euthanasia persepetif medis dan hukum pidana indonesia

9
EUTHANASIA PERSPEKTIF MEDIS DAN HUKUM PIDANA INDONESIA Abdal Rohim A. Latar Belakang Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri[1] sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia. Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia. Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP). Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan. Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis. Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit.

Upload: elisa-fata-marokeh-tedadespochacha

Post on 05-Dec-2014

15 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

1

TRANSCRIPT

Page 1: Euthanasia Persepetif Medis Dan Hukum Pidana Indonesia

EUTHANASIA PERSPEKTIF MEDIS DAN HUKUM PIDANA

INDONESIA

Abdal Rohim

A. Latar Belakang

Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia

(Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya

sendiri[1] sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini

masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia

dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.

Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap

manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera

dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian.

Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan

hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya.

Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap

manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan

mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.

Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai

sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah

legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya tindakan euthanasia

termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-

undang Hukum Pidana (KUHP). Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika

tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini

juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia

harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar

euthanasia bisa dilakukan.

Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa.

Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat disembuhkan

lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga,

dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam

kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat

atau tindakan medis.

Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana

pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana

via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan memastikan secara

medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat besar jika

masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra, maka yang

dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan medis di

rumah sakit.

Page 2: Euthanasia Persepetif Medis Dan Hukum Pidana Indonesia

Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara

yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia

akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir yang

pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta,

belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen

pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan

dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter. Apabila

hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu

materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya,

baik sosial, etika, maupun moral.

Permasalahan Menyangkut feomena yang ada akan menimbulkan beberapa permasalahan yang harus

kita selesaikan dengan seksama. Dari latar belakang demikian ini penulis mendapatkan

beberapa permasalahan yang akan kita bahas dalam bab-bab berikutnya antara lain:

1. Apakah dimungkinkan adanya terobosan baru dalam hukum berdasarkan kasus-

kasus berat, seperti secara medis penyakit sudah tidak bisa lagi disembuhkan,

sementara dokter pun sudah angkat tangan?

2. Mengingat hukum kita menganut positifistik, bagaimana Euthanasia menurut

persepektif hukum Pidana Indonesia?

B. Pembahasan

Euthanasia dalam persepektif Medis

Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik, kehidupan seorang

pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter dihadapkan pada

sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah terlanjur

diberikan bolehkah untuk dihentikan.Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa

seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika

hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan seorang pasien. Nah,

penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia. Berdasarkan

pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis:

1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah,

2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar,

3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan

pertolongan dokter,

Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja

tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si

sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan biasanya tindakan ini dilakukan

oleh kalangan medis. Sehingga denagn hal demikian akan muncul yang namanya

euthanasia positif dan euthanasia negative dan berikut adalah contoh-contoh tersebut;

Page 3: Euthanasia Persepetif Medis Dan Hukum Pidana Indonesia

Seseorang yang sedang menderita kangker ganas atau sakit yang mematikan, yang

sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi.

Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang

sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan

pernapasannya sekaligus.

Seperti yang dialami oleh Nyonya Again (istri Hasan) yang mengalami koma

selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan.

Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan alat

pernafasan. Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya akan

behenti memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien

tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini

sebagai "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka

memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan

proses kematiannya.

Hal tersebut adalah contoh dari yang namanya euthanasia positif yang dilakukan

secara aktif oleh medis. Berbeda dengan euthanasia negative yang dalam proses

tersebut tidak dilakukan tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang

medis dan contohnya sebagai berikut;

Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan

koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam

penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang

terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada

kemungkinan untuk diobati) akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini,

jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.

Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan

tulang belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja

dibiarkan (tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau

sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak

tersebut.

Dari contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk

eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita

penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan

mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah

perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)

Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya

melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa

seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi

dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama.

KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat

akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus

bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam

menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan: Menggugurkan

kandungan (abortus provocatus), mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut

Page 4: Euthanasia Persepetif Medis Dan Hukum Pidana Indonesia

ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia),

Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti ;

1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat

yang beriman dengan nama Allah di bibir,

2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan

dengan memberikan obat penenang,

3. Mengakhiri penderitaan dari seorang sakit dengan sengaja atas permintaan

pasien sendiri dan keluarganya.[2]

Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian di atas adalah:

1. Berbuat seauatu atau tidak berbuat sesuatu,

2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup

pasien,

3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan,

4. Atas permintaan pasien dan keluarganya,

5. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

Euthanasia dalam persepektif Hukum

Melihat penderitaan istrinya yang tidak kunjung berakhir, Panca Satrya Hasan Kusuma

memohon agar istrinya (Agian Isna Nauli) yang sudah koma sekitar tiga bulan setelah

melahirkan putra keduanya, disuntik mati saja. Ini merupakan perubahan dalam

dinamika masyarakat yang kian mengglobal yang ditandai semakin mudahnya

masyarakat mengakses informasi dari berbagai belahan dunia maka semakin sering

masyarakat bersentuhan dengan nilai-nilai asing (di luar kebiasaan/norma-norma

komunitasnya).

Namun perubahan paradigma berfikir masyarakat bukanlah sebagai arah sebuah

kemajuan berfikir, naamun cuma kebingungan dalam berfikir. Hal ini dialami oleh

Hasan yang mengajukan euthanasia terhadap istrinya dan hal yang sama juga terjadi

pada Siti Zulaekha yang akan diajukan euthanasia oleh keluarganya.

Konsepsi Euthanasia

Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang

lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan

dan tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan

ini adalah mercy killing (Tongat, 2003 :44). Sementara itu menurut Kamus Kedokteran

Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah

atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran

kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat

menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.

Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu voluntary euthanasia

(euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak

dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya);

non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa

euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan

Page 5: Euthanasia Persepetif Medis Dan Hukum Pidana Indonesia

tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya); involuntary

euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya).

Konstruksi Yuridis Euthanasia

Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi

komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan

bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan

regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat

di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural

karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya. Patut menjadi catatan, bahwa

secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu

bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu

sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344

KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang

jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling

lama dua belas tahun”.

Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas

permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian,

dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan

yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak

dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan

orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu

sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan

tersebut.

Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan

medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini (kasus Hasan Kesuma

yang mengajukan suntik mati untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi

Hartono yang mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha) perlu dicermati

secara hukum. Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary

euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa

dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Secara

yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah

pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan

berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338

KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain

diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan:

“ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa

orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.[3]

Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk

Page 6: Euthanasia Persepetif Medis Dan Hukum Pidana Indonesia

menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga

mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang

berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.

Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya

Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan,

“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam

keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena

persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada

orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau

denda paling banyak tiga ratus rupiah”.[4]

Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan

kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.

Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks

hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi

sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya

euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.

Euthanasia di Negara lain

Fenomena euthanasia ini berkembang lagi ketika kasus Nyonya Agian mencuat di

permukaan ketika suaminya (Hasan) meminta DPRD Bogor untuk mengagalkan

keinginannya untuk meng-eutanasia istrinya tersebut. Banyak orang yang menentang

apa yang dilakukan Hasan pada istrinya tersebut,dengan alasan bahwa eutanasia itu

bertentangan dengan nilai-nilai etika, moral karena termasuk perbuatan yang

merendahkan martabat manusia dan perbuatannya tergolong pembunuhan, mengingat

kematian menjadi tujuan.

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah

Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3

melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan

euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur

yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan

sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar

50 pertanyaan. kapankah hal seperti itu terjadi di Indonesia?

Kiranya persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak selalu

dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain hukum, praktik

eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung

tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia. Adanya indikasi-indikasi baik medis

maupun ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat

eutanasia berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati

dan membela kehidupan.

Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan

tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang.

Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan

persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.

Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi ;

Page 7: Euthanasia Persepetif Medis Dan Hukum Pidana Indonesia

“Seseorang yang membunuh orang lain atas permintaan yang jelas dan sungguh-

sungguh terhadap korban dianggap bersalah melakukan delik berat pembunuhan

manusia atas permintaan akan dipidana dengan pidana penjara berat dari lima sampai

sepuluh tahun”.

Sebagai bahan perbandingan. Ternyata di negara inipun melarang adanya euthanasia

Prosedur pengajuan Euthanasia di Indonesia

Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara

yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia

akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir yang

pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta,

belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen

pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan

dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter.

