estimasi fungsi konsumsi rumah tangga jangka...
TRANSCRIPT
Mata Kuliah: Ekonometrika
LAPORAN PENELITIAN PENUNJANG PEMBELAJARAN
ESTIMASI FUNGSI KONSUMSI RUMAH TANGGAJANGKA PANJANG DI PROVINSI BALI
Dibiayai dari Dana BOPTN Fakultas EkonomiUniversitas Udayana Tahun Anggaran 2014
TIM PENELITI:
Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS. (Ketua)Dr. Ida Bagus Purbadharmaja, SE., ME. (Anggota)
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNANFAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANATAHUN 2014
ii
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Usulan : Estimasi Fungsi Konsumsi Rumah Tangga Jangka Panjang diProvinsi Bali
2. Ketua Peneliti :a. Nama Lengkap : Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS.b. Jenis Kelamin : Lakic. NIP : 19540429198303 1 002d. Pangkat/Gol : Pembina Utama Madya/ IVde. Jabatan fungsional : Guru Besarf. PS/Fakultas : Ekonomig. Alamat : Jl. Mekar I No. 33 Kepaon Indah, Dpsh. Telepon/E-mail : 08123953033/ [email protected]
4. Jumlah mahasiswa dilibatkan : 2 orang
5. Jumlah biaya yang diajukan : Rp 5.000.000 (Lima juta rupiah)
MengetahuiKetua Jurusan Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi Universitas Udayana
Denpasar, 15 Nopember 2014Kepala Proyek,
Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE, MSi19540429198303 1 002
Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE, MSi19540429198303 1 002
MenyetujuiDekan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana
Prof. Dr. I Gst Bagus Wiksuana, SE., MSNIP. 19610827198601 1 001
iii
I. Identitas Penelitian
1. Judul Usulan : Estimasi Fungsi Konsumsi Rumah Tangga Jangka Panjang diProvinsi Bali
2. Ketua Peneliti :a. Nama Lengkap : Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS.b. Jenis Kelamin : Lakic. NIP : 19540429198303 1 002d. Pangkat/Gol : Pembina Utama Madya/ IVde. Jabatan fungsional : Guru Besarf. PS/Fakultas : Ekonomig. Alamat : Jl. Mekar I No. 33 Kepaon Indah, Dpsh. Telepon/E-mail : 08123953033/ [email protected]
3. Mahasiswa yang dilibatkan:
a. I Putu Arya Finkayana, NIM: 1206105069
b. Ni Kadek Dwi Kartika, NIM: 1206105071
4. Objek penelitian : PDRB menurut penggunaan Provinsi Bali dari tahun 1985 -2013
5. Masa pelaksanaan penelitian: 4 bulan
6. Anggaran yang diusulkan : Rp 5.000.000,-
7. Lokasi penelitian di Provinsi Bali
8. Hasil yang ditargetkan adalah model konsumsi jangka panjang Provinsi Bali.
9. Institusi lain yang terlibat tidak ada
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena kami
telah dapat menyusun Laporan Penelitian Penunjang Pembelajaran di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana Tahun 2014 yang berjudul Estimasi
Fungsi Konsumsi Rumah Tangga Jangka Panjang di Provinsi Bali. Dalam Laporan
Penelitian ini berisi pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil dan
pembahasan, serta kesimpulan dan keterbatasan penelitian.
Laporan ini disusun oleh tim peneliti, berdasarkan atas kajian data yang
diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, dan sumber lainnya. Teknik
analisis yang digunakan adalah model regresi, yaitu Adaptive Expectation Model
(AEM).
Laporan penelitian ini tentunya masih kurang dari yang diharapkan.
Berkaitan dengan hal itu Tim sangat mengharapkan kritik dan saran serta masukan
dari semua pihak agar nantinya apa yang menjadi tujuan pendidikan dapat
dilaksanakan secara optimal.
Pada kesempatan ini Tim sangat berterimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu sehingga laporan ini dapat terwujud.
Denpasar, Nopember 2014Tim Peneliti
v
ESTIMASI FUNGSI KONSUMSI RUMAH TANGGA JANGKAPANJANG DI PROVINSI BALI
ABSTRAK
Pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator tingkatkesejahteraan masyarakat pada suatu wilayah. Semakin tinggi pengeluaran untukkonsumsi barang dan jasa, maka makin tinggi pendapatan dan kesejahteraan keluargatersebut. Melalui effect multiplier, pengeluaran konsumsi dapat meningkatkanpendapatan masyarakat yang selanjutnya akan meningkatkan pengeluaran konsumsipada periode berikutnya.
Penelitian ini bertujuan fungsi konsumsi rumah tangga jangka panjang diProvinsi Bali. Data yang digunakan adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga danProduk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Bali dari tahun 1985 – 2013.Data selajutnya dianalisis dengan model Ekonometrika, yaitu Adaptive ExpectationModel (AEM). PDRB tahun berjalan dan pengeluaran konsumsi tahun sebelumnyaberpengaruh signifikan terhadap pengeluaran konsumsi tahun berjalan. Model inimenunjukkan bahwa MPC jangka pendek lebih rendah dibandingkan dengan MPCjangka panjang.
Kata kunci: konsumsi rumah tangga, jangka panjang.
vi
DAFTAR ISI
Halaman
Judul Penelitian ......... ……………………………………………………… i
Halaman Pengesahaan ……………………………………………………… ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... v
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Tujuan Penelitian ................................................................................... 3
1.3. Manfaat Penelitian ................................................................................. 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Konsumsi ....................................................................................... 42.1.1 Hipotesis pendapatan absolut …………………………………… 6
2.1.2 Hipotesis Pendapatan Permanen ………………………………...7
2.1.3 Hipotesis Pendapatan Relatif …………………………………… 9
2.1.4 Teori Konsumsi Siklus Hidup ........................................................ 10
2.2. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Konsumsi ..................................... 13
2.3. Konsep Multiplier Effect .......................................................................15
BAB III. METODE PENELITIAN3.1. Lokasi Penelitian .....................................................................................
18
3.2. Waktu Penelitian .....................................................................................18
3.3. Teknik Analisis Data ...............................................................................18
BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Orbitasi 27
4.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan 28
4.3. Struktur Ekonomi 34
4.5. Struktur Tenaga Kerja 36
vii
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN5.1. Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga di Provinsi Bali
38
5.2. Perkembangan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga di Provinsi Bali41
5.3. Pola Data PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga 43
5.4. Pola Pengeluaran Konsumsi Rumah Jangka Jangka di Provinsi Bali 45
4.5. Pola Pengeluaran Konsumsi Makanan Jangka Panjang Rumah Tanggadi Provinsi Bali 47
5.6. Pola Pengeluaran Konsumsi Bukan Makanan Jangka Panjang RumahTangga di Provinsi Bali 48
BAB VI. PENUTUP6.1. Simpulan 52
6.2. Saran dan Keterbatasan Penelitian 52
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 53
Lampiran-lampiran ...................................................................................... 55
viii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
5.1. Proporsi Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Penduduk MenurutSub Kelompok Makanan dan Klasifikasi Daerah, Provinsi Bali,Tahun 2013 .....................................................................................
38
5.2. Proporsi Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Penduduk MenurutSub Kelompok Bukan Makanan dan Klasifikasi Daerah, ProvinsiBali, Tahun 2013 .............................................................................
40
5.3. Hasil Pengujian Stasioner Variabel Penelitian dengan metodeAugmented Dicky Fuller Test .........................................................
44
5.4. Hasil Pengujian Kointegrasi dengan Metode Johansen antaravariabel PDRB dengan masing-masing variabel bebas ..................
45
5.5. Koefesien Regresi dan Hasil Pengujian Pengaruh PDRB danPengeluaran Konsumsi Tahun Sebelumnya terhadap PengeluaranKonsumsi Tahun Berjalan di Provinsi Bali, Tahun 1986 – 2013
45
5.6. Koefesien Regresi dan Hasil Pengujian Pengaruh PDRB danPengeluaran Konsumsi Makanan Tahun Sebelumnya terhadapPengeluaran Konsumsi Makanan Tahun Berjalan di ProvinsiBali, Tahun 1986 – 2013 .................................................................
47
5.7. Koefesien Regresi dan Hasil Pengujian Pengaruh PDRB danPengeluaran Konsumsi Makanan Tahun Sebelumnya terhadapPengeluaran Konsumsi Makanan Tahun Berjalan di ProvinsiBali, Tahun 1986 – 2013 ................................................................
49
5.8. Ringkasan Marginal propensity to consume (MPC) Jangka PendekDan Jangka Panjang Serta Penyesuaian Waktu PerubahanKonsumsi Rumah Tangga di Provinsi Bali, Tahun 1986 – 2013 ....
50
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Bali, Tahun 1985 – 2013 …. 2
2.1. Kurve Teori Konsumsi Keynes …………………………………… 7
2.2. Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Pendapatan Relatif ……………. 10
2.3. Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Siklus Hidup ………………….. 11
3.1. Perbedaan Parameter Dua Model Regresi ....................................... 21
5.1. Proporsi Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Penduduk MenurutSub Kelompok Makanan di Provinsi Bali, Tahun 2013 .................
39
5.2. Proporsi Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Penduduk MenurutSub Kelompok Makanan di Provinsi Bali, Tahun 2013 .................
40
5.3. Perkembangan PDRB, Pengeluaran Rumah Tangga,pengeluaran Rumah Tangga untuk Makanan dan Bukan Makanandi Provinsi Bali Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000, Tahun1985 – 2013 ....................................................................................
41
5.4. Persentase Pengeluaran Rumah Tangga Terhadap PDRB,Persentase Pengeluaran Rumah Tangga untuk Makanan danBukan Makanan Terhadap Total Pengeluaran di Provinsi BaliBerdasarkan Harga Konstan Tahun 2000, Tahun 1985 – 2013 .......
42
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator
tingkat kesejahteraan masyarakat pada suatu wilayah. Sesuai dengan teori Keynes
(Mankiw, 2007 dan Gordon, 2010) bahwa semakin tinggi pengeluaran untuk
konsumsi barang dan jasa, maka makin tinggi pendapatan dan kesejahteraan
keluarga tersebut.
Tingkat kesejahteraan suatu masyarakat dapat pula dikatakan membaik
apabila proporsi pendapatan yang digunakan untuk mengkonsumsi non makanan.
Pergeseran pola pengeluaran untuk konsumsi dari makanan ke non makanan dapat
dijadikan indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan anggapan
bahwa setelah kebutuhan makanan telah terpenuhi, kelebihan pendapatan akan
digunakan untuk pengeluaran konsumsi bukan makanan antara lain untuk
tabungan atau investasi.
Dumairy (1996) menyebutkan bahwa pengeluaran rumah tangga untuk
barang-barang akhir dan jasa-jasa dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
untuk anggota rumah tangga tersebut juga disebut pendapatan yang dibelanjakan.
Bagian pendapatan yang tidak dibelanjakan disebut tabungan (saving), dan
apabila pengeluaran-pengeluaran konsumsi semua orang dalam suatu negara
dijumlahkan, maka hasilnya adalah pengeluaran konsumsi masyarakat pada suatu
daerah atau negara.
Pentingnya analisis konsumsi masyarakat tidak saja untuk mengetahui
tingkat kesejahteraan masyarakat, tetapi dengan mengetahui perilaku konsumsi
masyarakat juga akan diketahui efek pengganda atau multiplier dari pengeluaran
itu sendiri. Efek pengganda tersebut didefinisikan sebagai suatu angka
pelipatgandaan dari pendapatan sebagai akibat dari adanya tambahan pengeluaran
konsumsi.
Keynes (dalam Samuelson, 2004 dan Abel, 2001) mengatakan bahwa
adanya tembahan pengeluaran konsumsi autonon agregat akan menyebabkan
2
meningkatnya output wilayah. Angka banding peningkatan output atas
peningkatan konsumsi tersebut dalam ilmu ekonomi disebut angka pengganda.
Dalam jangka panjang pola konsumsi cenderung berubah. Hal ini
disebabkan karena kebutuhan hidup manusia selalu berkembang sejalan dengan
tuntutan zaman, tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, akan tetapi
juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti kebutuhan pakaian, rumah,
pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya sejalan dengan peningkatan
pendapatan dan juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berkaitan dengan hal itu, pola pegeluaran konsumsi dapat dianalisis secara
jangka pendek dan jangka panjang. Teori konsumsi Keynes umumnya disebut
teori konsumsi jangka pendek, karena hanya menghubungkan antara konsumsi
saat ini dengan pendapatan saat ini. Di lain pihak, teori konsumsi Friedman yang
menghubungkan konsumsi dengan pendapatan permanen disebut teori konsumsi
jangka panjang, karena tingkat pendapatan yang dihubungkan tidak saja
pendapatan saat ini juga pendapatan sebelumnya.
Konsumsi rumah tangga memiliki peranan penting dalam analisis
perekonomian secara makro. Konsumsi rumah tangga dipercaya menjadi salah
satu penyelamat perekonomian Indonesia khususnya Bali pada saat krisis global
melanda. Permintaan domestik, dalam hal ini konsumsi rumah tangga, menjadi
pangsa pasar produksi dalam negeri disaat permintaan luar negeri melemah.
Peranan konsumsi rumah tangga dalam perekonomian terbilang cukup tinggi. Di
banyak negara, pengeluaran konsumsi sekitar 60-75 persen dari pendapatan
nasional.
Konsumsi rumahtangga mempunyai dampak dalam menentukan fluktuasi
kegiatan ekonomi dari satu waktu ke waktu lainnya. Konsumsi seseorang
berbanding lurus dengan pendapatannya (Sukirno,2003:338). Semakin besar
pendapatan seseorang, maka akan semakin besar pula pengeluaran konsumsi.
Perbandingan besarnya pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan
adalah hasrat marjinal untuk berkonsumsi (Marginal Propensity to
Consume/MPC). Sedangkan besarnya tambahan pendapatan dinamakan hasrat
marjinal untuk menabung (Marginal to Save/MPS).
3
Pada pengeluaran konsumsi rumahtangga terdapat konsumsi minimum
bagi rumahtangga tersebut, yakni besarnya pengeluaran konsumsi yang harus
dilakukan, walaupun tidak ada pendapatan. Pengeluaran konsumsi rumahtangga
ini disebut pengeluaran konsumsi otonom (autonomous consumption). Keputusan
rumah tangga mempengaruhi keseluruhan perilaku perekonomian baik dalam
jangka p e n d e k maupun jangka panjang. Keputusan konsumsi sangat penting
untuk analisis jangka panjang karena peranannya dalam pertumbuhan ekonomi.
