etika di balik filosofi wayang

43
ETIKA DI BALIK FILOSOFI WAYANG KARYA TULIS Diajukan sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Akhir Madrasah Aliyah Futuhiyyah 1 Tahun Pelajaran 2011/2012 Disusun Oleh : Nama : Rokhan Nomor Induk : Program : Bahasa

Upload: faqieh-fatonix

Post on 05-Aug-2015

123 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Etika Di Balik Filosofi Wayang

ETIKA DI BALIK

FILOSOFI WAYANG

KARYA TULIS

Diajukan sebagai salah satu syarat menempuh

Ujian Akhir Madrasah Aliyah Futuhiyyah 1

Tahun Pelajaran 2011/2012

Disusun Oleh :

Nama : Rokhan

Nomor Induk :

Program : Bahasa

MADRASAH ALIYAH FUTUHIYYAH 1

MRANGGEN DEMAK

2012

Page 2: Etika Di Balik Filosofi Wayang

HALAMAN PENGESAHAN

Karya Tulis ini disusun oleh :

Nama : Rokhan

Nomor Induk :

Program : Bahasa

Judul : Etika di Balik Filosofi Wayang

Telah diuji dan disahkan

Pada tanggal :

Dengan hasil :

Pembimbing, Penguji,

Ketua Panitia Mengetahui,Karya Tulis Kepala MA Futuhiyyah 1

Page 3: Etika Di Balik Filosofi Wayang

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO :

…………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………

………..

Artinya : “mengesahkan perbuatan, cara melakukannya kita sadari dengan penuh-penuh

kesadaran (musyahadah) segala gerak dan diam ucapan atau bukan ucapan, semua itu dari

Allah. Dari diri sendiri atau dari orang lain.makhluk lain adalah semua dari Allah.” Tidaklah

engkau yang melempar (Hai Muhammad) tetapi Allah lah yang melempar. (Al-Anfal : 17).

PERSEMBAHAN

Karya tulis ini penulis persembahkan kepada :

1. Bapak dan Ibu tercinta yang membantu dalam materi ini.

2. Bapak Kepala Madrasah Aliyah Futuhiyyah 1, K.H. Adib Masruhan,

Lc., M.Pdi. yang kami junjung tinggi dakwah-dakwahnya.

3. Bapak Ir. Bambang Sukmaji, selaku Wali Kelas III Bahasa.

4. Para pembaca yang kami hormati.

Page 4: Etika Di Balik Filosofi Wayang

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, seru sekalian alam semoga sholawat dan salam

senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW serta kepada Sahabatnya, keluarganya,

dan orang-orang yang beriman termasuk kita Amin.

Sebagaimana kita ketahui bahwa karya tulis ini sebagai syarat untuk mengikuti Ujian

Akhir Nasional Tahun 2011/2012. Dalam karya tulis ini saya yakin bahwa sesungguhnya

masih terdapat kekurangan, maka si penulis minta maaf sebesar-besarnya.

Semoga Allah mengampuni kelalaian dan kesalahan serta menambah bekal si penulis

yang masih banyak kekurangan.

Amin Ya Robbal Alamin..

Mranggen, 2012

Penulis,

Rokhan

Page 5: Etika Di Balik Filosofi Wayang

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul......................................................................................................

B. Alasan Pemilihan Judul ..........................................................................................

C. Pokok-Pokok Masalah ...........................................................................................

D. Tujuan Penulisan ....................................................................................................

E. Metode Penulisan ...................................................................................................

F. Sistematika Penulisan ............................................................................................

BAB II : PEMBERDAYAAN WAYANG

A. Pengertian Wayang ................................................................................................

B. Wayang dan Budaya Jawa .....................................................................................

C. Pembinaan Wayang ...............................................................................................

D. Asal-Usul Wayang .................................................................................................

E. Wayang Sebagai Tontonan dan Tuntunan .............................................................

F. Etika Wayang, Etika Dalang, dan Etika Pancasila ................................................

BAB III : PERANAN DALANG DALAM PEWAYANGAN

A. Tujuan Pembinaan Pewayangan

B. Peranan Pemerintah Dalam Pembinaan Pewayangan

C. Wayang dan Sumber Literaturnya

D. Mahabrata dan Pewayangan Jawa

E. Rotary Wayang dan Budaya Wayang

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................

B. Saran ......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

Page 6: Etika Di Balik Filosofi Wayang

BAB I

PENDAHULUAN

…………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………….

Segala puji hanya bagi Allah Swt yang telah menganugrahkan segala urusan

mahluknya dan mengutus rasulnya dengan segala ajaran dan petunjuk yang menyertai kita

sehingga kita dapat menjadi orang yang sholeh. Sebelum penulis membahas isi dari karya

tulis ini terl;ebih dahulu penulis akan mengemukakan judul “Etika Di balik Filosofi Wayang”

A. Penegasan Judul

Agar pembaca tidak terlalu sulit memahami karya tulis ini perlu kiranya penulis

menegaskan arti dan makna kerya tulis ini.

“Filosofi Wayang” adalah perwujudan etika yang amat perlu dilakukan dalam setiap

pergelaran wayang baik dalam bentuk pergelaran utuh (Semalam Suntuk), maupun dalam

pergelaran – pergelaran dalam kemasan singkat.

B. Alasan Pemilihan Judul

Dalam karya tulis penulis memilih judul “Etika Dibalik Filosofi Wayang”.

Adapun hal- hal yang mendorong alasan tentang penulisan judul tersebut adalah :

Membimbing penyusun sebagai siswa MAF1 untuk agar dapat membantu

pengembangan seni pewayangan.

Penyusun mengajak pembaca untuk berdiskusi

C. Pokok – pokok Masalah

Mengapa pewayangan itu harus dikembangkan dan di lestarikan?

D. Tujuan Penulisan

Melangkah (jalan) tanpa tujuan itu sia – sia belaka. Demikian dalam karya tulis

ini, Adapun tujuan penyusunan adalah sebagai berikut:

1. Melaksanakan salah satu tugas dari MAF 1 sebagai salah satu persyaratan untuk

mengikuti ujian negara 2011/2012.

2. Untuk melatih kemampuan penyusun dalam belajar masalah wayang

Page 7: Etika Di Balik Filosofi Wayang

3. Membantu dalam penyusunan skripsi di universitas nantinya

E. Metode Penyusunan

Dalam penulisan karya tulis ini penulis menggunakan metode literature yaitu

penyusunan kesusastraan atau kepustakaan.

F. Sistematika Penyusunan

Cara dalam penyusunan karya tulis ini menggunakan sistematika sebagai berikut :

BAB I: Berisi tentang pendahuluan, penegasan judul, Alasan pemilihan judul,

Pokok – pokok masalah, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan dan sistematika Penulisan

Karya tulis.

BAB II: Berisi tentang pemberdayaan wayang.

BAB III: Bersisi tentang peranan dalang dalam pewayangan dan peranan

pemerintahan dalam pembinaan pewayangan.

BAB IV: Berisi tentang kesimpulan dan kata penutup.

