eutrofikasi waduk dan danau
TRANSCRIPT
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan,
Pemodelan dan Upaya Pengendalian
Disusun Oleh:
Eko Winar Irianto
R. W. Triweko
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
i
SAMBUTAN
MENTERI PEKERJAAN UMUM
Diiringi dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT, saya menyambut baik atas penerbitan buku
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian. Melalui
buku ini dapat diperoleh informasi bagi masyarakat, khususnya para pemangku kepentingan
waduk dan danau, sehinggan waduk dan danau yang merupakan bagian dari pengelolaan
sumber daya air terpadu di Indonesia dapat tetap dijaga kelestarian dan kelangsungan fungsi-
fungsinya. Karena itu, pembangunan infrastruktur SDA untuk mengelola waduk dan danau
tersebut, sebaiknya merupakan suatu konsep pengembangan wilayah yang berwawasan dan
terpadu.
Saya berharap kiranya buku ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan pedoman atau
acuan bagi masyarakat pemakai dan pihak-pihak terkait lainnya, dalam melaksanakan
pembangunan infrastruktur bidang sumber daya air yang ramah lingkungan. Dengan informasi
ini diharapkan masyarakat pemakai dapat ikut berperan serta dalam upaya-upaya pengelolaan
SDA serta pengamanan infrastruktur tersebut dengan baik agar dapat meningkatkan manfaat
pengelolaan sumber daya air untuk kesejahteraan rakyat.
Jakarta, April 2011
Menteri Pekerjaan Umum
Djoko Kirmanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
ii
1-ii
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
iii
SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG
Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan kerja keras para Peneliti Balai Lingkungan Keairan –
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air bekerja sama dengan staf pengajar Pasca
Sarjana Universitas Parahyangan dan Jurusan Teknik Lingkungan ITB, telah diterbitkan buku
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian. Buku Ini
memberikan informasi, data teknis dan upaya pengendalian pemasalahan eutrofikasi pada
waduk dan danau, yang merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya air secara terpadu.
Waduk dan Danau memiliki fungsi-fungsi yang penting diantaranya, sebagai sumber penyedia
air baku, pengendalian banjir, pembangkit energi, dan merupakan bagian dari daur hidrologi
yang harus dijaga kelestariannya.
Semoga dengan terbit dan disebarluaskannya buku Eutrofikasi Waduk dan Danau:
Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian ini, Badan Litbang PU dapat memberikan
andil penting dalam pembangunan infrastruktur bidang sumber daya air di Indonesia. Kepada
Pusat Litbang Sumber Daya Air, kami sampaikan ucapan terima kasih atas upaya penelitian ini
sehingga menjadi buku acuan yang dapat dimanfaatkan secara luas demi kesejahteraan rakyat
dan pembangunan bangsa dan negara Indonesia.
Jakarta, April 2011
Badan Litbang Pekerjaan Umum,
Ir. Mohamad Hasan, Dipl. HE
NIP. : 19530509 197811 1 001
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
iv
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
v
SAMBUTAN
KEPALA PUSAT LITBANG SUMBER DAYA AIR
Pembangunan bidang sumber daya air, merupakan salah satu tugas Kementerian Pekerjaan
Umum, termasuk di dalamnya pengelolaan dan pengembangan sumber daya air sebagai salah
satu komponen yang hakiki. Oleh karena itu, pola pengembangan sumber daya air terkait pada
strategi yang berlingkup nasional maupun regional. Dalam program pemerintah diperlukan
perhatian khusus tentang pengelolaan sumber daya air dan potensi lahan dan lingkungannya
serta sumber daya manusia yang terkait dengan kuantitas dan kualitas air itu sendiri.
Ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan air serta untuk berbagai sektor dalam suatu tata
ruang, masih menjadi masalah nasional dan menjadi tugas serta tanggung jawab kita bersama
baik secara inter-Kementerian maupun antar-Kementerian. Dalam rangka menunjang program
pemerintah dalam bidang IPTEK penyediaan air baku, PUSAT LITBANG SUMBER DAYA AIR,
BADAN LITBANG PEKERJAAN UMUM, KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM telah berpartisipasi
dalam kegiatan penelitian dan menerbitkan buku berjudul :
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian
Sebagaimana diketahui, waduk dan danau adalah bagian penting dari system sumber daya air
yang kita miliki, yang harus dijaga kelestariannya, baik secara ekosistem maupun fungsi-fungsi
teknis lainnya. Karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan wawasan dan
pengetahuan tentang penyebab, model-model pengelola, dan upaya pengendalian eutrofikasi
yang telah terjadi pada waduk dan danau di Indonesia. Diharapkan dengan adanya buku ini
dapat dihasilkan usulan kebijakan maupun program kegiatan yang menunjang keberlanjutan
fungsi-fungsi waduk dan danau.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
vi
Atas segala bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak, diucapkan banyak terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya khusus bagi penulis, Ir. Eko Winar Irianto, MT, Peneliti
Balai Lingkungan Keairan Puslitbang SDA, Prof. Ir. R. W. Triweko, M.Eng, PhD. Selain itu, ucapan
terima kasih kami sampaikan pula kepada Dr. Doddi Yudianto, MSc, sebagai Pengajar Pasca
Sarjana Universitas Parahyangan, dan Dr. Ir. Priana Soedjono, M.Sc, Pengajar Jurusan Teknik
Lingkungan ITB yang telah menjadi mitra bestari buku ini. Mudah-mudahan buku ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak dan menjadi bahan masukan dalam menunjang program
pemerintah dalam pengembangan potensi sumber daya air dan pengendalian daya rusak
sumber daya air.
Bandung, April 2011
Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air,
Dr. Ir. Arie Setiadi Moerwanto, M.Sc.
NIP. 19580125 198603 1 001
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
vii
PRAKATA
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, penulis telah
menyelesaikan Tulisan tentang Permasalahan Waduk dan Danau. Waduk dan danau merupakan
bagian dari sumber daya alam yang harus dilestarikan keberadaannya, agar kehidupan di alam
termasuk manusia tetap dapat menjalankan fungsinya dan memenuhi kebutuhannya secara
wajar. Namun demikian, akibat tingginya kerusakan pada DAS termasuk tingginya beban
pencemaran pada badan air yang menyebabkan timbulnya kerusakan ekosistem waduk dan
danau, terutama permasalahan eutrofikasi.
Terkait dengan permasalahan tersebut, penulis berupaya menyampaikan gagasan untuk
mengidentifikasi permasalahan-permsalahan dan upaya untuk mengurangi dampak terjadinya
eutrofikasi melalui langkah pengelolaan ekosistem waduk dan danau secara terpadu, mulai dari
ekosistem DAS, ekosistem sempadan maupun ekosistem pada perairan waduk dan danau.
Karena itu, tulisan ini diberi judul “Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan, Pemodelan dan
Upaya Penanganan”, Melalui tulisan ini, penulis berharap para pembaca dapat lebih memahami
konsep-konsep pengelolaan ekosistem waduk dan danau secara terpadu, sehingga dampak
permasalahan eutrofikasi yang timbul pada badan air dapat dikurangi.
Penulis menyadari bahwa, tulisan ini tidak mungkin diselesaikan tanpa bantuan dan dukungan
pihak-pihak yang telah memberikan bantuan berupa wawancara, data-data maupun makalah-
makalah hasil kajian yang bermanfaat dalam penyusunan tulisan ini. Karena itu, pada
kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima-kasih kepada pihak-pihak yang membantu
penulisan ini, terutama kepada:
a. Dr.Ir.Arie Setiadi Moerwanto,MSc., selaku Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air beserta
jajarannya yang telah mengizinkan penulis untuk menggunakan data-data dan kajian-kajian
yang ada di Puslitbang SDA;
b. Dr.Ir Badruddin Machbub, Dipl.HE., profesional dan Ahli Peneliti Utama Bidang Lingkungan
Keairan yang telah memberikan waktunya untuk berdiskusi dan membagi pengalamannya
dengan penulis;
c. Dr. Simon Brahmana,CES., Peneliti Utama Bidang Teknik Lingkungan Sumber Daya Air yang
bersedia berbagi data dan makalah hasil kajian untuk melengkapi tulisan ini;
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
viii
d. Ir. Ratna Hidayat, Peneliti Madya Bidang Teknik Lingkungan Sumber Daya Air yang juga
bersedia berbagi data serta hasil kajian untuk mengembangkan tulisan ini; dan
e. Berbagai pihak yang telah membantu, namun belum disebutkan dalam tulisan ini;
Semoga bermanfaat, dan Selamat Membaca.
