etnisitas dan integrasi dalam perspektif ekonomi.docx
TRANSCRIPT
TAKE HOME TUGAS KELOMPOK
ETNISITAS DAYAK DI KALIMANTAN BARAT
DAN INTEGRASI NASIONAL DALAM PERSPEKTIF EKONOMI
Take Home Tugas Kelompok ini Disusun Dalam Rangka Untuk Memenuhi Ujian
Tengah Semester II GENAP Mata Kuliah ETNISITAS, INTEGRASI SOSIAL, DAN
NASIONALISME
Dosen Pembina : Prof. Dr. Suyahmo, M.Si
Oleh :
1. NUGROHO EKO PUTRO (0301615007)2. BASUKI WIBOWO (0301615006)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPS S-3
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
Etnisitas Dayak di Kalimantan Barat dan Integrasi Nasional Dalam Perspektif Ekonomi
Oleh :NUGROHO EKO PUTRO, BASUKI WIBOWO
A. PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia yang merupakan bangsa yang terdiri dari pulau-pulau,
memiiliki beragam adat istiadat, etnis, bahasa dan beragam agamanya. Masing-
masing etnis yang ada memiliki ciri-ciri tersendiri yang membedakannya dengan
etnis yang lain. Berdasarkan jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia, dapat
dijadikan indikator pluralisme yang menjadikan masyarakat Indonesia yang
majemuk. Dalam perjalanan sejarah yang telah melampaui beberapa fase,
sehingga sampai waktunya menjadi bangsa yang merdeka, bebas dari
penjajahan. Diawali dari satu tekad yang bulat dari seluruh komponen bangsa,
berbagai elemen yang sadar pada diri dan situasi penjajahan, maka pada tanggal
28 Oktober 1928 lahirlah suatu sumpah, deklarasi yaitu Sumpah Pemuda. Di
mana dalam peristiwa ini, berbagai komponen bangsa yang pada intinya bersatu
tanpa membedakan etnis, agama dan budaya yang berbeda (Paramartha,
2007:1-3).
Sementara orang berpendapat bahwa etnisitas merupakan sesuatu yang
"klasik", soal yang sudah usang. Seperti diyakini kaum modernis, dalam dunia
modern etnisitas akan hilang atau paling tidak surut diganti dengan entitas sosial
berbasis pada ekonomi, kelas, partai atau kelompok kepentingan (interestgroup)
yang lain. Sentimen etnisitas digeser oleh kesadaran kelas, politik etnis diganti
dengan politik kelas, nasionalisme digeser oleh globalisme.
Modernisasi dan kapitalisme tidak bisa menghancurkannya, sebaliknya
justru membangkitkannya dalam bentuknya yang baru. Cara produksi
kapitalisme justru menghasilkan pengelompokan dan mobilisasi etnis tersendiri
(Pieterse, 1996). Bahkan telah mendorong munculnya radikalisme politik etnis-
agama sebagai bentuk perlawanan terhadap modernisasi dan kapitalisme,
seperti terjadi dalam kasus munculnya fundamentalisme tradisi-agama dimana-
mana sekarang ini (Gidden, 1994).
Konstelasi hubungan antar kelompok etnis itu bisa menghasilkan
integrasi atau justru menimbulkan konflik yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan
dari luar, terutama Negara. Oleh karena itu kehadiran negara menjadi sebuah
keniscayaan sebagai faktor penentu dalam menyatukan semua etnis yang ada di
Indonesia. Kehadiran Negara ini bisa menghasilkan integrasi ketika asimilasi baik
karena dipaksakan dalam bentuk inkorporasi maupun secara sukarela melalui
proses amalgamasi (Horowitz, 1985).
Bahar (1998) dalam Syahrial (2014:52) menyatakan bahwa Integrasi
nasional adalah upaya menyatukan seluruh unsur suatu bangsa dengan
pemerintah dan wilayahnya. Mengintegrasikan berarti membuat untuk atau
menyempurnakan dengan jalan menyatukan unsur-unsur yang semula terpisah-
pisah. Menurut Howard Wrigins (1996) dalam Syahrial (2014:52), integrasi
berarti penyatuan bangsa-banga yang bebbeda dari suatu masyarakat menjadi
suatu keseluruhan yang lebih utuh dan memadukan masyarakat-masyarakat kecil
yang banyak menjadi satu bangsa. Jadi menurutnya, integrasi bangsa dipandang
sebagai peralihan dari banyak masyarakat kecil menjadi satu masyrakat besar.