Pada konteks lain, teori konsumsi dengan hipotesis pendapatan relatif
menjelaskan bahwa pengeluaran konsumsi suatu masyarakat ditentukan terutama
oleh tingginya pendapatan terbesar yang pernah dicapainya. Pendapatan
berkurang, konsumen tidak akan banyak mengurangi pengeluaran untuk
konsumsi. Untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang tinggi, terpaksa
mengurangi besarnya tabungan (saving).
Apabila pendapatan bertambah, maka konsumsi mereka juga akan
bertambah, tetapi bertambahnya tidak terlalu besar. Sedangkan saving akan
bertambah besar dengan pesatnya. Kenyataan ini terus kita jumpai sampai tingkat
pendapatan tertinggi yang telah kita capai terpenuhi kembali. Sesudah puncak
dari pendapatan sebelumnya telah dilewati, maka tambahan pendapatan akan
banyak yang menyebabkan bertambahnya pengeluaran untuk konsumsi,
sedangkan dilain pihak bertambahnya saving tidak begitu cepat (Reksoprayitno,
2000).
Di Provinsi Bali laju pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan Produk
Domestik Regional Bruto dari tahun 1985 sampai dengan tahun 2012 rata-rata
5,96 persen. Berdasarkan Gambar 1.1 terlihat bahwa ekonomi Provinsi Bali dapat
dijelaskan bahwa selama periode tersebut pertumbuhan tertinggi sebesar 9,30
terjadi pada tahun 1993 ketika sebelumnya mengalami sedikit pelambatan pada
tahun 1992 ketika terjadi pertempuran di kawasan Timur Tengah. Pada tahun
1998 ketika krisis moneter laju ekonomi Provinsi Bali mengalami kontraksi
(pertumbuhan yang negatif) sebesar 4 persen. Apabila digunakan cutoff krisis
moneter tahun 1998 laju pertumbuhan sebelum krisis moneter memiliki rata-rata
8,14 persen, sedangkan setelah itu rata-rata 4,74 persen.
4
Gambar 1.1Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Bali, Tahun 1985 - 2013
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
1985 1990 1995 2000 2005 2010 2013
Pert
umbu
han
Ekon
omi (
%)
Sumber: BPS Provinsi Bali, 1990, 1995, 2000, 2005, 2010, 2014
Adanya pertumbuhan ekonomi seperti itu menyebabkan terjadi pergeseran
struktur ekonomi. Tambunan (2001) mengatakan bahwa dari sisi permintaan
perubahan struktur ekonomi disebabkan oleh adanya pertumbuhan ekonomi yang
selanjutnya menyebabkan meningkatnya pendapatan per kapita atau daya beli
masyarakat. Di samping memperbesar permintaan barang-barang yang ada juga
memperbesar pasar bagi barang-barang baru nonmakanan. Perubahan ini
selanjutnya akan menggairahkan pertumbuhan industri-industri baru di satu pihak
dan di pihak lain meningkatkan laju pertumbuhan output industri-industri atau
sektor-sektor ekonomi. Berdasarkan uraian sebelumnya masalahnya adalah:
“Bagaimana Fungsi Konsumsi Rumah Tangga Jangka Panjang di Provinsi Bali”.
1.2. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah:
1) Untuk menganalisis model konsumsi jangka panjang Provinsi Bali selama
tahun 1985 – 2013.
2) Untuk menganalisis model konsumsi makanan jangka panjang Provinsi Bali
selama tahun 1985 – 2013.
5
3) Untuk menganalisis model konsumsi bukan makanan jangka panjang Provinsi
Bali selama tahun 1985 – 2013.
1.3. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk meningkatkan
pemahaman mahasiswa mengenai pemanfaatan metode ekonomitrika untuk
menganalisis data ekonomi makro.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Konsumsi
Teori Konsumsi Keynes pada tahun 1936 dalam The General Theory
menggambarkan bahwa análisis pengeluaran konsumsi selalu dihubungkan
dengan pendapatan, artinya pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapatan
naik (Samuelson, 2004). Seiring dengan peningkatan pendapatan maka lambat
laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan pendapatan yang
dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan pendapatan yang dibelanjakan
untuk bukan makanan. Hubungan pengeluaran konsumsi dengan berbagai
pendapatan digambarkan dalam ekonomi makro adalah fungsi konsumsi. Fungsi
konsumsi menunjukkan hubungan antara tingkat pengeluaran konsumsi dengan
tingkat pendapatan pribadi yang siap dibelanjakan. Konsep Keynes ini didasarkan
hipotesis bahwa ada hubungan empiris yang stabil antara konsumsi dengan
pendapatan. Secara nasional konsumsi merupakan komponen dari pendapatan
nasional. Rumusan pendapatan nasional menurut Samuelson (2004):
GNP = C + I + G + NX ...................................................................... (2.1)
dimana, GNP (Gross National Product) adalah pendapatan, C adalah konsumsi, I
adalah investasi, G adalah pengeluaran pemerintah, dan NX menunjukkan ekspor
netto (Mankiw, 2007; Gordon, 2000; Sukirno, 2008).
Perhitungan pendapatan nasional terdapat beberapa perkiraan yang tidak
termasuk di dalamnya antara lain nilai pekerjaan rumah tangga yang dikerjakan
sendiri, pembayaran tunjangan bagi penganggur, pensiunan, orang jompo,
kegiatan ilegal atau perjudian, dan pembayaran retribusi pada negara.
Dari aspek pendapatan nasional dapat dirumuskan (Gordon, 2010):
GNP = C + S + T + (X – M) ...............................................................(2.2)
dimana, GNP (Gross National Product) adalah pendapatan, C adalah konsumsi, S
adalah tabungan, T adalah pajak, dan X-M menunjukkan ekspor dikurangi impor.
7
Khusus pengeluaran konsumsi dibedakan menjadi pengeluaran konsumsi rumah
tangga (C) dan pengeluaran pemerintah (G). Keynes menggambarkan hubungan
pola pengeluaran konsumsi berbanding lurus dengan pendapatan. Hal ini
dinyatakan dengan persamaan:
Fungsi konsumsi: C = Ca + b. Y....................................................... (2.3)
dimana, C adalah konsumsi masyarakat riil, Ca adalah konsumsi rumah tangga
ketika pendapatan keluarga nol (Y = 0), b adalah hasrat konsumsi marginal, dan Y
adalah pendapatan nasional riil. Keseimbangan makroekonomi secara tidak
langsung memberikan gambaran mengenai kesempatan kerja dan pengangguran
yang terwujud dalam perekonomian. Teori klasik berkeyakinan perekonomian
selalu mencapai kesempatan kerja penuh (Lindauer, 1971; Mangkusubroto, 1998;
Sukirno, 2008).
Hipotesis yang mempengaruhi konsumsi dikemukakan oleh beberapa
peneliti seperti, James Duesenberry (1949), Milton Friedman (1957), Franco
Modligiani (1963) dalam (Denburg, 1976). Menurut Keynes, pengeluaran
konsumsi riil yang dilakukan oleh sektor rumah tangga ditentukan terutama oleh
besarnya pendapatan riil keluarga tersebut. Sisa pendapatan keluarga yang tidak
dikonsumsi merupakan tabungan. Selain faktor utama tadi, ada juga faktor
demografis, jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin, kekayaan, status
sosial, dan faktor lainnya yang menentukan komposisi dan perilaku pengeluaran
konsumsi.
Keadaan ekonomi keluarga juga dipengaruhi oleh faktor-faktor antara
lain pertama, jumlah kekayaan yang dimiliki, keluarga yang mempunyai
kekayaan lebih banyak cenderung melakukan konsumsi lebih banyak
dibandingkan dengan keluarga yang tidak mempunyai kekayaan walaupun
mempunyai pendapatan yang sama. Jumlah kekayaan ini termasuk juga jaminan
hari tua seperti asuransi, tabungan atau bunga deposito, dan pendapatan dari
saham. Kedua, seseorang akan mengeluarkan pendapatan untuk konsumsi dari
pendapatan rata-rata yang akan diperoleh pada masa datang dibandingkan dengan
pendapatan yang diterima saat ini (Denburg, 1976).
8
Berdasarkan konsep pendapatan yang berkembang saat ini untuk tujuan
pengeluaran konsumsi dengan berbagai hipotesis berikut.
2.1.1 Hipotesis pendapatan absolut (Absolut Income).
Konsep ini pertama kali diciptakan oleh John Maynard Keynes (1936)
mengatakan jumlah pengeluaran konsumsi perlu memperhatikan variabel
kemakmuran, tingkat bunga, dan distribusi pendapatannya (Denburg, 1976).
Pengeluaran konsumsi lebih banyak dikeluarkan oleh seseorang yang mempunyai
kekayaan bersih lebih banyak walaupun jumlah pendapatannya sama. Kekayaan
bersih adalah selisih antara semua kekayaan yang dimiliki dikurangi utang atau
kewajiban yang harus dibayar. Peranan suku bunga terhadap pengeluaran
konsumsi secara teori menunjukkan bahwa naiknya suku bunga akan mendorong
konsumen untuk menambah pengeluaran konsumsi yang ada sekarang sampai
pada tingkat pendapatan yang lebih baik untuk menambah tabungannya. Hal ini
bertujuan untuk persiapan setelah pensiun atau membiayai orang tua di kemudian
hari. Jadi tidak semua masyarakat akan menambah tabungan walaupun ada
kenaikan tingkat suku bunga.
Keynes mengatakan bahwa kecenderungan konsumsi marginal (Marginal
Propensity to Consume/MPC) kelompok masyarakat kaya lebih rendah daripada
masyarakat miskin sebaliknya kecenderungan menabung marginal (Marginal
Propensity to saving/MPS) kelompok masyarakat miskin lebih kecil daripada
masyarakat kaya. Pengeluaran konsumsi akan meningkat jika dilakukan distribusi
pendapatan dari kelompok masyarakat kaya ke kelompok masyarakat miskin
sebanyak selisih kecenderungan konsumsi marginal dikalikan dengan nilai
distribusi pendapatan.
Menurut Keynes, terdapat hubungan antara pengeluaran konsumsi dan
pendapatan nasional dimana pengeluaran konsumsi dan pendapatan nasional
dinyatakan dalam tingkat harga konstan. Pendapatan nasional yang terjadi saat ini,
bukan pendapatan nasional yang lalu ataupun yang diramalkan (Mankiw, 2007).
Dalam bentuk grafis, fungsi konsumsi Keynes, seperti pada Gambar 2.1.
9
Gambar 2.1Kurve Teori Konsumsi Keynes
Sumber: Mankiw, 2007
Berdasarkan Gambar 2.1 kurve konsumsi berbentuk garis lengkung dan
memotong sumbu vertikal. Apabila menggambarkan kurve konsumsi berbentuk
garis lurus, hal ini hanyalah untuk menyederhanakan saja. Berpotongan dengan
sumbu vertikal berarti bahwa nilainya pasti positif dan dalam bentuk persamaan
perpotongan ini disimbolkan dengan Co.
2.1.2 Hipotesis Pendapatan Permanen (Permanent Income Hypothesis)
Teori konsumsi hipotesis pendapatan permanen yang dikembangkan oleh
Milton Friedman dalam bukunya A Theory of Consumption Function, mengatakan
pendapatan dibagi dua jenis, yaitu: pendapatan permanen (permanent income) dan
pendapatan sementara (transitory income) (Denburg, 1976). Pendapatan permanen
merupakan bentuk pendapatan yang diterima secara periodik dan jumlahnya dapat
diperkirakan sebelumnya, misalnya pendapatan gaji. Pendapatan sementara
merupakan bentuk pendapatan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya.
Pendapatan sementara ini dapat berbentuk tambahan (bonus dan menang lotre)
ataupun berbentuk pengurangan, misalnya biaya pengobatan sakit yang tiba-tiba
pada pendapatan permanen. Pengeluaran konsumsi seseorang dipengaruhi oleh
pendapatan permanen secara proporsional. Apabila terjadi kenaikan pendapatan
10
sementara yang positif (positive transitory income), maka pengeluaran
konsumsinya juga akan mengalami kenaikan, begitu pula sebaliknya.
Friedman menjelaskan teori hipotesis pendapatan permanen tadi memulai
dari anggapan bahwa konsumen bersikap ekspektasi rasional sesuai pendapat Hall
dalam mengalokasikan pendapatan yang diperoleh semasa hidupnya diantara
kurun waktu yang dihadapinya serta menghendaki pola konsumsi yang kurang
lebih merata dari waktu ke waktu. Menurut teori ini, konsumsi permanen
konsumen mempunyai hubungan yang positif dan proporsional dengan
pendapatannya. Dalam bentuk persamaan dapat dituliskan:
Cp = k Yp
dimana, Cp adalah konsumsi permanen; Yp adalah pendapatan permanen; k
adalah angka konstan. k atau angka konstan menunjukkan bagian atau proporsi
pendapatan permanen yang dikonsumsi yang nilainya antara nol sampai satu (0 <
k < 1). Nilai k ini relatif stabil dan merupakan fungsi dari suku bunga (r), selera
konsumen (u), dan rasio antara kekayaan menusiawi dan kekayaan non manusiawi
(w), hubungan ini dapat dituliskan berikut: k = f (r, u, w) fungsi utilitasnya
homothetic sehingga rumah tangga akan memilih konsumsi optimal yang
sebanding dengan umur teknis dan sumber-sumber yang dimiliki.
Konsep ini memperkuat hasil penelitian Yan Wang (1995) masyarakat
China menunjukkan pendapatan permanen sangat tergantung pada (gaji dan
bonus), pendapatan tidak rutin (hadiah dan tunjangan), dan faktor-faktor lain
seperti pendidikan, jenis pekerjaan, pengalaman pekerjaan diukur umur, status
pekerjaan, dan domisili kepala keluarga. Kesimpulan Yan Wang bahwa
masyarakat China pendapatan permanen dibentuk oleh variabel diatas sehingga
kemakmuran yang dicapai melalui pendapatan permanen.
2.1.3 Hipotesis Pendapatan Relatif (The Relative Income)
Teori hipotesis pendapatan relatif dikemukakan pertama kali oleh
Duesenberry (1949) seorang ekonom Amerika dalam bukunya Income, Saving
and Theory of consumer Behavior. Menurut teori ini, pola konsumsi seseorang
ditentukan terutama oleh pendapatan tertinggi yang pernah dicapainya. Apabila
11
pendapatan berkurang pada periode tertentu, konsumen tidak akan banyak
mengurangi pengeluaran konsumsi, untuk menutupnya, mereka mengurangi
tabungannya.
