etika minangkabau (telaah terhadap tungku tigo …

149
ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO SAJARANGAN) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Dyan Chlaudina NIM: 11150331000054 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021 M/1442 H

Upload: others

Post on 13-May-2022

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

ETIKA MINANGKABAU

(TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO SAJARANGAN)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Dyan Chlaudina

NIM: 11150331000054

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021 M/1442 H

Page 2: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …
Page 3: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

ii

Etika Minangkabau

(Telaah Terhadap Tungku Tigo Sajarangan)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Dyan Chlaudina

NIM: 11150331000054

Dosen Pembimbing

Rosmaria Sjafariah Widjajanti, S.S., M.Si.

NIP. 19710409 199803 2 003

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021 M/1442 H

Page 4: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

iii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

ETIKA MINANGKABAU

(TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO SAJARANGAN)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Dyan Chlaudina

NIM: 11150331000054

Dosen Pembimbing

Rosmaria Sjafariah Widjajanti, S.S., M.Si.

NIP. 19710409 199803 2 003

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021 M/1442 H

Page 5: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …
Page 6: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No: 507 Tahun

2017 tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

1. Huruf Arab – Latin

No Huruf

Arab

Huruf

Latin

Keterangan

Tidak dilambangkan ا .1

b be ب .2

t te ت .3

ts te dan es ث .4

j je ج .5

h h dengan garis bawah ح .6

kh ka dan ha خ .7

d de د .8

dz de dan zet ذ .9

r er ر .10

z zet ز .11

s es س .12

sy es dan ye ش .13

Page 7: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

v

s es dengan garis di bawah ص .14

ḏ de dengan garis di bawah ض .15

t te dengan garis di bawah ط .16

z zet dengan garis di bawah ظ .17

koma terbalik di atas hadap kanan ع .18

gh ge dan ha غ .19

f ef ف .20

q ki ق .21

k ka ك .22

l el ل .23

m em م .24

n en ن .25

w we و .26

h ha ه .27

apostrof ˋ ء .28

y ye ي .29

2. Vokal

Vokal adalah bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri

dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk

vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Page 8: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

vi

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fathah

I Kasrah

U Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah

sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ai a dan i ا ي

au a dan u ا و

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas با

î i dengan topi di atas ب ي

û u dengan topi di atas ب و

Page 9: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

vii

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan

dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti

huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-

rijâl, al-dîwân bukan ad- diwân.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydìd yang dalam sistem tulisan Arab

dilambangkan dengan sebuah tanda tasydìd ) ), dalam alih aksara ini

dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang

diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang

menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh

huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-ḏarûrah

melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbūṯah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat

pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan

menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku

jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2).

Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka

huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh nomor 3).

Page 10: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

viii

Contoh:

No. Kata Arab Alih Aksara

Ṯarîqah طريقة .1

al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah الجامعة الإسلامية .2

Wahdat al-wujûd وحدة الوجود .3

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf tidak dikenal, dalam

alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti

ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa

Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal

nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri

didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap

huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.

Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi

bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat

diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak

miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu

ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya,

demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang

berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan

Page 11: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

ix

meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis

Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbani; Nuruddin

al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism), maupun huruf

(harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara

atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada

ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

dzahaba al-ustadzu ذهب الا ستا ذ

tsabata al-ajru ثبت الا جر

العصرية الحر كة al-harakah al-‘asriyyah

yu’atstsirukum Allah يؤثركم الله

Page 12: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

x

ABSTRAK

Dyan Chlaudina

“Etika Minangkabau (Telaah terhadap Tungku Tigo Sajarangan)”

Tungku Tigo Sajarangan adalah sebuah etika kepemimpinan dalam nagari

yang ada di Minangkabau, Tungku Tigo Sajarangan terdiri dari Niniak Mamak,

Alim Ulama, dan Cadiak Pandai ini merupakan kepemimpinan informal pada

sistem kepemerintahan Sumatera Barat. Dalam menjalankan peran dan fungsinya

sebagai pemuka adat di dalam nagari serta pergolakan generasi yang semakin

berkembang pada zamannya saat ini, Tungku Tigo Sajarangan berusaha

mengupayakan, mempertahankan etika Minangkabau serta syarak kepada

masyarakat dan Anak Nagari yang akan dipakai dan dibawa sebagai pedoman

hidup masyarakat Minangkabau “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah,

syarak mangato, adat mamakai, alam takambang jadi guru, dan adat nan lazim

syarak nan kawi” yang dapat mewujudkan cita-cita nagari dan masyarakat.

Sehingga dari penelitian inilah diketahui bagaimana penerapan etika

Minangkabau pada Tungku Tigo Sajarangan.

Penelitian ini mengulas analisis penulis tentang etika Minangkabau dalam

telaahnya terhadap Tungku Tigo Sajarangan yang ada dan berkembang di

masyarakat Minangkabau. Penelitian ini menggunakan metode analisis-deskriptif,

dengan pendekatan filosofis dan perilaku sosial atau etika Minangkabau. Dalam

mendapatkan informasi serta menggali data penelitian ini menggunakan analisis

deskriptif, dan studi kepustakaan (library research). Data yang diperoleh

selanjutnya akan diolah secara kualitatif yang kemudian dijadikan acuan sebagai

hasil penelitian untuk mendeskripsikan hasil tersebut.

Kata Kunci: Etika Minangkabau, Tungku Tigo Sajarangan, Adat Basandi

Syarak-Syarak Basandi Kitabullah.

Page 13: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

xi

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan

keridaan-Nya yang senantiasa memberikan penulis keberkahan, kekuatan, dan

kelapangan dalam setiap perjalanan hidup. Atas segala hal yang pasang surut dalam

perjalanan penulis sampai saat ini, untuk perjalanan hidup esok, dan hari nanti.

Selawat serta salam kepada baginda Nabi Muhammad SAW atas pedoman dan

jujungannya.

Pada kala yang terus berganti, sehingga penulis dapat menyelesaikan buah

dari jari-jari dan isi kepala; Skripsi, berjudul “Etika Minangkabau (Telaah terhadap

Tungku Tigo Sajarangan)” dengan bahagia dan sebaik-baiknya. Karya ilmiah yang

berbentuk skripsi ini disusun dan diajukan sebagai bagian dari tugas akhir dalam

menyudahi studi dan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Program

Studi Aqidah dan Filsafat Islam di Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, sangat disadari bahwa penulis banyak

menerima bimbingan, semangat dan solusi, dukungan dan bantuan serta kemudahan

dari berbagai pihak. Melalui lembaran khusus ini penulis menyampaikan apresiasi

dan penghormatan dengan terima kasih paling dalam kepada:

Page 14: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

xii

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajaran Rektorat UIN Jakarta.

2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, serta Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, Wakil

Dekan III Fakultas Ushuluddin.

3. Ibu Dra. Tien Rohmatin, M.A., dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd.,

selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam dan Wakil Ketua

Jurusan Aqidah Filsafat Islam yang senantiasa mendukung,

menyemangati dan memberi kemudahan untuk penulis dalam

menyelesaikan perkuliahan dan juga tentunya skripsi ini, serta

Khoiriyah, S.Ag., selaku kakak tingkat yang telah banyak menyokong

penulis dalam menyelesaikan hal yang berkaitan pemenuhan syarat

skripsi, juga selaku bagian Pengurus Internal Administrasi Jurusan

Aqidah dan Filsafat Islam di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak (Alm) Drs. Nanang Tahqiq, M.A., selaku Dosen Penasehat

Akademik penulis. Atas segala pelajaran dan hal baik dari Bapak,

semoga Bapak ditempatkan di sisi terbaik Allah, al-Fathihah.

5. Ibu Rosmaria Syafariyah Widjayanti, S.S., M.Si., selaku Dosen

Pembimbing Skripsi yang dengan sangat baik membimbing dan

mengarahkan penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. Kemudahan,

segala kebaikan, dan keberkahan menyertai Ibu.

Page 15: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

xiii

6. Bapak Roswan Rio Utomo, M.A., terima kasih atas semangat,

kemudahan, serta do’a-do’a baik yang senantiasa diberikan kepada

penulis selama menyelesaikan skripsi ini, kemudian Bapak Toto Tohari,

S.Th.I, yang teruntuk penulis begitu berjasa dari masa kuliah, skripsi

sampai kini beliau sudah dipindahtugaskan ke institusi lain. Pak, terima

kasih, penulis sangat terkenang dan terkesan.

7. Dosen-dosen Aqidah dan Filsafat Islam, Ilmu Tasawuf UIN Jakarta, atas

pembaharuan ilmu yang selama ini diberikan dan menjalar yang

merupakan sebuah keberuntungan bagi penulis, serta Dosen-dosen yang

murah hati memberikan pengetahuan, semoga seluruh penghuni langit

memberkahi, Amin.

8. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Guru Beasar Fakultas

Ushuluddin sekaligus “Bapak Akademis” penulis yang sangat berjasa

dalam pengelanaan pengetahuan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penghormatan dan terima kasih teruntuk Bapak yang senantiasa

menasehati, membimbing, menunjuki penulis kepada pribadi yang akan

terus berkembang ini, doa-doa baik selalu menyertai Bapak.

9. Uda Mursal Tanjung, S.Fil., M.S.I., yang telah melapangkan waktu dan

memberikan penguasaan berpikir kepada penulis untuk membantu,

membimbing jalannya skripsi, memberikan banyak pengetahuan

tentang Minangkabau yang sangat penulis gemari, serta memberikan

masukan-masukan hingga purnanya skripsi ini.

Page 16: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

xiv

10. “Sepacketku” (Yunita Anggi, Nur Tiffany Ariana) atas apa-apa yang

menjadi ketidaksepakatan di bumi ini, semoga kita tetap sepaket atas

apa yang datang dan pergi. Awalia Nurkholisoh, “Roommate” penulis

saat ini yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini,

menyemangati, dan menemani penulis hingga saat ini dituliskan.

Semoga bahagia, kebaikan dan rasa syukur selalu menyertai hari-hari.

11. “HORE” teman-teman yang menjadi teman rupa-rupa; sewarna

#serukitabeda, “Nyinyir Syantik” (Iis Paujiah, Laraswati, Siti Zubaedah,

Sari Agustin) cerita-cerita, hal-hal bebal dan segalanya terus menjadi

genang di dalam kepala. “Gadih Minang AFI” (Rivani, Nurjannah)

Limpapeh rumah nan gadang, umbun puruak pagangan kunci.

“Keluarga HMJ AFI-IT” yang sedari penulis menjadi mahasiswa baru,

hingga sampai penulis berada dikesempatan terhormat, diamanahi.

Terima kasih atas kebersamaan, membantu penulis dalam perkuliahan

dan pendidikan keorganisasian, membagi semangat dalam masa

menjadi seorang mahasiswa, menjadi hikmat perjuangan di masanya.

12. Milea-ku, Aulia Ning Ma’rifati, S.Ag, (soon) M.Ag., yang telah menjadi

sosok Kakak “Dilanis” yang begitu menginspirasi, mengayomi penulis,

memberikan banyak hal-hal positif. Darinya penulis banyak belajar

bahwa anak perempuan pertama dari orang tua, seorang perempuan di

masyarakat bukan hanya tentang dapur dan tempat tidur, tapi juga isi

kepala; pengetahuan sebagai tolak ukur. Terima kasih, Lia-ku.

13. Teman-teman Aqidah Filsafat Islam 2015; Republik Filsafat (REFI).

Semoga apapun itu, yang terbaik untuk teman-teman. Terkenang.

Page 17: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

xv

14. Keluarga Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Aqidah Filsafat Islam

dan Ilmu Tasawuf, Ikatan Mahasiswa Tarbiyah Islamiyah (IMTI),

Mahasiswa Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Paninggahan, Akar

Seni Ushuluddin (ASUS), Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN

Jakarta, Lingkar Mahasiswa Filsafat se-Indonesia (LIMFISA), Keluarga

Mahasiswa Minang (KMM), Perkumpulan Gerakan Kebangsaan

(PGK), Ikatan Pemuda Pelajar Paninggahan (IPPP), Teras Inspirasi

Lembaga Kesejahteraan Sosial Berbasis Mahasiswa (LKS-Bmh).

Seluruh rekan-rekan aktivis organisasi, pegiat literasi dan sosial, teman-

teman selingkar dalam wadah dan ruang penulis berproses,

mengembangkan diri dan memperluas pengetahuan penulis.

15. Keluarga Rumah Belajar At-Ta’awun (RUMBEL) Griya Jakarta,

Pamulang. Kepada Bunda Nur’aini dan Ayah Syaiful Achzab, Kakak-

kakak guru sebagai orang tua dan saudara penulis di tanah rantau, terima

kasih atas seluruh kebaikan, kasih sayang, serta keikhlasan yang

diberikan pada penulis selama ini.

16. Kepada Tuan Ahmad Nubli, S.H., adalah do’a paling pagi untuk

keselamatan, kemudahan, dan cita yang terus tumbuh. Terima kasih

untuk segala yang ada-ada saja di bumi ini; pengajaran, perlindungan,

penghormatan, penguatan, dan perjalanan harapan yang senantiasa

ditempuh dengan syukur. Pada separuh yang merumah kepada seluruh;

teruslah bertumbuh. Tuhan, seluruh penghuni langit dan bumi

senantiasa meng-Aamiin-i.

Page 18: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

xvi

17. Adik-adik penulis, KHAIRA’s: Muhammad Jihan Dwikilana (Abang),

Kheisya Armiagustyra (Tehnca), Arsyilla Chaerina Almahyra (Dedek).

Terima kasih menjadi adik-adik Maryam yang begitu baik,

menenangkan, pengertian, menyenangkan, sangat membanggakan.

Cinta dan kasih untukmu. Semoga kita selalu punya banyak waktu untuk

menemani Appa dan Amma, membanggakannya serta memuliakan

mereka di sepanjang hidupnya yang tidak akan pernah ada habisnya

dalam hidup kami, kami yang hidup di hidupnya.

18. Teruntuk tempat berpulang penulis; kedua orang tua.

Amma-ndutku Iklina Sahra, Appa Khairul. Ma, Pa terima kasih atas

segala cinta, kasih, dan hidup yang tidak dapat terbalas, kepadamu

seluruh Aku yang tak terbatas. Teruntuk sebatang tubuh dan kedua

tangan yang terjaga dalam 5 waktu menemani pasang surutku,

menguatkan do’a-do’aku, menjaga seluruh cara kerja semesta

“Allaahummaghfirli dzunuubi wa liwaalidayya warhamhumaa, kamaa

rabbayaani saghiiraa. Aamiin”. Maryam-mu begitu mencintaimu,

adalah Aku yang paling diam dalam mencintaimu. Seluruh muaraku

adalah Amma Appa, seluruh yang tidak pernah Aku ucapkan sampai ia

menjadi kalimat paling sedu dalam do’a-do’aku. Terakhir, kepada

Almarhumah. Bainan, Makwo; Nenek yang terlebih dahulu pergi

sebelum Aku kembali datang menemuinya, semoga Makwo diberikan

tempat terbaik di Sisi-Nya, kami merindukanmu. al-Fatihah.

Page 19: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

xvii

Terima kasih dan syukur kepada semua pihak, untuk semua yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu kembali, seluruh apa yang penulis terima semoga

menjadi hal-hal baik untuk seluruhnya, semoga Allah SWT senantiasa melindungi,

memudahkan dan menjadikan kita pengabdi yang semakin baik. Aamiin.

Depok, 31 Juli 2021

22 Zulhijah 1442 H

Dyan Chlaudina

Page 20: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

xviii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................ iv

ABSTRAK ................................................................................................ x

KATA PENGANTAR ............................................................................ xi

DAFTAR ISI ....................................................................................... xviii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 9

C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 10

D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 10

E. Landasan Teori ................................................................................... 11

F. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 13

Page 21: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

xix

G. Metode Penelitian ............................................................................... 15

1. Jenis Penelitian ............................................................................... 15

2. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 15

3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data............................................ 19

4. Teknik Penulisan ........................................................................... 19

H. Sistematika Penulisan ......................................................................... 19

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG ETIKA

MINANGKABAU

A. Definisi Etika ................................................................................. 21

B. Sekilas Tentang Minangkabau ....................................................... 22

C. Etika Minangkabau ........................................................................ 26

D. Bentuk-bentuk Etika Minangkabau ............................................... 43

1. Adat Nan Sabana Adat (Etika yang Sebenarnya) ..................... 43

2. Adat Nan Diadatkan (Etika Nenek Moyang) ............................. 51

3. Adat Nan Taradat (Etika Hasil Musyawarah)............................ 54

4. Adat Istiadat (Etika Kaum/Nagari) ............................................ 57

Page 22: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

xx

BAB III GAMBARAN TENTANG TUNGKU TIGO SAJARANGAN

A. Definisi Tungku Tigo Sajarangan ................................................. 62

B. Sejarah Tungku Tigo Sajarangan di Minangkabau ....................... 63

C. Kedudukan Tungku Tigo Sajarangan ............................................ 68

D. Tungku Tigo Sajarangan sebagai Badan Musyawarah Adat,

Syarak, dan Ilmu Pengetahuan di Minangkabau ........................... 75

E. Sistem Tungku Tigo Sajarangan .................................................... 79

F. Bentuk- bentuk, Pengaruh, dan Perkembangan Tungku Tigo

Sajarangan dalam Masyarakat ...................................................... 86

1. Ninik Mamak ............................................................................. 74

2. Alim Ulama................................................................................ 76

3. Cadiak Pandai ............................................................................ 78

Page 23: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

xxi

BAB IV HASIL TELAAH ETIKA TUNGKU TIGO SAJARANGAN

MINANGKABAU

A. Telaah Etika Tungku Tigo Sajarangan .......................................... 91

B. Telaah Etika Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai ......... 106

1. Niniak Mamak ......................................................................... 106

2. Alim Ulama.............................................................................. 109

3. Cadiak Pandai .......................................................................... 115

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................. 119

B. Saran ........................................................................................ 120

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 121

Page 24: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia memiliki banyak suku dan bangsa. Masing-

masingnya juga memiliki adat serta budaya yang telah menjadi

kekayaan dan kebanggaan masyarakat. Dari sekian banyaknya daerah di

Indonesia yang memiliki ragam adat dan budaya, salah satunya ada di

Minangkabau. Daerah yang memiliki keunikan, ciri khas dan memiliki

daya tarik tersendiri. Filosofi hidup yang tergambar dari pepatah

Minangkabau “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” yang

artinya “adat bersandarkan kepada syariat (agama), syariat bersandarkan

kepada kitab Allah (Al-qur’an) menjadi pedoman yang kuat bagi

masyarakat Minangkabau dalam menjalankan kehidupan sehari-hari

yang sesuai dengan syariat agama Islam yang merupakan rahmatan lil

alamin.1

Kepemimpinan dalam masyarakat Minangkabau tidak terkotak-

kotak hanya dalam satu kesukuan atau dalam strata tertentu, tetapi

berbentuk sebuah etika kepemimpinan nagari yang disebut dengan

Tungku Tigo Sajarangan. Salah satu unsur dari sistem ini adalah

1 Ridwan Maronrong, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah: Filosofi

Hidup Orang Minangkabau, (Jakarta, STIE Indonesia Jakarta, 2014), h. xi.

Page 25: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

2

orang yang diharapkan menghasilkan kajian ilmiah atau pemikiran yang

bermanfaat di wilayah budaya Minangkabau yang nantinya akan dipakai

pula oleh masyarakat Minangkabau dalam setiap generasinya, sebagai

sebuah pengetahuan yang mengokohkan penerapan adat. Kelompok ini

disebut sebagai urang cadiak pandai atau cendikiawan, yang merupakan

satu dari tiga elemen institusi kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan

tersebut.

Di Minangkabau, Tungku Tigo Sajarangan ini bukanlah sesuatu

yang baru karena sejak dulu wilayah Minangkabau sudah terbiasa

dengan keterwakilan dan permusyawaratan. Tungku Tigo Sajarangan ini

berisikan tiga unsur utama yang tidak mempunyai kekuasaan secara

mutlak. Minangkabau sendiri hanyalah kesatuan adat dan budaya yang

menurut sebagian kalangan tidak terkait sama sekali dengan teritorial

kerajaan.2

Masyarakat Minangkabau memiliki tiga kekuatan yang bersinergi

dan saling menguatkan dalam membentuk kekuatan antara Tungku Tigo

Sajarangan, dan ketiga kekuatan ini merupakan gabungan

kepemimpinan adat, agama, dan ilmu pengetahuan dalam penerapannya

terhadap anak-anak nagari atau masyarakat Minangkabau.

Kepemimpinan ini adalah sebuah perpaduan yang indah dari tiga unsur

2 Saafroedin Bahar, “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah: Filosofi

Hidup untuk Dipraktikkan Bukan Sekedar Konsep” dalam Musril Zahari, Kekeliruan

Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di Minangkabau, (Jakarta: Gria Media, 2015),

h. xvii.

Page 26: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

3

keahlian masing-masing dalam satu wadah yang disebut dengan Tungku

Tigo Sajarangan dalam kepemimpinan masyarakat Minangkabau.3

Corak kepemimpinan Minangkabau yang demokratis tercermin dari

permusyawaratan sebagai pegangan bersama. Banyak tugas, fungsi,

serta peran pemimpin Tungku Tigo Sajarangan yang merupakan sinergi

tiga kekuatan dalam sistem kepemimpinan di Minangkabau ini, setiap

masing-masingnya haruslah memiliki kemampuan untuk mengajari anak

nagari bajalan luruih, bakato bana, tahu jo raso pareso dengan

berpedoman pada al-Qur’an dan Hadis.

Mereka harus menjadi agen of change yang dapat mengokohkan

adat dan menjadi teladan dalam masyarakat sehingga jabatan mereka

nantinya dapat diturunkan kepada generasi berikutnya, karena kualitas

pribadi sebagai orang yang memiliki keteladanan serta pengetahuan adat

tersebut dapat sesuai dengan filosofi hidup “adat basandi syarak dan

syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai, alam

takambang jadi guru, dan syarak nan kawi adat nan lazim”.4

Dengan adanya sistem kepemimpinan di Minangkabau yang baik,

perubahan zaman dan globalisasi pun tidak lepas menghampiri dengan

begitu cepat yang turut memberi dampak bagi masyarakat, perubahan

norma-norma sosial secara lansung disadari atau tidaknya memberikan

hasil baru bagi masyarakat di zaman ini, semisal orang-orang yang

3 Ridwan Maronrong, ABS-SBK: Filosofi Hidup Orang Minangkabau, h.12. 4 Bahar, “ABS-SBK: Filosofi Hidup untuk Dipraktikkan Bukan Sekedar Konsep”,

h. xxi.

Page 27: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

4

ramai mengemukakan beraneka argumentasi mulai dari demokrasi,

emansipasi wanita, globalisasi, humanisme, pelanggaran norma hukum,

dan modernisme yang arahnya tidak lain adalah mengganti “cupak

usali” dengan cupak impor yang berteknologi tinggi. Mereka mengganti

saluang, talempong, dan rabab5 dengan orgen tunggal yang dapat

dimainkan oleh satu orang dengan berbagai bunyi instrumen serta

penyanyi yang sedemikian rupa. Perubahan-perubahan nilai dan fungsi

dalam sistem kepemimpinan ini pun menjadi salah satu perhatian dan

tolak ukur perkembangan budaya dan adat Minangkabau pada generasi

berikutnya.6 Adat dan budaya yang dipraktikkan oleh masyarakat

Minangkabau tersebut telah memunculkan sifat atau karakter yang

sangat kental dengan kesetaraan, kepemimpinan yang demokratis, dan

sentrifugal. Adat dan budaya Minangkabau ini seringkali disebut

sebagai antitesis dari kebudayaan yang bersifat foedal7 dan sinkretik.

Adat dan budaya Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan

berbeda yaitu sistem kekerabatan matrilineal atau sistem kekerabatan

dalam suku bangsa/ etnis yang diambil dari garis keturunan Ibu.8

5 Saluang, Talempong, Rabab merupakan alat musik atau kesenian tradisional

yang berasal dari daerah Minangkabau. 6 Bahar, “ABS-SBK: Filosofi Hidup untuk Dipraktikkan Bukan Sekedar Konsep”,

.h. xx. 7 Foedal atau Foedalisme adalah struktur pendelagasian kekuasaan sosiopolitik

(sosial politik) yang dijalankanoleh kalangan bangsawan atau monarki untuk

mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-

pemimpin lokal sebagai mitra atau rekan kekuasaan.

8 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di

Minangkabau, (Jakarta: PT Gria Media Prima, 2015), h. 2-3.

