etika bisnis islam tentang manajemen laba
TRANSCRIPT
ETIKA BISNIS ISLAM TENTANG MANAJEMEN LABA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh:
HANNI KHAIRANI
NIM 1111046100114
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M. / 1436 H.
iv
v
ABSTRAK
Hanni Khairani, NIM. 1111046100114. ETIKA BISNIS ISLAM TENTANG
MANAJEMEN LABA. Skripsi, Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam),
Konsentrasi Perbankan Syariah. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1436H/2015M.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana praktik manajemen laba
ditinjau dari sudut pandang etika bisnis Islam dengan tujuan untuk memaparkan
pandangan etika Islam mengenai manajemen laba. Jenis penelitian pada skripsi ini
ialah penelitian kepustakaan (Library research) dengan teknik pengumpulan data
studi dokumentasi literatur terkait manajemen laba dan etika bisnis Islam. Sedangkan
teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan metode dekriptif kualitatif dan
analisis isi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada bentuk manajemen laba yang
dibolehkan menurut syariat. Dan praktik manajemen laba belum sesuai dengan
ajaran agama Islam maupun prinsip-prinsip dasar Etika Bisnis Islam karena masih
mengandung unsur penipuan, kecurangan dan gharar. Serta tidak mencerminkan
perilaku-perilaku pebisnis Islami yaitu Shiddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah.
Kata Kunci : Etika Bisnis Islam, Manajemen Laba
Pembimbing : Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA
Daftar Pustaka : Tahun 1993 s.d Tahun 2013
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis khususnya dan seluruh umat
manusia pada umumnya. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukkan manusia dari jalan kegelapan ke jalan
terang benderang.
Penulisan skripsi ini berjudul “ Etika Bisnis Islam tentang Manajemen Laba”,
ditujukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata 1 (S-1) dan
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy) di Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kebahagiaan yang tak ternilai bagi penulis,
sehingga dapat mempersembahkan skripsi ini untuk orang-orang yang penulis
sayangi dan semua pihak yang terkait yang telah membantu dalam penulisan skripsi
ini.
Tanpa penulis lupakan bahwa keberhasilan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini adalah atas berkat bimbingan, dukungan, dan saran-saran dari berbagai
pihak. Tanpa partisipasi mereka, upaya penulis dalam menyelesaikan studi di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta terutama dalam menyelesaikan skripsi ini tentu akan
terasa lebih sulit terwujud. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
vii
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA Selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH, selaku ketua program studi
Muamalat dan Bapak H. Abdurrauf, Lc, MA, selaku sekretaris program studi
Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu selama perkuliahan
sampai terselesaikannya skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A selaku dosen pembimbing
yang tiada hentinya membimbing, meluangkan waktu dan memberi saran di
dalam penulisan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Muhammad Zen, M.A dan Ibu Nurul Handayani, S.Pd., M.Pd,
selaku dosen penguji sidang munaqasyah yang telah memberikan banyak
koreksi, saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu, pelajaran
dan pengalamannya selama perkuliahan. Kepada Bapak Drs. Noryamin Aini,
M.A, selaku dosen penguji proposal yang telah memberikan banyak
kontribusi pemikiran di dalam penulisan skripsi ini.
6. Ayah Ibu tercinta Hanri Wirata dan Agatsih Purwiyani yang tidak henti-
hentinya memberikan dukungan moril dan materil. Terima kasih untuk
kesabaran, nasehat dan curahan kasih sayang yang selalu diberikan kepada
penulis. Doa yang dipanjatkan, menjadikan motivasi tersendiri yang
viii
memberikan kekuatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini
meskipun begitu banyak halangan dan rintangan. Farid Mahendra yang
menjadi adik sekaligus teman penulis saat dirumah. Andung yang selalu
memberikan kekuatan dan doa. Reihan, sebagai sepupu sekaligus teman satu
kostan yang selalu membantu penulis dalam berbagi pengalaman dan bertukar
pikiran dari mulai proposal skripsi sampai dengan penyelesaian skripsi ini
sehingga kita bisa lulus bersama-sama. Dan juga seluruh keluarga besar yang
turut mendoakan.
7. Sahabat-sahabat kesayangan, untuk Yella Novela, Assy Shella, Meiga
Gemala, Astri Wulandari, Novita Zuhrowiya dan Siti Haura Ibtisamah yang
selalu bersama selama dari awal hingga akhir masa kuliah, terima kasih atas
kesetiaannya, waktunya, tawanya, candanya, kehadirannya yang selalu
mengisi hari-hari penulis selama 4 tahun belakangan ini. Semoga
persahabatan kita terus berlanjut sampai tua nanti.
8. Brahmantyo Akhmedika Fauzie, yang selalu memberikan doa, support dan
dukungan tiada henti dikala penulis jenuh dan tidak bersemangat dalam
mengerjakan skripsi ini. Terimakasih atas kata-katanya yang selalu
memotivasi.
9. Anak-anak Kostan ibu Jahit : Niswah, Landu, Mira, Afida, Aul, Fajrin,
Eftrida, Nissa, yang sudah dianggap sebagai keluarga dan adik-adik sendiri,
Terimakasih atas seluruh canda tawa dan keceriaannya sehingga dapat
ix
menjadi energi dan semangat baru bagi penulis saat berada di rumah keduanya
di Ciputat.
10. Teman-teman KKN CERIA 2014 terimakasih untuk Chea, Vita, Wulan,
Babeh, Aziz, Bonte, Salman, Haikal, Riduan, Fauzan, Mahe, Amal, Yuan dan
Anif. 1 Bulan di desa Harkatjaya telah memberikan pengalaman dan cerita
tersendiri yang membekas di hati penulis, banyak sekali momen-momen seru
yang berkesan selama tinggal disana. Terimakasih pula untuk warga desa
yang masih tetap menjaga silaturahmi dan selalu mendoakan kelancaran
perkuliahan penulis.
11. Teman-teman seperjuangan Perbankan Syariah C angkatan 2011, terimakasih
untuk segala kekompakan, kebersamaannya. Semoga jalinan ukhuwah tetap
terjaga sekalipun kita telah berada pada aktivitas masing-masing.
Ciputat, 7 Juli 2015
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………………….. i
ABSTRAK ……………………………………………………………………..... ii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… vii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………….. 1
B. Pembatasan Masalah ……………………………………………... 8
C. Perumusan Masalah …………………………………………….… 9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………….………... 9
E. Metode Penelitian ………………………………………………… 10
F. Literatur Review ………………………………………………….. 15
G. Sistematika Penulisan …………………………………………….. 18
BAB II KONSEP DASAR ETIKA BISNIS ISLAM ……………….……….. 20
A. Etika …………………………………….................................... 20
B. Etika Bisnis ………………………………………………….… 22
C. Etika Bisnis Islam ………………………………………….….. 25
D. Prinsip-Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam ………………..…….. 31
E. Tujuan Bisnis Islam …………………………………….……... 40
F. Pedoman Bisnis dalam Islam ………………………….………. 42
G. Aktivitas Bisnis yang terlarang dalam Syariah ………….…….. 44
H. Etika Bisnis Islam kaitannya dengan Manajemen Laba ………. 46
BAB III KONSEP DASAR MANAJEMEN LABA ……………….………… 47
A. Laporan Keuangan …………………………….…………………... 47
B. Agency Theory ………………………….………………………….. 47
C. Asimetri Informasi ………………………….……………………… 50
xi
D. Manajemen Laba ……………………………………………….….. 50
E. Prinsip Akuntansi Berbasis Akrual …………………………….….. 52
F. Motivasi Manajemen Laba ………………………………………… 53
G. Bentuk-Bentuk Manajemen Laba …………………………………. 57
H. Manajemen Laba, Apakah Legal dan Etis ………………………… 58
BAB IV TINJAUAN ETIKA BISNIS ISLAM TERHADAP MANAJEMEN
LABA ……………………………………………………………………………. 64
A. Bentuk Manajemen Laba menurut Syariah ………………………. 61
B. Manajemen Laba ditinjau dari Etika Bisnis Islam ……………….. 68
BAB V PENUTUP ……………………………………………………………. 79
Kesimpulan ……………………………………………………………. 79
Saran …………………………………………………………………… 80
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 81
LAMPIRAN ……………………………………………………………………… 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, konsep-konsep materialistik menjangkau lebih besar dunia
ekonomi dan bisnis dibandingkan dengan konsep nilai-nilai spiritual. Konsep-konsep
materialistik pun lebih mendominasi kebanyakan orang, khususnya para pelaku
bisnis. Tidak dapat dipungkiri bahwa kekayaan, kedudukan dan kekuasaan menjadi
kriteria umum dalam penilaian berhasil atau tidaknya seseorang dalam berbisnis.
Akan tetapi kebanyakan mereka melupakan nilai-nilai moral dan perilaku yang sehat
dalam berbisnis. Materi adalah makanan bagi tubuh, sementara etika adalah nutrisi
bagi jiwa. Karena itulah, setiap saat masalah bisnis seringkali bertambah, sedangkan
keberkahan dalam berusaha menjadi berkurang.1
Yang membedakan Islam dengan materialisme ialah bahwa Islam tidak pernah
memisahkan ekonomi dengan etika, sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu
dengan akhlak, politik dengan etika, perang dengan etika dan kerabat sedarah daging
dengan kehidupan Islam. Islam berbeda dengan konsep kapitalisme yang
memisahkan akhlak dengan ekonomi. Manusia muslim, individu maupun kelompok,
dalam lapangan ekonomi atau bisnis, disatu sisi diberi kebebasan untuk mencari
1 Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin, Transaksi dan Etika Bisnis Islam, Penerjemah
Saptono Budi Satryo dan Fauziah R (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005), h. 22.
2
keuntungan sebesar-besarnya. Namun, di sisi lain, ia terikat dengan iman dan etika
sehingga ia tidak bebas mutlak dalam menginvestasikan modalnya atau
membelanjakan hartanya, namun tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam.2
Di dalam melakukan bisnis, Islam telah memperlihatkan adanya suatu struktur
yang berdiri sendiri dan terpisah dari struktur lainnya. Hal ini disebabkan bahwa
dalam ilmu akhlak (moral), struktur etika dalam Islam lebih banyak menjelaskan
nilai-nilai kebaikan dan kebenaran baik pada niat hingga perilaku atau perangainya.
Nilai moral tersebut tercakup dalam empat sifat yaitu shiddiq, amanah, tabligh dan
fathonah. Keempat sifat ini diharapkan dapat menjaga keberlangsungan institusi
ekonomi dan keuangan secara professional dan menjaga interaksi ekonomi, bisnis dan
sosial berjalan sesuai dengan aturan permainan yang berlaku.
Salah satu problematika yang serius dalam dunia bisnis ialah rendahnya nilai
dan moral, sehingga dapat membahayakan setiap transaksi-transaksi bisnis yang
dilakukan oleh pebisnis. Rendahnya nilai moral ini dapat mempengaruhi hilangnya
sistem kepercayaan, serta menimbulkan ketidakjujuran dan persekongkolan yang
tidak baik.3
Teori yang dapat menjelaskan mengenai hal ini adalah Agency Theory. Agency
Theory adalah hubungan antara Principal dan Agent. Principal dalam dunia bisnis
2 Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam. (Jakarta: Gema insani Press, 1997), h. 51. 3 Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin, Transaksi dan Etika Bisnis Islam, Penerjemah
Saptono Budi Satryo dan Fauziah R (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005), h. 15.
3
disini ialah para investor maupun calon investor. Sedangkan Agent ialah para manajer
perusahaan atau orang yang mengelola perusahaan. Teori ini mengasumsikan bahwa
masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri
sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Pihak principal termotivasi mengadakan
kontrak untuk menyejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat.
Sedangkan agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi
dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun
kontrak kompensasi. Principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja
agent. Agent mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan
kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal ini lah yang mengakibatkan adanya
ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agent.
Ketidakseimbangan informasi inilah yang disebut dengan asimetri informasi.
Asimetri informasi adalah suatu kondisi dimana adanya gap antara pengetahuan
informasi yang dimiliki satu pihak dengan pihak lainnya. Dalam kondisi ini, dapat
memunculkan kesempatan bagi pihak yang satu untuk melakukan manipulasi atau
ketimpangan informasi atau ketidaktahuan informasi yang dimiliki oleh pihak yang
lainnya. Dengan demikian terdapat adanya konflik kepentingan serta asumsi bahwa
individu-individu bertindak untuk memaksimalkan dirinya sendiri. Dalam dunia
bisnis, asimetri informasi ini dapat dialami oleh principal dan agent kaitannya dengan
laporan keuangan dan besaran laba.
4
Setiap perusahaan tak terkecuali entitas bisnis syariah perlu untuk menampilkan
sisi baik keuangan perusahaan, hal ini diperlukan sebagai bentuk tolak ukur hasil
kinerja perusahaan dimata umum terutama stakeholder maupun investor. Hal ini
terkait dengan kejamnya pasar kepada perusahaan yang tidak mampu memenuhi
target atau meleset dari perkiraan pasar. Sehingga tekanan ini dapat mengakibatkan
munculnya motif-motif tindakan manajerial terhadap tampilan laba yang dapat
menurunkan kualitas laporan keuangan, yang mana tindakan ini disebut dengan
manajemen laba. Manajemen laba adalah salah satu bentuk praktik masalah etis yang
terjadi di perusahaan.
Manajemen laba adalah upaya untuk mengubah, menyembunyikan dan
merekayasa angka-angka dalam laporan keuangan dengan mempermainkan metode
dan prosedur akuntansi yang digunakan perusahaan. Manajemen laba adalah satu
bentuk dari bentuk kebijakan manajemen untuk memaksimumkan kepentingannya
sesuai dengan asumsi teori akuntansi positif. Namun intervensi yang dapat
dilaksanakan oleh manajemen ini terkadang dapat membawa praktik yang seharusnya
bersifat baik, menjadi tidak baik.
Hasil penelitian Beattie et al. (1994) menunjukkan bahwa investor cenderung
lebih mementingkan informasi laba tanpa memperhatikan bagaimana proses yang
digunakan untuk mencapai tingkat laba tersebut. Investor juga cenderung
menghindari risiko (risk averse). Kondisi ini yang memotivasi manajer untuk
melakukan praktik manajemen laba dengan cara menutupi kinerja perusahaan yang
5
sebenarnya, dan menampilkan kinerja yang sesuai dengan apa yang ingin manajer
tampilkan.
Contoh kasus intervensi manajemen laba yang memunculkan skandal akuntansi
ialah pada kasus Enron Energy tahun 2000, kasus peningkatan pendapatan Xerox
tahun 1997-2000 serta PT Kimia Farma, Global Crossing, Tyco , Green Tree
Financial Corporation, Xerox, Worldcom.4 Di Indonesia, kasus serupa pun terjadi
pada kasus mark up laba Indofarma tahun 2001 dan kasus pembukuan ganda Lippo
Bank tahun 2002, kasus PT Citra Marga Nusapala Persada, Bank Duta, PT
Perusahaan Gas Negara tahun 2006, PT Bank Lippo tahun 2002 , PT Ades Alfindo
tahun 200 yang melakukan praktik manajemen laba melalui manipulasi berbagai
prosedur akuntansi di bagian persediaan, produksi, penjualan, keuangan dan metode
akuntansinya 5.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizky Syahfandi dan Siti Mutmainah juga
menunjukkan bahwa 6 dari 9 bank umum syariah di Indonesia melakukan praktik
manajemen laba dengan teknik income smoothing yang terjadi para tahun 2009
sampai dengan 2011. Hasil Penelitian Gandi Sukmajati (2012) juga menunjukkan
adanya beberapa perusahaan public dalam Jakarta Islamic Index yang melakukan
teknik manajemen laba dengan cara perataan laba, perusahaan tersebut diantaranya
adalah Barito Pasific Tbk, Indika Energy Tbk, Telkom Indonesia Tbk, Truba Alam
Manunggal Tbk, dan Wijaya Karya Tbk. Kemudian faktor yang berpengaruh
4 Kompas, 15 Juli 2002. 5 Dedhy Sulistiawan, dkk, Creative Accounting Mengungkap Manajemen Laba dan Skandal
Akuntansi. (Jakarta: Salemba Empat, 2011), h. 53.
6
signifikan ialah leverage, dimana para perusahaan perusahaan tersebut cenderung
memanipulasi besaran hutangnya untuk menghindari default. Dapat dikatakan bahwa
telah cukup banyak kasus manajemen laba baik yang telah diketahui oleh publik,
maupun belum diketahui publik.
Watts dan Zimmerman (1985) menyatakan bahwa indikasi praktik manajemen
laba ialah dilakukan karena motivasi bonus, motivasi utang, motivasi pajak, motivasi
penjualan saham, motivasi pergantian direksi, serta motivasi politis. Motivasi-
motivasi ini lah yang dapat mendorong suatu manajer atau otoritas di perusahaan
untuk melakukan manajemen laba. Bertepatan dengan akan dibukanya pintu gerbang
Masyarakat Ekonomi Asean pada tahun 2015, atas motivasi penjualan saham,
diperkirakan akan terjadi banyak praktik manajemen laba dimana perusahaan akan
berlomba-lomba menampilkan sisi terbaik perusahaannya demi menarik investor
asing yang akan menginvestasikan dananya ke Indonesia.
Dari beberapa contoh yang disebutkan diatas bahwa tidak sedikit pula
perusahan atau entitas yang melakukan atau menerapkan praktik manajemen laba di
dalam pelaporan tampilan keuangannya, tentunya dengan berbagai macam motif yang
mendasarinya.