Tulisan ini ini ingin mengungkap; bagaimana etnisitas dayak di
Kalimantan Barat? Bagaimana Strategi Pemerintah melihat etnisitas dayak untuk
membangun Integrasi Nasional? dan bagaimana Etnisitas dayak dan Integrasi
nasional dalam perspektif ekonomi Indonesia?
B. METODOLOGI
Dasar dari penulisan artikel ini lebih bersifat deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Teknik yang digunakan untuk memperoleh data-data dan
fakta-fakta dalam rangka pembahasan masalah dalam tulisan ini adalah
menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yang berupa buku-buku,
literature, kamus, artikel-artikel dalam majalah, jurnal ilmiah, bulletin dan juga
dokumentasi atas Etnisitas Masyarakat Dayak Di Kalimantan Barat Dan Integrasi
Nasional Dalam Perspektif Ekonomi yang didapat dari akses internet. Untuk
teknik analisis data digunakan teknik analisis data kualitatif yaitu sebuah analisa
yang menggambarkan sebuah persoalan berdasarkan fakta-fakta yang ada.
Untuk kemudian di susun ke dalam satuan-satuan kategori dan langkah terakhir
adalah menafsirkan atau memberikan makna terhadap data-data yang peneliti
sedang teliti. Dalam artikel ini penulis berusaha menggambarkan “Etnisitas
Dayak di Kalimantan Barat Dan Integrasi Nasional Dalam Perspektif Ekonomi”
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bangsa Dayak
Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli
non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu. Ini terutama berlaku di
Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap
termasuk kategori Dayak walaupun beberapa di antaranya disebut dengan Suku
Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini.
Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang
berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa
Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang
berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari
sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau
yang tak pada tempatnya.
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah
Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut
Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah orang Daya (orang darat) ditujukan
untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya
dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di
Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar
dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar
(daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang
masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil, selanjutnya oleh
pihak kolonial Belanda hanya kedua daerah inilah yang kemudian secara
administratif disebutTanah Dayak. Sejak masa itulah istilah Dayak juga ditujukan
untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak”
dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli
setempat yang berbeda-beda bahasanya, khususnya non-Muslim atau non-
Melayu. Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak
dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih
kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan.
Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang
ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak
dalam pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans
(1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti
manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti
pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang
yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan
bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia,
sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu
sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa
istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh
orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et al.
mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan
dalam literatur, yaitu Daya, Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri
pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar
lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.
Asal Usul Orang Dayak
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah
penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan
linguis seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa
Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang
Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian, ada
kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia
sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo.
Antara 60.000 dan 70.000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter
lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan
(para geolog menyebut daratan ini "Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari
benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat
itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan.
Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar
menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau
Kalimantan. Tetek Tahtummenceritakan migrasi suku Dayak Ngaju dari daerah
perhuluan sungai-sungai menuju daerah hilir sungai-sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah
kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak
Jawa yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh
Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut
mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk
daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya
terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama
masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang
memeluk Islam keluar dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai
orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai.
Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai,
masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai,
Margasari, Batang Amandit, Batang Labuan Amas dan Batang Balangan. Sebagian
lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada
di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar
Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah
seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku
Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku
Kutai.Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke
Kalimantan. BangsaTionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa
Dinasti Ming yang tercatat dalam buku 323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643).
Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi
adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang Pangeran yang
berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I. Kunjungan tersebut
pada masa Sultan Hidayatullah I dan penggantinya yaitu Sultan Mustain Billah.
Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang
jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah
terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai
menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan
perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena
mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin.
Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa
Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,
belanga (guci) dan peralatan keramik. Tidak hanya itu, sebagian dari mereka juga
ada bangsa Eropa.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada
abad XV Kaisar Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan
(termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok
pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka,
Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang
Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa
tersebut membawa juga barang dagangan di antaranya candu, sutera, barang
pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci. Kerajaan Kutai
Kartanegara yang berada di Kalimantan Timur dulunya adalah kerajaan Suku
Dayak.
Etnisitas Dayak di Kalimantan Barat
Bangsa Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik
yang tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno
Linguistik dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat menjadi 4
kelompok besar, 1 kelompok kecil yakni:
Kendayan / Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin,
Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten
Landak, Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya. Mempunyai gerak tari,
enerjik, stakato, keras.
