etika di balik filosofi wayang
TRANSCRIPT
ETIKA DI BALIK
FILOSOFI WAYANG
KARYA TULIS
Diajukan sebagai salah satu syarat menempuh
Ujian Akhir Madrasah Aliyah Futuhiyyah 1
Tahun Pelajaran 2011/2012
Disusun Oleh :
Nama : Rokhan
Nomor Induk :
Program : Bahasa
MADRASAH ALIYAH FUTUHIYYAH 1
MRANGGEN DEMAK
2012
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Tulis ini disusun oleh :
Nama : Rokhan
Nomor Induk :
Program : Bahasa
Judul : Etika di Balik Filosofi Wayang
Telah diuji dan disahkan
Pada tanggal :
Dengan hasil :
Pembimbing, Penguji,
Ketua Panitia Mengetahui,Karya Tulis Kepala MA Futuhiyyah 1
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO :
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
………..
Artinya : “mengesahkan perbuatan, cara melakukannya kita sadari dengan penuh-penuh
kesadaran (musyahadah) segala gerak dan diam ucapan atau bukan ucapan, semua itu dari
Allah. Dari diri sendiri atau dari orang lain.makhluk lain adalah semua dari Allah.” Tidaklah
engkau yang melempar (Hai Muhammad) tetapi Allah lah yang melempar. (Al-Anfal : 17).
PERSEMBAHAN
Karya tulis ini penulis persembahkan kepada :
1. Bapak dan Ibu tercinta yang membantu dalam materi ini.
2. Bapak Kepala Madrasah Aliyah Futuhiyyah 1, K.H. Adib Masruhan,
Lc., M.Pdi. yang kami junjung tinggi dakwah-dakwahnya.
3. Bapak Ir. Bambang Sukmaji, selaku Wali Kelas III Bahasa.
4. Para pembaca yang kami hormati.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, seru sekalian alam semoga sholawat dan salam
senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW serta kepada Sahabatnya, keluarganya,
dan orang-orang yang beriman termasuk kita Amin.
Sebagaimana kita ketahui bahwa karya tulis ini sebagai syarat untuk mengikuti Ujian
Akhir Nasional Tahun 2011/2012. Dalam karya tulis ini saya yakin bahwa sesungguhnya
masih terdapat kekurangan, maka si penulis minta maaf sebesar-besarnya.
Semoga Allah mengampuni kelalaian dan kesalahan serta menambah bekal si penulis
yang masih banyak kekurangan.
Amin Ya Robbal Alamin..
Mranggen, 2012
Penulis,
Rokhan
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul......................................................................................................
B. Alasan Pemilihan Judul ..........................................................................................
C. Pokok-Pokok Masalah ...........................................................................................
D. Tujuan Penulisan ....................................................................................................
E. Metode Penulisan ...................................................................................................
F. Sistematika Penulisan ............................................................................................
BAB II : PEMBERDAYAAN WAYANG
A. Pengertian Wayang ................................................................................................
B. Wayang dan Budaya Jawa .....................................................................................
C. Pembinaan Wayang ...............................................................................................
D. Asal-Usul Wayang .................................................................................................
E. Wayang Sebagai Tontonan dan Tuntunan .............................................................
F. Etika Wayang, Etika Dalang, dan Etika Pancasila ................................................
BAB III : PERANAN DALANG DALAM PEWAYANGAN
A. Tujuan Pembinaan Pewayangan
B. Peranan Pemerintah Dalam Pembinaan Pewayangan
C. Wayang dan Sumber Literaturnya
D. Mahabrata dan Pewayangan Jawa
E. Rotary Wayang dan Budaya Wayang
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................
B. Saran ......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………….
Segala puji hanya bagi Allah Swt yang telah menganugrahkan segala urusan
mahluknya dan mengutus rasulnya dengan segala ajaran dan petunjuk yang menyertai kita
sehingga kita dapat menjadi orang yang sholeh. Sebelum penulis membahas isi dari karya
tulis ini terl;ebih dahulu penulis akan mengemukakan judul “Etika Di balik Filosofi Wayang”
A. Penegasan Judul
Agar pembaca tidak terlalu sulit memahami karya tulis ini perlu kiranya penulis
menegaskan arti dan makna kerya tulis ini.
“Filosofi Wayang” adalah perwujudan etika yang amat perlu dilakukan dalam setiap
pergelaran wayang baik dalam bentuk pergelaran utuh (Semalam Suntuk), maupun dalam
pergelaran – pergelaran dalam kemasan singkat.
B. Alasan Pemilihan Judul
Dalam karya tulis penulis memilih judul “Etika Dibalik Filosofi Wayang”.
Adapun hal- hal yang mendorong alasan tentang penulisan judul tersebut adalah :
Membimbing penyusun sebagai siswa MAF1 untuk agar dapat membantu
pengembangan seni pewayangan.
Penyusun mengajak pembaca untuk berdiskusi
C. Pokok – pokok Masalah
Mengapa pewayangan itu harus dikembangkan dan di lestarikan?
D. Tujuan Penulisan
Melangkah (jalan) tanpa tujuan itu sia – sia belaka. Demikian dalam karya tulis
ini, Adapun tujuan penyusunan adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan salah satu tugas dari MAF 1 sebagai salah satu persyaratan untuk
mengikuti ujian negara 2011/2012.
2. Untuk melatih kemampuan penyusun dalam belajar masalah wayang
3. Membantu dalam penyusunan skripsi di universitas nantinya
E. Metode Penyusunan
Dalam penulisan karya tulis ini penulis menggunakan metode literature yaitu
penyusunan kesusastraan atau kepustakaan.
F. Sistematika Penyusunan
Cara dalam penyusunan karya tulis ini menggunakan sistematika sebagai berikut :
BAB I: Berisi tentang pendahuluan, penegasan judul, Alasan pemilihan judul,
Pokok – pokok masalah, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan dan sistematika Penulisan
Karya tulis.
BAB II: Berisi tentang pemberdayaan wayang.
BAB III: Bersisi tentang peranan dalang dalam pewayangan dan peranan
pemerintahan dalam pembinaan pewayangan.
BAB IV: Berisi tentang kesimpulan dan kata penutup.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBERDAYAAN WAYANG
A. Pengertian Wayangan
Pewayangan adalah peranan wayang dalam pengembangan budaya jawa.Agar
focusperhatian kita yang tidak hanya tertuju pada masalah pengembangan budaya jawa
saja tetapi, juga tertuju secara seimbang pada masalah wayangan, terutama aspek
pembinaannya, maka judul ini penulis menggantinya menjadi pemberdayaan wayang.
Dengan judul ini sekiranya menjadi jelas bahwa ada 2 hal yang saling terkait yang harus
kita perhatikan secara seimbang, yaitu pembinaan wayang dan pewayangan.