Bandung, April 2011
Penulis
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
ix
DAFTAR ISI
Halaman
KATA SAMBUTAN
- Sambutan Menteri Pekerjaan Umum .......................................................................................... i
- Sambutan Kepala Badan Litbang Pekerjaan Umum ............................................................... iii
- Sambutan Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air .................................................................. v
PRAKATA. .............................................................................................................................................. vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................................................. xiv
DAFTAR KOTAK..................................................................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1-1
1.1 Latar belakang ....................................................................................................................... 1-1
1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan ......................................................................................... 1-3
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ............................................................................................ 1-4
1.4 Sistematika Pembahasan ................................................................................................... 1-4
BAB II KONDISI DANAU DAN WADUK DI INDONESIA ............................................................... 2-1
2.1 Kondisi danau dan waduk ............................................................................................... 2-1
2.1.1 Kondisi Fisik .............................................................................................................. 2-1
2.1.2 Kondisi Kualitas Air ................................................................................................. 2-5
2.2 Manfaat danau dan waduk ............................................................................................... 2-6
2.3 Permasalahan danau dan waduk .................................................................................. 2-7
2.4 Peranan danau dan waduk sebagai pengendali kualitas air .................................. 2-13
2.4.1 Profil Longitudinal Kualitas Air ........................................................................... 2-13
2.4.2 Variasi Kualitas Air Bulanan .................................................................................. 2-22
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
x
BAB III KRITERIA, INDIKATOR DAN PARAMETER EUTROFIKASI ............................................... 3-1
3.1 Kriteria Status Mutu Air Danau dan waduk. ................................................................. 3-1
3.2 Penerapan SMED pada Waduk ........................................................................................ 3-7
3.3 Klarifikasi Eutrofikasi ........................................................................................................... 3-12
3.4 Indikator Potensial yang Harus Dikontrol .................................................................... 3-16
3.4.1 Parameter Fisika ...................................................................................................... 3-17
3.4.2 Parameter Kimia ..................................................................................................... 3-18
BAB IV PEMICU EUTROFIKASI PADA WADUK DAN DANAU ..................................................... 4-1
4.1 Kelimpahan plankton ......................................................................................................... 4-1
4.2 Peningkatan Zat Hara ........................................................................................................ 4-3
4.2.1 Senyawa Nitrogen ................................................................................................. 4-3
4.2.2 Senyawa Fosfor ....................................................................................................... 4-5
4.3 Fenomena Kolam Jaring Apung...................................................................................... 4-7
4.4 Pencemaran Daerah Aliran Sungai................................................................................. 4-10
BAB V PEMODELAN EUTROFIKASI ................................................................................................... 5-1
5.1 Korelasi Parameter Eutrofikasi ......................................................................................... 5-1
5.2 Penentuan Daya Tampung Beban Pencemaran (DTBP) .......................................... 5-3
5.2.1 Penentuan DTBP Pada Danau dan aduk .......................................................... 5-3
5.2.2 DTBP Budidaya Perikanan Keramba Jaring Apung ....................................... 5-5
5.3 Model Aplikasi Pengelolaan Danau dan Waduk......................................................... 5-8
5.3.1 Model CE-Qual-W2 ................................................................................................. 5-8
5.3.2 Model Aplikasi Water Quality Simulation Program......................................... 5-10
5.4 Pemodelan Dinamik Eutrofikasi ...................................................................................... 5-13
5.5 Pemodelan Tunak Senyawa Nutrien dan Organik ..................................................... 5-14
5.6 Pemodelan Penginderaan Jauh ...................................................................................... 5-17
BAB VI DAMPAK DAN UPAYA PENGENDALIAN EUTROFIKASI ................................................. 6-1
6.1 Dampak Eutrofikasi ............................................................................................................. 6-1
6.1.1 Pencemaran Air Baku ............................................................................................ 6-1
6.1.2 Penurunan Produksi Perikanan .......................................................................... 6-1
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
xi
6.1.3 Penurunan Kualitas Sumber Air Minum .......................................................... 6-3
6.1.4 Gangguan Ekosistem dan Estetika Perairan.................................................... 6-4
6.1.5 Gangguan Transportasi dan Operasi dan Pemeliharaan Waduk .............. 6-5
6.2 Upaya Pengendalian Eutrofikasi .................................................................................... 6-6
6.2.1 Upaya Alami ............................................................................................................. 6-6
6.2.2 Upaya Fisika-Kimia-Biologi................................................................................... 6-7
6.2.3 Peningkatan Peran Masyarakat Dalam Pengelolaan Waduk ..................... 6-13
6.3 Pengendalian Pencemaran DAS Terpadu .................................................................... 6-15
BAB VII STRATEGI PENGELOLAAN TERPADU EKOSISTEM DANAU DAN WADUK ............... 7-1
7.1 Strategi Nasional Terpadu Pengelolaan Waduk dan Danau ................................... 7-1
7.2 Pengendalian Pencemaran Terpadu Daerah Tangkapan Air Waduk/Dana…. 7-5
7.3 Analisis SWOT Pengendalian Pencemaran DAS dan Waduk/Danau
Terpadu .................................................................................................................................... 7-11
7.3.1 Identifikasi Analisis SWOT .................................................................................... 7-11
7.3.2 Strategi Hasil Analisis SWOT ............................................................................... 7-13
7.3.3 Indikator Kinerja Komponn Hasil SWOT ........................................................... 7-16
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................................. 8-1
8.1 Kesimpulan ........................................................................................................................... 8-1
8.2 Saran-saran ........................................................................................................................... 8-3
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
xii
DAFTAR TABEL
No Tabel Keterangan Halaman
Tabel 1-1 Perbandingan karakteristik antara danau dan waduk .................................... 1-1
Tabel 2-1 Klasifikasi danau dan waduk berdasarkan luas dan volume ......................... 2-2
Tabel 2-2 Hubungan antara tipe danau dan karakteristik pencampuran Air .............. 2-3
Tabel 2-3 Kondisi kualitas air di Sungai Citarum bagian hulu sebagai input Waduk
Saguling di Musim kering, 2001 .............................................................................
2-8
Tabel 2-4 Rentang konsentrasi minimum-maksimum tiap parameter pada
epilimion dan hipolimnion pada danau dan waduk di Indonesia ............... 2-9
Tabel 2-5 Karakteristik fisik dan kualitas air danau di Indonesia ...................................... 2-10
Tabel 2-6 Karakteristik fisik dan kualitas air waduk di Indonesia ..................................... 2-11
Tabel 3-1 Nilai skor parameter yang tidak memenuhi standar ........................................ 3-2
Tabel 3-2 Penentuan status mutu air berdasarkan Metode Storet ................................. 3-2
Tabel 3-3 Parameter kualitas air untuk penentuan status korosifitas perairan ........... 3-4
Tabel 3-4 Kriteria Status Ekosistem Akuatik ........................................................................... 3-4
Tabel 3-5 Kriteria Status Ekosistem Sempadan ..................................................................... 3-6
Tabel 3-6 Kriteria Status Ekosistem Daerah Tangkapan ..................................................... 3-7
Tabel 3-7 Penerapan Kriteria Status Ekosistem pada Waduk Saguling dan Waduk
Sutami ............................................................................................................................ 3-8
Tabel 3-8 Kategori Status Trofik Wetzel’s ............................................................................... 3-13
Tabel 3-9 Kriteria klasifikasi status trofik untuk perairan danau dan waduk ................ 3-13
Tabel 3-10 Kategori Status Trofik Danau Metode UNEP-ILEC ............................................. 3-14
Tabel 3-11 Kategori Status Trofik Danau Metode Carlson ................................................... 3-15
Tabel 3-12
Tabel 5-1
Hasil pengukuran kualitas air di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur .....
Aplikasi Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) Waduk Untuk
Budidaya Perikanan KJA (Machbub,2007) ...........................................................
3-22
5-6
Tabel 7-1 Program dan Kegiatan pengelolaan Danau Berkelanjutan masing-
masing Kementerian .................................................................................................
7-2
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
xiii
Tabel 7-2 Kondisi danau dan kebutuhan rencana aksi ...................................................... 7-5
Tabel 7-3 Sumber Pencemaran Tersebar pada DAS dan Permasalahan
Lingkungan dan Upaya Pengendalian ................................................................ 7-6
Tabel 7-4 Sumber pencemaran dan zat pencemar pada ekossistem DAS,
sempadan dan waduk/danau ................................................................................ 7-9
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor gambar Keterangan Halaman
Gambar 2-1 Skema pelapisan sempurna pada Waduk atau Danau ................................... 2-3
Gambar 2-2 Distribusi Suhu, DO, pH, Konduktivitas dan Turbiditas Waduk Sutami
Bulan Juni 2003 ..........................................................................................................
2-4
Gambar 2-3 Kondisi marak alga di Waduk Sutami ................................................................... 2-6
Gambar 2-4 Diagram permasalahan external dan internal yang berpengaruh
terhadap kondisi waduk dan danau di Indonesia ...........................................
2-12
Gambar 2-5 Skema Waduk Kaskade Citarum dan lokasi pengambilan sampel ............. 2-14
Gambar 2-6 Skema profil longitudinal waduk kaskade Citarum ......................................... 2-15
Gambar 2-7 Profil kadar organik, fecal coli dan logam berat sepanjang S.Citarum ....... 2-16
Gambar 2-8 Profil kadar Oksigen Terlarut (DO), Senyawa Nutrien dan Partikel
Tersuspensi Sepanjang S.Citarum .........................................................................
2-17
Gambar 2-9 Profil pH Sepanjang Sungai Citarum ................................................................... 2-19
Gambar 2-10 Variasi bulanan kadar organik, oksigen terlarut dan pH sebelum dan
sesudah Waduk Kaskade .........................................................................................
2-20
Gambar 2-11 Variasi bulanan senyawa nutrien (nitrogen dan phosphor) sebelum dan
sesudah Waduk Kaskade .........................................................................................
2-21
Gambar 2-12 Kondisi kualitas air di sekitar tubuh bendung Waduk Saguling................... 2-23
Gambar 2-13 Kondisi kualitas air di sekitar intake Waduk Cirata ........................................... 2-23
Gambar 2-14 Kondisi kualitas air di sekitar tubuh bendung Waduk Jatiluhur .................. 2-24
Gambar 4-1 Model dinamik Eutrofikasi akibat biomassa plankton .................................... 4-3
Gambar 4-2 Diagram senyawa nitrogen pada badan air ....................................................... 4-5
Gambar 4-3 Diagram senyawa nitrogen pada badan air ....................................................... 4-7
Gambar 4-4 Diagram pola hubungan antara petani jaring apung dan pengelola
waduk ............................................................................................................................
4-10
Gambar 5-1 Korelasi antara fosfor dan klorofil-a ...................................................................... 5-1
Gambar 5-2 Korelasi transparansi (kedalaman Sechi) dan klorofil-a .................................. 5-2
Gambar 5-3 Pendekatan skematik untuk memprediksi variable status trofik
berdasarkan prediksi model beban fosfor ..........................................................
5-2
Gambar 5-4 Model penghitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
xv
dan Waduk ................................................................................................................... 5-5
Gambar 5-5 Model penghitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau
untuk Limbah Budidaya Perikanan.......................................................................
5-7
Gambar 5-6 Contoh pembuatan grid dan segmentasi model aplikasi CE-QUAL-W2
pada Danau Wako, Amerika Serikat .....................................................................
5-9
Gambar 5-7 Contoh potongan vertikal grid dan segmentasi model aplikasi CE-
QUAL-W2 pada Danau Wako, Amerika Serikat .................................................
5-10
Gambar 5-8 Hubungan parameter kualitas air pada model WASP ..................................... 5-12
Gambar 5-9 Kerangka kerja model aplikasi WASP ................................................................... 5-12
Gambar 5-10 Diagram model dinamik pengelolaan waduk ................................................... 5-13
Gambar 5-11 Model kinetika interaksi pada siklus alga, senyawa Nitrogen (N) dan
Fosfor (P) pada model aliran tunak Waduk dan Danau ..................................