Ribunic / Jangkang Grop/ Bidoih / Bidayuh : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng,
Lintang, Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah
penyebarannya di Kabupaten Sanggau Kapuas, mempunyai ciri gerak tangan
membuka, tidak kasar dan halus.
Iban / Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau,
Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan
sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan),
Kabupaten Sanggau / malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten
Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas
Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul
yang dominan, tidak keras dan tidak terlalu halus.
Banuaka" Grop : Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya.
Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirip kelompok
ibanic, tetapi sedikit lebih halus.
Kayaanik, punan, bukat dll.
Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah
besar groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan gerak tarinya,
karena menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil.
Misalnya Dayak Mali / ayek-ayek, terdapat dialur jalan tayan kearah kab.
ketapang. kemudian Dayak Kabupaten Ketapang,Daerah simpakng seperti Dayak
Samanakng dan Dayak Kualan, daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong,
Sandai, daerah Krio, Aur kuning. Daerah Manjau dsb.
Kemudian Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo/Damea,
Sungkung daerah Sambas dan Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian
daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan,
Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi, yaitu: dayak
Keninjal(mayoritas tanah pinoh;antara lain desa ribang rabing, ribang semalan,
madya raya, rompam, ulakmuid, maris dll)dayak Kebahan (antara lain
desa:poring,nusa kenyikap, Kayu Bunga, dll yang memiliki tari alu dan tari
belonok kelenang yang hampir punah), dayak Linoh (antara lain desa:Nanga
taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen (Jongkong, sebagian desa
balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai bakah/sungai mangat
nyanggai nanga raya, dll), dayak limai (antara lain desa tanjung beringin,tain,
menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak ranokh/anokh (antara lain
sebagian di desa batu buil, sungai raya dll), dayak sebruang (antara lain didesa
tanjung rimba, piawas dll),dayak Ot Danum (masuk kelompok kal-teng), Leboyan.
Integrasi Nasional
Integrasi nasional, jika tidak disebut membangun bangsa, Kesatuan
nasional, kohesi kebangsaan, kesetiaan negara, atau pertanyaan nasional
"menyangkut konsensus tentang batas-batas masyarakat politik serta tentang
hakikat rezim politik" (Liddle, 1970: 205 dikutip dalam Otite 2000: 188). Ini
berarti sebagai perwujudan dalam perjanjian antar warga negara mengenai
tingkat keutuhan mereka untuk memiliki jenis struktur politik dan lembaga-
lembaga yang mereka inginkan. Ini juga merupakan "proses penyatuan
masyarakat yang cenderung menjadikannya masyarakat yang harmonis,
berdasarkan ketaatan para anggota dalam menganut keadilan yang harmonis"
(Duverger, 1976: 177). Ini berarti bahwa integrasi meningkatkan kesatuan yang
mendorong terjadinya interaksi yang baik antara para anggota masyarakat
sesuai dengan prinsip yang ditetapkan berdasarkan keadilan.
Integrasi nasional juga didefiniskan sebagai "hubungan masyarakat antara
orang-orang dalam entitas politik yang sama ... kondisi pikiran atau disposisi
untuk menjadi kohesif, untuk bertindak bersama-sama, untuk berkomitmen
dalam tujuan bersama." (Yakub dan Tenue dalam Enaruna Edosa, 2014: 63).
Dengan demikian berpedoman pada kesatuan masyarakat dimana anggotanya
bersedia untuk hidup dan bekerja bersama secara harmonis dan berbagi nasib
bersama. Ini juga telah dilihat sebagai suatu proses dimana anggota suatu sistem
sosial mengembangkan hubungan agar batas-batas sistem tetap terjaga (sic) dari
waktu ke waktu dan batas-batas sub-sistem menjadi berkurang akibat dari
pengaruh perilaku yang sudah menjadi kebiasaan. Dalam proses tersebut,
anggota dari sebuah sistem sosial mengembangkan tingkat hubungan, kerja
sama, kesepakatan dalam masyarakat (Morrison et al, 1972: 385 dikutip dalam
Ojo, 2009: 51).