Pada kenyataannya sampai saat ini terdapat pandangan yang berbeda-beda
terhadap praktik manajemen laba. Pada satu sisi, manajemen laba dipandang sebagai
suatu tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan karena dengan adanya
menejemen laba maka informasi yang diberikan tidak mencerminkan keadaan
7
perusahaan dan mengaburkan nilai perusahaan sesungguhnya. Sehingga dengan
adanya tindakan tersebut dapat menyebabkan stakeholder keliru dalam mengambil
keputusan. Sedangkan pada sisi yang lain, manajemen laba dianggap sebagai sesuatu
yang wajar dan merupakan tindakan rasional untuk memanfaatkan fleksibilitas dalam
ketentuan untuk pelaporan keuangan asalkan masih sesuai dengan Prinsip Akuntansi
Berlaku Umum.
Di Indonesia pun terdapat Prinsip Akuntansi Berlaku Umum yang
menggunakan dasar akrual sebagai metode pencatatan laporan keuangan. Fatwa
Dewan Syariah Nasional No. 14/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sistem Distribusi Hasil
Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah menyebutkan bahwa untuk kemaslahatan
dalam pencatatan (laporan keuangan) sebaiknya digunakan system akrual basis,
meskipun juga disebutkan bahwa dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan
atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi (Cash Basis). Berdasarkan PSAK No.
101 tentang Akuntansi Bank Syariah, diambil asumsi dasar konsep akuntansi bank
syariah sama dengan asumsi dasar konsep akuntansi dasar konsep akuntansi
keuangan secara umum yaitu konsep kelangsungan usaha (going concern) dan dasar
akrual.
Namun secara syariah, walaupun muamalat dilakukan tidak secara tunai, namun
pencatatannya haruslah benar. Seperti disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 282:
8
Artinya: “Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua’malah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.”
Dengan demikian perspektif etika terhadap suatu aktivitas bisnis sangatlah
penting, khususnya pada bisnis-bisnis yang bergerak di bidang syariah, tentu tuntutan
akan praktik secara Islami mengikuti visi dan misi dari entitas itu sendiri. Karena
etika bisnis dapat digunakan sebagai cara untuk menyelaraskan kepentingan strategis
suatu bisnis dengan tuntutan moralitas.
Bagaimana etika bisnis Islam memandang praktik manajemen laba. Apakah
bersifat sesuatu yang baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, atau diperbolehkan atau
tidaknya perilaku manusia tersebut dalam kerangka etika bisnis Islam. Sehingga
penelitian ini akan berusaha melihat aspek moralitas atau aspek normatif etika bisnis
Islam tentang menejemen laba.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan
tersebut dalam bentuk penelitian dengan judul “ETIKA BISNIS ISLAM
TENTANG MANAJEMEN LABA”
B. Pembatasan Masalah
9
Penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti pada aspek yang dianalisis
agar tidak keluar dari pembahasan. Maka penelitian dibatasi pada Sumber yang
digunakan adalah kajian kepustakaan dengan data yang bersumber pada Al-Quran,
Al-Hadist, serta serta literatur-literatur terkait.
Penelitian ini bersifat kajian normatif, karena hanya melihat fenomena
manajemen laba secara keseluruhan dan ditarik kesimpulan berdasarkan konsep nilai-
nilai etika bisnis Islam. Metode Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode analisis isi, dimana penulis mengkaji materi atau literatur tertentu dari pokok
bahasan masalah yang telah diteliti. Pembatasan masalah perihal objek yang menjadi
fokus bahasan dalam penelitian ini adalah Motivasi manajemen laba, Bentuk – bentuk
manajemen laba, dan Praktik Manajemen Laba.
C. Perumusan Masalah
Untuk dapat melihat lebih mendalam mengenai praktik manajemen laba agar
lebih terfokus pada tema yang dimaksud, akan dikumpulkan sumber-sumber
kepustakaan yang nantinya akan diteliti sesuai dengan batasan kemampuan peneliti.
Serta masalah yang dapat diidentifikasi penulis adalah sebagai berikut:
1. Adakah bentuk manajemen laba yang diperbolehkan menurut Syariah?
2. Bagaimana manajemen laba ditinjau dari etika bisnis Islam?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
10
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab isu-isu tekait dengan bagaimana etika
bisnis Islam memandang permasalahan manajemen laba. Tujuan dalam penelitian ini
adalah :
1. Untuk mengetahui bentuk manajemen laba yang diperbolehkan atau tidak
diperbolehkan oleh syariah.
2. Untuk mengetahui manajemen laba ditinjau dari etika bisnis Islam.
Manfaat yang dapat diberikan dengan adanya penelitian ini yaitu :
1. Manfaat teoritis adalah dapat memperluas dan menambah khazanah
pengetahuan mengenai permasalahan terkait penelitian, serta dapat menjadi
referensi untuk keperluan studi dan penelitian mengenai hal-hal yang terkait
dengan penelitian.
2. Manfaat praktis adalah dapat menjadi rambu-rambu sekaligus pengingat bagi
para praktisi agar dapat mengatur manajemen selaras dengan prinsip-prinsip
islami.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian ini ialah bentuk penelitian kualitatif deskriptif yang berarti
bahwa penelitian hanya menggunakan data literatur sebagai alat mempertajam dan
memperkuat hasil analisis dan bukan merupakan data primer penelitian. Berikut ini
adalah langkah-langkah penelitian yang dilakukan:
11
1. Metode Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah dengan cara
library research , yaitu melakukan penelitian dengan cara mencari bahan materi
baik teori maupun praktis melalui literatur berupa bahan-bahan pustaka (buku,
majalah, jurnal, artikel, dokumen, dan sebagainya) dan dokumen-dokumen
yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang diteliti sebagai data primer
maupun sekunder, dalam penelitian ini, yang menjadi data primer adalah Al-
Quran, sedangkan data sekunder berasal dari bahan-bahan pustaka dan
dokumen-dokumen terkait permasalahan diatas. Ini merupakan suatu penelitian
yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data
penelitiannya.6
Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian dengan studi
kepustakaan dengan mengandalkan teori-teori dan konsep-konsep yang ada
untuk diinterpretasikan berdasarkan tulisan-tulisan yang mengarah kepada
pembahasan. Sumber-sumber tersebut di dapat dari karya yang ditulis oleh
intelektual dan ahli yang berkompeten tentang etika bisnis Islam dan
manajemen laba, diantara sumber-sumber yang digunakan peneliti ialah:
a. Al- Quran
b. Al- Hadist
6 Mustika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan. (Jakarta: Yayasan Obor Nasional, 2004), h. 2-3
12
c. Husain Syahatah, dan Siddiq Muh. Al-Amin. Transaksi dan Etika Bisnis
Islam. (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005)
d. Faisal Badroen et al., Etika Bisnis dalam Islam. (Ciputat: UIN Jakarta Press,
2005)
e. Muhammad Djakfar. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. (Malang: UIN
Malang Press, 2007)
f. Abdul Aziz. Etika Bisnis Perspektif Islam. (Bandung: Alfabeta, 2013)
g. Veithzal Rivai, dkk. Islamic Bussiness and Economic Ethics. (Jakarta: Bumi
Aksara, 2012)
h. Dedhy Sulistyawan et al., Creative Accounting. (Jakarta: Salemba Empat,
2011)
i. Sri Sulistyanto. Manajemen Laba, Teori dan Model Empiris. (Jakarta:
Grasindo, 2008)
j. Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2006)
k. Buchari Alma, Dasar-Dasar Etika Bisnis Islami. (Bandung: Alfabeta, 2003)
2. Data yang Diperlukan
Data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini bersifat kualitatif tekstual
dengan menggunakan pijakan terhadap proporsi-proporsi ilmiah yang
dikemukakan oleh para pakar etika bisnis Islam dan pakar akuntansi yang erat
kaitannya dengan pembahasan.
13
3. Sumber Data
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menggunakan sumber data
berupa teori-teori yang berasal dari literatur dan karya ilmiah.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi, mengidentifikasi wacana
dari buku-buku, makalah atau artikel, majalah, jurnal, web atau internet,
ataupun informasi lainnya yang berhubungan dengan judul penulisan untuk
mencari hal-hal atau variabel yang dapat berupa catatan, transkrip, buku, dan
sebagainya yang memiliki keterkaitan dengan kajian tentang konsepsi etika
bisnis islam kaitannya dengan manajemen laba.
5. Metode Pengolahan Data / Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, setelah data terkumpul maka data tersebut dianalisis
untuk mendapatkan konklusi, bentuk-bentuk dalam teknik analisis data ialah
sebagai berikut:
a. Metode Deskriptif, yaitu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu
data, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut. Pengolahan data
yang dilakukan dengan cara memaparkan data-data yang ada secara apa
adanya bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai
keadaan saat ini dan melihat kaitan antara permasalahan penelitian dengan
teori dalam Fikih Muamalat dan Etika Bisnis islam.
14
a) Analisis isi (content analysis), yaitu proses pengolahan data dengan cara
menganalisis materi/isi tertentu dari data-data yang telah dipaparkan secara
deskriptif sesuai dengan batasan masalah yang terkait. Menurut Weber,
Content Analysis adalah metodologi yang memanfaatkan seperangkat
prosedur untuk menarik kesimpulan yang shahih dari sebuah dokumen.
Menurut Hostli, Content Analysis adalah teknik apapun yang digunakan
untuk menarik kesimpulan melalui usaha untuk menemukan karakteristik
pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis.7
Dengan cara analisis isi dapat dibandingkan antara satu buku dengan
buku yang lain dalam bidang yang sama, baik berdasarkan perbedaan
waktu penulisannya maupun mengenai kemampuan buku-buku tersebut
dalam mencapai sasaran sebagai bahan yang disajikan kepada masyarakat
atau sekelompok masyarakat tertentu. Syarat tentang Cintent Analysis yaitu
objektif, sistematis, dan general.
6. Metode Pembahasan
Untuk mempermudah dalam penulisan ini, maka sangat diperlukan untuk
menggunakan pendekatan-pendekatan yaitu:
7 Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosda, 2010), h.
163
15
a) Metode induktif adalah berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa
kusus dan kongkrit, kemudian digeneralisasikan menjadi kesimpulan yang
bersifat umum.
b) Metode deduktif adalah metode yang berangkat dari pengetahuan yang
bersifat umum itu dan hendak menilai sesuatu kejadian yang sifatnya
khusus.
c) Metode komparasi adalah meneliti faktor-faktor tertentu yang berhubungan
dengan situsi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkan satu
faktor dengan yang lain, dan penyelidikan bersifat komparatif.
F. Literatur Review
1. Sirman Dahwal, “Etika Bisnis Menurut Hukum Islam (Suatu Kajian
Normatif)
Bahwa secara normative, etika bisnis menurut hukum Islam
memperlihatkan adanya struktur yang berdiri sendiri dan terpisah dari struktur
lainnya. Hal ini disebabkan karena struktur etika dalam agama Islam lebih
banyak menjelaskan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran baik pada tataran niat
atau ide hingga perilaku dan perangai. Nilai moral tersebut tercakup dalam
empat sifat, yaitu shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Serta etika bisnis
menurut hukum Islam harus dibangun dan dilandasi oleh prinsip-prinsip
kesatuan (unity), keadilan/keseimbangan (equilibrium), kehendak
bebas/ikhtiar (free will), pertanggungjawaban (responsibility) dan kebenaran
(truth), kebajikan (wisdom) dan kejujuran (fair). Kemudian harus memberikan
16
visi bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari keuntungan yang
bersifat sesaat melainkan mencari keuntungan yang mengandung hakikat baik
yang berakibat atau berdampak baik pula bagi semua umat manusia.
2. Azharsyah Ibrahim, “Income Smoothing dan Implikasinya terhadap
Laporan Keuangan Perusahaan dalam Etika Ekonomi Islam”. Jurnal
Media Syariah Vol. XII No. 24, Juli 2010.
Hasil kajian menunjukkan bahwa dari sudut pandang etika secara umum
ada dua pendapat yang bertolak belakang yaitu yang menganggap wajar; dan
yang menganggap tidak etis. Akan tetapi pendapat kedua lebih kuat. Praktik
yang dilakukan pun memberi pengaruh yang signifikan terhadap laporan
keuangan perusahaan karena mempengaruhi jumlah laba yang dihasilkan oleh
suatu perusahaan, yang efeknya dapat mengelabui stakeholder terhadap
kondisi keuangan perusahaan tersebut.
3. Syafrudin Arif, “Etika Islam dalam Manajemen Keuangan”, Jurnal HI
Volume 9, Nomor 2, Desember 2011.
Bahwa Islam mengakui motif laba, namun juga mengikat motif itu
dengan syarat-syarat moral, social, dan temperance (pembatasan diri).
Sehingga kalau ajaran Islam itu dilaksanakan, pemakaian motif laba seorang
individu/perorangan, tidak sampai menjadikan individualism yang ekstrem,
yaitu manusia yang hanya ingat akan kepentingan diri tanpa memperdulikan
masyarakat. Sistem Ekonomi Islam jika diikuti dan dilaksanakan, merupakan
17
imbangan yang harmonis antara kepentingan individu dan kepentingan
masyarakat.
4. Tatang Ary Gumati. “Earning Management: Suatu Telaah Pustaka”.
Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No.2, Nopember 2000.
Penelitian ini meneliti bahwa earning management atau manajemen laba
merupakan suatu fenomena baru yang telah menambah wacana perkembangan
teori akuntansi. Istilah manajemen laba muncul sebagai konsekuensi langsung
dari upaya manager untuk melakukan manajemen informasi akuntansi,
khususnya laba demi kepentingan pribadi atau perusahaan. Manajemen laba
tidak selamanya merupakan suatu upaya negatif yang merugikan karena tidak
selamanya manajemen laba berorientasi pada manipulasi laba.
Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa praktek manajemen laba
ditemui dalam banyak konteks. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa atau
variabel-variabel ekonomi tertentu dapat dijadikan sarana untuk memanage
laba. Dan hasil secara teoritis menunjukkan bahwa pada teori akuntansi positif
menjelaskan bahwa manajer memiliki insentif atau dorongan untuk
memaksimalkan kesejahteraannya.
5. Astri Faradila dan Ari Dewi Cahyati, “Analisis Manajemen Laba Pada
Perbankan Syariah” Jurnal RAK Vol 4 No. 1, Februari 2013.
18
Penelitian ini mencari dan menganalisis adanya praktik manajemen laba
pada bank syarah, menggunakan 11 BUS, dengan menggunakan Model Jones
Modifikasi. Hasil menunjukkan bahwa nilai accrual discretioner pada sampel
11 Bank Umum Syariah masih berkisar di bawah angka 0 (nol), hal ini berarti
bank syariah melakukan manajemen laba dengan cara menurunkan laba.
Persamaan penelitian dengan penelitian sebelumnya ialah terletak pada tema
penelitian, yaitu ada yang membahas mengenai etika bisnis Islam dan juga ada yang
membahas mengenai manajemen laba. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-
penelitian sebelumnya ialah pada penelitian ini mengkaji fenomena manajemen laba
yang kerap terjadi pada entitas bisnis syariah ditinjau dari segi etika bisnis menurut
Islam, karena sejauh ini telah banyak sekali penelitian yang mengkaji perihal
manajemen laba dan faktor-faktor yang mempengaruhinya namun tidak dikaitkan
secara langsung terhadap tataran atau nilai-nilai Islam. Sehingga penelitian ini
bertujuan untuk mengaitkan secara langsung bagaimana etika bisnis menejemen laba
menurut Islam.
G. Sistematika Penulisan
Metode Penulisan yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini adalah
metode penulisan yang mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi oleh Fakultas
Syariah dan Hukum tahun 2012. Selanjutnya untuk memudahkan dan lebih
sistematisnya skripsi ini, penulis menyusunnya ke dalam lima (5) bab, yaitu:
19
Bab I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi permasalahan
pembatasan dan perumusan masalah, metodolgi penelitian, tujuan dan
manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II : Pada bab ini akan dibahas dan dijelaskan mengenai Konsep Dasar Etika
Bisnis Islam, yang mencakup didalamnya mengenai Etika, Etika Bisnis,
Etika Bisnis Islam, Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam, Tujuan Bisnis Islam,
Pedoman Bisnis dalam Islam, setika Bisnis Islam kaitannya dengan
Manajemen Laba.
Bab III : Pada bab ini akan dibahas mengenai Konsep Manajemen Laba yang
mencakup didalamnya Laporan Keuangan, Agency Theory, Asimetri
Informasi, Manajemen Laba, Prinsip Akuntansi Berbasis Akrual, Motivasi
Manajemen Laba, Bentuk-Bentuk Manajemen Laba, serta Manajemen
Laba, Apakah Legal dan Etis.
Bab IV : Pada Bab ini membahas tentang bagaimana Tinjauan Etika Bisnis Islam
terhadap Manajemen Laba.
Bab V : Pada Bab ini berisi Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.
20
BAB II
KONSEP DASAR ETIKA BISNIS ISLAM
A. Etika
Etika adalah tata nilai yang diletakkan sebagai regulator kehidupan guna
mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh tingkah laku manusia.1 Ethics yang
menjadi padanan dari etika, secara etimologis berarti ‘the discipline dealing with
what is good and bad and with moral duty and obligation’, ;a set of moral principle
or values’, ‘a theory or system moral values.’2
Etika dapat diartikan sebagai sikap untuk memahami opsi-opsi yang harus
diambil diantara sekian banyak pilihan tindakan yang ada. Etika tidaklah ditafsiri
sebagai sesuatu yang merampas kebebasan manusia dalam berbuat. Malah etika
sangat erat kaitannya dengan kebebasan namun kebebasan yang bertanggung jawab.