DAFTAR PUSTAKA

Page 8: Etika Di Balik Filosofi Wayang

BAB II

PEMBERDAYAAN WAYANG

A. Pengertian Wayangan

Pewayangan adalah peranan wayang dalam pengembangan budaya jawa.Agar

focusperhatian kita yang tidak hanya tertuju pada masalah pengembangan budaya jawa

saja tetapi, juga tertuju secara seimbang pada masalah wayangan, terutama aspek

pembinaannya, maka judul ini penulis menggantinya menjadi pemberdayaan wayang.

Dengan judul ini sekiranya menjadi jelas bahwa ada 2 hal yang saling terkait yang harus

kita perhatikan secara seimbang, yaitu pembinaan wayang dan pewayangan.

Bahwa esensi budaya jawa dapat dirumuskan dalam satu kata: wayang, seolah –

olah sudah menjadi axioma bagi para pakar budaya jawa. Mempelajari dan memahami

wayang adalah merupakan syarat yang tan keno ora atau condition sine quo non untuk

menyelami bidaya jawa baik etos jawa ataupun pandangan hidup jawa tergambar dan

terjalin baik dalam wayang. Budaya jawa disini diberi makna yang longgar, yang kira –

kira sama dengan Javanese culture, sehingga kit abaca sebagai kebudayaan jawa. Jadi kita

tidak perlu terjebak dalam masalah –masalah detail semantic, juga kata tentang makna

kata “budaya” atau “kebudayaan” itu kita juga boleh mengacu pada batasan – batasan

yang mana saja diantara sejumlah batasan yang konon tak kurang dari 179 buah.

Batasan atau difenisi budaya oleh ki Nartosabdho sebagai “angen – angen kang

ambabar kaendahan”(angan – angan yang membuahkan keindahan), barangkali lebih

tepat sebagai batasan “kesenian” ketimbang “budaya” atau “kebudayaan” meskipun etos

budaya jawa itu juga tidak luput dari proses perubahan akan tetapi disitu ada nilai hakiki

yang tidak akan berubah, yaitu kesadaran akan tetapi disitu ada nilai hakiki yang tak akan

berubah, yaitu kesadaran akan kewajiban pokok manusia untuk saling mencinta

sesamanya (asih ing sasani) serta untuk ikut memayu hayuning bawana.

B. Wayang dan Budaya Jawa

Kalau kita memperhatikan susunan rumah tradisional jawa biasanya kita akan

menemukan bagian – bagian ruangan yang disebut emper, pendhapa, umah mburi,

gandhok,senthong, dan bagian yang disebut pringgitan yaitu bagian yang

menghubungkan pendhopo dengan umah mburi. Mengapa bagian ini disebut pringgitan?

Mungkin kita tidak pernah memikirkanya.Pringgitan merupakan tempat untuk

Page 9: Etika Di Balik Filosofi Wayang

mempergelarkan ringgit dan kata ringgit ini adalah bentuk halus (krama) dari kata

wayang.Dalam bahasa krama (halus) pergelaran wayang disebut ringgitan dalam bentuk

ngoko wayangan.Jadi didalam membangun rumah orang jawa sudah meniati untuk

menyediakan suatu tempat khusus bagi pergelaran wayang.Ini menandakan betapa

kuatnya pengaruh wayang dalam kehidupan orang jawa.Salah satu kekuatan dari

kebudayaan orang jawa ini adalah kemampuanya untuk menyerap dan

mengintegrasikanya semua pengaruh yang dating itu, dengan unsur – unsur autochton

dari dirinya sendiri.

Dari setiap unsur yang datang tersebut kaum intelektual tradisonal jawa mampu

mengambil unsur – unsur yang diperlukanya dan menjawakannya.Penulis rasa tidak ada

yang lebih jelas menunjukan hal ini dari seni pewayangan.Kisah – kisahnya jelas berasal

dari kebudayaan hindhu tapi perwujudanya jelas adalah jawa. Wayang merupakan

identitas utama orang jawa, demikian kata Marbangun Hardjowirogo dalam manusia jawa

(1983:33) yaitu dalam bab yang diberi judul “Manusia jawa dan wayang”, juga Maria A.

Sardjono dalam buku muktahirnya yang sama judulnya yaitu “Manusia jawa dan

Wayang”(P.22) dimana ia menerangkan betapa lekatnya wayang dalam kehidupan

manusia jawa.

Juga para pengamat asing seperti Niels Mulder, B. Schirieke, W.H Rassers,

Clifford gertz, Benedict R.OG, Anderson, Howard P. Jones(mantan duta besar amerika se

yang berjudul Trikat di indonesia), Franz magnis- suseno, J.D.Legge dan lain – lain, tak

lupa menyoroti wayang dalam kupasnya tentang budaya jawa. Bahkan Clifford Geets,

penulis buku the religion of java itu, dalam karya yang sebenarnya tidak khusus tentang

jawa atau pun Indonesia yaitu yang berjudul The Interpretation of cultures (1973:131-

140), berbicara tentang wayang cukup panjang lebar dan kaitanya dengan jawa.

Perhatian pengamat- pengamat barat terhadap wayang dan budaya jawa boleh

dikatakan telah bermula semenjak mereka menginjakan kakinya di Indonesia, khususnya

di pulau jawa. Dalam kata pengantarnya terhadap buku karya Thomas Stamford Raffles

yang amat terkenal, The history of jawa edisi tahun 1988, John Bastin menyatakan bahwa

Raffles meluangkan waktunya yang cukup lama di Cisarva, jawa barat untuk

menerjemahkan kitab baratha yudha, di bantu dalam the history of java itu. Raffles

banyak sekali menyoroti masalah tentang wayang, dalang dan budaya jawa pada

umumnya.

Uraian tentang wayang, dengan focus utama ditunjukan pada kitab baratha yudha

tetapi disana sini juga mnyinggung kisah Ramayana juga wayang gedhong, wayang klitik

Page 10: Etika Di Balik Filosofi Wayang

dan lain- lain, tebalnya lebih dari 100 halaman. Yang lebih menarik adalah bahwa Raffles

mengkaitkan tarikh Ramayana dengan tarikh mahabarata dengan cara yang berbeda

sesuai dengan versi pewayangan sekarang, kita dapat melihat pertemuan itu lewat lakon

carangan rama nitis. Dalam lakon ini rama mengahkiri hidupnya dengan cara nitis atau

menyatu dengan kresna sebagai avatar wisnu.

Dalam versi Raffles, kematian rama menandai pergantian zaman kedua, yaitu

Tetra Yuga (Raffles:Tetra Yuga) ke zaman ke tiga yaitu Dwapara Yuga (Raffles:Duapara

Yoga). Dan saat itu kira- kira bersamaan dengan masa hidupnya Sakri yaitu Mbah

Canggahnya Pandawa dalam alur kisah Mahabarata.