Ernst B. Haas (dalam Sitepu, 2008) memberi batasan konsep integarsi
sebagai "a process for the creation of piolitical communities defined institutional
or attitudinal terms.” Joseph Nye memberi batasan konsep integrasi sebagai
upaya pembentukan bagian-bagian menjadi kesatuan. Integrasi dapat dipilah-
pilah menjadi integrasi ekonomi, integrasi sosial, serta integrasi politik, dan
ketiga tipe integrasi ini dapat dibagi ke dalam beberapa sub-tipe, yang masing-
masing memiliki indikator pengukuran atau bukti yang jelas.
Deutsch dan Joseph Nye (dalam Mas’oed, 1990) mengembangkan konsep
integrasi dengan indikator-indikator yang dapat diukur atau dianalisis. Deutsch
mengartikan konsep integrasi dengan konsep security-community, yaitu
penciptaan lembaga-lembaga dan praktik-praktik yang cukup kuat dan cukup
meluas sehingga bisa menjamin, untuk waktu yang lama, harapan di antara
penduduknya akan adanya perubahan secara damai. Lebih lanjut ditegaskan,
komunitas-keamanan (security-community) adalah komunitas politik yang ada di
dalamnya mendapat jaminan nyata bahwa anggota komunitas itu tidak akan
saling berperang satu sama lain atau melakukan tindakan konfrontatif, tetapi
menyelesaikan pertikaian yang terjadi dengan cara-cara lain.
Ahli integrasi, Myron Meiner (dalam Fithriani, 2008) menyatakan,
integrasi nasional mencakup nilai-nilai masyarakat yang luas dengan 5 (lima)
aspek persoalan pokok dalam negara, yaitu integrasi bangsa, integrasi wilayah,
integrasi elit-massa, integrasi nilai, dan perilaku integratif. Sedangkan William
Liddle (1970) melihat persoalan integrasi nasional sebagai masalah integrasi
horizontal dan integrasi vertikal elit massa. Pada integrasi horizontal mencakup
integrasi perbedaan yang berakar pada masalah heterogenitas etnik, ras,
geografi dan agama, sedangkan integrasi vertikal mencakup integrasi perbedaan
yang berakar pada masalah politik, sosial budaya, dan ekonomi.
Lemhannas (dalam Sunardi, 2004) merumuskan konsep integrasi nasional
berdasarkan konstelasi geografi, geopolitik, dan geostrategi Indonesia. Integrasi
nasional merupakan satu kesatuan yang utuh, bulat, dan menyeluruh (integral
komprehensif) di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan
pertahanan keamanan.
Koentjaraningrat menggunakan istilah integrasi nasional untuk
menunjukkan usaha membangun interdependensi yang lebih kuat antar bagian
dari organisme hidup antar anggota-anggotanya yang dianggap sama
harmonisnya. Sedangkan istilah integrasi nasional menurut Coleman dan Rosberg
seperti yang dikutip oleh Sjamsuddin memiliki dua dimensi, yaitu vertikal (elite
massa) dan horizontal (teritorial). Integrasi vertikal disebut juga integrasi politik,
tujuannya untuk menjembatani celah perbedaan yang mungkin ada antara elite
dan massa dalam rangka pengembangan suatu proses politik terpadu dan
masyarakat politik yang berpartisipasi. Yang dimaksudkan dengan integrasi
teritorial adalah integrasi dalam bidang horizontal yang bertujuan mengurangi
diskontinuitas dan ketegangan kultur kedarahan dalam rangka proses penciptaan
suatu masyarakat politik yang homogen.
Menurut Weiner, integrasi bangsa sebagai bagian dari integrasi politik
berarti bahwa bagi masyarakat majemuk yang meliputi berbagai suku bangsa, ras
dan agama, integrasi bangsa dirasakan sangat penting untuk mengarahkan rasa
kesetiaan masyarakat kepada bangsanya yang menyatukan berbagai kelompok
sosial budaya dalam satu kesatuan wilayah dan satu identitas nasional.
Strategi Pemerintah melihat etnisitas dayak Kalimantan Barat untuk
membangun Integrasi Nasional
Masalah integrasi nasional merupakan persoalan yang dialami oleh
semua negara terutama adalah negara-negara berkembang. Dalam usianya yang
masih relatif muda dalam membangun negara bangsa (nation state), ikatan
antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam negara masih rentan dan
mudah tersulut untuk terjadinya pertentangan antar kelompok. Disamping itu,
masyarakat du negara berkembang umumnya memiliki ikatan primodial yang
masih kuat. (Panggabean, 2012) Kuatnya ikatan primordial menjadikan
masyarakat lebih terpancang pada ikatan-ikatan primer yang lebih sempit seperti
ikatan keluarga, ikatan kesukuan, ikatan sesama pemeluk agama, dan
sebagainya. Dengan demikian upaya mewujudkan integrasi nasional yang
berdasarkan pada ikatan yang lebih luas dan melewati batas-batas kekeluargaan,
kesuksuan, dan keagamaan menjadi sulit untuk diwujudkan.