Page 28: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

5

Kepemimpinan dalam Nagari ini merupakan sistem yang berada

sebagai bentuk pemerintahan terendah di Sumatera Barat, secara

bersama-sama memimpin masyarakat sesuai dengan kompetensi

masing-masing. Dalam menjalakan tugas pun masing-masing unsur

kepemimpinan tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi tertentu.

Namun, kadangkala sulit untuk membedakan ketiga unsur tersebut

dalam diri seseorang pemimpin karena fungsi ganda yang seringkali

dipakai oleh masing-masing unsur kepemimpinan tersebut.9

Perkembangan dinamika masyarakat serta kemajuan ilmu

pengetahuan saat ini menuntut adanya pemaknaan ulang terhadap

konsep Tungku Tigo Sajarangan dalam kepemimpinan yang

menghendaki adanya integrasi dan persenyawaan nilai-nilai adat dan

kebudayaan yang seharusnya ada dalam diri seorang pemimpin atau

pemuka masyarakat di Minangkabau, baik kompetensi intelegensi,

emosional, dan spiritual. Ketiga bentuk kompetensi tersebut sering

dipahami secara terpisah oleh masyarakat melalui tiga sosok dari

Tungku Tigo Sajarangan yang berbeda. Sebagaimana halnya

pemahaman terhadap suatu agama yang dipisahkan antara aspek

perbuatan fisik atau perilaku dengan penghayatan nilai-nilai agama

secara ruhaniah. Sebab, apabila diteruskan pemisahan kompetensi antara

tokoh satu dengan yang lainnya, maka dapat terjadi konflik ideologi

9 Febri Yulika, Epistimologi Minangkabau; Makna Pengetahuan dalam Filsafat

Adat Minangkabau, (Padang Panjang: LPPMPP ISI Padang Panjang, 2017), h. 150.

Page 29: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

6

yang mengakibatkan bukan penyelesaian masalah yang didapatkan,

tetapi justru perpecahan di antara tokoh-tokoh masyarakat.10

Landasan falsafah hidup “Alam Takambang Jadi Guru, Dima Bumi

Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang”11 membuat masyarakat

Minangkabau mempunyai prinsip “menjadi orang” di mana pun berada;

di ranah ataupun di rantau. Di ranah Minangkabau prinsip tersebut

dikategorikan menjadi prinsip sudah baku dalam kepemimpinan dan

bermasyarakat. Namun, di rantau pengkategorian ini kelihatannya tidak

terstruktur, terfungsikan, dan teroganisir seperti yang ada di ranah.

Mereka lebih mentingkan persoalan dan kepentingan pribadi atau lebih

kuat kepada nafsi-nafsi, maju sendiri-sendiri melupakan peran dan tugas

pokok sebagai pemimpin yang ditauladani oleh masyarakat padahal

orang utama nomor satu adalah mereka.12 Seorang pemimpin di

Minangkabau dinyatakan sebagai urang nan didahulukan salangkah,

ditinggikan sarantiang, gadang karano diumbuak dan tinggi karano

dijunjuang, bakato baiyo, pai bamolah.13

Nilai-nilai adat Minangkabau didasarkan pada keserasian ajaran

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), namun

sukar dibantah bahwa masih terdapat berbagai masalah kongkret yang

10 Febri Yulika, Epistimologi Minangkabau; Makna Pengetahuan dalam Filsafat

Adat Minangkabau, h. 152-153. 11 Idrus Hakimy, 1000 Pepatah Petitih, Mamang, Bidal Pantun, Gurindam,

(Bandung: Remadja Rosdakarya, 1988), h. 24. 12 Yulika, Epistimologi Minangkabau, h. 9-10. 13 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat Dengan Syarak Di

Minangkabau, h. 1.

Page 30: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

7

terjadi dalam pelaksanaannya sehari-hari khususnya tentang hubungan

kekerabatan, sistem kepemimpinan, kesimpangan fungsi dan peran

pemimpin kaum di masyarakat dengan adanya berbagai perbedaan

tafsiran tentang keserasian norma dengan nilai.14

Dewasa ini terdapat pertanyaan-pertanyaan tentang pengaruh dan

keterhubungan nilai-nilai adat yang ada di Minangkabau dalam

penerapannya terhadap sistem kepemimpinan masyarakat nagari,

pertanyaan-pertanyaan seputar bagaiman pertahanan jati diri orang

Minangkabau dalam berkehidupan, terutama faktor yang berkembang

dari luar yang menyebabkan masyarakat Minangkabau kehilangan jati

diri, peran dan makna terdalam dari budayanya. Perubahan sosial dalam

masyarakat Minangkabau menyebabkan semakin menyusutnya peranan

kaum dan suku, serta peranan pemimpin masyarakat dalam nagari,

kaum atau secara garis besar sebagai pemimpin.

Pemimpin dalam Tungku Tigo Sajarangan yang semakin waktu

mengalami kemerosotan fungsi dan peran dalam nilai-nilai adat yang

seharusnya menjadi perhatian penting bagi masyarakat, sebab konsep

kepemimpinan itulah yang menjadi landasan kokohnya adat dalam

nagari dan masyarakat di Minangkabau. Namun demikian terdapat

kesenjangan-kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang terjadi

dalam sosok pemuka masyarakat, perubahan sosial terhadap nilai yang

14 Febri Yulika, Epistimologi Minangkabau Minangkabau; Makna Pengetahuan

dalam Filsafat Adat Minangkabau, h.15.

Page 31: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

8

berkembang dalam adat serta pergeseran-pergeseran tugas dan fungsi

dimulai dari pepatah petitih yang tidak lagi berlaku dalam realitasnya.

Untuk menyejahterakan masyarakat, para tokoh serta pemimpin

lainnya berusaha menciptakan berbagai sistem pengaturan yang cocok

untuk kelompok masyarakatnya. Demikian juga dalam tata kehidupan

masyarakat Minangkabau, para tokoh dan pemimpin memberlakukan

pengaturan yang didasarkan pada ikatan kekeluargaan dengan Tungku

Tigo Sajarangan tersebut untuk kemudian dipraktikkan dengan berbagai

variasinya dari zaman dahulu, di ranah maupun di rantau.15 Namun,

apakah Tungku Tigo Sajarangan ini dapat bertahan dalam menghadapi

berbagai tantangan era globalisasi dan westernisasi yang sekarang

dengan mudah masuk dan berkembang dalam masyarakat. Sedang

dalam realitasnya sekarang ini, kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan

mengalami ketimpangan fungsi serta peran terhadap nilai-nilai adat

yang seharusnya berlaku pada pemimpin atau pemuka masyarakat di

Minangkabau, berkembangnya pemikiran terhadap keterkaitan nilai adat

yang mengatur kepemimpinan, apakah masih terpakai pada masa

sekarang ini.

Pemaknaan etika Minangkabau dalam penerapan dan telaah

terhadap Tungku Tigo Sajarangan menjadi titik sentral kondisi

masyarakat Minangkabau dalam beberapa aspek kehidupan, serta

15 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat Dengan Syarak Di

Minangkabau, h. 164.

Page 32: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

9

perkembangan pemahaman etika Minangkabau untuk masyarakat pada

realitasnya menggambarkan bagaimana bentuk etika Minangkabau dan

telaahnya pada Tungku Tigo Sajarangan berlaku di Minangkabau. Oleh

karena itu maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh

dan mendalam terkait “Etika Minangkabau (Telaah terhadap

Tungku Tigo Sajarangan.”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap masalah yang

terkandung dalam judul skripsi ini, mengingat begitu banyak bahasan

terkait dengan etika Minangkabau dan Tungku Tigo Sajarangan. Maka,

penulis membatasi ruang lingkup masalah, yaitu dengan mengkaji etika

Minangkabau dan Tungku Tigo Sajarangan dalam masyarakat di

Minagkabau yang berada di salah satu tempat atau Nagari. Agar tidak

melebar, maka pembahasan ini perlu dibatasi serta difokuskan kepada

telaah penulis tentang seperti apakah etika Minangkabau dan Tungku

Tigo Sajarangan terhadap perkembangan fenomena masyarakat

memahami etika Minangkabau tersebut.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka

yang akan menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:

1. Seperti apakah konsep Etika Tungku Tigo Sajarangan di

Minangkabau?

Page 33: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

10

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui seperti apakah konsep etika Minangkabau

dan telaahnya terhadap Tungku Tigo Sajarangan.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan dari tujuan penelitian di atas, maka penulis berharap

penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut, di antaranya:

1. Secara akademis. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan

pengetahuan tentang seperti apakah konsep etika Minangkabau

dalam kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan yang berlaku di

Minangkabau, tentang pemahaman etika bagi masyarakat yang

ada di Minangkabau yang mengatur kehidupan masyarakat.

Penelitian ini juga diharapkan mampu menambah referensi

daftar pustaka di Jurusan Aqidah Filsafat Islam, Fakultas

Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta terhadap kajian yang berkaitan dengan Tungku Tigo

Sajarangan, konsep etika Minangkabau terkhusunya dalam

pembahasan kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan, serta

dapat menjadi bahan rujukan terhadap perkembangan keilmuan

tentang etika yang ada di Minangkabau dalam penelitian

lainnya.

Page 34: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

11

2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini dapat memberikan

kontribusi keilmuan yang berkembang dalam masyarakat

terkhusunya bagi masyarakat Minangkabau.

E. Landasan Teori

Landasan teori ini membantu penulis dalam menentukan tujuan,

arah penelitian dan dasar penelitian, agar langkah dalam kepenulisan

selanjutnya jelas dan konsisten. Teori merupakan serangkaian asumsi,

konsep, definisi, dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial

secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep,

untuk itu diperlukan teori-teori yang berkaitan dengan penulisan ini

sebagai berikut:

Menurut Dr. Febri Yulika, S. Ag., M. Hum dalam buku yang

berjudul “Epistimologi Minangkabau: Makna Pengetahuan dalam

Filsafat Adat Minangkabau” menjelaskan bahwa konsep Tungku Tigo

Sajarangan merupakan interpretasi dari konsep Rajo Tigo Selo yaitu

Raja Alam, Raja Ibadat, dan Raja Adat. Konsep inilah yang kemudian

dipakai oleh pemerintah Belanda dan diterapkan hingga saat ini dalam

sistem kelola pemerintahan, termasuk dalam pemerintahan nagari

sebagai bentuk sistem pemerintahan terendah di Sumatera Barat.

Berdasarkan hal tersebut, maka Tungku Tigo Sajarangan disebut

sebagai cupak buatan (hasil musyawarah dan kesepakatan para

pemimpin pada masa tertentu) dan urang Ampek Jinih disebut sebagai

Page 35: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

12

cupak usali (ketentuan yang didasarkan pada falsafah alam takambang

jadi guru dan telah diterima dari nenek moyang dahulunya).

Menurut Yuzirwan Dt. Gadjah Tongga. Pada saat ini sosok

pemimpin yang memiliki kompetensi tidak lagi terlihat karena lebih

menonjolnya kompetensi keilmuan dibandingkan yang lainnya.

Rasionalitas lebih terasah daripada emosionalitas dan spiritualitas,

sehingga sukar untuk mencari sosok yang seimbang. Sebaliknya,

sebagian pemuka adat atau seorang pemimpin hanya mengasah diri

dalam pengetahuan adat, hafal pepatah petitih tetapi tidak tahu dengan

agama dan sukar mengomunikasikan pikirannya dengan orang lain.

Seharusnya seorang pemimpin harus mampu menganalisa,

berkomunikasi, dan berdasarkan pada nilai-nilai adat serta agama.

Dari berbagai teori yang dikemukakan di atas, penulis mengacu

pada pembahasan bagaimana konsep Tungku Tigo Sajarangan di

Minangkabau khususnya terhadapan etika Minangkabau dalam

masyarakat. Serta bagaimana Tungku Tigo Sajarangan ini diterapkan

dalam mempertahankan etika alam Minangkabau, kelanjutan pengajaran

adat dalam pembentukan karakteristik anak-anak nagari dan masyarakat

Minangkabau yang sesuai dengan falsafah adat dan hidup orang

Minangkabau. Hal tersebut menjadi titik berat penulis dalam

merumuskan hubungan teori terhadap penelitian.

Page 36: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

13

F. Tinjauan Pustaka

Dalam penulisan ini, sebelum mengadakan penelitian lebih lanjut

dan menyusun menjadi sebuah karya ilmiah berupa skripsi, maka

penulis telah mengkaji beberapa karya ilmiah dalam bentuk skripsi,

thesis, disertasi, jurnal dan artikel yang mempunyai konsep pembahasan

seputar kepemimpinan di Minangkabau, hal-hal yang berkaitan dengan

pembahasan atau judul skripsi ini.

Dalam dunia akademis, ditemukan beberapa karya yang berkaitan

dengan permasalahan etika Minangkabau, pembahasan yang

berhubungan dengan khususnya konsep Tungku Tigo Sajarangan, dan

pembahasan tentang peranan serta pengaruh adanya kepemimpinan

Tungku Tigo Sajarangan di Minangkabau.

Berikut ini ada beberapa tulisan serta karya ilmiah yang ditemukan

penulis, membahas tentang etika Minangkabau dan telaah Tungku Tigo

Sajarangan serta tulisan-tulisan yangb berkaitan dengan penelitian

penulis, yaitu:

Pertama, skripsi yang ditulis oleh Refdiana dengan judul

“Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Pemerintahan Nagari dengan

Diberlakukannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Desa

(Studi Kasus di Nagari Sicincin, Kecamatan 2X11 Enam Lingkung,

Kabupaten Padang Pariaman, Propinsi Sumatera Barat)”, diterbitkan

oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2017.

Page 37: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

14

Kedua, skripsi yang ditulis oleh Triana Trisnawati dengan judul

“Peran Tungku Tigo Sajarangan dalam Penyelesaian Sengketa Tanah

Ulayat di Nagari Salareh Aia Kabupaten Agam” yang dterbitkan oleh

Universitas Andalas, 2016.

Ketiga, Tesis yang ditulis oleh Ramli Putra dengan judul

“Peranan Tungku Tigo Sajarangan dalam Pembangunan Masyarakat

Nagari (Studi Kasus Nagari Pilubang Kabupaten Padang Pariaman)”

yang diterbitkan oleh Institut Teknologi Bandung, 2008.

Keempat, Jurnal yang ditulis oleh Ahmad Kosasih dengan judul

“Upaya Penerapan Nilai-nilai Adat dan Syarak Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari” yang diterbitkan oleh

Universitas Negeri Padang, 2013.

Kelima, Artikel yang ditulis oleh Reza Putra dengan judul “Upaya

Ninik Mamak dalam Mengatasi Perjudian (Studi Kasus Di Nagari

Layang Kecamatan Rao Selatan Kabupaten Pasaman)” yang diterbitkan

oleh Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI

Sumatera Barat, 2015.

Dari tinjauan pustaka di atas, penulis tidak menemukan kesamaan

isi skripsi atau tulisan karya ilmiah, dan dari tulisan-tulisan tersebut

Penulis juga tidak menemukan tulisan yang secara khusus menganalisis

tentang etika Minangkabau dan konsep Tungku Tigo Sajarangan,

sehingga penulis berfikir untuk mengangkat tema Etika Minangkabau

telaah terhadap Tungku Tigo Sajarangan tersebut dalam penelitian ini.

Page 38: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

15

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara yang tepat dan utama yang digunakan untuk

mencapai tujuan. Metode ini meliputi seluruh perjalanan dan

perkembangan peengetahuan, seluruh rangkaian dari permulaan sampai

kesimpulan ilmiah, baik untuk bagian khusus maupun untuk seluruh

bidang atau objek penelitian.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai ini merupakan penelitian

pustaka (liberary research), yaitu penelitian dengan

mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan permasalahan

yang dibahas, bersumber dari buku-buku serta karya tulis ilmiah

lainnya.

Metode yang digunakan penulis adalah metode kualitatif

deskriptif, metode ini termasuk jenis penelitian teks dengan

mengumpulkan data, menganalisa, lalu menjabarkannya

menjadi pembahasan dalam skripsi yang ditulis.

2. Teknik Pengumpulan Data

1) Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis

adalah teknik studi literatur. Teknik pengumpulan data

ini, pada dasarnya merupakan pengumpulan data

kepustakaan atau metode kepustakaan.

Page 39: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

16

Oleh karena itu, teknik pengumpulan data ini ditempuh

dengan penelitian kepustakaan dengan langkah-langkah

sebagai berikut:

Pertama, mengumpulkan buku-buku yang berkaitan

dengan etika Minangkabau, serta mengumpulkan buku-

buku yang membahas tentang Tungku Tigo Sajarangan di

Minangkabau.

Kedua, mengumpulkan buku-buku yang membahas

tentang konsep Tungku Tigo Sajarangan di Minangkabau

dalam pengaruh dan perannya dalam perkembangan

msayarakat Minangkabau.

Berdasarkan teknik pengumpulan data di atas, penulis

mendapatkan sumber data yang digunakan dalam penelitian dan

pembahasan, lalu mengelompokkannya menjadi dua bagian yaitu

sumber data primer dan sekunder.

a. Sumber Primer

Sumber data primer yang dipakai penulis adalah

buku yang ditulis oleh Ibrahim Dt. Sanggouno Diradjo

yang berjudul “Tambo Alam Minangkabau: Tatanan

Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang”,

(Sumatera Barat: Kristal Multimedia Penerbit Buku

Page 40: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

17

Alam Minangkabau, 2009). Buku terbitan Gebu Minang

yang berjudul “Pedoman Pengamalan Adat Basandi

Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Syarak Mangato

Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru.”, (Jakarta:

Penerbit Gebu Minang, 2011).

b. Sumber Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data

pendukung yang diperoleh dari buku-buku karangan

para pakar yang ahli dalam ilmu pengetahuan dan adat

Minangkabau khususnya, antara lain seperti: buku yang

ditulis oleh H. Datoek Toeah yang berjudul Tambo Alam

Minangkabau, buku yang ditulis oleh Febri Yulika

dengan judul Epistimologi Minangkabau: Makna

Pengetahuan dalam Filsafat Adat Minangkabau, buku

yang ditulis oleh Muhammad Jamil dengan judul Hiduik

Baradaek: Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti

Orang Minang, buku yang ditulis oleh Mas’oed Abidin

dengan judul Ensiklopedi Minangkabau, buku karangan

MS. Amir dengan judul Adat Minangkabau; Pola dan

Tujuan Hidup Orang Minang, buku karangan Julius Dt.

Malako Nan Putiah dengan judul Mambangkik Batang

Nan Tarandam: Dalam Upaya Melestarikan Adat

Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan

Page 41: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

18

Bangsa, buku karangan H.B. Saanin Dt. Tanpariaman

dengan judul Kepribadian Orang Minangkabau: dalam

kepribadian dan Perubahan, buku karangan H. Idrus

Hakimy Dt. Rajo Penghulu dengan judul 1000 Pepatah

Petitih, Mamang, Bidal Pantun, Gurindam, buku

karangan Hamka yang berjudul Islam dan Adat

Minangkabau, buku karangan Saafroedin Bahar dan

Muhammad Zulfan Tadjoeddin dengan judul Masih Ada

Harapan (Posisi sebuah etnik minoritas dalam hidup

berbangsa dan bernegara), serta banyak sumber-sumber

lainnya yang juga menunjang kepenulisan dan penelitian

ini.

c. Sumber dan Data-data Penunjang Lainnya

Sumber serta data penunjang yang dipakai oleh

penulis yaitu data-data yang bersumber dari jurnal,

bahan penelitian, tesis dan disertasi, artikel, hasil

wawancara dan sumber-sumber lain yang berkaitan

dengan masalah penelitian.

Page 42: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

19

3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Teknik pengolahan dan analisis data adalah sebuah

proses pengelolahan data, mereduksi data, dan menyusun

data yang sudah terkumpul oleh penulis dalam

menganalisis data ini. Penulis memilih hal-hal pokok

yang sesuai dengan fokus penelitian dan selanjutnya

penulis mengkaji data dalam bentuk yang sistematis agar

dapat dikuasai.

4. Teknik Penulisan

Adapun panduan penulisan skripsi ini adalah

berdasarkan pada buku Pedoman Akademik Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015,

dan Buku Panduan Penulisan Skripsi Fakultas

Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dalam penelitian,

skripsi ini dibagi menjadi lima bab sistematis yang saling

berkaitan.

Bab pertama, dalam penulisan skripsi ini berisi

pendahuluan yang meliputi latar belakang serta menjadi

Page 43: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

20

dasar mengapa penulisan ini diperlukan, batasan dan

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab kedua, yaitu pembahasan tentang Definisi Etika,

Sekilas tentang Minangkabau: sejarah, kedudukan, dan bentuk-

bentuk Etika Minangkabau.

Bab ketiga, yaitu pembahasan tentang gambaran Tungku

Tigo Sajarangan, definisi, sejarah, kedudukannya di Minangkabau

dan dalam Nagari di Minangkabau, dan kategori Tungku Tigo

Sajarangan di Minangkabau.

Bab keempat, yaitu pembahasan yang berisi tentang hasil

kajian etika Tungku Tigo Sajarangan Minangkabau yang meliputi

tentang bagaimana etika Niniak Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak

Pandai.

Bab kelima, pada bab ini penulis menguraikan penutup yang

merupakan hasil akhir kesimpulan berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan. Kemudian pada bagian penutup ini penulis juga memberikan

saran yang sesuai dengan pokok permasalahan yang penulis kaji.

Page 44: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

21

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG ETIKA MINANGKABAU

A. Definisi Etika

Sebelum mengupas tentang bagaimana konsep serta penjelasan etika

adat di Minangkabau, perlu dijabarkanlah tentang penjelasan etika tersendiri.

Seperti halnya dengn banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah,

istilah “etika” berasalh dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam

bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang

rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara

berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan

arti terakhir inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah

“etika” yang oleh Aristoteles (384-322 s.M.) sudah dipakai untuk

menunjukkan filsafat moral. Jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini,

ma etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat

kebiasaan.1

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika merupakan ilmu tentang

apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. 2

1 K. Berthens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2007), h. 4. 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online), diakses pada Kamis, 5 Agustus 2021, 13.35 WIB.

Page 45: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

22

Hemat penulis, etika adalah sistem yang merupakan prinsip moral

yang memengaruhi seseorang tentang bagaimana ia membuat keputusan dan

menjalani kebiasaan dalam hidup sehari-hari. Etika berkaitan dengan apa yang

baik bagi setiap individudan masyarakat pada umumnya. Praktik etika sangat

berguna dalam menjalani kehidupan sehrai-hari karena ini memengaruhi cara

manusia berlaku.

B. Sekilas Tentang Minangkabau

Di Minangkabau, masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat yang

menjadikan nilai-nilai adat sebagai pedoman hidupnya atau patokan dalam

bertingkah laku, bersikap, berbicara, bergaul dan berpakaian. Perpaduan

antara nilai adat dan Islam yang dikenal dengan ungkapan adat basandi

syarak, syarak basandi kitabullah, telah melandasi tatanan hidup dan menjadi

pandangan atau falsafah hidup bagi masyarakat Minangkabau.3

Sejak abad ke-13 Masehi, masyarakat Minangkabau telah mengalami

rangakaian goncangan dan perubahan sosial, yang secara mendasar telah

mempengaruhi sistem nilai dan tatanan kelembagaan masyarakat

Minangkabau yang berbasis nagari.4

3 Febri Yulika, Epistimologi Minangkabau; Makna Pengetahuan dalam Filsafat Adat

Minangkabau, (Padang Panjang: LPPMPP ISI Padang Panjang, 2017), h. 1.

4 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Syarak Mangato, Adat Mamakai. Alam Takambang Jadi Guru, (Jakarta: Penerbit Gebu Minang, 2011),

h. 57.

Page 46: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

23

Agama Hindu-Budha yang dianut oleh keluarga kerajaan-kerajaan

Minangkabau lama selama berabad-abad sejak abad ke-13 tersebut tidak

banyak berpangaruh kepada masyarakat Minangkabau, yang tetap berpegang

pada adat di Minangkabau, berpedoman pada ajaran alam takambang jadi

guru. Berbeda dengan agama Hindu-Budha tersebut, agama Islam yang masuk

dalam abad ke-16 Masehi secara bertahap dianut oleh masyarakat

Minangkabau, dan tumbuh sebgai faktor yang paling penting dalam

perkembangan sejarah dan kebudayaan Minangkabau dalam abad-abad

sesudahnya.

