etnovisi ed_ 1 tahun 1 juni 2005

Upload: oqpsy

Post on 06-Jul-2015

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Jurnal ETNOVISI didedikasikan sebagai sebuahJurnal Antropologi Sosial Budaya Edisi 01 Tahun I Juni 2005 ISSN: 0216-843x Penanggung Jawab Ketua Laboratorium Pengembangan Masyarakat (LPM-ANTROP) Pemimpin Redaksi Drs. Zulkifli B. Lubis, MA Wakil PemimpinRedaksi Dra. Sri Alem Sembiring, MA Sekretaris Redaksi Nurdiani Nasution, S.Sos Sidang Redaksi Drs. Agustrisno, Drs.Ermansyah,Msi , Drs. Fikarwin Zuska,MA Drs. Lister Berutu,MA, Drs.R. Hamdani Harahap, MS Dra. Rytha Tambunan, Dra.Sri Emiyanti,MSi, Dra. Tjut Sahriani, MA; Drs Yance, MS; Drs. Zulkifli, MA Staf Ahli Prof.Dr. Usman Pelly, MA Prof.Dr.Chalida Fakhruddin Dr. Iwan Tjitradjaja (Universitas Indonesia) Dr. Irwan Abdullah (Universitas Gadjah Mada) Dr. John McCarthy (Murdoch University, Australia) Tata Usaha Dra. Sabariah Bangun,MA; Drs Edi Saputra Siregar Sirkulasi Drs. Irfan Simatupang, MSi (Koordinator) Keuangan Dra. Mariana Makmur, MA Etnovisi Online Drs. Nurman Ahmad, MA Penerbit Laboratorium Pengembangan Masyarakat (LPM-ANTROP) Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, USU Alamat Redaksi: Jl. Dr. A. Sofyan No.1 Kampus USU, Padang Bulan, Medan 20155 Telp/Fax : (061) 8223605. E-mail: [email protected]

terbitan ilmiah berkala yang diharapkan dapat menjadi ajang pertukaran gagasan dan pemikiran di bidang antropologi khususnya dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Selain itu, Jurnal ETNOVISI yang secara sengaja mengambil kata generik ethnos sebagai namanya, juga mengemban misi untuk mempromosikan dan mengembangkan semangat multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Redaksi menerima sumbangan tulisan yang bersifat teoritik, hasil penelitian maupun etnografi, serta tulisan-tulisan yang memuat gagasan konstruktif untuk penyelesaian masalahmasalah sosial budaya maupun masalah-masalah pembangunan. Isi karangan tidak harus sejalan dengan pendapat Redaksi. Jurnal ETNOVISI terbit tiga kali dalam setahun, setiap bulan April, Agustus dan Desember.

Daftar IsiSerbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat Cina Medan terhadap Datuk dan PekongAgustrisno 1 13

Ketimpangan Gender dan Bertahannya Konstruksi Patriarkhi dalam Masyarakat 14 19 KaroJonni Purba

Gotong-royong, Musyawarah dan Mufakat sebagai Faktor Penunjang Kerekatan 20 23 Berbangsa dan BernegaraLister Berutu

ETHNOSCAPE : Nuansa Baru untuk Etnografi di dalam Antropologi Ermansyah Dampak dari Komersialisasi Hutan Alam terhadap Masyarakat DaerahAmri Marzali

24 27

28 37

Kebun Agroforest Kemenyan di Tapanuli Utara: Upaya Masyarakat Memanfaatkan Sumber Daya Alam Hutan secara LestariFikarwin Zuska

38 45

Pengetahuan Lokal dalam Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan: Warisan Budaya yang Terancam HilangZulkifli B. Lubis

46 51

Keterangan gambar pada halaman muka: 1. Gambar Guru Sibaso sedang trance dalam sebuah ritual Perumah Jinujung, salah satu ritual dalam kepercayaan tradisional Karo. Guru Sibaso adalah tokoh sentral dalam kepercayaan tradisional Karo, yang diyakini memiliki kemampuan berkomunikasi dengan penghuni alam gaib, dan menjadi pemimpin dalam setiap ritual pada masyarakat Karo. (Foto: Sri Alem Sembiring) 2. Gambar patung Sangkalon Sipangan Anak Sipangan Boru, sebagai simbol keadilan dalam masyarakat Mandailing. Keadilan disimbolkan sebagai patung yang memakan anaknya sendiri, artinya, hukum harus ditegakkan meskipun yang melanggarnya adalah anak kita sendiri. Patung sangkalon biasanya terdapat di sisi kiri dan kanan tangga Sopo Godang (Balai Permusyawaratan Adat) di Mandailing.(Fotografer : Arbain Rambey/Kompas)

ii

Kata Pengantar

Cita-cita untuk menerbitkan sebuah jurnal sudah lama tertanam di hati semua kerabat dan staf pengajar Jurusan Antropologi Fisip USU, karena disadari bahwa kehadiran sebuah jurnal merupakan satu kebutuhan bagi segenap akademisi untuk menyampaikan maupun mendapatkan gagasan-gagasan atau pemikiran terbaru dalam suatu bidang ilmu. Rencana untuk menerbitkan Jurnal ETNOVISI yang sekarang ada di hadapan Anda juga terbilang sudah lama, namun karena berbagai kendala teknis baru sekarang dapat diwujudkan. Jurnal ETNOVISI didedikasikan sebagai sebuah terbitan ilmiah berkala yang diharapkan dapat menjadi ajang pertukaran gagasan dan pemikiran di bidang antropologi khususnya dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Selain itu, jurnal ETNOVISI yang secara sengaja mengambil kata generik ethnos sebagai namanya, juga mengemban misi untuk mempromosikan dan mengembangkan semangat multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat kita yang majemuk. Tentu saja tulisan-tulisan yang mengandung muatan gagasan konstruktif untuk penyelesaian masalahmasalah sosial budaya maupun masalah-masalah pembangunan menjadi pilihan yang utama selain tulisan-tulisan yang murni teoritik. Edisi pertama ini menyajikan sebanyak enam tulisan, yang secara tematik bisa digolongkan atas dua tema pokok yaitu sistem budaya dan pengelolaan sumber daya alam. Tiga tulisan pertama berturut-turut adalah tulisan Agustrisno tentang sistem kepercayaan masyarakat Cina di Medan, terhadap tokoh supranatural bernama datuk dan pekong; tulisan Jonni Purba yang mengulas isu ketimpangan gender dan berthannya konstruksi patriarki pada masyarakat Karo; dan tulisan Lister Berutu yang mencoba mengangkat kembali isu pentingnya merevitalisasi nilai-nilai gotong royong, musyawarah dan mufakat dalam konteks kerekatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tema kedua menyangkut pengelolaan sumber daya alam terdiri dari tulisan Amri Marzali yang menyajikan hasil kajiannya tentang dampak komersialisasi hutan alam terhadap masyarakat daerah; tulisan Zulkifli B. Lubis yang mengangkat isu pengetahun lokal sebagai warisan budaya yang terancam hilang; dan tulisan Fikarwin Zuska yang mengulas kearifan rakyat di Tapanuli Utara dalam mengelola sumber daya alam melalui kebun agroforest kemenyan. Para pembaca, sudah menjadi harapan dan tekad kami untuk menyajikan tulisan-tulisan yang bernas pada edisi-edisi Jurnal ETNOVISI berikutnya. Oleh karena itu, kami mengundang para akademisi dan penulis untuk menyumbangkan gagasan dan pemikirannya melalui media ini. Akhir kata, saran dan kritik dari para pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan jurnal ini baik dari segi tampilan maupun substansi. Selamat membaca.

Redaksi

iii

Agustrisno

Serbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat

SERBADUA YANG SALING MELENGKAPI: Sistem Kepercayaan Masyarakat Cina Medan terhadap Datuk dan Pekong1Agustrisno Antropologi Fisip USU Medan Abstrak Tulisan ini menggambarkan sistem kepercayaan sinkretis pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Kepercayaan shenisme atau kepercayaan terhadap berbagai makhluk gaib yang menjadi anutan turuntemurun bagi orang Tionghoa, ternyata telah pula mengadopsi unsur lokal yaitu dengan masuknya tokoh Datuk sebagai makhluk gaib yang ikut disembah penganut shenisme di Kota Medan. Datuk dipercaya sebagai makhluk gaib yang mendiami dunia bawah, berasal muasal dari manusia, tetapi yang pernah hidup di daerah Sumatera Timur (Medan dan sekitarnya) di masa lampau. Dalam budaya lokal di Sumatera Timur, selain bermakna sebagai gelar bangsawan, Datuk juga digunakan untuk menyebutkan makhluk gaib sebagai penghormatan. Kata kunci: Cina, datuk, pekong, , yin-yang Pendahuluan1 Banyak ahli berpendapat bahwa kendatipun budaya Eropa yang memacu kemajuan teknik dan ilmu pengetahuan modern, serta kegiatan ekonomi yang pesat, namun etos Timur yang diwarnai ajaran Konfusius masih tetap kuat dirasakan di Asia (Sudiarja, 1996: 1). Pada umumnya mereka adalah masyarakat keturunan Cina termasuk yang ada di Indonesia. Keberadaan mereka masih berhubungan dan dipengaruhi oleh budaya leluhurnya. Di kota Medan masyarakat Cina merupakan kelompok yang penting dan berarti, terutama karena mereka dapat menguasai kehidupan di bidang ekonomi, baik di sektor perdagangan maupun industri tingkat 'menengah' dan 'atas' (Pelly, 1983:6). Keberhasilan mereka karena memiliki 'sikap mental yang responsif' terhadap perkembangan dan kemajuan zaman (Mattulada, 1980:5-18). Walaupun mereka dapat menampilkan nilai-nilai kehidupan kota yang majemuk, moderen dan serba kompleks, namun etos kehidupannya masih tetap 'diimbangi' oleh kepercayaan religius yang kuat. Kepercayaan Masyarakat Cina di Kota Medan Masyarakat Cina Medan menganut lebih dari satu kepercayaan (sinkretisme), seperti Buddha,1

Tulisan ini adalah makalah yang disampaikan pada Acara Seminar Internasional Asosiasi Tradisi Lisan di Hotel Indonesia Jakarta, pada tanggal 2-5 Oktober 2003.

Khong Hu Cu, dan Tao, yang dikenal dengan istilah Tri Dharma, Sam Kauw atau 'San Chiao Wei Yi' (ketiga agama adalah satu) (Hadiluwih, 1994: 207208). Di samping itu juga mereka tetap mempercayai berbagai makhluk gaib (supra-alami). Kepercayaan terhadap berbagai makhluk gaib seperti itu dikenal sebagai kepercayaan "shenisme" (Cheu Hock-Tong, 1982-83: 203; Bloomfield, 1986:39; Gondomono, 1995:91). Kepercayaan shenisme sudah ada sejak dahulu dan merupakan warisan secara temurun dari generasi ke generasi. Kepercayaan shenisme tidak memiliki kitab-kitab dan "tidak banyak dibicarakan orang" (Gondomono, 1995:92). Kepercayaan shenisme merupakan kepercayaan yang masih begitu "rahasia" dan jarang diungkapkan atau dijelaskan oleh orang Cina sendiri, apalagi oleh orang luar. Kepercayaan seperti itu dianggap sebagai tradisi "Hsien" (abadi) di dalam kehidupan masyarakat Cina (Bloomfield, 1986:43). Di antara jenis makhluk gaib yang mereka anggap penting adalah makhluk gaib 'tokoh' bersifat lokal (Onghokham, 1995:145). Makhluk gaib ini mereka anggap paling berpengaruh dalam kehidupan mereka sehari-hari (Bloomfield, 1986:36). Di kota Medan dan di Malaysia makhluk gaib 'tokoh' lokal ini disebut 'Datuk' (Agustrisno, 1995:1; Tan CheeBeng, 1981; Cheu Hock-Tong, 1982-83:103). Sebutan 'Datuk' identik dengan sebutan tokoh lokal setempat. Di Jawa lebih dikenal dengan sebutan 'Mbah' atau 'Kiayi' (Nio Joe-Lan, 1961:70; Salmon dan Denys Lombard, 1985:76). Di Taiwan disebut