Dalam jangka panjang konsumsi berubah secara proporsional dengan
pendapatan, akan tetapi dalam jangka pendek konsumsi berubah dalam proporsi
yang lebih kecil dari perubahan pendapatan. Selain tingkat pendapatan, kondisi
lingkungan disekitar tempat tinggal konsumen juga mempengaruhi pola konsumsi
seorang konsumen. Seseorang akan selalu berusaha hidup seperti tetangganya,
maka ketika pendapatan turun, maka tidak akan menurunkan konsumsinya seperti
apabila pendapatannya naik, tetapi akan mempertahankan tingkat konsumsinya
tidak terlalu jauh dengan tingkat konsumsi tertinggi yang pernah dicapainya.
Pola konsumsi jangka pendek akan menunjukkan hubungan tingkat
konsumsi dan pendapatan, tetapi dalam jangka panjang konsumsi akan berubah
secara proporsional dengan perubahan pendapatan. Bila kurve konsumsi jangka
pendek digambarkan bersamaan dengan kurve konsumsi jangka panjang,
bentuknya akan menyerupai gergaji. Teori Duesenberry tentang efek lingkungan
tempat tinggal konsumen terhadap pola konsumsi ini disebut dengan Ratchet
Effect atau efek gergaji dan hipotesisinya disebut dengan hipotesisi pendapatan
relatif. Bentuk kurve Duesenberry ini adalah sebagai pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan awal adalah sebesar
OYA kemudian mengalami peningkatan sehingga konsumsi akan meningkat pula
pada proporsi yang sama dari A ke B di sepanjang kurve konsumsi jangka
panjang. Apabila pendapatan turun, konsumen tidak akan menurunkan
konsumsinya melalui fungsi konsumsi jangka panjang ke A, tetapi penurunannya
melalui titik B bila pendapatannya naik lagi, konsumen tidak akan meningkatkan
konsumsinya secara proporsional, tetapi justru bergerak dari C ke B untuk
mengembalikan tabungannya yang diambil selama pendapatannya turun. Jika
pendapatannya masih meningkat, barulah konsumen akan meningkatkan
konsumsinya sebanding dengan meningkatnya pendapatan. Dengan demikian
terjadilah efek gergaji seperti Gambar 2.2.
12
Gambar 2.2Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Pendapatan Relatif
Sumber: Mankiw, 2007
Hasil studi Duesenberry, konsumsi tergantung dari penghasilan saat ini
dan penghasilan tertinggi tahun sebelumnya. Perilaku konsumsi seseorang akan
tergantung pula dengan perilaku konsumsi lingkungannya. Pandangan ini
diperkuat oleh J.Tobin melalui pendekatan kebiasaan menabung, yaitu dua
keluarga yang memiliki pendapatan sama akan menabung dalam jumlah yang
berbeda.
2.1.4 Teori Konsumsi Siklus Hidup (Life Cycle).
Teori konsumsi dengan memperhatikan pola pengeluaran individu selama
hidupnya oleh Albert Ando, Richard Brumberg dan Franco Modligiani (Branson,
1979). Teori ini mencoba menjelaskan tentang perilaku konsumsi berdasarkan
pada umur dalam siklus hidupnya. Secara umum, siklus hidup dibagi menjadi tiga
tahapan, yaitu usia 0 – 15 tahun sebagai usia belum produktif, usia 16 – 60 tahun
sebagai usia produktif, dan usia diatas 60 tahun sebagai usia tidak produktif. Pada
usia produktif, pendapatannya akan naik diikuti dengan tabungan untuk
mengantisipasi masa pensiun. Menurut Modligiani (1963), perubahan pendapatan
sepanjang hidup mengikuti perubahan harapan penghasilan di masa depan. Bentuk
kurve siklus hidup sebagaimana terlihat pada Gambar 2.3.
13
Gambar 2.3Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Siklus Hidup
Sumber: Mankiw, 2007
Berdasarkan Gambar 2.3 terdapat sumbu vertikal menunjukkan
pengeluaran konsumsi (C) dan besarnya pendapatan (Y), sedangkan sumbu
horizontal menunjukkan fungsi dari waktu ke waktu. Y merupakan kurve
pendapatan dan C merupakan kurve konsumsi. Pada siklus I, dimulai dari usia nol
tahun. Setelah dilahirkan, membutuhkan pengeluaran untuk konsumsi, seperti
untuk susu, pakaian, biaya dokter, dan lain sebagainya.
Disisi lain, ketika pendapatan nol maka pengeluaran lebih besar daripada
pendapatan sehingga terjadi dissaving. Setelah melalui tahap B dimana orang
tersebut sudah memasuki usia produktif dan memasuki fase angkatan kerja
(labour force) sehingga dapat menghasilkan pendapatan. Pada tahap II, dapat
membiayai konsumsinya dan dapat menabung (saving) apabila pendapatan lebih
besar daripada konsumsinya. Seiring dengan waktu, tingkat pendapatan
meningkat sampai dengan puncaknya di titik t dan setelah itu mengalami
penurunan sampai akhirnya mencapai tahap III. Pada tahap III ini, kembali
mengalami dissaving karena memasuki usia nonproduktif.
Dalam analisisnya, teori ini menggunakan asumsi bahwa konsumen
bersikap rasional. Artinya, konsumen berusaha memaksimalkan kepuasan dari
14
aliran pendapatan yang diterimanya selama fase tertentu dengan batasan anggaran
(budget constraint). Sumber pendapatan menurut Ando-Brumberg dan Modligiani
dibedakan menjadi dua sumber pendapatan, yaitu tenaga kerja sebagai sumber
labour income, dan kekayaan sebagai sumber property income. Dari dua sumber
pendapatan tersebut, dapat dibuat suatu fungsi konsumsi dalam persamaan.
Ct = c YLt + c At
dimana, C adalah jumlah pengeluaran konsumsi; YL adalah labour income
atau pendapatan dari tenaga kerja; A adalah kekayaan bersih konsumen; c adalah
marginal propensity to consume; t adalah waktu.
Konsep ini memperkuat hasil penelitian Pemberton (1997) menemukan
ketidak pastian pendapatan pada masa depan sangat mempengaruhi pilihan
konsumsi. Temuan lain juga ditemukan Pemberton bahwa properties sangat
mempengaruhi pola konsumsi, terutama pada masyarakat miskin. Engel (1957)
dalam Boediono dan McCawley (1984), mengenai pengaruh penghasilan terhadap
konsumsi rumah tangga. Namun konsumsi rumah tangga juga dipengaruhi oleh
beberapa indikator seperti jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin,
domisili, asal usul dan agama dari anggota keluarga, jumlah aktiva lancar yang
dipegang dan harga dari barang-barang (asset). Hasil penelitian Engel di Belgia
temuannya bahwa penghasilan yang dikeluarkan untuk membeli makanan
berkurang dengan naiknya penghasilan. Penelitian empiris yaitu hubungan
fungsional, bukan antara penghasilan dengan konsumsi (makanan), tetapi juga
untuk barang-barang lain keperluan rumah tangga selain makanan.
Selanjutnya, memperkuat hasil penelitian Malucio et al. (1999)
mengatakan pengaruh modal sosial terhadap pengeluaran rumah tangga di Afrika
Selatan. Menggunakan data panel tahun 1993 dan 1998 untuk instrumen modal
sosial menggunakan beberapa variabel lag modal sosial tahun 1993, rata-rata
pendidikan, umur kepala rumah tangga di kuadratkan dengan jumlah total
kelompok dalam masyarakat. Hasil analisis dengan menggunakan metode OLS
(Ordinary Least Square) dari data tahun terpisah (1993 dan 1998) mereka
menemukan bahwa tahun 1993 modal sosial rumah tangga dan modal sosial
15
masyarakat tidak berpengaruh positif terhadap pengeluaran rumah tangga.
Sebaliknya tahun 1998 bahwa modal sosial rumah tangga meningkat 10 persen
dan masyarakat mampu meningkatkan pengeluaran rumah tangga sebesar 1,2
persen.
Pengeluaran untuk konsumsi barang bertujuan untuk menyediakan
kebutuhan rumah tangga saat ini, sedangkan pengeluaran untuk barang-barang
investasi bertujuan meningkatkan standar hidup untuk tahun-tahun mendatang.
Investasi adalah komponen pendapatan nasional yang mengkaitkan masa kini dan
masa depan. Pengeluaran investasi memainkan peranan penting tidak hanya pada
pertumbuhan jangka panjang namun juga siklus bisnis jangka pendek karena
investasi merupakan unsur pendapatan nasional yang paling sering berubah
(Mankiw, 2007).
2.2. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Konsumsi
Adanya anggapan bahwa pengeluaran konsumsi ditentukan oleh
pendapatan hanyalah bersifat untuk menyederhanakan analisis. Dalam
kenyataannya, pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh faktor yang bersifat
ekonomi, sosial, dan budaya. Faktor yang ikut menentukan besar kecilnya
pengeluaran konsumsi suatu masyarakat berikut.
1) Distribusi pendapatan nasional. Apabila besarnya MPC seluruh masyarakat
sama, maka bagaimanapun distribusi pendapatan tidak akan berpengaruh
terhadap fungsi konsumsi masyarakat tersebut. Dalam kenyataannya tidak ada
satu negarapun di dunia yang distribusi pendapatannya sama dan marata antar
penduduk. Biasanya penduduk yang berpendapatan tinggi MPC-nya lebih
rendah daripada penduduk yang berpendapatan rendah. Dengan demikian
kebijakan pemerintah yang bertujuan memeratakan distribusi pendapatan akan
mengakibatkan naiknya MPC masyarakat. Bentuk kurve pengaruh pendapatan
terhadap konsumsi, sebagaimana terlihat pada Gambar 2.4.
16
Gambar 2.4Kurve Pengaruh Pendapatan Terhadap Konsumsi
Sumber: Suparmono, 2004
Gambar 2.4 menjunjukkan C merupakan kurve konsumsi sebelum
adanya kebijakan distribusi pendapatan dan C’ adalah kurve konsumsi setelah
kebijakan distribusi pendapatan. Dengan tingkat pendapatan nasional sebesar
y pengeluaran konsumsi masyarakat sebelum kebijakan distribusi pendapatan
adalah Oc dan setelah kebijakan distribusi pendapatan adalah Oc’. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa untuk memerankan distribusi pendapatan,
dapat dicapai dengan menggunakan sistem pajak progresif.
2) Jumlah kekayaan masyarakat dalam bentuk alat likuid. Dengan asumsi tingkat
pendapatan sama, semakin banyak alat likuid yang ada dalam masyarakat,
maka semakin besar pengeluaran konsumsi masyarakat tersebut dibandingkan
dengan keadaan masyarakat yang memiliki alat likuid lebih sedikit.
3) Banyak barang konsumsi tahan lama. Kepemilikan barang-barang tahan lama
(consumers durables) akan mempengaruhi pengeluaran masyarakat untuk
konsumsi. Pengaruh kepemilikan barang tahan lama terhadap pengeluaran
konsumsi adalah mengurangi pengeluaran masyarakat, menambah
pengeluaran masyarakat, dan barang tahan lama biasanya harganya relatif
mahal.
4) Kebijakan finansial perusahaan.
17
5) Ramalan masyarakat akan perubahan harga di masa datang. Harapan konsumen
mengenai perubahan harga di masa akan datang sangat berpengaruh dalam
pola pengeluaran konsumsi. Apabila konsumen memperkirakan akan terjadi
kenaikan harga di masa yang akan datang, maka konsumen tersebut akan
meningkatkan permintannya atas barang dan jasa tersebut melebihi yang
dibutuhkan walaupun pendapatannya tetap. Sebaliknya apabila konsumen
memperkirakan akan terjadi penurunan harga di masa datang, maka konsumen
tersebut akan menunda untuk membeli barang dan jasa yang dibutuhkan.
2.3. Konsep Multiplier Effect
Keynes menunjukkan bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah
mendorong adanya kenaikan pendapatan yang lebih besar, yaitu ΔY lebih besar
dari ΔG. Multiplier effect pada pengeluaran pemerintah sebagai rasio antara
kenaikan pendapatan dengan kenaikan pengeluaran pemerintah. Keynes
mengatakan bahwa multiplier effect lebih tinggi pada saat masyarakat lebih
banyak mengkonsumsi. Besarnya angka multiplier effect menggambarkan
perbandingan jumlah pertambahan atau pengurangan pendapatan nasional dengan
jumlah pertambahan atau pengurangan pengeluaran agregat yang telah
menimbulkan perubahan pendapatan nasional (Mankiw, 2007; Samuelson, 2004;
Sukirno, 2008).
Proses ini berlangsung terus menerus hingga tidak terjadi kelebihan
pengeluaran agregat, keadaan ini menciptakan tingkat keseimbangan
perekonomian. Untuk mengetahui besarnya pertambahan pendapatan nasional
yang diakibatkan oleh pertambahan sejumlah pengeluaran tertentu. (Samuelson,
2004; Mankiw, 2007) model multiplier effect digunakan persamaan:
ΔY= (ΔC+ΔI+ΔG +ΔX)..................................................................... (2.4)
dimana, ΔY adalah pertambahan pendapatan nasional dari proses multiplier, MPC
(marginal propensity to consume) adalah kecenderungan konsumsi marjinal dan
ΔC, ΔI, ΔG, ΔX (tambahan konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan
tambahan ekspor). Angka multiplier effect (kc) konsumsi adalah perubahan
pendapatan terhadap perubahan konsumsi yang diproksikan dengan perubahan
18
autonomons consumption/konsumsi ketika pendapatan nol, yang besarnya dengan
formula (Samuelson, 2004; Mankiw, 2007; Sukirno, 2008):
kc = = .................................................................................(2.5)
Pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan konsumsi juga lebih tinggi.
Ketika pengeluaran meningkat maka ada tambahan pendapatan, itu juga
meningkatkan konsumsi, yang selanjutnya meningkatkan pendapatan kemudian
meningkatkan konsumsi, dan seterusnya. Mankiw dalam model ini kenaikan
pengeluaran menyebabkan kenaikan pendapatan yang lebih besar. Menurut
Arsyad (2010) adalah:
k = ..................................................................... (2.6)
dimana: k adalah kenaikan pendapatan dari suatu kegiatan ekonomi yang baru
didalam masyarakat, MPC1 adalah proporsi pendapatan daerah yang dibelanjakan
di daerah dan PSY adalah bagian dari pengeluaran daerah yang menghasilkan
pendapatan bagi daerah.