5-15
Gambar 5-12 Perbandingan hasil sebelum proses dan setelah proses dengan kanal
Band-5 untuk menentukan wilayah interes .......................................................
5-18
Gambar 5-13 Penentuan wilayah interes (a) Hasil rasio antara kanal biru dan Infra-
merah Tengah pada Waduk Cirata .......................................................................
5-18
Gambar 5-14 Estimasi dan zonasi kandungan klorofil-a di Waduk Cirata (a), Waduk
Saguling (b), Waduk Jatiluhur (c), and Waduk Wonogiri reservoir ..............
5-19
Gambar 5-15 Estimasi dan zonasi klorofil-a pada Waduk Sutami.......................................... 5-19
Gambar 5-16 Korelasi antara “angka digital” dan konsentrasi klorofil ................................. 5-20
Gambar 6-1 Skema kejadian kematian ikan secara masal pada perairan waduk dan
danau hipereutrofik ..................................................................................................
6-2
Gambar 6-2 Mikrostrainer untuk pra pengolahan air baku tercemar akibat
eutrofikasi ....................................................................................................................
6-4
Gambar 6-3 Gangguan ekowisata dan estetika perairan akibat eutrofikasi pada
Waduk Sutami pada tahun 2003 ...........................................................................
6-5
Gambar 6-4 Gangguan transportasi akibat eutrofikasi pada Inlet Waduk Saguling ..... 6-6
Gambar 6-5 Skema penghambatan zona epilimnion dengan sirkulasi air....................... 6-9
Gambar 6-6 Pelaksanaan pengendalian eutrofikasi dengan Alum .................................... 6-11
Gambar 6-7 Pengelolaan IPAL penduduk bersama dengan masyarakat
di sekitar Waduk Sutami ........................................................................................
6-14
Gambar 6-8 Kerjasama penghijauan lahan kritis dan pemanfaatan sabuk hijau di
DAS Brantas .................................................................................................................
6-15
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
xvi
Gambar 6-9 Pelaksanaan pengelolaan DAS secara terpadu untuk perlindungan
badan air.......................................................................................................................
6-16
Gambar 6-10 Aplikasi proses biodigester, sederhana untuk energi alternatif ................... 6-17
Gambar 6-11 Pemanfaatan proses anaerobic dan filter tetes untuk pengendalian
pencemaran peternakan rakyat ............................................................................
6-18
Gambar 7-1 Kondisi Danau Tempe saat musim kering dan musim hujan........................ 7-3
Gambar 7-2 Danau Limboto yang makin dangkal ................................................................... 7-4
Gambar 7-3 Identifikasi sumber-sumber pencemar dan permasalahan yang terjadi
pada ekosistem DAS, eksosistem sempadan dan ekosistem waduk ..........
7-8
Gambar 7-4 Sasaran pengendalian pecemaran DAS terpadu untuk perbaikan
ekosistem waduk/danau dan pemangku kepentingan terkait ....................
7-10
Gambar 7-5 Komponen dan indikator pendukung keberhasilan program
pengendalian pencemaran DAS dan waduk/danau secara terpadu .........
7-15
DAFTAR KOTAK
Nomor gambar Keterangan Halaman
Kotak 2-1 Permasalahan Waduk DAS Citarum............................................................... 2-12
Kotak 3-1 Contoh aplikasi kriteria STORET untuk menetapkan status mutu
perairan waduk ...................................................................................................
3-3
Kotak 3-2 Evaluasi korosifitas Waduk Saguling dan Cirata ........................................ 3-4
Kotak 7-1 Permasalahan dan penanganan Danau Tempe ......................................... 7-4
Kotak 7-2 Permasalahan dan Penanganan Danau Limboto pada DAS Limboto 7-5
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
1-1
BAB I
P E N D A H U L U A N
1.1 Latar Belakang
Danau dan waduk merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang
berpotensi sangat besar serta dapat dikembangkan dan didayagunakan bagi pemenuhan
berbagai kepentingan. Secara prinsip, danau dan waduk adalah sebagai habitat air tergenang
yang merupakan cekungan yang berfungsi menampung air dan menyimpan air yang berasal
dari air hujan, air tanah, mata air ataupun air sungai.
Perbedaan antara danau dan waduk adalah bentuk kejadiannya, yaitu danau karena
peristiwa alam, sedangkan waduk merupakan buatan manusia. Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 28/2009 Pasal 1 menyatakan bahwa danau adalah wadah air dan ekosistemnya
yang terbentuk secara alamiah termasuk situ dan wadah air yang sejenis dengan sebutan istilah
lokal. Waduk adalah wadah air yang terbentuk akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk
pelebaran alur atau badan atau palung sungai. Adapun perbedaan selengkapanya antara waduk
dan danau adalah terlihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Perbandingan karakteristik antara danau dan waduk (Hartoto, 2001)
Karakteristik Danau Waduk atau Bendungan
Proses pembentukan
Alamiah
Oleh Manusia
Usia geologis Tua Relatif muda (=40 tahun)
Terbentuk akibat pengisian Cekungan Lembah-lembah sungai
Posisi di Daerah Aliran Sungai Sentral atau di tengah Marjinal (di pinggiran)
Bentuk Teratur Dendritik
Kedalaman maksimum Dekat bagian tengah Di dekat bendungan
Waktu tinggal teoritis (R) Lebih lama Lebih singkat
Sedimen dasar Otohtonus Alohtonus
Gradien longitudinal Dipicu oleh angin Dipicu oleh aliran sungai
Saluran outlet Permukaan Di tempat dalam
Fluktuasi tinggi permukaan air Lebih kecil Lebih besar
Hidrodinamika Lebih teratur Sangat bervariasi
Penyebab perubahan muka air Alamiah Dikendalikan manusia
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
1-2
Tabel 1 menunjukkan proses pembentukan danau yang lebih lama daripada waduk,
sehingga ekosistem danau terutama bagian dalam yang lebih stabil daripada ekosistem waduk.
Hal tersebut disebabkan saluran outlet danau yang berada di permukaan, sedangkan outlet
waduk berada di tempat dalam. Berdasarkan fluktuasi muka air, danau memiliki fluktuasi muka
air yang lebih kecil daripada fluktuasi muka air waduk. Perubahan muka air danau terjadi secara
alami, sedangkan muka air waduk dikendalikan oleh manusia, yang menyebabkan
hidrodinamika waduk lebih bervariasi daripada danau.
Meskipun demikian, danau dan waduk mempunyai potensi strategis dan manfaatnya
bersifat serbaguna, baik secara ekologis maupun ekonomis (Lehmusluto, dkk,1995). Waduk
memiliki fungsi utama untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA), irigasi dan pencegah banjir.
Selain itu, perairan waduk dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah-tangga atau domestik,
industri, transportasi, perikanan dan pariwisata (Machbub dkk, 2003). Sebagai bagian dari
lingkungan dan sebagai sumber air, waduk merupakan tempat berkumpulnya air secara alami
melalui aliran permukaan maupun air tanah (Straskaba dan Tundisi, 1999).
Di negara berkembang seperti Indonesia, pada umumnya daerah aliran sungai (DAS) telah
mengalami degradasi lingkungan yang serius akibat kegiatan manusia atau anthropogenic,
terutama pada sektor pertanian, kehutanan, perikanan, industri dan pariwisata (Mukerjee, 2009).
Pada saat yang sama, International Council for the Exploration of the Sea atau ICES (2009)
menyatakan bahwa pada DAS terdapat berbagai kegiatan yang membuang limbah secara
langsung maupun tidak langsung masuk kedalam perairan waduk, sehingga berbagai unsur
pencemaran air dari DAS serta sempadan waduk yang terbawa aliran permukaan maupun tanah
akan masuk ke dalam perairannya.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Mukerjee (2009) menyarankan perlunya dilakukan
upaya pengelolaan DAS secara terpadu melalui program aksi yang melibatkan partisipasi
masyarakat untuk mengurangi beban pencemaran yang masuk ke dalam waduk atau danau.
Upaya terpadu khususnya pengendalian pencemaran pada DAS diperlukan agar tidak makin
mencemari badan air penerima. Upaya terpadu tersebut diperlukan, karena beban pencemaran
dari berbagai sektor pada DAS cenderung terus meningkat bila tidak segera dilakukan upaya
penanganan (Bukit, 1995).
Machbub, dkk (2003) juga mengingatkan bahwa pencemaran yang cenderung makin
meningkat dapat mengakibatkan kelestarian fungsi ekosistem perairan waduk di Indonesia
terganggu. Masalah pendangkalan atau sedimentasi serta permasalahan pencemaran air dari air
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
1-3
limbah akibat aktivitas manusia, yaitu domestik, industri, pertambangan, pertanian dan
peternakan akan mengakibatkan timbulnya eutrofikasi maupun perubahan fungsi lainnya.
Permasalahan eutrofikasi danau dan waduk terjadi akibat pencemaran limbah penduduk
dan juga sedimentasi yang mengandung senyawa nutrient atau zat hara. Proses penyuburan
perairan waduk dan danau dapat terjadi secara alamiah maupun kultural. Brahmana, dkk (1993)
menjelaskan bahwa eutrofikasi alamiah adalah terjadi secara alamiah atau tanpa pengaruh
aktifitas manusia. Sedangkan eutrofikasi kultural adalah eutrofikasi yang dipengaruhi oleh
limbah penduduk, limbah pertanian, limbah industri dan sebagainya. Karena itu, permasalahan
penurunan kualitas lingkungan yang terjadi pada danau dan waduk menjadi perhatian secara
global.
Perhatian global terhadap persoalan waduk dan danau ini dijelaskan oleh Jorgensen (2001)
yang menyatakan bahwa permasalahan utama waduk dan danau di seluruh dunia diantaranya:
(a) terjadinya sedimentasi yang tinggi pada danau dan waduk yang disebabkan oleh erosi tanah
akibat perubahan atau penggunaan lahan yang tidak terkendali pada DAS; (b) terdeteksinya
proses asidifikasi danau akibat adanya hujan asam yang dapat mengganggu perikanan dan
degradasi ekosistem; (c) terdegradasinya kualitas perairan waduk dan danau akibat pencemaran
air limbah, organisme dengan zat pencemar beracun atau toksik yang berasal dari limbah
pertanian dan limbah industri; (d) timbulnya proses eutrofikasi akibat masuknya senyawa
nitrogen dan/atau fosfor hasil dari kegiatan industri, pertanian, domestik, limpasan permukaan
dan-lainnya, dan menimbulkan marak atau “bloom” pada fitoplankton, pencemaran air dan
penurunan biodiversitas; dan (e) terjadi perubahan total (completetly collapse) pada ekosistem
akuatik pada kasus ekstrim
Karena itu, diperlukan kerjasama yang baik antara pemangku kepentingan dan kajian yang
menyeluruh mengenai permasalahan dan penanganan eutrofikasi di kawasan danau dan waduk
sebagai implementasi pelaksanaan pengelolaan SDA secara terpadu dan kemudian
dimanifestasikan menjadi pedoman-pedoman pengelolaan kawasan danau atau waduk. Dengan
demikian, kelestarian lingkungan hidup yang didalamnya terdapat manusia dan alam tetap
terjamin.