Oleh Raffles nenek moyang Pandawa di gambarkan sebagai berikut :

1. Manu- Manaso

2. Tritrushta

3. Parikena

4. Sutapa

5. Sa-Putram

6. Sakri

7. Pulasara

8. Abiasa

9. Pandu- dewa Nata

Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa Raffles (Op.cit.,P.414) juga menyajikan

istilah – istilah jawa dalam bilangan mulai dari 100 sampai dengan 10.000.000.000.000,

yang ia kutip dari Baratha Yudha, yaitu sebagai berikut :

100 : Ratus(mestinya atus)

1000 : Rebu (sekarang ewu)

10.000 : Laksa

100.000 :Keti

1.000.0000 : Yuta

10.000.000 : Bara

100.000.000 :Memeng

1.000.000.000 :Pante

10.000.000.000 :Chamo

100.000.000.000 :Eksa’eni

1.000.000.000.000 : Pertana

10.000.000.000.000 : Gulma

Page 11: Etika Di Balik Filosofi Wayang

Kutipan Raffles itu menandakan betapa kayanya bahasa jawa akan istilah – istilah

sejak zaman dahulu. Perlu diingat bahwa Raffles menulis The History of Java itu pada

tahun 1815 tepatnya pada bulan Agustus-September 1815. Dari uraian – uraian tersebut

tersimpul dengan jelas bahwa untuk memahami budaya jawa tan keno ora harus

memahami wayang . Dengan kata lain orang jawa yang tidak memahami wayang akan

sama saja dengan orang yang tidak faham dengan jati dirinya sendiri.

C. Pembinaan Wayang

Seperti halnya budaya yang diberi makna longgar sehingga bisa disamakan

dengan kebudayaan demikianlah kata wayang yang diberi makna longgar sehinggaa bisa

saja diganti dengan makna pewayangan.Namun dalam hal ini ada sedikit pembatasan

bahwa yang dimaksud dengan wayang disini adalah wayang purwa, atau lebih jelasnya

wayang kulit purwa yaitu jenis wayang kulit yang mengambil tema ceritanya dari etos

maha baratha dan Ramayana.Jenis wayang inilah yang sangat berpengaruh atau

mempengaruhi budaya jawa.

Pembinaan wayang sebenarnya meliputi lingkup yang sangat luas. Di lihat dari

segi seni Dr. Abdullah melihat bahwa ada lima cabang kesenian yang ada hubunganya

dengan wayang yaitu :

1. Seni Widya : Filsafat dan Pendidikan

2. Seni drama :Pentas dan karawitan

3. Seni gatra : Pahat dan Lukis

4. Seni ripta: Sanggit dan Kesusastraan

5. Seni Cipta: Konsep dan ciptaan baru

Dikaitkan dengan upaya pengembangan budaya jawa sebenarnya semua cabang

kesenian yang terdapat dalam wayang itu mempunyai peranan yang penting. Tetapi untuk

keperluan penulisan ini penulis hanya akan membatasi, focus perhatian terutama pada

seni widya dan seni ripta saja yang semuanya akan memusat pada peranan dalang, karena

pembinaan wayang disini pada hakikatnya merupakan identic pada pembinaan pada

dalang.

D. Asal Usul Wayang

Tentang hal ini kita patut berterimakasih kepada Almarhum Ir. Sri Mulyono yang

telah menyajikan dengan jelas dan lengkap dengan salah satu bukunya yang berjudul

wayang, asal usul filsafat dan masa depanya(1975:6-44) dengan menampilkan pendapat

Page 12: Etika Di Balik Filosofi Wayang

dari para berbagai pawayangan, antara lain Dr. G.A.J Hazu, Dr. W.H Rassers, Dr.

Branders, Dr. Cohen Stuart, Prof. Kerns, Drs. Soeroto, K.G.A Kusumodilogo dan tentu

saja pendapat Sri mulyono itu sendiri. Kesimpulan dan pendapat tersebut secara garis

besarnya terbgi menjadi 2 sebagai berikut :

1. Pertunjukan wayang berasal dari atau setidak tidaknya terpengaruh oleh pertunjukan

Tonil india purba yang disebut Chayanataka (seperti pertunjukan baying - bayang).

2. Pertunjukan wayang adalah ciptaan asli orang jawa Nicholaas J.Krom dalam bukunya

Hindoe Javaanshe Geschiedenis menyebutkan adanya beberapa unsur karakteristik

pada peradaban melayu, terutama peradaban jawa yang sudah ada sebelum

kedatangan orang hindu di jawa, diantaranya adalah :

1. Sistem Irigasi terhadap padi sawah

2. Proses pembuatan kain batik

3. Gamelan

4. Pertunjukan wayang kulit

Unsur – unsur budaya yang telah disebit oleh Krom ini agaknya memang begitu

mendasar dan tetap berlanjut sampai saat ini. Sampai saat ini ke 4 unsur budaya ini masih

tetap memberi ciri karakteristik budaya jawa, meskipun sekarang dapat kita temukan

pada kebudayaan – kebudayaan pada daerah lain bahkan Negara lain.

Dalam hubungan bisa kita catat pendapat Harry Aveling yang menyebutkan

bahwa sampai dengan abad ke 19 kehidupa intelektual,cultural dan elit jawa, masih tetap

terpusat pada unsur – unsur budaya yang mengakar kuat ke masa lalu, yaitu:

1. Kesusastraan yang mempunyai daya pelestarian yang kuat terhadap gaya

(genre)kebudayaan tradisional jawa.

2. Pertunjukan wayang yang saat ini telah begitu berkembang dan di perhalus.

3. Batik sebagai Ekspresi seni yang halus dan indah.

Harry Aveling juga menyebutkan bahwa bahasa jawa berkembang demikian jauh

sehingga menjadi bahasa yang tak tertandingi oleh bahasa manapun terutama mengenai

kekayaan kosakatanya. Terhadap yang terakhir ini Aveling tidak sama sekali

mendramatisir kenyataan. Di muka telah saya berikan contoh tentang nama – nama

bilangan yang dicatat oleh Raffles dari Barata Yudha. Kita juga mengenal bahwa bahasa

jawa memiliki istilah – istilah khusus untuk nama – nama bunga, nama- nama anak

binatang dan lain sebagainya. Agar kita tidak lupa perkenenkan saya sedikit menyimpang

dengan memberikan contoh istilah – istilah yang menunjukan nama kerabat dalam garis

lurus sebagai berikut:

Page 13: Etika Di Balik Filosofi Wayang

9. Gedebok bosok

8. Gropak Sentha

7. Gantung Siwur

6. Udheg- Udheg

5. Embah Wareng

4. Embah Canggah

3. Embah buyut

2. Embah

1. Bapak da Ibu

AKU

1. Anak

2. Putu

3. Buyut Canggah

4. Dan seterusnya seperti alur diatas

Kembali tentang asal – usul wayang kecuali untuk kepentingan penelitian ilmiah

sebenarnya kita tidak perlu terlalu mempersoalkan apakah wayang itu asli ciptaan orang

jawa ataukah contekan dari kebudayaan lain. Yang penting sekarang adalah bagaimana

kita memanfaatkan dan membina serta mengembangkan bagaimana kekayaan jawa ini

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan hanya jawa tapi juga Indonesia bahkan

dunia.Bagaimana kita menyumbang wayang ini untuk umat manusia, untuk memayu

hayuning bawana.