Bahwa esensi budaya jawa dapat dirumuskan dalam satu kata: wayang, seolah –
olah sudah menjadi axioma bagi para pakar budaya jawa. Mempelajari dan memahami
wayang adalah merupakan syarat yang tan keno ora atau condition sine quo non untuk
menyelami bidaya jawa baik etos jawa ataupun pandangan hidup jawa tergambar dan
terjalin baik dalam wayang. Budaya jawa disini diberi makna yang longgar, yang kira –
kira sama dengan Javanese culture, sehingga kit abaca sebagai kebudayaan jawa. Jadi kita
tidak perlu terjebak dalam masalah –masalah detail semantic, juga kata tentang makna
kata “budaya” atau “kebudayaan” itu kita juga boleh mengacu pada batasan – batasan
yang mana saja diantara sejumlah batasan yang konon tak kurang dari 179 buah.
Batasan atau difenisi budaya oleh ki Nartosabdho sebagai “angen – angen kang
ambabar kaendahan”(angan – angan yang membuahkan keindahan), barangkali lebih
tepat sebagai batasan “kesenian” ketimbang “budaya” atau “kebudayaan” meskipun etos
budaya jawa itu juga tidak luput dari proses perubahan akan tetapi disitu ada nilai hakiki
yang tidak akan berubah, yaitu kesadaran akan tetapi disitu ada nilai hakiki yang tak akan
berubah, yaitu kesadaran akan kewajiban pokok manusia untuk saling mencinta
sesamanya (asih ing sasani) serta untuk ikut memayu hayuning bawana.
B. Wayang dan Budaya Jawa
Kalau kita memperhatikan susunan rumah tradisional jawa biasanya kita akan
menemukan bagian – bagian ruangan yang disebut emper, pendhapa, umah mburi,
gandhok,senthong, dan bagian yang disebut pringgitan yaitu bagian yang
menghubungkan pendhopo dengan umah mburi. Mengapa bagian ini disebut pringgitan?
Mungkin kita tidak pernah memikirkanya.Pringgitan merupakan tempat untuk
mempergelarkan ringgit dan kata ringgit ini adalah bentuk halus (krama) dari kata
wayang.Dalam bahasa krama (halus) pergelaran wayang disebut ringgitan dalam bentuk
ngoko wayangan.Jadi didalam membangun rumah orang jawa sudah meniati untuk
menyediakan suatu tempat khusus bagi pergelaran wayang.Ini menandakan betapa
kuatnya pengaruh wayang dalam kehidupan orang jawa.Salah satu kekuatan dari
kebudayaan orang jawa ini adalah kemampuanya untuk menyerap dan
mengintegrasikanya semua pengaruh yang dating itu, dengan unsur – unsur autochton
dari dirinya sendiri.
Dari setiap unsur yang datang tersebut kaum intelektual tradisonal jawa mampu
mengambil unsur – unsur yang diperlukanya dan menjawakannya.Penulis rasa tidak ada
yang lebih jelas menunjukan hal ini dari seni pewayangan.Kisah – kisahnya jelas berasal
dari kebudayaan hindhu tapi perwujudanya jelas adalah jawa. Wayang merupakan
identitas utama orang jawa, demikian kata Marbangun Hardjowirogo dalam manusia jawa
(1983:33) yaitu dalam bab yang diberi judul “Manusia jawa dan wayang”, juga Maria A.
Sardjono dalam buku muktahirnya yang sama judulnya yaitu “Manusia jawa dan
Wayang”(P.22) dimana ia menerangkan betapa lekatnya wayang dalam kehidupan
manusia jawa.
Juga para pengamat asing seperti Niels Mulder, B. Schirieke, W.H Rassers,
Clifford gertz, Benedict R.OG, Anderson, Howard P. Jones(mantan duta besar amerika se
yang berjudul Trikat di indonesia), Franz magnis- suseno, J.D.Legge dan lain – lain, tak
lupa menyoroti wayang dalam kupasnya tentang budaya jawa. Bahkan Clifford Geets,
penulis buku the religion of java itu, dalam karya yang sebenarnya tidak khusus tentang
jawa atau pun Indonesia yaitu yang berjudul The Interpretation of cultures (1973:131-
140), berbicara tentang wayang cukup panjang lebar dan kaitanya dengan jawa.
Perhatian pengamat- pengamat barat terhadap wayang dan budaya jawa boleh
dikatakan telah bermula semenjak mereka menginjakan kakinya di Indonesia, khususnya
di pulau jawa. Dalam kata pengantarnya terhadap buku karya Thomas Stamford Raffles
yang amat terkenal, The history of jawa edisi tahun 1988, John Bastin menyatakan bahwa
Raffles meluangkan waktunya yang cukup lama di Cisarva, jawa barat untuk
menerjemahkan kitab baratha yudha, di bantu dalam the history of java itu. Raffles
banyak sekali menyoroti masalah tentang wayang, dalang dan budaya jawa pada
umumnya.
Uraian tentang wayang, dengan focus utama ditunjukan pada kitab baratha yudha
tetapi disana sini juga mnyinggung kisah Ramayana juga wayang gedhong, wayang klitik
dan lain- lain, tebalnya lebih dari 100 halaman. Yang lebih menarik adalah bahwa Raffles
mengkaitkan tarikh Ramayana dengan tarikh mahabarata dengan cara yang berbeda
sesuai dengan versi pewayangan sekarang, kita dapat melihat pertemuan itu lewat lakon
carangan rama nitis. Dalam lakon ini rama mengahkiri hidupnya dengan cara nitis atau
menyatu dengan kresna sebagai avatar wisnu.
Dalam versi Raffles, kematian rama menandai pergantian zaman kedua, yaitu
Tetra Yuga (Raffles:Tetra Yuga) ke zaman ke tiga yaitu Dwapara Yuga (Raffles:Duapara
Yoga). Dan saat itu kira- kira bersamaan dengan masa hidupnya Sakri yaitu Mbah
Canggahnya Pandawa dalam alur kisah Mahabarata.
Oleh Raffles nenek moyang Pandawa di gambarkan sebagai berikut :
1. Manu- Manaso
2. Tritrushta
3. Parikena
4. Sutapa
5. Sa-Putram
6. Sakri
7. Pulasara
8. Abiasa
9. Pandu- dewa Nata
Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa Raffles (Op.cit.,P.414) juga menyajikan
istilah – istilah jawa dalam bilangan mulai dari 100 sampai dengan 10.000.000.000.000,
yang ia kutip dari Baratha Yudha, yaitu sebagai berikut :
100 : Ratus(mestinya atus)
1000 : Rebu (sekarang ewu)
10.000 : Laksa
100.000 :Keti
1.000.0000 : Yuta
10.000.000 : Bara
100.000.000 :Memeng
1.000.000.000 :Pante
10.000.000.000 :Chamo
100.000.000.000 :Eksa’eni
1.000.000.000.000 : Pertana
10.000.000.000.000 : Gulma
Kutipan Raffles itu menandakan betapa kayanya bahasa jawa akan istilah – istilah
sejak zaman dahulu. Perlu diingat bahwa Raffles menulis The History of Java itu pada
tahun 1815 tepatnya pada bulan Agustus-September 1815. Dari uraian – uraian tersebut
tersimpul dengan jelas bahwa untuk memahami budaya jawa tan keno ora harus
memahami wayang . Dengan kata lain orang jawa yang tidak memahami wayang akan
sama saja dengan orang yang tidak faham dengan jati dirinya sendiri.
