya. Pada akhirnya, muncul organisasi militer dalam bentuk baru yang lebih profesional dengan menyeimbangkan antara kualitas dan kuantitas. Selain itu, terdapat perubahan pada birokrasi dalam militer yang awalnya senralisasi di mana semua informasi pada pertempuran hanya diketahui oleh petinggi militer menjadi desentralisasi di mana tentara dapat mengetahui situasi pertempuran secara umum. Hal tersebut mempengaruhi jalur komando yang awalnya tentara harus meminta izin terlebih dahulu kepada komandan utama setiap ingin melakukan tembakan, saat ini tentara melakukan hubungan dengan operator yang mengendalikan sistem persenjataan. Organisasi yang berubah juga mempengaruhi perubahan pada karir yang terdapat pada organisasi militer. Saat ini karir yang tersedia tidak hanya untuk bertempur dalam perang, tetapi karena semakin beragamnya persenjataan yang ada dan perubahan pada organisasi militer, maka karir yang tersedia pun berbagai macam sesuai dengan berbagai keahlian yang diperlukan.

Salah satu contoh bentuk RMA ialah yang dicontohkan oleh Alfin Toffler dan Heidi Toffler di mana membagi RMA pada tiga gelombang. Bagi mereka RMA ialah suatu perubahan secara revolusioner yang mengubah permainan itu sendiri termasuk peraturan, peralatan, ukuran, organisasi pada tim, pelatihan, doktrin, dan taktik. Perubahan senjata bukanlah sebuah RMA tetapi merupakan sub dari RMA. Gelombang pertama ialah pada masa pra modern di mana masyarakat masih berbasis pertanian (agrikultur) di mana masyarakat menjalankan kehidupan mereka dengan menggunakan tangan mereka sendiri. Perang pun merefleksikan bentuk kehidupan sehari-hari mereka di mana sebagian besar perang muncul akibat masalah pertanian, tentara di bayar oelh pemilik tanah dan senjata yang digunakan masih menggunakan tenaga manusia terutama kemampuan tangan mereka. Gelombang kedua terjadi pada masa revolusi industri di mana mentranformasikan militer pada senjata yang dalam jumlah yang banyak dan kerusakan yang banyak dan menggunakan pasukan yang banyak. Tentara tidak lagi dibayar oleh tuan tanah namun merupakan wujud loyalitas mereka kepada negara bagsa yang dikembangkan pada masa Napoleon dengan munculnya wajib militer. Selain itu, perubahan ini mempengaruhi pada bentuk biroksai militer untuk menciptakan organisasi militer yang profesional yang bukan hanya sebagai tentara bayaran disaat perang. Revolusi industri juga mempengaruhi adanya perkembangan dalam teknologi persenjataan. Dengan berkembanganya berbagai penemuan, muncul penemuan-penemuan yang mempengaruhi perebuhan militer saat itu. Salah satunya ialah bubuk mesiu yang merupakan bahan dasar untuk senjata api serta mesin-mesin yang membuat senjata tidak sepenuhnya menggunakan tenaga manusia. Gelombang ketiga mulai muncul pada saat Perang Teluk pada tahun 1991 di mana muncul perang yang menuju perang informasi dengan menngunakan senjata-senjata canggih yang memiliki keakuratan yang tajam, sifat destruksi yang dapat disesuaikan, dan meminimalisir kerusakan yang bersifat koleteral. Pada gelombang ini, terjadi perubahan paradigma di mana militer membutuhkan adanya smart workers, smart weapons, dan more highly skilled soldier. Sehingga pada akhirnya, organisasi militer lebih dibentuk pada organisasi kecil yang bersifat lebih fleksibel namun lebih efektif dengan menggunakan teknologi canggih yang langsung melumpuhkan mucuh dibandingkan dengan jumlah yang besar namun tidak efektif. Tim Benbow, The Magic Bullet? Understanding the Revolution in Military Affairs, (Inggris: Brasseys, 2004), hlm. 16.

Ibid., hlm.16.

Ibid, hlm. 16-17.

Ibid., hlm. 19.

Ibid., hlm. 13.

Elinor C. Sloan, The Revolution in Military Affairs, (Montreal: Universite du Quebec, 2002), hal. 6.

Ibid. hal. 7.

Ibid. hal.8

Ibid. hal. 10

8