Pada mulanya ada perbedaan ajaran antara adat Minangkabau dengan

agama Islam khususnya dalam masalah hubungan kekerabatan dan hukum

waris yang telah menimbulkan serangkaian masalah dalm hukum perdata,

yang memerlukan penyesuaian mendasar dalam kaidah hukum perdata, yang

memerlukan penyesuaian mendasar dalam kaidah hukm serta kelembagaan

sosial. Oleh karena masyarakat Minangkabau tidak mempunyai tatanan

kelembagaan di atas tingkat nagari, maka rangkaian goncangan dan perubahan

sosial tersebut hanya diselesaikan secara setempat-setempat, dan belum

pernah dikonsolidasikan secara menyeluruh, terarah, terpadu, dan terencana.5

Abad ke-19 Masehi adalah abad yang paling menentukan dalam sejarah

dan kebudayaan Minangkabau. Dalam abad ini bukan saja telah terjadi

rangkaian upaya pemurnian dan pembaharuan terhadap akidah dan

5 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Syarak Mangato, Adat Mamakai. Alam Takambang Jadi Guru, h. 57-58.

Page 47: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

24

pengamalan adat dan syarak, tetapi juga telah terjadi camur tangan kaum

kolonialis Belanda yang mengadu domba kaum adat dan kaum agama, yang

sama-sama menganut agama Islam.

Setelah mengalami konflik berkepanjangan yang disusun oleh perang

saudara yang dahsyat antara tahun 1803-1821, yang disusul oleh Perang

Minangkabau antara tahun 1821-1838 untuk menghadapi balatentara kolonial

Hindia Belanda, pada tahun 1832 Tuanku Imam Bonjol memberikan fatwa

ishlah yang menjadi dasar untuk pengembangan ajaran Adat Basandi Syarak,

Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai (ABS-SBK)

yang kemudian dilengkapi dengan Alam Takambang Jadi Guru sebagai nilai

dasar dalam menata masyarakat Minangkabau. Fatwa Tuanku Imam Bonjol

ini kemudian dikukuhkan dalam Sumpah Satie Bukik Marapalam pada taun

1837 di Bukit Pato, Lintau, dekat Batusangkar. Oleh karena kemudian seluruh

Minangkabau dijajah oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang

melancarkan politik adu domba dan politik tanam paksa yang disusul oleh dua

kali Perang Dunia, dua kali Perang Kemerdakaan, serta serangkaian konflik

dalam negeri yang berkepanjangan, nilai dasar dan ajaran adat basandi

syarak, syarak basandi kitabullah tersebut belum sempat terhimpun dan

disatukan secara terpadu dalam suatu dokumen yang disahkan bersama oleh

masyarakat Minangkabau.6

6 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Syarak Mangato, Adat Mamakai. Alam Takambang Jadi Guru, h. 58-59.

Page 48: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

25

Pada abad ke-20, masyarakat Minangkabau telah aktif ikut serta, baik

dalam pergerakan kemerdekaan nasional, dalam membentuk Negara Kesatuan

Republik Indonesia, maupun dalam pembelaan menghadapi ancaman dari

dalam dan luar negeri baik sistem hukum nasional maupun hukum hukum

internasional hak asasi manusia pada dasarnya menghormati, melindungi,

memfasilitasi, dan memenuhi hak suku bangsa dan masyarakat hukum adat.

Pengakuan konstitusional terhadap kemajemukan masyarakat Indonesia ini

tercantum dalam sesanti "Bhineka Tunggal Ika" pada lambang negara.

Masyarakat Minangkabau memperhatikan dengan sungguh-sungguh

berbagai masalah nasional yang dihadapi Bangsa dan Negara Kesatuan

Republik Indonesia dalam abad ke-21 ini, walaupun telah 65 tahun berada

dalam alam kemerdekaan, namun dua tujuan nasional dan empat tujuan tugas

pemerintahan yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia tahun 1945 masih belum tercapai dan memuaskan.

Dalam mempersiapkan diri, memanfaatkan peluang untuk melakukan

konsolidasi, menjawab tantangan, menunaikan kewajiban sebagai warga

negara Indonesia yang berdasarkan pancasila, dipandang perlu untuk

menetapkan secara formal ajaran adat basandi sayarak, syarak basandi

kitabullah sebagai jati diri dan identitas kultural suku bangsa dan masyarakat

hukum adat Minangkabau serta mengembangkan aspek kelembagaan, norma

etika, serta dasar-dasar kebijakan dalam tindak lanjutnya. 7

7 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Syarak Mangato, Adat Mamakai. Alam Takambang Jadi Guru, h. 59-60.

Page 49: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

26

C. Etika Minangkabau

Dalam sejarahnya, di Minangkabau tidak memiliki konsep secara

tertulis yang menjelaskan tentang pengertian atau pemahaman etika adat

Minangkabau yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya. Kebiasaan

masyarakat Minangkabau inilah yang disebut sebagai adat, seluruh aspek

kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan sehari-hari secara turun temurun

diatur dalam adat, begitulah seperti yang dijelaskan dalam sejarah alam

Minangkabau dalam nilai-nilai adat yang terdapat dalam Tambo Alam

Minangkabau.

Etika kehidupan orang Minangkabau juga disangkutkan dengan

kegiatan rohaniah yang disebut raso jo pareso (rasa dengan periksa), yang

menjadi sumber dari tahu nan ampek (memahami empat perkara), yaitu tahu

di diri (memahami diri sendiri), tahu di urang (memahami orang lain), tahu di

alam (memahami alam), tahu di Tuhan (menyadari adanya Tuhan).8 Dalam

pengaplikasiannya, Adat basandi syarak syarak basandi kitabullah menjadi

pegangan serta pedoman hidup masyarakat Minangkabau dalam

mempraktikan nilai-nilai etika dalam adat.

Intisari ajaran adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah adalah

dengan menyuruh berpegang kepada tali Allah yang berlandaskan kepada

iman Islam dan menegakkan kebenaran yang terkandung dalam adat

Minangkabau, etika hidup orang Minangkabau ini bertujuan untuk

8 Maruhum, A.M. Bagindo Batuah, Tanameh. Hukum Adat dan Adat Minangkabau, (Jakarta:

Pustaka Aseli, 1956), h. 34.

Page 50: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

27

terwujudnya masyarakat Minangkabau yang berbudi luhur dan berakhlak

mulia, selamat di dunia dan akhirat. Falsafah hidup dan kaidah etika adat

basandi syarak, syarak basandi kitabullah ini bertumpu kepada kaidah agama,

adat, dan undang-undang, yang berlaku bagi seluruh masyarakat

Minangkabau.9

Etika Minangkabau pada dasarnya sama seperti etika suku-suku lain,

tetapi ada beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya, kekhasan

ini terutama disebabkan karena masyarakat Minangkabau menganut sistem

garis keturunan Ibu, matrilinial. Orang Minangkabau memahami ajaran

adatnya akan memandang bahasa dan budi itu berada pada derajat yang sama.

Dalam mamangan (ungkapan-ungkapan berisi kearifan) adat Minangkabau

dikatakan bahwa yang baik adalah budi, yang indah adalah bahasa atau

ucapan (nan kuriak kundi, nan merah sago/ nan baiak budi, nan indah

bahaso).10

Melalui tutur kata yang disampaikan seseorang kepada orang lain

dapat dilakukan penilaian terhadap budi mereka. Budi tidak hanya berkaitan

dengan etika, tetapi juga dengan akal pikiran dan kecerdasan dan kesadaran

sebagai manusia dan bagian dari sebuah komunitas.

9 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Syarak Mangato, Adat Mamakai. Alam Takambang Jadi Guru, h. 90. 10 A.B. Madjo Indo, Kato Pusako (Papatah, Patitih, Mamang, Pantun, Ajaran dan Filsafat

Minangkabau, (Jakarta: PT Rora Karya, 1999), h. 19.

Page 51: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

28

Norma tentang cara bicara dan penilaian-penilaian kultural terhadap

praktik penggunaan bahasa dapat menjadi titik berangkat untuk memahami

lebihjauh bagaimana Minagkabau membangun konsep filosofis tentang

komunikasi. Konsep tersebut menjadi bagian dari filsafat hidup atau alam

pemikiran orang Minangkabau terhadap hubungan antara manusia dengan

manusia, dan manusia dengan alam.

Dengan komunikasi, maka konstruksi alam pemikiran tersebut

diwariskan dari satu generasi ke genarasi lain, agar konseptualisasi hubungan

tidak mengalami kehancuran. Dalam prinsip hidup orang Minangkabau alam

itu adalah guru (alam takambang jadi guru; alam terkembang jadi guru).

Komunikasi juga disangkutkan dengan kegiatan rohaniah yang disebut raso jo

pareso (rasa dengan periksa), yang menjadi sumber dari tahu nan ampek

(memahami empat perkara), yaitu tahu di diri (memahami diri sendiri), tahu

di urang (memahami orang lain), tahu di alam (memahami alam), tahu di

Tuhan (menyadari adanya Tuhan).11

Sumber etika orang Minangkabau adalah Islam dan adat, sebelum

masuknya Islam dan menerima Islam sebagai satu-satunya agama yang

dianut, Minangkabau hidup di bawah norma-norma dan hukum beretika.

Setelah Islam masuk, orang Minangkabau tetap mempertahankan sebagian

adatnya dengan cermat mengkombinasikan aturan adat dengan Islam,

sehingga kini keduanya bersatu dan menjadi pokok pegangan kehidupan

11 Maruhum, A.M. Bagindo Batuah, Tanameh. Hukum Adat dan Adat Minangkabau,

(Jakarta: Pustaka Aseli, 1956), h. 34.

Page 52: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

29

orang Minangkabau “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”

(Adat bersendi akan Syarak, Syarak bersendi akan Kitabullah) dengan yang

sering disebut dengan singkatan ABS-SBK. Artinya, etika Minangkabau

berperan sebagai praktik kebudayaan sehari-hari, yang menjadikan syariat

sebagai rujukannya, dan syariat itu berasal dari al-Qur’an atau kitab Allah.

Adat merupakan sumber nilai yang penting dalam berperan membentuk etika

orang Minangkabau.12

Di Minangkabau, masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat yang

menjadikan nilai-nilai adat sebagai pedoman hidupnya atau patokan dalam

bertingkah laku, bersikap, berbicara, bergaul dan berpakaian. Perpaduan

antara nilai adat dan Islam yang dikenal dengan ungkapan adat basandi

syarak, syarak basandi kitabullah, telah melandasi tatanan hidup dan menjadi

pandangan atau falsafah hidup bagi masyarakat Minangkabau.13

Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah adalah etika atau

norma hukum yang digunakan nenek moyang orang Minangkabau, yang

berdasarkan kepada ajaran syarak. Sendi artinya dasar atau pondasi yang kuat.

Sedangkan syarak dan kitabullah artinya al-Qur’an. Filosofi adat basandi

syarak, syarak basandi kitabullah di Minangkabau baru dikenal setelah agama

Islam masuk dan mewarnai kehidupan masyarakat.

12 Tan Pariaman H.B Saanin, Kepribadian Orang Minangkabau; dalam Kepribadian dan

Perubahan, (Jakarta: PT Gramedia, 1980), h. 21.

13 Febri Yulika, Epistimologi Minangkabau; Makna Pengetahuan dalam Filsafat Adat

Minangkabau, (Padang Panjang: LPPMPP ISI Padang Panjang, 2017), h. 1.

Page 53: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

30

Di dalam perkembangan adat Minangkabau, telah terjadi beberapa

perubahan penting, terutama setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau,

sebelum kedatangan agama Islam orang Minangkabau menggunakan filosofi

adat “adat basandi alua jo patuik” (sesuatu perbuatan itu berdasarkan pada

kelayakan dan norma-norma yang berlaku).

Filisofi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah diterapkan

beberapa tahun setelah berakhirnya Perang Paderi (1821-1837), perang antar

kelompok pemangku adat yang ingin melestarikan tradisi lama, berlawanan

dengan kelompok agama puritan yang dikenal dengan gerakan Paderi. Setelah

kedua belah pihak menyadari kesalahannya, maka diadakan rekonsiliasi pada

tahun 1840 di Puncak Pato Bukit Marapalam, Tanah Datar, Sumatera Barat.

Kesepakatan tersebut dikukuhkan adalam baiat yang dikenal dengan nama

Piagam Bukit Marapalam yang esensinya adalah adat basandi syarak, syarak

basandi kitabullah.14

Etika adalah aturan atau kebiasaan dalam suatu masyarakat di mana

aturan itu menjadi kesepakatan untuk sama-sama ditaati dan ada sanksi bagi

setiap pelanggaran. Etika atau adat merupakan aturan hidup sehari-hari, dan

hidup yang tak beraturan bagi masyarakat adalah hidup yang tidak beradat.

Jadi, aturan itulah etika, etika itulah yang menjadi pakaian sehari-sehari.15

Bagi orang Minang; duduk tagak beretika, makan minum beretika, berbicara

14 Febri Yulika, Epistimologi Minangkabau Minangkabau; Makna Pengetahuan dalam

Filsafat Adat Minangkabau, h. 1. 15Muhammad Jamil, Hiduik Baradek “Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang

Minang”, (Bukittinggi, Sumatera Barat: Cinta Buku Agency, 2015), h. 23-24.

Page 54: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

31

beretika, berjalan beretika, menguap beretika, dan bahkan untuk batuk saja

beretika. Aturan-aturan itu biasanya disebutkan dalam bentuk pepatah-petitih,

mamang, bidal, serta pantun, seperti:

“batanyo salapeh panek,

barundiang sasudah makan.”

Makna dari pepatah tersebut ialah, jika hendak bertanya kepada

sesorang tunggulah terlebih dahulu sampai yang bersangkutan hilang

lelahnya, kepada tamu biasanya langsung menyuguhkan minuman. Setelah

lelah dan haus dahaga hilang, barulah bertanya maksud kedatangannya.

Begitu pula ketika kita kedatangan rombongan tamu yang tujuannya sudah

diketahui terlebih dahulu, misalnya untuk merundingkan pelaksanaan

perkawinan maka tamu-tamu setelah diberi minum kemudian diajak makan

terlebih dahulu (biasanya makan malam), setelah selesai makan malam

barulah diajak berunding mengenai pelaksanaan pekerjaan tersebut dan

sebagainya.

Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah merupakan etika

hidup orang Minangkabau dan yang berkembang dalam kehidupan

msayarakat Minangkabau secara menyeluruh, falsafah hidup ini yang

kemudian merupakan rumusan jati diri dan identitas kultural Minangkabau,

menjadi rujukan dalam kehidupan pribadi, keluarga, suku, dan masyarakat

Page 55: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

32

Minangkabau, baik di ranah maupun juga di rantau.16 Rumusan jati diri inilah

yang menjadi identitas kultural Minangkabau yang sudah disepakati adalah

adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah; syarak mangato, adat

mamakai, alam takambang jadi guru, yang tumbuh, berkembang, dan

memasyarakat dalam perjalanan sejarah dan kebudayaan Minangkabau.

Untuk mengetahui pengertian etika Minangkabau, maka dilihatlah

pengertian tersebut dalam 4 (empat) segi, yaitu:

a.) Segi Etimologi

Menurut Jalaluddin Tunsam (seseorang berbangsa Arab,

tinggal di Aceh. Menulis di bukunya pada tahun 1660). “Adat”

berasal dari bahasa Arab عا دات, yang berarti “cara”, dan atau

“kebiasaan”. Di Indonesia, kata adat baru digunakan pada sekitar

akhir abad 19.17 Sebelum dikenal di Indonesia, kata adat ini hanya

dikenal oleh masyarakat Melayu setelah pertemuan budayanya

dengan agama Islam sekitar abad ke-16.

Jadi, etika adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari

nilai-nilai norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang

lazim dilakukan di suatu daerah.

16 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Syarak Mangato, Adat Mamakai. Alam Takambang Jadi Guru, (Jakarta: Penerbit Gebu Minang, 2011),

h. 88. 17 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek “Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang

Minang”h. 25.

Page 56: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

33

Apabila etika ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan

yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat

terhadap pelaku yang dianggap menyimpang. Bagi masyarakat

Minangkabau, etika dapat diartikan sebagai aturan yang berlaku

dalam masyarakatnya, berfungsi sebagai pedoman dan pegangan

hidup agar terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam

masyarakat. Nilai adat tersebut adalah budi;

Nan kurik kundi, nan merah sago,

Nan baik budi, nan indah baso.

Nilai-nilai adat tersebut tidak bersifat material, tetapi nilai-nilai

yang bersifat immaterial, yang dalam bahasa adat disebut raso,

pariso, malu, jo sopan. Keempat unsur inilah yang merupakan

unsur yang integral dari budi, dan budi merupakan hakekat dari

ajaran adat Minangkabau.

b.) Segi Pendapat Para Ahli

Menurut H. Idrus Hakimi Dt. Rajo Pangulu:

“Etika atau Adat Minangkabau tersebut adalah tata nilai yang

mengatur kehidupan masyarakat di Minangkabau, baik kehidupan

pribadi, maupun kehidupan bermasyarakat yang didasarkan pada

Page 57: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

34

budi pekerti yang mulia sehingga terwujud keamanan, ketertiban,

bahagia serta sejahtera lahir dan batin”.

c.) Segi Pendapat Umum

Ketika ditanyakan kepada orang tua-tua atau niniak mamak

yang banyak mengetahui tentang seluk beluk adat Minangkabau,

apakah pengertian adat itu sesungguhnya?

Pada umumnya mereka menjawab dengan mengemukakan

kenyataan-kenyataan yang terdapat pada alam, fenomena-

fenomena alam serta sifat-sifat yang terkandung dalam alam dan

sebagainya. Sebagai contoh:

“Adat api mambaka,

Adat aia mambasahi,

Adat ayam bakotek,

Adat murai bakicau,

Adat gunuang timbunan kabuik,

Adat lurah timbunan aia,

Gabak di hulu tando ka hujan,

Cewang di langik tando ka paneh.”

Page 58: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

35

Jadi, kalau kita simpulkan menurut pendapat tersebut,

pengertian etika Minangkabau adalah kenyataan-kenyataan atau

ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam, yang ada disekitar

sebagaimana yang telah diciptakan oleh Allah.

d.) Arti Kaidah Etika Minangkabau

Kalau dilihat dari pengertian etika menurut kaidah

Minangkabau, maka dapat disimpulkan dari kaidah adat yang

berbunyi:

“Sawah diagiah bapamatang,

Ladang diagiah bamintalak,

Rimbo diagiah bajiluang,

Hutan diagiah bakaratau,

Babedo tapuang jo sadah,

Babiteh minyak jo aia,

Balain kundua jo bubua.”

Maksud dari kaidah etika Minangkabau di atas ini adalah

ketentuan-ketentuan hidup bermasyarakat orang Minangkabau

yang didasarkan pada budi pekerti yang tinggi guna terciptanya

keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan ditengah-tengah

masyarakat. Jadi, fungsi etika Minangkabau tersebut adalah agar

masyarakat dapat merasakan hidup aman, tertib, damai, bahagia,

Page 59: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

36

serta sejahtera. Karena, ruang lingkup kehidupan tersebut sangat

luas, maka adat Minangkabau mengatur seluruh aspek dan bidang

kehidupan, mulai dari masalah yang menyangkut kehidupan

pribadi sampai kepada masalah kehidupan bermasyarakat, seperti

misalnya: ekonomi, politik, sosial budaya, kepemimpinan dan

sebagainya. Hal inilah yang terkandung dalam kaedah etika yang

berbunyi “Hiduik dikanduang adat, mati dikanduang tanah”.

Tegasnya, bahwa seluruh aspek kehidupan telah diatur oleh etika.

Hikmah yang terkandung dalam setiap etika bermuara untuk

membentuk individu dan masyarakat yang berbudi luhur, muara

atau tujuan akhirnya sama. Yang berbeda hanyalah caranya sesuai

dengan ajaran adat yang dianutnya, seperti pepatah Minang “Lain

lubuk lain ikan, lain padang lain ilalang, lain nagari lain

adatnyo”. Lebih jauh dari itu, tujuan etika Minangkabau adalah

bagaimana seharusnya orang berprilaku dalam Nagari, bagaimana

seseorang bersikap, bertindak, bergaul, dan berbicara, itulah

substansinya manusia Minangkabau melaksanakan etika dalam

kesehariannya. Dengan beradat itulah orang bisa hidup teratur dan

terkendali. Dengan artian lain bahwa tujuan etika itu adalah

menjadi orang Minangkabau yang “sabana-bana urang”.18

18 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek“Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang

Minang”, h. 31-32.

Page 60: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

37

Etika atau adat juga menghendaki setiap orang yang berada

dalam kaum dan Nagari berprilaku sesuai dengan ketentuan etika

di mana mereka berada, biasanya dalam etika diistilahkan dengan

“perangai Ninik Mamak” perilaku inilah yang mencerminkan tipe

orang yang berperilaku ideal bagi orang Minang;

“Tahu dek duri kamuncucuak, tahu dek dahan nan

kamahimpok, mangarati hereang jo gendeng, takilek ikan dalam

aia jaleh jantan batinonyo, pai tampek batanya dan pulang tampek

babarito, alamnyo lapang pandangnyo lapang, batangnyo tampek

basanda, dahannyo tampek bagantuang, daunnyo tampek

bataduah, muluik manih kacindan murah, dibucuik ndak mati

diasak tak layua.”

Menurut M. Nasrun dalam bukunya “Filsafat Adat

Minangkabau”, ia mengatakan bahwa etika Minangkabau disusun

berdasarkan kebersamaan, oleh bersama untuk bersama menempuh

kebahagiaan dunia akhirat. Maka dengan demikian, siapapun

manusia dalam masyarakat Minangkabau harus dihargai dan

dihormati, sebab siapapun manusianya ia mempunyai fungsi yang

berguna sesuai kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya.

Masyarakat Minangkabau memakai bentuk budaya matrilineal

dalam soal-soal ekonomi, hukum, dan sosio-politis, tetapi

Page 61: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

38

memakai budaya patrilineal dalam kehidupan beragama. Namun,

perlu ditegaskan bahwa etika Minangkabau yang dikatakan

matrilineal itu pun tidak boleh keluar dari tuntunan falsafah adat

basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat

mamakai, alam takambang jadi guru, dan syarak nan kawi adat

nan lazim.

Ketentuan ini adalah kesepakatan yang tidak boleh diganggu

gugat atau sudah menjadi harga mati bagi orang Minangkabau.

Berdasarkan hal ini banyak suku bangsa lain di Indonesia

menyebut Minangkabau sebagai negeri Serambi Mekah dan orang

Minangkabau sering disebut-sebut sebagai kelompok masyarakat

yang taat beribadah. Meskipun, konsep atau yang dicita-citakan

(das Sollen) dengan realitas atau keadaan sebenarnya yang ada

(das Sein) dapat saja seringkali tidak sejalan.19

Dalam berkehidupan nyata, etika dapat dimaknai sebagai

perilaku manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya yang dapat

berubah sesuai dengan kebutuhan zamannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pada makna

yang keempat, adat diartikan sebagai “wujud gagasan kebudayaan

yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma hukum, dan aturan-

19 Amran Rusli, Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, (Jakarta, Penerbit Sinar Harapan,

1981), h. 61.

Page 62: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

39

aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi suatu

sistem”.20 Namun, dalam konteks keminangan adat itu harus

disesuaikan, diselaraskan, disenyawakan, disatukan, dan

didasarkan pada syarak yang bersumber dari al-Qur`an dan Hadis

Rasulullah bukan sebaliknya atau bukan pula timbal balik. Dengan

demikian, segala sesuatu yang tidak sesuai atau menyimpang dari

ajaran Islam bukanlah Etika Minangkabau, tetapi adat jahiliyah

dan harus ditolak.

Etika Minangkabau adalah adat Islami dan menolak segala

bentuk yang bertentangan atau yang tidak sesuai dengan ajaran

Islam. Batasan ini memiliki makna bahwa etika Minangkabau

yang sudah ada sejak zaman dahulu itu tidak ada yang tidak dapat

berubah sepanjang perubahan itu sejalan atau tidak menyalahi adat

basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat

mamakai, alam takambang jadi guru dan syarak nan kawi (kuat)

adat nan lazim. Dalam bahasa Inggris etika dapat diartikan dengan

“tradition is founded upon islamic law, islamic law is founded

upon the Allah’s Book and Sunnah (al-Qur’an and Hadis), islamic

law dictates tradition or islamic law says tradition uses, the wide

20 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online.