E. Wayang Sebagai Tontonan dan Tuntunan

Kita semua mengetahui bahwa bagi masyarakat jawa wayang tidaklah hanya

sebuah tontonan akan tetapi juga tuntunan. Wayang pun tidak sekedar sebagai hiburan

akan tetapi juga sara komunikasi, media penyuluhan dan media pendidikan. Bahkan

wayang pun sebagai wahana pengabdian dalang bagi masyarakat, Negara dan bangsa

serta umat pada umumnya.Oleh karena itu melihat pertunjukan wayang ataupun

mendengar kaset rekaman wayang tidaklah membosankan meskipun cerita dan lakon –

lakonya hanya itu- itu saja.

Ditinjau dari segi pengembangan budaya jawa, kedua fungsi wayang tersebut

yaitu sebagai tontonan dan juga tuntunan, semuanya perlu mendapat perhatian dalam

pembinaan wayang.Keduanya perlu senantiasa dijaga dan ditingkatkan kualitasnya agar

Page 14: Etika Di Balik Filosofi Wayang

selalu dapat memenuhi embananya dengan baik.Siapa yang berkwajiban dalam

pewayanganya itu? Jawabanya adalah: siapa saja yang mempunyai kesadaran, rumongso

melu handar beni seni pewayangan itu, siapa saja yang merasa yen mati melu kalangan

terhadap seni pewayangan itu. . Kalau kita menyadari bahwa pewayangan itu telah

menjadi asset budaya nasional, maka kewajiban itu terletak di setiap pundak masyarakat

indonesia seluruhnya.

Tetapi tentulah masyarakat jawa khususnya yang harus merasa lebih terpanggil

untuk tetap nguri- nguri kekayaan kebudayaan yang indah dan sarat dengan nilai- nilai

budaya jawa, yang berarti pula identic dengan dengan jati diri masyarakat jawa tengah.

Di jawa tengah pemerintah daerah dengan strategi wawasan jatidirinya itu telah

menanamkan kesadaran kepada seluruh jajaran aparatnya untuk selalu menyadari dirinya

bukan hanya pamaong praja tetapi sebagai pamong budaya.Kebudayaan adalah seluruh

aspek kehidupan masyarakat atau kelompok manusia melalui cipta, rasa dan

karsanya.Semua pihak yang ikut berkewajiban membina seni pewayanganya tentulah para

seniman dan seniwati wayang itu yang harus merasa dan terpanggil atau paling merasa

wajib melu hangrung kebi mati hidup seni pewayangan itu.Para seniman dan seniwati

wayang itu, harus selalu wani mulat sarrira dan selalu mawas diri.Kualitas pertunjukan

pewayangan baik dalam fungsinya selaku tontonan maupun sebagai tuntunan, memang

sangat di tentukan oleh ki dalang.Akan tetapi hal itu tidaklah berarti bahwa peranan para

niaga, wiraswara dan pesinden atau suara wati itu hanyalah sebagai timun wungkuk juga

imbuh atau sebagai embel- embel yang tidak bearti.Aspek wayang sebagai tontonan tidak

kalah pentingnya dari peranan dalang, iringan. Karawitan yang baik dilengkapi dengan

wira swara dan suara wati yang baik dan dapat mengikuti suara penonton. Merupakan

kemestian yang bersifat tan keno ora.

Dalang pada hakikatnya merupakan drigen dan sekaligus sutradara terhadap

pertunjukan wayang.Sebagai pengendali dan penentu keberhasilan pertunjukan wayang.

Aspek wayang sebagai tuntunan, peranan dalang hampir – hampir sangat mutlak.

Untuk bisa memberikan tuntunan kepada masyarakat khususnya para penonton, seseorang

dalang harus menguuasai segala hal dalam istilah jawa, ia (dalang) harus mumpuni.

Seorang dalang memang seharusnya memiliki kualitas yang lebih dibanding

dengan anggota masyarakat lainya, ia harus punjuling apapak mbojoroling akerep. Di

mata masyarakat jawa dalang adalah wong kang wasis ngudal piwulang (orang yang

mahir memebrikan banyak pelajaran) atau wong kang pantes ngudal piwulang (orang

yang pantas memberikan berbagai pelajaran). Tanpa itu semua mustahil seorang dalang

Page 15: Etika Di Balik Filosofi Wayang

dapat menunaikan embananya yang amat berat, bukan saja hanya sebagai penghibur

tetapi juga sebagai komunikator, sebagai penyuluh, sebagai penator, pendidik atau guru

bagi masyarakat dan sangat diharapkan adalag sebagai rokhaniawan yang selalu

berkwajiban mengajak masyarakat untuk berbuat kebaikan dan menghindari kejahatan,

menanamkan kepada masyarakat amar ma’ruf nahi mungkar atau semangat mamyu

hayuning bebrayan agung, sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing –

masing.

Dan didalam demokrasi pancasila adalah menjadi kewajiban seorang dalang untuk

selalu memupuk kerukunan hidup diantara sesame anggota masyarakat yang mempunyai

beraneka ragam dan terdiri dari bermacam – macam suku –suku bangsa, budaya serta adat

istiadat.

Secara objektif kita harus mengakui bahwa sampai saat ini kita belum mempunyai

dalang yang kalibernya kita samakan dengan “Ki nartosabdho, tetapi tidak ada yang tidak

mungkin pasti ada kemungkinan nantinya di waktu yang akan dating pasti ada dan kita

mempunyai dalang yang bukan hanya dapat menyamai melainkan melebihi tataran

kwalitas ki nartosabdho. Sedangkan kelebihan Ki Narto Sabdho perlu kita contoh

sebagai berikut :

1. Penjiwaan yang total

2. Cita dan Pandangan Hid up

3. Bakat dan Kesungguhan Usaha

4. Kreativitas

5. Sanggit (kemampuan dan kemahiran)

6. Penguasaan bahasa dan pengetahuan umum

7. Pesan dan Kritik

8. Membaca dan mengarahkan selera public

9. PAKEM (aturan – aturan baku dalam pergelaran wayang)

F. Etika Wayang, Etika Dalang dan Etika Pancasila

Peranan dalang dalam kehidupan masyarakat jawa tengah adalah sentral

sekali.Peranan dalang itu digambarkan amat tepat dalam batasan “Jarwa dan Hosok” yang

menyatakan bahwa dalang merupakan “wong kang wasis ngudhal piwulang” (orang yang

pandai menyampaikan ajaran).

Page 16: Etika Di Balik Filosofi Wayang

Seorang dalang haruslah mempunyai berbagai kelebihan, yang diantaranya adalah

sebagai berikut :

1. Dapat menyelami jiwa masyarakat dan aspirasi – aspirasinya

2. Mempunyai pendangan hidup yang jelas, terarah dan berwawasan luas, yang

dalam hal itu tentu saja harus bersumber pada pancasila dan UU’'45.

3. Menguasai banyak ilmu dan pengetahuan yang di perlukan oleh masyarakat.

4. Mempunyai kemampuan untuk menyampaikan gagasan – gagasan penonton.

5. Mempunyai semangat pembaharuan serta keberanian untuk menyampaikan kritik

– kritik yang positif dan bersifat membangun.

6. Mempunyai keyakinan diri yang mantap sehingga dapat tampil di depan para

penonton dengan mantap dan berwibawa.