1

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Edisi 01 Tahun I Juni 2005

dengan 'Bo Gong' (untuk jenis yang laki-laki) dan 'Bo Po' (untuk jenis yang perempuan). Sedangkan di Hongkong, lebih dikenal dengan sebutan 'Tu Di' (Bloomfield, 1986:37-38). Menurut Salmon dan Denys Lombard, makhluk gaib tokoh bersifat lokal ini dahulunya adalah tokoh historis setempat, yang memiliki kepandaian atau 'kesaktian' dimasa hidupnya (1985:76). Fenomena sinkretisme kepercayaan orangorang Cina di kota Medan ini dimungkinkan karena telah terjadi tiga hal yang mereka alami dalam hidupnya. Pertama, proses sosialisasi dan enkulturasi secara turun-temurun dari warisan generasi sebelumnya tanpa dibedakan masing-masing kepercayaan itu. Apa yang diajarankan kepada mereka merupakan campuran dari berbagai sistem kepercayaan animisme, Taoisme, Konfucianisme, dan Budhisme. Akhirnya diterima begitu saja dan dianggap merupakan suatu tradisi dari kebudayaan Cina sebelumnya, yang dipopulerkan oleh tokohtokoh keagamaan mereka sendiri. Kedua, merupakan hasil dari pergulatan mencari 'jati diri' dalam proses interaksi mereka dengan alam sekitarnya, baik fisik ataupun sosial-budaya setempat. Sehingga, mereka tidak perlu membedakan-bedakan aliran ataupun mazhab yang satu dengan lainnya, yang penting unsur-unsur dari setiap kepercayaan dapat memberikan makna dan arti untuk kebahagiaan hidupnya. Ketiga, masuknya suatu faham atau aliran baru dari luar Cina, ternyata dapat berkembang bersama-sama dengan budaya, filsafat, kepercayaan dan agama yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu sering dinyatakan bahwa, salah satu karakteristik dari filsafat Cina adalah sifat toleran dan menghargai pendapat atau filsafat orang lain, walaupun mungkin pandangan itu berbeda maupun bertolak belakang sama sekali dengan filsafat yang telah berkembang dalam masyarakat (Lasiyo, 1996: 11-12). Sebagai penganut kepercayaan sinkretisme masyarakat Cina di kota Medan mengenal berbagai makhluk gaib, antara lain adalah: "Thie Kong" atau Thian, Thien (Tuhan): dianggap sebagai "RAJA DEWA" atau DEWA TERTINGGI. Menurut kepercayaan mereka, 'Thie Kong' rupa wujudnya tidak dapat dilukiskan dan tidak dapat dicerna atau direka oleh daya fantastik atau akal pikiran manusia. Meskipun demikian, 'Thie Kong' dipercayai menduduki kekuasaan yang paling tinggi dari segala-galanya di dunia ini, baik nyata (alami) maupun yang gaib (supra-alami). Untuk menyatakan rasa syukur dan pujian terhadap 'Thie Kong', biasanya mereka membuat sebuah altar pemujaan, yang dibuat dari bahan papan (kayu) dengan berukuran panjang sekitar 25 cm dan lebarnya 10 cm. Altar tersebut diberi cat berwarna2

merah dan di tengah-tengahnya dituliskan huruf Cina (Kanji), yang dituliskan dengan mempergunakan cat berwarna kuning keemasan. Altar ini biasanya mereka letakan melekat di dinding luar rumah, dekat di sebelahan kanan pintu depan rumah. Altar ini dapat kita temui pada setiap bangunan rumah-rumah penduduk Cina di kota Medan, dengan posisi tegak (vertikal) setinggi 150 cm dari permukaan tanah, yang dilengkapi rak penyanggah yang diperbuat dari bahan papan ataupun logam, rak ini juga diberi cat berwarna merah. Rak tersebut berfungsi sebagai penempat berbagai peralatan penyembahan seperti: "hio" (gaharu) dan lilin merah (yang biasanya bertangkai) ataupun lampu listrik yang mirip seperti lilin merah (sebagai pengganti lilin merah). Altar 'Thie Kong' dapat juga ditemui di setiap bangunan klenteng 'Pe'Kong', namun bentuknya berbeda dari pada altar 'Thie Kong' yang terdapat dimasing-masing setiap rumah penduduk Cina. Altar 'Thie Kong' yang terdapat di klenteng-klenteng 'Pe'Kong' berukuran lebih besar, dan terpisah dengan bangunan klenteng 'Pe'Kong'. Sedangkan bentuknya pada masing-masing klenteng selalu bervariasi. Altar 'Thie Kong' ini biasanya diperbuat dari semen beton kira-kira setinggi meja makan dan juga diberi bercat warna merah, ukuran besarnya kira-kira 1 m persegi, terpisah dengan bangunan klenteng 'Pe'Kong' seolah-olah menghadap (mengarah) persis ke pintu masuk ruangan klenteng 'Pe'Kong'. Saat melakukan pemujaan atau penyembahan terhadap 'Thie Kong', biasanya mereka lakukan pada tiap pagi dan menjelang malam hari. Jadi setiap hari mereka harus melakukannya sebanyak dua kali. Bagi setiap rumah tangga hanya seorang anggota keluarga saja yang melakukannya. "Pe'Kong": merupakan makhluk gaib (supraalami) yang menurut kepercayaan mereka 'Pe'Kong' mendiami dunia atas, kayangan, atau langit, tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap kehidupan manusia di dunia ini. 'Pe'Kong' dapat diidentikan dengan sebutan "DEWA-DEWAI penjaga LANGIT". 'Pe'Kong' dahulunya juga adalah berasal dari manusia, yang pernah hidup di zaman dahulu di daratan Tiongkok (Cina). Menurut kepercayaan mereka, kehidupan di dunia 'Pe'Kong' (di alam gaib), seperti kehidupan di alam manusia ini, mereka ('Pe'Kong') juga memiliki sistem kemasyarakatannya sendiri. Struktur tertinggi dalam kemayarakatan dunia 'Pe'Kong' diduduki oleh "Hwan Tie Kong" (PANGLIMA PE'KONG). Untuk penyembahan terhadap 'Pe'Kong', mereka harus melakukannya di bangunan yang disebut klenteng, atau sering juga disebut 'Pe'Kong' saja. Bangunan klenteng 'Pe'Kong' biasanya diberi cat berwarna merah, dan atap anjungannya biasanya

Agustrisno

Serbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat

terdapat gambar naga. Menurut orang Cina, pada sebuah bangunan klenteng 'Pe'Kong' dapat dihuni oleh beberapa 'Pe'Kong'--jadi tidak hanya satu makhluk Pe'Kong saja--hal ini dapat ditandai dengan banyaknya jumlah arca maupun lukisan Pe'Kong yang ada di ruangan klenteng tersebut. Arca maupun lukisan 'Pe'Kong' tadi biasanya mereka susun sedemikian rupa mengarah (menghadap) altar 'Thie Kong', menurut kepercayaan mereka disusun sedemikian rupa karena makhluk 'Pe'Kong' juga tunduk dan memuja 'Thie Kong', karena 'Thie Kong' adalah penguasa tertinggi terhadap segala-galanya. 'Pe'Kong' dapat diajak berdialog (berkomunikasi). Para penganutnya dapat berkomunikasi dengan 'Pe'Kong' tidak hanya disaat melakukan aktivitas penyembahan, yang bersifat komunikasi satu arah, tetapi dapat juga dilakukan dengan komunikasi yang bersifat dua arah antara manusia dengan 'Pe'Kong', namun proses itu harus melalui seorang medium yang dikenal sebagai "tang-ki",2 setelah lebih dahulu mengalami "jip-tang" (kesurupan), makhluk 'Pe'Kong' yang diundang memasuki tubuhnya. Sembahyang 'Pe'Kong' dilakukan di sebuah klenteng. Di kota Medan bangunan klenteng dibuat pada lokasi-lokasi tertentu saja. Besarnya ukuran bangunan klenteng saling bervariasi satu sama lain. Setiap bangunan klenteng dapat ditandai, karena biasanya dindingnya menggunakan cat merah dan anjungan atapnya terdapat ukiran bergambar naga. Setiap bangunan klenteng didekatnya pasti terdapat bangunan rumah 'Datuk'. Sebuah bangunan klenteng biasanya juga tidak hanya dihuni oleh satu 'Pe'Kong' tetapi dapat dihuni lebih dari satu 'Pe'Kong', itu dapat ditandai dengan banyaknya arca atau gambar lukisan 'Pe'Kong' yang terdapat di klenteng itu. Kecuali 'Pe'Kong', setiap klenteng juga dihuni oleh 'Dewi Kuam-Im'. Proses penyembahan terhadap 'Pe'Kong' mulamula harus mengambil seberkas bungkusan kertas yang disebut 'ang-phao' (kertas uang) yang telah tersedia sedemikian rupa. Bungkusan kertas itu berisi beberapa lembar kertas uang ('ang-phao'), dua batang lilin merah (yang bertangkai), dan sejumlah batang 'hio' (sebanyak 'Pe'Kong' yang mau disembahyangi di klenteng tersebut). Tata cara sembahyang 'Pe'Kong' adalah sebagai berikut: 1. Lilin merah bertangkai dinyalakan lalu diletakan pada tempat lilin yang telah tersedia; 2. 'Hio' (gaharu) dibakar, setelah marak lalu keluar dari ruangan klenteng untuk melakukan sembahyang 'Thie Kong' (Tuhan) yang altarnya2

3.

4.

5.

6.

7.

terletak di dekat bangunan klenteng. Pada saat melakukan sembahyang 'Thie Kong' ditancapkan 'hio' sebanyak 3 (tiga) batang 'hio' pada tempat 'hio' ('hio low') yang ada di altar 'Thie Kong'; Sambil memasuki ruangan klenteng, dilakukan penyembahan terhadap 'Meng Sin' (dewa penjaga pintu) klenteng dan menancapkan 'hio' (sekurang-kurangnya sebatang 'hio') pada altar 'Meng Sin'; Melakukan sembahyang 'Pe'Kong' (atau 'Pe'Kong-Pe'Kong') yang ada dalam klenteng tersebut. Jumlah 'Pe'kong' dapat diketahui dari banyaknya arca atau lukisan yang ada di ruang klenteng. Masing-masing 'Pe'Kong' telah disediakan 'hio low' (tempat 'hio') sendiri, sekurang-kurangnya satu batang 'hio' untuk satu 'Pe'Kong'; Selanjutnya keluar dari ruangan klenteng untuk melakukan sembahyang terhadap 'Datuk' yang rumahnya tidak jauh dari bangunan klenteng. Semua batang 'hio' yang tersisa ditancapkan; Kembali memasuki ruangan klenteng 'Pe'Kong' untuk memberitahukan kepada 'Pe'Kong' maksud dan tujuan melakukan sembahyang 'Pe'Kong'. Hal ini dapat disampaikan langsung atau dapat juga melalui 'tang-ki' (medium). Jika maksud dan tujuan seseorang sembahyang 'Pe'Kong' ia sampaikan langsung kepada 'Pe'Kong', dalam hal ini tentu tidak terjadi dialog, namun jawabannya bisa langsung diperoleh dengan melakukan permainan 'ShimPhui' (kayu nasib). Setelah puas mengungkapkan segala kepentingan, maksud dan tujuan kepada 'Pe'Kong', untuk meninggalkan klenteng harus memasukkan sejumlah uang kedalam amplop ('ang-phao'). Biasanya hitungan jumlah uang yang dimasukkan ke dalam amplop harus berbilangan genap: 2, 4, 6, 8, 12 artinya boleh Rp.200,-, Rp.400,-, Rp.600,-, Rp.800,-, Rp.1.200,-, Rp.2.000,-, dan seterusnya. Sedangkan bilangan 10 (sepuluh) dianggap ganjil.

Fung Yu-Lan menyebutnya sebagai "fang-shih" atau ahli ilmu gaib, lihat: Sejarah Ringkas Filsafat Cina, terjemahan Soejono Soemargono, hal. 171, penerbit Liberty-Yogyakarta, 1990

"Datuk" hampir sama dengan 'Pe'Kong', tetapi hidupnya mendiami dunia bawah atau bumi. Asalusulnya juga adalah manusia, tetapi yang pernah hidup di daerah Sumatera Timur (Medan dan sekitarnya) di zaman dahulu. Dengan kata lain 'Datuk' merupakan tokoh lokal setempat. Boleh jadi kepercayaan ini mereka serap dari sistem kepercayaan asli penduduk Sumatera Timur, budaya masyarakat Melayu, karena istilah Datuk tidak asing bagi masyarakat Melayu. Menurut arti yang sebenarnya ada dua pengertian: pertama, adalah julukan atau gelar untuk para bangsawan ataupun3

