etiopatog drug eruption
TRANSCRIPT
Aspek imnunopatogenesisnya adalah :
1. Metabolisme Obat dan Hipotesis Hapten
Suatu subtansi dikatakan merupakan imunogen lemah atau tidak
imunogenik bila berat molekul kurang dari 4000 Dalton. Sebagian besar
obat-obatan merupakan senyawa kimia organik sederhana dengan berat
molekul rendah, sehingga merupakan imunogen lemah atau bahkan tidak
imunogenik. Obat-obatan dengan berat molekul rendah dapat menjadi
imunogenik bila obat atau metabolit obat berikatan dengan karier
makromolekul, seringkali melalui ikatan kovalen, membentuk kompleks
hapten-karier, sehingga pengolahan antigen menjadi efektif.7,8 Untungnya,
sebagian besar obat merupakan molekul yang stabil dan memiliki sedikit
kemampuan atau tidak mampu (tidak cukup reaktif) membentuk ikatan
kovalen dengan komponen jaringan. Hal ini menerangkan rendahnya
insidens alergi obat.7 Ternyata terdapat beberapa obat dengan BM rendah
(misalnya polimiksin), yang bersifat irnunogenik tanpa konjugasi dengan
jaringan. Meski mekanisme yang pasti belum diketahui, imunogenesitas
suatu obat mungkin berhubungan dengan kemampuan obat membentuk
polimer rantai panjang. Sedangkan obat-obatan dengan berat molekul
tinggi merupakan antigen lengkap yang dapat menginduksi respons imun
dan memicu reaksi hipersensitivitas.6,7 Kecenderungan obat tertentu untuk
menimbulkan sensitisasi adalah karena obat tersebut memang cenderung
membentuk metabolit yang sangat reaktif.
Pemahaman baru tentang pengenalan obat oleh sistem imun
berdasarkan pada model hapten. Potensi obat untuk menjadi alergenik
sangat bergantung pada struktur kimia obat. Peningkatan ukuran molekul
dan kompleksitas berhubungan dengan peningkatan kemampuan untuk
memicu respons imun.6,7
Umumnya obat - obatan yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas
harus mengalami bioaktivasi atau metabolisme menjadi produk kimia
yang reaktif. Umumnya metabolisme obat dianggap sebagai proses
detoksifikasi, obat yang sebelumnya nonpolar dan larut lemak menjadi
lebih polar dan hidrofilik sehingga mudah dieksresi. Jika metabolit tidak
mengalami detoksifikasi yang adekuat, dapat menyebabkan toksisitas
langsung pada sel atau hipersensitivitas yang diperantarai imun.7
Metabolisme obat dibagi menjadi 2 langkah, yaitu reaksi fase I dan
reaksi fase II. Reaksi fase I adalah oksidasi - reduksi atau reaksi hidrolisis,
dan reaksi fase II adalah reaksi konjugasi yang menghasilkan
pembentukan senyawa inaktif yang mudah diekskresi.1,6 Reaksi oksidasi
membutuhkan isoenzim sitokrom P450, prostaglandin sintetase, dan
bermacam- macam peroksidase jaringan. Reaksi fase II diperantarai oleh
berbagai enzim antara lain epoksida hidrolase, glutation S-transferase
(GST), dan N-asetyl transferase (NAT).1 Untuk dapat menimbulkan
reaksi imunologik hapten harus bergabung dengan protein pembawa
(carrier) yang ada di dalam sirkulasi atau protein jaringan hospes. Carrier
diperlukan oleh obat atau metabolitnya untuk merangsang sel limfosit T
agar merangsang sel limfosit B membentuk antibodi terhadap obat atau
metabolitnya.8
Pada umumnya metabolit reaktif yang dibentuk pada fase I
seringkali mengalami detoksifikasi dan eliminasi secara cepat. 1,6 Metabolit
reaktif obat yang tidak didetoksifikasi dapat mengikat protein atau asam
nukleat, sehingga menyebabkan nekrosis sel atau menyebabkan perubahan
produk gen. Reaksi tersebut merupakan efek toksik langsung. Hal ini
terjadi pada metabolit reaktif sulfonamid. Kemungkinan lain, metabolit
reaktif dapat bertindak sebagai hapten yang terikat secara kovalen dengan
makromolekul yaitu protein atau membran permukaan sel. Pengikatan
tersebut membentuk imunogen besar dan multivalen yang dapat
menginisiasi respon imun. Respon imun dapat langsung terhadap obat
atau rnetabolitnya, dapat pula terhadap determinan antigen baru
(neoantigen) yang terbentuk melalui kombinasi obat dengan protein,
misalnya trombositopelia karena kuinin, terbentuk antibodi IgG yang
spesifik untuk kuinin yang terikat pada permukaan trombosit.
Kemungkinan lain, ikatan antara obat dan protein jaringan (komponen
jaringan lain) dapat mengubah tempat pengikatan obat pada molekul
protein jauh dari tempat pengikatan yang sesungguhnya. Perubahan pada
protein jaringan ini kemudian dapat dikenali sebagai benda asing oleh
sistem imun. Mekanisme ini terjadi pada drug-induced autoimmunity.