Dalam rangka mengupayakan terwujudnya integrasi nasional Setiap
etnik seharusnya tidak tampil atau mengelompokan diri secara eksklusif.
Mengutif pendapat Liddle (1970:16), Schefold menyatakan, dalam kaitannya
dengan kompleksitas hubungan antar daerah, suku, keragaman etnik dengan
budaya yang berbeda bisa menjadi kekuatan sosial. Perbedaan agama atau
pandangan hidup misalnya, menjadi ikatan etnik yang kuat dan mempengaruhi
suatu negara secara nasional. Karena itulah, dalam era global saat ini, perlu
digalang sikap loyalitas dan menjaga hubungan harmonis antar etnik. Terlebih di
Indonesia yang multietnik dan memiliki struktur yang kuat, sehingga setiap
daerah semestinya mendukung keberadaan etnik tersebut untuk menjaga
keutuhan negara itu sendiri. Sebaliknya, setiap etnik juga harus aktif dan
berpartisipasi penuh membangun sikap nasionalisme. Selain itu, Pemerintah juga
harus memiliki sikap dan strategi yang kuat dalam membangun kekuatan
integrasi nasional, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Strategi asimilasi
Asimilasi adalah proses percampuran dua macam kebudayaan atau
lebih menjadi satu kebudayaan yang baru, dimana dengan percampuran
tersebut maka msing-masing unsur budaya melebur menjadi satu sehingga
dalam kebudayaan yang baru ini tidak tampak lagi identitas masing-masing
budaya pembentuknya. Ketika asimilasi ini menjadi sebuah strategi integrasi
nasional, berarti bahwa negara mengintegrasikan masyarakatnya dengan
mengupayakan agar unsur-unsur budaya yang ada dalam negara itu benar-
benar melebur menjadi satu dan tidak lagi menampakkan identitas budaya
kelompok atau budaya lokal. Dengan strategi demikian, tampak bahwa upaya
mewujudkan integrasi nasional dilakukan tanpa menghargai unsur-unsur
budaya kelompok atau budaya lokal dalam masyarakat negara yang
bersangkutan. Dalam konteks perubahan budaya, asimilasi memang bisa saja
terjadi dengan sendirinya oleh adanya kondisi tertentu dalam masyarakat.
Naumn, bisa juga hal itu merupakan bagian dari strategi pemerintah negara
dalam mengintegrasikan masyarakatnya, yaitu dengan cara melalukan
rekayasa budaya agar integrasi nasional dapat diwujudkan. Dilihat dari
perspektif demokrasi, apabila upaya yang demikian itu dilakukan, dapat
dikatakan sebagai cara yang kurang demokratis dalam mewujudkan integrasi
nasional.
2. Strategi akulturasi
Akulturasi adalah proses percampuran dua macam kebudayaan atau
lebih sehingga memunculkan kebudayaan baru, dimana ciri-ciri budaya asli
pembentuknya masih tampak dalam kebudayaan baru tersebut. Dengan
demikian, berarti bahwa kebudayaan baru yang terbentuk tidak “melumat”
semua unsur budaya pembentuknya.. apabila akulturasi ini menjadi strategi
menjadi strategi yang diterapkan oleh pemerintah suatu negara, berarti
bahwa negara mengintegrasikan masyarakatnya dengan mengupayakan
adanya identitas budaya bersama namun tidak menghilangkan seluruh unsur
budaya kelompok atau budaya lokal.
Dengan strategi yang demikian, tampak bahwa upaya mewujudkan
integrasi nasional dilakukan dengan tetap menghargai unsur-unsur budaya
kelompok atau budaya lokal, mapun penghargaan tersebut dalam kadar yang
tidak terlalu besar. Sebagaimana asimilasi, proses akulturasi juga bia terjadi
dengan sendirinya tanpa sengaja dikendalikan oleh negara. Namun, bisa juga
akultuasi menjadi bagian dari strategi pemerintah negara dalam
mengintegrasikan masyarakatnya. Dilihat dari perspektif demokrasi, strategi
integrasi nasional melalui upaya akulturasi dapat dikatakan sebagai cara yang
cukup demokratis dalam mewujudkan integrasi nasional, karena masih
menunjukkan penghargaan terhadap unsur-unsur budaya kelompok atau
budaya lokal.