Page 63: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

40

world has to become the teacher, islamic law is the strongest, the

tradition is the habit that obeys the islamic law.”21

Etika Minangkabau merupakan pengetahuan yang sangat

berarti dan sarat dengan pengajaran dan pendidikan yang

mencakup seluruh aspek kehidupan, tidak hanya tersimpan di

dalam pepatah petitih namun mengandung nilai ajaran yang sangat

dalam, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa adat

Minangkabau merupakan salah satu konsep budaya yang sangat

pas untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekalipun ajaran

adat Minangkabau banyak diajarkan dalam pepatah petitih, pantun

dan gurindam, namun dibalik itulah terkandung mutiara-mutiara

dan falsafah yang tinggi nilainya untuk bisa diaplikasikan dalam

kehidupan bersosial di tengah masyarakat.22

Navis (1984) dalam catatan kaki pada buku yang ditulisnya

menyebutkan bahwa “adat berasal dari bahasa Arab yaitu 'adah

yang memiliki arti kebiasaan atau perbuatan yang dilakukan

berulang-ulang.”

21 Tan Pariaman H.B Saanin, Kepribadian Orang Minangkabau; dalam Kepribadian dan

Perubaha, h. 150. 22 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek “Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang

Minang”, h. 5.

Page 64: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

41

Dengan mengutip M. Rasyid Manggis, Navis dalam buku dan

halaman yang sama juga mengemukakan bahwa “adat berasal dari

bahasa Sanskerta, yang terdiri dari a yang berarti tidak dan dato

yang berarti bersifat kebendaan.” Jadi, makna adat menurut M.

Rasyid Manggis adalah “sesuatu yang tidak bersifat kebendaan.”

Pendapat lain yang dikutip oleh Navis pada halaman yang

sama dalam bukunya adalah apa yang dikemukakan oleh D.

Darwas Dt. Rangkayo Malano bahwa “adat berasal dari bahasa

Yunani, a adalah tidak dan dat adalah yang memiliki makna tidak

nyata, tapi terasa, seperti norma, etika, budi, dan kemanusiaan.”

Dengan demikian adat diartikan sebagai sesuatu yang tidak

berbentuk, tidak nyata dan tidak terasa, seperti norma, etika, dan

budi yang ada dalam kehidupan manusia.23 Dari mencermati

keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa etika itu adalah

kebiasaan masyarakat dalam berinteraksi dengan sesamanya yang

lama-kelamaan menjadi aturan yang dipatuhi. Dengan kata lain

etika itu juga dikatakan sebagai aturan yang telah dihimpun dan

ditaati oleh masyarakatnya dari satu generasi ke generasi

berikutnya yang diterima dari nenek moyang mereka dan aturan itu

hidup serta berlaku dalam masyarakat tersebut. Namun, setiap

keberadaan etika yang penting diingat adalah bertujuan agar

23 Navis, A.A, Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta:

PT. Grafiti Pers, 1984), h. 85.

Page 65: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

42

terciptanya manusia dalam lingkungannya yang berakhlak mulia

atau berbudi luhur, aman, damai, makmur, dan sejahtera sesuai

dengan peradaban atau standar kehidupan yang seharusnya berlaku

dalam masyarakat itu.

Sementara itu, Dt. Malako Nan Putiah (2007:6-10)

merumuskan pengertian etika Minangkabau itu dengan

mendasarkan pada beberapa pituah yang sangat dibenarkan oleh

akal sehat, baik dilihat dari sudut pandang dunia maupun akhirat.

Pituah tersebut adalah “Bajalan luruih, bakato bana. Malatakkan

sesuatu pado tampeknyo. Manimbang samo barek,mauji samo

merah. Janji ditapati, ikara dimuliakan”24 Atas dasar pituah atau

landasan ini, dirumuskan batasan etika Minangkabau sebagai

berikut:

Etika Minangkabau adalah kumpulan dari aturan-aturan dan

norma-norma kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan

hukum alam yang nyata, sesuai dengan hukum Islam, dibuat

berdasarkan mufakat, untuk mencapai kesempurnaan hidup di

dunia dan kehidupan di akhirat.25

24 Malako Nan Putiah, Julius, Mambangkik Batang Tarandam: Dalam Upaya Melestarikan

Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa, (Bandung: Penerbit Citra Umbara,

2007), h. 6-10. 25 Malako, Julius, Mambangkik Batang Tarandam, h. 10.

Page 66: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

43

D. Bentuk-bentuk Etika Minangkabau

Etika Minangkabau dikelompokkan ke dalam empat kategori, yang

sering juga disebut dengan Adat nan ampek:

1. Adat nan Sabana Adat (Etika Yang Sebenarnya)

Etika di Minangkabau adalah etika yang tidak lekang oleh

panas, tidak lapuk oleh hujan yaitu adat ciptaan Tuhan Yang Maha

Pencipta. Sebagaimana dikatakan dalam pepatah adat Minangkabau

“ikan adatnya berair, air adatnya membasahi, pisau adatnya melukai”

arti etika yang dimaksud disini adalah perilaku alamiah yang hidup

ditengah-tengah masyarakat sehingga menjadi ketetapan yang tidak

berubah.26

Adaik (adat) atau etika secara umum diartikan suatu aturan atau

perbuatan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu.27 etika dan

budaya Minangkabau yang sering dikatakan sebagai budaya unik di

dunia serta hanya satu-satunya budaya dengan etika yang berbeda

dengan suku-suku bangsa atau etnis yang ada di Indonesia. etika dan

budaya ini merupakan bagian kebudayaan Indonesia yang didukung

masyarakat beretnis Minangkabau, baik yang berada di wilayah

Minangkabau maupun yang berada di wilayah perantauan, kebudayaan

26 Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia; Meninjau Hukum Adat Minangkabau, (Jakarta:

Rineka Cipta, 1997), h. 5-6. 27 Gouzali Saydam, Kamus Lengkap Bahasa Minang Jilid I, (Padang: Pusat Pengkajian Islam

Dan Minangkabau, 2004), h. 3.

Page 67: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

44

Minangkabau merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar di

Nusantara yang sangat menonjol dan memberikan pengaruh.

Pada mulanya budaya dan etika Minangkabau masih bercorak

budaya animisme dan Hindu-Budha. Sejak kedatangan para putra

Minangkabau yang belajar Islam di Mekah pada akhir abad ke-18,

etika dan budaya Minangkabau ini diperjuangkan untuk menjadi adat

dan budaya dengan ajaran Islami. Putra Minangkabau ini adalah Haji

Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik. Dengan dimotori oleh para

ulama ini bersama ninik mamak dan cerdik pandai yang semula

berkonfrontasi (bertentangan) satu sama lain, akhirnya pada tahun

1830-an mereka bersepakat untuk mengubah etika dan budaya

Minangkabau menjadi etika yang islami sebagaimana yang

diperjuangkan oleh tiga ulama ini.28

Kesepakatan masyarakat Minangkabau ini ditandai dengan

adanya perjanjian di Bukit Marapalam yang sampai sekarang ini

dikenal oleh masyarakat Minangkabau sebagai Perjanjian Bukik

Marapalam. Setelah mengadakan perundingan tersebut, mereka

menghasilkan dokumen bersejarah yang mendasarkan etika dan

budaya Minangkabau pada syariat Islam yang bersumber dari al-

Qur’an dan Hadis Rasulullah Saw. Dengan adanya kesepakatan ini,

etika dan budaya serta segala sesuatu yang berkenaan dengan

28 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.

3-4.

Page 68: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

45

kehidupan suku Minangkabau harus sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Kesepakatan itu adalah adat basandi syarak, syarak basandi

kitabullah, syarak mangato adaik mamakai, dalam perjalanan waktu

dilengkapi dengan ungkapan alam takambang jadi guru, dan syarak

nan kawi adat nan lazim. Dengan kata lain, etika Minangkabau

bersumber dari ayat qauliyah (al-Qur’an yang diberi penjelasan

dengan hadis Rasulullah SAW). Sementara itu, ayat kauniyah

dijadikan sebagai salah satu sarana untuk dapat memahami ayat

qauliyah. Dengan demikian, semua etika dan budaya di tengah

masyarakat Minangkabau yang tidak sesuai dengan ajaran Islam

adalah adat jahiliyah dan harus direformasi sehingga bersesuaian

dengan ajaran Islam atau syariat Islam yang bersumber dari al-Qur’an

dan hadis Rasulullah SAW.29

Etika adat nan sabana adat ialah segala sesuatu yang telah

demikian terjadi menurut kehendak Allah SWT, jadi yang telah

merupakan undang-undang alam yang selalu abadi dan tidak berubah-

ubah.30

Etika adat nan sabana adat juga dapat diartikan sebagai apa

yang ada dalam firman Allah dalam kitab suci al-Qur’an dan Sunah

Nabi Muhammad SAW. Dengan artian adalah bahwa segala yang

tertuang dalam al-Qur’an dan Sunah adalah sebagai acuan dasar yang

29 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau,

h.4. 30 Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia, h. 5-6.

Page 69: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

46

tidak berubah, acuan yang kokoh, dan menyatu. Begitu pula dengan

apa yang tertulis di dalam tambo-tambo Minangkabau bahwa setiap

tingkah laku masyarakat Minangkabau bersandar kepada aturan etika

dan agama.31

Adat nan Sabana Adat merupakan etika Minangkabau paling

asli yang menjadi dasar penyusunan untuk tingkat adat-adat lain di

bawahnya. Adat nan sabana adat ini didasarkan kepada ajaran agama

ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa serta berdasarkan ajaran alam

masyarakat Minangkabau, sebuah ajaran yang dipakai sampai

sekarang ini yaitu “alam takambang jadi guru” yang kemudian hingga

akhirnya menjadi sebuah pegangan dan falsafah hidup orang

Minang.32 Seperti disampaikan dalam pepatah Minangkabau, yaitu:

“Adaik basandi syarak, Syarak basandi Kitabullah

Syarak mangato, adaik mamakai”.33

Dapat diartikan bahwa dari falsafah hidup yang dipakai oleh

orang Minangkabau, harus berdasarkan kepada syarak dan pedoman

hidup yang ada dalam kitab Allah (al-Qur’an), pemberlakuan etika

yang disesuaikan terhadap syariat sebagai pegangan hidup manusia.

Orang Minangkabau dengan benar meyakini bahwa cara terbaik

menjalani kehidupan adalah berpedoman kepada ayat qauliyah (al-

31 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau,

h. 3-4. 32 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek

Moyang Orang Minang, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2009), h. 148. 33 Idrus Hakimy, 1000 Pepatah Petitih, Mamang, Bidal Pantun, Gurindam, h. 4.

Page 70: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

47

Qur’an) dan Hadis Rasulullah sebagai rujukan utama atau sumber

primer, serta ayat kauniyah yang dibunyikan dalam masyarakat

Minangkabau dengan petatah dan petitih Minang yang berbunyi adat

basandi syarak, basandi kitabullah, alam takambang jadi guru, syarak

mangato adaik mamakai. Karena pedoman utama orang Minangkabau

adalah al-Qur’an dan Hadis.

Syarak yang dimaksud adalah syariat atau ajaran agama Islam.

Sementara itu, ayat kauniyah juga dijadikan sebagai rujukan

pendukung/sekunder sehingga muncullah ungkapan alam takambang

jadi guru. Bahwa manusia harus menjadikan alam semesta yang

terkembang atau ayat kauniyah sebagai guru juga merupakan isyarat

yang telah diberikan oleh al-Qur’an antara lain dengan firman Allah

SWT. Karena itu, orang Minangkabau diharamkan menjadikan hal-hal

yang bertentangan dengan syariat dijadikan pedoman dalam

kehidupannya segala sesuatu berselisih atau bertentangan dengan

ajaran Islam.

Kedudukan syarak adalah kekuatan untuk tegaknya adat di

Minangkabau, lalu muncul frasa “syarak nan kawi adaik nan lazim”,

hal ini bermakna bahwa aturan adat adalah aturan yang harus

disesuaikan dengan aturan syarak, aturan adat haruslah tunduk kepada

aturan syarak karena adat itu bersumber dari syarak (syarak nan kawi)

dan adat boleh saja berganti atau berubah sepanjang tidak menyalahi

syarak (adaik nan lazim). Adat sebagai aturan horizontal sesama

Page 71: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

48

manusia dan segala aturan adat yang tidak sesuai dengan aturan syarak

dengan sendirinya harus batal sebab kekuatan syarak (kawi/kuat)

adalah di atas kekuatan adat (lazim).34

etika yang dipakai di Minangkabau ada beberapa macam

perkara adat, salah satu adat yang menjadi sumber bagi etika lainnya

adalah adat yang sebenar adat ini (Adat nan Sabana Adat). Apa yang

berlaku dalam adat nan sabana adat itu adalah segala hal yang diterima

oleh nabi Muhammad SAW, adat nan sabana adat bersumber dari

firman-firman Tuhan dalam kitab suci-Nya.35 Dari sumber-sumber

tersebutlah etika atau adat yang sebenarnya disandarkan, sehingga

dikatakan:

Adat nan sabana adat

Indak lapuak dek hujan

Indak lakang dek paneh

Kok dicabuik indak mati

Kok diasak indak layua.36

(Adat yang sebenar-benarnya adat

Tidak lapuk oleh hujan

Tidak lekang oleh panas

Jika dicabut tidak mati

34 Saafroedin Bahar, ABS-SBK: Filosofi Hidup untuk Dipraktikkan Bukan Sekedar Konsep,h.

18. 35 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo,Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek

Moyang Orang Minang, h. 149. 36 Idrus Hakimy, 1000 Pepatah Petitih, Mamang, Bidal Pantun, Gurindam, h. 4.

Page 72: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

49

Jika dipindahkan tidak layu.)

Adat berdasarkan kepada syarak (syari’at)

Syarak berdasarkan kepada kitabullah (kitab Allah)

Syarak mengatakan, adat yang memakai.

Etika adat yang sabana adat yang terdapat dalam ayat-ayat

Allah dalam al-Qur’an dan hadis secara tersurat, juga terdapat dalam

ayat-ayat Allah yang disampaikan dengan tersirat (tidak tersurat).

Ayat-ayat Allah yang tersirat adalah ayat-ayat Allah yang ditebarkan

ke dalam alam semesta termasuk diantaranya Sunnatullah atau

ketentuan-ketentuan, atau hukum alam yang meliputi jagad raya.

Sebab dengan begitu kuatnya adat nan sabana adat ini menjadi

landasan utama hukum etika Minangkabau.

Begitupun demikian sebagian besar peradilan etika diambil dan

berpedoman dari kitab suci, tidak lepas dari situasi dan kondisi

masyarakat dan berdasarkan kebijaksanaan para “cadiak pandai”

kaum adat pada masa dahulu. Meskipun pada masa dahulu itu belum

ada pendidikan hukum dalam tingkatan yang tinggi disertakan sarana

dan prasarana yang mendukung pendidikan tersebut, tetapi para

terdahulu sudah dapat menyusun peraturan-peraturan yang

diberlakukan untuk masa-masa kedepannya tanpa dapat dirubah

(kekal), tanpa ada bukti tertulis di atas kertas, hanya dihapalkan

sehingga menjadi pedoman hidup yang kuat bagi orang-orang

Minangkabau, dan dari sinilah kiranya masyarakat berpedoman

Page 73: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

50

kepada alam yang melekat pada sebuah pepatah Minangkabau “alam

takambang jadi guru”.

Pada masa itu pula lah dirembuk dan ditentukannya istilah-

istilah hukum seperti apa-apa yang sah dan batal, halal dan haram,

sunah dan wajib, dakwa dan jawab, saksi dan bainah (bukti yang

nyata), serta hukum-hukum lainnya yang berlaku dalam kehidupan

sehari-hari bagi orang Minangkabau baik dalam kehidupan sosial

bermasyarakat, beradat dan bernagari, dan sampai kepada hal-hal yang

menyangkut kehidupan pribadi setiap masyarakat di Minangkabau.37

Sesuai dengan sumpah satie Bukit Marapalam, masyarakat

Minangkabau telah sepakat menjadikan syariat agama Islam menjadi

pedoman kuatnya adat di nagari oleh masyarakat Minangkabau. Dalam

hal-hal yang terdapat perbedaan atau pertentangan antara kaidah ajaran

Islam dengan etika Minangkabau, maka yang diutamakan adalah

kaidah ajaran Islam, penyesuaian antara etika Minangkabau dengan

kaidah ajaran Islam dilakukan secara damai, bertahap, dan melalui

jalan musyawarah untuk mufakat, sehingga pada suatu saat di masa

depan syarak akan menjadi adat. Ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak

Basandi Kitabullah merupakan jati diri dan identitas kultural

Minangkabau, yang menjadi rujukan dalam kehidupan pribadi,

37 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo,Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek

Moyang Orang Minang, h. 149.

Page 74: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

51

keluarga, suku, dan masyarakat Minangkabau, di Ranah Minang dan

di rantau.

Penyesuaian etika dengan syarak ini adalah termasuk bagian

dari adat nan sabana adat atau adat nan sabatang panjang, dicabui

indak mati, diinjak indak layua, indak lapuak dek hujan, indak lakang

dek paneh, dan berlaku di seluruh Minangkabau.38

2. Adat nan Diadatkan (Etika Nenek Moyang)

Adat nan diadatkan adalah etika buatan yang direncanakan,

dirancang, dan disusun oleh nenek moyang orang Minangkabau untuk

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Aturan yang berupa adat nan

diadatkan disampaikan dalam pepatah dan petitih, mamangan, pantun,

dan ungkapan bahasa yang berkias.39

Di daerah Minangkabau, etika ini pada umumnya dikenal

dengan kaidah, peraturan, ajaran, undang-undang dan hukum yang

ditetapkan atas dasar “bulat mufakat” (kesepakatan) adat yang dibuat

oleh orang ahli pengatur tata alam Minangkabau, para penghulu tua-

tua adat cerdik pandai dalam majelis kerapatan adat atas dasar alur dan

patut.

38 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau,

h.47-48. 39 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek “Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang

Minang”, h. 39.

Page 75: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

52

Orang Minangkabau mempercayai dua orang tokoh sebagai

perancang, perencana, dan penyusun adat nan diadatkan, yaitu Datuak

Perpatih Nan Sabatang dan Datuak Katumangguangan. Masyarakat

Minangkabau juga mempunyai adat lembaga yang sangat baik yang

telah diatur oleh ninik Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatih

Nan Sabatang. Kedua ninik inilah yang menjadi payung panji bagi

orang Minangkabau secara turun temurun sejak zaman dahulunya.

Etika adat yang diadatkan ini diterima dari ninik Datuk

Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang, adat yang

diadatkan ini pun disusun berdasarkan dari adat yang sebenar adat

yang didukung dengan kesepakatan para pemuka adat lainnya pada

waktu itu.40

Pada saat perancangan dan penyusunan itu pulalah, ditetapkan

bahwa susunan etika itu harus diterima oleh seluruh anak kemenakan

dan tidak boleh diubah-ubah. Kalaupun diperlukan perubahan, maka

yang akan mengubahnya hanya boleh oleh yang menyusun dan

menyepakati pada pertama kali. Dengan demikian, sampai saat

sekarang etika yang diadatkan itu harus diterima oleh seluruh generasi

karena tidak mungkin dirubah lagi, sebab para ninik moyang yang

telah menyusun dan yang berhak mengubahnya ini sudah tidak ada

40 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek

Moyang Orang Minang, h. 150.

Page 76: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

53

lagi. Untuk etika yang diadatkan ini sebuah pepatah-petitih

Minangkabau mengatakan:

“Adaik nan diadaikkan

Kok dicabuik mati

Kok diasak layua.”

(Adat yang diadatkan

Kalau dicabut akan mati

Kalau digeser akan layu).

Artinya, apabila ada pihak-pihak mana saja yang mencoba

menghapus atau mengubah adat yang diadatkan ini maka akan

menimbulkan kerusakan, kemudaratan kepada orang tersebut.

Begitupun jika ada pihak-pihak yang menghapus atau bahkan

melakukan perubahan adat yang diadatkan maka hal tersebut akan

menghancurkan adat Minangkabau.41

Inti dari etika adat nan diadatkan yang dirancang oleh Datuak

Perpatih Nan Sabatang ialah demokrasi, berdaulat kepada rakyat, dan

mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Sedangkan etika yang

disusun oleh Datuak Katumangguangan ialah pada intinya

melaksanakan pemerintahan yang berdaulat ke atas, otokrasi namun

tidak sewenang-wenang. Sepintas, kedua konsep etika tersebut

berlawanan. Namun, dalam pelaksanaannya kedua konsep itu bertemu,

41 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek

Moyang Orang Minang, h. 150

Page 77: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

54

membaur, dan saling mengisi. Gabungan keduanya melahirkan

demokrasi yang khas Minangkabau. Penggabungan kedua sistem ini

ibarat hubungan legislatif dan eksekutif pada pemerintahan saat ini.

Diungkapkan dalam ajaran Minangkabau, sebagai berikut:

“Bajanjang naiak, batanggo turun.

Naiak dari janjang nan di bawah,

Turun dari janjang nan di ateh`

Titiak dari langik, tabasuik dari bumi.”

Dengan tangga naik, dengan tangga turun.

Naik dari tangga yang di bawah,

Turun dari tangga yang di atas.

Rintik dari langit, terbesit dari bumi.

3. Adat nan Taradat (Etika Hasil Musyawarah)

Adat nan Taradat atau Adat yang teradat ialah aturan-aturan

etika yang disusun dengan hasil musyawarah mufakat penghulu-

penghulu ninik mamak di tiap-tiap nagari di Minangkabau. Peraturan-

peraturan etika tersebut bertujuan untuk melaksanakan aturan-aturan

atau hukum-hukum dasar dari adat nan diadatkan oleh nenek moyang

yang menciptakan etika Minangkabau tersebut, karena yang

disebutkan hanya hukum dasar dan pokoknya saja, dengan sendirinya

setiap Nagari harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisinya.

Sehingga aturan adat nan teradat ini tidak sama coraknya di setiap

Page 78: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

55

nagari Minangkabau, sebagaimana yang diungkapkan dalam pepatah

yang berbunyi “lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain

hilalangnyo, lain nagari lain adatnyo” artinya, aturan pelaksanaan

etika di setiap Nagari akan berbeda antara satu dengan yang lain.

Walaupun berbeda dalam aturan pelaksanaannya, namun tidak berbeda

tentang dasar hukumnya, yakni sama-sama berdasarkan adat nan

didatkan oleh nenek moyang yang menciptakannya.42

Adat yang teradat merupakan etika yang dipakai dalam

seluhak, senagari, selaras. Di sini terpakainya:

“Cupak sapanjang batuang.

Adaik nan sapanjang jalan.”

Cupak sepanjang bambu.

Adat sepanjang jalan.

Pepatah orang tua-tua Minangkabau juga mengatakan:

Dima sumua digali, di situ rantiang dipatah.

Dima bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang.

Dima nagari dihuni, di situ adaik dipakai.”

Di mana sumur digali, di situ ranting dipatah

Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung

Di mana nagari dihuni, di sana adat dipakai.

42Idrus Hakimi, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, (Bandung:

Remaja Rosda Karya, 1997), h. 110.

Page 79: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

56

Adat yang teradat tersebut tidak boleh bertentangan dengan

adat yang sebenar adat dan adat yang diadatkan. Bahkan adat yang

teradat di dalam Nagari ini haruslah memperkuat etika terdahulu (adat

yang sebenar adat, dan adat yang diadatkan) di atasnya. Ketentuan-

ketentuan yang telah ditetapkan oleh adat yang sebenar adat dan adat

yang diadatkan itu tetap dijalankan di setiap Nagari. Namun masing-

masing Nagari dapat menambah persyaratannya, dengan syarat pun

tambahan tersebut tidak bertentangan dengan etika yang dua di atas.

Dengan demikian, adat yang teradat itu belum tentu sama pada nagari

yang satu dengan Nagari yang lainnya. Adanya perbedaan tersebut

dimungkinkan menurut pepatah yang berbunyi:

Adaik sapanjang jalan

Cupak sapanjang batuang

Lain lubuak lain ikannyo

Lain padang lain ilalang

Lain nagari lain adaiknyo.

(Adat sepanjang jalan

Cupak sepanjang bambu

Lain kolam lain ikannya

Lain padang lain belalangnya

Lain nagari lain adatnya).

Page 80: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

57

Etika adat yang teradat juga tidak boleh berubah. Kalau

memang perlu dirubah, maka ninik mamak/penghulu dalam nagari

harus bermusyawarah terlebih dahulu. Tidak boleh diputuskan sendiri-

sendiri sekalipun dia seorang penghulu yang dulunya ikut menyepakati

adat itu. Kalau ada kesepakatan bersama yang matang di dalam nagari

bersama para ninik mamak/penghulu maka barulah Adat yang teradat

tersebut dapat dirubah.