Pola Hubungan pengeluaran konsumsi dengan pendapatan atau fungsi
konsumsi Keynes, menunjukkan fungsi konsumsi dengan tiga alasan yang diduga
Keynes. Pertama, kecenderungan mengkonsumsi marjinal (MPC), c adalah antara
nol dan satu, ketika pendapatan naik menyebabkan konsumsi dan tabungan
meningkat. Dengan kata lain MPC sebagai perbandingan diantara pertambahan
konsumsi (ΔC) yang dilakukan dengan pertambahan pendapatan disposibel (ΔY).
Menurut Mankiw (2007) dan Sukirno (2008), dihitung dengan formula:
dY
CMPC
.................................................................................... (2.7)
Kedua, kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (Average Propensity to
Consume/APC) turun ketika pendapatan naik. Dengan kata lain APC sebagai
perbandingan di antara tingkat konsumsi (C) dengan tingkat pendapatan
disposebel (Yd). Menurut Mankiw (2007) dan Sukirno (2008), dihitung dengan
formula:
19
dYAPC
....................................................................................... (2.8)
Ketiga, konsumsi ditentukan oleh pendapatan sekarang (Mankiw, 2007 dan
Sukirno, 2008).
Menurut Keynes adalah fungsi konsumsi jangka pendek, digambarkan
sebagai garis lurus, C menunjukkan perpotongan garis vertikal dan b merupakan
kemiringan fungsi konsumsi. Bahwa fungsi konsumsi ini menunjukkan tiga alasan
Keynes, yaitu pertama, karena MPC, b adalah antara nol dan satu, sehingga
pendapatan tinggi menyebabkan konsumsi dan tabungan tinggi juga. Kedua, APC
meningkat ketika Y meningkat, dan turun dan Y turun. Ketiga, tingkat bunga
tidak dimasukkan dalam persamaan sebagai determinan konsumsi. Jadi fungsi
Konsumsi Keynes (Sukirno, 2008).
C = a + b Yd ...................................................................................... (2.9)
dimana, a adalah konstanta atau autonomous consumption (pengeluaran konsumsi
ketika pendapatan nol atau Yd=0). b adalah MPC (perbandingan atau rasio di
antara pertambahan konsumsi/ΔC dan pertambahan pendapatan disposebel/ΔY),
dan Yd adalah pendapatan dispossable atau pendapatan yang siap dikonsumsi.
2.6. Penelitian Sebelumnya
Isyani dan Hasmarini (2005) meneliti tentang konsumsi di Indonesia tahun
1989-2002 (Tinjauan terhadap hipotesis Keynes dan Post Keynes). Hasilnya
menunjukkan bahwa berdasarkan model PAM, elastisitas jangka panjang lebih
besar dari jangka pendek. Artinya elastisitas jangka panjang tidak dipengaruhi lagi
oleh pengeluaran konsumsi sebelumnya. Pendapatan Nasional berpengaruh
terhadap hutang luar negeri Indonesia. Suku bunga riil dan konsumsi sebelumnya
berpengaruh secara signifikan terhadap konsumsi di Indonesia.
Khairani (2009) meneliti tentang determinan konsumsi masyarakat di
Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan Pendapatan Nasional berpengaruh
positif dan signifikan terhadap konsumsi masyarakat di Indonesia dengan nilai
MPC sebesar 0,431. Inflasi mempunyai hubungan yang positif terhadap variabel
20
konsumsi masyarakat. Tingkat suku bunga deposito berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap konsumsi masyarakat di Indonesia. Sumbangan pengeluaran
konsumsi masyarakat terhadap PDB adalah yang terbesar dengan porsi sebesar
60%.
Mullen (1978) dalam penelitiannya terhadap keluarga petani di wilayah
New South Wales pada periode 1968/69 – 1975/76 dengan model partial
adjustement menemukan bahwa dalam jangka pendek (satu tahun) MPC keluarga
petani relative rendah, pada rentangan 0,13 – 0,16, sedangkan MPC jangka
panjang antara 0,19 – 0,25.
Chow (2011) dalam paper yang merupakan hasil penelitiannya dengan
judul “A Model for National Income Determination in Taiwan”, menemukan
model konsumsi jangka panjang di Taiwan dengan menggunakan data makro dari
1951 – 2010 adalah Ct = 24106,1 + 0,641 C t-1 + 0,275 Yt dengan R2 = 0.9992.
Hasil penelitian ini mendukung teori pendapatan permanen dari Friedman.
21
BAB III.
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Data Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Bali dengan memanfaatkan data
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Bali dari tahun 1985 sampai dengan
tahun 2013 menurut penggunaan yang dipublikasikan oleh Badan Statistik
Provinsi Bali dalam beberapa terbitan. Oleh karena data PDRB Provinsi Bali dari
tahun 1985 sampai dengan tahun 2013 dalam bentuk harga konstan yang
berbeda, yang atas harga konstan 1983, 1993, dan 2000, maka dalam penelitian
ini semuanya dikonversikan menjadi harga konstan tahun 2000.
3.2. Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan diperkirakan memakan waktu selama 4
(enam) bulan, yaitu dari bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2014. Tahapan
penelitian mulai dari pengumpulan data utama dan pendukung, sampai dengan
penyusunan laporan akhir.
3.3. Teknik Analisis Data
Untuk membuat model konsumsi jangka panjang Provinsi Bali selama
periode waktu tahun 1985 – 2013 digunakan model regresi berganda. Sesuai
dengan tujuan penelitian, dalam penelitian ini akan dibuat model regresi, yaitu
Adaptive Expectation Model (AEM). Oleh karena data yang digunakan merupakan
data runtut waktu yang cukup panjang, yaitu dari tahun 1985 sampai dengan
2013 atau selama 29 tahun, maka dalam penelitian ini sebelum data dianalisis
regresi dilakukan analisis validitas data runtut waktu, yaitu berupa analisis
kstasioneran dan kointegrasi.
1) Adaptive Expectation Model (AEM)
Untuk menyelesaikan tujuan penelitian pertama, yaitu memperoleh model
konsumsi jangka panjang dalam penelitian ini digunakan model harapan adaptif.
Model harapan adaptif atau Adaptive Expectation Model dikembangkan oleh
22
Cagan dan Friedman (Gujarati, 2010). Model ini dibuat berangkat dari hipotesis
perilaku (behavioral hypotesis) bahwa nilai dari Y pada suatu periode t tidak
tergantung dari nilai aktual dari X pada periode t, tetapi terhadap nilai harapan
”harapan” atau nilai ”permanen” dari X pada periode t, yang dinotasikan dengan
Xt*, yang dapat dipostulasikan dalam model sebagai berikut:
Yt = βo + β1 X*t + μt ……………………………………….….(3.1)
Dimana:Y = konsumsiX* = harapan pendapatan dalam jangka panjangμ = error term
Persamaan (3.1) mempostulasikan bahwa konsumsi adalah fungsi daripada
pendapatan (expected income). Karena variabel harapan X tidak terobservasi
secara langsung, maka dibuat hipotesis bagaimana ekspektasi atau harapan
dibentuk, yaitu:
X*t - X*
t-1 = γX*t - X*
t-1 ..............................................................(3.2)
dimana γ sedemikian rupa 0 < γ < 1 disebut coefficient of expectation.
Hipotesis (3.2) dikenal dengan sebutan adaptive expectation hypothesis,
progressive expectation hypothesis, atau error learning hypothesis, yang
dipopulerkan oleh Cagan dan Friedman. Persamaan (3.2) mengandung implikasi
bahwa masyarakat akan menyesuaikan ekspektasi mereka dalam konsumsinya
dengan pengalaman konsumsi masa lain dan mereka akan belajar dari
kesalahannya. Lebih spesifik, persamaan (3.2) menyatakan bahwa ekspektasi
pendapatan direvisi setiap periode oleh nilai sebesar γ, yang merupakan gap antara
nilai variabel masa kini dengan nilai ekspektasi masa lalu. Cara lain untuk
menuliskan persamaan (3.2) adalah sebagai berikut:
X*t = γX*
t + (1 – γ) X*t-1 …………………………………..…..(3.3)
X*t menunjukkan bahwa nilai ekspektasi pendapatan pada periode t adalah
rata-rata tertimbang daripada nilai aktual pendapatan pada tahun t dan nilai
ekspektasinya pada periode sebelumnya, dengan timbangan masing-masing y dan
23
(1-y). Apabila y=1, maka X*t = Xt, berarti ekspektasi pcndapatan terealisasi
secepatnya dan sepenuhnya, yaitu pada periode yang sama. Tetapi, apabila y=0,
maka X*t=Xt-i, berarti bahwa ekaspektasi pendapatan adalah statis, yaitu kondisi
yang terjadi saat kini akan dipertahankan pada periode berikutnya. Nilai
ekspektasi yang akan datang teridentifikasi dengan nilai saat kini. Dengan
mensubstitusi persamaan (3.3) ke persamaan (3.1), diperoleh:
Yt = βo + β1 [γX*t + (1 – γ) X*
t-1 ] + μt
Yt = βo + β1 γX*t + β1 (1 – γ) X*
t-1 + μt ………………………(3.4)
dengan melag-kan persamaan (3.1) satu perode dan mengalikannya dengan
(1-y), kemudian mengurangkannya dari persamaan (3.4) akan diperoleh:
Yt = γβo + γβ1Xt + (1 – γ) Yt-1 + μt - (1 – γ) μt-1
Yt = γβo + γβ1Xt + (1 – γ) Yt-1 + υt ..............................................(3.5)
Dimana υt = μt - (1 – γ) μt-1
Persamaan (3.5) berbeda dengan persamaan (3.1) dalam hal pada
persamaan (3.1) mengukur rata-rata reaksi konsumsi (Y) terhadap satu unit
perubahan dalam X*, atan nilai jangka panjang X. Pada persamaan (3.5), γβ1
mengukur rata-rata respon Y terhadap satu unit perubahan dalam nilai actual X.
Respon ini tidak akan sama, kecuali γ = 1, yaitu nilai X saat kini dan nilai jangka
panjang X adalah sama.
2) Analisis Validitas Data Runtut Waktu
Analisis ini bertujuan untuk memvalidasi data yang digunakan, dan
dilakukan sebelum analisis regresi. Data runtun waktu yang cukup panjang
umumnya memiliki kecendrungan menaik (trend), sehingga tidak stasioner.
Apabila dua atau lebih data runtun waktu yang yang memiliki trend diregresikan,
kemungkinan akan terjadi kointegrasi atau dapat menghasilkan hubungan yang
semu (spurious regression). Oleh karena itu data runtun waktu apabila digunakan
untuk peramalan jangka panjang, maka perlu dianalisis keseimbangannya jangka
panjang melalui uji kestasioneran dan kointegrasi (cointegration test).
24
a) Uji Kestasioneran Data
Data bersifat stasioner adalah data dengan perilaku data yang memiliki
varians yang tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati
nilai rata-ratanya. Beberapa cara menguji kestasioneran data diantaranya adalah
dengan: 1) metode grafik, 2) correlogram, dan 3) dengan metode akar unit (unit
root test).
Dengan Correlogram dan Autocorrelation Function (ACF), melihat
kestasioneran data runtun waktu dapat dilakukan dengan melihat nilai
autocorrelation (AC). Untuk proses yang white noise, maka nilai autocorrelation
pada berbagai lag akan mempunyai nilai yang mendekati nol. Pengujian dilakukan
dengan joint hypothesis bahwa semua koefisien autokorelasi sampai lag tertentu
secara simultan sama dengan nol. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan Q
statistik yang dikembangkan oleh Box dan Pierce yang didefinisikan sebagai
berikut:
m
kknQ
1
2 …………………………………………………(3.7)
Dimana n = sample size dan m = panjang lag. Q statistik sering digunakan
untuk menguji apakah data time seri dalam kondisi white noise atau tidak. Dengan
menggunakan sample besar, distribusi Q statistik mendekati distribusi chi-square
dengan degree of freedom sebesar m. Varian dari Box-Pierce Q statistik
diperbaiki oleh Ljung-Box yang dikenal dengan (LB) statistic yang didefinsikan:
mm
k
k
knnnLB 2
1
2
)2(
……......…………....…..(3.8)
Nilai Q dan LB statistic pada sample besar mengikuti distribusi Chi-square
dengan derajat bebas m, tetapi LB statistic lebih baik dari pada Q statistic untuk
sample kecil.
Konsep terkini yang banyak dipakai untuk menguji kestasioneran data
runtun waktu adalah uji akar unit (unit root test) atau dikenal juga dengan uji
Augmented Dickey Fuller (ADF). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa data
bersifat stasioner adalah data dengan perilaku yang memiliki varians yang tidak
25
terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya.
Dalam hal ini persamaan yang digunakan adalah:
(Yt - Yt-1) = ρ Yt -1 - Yt-1 + μt ……………………………………..(3.9)
= (ρ – 1) Yt-1 + μt
Atau dapat ditulis:
Δ Yt = δYt-1 + μt ………………………………….......(3.10)
Dimana: δ = (ρ – 1)dan Δ adalah first difference
Teknik pengujian adalah dengan membuat regresi antara ΔYt (first
different) dan Yt-1 sehingga akan didapat koefisien regresinya, yaitu δ. Regresi
metode yang sama secara parsial juga akan dilakukan terhadap semua variabel
independen yang digunakan. Jika tidak signifikan berarti, maka data tidak
stationer.
b) Uji Kointegrasi
Beberapa metode lain yang dapat digunakan untuk menguji kointegrasi
yaitu: 1) metode Engel dan Granger, 2) uji Cointegrating Regression Durbin
Watson (CRDW), dan 3) uji Johansen. Metode terkini yang banyak digunakan
adalah uji Johansen.
(1) Uji Kointegrasi dengan metode Engel dan Granger (EG)
Seperti halnya uji kointegrasi dengan metode uji akar unit (unit root test)
atau metode Augmented Dickey Fuller (ADF), langkah awal dari metode
Engel dan Granger (EG) juga membuat regresi pasangan variabel yang
akan diuji seperti persamaan (3.10) untuk mendapatkan resusidualnya.
Selanjutnya residual tersebut diuji dengan metode Dickey-Fuller (DF) dan
Augmented Dickey-Fuller (ADF), yang dapat dirumuskan:
Δ et = β1 et-1 ..............................................................................(3.11)
Δ et = β2 et-1 +
p
iti e
2)11( .......................................................(3.12)
Nilai β1 dan β2 menunjukkan nilai statistic DF dan ADF, yang selanjutnya
dibandingkan dengan nilai kritisnya. Apabila nilai DF dan ADF lebih
besar dari nilai kritisnya, berarti data yang dianalisis berkointegrasi.