C. Pembinaan Wayang
Seperti halnya budaya yang diberi makna longgar sehingga bisa disamakan
dengan kebudayaan demikianlah kata wayang yang diberi makna longgar sehinggaa bisa
saja diganti dengan makna pewayangan.Namun dalam hal ini ada sedikit pembatasan
bahwa yang dimaksud dengan wayang disini adalah wayang purwa, atau lebih jelasnya
wayang kulit purwa yaitu jenis wayang kulit yang mengambil tema ceritanya dari etos
maha baratha dan Ramayana.Jenis wayang inilah yang sangat berpengaruh atau
mempengaruhi budaya jawa.
Pembinaan wayang sebenarnya meliputi lingkup yang sangat luas. Di lihat dari
segi seni Dr. Abdullah melihat bahwa ada lima cabang kesenian yang ada hubunganya
dengan wayang yaitu :
1. Seni Widya : Filsafat dan Pendidikan
2. Seni drama :Pentas dan karawitan
3. Seni gatra : Pahat dan Lukis
4. Seni ripta: Sanggit dan Kesusastraan
5. Seni Cipta: Konsep dan ciptaan baru
Dikaitkan dengan upaya pengembangan budaya jawa sebenarnya semua cabang
kesenian yang terdapat dalam wayang itu mempunyai peranan yang penting. Tetapi untuk
keperluan penulisan ini penulis hanya akan membatasi, focus perhatian terutama pada
seni widya dan seni ripta saja yang semuanya akan memusat pada peranan dalang, karena
pembinaan wayang disini pada hakikatnya merupakan identic pada pembinaan pada
dalang.
D. Asal Usul Wayang
Tentang hal ini kita patut berterimakasih kepada Almarhum Ir. Sri Mulyono yang
telah menyajikan dengan jelas dan lengkap dengan salah satu bukunya yang berjudul
wayang, asal usul filsafat dan masa depanya(1975:6-44) dengan menampilkan pendapat
dari para berbagai pawayangan, antara lain Dr. G.A.J Hazu, Dr. W.H Rassers, Dr.
Branders, Dr. Cohen Stuart, Prof. Kerns, Drs. Soeroto, K.G.A Kusumodilogo dan tentu
saja pendapat Sri mulyono itu sendiri. Kesimpulan dan pendapat tersebut secara garis
besarnya terbgi menjadi 2 sebagai berikut :
1. Pertunjukan wayang berasal dari atau setidak tidaknya terpengaruh oleh pertunjukan
Tonil india purba yang disebut Chayanataka (seperti pertunjukan baying - bayang).
2. Pertunjukan wayang adalah ciptaan asli orang jawa Nicholaas J.Krom dalam bukunya
Hindoe Javaanshe Geschiedenis menyebutkan adanya beberapa unsur karakteristik
pada peradaban melayu, terutama peradaban jawa yang sudah ada sebelum
kedatangan orang hindu di jawa, diantaranya adalah :
1. Sistem Irigasi terhadap padi sawah
2. Proses pembuatan kain batik
3. Gamelan
4. Pertunjukan wayang kulit
Unsur – unsur budaya yang telah disebit oleh Krom ini agaknya memang begitu
mendasar dan tetap berlanjut sampai saat ini. Sampai saat ini ke 4 unsur budaya ini masih
tetap memberi ciri karakteristik budaya jawa, meskipun sekarang dapat kita temukan
pada kebudayaan – kebudayaan pada daerah lain bahkan Negara lain.
Dalam hubungan bisa kita catat pendapat Harry Aveling yang menyebutkan
bahwa sampai dengan abad ke 19 kehidupa intelektual,cultural dan elit jawa, masih tetap
terpusat pada unsur – unsur budaya yang mengakar kuat ke masa lalu, yaitu:
1. Kesusastraan yang mempunyai daya pelestarian yang kuat terhadap gaya
(genre)kebudayaan tradisional jawa.
2. Pertunjukan wayang yang saat ini telah begitu berkembang dan di perhalus.
3. Batik sebagai Ekspresi seni yang halus dan indah.
Harry Aveling juga menyebutkan bahwa bahasa jawa berkembang demikian jauh
sehingga menjadi bahasa yang tak tertandingi oleh bahasa manapun terutama mengenai
kekayaan kosakatanya. Terhadap yang terakhir ini Aveling tidak sama sekali
mendramatisir kenyataan. Di muka telah saya berikan contoh tentang nama – nama
bilangan yang dicatat oleh Raffles dari Barata Yudha. Kita juga mengenal bahwa bahasa
jawa memiliki istilah – istilah khusus untuk nama – nama bunga, nama- nama anak
binatang dan lain sebagainya. Agar kita tidak lupa perkenenkan saya sedikit menyimpang
dengan memberikan contoh istilah – istilah yang menunjukan nama kerabat dalam garis
lurus sebagai berikut:
9. Gedebok bosok
8. Gropak Sentha
7. Gantung Siwur
6. Udheg- Udheg
5. Embah Wareng
4. Embah Canggah
3. Embah buyut
2. Embah
1. Bapak da Ibu
AKU
1. Anak
2. Putu
3. Buyut Canggah
4. Dan seterusnya seperti alur diatas
Kembali tentang asal – usul wayang kecuali untuk kepentingan penelitian ilmiah
sebenarnya kita tidak perlu terlalu mempersoalkan apakah wayang itu asli ciptaan orang
jawa ataukah contekan dari kebudayaan lain. Yang penting sekarang adalah bagaimana
kita memanfaatkan dan membina serta mengembangkan bagaimana kekayaan jawa ini
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan hanya jawa tapi juga Indonesia bahkan
dunia.Bagaimana kita menyumbang wayang ini untuk umat manusia, untuk memayu
hayuning bawana.
E. Wayang Sebagai Tontonan dan Tuntunan
Kita semua mengetahui bahwa bagi masyarakat jawa wayang tidaklah hanya
sebuah tontonan akan tetapi juga tuntunan. Wayang pun tidak sekedar sebagai hiburan
akan tetapi juga sara komunikasi, media penyuluhan dan media pendidikan. Bahkan
wayang pun sebagai wahana pengabdian dalang bagi masyarakat, Negara dan bangsa
serta umat pada umumnya.Oleh karena itu melihat pertunjukan wayang ataupun
mendengar kaset rekaman wayang tidaklah membosankan meskipun cerita dan lakon –
lakonya hanya itu- itu saja.