Hal ini dapat dikatakan bahwa Etika adalah suatu kesadaran pada diri seseorang
atas dasar nilai dan rasa tanggung jawab atas sesuatu yang dianggapnya baik atau
buruk, wajar atau tidak wajar, diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Sehingga
keseluruhan perbuatan yang dilakukan berdasarkan pada satu pemahaman kata yaitu
benar dan baik. Etika mempunyai kendali intern dalam hati, berbeda dengan aturan
hukum yang mempunyai unsur paksaan ekstern.
1 Faisal Badroen, dkk, Etika Bisnis dalam Islam. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 1.
2 Joseph H, dkk, Webster’s New Collegiate Dictionary, (USA: Houghton Mifflin Hartcourt, 2012), h.
13-15
21
Sedangkan dalam Islam, istilah yang paling dekat berhubungan dengan istilah
etika dalam al- quran adalah khuluq. Al-quran juga menggunakan sejumlah istilah
lain untuk menggambarkan konsep tentang kebaikan: khair (kebaikan), birr
(kebenaran), qist (persamaan), „adl (kesetaraan dan keadilan), haqq (kebenaran dan
kebaikan), ma’ruf (mengetahui dan menyetujui) dan takwa (ketakwaan). Tindakan
yang terpuji disebut sebagai shalihat dan tindakan yang tercela disebut sebagai
sayyi’at.3
Etika dalam Islam, dipahami sebagai akhlak atau adab yang bertujuan untuk
mendidik moralitas manusia. Etika merupakan jiwa ekonomi Islam yang
membangkitkan kehidupan dalam peraturan dan syariat. Oleh sebab itu, etika atau
akhlak adalah hakikat-hakikat yang menempati ruang luas dan mendalam pada akal,
hati nurani, dan perasaan seorang muslim.
Terdapat dua macam etika, yaitu:4
1. Etika Deskriptif
Adalah etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan
perilaku manusia, secara apa yang dikejar setiap orang dalam hidupnya sebagai
sesuatu yang bernilai. Artinya etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta
secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu
fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya.
3 Rafik Issa Beekun, dalam Veithzal Rivai, dkk, Islamic Bussiness and Economic Ethics. (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2012), h. 3. 4 Johan Arifin, Etika Bisnis Islami, (Semarang: Walisongo Press, 2009), h. 13.
22
2. Etika Normatif
Etika Normatif adalah etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku
yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya
dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi
etika normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia
bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan
kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.
B. Etika Bisnis
Definisi etika bisnis ialah seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar, salah
dalam dunia bisnis berdasarkan pada prinsip moralitas. Atau dapat disebut juga
prinsip dan norma dimana para pelaku binis harus commit padanya dalam
bertransaksi, berperilaku, dan berelasi guna mencapai tujuan-tujuan bisnisnya dengan
selamat.5
Penerapan Etika pada Organisasi Perusahaan
Apakah bisa pengertian moral seperti tanggung jawab perbuatan yang salah dan
kewajiban, diterapkan terhadap kelompok seperti perusahaan? Ada dua pandangan
yang muncul atas masalah ini, pandangan pertama, berpendapat bahwa karena aturan
yang mengikat, organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa
perusahaan bertindak seperti individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas apa
5 Faisal Badroen, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 15
23
yang mereka lakukan, kita dapat mengatakan bahwa tindakan mereka bermoral atau
tidak bermoral dalam pengertian sama yang dilakukan manusia. Pandangan kedua
ialah pandangan filsuf yang berpendirian, bahwa tidaklah masuk akal jika organisasi
bisnis secara moral bertanggung jawab, karena ia gagal mengikuti standar moral, atau
mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral. Organisasi bisnis seperti
mesin yang anggotanya harus secara membabi buta menaati peraturan formal yang
tidak ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya, lebih tidak masuk akal untuk
menganggap organisasi bertanggung jawab secara moral karena ia gagal mengikuti
standar moral daripada mengkritik organisasi seperti mesin yang gagal bertindak
secara moral. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan itu disebabkan oleh pilihan
tindakan yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan itu, jika perusahaan
bertindak secara moral, maka hal ini disebabkan oleh pilihan individu dalam
perusahaan yang bertindak secara bermoral.6
Mengapa perusahaan harus menetapkan kode etik dalam keseharian roda
perjalanannya?
Pertama, perusahaan yang punya standar etika dapat menciptakan suasana
psikologis lingkungan kerja yang sehat, dan perusahaan yang tidak demikian akan
mengalami sebaliknya.
Kedua, ialah trust (kepercayaan) dalam sebuah perusahaan adalah hal yang
sangat fundamental guna mencapai efisiensi transaksi dalam bisnis. Dan upaya
6 Veithzal Rivai, dkk, Islamic Bussiness and Economics Ethics, (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2012), h. 5.
24
mempertahankan perilaku etis yang konsisten sangat diperlukan guna
mempertahankan trust konsumen tersebut.
Ketiga, melakukan tindakan yang benar atau salah di tempat kerja akan berefek
pada produk-produk dan pelayanan yang dihasilkan serta menjamin hubungan baik
dengan para stakeholder.
Keempat, etika bisnis semata-mata persoalan menerapkan dasar apa yang baik
atau buruk, salah atau benar, wajar atau tidak wajar, layak atau tidak layak, dan
sebagainya sehingga perusahaan dapat menghasilkan produk atau jasa yang baik dan
berharga.
Kelima, etika bisnis adalah persoalan menghadapi posisi dilematis yang kerap
dihadapi dalam aktivitas rutin bisnis yang tidak jelas dasar hukumnya, apakah itu
benar atau salah.7
Namun apa yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk
pengambilan keputusan yang tak pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada
tingkah laku dari atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai
pelanggaran etika atau moral. Karena dari itu dapat diasumsikan bahwa suatu
organisasi merasa terikat dan dapat menciptakan beberapa struktur yang berwenang
untuk mendorong organisasi ke arah etika dan moral bisnis. Lalu selanjutnya timbul
pertanyaan, dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah laku etis pada pihak-pihak
manajerial-manajerial pembuat keputusan?
7 Faisal Badroen. 2005. Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 17-18.
25
Alasan mengejar keuntungan, atau lebih tepat, keuntungan adalah hal pokok
bagi kelangsungan bisnis ialah hal utama bagi setiap perusahaan untuk berperilaku
tidak etis.
Pada hakikatnya keuntungan adalah hal yang baik. Karena pertama, keuntungan
memungkinkan perusahaan bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya. Kedua,
keuntungan adalah salah satu indikator yang dilihat oleh para investor untuk
menanamkan dananya pada perusahaan. Ketiga, keuntungan tidak hanya
memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat menghidupi karyawannya
kearah tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai
pengembangan atau ekspansi perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan
kerja baru.8
C. Etika Bisnis Islam
Secara sederhana mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari tentang
mana yang baik atau buruk, benar atau salah, serta halal atau haram dalam dunia
bisnis berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas Islam.
Etika bisnis dalam kaitannya dengan ajaran Islam ialah sebuah pemikiran atau
refleksi tentang moralitas yang membatasi kerangka acuannya kepada konsepsi
sebuah organisasi dalam ekonomi dan bisnis yang didasarkan atas ajaran Islam. Etika
bisnis Islam mengatur tentang sesuatu yang baik atau buruk, wajar atau tidak wajar,
8 Achyar Eldine, “Etika Bisnis Islam”. Jurnal Khazanah, Vol. 3 No. 3, Oktober 2007.
26
atau diperbolehkan atau tidaknya perilaku manusia dalam aktivitas bisnis baik dalam
lingkup individu maupun organisasi yang didasarkan atas ajaran Islam.
Titik sentral etika Islam adalah menentukan kebebasan manusia untuk bertindak
dan bertanggungjawab karena kemahakuasaan Tuhan. Hanya saja kebebasan manusia
itu tidaklah mutlak, dalam arti, kebebasan yang terbatas. Dengan kebebasan tersebut
manusia mampu memiih antara yang baik dan jahat, benar dan salah, halal dan
haram.9
Bisnis memberikan banyak dampak dalam kehidupan karena merupakan pilar
ekonomi. Karena itu, bisnis juga menjadi wilayah hukum yang diatur oleh Islam
dengan turunnya wahyu mengenai muamalah maupun hadits dan sunnah dari Nabi
Muhammad saw. Seperti Nabi saw pernah bersabda bahwa sembilan dari sepuluh
pintu rezeki terdapat dalam aktivitas dagang alias bisnis.10
Bagan 2.1 Akhlak Pebisnis Muslim
9 Syed Nawaib Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Penerjemah M. Saiful Anam
dan Muhammad Ufuqul Mubin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) 10
Bambang Trim. Bussiness Wisdom of Muhammad SAW, (Bandung: Madania Prima, 2008), h.
12
Jujur
Akhlak Pebisnis
Muslim
Amanah
Toleran
27
Sumber : Faisal Badroen, Etika Bisnis dalam Islam, 2005.
Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelaku bisnis itu
sendiri, seorang pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan
moral bisnis Islami. Akhlak yang baik dalam bisnis Islam, Pertama ialah Kejujuran,
bahwa dalam Hadist “Tetapkanlah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran
mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada
surga”. Kedua ialah Amanah, Islam menginginkan seorang pebisnis muslim
mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi hak-hak Allah
dan manusia, serta menjaga muamalahnya dari unsur yang melampaui batas. Ketiga
ialah Toleran, bahwa rasa toleransi dapat mempermudah pergaulan, mempermudah
urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal.
Rasulullah saw. Sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis
berikut ini adalah uraiannya.11
1. Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam tataran ini, beliau
bersabda: “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang
mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (HR. Al- Quzwani).
2. Kesadaran tentang signifikansi social kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut
Islam, tidak hanya mengajar keuntungan sebanyak-banyaknya, namun juga
memberikan manfaat dalam menolong orang lain.
3. Tidak melakukan sumpah palsu.
11
Veithzal Rivai, dkk, Islamic Bussiness and Economics Ethics, (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2012), h. 39-43
28
4. Seorang pelaku bisnis harus bersikap ramah tamah dalam melakukan bisnis.
Nabi Muhammad mengatakan, ”:Allah merahmati seseorang yang ramah dan
toleran dalam berbisnis”(HR. Bukhari dan Tarmizi)
5. Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik
membeli dengan harga tersebut.
6. Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar membeli kepadanya.
7. Tidak melakukan ikhtikar atau menumpuk dan menyimpan barang dalam masa
tertentu , dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan
besar pun diperoleh.
8. Dalam melakukan pengukuran, takaran, ukuran, dan timbangan nya harus
benar.
9. Bisnis tidak boleh mengganggu kegiatan ibadah kepada Allah swt
10. Membayar upah sebelum keringat karyawan kering.
11. Tidak melakukan monopoli.
12. Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang
dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan social.
13. Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang
yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, narkotika, dan sebagainya.
14. Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan.
15. Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya.
29
16. Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditur) belum mampu
membayar.
17. Bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Seperti dalam Firman
Allah swt dalam Surat Al-Baqarah ayat 278:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman”.
Berikut ini adalah persamaan dan perbedaan antara etika bisnis Islami dengan
Etika Bisnis Konvensional :
Tabel 2.1 Persamaan dan Perbedaan Etika Bisnis Islami dengan Etika Bisnis
Konvensional
Aspek Etika Bisnis Islami Etika Bisnis
Konvensional
1. Azas Tauhid (nilai-nilai
transendental)
Sekularisme (nilai-nilai
material)
2. Motivasi Dunia dan akhirat Dunia
3. Orientasi Profit dan berkah
Profit
4. Etos Kerja Bekerja adalah ibadah Bekerja adalah
kebutuhan pribadi
5. Sikap Mental Menjadi yang terbaik
karena Allah
Menjadi yang terbaik
karena aktualisasi diri
6. Keahlian dan Kewajiban sebagai Kewajiban perusahaan
30
Pengetahuan muslim
7. Keberhasilan Usaha dan doa Usaha
8. Pertanggung
Jawaban
Khalifah (wakil) Allah
di muka bumi
Pemimpin perusahaan
9. Modal Halal Halal dan haram
10. Suber Daya Tidak terbatas,
keinginan manusia
dibatasi
Terbatas, keinginan
manusia tidak terbatas
11. Informasi Ayat qauliyah (Al-
Quran dan Sunnah)
dan ayat kauniyah
(peristiwa alam)
Ayat-ayat kauniyah
(peristiwa alam)
12. Manajemen
Strategi
Ayat qauliyah (Al-
Quran dan Sunnah)
dan ayat kauniyah
(peristiwa alam)
Ayat-ayat kauniyah
(peristiwa alam)
13. Manajemen
Operasi
Sesuai koridor syariah Efektif dan Efisien
14. Manajemen
Keuangan
Terhindar dari
Maghrib (Maysir,
gharar, riba)
Maksimalisasi profit
15. Manajemen
Pemasaran
Menciptakan produk
kebutuhan masyarakat
Menciptakan produk
keinginan masyarakat
(menimbulkan
konsumerisme)
16. Manajemen
SDM
Kepribadian Islami Kebudayaan perusahaan
17. Instrumen Zakat, infaq, CSR
31
pemberdayaan
masyarakat
shadaqah, waqf
Sumber : Siti Najma, Bisnis Syariah dari Nol.
Tindakan dan keputusan dianggap sesuai dengan etika ialah apabila tergantung
pada niatnya. Niat yang baik diikuti dengan tindakan yang baik dinilai sebagai
ibadah. Islam membolehkan individu untuk bebas percaya dan bertindak sesuai
dengan apa yang ia inginkan, selama tidak mengorbankan akuntabilitas dan keadilan.
Keputusan yang etis mendasarkan rujukan kepada ayat yang tertulis (Al-Quran) dan
ayat yang tersebar di alam semesta (Kauniyyah). Tidak seperti sistem etika yang lain,
etika Islam mendorong manusia untuk membersihkan diri (tazkiyyah) melalui
partisipasi aktif dalam hidup. Dengan melakukan segala tindakan dalam koridor
etika.12
Persamaan antara etika bisnis Islam dengan Konvensional ialah pada etika
bisnis konvensional hubungannya hanya kepada sesama individu, selama tidak ada
yang mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan orang lain, maka hal itu dianggap
sah-sah saja. Lain halnya dengan pada sistem etika bisnis Islam, yang hubungannya
tidak hanya kepada sesama manusia, namun juga pada Allah. Segala perbuatannya
ialah akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Sehingga dalam melakukan
bisnis dan transaksi akan berdampak pada kehidupannya di dunia dan akhirat.
12
Rafik Issa Beekun. 1997. Islamic Bussiness Ethics. Virginia: International Institute of
Islamic Thought.
32
D. Prinsip-Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam
Aksioma Dasar Etika Bisnis Islam
Berikut ialah rumusan aksioma atau ketentuan umum yang diharapkan
menjadi rujukan bagi moral awareness para pebisnis muslim untuk
menentukan prinsip-prinsip yang dianut dalam menjelankan bisnisnya.
Aksioma-aksioma tersebut adalah sebagai berikut:13
a. Keesaan (Tauhid)
Bahwa Konsep persatuan atau juga disebut Tauhid ialah dimensi vertikal
Islam. Konsep ini dimaksudkan bahwa sumber utama etika Islam adalah
kepercayaan total dan murni terhadap keesaan Tuhan.14
Yang mana berarti
Allah SWT sebagai Tuhan Maha Esa yang menetapkan batas-batas tertentu
atas perilaku manusia sebagai khalifah, untuk memberikan manfaat pada
individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya. Bahwa konsep ini
menekankan bahwa sumber utama etika Islam adalah kepercayaan total dan
murni terhadap keesaan Tuhan. Aturan-aturan itu sendiri bersumber pada
kerangka konseptual masyarakat dalam hubungannya vertikal dengan Allah
Swt dan hubungan horizontal dengan kehidupan sesama manusia dan alam
semesta secara keseluruhan untuk menuju tujuan akhir yang sama.
Individu-individu memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai
manusia. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban ekonomik setiap individu
13
Haider Naqvi, Etika …. 14
Djakfar, Etika Bisnis… h. 12
33
disesuaikan dengan kapabilitas dan kapasitas yang dimiliki dan sinkronisasi
pada setiap peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial.
Dengan mengintegrasikan aspek religius dengan aspek-aspek lainnya,
seperti ekonomi, akan menimbulkan perasaan dalam diri manusia bahwa ia
akan selalu merasa direkam segala aktivitas kehidupannya, termasuk dalam
aktivitas berekonomi sehingga dalam melakukan segala aktivitas bisnis tidak
akan mudah menyimpang dari segala ketentuanNya. Perhatian terus menerus
untuk emmenuhi kebutuhan etik dan dimotivasi oleh ketauhidan kepada
Tuhan Yang Maha Esa akan meningkatkan kesadaran individu mengenai
insting altruistiknya, baik terhadap sesama manusia maupun alam
lingkungannya. Ini berarti konsep tauhid akan emmiliki pengaruh yang paling
mendalam terhadap diri seorang muslim.15
b. Keseimbangan
Keseimbangan atau keadilan menggambarkan dimensi horizontal ajaran
Islam dan hubungan dengan harmoni segala sesuatu di alam semesta. Dalam
beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil,
tak terkecuali kepada pihak manapun. Adil dalam Islam bahwa agar hak
semua orang sama dimata Allah, serta agar hak tersebut dapat ditempatkan
sebagaimana mestinya sesuai dengan aturan syariah. Karena apabila dengan
15
Rafik Issa Beekun, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 33
34
tidak mengakomodir hak salah satu pihak, maka hal tersebut dapat dikatakan
kedzaliman. Karenanya orang yang adil akan lebih dekat kepada ketakwaan.
Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah (5) : 8
Artinya : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-
kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Berlaku adil akan dekat dengan takwa, karena itu dalam perniagaan
(tijarah), Islam melarang untuk menipu, walau hanya „sekedar‟ membawa
sesuatu pada kondisi yang menimbulkan keraguan sekalipun. Kondisi ini
dapat terjadi seperti gangguan adanya mekanisme pasar atau karena adanya
informasi penting mengenai transaksi yang tidak diketahui oleh salah satu
pihak (assymetric information). Gangguan pada mekanisme pasar dapat
berupa gangguan dalam penawaran dan gangguan dalam permintaan.16
Konsep equilibrium juga dapat dipahami bahwa keseimbangan hidup di
dunia dan di akhirat harus diusung oleh seorang pebisnis muslim. Maka
karenanya, konsep keseimbangan berarti menyerukan kepada pengusaha
16
Faisal Badroen, dkk, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 78
35
muslim untuk bisa merealisasikan tindakan-tindakan (dalam bisnis) yang
dapat menempatkan dirinya dan orang lain dalam kesejahteraan duniawi dan
keselamatan akhirat.
Moral hazard (perilaku mendzolimi) adalah suatu tindakan yang
tercipta akibat ketidakseimbangan moral yang dapat mengakibatkan mudharat
(kesulitan) atau mufsadaat (kerusakan). Moral hazard dalam tindakan bisnis
muslim ialah bertindak curang dalam bertransaksi, tidak menuliskan yang
sebenarnya dalam pelaporan keuangan, serta memanfaatkan kekurangan
informasi pada pihak lain guna kepentingan diri sendiri.
c. Kehendak Bebas
Kehendak bebas ialah suatu rasa yang tertanam dalam diri manusia untuk
dapat bertindak secara tidak dibatasi dalam pengendalian kehidupannya
sendiri. Institusi ekonomi seperti pasar dapat berperan efektif dalam kegiatan
ekonomi. Hal ini dapat berlaku apabila persaingan bebas dapat berlaku secara
efektif, dimana pasar tidak mengharapkan adanya intervensi dari pihak
manapun, tak terkecuali negara dengan otoritas penentuan harga atau private
sektor dengan kegatan monopolistik.
Aktivitas ekonomi dalam konsep ini mengarahkan kepada kebaikan setiap
kepentingan bagi seluruh komunitas, baik sektor pertanian, perindustrian,
perdagangan, maupun lainnya. Larangan adanya bentuk monopoli,
kecurangan, dan praktik riba adalah jaminan terhadap terciptanya suatu
36
mekanisme pasar yang sehat dan persamaan peluang untuk berusaha tanpa
adanya keistimewaan pada pihak tertentu.
Dalam ekonomi Islam, kebebasan disini ialah tetap menggabungkan
antara nilai-nilai moral dan spiritual. Karena apabila tidak ada filter moral,
maka kegiatan ekonomi akan rawan kepada perilaku destruktif yang dapat
merugikan masyarakat luas. Telah menjadi tradisi di masyarakat sekarang ini
bahwa dalam kegiatan ekonominya cenderung mengedepankan materialisme,
tanpa memperdulikan moralitas. Rasululla bersabda, “Pedagang yang jujur
lagi terpercaya adalah bersama-sama para nabi, orang shadiqin dan para
syuhada” (HR Tarmidzi dan Hakim). Hadist tesebut mengemukakan bahwa
para pedagang yang utama ialah yang berlaku jujur dan terpercaya baik dalam
proses penjualan maupun produksinya, pedagang harus berlaku jujur agar
kunci keberkahan akan selalu ada padanya, terlebih lagi bagi pedagang yang
berlaku jujur serta dapat dipercaya, maka mereka ialah bersama dengan para
nabi, shadiqin serta para syuhada, karena mereka ialah merupakan para
pedagang yang amanah dan profesional.
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis Islam,
kebebasan bagi individu dibuka lebar, tetapi kebebasan itu tidak merugikan
kepentingan kolektif. Tidak ada pula batasan pendapatan bagi seseorang untuk
aktif bekerja dan berkarya dengan segala potensi yang dimilikinya.
37
d. Tanggung Jawab (Responsibility)
Dengan adanya kebebasan ekonomi, maka tanggung jawab Muslim
begitu diperlukan agar menghasilkan tindakan-tindakan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Tanggung jawab ini dimulai dari kebebasan yang
luas, kemudian kebebasan untuk memilih keyakinan dan berakhir dengan
keputusan yang tegas yang perlu diambilnya. Tanggung jawab sangat
berhubungan dengan kebebasan, karena tanggung jawab dapat menetapkan
batasan atas semua hal yang dilakukannya.
Kebebasan dan Tanggung Jawab
Kebebasan manusia yang ada adalah kebebasan yang bertanggung
jawab yaitu kebebasan yang didasari oleh ‘ilm (ilmu) dan kesadaran penuh.
Manusia bebas dalam bertindak, yaitu manusia bebas berbuat sesuatu dengan
tujuan dan disengaja yang dipengaruhi faktor internal dan eksternal dirinya.
Bisa jadi hal itu disebabkan oleh pengaruh ajaran, agama, bacaan, lingkungan
dan lain sebagainya. Kebebasan dengan kewajiban moral, yaitu bahwa
seseorang yang melakukan sesuatu kewajiban karena ia setuju, walau itu
membutuhkan pengorbanan, karena didapati tindakan tersebut ternyata dapat
membuat ia merasa bebas. Kebebasan bertanggung jawab, yaitu sesungguhnya
38
sikap moral yang mature atau dewasa adalah sikap yang bertanggung jawab,
dan tidak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan.17
Dapat disimpulkan bahwa kebebasan itu mengandung anasir berikut:18
- Kemampuan seseorang untuk menentukan suatu tindakan secara independen.
- Kemampuan untuk bertanggung jawab secara sadar.
- Sikap yang dewasa dengan penuh pertimbangan dan konsekuen.
- Adanya semua kondisi di mana seseorang dapat mewujudkan tujuan
hidupnya.
e. Kebajikan
Kebajikan artinya melaksanakan perbuatan baik yang dapat memberikan
kemanfaatan kepada orang lain, tanpa adanya kewajiban tertentu yang
mengharuskan perbuatan tersebut atau dengan kata lain beribadah dan berbuat
baik seakan melihat Allah, jika tidak mampu maka yakinlah Allah melihat.
Aksioma ihsan dalam bisnis, yaitu : (1) kemurahan hati (leniency); (2) motif
pelayanan (service motives); dan (3) kesadaran akan adanya Allah dan aturan
yang berkaitan dengan pelaksanaan yang menjadi prioritas.
Guna menyempurnakan prinsip-prinsip etika bisnis Islam sebagaimana
dikemukakan diatas, perlu dikemukakan pula pendapat Rafik Issa Beekun
dalam sebuah karyanya Etika Bisnis Islam. Dalam bukunya ia mengemukakan
sembilan pedoman etika umum bagi bisnis kaum muslim, yaitu jujur dan
17
Faisal Badroen. 2005. Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 11. 18
Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), Ed. III, h. 13-15
39
berkata benar, menepati janji, mencintai Allah lebih dari mencintai
perniagaan, berbisnis dengan muslim sebelum dengan non muslim, rendah
hati dalam menjalani hidup, menjalankan musyawarah dalam semua masalah,
tidak terlibat dalam kecurangan, tidak boleh menyuap, dan berbisnis secara
adil.19
M. Quraish Shihab menetapkan terdapat empat prinsip dalam ekonomi, yaitu
Tauhid, Keseimbangan, Kehendak Bebas, dan Tanggung Jawab.
Selanjutnya dalam menetapkan etika bisnis ia merincinya yaitu: 20
a) Kejujuran
b) Keramahtamahan
c) Penawaran yang jujur
d) Pelanggan yang tidak sanggup membayar diberi waktu
e) Penjual hendaknya tidak memaksa pembeli dan tidak bersumpah dalam
menjual
f) Tegas dan adil dalam timbangan dan takaran
g) Tidak dibenarkan monopoli
h) Tidak dibenarkan adanya harga komoditi yang boleh dibatasi
i) Kesukarelaan.
19
Muhammad Djakfar, Agama, Etika, dan Ekonomi: Wacana Menuju Pengembangan ekonomi
Rabbaniyah, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 30-32. 20
Quraish Shihab, “Etika Bisnis dalam Wawasan Al- Qur‟an”, dalam Jurnal Ulum Al— Quran,
No. 3 VII/1997, h. 5-9.
40
Lain halnya dengan Abd. Muin Salim; ia memberikan uraian tentang prinsip-
prinsip filosofi ekonomi Qur‟ani, yaitu: a) Tauhid, b) Isti’mar atau Istikhlaf, b)
Kemaslahatan (Al-silah) dan keserasian (al-adalah), d) Keadilan (al- qist), e)
Kehidupan sejahtera dan kesentosaan dunia akhirat.
E. Tujuan Bisnis Islam
Setiap manusia memerlukan harta untuk mencukupi segala kebutuhan
hidupnya, dan salah satu upaya untuk memperolehnya adalah dengan cara bekerja.
Islam mewajibkan Muslim untuk bekerja. Dan Allah melapangkan bumi dan
seisinya dengan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk
mencari rezeki, antara lain seperti dalm firman Allah swt. QS Al-Mulk : 15
Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu , maka berjalanlah
di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya”
Selanjutnya, firman-Nya dalam QS. Al-A‟raf : 10
Artinya: “Sesungguhya kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi
dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan”
41
Demikian pula firman Allah Swt dalam QS. Hud : 61
Artinya : “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan
kamu pemakmurnya.”
Di samping anjuran untuk mencari rezeki, Islam sangat menekankan atau
mewajibkan aspek kehalalan, baik dari segi perolehan maupun pendayagunaannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bisnis Islam dapat diartikan sebagai
berbagai macam bentuk aktivitas bisnis yang tidak dibatasi, namun dibatasi dalam
cara perolehan dan pendanan hartanya. Dalam hal kendali syariah, bisnis dalam
Islam bertujuan untuk mencapai empat hal utama, yaitu sebagai berikut:21
1) Target Hasil ; Profit Materi dan Benefit Nonmateri
Terdapat paling tidak tiga tujuan atau orientasi bisnis, yaitu pertama nilai materi
(qimah madiyah) yang berhubungan dengan nilai profit atau keuntungan.
Kedua, ialah nilai-nilai Akhlak (qimah khuluqiyah) yaitu nilai-nilai akhlak
mulia yang menjadi suatu kemestian yang muncul dalam kegiatan bisnis,
sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang islami. Ketiga, (qimah ruhiyah)
berarti perbuatan tersebut dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah,
atau dalam melaksanakan kegiatan bisnis semata-mata kesadaran hubungannya
dengan Allah. Inilah yang dimaksud bahwa setiap perbuatan muslim adalah
21
Veithzal Rivai, dkk, Islamic Bussiness and Economics Ethics, (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2012) h. 13.
42
ibadah. Amal perbuatannya bersifat materi, sedangkan kesabaran akan
hubungannya dengan Allah ketika melakukan bisnis dinamakan ruhnya.
2) Pertumbuhan
Jika profit materi dan non materi telah diraih, maka diupayakan pertumbuhan
atau kenaikan akan terus menerus meningkat setiap tahunnya dari profit dan
benefit tersebut.
3) Keberlangsungan
Pencapaian target hasil dan pertumbuhan terus diupayakan keberlangsungannya
dalam kurun waktu yang cukup lama dan dalam menjaga keberlangsungan itu
baik dalam koridor syariat Islam.
4) Keberkahan
Faktor keberkahan atau upaya dalam menggapai ridho Allah, merupakan
puncak kebahagiaan hidup Muslim. Para pengelola bisnis harus mematok
orientasi keberkahan ini menjadi visi bisnisnya, agar senantiasa dalam kegiatan
bisnis selalu berada dalam kendali syariat dan diraihnya keridhoan Allah.22
Dalam ekonomi Islam yang berlandaskan ketuhanan, maka tujuan akhir
pencapaiannya adalah ridho Allah SWT, dengan tetap memegang syariat Islam
dalam segala aktivitasnya, begitu pula dengan aktivitas ekonomi yang tidak
dapat pula dipisahkan dengan nilai-nilai keIslaman.
22
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 31.
43
F. Pedoman Bisnis dalam Islam
Di dalam Islam, manusia berhak dan diperbolehkan untuk bekerja dan
mencari rezeki sesuka hatinya, namun dibatasi pada kerangka yang boleh dan
tidak boleh, seperti yang tidak diperbolehkan itu diantaranya adalah penipuan,
kecurangan, sumpah palsu, dan perbuatan bathil lainnya. Dalam melakukan
bisnis juga antara pihak yang bertransaksi harus mencapat kesepakatan suka
sama suka, sehingga tidak ada pihak yang merasa terdzalimi. Semua jalan yang
saling mendatangkan manfaat antara individu-individu dengan saling rela-
merelakan dan adil, adalah dibenarkan. Prinsip ini telah ditegaskan dalam QS.
An-Nisa : 29-30
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar
hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.
Ayat ini menjelaskan bahwa sangat dilarang sekali bagi orang yang
beriman untuk memakan harta dengan jalan yang bathil. Maksudnya ialah
dengan jalan curang yang memberikan kerugian di pihak lain, sedangkan
44
memberikan keuntungan di pihak kita. Karena sesungguhnya yang berbuat
demikian melanggar hak dan menganiaya pihak lainnya, sehingga balasannya
adalah neraka.
Dapat diambil kesimpulan dalam ayat ini ialah perdagangan boleh
dilangsungkan dengan dua hal, yaitu perdagangan harus dilakukan atas dasar
saling rela antara kedua belah pihak. Tidak boleh bermanfaat untuk satu pihak
dengan merugikan pihak yang lain; tidak boleh saling merugikan, baik untuk
diri sendiri maupun orang lain. Sebab, hal ini seolah menghisap darahnya dan
membuka jalan kehancuran untuk dirinya sendiri, misalnya mencuri, menyuap,
berjudi, menipu, mengaburkan, mengelabui, riba, atau pekerjaan lain yang
diperoleh dengan jalan yang tidak dibenarkan.
Pada masa Rasulullah, nilai-nilai moralitas sangat diperhatikan dalam
kehidupan pasar. Bahkan sampai pada masa awal kerasulannya, beliau adalah
seorang pelaku pasar yang aktif, dan kemudian menjadi seorang pengawas yang
cermat sampai akhir hayatnya. Beliat telah memulai pengalaman dagangnya
sejak usia 12 tahun.23
G. Aktivitas Bisnis yang Terlarang dalam Syariah
Dalam melakukan bisnis, pelaku usaha diharapkan tidak melakukan hal-
hal yang dilarang dalam Syariah, diantaranya ialah:24
23
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Pedagang, Penerjemah: Dewi Nurjulianti, (Jakarta:
Yayasan Swarna Bhumy, 1997), h.5. 24
Veitzal Rivai, Islamic and Bussiness Ethics, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012)
45
a. Melakukan transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim
harus berkomitmen dalam berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh
Allah SWT. Seorang pengusaha muslim tidak boleh melakukan kegiatan bisnis
dalam hal-hal yang diharamkan oleh syariah serta dituntut untuk selalu
melakukan usaha yang mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis,
makanan tak halal atau mengandung bahan tak halal, minuman keras, narkoba,
pelacuran atau semua yang berhubungan dengan dunia gemerlap seperti night
club diskotik, suguhan minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-
A‟Raf : 32. QS: Al Maidah : 100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan.
b. Memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba yang
menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat
(QS. Al Baqarah : 275-279).
c. Melakukan pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang perbuatan
memalsukan dan menipu karena dapat menyebabkan kerugian, kezaliman,
serta dapat menimbulkan permusuhan dan percekcokan. Allah berfirman dalam
QS. Al-Isra : 35, yang berbunyi ”Dan sempurnakanlah takaran ketika kamu
menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar”. Nabi bersabda ”Apabila
kamu menjual maka jangan menipu orang dengan kata-kata manis”.
Kemudian contoh penawaran atau promosi yang tidak terpuji ialah yang tidak
fair. Hal sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur‟an
46
surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian
kamu dengan cara yang batil”.
1) Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif
2) Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan
3) Eksploitasi wanita.
Islam sebagai agama yang menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia,
setiap bagian tidak dapat dipisahkan dengan bagian yang lain. Demikian pula pada
proses jual beli harus dikaitkan dengan ‟etika Islam‟ sebagai bagian utama. Jika
penguasa ingin mendapatkan rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai
pedagang tentu ingin dinaikkan derajatnya sestara dengan para Nabi, maka ia harus
mengikuti syari‟ah Islam secara menyeluruh, termasuk ‟etika jual beli‟.
H. Etika Bisnis Islam kaitannya dengan Manajemen Laba
Pekerjaan jual beli atau berdagang adalah sebagian dari pekerjaan bisnis.
Kebanyakan masyarakat jika berdagang, selalu ingin mencari laba besar. Jika ini
tujuan usahanya, maka seringkali mereka menghalalkan berbagai cara untuk
mencapai tujuan tersebut. dan hal ini yang kemudian seringkali melatarbelakangi
mereka untuk berbuat atau berperilaku negatif. Salah satunya dengan berbuat curang,
penipuan, melakukan pengukuran atau timbangan tidak benar, utang yang selalu
ditunda pembayarannya, bila dipercaya ia khianat. Perilaku demikian sangat ditentang
dalam ajaran Islam.
47
Sedangkan manajemen laba ialah suatu tindakan yang banyak menuai
kontroversi, dan dapat dikatakan sebagai praktik manipulasi yang dapat merugikan
pihak lainnya bila diteliti. Jikalau seseorang memiliki kode etik dan prinsip-prinsip
etika bisnis islam di dalam dirinya, maka sejatinya ia takkan berbuat praktik yang
dapat menyesatkan pengguna laporan keuangan seperti manajemen laba.