26
(2) Uji Kointegrasi dengan metode CRDW
Untuk mengetahui suatu pasangan variabel berkointegrasi ataukah tidak
juga dapat dilakukan dengan menggunakan Cointegrating Regression
Durbin Watson (CRDW). Dalam hal ini pengunjian dilakukan dengan
menggunakan d statistik yang muncul dari hasil perhitungan uji kelayakan
model. Namun dalam pengujian ini hipotesis nol yang diuji adalah d = 0,
tidak Ho = 2 seperti dalam pengujian autokorelasi. Nilai kritis yang
dipakai dikembangkan oleh Sargan dan Bhargava. Jika nilai d hitung lebih
besar dari nilai kritisnya, berarti bahwa pasangan data yang diuji
berkointegrasi.
3) Uji Kointegrasi dengan metode Johansen
Uji kointegrasi dengan metode Johansen sangat banyak digunakan pada
berbagai penelitian. Metode ini menerapkan model autoregresif dengan
order p. Ada tidaknya kointegrasi didasarkan pada uji likelihood ratio
(LR). Jika nilai hitung LR lebih besar dari nilai kritis LR, maka pasangan
data yang dianalisis berkointegrasi, jika lebih kecil tidak berkointegrasi.
Sebagai catatan dalam penelitian ini uji kointegrasi hanya digunakan
metode Engel dan Granger (EG).
27
BAB IV
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Orbitasi
Provinsi Bali merupakan salah satu dari 33 provinsi di Indonesia yang
memiliki luas wilayah sebesar 5.636,66 km2 atau 0,29 persen dari luas wilayah
Indonesia. Provinsi Bali terdiri dari satu pulau utama, yaitu Pulau Bali dan
beberapa pulau kecil lainnya, seperti Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan,
Pulau Nusa Lembongan, Pulau Serangan dan Pulau Menjangan. Berdasarkan hasil
Sensus Penduduk tahun 2010, penduduk Bali tercacat sebanyak 3.890.757 jiwa
dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 690 jiwa/km2 dan laju pertumbuhan
penduduk jika dibandingkan hasil Sensus Penduduk tahun 2000 mencapai rata-
rata 2,15 persen per tahun.
Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi 8 kabupaten, 1 kota, 57
kecamatan, 716 desa/kelurahan, 1.453 desa pekraman, dan 4.295
dusun/lingkungan. Luas wilayah jika terbagi menurut kabupaten/kota, maka
Kabupaten Buleleng memiliki luas terbesar yaitu 1.365,88 km2, dan terkecil
adalah Kota Denpasar dengan luas wilayah sebesar 127,78 km2, seperti yang
disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1.Luas Wilayah Menurut Kabupaten/Kota, Jumlah Kecamatan, Jumlah
Desa/Kelurahan Di Provinsi Bali, Tahun 2013
No Kabupaten/KotaLuas Wilayah
(km2)Jumlah
KecamatanJumlah Desa
1 Jembrana 841,80 5 512 Tabanan 839,33 10 1333 Badung 418,52 6 624 Gianyar 368,00 7 705 Klungkung 315,00 4 596 Bangli 520,81 4 727 Karangasem 839,54 8 788 Buleleng 1.365,88 9 1489 Denpasar 127,78 4 43
Jumlah 5.636,66 57 716
Sumber: BPS Provinsi Bali, tahun 2013
28
4.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan
Sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Bali
tahun 2010 sebanyak 3.890.757 jiwa, yang terdiri dari 1.961.384 jiwa laki-laki
dan 1.929.409 jiwa wanita, dengan sex ratio sebesar 102 persen.
Tabel 4.2Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Sex Ratio Dan Kepadatan
Penduduk Per Kabupaten/Kota Di Provinsi Bali Tahun 2010
Penduduk tahun 2010 (jiwa)No Kabupaten LuasWilayah
(km2) Laki-laki PerempuanLaki-Laki+Perempuan
SexRatio
Kepadatan(jiwa/km2)
1 Jembrana 841,80 130.062 131.576 261.638 99 3112 Tabanan 839,33 209.308 211.605 420.913 99 5013 Badung 418,52 277.536 265.796 543.332 104 1.2984 Gianyar 368,00 237.493 232.284 469.777 102 1.2775 Klungkung 315,00 84.503 86.040 170.543 98 5416 Bangli 520,81 109.109 106.244 215.353 103 4137 Karangasem 839,54 198.650 197.837 396.487 100 4728 Buleleng 1.365,88 311.394 312.731 624.125 100 4579 Denpasar 127,78 403.293 385.296 788.589 105 6.171
Jumlah 5.636,66 1.961.348 1.929.409 3.890.757 102 690
Sumber: BPS Provinsi Bali, tahun 2011
Dari sembilan kabupaten/kota di Provinsi Bali, penduduk terpadat tahun
2010 adalah Kota Denpasar, yaitu sebanyak 6.171 jiwa per km2, kemudian
disusul oleh Kabupaten Badung sebanyak 1.298 jiwa per km2, Kabupaten
Gianyar 1.277 928 jiwa per km2. Penduduk terjarang adalah Kabupaten Jembrana
dengan kepadatan sebanyak 311 jiwa per km2.
Laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Bali menurut hasil Sensus
Penduduk tahun 2010 mencapai angka rata-rata 2,15 persen per tahun dari tahun
2000, yang mana jumlah Penduduk Bali pada Sensus tahun 2000 adalah sebanyak
3.146.999 jiwa, seperti yang disajikan pada Tabel 4.3. Angka ini melebihi dari
laju pertumbuhan penduduk secara nasional, yang hanya 1,49 persen dalam kurun
waktu yang sama.
Pertambahan penduduk itu berasal dari kelahiran alamiah dan perpindahan
penduduk dari luar Bali, dengan rincian yang disebabkan oleh kelahiran alamiah
29
sebesar 1,1 persen dan yang diakibatkan oleh migrasi sosial sebesar 1,05 persen.
Angka ini memiliki arti bahwa kontribusi pertumbuhan penduduk yang berasal
dari migrasi sosial hampir seimbang dengan kelahiran alamiah. Banyaknya
pendatang (migrasi) dari berbagai daerah yang mencoba mengadu nasib di Bali,
karena Bali sebagai daerah pariwisata dinilai menjanjikan peluang dan harapan
dalam meningkatkan kesejahteraan.
Tabel 4.3Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Provinsi Bali
Menurut Kabupaten/Kota, Tahun 2000 – 2010
Jumlah PendudukNo. Kabupaten/Kota2000 2010
Pertumbuhan(%)
1. Jembrana 231.806 261.618 1,22
2. Tabanan 376.030 420.370 1,12
3. Badung 345.863 543.681 4,63
4. Gianyar 393.155 470.380 1,81
5. Klungkung 155.262 170.559 0,94
6. Bangli 193.776 215.404 1,06
7. Karangasem 360.486 396.892 0,97
8. Buleleng 558.181 624.079 1,12
9. Denpasar 532.440 788.445 4,00
BALI 3.146.999 3.891.428 2,15
Sumber: Hasil Sensus Penduduk 2010, BPS Provinsi Bali, 2011
Program menekan pertumbuhan penduduk secara alamiah di Provinsi Bali
tergolong berhasil, hanya satu persen, namun pertumbuhan penduduk pendatang
agak sulit diatasi, karena keberhasilan pembangunan ekonomi daerah. Denpasar
sebagai ibukota Provinsi Bali dan Kabupaten Badung sebagai pusat
kepariwisataan di Pulau Dewata masing-masing mengalami pertumbuhan
penduduk 4,63 persen dan 4,0 persen setiap tahunnya. Tujuh kabupaten lainnya
meliputi Kabupaten Buleleng, Tabanan, Jembrana, Bangli, Gianyar, Klungkung
dan Kabupaten Karangasem berkisar antara satu hingga 1,4 persen. Kabupaten
yang memiliki pertumbuhan penduduk paling rendah adalah Kabupaten
Karangasem dan Kabupaten Klungkung, memiliki potensi ekonominya kurang
begitu menarik bagi para pendatang.
30
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dijelaskan bahwa total penduduk Bali yang
berumur 15 tahun ke atas selama empat tahun terakhir (2007-2010) cenderung
meningkat, yaitu pada tahun 2007 sebanyak 2.661.913 jiwa, dan pada tahun 2010
sebanyak 2.748.117 jiwa, atau selama empat tahun meningkat sebanyak 115.156
jiwa, atau setiap tahun meningkat sebanyak 28.789 jiwa.
Tabel 4.4Profil Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kegiatan
di Provinsi Bali, 2007-2010
Jenis Kegiatan 2007 2008 2009 2010*
Angkatan Kerja (orang) 2.059.711 2.099.278 2.123.588 2.116.972
Bekerja (orang) 1.982.134 2.029.730 2.057.118 2.041.337
Pengangguran (orang) 77.577 69.548 66.470 75.635
Sekolah (orang) 185.590 160.679 187.161 192.158
Mengurus Rumah Tangga (orang) 311.996 335.419 319.205 333.115
Lainnya (orang) 104.616 100.760 98.793 105.872
Bukan Angkatan Kerja (orang) 602.202 596.858 605.159 631.145
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja(TPAK =%)
77,38 77,86 77,82 77,03
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT=%)
3,77 3.31 3,13 3,06
Total Penduduk Berumur 15 tahun ke atas(orang)
2.661.913 2.696.136 2.728.747 2.748.117
Sumber: BPS Provinsi Bali, 2011 (Sakernas 2007-2010)Catatan: *Data tercatat pada Agustus tahun 2010
Total penduduk berumur 15 tahun ke atas terdiri atas angkatan kerja dan
bukan angkatan kerja, dengan proporsi pada tahun 2007 yaitu 77 persen: 23
persen, dan tahun 2010 yaitu 77 persen: 23 persen. Jadi proporsinya relatif tetap
selama empat tahun terakhir. Angkatan kerja di Provinsi Bali selama empat tahun
terakhir (2007-1010) berdasarkan Sarkenas, cenderung meningkat, yaitu pada
tahun 2007 sebanyak 2.059.711 jiwa, dan pada tahun 2010 sebanyak 2.116.972
jiwa, atau selama empat tahun terakhir meningkat sebanyak 59.203 jiwa, atau
setiap tahun meningkat sebanyak 14.801 jiwa. Bukan angkatan kerja di Provinsi
Bali selama empat tahun terakhir (2007-2011) meningkat sedikit, yaitu pada tahun
2007 sebanyak 602.202 jiwa, dan pada tahun 2010 sebanyak 631.145 jiwa, atau
31
selama empat tahun meningkat sebanyak 28,943 jiwa, atau setiap tahun menigkat
sebanyak 7.236 jiwa (Tabel 4.4)(BPS Provinsi Bali, 2011: Sakernas 2007-2010).
Angkatan kerja terdiri atas bekerja dan pengangguran, pada tahun 2007
proporsinya yaitu 96 persen : 4 persen, dan pada tahun 2010 proporsinya relatif
tidak berubah yaitu tetap 96 persen : 4 persen. Penduduk bekerja di Provinsi Bali
selama empat tahun terakhir (2007-2010) cenderung meningkat, yaitu pada tahun
2007 sebanyak 1.982.134 jiwa, dan pada tahun 2011 sebanyak 2.041.337 jiwa,
atau selama empat tahun menigkat sebanyak 59.203 jiwa, atau setiap tahun
meningkat sebanyak 14.801 jiwa. Pengangguran di Provinsi Bali selama empat
tahun terakhir (2007-2011) cenderung turun, pada tahun 2007 sebanyak 77.577
jiwa, dan pada tahun 2010 sebanyak 75.635 jiwa, atau selama empat tahun
menurun sebanyak 1.942 jiwa, atau setiap tahun menurun sebanyak 4.855 jiwa.
Hal ini menunjukkan bahwa lapangan kerja di Provinsi Bali semakin berkembang
terutama di sektor jasa pariwisata dan sektor informal. Sektor jasa pariwisata
kembali menggeliat pasca bom Bali II tahun 2005, yang diiringi dengan
perkembangan sektor informal untuk melayani para pekerja di sekor pariwisata.
Bukan angkatan kerja yang terdiri atas: (1) sekolah, (2) mengurus rumah
tangga, dan (3) lainnya, pada tahun 2007 proporsinya yaitu 31 persen : 52 persen :
17 persen, dan pada tahun 2010 proporsinya menjadi 30 persen : 53 persen : 17
persen. Jadi selama empat tahun ada pergeseran sebesar 1 persen dari usia sekolah
menjadi mengurus rumah tangga. Artinya pertumbuhan penduduk yang mengurus
rumah tangga lebih tinggi dari pada pertumbuhan penduduk usia sekolah,
sehingga akhirnya dalam persentase terhadap total penduduk mengurus
rumahtangga lebih besar 1 persen daripada penduduk usia sekolah. Padahal secara
riil, kedua jenis penduduk ini selama empat tahun terakhir sama-sama mengalami
peningkatan.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) adalah rasio antara Angkatan
Kerja dan Total penduduk berumur 15 tahun ke atas, pada tahun 2007 sebesar
77,38 persen, dan pada tahun 2010 sebesar 77,03, atau selama empat tahun tidak
mengalami perubahan yang signifikan. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
adalah rasio antara pengangguran dan angkatan kerja, pada tahun 2007 sebesar
32
3,77, dan pada tahun 2010 sebesar 3,06. Jadi selama empat tahun terakhir, TPT
menurun sebesar 0,71 persen, yang disebabkan oleh penduduk menganggur yang
menurun, walau angkatan kerja meningkat.
Berdasarkan uraian sebelumnya, selama empat tahun terakhir (2007-2010),
angkatan kerja, bukan angkatan kerja, dan penduduk bekerja secara riil cenderung
meningkat paralel dengan peningkatan total penduduk Bali dan penduduk usia
kerja (15 tahun ke atas). Sedangkan, pengangguran cenderung menurun. Hal ini
disebabkan oleh peningkatan penduduk usia kerja ditampung oleh perkembangan
sektor jasa pariwisata dan sektor informal.