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Edisi 01 Tahun I Juni 2005

tuan-tuan tanah di zaman feodal (kerajaan) Melayu tempo dulu; kedua, istilah 'Datuk' ini juga dipergunakan untuk menyebutkan makhluk gaib, sebagai ucapan penghormatan. Sebagaimana dengan 'Pe'Kong', makhluk gaib yang disebut dengan 'Datuk' juga mempunyai sistem kehidupan sebagaimana layaknya kehidupan di dunia manusia, hidup dengan sistem kemasyarakatan. Selain itu, menurut kepercayaan masyarakat Cina di kota Medan, 'Datuk' juga adalah makhluk yang beragama, agama yang dipeluk 'Datuk' adalah agama Islam. Oleh karena itu hukum syariat dalam agama Islam berlaku juga dalam kehidupan 'Datuk'. Sehubungan dengan itu, untuk dapat menjamin keserasian hubungan (interaksi) dengan 'Datuk', orang-orang Cina memantangkan aktivitas penyembahannya dengan memberikan sesajenan seperti daging babi, ataupun jenis makanan atau minuman yang dilarang (diharamkan) menurut ajaran agama Islam. Apabila hal itu dilanggar (tidak dipatuhi) maka 'Datuk' akan marah, dan dapat mendatangkan mala petaka. Biasanya untuk mengolah atau memasak sesajen yang akan dipersebahkan kepada 'Datuk', dipergunakan peralatan pemasak yang khusus, tidak bercampur dengan alat pemasak yang mereka pergunakan sehari-hari, hal ini untuk menjaga kekhawatiran adanya pencemaran terhadap hal-hal yang mungkin diharamkan menurut ajaran agama Islam. Diantara mereka ada juga yang menitipkan masakannya dengan orang lain--misalnya kepada tetangga mereka yang beragama Islam--atau dibeli saja di kedai (warung orang Islam) yang terdekat. Aktivitas penyembahan terhadap 'Datuk' mereka lakukan secara rutin pada setiap hari Kamis sore (menjelang malam Jum'at), persisnya hari Kamis sore menjelang magrib. Ini mereka lakukan di sebuah bangunan suci yang dibuat sedemikian rupa, biasanya disebut rumah Datuk. Pada sebuah bangunan rumah Datuk bisa dihuni oleh lebih dari satu makhluk 'Datuk', sebagaimana klenteng dapat dihuni lebih dari satu makhluk 'Pe'Kong', namun pada rumah Datuk sulit menandainya, karena disana tidak ada (dilarang) membuat arca-arca, sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun demikian, terkadang ada pula yang dibuatkan lukisan pada rumah Datuk-nya, inipun tidak dapat menjelaskan jumlah banyaknya makhluk 'Datuk' yang berhuni di rumah Datuk tersebut. Karena 'Datuk' dianggap makhluk gaib yang beragama Islam, hal ini juga mempengaruhi terhadap tata letak bangunan rumahnya. Letak bangunan rumah Datuk biasanya dibangun oleh para penganutnya di luar atau terpisah dengan bangunan rumah tempat tinggal orang-orang Cina. Itu disengaja dengan tujuan dan maksud agar terhindar dari kemungkinan pencemaran yang mungkin tidak4

diinginkan, misalnya terhadap bau makanan atau masakan yang diharamkan dan sebagainya. Sama seperti 'Pe'Kong', terhadap 'Datuk' juga dapat dilakukan komunikasi dua arah melalui perantara seorang "tang-ki". Hampir di setiap pekarangan rumah-rumah maupun di setiap pekarangan pabrik atau bangunan usaha milik orang-orang Cina di kota Medan terdapat sebuah bangunan kuil (rumah) 'Datuk'. Sama dengan klenteng 'Pe'Kong', sebuah rumah 'Datuk' bisa dihuni lebih dari satu 'Datuk'. Bangunan rumah (kuil) 'Datuk' ini tampak sedemikian rupa karena biasanya diletakkan tidak jauh (hanya beberapa meter saja) dari bangunan rumah atau perusahaan tersebut. Biasanya setiap sebuah bangunan rumah tempat tinggal atau sebuah bangunan perusahaan terdapat sebuah bangunan kuil (rumah) 'Datuk'. Berbeda dengan perumahan tempat tinggal yang disebut 'kompleks', walaupun sebuah 'kompleks' dihuni oleh banyak rumah tangga namun sebuah 'kompleks' biasanya hanya terdapat sebuah bangunan rumah (kuil) 'Datuk', dan ini biasanya dianggap milik bersama bagi para penghuni 'kompleks' tersebut. Dengan demikian setiap penghuni 'kompleks' yang melakukan aktivitas sembahyang 'Datuk' pada hari Kamis sore dapat melakukannya di tempat yang sama. Setiap bangunan klenteng didekatnya juga pasti terdapat bangunan rumah 'Datuk'. Demikian juga disetaip pelataran perkuburan orang-orang Cina. Jenis bangunan rumah (kuil) 'Datuk' kebanyakan diperbuat dari pada beton semen, diberi beratap yang juga semen atau seng. Orang-orang Cina sebagai penganutnya sering kali memberikan warna putih (kapur) pada bangunan tersebut. Warna putih mengandung makna suci, karena 'Datuk' mereka anggap sebagai makhluk yang suci. Menurut mereka bangunan rumah (kuil) 'Datuk' yang dibuat dengan beton semen agar "tahan lama", "indah kelihatannya", dan juga lebih tampak "bersih". Upaya membangunan rumah (kuil) 'Datuk' sedemikian rupa karena adanya dorongan perasaan (emosi) yang amat mendalam di sanubari penganutnya yang disebabkan oleh adanya kekuasaan 'Datuk' terhadap kehidupannya. Kesemua itu dilakukan sebagai ungkapan dari 'rasa hormat', pengharapan 'keselamatan', 'rezeki', 'kesehatan', kemudahan, kesuksesan, dan lain-lain sebagainya. Adakalanya rumah (kuil) 'Datuk' dibuat sedemikian rupa karena 'permintaan 'Datuk' itu sendiri, yang dinyatakannya melalui medium (atau 'tang-ki'). Dalam rangka penyembahan terhadap 'Datuk' mereka menggunakan sarana peralatan utama sebagai berikut: 1. Lilin putih, lilin seperti itu melambangkan bahwa 'Datuk' dianggap suci, dan merupakan lilin yang biasa diminta oleh 'Datuk'. Menurut subjek

Agustrisno

Serbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat

penganutnya, 'Datuk' tidak mau (menolak) atau marah apabila disembahyangi dengan mempergunakan lilin yang berwarna merah, sebagaimana biasanya melakukan penyembahan terhadap 'Pe'Kong'. Lilin berfungsi sebagai alat penerangan, agar para makhluk gaib dapat melihat jelas wajah orangorang yang datang melakukan penyembahyangan. Selain itu, lilin dapat juga sebagai pertanda dimulainya aktivitas upacara penyembahan. 2. Bunga 'Datuk', terdiri dari berbagai macam bahan ramuan, yang terdiri dari: 'bunga rampai' (isinya terdiri dari beraneka-macam warna dan jenis bunga, sedikit-dikitnya 3 macam jenis dan warna bunga), sejumput tembakau jawa, 5 gulung kecil daun nipah, kemenyan putih sebesar kelereng, daun sirih kira-kira 3 helai, gambir, kapur sirih, dan secuil buah pinang. Kesemua ramuan itu terbungkus di dalam daun pisang yang direkat ("dibiting") dengan lidi daun kelapa. Sewaktu melaksanakan aktivitas penyembahan terhadap 'Datuk' bungkusan itu dibuka lalu disuguhkan sebagai sesajen. Bunga 'Datuk' yang berisi ramuan tersebut di atas dapat diperoleh dengan membeli di pasar pada "tukang bunga". Pada umumnya orang-orang Cina di kota Medan sudah terbiasa mendapatkannya dengan cara berlangganan dengan "tukang bunga" di pasar. Atau berlangganan dengan "tukang bunga" yang setiap hari Kamis pagi menjajakan bunga dengan dari rumah ke rumah. Harga 'bunga Datuk' perbungkusnya sebesar Rp. 1500,- sampai Rp. 2000,. 3. Air putih, biasanya air putih yang sudah dimasak. Sewaktu menyuguhkan sebagai sesajen ditempatkan di dalam gelas sebagai minuman 'Datuk'. Masing-masing 'Datuk' mendapat segelas air putih, sekiranya sebuah bangunan rumah (kuil) 'Datuk' dihuni oleh empat 'Datuk' maka subjek penganutnya harus menyediakan empat gelas air setiap minggunya. 4. Hio, hio atau gaharu merupakan alat penyembahan yang sudah menjadi tradisi bagi mereka dalam melakukan aktivitas upacara penyembahan terhadap semua jenis makhluk supranatural yang dipercayai. Hio berfungsi sebagai "alat pemanggil" makhluk supranatural, termasuk 'Datuk', yang kemungkinan sedang "bepergian" atau tidak di tempatnya. Hio lebih dahulu dibakar kemudian diletakkan (ditancapkan) di 'hio low' (tempat hio). Sebagai pelengkap peralatan utama tersebut di atas, bagi orang-orang Cina Medan yang kondisi keuangannya memungkinkan, biasanya mereka akan menambah peralatan sesajen seperti:

5. Pisang "raja" atau pisang "barangan", banyaknya pisang yang disuguhkan sebagai sesajen biasanya "sesisir" pisang. 6. Panganan yang lain atau "jajanan" misalnya: kueh apem, permen atau bon-bon, dan sebagainya. Menurut subyek penganutnya, kehidupan 'Datuk' itu juga seperti kehidupan manusia, 'Datuk' hidup berkeluarga dan beranak pinak. Panganan berupa "jajanan" disenangi sekali oleh cucu-cucu 'Datuk'. Dalam rangka upacara penyembahan terhadap 'Datuk' peralatan utama (lilin putih, bunga 'Datuk', air putih, dan hio) di atas harus tetap ada. Sedang peralatan tambahan (pisang atau "jajanan") tidak semestinya, menurut mereka "kalau ada uang" saja. Di samping sarana peralatan utama dan tambahan, di dalam upacara penyembahan terhadap 'Datuk', ada lagi berupa peralatan khusus. Peralatan khusus ini baru disuguhkan sebagai sesajen tergantung situasi dan keadaan yang sudah ditentukan saja. Pada waktu menjelang datangnya hari-hari besar agama Islam--seperti: bulan puasa (Ramadhan), hari raya Idhul Fithri, Idhul Adha-karena 'Datuk' dianggap beragama Islam, 'Datuk' biasanya disuguhkan sesajen berupa: pulut kuning, kari kambing, ayam panggang, serta buah-buahan seperti jeruk manis, apel, dan sebagainya. Peralatan khusus itu juga sering mereka suguhkan sebagai sesajen dikala mereka melakukan upacara yang berkaitan dengan upacara ritus lingkaran kehidupan (life cycle rites) di dalam keluarga, seperti: kelahiran, perkawinan, ataupun kematian. Sebagaimana telah disinggung di atas, untuk menyuguhkan sesajen berupa peralatan khusus, harus dilakukan atau dipersiapkan dengan mempergunakan peralatan masak yang khusus, jangan bercampur dengan peralatan pemasak mereka sehari-hari. Apabila mereka tidak mempunyai waktu, ragu-ragu, atau tidak mengerti untuk mempersiapkan atau memasaknya, caranya mereka titipkan dengan mengupah pada tetangganya yang beragama Islam agar dimasakkan, atau dapat juga mereka beli di warung-warung penjual makanan Islam, agar tidak terjadi perselisihan dengan 'Datuk' yang dipercayai sebagai makhluk yang beragama Islam. Selanjutnya, terdapat juga peralatan yang dikategorikan sebagai peralatan permintaan, permintaan oleh 'Datuk' itu sendiri pada subyek penganutnya. Masing-masing 'Datuk' dapat saling bervariasi permintaannya. Berbagai peralatan permintaan seperti: kitab Al Qur'an, kopiah (peci), benda tajam (keris, pisau, rencong, parang, dan sebagainya), ayam putih, dan lain-lain sebagainya menurut selera permintaan masing-masing 'Datuk'. Peralatan permintaan ini disajikan akibat adanya peristiwa di dalam kehidupan mereka, misalnya karena pernah mengalami sakit, lalu berobat pada5

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Edisi 01 Tahun I Juni 2005

'Datuk', dengan perjanjian apabila sembuh dari penyakit harus memenuhi permintaan 'Datuk' tersebut. Ada lagi peralatan yang sengaja diberikan oleh subjek penganutnya, yakni panji-panji (bendera). Panji-panji sengaja diberikan oleh subjek penganutnya sebagai pengokoh kedudukan (posisi) 'Datuk' di dalam kehidupan struktur alam supranaturalnya. Panji-panji ini dapat juga dikategorikan sebagai peralatan permintaan, terutama apabila mereka sudah merasa tercapai, dipenuhi atau terkabul berkat pemberian 'Datuk' terhadap maksud dan keinginannya yang mengandung makna resiprositas (saling memberi dan menerima) antara 'Datuk' dengan subyek penganutnya. Sehubungan ada sifat rutinitas dalam penyelenggaraan upacara pemujaan terhadap 'Datuk', orang-orang Cina sebagai subjek penganut sering kali menyebutkan istilah upacara penyembahan tersebut dengan "sembahyang bunga" dan "sembahyang daging". Aktivitas "sembahyang bunga" dilakukan setiap hari Kamis menjelang sore (malam Jum'at), sedangkan "sembahyang daging" dilakukan dalam rangka menyambut kedatangan hari-hari besar dalam agama Islam ataupun bersamaan dengan adanya upacara ritus sepanjang lingkaran hidup. Sedangkan di luar itu upacara penyembahan terhadap 'Datuk' dianggap sebagai upacara yang bersifat aksidental, misalnya karena sakit, atau keinginan-keinginan lainnya. Untuk melaksanakan aktivitas upacara penyembahan (sembahyang) terhadap 'Datuk', subjek penganut harus "kui-pai". Kata "kui" artinya sikap, sedang "pai" artinya menyembah, jadi kata "kui-pai" berarti sikap subyek penganut dalam rangka penyembahan. Berlutut dan anggota tubuh harus membungkuk, kedua telapak tangan saling dirapatkan lalu didekatkan ke dada kemudian digoncang-goncang, kepala harus tunduk. Sikapsikap itu sering kali diiringi pula dengan ucapanucapan dalam bahasa Indonesia. Namun masingmasing subjek dapat berbeda-beda isinya, sebagai contoh:"...selamat sore 'Datuk', selamatkanlah kami keluar masuk, dan selamatkanlah anak-isteriku...." (Acai) "...selamat sore 'Datuk', selamatkanlah pabrik ini, yang bagus-bagus datang, yang buruk-buruk pergi...." (A Wan) "...'Datuk', inilah yang dapat kami persembahkan, terimalah 'Datuk', berilah kami keselamatan, dan murah rezeki...." 6