3. Strategi pluralis
Paham pluralis merupakan paham yang menghargai terdapatnya
perbedaan dalam masyarakat. Paham pluralis pada prinsipnya mewujudkan
integrasi nasional dengan memberi kesempatan pada segala unsur perbedaan
yang ada dalam masyarakat untuk tumbuh dan berkembang. Ini berarti bahwa
dengan strategi pluralis, dalam mewujudkan integrasi nasional negara
memberi kesempatan kepada semua unsur keragaman dalam negara baik
suku, agama, budaya, daerah, dan perbedaan-perbedaan lainnya untuk
tumbuh dan berkembang, serta hidup berdampingan secara damai. Jadi,
integrasi nasional diwujudkan dengan tetap menghargai terdapatnya
perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pandangan multikulturalisme, bahwa setiap
unsur perbedaan memiliki nilai dan kedudukan yang sama, sehingga masing-
masing berhak mendapatkan kesempatan untuk berkembang.
Karena pada etnis yang berbeda, dan dengan unsur budayanya yang
ada, baik berupa agama, kebiasaan, adat-istiadat, bahasa, teknologi dan lain
sebagainya memiliki nilai positif tersendiri untuk terus menjaga adanya
solidaritas sosial pada masyarakat yang ada, dengan begitu pada setiap etnis
yang ada memiliki nilai budaya tersendiri yang akan mampu di jadikan sebagai
wahana integrasi sosial baik bagi masyarakat di dalam lingkungan etnis
tersebut maupun di luar etnis masyarakat dimana budaya tersebut berada.
Namun satu hal yang sangat penting untuk dapat menciptakan
integrasi yang kuat antara etnis yang berbeda adalah melalui pembelajaran
multikultural, dimana kita dianjurkan untuk bukan hanya tau namun juga
bagaimana bersikap, bagaimana menghormati budaya orang lain pada etnis
yang berbeda. Karena itu pada bagian ini beberapa contoh dari budaya etnis
yang berbeda tersebut perlu kita ketahui.
Etnisitas Dalam Perspektif Ekonomi
Theories of Ethnicity atau Teori Etnik (Schefold, 1998:259), menggariskan
bahwa keberadaan etnis-etnis di dunia memiliki perjalanan sejarah yang panjang
berkaitan dengan penjajahan. Etnis-etnis di negara kawasan Asia Tenggara
termasuk Indonesia yang merupakan negara bekas dijajah misalnya, dalam
perjalanan sejarah, keberadaan etnik yang beragam itu pada zaman penjajahan
sering dijadikan isu dan alat untuk memecah belah persatuan. Politik kolonial
yang terkenal dengan istilah politik memecah belah atau politik adu domba
merupakan senjata ampuh untuk menaklukkan etnis yang memberontak kepada
penjajah. (Koentjaraninggrat 1993:3 dalam Schefold, 1998:259-260). Boleh jadi,
pemahaman estetika sengaja disumbat agar terjadi pengaburan atau
pemusnahan ciri-ciri harmoni, selaras dan kebersamaan dalam estetika.
Setelah zaman kolonial, keberadaan etnik di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia memang tidak lagi berurusan dengan penjajah, tetapi justru masalah
muncul kerena tekanan politik penguasa, ekonomi dan pengaruh
modernisasi/globalisasi yang merangsek dengan teknologi canggih. Mengutif
pendapat Glazer dan Moynihan (1963), Clifford Geertz (1973), Schefold
menyatakan bahwa masalah etnik secara psikologis menjadi sangat kuat
mempengaruhi seseorang karena munculnya kesadaran akan persamaan asal-
usul, tempat kelahiran, bahasa, dan pandangan hidup. Munculnya kesadaran
etnik ini di mata para penguasa secara politis bisa dimanfaatkan sebagai
kekuatan untuk menekan sikap primodial dan dijadikan wahana pemersatu
dalam proses modernisasi, serta meningkatkan kualitas hubungan sosial. Di
Negara-negara Dunia ke-Tiga, termasuk Indonesia, kesadaran menumbuhkan
sikap solidaritas antar etnik yang berbeda ini terus dipelihara demi
memperkukuh persatuan nasional. Seperti pendapat Geertz, keunggulan
domestik dari etnik harus mampu memberi kontribusi terhadap negara, bukan
sebaliknya malah menimbulkan sikap primordial berlebihan.