Ditinjau dari segi pengembangan budaya jawa, kedua fungsi wayang tersebut
yaitu sebagai tontonan dan juga tuntunan, semuanya perlu mendapat perhatian dalam
pembinaan wayang.Keduanya perlu senantiasa dijaga dan ditingkatkan kualitasnya agar
selalu dapat memenuhi embananya dengan baik.Siapa yang berkwajiban dalam
pewayanganya itu? Jawabanya adalah: siapa saja yang mempunyai kesadaran, rumongso
melu handar beni seni pewayangan itu, siapa saja yang merasa yen mati melu kalangan
terhadap seni pewayangan itu. . Kalau kita menyadari bahwa pewayangan itu telah
menjadi asset budaya nasional, maka kewajiban itu terletak di setiap pundak masyarakat
indonesia seluruhnya.
Tetapi tentulah masyarakat jawa khususnya yang harus merasa lebih terpanggil
untuk tetap nguri- nguri kekayaan kebudayaan yang indah dan sarat dengan nilai- nilai
budaya jawa, yang berarti pula identic dengan dengan jati diri masyarakat jawa tengah.
Di jawa tengah pemerintah daerah dengan strategi wawasan jatidirinya itu telah
menanamkan kesadaran kepada seluruh jajaran aparatnya untuk selalu menyadari dirinya
bukan hanya pamaong praja tetapi sebagai pamong budaya.Kebudayaan adalah seluruh
aspek kehidupan masyarakat atau kelompok manusia melalui cipta, rasa dan
karsanya.Semua pihak yang ikut berkewajiban membina seni pewayanganya tentulah para
seniman dan seniwati wayang itu yang harus merasa dan terpanggil atau paling merasa
wajib melu hangrung kebi mati hidup seni pewayangan itu.Para seniman dan seniwati
wayang itu, harus selalu wani mulat sarrira dan selalu mawas diri.Kualitas pertunjukan
pewayangan baik dalam fungsinya selaku tontonan maupun sebagai tuntunan, memang
sangat di tentukan oleh ki dalang.Akan tetapi hal itu tidaklah berarti bahwa peranan para
niaga, wiraswara dan pesinden atau suara wati itu hanyalah sebagai timun wungkuk juga
imbuh atau sebagai embel- embel yang tidak bearti.Aspek wayang sebagai tontonan tidak
kalah pentingnya dari peranan dalang, iringan. Karawitan yang baik dilengkapi dengan
wira swara dan suara wati yang baik dan dapat mengikuti suara penonton. Merupakan
kemestian yang bersifat tan keno ora.
Dalang pada hakikatnya merupakan drigen dan sekaligus sutradara terhadap
pertunjukan wayang.Sebagai pengendali dan penentu keberhasilan pertunjukan wayang.
Aspek wayang sebagai tuntunan, peranan dalang hampir – hampir sangat mutlak.
Untuk bisa memberikan tuntunan kepada masyarakat khususnya para penonton, seseorang
dalang harus menguuasai segala hal dalam istilah jawa, ia (dalang) harus mumpuni.
Seorang dalang memang seharusnya memiliki kualitas yang lebih dibanding
dengan anggota masyarakat lainya, ia harus punjuling apapak mbojoroling akerep. Di
mata masyarakat jawa dalang adalah wong kang wasis ngudal piwulang (orang yang
mahir memebrikan banyak pelajaran) atau wong kang pantes ngudal piwulang (orang
yang pantas memberikan berbagai pelajaran). Tanpa itu semua mustahil seorang dalang
dapat menunaikan embananya yang amat berat, bukan saja hanya sebagai penghibur
tetapi juga sebagai komunikator, sebagai penyuluh, sebagai penator, pendidik atau guru
bagi masyarakat dan sangat diharapkan adalag sebagai rokhaniawan yang selalu
berkwajiban mengajak masyarakat untuk berbuat kebaikan dan menghindari kejahatan,
menanamkan kepada masyarakat amar ma’ruf nahi mungkar atau semangat mamyu
hayuning bebrayan agung, sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing –
masing.
Dan didalam demokrasi pancasila adalah menjadi kewajiban seorang dalang untuk
selalu memupuk kerukunan hidup diantara sesame anggota masyarakat yang mempunyai
beraneka ragam dan terdiri dari bermacam – macam suku –suku bangsa, budaya serta adat
istiadat.
Secara objektif kita harus mengakui bahwa sampai saat ini kita belum mempunyai
dalang yang kalibernya kita samakan dengan “Ki nartosabdho, tetapi tidak ada yang tidak
mungkin pasti ada kemungkinan nantinya di waktu yang akan dating pasti ada dan kita
mempunyai dalang yang bukan hanya dapat menyamai melainkan melebihi tataran
kwalitas ki nartosabdho. Sedangkan kelebihan Ki Narto Sabdho perlu kita contoh
sebagai berikut :
1. Penjiwaan yang total
2. Cita dan Pandangan Hid up
3. Bakat dan Kesungguhan Usaha
4. Kreativitas
5. Sanggit (kemampuan dan kemahiran)
6. Penguasaan bahasa dan pengetahuan umum
7. Pesan dan Kritik
8. Membaca dan mengarahkan selera public
9. PAKEM (aturan – aturan baku dalam pergelaran wayang)
F. Etika Wayang, Etika Dalang dan Etika Pancasila
Peranan dalang dalam kehidupan masyarakat jawa tengah adalah sentral
sekali.Peranan dalang itu digambarkan amat tepat dalam batasan “Jarwa dan Hosok” yang
menyatakan bahwa dalang merupakan “wong kang wasis ngudhal piwulang” (orang yang
pandai menyampaikan ajaran).
Seorang dalang haruslah mempunyai berbagai kelebihan, yang diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Dapat menyelami jiwa masyarakat dan aspirasi – aspirasinya
2. Mempunyai pendangan hidup yang jelas, terarah dan berwawasan luas, yang
dalam hal itu tentu saja harus bersumber pada pancasila dan UU’'45.
3. Menguasai banyak ilmu dan pengetahuan yang di perlukan oleh masyarakat.
4. Mempunyai kemampuan untuk menyampaikan gagasan – gagasan penonton.
5. Mempunyai semangat pembaharuan serta keberanian untuk menyampaikan kritik
– kritik yang positif dan bersifat membangun.
6. Mempunyai keyakinan diri yang mantap sehingga dapat tampil di depan para
penonton dengan mantap dan berwibawa.