1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah memberikan informasi tentang permasalahan eutrofikasi yang
sering terjadi pada danau dan waduk, yang menjadi perhatian secara global. Tulisan ini juga
dapat dijadikan acuan upaya pengelolaan danau dan waduk yang terintegrasi dalam
pengelolaan DAS, sebagaimana konsep pengelolaan sumber daya air secara terpadu, seperti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
1-4
yang telah diamanatkan dalam UU Nomor: 4 Tahun 2004. Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat
menjadi rujukan dalam pengelolaan ekosistem di sekitar kawasan danau dan waduk, dan
menjadi pedoman terwujudnya langkah-langkah pengelolaan danau dan waduk secara efisien
untuk mencegah timbulnya penyuburan yang berlebihan dengan mempertimbangkan aspek
lingkungan serta keterpaduan antar sektor.
Tulisan ini diharapkan juga memberi manfaat antara lain: (1) teridentifikasinya potensi dan
permasalahan terjadinya proses eutrofikasi atau penyuburan di kawasan danau dan waduk; (2)
terwujudnya strategi pengelolaan danau dan waduk yang berwawasan lingkungan terutama
untuk mencegah timbulnya penyuburan berlebihan; (3) terumuskannya kebutuhan sarana dan
prasarana yang mendukung pengembangan dan pengelolaan danau dan waduk; serta (4)
terbentuknya acuan pengelolaan waduk dan danau secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam tulisan ini akan dibahas permasalahan eutrofikasi pada danau dan waduk,
pemodelan serta upaya pengendaliannya, yang mencakup:
a. Kondisi danau dan waduk di Indonesia;
b. Manfaat, peranan dan permasalahan danau dan waduk di Indonesia;
c. Kriteria, indikator serta parameter timbulnya eutrofikasi;
d. Fenomena penyebab, pemodelan dan langkah penanganan eutrofikasi; serta
e. Strategi pengelolaan waduk dan danau yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan.
1.4 Sistematika Pembahasan
Tulisan dimulai dengan Bab Pendahuluan yang menjelaskan latar belakang permasalahan,
tujuan dan manfaat kajian, ruang lingkup pembahasan, serta sistematika isi. Pada Bab II
dijelaskan kondisi danau dan waduk di Indonesia, manfaat danau dan waduk, permasalahan
yang sering terjadi pada danau dan waduk. Pada bab ini juga dijelaskan tentang peranan danau
dan waduk sebagai pengendali kualitas air serta kondisi kualitas air danau dan waduk.
Untuk mengidentifikasi permasalahan pada danau dan waduk diperlukan pengetahuan
tentang kriteria, indikator dan parameter eutrofikasi. Pada Bab III ini dijelaskan kriteria status
ekosistem danau, indikator potensial timbulnya eutrofikasi, serta klasifikasi eutrofikasi
berdasarkan standar yang telah ditetapkan, baik secara nasional maupun internasional.
Penyebab timbulnya eutrofikasi dibahas pada Bab IV. Dalam bab ini dibahas beberapa
penyebab timbulnya eutrofikasi, antara lain meningkatnya kelimpahan plankton yaitu
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
1-5
fitoplankton dan zooplankton, meningkatnya zat hara yang terdiri dari konsentrasi senyawa
nitrogen terlarut serta senyawa fosfor sebagai faktor pembatas. Selain itu, pada bab ini juga
dibahas sumber pencemaran dari kolam jaring apung (KJA) dan pencemaran DAS yang terdiri
dari berbagai sumber, yaitu sumber alami, perkotaan, pertanian dan peternakan.
Untuk dapat melakukan pengelolaan dengan baik diperlukan pengetahuan tentang proses
terjadinya eutrofikasi, yang dijelaskan dengan pemodelan secara matematik. Masalah tersebut
dibahas dalam Bab V yang membahas korelasi antara parameter eutrofikasi, penentuan daya
tampung beban pencemaran, contoh model aplikasi seperti CE-Qual-2E dan WASP (Water
Analysis Simulation Programs) juga pemodelan dinamik untuk pengambilan keputusan dan
pemodelan kualitas air waduk melalui teknologi penginderaan jauh.
Timbulnya permasalahan eutrofikasi pada danau dan waduk menyebabkan berbagai
dampak terhadap estetika, ekologi, kesehatan manusia serta dampak secara fisik dan ekonomi.
Dengan teridentifikasinya dampak permasalahan eutrofikasi, maka dapat dilakukan upaya-upaya
pengendaliannya. Upaya-upaya yang dibahas dalam penulisan ini adalah upaya secara alami,
secara fisika-kimia dan upaya terpadu melalui pengelolaan DAS. Permasalahan dan upaya
pengendalian eutrofikasi tersebut dibahas dalam Bab VI pada laporan ini. Pada Bab VI ini juga
dibahas mengenai pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan untuk menghindarkan waduk
dan danau dari ancaman eutrofikasi. Sedangkan strategi untuk pengelolaan terpadu ekosistem
waduk dan danau, baik dalam lingkup nasional maupun dalam skala DAS, dibahas pada Bab VII.
Pada Bab VII tersebut dibahas pula analisis SWOT untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman pada tiap komponen pendukung keberhasilan pengendalian
pencemaran DAS dan waduk atau danau secara terpadu.
Penulisan ini diakhiri pada Bab VIII dengan bab penutup yang berisi kesimpulan-
kesimpulan yang bermanfaat untuk pengembangan pengelolaan danau dan waduk yang
berwawasan lingkungan terutama dalam rangka mencegah atau bahkan mengatasi timbulnya
permasalahan eutrofikasi.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
1-6
DAFTAR PUSTAKA
Brahmana, Moelyo,M, Rahayu,S.1993. “Eutrofikasi Waduk Saguling”, Jurnal litbang Pengairan. 8
(28). Puslitbang Pengairan, Bandung
Bukit, N.T., 1995. “Water Quality Conservation for The Citarum River in West Java”. Water Science
Technology Vol.31(9), Pergamon, London, pp.1-10.
ICES.2009. “Human Induced Eutrophication is Minimized Especially Adverse Effect”. Final Report,
European Commision Jorgensen (2001)
Lehmusluto,P., B.Machbub, Bukit,.N.T., Rusmiputro. S., F.Achmad., L.Boer., Brahmana, S., 1995.
“National Inventory of The Major Lakes and Reservoir in Indonesia”, Expedition Indodanau
Technical Report, In Cooperation RIWRD and University of Helsinky (direvisi 1997)
Machbub,B., Fulazzaky, M.A., Brahmana, S. dan.Yusuf, I.A., 2003. “Eutrophication of Lakes and
Reservoir and Its Restoration in Indonesia”. Jurnal Litbang Pengairan Vol.17(50) , Puslitbang
Pengairan, Bandung.
Mukerjee,A,2009. ”Lake watershed management in developing countries through community
participation: a model”. Proseding Konferensi Danau Berkelanjutan,13-15 Agustus. Bali
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 28/2009 Pasal 1
Straskraba,M and Tundisi, J.G. “Guidelines of Lake Management Volume 9: Reservoir Water
Quality Management”, ILEC,1999
Hartoto,D.I., 2001. “Dinamika Populasi Plankton Sebagai Indikator Pencemaran pada Perairan
Waduk”, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Cibinong
Undang-undang Nomor: 24 tahun 2007 tentang Sumber Daya Air
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
2-1
BAB II
KONDISI WADUK DAN DANAU DI INDONESIA
2.1 Kondisi Umum Danau dan Waduk
2.1.1 Kondisi Fisik
Bemmelen (1949) dalam (Lehmusloto dkk, 1995) menggambarkan bahwa di Indonesia
terdapat kurang lebih danau kategori besar dengan luas lebih dari 50 hektar sebanyak 500 buah.
Danau tersebut tersebar pada beberapa pulau besar yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan Sulawesi,
Papua serta Pulau Bali. Namun demikian, lokasi waduk sebagian besar berlokasi di Pulau Jawa.
Selain danau dengan kategori besar juga terdapat danau-danau kecil yang jumlahnya ribuan
dan waduk kecil yang dikenal dengan sebutan embung. Danau kecil sering disebut sebagai situ
yang berukuran besar. Di Provinsi Jawa Barat terdapat 354 buah situ, di Provinsi Jawa Timur 438
buah situ. Danau terbesar di Indonesia adalah Danau Toba yang terletak 905 meter di atas
permukaan laut (dpl), panjang 275 km, lebar 150 km dengan luas 1.130 km2, dengan kedalaman
maksimum 529 m di bagian utara dan 429 m di bagian selatan. Danau Toba merupakan danau
terdalam ke sembilan di dunia dan merupakan danau tipe vulkanik kaldera yang terbesar di
dunia. Danau yang terdalam di Indonesia adalah danau Montana di Sulawesi Tengah dengan
kedalaman maksimum 590 m dan merupakan danau terdalam ketujuh di dunia
Kedalaman danau di Indonesia bervariasi antara 50 – 200 meter, namun banyak juga yang
berkedalaman kurang dari 50 meter. Sebagaian besar danau-danau tersebut belum diketahui
volumenya dengan pasti sampai saat ini. Demikian juga halnya presipitasi, evaporasinya serta
debit aliran masuk dan aliran keluar. Sebab itu, waktu tinggal air danau secara pasti tidak
diketahui, sehingga daya tampung beban pencemaran sebenarnya juga tidak diketahui. Hal
tersebut berakibat pemanfaatan bagi danau untuk berbagai keperluan sulit untuk
diprogramkan.