Dalam perekonomian, perbedaan identitas dan kebiasaan antar etnis
menimbulkan tindakan-tindakan ekonomi untuk memenuhi kekurangan masing-
masing etnis. Pertemuan antar etnis inilah yang menyebabkan hubungan
komplementer antar keduanya. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
kelompok etnis yang lain menyebabkan adanya hubungan antara kelompok etnis
yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat perkotaan
yang cenderung telah menghilangkan ide-ide konstruksi etnis yang memisahkan
antara ‘saya’ dan ‘mereka’.
Dalam masyarakat tradisional yang masih memegang batasan etnis dan
budaya, ketika satu etnis bertemu dengan etnis yang lain dan melakukan aktifitas
ekonomi diantara mereka, maka mereka akan membentuk suatu peraturan yang
dianggap lazim oleh kedua belah pihak tanpa meninggalkan ciri masing-masing
etnis dalam berinteraksi. Sedangkan dalam masyarakat yang terbuka, mereka
akan menanggalkan ciri etnis masing-masing dan membaur dalam peraturan
yang disepakati bersama.
Hal inilah yang dapat mendorong pembangunan kearah yang lebih baik,
yaitu setiap kelompok etnis bebas untuk melakukan adat istiadat yang
diyakininya tanpa merasa terancam oleh kelompok etnis lain tetapi juga bersikap
toleran terhadap kelompok etnis lain sehingga tiap-tiap orang tidak perlu
meninggalkan ciri etnis dan budayanya untuk berinteraksi dengan kelompok
etnis lain untuk menyesuaikan diri terhadap hubungan-hubungan dan institusi
pasar. Kepatuhan akan keputusan bersama yang timbul baik secara konstitusi
kenegaraan maupun hukum adat, tertulis ataupun tidak tertulis karena
berdasarkan pada kebiasaan harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran bahwa
tiap-tiap orang meskipun berasal dari etnis dan budaya yang berbeda
mempunyai hak-hak dan kewajiban sipil sebagai warga Negara yang harus
mendukung pembangunan Indonesia kearah yang lebih baik.
Seiring dengan berkembangnya ekonomi dan ideologi kapitalisme, maka
dunia juga semakin berkembang secara dinamis, terus berubah tanpa ada yang
bisa mengontrol gerak lajunya. Perkembangan yang dimaksud kini memasuki era
di mana dunia terasa menjadi semakin kecil, dunia menjadi sebuah desa global,
di mana segala macam informasi, modal, dan kebudayaan bergerak secara cepat,
tanpa halangan batas-batas kedaulatan. Kemajuan tersebut dinamakan sebagai
globalisasi. Banyak orang melihat secara optimis kapitalisme global yang
bernaung di bawah panji globalisasi, menganggapnya sebagai sebuah tatanan
yang menyatukan segala masyarakat dalam berperang melawan kemiskinan dan
kemelaratan. Dunia yang semakin disatukan oleh berbagai kemajuan teknologi
dan pasar bebas, terdapat kecenderungan berkembangnya masyarakat
konsumen.
Dengan berbekal sistem ekonomi Pancasila, maka semua potensi dan
sumber daya alam yang ada di wilayah bumi nusantara ini dimiliki oleh negara
untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Meskipun dari berbagai etnis yang ada
di belahan bumi nusantara ini memiliki hak ulayat untuk mengelola kekayaannya,
mereka tetap memiliki kesadaran, juga demi kepentingan nasional, integrasi
nasional, mereka rela untuk menyerahkan kekayaan daerahnya kepada Negara
untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat.
.
D. SIMPULAN
Etnis dayak di Kalimantan sebagai salah satu dari keberagaman bumi
pertiwi memiliki beberapa suku yang beragam. Meskipun demikian dalam
perjalanan sejarahnya, mereka menyatakan sebagai bagian dari kesejarahan
Indonesia. Walaupun pernah ada upaya dari para penjajah untuk memisahkan
dayak dari Indonesia.