7. Menguasai penggunaan dan tutur bahasa daerah (jawa) dengan baik.
8. Menguasai kesenian daerah setempat dan mempunyai rasa humor yang tinggih.
9. Menguasai teknik pendalangan dan berbeka suara yang baik.
Jadi seorang dalang haruslah seorang filsuf, seorang guru yang berpendidikan atau
seniman, seorang pelawak, seorang orator dan seorang komunikator, penyuluh atau juru
penerang.Pokok bahasan yang tepat di kemukakan dalang sarasehan “yakni peranan
dalang sebagai komunikator pembangunan serta pembinaannya”.Pada periode pra G-30-
S/PKI, membuktikan adanya dalang – dalang yang ternyata dapat dimanfaatkan oleh PKI
untuk merongrong wibawa pemerintah.Hal semacam itu tidak boleh terulang lagi, Namun
tidak berarti para dalang tidak boleh menyampaikan kritik kepada pemerintah.Pernyataan
etika wayang itu pada hakikatnya adalah gambaran dari etika jawa. Etika wayang itu
sangat ditentukan oleh orang yang membawakanya, yakni “Ki Dalang”, jadi pada
hakikatnya etika wayang adalah etika dalang, filsafat wayang adalah filsafat dalang yang
membawakan lakon. Perlu adanya upaya untuk pembinaan agar peran dalang benar-
benar merupakan insan pancasila yang tak boleh di ragukan.
Kalau kita endapkan dengan tenang terhadap pembaharuan segi – segi etika
wayang yang dapat di nilai kurang sesuai dengan pancasila. Contoh:” Dewi Drupadi”
untuk membiarkan rambutnya terurai tak tergelung (tidak dirawat) sebelum ia dapat
berkemas dengan darah Dursasana. Punagi atau sumpah ini konon terucapkan akibat
penderitaan Drupadi di larak – larak oleh Dursasana, rambut Drupadi di jambak dan
pakaianya di tarik – tarik untuk di telanjangi di depan persidangan.
Punagi itu sedikit banyak mangandung bau dendam. Apapun alasanya satu
dendam adalah semuanya menganjurkan cinta kasih kepada sesama dan mudah
memaafkan ke salahan orang lain. Sifat – sifat itu sangat menonjol pada Drupadi,
beberapa saat setelah anak – anak Drupadi semuanya di bunuh oleh Aswatama pada
periode pasca Barata Yudha. Dialog itu tercantum pada kitab Bhagavata, yang dituturkan
kembali oleh Radha Krishnan sebagai berikut :
“Draupadi’s fire children the upapandavas, were killed by Asvatthama’s head to yaou on
a platter”What is the answer which Drupadi gave?
“Let not Gautami, the mother of asvatthama, weep like me white my children dead before
me. Why Should she also suffer a similar fate to mine?Arjuna don’t touch Asvatthama
Leave him alone”
Terjemahan bebas:
Kelima anak Drupadi ,yakni upapandawa (pancawala) di bunuh oleh
Aswatama kemudian datanglah Arjuna seraya berucap kepada
Drupadi,”Drupadi yang ku sayangi, saya akan mempersembahkan
kepadamu kepala Aswata di atas sebuah nampan,” Bagaimana jawab
Drupadi?”Jangan (kau paksa) Gautami ibu Aswatama, manatap seperti
saya di depan mayat- mayat anak saya. Mengapa ia harus menderita karena
nasib yang menimpa saya? Arjuna, jangan kau sentuh Aswatama. Biarkan
dia Pergi”
Saya tidak tahu dari mana dan kapan dating sifat pendendam Drupadi.Tetapi sejak
saya masih kanak – kanak memang saya pernah mendengar Punagi Dewi Drupadi dalam
lakon- lakon wayang. Hal itu sudah menjadi baku dan masuk dalam PAKEM.
Bahwasanya hakikat seorang dalang adalah seorang guru (yang menurut Radhakrishnan,
arti guru itu adalah “orang yang dapat menerangi kegelapan yang ada di batin orang
lain”) Seorang dalang senantiasa bersemangat dan bisa menjadi seorang pelajar bahkan
pelajar abadi.
BAB III
PERANAN DALANG DALAM PEWAYANGAN
A. Tujuan Pembinaan Pewayangan
Dalam kata “membina biasanya terkandung pengertianya” mengusahakan dengan
segala upaya dan cara agar objek yang di bina itu selalu dalam keadaan baik dan semakin
baik dalam segala aspeknya”. Dalam makna yang demikian membina pewayangan paling
tidak akan mempunyai 3 pokok, yakni : Melestarikan dunia pewayangan, Meningkatkan
mutu seni pewayangan, dan meningkatkan manfaat pewayangan bagi masyarakat dan
Negara.
1. Melestarikan Dunia Pewayangan
Ada yang mengatakan bahwa wayang khususnya wayang kulit adlah bayangan
atau gambaran dari kebudayaan jawa ia merupakan manifestasi cipta, rasa dan karsa
“manusia jawa” dalam segala aspek kegidupan bermasyarakat dan bernegara. Nilai –
nilai kesenian, keindahan, filsafat, pola tingkah laku, persepsi keagamaan, dambaan
dan cita- cita dan lain- lain, semua itu terkandung dalam dunia pewayangan.
Kandungan yang amat kaya itulah yang perlu di lestarikan dan di bina
terus.Melestarikan bukanlah mencegah terjadinya perubahan karena hal itu tidak
mungkin juga tidak ada gunanya.Jadi, melestarikan wayang kulit adalah melestarikan
secara dinamis eksistensi dan fungsi wayang kulit sebagai wujud dan sarana
pembinaan kebudayaan nasional dan khususnya bagi masyarakat jawa.
Upaya strategis untuk melestarikan wayang yang paling penting adalah
menarik minat para pemuda dan anak – anak untuk menyayangi kebudayaan,
mencintai, menyenangi wayang.Perlu kita ingat pepatah lama”Tak kenal maka tak
sanyang”, atau ungkapan jawa yang mempunyai makna yang sama yaitu “witing
tresno jalaran kulino.Jadi sejak kecil mereka harus di biasakan untuk mengenal
(menonton) wayang.
2. Meningkatkan Mutu Seni Pewayangan
Jalur strategis dalam meningkatkan mutu seni pewayangan adalah jalur
pembinaan dalang, dengan dalang yang kreatif dan berbakat para penonton akan puas
karena dapat memperoleh hiburan yang sehat dan sesuai dengan apa yang mereka
harapkan. Mereka juga puas dengan harapan – harapan dan uneg – uneg (keluhan -
keluhan) mereka telah disuarakan oleh Ki dalang secara enak melalui adegan –
adegan tertentu (biasanya melalui gara- gara).
Dengan kata lain pertunjukan wayang yang baik (menurut pendapat) adalah
yang dapat memberikan hal – hal sebagai berikut :
a. Suguhan hiburan yang sehat dan memenuhi selera penonton
b. Berbagai informasi yang diperlukan oleh penonton
c. Kritik – kritik sehat yang membangun terhadap kecenderungan –
kecenderungan yang menyimpang
d. Greget atau ajakan kepada penonton (masyarakat) untuk mempertebal
kepancasilaan terhadap kehidupan mereka.
e. Sentuhan – sentuhan kejiwaan pada penonton
f. Suguhan kreasi – kreasi baru di bidang seni dan budaya
g. Rangsangan kesadaran kearah kehidupan bersama, kerukunan, toleransi, dan
gotong royong serta semangat untuk ikut memayu hayuning bawana.