7. Menguasai penggunaan dan tutur bahasa daerah (jawa) dengan baik.

8. Menguasai kesenian daerah setempat dan mempunyai rasa humor yang tinggih.

9. Menguasai teknik pendalangan dan berbeka suara yang baik.

Jadi seorang dalang haruslah seorang filsuf, seorang guru yang berpendidikan atau

seniman, seorang pelawak, seorang orator dan seorang komunikator, penyuluh atau juru

penerang.Pokok bahasan yang tepat di kemukakan dalang sarasehan “yakni peranan

dalang sebagai komunikator pembangunan serta pembinaannya”.Pada periode pra G-30-

S/PKI, membuktikan adanya dalang – dalang yang ternyata dapat dimanfaatkan oleh PKI

untuk merongrong wibawa pemerintah.Hal semacam itu tidak boleh terulang lagi, Namun

tidak berarti para dalang tidak boleh menyampaikan kritik kepada pemerintah.Pernyataan

etika wayang itu pada hakikatnya adalah gambaran dari etika jawa. Etika wayang itu

sangat ditentukan oleh orang yang membawakanya, yakni “Ki Dalang”, jadi pada

hakikatnya etika wayang adalah etika dalang, filsafat wayang adalah filsafat dalang yang

membawakan lakon. Perlu adanya upaya untuk pembinaan agar peran dalang benar-

benar merupakan insan pancasila yang tak boleh di ragukan.

Kalau kita endapkan dengan tenang terhadap pembaharuan segi – segi etika

wayang yang dapat di nilai kurang sesuai dengan pancasila. Contoh:” Dewi Drupadi”

untuk membiarkan rambutnya terurai tak tergelung (tidak dirawat) sebelum ia dapat

berkemas dengan darah Dursasana. Punagi atau sumpah ini konon terucapkan akibat

penderitaan Drupadi di larak – larak oleh Dursasana, rambut Drupadi di jambak dan

pakaianya di tarik – tarik untuk di telanjangi di depan persidangan.

Page 17: Etika Di Balik Filosofi Wayang

Punagi itu sedikit banyak mangandung bau dendam. Apapun alasanya satu

dendam adalah semuanya menganjurkan cinta kasih kepada sesama dan mudah

memaafkan ke salahan orang lain. Sifat – sifat itu sangat menonjol pada Drupadi,

beberapa saat setelah anak – anak Drupadi semuanya di bunuh oleh Aswatama pada

periode pasca Barata Yudha. Dialog itu tercantum pada kitab Bhagavata, yang dituturkan

kembali oleh Radha Krishnan sebagai berikut :

“Draupadi’s fire children the upapandavas, were killed by Asvatthama’s head to yaou on

a platter”What is the answer which Drupadi gave?

“Let not Gautami, the mother of asvatthama, weep like me white my children dead before

me. Why Should she also suffer a similar fate to mine?Arjuna don’t touch Asvatthama

Leave him alone”

Terjemahan bebas:

Kelima anak Drupadi ,yakni upapandawa (pancawala) di bunuh oleh

Aswatama kemudian datanglah Arjuna seraya berucap kepada

Drupadi,”Drupadi yang ku sayangi, saya akan mempersembahkan

kepadamu kepala Aswata di atas sebuah nampan,” Bagaimana jawab

Drupadi?”Jangan (kau paksa) Gautami ibu Aswatama, manatap seperti

saya di depan mayat- mayat anak saya. Mengapa ia harus menderita karena

nasib yang menimpa saya? Arjuna, jangan kau sentuh Aswatama. Biarkan

dia Pergi”

Saya tidak tahu dari mana dan kapan dating sifat pendendam Drupadi.Tetapi sejak

saya masih kanak – kanak memang saya pernah mendengar Punagi Dewi Drupadi dalam

lakon- lakon wayang. Hal itu sudah menjadi baku dan masuk dalam PAKEM.

Bahwasanya hakikat seorang dalang adalah seorang guru (yang menurut Radhakrishnan,

arti guru itu adalah “orang yang dapat menerangi kegelapan yang ada di batin orang

lain”) Seorang dalang senantiasa bersemangat dan bisa menjadi seorang pelajar bahkan

pelajar abadi.

Page 18: Etika Di Balik Filosofi Wayang

BAB III

PERANAN DALANG DALAM PEWAYANGAN

A. Tujuan Pembinaan Pewayangan

Dalam kata “membina biasanya terkandung pengertianya” mengusahakan dengan

segala upaya dan cara agar objek yang di bina itu selalu dalam keadaan baik dan semakin

baik dalam segala aspeknya”. Dalam makna yang demikian membina pewayangan paling

tidak akan mempunyai 3 pokok, yakni : Melestarikan dunia pewayangan, Meningkatkan

mutu seni pewayangan, dan meningkatkan manfaat pewayangan bagi masyarakat dan

Negara.

1. Melestarikan Dunia Pewayangan

Ada yang mengatakan bahwa wayang khususnya wayang kulit adlah bayangan

atau gambaran dari kebudayaan jawa ia merupakan manifestasi cipta, rasa dan karsa

“manusia jawa” dalam segala aspek kegidupan bermasyarakat dan bernegara. Nilai –

nilai kesenian, keindahan, filsafat, pola tingkah laku, persepsi keagamaan, dambaan

dan cita- cita dan lain- lain, semua itu terkandung dalam dunia pewayangan.

Kandungan yang amat kaya itulah yang perlu di lestarikan dan di bina

terus.Melestarikan bukanlah mencegah terjadinya perubahan karena hal itu tidak

mungkin juga tidak ada gunanya.Jadi, melestarikan wayang kulit adalah melestarikan

secara dinamis eksistensi dan fungsi wayang kulit sebagai wujud dan sarana

pembinaan kebudayaan nasional dan khususnya bagi masyarakat jawa.

Upaya strategis untuk melestarikan wayang yang paling penting adalah

menarik minat para pemuda dan anak – anak untuk menyayangi kebudayaan,

mencintai, menyenangi wayang.Perlu kita ingat pepatah lama”Tak kenal maka tak

sanyang”, atau ungkapan jawa yang mempunyai makna yang sama yaitu “witing

tresno jalaran kulino.Jadi sejak kecil mereka harus di biasakan untuk mengenal

(menonton) wayang.

2. Meningkatkan Mutu Seni Pewayangan

Jalur strategis dalam meningkatkan mutu seni pewayangan adalah jalur

pembinaan dalang, dengan dalang yang kreatif dan berbakat para penonton akan puas

karena dapat memperoleh hiburan yang sehat dan sesuai dengan apa yang mereka

harapkan. Mereka juga puas dengan harapan – harapan dan uneg – uneg (keluhan -

Page 19: Etika Di Balik Filosofi Wayang

keluhan) mereka telah disuarakan oleh Ki dalang secara enak melalui adegan –

adegan tertentu (biasanya melalui gara- gara).

Dengan kata lain pertunjukan wayang yang baik (menurut pendapat) adalah

yang dapat memberikan hal – hal sebagai berikut :

a. Suguhan hiburan yang sehat dan memenuhi selera penonton

b. Berbagai informasi yang diperlukan oleh penonton

c. Kritik – kritik sehat yang membangun terhadap kecenderungan –

kecenderungan yang menyimpang

d. Greget atau ajakan kepada penonton (masyarakat) untuk mempertebal

kepancasilaan terhadap kehidupan mereka.

e. Sentuhan – sentuhan kejiwaan pada penonton

f. Suguhan kreasi – kreasi baru di bidang seni dan budaya

g. Rangsangan kesadaran kearah kehidupan bersama, kerukunan, toleransi, dan

gotong royong serta semangat untuk ikut memayu hayuning bawana.