48
BAB III
KONSEP MANAJEMEN LABA
A. Laporan Keuangan
Laporan keuangan ialah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan
sebagai alat untuk mengkomunikasikan data keuangan atau aktivitas perusahaan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Dapat dikatakan bahwa laporan keuangan
adalah suatu alat informasi yang menghubungkan perusahaan dengan pihak-pihak
yang berkepentingan, yang menunjukkan kondisi kesehatan keuangan perusahaan
dan kinerja perusahaan. Tujuan khusus laporan keuangan adalah menyajikan secara
wajar dan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum mengenai
posisi keuangan dan hasil usaha.1
B. Agency Theory
Konsep teori keagenan menurut Anthony dan Govindarajatan (1995) dalam
Pudyastuti (2009) adalah hubungan antara principal dan agent yang dibuat
berdasarkan angka akuntansi sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara
principal dan agent.
Agency Conflict atau konflik keagenan timbul pada berbagai hal seperti berikut:
(Jensen & Meckling, 1976, Jensen, 1986, Alijoyo & Zaini, 2004).
1 Hery, Teori Akuntansi, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet. 1, h. 46
49
1. Manajemen memilih investasi yang paling sesuai dengan kemampuan dirinya
dan bukan yang paling menguntungkan bagi perusahaan. Misalnya, investasi
yang bisa meningkatkan nilai individu manajer walaupun biaya penugasannya
tinggi, sehingga para manajer berada pada posisi untuk mengekstrak tingkat
renumerasi yang lebih tinggi dari perusahaan (Moral Hazard).
2. Manajemen cenderung mempertahankan tingkat pendapatan perusahaan yang
stabil, sedangkan pemegang saham lebih menyukai distribusi kas yang lebih
tinggi melalui beberapa peluang investasi internal yang positif (internal
positive investment oppurtunities).
3. Manajemen cenderung mengambil posisi aman untuk mereka sendiri dalam
mengambil keputusan investasi yang sangat aman dan masih dalam jangkauan
kemampuan manajer. Mereka akan menghindari keputusan investasi yang
dianggap menambah risiko bagi perusahaannya walaupun hal itu bukan
pilihan terbaik bagi perusahaan (Risk Adversion).
4. Manajemen cenderung hanya memperhatikan cash flow perusahaan sejalan
dengan waktu penugasan mereka. Hal ini dapat menimbulkan bias dalam
pengambilan keputusan yaitu berpihak pada proyek jangka pendek dengan
pengembalian akuntansi yang tinggi (short term high accounting return
project) dan tidak berpihak pada proyek jangka panjang dengan pengembalian
positif yang jauh lebh besar (Time-Horizon).
5. Asumsi dasar lainnya yang membangun agency theory adalah agency problem
yang timbul sebagai akibat adanya kesenjangan antara kepentingan pemegang
50
saham sebagai pemilik dan manajemen sebagai pengelola. Pemilik memiliki
kepentingan agar dana yang diinvestasikannya mendapatkan return yang
maksimal, sedangkan manajer bekepentingan terhadap perolehan insentif atas
pengelolaan dana pemilik (Agency Problem).
Teori agensi mengasumsikan bahwa principal tidak memiliki informasi yang
cukup tentang kinerja agent (Azlina, 2010 :3). Agent dalam hal ini adalah manajemen
suatu perusahaan dimana mereka yang menjalankan aktivitas operasi perusahaan.
Sedangkan principal adalah para pihak khususnya investor yang telah menanamkan
dananya dalam perusahaan tersebut.
Agent atau manajemen memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas
diri, lingkungan kerja, perusahan secara keseluruhan dan prospek di masa yang akan
datang. Sedangkan principal tidak mempunyai informasi yang cukup tentang kinerja
agent. Sehingga dapat saja agent membuat praktik yang tidak diketahui oleh
principal. Hubungan antara agen dan prinsipal didasarkan pada suatu kepercayaan
(Luhgiatno, 2010: 18). Sehingga dalam praktiknya dapat terjadi konflik kepentingan
ketika tidak semua keadaan diketahui oleh semua pihak. Dan sebagai akibatnya,
ketika konsekuensi-konsekuensi tertentu tidak dipertimbangkan oleh pihak-pihak
tersebut, hal ini dapat mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi
(assimetric information) yang dimiliki oleh principal dan agent.
51
C. Asimetri Informasi
Asimetri informasi adalah ketidaksembangan informasi yang dimiliki satu pihak
dengan pihak lainnya. Asimetri informasi antara manajemen (agent) dan pemilik
(principal) dapat membuka kesempatan bagi manajemen dalam penyajian
informasi yang tidak sebenarnya seperti menyembunyikan beberapa informasi yang
tidak ingin disampaikan kepada pemilik terutama yang berkaitan dengan
pengukuran kinerja manajemen. Dan pengukuran kinerja manajemen itu
ditunjukkan oleh laporan keuangan dan salah satu indikator utamanya ialah laba.
Sehingga dalam hal ini praktik yang dapat dilakukan berkenaan dengan asimetri
informasi princpal dan agent dalam pengukuran laba ialah praktik manajemen laba.
D. Manajemen Laba
Sampai saat ini, beberapa penulis mendefinisikan manajemen laba secara
berbeda-beda. Ada yang menggunakan kalimat bersifat netral (tidak memihak), ada
juga yang menggunakan kalimat bersifat skeptis (cenderung tidak menyetujui).
Bahkan beberapa referensi menunjukkan istilah lain dengan konteks yang negatif,
seperti magic accounting, cosmetic accounting, atau financial shenanigan.2
Scott (1997) mendefinisikan manajemen laba ialah bentuk upaya yang dilakukan
manajer untuk mencapai keuntungan pribadi melalui rekayasa komponen akrual
yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan, sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan yng dapat mengakibatkan
2 Dedhy Sulistiawan, dkk. Creative Accounting Mengungkap Manajemen Laba dan Skandal
Akuntansi. (Jakarta: Salemba Empat, 2011), h.18
52
terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan yang dapat merugikan pihak
lain, karena dengan adanya manajemen laba, laporan perusahaan tidak
mencerminkan nilai fundamental dari perusahaan.
Sulistyawan (2003) mendefinisikan manajemen laba yaitu aktivitas badan usaha
untuk memanfaatkan teknik dan kebijakan akuntansi guna mendapatkan hasil yang
diinginkan.
Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba adalah campur tangan dalam
proses penyusunan pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan-keuntungan pribadi.
Healy & Wahlen (1999) mendefinisikan manajemen laba terjadi apabila manajer
menggunakan penilaian dalam pelaporan keuangan dan dalam struktur transaksi
untuk mengubah laporan keuangan guna menyesatkan pemegang saham mengenai
prestasi ekonomi perusahaan atau mempengaruhi akibat-akibat perjanjian yang
mempunyai kaitan dengan angka-angka yang dilaporkan dalam laporan keuangan.
Gumati (2001) menyatakan bahwa manajemen laba tidak harus selalu dikaitkan
dengan upaya untuk manipulasi data atau informasi, tetapi lebih dikaitkan dengan
pemilihan metode akuntansi (accounting method) untuk mengukur kuntungan yang
bisa dilakukan karena memang diperkenankan menurut accounting regulations.
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu bahwa manajemen laba ialah
suatu bentuk cara mempermainkan atau mengubah angka-angka dalam laporan
keuangan dengan memanfaatkan teknik dan kebijakan akuntansi guna mendapatkan
53
hasil yang diinginkan, namun pada praktiknya hal ini dapat membawa kepada
praktik yang menyesatkan pemegang saham.
Menurut Gunny (2005) manajemen laba dapat diklasifikasikan dalam tiga
kategori, yaitu fraudalent accounting, accrual earning management dan real
earning management. Fraudalent accounting merupakan pilihan akuntansi yang
melanggar General Accepted Accounting Principle (GAAP), sedangkan accrual
earning management merupakan pilihan GAAP yang menutupi kinerja ekonomi
yang sebenarnya dan real earning management terjadi ketika manajer melakukan
tindakan yang menyimpang dari praktek yang sebenarnya untuk meningkatkan laba
yang dilaporkan.
E. Prinsip Akuntansi Berbasis Akrual
Pada dasarnya ada dua prinsip pencatatan yang umum digunakan yaitu accrual
basis dan cash basis. Accrual basis merupakan dasar pencatatan akuntansi yang
mewajibkan perusahaan untuk mengakui hak dan kewajiban tanpa memperhatikan
kas akan diterima atau dikeluarkan. Basis akrual ini timbul karena akuntansi
menggunakan periode waktu sebagai takaran pengukuran laba.
Sedangkan cash basis hanya mengakui hak dan kewajiban apabila kas benar-
benar diterima. Dengan demikian, laba yang diakui dalam satu periode baru akan
diakui bila kas telah diterima.3
3 Sri Sulistyanto, Manajemen Laba: Teori dan Model Empiris, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 161
54
Diantara keduanya, prinsip berbasis akrual lah yang digunakan pada prinsip
akuntansi berterima umum. Karena prinsip akuntansi berbasis kas tidak dapat
mencerminkan kinerja perusahaan selama periode tertentu. Sedangkan prinsip
akuntansi berbasis akrual dipandang lebih baik dalam mencerminkan kinerja
perusahaan dalam satu periode. Namun kelemahan yng melekat pada akuntansi
berbasis akrual ini yaitu adalah sifat account akrual yang rawan untuk direkayasa,
tanpa harus melanggar prinsip akuntansi berterima umum.4
Dan letak manajemen laba ialah berada didalam koridor tatanan sistem metode
akuntansi accrual basis dimana pos yang dituliskan dapat sekali di rekayasa, karena
tidak perlu ada perpindahan kas namun transaksi telah dicatat didalam laporan
keuangan.
F. Motivasi Manajemen Laba
Passer dan Smith (2008) dalam Sulistiawan et al., 2011) mendefinisikan motivasi
sebagai sebuah proses yang mempengaruhi arah, ketekunan, dan kekuatan perilaku
individu atau organisasi dalam mencapai tujuan. Melalui pendekatan kognitif,
perilaku pencapaian tujuan ini dibentuk oleh dua faktor, yaitu faktor ekspektasi dan
faktor imbalan yang diformulasikan ke dalam model matematis sebagai berikut:
4 Ibid.,h. 211.
Motivasi = ekspektasi x Imbalan
55
Dalam hal ini manajemen laba, maka suatu badan usaha akan semakin
termotivasi untuk berperilaku kreatif dalam memanfaatkan teknik dan kebijakan
akuntansi ketika badan usaha itu memiliki keyakinan (ekspektasi) akan menerima
imbalan atas tindakan kreatifnya tersebut. Semakin tinggi imbalan yang akan
didapatkan, semakin tinggi ekspektasi yang diterapkan sehingga motivasi untuk
mencapai nilai tersebut pun semakin besar.5
Menurut studi yang dilakukan oleh Healy (1985) serta Watts dan Zimmerman
(1986), Ada beberapa motivasi di balik perilaku manajemen laba yang dilakukan
oleh manajer, yaitu:6
1. Motivasi Bonus
Dalam bisnis, pemegang saham akan memberikan sejumlah insentif dan bonus
sebagai feedback atau evaluasi atas kinerja manajer dalam menjalankan
operasional perusahaan. Insentif ini diberikan dalam jumlah relatif tetap dan
rutin. Sementara bonus yang relatif besar nilainya hanya diberikan ketika kinerja
manajer berada di area pencapaian bonus yang diterapkan oleh pemegang saham.
Kinerja manajemen salah satunya dapat diukur dari pencapaian laba usaha.
Pengukuran kinerja berdasarkan laba dan skema bonus tersebut memotivasi para
manajer untuk memberikan performa terbaiknya sehingga tidak menutup peluang
mereka melakukan tindakan manajemen laba.
5 Dedhy Sulistiawan dkk. Creative Accounting Mengungkap Manajemen Laba dan Skandal
Akuntansi. (Jakarta: Salemba Empat, 2011), h. 30. 6 Ibid, h. 31.
56
2. Motivasi Utang
Selain melakukan kontrak bisnis dengan pemegang saham, manajer juga
melakukan beberapa kontrak bisnis dengan pihak ketiga, atau kreditur. Agar
kreditur mau menginvestasikan dananya di perusahaan, maka manajer harus
menunjukkan performa yang baik dari perusahannya. Selain untuk mendapatkan
pinjaman, kasus seperti itu berlaku untuk menjaga perjanjian utang. Jika suatu
perusahaan mendapatkan dana dari kreditur, perusahaan berkewajiban menjaga
rasio keuangannya agar berada pada batas bawah tertentu. Jika hal ini dilanggar,
maka perjanjian utang dibatalkan.
3. Motivasi Pajak
Tindakan manajemen laba tidak hanya terjadi pada perusahaan go public dan
selalu untuk kepentingan harga saham, tetapi juga untuk kepentingan perpajakan.
Kepentingan ini lebih didominasi oleh perusahaan yang belum go public.
Perusahaan yang belum go public cenderung melaporkan dan menginginkan
untuk menyajikan laporan laba fiskal yang lebih rendah dari nilai
sebenarnya.kecenderungan ini memotivasi manajer untuk bertindak kreatif untuk
melakukan manajemen laba agar seolah-olah laba fiskal yang dilaporkan lebih
rendah tanpa melanggar aturan dan kebijakan akuntani perpajakan.
4. Motivasi Penjualan Saham
Motivasi ini banyak digunakan oleh perusahaan yang akan go public ataupun
sudah go public. Perusahaan yang akan go public akan melakukan penawaran
saham perdananya ke publik atau lebih dikenal dengan istilah Initial Public
57
Offering (IPO) untuk memperoleh tambahan modal usaha dari calon investor.
Demikian juga dengan perusahaan yang suah go public, untuk kelanjutan dan
ekspansi usahanya, perusahaan akan menjual sahamnya ke publik baik melalui
penawaran kedua, penawaran ketiga, dan seterusnya (Seasoned eiuty offerings –
SEO), melalui penjualan saham kepada pemilik lama (right issue), maupun
melakukan akuisisi perusahaan lain.
5. Pergantian Direksi
Praktik manajemen laba biasanya terjadi pada sekitar pergantian direksi atau
Chief Executive Officer (CEO). Menjelang berakhirnya masa jabatan, direksi
cenderung bertindak kreatif dengan memaksimalkan laba agar performa kerjanya
tetap baik pada tahun terakhir ia menjabat. Perilaku ini ditunjukkan dengan
terjadinya peningkatan laba yang cukup signifikan pada periode menjelang
berakhirnya masa jabatan.
6. Motivasi Politik
Memotivasi ini biasanya terjadi pada perusahaan besar yang bidang usahanya
banyak menyentuh masyarakat luas, seperti perusahaan-perusahaan industri
strategis perminyakan, gas, listrik, dan air. Demi tetap mendapatkan subsidi,
perusahaan-perusahaan tersebut cendrung menjaga posisi keuangannya dalam
keadaan tertentu sehingga prestasi atau kinerjanya tidak terlalu baik. Hal ini
dikarenakan jika performa baik maka subsidi tidak akan diberikan.
58
G. Bentuk Manajemen Laba
Scott (1997) dalam Sulistyawan (2011) merangkum pola umum yang banyak
dilakukan dalam praktik manajemen laba, yaitu:
1. Taking a bath
Pola ini dilakukan dengan cara mengatur laba perusahaan tahun berjalan menjadi
sangat tinggi atau rendah dibandingkan dengan laba periode tahun sebelumnya
atau tahun berikutnya. Pola ini biasa dipakai pada perusahaan yang sedang
mengalami masalah organisasi (organisational stress) atau sedang dalam proses
pergantian pimpinan manajemen perusahaan.
Pada perusahaan yang baru mengalami pergantian pimpinan , jika perusahaan
berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan sehingga harus melaporkan
kerugian, manajer baru cenderung bersemangat melaporkan nilai kerugian dalam
jumlah yang sangat ekstrim agar pada periode berikutnya dapat melaporkan laba
sesuai target.
2. Income Minimization
Pola ini dilakukan dengan menjadikan laba periode tahun berjalan lebih rendah
dari laba sebenarnya. Secara praktis, pola ini sering dilakukan dengan motivasi
perpajakan dan politis. Agar nilai pajak yang dibayarkan tidak terlalu tinggi,
manajer cenderung menurunkan laba periode tahun berjalan , baik melalui
penghapusan aset tetap maupun melalui pengakuan biaya-biaya periode
mendatang ke periode tahun berjalan.
59
3. Income Maximization
Pola ini dilakukan dengan cara menjadikan laba tahun berjalan lebih tinggi dari
laba sebenarnya. Teknik yang dilakukan pun beragam. Seperti menunda
pelaporan biaya-biaya tahun berjalan ke periode mendatang, pemilihan metode
akuntansi yang dapat memaksimalkan laba, sampai dengan meningkatkan jumlah
penjualan dan produksi.
Pola ini biasanya banyak digunakan oleh perusahaan yang akan melakukan
IPO agar mendapat kepercayaan dari kreditor. Hampir semua perusahaan go
public meningkatkan laba dengan tujuan menjaga kinerja saham mereka.
4. Income Smoothing
Pola ini dilakukan dengan mengurangi fluktuasi laba sehingga laba yang
dilaporkan relatif stabil. Untuk investor dan kreditur yang memiliki sifat risk
adverse, kestabilan laba merupakan hal penting dalam pengambilan keputusan.
Dalam dunia keuangan, fluktuasi harga saham atau fluktuasi laba merupakan
indikator risiko.
H. Manajemen Laba, Apakah Legal dan Etis?
Praktik manajemen laba melalui akrual dan aktivitas riil merupakan praktik
akuntansi yang legal, karena tidak melanggar Pernyataan Akuntansi Berterima
Umum (PABU), namun praktik ini dapat memberikan penafsiran (interpretasi) yang
salah bagi investor, kreditur, dan pihak-pihak lain terhadap informasi laba yang
diperoleh perusahaan dalam laporan keuangan. (Sulistiawan, et al., 2011).