4. Adat Istiadat (Etika Kaum/Nagari)

Setiap kumpulan individu dalam sebuah daerah atau tempat

yang sering kita sebut dengan istilah masyarakat tentu memiliki

kebiasaan dan hal-hal yang turun temurun diajarkan kepada anak-anak,

cucu keturunannya, sampai kepada yang paling kecil untuk nanti

diajarkan kembali kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam sebuah

daerah, hal tersebut dikembangkan dari orang-orang tertua pada masa

dahulunya yang merangkak dari satu ke satu lainnya, kelompok

kepada kelompok-kelompok lainnya hingga menjadi hal yang

dibiasakan dalam sebuah tempat tersebut. Turun temurun mengikuti

langkah tertua yang tidak berubah sekalipun telah berganti-ganti tetuah

dan masanya.

Adalah Adat Istiadat, etika yang dibiasakan dalam suatu

Nagari (di daerah Minangkabau) atau daerah-daerah dan tidak tetap

Page 81: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

58

seperti itu saja dari masa ke masa.43 Pengertian lainnya menyebutkan,

Adat Istiadat adalah etika yang bisa diubah sesuai dengan

perkembangan zaman, yaitu etika yang dipakai dalam seluhak atau

daerah yang tidak tetap.44 Seperti dalam sebuah pepatah Minang:

Sakali aia gadang sakali tapian baranjak

Sakali musim bertukar sakali caro baganti

Hukum biaso dibanding

Undang biaso dikarasi

Limbago biaso dituangi

Cupak bakaadaan.

(Sekali air besar sekali tepian beranjak

Sekali musim bertukar sekali cara berganti

Hukum biasa dibanding

Undang biasa dikarasi

Lembaga biasa dituangi

Cupak berkeadaan.)

Ada kelapangan dalam pelaksanaan etika yang dinamis, karena

etika adalah sebuah hasil kesepakatan dalam nagari, namun dalam

etika ada yang tidak boleh dirubah, yakni adat nan sabana adat dan

adat nan diadatkan. Artinya, etika tersebut adalah apa yang sudah

43 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek

Moyang Orang Minang, h. 152. 44 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek“Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang

Minang”, h. 37.

Page 82: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

59

menjadi dasar etika yang lahir dari jiwa syarak, dan adat tersebut

adalah ketentuan yang sudah baku.45 Seperti di dalam pepatah,

dikatakan:

“Babungkuih bakabek arek,

Babuhua jo babuhua mati,

Bungkuih nan indak kabakambang,

Buhua nan indak kabaungkai.”

(Dibungkus diikat kuat,

Dibuhul dengan buhul mati/ sangat kuat,

Bungkusan yang tidak akan berkembang,

Buhul yang tidak akan dilepas.)

Lain halnya dengan adat lainnya, yang bisa dirubah, ditambah,

dan atau dikurangi sesuai perkembangan zaman, namun demikian

tidak semua orang bisa mengubah begitu saja, harus melalui

kesepakatan etika berdasarkan musyawarah ninik mamak.

Maksudnya adalah, walaupun ikatannya tidak kuat atau

buhulnya sentak, tetapi jangan coba-coba mengubah etika tanpa

dibuka oleh pemuka adat yang berhak untuk melakukannya, karena

apabila dirubah sembarangan maka dapat menimbulkan masalah

ditengah nagari.46

45 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek“Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang

Minang”, h. 37-38. 46 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek

Moyang Orang Minang, h. 152-153.

Page 83: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

60

Hukum kitabullah biasa mencari kuat dan daif dalil yang

mengatakan: “Apabila hukum yang jatuh kepada dua orang yang

berkesumat, biasa dibanding, dibawa serantau hilir serantau mudik.

Dan limbago yang jatuh kepada kedua orang itu biasa dituangi.”

Jiko jauah buliah ditunjuaki

Dakok buliah diraso

Jiko mati ka tampek basumpah

Jiko hiduik ka tampek batanyo.

(Jika jauh boleh ditunjuki

Dekat boleh dirasakan

Jika mati akan tempat bersumpah

Jika hidup akan tempat bertanya.)

Adapun cupak47 yang jatuh kepada orang yang berkesumat.

Biasa menilik kuat dan daif (lemah), keterangannya sebelah

menyebelah yakni bandingan juga namanya. Karena etika itu juga

berdasarkan kepada Kitabullah, dan limbago boleh diturun dinaikkan.

Bagaimana turun naiknya dan tinggi rendahnya kepada orang tua-tua

di nagari, itulah sendinya atau dasarnya;

47 Cupak dalam adat Minangkabau memiliki makna dasar dengan cupak yang sesungguhnya

yaitu alat ukur atau takaran.Cupak adat adalah berupa alat ukuran bisa dikatakan sebuah aturan

mengenai pergaulan dalam kehidupan sehari-hari di Minangkabau.

Page 84: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

61

Undang-undang berbatu intan

Adat bersendi

Syarak bersendi dalil

Cupak berkeadaan

Kata-kata ini mengandung makna yang sangat dalam dan amat

sukar memutuskan arti kata-kata itu semenjak orang tua-tua dahulu.

Oleh sebab itu dikatakan orang ‘kata pusaka’. Barang siapa yang

menaruh dan memakai kata-kata itu, niscaya dia akan menjadi

pemimpin dan ikutan orang banyak meskipun yang bersangkutan

masih belum baligh, karena diyakini dia pasti cerdik pandai.

Page 85: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

62

BAB III

GAMBARAN TENTANG TUNGKU TIGO SAJARANGAN

A. Definisi Tungku Tigo Sajarangan

Istilah Tungku Tigo Sajarangan adalah bahasa kiasan terhadap sistem

kepemimpinan di Minangkabau. Tungku adalah tempat masak yang terdiri dari

tiga buah batu yang sama tingginya dan baru dapat berfungsi sebagai tempat

masak apabila sudah lengkap ketiga batunya (Saydam, 2004: 403).

Tungku Tigo Sajarangan adalah kepemimpinan kolektif masyarakat

Minangkabau, terdiri dari ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, dan lain-

lainnya yang dianggap perlu. Tungku Tigo Sajarangan sebagai kepemimpinan

sosial masyarakat Minangkabau saling bekerjasama dengan penyelenggara

Negara Kesatuan Republik Indonesia guna menyusun program jangka

menengah sampai panjang. 1

Tungku Tigo Sajarangan merupakan forum musyawarah kepemimpinan

sosial dan etika Minangkabau yang terpadu dari unsur niniak mamak, alim

ulama, cadiak pandai, ditambah dengan unsur bundo kanduang dan kaum muda

yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama dalam suatu nagari yang ada

di Minangkabau.

1 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,

Syarak Mangato, Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru, (Jakarta: Penerbit Gebu Minang, 2011),

h. 111

Page 86: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

63

Tungku Tigo Sajarangan melaksanakan segala perumusan etika, tugas

pokok, fungsi dan lainnya yang berhubungan dengan masyarakat dan nagari

dapat berkiprah baik secara perorangan atau sendiri-sendiri atau juga adapt

secara bersama sebagai suatu kesatuan. Sebelum berperkara di pengadilan

negeri, menurut tingkatnya Tungku Tigo Sajarangan dapat melakukan mediasi

terhadap sengketa sako dan pusako yang diajukan oleh pihak-pihak yang

bersengketa dalam masyarakat Minangkabau. 2

B. Sejarah Tungku Tigo Sajarangan di Minangkabau

Kepemimpinan di Minangkabau yang terdiri dari tiga luhak3 dan rantau-

rantau baik di rantau barat maupun di rantau timur bentuk etika adalah Tungku

Tigo Sajarangan, yang terdiri dari Niniak Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak

Pandai/cendikiawan atau intelektual yang tugas mereka adalah melayani anak

nagari. Kepemimpinan di Minangkabau pada dasarnya lebih menekankan pada

kepentingan bersama yang memberi perlindungan kepada masyarakat baik

kaum, suku, maupun masyarakat nagari, bukan menekankan pada kepentingan

pihak yang dianggap melindungi. Tungku Tigo Sajarangan memiliki kewajiban

menciptakan suasana yang membuat anak nagari di seluruh alam Minangkabau

2 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,

Syarak Mangato, Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru, h. 109. 3 Luhak adalah wilayah konfederasi dari beberapa nagari di Minangkabau yang terletak di

pedalaman Sumatra Barat, wilayah ini merupakan pemukiman awal penduduk Minangkabau yang

dikenal dengan istilah darek (bahasa Indonesia: darat) untuk membedakannya dengan wilayah rantau

Minangkabau baik Rantau Pasisie di sepanjang pantai Barat Sumatra maupun Rantau Hilie di wilayah

Riau dan bagian barat Jambi. Dalam Tambo Alam Minangkabau, Luak memiliki makna Urang atau

berkurang.

Page 87: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

64

merasakan suatu perlindungan dari segala sesuatu yang mengganggu mereka.

Kekuasaan adalah pengabdian pada rakyat bukan untuk diri penguasa atau

pemimpin.

Etika Minangkabau dalam kepemimpinan dan kekuasaan bagi masyarakat

Minangkabau, seorang pemimpin di Minangkabau menempatkan diri secara

sentrifugal yang berarti bahwa seorang pemimpin yang menempatkan diri

untuk orang yang dipimpinnya, untuk seluruh bagian masyarakatnya, bukan

menjadi pemimpin yang sentripetal atau pemimpin yang menjadikan

masyarakatnya untuk kepentingan dirinya. Di Minangkabau, pemimpin adalah

orang yang didahulukan salangkah ditinggikan sarantiang, tumbuah dek

ditanam tinggi dek dianjuang gadang dilambuak. Seperti sebuah pantun yang

berbunyi:4

Dahan kamuniang bialah patah

Asa mangkudu jan punah

Di lahia rajo nan di sambah

Di batin rakyaik nan mamarintah

Dahan kemuning biarlah patah

Asalkan mengkudu jangan punah

Secara lahir raja yang disembah

Secara batin rakyat yang memerintah

4 Madjo Indo, Kato Pusako (Papatah, Patitih, Mamang, Pantun Ajaran, dan Filsafat

Minangkabau), (Jakarta: PT Rora Karya, 1999), h. 150.

Page 88: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

65

Orang Minangkabau lazim menyebut kampung halamannya dengan Alam

Minangkabau atau Ranah Minang yang sekarang merujuk kepada daerah

Sumatera Barat dan beberapa wilayah di luar Sumatera Barat yang memiliki

kesamaan adat dan budaya. Minangkabau yang dahulunya dipimpin oleh raja-

raja yang berbentuk tiga serangkaian yang disebut dengan Rajo Nan Tigo Selo,

yaitu Rajo Alam, Rajo Adat, Rajo Ibadat yang disebut dalam istilah Rajo nan

Tigo Selo.

Sistem Rajo Tigo Selo konon kabarnya, pada mulanya dipraktikkan di

Kerajaan Pagarruyuang yang terdiri dari tiga raja, yaitu: Rajo Alam, Rajo Adat,

dan Rajo Ibadat. Rajo Alamatau Raja Alam ialah sebagai yang dipertuankan

Pagarruyuang merupakan pimpinan tertinggi yang mengurusi kerajaan secara

keseluruhan atau kepala kepemerintahan yang digelari dengan Yang

Dipatuankan Basa dan dianggap sebagai primus inter pares atau yang

terpenting di antara yang sama derajatnya, Rajo Adatatau Raja Adat mengatur

tentang adat istiadat pemegang urusan undang-undang dan hukum, dan Rajo

Ibadat atau Raja Ibadah adalah pemegang urusan keagamaan yang mengatur

tata kehidupanagar tidak keluar dari adat basandi syarak, syarak basandi

kitabullah, syarak mangato, adat mamakai, dan alam takambang jadi guru,

syarak nan kawi, dan adat yang lazim. Tungku Tigo Sajaranganyang berakar

pada sistem Rajo nan Tigo Seloini dengan berbagai variasinya yang kabarnya

telah diberlakukan juga di Luhak Nan Tigo dan di daerah rantau sejak zaman

dahulu. Raja-raja yang berbentuk tiga serangkai yang merupakan sistem

Page 89: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

66

kepemimpinan Minangkabau yang biasa disebut dengan tungku tigo

sajarangan ini disebut dengan Rajo nan Tigo Selo.5

Rajo nan Tigo Selo berarti Raja yang Tiga Sila, yaitu raja-raja yang

memiliki kedudukan, fungsi, dan peran yang sama rata untuk anak alam

Minangkabau. Difilosofikan dalam kata “selo” yang berarti cara duduk laki-

laki Minangkabau yang bersila, tidak ada yang lebih tinggi ataupun rendah,

lebih besar atau kecil, kedudukan dan pangkat raja tersebut sama dalam

mendidik dan mengayomi anak-anak alam Minangkabau. Gelar dan fungsi

sitem kepemimipina Rajo nan Tigo Selo ini diwariskan dan turun temurun

secara patrilineal dari ayah kepada anaknya, dalam menjalankan tugasnya, tiga

serangkai ini dibantu oleh sebuah dewan menteri yang disebut dengan Basa

Ampek Balai dan pusat pemerintahan berkedudukan di Pagarruyuang. Dewan

menteri yang menjadi topangan selanjutnya dalam membantu pemimpin

Tungku Tigo Sajarangan adalah Bandaharo dari Sungai Tarab, Tuan Kadi dari

Padang Ganting, Mangkudum dari Sumanik, dan Indomo dari Saruaso, dan

ditambah dengan Tuan Gadang dari Batipuh yang dipercayakan untuk urusan

pertahanan keutuhan wilayah Minangkabau. Kerajaan dengan Rajo nan Tigo

Selo ini runtuh dan musnah ketika terjadi Perang Padri pada tahun 1820-an

sehingga berakhirlah pemerintahan kerajaan di Alam Minangkabau.6

5 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di Minangkabau, h.

222-223. 6 Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 1979), h. 17.

Page 90: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

67

Pada masa sekarang ini, Tungku Tigo Sajarangan diperankan oleh Ninik

Mamak yang dipresentasikan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam

Minangkabau (LKAAM), Alim Ulama oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Sumatera Barat, dan Cadiak Pandai yang terdiri para akademisi, budayawan,

cendikiawan, dan termasuk di dalamnya Bundo Kandung. Ketiga unsur

kepemimpinan ini memiliki kedudukan yang setara, tetapi memang perlu

disatukan dalam satu wadah agar komunikasi dapat berjalan secara efektif.

Penyatuan LKAAM, MUI Sumatera Barat, dan cadiak pandai dalam satu

wadah yang dapat saja disebut dinamakan kembali baik Tungku Tigo

Sajarangan, Tigo Tali Sapilin maupun Badan Musyawarah Adat, Syarak dan

Ilmu Pengetahuan, bukan berarti mempersempit ruang gerak ketiga unsur ini,

tetapi malah sebaliknya yaitu memperkuat serta mensinergikan tiga kekuatan

tersebut. 7

Pengurusan syarak, adat, dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisah-

pisahkan di Alam Minangkabau karena fatwa adat tidak memisah-

misahkannya, juga agar pengambilan keputusan berkenaan dengan adat dan

syarak dapat dilakukan dengan cepat serta hasil keputusan dapat memecahkan

persoalan secara holistik. Untuk pengaturan pemimpinan lembaga gabungan ini

dapat diatur secara secara bergiliran antara ketua MUI Sumatera Barat, ketua

LKAAM Sumatera Barat, dan cerdik pandai Minangkabau.8

7 Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, h. 19. 8 Madjo Indo, Kato Pusako (Papatah, Patitih, Mamang, Pantun Ajaran, dan Filsafat

Minangkabau), h. 152.

Page 91: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

68

C. Kedudukan Tungku Tigo Sajarangan

Tungku Tigo Sajarangan, Tali Tigo Sapilin terdiri dari ninik mamak, alim

ulama, dan cadiak pandai. Kedudukan yang ditempatkan dan dijalankan sesuai

oleh masing-masingnya memiliki pola yang berbeda-beda, sebagai berikut:9

a. Kepemimpinan ninik mamak mengikuti pola yang telah digariskan adat

secara berkelanjutan “patah tumbuh, hilang berganti” dalam kaum

masing-masing. Kepemimpinan ini dibunyikan dalam pepatah “tinggi

tampak jauah, gadang tampak dakek, ba padang laweh ba alam leba,

nan tinggi dek dianjuang, nan gadang dek diambak”.

b. Kepemimpinan alim ulama merupakan suluah bendang dalam nagari,

palito nan indak panah padam, nan manunjuak mangajari untuk

bajalan luruih, bakato bana. Alim ulama memiliki kewajiban untuk

membimbing masyarakatnya agar selamat hidup di dunia dan di akhirat

sesuai dengan ajaran agama Islam. Alim ulama utamanya harus

memiliki pengetahuan agama Islam yang mumpuni dan memiliki ilmu

alat yaitu Nahu, Sharaf, dan sebagainya untuk menguasai bahasa Arab

dalam mempelajari wajib, sunat, dan harus, sah, dan batal, serta halal

dan haram sesuatu dari sumber aslinya. Mereka juga mempunyai tugas

untuk mengawasi apakah syarak mangato adat mamakai berjalan

dengan baik di dalam masyarakatnya.

9 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di Minangkabau, h.

170-171.

Page 92: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

69

c. Kepemimpinan cadiak pandai terdiri dari orang-orang yang memiliki

pengetahuan yang luas dan cerdik serta cerdas menyelesaikan masalah

yang ada dalam masyarakatnya. Cerdik pandai adalah problem solver

yang handal bersama ninik mamak dan alim ulama sehingga “adat

basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat

mamakai, alam takambang jadi guru adat nan lazim syarak nan kawi”

diamalkan dan berjalan dengan baik bukan hanya sekedar dokumen

yang dibaca ketika ada acara seremonial.

Pemerintahan di Minangkabau pada dasarnya lebih menekankan

pada kepentingan bersama yang memberi perlindungan kepada

masyarakat, baik kaum, suku, maupun masyarakat nagari. Sistem ini

bukan menekankan kepada kepentingan pihak yang dianggap

melindungi yang disebut orang-orang besar, yang pada tingkat suku dan

nagari umumnya terdiri dari penghulu. Orang-orang besar pada

tingkatan kerajaan terdiri dari basa yang ampek balai, yaitu ulama,

kepala adat, hakim, dan panglima perang.

Mereka ini disebutkan sebagai:

Kayu gadang di tangah padang

Urek tampek baselo

Dahan tampek bagantuang

Daun tampek balinduang

Batang tampek basanda.

Page 93: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

70

Kayu besar di tengah padang

Akarnya sebagai tempat duduk bersila

Dahannya tempat bergantung

Daunnya tempat berlindung (ketika panas)

Batangnya sebagai tempat bersandar.

Pada tingkat kerajaan, raja hanyalah simbol kebesaran dari daerah

gabungan unit-unit yang terdiri dari nagari-nagari yang masing-masing

bediri sendiri dan bekerjasama mengatur kepentingan bersama. Artinya,

kerajaan itu ada karena adanya nagari-nagari bukan sebaliknya dan sifatnya

hanya sebagai lambang dan yang berbentuk konfederasi. Hal itu juga

bermaknakan bahwa kekuasaan di Minangkabau adalah mengabdi kepada

rakyat bukan untuk kepentingan raja dan keluarganya. Konfederasi yang

dimaksud adalah bahwa kerajaan yang ada adalah gabungan dari nagari-

nagari yang dibentuk untuk mengatur kepentingan bersama, tetapi masing-

masing tetap memiliki kedaulatan penuh.10

Kategori atau Langgo Langgi pemerintah yang berbentuk Rajo Nan

Tigo Selo atau yang disebut dengan sistem kepemimpinan Tungku Tigo

Sajarangan, pembagian atau pemecahan ini dilakukan hanya pada peran

dan kedudukannya dalam nagari, bukan pada kualitas keilmuan atau

intelektualitas atau harus mumpuni dalam ketiga bidang ini. Begitu juga,

bukan pada kualifikasi umur. Sebab, mungkin saja ninik mamak tersebut

10 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di Minangkabau,

h.172.

Page 94: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

71

umurnya masih terbilang muda tetapi ilmu dan pengetahuannya tentang

adat, agama, dan kecendikiawanannya lebih baik. Pun, pembagian ini

bukan serta merta dalam hal gender.11

Seorang pemimpin harus benar-benar orang terbaik dalam

kelompoknya sebab dia adalah teladan dan panutan “pai tampek batanyo,

pulang tampek mambarito”. Pemimpin memiliki tanggung jawab dan

kewajiban yang harus diingat sepanjang hayatnya sebab ia adalah “kayu

gadang di tangah padang, urek tampek baselo, dahan tampek bagantuang,

daun tampek balinduang, dan batang tampek basanda”. Seorang pemimpin

di Minangkabau akan terjaga nama baiknya apabila mematuhi aturan

hukum sesuai dengan kepatutan dan melaksanakan aturan hukum itu pada

situasi dan kondisi yang tepat (alua jo patuik) yang berpedoman kepada al-

Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW.

Seorang pemimpin harus mematuhi ketentuan perjanjian yang

disepakati (jalan nan pasa). Pemimpin harus menggunakan kekayaan dan

harta benda kaum secara bertanggung jawab untuk kemakmuran kaum dan

menggunakan pusaka yang merupakan warisan dari mamak-mamak

terdahulu yang berbentuk benda-benda kehormatan sesuai dengan aturan

dan pada tempatnya (harato jo pusako).

11 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.

195.

Page 95: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

72

Pemimpin harus memelihara dan menjaga kemenakan agar berguna

bagi dirinya dan berguna bagi orang lainnya. Pemenuhan kewajiban

pemimpin terlihat apabila orang yang di bawah kepemimpinannya menjaga

martabat atau marwahnya, yaitu kehormatan jabatannya sebagai pemimpin.

Ini mempunyai makna bahwa terhormat atau tidak terhormatnya seorang

pemimpin dapat dilihat dari penghormatan yang dilakukan oleh masyarakat

terhadap dirinya sebagai pemimpin. Itulah sebabnya, pemimpin di

Minangkabau dikatakan “tumbuh karano ditanam, tinggi karano

dianjuang, gadang karano diambak/dilambuak”. Dengan demikian,

marwah pemimpin akan terjaga dengan baik apabila dia sendiri

melaksanakan tugas dengan baik dan benar serta masyarakat selalu menjaga

dan memelihara nama baik serta kehormatan kepemimpinannya.12

Tungku Tigo Sajarangan, dalam memimpin kehati-hatian dan

kecermatan dalam berkata dan bertindak merupakan kunci keberhasilan.

Mereka harus mempunyai pantangan yang tidak boleh dilanggar, sebab

pelanggaran terhadap hal tersebut membawa kerugian bagi diri sendiri dan

masyarakat. Mamangan tentang ini berbunyi:

Mamerah-merahkan muko,

Mahariak mahantam tanah,

Manyinsiang langan baju,

Balari-lari,

12 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.

236.

Page 96: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

73

Mamanjek-manjek,

Manjunjuang kapalo.

Memerah-merahkan wajah

Menghardik menghantam tanah

Menyinsingkan lengan baju

Berlari-lari

Memanjat-manjat

Menjunjung kepala.

Mamangan ini menjelaskan bahwa tantangan seorang pemimpin

“mamerah-merahkan muko” seorang pemimpin tidaklah boleh emosional

atau mudah marah (pendek sumbu) terhadap apa yang dihadapinya tanpa

tahu yang sebenarnya, seorang pemimpin mestilah memiliki jiwa yang

lapang dalam menerima setiap persoalan hidup dan masyarakat.

Seorang pemimpin tidak boleh sembarang menerima langsung kabar

berita yang tidak jelas kebenarannya. “mahariak mahantam tanah” seorang

pemimpin tidak boleh berbicara dengan membentak-bentak, berbicara

menjustifiksi terhadap hal-hal yang sekalipun jelas salahnya, seorang

pemimpin mestilah berbicara dengan bijaksana dan berbicara dengan

santun. Manyinsiang langan baju bahkan saat sedang bekerja, seorang

pemimpin tidak boleh menyinsingkan lengan bajunya, ia tetap harus

berwibawa dalam berpakaian dan menunjukkan kewibawaannya sebagai

seorang pemimpin “balari-lari, mamanjek-manjek, manjunjuang jo

kapalo”, seorang pemimpin mestilah memperhatikan bagaimana

Page 97: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

74

menunjukkan kewibawaannya dalam masyarakat termasuk dengan tidak

berlari-lari meski dalam kondisi bagaimanapun, tidak memanjat-manjat,

dan bersikap tenang dengan tidak menjunjung tangan di atas kepalanya.

Hal ini masih sangat relevan dengan kepemimpinan sekarang meskipun

dalam menjalankan tugas kenegaraan. Seorang pemimpin harus

menghindari segala sifat-sifat yang tercela. Dengan demikian, seorang

pemimpin harus orang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang mumpuni,

baik tentang adat maupun syarak (agama Islam), tetapi bukan untuk

diselewengkan. Seorang pemimpin harus cerdik dan cerdas sebab dengan

dua hal ini, ia dapat terhindar dari berbagai persoalan yang dapat

menjeratnya karena ketidakhati-hatian dalam menyikapi tata aturan dan

konstelasi politik kekuasaan yang berjalan sehingga itu dapat direkayasa

seperti melakukan pelanggaran hukum. Setiap pemimpinakan dimintai

pertanggungjawaban terhadap kepemimpinannya oleh Alah SWT.