(Tio Bi Mok) "...'Datuk', di sini kami datang, berikanlah keselamatan pada keluarga kami...." (Tamin) "...'Datuk', ini makanan kami berikan padamu, jagalah kami dan jauhkanlah kami dari bahaya...." (Min Ho) "...'Datuk', selamat-selamatkanlah usaha ini, dan berilah untung selalu, yang jelek-jelek, buruk, dijauhkan...." (Lam Min Fuk)

Pada umumnya isi kata-kata yang mereka ucapkan, mengharapkan suatu keselamatan dan terjauh dari segala mara bahaya, mendatangkan kebaikan di dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan bisnis mereka sehari-hari. Menurut subjek penganutnya, sebelum melakukan aktivitas upacara penyembahan terhadap 'Datuk', ada beberapa larangan yang harus dipatuhi. Sehari sebelum melakukan upacara sembahyang mereka dilarang makan daging babi atau minum minuman keras. Bagi wanita yang sedang haid (menstruasi) dilarang melakukan aktivitas sembayang 'Datuk'. 'Datuk' mereka anggap sebagai makhluk yang beragama Islam dan suci sehingga tidak suka dengan yang kotor-kotor ataupun yang haram menurut ajaran Islam. "Tie Cu Kong": adalah makhluk gaib yang bertugas sebagai penjaga rumah, yang berfungsi memberikan keselamatan, ketentraman, dan kedamaian hidup bagi orang-orang yang menghuni rumah tersebut, terutama adalah para anggota rumah tangganya, juga termasuk harta benda kekayaan yang ada di dalam rumah itu. "Meng Sin": adalah makhluk gaib yang dipercayai sebagai penjaga pintu rumah, yang tugasnya berfungsi menyeleksi segala makhluk yang keluar dan masuk atau melawati pintu rumah itu. "Chou Kun": adalah makhluk gaib yang mereka percayai sebagai penjaga dapur, agar setiap saat ibuibu yang memasak makanan di dapur, masakannya menjadi terasa lebih lezat dan mereka terhindar dari mara bahaya api serta pemborosan. "Cheng Ka Pua": adalah makhluk gaib yang dipercayai sebagai penjaga tempat tidur. Bagi anakanak yang tidur agar jangan sampai terjatuh atau diganggu oleh makhluk-makhluk gaib yang lainnya. Makhluk gaib ini sering juga dipercayai sebagai Dewi Pengasuh. "Pow Tho": adalah makhluk gaib yang dipercayai sebagai penjaga pintu kubur. Bagi masyarakat Cina yang ingin berziarah kekuburan salah seorang anggota keluarga-nya, mereka terlebih dahulu harus melakukan penyembahan kepada "Pow Tho" terlebih dahulu, "Pow Tho" inilah nantinya

Agustrisno

Serbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat

yang akan memberitahukan kepada si mati, bahwa keluarganya datang mau menziarahinya "Sin Cu": adalah arwah anggota keluarga yang dihormati, karena dimasa hidupnya mempunyai keistimewaan di dalam memper-juangkan kehidupan keluarganya. Apabila ada anggota keluarganya yang hidup dalam kesusahan, "Sin Cu" dapat dimintai pertolongan untuk menghadap kepada 'Pe'Kong' maupun 'Datuk' agar dapat membantu anggota keluarganya yang dalam kesusahan. Tang-Ki' Sebagai Pimpinan Upacara Ritual 'Tang-ki' (atau "fang-shih" menurut Fung YuLan, 1953:8; 1990:171) adalah ahli ilmu gaib yang tubuhnya dapat kesurupan, jadi tubuh seorang 'tangki' dapat dipergunakan sebagai makhluk supra-alami. Selain kata 'tang-ki' sering juga orang Cina Medan menyebutnya "juru kunci". "Juru kunci" berarti seseorang yang ahli membuka pintu misteri kehidupan (Nio, 1961: hlm. 85). Seorang 'tang-ki' dapat juga disamakan dengan shaman, karena dapat juga berperan sebagai penyembuh. 'Tang-ki' maupun "juru kunci" dapat berperan sebagai medium antara manusia dengan makhluk gaib (supra-alami). Ketika melaksanakan tugasnya, 'tang-ki' lebih dahulu mengalami trance atau kesurupan, orang Cina Medan menyebut 'jip-tang'. 'Tang-ki' itu bisa kemasukan makhluk supra-alami yang menyurupi ('jip-tang') ke dalam dirinya. Dari bawah atau dari atas tubuhnya. Makhluk supra-alami yang masuk dari bawah disebut 'Datuk', karena 'Datuk' penghuni alam bawah (bumi). Sedangkan yang masuk dari atas disebut 'Pe'Kong', 'Pe'Kong' makhluk supra-alami yang menghuni alam kayangan (langit). Ada beberapa hal yang menjadikan seseorang dapat sebagai 'tang-ki'. Pertama adalah pengalaman keagamaan khusus. Seseorang memperoleh keahlian sebagai 'tang-ki' diperoleh karena mimpi, ketika bermimpi dirinya kejatuhan ilham menjadi seorang 'tang-ki'. Ada pula yang mimpinya itu dialami oleh seorang ibu yang sedang hamil, dalam mimpinya ia didatangi dan diberi tahu oleh seseorang, kelak bila anaknya lahir dan menjadi dewasa ia akan menjadi seorang 'tang-ki'. Kedua, merupakan kodrat atau keturunan. Ketika lahir telah memilik pembawaan tubuh yang tertentu, tubuh yang telah dikodratkan oleh 'Thie Kong'. Tubuh dimaksud adalah tubuh yang disenangi makhluk supra-alami. Menurut orang-orang Cina Medan tubuh orang tersebut memiliki tulang yang lebih ringan dari tulang manusia biasa, dan indera pengelihatannya dapat melihat wujud yang kasat mata. Sebelum mejadi seorang 'tang-ki' dirinya selalu merasakan getaran emosi disaat-saat memasuki klenteng 'Pe'Kong' ataupun di kuil (rumah) 'Datuk'. Pada saat itu telinga seakan-akan tidak mendengarkan suara apapun, lama-lama tidak sadarkan diri ('jip-tang').

Ketika seorang 'tang-ki' sedang 'jip-tang' (kesurupan) makhluk supra-alami suaranya biasanya berubah, dalam hal ini yang dianggap berbicara itu bukanlah dirinya pribadi, melainkan makhluk supraalami yang telah menguasai tubuhnya itu. Dengan demikian tubuh seorang 'tang-ki' dapat menjadi medium antara makhluk supra-alami dengan manusia yang mempercayainya. 'Tang-ki' adalah orang yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Dengan kebolehan-nya itu ia dapat membentuk sekelompok masyarakat pendukung yang mempercayai-nya. Terutama dalam meramal, menafsirkan mimpi, mengobati orang yang sakit, dan lain-lain. Sebagai medium antara manusia dan makhluk gaib (supra-alami) tugas utamanya adalah 'jip-tang' (kesurupan). Akan tetapi keadaan kesurupan ini bisa pulih kembali berkat kekuatan gaib (supra-alami) yang dimilikinya. Ada dua jenis makhluk gaib yang dapat menyurupinya yakni: 'Datuk' dan 'Pe'Kong'. Dalam proses kesurupan 'Datuk', mula-mula seorang 'tang-ki' melakukan upacara dengan membakar kemenyan di dupa seraya membaca mantera dalam bahasa Arab bercampur bahasa Indonesia dan sambil mengheningkan diri pada kepulan asap kemenyan. Pada saat-saat akan mencapai klimaks, perasaannya merasa ada getaran serta telinga seakan-akan sayup tidak mendengarkan apapun. Tidak lama setelah itu mulut 'tang-ki' secara refleks mengucapkan "Assalammu'alaikum" dengan keadaan tubuh yang gemetaran. Ucapan "Assalammu'alaikum" itu ditujukan kepada orangorang yang berada disekitar dekat dengannya. Dalam keadaan seperti itu, menurut orang-orang Cina, 'tang-ki' sedang 'jip-tang'. Terjadilah dialog (tanyajawab) antara 'tang-ki' dengan pasien atau orang yang ingin memperoleh kepastian. Dialog tersebut biasanya mempergunakan bahasa Indonesia. Biasanya dialog dimulai dengan menanyakan nama 'Datuk' yang menyurupi 'tang-ki': "'Datuk' Siapa namanya?". Lalu biasanya dijawab: "saya 'Datuk' .. (dengan menyebutkan namanya), ada keperluan apa cucu...?". Orang yang berkepentingan dengan tanpa ragu-ragu menyampaikan maksud dan tujuannya. Proses 'jip-tang' ini biasanya berlangsung lebih kurang memakan waktu selama (2) dua jam. Syarat-syarat sebelum melakukan kesurupan ('jip-tang') 'Datuk', sepuluh hari sebelumnya seorang 'tang-ki' tidak boleh makan makanan yang dilarang menurut syariat Islam dan proses kesurupan ini biasanya dilakukan pada malam Jum'at. Hari Jum'at dianggap suci menurut ajaran syariat Islam, sebab 'Datuk' adalah makhluk gaib yang beragama Islam. Proses kesurupan 'Pe'Kong' tidak jauh berbeda. Bila untuk 'Datuk' membakar kemenyan, untuk 'Pe'Kong' dengan membakar 'hio' (gaharu) terlebih dahulu. Namun tidak semua 'tang-ki' 'Pe'Kong'7

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Edisi 01 Tahun I Juni 2005

dapat menjadi 'tang-ki' 'Datuk'. Tetapi semua 'tangki' 'Datuk' bisa menjadi 'tang-ki' 'Pe'Kong'. Orang-orang Cina Medan bila tubuhnya merasakan sakit biasanya pergi berobat kepada penyembuh. Selain mendatangi penyembuh yang ahli menurut sistem medis kesehatan moderen, mereka tidak jarang pula yang mendatangi para penyembuh alternatif yang sesuai menurut sistem pengobatan tradisinya. Mereka banyak yang mendatangi 'tang-ki' untuk berobat ataupun 'sin-she'. Sistem penyembuhan yang dilakukan seorang 'tang-ki' sama dengan peranan seorang 'shaman'. Sedangkan sistem penyembuhan yang dilakukan oleh seorang 'sin-she' sama dengan peranan seorang dokter ataupun seorang 'tabib'. Seorang 'sin-she' agar dapat menjadi penyembuh terlebih dahulu harus memahami pengetahuan yang alami menurut konsep tradisi Cina. Hal itu diperoleh dengan cara belajar. Dengan memahami tentang alam semesta, termasuk anatomi tubuh manusia yang didasarkan sistem filsafat 'YinYang' seorang 'sin-she' dapat memberikan pengobatan kepada orang yang sakit dengan ramuramuan tradisional (naturalistik). Sedangkan seorang 'tang-ki' dalam proses penyembuhannya lebih cenderung menggunakan cara-cara yang bersifat metafisis (personalistik), yaitu dengan melakukan 'jip-tang' (kesurupan). Keistimewaan 'Datuk' dan 'Pe'kong' dan Perbedaannya Baik makhluk gaib "Pe'Kong" maupun "Datuk", keduanya memiliki posisi yang istimewa di dalam sistem kehidupan alam gaib, bagi kepercayaan masyarakat Cina di kota Medan, keistimewaan kedua makhluk gaib tersebut adalah dapat diundang melalui perantara seorang "tang-ki" sehingga dapat diajak berdialog (komunikasi dua arah) dengan para penganutnya, dalam rangka untuk dimintai bantuannya, legitimasinya, ataupun kepastiannya sehubungan dengan kebutuhan hidup penganutnya di dunia ini. Bagi makhluk gaib lainnya hal ini dianggap tidak bisa untuk diajak berdialog langsung seperti itu. "Pe'Kong" maupun "Datuk", menurut kepercayaan mereka masing-masing dianggap tidaklah hanya satu tetapi lebih dari satu atau banyak, seperti makhluk manusia. Di dalam dunia mereka yang gaib juga mengenal sistem kehidupan bermasyarakat. Perbedaan "Pe'Kong" dan "Datuk" pada Tabel 1:

Sistem Kehidupan Makhluk Gaib3 Adanya berbagai makhluk gaib yang dipercayai masyarakat Cina di kota Medan, antara makhluk gaib yang satu dengan makhluk gaib yang lainnya, menurut mereka memiliki jalinan hubungan di dalam suatu sistem. 'Thie Kong' dianggap menduduki posisi yang paling atas di dalam struktur dunia gaib, sebab segala sesuatunya yang ada dan mungkin ada adalah berada digenggaman kekuasaan-nya. Namun demikian, dalam rangka mewujudkan pelaksanaan kekuasaan-Nya itu, 'Thie Kong' menyerahkannya terutama kepada 'Pe'Kong' dan 'Datuk', serta makhluk-makhluk gaib yang lainnya. Dalam hal ini 'Thie Kong' mereka percayai hanya berfungsi sebagai pimpinan pucuk saja (Koentjaraningrat, 1977: 195B206). Makhluk gaib yang menduduki posisi pada lapisan kedua atau menengah adalah 'Pe'Kong' dan 'Datuk'. Kedua makhluk gaib ini dianggap sebagai pesuruh utama bagi 'Thie Kong', secara implisit merupakan perwujudan dari 'Thie Kong' itu sendiri dalam rangka berhubungan langsung berkomunikasi dengan manusia. Oleh karena itu kedua makhluk gaib tersebut memiliki kekuasaan mencakup dari keseluruhan kebutuhan hidup manusia penganutnya secara nyata, dengan cara berdialog (komunikasi) lewat "tang-ki" yang kesurupan atau "jip-tang", sehingga 'Pe'Kong' ataupun 'Datuk' dapat dimintai bantuannya, legitimasinya, dan kepastiannya bagi para penganutnya (Koentjaraningrat, 1977: 195B206). Apabila "tang-ki" berfungsi sebagai medium (perantara) antara manusia (penganutnya) dengan makhluk gaib, maka 'Pe'Kong' dan 'Datuk' dalam hal ini adalah berfungsi sebagai medium (perantara) antara makhluk manusia (penganutnya) dengan 'Thie Kong', dan juga medium antara makhluk gaib yang lainnya dengan 'Thie Kong'. Menurut kepercayaan masyarakat Cina, makhluk-makhluk gaib yang lainnya berada pada lapisan ketiga (bawah) dan hanya berkuasa pada halhal tertentu saja di dalam kehidupan manusia. Dengan demikian kekuasaan makhluk-makhluk gaib yang lainnya pengaruh kekuasaannya hanya bersifat terbatas di dalam kehidupan manusia (Koentjaraningrat, 1977: 195B-206). Secara visual tatanan sistem struktur kepercayaan makhluk gaib masyarakat Cina di kota Medan dapat digambarkan sebagai bagan pada Gambar 1.

3

Ketika wawancara pada para informan, pada umumnya orang Cina Medan lebih terbuka dan komunikatif apabila yang ditanyakan hal-hal yang bersifat nilai yin ketimbang hal-hal yang bersifat nilai yang. Menanyakan hal bisnis sukar sekali, tetapi menanyakan hal religi sangat terbuka mereka.

8

Agustrisno

Serbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat

a b

f

c

e d

Gambar 1. Tatanan sistem struktur kepercayaan makhluk gaib masyarakat Cina di kota Medan Keterangan : A : Thie Kong B : Pe'Kong dan Datuk C : Tang-ki D : Manusia (subyek penganut) E : Batas dunia Yin dan Yang F : Makhluk gaib lainnya

Serbadua yang Saling Melengkapi 1. 'Datuk' dan 'Pe'Kong' Berdasarkan uraian tersebut di atas dapatlah direfleksikan adanya makna filosofis yang tersirat di dalam kepercayaan masyarakat Cina di kota Medan. Berbagai makhluk gaib yang hidup di dunia gaib (supra-alami), di dalam filsafat "Yin-Yang" dapat dicirikan sebagai sifat-sifat yang terkategori kedalam Yin, karena sifat yang gaib menurut filsafat YinYang adalah identik dengan Yin yang dapat dilawankan dengan sifat Yang, seperti makhluk manusia yang hidup di alam nyata (alami). Kendatipun makhluk gaib hidup di alam yang bersifat Yin, tetapi di dunia gaib juga berlaku hukum-hukum sebagaimana kehidupan di dunia manusia. Bila makhluk manusia memiliki sistem struktur sosial di dalam tatanan kehidupan sosialnya, maka makhluk gaib pun memiliki sistem struktur di dalam tatanan kehidupan alam gaibnya. Sistem struktur sosial alam gaib dapat terjadi dalam tiga lapisan sosial, yang terdiri dari yakni: lapisan pertamaDatuk 1. Berasal dari orang/penduduk pribumi Melayu yang pernah hidup di daerah Sumatera Timur dan sekitaranya pada zaman dahulu. 2. Beragama Islam 3 4 5 6 7 8 Tidak boleh makan daging babi Tidak dapat berbahasa Cina, tetapi berbahasa Indonesia (Melayu) Dalam penyembahan mempergunakan bunga maupun (membakar) kemenyan Sebagai Dewa pengausa bumi (dunia bawah) Tidak pernah menyuruh penganutnya agar menghormati PeKong Lilin yan dipergunakan dalam aktivitas penyembahan menggunakan lilin yang berwarna putih Memberikan petunjuk pada penganutnya berupa anjuran Tang-Ki sebagi mediumnya boleh orang Cina bisa juga bukan orang Cina Disembahyangi secara rutin pada setiap hari kamis sore Bangunan rumah Datuk di anggap berada dalam lahan wilayah kekuasaannya sendiri Datuk adakalanya menentukan lokasi bangunan untuk rumahnya sendiri Orang Cina mau menjelaskan kepada orang lain (Non-Cina).

Tabel 1. Perbedaan Pekok dan DatukPeKong 1 Berasal dari orang/penduduk Cina yang pernah hidup di daratan Tiongkok pada zaman dahulu 2 3 4 5 6 7 8 Beragama non-Islam (Khong Hu Cu) Boleh/bisa makan daging babi Tidak dapat berbahasa Indonesia, tetapi Cina Dalam penyembahan tidak mempergunakan bunga maupun (membakar) kemenyan Sebagai Dewa penguasa langit Sering menyuruh penganutnya agar senantiasa menghormati Datuk Lilin yang dipergunakan dalam aktivitas penyembahan menggunakan lilin yang berwarna merah Memberikan petunjuk pada penganutnya berupa paksaan Tang-ki sebagai medium nya harus dari kalangan orang Cina saja Hanya disembahyangi apabila ada kepentingan saja atau pada harihari tertentu saja Bangunan Klenteng PeKong oleh penganutnya dianggap menumpang di lahan wilayah kekuasaan Datuk PeKong tidak pernah menentukan lokasi bangunan untuk Klentengnya Orang Cina jarang yang mau menjelaskan kepada orang lain (Non Cina)

9 10 11 12

9 10 11 12

13 14

13 14

9

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Edisi 01 Tahun I Juni 2005

(atas) diduduki oleh "Thie Kong", lapisan yang kedua atau menengah diduduki oleh makhluk gaib yang disebut "Pe'Kong" dan "Datuk", sedangkan yang berada pada posisi lapisn ketiga atau bawah adalah makhluk-makhluk gaib yang lainnya. "Pe'Kong" dan "Datuk" kecuali keduanya sebagai makhluk gaib yang berada pada posisi lapisan menengah, kedua makhluk gaib ini juga memiliki keistimewaan. Keistimewaannya adalah dapat diundang untuk diajak berkomunikasi dengan/oleh manusia penganutnya, melalui seorang medium yang dikenal sebagai "tang-ki". Besar kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh ajaran Khong Hu Cu sejak zaman dinasti Shang dan pada awal dinasti Chou Barat, "Pe'Kong" dan "Datuk" berfungsi sebagai mengabdi dan mengemban tugas dari "Thie Kong", dengan memiliki kekuasaan untuk memberi karunia maupun bencana dari "Thie Kong" sebagai penguasa tertinggi. Selanjutnya kedua makhluk gaib tersebut juga memiliki sistem struktur sosial alam gaibnya sendiri: sistem struktur sosial alam gaib "Pe'Kong" dan sistem struktur sosial alam gaib "Datuk". Tinggi atau rendahnya suatu makhluk gaib, baik "Pe'Kong" maupun "Datuk", di dalam masing-masing sistem struktur sosial alam gaibnya, menurut kepercayaan masyarakat Cina di kota Medan, dapat diukur dari keberhasilannya dalam memberikan: bantuan, legitimasi, ramalan, dan kepastian kepada kebutuhan manusia penganutnya di dunia ini, dan dalam hal ini dapat ditandai dengan semakin banyaknya panjipanji yang dia peroleh dari manusia penganutnya sebagai ucapan terimakasih. Dengan demikian makhluk gaib "Pe'Kong" atau "Datuk" tersebut semakin terkenal dikalangan penganutnya, dan memberikan peluang pula semakin sering dan semakin banyak pula manusia penganutnya yang mengakuinya. Dengan keberhasilannya melaksanakan tugas-tugas untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia penganutnya, baik "Pe'Kong" maupun "Datuk" tadi, dalam melaksanakan tugas-tugasnya semakin menjadi sibuk, sehingga dia dibantu oleh "Pe'Kong" maupun "Datuk" yang menjadi bawahannya. Bila konsepsi-konsepsi tersebut di atas diimplikasikan dalam kehidupan yang bersifat Yang, yakni di dalam kehidupan manusia, maka dapatlah disimpulkan bahwa semakin sering seseorang dapat memberikan bantuannya kepada orang lain dan ternyata memuaskan pula, maka orang tersebut dengan sendirinya menduduki martabat yang semakin tinggi di dalam tatanan kehidupan, hal ini sesuai dengan salah satu pandangan hidup sifat kemuliaan/kebajikan yang diajarkan oleh Khong Hu Cu yang dikenal dengan Sin: kepercayaan, rasa untuk dapat dipercaya oleh orang lain dan dapat memegang janji dan menepati janji (Chau Ming, 1986:21).10

Seseorang yang bertabat tinggi dengan sendirinya dia adalah ciri seorang yang budiman. Ciri seorang yang budiman adalah berwibawa tetapi tidak congkak, majunya seorang budiman itu menuju ke atas (ibid). Hal tersebut juga pernah diungkapkan oleh To Thi Anh sebagai berikut: "Salah satu ciri pemikiran orang Cina ialah lebih menekankan kewajiban dari pada hak-hak ndividu dalam hubungannya dengan masyarakat. 'Jangan tanya apa yang dapat masyarakat buat untuk engkau; tanyalah apa yang dapat kau buat ntuk masyarakat.' Ajakan semacam ini tepat dengan semangat orang Cina" (To Thi Anh, 1984: 11). "Pe'Kong" dan "Datuk" mendapat posisi yang menguntungkan menurut ajaran I Ching, sebab keduanya menempati posisi menengah di dalam sistem struktur dunia alam gaib. Mereka dapat leluasa bergerak kearah manapun yaitu dapat berdialog langsung dengan manusia, sebagaimana telah disebutkan tadi. Posisi yang semacam itu di dunia nyata (di alam kehidupan manusia) ditempati oleh "tang-ki", karena seorang "tang-ki" dapat bergerak menghubungkan antara makhluk gaib dengan manusia penganutnya. Dengan demikian, posisi seorang "tang-ki" keberadaannya juga istimewa dan menguntungkan, karena dirinya dapat berperan dalam menempati dua dimensi ruang kehidupan sekaligus, yaitu: alam gaib dan alam nyata. Karakteristik antara makhluk "Pe'Kong" dan "Datuk" masih dapat dibedakan lagi, menjadi sifatsifat yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Perbedaan itu adalah makhluk "Pe'Kong" dianggap sebagai penguasa dunia atas (langit), mengandung nilai 'Yang'; sedangkan makhluk "Datuk" dianggap sebagai penguasa dunia bawah (bumi), mengandung nilai 'Yin'. 'Pe'Kong' berasal dari negeri Cina (negeri leluhurnya) ia didatangkan sebagai warisan, sedang 'Datuk' baru mereka ketemukan di daerah rantau. Proses penemuan itu akibat adapatasi mereka dengan kebudayaan atau kepercayaan religi penduduk setempat (kepercayaan masyarakat Mealayu). 'Tang-ki' dan 'Sin-she' 'Tang-ki' tidak hanya berperan sebagai medium, yang menghubungkan makhluk gaib (supra-alami) dengan subyek penganutnya, dan tidak hanya sebagai pimpinan informal yang berkaitan dengan aspek religi. Disebab dengan keahliannya itu dia juga dapat berperan dalam menempati dua dimensi ruang kehidupan sekaligus, di dunia alam gaib (supraalami) dan di dunia alam nyata (alami). Selain itu seorang 'tang-ki' juga dapat berperan sebagai penyembuh alternatif di samping 'sin-she'. Orang-