3. Meningkatkan Manfaat Wayang bagi Masyarakat
Dengan mengingat asas manfaat sebagai asas yang pertama – tama di sebutkan
antara 7 asas pembangnan nasional yang tercantum dalam pola dasar pembangunan
nasional (Bab II GBHN), maka kemanfaatan bagi masyarakat (bagi Negara pada
umumnya) itu harus menjadi perhatian utama dalam pembinaan pewayangan.Kriteria
kemanfaatan wayang bagi masyarakat tentu tidak hanya diukur dari banyaknya
anggota masyarakat.
Beberapa diantaranya yang dapat disebutkan adalah bahwa pertunjukan
wayang harus dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan masyarakat.Dalang yang
baik adalah guru dalam artian yang sebenar- benarnya bagi masyarakat.Dengan
menonton wayang masyarakat dapat menjadi lebih terdidik, lebih maju dan lebih
terbuka ubtuk menerima ide- ide kemajuan.
Pertunjukan wayang yang baik adalah dapat menghilangkan kesenjangan
antara pemerintah dan masyarakat, sehingga ungkapan manunggaling kawulo gusti
benar- benar dapat terwujud. Rakyat bukan lagi sebagai kawula tetapi juga
gusti,sebaliknya pemerintah bukan hanya sebagai gusti yang harus di sembah dan
dipatuhi peraturanya tetapi juga kawula yang harus melayani rakyat dan tunduk pada
amanat wakil – wakil rakyat (terutama melalui MPR).
Pertunjukan wayang yang baik seharusnya dapat menggugah semangat amar
ma’ruf nahi mungkar atau semangat untuk ikut memayu hayuning bawana, yang
berarti juga semangat pancasila. Itulah gambaran dan harapan – harapan tentang
pertunjikan wayang yang baik dan bermanfaat itu, semua merupakan tantangan yang
tidak ringan bagi seorang dalang
B. Peranan Pemerintah dalam Pembinaan Wayang
Dalam Pembinaan Pewayangan ada 3 hal pokok yang harus diperhatikan:
Melestarikan dunia pewayangan
Meningkatkan mutu seni pewayangan
Meningkatkan manfaat wayang bagi masyarakat
Peranan pemerintah dalam pembinaan pewayangan tentu berkisar pada 3 upaya
tersebut. Pemerintah hanya berperan sebagai penunjang dalam hal – hal itu tentu
pengaruhnya amat menentukan dimana uluran tangan pemerintah memang amat di
perlukan, misalnya dalam hal – hal yang akan di uraikan di bawah ini :
1. Meningkatkan Frekuensi Pementasan Wayang
Frekuensi pertunjukan wayang adalah merupakan salah – satu cara yang
sederhana namun efektif bagi upaya pelestarian wayang, kerena sekarang semakin
banyak dalang sudah berubah menjadi super dalang, yaitu sekaligus menjadi produser
pertunjukan maka harga pertunjukan mereka menjadi semakin mahal. Semua
komponen pertunjukan sudah di perhitungkan harganya. Orang desa pun tidak selalu
mampu membayar ongkosnya, maka wayang kulit menjadi kesenian kota.
Dalam rangka untuk menggalakan pementasan wayang kulit ini ada satu hal
yang perlu kita fikirkan bersama, yakni kemungkinan untuk mengadakan lomba antar
dalang atau lomba pementasan wayang satu tahun sekali mulai dari tingkat dati II
(Tingkat wilayah gubernur) sampai tingkat profinsi atau bahkan tingkat nasional. Di
tingkat provinsi I jateng memang pernah ada pemikiran untuk menggalakan
penyelenggaraan pentas seni satu tahun sekali yang akan berlokasi di pusat rekreasi
dan pembangunan JATENG (PRPP) sebagai kalender tetap untuk menarik wisatawan
dan untuk meningkatkan pembinaan seni dan budaya sebagai salah satu jalur utama
untuk mengembangkan dan merupakan strategi wawasan jati diri.
2. Memadukan wayang dengan pariwisa
Memadukan wayang dengan pariwisata adalah merupakan ide yang sangat
baik dan prospek yang cerah baik untuk memajukan pariwisita maupun
pewayanganya yang paling pokok dalam upaya memadukan wayang dengan
pariwisata adalah menciptakan kegiatan- kegiatan yang tetap dan pasti sehingga dapat
di masukan sebagai kelender wisata yang tetap.
3. Wayang dalam Pendidikan Dasar
Memasukan wayang dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan dasar,
saya rasa akan mempunyai dampak yang sangat positif, bukan saja bagi pelestarian
wayang akan tetapi juga untuk kepentingan pendidikan. Oleh karena itu penanaman
jiwa pancasila melalui berbagai cara (termasuk melalui wayang), tentang cara
memasukan wayang kedunia pendidikan tentunya harus disesuaikan dengan tingkat
berfikir si murid atau tingkat pendidikan yang bersangkutan.
4. Pembinaan Dalang
Tujuan pembinaan dalang adalah tentunya untuk meningkatkan mutu dalang
dan untuk menimbulkan suasana saling pengertian dan saling menunjang antara
kedudukan dan tugas pemerintah dengan kedudukan dan tugas dalang selain
menggalakan forum – forum sarasehan baik yang bertaraf cukup besar seperti dalam
format – format kecil, pemerintah tentunya dapat membantu pembinaan pendidikan
dalang melalui forum – forum pendidikan (yang mengajarkan segi – segi teknis
pendalangan) maupun forum semacam penataran dalang untuk mengisi pengetahuan
umum dalang, terutama yang menyangkut kebijakan dan program – program
pemerintah yang muthahir. Yang paling penting adalah memberikan dorongan kea rah
terciptanya iklim yang dapat meningkatkan pengetahuan dan kualitas dalang.
C. Wayang dan Sumber Literaturnya
Ada berbagai jenis wayang yang dikenal oleh masyarakat, yaitu wayang purwo,
gehong, klitik, wayang beber, wayang suluh dan lain – lain. Kalau orang berbicara
tentang wayang tanpa suatu predikat apa- apa maka yang dimaksut biasanya adalah
wayang purwa, yaitu wayang kulit dengan cerita maha baratha atau Ramayana. Wayang
purwa inilah yang paling digemari masyarakat terutama orang jawa.Cerita – cerita
wayang purwa itu benar – benar telah terjadi di pulau jawa. Beberapa tempat – tempat
dijawa bahkan diyakini sebagai tempat – tempat dalam Ramayana ataupun mahabaratha,
misalnya Guo Kisendhang (kerajaan kera sugriwa) di Kendal, Pringgodani (kerajaan gatot
kaca) di Tawang mangu dan lain – lain.
Bahkan kabarnya orang Madura sangat marah apabila ada dalang yang berani
memainkan lakon – lakon Prabu Baladewa (raja madura) kalah dalam peperangan.Mereka
mengidentifikasikan Madura dengan pulau Madura dan baladewa adalah leluhur mereka
yang gagah perkasa.