60
Masalah utama dalam manajemen laba terdapat pada kecenderungan manusia
untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingannya sendiri. Karena manusia
cenderung memanfaatkan pengetahuan atau informasi yang dimiliki guna
mendapatkan tujuannya masing-masing. Teknik dan kebijakan akuntansi hanyalah
alat untuk mencapai tujuan tersebut. Yang dapat membedakan apakah legal atau
tidaknya, etis atau tidaknya, baik atau buruknya sebuah praktik manajemen laba
ialah motivasi dan perilaku manusia di belakangnya.
Masalah terbesar dalam praktik akuntansi adalah etika. Henderson dan Peirson
(2002) menjelaskan kriteria untuk menilai perilaku akuntan dalam pelaporan
keuangan ialah sebagai berikut:
a. Kejujuran
Kemampuan dan kemauan akuntan menyampaikan realitas ekonomi yang
terjadi dan tidak memberikan informasi yang menyimpang.
b. Reabilitas
Kemampuan untuk memberikan keyakinan bagi pihak pengguna laporan
keuangan bahwa informasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
c. Taat Pada Hukum
Kebijakan dan teknik akuntansi harus sesuai aturan. Pelanggaran terhadap
aturan berarti pelanggaran terhadap hukum.
d. Kompetensi
Kejujuran tanpa kompetensi juga merupakan pelanggaran etika karena akuntan
disewa jasanya atau dibayar oleh pihak lain karena kemampuannya
61
menjelaskan kejadian ekonomis dan melaporkannya dalam laporan keuangan
perusahaan. Ketidakmampuan menganalisis fenomena bisnis menurut
perspektif akuntansi mengakibatkan kesalahan dalam penyajian material
laporan keuangan. Hasilnya, informasi yang salah akan merugikan orang lain
walaupun didasari oleh motivasi dan kepentingan tertentu, Djakman (2003:
145) menyatakan bahwa manajemen laba yang dilakukan melalui manajemen
akrual tidak sama dengan manipulasi laba. Manajemen laba dilakukan untuk
memenuhi kepentingan manajemen dengan memanfaatkan kelemahan inheren
dari kebijakan akuntansi akrual dan masih berada dalam koridor prinsip
akuntansi berterima umum. Sedangkan, manipulasi laba merupakan tindak
pelanggaran terhadap prinsip akuntansi berterima umum untuk menghasilkan
kinerja keuangan perusahaan sesuai dengan kepentingan manajer atau
perusahaan. Begitu pula dengan pernyataan Schroeder dan Clark (1998: 248)
yang menyatakan bahwa apabila manejemen laba dilakukan atas dasar
pertimbangan-pertimbanagan manajerial yang sehat atau melalui pemilihan
metode dan prosedur akuntansi dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh
standar akuntansi, manajemen laba bukanlah suatu tindak kecurangan (fraud),
meskipun manajemen laba dengan cara-cara tersebut dapat mempengaruhi
keputusan stakeholder.
Fischer dan Rosenweig (1994:436) pula mendefinisikan manajemen laba
hanyalah upaya untuk “mempermainkan” angka laba diatas kertas. Dan tidak
menimbulkan kerugian materi bagi siapapun. Permainan angka laba di atas kertas
62
ini dilakukan oleh manajer dengan memanfaatkan fleksibilitas standar akuntansi
yang tersedia. Hal ini dimungkinkan karena standar akuntansi cukup memberikan
peluang kepada manajer untuk mencatat fakta tertentu dengan cara yang berbeda,
serta peluang untuk menggunakan subjektivitas dalam melakukan estimasi
akuntansi. (Worthy, 1984: 52)
Pendapat ini juga senada dengan pendapat para akuntan pendidik, akuntan
manajemen dan akuntan publik yang mengatakan bahwa manajemen laba
dibenarkan sepanjang tidak melanggar standar akuntansi keuangan. Para pemangku
kebijakan tidak dapat disalahkan karena manajemen laba dengan cara yang seperti
itu bukan merupakan tindakan curang, kecuali manajer atau akuntan yang
melanggar standar akuntansi dalam bentuk manipulasi data, perhitungan dan
pelaporan. Pendapat ini juga mengatakan manajemen laba hanyalah bentuk
pemanfaatan dari kebebasan memilih bentuk dari metode akuntansi.
Pemilihan metode akuntansi ialah fleksibel walau pada akhirnya hal itu akan
berpengaruh pada besaran angka laba, dan hal ini bukanlah praktik kecurangan,
dalam hal ini mereka mengikuti teori akuntansi positif sehingga dengan mengikuti
pendapat diatas maka praktik manajemen laba dengan menurut pendapat diatas
menjadi boleh-boleh saja dilakukan.
Pandangan diatas ialah berasal dari perspektif akuntan yang mengatakan bahwa
praktik manajemen laba bukanlah tindakan kecurangan sepanjang dilakukan dalam
koridor standar akuntansi.
63
Sebaliknya, dalam perspektif yang berbeda Mujianto (penasihat investasi) tidak
membenarkan adanya praktik manajemen laba karena walaupun ia adalah bentuk
intervensi yang disengaja oleh manajer atau akuntan pada proses pelaporan
keuangan eksternal atas motif tertentu namun tanpa melanggar standar akuntansi,
tetap saja hal itu adalah tindakan atau perilaku koruptif. Karena menurutnya,
walaupun dilakukan dengan menggunakan strategi apa pun, dengan melanggar
standar akuntansi ataupun tidak, praktik manajemen laba adalah tindakan koruptif.
Dikarenakan praktik tersebut pasti didasari oleh motivasi dan kepentingan pribadi
dengan cara mengesampingkan kepentingan pihak lain. Praktik manajemen laba
menyebabkan angka laporan keuangan terpengaruh dan berpihak pada kepentingan
manajer.7
Seiring pula dengan pendapat Mujianto, IAI (2007) dalam KDPPLK paragraf 16
berkaitan dengan netralitas laporan keuangan, dan PSAK No. 1 (Revisi 1998)
paragraf 5 berkaitan dengan tujuan laporan keuangan yaitu Informasi harus
diarahkan pada kebutuhan umum pengguna dan tidak bergantung pada kebutuhan
dan keinginan pihak tertentu. Tidak boleh ada usaha untuk menyajikan informasi
yang menguntungkan beberapa pihak, sementara hal tersebut akan merugikan pihak
lain yang mempunyai kepentingan yang berlawanan.8
Menurut penasihat investasi, Mujianto, tidak ada manajemen laba yang
dilakukan tanpa motivasi atau kepentingan, baik kepentingan pribadi maupun
7 Ahmad Yusuf, “Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam”, Jurnal Dinamika
Ekonomi dan Bisnis, Vol. 7, No. 1 Maret 2010. H. 8
8 KDPPLK Paragraf 16.
64
kepentingan perusahaan. “Untuk mencapai kepentingan tersebut, manajemen laba
pasti dilakukan secara sengaja dan sistematis” Karena menurutnya, bahwa
pemilihan metode akuntansi seharusnya dilakukan tanpa motivasi dan kepentingan
tertentu yang memberikan manfaat lebih unggul pada satu pihak daripada pihak
lainnya.9
Ia menyatakan bahwa praktik manajemen laba merupakan peilaku yang tidak
dapat diterima, karena manajemen laba berimplikasi pada hilangnya kredibilitas
laporan keuangan, menambah bias informasi dalam laporan keuangan, sehingga
mengganggu pengguna laporan keuangan yang mempercayai angka laba tersebut
sebagai angka laba tanpa rekayasa. Karena dengan adanya manajemen laba, investor
tidak menerima informasi yang cukup akurat tentang laba dalam rangka
mengevaluasi hasil dan risiko portofolio investasinya.
9 Riduwan, Akhmad. “Etika dan Perilaku Koruptif dalam Praktik Manajemen Laba: Studi
Hermeneutika”. Jurnal Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya. h. 8
65
BAB IV
TINJAUAN ETIKA BISNIS ISLAM TENTANG MANAJEMEN LABA
A. Bentuk Manajemen Laba menurut Syariah
Mengenai bentuk manajemen laba, tidak ada ketentuan dari Dewan Syariah
Nasional mengenai bentuk manajemen laba yang diperbolehkan, karena nilai-nilai
yang terkandung pada praktik ini belum sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Saat ini terdapat fatwa mengenai salah satu bentuk dari manajemen laba, yaitu
Income Smoothing.1 Namun fatwa ini memperbolehkan Income smoothing dengan
pendekatan untuk melindungi lembaga keuangan dari risiko pengalihan dana besar-
besaran, dan bukan dalam konteks ingin mengambil keuntungan, serta dengan seizin
nasabah, bukan secara sembunyi-sembunyi. Dalam Fatwa Nomor 87/DSN-
MUI/XII/2012 tentang Metode Perataan Penghasilan (Income Smoothing).
Disebutkan bahwa Income smoothing, yaitu perataan laba, ialah pengaturan
pengakuan dan pelaporan laba atau penghasilan dari waktu ke waktu dengan cara
menahan sebagian laba/penghasilan dalam satu periode, dan dialihkan pada periode
lain dengan tujuan mengurangi fluktuasi yang berlebihan atas bagi hasil antara
Lembaga keuangan Syariah (LKS) dan nasabah penyimpan dana (Dana Pihak
Ketiga/DPK). Fatwa menyebutkan bahwa dalam kondisi tertentu yang diduga kuat
akan menimbulkan risiko pengalihan/penarikan dana nasabah dari Lembaga
1 FatwaDSN-MUI Nomor 87/DSN-MUI/XII/2012 tentang Metode Perataan Penghasilan
(Income Smoothing) Dana Pihak Ketiga.
66
Keuangan Syariah akibat tingkat imbalan yang tidak kompetitif dan wajar (displaced
commercial risk). Hal itu pun diperbolehkan, namun dengan ketentuan-ketentuan
seperti yang disebutkan di dalam fatwa.2
Dengan kata lain, tidak serta merta semua tenik income smoothing
diperbolehkan, namun yang diperbolehkan ialah yang memenuhi ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan oleh fatwa. Salah satunya ialah bahwa praktik perataan laba
hanya diperbolehkan dengan syarat apabila bagi hasil aktual melebihi tingkat imbalan
yang diproyeksikan, dan dengan izin nasabah pemilik dana, serta dengan alasan kuat
yang darurat dengan memperhatikan opini Dewan Pengawas Syariah. Sehingga
dalam pelaksanaannya tetap menekankan kepada unsur transparansi dan keterbukaan
terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan.
Hal ini tidak dapat digeneralisasikan untuk semua Lembaga Keuangan Syariah
atau khususnya perbankan syariah kemudian boleh malaksanakan income smoothing,
karena yang diperbolehkan itu ialah yang memenuhi syarat dan ketentuan-ketentuan
tersebut. Namun pada praktiknya, tidak jarang ditemukan perbankan syariah yang
melakukan praktik perataan laba ini. Padahal Allah telah berfirman dalam Surah Al-
Maidah : 1
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…”
2 FatwaDSN-MUI Nomor 87/DSN-MUI/XII/2012 tentang Metode Perataan Penghasilan
(Income Smoothing) Dana Pihak Ketiga, h. 6-8, diakses tanggal 1 Juli 2015.
67
Begitu pula anjuran untuk menunaikan janji, karena janji itu akan dimintai
pertanggungjawaban, seperti dalam Surat Al-Isra ayat 34:
Artinya: "….. Dan tunaikanlah janji-janji itu, Sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungan jawaban ….. “
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia
karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Untuk
memenuhi tuntutan keadilan dan kesatuan, manusia perlu
mempertanggungjawabkan tindakannya.3 Tanggung jawab merupakan suatu prinsip
dinamis yang berhubungan dengan perilaku manusia. Bahkan merupakan kekuatan
dinamis individu untuk mempertahankan kualitas kesetimbangan dalam
masyarakat.4
Kaidah fikih juga menyebutkan,
.الأصم فى انمعاملات الإباحة إلا أن يدل دنيم عهى تحزيمه
“Pada dasarnya, segala bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengaramkannya.”
الضزر يزال“Kemudharatan harus dihilangkan.”
3 Rafik Issa Beekun, Islamic Bussiness Ethics, (Virginia: International Institute of Islamic
Thought, 1997), h. 26. 4 Muhammad dan Lukman Fauroni, Visi Al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002), h. 16
68
Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang
menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib dihilangkan.Yang dimaksud
“darurat” ialah suatu keadaan yang bisa berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara
yang luar biasa dan bahkan terkadang dengan cara melanggar hukum. Sedangkan
yang dimaksud “hajat” ialah suatu keadaan biasa tidak diperkenankan
menanganinya secara khusus, bisa timbul kesukaran dan kerepotan.
Seperti dalam kaidah fikih,
Artinya : “Hajat tidak menyebabkan bagi seseorang boleh mengambil harta
milik pihak lain.”5
Di sisi lain, pebisnis pun juga harus tetap jujur tanpa merugikan pihak
lain. Seperti hadist riwayat Tirmidzi dan Hakim berikut ini,
Artinya : “Pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah bersama-sama para
nabi, orang-orang yang benar dan para syuhada”(HR. Tirmidzi dan Hakim)
5 Ali Ahmad Al-Nadwi. Al-Qawa‟id al-Fiqhiyyah … , „(Damaskus: Dar al-Qalam. 1994), h.
102
69
Tempat yang terhormat ba‟i pedagang yang jujur disejajarkan dengan para
Nabi. Karena bedagang dengan jujur berarti menegakkan kebenaran dan keadilan
yang merupakan bagian dari amal salehnya, sedangkan persamaan degan para
syuhada, karena berdagang adalah berjuang membela kepentingan dan kehormatan
diri dan keluarganya dengan cara yang benar dan adil.
Dalam melakukan perdagangan atau bisnis , baik dalam skala besar ataupun
skala kecil, kebenaran ialah sangat diutamakan. Walaupun adalah hal yang sangat
sulit, namun kebenaran ini akan membawa kepada ketenangan, seperti dinyatakan
dalam hadist riwayat Tirmidzi berikut ini:
...إن انصدق طمأنينة، وانكذب ريبة...
Artinya: “Sesungguhnya kebenaran membawa ketenangan dan kedustaan
menimbulkan keragu-raguan.”6
B. Manajemen Laba ditinjau dari Etika Bisnis Islam
Manajemen laba jelas terjadi dengan alasan – alasan tertentu yang melandasinya,
apapun bentuk yang melandasinya, maka disana terdapat faktor pendorong dalam diri
individu khususnya manajer dalam melakukan praktik manajemen laba. Praktik
manipulasi tidak akan terjadi jika dilandasi dengan moral yang tinggi. Moral dan
tingkat kejujuran rendah akan menghancurkan tata nilai etika bisnis itu sendiri.
6 HR. Tirmidzi, no. 2518.
70
Motivasi ialah satu bentuk kendali intern dalam hati yang sangat erat kaitannya
dengan etika.7
Letak etika ialah rasa dan pikiran yang mengkontrol motivasi sendiri. Hal ini
tidak dapat ditakar dan dilihat oleh mata, namun implikasinya dapat berdampak besar.
Apabila terdapat motivasi–motivasi yang mengunggulkan kepentingan satu pihak dan
membuat pihak yang lain mengalami kerugian, hal tersebut disebut perbuatan curang
atau dzalim. Perbuatan curang dalam bisnis seringkali dilakukan dalam menakar,
menimbang, dan sebagainya. Al-Qur‟an sangat tidak setuju dengan segala penipuan
dalam bentuk apapun. Penipuan (kelicikan) digambarkan oleh Al-Quran sebagai
karakter utama kemunafikan, Allah berfirman dalam Surah An Nisa ayat 145:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada
tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan
mendapat seorang penolongpun bagi mereka.”
Prinsip Umum Etika Bisnis Islami ialah Kesatuan, Keseimbangan, Kehendak
Bebas, Tanggung Jawab, dan Kebenaran.8
Pertama, Kesatuan. Dalam konteks kesatuan, hendaknya pebisnis muslim
mempunyai satu asa antara kegiatan bisnis dengan moralitas dan pencarian ridha
7 Dedhy Sulistiawan, Creative Accounting Mengungkap Manajemen Laba dan Skandal
Akuntansi. (Jakarta: Salemba Empat, 2008), h. 8 Abdul Aziz. Etika Bisnis Perspektif Islam: Implementasi Nilai Etika Islami untuk Dunia
Usaha. (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 45.
71
Allah, karena pada hakikatnya kekayaan ialah merupakan amanah dari Allah. Bila
Tauhid tidak ada didalam diri manusia, hal ini dapat mengakibatkan kehancuran
karena sifat dasar manusia yang tidak pernah puas,dan salah satu contoh implikasinya
ialah motivasi manajemen laba ini.
Kesatuan di sini ialah adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep
tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam
bidang ekonomi, politik, sosial, menjadi suatu “homogenous whole” atau keseluruhan
yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang
menyeluruh.9
Kedua, Keseimbangan. Dalam beraktivitas di dunia bisnis, Islam mengharuskan
untuk berbuat adil, tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai.10
Seperti dalam Surat
Al-Maidah ayat 8, yaitu:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-
kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
9 Syed Nawab Naqvi, Ethics and Economics: An Islamic Syntesis, Penerjemah Husin Asin:
Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Alami, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 50-51. 10
Abdul Aziz. Etika Bisnis Perspektif Islam: Implementasi Nilai Etika Islami untuk Dunia
Usaha. (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 46
72
Rasulullah melaknat semua bentuk ketidakadilan dan menyatakan bahwasanya
ketidakadilan dan kezaliman adalah bentuk kejahatan yang tidak akan pernah
diampuni, dan orang yang melakukan kezaliman itu akan berada di kegelapan pada
hari Kiamat. Seperti dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim,
“Kezhaliman itu adalah kegelapan di hari Kiamat”11
Ketiga, Kehendak Bebas. Kebebasan merupakan bagian penting dalam etika bisnis
Islam, akan tetapi kebabasan yang diperkenankan disini ialah yang tidak merugikan
kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar, tidak ada batasan bagi seseorang
untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya.