Lain halnya dengan waduk, pembangunan waduk jelas diprogramkan untuk berbagai
keperluan antara lain pembangkit listrik, irigasi, pengendalian banjir, sumber air baku air minum,
air industri, penggelontoran, air perikanan, atau tempat pariwisata. Jumlah tenaga listrik yang
dihasilkan dari tenaga air yang berasal dari air waduk ada sebanyak 3,4% dari total dari
kebutuhan nasional (Machbub,dkk.,2003).
Waduk sering juga disebut danau buatan yang besar. Peraturan Pemerintah Nomor 37
tahun 2010 tentang Bendungan menyatakan bahwa bendungan atau waduk besar adalah bila
tinggi bendungan lebih dari 15 meter dengan daya tampung minimal 500.000 m3. Sedangkan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
2-2
embung merupakan waduk kecil dan tinggi bendungannya kurang dari 15 m. Embung banyak
dibangun di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Pembangunan waduk besar di Indonesia sampai tahun 1995 kurang lebih 100 buah, yang
sekitar 80% nya berlokasi di Pulau Jawa. Sejak terjadi krisis moneter pada tahun 1998,
pembangunan waduk besar di Indonesia belum dilakukan lagi, kecuali perencanaan Waduk
Jatigede di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Sistem tata air waduk berbeda dengan
sistem tata-air danau alami. Pada waduk, komponen tata airnya telah direncanakan sedemikian
rupa sehingga volume, kedalaman, luas, presipitasi, debit inflow/outflow, serta waktu tinggal air
diketahui dengan pasti. Sedangkan pada danau masih diperlukan penelitian yang lebih
mendalam tentang dimensi danau sebenarnya yang dilakukan melalui suatu upaya pemeruman
(echo sounding).
Tabel 2.1 Klasifikasi Danau dan Waduk Berdasarkan Luas dan Volume (ILEC, 1999)
Klasifikasi Luas (Km2) Volume (Juta m3)
Besar 10.000 – 1.000.000 10.000 – 100.000
Medium 100-10.000 100-10.000
Kecil 1-100 1-100
Sangat Kecil < 1 < 1
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2008
Berdasarkan luas dan volume nya danau dan waduk dapat diklasifikasikan menjadi danau
atau waduk besar, medium, kecil dan sangat kecil sebagaimana terlihat pada Tabel 2.1. Luas dan
volume waduk dan danau tersebut sangat berpengaruh dengan kondisi hidraulik aliran. Kondisi
hidraulik aliran tersebut berpengaruh pada waktu tinggal aliran serta tingkat pencampuran air
yang pada akhirnya juga berpengaruh pada kondisi trofik waduk atau danau, seperti terlihat
pada Tabel 2.2.
Pada Tabel 2.2 diperlihatkan danau atau waduk dengan waktu tinggal kurang dari 20 hari,
yang dikategorikan sebagai danau atau waduk berarus cepat, yang sekaligus memiliki sifat
pencampuran yang sempurna. Kondisi tersebut dapat menghambat pertumbuhan plankton.
Sedangkan pada danau atau waduk yang memiliki waktu tinggal 20 sampai dengan 300 hari
cenderung terjadi stratifikasi atau pelapisan dan mulai terjadi proses eutrofikasi. Sedangkan
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
2-3
waduk yang memiliki waktu tinggal lebih dari 300 hari, cenderung terjadinya stratifikasi
sempurna seperti terlihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Skema Pelapisan Sempurna pada Waduk atau Danau (Chapra, 1997)
Tabel 2.2. Hubungan Antara Tipe Danau dan Karakteristik Pencampuran Air (ILEC,1999)
Karakteristik Arus Arus Arus
Air Cepat Air Sedang Air Lambat
Waktu tinggal R <= 20 hari 20 < R <= 300 hari R > 300 hari
Tingkat Pencampuran
Pencampuran Air Mulai terjadi Stratifikasi terjadi
Air Sempurna Stratifikasi Sempurna
Tingkat trofik Aliran air menghambat pertumbuhan plankton
Pengaruh arus air tidak dominan, mulai terjadi proses trofik
Terjadi tingkat trofik
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2008; R : Waktu tinggal air (Hari)
Adanya pelapisan sempurna pada badan air sangat berpotensi menimbulkan proses
eutrofikasi atau penyuburan. Sedangkan Gambar 2.2 merupakan contoh terjadinya proses
pelapisan di Waduk Sutami. Pada Gambar 2.2 tersebut ditunjukkan adanya perubahan yang
cukup signifikan pada parameter-parameter suhu, Oksigen Terlarut, Turbiditas (kekeruhan), dan
Daya Hantar Listrik (konduktifitas) terhadap kedalaman, sehingga terlihat seperti terbentuk
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
2-4
lapisan. Kondisi tersebut sangat mendukung timbulnya eutrofikasi. Untuk mencegah terjadinya
kondisi tersebut, maka pengelolaan badan air dengan waktu retensi yang tinggi seperti danau
dan waduk memerlukan pengelolaan yang terintegrasi dengan daerah aliran sungai (DAS)
badan air tersebut.
Gambar 2.2. Distribusi Suhu, DO, pH, Konduktivitas dan Turbiditas
Waduk Sutami Bulan Juni 2003 (Sulastri, dkk, 2004)
Karena itu, perlu dikembangkan kolam-kolam retensi dengan waktu tinggal aliran kurang
dari 20 hari untuk mencegah timbulnya eutrofikasi. Kolam-kolam retensi tersebut selain
membantu mengurangi potensi terjadinya banjir, juga sebagai sarana konservasi sumber air
sekaligus sebagai fasilitas umum atau sosial di lingkungan permukiman maupun perkotaan.
0
5
10
15
20
25
30
24 26 28 30
Suhu (oC)
Ked
ala
man (
m)
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
0
5
10
15
20
25
30
0 5 10 15
DO (mg/L)K
ed
ala
man (
m)
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
0
5
10
15
20
25
30
7,5 8 8,5 9 9,5
Kedalaman (m)
pH
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
0
5
10
15
20
25
30
260 280 300 320 340
Konduktivitas (uS/cm)
Ked
ala
ma
n (
m)
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
0
5
10
15
20
25
30
0 50 100 150
Kedalaman (m)
Turbiditas (NTU)
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
2-5
2.1.2 Kondisi Kualitas Air
Machbub, dkk (2003) melaporkan bahwa penelitian kualitas air waduk dan danau telah
dilakukan oleh Puslitbang Sumber Daya Air bekerjama dengan Pemerintah Finlandia, yaitu
Universitas Finlandia sejak tahun 1990 yang hasilnya menunjukkan bahwa kualitas air waduk
dan danau sudah banyak menurun. Penurunan kualitas air waduk dan danau tersebut
disebabkan oleh pencemaran organik, terutama senyawa nitrogen dan fosfor yang berasal dari
air limbah industri, penduduk, pertanian dan aktifitas perikanan kolam jaring apung (KJA).
Tingkat pencemaran waduk yang diakibatkan senyawa nitrogen, fosfor, dan zat organik dapat
dibagi menjadi 3 kategori, yaitu penyuburan amat sangat berat (hypereutrofic), penyuburan
berat (eutrofic), dan penyuburan sedang (oligotrofic), dan mesotrofic atau belum mengalami
penyuburan .
Dari penelitian tersebut diketahui bahwa waduk yang masuk tingkat eutrofik adalah Waduk
Saguling, Cirata, Karangkates, dan Sengguruh. Kategori oligotrofik adalah Waduk Lahor,
Jatiluhur, Muara Nusa Dua, Mrica, Kedungombo, dan yang termasuk mesotrophic adalah Waduk
Palasari, Wlingi, Malahayu, dan lain-lain (Machbub, dkk., 2003).
Lehmusluto (2006) menyatakan bahwa pada tahun 2004-2005 telah dilaksanakan
penelitian pada 10 waduk di Pulau Jawa, terutama waduk yang mengalami pencemaran dan
penyuburan yang sangat berat dan berat, menunjukkan bahwa pencemaran waduk makin berat
dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sebagai contoh Waduk Saguling, kadar oksigen
pada lapisan hypolimnion-nya sangat rendah yaitu kurang dari 3 mg/L. Padahal secara umum
kadar oksigen pada lapisan tersebut mendekati kadar oksigen pada lapisan epilimnion (lapisan
dengan sinar-matahari dapat tembus sampai kedalaman tersebut). Selain itu kualitas airnya telah
tidak memenuhi baku mutu untuk keperluan sebagai sumber air baku, air perikanan, air industri,
air irigasi.
Contoh waduk lain yang mengalami pencemaran berat adalah Waduk Sutami di Malang
yang sering mengalami marak alga (alga bloom). Akibat marak alga tersebut, air Waduk Sutami
mulai berwarna hijau pekat yang berubah menjadi coklat, ikan mati,timbul bau busuk, mesin-
mesin PLTA makin cepat mengalami korosi atau berkarat, sebagaimana terlihat pada Gambar
2.3. Pencemaran air Waduk Sutami yang menyebabkan terjadinya alga bloom adalah limbah
penduduk, peternakan dan pertanian. Brahmana, dkk (2002) menyatakan bahwa dampak yang
paling serius dari alga bloom pada waduk adalah produksi toksin oleh ganggang Microcystis
yang disebut Mycrocystein yang dapat menyerang syaraf dan mengakibatkan kematian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
2-6
Gambar 2.3 Kondisi Marak Alga di Waduk Sutami (Sukistiyono, 2004)
2.2 Manfaat Waduk dan Danau
Danau dan waduk secara teknis berfungsi sebagai sumber air baku, tempat hidup berbagai
biota air, pengatur dan penyeimbang tata air, pengendali banjir dan sungai pembangkit tenaga
listrik dan lainnya. Selain itu, danau dan waduk juga bersifat multi fungsi, yaitu fungsi ekologi,
ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, dan keagamaan. Karena itu, melalui Kesepakatan Bali
tentang Pengelolaan Danau Berkelanjutan adalah mempertahankan, melestarikan dan
memulihkan fungsi danau dan waduk berdasarkan prinsip keseimbangan ekosistem dan daya
dukung lingkungannya. Komitmen sembilan departemen terkait melalui tujuh butir program
strategis danau ditandatangani oleh empat menteri pada acara Konferensi Nasional Danau
Indonesia I dengan tema “Pengelolaan Danau dan Antisipasi Perubahan Iklim” di Denpasar,
Provinsi Bali, pada tanggal 13–15 Agustus 2009.