Agustrisno

Serbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat

orang Cina di kota Medan kendatipun sudah mengakui sistem kesehatan moderen sesuai menurut sistem medis kedokteran, namun didalam melakukan penyembuhan terhadap penyakit, penyembuh alternatif terhadap sistem kesehatan tradisionalnya juga tidak ditinggalkan. Bila mereka sakit, mereka sering kali mendatangi 'tang-ki' maupun 'sin-she'. 'Tang-ki' adalah seorang penyembuh yang cara pengobatannya sama dengan seorang shaman, lebih cenderung melakukan sistem pengobatan atau penyembuhan dengan cara-cara yang supra-alami. Sedangkan 'sin-she' adalah seorang penyembuh alternatif yang sama peranannya dengan seorang penyembuh yang disebut tabib. Kendatipun ada perbedaannya dengan sistem pengobatan moderen, sebagaimana yang dilakukan seorang dokter, namun cara-cara pengobatan yang dilakukan seorang 'sinshe' juga mempergunakan cara-cara yang bersifat alami sesuai menurut sistem pengetahuan tradisi Cina. Seorang yang akan menjadi ahli sebagai 'sinshe' dia harus belajar sistem pengetahuan tradisional Cina, tentang alam semesta dan anatomi tubuh manusia. Dengan mengetahui sistem anatomi tubuh manusia dia dapat memberikan pengobatan dengan memberikan obat berupa ramuan tradisional. 'Tang-ki' dan 'sin-she' keduanya merupakan ahli dalam pengobatan alternatif. Kendatipun keduanya berbeda namun saling melengkapi. Dalam hal ini seorang 'tang-ki' mengandung nilai-nilai yang bersifat 'Yin', sedangkan seorang 'sin-she' mengandung nilainilai yang bersifat 'Yang'. Seorang 'tang-ki' memperoleh keahliannya tidak mempelajari pengetahuan secara empiris, tetapi keahliannya itu diperolehnya merupakan kodrat 'Thie Kong', pembawaan sejak lahir atau karena kebetulan saja dengan penguatan mimpi. Di dalam melakukan penyembuhan terdapat penyakit lebih mengutamakan aspek emosi. Sedangkan 'sin-she' memperoleh pengetahuannya dengan cara belajar dan dalam melakukan penyembuhan terhadap suatu penyakit dengan menggunakan pendekatan yang lebih bersifat rasio. Dengan demikian 'tang-ki' dan 'sin-she' dalam sistem kesehatan masyarakat Cina saling melengkapi yang bersifat emosi dan rasio, berupa 'Yin' dan 'Yang'. Jika 'tang-ki' dapat memberikan sugesti maka 'sin-she' memberikan reaksi. Dunia alami dan Dunia Supra-alami Secara metafisik, kosmologi terbagi dalam dua kategori: yang alami dan supra-alami. Dunia alami adalah alam tempat hidup manusia. Dunia supraalami adalah alam tempat segala makhluk gaib hidup dan berada. Dunia alami memiliki sifat-sifat sebagai berikut: empiris, labil (berubah-ubah), dan profan (biasa). Sedangkan dunia yang supra-alami mengandung sifat-sifat: stabil (tetap), makhluk yang

hidup di dalamnya mengandung pengertian metafisik, dan sakral (suci). Namun di dalam kepercayaan masyarakat Cina Medan, dunia yang bersifat supra-alami dapat dikategorikan menjadi dunia supra-alami atas (langit) dan dunia supra-alami bawah (bumi). Dunia supraalami atas (langit) dihuni oleh makhluk gaib 'Pe'Kong' sedang dunia supra-alami bawah (bumi) sebagaima-na yang dihuni oleh 'Datuk'. Selanjutnya, dunia 'Pe'Kong' berasal dari negeri Cina, sedang dunia 'Datuk' berasal dari negeri tempat subyek merantau, dengan demikian dunia alami yang mengandung nilai-nilai 'Yang' dapat dikategorikan lagi menjadi dunia asal (negeri Cina) dan dunia rantau (kota Medan). Kesimpulan Berdasarkan pengertian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa di dalam kehidupan dunia gaib yang dikategorikan sebagai Yin ternyata dapat dibedakan lagi menjadi: Yin-minor dan Yang-minor (J.C.Cooper, 1981: 33). Pemikiran dualistik seperti itu merupakan klasifikasi simbolik yang kembar, berguna dalam rangka mencari kesimbangan (harmoni), di luar dan di dalam diri manusia. PeKong dan Datuk keduanya mengandung nilai Yin. Namun keduanya dapat dibedakan lagi, PeKong mewakili alam atas, langit, atau awangawang dan berasal dari negeri leluhur (Cina) yang mengandung nilai Yang, sedangkan Datuk mewakili alam bawah, bumi, atau tanah yang ditemukan melalui proses adaptasi mengandung nilai Yin. Menurut asumsi tersebut, maka pasangannya nilai Yang pun bisa jadi dapat terpecah menjadi kelipatan dua Yin dan Yang lagi. Bagaikan deret ukur kelipatan dua, sebagaimana pandangan strukturalis Claude Levi-Strauss, manusia nirsadar terikat oleh satu hukum dan sistem pemikiran yang sifatnya memaksa dan selalu mempengaruhi dalam hidupnya. Hukum dan sistem itu ditaati tanpa dikenalnya (van Baal, 1988: 118). Sebagai akibat pergulatan manusia dengan lingkungannya, baik secara fisik maupun sosial (Suparlan, 1981/1982). DAFTAR PUSTAKAAgustrisno, 1985. Kepercayaan Orang Tionghoa Terhadap "Datuk": Studi Kasus di Desa Kedai Durian, Kecamatan Medan Johor, Kotamadya Medan, Skripsi S1, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Medan. Anh, To Thi, 1984. Nilai Budaya Timur dan Barat: Konflik atau Harmoni?, Gramedia, Jakarta. Bloomfield, Frena.,

11

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Edisi 01 Tahun I Juni 2005

1986. Di Balik Sukses Bisnis Orang-orang Cina, diterjemahkan oleh Tim Sang Saka Gotra, Jakarta. Cheu Hock-Tong, 1982-1983., "Tanggapan Keagamaan serta Implikasinya dalam Hidup Sosial: Suatu Kajian Komuniti Cina di Ampang, Selangor." Jurnal Antropologi dan Sosiologi., jilid.volume:10&11,hlm.90-118.Universitas Kebangsaan Malaysia,Bangi,Selangor, Malaysia. Cooper, J.C., 1981. Yin & Yang The Taoist Harmony of Oppsites, The Aquarian Press is part of the Thorsons Publishing Group Wellingborough, Norththamptonshire, NN8 2RQ, England. Chau Ming, Mengenal Beberapa Aspek Filsafat Konfusianisme Taoisme dan Buddhisme, Jakarta: Akademi Buddhis Nalanda, 1986. Fung Yu-Lan, 1953. A History of Chinese Philosophy Vol.II The Period of Classical Learning Century B.C. to the Twentieth Century A.D., translated by Derk Bodde, Princeton University Press, Leiden, Netherlands. Fung Yu-Lan, 1967., The Spirit of Chinese Philosophy., (terjemahan E.R. Huges), Stephen Austin and Sond Ltd., London. -----------,1990. Sejarah Ringkas Filsafat Cina (Sejak Confucius sampai Han Fei Tzu, terjemahan Soerjono Soemargono, Liberty, Yogyakarta. Gondomono, 1996.,Membanting Tulang Menyembah Arwah, Kehidupan Kekotaan Masyarakat Cina, PT.Pustaka Firdaus, Jakarta. Hadiluwih, Subanindyo, 1994. Studi Tentang Masalah Tionghoa di Indonesia (Studi Kasus di Medan), Dhian Doddy, Medan. Herman Tjahja, "Konsep Manusia Dalam Konfusianisme" di dalam: Tim Redaksi Driyarkara (penny.): Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, Jakarta: Gramedia, 1993. J.C.Cooper, Yin & Yang The Taoist Harmony of Opposites, Wellingborough, Northamptonshire, NN82 RQ, England: The Aquarian Press, 1981. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropolog Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, 1977. Koentjaraningrat, 1973. Metodologi Penelitian Masyarakat, LIPI, Jakarta. Lasiyo, "Metafisika Dalam Filsafat Cina", Jurnal Filsafat Fakultas Filsafat Unversitas Gadjah Mada, Seri 25., Yogyakarta: Mei 1996.

Lasiyo , 1992. Studi Tentang Agama Khonghucu sebagai Bentuk Kebangkitan Kehidupan Beragama Ethnik Cina di Indonesia, laporan penelitian untuk The Toyota Foundation, Japan. ------, 1993., Hand Out Sejarah Filsafat Cina Kuno, Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. ------, 1995. "Ajaran Konfusianisme, Tinjauan Sejarah dan Filsafat" dalam: Pergulatan Mencari Jati Diri, hlm.3-24, interfidei, Yogyakarta. ------, 1996. Pemikiran Filsafat Cina (makalah yang disajikan pada internship Dosen-dosen filsafat Pancasila se-Indonesia pada tanggal 8-18 September 1996), Pusat studi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ------, 1996. "Metafisika dalam Filasafat Cina", dalam: Jurnal Filsafat, seri 25, Mei 1996, hlm.6-14, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lee T.Oei, 1995."Sifat-sifat Keagamaan Konfusianisme", dalam: Pergulatan Mencari Jati Diri. Interfidei, Yogyakarta. Lim Tji Kay, Kitab Suci Taoisme (Tao Tee Ching), Jakarta: SASANA, 1991. Mattulada, 1980. "Mentalitas dan Ciri-ciri Kepribadian Bangsa Indonesia" dalam: Lontara, No.1, hlm.5-18, Universitas Hasanudin, Ujung Pandang. Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Selajang Pandang, Djakarta: Keng Po, 1961. Onghokham, "Beberapa Aspek Agama Cina" dalam Pergulatan Mencari Jatidiri, Yogyakarta: Interfedei, 1995: hlm. 141-153. Pelly, Usman., Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, LP3ES, Jakarta, 1994. . Pelly, Usman dan Darmono, 1983. Pandangan tentang Makna Hidup dan Tradisi Masyarakat: Studi Kasus Sumatera Utara (makalah seminar Orientasi Sosial-Budaya ke-3), LIPI dan Institut Agama Islam Negeri Antasari, Banjarmasin. Putra, Heddy Shri Ahimsa, 1995. Islam Jawa dan Jawa Islam Sinkretisasi Agama di Jawa" makalah disajikan pada seminar sehari tentang kharisma warisan budaya Islam di Indonesia, 9 Nopember, Balai Kajian Nilai Tradisional, Yogyakarta. Salmon, Cl. dan D. Lombard, 1985. Klenteng-klenteng Masyarakat Tionghoa di Jakarta diterjemahkan oleh Staf Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta.

12

Agustrisno

Serbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat

Sudiarja, A., 1996."Ajaran Konfusianisme dalam Perspektif Keagamaan Tionghoa" dalam: Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, hlm. 1-14, Lembaga Realino, Yogyakarta. Suparlan, Parsudi, 1981/1982., Kebudayaan Masyarakat dan Agama: Agama sebagai sasaran Penelitian Antropologi, dalam majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Jakarta, Jilid X, No. 1, hal.1-15.

To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat, Jakarta: Gramedia, 1984. Tan Chee-Beng, 1981. "Cina Baba, Cina non-Baba dan Melayu sebuah catatan tentang Interaksi Etnis di Malaka" dalam: Prisma, No. 11, hlm.70-78, Jakarta. Wangania, Jopie.1976."Antropologi Terapan dan Masalah Penelitian mengenai 'overseas Chinese' di Asia Tenggara" dalam Berita Antropologi, Th.VIII, No.26, April,hlm.4156,Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta.

13

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Edisi 01 Tahun I Juni 2005

KETIMPANGAN GENDER DAN BERTAHANNYA KONSTRUKSI PATRIARKHI DALAM MASYARAKAT KAROJonni Purba (Alm.) Antropologi FISIP USUAbstrak: Wanita Karo dewasa ini tidak lagi terbatas perannya dalam sektor domestik, sebagaimana yang berlaku menurut tradisi budaya Karo masa lalu. Kebebasan dari kaum wanita Karo untuk melaksanakan berbagai aktivitas sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi dan adat belum memperoleh pengakuan yang sah dari lembaga adat serta institusi sosial yang ada dalam masyarakat. Partisipasi wanita di sektor produksi dan publik tidak diartikan sebagai pembentukan suatu konstruksi jender yang baru. Otonomi yang dimiliki wanita hanya berfungsi sebagai upaya untuk menjaga hubungan jender di dalam keluarga mereka. Kata kunci: jender, konstruksi sosial, reproduksi struktur patriarki