Seperti halnya dengan adanya kontrak kepentingan antara pemilik dana dan juga
manager, manager telah diberi kebebasan oleh pemilik dana untuk menggunakan dananya
untuk usaha, sehingga sepatutnya amanah itu dipergunakan sebaik-baiknya, bukan malah
dimanfaatkan untuk mengelabui dan mengedepankan keinginan nya sendiri.
Keempat, tanggung Jawab. Kebebasan tanpa batas adalah hal yang mustahil dilakukan
oleh manusia karena segala kebebasan tetap akan dimintai pertanggungjawabannya. Prinsip
ini berhubungan erat dengan kehendak bebas, ia menetapkan batasan mengenai apa yang
bebas dilakukan oleh manusia namun disertai rasa tanggung jawab atas semua yang telah
dilakukannya.
Begitu pula lah dengan melakukan aktivitas bisnis, apapun yang tertuliskan dan
dilakukan dengan benar saja dimintai pertanggungjawaban, apalagi pada praktik-praktik
kecurangan yang dapat merugikan orang lain, hal ini tentu akan dimintai pertanggung
jawaban. Tidak hanya oleh manusia, namun juga oleh Allah SWT.
11
Mustaq Ahmad, Etika bisnis dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 126
73
Kelima, Kebenaran. Kebenaran dalam konteks ini mengandung dua unsur yaitu
kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis, kebenaran dimaksudkan sebagai niat, sikap,
dan perlaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) ataupun dalam proses merah atau
menetapkan keuntungan. Dengan prinsip kebenaran ini, maka etika bisnis Islam sangat
menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang
melakukan transaksi, kerja sama, atau perjanjian dalam bisnis.12
Dalam melaksanakan prinsip-prinsip dasar etika tersebut, Islam menuntut
pemeluknya menjadi orang yang jujur dan amanah. Jujur disini ialah dengan
menuliskan sebenar-benarnya laporan keuangan secara benar. Prinsip nilai kejujuran
harus dianut oleh setiap pebisnis, dan bila ia menjual, maka wajib baginya
menjelaskan apa kekurangan dari barang yang dijualnya agar pembeli tidak sakit hati
setelah membeli. Dan apabila melakukan transaksi muamalah tidak secara tunai,
maka hendaknya dituliskan dengan benar. Seperti dalam firman Allah dalam surat Al-
Baqarah ayat 282:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar.”
Selain jujur, sifat seorang pebisnis muslim ialah amanah. Sudah seharusnya
pebisnis muslim ialah ia yang bener-benar bisa dipercaya, sehingga jika satu urusan
12
Abdul Aziz. Etika Bisnis Perspektif Islam: Implementasi Nilai Etika Islami untuk Dunia
Usaha. (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 46
74
diserahkan kepadanya, maka orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya. Amanah di dalam kasus manajemen laba ini ialah dipegang
penuh oleh manajer atau akuntan yang telah dipercayai stakeholder untuk mengelola
keuangan dengan baik dan melaporkan keseluruhan transaksi dengan benar dan dapat
diandalkan. Dalam Al- Qur‟an Allah berfirman,
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”
Kemudian sebuah hadist menyatakan:
“Tiada beriman orang yang tidak memegang amanat dan tidak ada agama
bagi orang yang tidak menepati janji.” (HR. Adailami)
Sehingga apabila ditinjau berdasarkan literatutur buku-buku terkait
mengenai motivasi manajer dalam melakukan manajemen laba, dan bagaimana
sebenarnya sebaiknya para pelaku bisnis dalam menjalankan bisnisnya sesuai
prinsip dasar etika bisnis Islam, maka motivasi manajemen laba belum sesuai
dengan ajaran-ajaran agama Islam amupun prinsip-prinsip dasar etika bisnis
Islam.
Terdapat perbedaan beberapa kalangan di dalam menyikapi fenomena
manajemen laba, namun kategori praktik manajemen laba ini termasuk kedalam
75
praktik yang mengandung ketidakjelasan (gharar) dan bathil. Seperti dalam surat An
Nisa ayat 29:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan
harta orang lain dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian…”
Ketidakjelasan (Gharar)
Kata gharar dalam bahasa arab berarti akibat, bencana, bahaya dan risiko.
Secara umum, bila dipandang dari sisi stakeholder manajemen laba dipandang
sebagai sesuatu yang mengandung unsur ketidakjelasan (gharar). Gharar di
dalam manajemen laba mencakup ambiguitas atau ketidakpastian mengenai mutu
dari sebuah materi pokok kontrak yang dalam hal ini adalah laporan keuangan,
reabilitasnya dipertanyakan. Apakah perusahaan ini laporan keuangannya dapat
mencerminkan keadaan sebenarnya perusahaan atau tidak. Karena sebagai pihak
yang hanya melihat laporan keuangan berdasarkan laporan angka-angka
akuntansi, kita tidak mengetahui apakah laporan keuangan perusahaan ini telah
dilakukan manajemen laba, ataukah laporan keuangan perusahaan itu tidak
melakukan manajemen laba. Karena manajemen laba sesungguhnya hanya bisa
dideteksi dengan menggunakan suatu teknik analisa tertentu yang membutuhkan
perhitungan khusus. Sehingga dari kacamata pembaca laporan keuangan yang
76
tidak memperhatikan aspek lain selain dari aspek fundamental, hal ini sangat
mengandung ketidakjelasan.
Larangan utama gharar ialah merujuk kepada ketidakpastian atau risiko yang
disebabkan kurangnya kejelasan sehubungan dengan pokok masalah atau harga
dalam kontrak atau perdagangan. Sebuah jual beli atau kontrak bisnis lain yang
menyebabkan unsur gharar adalah dilarang.13
Terdapat kaidah yang didasari sabda Nabi SAW, yaitu:
نه رسىل الله صل الله عليه وسلم عن بيع الحصاة وعن بيع الغزر
Artinya: “Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam melarang jual beli al-
hashah dan jual beli al-gharar.” (HR. Muslim)
Sedangkan Sayyid Sabiq mengartikan gharar sebagai berikut:
الغزراي الغزوروهىالخدالذ هىمظنة عدم الز ضابه عند تحقيقه
Artinya: “Gharar adalah penipuan yang mana dengannya diperkirakan
mengakibatkan tidak adanya kerelaan jika diteliti”
Sehingga dapat dikatakan bahwa fenomena manajemen laba mengandung
unsur gharar dari sisi pengguna laporan keuangan. Karena tidak dapat dipastikan
mengenai pelaporannya bersifat bersih atau tidak. Gharar disini juga melekat
dengan unsur penipuan melalui pelalaian oleh satu pihak atau lebih terhadap
kontrak.
Prinsip yang umum untuk menghindar gharar dalam transaksi jual beli atau
dalam hal ini bisnis yang menggunakan laporan keuangan sebagai “display” ialah,
13
Veithzal Rivai dkk, Islamic Business and Economic Ethics. (Jakarta: Buki Aksara, 2012),
462.
77
kontrak haruslah bebas dari ketidakpastian yang berlebihan mengenai isi
pokoknya dan nilai berlawanan dalam pertukaran; komoditinya harus jelas
disebutkan; ditetapkan dan bisa dikirimkan serta diketahui dengan jelas oleh
pihak-pihak yang berkontrak; mutu dan kualitas harus ditetapkan; kontrak tidak
boleh meragukan atau samar-samar, karena hak dan kewajiban para pihak
berkontrak disebutkan; dilarang ada jahl atau ketidakpastian mengenai
ketersediaan; keberadaan dan keterkiriman barang dan para pihak harus tahu
keadaan terkini barang-barang tersebut.14
Penipuan
Al-Quran sangat tidak setuju dengan penipuan dalam bentuk apapun.
Penipuan (kelicikan digambarkan oleh Al- Quran sebagai karakter utama
kemunafikan, dimana Al- Quran telah menyediakan siksa yang pedih bagi tindakan
ini, di dalam neraka. Allah berfirman seperti dalam Surah An Nisa ayat 145:
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan
yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat
seorang penolongpun bagi mereka”
Dalam kasus manajemen laba yang terjadi ini, maka penulisan laporan
keuangan telah sedemikian pula direkayasa oleh manajer untuk menarik hati
masyarakat agar menempatkan dana pada perusahaannya dengan memanfaatkan
14
Ibid, h. 469
78
gap informasi yang tidak diketahui oleh pemilik dana atau stakeholder, dan hal ini
dianggap sebagai penipuan atau kelicikan. Orang yang melakukan penipuan dan
kelicikan tidak dianggap sebagai umat Islam yang sesungguhnya. Sebagaimana
sabda Rasulullah, “Barang siapa yang melakukan penipuan maka dia bukan dari
golongan kami” (HR. Ibnu Hibban dan Abu Nu‟aim)
Apalagi penipuan tersebut asalnya dari persekutuan pihak-pihak yang
berwenang diatasnya. Berkaitan dengan hal ini Firman Allah dalam surat Shaad
ayat 24 berbunyi:
…
Artinya : “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat
itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat
sedikitlah mereka ini. “
Al-Quran juga memberi petunjuk agar di dalam bisnis tercipta hubungan yang
harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi seperti dalam surat Al- Baqarah
ayat 188:
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
79
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal
kamu mengetahui.”
Hendaknya seorang pebisnis muslim memiliki konsep dan nilai-nilai etika
di dalam dirinya, seperti Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathonah. Agar di dalam
melakukan bisnis tetap terhindar dari perbuatan-perbuatan yang mengarah
kepada perbuatan yang dilarang oleh Islam seperti penipuan dan gharar.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan referensi/buku-buku/literatur yang memuat etika bisnis Islam dan
manajemen laba, maka peneliti mempunyai pandangan (interpretasi) bahwa:
1. Tidak ada ketentuan mengenai bentuk manajemen laba yang diperbolehkan
oleh syariat Islam. Hanya saja menurut Fatwa DSN-MUI bagi Lembaga
Keuangan Syariah, Income Smoothing diperbolehkan dengan kondisi tertentu
dengan motif menghindari penarikan dana besar-besaran oleh nasabah, dan
yang diperbolehkan juga berdasarkan transparansi dan atas seizin nasabah
DPK. Namun hal ini tidak berkaitan langsung dengan praktik bentuk
manajemen laba keseluruhan yang dilakukan. Sehingga tidak ada ketentuan
mengenai bentuk manajemen laba yang diperbolehkan.
2. Apapun motivasi yang melandasi manajemen laba ialah belum sesuai dengan
apa yang dituntunkan oleh ajaran agama Islam karena cenderung mengarah
kepada praktik-praktik yang menguntungkan satu pihak, serta merugikan
pihak lainnya. Sehingga terdapat unsur penipuan didalamnya.
3. Perilaku manajemen laba dengan memanipulasi angka laba diatas kertas, hal
tersebut belum sesuai dengan ajaran agama Islam maupun prinsip-prinsip
dasar Etika Bisnis Islam.
81
B. Saran
1. Bagi penelitian selanjutnya, agar dapat melakukan penelitian lapangan dengan
melakukan wawancara kepada pihak narasumber langsung seperti manajer,
akuntan, penasihat investasi, maupun investor dari berbagai kalangan untuk
meneliti praktik manajemen laba dalam tataran praktis.
2. Bagi para pelaku bisnis, agar senantiasa menanamkan prinsip-prinsip etika
bisnis islami di dalam menjalankan aktivitas dan kegiatan usahanya, agar
tidak hanya mengejar hal duniawi saja namun juga akhirat.
82
DAFTAR PUSTAKA
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Pedagang, Penerjemah Dewi Nurjulianti,
Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997.
Ahmad, Mustaq. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Ahmad, Yusuf, “Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam”, Jurnal
Dinamika Ekonomi dan Bisnis, Vol. 7, No. 1 Maret 2010.
Alma, Buchari. Dasar-Dasar Etika Bisnis Islam. Bandung: Alfabeta, 2003
Al-Nadwi, Ali Ahmad. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah … ,. Damaskus: Dar al-Qalam,
1994.
Arifin, Johan. Etika Bisnis Islami. Semarang: Walisongo Press, 2009.
Aziz, Abdul. Etika Bisnis Perspektif Islam: Implementasi Etika Islami untuk Dunia
Usaha. Bandung: Alfabeta, 2013.
Badroen, Faisal. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Kencana, 2006
Beekun, Rafik Issa. Islamic Bussiness Ethics. Virginia: International Institute of
Islamic Thought, 1997.
Dahwal, Sirman. Etika Bisnis Menurut Hukum Islam (Suatu Kajian Normatif).
Dewan Syariah Nasional. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor
87/DSNMUI/XII/2012 tentang Metode Perataan Penghasilan (Income
Smoothing) Dana Pihak Ketiga, Jakarta: DSN, 2012.
Djakfar, Muhammad. Etika Bisnis dalam Perspektif islam. Malang: UIN Malang
Press, 2007.
Eldine, Achyar. “Etika Bisnis Islam”. Jurnal Khazanah, Vol. 3 No. 3, Oktober 2007.
Faradila, Astri dan Ari Dewi Cahyati, “Analisis Manajemen Laba Pada Perbankan
Syariah”, Jurnal RAK Vol 4 No. 1, Februari 2013.
Gumati, Tatang Ary. “Earning Management: Suatu Telaah Pustaka”. Jurnal
Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No.2, Nopember 2000.
83
Ibrahim, Azharsyah. “Income Smoothing dan Implikasinya terhadap Laporan
Keuangan Perusahaan dalam Etika Ekonomi Islam”. Jurnal Media Syariah
Vol. XII No. 24, Juli 2010.
Jayanto. “Manajemen Laba: Mengapa Banyak Menuai Kontroversi?”. Jurnal Fokus
Ekonomi Vol. 3 No 1 Juni 2008.
Joseph H, dkk. Webster’s New Collegiate Dictionary. USA: Houghton Mifflin
Hartcourt, 2012
Jusmaliani. Bisnis Berbasis Syariah. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Kompas, 15 Juli 2002.
Kompas. “Kasus Kimia Farma Kesalahan Manajemen Lama”. Kompas, 21 November
2002.
Luhgiatno. (2010). “Analisis Pengaruh Kualitas Audit Terhadap Manajemen Laba
(Studi Pada Perusahaan Yang Melakukan IPO di Indonesia)”, Fokus
Ekonomi, Vol. 5, No. 2.
Marzuqi, Ahmad Yusuf dan Achmad Badarudin. “Manajemen Laba dalam Tinjauan
Etika Bisnis Islam”. Jurnal Dinamika Ekonomi dan Bisnis Vol. 7 No. 1 Maret
2010.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda,
2010.
Muhammad dan Lukman Fauroni. Visi Al-Quran tentang Etika dan Bisnis. Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002.
Naqvi, Syed Nawab. Ethics and Economics: An Islamic Syntesis, Penerjemah Husin
Asin: Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Alami. Bandung: Mizan, 1993.
Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu, 2012.
Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press,
1997.
Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Jakarta:
Rabbani Press, 1997.
84
Riduwan, Akhmad. Etika dan Perilaku Koruptif dalam Praktik Manajemen Laba:
Studi Hermeneutika. Jurnal pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia
(STIESIA) Surabaya.
Rivai, Veithzal, dkk. Islamic Bussiness and Economics Ethics, Jakarta: PT Bumi,
2012.
Shihab, Quraish. “Etika Bisnis dalam Wawasan Al- Qur’an”, dalam Jurnal Ulum
Al— Quran, No. 3 VII, 1997.
Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum
dalam Al-Qur’an. Jakarta: Penamadani, 2005.
Sulistiawan, Dedhy, dkk. Creative Accounting Mengungkap Manajemen Laba dan
Skandal Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat, 2011.
Sulistyanto, Sri. Manajemen Laba: Teori dan Model Empiris. Jakarta: Grasindo,
2008.
Syafrudin Arif, “Etika Islam dalam Manajemen Keuangan”, Jurnal Hukum Islam
Volume 9, Nomor 2, Desember 2011.
Syahatah, Husain dan Siddiq Muh. Al Amin Adh-Dhahir. Transaksi dan Etika Bisnis
Islam, Penerjemah Saptono Budi Satryo dan Fauziah R. Jakarta: Visi Insani
Publishing, 2005.
Syahfandi, Rizky dan Siti Mutmainah. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perataan
Laba Penyiihan Penghapusan Aktiva Produktif (Praktik Manajemen Laba
pada Perbankan Syariah di Indonesia).
Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Penerjemah M. Saiful
Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Tasmara, Toto. Etos Kerja Pribadi Muslim. Jakarta: Dhana Bhakti Prima Yasa, 1995.
Trim, Bambang. Bussiness Wisdom of Muhammad SAW, Bandung: Madania Prima,
2008.
Watts, R. L., and Zimmerman, J. L. “Positive Accounting Theory: A Ten Year
Perspective,” The Accounting Review. 65(1), 1990.
Widarto, dkk. Analisa Kritis Praktek Akuntansi Kreatif dalam Konteks Budaya
Organisasi PT. Bumi dan Pandangan Islam dalam Menyikapi Praktek
Tersebut. Jurnal WACANA Vol. 12 No. 2 April 2009, ISSN. 1411-0199.
85
Zed, Mustika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Nasional,
2004.
Zubair, Achmad Charris. Kuliah Etika, Rajawali Press, Ed III, Januari 1995.