3. Meningkatkan Manfaat Wayang bagi Masyarakat

Dengan mengingat asas manfaat sebagai asas yang pertama – tama di sebutkan

antara 7 asas pembangnan nasional yang tercantum dalam pola dasar pembangunan

nasional (Bab II GBHN), maka kemanfaatan bagi masyarakat (bagi Negara pada

umumnya) itu harus menjadi perhatian utama dalam pembinaan pewayangan.Kriteria

kemanfaatan wayang bagi masyarakat tentu tidak hanya diukur dari banyaknya

anggota masyarakat.

Beberapa diantaranya yang dapat disebutkan adalah bahwa pertunjukan

wayang harus dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan masyarakat.Dalang yang

baik adalah guru dalam artian yang sebenar- benarnya bagi masyarakat.Dengan

menonton wayang masyarakat dapat menjadi lebih terdidik, lebih maju dan lebih

terbuka ubtuk menerima ide- ide kemajuan.

Pertunjukan wayang yang baik adalah dapat menghilangkan kesenjangan

antara pemerintah dan masyarakat, sehingga ungkapan manunggaling kawulo gusti

benar- benar dapat terwujud. Rakyat bukan lagi sebagai kawula tetapi juga

gusti,sebaliknya pemerintah bukan hanya sebagai gusti yang harus di sembah dan

dipatuhi peraturanya tetapi juga kawula yang harus melayani rakyat dan tunduk pada

amanat wakil – wakil rakyat (terutama melalui MPR).

Page 20: Etika Di Balik Filosofi Wayang

Pertunjukan wayang yang baik seharusnya dapat menggugah semangat amar

ma’ruf nahi mungkar atau semangat untuk ikut memayu hayuning bawana, yang

berarti juga semangat pancasila. Itulah gambaran dan harapan – harapan tentang

pertunjikan wayang yang baik dan bermanfaat itu, semua merupakan tantangan yang

tidak ringan bagi seorang dalang

B. Peranan Pemerintah dalam Pembinaan Wayang

Dalam Pembinaan Pewayangan ada 3 hal pokok yang harus diperhatikan:

Melestarikan dunia pewayangan

Meningkatkan mutu seni pewayangan

Meningkatkan manfaat wayang bagi masyarakat

Peranan pemerintah dalam pembinaan pewayangan tentu berkisar pada 3 upaya

tersebut. Pemerintah hanya berperan sebagai penunjang dalam hal – hal itu tentu

pengaruhnya amat menentukan dimana uluran tangan pemerintah memang amat di

perlukan, misalnya dalam hal – hal yang akan di uraikan di bawah ini :

1. Meningkatkan Frekuensi Pementasan Wayang

Frekuensi pertunjukan wayang adalah merupakan salah – satu cara yang

sederhana namun efektif bagi upaya pelestarian wayang, kerena sekarang semakin

banyak dalang sudah berubah menjadi super dalang, yaitu sekaligus menjadi produser

pertunjukan maka harga pertunjukan mereka menjadi semakin mahal. Semua

komponen pertunjukan sudah di perhitungkan harganya. Orang desa pun tidak selalu

mampu membayar ongkosnya, maka wayang kulit menjadi kesenian kota.

Dalam rangka untuk menggalakan pementasan wayang kulit ini ada satu hal

yang perlu kita fikirkan bersama, yakni kemungkinan untuk mengadakan lomba antar

dalang atau lomba pementasan wayang satu tahun sekali mulai dari tingkat dati II

(Tingkat wilayah gubernur) sampai tingkat profinsi atau bahkan tingkat nasional. Di

tingkat provinsi I jateng memang pernah ada pemikiran untuk menggalakan

penyelenggaraan pentas seni satu tahun sekali yang akan berlokasi di pusat rekreasi

dan pembangunan JATENG (PRPP) sebagai kalender tetap untuk menarik wisatawan

dan untuk meningkatkan pembinaan seni dan budaya sebagai salah satu jalur utama

untuk mengembangkan dan merupakan strategi wawasan jati diri.

Page 21: Etika Di Balik Filosofi Wayang

2. Memadukan wayang dengan pariwisa

Memadukan wayang dengan pariwisata adalah merupakan ide yang sangat

baik dan prospek yang cerah baik untuk memajukan pariwisita maupun

pewayanganya yang paling pokok dalam upaya memadukan wayang dengan

pariwisata adalah menciptakan kegiatan- kegiatan yang tetap dan pasti sehingga dapat

di masukan sebagai kelender wisata yang tetap.

3. Wayang dalam Pendidikan Dasar

Memasukan wayang dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan dasar,

saya rasa akan mempunyai dampak yang sangat positif, bukan saja bagi pelestarian

wayang akan tetapi juga untuk kepentingan pendidikan. Oleh karena itu penanaman

jiwa pancasila melalui berbagai cara (termasuk melalui wayang), tentang cara

memasukan wayang kedunia pendidikan tentunya harus disesuaikan dengan tingkat

berfikir si murid atau tingkat pendidikan yang bersangkutan.

4. Pembinaan Dalang

Tujuan pembinaan dalang adalah tentunya untuk meningkatkan mutu dalang

dan untuk menimbulkan suasana saling pengertian dan saling menunjang antara

kedudukan dan tugas pemerintah dengan kedudukan dan tugas dalang selain

menggalakan forum – forum sarasehan baik yang bertaraf cukup besar seperti dalam

format – format kecil, pemerintah tentunya dapat membantu pembinaan pendidikan

dalang melalui forum – forum pendidikan (yang mengajarkan segi – segi teknis

pendalangan) maupun forum semacam penataran dalang untuk mengisi pengetahuan

umum dalang, terutama yang menyangkut kebijakan dan program – program

pemerintah yang muthahir. Yang paling penting adalah memberikan dorongan kea rah

terciptanya iklim yang dapat meningkatkan pengetahuan dan kualitas dalang.

C. Wayang dan Sumber Literaturnya

Ada berbagai jenis wayang yang dikenal oleh masyarakat, yaitu wayang purwo,

gehong, klitik, wayang beber, wayang suluh dan lain – lain. Kalau orang berbicara

tentang wayang tanpa suatu predikat apa- apa maka yang dimaksut biasanya adalah

wayang purwa, yaitu wayang kulit dengan cerita maha baratha atau Ramayana. Wayang

purwa inilah yang paling digemari masyarakat terutama orang jawa.Cerita – cerita

wayang purwa itu benar – benar telah terjadi di pulau jawa. Beberapa tempat – tempat

Page 22: Etika Di Balik Filosofi Wayang

dijawa bahkan diyakini sebagai tempat – tempat dalam Ramayana ataupun mahabaratha,

misalnya Guo Kisendhang (kerajaan kera sugriwa) di Kendal, Pringgodani (kerajaan gatot

kaca) di Tawang mangu dan lain – lain.