Penghisaban terhadap kepemimpinannya oleh Allah SWT setelah

semua yang dipimpinnya dihisab lebih dahulu. Karena itu, pertimbangan

yang baik perlu dilakukan sebelum menerima jabatan. Seseorang harus

menghitung dengan baik apakah dia mampu memikul kepemimpinannya itu

dan mempunyai keahlian melaksanakannya. Kualifikasi seorang pemimpin

yang tepat dan berkualitas akan terlihat pada perilaku yang santun,

kebijakan yang menyenangkan sehingga akan dapat dipertanggung

jawabkan secara intelektualitas dan moralitas.

Page 98: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

75

D. Tungku Tigo Sajarangan sebagai Badan Musyawarah Adat, Syarak, dan

Ilmu Pengetahuan di Minangkabau.

Kepemiminan Tungku Tigo Sajarangan sebagai badan musyawarah adat,

syarak, dan ilmu pengetahuan adalah pengawal akidah serta suluah bendang

dalam nagari dan sebagai penjaga adat agar tidak keluar dari koridor adat

basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adaik mamakai,

alam takambang jadi guru, dan syarak nan kawi adaik nan lazim. Apabila

kepemimpinan ini tidak dapat melaksanakan tugas dan perannya dengan baik,

ketimpangan, kejahatan, dan kekacauan dalam segala aspek kehidupan akan

tetap terjadi dan bahkan semakin menjadi-jadi di Ranah Minang. Badan

musyawarah adat, syarak, dan ilmu pengetahuan di Minangkabau sebagai salah

satu badan bantuan hukum sebagai tempat para Niniak Mamak, Cadiak Pandai

dan Alim Ulama bermusyawarah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang

terjadi untuk selanjutnya dibagikan kepada pemerintahan nagari.

Kerapatan Adat Nagari (KAN) adalah bentuk badan musyawarah adat,

syarak, dan ilmu pengetahuan di Minangkabau dalam nagari. Kerapatan Adat

Nagari merupakan sebuah lembaga otonom keperintahan Minangkabau, KAN

menematkan posisi dalam setiap nagari-nagari yang ada di Minangkabau.

Kerapatan Adat Nagari (KAN) merupakan lembaga yang juga diisi oleh

para petinggi nagari di Minangkabau seperti Datuak, Panghulu dan Niniak

Mamak yang juga ikut menjalankan sistem kepemimpinan yang ada di nagari

ini. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai keahlian menjalankan

Page 99: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

76

kenagarian, perintah kenagarian, dan menjalankan pemerintahan kenagarian

Minangkabau serta dianggap orang pandai dan berpendidikan dalam

kenagarian, yang ikut serta dalam membantu menjalankan misi keadatan.13

Para pemuka adat dan nagari yang berada dalam kepemimpinan nagari

inilah yang kemudian dibentuk dalam sebuah lembaga kerapatan yang bernama

KAN (Kerapatan Adat Nagari), selanjutnya keputusan-keputusan yang

dibentuk dalam hasil musyawarah adat, syarak, dan ilmu pengetahuan ini

nantinya yang akan dipresentasikan dalam kepemerintahan. 14

KAN yang merupakan lembaga kenagarian yang non struktural dalam

keperintahan ini memberikan keputusan-keputusan adat untuk dijalankan oleh

pemerintah di Minangkabau. Secara eksistensinya dalam kepemerintahan,

lembaga yang diisi oleh Tungku Tigo Sajarangan ini tidak menempati

struktural pemerintahan Minangkabau baik di dalam struktural Kecamatan,

Kabupaten, ataupun Provinsi. Para petinggi atau kepala KAN dalam nagari

inilah yang kemudian menjadi wakil dalam kepemerintahan nagari untuk

menjadi representatif hukum adat, syarak, serta ilmu pengetahuan kenagarian

dalam struktur pemerintahan di Minangkabau.15

13 Wawancara pribadi dengan Masri Mansoer, Ciputat, 20 Januari 2020, Pukul 16.25 WIB. 14 Madjo Indo, Kato Pusako (Papatah, Patitih, Mamang, Pantun Ajaran, dan Filsafat

Minangkabau), h. 153. 15 Wawancara pribadi dengan Masri Mansoer.

Page 100: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

77

Struktur atau Langgo Langgi pemerintahan yang berbentuk Rajo Tigo Selo

ini pada mulanya berlaku di Pagaruyuang. Diberlakukan, diadopsi, dan ditiru

oleh pemerintahan nagari-nagari di seluruh alam Minangkabau yang kemudian

dikenal dengan nama Tungku Tigo Sajarangan yang terdiri dari tiga unsur

utamanya yaitu Ninik Mamak, Cadiak Pandai, dan Alim Ulama.16 Pembagian

ini, seperti yang telah dikemukakan di atas, dilakukan hanya pada peran dan

kedudukannya dalam nagari bukan pada kualitas keilmuan dari yang

bersangkutan sebab ketiga unsur ini harus memilki kualitas yang sangat baik

dalam adat, agama, dan wawasan keilmuan atau intelektualitasnya atau

disebutkan mereka adalah orang yang mumpuni dalam ketiga bidang ini.

Begitu juga, bukan pada kualifikasi umur dan bukan pula dalam hal gender

sebab dalam Tambo dan Hikayat, Bundo Kanduang ibu dari Dang Tuanku dan

Cindua Mato pernah menjadi Raja Alam di Pagaruyuang. Struktur berkembang

secara memusat ke atas, dalam struktur asli di Minangkabau, Raja adil raja

disembah, Raja zalim raja disanggah. Demikian, berdasarkan struktur asli

Minangkabau ini, seseorang menjadi besar karena dibesarkan, bukan karena

besar dengan sendirinya saja dengan kemampuan yang dimilikinya; bukan pula

karena haknya.

16 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau,

h.195.

Page 101: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

78

Masyarakat Minangkabau di perantauan lalu mengembangkan sebuah Forum

Tungku Tigo Sajarangan sebagai kepemimpinan kolektif masyarakat untuk

menghadapi dan menyelesaikan masalah untuk mencari mufakat dalam

menghadapi berbagai tantangan di masa mendatang. Dengan difasilitasi oleh

Badan Koordinasi Kemasyarakatan dan Kebudayaan Alam Minangkabau

(BK3AM), perantau Minang yang terkhusus di Jakarta dan sekitarnya

membentuk Lembaga Kajian Tungku Tigo Sajarangan Minangkabau

(LKTTSM) yang dideklarasikan pada 16 April 2014.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, LKTTSM ini dapat berkiprah

secara sendiri-sendiri, lembaga dapat menyelenggarakan penelitian dan

pengkajian ABS-SBK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) dan

penerapannya, mengadakan seminar dan simposium dan kegiatan-kegiatan

lainnya yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat Minangkabau,

baik di ranah maupun di perantauan.

Kegiatan-kegiatan akademis yang dinaungi oleh LKKTS Minangkabau

diharapkan dapat menciptakan kehidupan Minangkabau yang beradat dan

bersyarak sesuai dengan falsafah hidup masyarakat Minangkabau.17

17 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.

194.

Page 102: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

79

E. Sistem Tungku Tigo Sajarangan

Dalam memberlakukan etika Minangkabau yang dimiliki oleh suku

bangsa Minangkabau ini, kepemimpinan harus berjalan secara baik. Pilihan

pada sistem Tungku Tigo Sajarangan sebagai sistem kepemimpinan hendaknya

diberlakukan mulai dari level paling bawah sampai pada level tertinggi di

Sumatera Barat.18

Minangkabau yang sudah terbiasa dengan sistem keterwakilan dan

permusyawaratan sehingga hal ini dapat membuktikan bahwa Minangkabau

tidak memiliki perangkat administrasi pemerintahan secara bertingkat, tidak

memiliki sistem pertahanan dengan tentara regular kerajaan yang dapat

dikerahkan setiap saat diperlukan dan sebagainya.19

Hal ini juga diperkuat dengan 4 (empat) asas dalam hidup orang

Minangkabau yang menyebutkan bahwa kepemimpinan dan kekuasaan di

Minangkabau harus menempatkan dan atau mendudukkan seorang pemimpin

untuk mengabdi kepada orang yang dipimpinnya,20 karena pemimpin adalah

orang yang didahulukan salangkah, ditinggikan sarantiang, tumbuh dek

ditanam, tinggi dek dianjuang, gadang dek diambik/dilambuak. Bahwa

pengelolaan masyarakat berdasarkan asas musyawarah, mufakat, dan

18 Saafroedin Bahar, “ABS-SBK: Filosofi Hidup untuk Dipraktikkan Bukan Sekedar Konsep”

dalam Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di Minangkabau, (Jakarta:

Gria Media, 2015), 2015, h. xvii. 19 Saafroedin Bahar, ABS-SBK: “Filosofi Hidup untuk Dipraktekkan Bukan Sekedar Konsep”,

h. xvii. 20 Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan, (Padang: Angkasa Raya, 1993), h. 98.

Page 103: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

80

kebersamaan. Bulek aia ka pambuluh, bulek kato ka mufakaik, bulek alah

buliah digolongkan, picak alah buliah dilayangkan.

Kepemimpinan yang dikembangkan dalam masyarakat di Minangkabau

adalah kepemimpinan kolektif, pola kepemimpinan ini yang merupakan sinergi

tiga kekuatan. Dengan asas yang hidup dan berlaku dalam masyarakat

Minangkabau yang akan menciptakan masyarakat yang seperti tersebut dalam

pepatah:

Sahino Samalu,

Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang.

Kaba baiak baimbauan, kaba buruak baambauan.

Ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun.

Tatungkuik samo makan tanah, tatilantang samo minum ambun.

Tuah dek sakato, hino dek silang sangketo. 21

Sama-sama hina, sama-sama malu.

Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Kabar baik diberitakan, kabar buruk disingkirkan.

Ke bukit sama mendaki, ke lembah sama menurun.

Telungkup sama-sama makan tanah,

Menelentang sama-sama minum embun.

Bertuah karena sekata, hina karena bersengketa.

21 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di Minangkabau,

(Jakarta: PT Gria Media Prima, 2015), h. 165.

Page 104: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

81

Pada masa penjajahan dahulu, kepala nagari masih dipilih oleh

masyarakat nagari, tetapi dalam memilih itu mereka diatur dan harus tunduk

kepada kekuasaan penjajahan yang tentu saja demi kepentingan penjajahan

itu sendiri. Saat itu, struktur kepemerintahan anak nagari berpucuk pada

pejabat yang disebut laras22 (kemudian demang23) dan para laras ini harus

tunduk kepada pejabat bangsa Belanda dengan jabatan asisten residen.24

Ketika struktur seperti ini berlaku, kepala/wali nagari tdak lebih

hanyalah perpanjangan tangan dari atasannya, penjajah Belanda daripada

sebagai penyalur kepentingan atau suara rakyat atau masyarakat anak

nagari. Struktur berkembang secara memusat ke atas, bukan melanjutkan

tradisi yang berlaku di alam Minangkabau yang lebih menekankan pada

mewujudkan kemauan rakyat banyak/anak nagari.25 Dalam struktur asli

Minangkabau, Raja adil raja disembah, Raja zalim raja disanggah.

Berdasarkan sturuktur asli Minangkabau ini, seseorang menjadi besar

karena dibesarkan, bukan karena besar sendirinya dengan kemampuan yang

dimilikinya.26

22 Laras berarti dasar pemerintahanmenurut adat sebagai distrik di Minangkabau, yaitudaerah

bagian dari kabupaten yang pemerintahannya dipimpin oleh pembantu bupati (sebelum tahun 1970). 23 Demang adalah sebuah gelar untuk kepala daerah di Minangkabau pada masa penjajahan.

24 Umar Junus, Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Suatu Problema Sosiologi Sastra,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 53. 25 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.

195-196. 26 Deliar Noer, Muhammad Hatta: Biografi Politik, (Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan,

dan Penerangan Ekonomi Sosial, 1990), h. 6.

Page 105: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

82

Di alam kemerdekaan, kita menemui dalam Undang-Undang Dasar

1945 dalam Penjelasan Bab VI pasal 18 sebelum diamandemen tentang

Pemerintahan Daerah dikatakan bahwa nagari-nagari merupakan satuan

pemerintahan terkecil di Minangkabau yang disebut sebagai bentuk daerah

istimewa atau daerah otonom.27

Keistimewaan tersebut menurut penjelasan Undang-Undang Dasar

1945 harus dipelihara dan dilestarikan karena satuan seperti ini adalah

bentuk pemerintahan yang unik. Pada umumnya menyebutkan bahwa

nagari-nagari di Minangkabau bagaikan republik-republik kecil yang

melaksanakan prosedur dan tata pemerintahannya secara mandiri.

Pelaksanaan pemerintahan nagari tidak dikendalikan pemimpin tunggal

tertinggi, tetapi secara kolektif merencakan dan melaksanakan aktifitas

pemerintahan untuk kebaikan nagari beserta semua isinya.

Struktur pemerintahan di Minangkabau pada situasi kekinian sungguh

berbeda, yang dulu kerajaan terdiri dari nagari-nagari, sedangkan sekarang

alam Minangkabau bagian integral dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang berbentuk sebuah provinsi yang membawahi kabupaten

atau kota madya, kabupaten ataau kota madya membawahi kecamatan.

Kecamatan di kota madya membawahi kelurahan dan semua yang bekerja

di sana adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sementara itu, kecamatan di

27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diakses online pada laman

www.dpr.go.id, 02 September 2020, pukul 20.35 WIB.

Page 106: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

83

bawah kabupaten membawahi nagari-nagari, tetapi wali nagari saat ini

adalah bukan Pegawai Negeri Sipil, dan begitu juga dengan staf-stafnya.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah bentuk pemerintahan Tungku

Tigo Sajarangan ini masih relevan dilaksanakan di wilayah budaya

Minangkabau? sebuah kenyataan di tengah masyarakat Minangkabau kini

adalah banyak nagari dan kampung yang tidak lagi mengerti bahwa mereka

berada di nagari beradat bersyarak dalam wilayah adat dan budaya yang

bernama alam Minangkabau, ditambah dengan adanya di antara wali nagari,

penghulu, dan perangkat lainnya yang tidak peduli bahwa mereka adalah

pemegang amanah yang harus dipertanggung jawabkan.

Saat ini, pada tingkat provinsi seperti sudah disebutkan bahwa ada

Gubernur dengan jajarannya yang digaji oleh pemerintah, ada pula Majelis

Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau

(LKAAM). Tetapi fungsi, peran, kesempatan serta wewenang pada dua

lembaga terakhir nyaris tidak terdengar dalam mengatur anak nagari sesuai

dengan namanya masing-masing. Walaupun tidak mengakui sistem

pemerintahan Rajo nan Tigo Selo di wilayah adat dan budaya Minangkabau

ataupun sistem Tungku Tigo Sajarangan, nagari beradat dan bersyarak

seperti Minangkabau, keberadaan ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai

adalah suatu keniscayaan mulai dari tingkat provinsi sampai kepada

tingkatan kepemerintahan yang paling rendah.28

28 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.

197-198.

Page 107: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

84

Keberadaannya bukan hanya sekedar institusi pelengkap sebagai

pemanis dan pajangan, tetapi keberadaannya itu harus bersama dengan hak

dan kewajiban yang jelas karena keduanya juga mempunyai tanggung

jawab untuk menjaga dan mengusahakan anak nagari hidup sejahtera dan

selamat di dunia dan juga di akhirat. Jadi, kedudukan para alim ulama, ninik

mamak, dan cadiak pandai (termasuk di dalamnya ilmuwan, Bundo

Kanduang, dan pemuda)29 di Minangkabau dalam adat maupun nagari

kekinian harus dapat diperjelas agar mereka dapat memainkan peran dalam

menjaga akidah dan adat anak nagari.

Kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan secara kelembagaan harusnya

ada di Sumatera Barat dan peran ulama, dan lembaga adat dalam struktur

tersebut harus dapat dirasakan manfaatnya oleh anak nagari. Jadi, perlu

dipertimbangkan untuk menyatukan kedua lembaga ini dengan ditambah

dengan cerdik pandai dalam satu wadah yang dapat menampung semua

unsur masyarakat; ninik mamak, alim ulama, bundo kandung, pemuda, dan

cerdik pandai.30 Penyatuan ini juga dimaksudkan agar ada efektivitas dan

efisiensi dalam menjalankan misinya bersama dengan gubernur beserta

jajarannya dalam membangun nagari serta memakmurkan surau dan masjid

sehingga syiar agama dan adat betul-betul berjalan di nagari beradat dan

bersyarak ini.

29 Mansoer, M.D., dkk, Sejarah Minangkabau, (Jakarta: Bhratara, 1970), h. 79. 30 Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan , h. 114.

Page 108: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

85

Sebagai nagari berpedoman kepada adat basandi syarak, syarak

basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai, alam takambang jadi

guru, dan syarak nan kawi adat nan lazim, tugas dari Tungku Tigo

Sajarangan jelas sangat berat karena itu perlu diwujudkan secara

kelembagaan di Ranah Minangkabau sesegera mungkin.31

Sistem pemerintahan Rajo Tigo Selo di tingkat Provinsi Sumatera Barat

atau Minangkabau tidak mungkin dapat diterapkan pada masa kekinian.

Gubernur tidak dapat dan tidak mungkin ditempatkan sebagai raja alam

sebagai primus inter pares, menempatkan MUI sebagai raja ibadat yang

mengatur kehidupan keberagamaan di Sumatera Barat, dan LKAAM

sebagai raja adat yang mengatur adat istiadat yang tidak menyalahi aturan

syarak. Hal ini tidak dapat diterapkan terutama karena terbentur pada

ketentuan bahwa Sumatera Barat adalah bagian integral dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Memberlakukan sistem pemerintahan Rajo

Tigo Selo di tingkat Provinsi Sumatera Barat tidak akan dapat terwujud

karena hal itu menyalahi Undang-undang Dasar 1945, peraturan perundang-

undangan dan lainnya.32 Oleh karena itu, perlu dicarikan jalan keluarnya

sehingga misi, peran, fungsi, dan tugas dapat berjalan dengan menerapkan

sistem kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan.33

31 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.

198. 32 Mansoer M.D, dkk, Sejarah Minangkabau, h. 77-78. 33 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.

199.

Page 109: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

86

F. Bentuk-bentuk, Pengaruh dan Perkembangan Tungku Tigo Sajarangan

dalam Masyarakat

Kelangsungan adat adalah tanggung jawab pemimpin nagari di

Minangkabau, para pemimpin memiliki tanggung jawab besar dalam

keberlangsungan pendidikan ajaran adat Minangkabau. Seorang pemimpin di

Minangkabau, khususnya pemimpin dalam sebuah nagari di Minangkabau

mempunyai tugas, kewajiban, dan tanggung jawab yang sudah diatur dalam

adat. Hal-hal tersebut juga wajib dijalankan dan dilaksanakan oleh para

pemimpin adat, jika pemimpin nagari tidak melaksanakan tanggung jawab

tersebut maka jadilah pemimpin nagari tidak dihargai oleh anak kemenakannya.

Suatu tugas dan amanat yang sangat menentukan dalam pembagunan

pemerintahan dalam nagari atau lebih luasnya.34

Sungguhpun adat dan kepemimpinan dalam adat telah diatur

sedemikian rupa oleh para pendiri Minangkabau dan sampai sekarang masih

diakui oleh anak cucu, cicit, dan buyut sebagai warisan leluhur, masih banyak

juga di antara kita penduduk dan masyarakat Minangkabau yang merasa kurang

memiliki dan mencintai lembaga yang terbentuk di Minangkabau dengan baik

ini.

Kurang terlaksananya adat dalam kehidupan disebabkan kurang

pahamnya masyarakat terhadap maksud dan tujuan adat yang dipakai dalam

nagari, juga adanya ketidaktertarikan atau ketidakpedulian masyarakat pada

34 Mansoer M.D, dkk, Sejarah Minangkabau, h. 81.

Page 110: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

87

masa kekinian untuk bertanya serta berguru dalam mempelajari adat-adat

Minangkabau ini secara sungguh-sungguh, padahal adat itu jualah yang sangat

dibutuhkan oleh generasi sekarang ini sampai pada masa-masa berikutnya.

Terkhusus pada generasi muda, perlu disadari tujuan adat adalah kebutuhan

untuk menyelamatkan generasi Minangkabau dari pengaruh budaya lain dan

dampak buruk perkembangan zaman.35

Jika kurang pahamnya masyarakat pada zaman sekarang tentang

maksud, tujuan, serta kegunaan adat, kerapkali menjadikannya salah, sumbang,

dan sesat, kesalahan itu tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga

merugikan kaum, kampuang, dan nagarinya sendiri. Begitu juga dengan

ketidakpahaman seseorang terhadap tujuan adat, kerap menimbulkan sengketa

di antara orang yang menganggap pendirinya itu adalah benar.36

Minangkabau yang menganut falsafah “Adar basandi syarak, syarak

basandi kitabullah.” Adat dan agama seperti dua sisi mata uang, tidak bisa

dipisahkan, saling mendukung dan melengkapi. Begitupun seperti pepatah

“Syarak mangato, adat mamakai”, maka pendidikan adat adalah sumber awal

setiap pendidikan orang Minangkabau dalam berkaum di nagari.37

Perjalanan adat Minangkabau masih lambat, sementara perputaran ilmu

pengetahuan berjalan cepat. Akibatnya, banyak generasi tidak peduli lagi

terhadap adat. Tugas untuk memberi pemahaman adat inilah yang perlu

35 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek “Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang

Minang”, (Bukittinggi, Sumatera Barat: Cinta Buku Agency, 2015), h. 4. 36 Jamil, Hiduik Baradek, h. 5-6. 37 Mansoer, dkk, Sejarah Minangkabau, h. 79.

Page 111: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

88

diperankan oleh kalangan pendidik agar kesinambungan generasi adat bisa

berjalan dan berkembang sesuai dengan tujuan adat.

Di satu sisi, beruntungnya pembelajaran Budaya Alam Minangkabau

(BAM) di sekolah-sekolah masih dimuat, namun di sisi lainnya sangat

memprihatinkan saat melihat generasi muda jauh dari ajaran adat

Minangkabau. Keprihatinan ini tentu harus diiringi dengan keikutsertaan dalam

menyumbangkan pikiran menciptakan kesinambungan adat yang sesuai dengan

ajaran Islam. Tujuannya agar adat dan syarak sama-sama berkembang, maka

memasukkan BAM di sekolah dan mensosialisasikan adat Minangkabau di

tengah masyarakat harus diiringi dengan SDM yang memadai melalui

keseimbangan pengetahuan adat sejajar dengan pengetahuan Islam yang

ditopang dengan profesionalisme masyarakatnya.38

Pepatah mengatakan “Di dalam nan duo kalarasan, adat manjadi darah

dagiang, syarak, nan lazim kaimanan, adat nan kawi kamandidiang, si Muncak

mati tarambau, ka ladang mambaok ladiang, lakoklah pado kaduonyo. Adat jo

syarak Miangkabau, sarupo aua jo tabiang, sanda manyanda kaduonyo.

Pariangan manjadi tampuak tangkai, Pagaruyuang manjadi pusek tanah data,

tigo luak urang manamokan, adat jo syarak, kok bacarai, bakeh bagantuang

nan lah sakah, tampek bapijak nan alah tabanam.”39

38 Irwan Prayitno Dt. Rajo Bandaro Basa, dalam pengantar ”Hiduik Baradaek”, (Bukittinggi:

Cinta Buku Agency, 2015), h. 8-9. 39 Irwan Prayitno Dt. Rajo Bandaro Basa, dalam pengantar ”Hiduik Baradaek”, h. 9.

Page 112: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

89

Cita-cita adat tersebut tidak akan tegak, jika para pendidik adat dan

pemimpin adat sebagai ujung tombak tidak berani memulai langkah real untuk

menjadikan adat yang selaras dengan cita-cita masyarakat Minangkabau yakni

“Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Harus diakui, masih banyak

ketimpangan yang perlu penerapan adat dalam bernagari di Minangkabau.

Ketika keran otonomi daerah dicanangkan dan kembali banagari mau tidak mau

semua elemen masyarakat harus memulai dengan konsep yang jelas sehingga

generasi muda Minang tidak kehilangan pegangan.