Contoh fenomena ini adalah sindrom lupus eritematosus sistemik yang
diinduksi hidralazin.5
Antigen harus memiliki multipel combining site (multivalen)
sehingga dapat memicu reaksi hipersensitivitas. Hal ini menyebabkan
bridging molekul antibodi IgE dan lgG atau reseptor antigen pada
limfosit. Konjugasi obat atau metabolitnya (hapten) dengan karier
makromolekul membentuk hapten-karier yang multivalen yang penting
untuk inisiasi respon imun dan elisitasi reaksi hipersensitivitas. Ligan
yang univalen (obat atau metabolitnya) dalam jumlah besar dapat
menghambat respon imun melalui kompetisi dengan konjugat multivalen
pada reseptor yang sama, oleh karena itu konsentrasi menentukan
frekuensi, berat dan angka kejadian ROA. 6,8
Kulit merupakan organ yang aktif bermetabolisme, mengandung
enzim untuk memetabolisme obat baik fase I maupun II. Isoenzim
sitokrom P450 multiple berada di kulit. Netrofil, monosit dan keratinosit
memiliki enzim yang potensial yang dapat mengoksidasi obat menjadi
metabolit reaktif. Kulit juga merupakan organ imunologis yang
mengandung sel Langerhans dan sel dendritik pada pathogenesis ROA.
Kombinasi aktivitas metabolik mungkin dapat menerangkan mengapa
kulit merupakan organ yang paling sering mengalami ROA.6
2. Pengenalan Obat Oleh Sel T
Berbeda dengan sel B, sel T dapat mengenali antigen peptida hanya
melalui molekul major histocornpatibitity complex (MHC). Antigen
eksogen misalnya protein ditangkap oleh antigen presenting cell (APC),
diproses melalui perencanaan enzimatik menjadi peptida kecil, yang
kemudian dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II kepada sel T
CD4+. Sedangkan peptida pendek dari antigen endogen dipresentasikan
molekul MHC kelas I kepada se T CD 8+. Sel T tidak hanya mengenal
suatu peptida tetapi juga antigen nonpeptida baik alami atau sintetik,
antara lain lemak, fenil-pirofosfat, glukosa, logam, atau obat-obatan yang
dipresentasikan melalui MHC atau molekul sepert MHC kepada sel T.8
Mekanisme imunologik erupsi obat yang terpenting adalah
presentasi obat oleh APC, yaitu sel dedritik termasuk sel Langerhans kulit,
kepada limfosit T. Hal tersebut merupakan interaksi yang kompleks antara
ikatan haptenated peptide pada molekul MHC pada APC dan reseptor sel
T. Pengikatan ini dimodulasi oleh beberapa faktor termasuk sitokin,
haptenated peptide itu sendiri dan molekul adhesi antara sel T dan APC.
Beberapa kemungkinan presentasi obat oleh APC telah dikemukakan
sebagai berikut :8
a) Metabolisme obat ekstra hepatik (aktivasi intraseluler)
Kebanyakan obat didetoksifikasi intraseluler melalui isoenzim
sitokrom P450. Metabolisme obat melibatkan reaktive intermediate
yang dapat mengikat protein secara langsung. Jalan ini dialami
sulfametoksasol, dimana metabolit reaktif yang terbentuk
(hidroksilamin dan nitroso supranetoksasol) mengikat protein secara
kovalen.
b) Aktivasi ekstraseluler
Aktivasi ekstraseluler dapat terjadi secara spontan atau
melalui metabolisme dependent myeloperoksidase. Reaktive
intermediate dapat mengikat secara langsung kompleks peptida -
MHC atau mengikat protein ekstraseluler. Ikatan protein obat
tersebut akan ditangkap APC dan diolah menjadi peptida - obat,
yang kemudian dipresentasikan molekul MHC pada permukaan.
3. Tidak ada aktivasi
Jalan ini melibatkan pengikatan obat secara langsung, dan agak labil
kepada kompleks peptida - MHC. Obat ini dapat mengikat MHC, peptida
atau keduanya. Tidak dibutuhkan pengikatan dengan protein sebelumnya,
ambilan (uptake) maupun pengolahan, serta metabolisme untuk
presentasi.8
Diferensiasi subset Th bergantung pada konsentrasi antigen, sifat
APC, dan faktor lingkungan mikro (misalnya hormon). Keberadaan IL-4
menyebabkan polarisasi kuat kepada Th2, sedangkan diferensiasi Th1
diinduksi oleh IFN- atau TGF - , terutama tanpa keberadaaan IL-4. Th2γ β
menstimulasi produksi sel mast, eosinofil dan antibodi IgE. IL-4
bertanggung jawab pada produksi IgE, IL-5 untuk eosinofilia, dan
kombinasi IL-3, IL-4, dan IL-10 untuk produksi sel mast. Sedangkan
sitokin yang dihasilkan Th1 memperantarai respons imun yang berbeda-
beda. Aktivasi makrofag oleh IFN- , dan lebih luas lagi oleh TNF danγ
granulocyte macrophage colony stimulating factor . Th1 juga
memperantarai respon imflamasi seluler kompleks yang dikenal sebagai
hipersensitivitas tipe lambat, dan dengan sekresi IFN dan TNF, jugaγ
berefek sitotoksik langsung ke berbagai tipe sel. Jadi, tiap subset Th
menginduksi dan meregulasi kumpulan fungsi efektor yang saling
berkaitan yang bekerja pada antigen dan patogen yang spesifik. 8
Aktivasi ThI menyebabkan produksi sitokin sepertiI IL-2 dan IFN-
, yang mengakibatkan aktivasi sel T sitotoksik, serta menyebabkanγ
reaksi seperti dermatitis kontak, eksim obat, NET, atau erupsi
mortibiliformis. Aktivasi Th2 menyebabkan produksi IL-4, IL-5, IL-13,
dan produksi antibodi IgE yang mengakibatkan reaksi klinis seperti
urtikaria anafilaksis.8