Cerita – cerita wayang purwa adalah berasal dari india yaitu bersumber dari epos
Ramayana dan maha baratha. Para ahli beranggapan bahwa cerita Ramayana ditulis oleh
walmiki sekitar seribu tahun sebelum masehi dan Mahabarata oleh Resi wiyasa atau
abiasa dalam pewayangan jawa.Sekitar 300 -400 tahun kemudian. Tetapi Rada Krishnan
beranggapan bahwa kitab yang amat benar bukan hanya dari hasil karya satu orang saja
melainkan dari beberapa orang dan memakan proses yang lumayan panjang. “The
Mahabarata is a perseptive record of a great period of indian’s history. We can not say the
this is the work of a single author. The great Viyasa him self meantion five direct pupils.
It has passed through different stages marked by the name java, bharata and mahabaratha”
Demikian pendapat Radhakrishnan dan juga raja Gopala Cahari dalam bukunya
Mahabaratha (199:7) menyatakan bahwa Indeed the Mahabaratha has another name
among scholars jaya- Which name Victory,…………
Lin Yutang dan beberapa penulis menganggap bobot dan kebesaran Mahabaratha
dan Ramayana itu setara dengan karya besar nomer yang amat terkenal,yaitu lliad dan
odyssey, perbedaan antara mahabaratha dan mahabarhata dan Ramayana menurut lin
yung adalah mahabaratha bercorak lebih realistic sedangkan Ramayana itu lebih bersifat
idealistic. Kedua wiracarita memang pantas disebut karya besar bukan hanya karena mutu
kesusteraan dan kandungan filsafatnya yang amat tinggi tetapi karena volumenya yang
memang luar biasa besar.Karya asli Ramayana berisi 24.000 bait dan mahabaratha
100.000 bait.
Karya yang aslinya di tulis dalam bahasa sansekerta kemudian di terjemahkan dan
di sadur ke dalam berbagai bahasa, baik bahasa – bahasa daerah di india sendiri maupun
bahasa – bahasa lain seperti inggris, perancis, Indonesia,jawa, bali,sunda dan lain-lain. Di
Indonesia terutama jawa tampaknya dari dulu sampai sekarang mahabaratha lebih popular
ketimbang Ramayana. Menurut beberapa dalang mengaku bahwa lakon – lakon
mahabaratha jauh lebih sering di pergelarkan dari pada Ramayana yang tidak mencapai
10 % dari seluruh lakon yang mereka pergelarkan.Pengakuan itu agaknya sesuai dengan
fakta tentang jumlah dan mbangun kaset – kaset rekaman wayang yang tersedia di took –
took untuk kedua tema tersebut.
D. Mahabaratha dan Pewayangan Jawa
Kitab Mahabaratha sansekerta yang di gubah sekitar 600- 700 tahun sebelum
masehi itu merupakan sumber utama dan pendorong bagi tumbuhnya kesusastraan jawa
kuno. Berbagai kitab jawa kuno berkembang dari kitab induk seperti adipura sabhaparwa,
wira taparwa, bismaparwa dan lain – lain yang oleh Zoetmulder di sebut sebagai
kelompok sastra parwa, serta kitab – kitab jawa kuna yang berkembang atau kakawin
seperti Arjunawinaha karya empu kanwa pada jaman raja erlangga (1019-1042),
kresnayana gubahan empu triguna di jaman kerjaan Kediri (1104), Bharatha yudha karya
empu sedah dan empu panuluh di jaman pemerintahan prabu jaya baya di Kediri (1157)
yang syair – syairnya sampai sekarang menjadi hafalan baku bagi para dalang sebagai
suluk dalam lakon – lakon wayang.
Yang menjadi sumber acuan bagi para dukung di jawa tentu saja bukan kitab
Mahabaratha sansekerta ataupun karya – karya dalam bahasa jawa kuno seperti tersebut
di muka tetapi karya – karya yang lebih mutahir seperti pustaka raja karya ronggo
warsito, serat baratha yudha karya yang cukup menarik yaitu serat kandha tang mencampr
baurkan silsilah nabi – nabi (sejak nabi adam) dengan silsilah tokoh – tokoh wayang
termasuk dewa – dewa dan panakawan. Versi lain tentang silsilah semacam itu dapat pula
di jumpai dalam kitab manikmaya. Kitab – kitab semacam serat kandha (dalam
Poerbatjaraka: kitab kandha) dan kitab manikmaya itu jelas merupakan refleksi dari
proses pertemuan berbagai tata nilai yang berlangsung waktu itu yaitu islam, hindhu dan
budaya jawa yang asli menanggapi kitab – kitab semacam itu, Poerbatjaraka mengatakan:
“Sekarang saya bertanya,”dimana orang jawa tiada akan bingung jika membaca
kitab – kitab itu serta membanding- bandingkanya dimana cerita jawa itu dapat di
campuradukan dengan cerita arab, itu hanya suatu usaha untuk menenpatkan para
dewa dibawah pimpinan – pimpinan islam yaitu para nabi.
Seperti telah diuraikan dimuka gusti Allah orang jawa itu terdesak dengan gusti
Allah bangsa hindhu yaitu bathara siwa.”gusti allah” dari pada orang jawa tulen itu pada
zaman hindu jawa sampai akhir jaman majapahit terdesak sama sekali. Tapi serentak
pengaruh hindhu itu sudah berkurang dan kemudian menghilang , maka gusti allah orang
jawa asli muncul kembali dan tempatnya diatas gusti allah hindu yakni sang hyang taya,
sang hyang wenang, sang hyang tunggal nama seorang orang pembesar yang ditempatkan
diatas bathara siwa(bathara guru).
Setelah jaman islam maka bathara guru keatas seperti sang hyang tunggal itupun
sudah pisah- pisahkan pula di tempatkan di bawah nabi adam.
Demikianlah berbagai pustaka yang merupakan sumber acuan bagi lakon – lakon
wayang yang satu sama lian mempunyai versi – versi yang sering berbeda. Timbuknya
versi- versi yang berbeda sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar mengingat sumber
cerita wayang itu pada awalnya dari mahabaratha indiaribuan tahun lalu, di india sendiri
juga sering berkembang berbagai variasi dalam proses penterjemahan kedalam bahasa –
bahasa non sansekerta, kemudian proses itu berlanjut terus dalam perkembanganya
dijawa dan kemudian Indonesia pada umumnya.
Berkembangnya berbagai versi dan variasi cerita wayang itu menjadi semakin
parah lagi karena masyarakat lebih mengenal cerita penuturan ki dalang ketimbang
membaca buku, padahal para dalang pun tidak banyak yang suka membaca buku. Banyak
diantaranya yang hanya membaca pada sanggit dalang lain yang sudah punya nama.