Penduduk yang bekerja dapat dikelompokkan berdasarkan status pekerjaan
utama. Dari sebanyak 1.982.134 jiwa bekerja pada tahun 2007, sebanyak 639.778
jiwa (32,28 persen) berstatus ‘buruh/karyawan/pegawai’, sebanyak 412.294 jiwa
(20,80 persen) berstatus ‘berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar’,
sebanyak 365.246 jiwa (18,43 persen) berstatus ‘pekerja keluarga/tak dibayar’,
sebanyak 354,175 jiwa (17,87 persen) berstatus ‘berusaha sendiri’, dan tersedikit
55.857 jiwa (2,82 persen) berstatus ‘berusaha dibantu buruh tetap’. Dari sebanyak
2.041.337 jiwa bekerja pada tahun 2010, sebanyak 639.322 jiwa (31,32 persen)
berstatus ‘buruh/karyawan/pegawai’, sebanyak 434.947 jiwa (21,31 persen)
berstatus ‘berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar’, sebanyak
421.004 jiwa (20,62 persen) berstatus ‘pekerja keluarga/tak dibayar’, sebanyak
326.937 jiwa (16,02 persen) berstatus ‘berusaha sendiri’, dan tersedikit 37.543
jiwa (1,84 persen) berstatus ‘pekerja bebas di pertanian.
Selama kurun waktu empat tahun, terjadi pergeseran status pekerjaan yang
signifikan, yaitu penduduk bekerja berstatus ‘berusaha sendiri’ menurun dari
354.175 jiwa (17,87 persen) pada tahun 2007 menjadi 326.937 jiwa (16,02
persen) pada tahun 2010, atau setiap tahun menurun sebanyak 6.810 jiwa.
Penduduk bekerja berstatus ‘berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak
dibayar’ meningkat dari sebanyak 412.294 jiwa (20,80 persen) pada tahun 2007
menjadi 434.947 (21,31 persen) pada tahun 2010, atau setiap tahun meningkat
sebanyak 5.663 jiwa. Penduduk bekerja berstatus ‘pekerja bebas di pertanian’
menurun dari 62.670 jiwa (3,16 persen) pada tahun 2007 menjadi 37.543 jiwa
33
(1,84 persen) pada tahun 2010, atau setiap tahun menurun sebanyak 6.282 jiwa.
Penduduk bekerja berstatus ‘pekerja bebas di non pertanian’ meningkat dari
92.114 jiwa (4,65 persen) pada tahun 2007 menjadi 126.693 jiwa (6,21 persen),
atau setiap tahun meningkat sebanyak 8.645 jiwa. Penduduk yang bekerja
berstatus ‘pekerja keluarga/tidak dibayar’ meningkat dari 365.246 jiwa (18,43
persen) pada tahun 2007 menjadi 421.004 jiwa (20,62 persen) pada tahun 2010,
atau setiap tahun meningkat sebanyak 13.940 jiwa.
Jadi secara umum proporsi penduduk bekerja berdasarkan status pekerjaan
utama mengalami pergeseran. Penurunan penduduk bekerja berstatus ‘berusaha
sendiri’, ‘berusaha dibantu buruh tetap’, ‘buruh/karyawan/pegawai’, dan ‘pekerja
bebas di pertanian’, diikuti oleh peningkatan penduduk bekerja berstatus
‘berusaha dibantu buruh tidak tetap/ buruh tidak dibayar’, ‘pekerja bebas di non
pertanian’, dan ‘pekerja keluarga/ tidak dibayar’. Status pekerjaan yang bersifat
mandiri semakin menurun, sedangkan usaha-usaha yang bersifat menyerap tenaga
kerja semakin meningkat. Ini mengindikasikan bahwa usaha-usaha mikro, kecil
dan menengah (UMKM) di Provinsi Bali semakin berkembang yang
membutuhkan tambahan tenaga kerja dari orang luar keluarga.
Penduduk yang bekerja dapat pula dikelompokkan berdasarkan status
pekerjaan formal dan informal seperti disajikan pada Tabel 4.3. Penduduk di
Provinsi Bali yang bekerja sebanyak 1.982.134 jiwa pada tahun 2007, sebanyak
695.635 jiwa (35,10 persen) bekerja di sektor formal dan sebanyak 1.254.204 jiwa
(65,61 persen) bekerja pada sektor informal. Sedangkan penduduk di Provinsi
Bali yang bekerja sebanyak 2.041.337 jiwa pada tahun 2010, sebanyak 694.213
jiwa (34,01 persen) bekerja di sektor formal dan sebanyak 1.347.124 jiwa (65,99
persen) bekerja pada sektor informal (BPS Provinsi Bali, 2011: Sakernas 2007-
2010).
Perkembangan penduduk bekerja berdasarkan status formal dan informal,
selama empat tahun terakhir (2007-2010) secara riil baik yang bekerja pada
sektor formal maupun sektor informal mengalami peningkatan. Akan tetapi
secara persentase penduduk yang bekerja pada sektor formal mengalami
penurunan sedikit, yang dikompensasi oleh peningkatan penduduk bekerja pada
34
sektor informal. Ini mengindikasikan bahwa semakin banyak penduduk yang
masuk menjadi angkatan kerja bekerja di sektor formal atau bekerja sendiri tanpa
menggantungkan mata pencahariannya pada jiwa atau lembaga lain, dan sering
sektor ini mempekerjakan beberapa pekerja luar keluarga. Jadi di Provinsi Bali
semakin berkembang sektor mikro dan kecil yang bersifat informal, yang
mempekerjakan orang lain yang berasal dari luar keluarga.
4.3. Struktur Ekonomi
Struktur perekonomian suatu region merupakan gambaran dari komposisi
seluruh kegiatan produksi barang dan jasa yang dilakukan di wilayah tersebut,
sehingga adanya perubahan struktur produksi akan menyebabkan pergeseran
struktur ekonomi di wilayah yang bersangkutan. Salah satu indikator yang sering
digunakan untuk mengamati perubahan struktur ekonomi suatu daerah adalah
distribusi persentase nilai tambah bruto sektoral, yang juga dapat digunakan untuk
mengamati keunggulan (potensi) daerah.
Adanya pertumbuhan ekonomi yang cepat cenderung mempercepat
perubahan struktur ekonomi seperti yang dikemukakan oleh Chenery (1975) dan
Tambunan (2003). Pertama-tama pergeseran tersebut dapat dilihat dari pergeseran
makro ekonomi, seperti perubahan permintaan, perdagangan, dan penggunaan
faktor-faktor produksi. Selanjutnya dapat dilihat dari perubahan ekonomi
sektoral, yaitu pergeseran ekonomi dan tenaga kerja dari sektor pertanian ke
sektor industri dan jasa. Percepatan perubahan struktur ekonomi tersebut
merupakan salah satu syarat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi maju (modern
economic growth) seperti yang dikemukakan oleh Kuznet dalam Todaro (2006).
Dengan pesatnya laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali yang salah
satunya disebabkan karena perkembangan sektor pariwisata menyebabkan struktur
ekonomi Bali juga mengalami transformasi dari pertanian ke jasa. seperti yang
disajikan pada Gambar 4.1.
Pada tahun 1985 kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Bali sebesar
39,8 persen, meskipun mengalami fluktuasi, kontribusinya cenderung menurun,
sehingga pada tahun 2013 menjadi 16,8 persen. Di pihak lain, sektor jasa yang
35
didominasi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran kontribusinya cenderung
meningkat, yaitu dari 48,2 persen pada tahun 1985 menjadi 66,7 persen pada
tahun 2012. Antara sektor pertanian dengan sektor jasa sering terjadi “trade off”.
Sektor jasa yang didominasi oleh sektor pariwisata sering mengalami gangguan,
baik yang berasal dari dalam negeri, maupun dari luar negeri, yang disebabkan
oleh faktor ekonomi maupun non ekonomi. Meningkatnya harga minyak mentah
dunia pada awal tahun delapanpuluhan, menyebabkan wisatawan yang berkunjung
ke Indonesia menurun. Demikian juga dengan tragedi bom Kuta I dan II,
kunjungan wisatawan juga mengalami penurunan. Adanya kelesuan pada sektor
jasa menyebabkan tenaga kerja beralih ke sektor pertanian, sehingga
kontribusinya terhadap PDRB meningkat, dan sebaliknya kontribusi sektor jasa
menurun.
Gambar 4.1Struktur Ekonomi Provinsi Bali, Tahun 1985 – 2013
-
10
20
30
40
50
60
70
80
1985 1990 1995 2000 2005 2010 2013
Pers
en
Pertanian Industri Jasa
Sumber: BPS Provinsi Bali, 1986 – 2014 (diolah)
Sektor industri di Provinsi Bali yang didominasi oleh industri kecil
kontribusinya terhadap perekonomian relatif kecil, yaitu dari 11,9 persen pada
36
tahun 1985 menjadi 16,2 persen pada tahun 2010. Sektor industri di Provinsi Bali
sulit dikembangkan karena luas wilayah yang relatif sempit, yaitu 0,29 persen
dari luas wilayah Indonesia, sehingga kurang memungkinkan dikembangkan
industri berskala besar. Industri kecil dan kerajinan rumah tangga yang ada,
sebagian besar menghasilkan produk kerajinan yang menunjang sektor pariwisata.
4.5. Struktur Tenaga Kerja
Sebagai akibat dari pesatnya pertumbuhan ekonomi, struktur tenaga kerja
di Provinsi Bali juga mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi pada struktur
tenaga kerja tidak hanya terbatas pada perubahan komposisi tenaga kerja menurut
lapangan usaha. Struktur tenaga kerja dilihat dari lapangan usaha, dalam
penelitian ini dibedakan menjadi tiga sektor besar, yaitu pertanian, industri, dan
jasa, seperti yang ditampilkan pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2Struktur Tenaga Kerja di Provinsi Bali, Tahun 1985 – 2010
-
10
20
30
40
50
60
1985 1990 1995 2000 2010
Pers
en
Pertanian Industri Jasa
Sumber : BPS Provinsi Bali, 1986 – 2011 (diolah)
Dengan menggunakan data Sensus Penduduk (SP) dan menurut Survey
Penduduk Antar Sensus Nasional (Supas) dapat dijelaskan bahwa proporsi tenaga
kerja yang terserap pada sektor pertanian pada tahun 1985 adalah sebanyak 48,15
37
persen, namun persentase ini sedikit demi sedikit mengalami penurunan, dan
menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menjadi 30,87 persen. Sektor jasa
pada tahun 1985 menyerap 32,01 persen, sedangkan pada tahun 2010 meningkat
menjadi 48,06 persen. Berbeda dengan transformasi struktur ekonomi telah terjadi
pada akhir tahun 1970-an, namun transformasi tenaga kerja terjadi pada pertengah
tahun 1990-an, sekitar tahun 1996.
Sama halnya dengan struktur ekonomi, dari segi penyerapan tenaga kerja,
sektor industri di Provinsi Bali tidak banyak mengalami perubahan struktur. Hal
ini disebabkan karena luas wilayah yang sempit, di Bali tidak memungkinkan
mengembangkan industri berskala besar, sehingga struktur tenaga kerja hanya
berubah dari 19,84 persen pada tahun 1985, menjadi 21,06 persen pada tahun
2010.
38
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga di Provinsi Bali
Seperti telah dipaparkan pada latar belakang, bahwa konsumsi rumah
tangga memiliki peranan penting dalam analisis perekonomian secara makro.
Konsumsi rumah tangga dipercaya menjadi salah satu penyelamat perekonomian
Indonesia khususnya Bali pada saat krisis global melanda. Secara lebih khusus,
konsumsi rumah tangga terdiri dari pengeluaran untuk makanan dan untuk bahan
makanan.
Komponen pengeluaran rumah tangga di Provinsi Bali menurut kelompok
bahan makanan pada tahun 2013 berdasarkan Susrvey Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1Proporsi Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Penduduk Menurut Sub Kelompok
Makanan dan Klasifikasi Daerah, Provinsi Bali, Tahun 2013
No Jenis KomoditasPerkotaan
(%)Perdesaan
(%)Bali(%)
1 Padi-padian 12.86 22.01 15.922 Ubi-umbian 0.48 0.81 0.593 Ikan dan sejenisnya 4.68 4.88 4.754 Daging 5.54 5.89 5.665 Telur dan susu 6.26 4.69 5.736 Sayur-sayunan 6.97 9.48 7.817 Kacang-kacangan 2.18 2.36 2.248 Buah-buahan 4.42 4.89 4.589 Minyak dan lemak 2.20 3.36 2.5910 Bahan minuman 2.37 3.60 2.7811 Bumbu-bumbuan 1.38 1.75 1.5112 Konsumsi lainnya 1.36 1.50 1.4113 Makanan dan minuman jadi 41.18 24.82 35.714 Tembakau dan sirih 8.12 9.96 8.73
Total 100.00 100.00 100.00Sumber: BPS Provinsi Bali, 2013
Komponen pengeluaran rumah tangga untuk sub kelompok makan di
Provinsi Bali pada tahun 2013 lebih ringkas dapat dilihat pada Gambar 5.1.
39
Gambar 5.1Proporsi Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Penduduk Menurut
Sub Kelompok Makanan di Provinsi Bali, Tahun 2013
Sumber: BPS, Susenas 2013
Berdasarkan Gambar 5.1 dapat dijelaskan bahwa proporsi terbesar
pengeluaran rumah tangga adalah untuk makanan dan minuman jadi, yaitu 35,70
persen, kemudian disusul oleh pengeluaran untuk padi-padian sebesar 15,92
persen. Pengeluaran yang memiliki proporsi terkecil adalah untuk umbi-umbian,
yaitu sebesar 0,59 persen.
Proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bukan makanan disajikan pada
Tabel 5.2 dan Gambar 5.2. Berdasarkan Tabel 5.2 dan Gambar 5.2, proporsi
pengeluaran terbesar untuk bukan makanan adalah untuk sewa dan perkiraan sewa
rumah, yaitu sebesar 26,03 persen. Pengeluaran rumah tangga untuk bukan
makanan terbesar kedua adalah untuk biaya transportasi, bensin, solar, dan
pelumas. Proporsi terkecil untuk pengeluaran bukan makanan adalah untuk
asuransi 0,62 persen.