Integrasi nasional merupakan proses penyatuan dengan
menghubungkan berbagai kelompok budaya dan sosial yang beragam dalam satu
wilayah, kemudian dibentuk suatu wewenang kekuasaan nasional pusat yang
kemudian bertujuan untuk membangun rasa kebangsaan dengan cara
menghapus kesetiaan pada ikatan-ikatan yang lebih sempit. Masyarakat yang
terintegrasi dengan baik merupakan harapan bagi setiap negara, sebab integrasi
masyarakat merupakan kondisi yang diperlukan bagi negara untuk membangun
kejayaan nasional demi mencapai tujuan yang diharapkan. Integrasi masyarakat
merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk membangun kejayaan bangsa
dan negara, oleh karena itu, perlu senantiasa diupayakan.
Dalam perspektif ekonomi, keberagaman etnis memiliki nilai tambah
tersendiri. Apalagi didukung dengan keadaan alam yang dimiliki di wilayahnya.
Apabila Pemerintah bisa berfikir lebih cerdas dan mampu mengelola dengan
baik, maka keberagaman etnis yang ada di Indonesia khususnya orang dayak di
Kalimantan Barat akan menjadi perekat bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonisia. Sekaligus menjadi potensi ekonomi tersendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, Kusnanto. 2008. Mao Zedong: Desa mengepung Kota dan Kerusuhan Sosial : http://www.tempointeraktif.com/ang /min/01/48/kolom.htm. down load tanggal 13 Mei 2008.
Duverger, Maurice. 1976. The Study of Politics. Hong Kong: Nelson Political Science Library.
Edosa, Enaruna. 2014. National Integration, Citizenship, Political Participation And Democratic Stability In Nigeria. An International Journal Of Arts And Humanities (IJAH) Bahir Dar, Ethiopia Vol. 3 (3), S/No 11, July, 2014:61-82 ISSN: 2225-8590 (Print). ISSN 2227-5452 (Online). DOI: http://dx.doi.org/10.4314/ijah.v3i3.6
Fithriani, Arin. 2008. Kelompok Sosial Dalam Integrasi Nasional: Suatu Kajian Psikologi Sosial Dalam Nation Building Indonesia: http://chiron.valdosta.edu/ whuitt/col/regsys/ maslow.html. download tanggal 13 Mei 2008.
Geerzt, Clifford, The Integrative Revolutions: Primordial Sentiments and Civil Politics in The New States, New York, 1973
Giddens, Anthony, Beyond Left and Right, The Future of Radical Politics, Polity Press, 1994
Horowitz, Donald L.,Ehnic Group in Conflict, University of California Press, 1985
Liddle, William. 1970. Ethnicity, Party, and National Integration: An Indonesian Case Study. New Haven: Yale University Press.
Mas’oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi, Cet. Pertama, Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia.
Morrison, Donald G. et al. 1972. Black Africa: A Comparative Handbook. New York: The Free Press.
Ojo, Emmanuel O. 2009. Federalism and the search for national integration in Nigeria. African Journal of Political Science and International Relations Vol. 3 (9), pp. 384-395, September, 2009 Available online at http://www.academicjournals. org/ AJPSIR ISSN 1996-0832 © 2009 Academic Journals.
Otite, Onigu (1990). Ethnic Pluralism and Ethnicity in Nigeria. Ibadan: Shaneson C.I. Ltd.
Panggabean, Vincent Asido. 2012. Isu Primordialisme, bahan ampuh cagub jaring suara. Harian Merdeka, 2012. Online.http://www.merdeka.com /jakarta/isu-primordialisme-bahan-ampuh-cagub-jaring-suara. (diakses pada tanggal 10 Mei 2016)
Pieterse, J. N. 1996. Globalisation and Culture: Three Paradigms, Economic and Political Weekly, 31 (23):1389-1393.
Sitepu, Anthonius P. 2008. Konsep Integrasi Regionalisme Dalam Studi Hubungan Internasional, http://library.usu.ac.id/modules, diakses 13 Mei 2008
Sunardi, R.M, .2004. Pem binaan Ketahanan B an gsa: Dalam Rengka M em perkokoh Keutuhan Negara Kesatuan R epublik Indonesia, Jakarta : PT Kustemita Adidarma.
Syarbaini, Syahrial. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Bogor. Ghalia Indonesia.
Yakubu, J. Ademola. 2003. Managing Ethnic Pluralism through the Constitution in Nigeria. PEFS Monograph New Series No. 7. Ibadan: John Archers (Publishers) Ltd. for Programme on Ethnic and Federal Studies (PEFS), Dept. of Political Science, University of Ibadan, Ibadan, Nigeria.