Pendahuluan Bertolak dari suatu pendefinisian gender: adanya perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dengan perem-puan yang dikonstruksikan secara sosial melalui suatu proses kultural. Perbedaan gender tersebut akan melahirkan peran gender (gender role), dimana kaum perem-puan dengan organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan, menyusui, dan kemudian perempuan mempunyai gender sebagai perawat, pengasuh, pendidik anak (Fakih,1996:72). Dari berbagai aspek kehidupan masyarakat tampak bahwa penempatan peran gender terhadap kaum wanita lebih terpusat pada sektor domestik. Fenomena umum yang demikian merupakan implikasi dari pemosisian wanita berdasarkan paradigma sosio-kultural dan konstruksi sosial dari masing-masing masyarakat. Indikasi dari hakekat lahiriah kaum wanita melalui organ reproduksi tersebut telah menurunkan suatu kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh kaum wanita itu sendiri. Sehingga wanita ditempatkan pada suatu space yang sangat sempit, dimana masyarakat telah menciptakan suatu boundari berdasarkan konstruksi sosial menurut adat dan tata nilai budaya Karo. Wanita hanya memiliki wilayah kekuasaan di sektor domestik tanpa adanya campur tangan dari kaum pria (dianggap tabu oleh masyarakat yang bersangkutan). Pembatasan terhadap wilayah kekuasa-an wanita di lingkungan reproduksi atau sektor domestik merupakan suatu pemisahan antara peran

pria denga peran wanita. Seorang ibu diprediksikan sebagai orang yang tidak bekerja, ia berperan untuk mengasuh dan melayani seluruh kebutuhan dari anggota keluarganya. Wanita yang aktif dalam kegiatan atau organisasi PKK hanya bertujuan untuk mempelajari tentang bagaimana meningkatkan tugasnya dalam membina keluarga sejahtera (Sadli dan Patmodewo,1995:81). Implikasi dari konsep dan common sense tentang pemosisian yang tidak seimbang menjadi alat pemisah antara sektor domestik (nature) dengan sektor publik (culture). Dikotomi domestik dan publik mengarah pada pencarian kekuatan yang membentuk dua domain dan dua wilayah kekuasaan yang menggambarkan dominasi dan subordinasi (Abdullah,1997:4-5). Pola ideal masyarakat Karo mengenai rumah tangga (jabu) atau keluarga yang ditentukan oleh lembaga adat; merupakan suatu kesatuan yang utuh yang dibentuk berdasarkan suatu perkawinan. Pada saat pesta pernikahan berlangsung kelompok kerabat kalimbubu memberikan nasehat dengan motto: 1 + 1 = 1, si sada pengakap, si sada perarihen janah ras-ras kam duana encari (mereka harus bekerjasama untuk pemenuhan kebutuhan keluarga). Tampak bahwa bentuk ideologi yang demikian mengarah pada hubungan kesetaraan gender. Konsep kesetaraan gender ini tidak diberlakukan dalam semua aktivitas dalam rumah tangga karena kepada kaum wanita masih terjadi pelimpahan tanggung jawab sehubungan dengan peran reproduksi. Adat kebiasaan masyarakat telah membuat boundari

14

Jonni Purba

Ketimpangan Gender dan Bertahannya Konstruksi Patriarkhi.

tentang konsentrasi domain dari kaum wanita di sektor domestik. Semula ideologi tersebut mengharuskan agar suami-istri dapat bekerjasama, memiliki tanggung jawab yang sama terhadap seluruh kebutuhan keluarga dan anak-anak mereka. Fenomena sosial menunjukkan telah terjadi dinamika peran gender wanita di sektor publik yang dibatasi pada aktivitas adat. Dinamika sosial dan kebudayaan yang mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat tidak dapat mempengaruhi ideologi masyarakat sehubungan dengan konstruksi peran gender. Akibatnya motto yang diberikan oleh pihak kalimbubu saat pernikahan mereka tidak dapat dioperasiona-lisasikan di dalam kehidupan keluarga. Konstruksi gender tersebut telah dilegitimasi-kan dalam berbagai pranata sosial di dalam keluarga dan masyarakat, serta diwujudkan dalam status dan peran dari masing-masing individu. Telah terjadi dikotomi berdasarkan peran gender dalam rumah tangga, kaum wanita selalu dihadapkan dengan pekerjaan memasak, mencuci, mengasuh anak, membersihkan rumah. Sementara kaum pria lebih banyak mengerjakan jenis pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik; memperbaiki rumah, mencari kayu bakar, memelihara ternak, dan mengerjakan sawah (Warto, 1997: 160). Respon kultural dari masyarakat terhadap ideologi konstruksi gender yang demikian mengakibatkan semakin banyak kaum pria yang beranggapan bahwa kegiatan di dalam rumah tangga merupakan tanggung-jawab dan tugas dari wanita. Kaum pria lebih banyak meluangkan waktu mereka untuk duduk di kedai kopi; bermain catur, bermain kartu joker atau domino, memesan makanan sesuai dengan selera mereka masing-masing. Keberadaan dari kaum pria menunjukkan suatu fenomena sosial yang dapat menggambarkan bahwa tampuk kekuasaan berada dalam genggaman mereka. Seluruh kegiatan yang hubungan dengan kepentingan rumah tangga maupun reproduksi dilimpahkan ke pundak istri (wanita). Hal ini terlihat dari besarnya volume kerja yang harus diselesaikan oleh seorang ibu rumah tangga setiap harinya di dalam rumah; yaitu mempersiapkan makanan untuk pagi dan siang hari yang akan dibawa ke ladang, mengurus anak-anak mereka yang akan berangkat ke sekolah maupun yang masih balita, memberi makan ternak peliharaan (seperti ayam, bebek dan babi) dan mempersiapkan segala peralatan yang akan dibawa ke ladang. Dominasi wanita di sektor produktif merupakan implikasi dari adat rebu terhadap kelompok aron. Kaum wanita juga dapat menentukan dan mendistribusikan jenis pekerjaan yang harus dilaksanakan sehubu-ngan dengan aktivitas pertanian mereka pada periode tertentu. Partisipasi pria dalam aktivitas pertanian hanya

terlihat pada tahap penyemprotan tanaman dan pada masa panen. Dalam aktivitas mencangkul lahan pertanian, menanam dan menyiangi tanaman lebih banyak dilakukan oleh kaum wanita. Masyarakat mengasumsikan reproduksi hubungan gender di dalam rumah tangga tercapai dengan baik jika masing-masing individu dapat melaksanakan aktivitas yang berfungsi untuk mensejahterakan keluarga. Fenomena umum melukiskan bagaimana suami-istri membina serta memenuhi seluruh kebutuhan rumah tangga mereka. Masalah kaum wanita, marginalisasi atau subordinasi bukan merupakan suatu hal yang sangat riskan. Kegiatan yang dilakukan oleh wanita dilingkungan reproduktif (domestik) dan lingkungan produksi merupakan hal yang wajar bagi masyarakat. Seluruh tindakan wanita tersebut telah menjadi bagian dari pranata sosial, bahkan menurut perspektif masyarakat bagi wanita yang tidak dapat melakukan peran reproduksi, mengurus rumah tangganya, dan aktivitas produksi akan dikucilkan dalam kelompok klan suaminya. Perspektif mengenai wanita ideal menimbulkan ideologi familialisme yang dapat memotivasi kaum wanita menjadi istri dan ibu yang baik. Konsep idealime mengenai seorang ibu rumah tangga; tidak hanya mampu memberikan keturunan, tetapi juga harus mampu menghasilkan anak-anak yang berguna. Pengasuhan terhadap anak yang dilahirkan menjadi tanggung jawab wanita. Kosmologi semacam ini telah menjadi blue-print yang tidak hanya mempengaruhi sikap dan perilaku sosial laki-laki terhadap perempuan, tetapi juga menentukan bagaimana perempuan mengambil tempat dan peran di dalam keseluruhan proses sosial. Langkah yang ditempuh oleh wanita merupakan tindakan yang mengarah pada suatu proses sosial dalam pembentukan konstruksi sosial. Pembagian kerja yang diberikan kepada kaum wanita merupakan suatu realitas objektif yang diterima dan menjadi kesepakatan dari masyarakat meskipun di dalam proses tersebut telah terjadi dinamika sosial. Adat budaya masyarakat Karo telah menetapkan bentuk konstruksi hubungan gender yang telah mereka lembagakan dalam berbagai pranata sosial di dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Pandangan masyarakat tentang perkawinan mengandung pemaknaan yang sangat mendasar, dimana perkawinan dijadikan sebagai suatu proses sosial. Masyarakat memberlakukan konsep ideologi dari suatu perkawinan sesuai dengan nilai adat yang mencerminkan tindakan yang sakral. Tujuan dari perkawinan tersebut adalah sebagai upaya pembentukan suatu rumah tangga yang ideal menurut adat-istiadat Karo. Oleh sebab itu di dalam nilai adat Karo tidak ada suatu penekanan yang objektif mengenai peran gender dalam rumah tangga15

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Edisi 01 Tahun I Juni 2005

(keluarga). Sebaliknya, di dalam resepsi pesta perkawinan orang-orang Karo sering mendengar berbagai nasehat atau wejangan dari kelompok kerabat yang hadir lebih mengarah pada konsep hubungan kesetaraan gender. Kelompok kerabat dari kedua mempelai mengharapkan agar dalam keluarga atau rumah tangga bukan hanya menjadi tanggung jawab suami atau istri saja. Meskipun di dalam masyarakat terdapat ideologi perbedaan peran gender (gender role), penekanan terhadap pembentukan kerjasama antara suami istri dalam rumah tangga tetap menjadi suatu pola ideal dan harapan dari kedua kelompok kerabat. Pola pembagian kerja di dalam masyarakat menunjukkan dikotomi antara pria dengan wanita. Di dalam kehidupan masyarakat terdapat sterotipe yang diberikan kepada kaum perempuan yang dapat membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempaun. Masyarakat memprediksi-kan bahwa laki-laki berperan sebagai pencari nafkah (bread winar) keluarganya akibatnya seluruh aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh perempuan dinilai rendah dari kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh kaum pria. Di dalam realitas dibalik konsep kesetaraan gender yang diharapkan oleh pihak kalimbubu dan peraturan gereja bahwa rumah tangga mereka telah menjadi tanggung jawab sepihak yaitu istri. Kebiasaan hidup dari masyarakat juga telah menentukan pembagian wilayah kekuasaan di dalam rumah; dapur ditetapkan sebagai wilayah kekuasaan wanita yang dianggap tabu untuk dimasuki oleh kaum pria. Meskipun di dalam suatu rumah adat maupun sebagian dari rumah penduduk tidak ada sekat pemisah antara ruangan dapur dengan tempat dimana suami mereka duduk. Paradigma pembagian tata ruang di dalam suatu rumah adat masih diterapkan di dalam sistem tata ruang rumah sekarang ini sangat berpengaruh bagi kaum pria untuk duduk lebih lama di dalam rumah. Besarnya frekuensi waktu yang diberikan oleh kaum pria untuk duduk di kedai kopi mengakibatkan kurangnya perhatian mereka terhadap berbagai kepentingan keluarga. Implementasi dari tindakan yang dilakukan oleh kaum pria tersebut memaksakan kaum wanita untuk bertanggung jawab atas seluruh pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi keluarga dan pembinaan kepada anak-anak meraka. Disamping aktivitas domestik, seorang ibu rumah tangga juga turut melakukan aktivitas pruduksi. Di dalam aktivitas pertanian, mayoritas dari wanita Dokan telah pernah atau sedang menjadi anggota dari suatu kelompok aron. Dekonstruksi Hubungan Gender Di dalam kehidupan wanita di pedesaan Karo telah terjadi dinamika peran gender, yaitu perubahan

dari peran domestik ke peran publik. Akibat dari perkembangan pola pertanian masyarakat dari bentuk subsisten ke pertanian komersial wilayah kekuasaan wanita tidak hanya terbatas di sektor domestik atau tugas reproduksi.. Dominasi wanita di dalam aktivitas pertanian menjadi suatu sarana penting yang dapat menempatkan partisipasi mereka di sektor publik. Kaum wanita juga telah berpartisipasi di dalam aktivitas kemasyarakatan, sepeti kegiatan ibu-ibu PKK, perkumpulan gereja, serikat tolong-menolong, arisan keluarga, menjadi anggota credit union dan berbagai rapat yang di adakan oleh aparat pemerintah di desa ini. Dominasi wanita di sektor domestik dan publik disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pengaruh dari adat rebu yang melarang seorang pria berkomunikasi dengan seorang wanita (istri dari saudara laki-laki istrinya atau er turangku). Aturan adat yang melarang seorang ayah masuk ke rumah apabila yang berada di dalam rumah tersebut hanya menantunya yang perempuan. Sebagaimana lazimnya, dia hanya dapat menyampaikan pesan kepada menantunya melalui perantaraan media di sekitarnya apakah itu pintu rumah, atau tangga, kursi dan sebagainya. Bila dia berkeinginan untuk menyampaikan suatu pesan, maka ia harus menyampaikannya dengan perantaraan media tersebut. Misalnya, ia harus menyerukan; pintu kataken man permaen ras anakku, lit tenah kerja arah mamana (dengan pengertian: pintu sampaikan kepada anak dan menantuku ada undangan pesta dari pamannya). Masyarakat menjadikan adat rebu sebagai suatu perlakuan yang sakral dan masih diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari. Tata nilai adat yang tertuang dalam aturan adat rebu justru mencipta-kan suatu pembatasan ruang sosial bagi kaum pria untuk berinteraksi dengan sesama warga dalam masyarakat. Momen ini dimanfaatkan oleh kaum pria menjadi suatu alasan yang paling objektif atas kurangnya partisipasi mereka dalam aktivitas kemasyarakatan. Meskipun perkembangan otonomi wanita telah beralih sampai ke sektor publik, tetapi otonomi tersebut masih terbatas pada faktor kebutuhan ekonomi semata. Adat-istiadat masyara-kat masih mempertahankan ideologi patriarki yaitu suami berkedudukan sebagai kepala keluarga dan kaum pria tetap berkuasa penuh di dalam aktivitas adat, politik serta monopoli ekonomi. Kedua, oleh lembaga adat dan masyarakat telah diberikan kebebasan bagi wanita untuk berbicara di dalam aktivitas adat. Kebebasan tersebut terbatas dalam pengambilan keputusan pada penentuan jodoh atau perkawinan dari putri saudara lakilakinya. Di saat seorang wanita akan menikah dengan pria lain, maka pada saat pertemuan dalam membicarakan mahar dan hari pernikahan yang disebut ngembah belo selambar dari kedua belah pihak.