40
Tabel 5.2Proporsi Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Penduduk Menurut Sub Kelompok
Bukan Makanan dan Klasifikasi Daerah, Provinsi Bali, Tahun 2013
No Jenis PengeluaranPerkotaan
(%)Perdesaan
(%)Bali(%)
1 Sewa, kontrak, perkiraan sewa rumah 27.53 21.68 26.032 Pemeliharaan dan perbaikan ringan 1.60 0.45 1.313 listrik 7.00 10.60 7.924 Telpon 5.47 4.35 5.185 Sabun dan kosmetik 4.59 4.93 4.686 Biaya kesehatan 7.06 8.82 7.517 Biaya pendidikan 8.29 5.10 7.478 Biaya transportasi 10.40 12.48 10.939 Jasa lainnya 2.04 0.45 1.64
10 Pakaian dan alas kaki 3.92 4.19 3.9911 Barang tahan lama 9.88 10.42 10.0212 Pajak 1.96 2.20 2.0213 Pungutan dan retribusi 0.73 1.31 0.8814 Asuransi kesehatan 1.36 0.37 1.1015 Asuransi lainnya 0.77 0.18 0.6216 Pesta dan upacara 7.40 12.47 8.70
Total 100.00 100.00 100.00Sumber: BPS Provinsi Bali, 2013
Gambar 5.2Proporsi Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Penduduk Menurut
Sub Kelompok Makanan di Provinsi Bali, Tahun 2013
41
5.2. Perkembangan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga di Provinsi Bali
Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat yang diproksikan oleh
meningkatnya PDRB, maka pengeluaran rumah tangga di Provinsi Bali, baik yang
dirinci menurut kelompok makanan maupun bukan makanan terus mangalami
peningkatan. Berdasarkan Gambar 5.3 dapat dilihat bahwa gerakan kenaikan
pengeluaran konsumsi rumah tangga di Provinsi Bali sesuai dengan kenaikan
PDRB selama tahun 1985 – 2013. Dari sudut jenis pengeluarannya, ternyata
pengeluaran rumah tangga untuk makanan lebih fluktuatif dibandingkan dengan
untuk bukan makanan. Seperti pada periode 1995 – 2000, ketika terjadi krisis
moneter di Indonesia, justru pengeluaran konsumsi untuk kelompok bahan
makanan mengalami penurunan, sementara di pihak lain untuk pengeluaran bukan
makanan tidak berfluktuasi. Demikian juga sejak tahun 2009 dengan terjadi
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali yang mendekati pertumbuhan ekonomi
nasional, juga diikuti dengan meningkatnya pengeluaran rumah tangga untuk
kelompok makanan.
Gambar 5.3Perkembangan PDRB, Pengeluaran Rumah Tangga, Pengeluaran
Rumah Tangga untuk Makanan dan Bukan Makanan di Provinsi BaliBerdasarkan Harga Konstan Tahun 2000, Tahun 1985 – 2013
-
5
10
15
20
25
30
35
40
1985 1990 1995 2000 2005 2010 2013
Rp tr
iliyu
n (H
K 20
00)
PDRB Konsumsi RT K. Makanan K.Bukan Makanan
Sumber: BPS, 1986 – 2014 (diolah)
42
Berdasarkan Gambar 5.4 dapat dilihat persentase pengeluaran rumah
tangga terhadap PDRB meskipun berfluktuatisi selama tahun 1985 – 2013, namun
sedikit memiliki kecenderungan menurun. Kondisi ini sesuai dengan teori Kuznets
(Sukirno, 2011) yang mengatakan bahwa jika PDB meningkat, maka pengeluaran
rumah tangga persentasenya mengecil. Demikian juga pengeluaran rumah tangga
apabila dilihat dari kelompok pengeluaran makanan dan bukan makanan.
Berdasarkan Gambar 5.4 dapat dilihat bahwa persentase pengeluaran rumah
tangga untuk makanan meskipun berfluktuasi namun memiliki kecenderungan
menurun, sedangkan untuk bukan bahan makanan mengalami kecenderungan
meningkat. Keadaan ini sesuai dengan penelitian Chenery dan Syrquin (Sukirno,
2011), apabila jika PDB meningkat, maka pengeluaran rumah tangga untuk bahan
makanan persentasenya mengecil. Berdasarkan Gambar 5.4 dapat dilihat bahwa
tranformasi pengeluaran rumah tangga di Provinsi Bali dari makanan ke bukan
makanan telah terjadi pada tahun 2005.
Gambar 5.4Persentase Pengeluaran Rumah Tangga Terhadap PDRB, Persentase
Pengeluaran Rumah Tangga untuk Makanan dan Bukan MakananTerhadap Total Pengeluaran di Provinsi Bali Berdasarkan
Harga Konstan Tahun 2000, Tahun 1985 – 2013
30
35
40
45
50
55
60
65
1985 1990 1995 2000 2005 2010 2013
Pers
en
Konsumsi RT K. MakananK.Bukan Makanan Linear (Konsumsi RT)Linear (K.Bukan Makanan) Linear (K. Makanan)
Sumber: BPS, 1986 – 2014 (diolah)
43
5.3. Pola Data PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga
Untuk menganalisis data runtun yang cukup panjang perlu diketahui
polanya. Sebab data runtun waktu yang cukup panjang umumnya memiliki
kecendrungan menaik (trend), sehingga tidak stasioner. Apabila dua atau lebih
data runtun waktu yang yang memiliki trend diregresikan, kemungkinan akan
terjadi kointegrasi atau dapat menghasilkan hubungan yang semu (spurious
regression). Oleh karena itu data runtun waktu apabila digunakan untuk
peramalan jangka panjang, maka perlu dianalisis keseimbangannya jangka
panjang melalui uji kestasioneran, kointegrasi (cointegration test).
5.1.2. Uji Kestasioneran Data
Data bersifat stasioner adalah data dengan perilaku data yang memiliki
varians yang tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati
nilai rata-ratanya. Beberapa cara menguji kestasioneran data diantaranya adalah
dengan: 1) metode grafik, 2) correlogram, dan 3) dengan metode akar unit (unit
root test). Dalam penelitian ini kestasioneran data diuji dengan grafik dan uji akar
unit.
1) Metode grafik
Berdasarkan Gambar 3.3 dapat diketahui bahwa PDRB, pengeluaran
konsumsi rumah tangga, pengeluaran konsumsi bahan makanan, dan konsumsi
bukan bahan makanan di Bali mempunyai tren yang menaik dan berarti memiliki
nilai rata-rata (mean) yang berubah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data
runtun waktu pengeluaran konsumsi rumah tangga Bali tidak stasioner.
Kesimpulan ini bersifat subyektif, sehingga dapat dilakukan metode lainnya, yaitu
metode akar unit.
3) Uji Akar Unit (Unit Roots Test)
Uji akar unit (unit root test) atau dikenal juga dengan uji Augmented
Dickey Fuller (ADF) merupakan konsep terkini yang banyak dipakai untuk
menguji kestasioneran data runtun waktu. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
44
bahwa data bersifat stasioner adalah data dengan perilaku yang memiliki varians
yang tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai
rata-ratanya.
Berdasarkan data konsumsi rumah tangga di Bali dapat dianalisis
kestasioneran data dengan menggunakan uji akar unit yang hasilnya, seperti yang
ditampilkan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3.Hasil Pengujian Stasioner Variabel Penelitiandengan metode Augmented Dicky Fuller Test
Nilai kritisVariabel
NilaiMutlak ADF 1% 5%
Keterangan
PDRB -4.5923 -3.7204 -2.9850 Stasioner diferensi (2)Konsumsi RT -4.3211 -3.7204 -2.9850 Stasioner diferensi (2)Konsumsi bahanmakanan
-3.1020 -3.7204 -2.9850 Stasioner diferensi (1)
Konsumsi bukanmakanan
-4.6914-3.7204 -2.9850 Stasioner diferensi (2)
Sumber : Lampiran 2
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa semua data sudah berada pada kondisi
stasioner. Hal ini terlihat nilai mutlak ADF lebih besar dibandingkan nilai kritis
pada level signifikan kurang dari 5 persen, sehingga pengujian dapat dilakukan
pada tahap berikutnya.
2. Uji Kointegrasi
Setelah keseluruhan variabel yang akan digunakan dalam penelitian
menunjukkan hasil yang stasioner, maka selanjutnya akan dilakukan uji
kointegrasi (cointegration test) untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
keseimbangan atau kestabilan jangka panjang diantara variabel-variabel yang
diamati. Dalam penelitian ini digunakan metode Johansen. Uji Johansen menguji
kointegrasi secara berpasangan antara variabel terikat dengan variabel bebas.
Berdasarkan Tabel 5.4 dapat diketahui bahwa variabel PDRB
berkointegrasi dengan semua variabel bebas yang diteliti, yaitu PDRB dengan
45
konsumsi rumah tangga pada lag interval 1 ke 2, dengan konsumsi bahan
makanan pada lag interval 1 ke 2, dan dengan konsumsi bukan bahan makanan,
pada lag interval 1 ke 3, yang ditunjukkan dengan hasil Kointegrasi Johansen
dimana nilai hitung Likelihood Ratio lebih tinggi dari nilai kritis pada α = 5
persen.
Tabel 5.4Hasil Pengujian Kointegrasi dengan Metode Johansen antara variabel PDRB
dengan masing-masing variabel bebas
Variabelbebas
EigenvalueLikelihood
Ratio*Nilai kritis
5%Keterangan
Konsumsi RT 0.444268 15.86592 15.41 Lag Interval 1 to 2
Konsumsimakanan
0.451463 16.30688 15.41 Lag Interval 1 to 2
Konsumsi BukanMakanan
0.562837 20.95089 15.41 Lag Interval 1 to 3
Keterangan : *Likelihood Ratio = Trace StatisticSumber : Lampiran 3
5.4. Pola Pengeluaran Konsumsi Rumah Jangka Jangka di Provinsi Bali
Pola pengeluaran konsumsi jangka panjang mengandung implikasi bahwa
masyarakat, dalam hal ini rumah tangga akan menyesuaikan ekspektasi mereka
dalam konsumsinya dengan pengalaman konsumsi masa lain dan mereka akan
belajar dari masa lalunya. Hasil olahan data pengujian PDRB dan pengeluaran
konsumsi tahun sebelumnya terhadap pengeluaran konsumsi tahun berjalan di
Provinsi Bali tahun 1985 – 2013 ditampilkan pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5Koefesien Regresi dan Hasil Pengujian Pengaruh PDRB dan Pengeluaran
Konsumsi Tahun Sebelumnya terhadap Pengeluaran Konsumsi Tahun Berjalandi Provinsi Bali, Tahun 1986 - 2013
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 552.5174 480.5208 1.149830 0.2611PDRB 0.191054 0.100983 1.891945 0.0701KON(-1) 0.737897 0.176283 4.185872 0.0003R-squared 0.969613 F-statistic 398.8563Adjusted R-squared 0.967182 Prob(F-statistic) 0.000000Sumber: Lampiran 4
46
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat dilihat bahwa hasil F hitung sebesar 398,86
dengan probabilitas penerimaan Ho sebesar 0,000. Hal ini berarti bahwa PDRB
tahun berjalan dan pengeluaran konsumsi tahun sebelumnya berpengaruh terhadap
pengeluaran konsumsi tahun berjalan di Provinsi Bali selama tahun 1985 – 2013.
R2 sebesar 0,9696 mempunyai arti bahwa 96,96 persen variasi konsumsi tahun
berjalan di Provinsi Bali selama tahun 1986 – 2013 dipengaruhi oleh PDRB tahun
berjalan dan pengeluaran konsumsi tahun sebelumnya. Berdasarkan nilai t tabel
pada uji satu sisi dan dengan tingkat signifikansi 5 persen sebesar 1,708, maka
berarti bahwa secara parsial PDRB tahun berjalan dan pengeluaran konsumsi
tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi tahun
berjalan di Provinsi Bali selama tahun 1986 – 2013.
Berdasarkan Tabel 5.5 juga dapat dibuat pola konsumsi jangka panjang
di Provinsi Bali selama tahun 1986 - 2013, yaitu dengan meregresikan PDRB dan
pengeluaran konsumsi tahun sebelumnya, terhadap pengeluaran konsumsi tahun
berjalan adalah sebagai berikut:
KONt = 552,52 + 0,191 PDRBt + 0,738 KONt-1 ................(5.1)
Persamaan 5.1 menunjukkan bahwa marginal propensity to consume
(MPC) jangka pendek adalah 0,191 yang berarti bahwa kenaikan satu rupiah
dalam pendapatan riil (PDRB) saat ini akan menaikkan rata-rata konsumsi sekitar
0,191 rupiah. Tetapi apabila kenaikan dalam pendapatan dipertahankan, maka
MPC jangka panjang dari pendapatan permanen (permanent income) akan
menjadi:
729,0262,0191,01
1
................................................(5.2)
Karena (1-γ) = 0,738 maka koefisien harapan, γ = 0,262. Jadi, apabila
rumah tangga mempunyai waktu untuk menyesuaikan perubahan 1 rupiah dari
pendapatannya, maka konsumsinya pada akhirnya akan meningkat sebesar 0,729
rupiah. Dengan kata lain karena γ = 0,262, maka MPC jangka panjangnya adalah
0,729. Dengan koefisien ekspektasi sebesar 0,262 berarti rumah tangga hanya
47
menyesuaikan 0,262 tahun atau 3,14 bulan dari waktunya untuk mencapai tingkat
konsumsi jangka panjang yang diinginkan.
5.5. Pola Pengeluaran Konsumsi Makanan Jangka Panjang Rumah Tanggadi Provinsi Bali
Berdasarkan Lampiran 4 dapat disalin kembali hasil pengujian pengaruh
PDRB dan pengeluaran konsumsi makanan tahun sebelumnya terhadap
pengeluaran konsumsi makanan tahun berjalan di Provinsi Bali, Tahun 1986 –
2013 seperti Tabel 5.6.
Tabel 5.6Koefesien Regresi dan Hasil Pengujian Pengaruh PDRB dan PengeluaranKonsumsi Makanan Tahun Sebelumnya terhadap Pengeluaran Konsumsi
Makanan Tahun Berjalan di Provinsi Bali, Tahun 1986 - 2013
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 591.3048 496.1850 1.191702 0.2446PDRB 0.120086 0.057081 2.103778 0.0456KM(-1) 0.736600 0.158489 4.647641 0.0001R-squared 0.918928 F-statistic 141.6838Adjusted R-squared 0.912442 Prob(F-statistic) 0.000000Sumber: Lampiran 4
Berdasarkan F hitung pada Tabel 5.6 sebesar 141,68 pada probabilitas F
statistic sebesar 0,000 mengindikasikan bahwa secara serempak variable PDRB
dan pengeluaran konsumsi makanan tahun sebelumnya berpengaruh terhadap
pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk makanan di Provinsi Bali tahun 1986
– 2013. Koefisien determinasi sebesar 0,9182 berarti bahwa 91,89 persen variasi
pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk makanan di Provinsi Bali tahun 1986
– 2013 dipengaruhi oleh variasi variable PDRB dan pengeluaran konsumsi
makanan tahun sebelumnya.