Dalam lembaga kepemimpinan, yang bertanggung jawab dalam

melestarikan adat Minangkabau adalah lembaga formal seperti Sekolah,

Pesantren, Masjid, atau lembaga Kerapatan Nagari seperti LKAAM dan

KAN.40 Pergeseran zaman membuat segalanya berubah, jikalau dulu

pendidikan adat melalui tanggung jawab oleh Ninik Mamak terhadap

kemenakannya, sekarang sudah adanya lembaga formal sampai perguruan

tinggi. Perubahan itu sudah terjadi, yang disebut dalam adat Minangkabau

“Sakali aia gadang, Sakali tapian barubah”.41 Punahnya surau sebagai

lembaga adat dan agama bagi kaum nagari di Minangkabau, dan tidak adanya

upaya membangun surau secara fisik, rubuhnya Rumah Gadang sebagai simbol

adat dalam berkaum dan bernagari, pun hampir tidak lagi diperhatikan oleh

kaum nagari itu sendiri.

40 Mansoer, dkk, Sejarah Minangkabau, h. 80. 41 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek“Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang

Minang”, h. 128.

Page 113: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

90

Harapan saat ini dalam membangun peradaban adat adalah Institusi

KAN dan atau LKAAM untuk bisa berdaya guna sebagai corong terakhir

dalam menuntaskan persoalan adat yang kian waktu kian memudar. KAN

adalah lembaga resmi Ninik Mamak yang eksistensinya masih dan akan diakui

oleh masyarakat untuk memecahkan persoalan sengketa dan sako pusako di

nagari.42

Keberadaan Niniak Mamak juga yang turut disertai dengan peran Alim

Ulama dan Cadiak Pandai masih tetap akan berfungsi untuk kapasitas benteng

terakhir masyarakat Minangkabau. Kemudian pemerintahan nagari juga sangat

menentukan kelangsungan adat di Minangkabau, karena pemerintah

mempunyai kekuatan dan kekuasaan dalam memajukan nagari-nagari di

Sumatera Barat.43 Artinya, kalau selama ini permasalahan adat hanya

dilimpahkan kepada Ninik Mamak atau penghulu di nagari sekarang sudah

menjadi bagian dari pemerintahan. Maka KAN, LKAAM hendaknya menjadi

bagian dari pemerintah demi kesinambungan adat.44

42 Mansoer, dkk, Sejarah Minangkabau, h. 77. 43 Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan , h. 124. 44 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek“Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang

Minang”, h. 128-129.

Page 114: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

91

BAB IV

HASIL TELAAH ETIKA

TUNGKU TIGO SAJARANGAN MINANGKABAU

A. Telaah Etika Tungku Tigo Sajarangan

Pemerintahan nagari beserta masyarakat nagari di Minangkabau

memiliki etika Minangkabau utama yang sangat dijunjung yaitu sebagai

“Pembentuk masyarakat anak nagari yang sejahtera, adil, dan makmur yang

selamat di dunia dan akhirat”.1

Maka dalam mewujudkan etika Minangkabau tersebut stakeholder

Minangkabau harus melaksanakan misi-misi dengan peran pembentukan

masyarakat yang tersebut sebagai berikut:2

a) Melaksanakan kepemimpinan pada semua tingkatan di wilayah

budaya Minangkabau yang berbentuk Tungku Tigo Sajarangan

(Niniak Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai).

b) Menyiapkan pemimpin yang betul-betul berkualitas sebagai

ninik mamak, orang alim, dan cerdik dan pandai atau

cendikiawan sehingga memiliki kewibawaan kepada semua

lapisan, baik ke dalam maupun ke luar, baik kepada kawan

maupun kepada lawan.

c) Menyiapkan pemimpin yang bersih dan mampu membersihkan

dirinya sendiri dari segala sifat tercela dengan berpegang teguh

1 Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan, h. 98. 2 Zahari,Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h. 177-

180.

Page 115: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

92

kepada pedoman adat basandi syarak, syarak basandi

kitabullah, syarak mangato, adat mamakai, alam takambang

jadi guru, dan adat nan lazim syarak nan kawi.

d) Menata pemerintahan dengan berlandaskan pada adat basandi

syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat

mamakai, alam takambang jadi guru, dan adat nan lazim syarak

nan kawi tidak boleh melenceng sedikitpun dari ketentuan ini.

e) Menegakkan hukum; baik hukum syarak, hukum adat, maupun

hukum negara secara benar dan bertanggung jawab sehingga

ketertiban dan keamanan dapat dirasakan oleh seluruh anak

nagari.

f) Mendorong anak nagari untuk menunutut ilmu setinggi-

tingginya, dan pada waktunya nanti ilmu itu disumbangkan

untuk kemajuan, baik ditempat dia menetap atau ke kampung

asalnya. Dengan demikian, kampung serta nagari dibangun dan

dimajukan berbarengan dengan memajukan kehidupannya di

rantau.

g) Mengajak dan memberi penyuluhan keepada masyarakat agar

mengusahakan dan menata dengan baik sawah, ladang, baik

harta pusaka tinggi (harta kaum) maupun harta pencarian atau

pusaka rendah untuk kemakmuran keluarga yang dengan

sendirinya akan memakmurkan anak nagari.

h) Mengisi kegiatan di masjid dan surau dengan pendidikan ilmu

agama dan adat, dan pengetahuan lainnya sehingga anak nagari

Page 116: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

93

tahu akan kewajiban dan haknya, baik hubungan vertikal dengan

Allah Swt maupun hubungan horizontal dengan sesama

manusia. Artinya, semboyan kembali ke surau perlu digalakkan

dan betul-betul dilaksanakan.

i) Memberikan penyuluhan kepada masyarakat sehingga mereka

memiliki informasi yang cukup agar dapat memagari diri, sanak

kemenakan, dan orang kampung dari berbagai hal yang dapat

merusak akidah dan adat anak nagari Minangkabau.

j) Menimbulkan kembali rasa kebersamaan atau jiwa

kegotongroyongan yang kelihatannya menghilang dari jati diri

orang Minangkabau sehingga semua sarana dan prasarana yang

dibutuhkan dapat dibangun dan dipelihara sehingga memberi

manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat.

k) Mendorong masyarakat untuk memanfaatkan dan menjaga

penggunaan tepian sesuai dengaan aturan, baik aturan adat

istiadat maupun aturan syarak sehingga marwah

keminangkabauan tetap terjaga.

l) Menyediakan sarana dan prasarana untuk menyalurkan

kreatifitas anak nagari, baik dalam bidang seni, olahraga maupun

bidang lainnya yang positif, dan mendukung kegiatan itu dengan

segala daya upaya guna menyemarakkan nagari.

m) Menjaga hubungan baik dalam bertetangga (toleransi) dengan

suku bangsa lain dengan tidak menggadaikan akidah serta

merendahkan martabat dan harga diri.

Page 117: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

94

n) Mengeksplorasi sumber daya alam yang ada, baik di darat

maupun di laut secara bertanggung jawab dan sebesar-besarnya,

dimanfaatkan untuk kepentingan anak nagari.

o) Memanfaatkan berbagai teknologi pertanian, pertenakan,

perikanan, dan pangan untuk mengolah lahan dan hasil

pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan anak nagari

sehingga mereka mendapatkan nilai tambah dari hasil

pengolahan dengan menggunakan teknologi ini.

p) Memanfaatkan teknologi informasi yang semakin lama semakin

canggih untuk memperluas wawasan anak nagari dengan

pengawasan yang memadai agar tidak diselewengkan kepada

hal-hal yang merugikan anak nagari itu sendiri.

Jelasnya, etika Minangkabau dalam Tungku Tigo Sajarangan ini

merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh para pemimpin

dalam sistem Tungku Tigo Sajarangan sebagai pengemban amanah

dari rakyat atau sanak kemenakan.

Pada masa sekarang seharusnya di tangan ninik mamaklah

terletak pengemban emotional quotient; kecerdasan emosional, di

tangan ulamalah terletaknya pengembangan spiritual quotient;

kecerdasan spiritual, dan di tangan cerdik pandailah pengembangan

Page 118: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

95

intelligence quotient; kecerdasan intelektual dari penduduk nagari

dan sanak kemenakan.3

Pemangku adat dan etika Minangkabau yang sebagai suluah

bendang harus melakukan kegiatan pendidikan dengan mengajak

dan mengajari anak nagari berjalan lurus dan berkata benar

berdasarkan dengan al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW.4

Terkendalanya pengembangan etika di masa sekarang ini banyak

didukung oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam nagari sendiri,

banyaknya hal-hal yang menjadi ketimpangan dalam pengembangan etika

Minangkabau di masyarakat terutama oleh pemerintah dalam menjalankan

misi keberlangsungan dan pertahanan etika Minangkabau, sebagai berikut:

Kurangnya keseriusan pemerintahan dalam memberikan ruang yang luas

terhadap pengembangan etika Minangkabau; Terputusnya regenerasi

pendidikan adat tradisional, hal ini juga disebabkan kurang berfungsinya

penghulu serta jajaran pemimpin yang tergabung dalam Tungku Tigo

Sajarangan meliputi Niniak Mamak dalam pengembangannya kepada anak

nagari, Alim Ulama dalam pendidikan akhlak, dan karakter agama anak

nagari, dan Cadiak Pandai dalam mengembangkan ilmu pengetahuan

kepada masyarakat Minangkabau.

3 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau,

h. 297. 4 Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan, h. 101.

Page 119: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

96

Menata etika Minangkabau dengan prinsip ABS-SBK (Adat

Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) sangat dituntut kepada

pribadi-pribadi yang utuh dan unggul, dengan iman dan takwa, berlimu

pengetahuan menguasai teknologi, berjiwa wiraswasta, bermoral ahlak,

beradat dan beragama, karena yang akan kita kembangkan adalah hidup

modern dan maju dengan keimanan yang kokoh.

Konsekuensinya, penyediaan sumber daya manusia berkualitas

tampilnya penggerak pembangunan nagari berbekal teoritikus yang tajam,

dan efektif, qana’ah dan istiqamah di bidangnya, sebelum melaksanakan

social reform.5 Bila tidak, akan mengundang kerawanan sosial apalagi bila

banyak penduduk desa yang selama 17 tahun dibiarkan berkembang dan

serta merta berubah menjadi nagari yang cenderung tidak berkemampuan

mengantisipasi dampak besar yang akan timbul dalam menerima

perubahan.6

Masyarakat yang berada di nagari-nagari, di masa derasnya arus

globalisasi yang menggeser pola hidup masyarakat di bidang sosial,

ekonomi, politik dan juga budaya ini senantiasa menjadi sasaran empuk dan

umpan dari satu perubahan berbalut westernisasi dan pembudayaan di luar

prinsip ABS-SBK, dan acap kali masyarakat kini tersasar sesat jalan, hanya

karena kurangnya pemahaman terhadap adat dan syarak (agama Islam),

karena ketiadaan bekalan itulah penyebabnya.7

5 Mas’oed Abidin, Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari, (Yogyakarta: Gre

Publishing, 2014), h. 28. 6 Mas’oed Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, h. 72-

73. 7 Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, h. 74.

Page 120: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

97

Kehidupan sosial berteras kebersamaan atau musyawarah sebagai

salah satu landasan yang mengemuka di dalam prinsip ABS-SBK bergeser

menjadi individualis dan konsumerismenya condong berjuang memelihara

kepentingan sendiri dalam menata pemerintahan nagari karena kurang

pemahaman dan lemahnya penegasan pola pelaksanaan undang-undang dan

Perda No.9/2000 tentang pemerintahan di nagari di Sumatera Barat, tidak

jarang terjadi setiap nagari tumbuh dengan sikap bernafsi-nafsi dan condong

kepada melupakan nasib orang lain yang tentu saja tidak pernah ada di

dalam prinsip ABS-SBK itu, dan persaingan antar nagari tanpa kawalan

akan bergerak kepada “yang kuat akan bisa bertahan dan yang lemah akan

mati sendiri, yang kuat akan menelan yang lemah di antara mereka".8

Tantangan sosial, budaya, ekonomi, politik dan lemahnya

penghayatan agama di nagari-nagari, dewasa ini tidak terelakkan.Maraknya

pekat hingga ke taratak-taratak terpencil seperti tuak, arak, judi, dadah,

pergaulan bebas di kalangan kaula muda, narkoba, dan beberapa tindakan

kriminal dan anarkis, merusak tatanan keamanan, mengaburkan prinsip-

prinsip ABS-SBK, padahal pengendali kemajuan sebenarnya adalah agama

dan budaya umat dalam masyarakat (kita menyebutnya ABS-SBK dalam

tataran umatisasi), yang didukung budaya tamaddun turun temurun dalam

masyarakat kita yang tidak lain adalah Adat Basandi Syarak, Syarak

Basandi Kitabullah.

8 Mas’oed Abidin, Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari, h. 26.

Page 121: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

98

Tercerabutnya agama dari diri masyarakat Sumatera Barat,

Minangkabau, berakibat besar kepada perubahan prilaku dan tatanan

masyarakatnya, karena “adatnya bersendi syarak, syaraknya bersendi

kitabullah” dan “syarak (agama) mangato (memerintahkan), adat mamakai

(melaksanakan)” sungguhpun dalam pengamatan sehari-hari sudah sulit

dijumpai.9

Ada beberapa kendala dalaam mengembangkan etika Minangkabau

terhadap anak nagari di masa sekarang:10

a) hubungan muda-mudi yang terbiasa meniru kekiri kanan,

b) hubungan kekerabatan keluarga mulai menipis,

c) peran ninik mamak hanya dalam batas-batas seremonial,

d) peran substantif dari ulama, dalam pembinaan akhlak anak

nagari kerap kali tercecerkan,

e) peran pendidikan akhlak berdasarkan prinsip-prinsip budaya

adat berdasarkan ABS-SBK menjadi kabur dan melemah.

Hal ini disebabkan oleh beberapa hal;

1) Kualitas dan sumber daya manusia (SDM) sebagai penerus

kepemimpinan dan penghulu dalam nagari.

2) Tidak adanya regenerasi dalam penghulu dan kelanjutan peran

Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai dalam upaya

pembangunan masyarakat

9 Abidin, Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari, h. 28. 10 Mas’oed Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,

(Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau, 2004), h. 107.

Page 122: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

99

3) Pudarnya simbol-simbol adat di nagari, seperti: surau, rumah

gadang, balai adat, parik paga, manti, dubalang, dan lain-

lainnya. Bahkan generasi sekarang lupa dengan kehadiran

pertahanan adat tersebut.

4) Hilangnya kontrol adat bagi perantau. Salah satu faktor yang

mempengaruhi budaya dan adat saat beradaptasinya para

perantau di nagarinya. Seringkali etika pergaulan dan pengaruh

negatif di perantau disebarkan di kampung. Baik pergaulan,cara

berpakaian dan pengaruh negatif lainnya.

5) Kurangnya responsif dari media untuk memberikan provokasi

dan edukasi adat Minangkabau.

6) Kurangnya materi penunjang tugas kepemimpinan nagari; dulu

anak-anak nagari masih mendengar adanya sawah

panggadangan atau sawah abuhan sebagai bekal pemimpin

nagari untuk membiayai hidupnya atau katakanlah sebagai

honornya. Sekarang sawah panggadangan atau sawah abuhan

sudah tidak ada lagi, maka jelas faktor ekonomi juga akan

mempengaruhi loyalitas dalam menjalankan tugas

kepenghuluan.

Page 123: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

100

Dalam adat, hak setiap pemimpin nagari itu mesti ada, yang

dalam istilah lainnya, dalam Tambo disebut seperti “adat batanam

batu, adat mandirikan rumah, manaruko sawah” dan lain-lain.

Semua itu jatah persen yang harus dikeluarkan untuk sang

pemuka adat, namun karena tidak kuat lagi pranata11 adat seolah

segala hak-hak pemimpin atau pemuka adat banyak terabaikan.

1) Tidak adanya institusi di nagari untuk membina adat, baik

ditingkat kaum maupun dalam banagari.Misalnya membuat

balai latihan adat, sanggar kesenian adat, dan lainnya.

2) Belum adanya lembaga atau sekolah adat di Sumatera Barat.

Hanya daerah kabupaten Solok yang baru-baru ini mencoba

merintis mendirikan sekolah adat pertama di Minangkabau.

Kedepannya harapannya tentu perlu dicontoh oleh daerah-

daerah lain di Minangkabau.

Berikut saran-saran mengenai pembangunan etika

Minangkabau dalam masyarakat pada setiap nagari di

Minangkabau, seperti:

a. Pemerintah untuk membuat sebuah sekolah percontohan

adat Minangkabau, mulai dari tingkat kanak-kanak

sampai perguruan tinggi.

11 Pranata merupakan sebuah sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi seperti adat

istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi

berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat; intitusi.

Page 124: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

101

b. Pemerintah untuk melibatkan Urang Cadiak Pandai

nonformal kepemerintahan untuk menyusun kurikulum

pendidikan adat Minangkabau.

c. Pemerintah untuk meninjau ulang kembali kurikulum

BAM yang sudah terlanjur di sekolah-sekolah, terutama

muatan materi sejarah adat Minangkabau untuk tingkat

SD. Sejarah Adat Minangkabau adalah level perguruan

tinggi, untuk level pada anak dasarnya yang cocok dan

tepat adalah menyangkut pendidikan budi pekerti.

d. Memberikan APBD khusus untuk pembinaan adat di

kalangan pemangku adat di Minangkabau.

e. Perlu keikutsertaan pemerintah dalam menata,

meningkatkan SDM pemimpin nagari atau pemuka adat

sebagai ujung tombak adat Minangkabau di nagari.

f. Perlu revitalisasi dari tugas kepenghuluan sebagai garda

terdepan pelaku adat di dalam nagari, serta sangsi hukum

atau sangsi adat bagi pelaku adat.

g. Mengkaji ulang syarat atau sistem pengangkatan pejabat

nagari seperti Wali Nagari, dari sistem pemilu menjadi

sistem pemilihan Wali Nagari oleh KAN. Karena, nagari

di Minangkabau adalah kesatuan hukum adat yang

dilindungi undang-undang.

Page 125: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

102

h. Media dan pers ikut membantu pengembangan adat

melalui pembuatan ruang khusus halaman adat, sehingga

akan membantu sosialisasi adat Minangkabau.

Saat ini, surau dan masjid sebagai tempat membina akidah

umat, balai pertemuan adat, dan gelanggang sepertinya tidak seiring

sejalan, tidak seayun selangkah dalam menjalankan peran dan

fungsinya, dan banyak pula yang tidak mau tahu bahwa ada sebuah

masjid yang terletak di ibu nagari yang imam masjidnya orang buta

yang dalam membaca ayat ketika salat terkadang salah karena

kebutaannya. Bahkan, kadang-kadang di waktu salat subuh ia

muazin, merangkap bilal, imam, dan makmum laki-laki sekaligus

sebab makmumnya hanya beberapa nenek-nenek tua renta saja.

Dengan demikian, tantangan kepada Tungku Tigo

Sajarangan di zaman sekarang ini semakin berat.12 Belakangan ini

pun, ada sejumlah kalangan pemuka masyarakat Sumatera Barat

memberi kesempatan kepada orang yang tidak seiman untuk

membangun Supermall, Rumah Sakit, Sekolah-sekolah, dan

berbagai sarana lainnya yang dicurigai mengandung agenda-agenda

terselubung. Kekhawatiran makin bertambah dengan adanya

permurtadan terhadap sejumlah masyarakat Minangkabau karena

berbagai alasan.13

12 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarakdi Minangkabau,

h. 198-199.

Page 126: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

103

Sebagai nagari yang berpedoman ke pada adat basandi

syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai,

alam takambang jadi guru,dan syarak nan kawi adat nan lazim,

tugas dari Tungku Tigo Sajarangan jelas sangat berat terhadap

pergejolakan yang menjadi pusat degradasi pemahaman dan

penerapan adat,karena itu perlu diwujudkan secara kelembagaan

yang harus tetap hidup di Minangkabau.

Mengembalikan etika Minangkabau untuk sampai ke

akarnya, tidak boleh dibiarkan dan terlalai, karena akibatnya akan

terlahir bencana akidah serta akhlak dalam masyarakat yang

berbudaya dan beradat di Minangkabau. Amatlah penting untuk

mempersiapkan generasi umat yang mengenali;14

(a) keadaan masyarakat nagari, aspek geografi, demografi,

bersejarah, kondisi sosial, ekonomi, latar belakang

masyarakat nagari itu,

(b) tamadun, budaya, dan adat-istiadat dan berbudi bahasa

yang baik;nan kuriak kundi nan sirah sago, nan baik

budi nan indah baso.

14 Mas’oed Abidin,Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, h.

81.

Page 127: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

104

Khulasahnya adalah:

i. Perankan kembali organisasi informal di nagari-nagari,

ii. Seiringkan dengan refungsionisasi peran alim ulama

cerdik pandai “suluah bendang dalam nagari”.

iii. Sangat diandalkan untuk membangun masyarakat nagari

berdasarkan prinsip ABS-SBK ialah mempererat sistem

komunikasi dan koordinasi antar komponen masyarakat

di nagari pada pola pembinaan dan kaderisasi pimpinan

dan organisasi banagari secara jelas.

iv. Dalam gerakan “membangun nagari” maka setiap

fungsionaris di nagari akan menjadi pengikat umat anak

nagari untuk membentuk masyarakat yang lebih kuat,

sehingga merupakan kekuatan sosial yang efektif.

v. Pemerintahan nagari mesti berperan menjadi media

pengembangan anak nagari, bukan sebaliknya dan

pemasyarakatan budaya adat dan syarak (Islami) sesuai

dengan prinsip “adat basandi syarak, syarak basandi

Kitabullah” melalui mengefektifkan media pendidikan

anak nagari dalam pembinaan umat untuk mencapai

derajat pribadi takwa, serta merencanakan dan

melaksanakan kegiatan dalam hubungan hidup

bermasyarakat sesuai tuntunan syarak (agama Islam).

vi. Di nagari mestinya dilahirkan media pengembangan

minat menata kehidupan dalam aspek ekonomi, sosial,

Page 128: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

105

budaya, politik dan agama Islam dalam rangka

mengembangkan tujuan kemasyarakatan yang adil dan

sejahtera.

Mengatasinya dengan modal kesadaran, memanfaatkan

jalinan hubungan yang sudah lama terbina, rantau dll, penyadaran

masyarakat terhadap prinsip-prinsip ABS-SBK melahirkan sikap

anak nagari (mental attitude) yang penuh semangat vitalitas, enerjik,

dan bernilai manfaat sesama masyarakatnya, menanamkan

komitmen fungsional bermutu tinggi kemampuan penyatuan

konsep-konsep, alokasi sumber dana, perencanaan kerja secara

komprehensif, mendorong terbinanya center of excelences; tangga

musyawarah antara lembaga adat, syarak dan fungsionaris nagari.

Akhirnya, tentulah tidak dapat ditolak suatu realita objektif bahwa,

“siapa yang paling banyak bisa menyelesaikan persoalan

masyarakat, pastilah akan berpeluang banyak untuk mengatur

masyarakat itu.”15

Terakhir, tentulah merupakan keharusan untuk

dikembangkan dakwah yang sejuk, dakwah Rasulullah bil ihsan

dengan prinsip jelas, tidak campur aduk antara yang hak dan batil

(laa talbisul haq bil bathil), menyatu antara pemahaman dunia untuk

akhirat keduanya tidak boleh dipisah-pisahkan, dan belajar kepada

sejarah amatlah perlu adanya gerak dakwah dan pembangunan yang

15 Mas’oed Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, h.

80.

Page 129: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

106

terjalin dengan network (ta’awunik) yang rapi (bin-nidzam), untuk

penyadaran kembali generasi Islam di nagari-nagari di

Minangkabau tentang peran syarak (syari’at Islam) dalam

membentuk tatanan hidup duniawiyah yang baik.16

Begitulah semestinya peranan lembaga Adat Basandi

Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dalam menapak

perubahan baru membangun etika Minangkabau pada masayarakat.

B. Telaah Etika Ninik Mamak, Cadiak Pandai, dan Alim Ulama

Tungku Tigo Sajarangan yang diperankan oleh Niniak Mamak, Cadiak

Pandai dan Alim Ulama dengan tujuannya yang adalah untuk kemajuan dan

kesejahteraan anak nagari. Karena itulah, hasil telaaah etika masing-masing

dalam membangun dan memelihara alam Minangkabau baik sumber daya

alamnya ataupun sumber daya manusianya sangat perlu diperjelas. Berikut

adalah masing-masing etika Minangkabau dalam hasil telaah pada Tungku

Tigo Sajarangan:

1. Niniak Mamak

Niniak Mamak sebagai salah satu unsur Tungku Tigo Sajarangan

yang dipresentasikan oleh LKAAM Sumatera Barat harus berusaha

sekuat tenaga agar tidak ada lagi penghulu yang tidak mengerti atau

buta dengan adat, tidak ada lagi penghulu yang tidak melaksanakan

16 Mas’oed Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, h.

89.