16

Jonni Purba

Ketimpangan Gender dan Bertahannya Konstruksi Patriarkhi.

Ayah kandung dari wanita tersebut diwajibkan untuk meminta persetujuan dari saudara perempuannya (father sister atau perbibin si rembah ku lau). Apabila saudara perempuan ayahnya tidak setuju maka pernikahan atau pinangan tersebut dianggap gagal, karena pria yang berhak menikahi wanita tersebut adalah putra dari saudara perempuan ayah disebut perkawinan ideal (rimpal) dengan putri dari saudara laki-laki ibu. Proses pengambilan keputusan menyangkut persetujuan perkawinan ini dilakukan secara formalitas, pasangan calon pengantin datang membawa dan memberikan setampuk sirih kepada saudara perempuan ayah di hadapan para undangan yang hadir. Dari pengamatan masyarakat non-Karo, sepintas terlihat bahwa wanita Karo telah memiliki otonomi dalam aktivitas rumah tangga, aktivitas pertanian dan aktivitas publik lainnya. Kebebasan dari kaum wanita untuk melaksanakan berbagai aktivitas sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi dan adat belum memperoleh pengakuan yang sah dari lembaga adat serta institusi sosial yang ada dalam masyarakat. Partisipasi wanita di sektor produksi dan publik tidak diartikan sebagai pembentukan suatu konstruksi gender yang baru. Otonomi yang dimiliki wanita hanya berfungsi sebagai upaya untuk menjaga hubungan gender di dalam keluarga mereka. Hubungan yang Timpang Ketimpangan hubungan gender dalam masyarakat dipengaruhi oleh pranata sosial, lembaga adat dan hubungan kekerabatan di antara suatu kelompok klan marga dengan marga lainnya. Lembaga adat tersebut berfungsi untuk mengatur hubungan sosial, interaksi sosial yang terjadi di antara individu termasuk di dalamnya pranata perkawinan. Melalui perkawinan tersebut terbentuk suatu konstruksi sosial serta hubungan hirarkis yang bersifat vertikal antara kalimbubu (pihak pemberi gadis) dengan anak beru (pihak penerima gadis). Konsekuensi dari suatu perkawinan mengharuskan laki-laki yang berkedudukan sebagai anak beru membantu istrinya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kelompok kalimbubu beserta klan marganya di saat mereka berkunjung ke rumah orang tua istri atau pesta yang diadakan oleh pihak kalimbubu. Masyarakat dapat merespon aturan normatif adat tersebut, sehingga kaum pria memposisikan istri dan anak perempuan mereka sebagai pekerja dalam keluarga mereka masing-masing. Hal ini disebabkan oleh setiap transaksi sosial melalui perkawinan selalu disertai dengan pengor-banan dalam bentuk materi maupun non-materi. Perkawinan tersebut sebagai suatu pertukaran dalam adat yang bersifat timbalbalik antara kalimbubu dengan anak beru. Dalam hal

ini partisipasi individu dalam adat tersebut merupakan suatu pemberian dan setiap pemberian harus dikembalikan dalam suatu cara khusus sehingga menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak pernah berakhir (Suparlan,1992:xix dan Maus, 1992: 1). Pengaruh lainnya dari lembaga adat terhadap ketimpangan gender sangat erat hubungannya dengan penggunaan marga yang dapat membuat dikotomi gender dalam kehidupan masyarakat. Peran lembaga adat dalam menciptakan ketimpangan gender selalu dihubungkan dengan aspek sosialisasi kultural yang berbeda antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Umumnya peker-jaan di lingkungan domestik seperti memasak nasi, mencuci piring, menyapu rumah dan pekarangan, menghidangkan makanan, mengambil air, mengasuh dan menjaga adik-nya, dibebankan kepada anak perempuan. Anak laki-laki hanya ditugaskan untuk membantu ayah mereka menggembalakan kambing, kerbau atau lembu dan mengambil kayu bakar ke hutan. Pola sosialisasi ini semakin mapan dalam kehidupan masyarakat dengan adanya pelayanan khusus yang dilakukan ibu terhadap ayah mereka. Aspek sosialisasi kultural lainnya adalah adanya aturan adat yang mengharuskan bagi setiap anak lakilaki untuk tidur di luar rumah (jambur). Adat kebiasaan ini telah memberikan suatu kebebasan bagi anak laki-laki dari berbagai tugas yang ada di dalam rumah mereka. Setiap malam anak laki-laki tersebut berkumpul dengan teman- temannya di luar rumah, lepas dari kontrol sosial orang tua meraka. Di tempat mereka tidur atau berkumpul, mereka mengisi waktunya dengan bermain kartu joker, domino dan bermain catur. Hubungan yang Berubah Dalam semua masyarakat atau suku bangsa hakekat dari perkawinan adalah mempersatukan dua sosok manusia, yaitu pria dan wanita. Perspektif kultural yang tertuang dalam konteks pembentukan rumah tangga melalui suatu perkawinan pada awalnya lebih ditujukan pada pembentukan hubungan kesetaraan gender atau kemitrasejajaran dalam kehidupan rumah tangga. Penekanan pada suatu tanggung-jawab bersama di antara pasangan suami istri atas keberadaan serta pengasuhan anak-anak mereka dalam kehidupan keluarganya merupakan hal sangat positif dari pranata adat. Namun pengaruh negatif dari nilai adat tersebut yakni khususnya mengenai adat rebu dan sosialisasi nilai dan kultural sehubungan dengan perlakuan khusus terhadap kaum pria dan anak lakilaki serta dikotomi pembagian kerja telah membentuk suatu perubahan terhadap hubungan gender.

17

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Edisi 01 Tahun I Juni 2005

Pembentukan kemitrasejajaran dalam pembinaan rumah tangga masyarakat yang berdasarkan pranata adat dirasakan sangat positif. Dalam mewujudkan seluruh harapan dari pihak kalimbubu tersebut di atas pasangan suami istri masih dihadapkan pada permasalahan sosial yang ada kaitannya dengan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat mereka. Adat rebu dapat menghambat aktivitas mereka tidak hanya dalam kegiatan produksi di sektor pertanian, seperti dalam kelompok aron. Umumnya masyarakat petani adalah masyarakat yang memiliki bentuk perekonomian subsisten yang ditandai dengan ciri perekonomian yang berdasarkan ikatan kekeluargaan, melaksanakan pekerjaan mereka dengan gotong-royong (Scott, 1976: 68). Adat rebu telah membatasi partisipasi kaum pria dalam aktivitas pertanian, karena antara kalimbubu dan anak beru dilarang oleh adat berada dalam suatu kelompok yang sama dalam mengerjakan lahan pertaniannya. Perspektif pemikiran yang tertuang di dalamnya mengasumsikan; "tidak pantas dan dianggap pantang bila kalimbubu ikut bekerja di ladang anak beru karena kedudukan sosial dan peran dari kalimbubu tersebut adalah sebagai orang yang memberkati serta merestui seluruh aktivitas dari anak beru. Aktivitas lainnya dalam kehidupan masyarakat yang turut mengalami perubahan akibat dari pengaruh adat rebu adalah aktivitas sosial dan kemasyarakatan, kegiatan keagamaan, arisan keluarga. Porsi partisipasi yang diberikan kepada kaum wanita lebih besar jumlahnya daripada partisipasi kaum pria. Kaum wanita memperoleh kesempatan untuk mengakses seluruh kegiatan kemasyarakatan yang seharusnya menjadi bagian dari wilayah kaum pria. Kaum wanita telah melangkahkan kakinya ke lingkungan publik yang mengakibatkan terjadinya suatu perubahan terhadap hubungan gender dalam keluarga maupun masyarakat. Dukungan yang diberikan oleh pranata adat terhadap perubahan hubungan gender juga berpenga-ruh dalam proses sosialisasi kultural dan tata nilai terhadap anak-anak mereka. Kesimpulan Proses pembentukan ketimpangan gender dalam masyarakat Karo adalah berdasarkan hubungan sosial yang terbentuk melalui suatu perkawinan, masing-masing kelompok klan marga ditempatkan pada kedudukan sosial yang berbeda. Kelompok pemberi gadis (kalimbubu) memiliki posisi sosial yang lebih tinggi dan harus dihormati oleh kelompok anak beru. Sedangkan kelompok klan penerima gadis (anak beru) menempati posisi sosial yang lebih rendah dan berkewajiban melayani seluruh kepentingan serta perintah pihak kalimbubu.

Makna yang diberikan masyarakat mengenai kedudukan sosial kalimbubu diprediksikan serupa dengan kedudukan kaum pria atau seorang suami yang memperoleh pelayanan khusus dari istri dan dihormati oleh anggota keluarganya. Anak beru dimaknai sebagai seorang istri yang harus mempersiapkan segala kebutuhan dari suaminya. Ketimpangan hubungan gender dipengaruhi oleh perlakuan hegemonial dari pihak kalimbubu terhadap kelompok anak beru. Perbedaan sosialisasi nilai budaya yang kepada anak laki-laki dan anak perempuan dapat menimbulkan ketimpangan hubungan gender tersebut. Dikotomi peran gender di antara pasangan suami-istri merupakan interpretasi kontekstual masyarakat terhadap hadiah yang diberikan oleh pihak kalimbubu. Hadiah yang diberikan kepada wanita (istri) adalah seperangkat peralatan rumah tangga dan sepasang ayam, sedangkan kepada pria (suami) diberikan sebilah parang dan peralatan pertanian. Pemberian tersebut menjadi simbol wilayah kekuasaan berdasarkan peran gender, wanita berperan di sektor domestik, sedangkan pria menguasai sektor publik. Pembagian kerja secara seksual merupakan tendensi dari perspektif ideologi patriarki masyarakat mengenai jenis pekerjaan yang pantas bagi kaum pria atau kaum wanita. Masyarakat menganggap tabu bila suami turut memasak di dapur dengan istrinya. Dominasi oleh kaum wanita dalam sektor pertanian sebagai suatu konsekuensi kultural dari adat rebu, karena adat rebu tersebut membatasi partisipasi kaum pria dalam aktivitas pertanian dan kelompok aron yang telah mereka bentuk. Ketimpangan gender selalu dihubungkan dengan perspektif ideologi patriarki dan sosialisasi nilai dalam kehidupan rumah tangga mereka masingmasing. Akibatnya ideologi patriarki tersebut dapat mempertahankan ketimpangan hubungan gender dalam kehidupan masyarakat. Perubahan dan dinamika hubungan gender disebabkan oleh perubahan pola pertanian masyarakat dari bentuk pertanian subsisten ke pertanian komersial. Dekonstruksi hubungan gender dalam kehidupan keluarga dan masyarakat dibentuk peran ganda kaum wanita. Dominasi wanita dalam aktivitas rumah tangga dan pertanian merupakan respon masyarakat terhadap sistem nilai budaya, sosialisasi nilai dan ideologi patriarki. Keterbatasan partisipasi kaum pria di sektor domestik dan pertanian tidak terlepas dari pengaruh pemosisian individu ke dalam struktur sosial tertentu berdasarkan adat kebiasaan masyarakat. Seorang pria atau suami berkedudukan sebagai kepala keluarga yang mengatur dan memimpin seluruh anggota keluarganya. Sedangkan wanita berkedudukan sebagai ibu rumah tangga yang

18

Jonni Purba

Ketimpangan Gender dan Bertahannya Konstruksi Patriarkhi.

berkewajiban melayani seluruh anggota keluarganya. Tampak bahwa ketimpangan dan perubahan hubungan gender di dalam masyarakat sangat terpengaruh oleh pranata sosial dan adat-istiadat Karo. Daftar PustakaAbdullah, I. 1997 "Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan", dalam Sangkan Paran Gender, I.Abdullah (ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fakih, M. 1996 Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mauss, M. 1992 Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sadli, S. dan Soemitro, P. 1995 "Identitas Gender dan Peran Gender", dalam Kajian Wanita dalam Pembangunan, T.O.Ihromi (penyunting). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Scott, J.C. 1976 The Economic of Peasant: Rebellion and Subsistence In Southeast Asia. London: Yale University Press Ltd. Suparlan, P. 1992 "Kata Pengantar", dalam Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno, Marcel Mauss. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Warto. 1997 "Wanita Pabrik: simbol Pergeseran Status Wanita Desa", dalam Sangkan Paran Gender, I. Abdullah (ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

19

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Edisi 01 Tahun I Juni 2005

GOTONG ROYONG, MUSYAWARAH DAN MUFAKAT SEBAGAI FAKTOR PENUNJANG KEREKATAN BERBANGSA DAN BERNEGARA1Lister Berutu Antropologi FISIP USUAbstrak: Selama ini program pembangunan yang dijalankan di negeri ini tidak memperhitungkan potensi nilai-nilai budaya yang secara tradisional sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia seperti gotong royong, musyawarah dan mufakat.