Hasil perhitungan t statistic untuk variable variable PDRB dan
pengeluaran konsumsi makanan tahun sebelumnya memiliki nilai lebih besar dari
t table sebesar 1,708 pada uji satu sisi dan dengan tingkat signifikansi 5 persen.
Hal ini berate secara parsial variable PDRB dan pengeluaran konsumsi makanan
48
tahun sebelumnya masing-masing berpengaruh parsial terhadap pengeluaran
konsumsi makanan tahun berjalan di Provinsi Bali selama tahun 1996 – 2013.
Dari Tabel 5.6 juga dapat dibuat pola konsumsi makanan jangka panjang
di Provinsi Bali selama tahun 1986 - 2013, yaitu dengan meregresikan PDRB dan
pengeluaran konsumsi makanan tahun sebelumnya, terhadap pengeluaran
konsumsi makanan tahun berjalan adalah sebagai berikut:
KMt = 591,30 + 0,120 PDRBt + 0,737 KMt-1 ................(5.3)
Marginal propensity to consume (MPC) jangka pendek untuk konsumsi
makanan dari persamaan 5.3 sebesar 0,120 menunjukkan bahwa kenaikan satu
rupiah dalam pendapatan riil (PDRB) saat ini sebesar satu rupiah akan menaikkan
rata-rata konsumsi makanan sekitar 0,120 rupiah. Tetapi apabila kenaikan dalam
pendapatan dipertahankan, maka MPC jangka panjang dari pendapatan permanen
(permanent income) akan menjadi:
456,0273,0120,01
1
................................................(5.4)
Koefisien harapan, γ = 0,273 diperoleh karena (1-γ) = 0,737. Jadi, apabila
rumah tangga mempunyai waktu untuk menyesuaikan perubahan 1 rupiah dari
pendapatannya, maka konsumsinya pada akhirnya akan meningkat sebesar 0,456
rupiah. Dengan kata lain karena γ = 0,273, maka MPC jangka panjangnya adalah
0,456. Dengan koefisien ekspektasi sebesar 0,273 berarti rumah tangga hanya
menyesuaikan 0,273 tahun atau 3,16 bulan dari waktunya untuk mencapai tingkat
konsumsi makanan jangka panjang yang diinginkan.
5.6. Pola Pengeluaran Konsumsi Bukan Makanan Jangka Panjang RumahTangga di Provinsi Bali
Tabel 5.7 yang merupakan hasil pengujian pengaruh PDRB dan
pengeluaran konsumsi bukan makanan tahun sebelumnya terhadap pengeluaran
konsumsi bukan makanan tahun berjalan di Provinsi Bali, Tahun 1986 – 2013,
merupakan salinan dari Lampiran 4.
49
Tabel 5.7Koefesien Regresi dan Hasil Pengujian Pengaruh PDRB dan Pengeluaran
Konsumsi Bukan Makanan Tahun Sebelumnya terhadap Pengeluaran KonsumsiBukan Makanan Tahun Berjalan di Provinsi Bali, Tahun 1986 - 2013
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 71.61352 41.72338 1.716388 0.0985PDRB 0.147644 0.019649 7.514035 0.0000KBM(-1) 0.404281 0.085534 4.726557 0.0001R-squared 0.998291 F-statistic 7300.595Adjusted R-squared 0.998154 Prob(F-statistic) 0.000000
Hasil F hitung pada Tabel 5.7 sebesar 7300.595 pada probabilitas F
statistic sebesar 0,000 mengindikasikan bahwa secara serempak variable PDRB
dan pengeluaran konsumsi bukan makanan tahun sebelumnya berpengaruh
terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk bukan makanan di Provinsi
Bali tahun 1986 – 2013. Koefisien determinasi sebesar 0,9182 berarti bahwa
91,89 persen variasi pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk bukan makanan
di Provinsi Bali tahun 1986 – 2013 dipengaruhi oleh variasi variable PDRB dan
pengeluaran konsumsi bukan makanan tahun sebelumnya.
Apabila dibandingkan hasil perhitungan t statistic dengan t tabel
menunjukkan bahwa variable variable PDRB dan pengeluaran konsumsi bukan
makanan tahun sebelumnya memiliki nilai t hitung masing-masing sebesar 7,514
dan 4,727 yang lebih besar dibandingkan dengan t tabel sebesar 1,708 pada uji
satu sisi dan dengan tingkat signifikansi 5 persen. Hal ini berarti bahwa secara
parsial variable PDRB dan pengeluaran konsumsi makanan tahun sebelumnya
masing-masing berpengaruh parsial terhadap pengeluaran konsumsi bukan
makanan tahun berjalan di Provinsi Bali selama tahun 1996 – 2013.
Dari Tabel 5.7 juga dapat dibuat pola konsumsi bukan makanan jangka
panjang di Provinsi Bali selama tahun 1986 - 2013, yaitu dengan meregresikan
PDRB dan pengeluaran konsumsi bukan makanan tahun sebelumnya, terhadap
pengeluaran konsumsi bukan makanan tahun berjalan adalah sebagai berikut:
KMt = 71,613 + 0,148 PDRBt + 0,404 KBMt-1 ................(5.5)
50
Marginal propensity to consume (MPC) jangka pendek untuk konsumsi
bukan makanan dari persamaan 4.5 adalah sebesar 0,148 menunjukkan bahwa
kenaikan satu rupiah dalam pendapatan riil (PDRB) saat ini sebesar satu rupiah
akan menaikkan rata-rata konsumsi sekitar 0,148 rupiah. Tetapi apabila kenaikan
dalam pendapatan dipertahankan, maka MPC jangka panjang dari pendapatan
permanen (permanent income) akan menjadi:
248,0596,0148,01
1
................................................(5.6)
Koefisien harapan, γ = 0,596 diperoleh karena (1-γ) = 0,404. Jadi, apabila
rumah tangga mempunyai waktu untuk menyesuaikan perubahan 1 rupiah dari
pendapatannya, maka konsumsinya pada akhirnya akan meningkat sebesar 0,248
rupiah. Dengan kata lain karena γ = 0,596, maka MPC jangka panjangnya adalah
0,248. Dengan koefisien ekspektasi sebesar 0,596 berarti rumah tangga hanya
menyesuaikan 0,596 tahun atau 7,15 bulan dari waktunya untuk mencapai tingkat
konsumsi bukan makanan jangka panjang yang diinginkan.
Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa pola konsumsi rumah
tangga di Provinsi Bali selama tahun 1985 – 2013 dengan MPC jangka pendek
dan jangka panjang yang diringkas pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8Ringkasan Marginal propensity to consume (MPC) Jangka Pendek Dan Jangka
Panjang Serta Penyesuaian Waktu Perubahan Konsumsi Rumah Tangga diProvinsi Bali, Tahun 1986 – 2013
Pola Konsumsi MPC jangkaPendek
MPC jangkaPanjang
PenyesuaianWaktu
Konsumsi Umum 0,191 0,729 3,14 bulanKonsumsi makanan 0,120 0,456 3,16 bulanKonsumsi bukan makanan 0,148 0,298 7,15 bulan
Sumber: Tabel 4.5 s/d 4.7 (diolah)
Berdasarkan Tabel 5.8 dapat diketahui bahwa MPC yang merupakan
elastisitas PDRB terhadap konsumsi pada tiga model yang dianalisis dalam jangka
pendek lebih besar daripada yang jangka panjang. Misalnya MPC untuk
51
pengeluaran konsumsi secara umum dalam jangka pendek adalah 0,191 dan
jangka panjang adalah 0,729. Penyesuaian waktu untuk merubah konsumsi pola
konsumsi jangka panjang untuk bukan makanan adalah paling lama, yaitu sekitar
7,15 bulan. Hal ini disebabkan karena pengeluaran konsumsi bukan makanan
terdiri dari barang tahan lama dan tidak tahan lama. Untuk yang tahan lama
memerlukan biaya yang cukup besar, sehingga perlu banyak pertimbangan untuk
memutuskannya. Meningkatnya tingkat pendidikan yang diikuti oleh peningkatan
pendapatan menyebabkan rumah tangga cenderung meningkatkan tingkat
tabungannya.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Isyani dan Hasmarini
(2005) meneliti tentang konsumsi di Indonesia tahun 1989-2002 (Tinjauan
terhadap hipotesis Keynes dan Post Keynes). Hasilnya menunjukkan bahwa
berdasarkan model PAM, elastisitas jangka panjang lebih besar dari jangka
pendek. Artinya elastisitas jangka panjang tidak dipengaruhi lagi oleh
pengeluaran konsumsi sebelumnya.
Temuan ini juga memiliki kesamaan dengan Mullen (1980) dalam
penelitiannya terhadap keluarga petani di wilayah New South Wales pada periode
1968/69 – 1975/76 dengan model partial adjustement menemukan bahwa dalam
jangka pendek (satu tahun) MPC keluarga petani relative rendah, pada rentangan
0,13 – 0,16, sedangkan MPC jangka panjang antara 0,19 – 0,25.
Hasil penelitian ini juga memiliki kemiripan dnegan penelitian Chow
(2011) dalam paper yang merupakan hasil penelitiannya berjudul “A Model for
National Income Determination in Taiwan”, menemukan bahwa model konsumsi
jangka panjang di Taiwan dengan menggunakan data makro dari 1951 – 2010
adalah Ct = 24106,1 + 0,641 C t-1 + 0,275 Yt dengan R2 = 0.9992. Hasil
penelitian ini mendukung teori pendapatan permanen dari Friedman, namun
dengan MPC jangka pendek sebesar 0,641 yang lebih besar dibandingkan dengan
MPC jangka panjang sebesar 0,275.
52
BAB VI
PENUTUP
6.1. Simpulan
1) Model konsumsi jangka panjang Provinsi Bali selama tahun 1985 – 2013
adalah: KONt = 552,52 + 0,191 PDRBt + 0,738 KONt-1. PDRB tahun
berjalan dan pengeluaran konsumsi tahun sebelumnya berpengaruh
signifikan terhadap pengeluaran konsumsi tahun berjalan. Model ini
menunjukkan bahwa MPC jangka pendek lebih rendah dibandingkan
dengan MPC jangka panjang.
2) Model konsumsi makanan jangka panjang Provinsi Bali selama tahun
1985 – 2013 adalah : KMt = 591,30 + 0,120 PDRBt + 0,737 KMt-1, yang
berarti bahwa menunjukkan bahwa MPC konsumsi bahan makanan
jangka pendek lebih rendah dibandingkan dengan MPC jangka panjang.
3) Model konsumsi bukan makanan jangka panjang Provinsi Bali selama
tahun 1985 – 2013 adalah KMt = 71,613 + 0,148 PDRBt + 0,404 KBMt-1,
yang juga menunjukkan menunjukkan bahwa MPC konsumsi bukan
makanan jangka pendek lebih rendah dibandingkan dengan MPC jangka
panjang.
5.1. Saran dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan, karena hanya melihat pengeluaran
konsumsi secara keseluruhan atau umum yang hanya dibedakan untuk makanan
dan bukan makanan. Peneliti lain diharapkan dapat memperlebar penelitian
dengan secara khusus menelitin mengenai pengeluaran konsumsi untuk untuk
listrik, telpon, dan lain sebagainya.
53
DAFTAR PUSTAKA
Abel, Andrew B. and Ben S. Bernake. 2001. Macroeconomics. New York:Addison Wesley Longman, Inc.
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. Penerbit STIE YKPNYogyakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2013. Data Bali Membangun. Provinsi Bali:Penerbit BPS Bali
Chow, Gregory C. 2011. “A Model for National Income Determination inTaiwan”. Princeton University & Academia Sinica, Taiwan
Denburg, T.E. and McDougl, D.M. 1976. Macroeconomics. The Measurement,Analysis and Control of Aggregate Economic Activity 5 th. Edition TokyoThe Mcmillan Company.
Duesenberry, J.S. 1967. Income, Saving and the Theory of Consumen Behaviour.New York. Oxford University Press. Chapter IV dan V.
Dumairy. (1996). Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Gordon, Robert J., 2010. Macroeconomic. Twelfth Edition. New York: AddisonWesley Longman, Inc.
Gujarati, D. N. 2007. Dasar-Dasar Ekonometrika Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Isyani, dan Mulidyah Indira Hasmarini, 2005, Analisis Konsumsi Masyarakat diIndonesia Tahun 1989-2002 (Tinjauan Terhadap Hipotesis Keynes danPost Keynes). Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. VI, Desember. No. 2,pp. 143-162.
Lindauer, John. 1971. Macroeconimics. Second Edition. New York: Johwiley &Son Inc.
Maluccio, J., L. Haddad dan J. May. 1999. Social Capital and Income generatingin South Africa 1993-1998. IFPRi: FCND Discussion paper. No.71.
Mangkoesubroto, 1998. Teori Ekonomi Makro. Yogyakarta:STIE YKPN.
Mankiw Gregory.N. 2007. Makroekonomi. (Fitria Liza dan Imam Nurmawan,Pentj). Jakarta: PT. Penerbit Erlangga.
Modigliani,F. 1986. Life Cycle. Individual Thrift and the Wealth of Nations.American Economic Review. 76 (Juni 1986),pp. 297-313.
54
Mullen, J.D. 1980. Experiences of A Sampel of Farm Families. Australian Journalof Agriculture Economics, p 268 -281. New South Wealth Departementof Agriculture.
Pemberton, James. 1997. Modelling and Measuring Income Uncertaninty in LifeCycle Models. Economic modelling. 14 (1997),pp. 81-98.
Samuelson dan Nordhaus. 2004. Ilmu Makroekonomi. (Gretta, Theresa Tanoto,Bosco Carvallo, Anna Elly, Penterj.) Jakarta: PT. Media Global Edukasi.
Sukirno, Sadono. 2008. Pengantar Makroekonomi. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.
Sukirno, Sadono. 2011. Ekonomi Pembangunan: Proses,Masalah, dan DasarKebijakan. Edisi Kedua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Tambunan, Tulus. TH, 2001. Transformasi Ekonomi di Indonesia: Teori &Penemuan Emperis, Jakarta: Salemba Empat.
Yang, Shu-Cen and Cheng-Kiang Farn. 2009. Social Capital, BehavioralControl, andTacit knowledge sharing-A Multi-Informant Design.International Journal of Information Management 29,PP. 210-218.
.