International Lake Environment Committee atau ILEC menegaskan kembali tentang prinsip
visi danau, yaitu: (1) hubungan yang harmoni antara manusia dan alam atau lingkungan; (2)
daerah tangkapan danau adalah starting point pengelolaan DAS; (3) pendekatan jangka panjang
untuk pencegahan kerusakan danau; (4) penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
pengembangan dan pengambilan kebijakan; (5) prinsip keberlanjutan untuk menghindari
konflik; (6) partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan; serta (7) tata-kelola berdasarkan
keadilan, transparansi dan pemberdayaan seluruh pemangku kepentingan
Ke tujuh visi tersebut memberikan gambaran bahwa keberadaan ekosistem danau dan
waduk memberikan fungsi yang mensejahterakan kehidupan manusia, yaitu terjadinya kegiatan
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
2-7
domestik, industri, dan pertanian. Meskipun, jika dibandingkan dengan habitat laut dan daratan,
danau dan waduk merupakan salah satu bentuk ekosistem yang menempati daerah yang relatif
kecil pada permukaan bumi..
Fungsi danau secara ekosistem, sebagaimana dinyatakan oleh Cornel dan Miller (1995)
diantaranya adalah: (a) sebagai sumber plasma nutfah yang berpotensi sebagai penyumbang
bahan genetik; (b) sebagai tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora dan fauna yang
penting; (c) sebagai sumber air yang dapat digunakan oleh masyarakat sekitarnya
(rumahtangga, industri dan pertanian); (d) sebagai tempat menampung kelebihan air yang
berasal dari air hujan, aliran permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah
tanah; (e) sebagai pemelihara iklim mikro, di mana keberadaan ekosistem danau dapat
mempengaruhi kelembaban dan tingkat curah hujan setempat; (f) sebagai sarana tranportasi
dari tempat satu ke tempat lainnya; (g) sebagai penghasil energi melalui PLTA; dan (h) sebagai
sarana rekreasi dan objek pariwisata.
Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2007, Pasal 1 menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan sumber air ialah semua wadah alamiah dan yang telah dibuat oleh orang, seperti sungai,
danau, waduk, mata air, dan sebagainya. Sebab itu, pengelolaan DAS secara terpadu harus
memasukkan danau dan waduk sebagai salah satu unsur sumber air yang harus dikelola secara
terintegrasi, termasuk pula langkah-langkah pemanfaatannya.
Pemanfaatan waduk dan danau sebagai sumber air menurut Pasal 29 ayat (3) pada UU
Nomor 4/2007, memiliki tiga prioritas. Prioritas pertama digunakan untuk air minum, rumah
tangga, pertahanan dan keamanan nasional, peribadatan dan usaha perkotaan, misalnya
mencegah kebakaran, penggelontoran, menyiram tanaman, dan lain sebagainya. Prioritas kedua
dimanfaatkan untuk pertanian, pertanian rakyat, dan usaha pertanian lainnya, peternakan,
perkebunan dan perikanan. Prioritas ketiga dimanfaatkan untuk ketenagaan, industri,
pertambangan, lalu lintas air dan rekreasi.
2.3 Permasalahan Waduk dan Danau
Hasil penelitian Machbub, dkk (2003) menjelaskan bahwa beberapa danau mengalami
permasalahan antara lain terjadinya sedimentasi yang mengakibatkan berkurangnya kedalaman,
berkurangnya volume, berkurangnya luas genangan; timbulnya masalah eutrofikasi, yaitu
tingginya kadar nitrogen dan fosfor akibat limbah domestik maupun pertanian dan sisa pakan
ikan; terjadinya pencemaran limbah cair dan limbah padat pada perairan waduk, dan
meningkatnya laju erosi dari sungai tinggi, sehingga mengurangi masa layan waduk .
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
2-8
Contoh hasil penelitian kualitas air dari waduk tercemar yang mengalami proses eutrofikasi
adalah 3 waduk tercemar berat yaitu: Saguling, Cirata, Jatiluhur dengan total beban 80 ton
BOD per hari dan sampah 1000 m3/ hari. Adapun contoh penurunan kualitas air akibat
pencemaran dari DAS Citarum bagian hulu adalah pada Waduk Saguling sebagaimana
diperlihatkan pada Tabel 2.3 (Machbub, dkk., 2003). Sementara itu, rentang konsentrasi
minimum dan maksimum tiap parameter pada lapisan epilimnion dan hipolimnion pada danau
dan waduk di Indonesia adalah terlihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.3 menunjukkan bahwa Waduk Saguling mendapat input beban pencemar zat
organik sebesar 71,1 Ton BOD/hari dan 161,16 Ton COD/hari. Sedangkan beban limbah senyawa
nutrien yang mencemari waduk tersebut adalah masing-masing 5,74 Ton Nitrogen/hari dan 0,5
Ton Fosfor/hari. Kondisi tersebut menyebabkan Waduk Saguling mengalami pencemaran yang
amat sangat berat, sekaligus penyuburan yang berlebihan.
Tabel 2.4 menunjukkan rentang konsentrasi, minimum dan maksimum, kualitas air waduk
dan danau. Hasil pengukuran parameter kualitas air tersebut dibandingkan dengan kategori
UNEP (United Nation of Environmental Protection) menunjukkan bahwa parameter transparansi
berada pada rentang mesotrofik-hipereutrofik, meskipun terdapat danau yang masih oligotrofik.
Parameter khlorofil-a juga menunjukkan bahwa status trofik waduk dan danau di Indonesia
berada dalam rentang mesotrofik-eutrofik. Sedangkan kadar oksigen terlarut pada hipolimnion
cenderung dalam kondisi anaerobik atau anoksik, baik pada waduk maupun danau. Kandungan
senyawa nutrien diukur sebagai total nitrogen dan total fosfor menunjukkan kategori
mesotrofik-eutrofik. Parameter zat organik dan partikel tersuspensi pada waduk dan danau di
Indonesia berada dalam kategori klas I sampai III. Tingkat keasaman yang terukur pada perairan
waduk dan danau di Indonesia umumnya berada pada kondisi normal, meskipun cenderung
basa terutama pada lapisan hipolimnion.
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
2-9
Tabel 2.3 Kondisi Kualitas Air di S Citarum Bagian Hulu Sebagai Input Waduk Saguling
di Musim Kering, 2001
Tabel 2.4 Rentang Konsentrasi Minimum-Maksimum Tiap Parameter pada Epilimion
dan Hipolimnion pada Danau dan Waduk di Indonesia
Sumber: Lehmusluto, dkk. 1997. National Inventory of Major Lakes and reservoir in Indonesia, 1997; tt : tidak terdeteksi
No. Parameter Satuan Konsentrasi Input Sungai
(Ton/hari) 1 Padatan terlarut mg/l 232 -
2 Padatan tersuspensi mg/l 284 -
3 Kekeruhan NTU 52 -
4 pH - 7,8 -
5 DO mg/l 0,55 -
6 BOD mg/l 30,0 71,099
7 COD mg/l 68,0 161,157
8 Total Nitrogen (T-N) mg/l 2,42 5,735
9 Total Fosfor (T-P) mg/l 0,21 0,498
10 Kesadahan (CaC03) mg/l 346 -
11 Deterjent (MBAS) mg/l 0,40 -
12 E.Coli Bakteri per 1OO ml 9,6.105 -
13 Debit aliran m3/s 27,43 Sumber : Machbub, dkk., 2003
Parameter Kualitas Air Satuan
<100m >100m
Tranparansi (Kedalaman Secchi) m 0,4-20,0 - - 0,5-5,0 -
Klorofil-a ( Chl-a) mg/m3 0,15-7,33 - - 0,46-6,08 -
Temperatur (t)0C 21,42-30,20 20,11-28,80 24,03-26,80 25,89-30,80 22,62-29,21
Oksigen terlarut (O2) mg/L 5,40-10,34 0-5,00 0-0,97 5,00-14,2 0-8,41
Karbon Dioksida (CO2) mg/L 0-33,0 0-43,1 3,5-18,0 0-15,1 0-21,8
Alkalinitas meq/L 0,19-3,70 0,19-3,70 1,00-2,60 1,02-3,20 1,00-3,10
pH - 6,8-8,8 6,8-8,9 6,1-7,6 7,6-9,0 6,5-8,7
Daya Hantar Listrik (EC) umho/cm 22-1811 26-1797 198-314 97-386 131-1570
Amonia (NH4+ dan NH3-N) mg/L 0-1,117 0,0002-0,929 0,019-1,450 0-0,100 0-0,420
Nitrit nitrogen (NO2-N) mg/L 0-0,018 0-0,037 0-0,027 0-0,007 0-0,043
Nitrat nitrogen (NO2-N) mg/L 0-0,270 0,010-0,890 0-0,760 0-1,500 0-1,500
Organik nitrogen (Org-N) mg/L 0,020-1,042 0-0,360 0,100-0,828 0-0,620 0-1,180
Total nitrogen (Tot-N) mg/L 0,116-1,310 0,212-1,010 0,160-1,724 0,020-1,560 0,050.-1,780
Fosfat fosfor (PO4-P) mg/L 0-0,080 0-0,060 0-0,110 0-0,002 0-0,015
Total Fosfor (Tot-P) mg/L 0-0,085 0-0,080 0-1,411 0-0,006 0-0,018
N/P-ratio (Total) 1,9-49,5 2,7-485 3,2-27,3 3,3-665 8,3-610
Chemical oxygen demand (COD) mg/L 1.8-18 5.0-17 2,2-10 4,0-10 4,0-36
Padatan Terlarut mg/L 16-1540 18-1530 90-166 62,178 100-485
Padatan Tersuspensi mg/L 3.0-36 4.0-40 3 - 30 3 - 12 4,0 - 210
Turbiditi NTU 0.9-22 2.0-22 1,6-18 1,5- 7,9 2,0-150
Potensial Oksidasi-Reduksi mV -209 -323 -413 -147 -282
Silicat (SiO2) mg/L 3.6-68 7,7-68 Agust-40 tt tt
Kalsium (Ca) mg/L 1.9-32 1,8-35 13-33 8,1-35 9,4 - 36
Klorida (CI) mg/L 1.0-225 1,5-323 1,3-8,5 4 - 26 5,4 - 27
Kalium (K) mg/L 0.45-22 0,50-20 0,2-2,4 1,1 - 3,7 1,0 - 4,1
Natrium (Na) mg/L 1,3-350 1,3-340 0,9-18,5 2,3 - 25 2,3- 44
Magnesium (Mg) mg/L 0,87-61 0,85-66 2,4-21 2,2 - 14 2,3 - 14
Sulfat (SO4) mg/L 0,35-650 0,35-650 0.40.18.9 1,2 - 35 1,2 - 30
Hidrogen Sulfida (H2S) mg/L tt tt 0-1,5 tt tt
Cadmium (Cd) mg/L tt tt tt tt tt
Chromium (Cr) mg/L tt tt tt tt tt
Tembaga (Cu) mg/L tt tt tt tt tt
Besi (Fe) mg/L 0,08- 0,82 0,1 - 2,5 0,18 - 4,59 0,1 - 0,9 0,15 -130
Manganese (Mn) mg/L 0-0.14 0 - 0,3 0.05-0.34 0,01 - 0,12 0,01 - 0,19
Nikel (Ni) mg/L tt tt tt tt tt
Timbal (Pb) mg/L tt tt tt tt tt
Seng (Zn) mg/L 0,03 0 - 0,34 0,05 - 0,14 0 - 0,25 0 - 0,30
Danau
Hypolimnion
Waduk
Epilimnion Epilimnion Hypolimnion
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
2-10
Sumber : Lehmusluoto, dkk.(1995) ; TD : tidak diketahui
Data pada Tabel 2.5 dan 2.6 menggunakan pengukuran transparansi kedalaman minimum
yang terukur dengan cakram sechi. Keasamann waduk dan danau diukur pada lapisan
epilimnion dengan pH meter dan dicatat nilai pH maksimumnya. Parameter nitrogen diukur
sebagai Total Nitrogen, yaitu pada konsentrasi L= 0-0,250 mg/l, M= 0.250-0.500 mg/l dan H=
>0.500 mg/l. Parameter fosfor diukur sebagai Total P yaitu dinyatakan dengan tingkat
konsentrasi pada: L= 0 – 0,025 mg/l, M= 0,025-0,050 mg/l dan H= >0,050 mg/l. Sedangkan status
trofik (ST) dinyatakan dengan klasifikasi Status Trofik: O = oligotrofik, M = mesotrofik, E =
eutrofik dan H= Hipereutrofik.