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 87/DSN-MUI/XII/2012
Tentang
Metode Perataan Penghasilan (Income Smoothing) Dana Pihak Ketiga
د١ ٱغه د ٱغه ٱلله ثس
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah
Menimbang :
a. bahwa dalam kondisi tertentu yang diduga kuat akan menimbulkan risiko
pengalihan/penarikan dana nasabah dari Lembaga Keuangan Syariah
(LKS) akibat tingkat imbalan yang tidak kompetitif dan wajar (displaced
commercial risk), LKS membuat kebijakan yang dikenal dengan metode
perataan pendapatan yang antara lain berupa: 1) perataan pendapatan
tanpa membentuk cadangan penyesuaian keuntungan, dan 2) perataan
pendapatan dengan membentuk cadangan penyesuaian keuntungan
(Profit Equalization Reserve/PER);
b. bahwa praktik perataan pendapatan dengan atau tanpa pembentukan
cadangan penyesuaian keuntungan dalam bagi hasil dana pihak ketiga
yang dilakukan oleh LKS memerlukan ketentuan syariah yang dapat
dijadikan acuan dalam kegiatan operasionalnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan b, DSN-MUI memandang
perlu menetapkan fatwa tentang Metode Perataan Pendapatan (Income
Smoothing) Dana Pihak Ketiga untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat :
1. Firman Allah SWT:
a. QS. al-Ma'idah [5]: 1:
ص ؼم ا ثب ف ا أ آ … ٠بأ٠ب اهظ٠
"Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu …"
b. QS. al-Isra' [17]: 34:
لا ... سئ ض وب ؼ ه ا ضئ ؼ ا ثب ف أ ...
"… Dan tunaikanlah janji-janji itu, sesungguhnya janji itu akan
dimintai pertanggung jawaban …"
c. QS. al-Baqarah [2]: 275:
ثب ... اغ دغه ج١غ ا ه الله أد ...
"… Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba ..."
d. QS. al-Baqarah [2]: 278:
١ إ ز و ثب ئ اغ ب ثم ا طع ا ارهما الل آ ٠بأ٠ب اهظ٠
"Hai orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba jika kamu orang yang beriman."
e. QS. al-Nisa' [4]: 29:
رغ رجبعح ػ رى ئلاه أ جبط ثب ث١ى اى ا أ ا لا رأو آ ٠بأ٠ب اهظ٠ ى اع
...
"Hai orang yang beriman! Janganlah kalian memakan
(mengambil) harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa
perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian ..."
f. QS. al-Baqarah [2]: 283:
... ١زهك الل عثه بز، أ ١إص اهظ اؤر ثؼضب ف ثؼضى أ ... فا
"… Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya …"
g. QS. al-Nisa' [4]: 58:
ه ا ؼضي .ئ ا ثب رذى اهبؽ أ ث١ ز ئطا دى ب ببد ئ أ ا الأ رإص أ غو ٠أ
...
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan
hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan hukum
dengan adil …"
2. Hadis Nabi SAW:
a. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari 'Ubadah bin Shamit, riwayat
Ahmad dari Ibnu 'Abbas, dan riwayat Imam Malik dari Yahya:
ه عس لا ضغاع أ لا ضغع لض أ سه ػ١ طه الله طا ةا طعرأ)ي الله
جبة : ث ىب، ا زبة: الأد ى ، ا س ظبذ ف ا جبصح ث ػ ػ
ش : 1332، عا أدض ػ اث ذض٠ ا جبع، عل ضغ ث ب٠ م د ف
ذ) ه ػ ٠ ب جبؽ، ػ
"Rasulullah SAW menetapkan: tidak boleh membahayakan/
merugikan orang lain dan tidak boleh (pula) membalas bahaya
(kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya
(perbuatan yang merugikannya)."
(HR. Ibnu Majah)
b. Hadis Nabi riwayat ath Thabarani dari Ibnu Abbas::
لا وب أ ضبعثخ اشزغط ػ طبدج بي طت ئطا صفغ ا ػجض ا ؼجهبؽ ث س١ضب ا
طي فؼ صاثهخ طاد وجض عطجخ، فا ث لا ٠شزغ اص٠ب، ؼي ث لا ٠ ثذغا، ن ٠سه ث
، فأجبػ ض سه آ ي الل طه الل ػ١ اعةطيا اع)فجغ شغط عس
جبؽ) ػ سظ ػ اث الأ ف
"Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai
mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak
mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak
membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia
(mudharib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan
yang ditetapkan Abbas itu sampai pada Rasulullah, beliau
membolehkannya."
(HR. Thabarani dari Ibnu Abbas)
c. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib::
لبي سه آ ه طه الل ػ١ ه اهج جغوخ :أ ه ا مبعضخ، :صلاس ف١ ا ، اج١غ ئ أج
ج١غ ج١ذ لا ؼ١غ جغ ثبشه ظ ا س ١ت) ةا اع) ط بج ػ
"Nabi bersabda, 'Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli
tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur
gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan
untuk dijual."
(HR. Ibnu Majah dari Shuhaib)
d. Hadis riwayat Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Kitab Ahkam,
bab: "ma dzukira 'an Rasulillah", No: 1272:
ػ س ا ب ه دغا أد دلالا أ ذب دغه ئلاه ط ١ س ا خ جبئؼ ث١ اظ
أح دلالا أ ئلاه شغطب دغه بشغط .يه دغا
"Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk
mufakat) boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali shulh
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram;
dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram."
e. Atsar dari Sayyidina 'Ali karramallahu wajhah (al-Mushannaf,
Abdurrazzaq, 8/238, al-Maktab al-Islami 1403 H cet. II):
ض١ؼخ ػ عة ا ا ا ػ١ ب اططذ ثخ ػ اغ اي
"Keuntungan ditentukan sesuai dengan kesepakatan, dan
kerugian ditanggung pemilik modal."
3. Kaidah fikih, antara lain:
a. ب ػ رذغ٠ ٠ضيه ص١ لاد الإثبدخ ئلاه أ ؼب ف ا الأط
"Pada dasarnya, segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya."
b. الل ه دى ظذخ فض جضد ا ب أ٠
"Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah."
c. ع لا ٠ججغ اـزجغ
"Orang yang berderma tidak boleh dipaksa." (Durar al-Hukkam
fi Syarh al-Majallah al-Ahkam, pasal 761, hlm. 216)
d. ظذخ ط ثب ػ١هخ ػ اغه ب ف الإ ةط يع عباظيا اةشأيا)رظغ
غح: مب ١، ا ج ١ ث غا اث ث ض٠ ؼبث ا ؼ٠ ؼب فخ ا ١ د أث
سخ س إ غ ف ظبئ جب ا ش ب، 8691، ص. 321؛ الأ شغو ج ذ ا
ىغ ث أث غد ث جض ا ػ ض٠ جلاي ا ١خ ؼ شبف م ا غع ف اػض ف ل
، 7891، ص. 332) ؼغث زبة ا ى ١غد: صاع ا ١ط، ث س ا
"Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus mempertimbangkan
mashlahat."
(al-Asybah wa al-Nazha`ir 'ala Madzhab Abi Hanifah al-Nu'man,
Zain al-Abidin Ibnu Ibrahim Ibn Nujaim, Kairo: Mu`assasah al-
Halabi wa Syirkah. 1968, hlm. 123;dan al-Asybah wa al-
Nazha`ir fi Qawa'id wa Furu' Fiqh al-Syafi'iyyah, Jalal al-Din
'Abd al-Rahman Ibnu Abi Bakr al-Suyuthi, Beirut: Dar al-Kitab
al-'Arabi. 1987, hlm. 233)
e. عح غ ؼخ اضه ؼي حفح ةأ ةط يع عباظيا اةشأيا)اذبجخ ر
سخ س غح: إ مب ١، ا ج ١ ث غا ئث ث ض٠ ؼبث ا ؼ٠ ؼب ا
غع اػض ف ل غ ف ظبئ جب ا ش ب، 8691، ص. 19؛ الأ شغو ج ذ ا
١خ ؼ شبف م ا ١ط، ف س ىغ ا ث أث غد ث جض ا ػ ض٠ جلاي ا
، 7891، ص. 971) ؼغث زبة ا ى ١غد: صاع ا ث
"Hajat menempati tempat darurat."
(Dalam pengertian, hajat dapat berstatus sama dengan
darurat).(al-Asybah wa al-Nazha`ir ala Madzhab Abi Hanifah al-
Nu`man, Zain al-Abidin Ibnu Ibrahim Ibnu Nujaim, Kairo:
Mu`assasah al-Halabi wa Syirkah. 1968, hlm. 91; al-Asybah wa
al-Nazha`ir fi Qawa'id wa Furu` Fiqh al-Syafi`iyah, Jalal al-Din
Abd al-Rahman Ibnu Bakr al-Suyuthi, Beirut: Dar al-Kitab al-
Arabi, 1987, hlm. 179)
f. اذبجخ لا بي غ١غ ٠أسظ ،ادأش ،اف حقفيا صعاقيا)رذك لأدض أ
أدض ب، ػ مبر ١ ج ط ب، ر ز ب، ز ب، أص فبر سخ إ ب، صعا طع ر
، 4991، ص. 201) م شك: صاع ا ض، ص ا
"Hajat tidak menyebabkan bagi seseorang boleh mengambil harta
milik pihak lain."(al-Qawa'id al-Fiqhiyyah ..., 'Ali Ahmad al-
Nadwi, Damaskus: Dar al-Qalam. 1994, hlm. 102)
g. بي أدض ثلا سجت شغػ ٠أسظ ػ لأدض أ ،حقفيا صعاقيا حعش)لا ٠ج
، 9891، ص. م شك: صاع ا ب، ص ؼعل ١ز ذض ا ش ا ١ز أدض ث ش
465)
"Seseorang/pihak tidak boleh mengambil harta milik pihak lain
tanpa sebab yang sah menurut syara'."
(Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, Syekh Ahmad Ibn Syekh
Muhammad al-Zarqa, Damaskus: Dar al-Qalam. 1989, hlm.
465).
Memperhatikan :
a. Keputusan AAOIFI dalam Mi'yar Syar'i, nomor: 12 (angka 3/1/5/14)
yang menyatakan bahwa:
غوبء ػ الادزفبظ ثأع اش ئ لغاع غوخ أ اش ػ اهض ثبلاسزبص ئ ظب ٠ج غوخ ثبح اش
ػ٠غ، أ ر ص ٠ زى غوخ، أ لاءح اش ٠خ رم ع ص الأعثبح ثشى خ ؼ١ه سجخ دسػ٠غ الأ ي ر ؼضه ذبفظخ ػ بي، أ شبطغ سسبعح عأؽ ا اجخ سبص ادز١بط .عثبح
"Berdasarkan anggaran dasar perusahaan atau keputusan dari para
pemegang saham, perusahaan boleh menahan keuntungan perusahaan
tanpa dibagikan, atau menyisihkan keuntungan dalam jumlah tertentu
secara periodik untuk memperkuat kinerja perusahaan (solvency
reserve), atau membentuk cadangan khusus untuk menanggulangi risiko
kerugian modal (investment risk reserve), atau untuk menjaga kestabilan
pembagian keuntungan (profit equalization reserve)."
b. Pendapat Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu(juz V, hlm. 3939):
ػاص اغ خ ئ ؼ صح ؼض صعا ؼبلض٠ ٠شزغط لأدض ا ذف١هخ أ ض ا ػ ػ ٠ج مضاع وظا ثخ ػ
ضبع خ ا طذه ، فظه شغط طذ١خ لا ٠إصغ ف عا اضه ثخ لا ٠إص ئ جبخ اغ .ثخ، لأه
"Ulama Hanafiah membolehkan untuk membuat syarat bahwa salah satu
pihak yang berakad memperoleh dinar dengan jumlah tertentu yang
diketahui dalam hal keuntungan usaha melebihi nilai tertentu; syarat
tersebut dipandang sah dan tidak berdampak pada sahnya akad
mudharabah, karena hal tersebut tidak menyebabkan ketidakjelasan
(bagian) keuntungan."
c. Kesimpulan dan Rekomendasi Working Group Perbankan Syariah
(Bank Indonesia, Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia,
dan Ikatan Akuntan Indonesia) tentang Pengaturan Pendapatan
danPembentukan Cadangan dalam Rangka Penyesuaian Keuntungan
(Profit Equalization Reserve), tanggal 20 Desember 2012;
d. Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Jumat, tanggal 21
Desember 2012.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : METODE PERATAAN PENGHASILAN (INCOME SMOOTHING) DANA
PIHAK KETIGA
Pertama :
Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
1. Metode Perataan Penghasilan/Laba (Income Smoothing Method) adalah
pengaturan pengakuan dan pelaporan laba atau penghasilan dari waktu ke
waktu dengan cara menahan sebagian laba/penghasilan dalam satu periode
dan dialihkan pada periode lain dengan tujuan mengurangi fluktuasi yang
berlebihan atas bagi hasil antara Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan
Nasabah penyimpan dana (Dana Pihak Ketiga/DPK);
2. Metode Perataan Penghasilan dengan Membentuk Dana Cadangan adalah
pengaturan distribusi keuntungan dari waktu ke waktu atas bagi hasil antara
LKS dan Nasabah Penyimpan Dana dengan cara membentuk cadangan
perataan laba/penghasilan (Profit Equalization Reserve);
3. Profit Equalization Reserve (PER) adalah dana cadangan yang dibentuk
oleh LKS yang berasal dari penyisihan selisih laba LKS yang melebihi
tingkat imbalan/hasil yang diproyeksikan untuk penyesuaian bagi hasil dana
mudharabah (muthlaqah); dan dalam hal simpanan dana Nasabah
menggunakan akad mudharabah muqayyadah, jika disepakati para pihak,
pembentukan cadangan penyesuaian bagi hasil dapat pula berasal dari
penyisihan keuntungan Nasabah yang melebihi tingkat bagi hasil yang
diproyeksikan;
4. Metode Perataan Penghasilan Tanpa Membentuk Cadangan adalah
pengaturan pengakuan dan pelaporan laba dari waktu ke waktu untuk tujuan
pengaturan bagi hasil antara LKS dan Nasabah tanpa pembentukan
cadangan.
Kedua : Ketentuan Hukum Metode Perataan Penghasilan dengan atau tanpa membentuk cadangan boleh
dilakukan dalam Bagi Hasil Dana Pihak Ketiga (DPK) dengan mengikuti ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini.
Ketiga :
Ketentuan terkait Pembentukan Dana Cadangan
1. LKS boleh membentuk Dana Cadangan (PER) untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya realisasi bagi hasil untuk Nasabah penyimpan dana
di bawah tingkat imbalan yang diproyeksikan;
2. Dana Cadangan (PER) secara prinsip boleh dibentuk melalui penyisihan
keuntungan sebelum dibagihasilkan dengan syarat:
a. bagi hasil aktual melebihi tingkat imbalan yang diproyeksikan, dan
b. dengan izin Nasabah DPK;
3. Dana Cadangan (PER) tidak boleh dibentuk dengan mengurangi bagi hasil
yang merupakan hak nasabah DPK apabila bagi hasil aktual lebih kecil dari
tingkat imbalan yang diproyeksikan;
4. Dalam hal akad Mudharabah Muqayyadah, Dana Cadangan (PER) boleh
juga dibentuk melalui penyisihan keuntungan hak Nasabah yang melebihi
tingkat imbalan yang diproyeksikan setelah dibagihasilkan dengan izin
Nasabah DPK;
5. Dana Cadangan (PER) yang dibentuk LKS dari penyisihan keuntungan
sebelum dibagihasilkan yang melebihi tingkat imbalan yang diproyeksikan
merupakan hak Nasabah DPK secara kolektif yang harus dikelola secara
terpisah oleh LKS untuk proses pengaturan pendapatan dan tingkat imbalan
bagi Nasabah DPK;
6. Pengaturan dan pengawasan lebih lanjut terhadap kebijakan dan pelaksanaan
LKS dalam Pembentukan Dana Cadangan (PER) dan penggunaannya
merupakan kewenangan pihak otoritas.
Keempat :
Ketentuan terkait Perataan Penghasilan dengan atau tanpa Pembentukan
Cadangan
1. Metode Perataan Penghasilan yang dibolehkan adalah: dengan membentuk
cadangan atau tanpa membentuk cadangan;
2. Perataan Penghasilanhanya boleh digunakan LKS dalam kondisi yang
diduga kuat berpotensi menimbulkan risiko penarikan dana nasabah akibat
tingkat imbalan dari LKS yang tidak kompetitif (displaced commercial
risk);
3. Kondisi sebagai dimaksud pada angka 2 di atas harus ditentukan oleh
pengurus LKS berdasarkan pedoman operasional/standard operating
prosedure (SOP) LKS dengan memperhatikan opini Dewan Pengawas
Syariah;
4. Kebijakan Perataan Penghasilan hanya boleh diberlakukan terhadap Dana
Pihak Ketiga (DPK) yang menggunakan akad mudharabah;
5. Kebijakan Metode Perataan Penghasilan tidak boleh dilakukan apabila
dalam implementasinya menimbulkan kecenderungan praktik ribawi
terselubung di mana imbalan diberikan tanpa memperhatikan hasil nyata;
dan
6. Dalam penggunaan Metode Perataan Penghasilan Tanpa Cadangan yang
dilakukan dalam hasil usaha yang dibagihasilkan lebih rendah dari
proyeksi, LKS boleh melepaskan haknya (isqath al-haqq / at-tanazul 'an al-
haqq) untuk menyesuaikan imbalan bagi nasabah DPK agar kompetitif dan
dapat diberitahukan kepada nasabah.
Kelima :
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal
:
07 Shafar 1434 H
21 Desember 2012 M
DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua
K.H. MA Sahal Mahfudh
Sekretaris
Drs. H. M Ichwan Sam