Bahkan kabarnya orang Madura sangat marah apabila ada dalang yang berani

memainkan lakon – lakon Prabu Baladewa (raja madura) kalah dalam peperangan.Mereka

mengidentifikasikan Madura dengan pulau Madura dan baladewa adalah leluhur mereka

yang gagah perkasa.

Cerita – cerita wayang purwa adalah berasal dari india yaitu bersumber dari epos

Ramayana dan maha baratha. Para ahli beranggapan bahwa cerita Ramayana ditulis oleh

walmiki sekitar seribu tahun sebelum masehi dan Mahabarata oleh Resi wiyasa atau

abiasa dalam pewayangan jawa.Sekitar 300 -400 tahun kemudian. Tetapi Rada Krishnan

beranggapan bahwa kitab yang amat benar bukan hanya dari hasil karya satu orang saja

melainkan dari beberapa orang dan memakan proses yang lumayan panjang. “The

Mahabarata is a perseptive record of a great period of indian’s history. We can not say the

this is the work of a single author. The great Viyasa him self meantion five direct pupils.

It has passed through different stages marked by the name java, bharata and mahabaratha”

Demikian pendapat Radhakrishnan dan juga raja Gopala Cahari dalam bukunya

Mahabaratha (199:7) menyatakan bahwa Indeed the Mahabaratha has another name

among scholars jaya- Which name Victory,…………

Lin Yutang dan beberapa penulis menganggap bobot dan kebesaran Mahabaratha

dan Ramayana itu setara dengan karya besar nomer yang amat terkenal,yaitu lliad dan

odyssey, perbedaan antara mahabaratha dan mahabarhata dan Ramayana menurut lin

yung adalah mahabaratha bercorak lebih realistic sedangkan Ramayana itu lebih bersifat

idealistic. Kedua wiracarita memang pantas disebut karya besar bukan hanya karena mutu

kesusteraan dan kandungan filsafatnya yang amat tinggi tetapi karena volumenya yang

memang luar biasa besar.Karya asli Ramayana berisi 24.000 bait dan mahabaratha

100.000 bait.

Karya yang aslinya di tulis dalam bahasa sansekerta kemudian di terjemahkan dan

di sadur ke dalam berbagai bahasa, baik bahasa – bahasa daerah di india sendiri maupun

bahasa – bahasa lain seperti inggris, perancis, Indonesia,jawa, bali,sunda dan lain-lain. Di

Indonesia terutama jawa tampaknya dari dulu sampai sekarang mahabaratha lebih popular

ketimbang Ramayana. Menurut beberapa dalang mengaku bahwa lakon – lakon

mahabaratha jauh lebih sering di pergelarkan dari pada Ramayana yang tidak mencapai

10 % dari seluruh lakon yang mereka pergelarkan.Pengakuan itu agaknya sesuai dengan

Page 23: Etika Di Balik Filosofi Wayang

fakta tentang jumlah dan mbangun kaset – kaset rekaman wayang yang tersedia di took –

took untuk kedua tema tersebut.

D. Mahabaratha dan Pewayangan Jawa

Kitab Mahabaratha sansekerta yang di gubah sekitar 600- 700 tahun sebelum

masehi itu merupakan sumber utama dan pendorong bagi tumbuhnya kesusastraan jawa

kuno. Berbagai kitab jawa kuno berkembang dari kitab induk seperti adipura sabhaparwa,

wira taparwa, bismaparwa dan lain – lain yang oleh Zoetmulder di sebut sebagai

kelompok sastra parwa, serta kitab – kitab jawa kuna yang berkembang atau kakawin

seperti Arjunawinaha karya empu kanwa pada jaman raja erlangga (1019-1042),

kresnayana gubahan empu triguna di jaman kerjaan Kediri (1104), Bharatha yudha karya

empu sedah dan empu panuluh di jaman pemerintahan prabu jaya baya di Kediri (1157)

yang syair – syairnya sampai sekarang menjadi hafalan baku bagi para dalang sebagai

suluk dalam lakon – lakon wayang.

Yang menjadi sumber acuan bagi para dukung di jawa tentu saja bukan kitab

Mahabaratha sansekerta ataupun karya – karya dalam bahasa jawa kuno seperti tersebut

di muka tetapi karya – karya yang lebih mutahir seperti pustaka raja karya ronggo

warsito, serat baratha yudha karya yang cukup menarik yaitu serat kandha tang mencampr

baurkan silsilah nabi – nabi (sejak nabi adam) dengan silsilah tokoh – tokoh wayang

termasuk dewa – dewa dan panakawan. Versi lain tentang silsilah semacam itu dapat pula

di jumpai dalam kitab manikmaya. Kitab – kitab semacam serat kandha (dalam

Poerbatjaraka: kitab kandha) dan kitab manikmaya itu jelas merupakan refleksi dari

proses pertemuan berbagai tata nilai yang berlangsung waktu itu yaitu islam, hindhu dan

budaya jawa yang asli menanggapi kitab – kitab semacam itu, Poerbatjaraka mengatakan:

“Sekarang saya bertanya,”dimana orang jawa tiada akan bingung jika membaca

kitab – kitab itu serta membanding- bandingkanya dimana cerita jawa itu dapat di

campuradukan dengan cerita arab, itu hanya suatu usaha untuk menenpatkan para

dewa dibawah pimpinan – pimpinan islam yaitu para nabi.

Seperti telah diuraikan dimuka gusti Allah orang jawa itu terdesak dengan gusti

Allah bangsa hindhu yaitu bathara siwa.”gusti allah” dari pada orang jawa tulen itu pada

zaman hindu jawa sampai akhir jaman majapahit terdesak sama sekali. Tapi serentak

pengaruh hindhu itu sudah berkurang dan kemudian menghilang , maka gusti allah orang

jawa asli muncul kembali dan tempatnya diatas gusti allah hindu yakni sang hyang taya,

Page 24: Etika Di Balik Filosofi Wayang

sang hyang wenang, sang hyang tunggal nama seorang orang pembesar yang ditempatkan

diatas bathara siwa(bathara guru).

Setelah jaman islam maka bathara guru keatas seperti sang hyang tunggal itupun

sudah pisah- pisahkan pula di tempatkan di bawah nabi adam.

Demikianlah berbagai pustaka yang merupakan sumber acuan bagi lakon – lakon

wayang yang satu sama lian mempunyai versi – versi yang sering berbeda. Timbuknya

versi- versi yang berbeda sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar mengingat sumber

cerita wayang itu pada awalnya dari mahabaratha indiaribuan tahun lalu, di india sendiri

juga sering berkembang berbagai variasi dalam proses penterjemahan kedalam bahasa –

bahasa non sansekerta, kemudian proses itu berlanjut terus dalam perkembanganya

dijawa dan kemudian Indonesia pada umumnya.

Berkembangnya berbagai versi dan variasi cerita wayang itu menjadi semakin

parah lagi karena masyarakat lebih mengenal cerita penuturan ki dalang ketimbang

membaca buku, padahal para dalang pun tidak banyak yang suka membaca buku. Banyak

diantaranya yang hanya membaca pada sanggit dalang lain yang sudah punya nama.