Tabel 2.5 Karakteristik Fisik dan Kualitas Air Danau di Indonesia
Luas Dalam Volume DHL pH Trans
Danau (A) Zmax (V) Min/max
N P Max Min
ST
km2 M Km3
Batur 15,9 88 0,82 780 M L 8,8 3 O
Bratan 3,8 22 0,049 25 H L 8 1,8 O
Buyan 3,9 87 0,16 280/750 M L 7,8 2,3 O
Diatas 12,3 44 TD 90 M L 7,5 5,5 O
Dibawah 11,2 309 TD 90 L M 8,5 6,5 O
Kerinci 46 97 TD 77 M M 6,8 1,5 M
Limboto 56 2.5 TD 550 H M 8,8 0,4 E
Maninjau 97,9 169 10,4 120/200 M L 8,4 9,6 O
Matano 164,1 590 TD 200/305 M L, 8,5 15,5 O
Poso 323,2 450 TD 135/200 M L 8 7,5 O
Ranau 125,9 229 21,95 200 L H 8,5 8,8 O
Rawa Pening 25 14 0,052 260/500 H L 7,5 0,7 M
Sentani 93,6 42 TD 250 L L 8,3 2,6 M
Singkarak 107,8 268 16,1 160 M L 8,7 2,1 M
Tamblingan 1,9 90 0,027 165/250 H L 8,7 2,7 O
Tempe 350 5 TD 220 H M 7,4 0,6 E
Toba 1130 529 240 180 L L 8,2 15 O
Tondano 50 20 TD 250/730 M .. L 8,3 2.5 M
Towuti 561,1 203 TD 175/400 M L 8,2 20 O
Data-data yang tercantum pada Tabel 2.5 dan 2.6 memberikan gambaran bahwa waduk
maupun danau di Indonesia memiliki kecenderungan mesotrofik dan eutrofik dan beberapa
hipereutrofik. Dengan demikian, dapat diketahui status mutu perairan waduk maupun danau,
sehingga dapat ditentukan program prioritas penanganan kualitas perairan serta penentuan
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
2-11
peruntukan air waduk dan danau. Brahmana, dkk (1993) menyarankan pemanfaatan air waduk
dan danau agar disesuaikan dengan status mutu airnya, yaitu:
a. Waduk Oligotrofik, adalah waduk yang kandungan nutrien dan produktivitasnya sedang.
Waduk dengan status trofik tersebut sangat cocok untuk perikanan dan pemanfaatan
lainnya;
b. Waduk eutrofik, adalah waduk yang kandungan nutrient dan produktivitasnya tinggi,
sedangkan kandungan oksigen pada lapisan hipolimnion rendah. Waduk dengan status
trofik tersebut cocok untuk perikanan dan irigasi; serta
c. Waduk hipereutrofik, adalah waduk yang mengandung banyak material humus,
kandungan oksigennya rendah, dan jumlah spesies ganggang sedikit. Waduk dengan
status trofik tersebut hanya cocok untuk irigasi;
Tabel 2.6. Karakteristik Fisik dan Kualitas Air Waduk di Indonesia
Luas Dalam Volume DHL pH Trans
Danau (A) (Z) max (V) Min/max
N P Max Min
ST
km2 M Km3
Cacaban TD TD 0,086 TD TD TD TD TD TD
Cirata 62 6 2,16 200 . L L 8,7 1,5 M
Darma 4 4 0,004 95/770 M L 9 1,5 M
Jatiluhur 83 90 2,97 190 M L 8,4 2.6 H
Kedung Ombo 46 90 0,72 310/720 M L 8,2 5 M
Lahor 2.6 30 0,037 220 H L 8,9 1,5 E
Mrica 70 100 TD 230/580 H L 8,8 3,6 M
Palasari 3 36 0,006 270 H L TD 0.8 M
Riam Kanan 92 TD 1,2 TD TD TD TD TD TD
Saguling 53,4 90 0,93 200 M L 8,7 0,5 M
Selorejo 4 32 0,062 260 L L 9 0,8 E
Sempor ND 42 0,052 180/270 M L 8,5 1,9 M
Sutami . 15 50 0,34 380 H L 8,7 1,9 M
Wlingi 3.8 6 0,024 360 H L 7,9 1,3 E
W onogiri 90 TD 0,74 TD TD TD TD TD TD Sumber : Lehmusluoto, dkk.(1995)
Karena itu, perairan waduk yang status trofiknya termasuk kategori eutrofik atau hypereu-
trofik, maka perairan tersebut tidak layak digunakan untuk sumber baku air minum, perikanan,
tempat berkreasi, transportasi air dan peruntukan lainnya. Hal ini disebabkan kualitas fisika,
kimia dan biologi dari air waduk tersebut sudah sangat jelek
Sukimin (2004) menjelaskan bahwa permasalahan eutrofikasi waduk atau danau
disebabkan adanya pencemaran dari sumber eksternal dan internal. Pencemararan eksternal
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
2-12
berasal dari DAS yang disebabkan oleh adanya kegiatan manusia, yaitu permsalahan urbanisasi,
pertambahan penduduk dan industri (Gambar 2.4). Permasalahan eksternal tersebut
menyebabkan penggunaan air yang berlebihan, pemanfaatan lahan yang tidak terkendali dan
peningkatan laju erosi. Gambar 2.4 juga menunjukkan permasalahan yang menyebabkan
timbulnya beban pencemaran internal pada waduk atau danau yaitu berkembangnya budidaya
keramba jaring apung (KJA). Beban pencemaran dari eksternal maupun internal sangat
berpengaruh terhadap kualitas air waduk. Permasalahan utama kualitas air adalah timbulnya
eutrofikasi, terjadinya siltasi ke dasar waduk, terlarutnya zat-zat yang bersifat racun atau toksik,
turunnya keanekaragaman hayati, serta turunnya elevasi air akibat evapotranspirasi yang
berlebihan.
Total
Bahan
Organik
Kualitas
Air
Urbanisasi
Pertambahan Penduduk
Industri
PenggunaanAir
Berlebih
Pemanfaatan Lahan
Berlebih
Peningkatan
Erosi
Eutofikasi
Bahan Toksik
Siltasi
Biodiversiti
Elevasi Air
Budidaya
Keramba
Jaring
Apung
Terlarut
Dimakan Ikan
Tidak Dimakan
Asimilasi
Sisa Metabolisme
Jenis Ikan
Pakan
Unit KJA
Gambar 2.4. Diagram Permasalahan Eksternal dan Internal yang Berpengaruh Terhadap Kondisi Waduk dan Danau di Indonesia (Sukimin, 2004)
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
2-13
Kotak 2.1 : Permasalahan Waduk DAS Citarum
Daerah aliran sungai (DAS) yang telah mengalami degradasi lingkungan. mengakibatkan penyuburan Waduk Saguling yang sangat cepat, karena banyaknya limbah penduduk dan industri yang masuk ke Sungai Citarum. Di DAS Saguling dihuni sebanyak 6 juta orang, dan terdapat 300 buah industri (75% tekstil) dan sisanya adalah industri kulit, makanan kertas, obat-obatan dan sebagainya. Limbah penduduk dibuang secara langsung sebanyak 50% ke Sungai Citarum. Demikian juga, hampir 50 % air limbah industri air buangannya belum diolah atau belum diolah secara sempurna
Sumber: Macbub (1987) pada Brahmana (1993), Eutrofikasi Waduk Saguling, Jurnal Litbang Pengairan No. 28 Th. 8 , Puslitbang Pengairan, Bandung
2.4. Peranan Danau dan Waduk Sebagai Pengendali Kualitas Air
Peranan danau dan waduk sebagai pengendali kualitas air adalah memperbaiki kualitas
air melalui proses alami sedimentasi maupun dekomposisi yang terjadi akibat waktu tinggal
yang relatif lama pada tampungan tersebut. Parameter-parameter kualitas air yang dipengaruhi
bahkan dapat diperbaiki serta fenomena-fenomena yang menyertai dapat dilihat pada contoh
kasus pada waduk kaskade di DAS Citarum. Tinjauan fenomena-fenomena tiap parameter
kualitas air pada contoh kasus tersebut, dilihat berdasarkan tinjauan secara longitudinal kulitas
air maupun variasi bulanan.