Page 130: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

107

salat lima waktu, tidak ada lagi penghulu yang mahariak mahantam

tanah, tidak ada lagi penghulu yang tidak mengerti akan hak serta

tanggung jawabnya, dan lain sebagainya. Ninik Mamak adalah

pemimpin atau perangkat adat termasuk orang yang ampek jinih

mempunyai tugas dan fungsi memimpin kaumnya serta memelihara

harta pusaka.17 Dengan demikian, Ninik Mamak adalah orang yang

harusnya menjadi benteng adat Minangkabau. Karena itu, mereka

harus berperan untuk:

a. Menyiapkan program pendidikan bagi semua penghulu dan

calon-calon penghulu sebagai pucuk pimpinan kaum dan

suku di nagari masing-masing sehingga mereka mengerti

dengan baik akan peran, fungsi, dan kewajibannya sebagai

pemimpin dalam kaumnya.

b. Membekali anak kemenakan dan anak nagari dengan

pengetahuan adat basandi syarak, syarak basandi

kitabullah, syarak mangato, adat mamakai, alam takambang

jadi guru, dan syarak nan kawi adat nan lazim. Dari kecil,

anak nagari seharusnya telah diberikan pengetahuan adat dan

syarak sehingga mereka tidak tercerabut dari akar

budayanya.

c. Memelihara dan mengembangkan harta pusaka tinggi

sehingga dapat dimanfaatkan oleh anak nagari untuk

kesejaahteraan hidup secara bermartabat.

17 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,

Syarak Mangato, Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru, h. 108.

Page 131: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

108

d. Menjaga agar tidak terjadi pengalihan harta pusaka tinggi

secara tidak bertanggung jawab apalagi kepada pihak luar

yang berlainan akidah. Adanya arus globalisasi, modernisasi

dan westernisasi memang merambah sampai ke pelosok-

pelosok nagari sehingga sebagian berpahaman bahwa harta

pusaka tinggi harus diwariskan secara patrilineal.

e. Memberi pencerahan kepada anak nagari tentang bagaimana

hidup bakaum, bakampuang, dan banagari dengan

berpedoman kepada adat basandi syarak, syarak basandi

kitabullah, syarak mangato, adaik mamakai, alam

takambang jadi guru, dan syarak nan kawi, adaik nan lazim.

f. Mendorong anak kemenakan untuk menuntut ilmu

pengetahuan setinggi-tingginya dan menegaskan kepada

mereka bahwa kampung halaman selalu menanti kontribusi

positif dari mereka. Sudah menjadi kewajiban anak nagari

untuk melindungi adat dan syarak dari gempuran

globalisasi,westernisasi, dan orang-orang Minangkabau

sendiri yang luput dari adat dan syaraknya.

Page 132: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

109

2. Alim Ulama

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat memiliki

fungsi sebagai suluah bendang dalam wilayah Minangkabau,

yang berkewajiban untuk menciptakan hubungan horizontal

dengan sesame manusia dan hubungan vertikal dengan Sang

Maha Pencipta dengan berpedoman kepada al-Qur’an menjadi

petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai

petunjuk itu dan pembeda antara baik dan yang buruk.

Alim Ulama adalah orang yang harus paling tahu dengan

keadaan akidah umat, masjid, surau di Minangkabau/Sumatera

Barat dan hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah-masalah

kehidupan anak nagari sebagai orang yang beragama Islam di

Minangkabau.

Adalah alim ulama merupakan ahli agama yang ada di

seluruh alam Minangkabau.18

Oleh karena itu, alim ulama memiliki spesifikasi etika sebagai

pkok pengembangan etika Minangkabau bagi masayarakat untuk:

a) Mengkoordinasikan pembangunan dan perawatan fisik surau

dan masjid yang ada di ranah Minangkabau serta

menciptakan kerja sama dengan berbagai pihak terkait dalam

rangka menjaga surau dan masjid sebagai milik umat, bukan

kaum saja.

18 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,

Syarak Mangato, Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru, h. 186.

Page 133: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

110

b) Memakmurkan surau dan masjid dengan kegiatan-kegiatan

pembelajaran; ceramah umum, tauhid, atau peneguhan

akidah, kelas fikih, tafsir, hadis, dan lain-lain.

c) Menjadikan masjid dan surau sebagai pusat kegiatan

kemasyarakatan; sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain

sebagainya.

d) Menjaga akhlak umat agar sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an

dan hadis Rasulullah SAW dengan mengadakan pengajian

rutin dan ceramah majelis lainnya.

e) Merancang dan melaksanakan kegiatan yang dapat menuntun

generasi muda anak nagari untuk hidup sejahtera di dunia dan

selamat di akhirat seperti taman baca Qur’an, didikan subuh,

cerdas cermat dalam bidang agama, dan kajian-kajian lain

yang memberi pencerahan dan tuntunan kebaikan.

f) Menyiapkan kader-kader ulama di nagari secara

berkelanjutan sehingga tidak ada lagi masjid dan surau yang

kekurangan imam, khatib, dan lainnya.

g) Menjaga masyarakat dari usaha-usaha pihak luar dan dalam

yang dapat mendangkalkan akidah, permutadan, dan

mencegah aliran atau paham menyimpang yang dapat

memecah belah persatuan anak nagari.

Dengan demikian, data lengkap kehidupan beragama

anak nagari, surau, dan masjid harus dimiliki oleh Majelis Ulama

Indonesia (MUI) Sumatera Barat. Kegiatan-kegiatan yang

Page 134: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

111

dilakukan di surau, masjid, dan di tempat lainnya harus

terdokumentasi dengan cermat sehingga hal yang baik itu dapat

dilaksanakan dan dilanjutkan dengan lebih baik lagi. Sementara

itu, segala sesuatu yang masih kurang dapat diperbaiki sehingga

menghasilkan keluaran (output) yang berkualitas lebih baik lagi

dari sebelumnya.Semua kegiatan itu harus bertujuan untuk syiar

agama Islam, semarak nagari, dan kepentingan anak nagari.

Etika Minangkabaunya dalam telaah Tungku Tigo Sajarangan

alim ulama membangun etika di Minangkabau sejak dulu adalah

membawa umat melalui informasi dan aktifitas kepada keadaan

yang lebih baik;

a.) Kokoh dengan prinsip,

b.) Qanaah dan istiqamah; konsistensi,

c.) Berkualitas, dengan iman dan hikmah.

d.) Berilmu dan matang dengan visi dan misi.

e.) Amar makruf nahyun ‘anil munkar; melakukan yang baik

dan menjauhkan diri dari kemungkaran, teguh dan

professional.

f.) Research-oriented berteraskan iman dan ilmu pengetahuan.

g.) Mengedepankan prinsip musyawarah sebelum mufakat.

Dengan hal tersebut akan merajut khaira ummah; sebaik-

baik umat di dalam masyarakat nagari yang pacak menghadapi

kompleksitas di alaf baru dengan kekuatan budaya dominan.

Page 135: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

112

Suatu kecemasan bahwa sebagian generasi yang bangkit kurang

menyadari tempat berpijak.19

Kelemahan mendasar ditemui karena,melemahnya jati diri,

kurangnya komitmen kepada nilai-nilai luhur agama dan adat

yang menjadi panutan bangsa, dipertajam oleh tindakan isolasi

diri,perbudakan politik, ekonomi, sosial budaya disertai oleh

lemahnya minat menuntut ilmu yang menutup peluang untuk

berperan serta dalam kesejagatan.20

Pemantapan tamadun, agama dan adat budaya menjadi

landasan dasar pengkaderan regenerasi di nagari-nagari di

Minangkabau dengan kewajiban,memelihara dan menjaga

generasi pengganti yang lebih sempurna, mengupayakan

berlangsung proses timbang terima kepemimpinan dalam satu

estafet alamiah; patah tumbuh hilang berganti, karena

kesudahannya yang dapat mencetuskan api adalah batu

pemantik api juga teguh dan setia melakukan pembinaan

retransformasi adat basandi syarak-syarak basandi kitabullah

yang sudah lama dimiliki, mampu berinteraksi dengan

lingkungan secara aktif21

Artinya ada kesiapan melakukan dan menerima perubahan

dalam tindakan yang benar karena sebuah premis syarak

19 Mas’oed Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, h. 74. 20 Mas’oed Abidin, Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari, h. 31. 21 Abidin, Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari, h. 37-38.

Page 136: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

113

mengatakan bahwa segala tindakan dan perbuatan akan selalu

disaksikan oleh Allah SWT, Rasul dan semua orang beriman.

Secara umum pemeranan syarak di tengah pembangunan

masyarakat nagari ialah Menghidupkan kembali sikap prilaku

yang menjadi modal utama membangun nagari dengan alas

musyawarah dan saling menghargai. Sulit membantah bahwa

hilangnya akhlak menjadi salah satu sumber malapetaka, yaitu

punahnya keamanan.22

Indikasi melemahnya syarak diantaranya berkurangnya

minat menyerahkan anak-anak ke Surau-surau, Majelis Taklim,

TPA, MDA, bahkan melemahnya frekuensi pengajian-pengajian

al-Qur’an, dan merebaknya kebiasaan meminum minuman keras

pada sebahagian kecil kalangan muda-remaja di nagari-nagari,

dan berkembangnya keinginan bergaul bebas di luar tatanan dan

batas-batas adat dan syarak (agama):23

a. Menjalin dan menjamin keikut sertaan semua komponen

di tengah masyarakat,

b. Memulai dari penataan akhlak masyarakat anak nagari

menurut kaidah syarak mangato aadat mamakai.

22 Mas’oed Abidin, Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari, h. 23. 23 Mas’oed Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, h. 82-

85.

Page 137: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

114

Akan tetapi seringkali tidak terikuti oleh pembinaan

yang intensif, antara lain disebabkan oleh:

1) Kurangnya tenaga tuangku, imam khatib dan alim

ulama yang berpengalaman, mungkin berkurangnya

jumlah mereka di nagari-nagari atau karena

perpindahan ke kota,

2) Kurangnya minat menjadi imam-khatib dan alim

ulama di nagari,

3) Terabaikannya kesejahteraan alim ulama di nagari-

nagarisecara materil yang tidak seimbang dengan

tuntutan yang diharapkan oleh masyarakat dari

seorang da’i, di antara jalan keluarnya dapat

diupayakan pemerkasaan mereka dengan jalan

pelembagaan musyawarah, dan penetapan anggaran

nagari atau sumber tetap dari masayarakat, karena

umumnya imam-khatib bukanlah pegawai nagari

yang memiliki penghasilan bulanan yang tetap telah

dianggarkan dalam APBD, padahal mereka

senantiasa dituntut oleh tugasnya untuk selalu berada

di tengah umat di nagari yang dibinanya.

4) Memang tantangan dakwah selalu berhadapan

dengan tantangan yang sangat banyak, namun uluran

tangan yang didapat hanya sedikit.

Page 138: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

115

Menghidupkan lembaga syarak sebagai institusi masyarakat

yang perannya tidak kalah penting dari lembaga adat nagari.

Penguatan lembaga kemasyarakatan yang ada di nagari mesti di

sejalankan dengan kelompok pemimpin pemegang kendali

pemerintahan nagari yang adil dalam spirit perubahan

membangun kembali masyarakat nagari.24

3. Cadiak Pandai

Cadiak Pandai (Cerdik Pandai) banyak tersebar di

berbagai bidang kehidupan, terutama yang berkarir sebagai

akademisi.

Mereka perlu diajak dan dihimbau untuk berpartisipasi

dalam membangun Minangkabau dengan sinerginya bersama

Ninik Mamak dan Alim Ulama dalam menciptakan sumber daya

manusia yang mumpuni untuk kemajuaan nagari.Para cerdik

pandai diharapkan melahirkan konsep-konsep aplikatif yang

dapat mengangkat harkat dan martabat masyarakat dalam

mengahadapi berbagai tantangan yang semakin hari semakin

berat.

24 Mas’oed Abidin, Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari, h. 25.

Page 139: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

116

Cerdik merupakan sifat positif yang dimiliki seseorang

untuk mengerti tentang berbagai situasi dan berbagai hal

sehingga dia mampu dengan cerdas mencarikan solusi atau

pemecahan masalah dengan baik dan bijaksana.

Sementara itu, pandai adalah cepat dan cerdas menangkap

sesuatu sehingga pokok permasalahan yang di sampaikan orang

lain dapat dipahaminya dengan cepat dan baik sehingga orang

lain itu tidak perlu menyampaikannya secara rinci.

Orang-orang cerdik pandai memiliki cara berpikir yang

kritis, rasional, sistemik, sistematik, dan holistik serta tidak

memiliki emosi yang meledak-ledak. Mereka menggunakan raso

jo pareso manuruik alua jo patuik dalam berbagai situasi dan

kondisi di dalam kehidupan sehari-hari. Mereka adalah orang

yang beradat dan beragama yang diperlihatkan dan dipraktikkan

dalam bentuk sebagai teladan bagi orang-orang lainnya.

Berkaitan dengan cerdik pandai, Hamka mengemukakan bahwa:

“Orang yang cerdik pandai adalah orang-orang yang

pahamnya luas penyelidikannya dalam, batjaanja banjak. Sebab

itu banjaklah jang diketahuinja, sehingga dia tidak merasa

tjanggung dalam pergaulan dengan segala lapisan. Oleh karena

ada pengetahuannja dalam suatu hal, maka ia berani

bertanggung djawab. Maka kita namai dia orang tang “tjerdik

pandai”.25

25 Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, (Jakarta: Fa. Tekad, 1963), h. 16.

Page 140: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

117

Cerdik pandai dapat dengan baik menghargai pendapat

orang lain, pandai dan dapat bertoleransi dengan berbagai

kelompok masyarakat yang tingkatan pemahaman dan pemikiran

yang beragam pula. Mereka berpikir cepat dan tajam dalam

menghadapi kesulitan dan tantangan, mahir dan cerdas

menyampaikan pendapatnya dengan muka yang cerah

dansenyum dibibir.

Mereka bukanlah orang yang suka menghardik dengan

mengepal tinju serta memperlihatkan muka merah di depan

banyak orang. Mereka merupakan pemikir yang baik dengan

daya analisis yang tajam dan memiliki nas, mereka ahli dalam

mempresentasikan pemikirannya di hadapan orang ramai,

mereka mampu meladeni khalayak dalam berdiskusi dan

berdebat, dan mereka adalah diplomat ulung.

Cerdik pandai sebagai manusia intelektual, profesional,

dan terpelajar, diharapkan dapat mengevaluasi keadaan

masyarakat baik kekuatan maupun kelemahan yang dimiliki

sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Cerdik pandai yang diharapkan menyusun konsep-konsep

hidup dan kehidupan untuk memastikan dicapai bumi sanang,

sawah manjadi, padi manguniang, jaguang mangupiah, taranak

bakambang biak. Bapak kayo, mandeh batuah mamak dihormati

urang pulo sehingga terciptanya masyarakat yang aman, damai,

dan makmur, serta memperoleh keberkahan dari Allah SWT.

Page 141: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

118

Segala tujuan dalam masyarakat hanya mungkin dapat

dicapai apabila disiapkan perangkat untuk mencapai tujuan itu.

Adalah tugas dari Cerdik Pandai menyiapkan sumber daya

manusia yang berkualitas dengan bersinergi bersama ninik

mamak dan alim ulama.

Sementara itu, hasil rumusan Seminar Kebudayaan

Minangkabau atau Kongres Kebudayaan Minangkabau

(SKM/KMM) Gebu Minang mengemukakan, bahwa:

“Cerdik Pandai adalah para cendikiawan, seniman,

budayawan, serta kaum intelektual lainnya yang bertugas dan

berfungsi memberi pencerahan kepada seluruh kaum

Minangkabau mengenai bidang masing-masing” (Gebu Minang,

2011:109).

Dengan demikian, cerdik pandai adalah problem solver

yang harus mampu mencarikan way out setiap permasalahan

yang ada di Minangkabau secara terukur, terencana, sistematik,

sistemik, dan holistik. Dengan berlakunya pula aturan syarak dan

adat dengan baik dan benar dalam kehidupan anak nagari,

masyarakat sejahtera, adil, dan makmur yang selamat di dunia

dan di akhirat tentu dapat diharapkan tercipta di ranah

Minangkabau.

Page 142: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

119

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian penulis, penulis memperoleh beberapa

kesimpulan terhadap hasil penelitian tentang telaah etika Minangkabau

yang terdapat dalam konsep Tungku Tigo Sajarangan Minangkabau, dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1.) Tungku Tigo Sajarangan merupakan etika Minangkabau yang

terbentuk oleh masyarakat di Minangkabau, Etika Minangkabau dalam

masyarakat Minangkabau membentuk serangkai Tungku Tigo

Sajarangan dengan etika Minangkabau yang berbeda dan saling

berkaitan dalam mempertahankan etika dan mengembangkannya

kepada masyarakat Minangkabau.

2.) Etika Minangkabau dalam telaah Tungku Tigo Sajarangan memiliki

empat bentuk etika yang terdapat dalam Etika Adat sabana Adat, etika

adat nan taradat, etika adat nan diadatkan, dan etika adat istiadat yang

berlaku dalam nagari di Minangkabau dan perkembangannya terhadap

etika Minangkabau bagi anak nagari.

Page 143: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

120

B. Saran

Hemat penulis, hasil penelitian penulis terhadap hasil penelitian

tentang telaah etika Minangkabau yang terdapat dalam konsep Tungku

Tigo Sajarangan Minangkabau, maka penulis memiliki saran terhadap

perkembangan etika Minangkabau, yaitu:

1. Etika Minangkabau dan Tungku Tigo Sajarangan di nagari haruslah

dipertahankan dalam keberlangsungan pengembangan pedoman etika

Miangkabau dalam berkehipan “Adat Basandi Syara, Syarak Basandi

Kitabullah” terhadap masyarakat. Tungku Tigo Sajarangan

difungsikan sesuai dengan etika Miangkabau sebagai peranan dan

tugas pokok pemimpin yang berguna dalam perkembangan adat

terhadap anak nagari di Minangkabau. Minangkabau haruslah

memberikan ruang terhadap Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak

Pandai dalam mengembangkan etika Minangkabau.

Penulis menyadari, dalam pengembangan tulisan dan penelitian ini

terdapat berbagai kekurangan dan hal-hal lainnya, maka penulis sangat

menerima dan terbuka atas kritik beserta saran, agar berkembangnya

kedalaman ilmu pengetahuan terkhusus tentang adat dan budaya di

Minangkabau.

Page 144: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

121

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Abidin, Mas’oed. Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi

Kitabullah. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau, 2004.

______, Mas’oed. Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari. Yogyakarta:

Gre Publishing, 2014.

Anwar, Chairul. Hukum Adat Indonesia; Meninjau Hukum Adat

Minangkabau.Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Bahar, Saafroedin. Masih Ada Harapan: Posisi Sebuah Etnik Minoritas dalam

Hidup Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Yayasan Sepuluh Agustus,

2004

_____, Saafroedin. ABS-SBK: Filosofi Hidup Untuk Dipraktikkan Bukan

Sekedar Konsep. Jakarta: Gria Media, 2015.

Batuah, Maruhum, A.M. Dt, Dt. Bagindo Tanameh. Hukum Adat dan Adat

Minangkabau. Jakarta: Pustaka Aseli, 1956.

Berthens, K.Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2007.

Page 145: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

122

Diradjo, Ibrahim Dt. Sanggoeno. Tambo Alam Minangkabau (Tatanan Adat

Warisan Nenek Moyang Orang Minang). Sumatera Barat: Kristal

Multimedia, 2009.

Esten, Mursal. Minangkabau: Tradisi dan Perubahan. Padang: Angkasa

Raya, 1993.

H.B Saanin, Dt. Tan Pariaman. Kepribadian Orang Minangkabau; dalam

Kepribadian dan Perubahan. Jakarta: PT Gramedia, 1980.

Hakimi, Idrus. 1000 Pepatah Petitih, Mamang, Bidal Pantun, Gurindam.

Bandung: Remadja Rosdakarya, 1988.

______, Idrus. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau.

Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997.

Hamka. Sejarah Islam di Sumatera. Medan: Pustaka Nasional, 1950.

______. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Jakarta: Fa. Tekad, 1963

Hanafiah. Tinjauan Adat Minangkabau. Jakarta, 1970.

Indo, Madjo. Kato Pusako (Papatah, Patitih, Mamang, Pantun Ajaran, dan

Filsafat Minangkabau). Jakarta: PT Rora Karya, 1999.

Page 146: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

123

Jamil, Muhammad. Hiduik Baradek “Inilah Karakter Pendidikan dan Budi

Pekerti Orang Minang”. Bukittinggi, Sumatera Barat: Cinta Buku

Agency, 2015.

Julius, Dt. Malako Nan Putiah. Mambangkik Batang Tarandam: Dalam

Upaya Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi

Kehidupan Bangsa. Bandung: Penerbit Citra Umbara, 2007.

Junus, Mahmud. Sejarah Islam di Minangkabau (Sumatera Barat). Jakarta:

Al-Hidajah, 1971.

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan,

1971.

M.D., Mansoer, dkk. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara, 1970.

Manggis, Rasjid, M. Dt. Radjo Panghoeloe. Minangkabau “Sejarah

Ringkasdan Adatnya. Padang: Sri Dharma, 1971.

Maronrong, Ridwan. ABS-SBK: Filosofi Hidup Orang Minangkabau.Jakarta:

STIE Indonesia Jakarta, 2014.

Minang, Gebu. Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi

Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi

Guru. Jakarta: Penerbit Gebu Minang, 2011.

Page 147: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

124

Naim, Mochtar. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1979.

Nasroen, M. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang,

1971.

Navis, A.A. Sastra Tradisional Minangkabau. Padang, 1970

_____, A.A. Meninjau Masalah Adat Minangkabau dalam Novel Indonesia.

Budaya Jaya: 1976.

_____, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan

Minangkabau. Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1984.

Noer, Deliar. Muhammad Hatta: Biografi Politik. Jakarta: Lembaga

Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial, 1990.

Radjab, Muhammad. Perang Paderi. Jakarta: Balai Pustaka, 1954.

______, Muhammad. Sistem Kekerabatan di Minnagkabau. Padang: Center

for Minangkabau Studies, 1969.

Rusli, Amran. Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Penerbit

Sinar Harapan, 1981.

Saydam, Gouzali. Kamus Lengkap Bahasa Minang Jilid I. Padang: Pusat

Pengkajian Islam Dan Minangkabau,2004.

Page 148: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

125

Thaib, Darwis, Dt. Siti Bandaro. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi:

Nusantara, 1965.

Yulika, Febri. Epistimologi Minangkabau; Makna Pengetahuan Dalam Filsafat

Adat Minangkabau. Padang Panjang: LPPMPP ISI Padang Panjang,

2017.

Zahari, Musril. Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di

Minangkabau. Jakarta: PT Gria Media Prima, 2015.

Sumber Jurnal

Ahmad Kosasih. Upaya Penerapan Nilai-nilai Adat dan Syarak Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari. 2013.

Dwi Rini Sovia Firdaus, Djuara P.Lubis, dkk. Potret Budaya Masyarakat

Minangkabau Berdasarkan Keenam Dimensi Budaya Hofstede.

SODALITY Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 6 No. 2. Agustus 2018.

Erwin Mardiansyah, Rasmida, dkk. Nan Lah Lapuak (Pengaruh Modernitas

terhadap Adat). BESAUNG Jurnal Vol. 4 No. 4. September 2019.

Meri Handayani, V. Indah Sri Pinasti. Pergeseran Peran Niniak Mamak pada

Masyarakat Minangkabau dalam Era Modernisasi. 2017.

Page 149: ETIKA MINANGKABAU (TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO …

126

Nurwani Idris, Kedudukan Perempuan dan Aktualisasi Politik dalam

Masyarakat Matrilinial Minangkabau. Jurnal Masyarakat Kebudayaan

dan Politik Tahun 25, No: 2108-116. 2007.

Roni Afrizal. Peranan Wali Nagari dalam Pelaksanaan Pemerintahan Nagari

di Nagari Muaro Takung Kecamatan Kamang Baru Kabupaten

Sijunjuang. 2013.

Siti Fatimah, Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Minangkabau pada

Masa Pendudukan Jepang. TINGKAP Vol. VII No.1, 2011.

Teguh Haniko Putra, Rahayu Supanggah. Memudarnya Wibawa Niniak

Mamak sebagai Urang nan Gadang Basa Batuah di Minangkabau.

GELAR Jurnal Seni Budaya Vol. 15 No. 2. 2017.

Sumber Internet

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

www.dpr.go.id