E. Rotary Wayang dan Budaya Jawa

Dari uraian para Rotaryan para anggota Rotary club semarang kunthi tidak perlu

ragu tentang pemilihan kunthi sebagai nama clubnya, meskipun bukan tanpa kelemahan

kunthi adalah sesosok wanita yang berbudi luhur, penuh kasih saying kepada sesama setia

pada suami rela berkorban dan tabah dalam manghadapi setiap keadaan dan cobaan.

Pemilihan tokoh kunthi adalah tepat sekali.Bukan hanya karena kepribadian kunthi yang

saya sebutkan tadi tetapi juga karena dasar filsafat.Rotary itu memang banyak

menemukan titik temu dengan filsafat pewayangan dan pandangan hidup jawa pada

umumnya.

Kesejajaran rotary dengan pewayangan dan budaya jawa pada umumnya itu antara

lain dapat disemak selain pada asanya yang berdasarkan pada undang – undang dasar

1945 juga pada maksut dan tujuan sebagaiman dirumuskan dalam bab III pasal 3

Anggaran dasar perkumpulan Rotary Indonesia yang menyatakan bahwa perkumpulan ini

bertujuan :

1. Menghimpun tokoh – tokoh masyarakat, tokoh – tokoh usahawan menurut

profesinya sehingga terjalin rasa persaudaraan dan memperluas persahabatan

diantara mereka.

Page 25: Etika Di Balik Filosofi Wayang

2. Menanamkan membina dan membimbing agar mereka berjiwa dan berbudi luhur

serta bercita – cita bakti baik dalam menjalankan profesinya maupun dalam

kehidupan pribadi/ keluarganya dengan menjunjung tinggih profesi sehingga

mereka berguna bagi masyarakat.

3. Demikian agar mereka menjadi manusia yang selalu berbakti kepada

masyarakatnya.

4. Melalui hubungan dalam pergaulan internasional dengan mengikat persaudaraan

dan kerja sama dengan bangsa – bangsa lain sehingga membuka kesempatan

untuk lebih banyak berbakti kepada masyarakat dan umat manusia.

Ayat satu yang menekankan pentingnya persaudaraan dan persahabatan diantara

para rotaryan ini jelas mempunyai tumpuan yang sama dengan landasan filsafat jawa asih

ing sesame, mengasihi dan mencintai sesame itu adalah dasar yang paling hakiki dalam

hubungan antar manusia yang perlu di pertahankan dan dikembangkan selama – lamanya.

Ayat dua yang menerangkan ahlak atau budi luhur dan amal bakti kepada

masyarakat juga sejajar dengan type ideal manusia jawa sebagai manusia yang berbudi

luhur dan selalu siap berbakti dengan sikap batin yang dilandasi semangat sepi ing pamrih

rame ing gawe.Tipe ideal manusia jawa sering digambarkan pula sebagai kesatria

pinandhita yang selalu bertekad untuk membrantas kejahatan dan menegakan kebenaran

dan kebaikan untuk amar makruf nahi mungkar, untuk ikut memayu hayuning bawana.

Ini sekaligus sudah mencangkup semangat yang terkandung dalam ayat 3 dan juga

ayat 4yang semuanya pararel dengan semangat memayu hayuning bawana.Atau memayu

hayuning bebrayon agung semanagat itu juga sejalan dengan semangat yang terkandung

dalam alinea yang terakhir dalam pembukaan UUD 1945 yang menegaskan semangat dan

cita – cita bangsa Indonesia yang antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.

Wayang adalah sebagai salah satu produk budaya jawa yang menggambarkan

perjuangan abadi manusia untuk melawan kebatilan dan menegakkan kebenaran dilandasi

dengan keyakinan bahwa kebenaran akan selalu menang. Sura dira jayaningrat lebur

dining pangastuti. Pasal tiga tadi juga menunjukan bahwa perkumpulan rotary Indonesia

juga berjalan dijalan yang sama.

Page 26: Etika Di Balik Filosofi Wayang

Kesimpulan terhadap isi pasal 3 Anggaran dasar perkumpulan retory indonesia itu

adalah bahwa semangat yang terkandung didalamnya ternyata juga pararel dengan filsafat

atau etos kerja yang dihayati dan di amalkan selama ini. Etos kerja ini belakangan diberi

nama Nawabratha yang berisi 9 semangat, yaitu :

1. Akhlaq

2. Amal

3. Asih

4. Arif

5. Ahli

6. Akhurat

7. Aktif

8. Atentif

9. Awas

Taka da satu pun dari 9 butir semangat itu yang tidak jalan dengan retory

Page 27: Etika Di Balik Filosofi Wayang

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Wayang itu adalah sebagi tontonan dan juga tuntunan bagi masyarakat jawa

dibalik semua wayang juga ada nilai – nilai pendidikan,diantaranya : membimbing,

membina, memberikan pengetahuan yang luas tentang wayang bagi masyarakat jawa.

B. Penutup

Atas berkat rahmat Allah yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan karya tulis ini sebagi tugas MAF-1 Mranggen, maka penulis berharap

semoga dengan penyusunan karya tulis ini dapat menambah pengetahuan penulis dan

pembaca.

Kritik dan saran dari pembaca kami terima dengan senang hati demi

kesempurnaan karya tulis ini.

Kiranya cukup sekian yang dapat kami sajikan dengan kerendahan hati penulis

mengakui bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu penulis

meminta maaf sebesar – besarnya.

Saran

Setelah penulis menguraikan sekaligus menyelesaikan karya tulis ini penulis ingin

memberikan saran – saran sebagai berikut :

1. Kita sebagai pelajar hendaknya sungguh – sungguh dalam belajar ilmu pengetahuan.

2. Semoga dengan adanya karya rulis ini kita menjadi sadar akan pentingnya pendidikan

bagi kita.

Page 28: Etika Di Balik Filosofi Wayang

DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson, B.R.O.G Mythologi and the Tolerance of the Javanese, cornell universityPress. Ithaco-New York,1979

2. Mulyono,Sri wayang- Asal –usul Filsafat di masa depannya,BPALDA, Jakarta 1976.

3. Raffles,T.S,History of Java, Oxford University Press, Oxford new york,1988.

4. Sujamto,Refleksi budaya jawa, Dahara Prize,Semarang 1992.

5. Buck, William, Mahabaratha, A Mentor Books, New York 1979.

6. Guritno,Pandam, wayang kebudayaan Indonesia dan pancasila, penerbit universitas Indonesia Jakarta,1988.

7. Hardjowirogo, Sejarah wayang purwa, PN Balai pustaka,Jakarta 1982.

8. Heroesoekarto, Peranan Wanita dalam Pewayangan,Penerbit Yayasan “Djojo Bojo, Surabaya,1988”.

Page 29: Etika Di Balik Filosofi Wayang

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama :Rokhan

Tempat, tanggal lahir : Semarang 12 januari 1994

Jenis kelamin : Laki- laki

Agama :Islam

Warga : Indonesia

Pendidikan :

MI Tarbiyatus Shibiyan, Tlogomulyo,Pedurungan, Semarang

Mts. Miftahul Ulum, Ngelempak,Mrangge, Demak

Madrasah Aliyah Futuhiyyah 1, Jl.Suburan barat, Mranggen Demak