E. Rotary Wayang dan Budaya Jawa
Dari uraian para Rotaryan para anggota Rotary club semarang kunthi tidak perlu
ragu tentang pemilihan kunthi sebagai nama clubnya, meskipun bukan tanpa kelemahan
kunthi adalah sesosok wanita yang berbudi luhur, penuh kasih saying kepada sesama setia
pada suami rela berkorban dan tabah dalam manghadapi setiap keadaan dan cobaan.
Pemilihan tokoh kunthi adalah tepat sekali.Bukan hanya karena kepribadian kunthi yang
saya sebutkan tadi tetapi juga karena dasar filsafat.Rotary itu memang banyak
menemukan titik temu dengan filsafat pewayangan dan pandangan hidup jawa pada
umumnya.
Kesejajaran rotary dengan pewayangan dan budaya jawa pada umumnya itu antara
lain dapat disemak selain pada asanya yang berdasarkan pada undang – undang dasar
1945 juga pada maksut dan tujuan sebagaiman dirumuskan dalam bab III pasal 3
Anggaran dasar perkumpulan Rotary Indonesia yang menyatakan bahwa perkumpulan ini
bertujuan :
1. Menghimpun tokoh – tokoh masyarakat, tokoh – tokoh usahawan menurut
profesinya sehingga terjalin rasa persaudaraan dan memperluas persahabatan
diantara mereka.
2. Menanamkan membina dan membimbing agar mereka berjiwa dan berbudi luhur
serta bercita – cita bakti baik dalam menjalankan profesinya maupun dalam
kehidupan pribadi/ keluarganya dengan menjunjung tinggih profesi sehingga
mereka berguna bagi masyarakat.
3. Demikian agar mereka menjadi manusia yang selalu berbakti kepada
masyarakatnya.
4. Melalui hubungan dalam pergaulan internasional dengan mengikat persaudaraan
dan kerja sama dengan bangsa – bangsa lain sehingga membuka kesempatan
untuk lebih banyak berbakti kepada masyarakat dan umat manusia.
Ayat satu yang menekankan pentingnya persaudaraan dan persahabatan diantara
para rotaryan ini jelas mempunyai tumpuan yang sama dengan landasan filsafat jawa asih
ing sesame, mengasihi dan mencintai sesame itu adalah dasar yang paling hakiki dalam
hubungan antar manusia yang perlu di pertahankan dan dikembangkan selama – lamanya.
Ayat dua yang menerangkan ahlak atau budi luhur dan amal bakti kepada
masyarakat juga sejajar dengan type ideal manusia jawa sebagai manusia yang berbudi
luhur dan selalu siap berbakti dengan sikap batin yang dilandasi semangat sepi ing pamrih
rame ing gawe.Tipe ideal manusia jawa sering digambarkan pula sebagai kesatria
pinandhita yang selalu bertekad untuk membrantas kejahatan dan menegakan kebenaran
dan kebaikan untuk amar makruf nahi mungkar, untuk ikut memayu hayuning bawana.
Ini sekaligus sudah mencangkup semangat yang terkandung dalam ayat 3 dan juga
ayat 4yang semuanya pararel dengan semangat memayu hayuning bawana.Atau memayu
hayuning bebrayon agung semanagat itu juga sejalan dengan semangat yang terkandung
dalam alinea yang terakhir dalam pembukaan UUD 1945 yang menegaskan semangat dan
cita – cita bangsa Indonesia yang antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
Wayang adalah sebagai salah satu produk budaya jawa yang menggambarkan
perjuangan abadi manusia untuk melawan kebatilan dan menegakkan kebenaran dilandasi
dengan keyakinan bahwa kebenaran akan selalu menang. Sura dira jayaningrat lebur
dining pangastuti. Pasal tiga tadi juga menunjukan bahwa perkumpulan rotary Indonesia
juga berjalan dijalan yang sama.
Kesimpulan terhadap isi pasal 3 Anggaran dasar perkumpulan retory indonesia itu
adalah bahwa semangat yang terkandung didalamnya ternyata juga pararel dengan filsafat
atau etos kerja yang dihayati dan di amalkan selama ini. Etos kerja ini belakangan diberi
nama Nawabratha yang berisi 9 semangat, yaitu :
1. Akhlaq
2. Amal
3. Asih
4. Arif
5. Ahli
6. Akhurat
7. Aktif
8. Atentif
9. Awas
Taka da satu pun dari 9 butir semangat itu yang tidak jalan dengan retory
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wayang itu adalah sebagi tontonan dan juga tuntunan bagi masyarakat jawa
dibalik semua wayang juga ada nilai – nilai pendidikan,diantaranya : membimbing,
membina, memberikan pengetahuan yang luas tentang wayang bagi masyarakat jawa.
B. Penutup
Atas berkat rahmat Allah yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan karya tulis ini sebagi tugas MAF-1 Mranggen, maka penulis berharap
semoga dengan penyusunan karya tulis ini dapat menambah pengetahuan penulis dan
pembaca.
Kritik dan saran dari pembaca kami terima dengan senang hati demi
kesempurnaan karya tulis ini.
Kiranya cukup sekian yang dapat kami sajikan dengan kerendahan hati penulis
mengakui bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu penulis
meminta maaf sebesar – besarnya.
Saran
Setelah penulis menguraikan sekaligus menyelesaikan karya tulis ini penulis ingin
memberikan saran – saran sebagai berikut :
1. Kita sebagai pelajar hendaknya sungguh – sungguh dalam belajar ilmu pengetahuan.
2. Semoga dengan adanya karya rulis ini kita menjadi sadar akan pentingnya pendidikan
bagi kita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anderson, B.R.O.G Mythologi and the Tolerance of the Javanese, cornell universityPress. Ithaco-New York,1979
2. Mulyono,Sri wayang- Asal –usul Filsafat di masa depannya,BPALDA, Jakarta 1976.
3. Raffles,T.S,History of Java, Oxford University Press, Oxford new york,1988.
4. Sujamto,Refleksi budaya jawa, Dahara Prize,Semarang 1992.
5. Buck, William, Mahabaratha, A Mentor Books, New York 1979.
6. Guritno,Pandam, wayang kebudayaan Indonesia dan pancasila, penerbit universitas Indonesia Jakarta,1988.
7. Hardjowirogo, Sejarah wayang purwa, PN Balai pustaka,Jakarta 1982.
8. Heroesoekarto, Peranan Wanita dalam Pewayangan,Penerbit Yayasan “Djojo Bojo, Surabaya,1988”.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama :Rokhan
Tempat, tanggal lahir : Semarang 12 januari 1994
Jenis kelamin : Laki- laki
Agama :Islam
Warga : Indonesia
Pendidikan :
MI Tarbiyatus Shibiyan, Tlogomulyo,Pedurungan, Semarang
Mts. Miftahul Ulum, Ngelempak,Mrangge, Demak
Madrasah Aliyah Futuhiyyah 1, Jl.Suburan barat, Mranggen Demak