Dari kasus diatas kita bisa menangkap prosedur yang harus dilakukan oleh pemihon

euthanasia, bahkan hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan di Negara lain yang

prosedurnya sangat ketat dan rapi. Sehingga orang akan berfikir untuk melakukan

euthanasia.

C. Kesimpulan

Mengingat kondisi demikian, yang dibutuhkan kemudian adalah perawatan dan

pendampingan, baik bagi si pasien maupun bagi pihak keluarga. Perhatian dan kasih

sayang sangat diperlukan bagi penderita sakit terminal, bukan lagi bagi kebutuhan fisik,

tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan emosional, sehingga baik secara langsung

maupun tidak kita dapat membantu si pasien menyelesaikan persoalan-persoalan

pribadinya dan kemudian hari siap menerima kematian penuh penyerahan kepada

penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun si pasien adalah manusia yang

masih hidup, maka perlakuan yang seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi

kepadanya.

Jelas bahwa hukum (pidana) positif di Indonesia belum memberikan ruang bagi

euthanasia baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. Tanpa harus

mengesampingkan pendapat lain, kesimpulan normatif ini urgen untuk disampaikan

mengingat berbagai hal. Pertama, munculnya permintaan tindakan medis euthanasia

hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat sedang mengalami pergeseran nilai

kultural.

Penulis menentang dilakukannya euthanasia atas dasar etika, agama, moral dan legal,

dan juga dengan pandangan bahwa apabila dilegalisir, euthanasia dapat disalahgunakan.

Kelompok pro-euthanasia mungkin akan menentang pendapat ini dengan menggunakan

argumen quality of life, autonomi dan inkonsistensi hukum. Namun demikian,

argumen-argumen yang telah dikemukakan di atas lebih kuat. Argumen pertama yaitu

secara etika, tugas seorang dokter adalah untuk menyembuhkan, bukan membunuh;

untuk mempertahankan hidup, bukan untuk mengakhirinya. Dasar agama adalah

argumen berikutnya, di mana dokter percaya kesucian dan kemuliaan kehidupan

manusia. Dari segi respek moral, pilihan untuk membunuh, baik orang lain maupun diri

Page 8: Euthanasia Persepetif Medis Dan Hukum Pidana Indonesia

sendiri adalah imoral karena merupakan tindak sengaja untuk membunuh seorang

manusia. Dari segi legal, seorang dokter yang melakukan euthanasia atau membantu

orang yang bunuh diri telah melakukan tindakan melanggar hukum. Argumen terakhir

adalah sulitnya untuk melegalisir euthanasia karena sulitnya membuat standar prosedur

yang efektif. Lebih jauh lagi, melegalisir voluntary euthanasia dapat mengarah kepada

dilakukannya involuntary euthanasia dan membuat orang-orang lemah seperti orang

lanjut usia dan para cacat berada dalam risiko. Selanjutnya hal ini juga dapat

memberikan tekanan kepada mereka yang merasa diabaikan atau merasa sebagai beban

keluarga atau teman. Pengalaman di negeri Belanda telah membuktikan konsep slippery

slope.

B. Saran

Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan eutanasia sebagai salah

satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-

nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.

Page 9: Euthanasia Persepetif Medis Dan Hukum Pidana Indonesia

Daftar Pustaka

Kristiantoro, Amb Sigit, Eutanasia, Perspektif Moral

Hidup.http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/15/ilpeng/1325806.htm Jumat, 15

Oktober 2004

Qardhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer . Gema Insani Press.

Tongat, Hukum Pidana Materiil. Djambatan. 2003.

Soehino, kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Politeia. Bogor.

_________, The Slippery Slope of Dutch Euthanasia. Human Life International Special

Report Nomor 67, November 1998.

Tongat, Euthanasia dalam persepektif hukum pidana di Indonesia.(makalah). Malang.

14 Februari 2005.

Suswati, Irma. Euthanasia, (makalah).Malang,14 Februari 2005.

_________, Pemerintah Diminta Bentuk UU Euthanasia,

http://cybermed.cbn.net.id/Friday, 5 November 2004 14:14 :14 WIB.

Wibudi, Aris, Euthanasia.(makalah) http://rudyct.tripod.com/sem2_012/aris_wibudi.

ITB. Bogor. 2002

Terbarzana, Rina Rehulina, Euthanasia. http://www.myquran.org/. 09 Agustus 2005