2.4.1 Profil Longitudinal Kualitas Air
a. Fenomena Perubahan Kualitas Air
Data kualitas air S.Citarum pada bagian hulu (sebelum Waduk Saguling) menunjukkan telah
terjadi pencemaran berat oleh paramater organik (BOD dan COD), amonium dan bakteri
patogen (Eschericia coli). Selain itu juga terjadi pencemaran oleh deterjen dan logam berat.
Perbandingan kadar parameter air sepanjang sungai dan waduk-waduk dari hulu sampai
hilir, menunjukkan adanya perbaikan kualitas air oleh waduk, karena terjadinya proses
penguraian dan pengendapan. Kadar zat pencemar yang menurun karena proses penguraian
adalah senyawa organik (BOD dan COD), senyawa nutrien (N dan P), dan bakteri. Sedangkan
parameter zat pencemar yang menurun karena proses pengendapan adalah parameter besi,
mangan dan seng.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
2-14
Citarum R.
Cikundul R.
5 4
6
7
8
9
3
2 1
Ci
sangk
uy
R
. Citarik R.Ci k
eru
h R
.
C
i kap
undung R.
Cim
ahi R
.C
ibeu
reum
R.
C
ve
it
aru
m R
ir
SAMPLING LOCATION
CATCHMENT BOUNDARY
CITY
RESERVOIR
RIVER
1 0 1
SCALA
2 3 4 Km
N
LEGEND :
West Java
INDONESIA
10
Gambar 2.5 Skema Waduk Kaskade Citarum dan Lokasi Pengambilan Sampel
(Irianto, 2006)
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
2-15
Gambar 2.6 Skema Profil Longitudinal Waduk Kaskade Citarum (Irianto,2006)
b. Dekomposisi Polutan Organik dan Deterjen
Gambar 2.6 menunjukkan bahwa parameter organik (sebagai BOD dan COD) mengalami
perbaikan yang cukup berarti setelah melewati waduk kaskade. Sedangkan Gambar 2.7 juga
menunjukkan menurunnya kadar detergen. Perbaikan kadar parameter organik dan detergen
tersebut akibat adanya penguraian oleh bakteri dan pengenceran selama berada didalam waduk
mengingat waktu retensi di dalam waduk yang berlangsung selama beberapa bulan.
Gambar 2.6 dan 2.7 juga menunjukkan adanya peningkatan kadar organik dan detergen
pada tahun 2000. Peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya pencemaran organik
dan detergen pada sebelah hulu, sejalan dengan bertambahnya penduduk di wilayah tersebut.
Kondisi tersebut dapat menyebabkan beban pencemaran organik dan detergen yang makin
tinggi, terutama di Waduk Saguling.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
2-16
Eutro
fikasi W
aduk d
an D
an
au: P
erm
asa
lahan…
2-1
7
Gambar 2.8 Profil Kadar Oksigen Terlarut (DO), Senyawa Nutrien dan Partikel Tersuspensi Sepanjang S. Citarum (Irianto, 2006)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
2-18
c. Penguraian Senyawa Nutrien
Pada penelitian ini, penguraian senyawa nutrien diwakili oleh amonium, nitrit dan fosfor.
Gambar 2.7, menunjukkan bahwa kandungan amonium, nitrit dan fosfor mengalami
peningkatan pada tahun 2000. Amonium, nitrit dan fosfor pada bagian hulu. Bahkan pada tahun
2000 telah terjadi akumulasi amonium di ketiga waduk tersebut. Namun demikian, kadar nutrien
secara umum mengalami penurunan yang cukup berarti setelah melewati ketiga waduk
tersebut. Gambar 2.7 juga menunjukkan adanya peningkatan kadar amonium pada titik 9 dan 10
yang diduga sebagai akibat beroperasinya industri pupuk di sekitar lokasi tersebut.
d. Pengendapan Pencemar Logam Berat
Gambar 2.6 memperlihatkan bahwa kadar Mn dan Zn di sepanjang Citarum Hulu cenderung
meningkat dalam 10 tahun terakhir, sedangkan kadar Fe relatif hampir sama. Ketiga paramater
tersebut cenderung mengalami akumulasi di ketiga waduk tersebut. Hal ini dapat dilihat pada
titik 8 yang mana kadar ketiga parameter tersebut menurun drastis. Peningkatan pada titik
selanjutnya adalah diduga sebagai akibat adanya industri logam yang ber operasi disekitar titik-
titik tersebut.
e. Pengurangan Bakteri Pencemar
Kadar bakteri coli cenderung menurun pada waduk. Kadar fecal coli pada S.Citarum bagian
hulu semula 0,9.104 – 1,8104 per 100 ml (tahun 2000) dan 0,9.106-1,2,106 per 100 ml (1990)
menurun menjadi 1.104 – 1.105 (1990) dan 0,9.102-0,8.103 per 100 ml (2000). Hal ini disebabkan
oleh desinfeksi sinar matahari pada permukaan air waduk (lihat Gambar 2.6).
Kadar Fecal Coli pada Sungai Citarum mengalami perbaikan yang cukup berarti pada tahun
2000 yang diduga karena adanya fasilitas sanitasi, terutama pemakaian septik tank dan
beroperasinya IPAL Domestik Bojongsoang. Sedangkan masih tingginya kadar Fecal Coli di
ketiga waduk tersebut sebagai akibat adanya penduduk yang tinggal di sekitar waduk, serta
tingginya kepadatan ikan yang dipelihara pada kolam jaring apung. Setelah melewati ketiga
waduk tersebut, kadar bakteri meningkat kembali oleh limbah penduduk di hilir S.Citarum.
f. Penurunan pH
Gambar 2.9 menunjukkan profil pH sepanjang Sungai Citarum yang cenderung basa tahun
1990 dan makin meningkat kebasaannya pada tahun 2000 terutama pada bagian hulu. Hal ini
kemungkinan disebabkan meningkatnya pencemaran limbah industri tekstil di sepanjang
Sungai Citarum bagian hulu. Kondisi cenderung basa juga terlihat pada ketiga waduk tersebut
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
2-19
pada tahun 1990, karena ketiga waduk tersebut mempunyai daerah tangkapan yang secara
geologis berlokasi pada daerah yang berkapur. Sedangkan pada tahun 2000, pH pada ketiga
waduk cenderung menuju netral, kemungkinan telah terjadi pengenceran.
Kondisi pH cenderung menuju netral juga terlihat setelah melewati waduk kaskade tersebut,
baik pada tahun 1990 dan 2000.
Gambar 2.9 Profil pH Sepanjang Sungai Citarum (Irianto,dkk.,2006)
Reaksi yang cenderung mengasamkan air waduk sehingga pH air waduk menjadi netral
pada tahun 2000, disebabkan oleh peruraian pakan organik dari kolam jaring apung. Tepung
pakan ikan cenderung menurunkan pH air menjadi asam, karena proses penguraian zat organik
(Machbub, 2003). Namun, apabila perkembangan jaring apung tidak terkendali dan pH air
sungai netral, maka dikhawatirkan akan terjadi pengasaman air waduk dan bersifat korosif pada
PLTA.
6
6.5
7
7.5
8
8.5
9
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
pH
Sampling Locations
1990 2000
Pusa
t Pen
elitia
n d
an P
engem
bangan S
um
ber D
aya
Air
2-2
0
Gambar 2.10 Variasi bulanan kadar organik, oksigen terlarut dan pH sebelum dan sesudah Waduk Kaskade (Irianto, 2006)
Eutro
fikasi W
aduk d
an D
an
au: P
erm
asa
lahan…
2-2
1
Gambar 2.11 Variasi Bulanan Senyawa Nutrien (Nitrogen dan Fosfor) Sebelum dan Sesudah Waduk Kaskade (Irianto, 2006)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
2-22
g. Erosi dan Sedimentasi
Hasil monitoring parameter partikel tersuspensi atau suspended solid yang tercantum pada
Gambar 2.9 menunjukkan adanya sedikit perbaikan pada tahun 2000 dibandingkan tahun 1990.
Hal ini kemungkinan sebagai akibat adanya perbaikan alur Sungai Citarum bagian hulu,
sehingga, tingkat erosi dari sungai berkurang. Sedangkan pada lokasi 8 (sesudah waduk
kaskade) terdapat perubahan kadar sedimen oleh adanya waduk, yaitu menunjukkan adanya
penurunan kadar suspended solid dibandingkan sebelum memasuki waduk kaskade yang
disebabkan oleh pengendapan partikel lumpur di ketiga waduk.
Gambar 2.9 juga menunjukkan bahwa pada pada titik 9 dan 10 (lokasi Tanjungpura dan
Rengasdengklok) terlihat adanya kenaikan yang sangat tinggi dari partikel tersuspensi terutama
pada tahun 1990, yang dimungkinkan karena adanya penambangan pasir rakyat. Sedangkan
pada tahun 2000, kadar partikel tersuspensi terlihat adanya perbaikan daripada sebelumnya.
2.4.2 Variasi Kualitas Air Bulanan
a. Kapasitas Penyangga pH
Perubahan pH air berasal dari air limbah dan air hujan yang secara tidak langsung
dipengaruhi juga oleh pencemaran udara. Dari hasil monitoring yang terlihat pada Gambar 2.10
menunjukkan bahwa waduk kaskade tersebut ternyata memiliki peranan untuk menstabilkan
pH. Pada lokasi Nanjung terlihat bahwa pH berfuktuasi namun rata-ratanya adalah 7,4 (1990)
menjadi 7,5 pada tahun 2000. Sedangkan pada lokasi Bendung Curug cenderung stabil dengan
rata-rata 7,6 pada tahun 1990 menjadi 7,4 pada tahun 2000.
Gambar 2.9 juga memperlihatkan bahwa kestabilan pH waduk-waduk tersebut bahkan
berlangsung sepanjang musim dan berlangsung selama 10 tahun (1990-2000), meskipun pH di
sungai sangat bervariasi oleh fluktuasi beban pencemaran dan musim.
Data pH di kedua lokasi tersebut juga menunjukkan bahwa fenomena hujan asam yang
diakibatkan oleh kegiatan industri, lalu-lintas (kendaraan bermotor) yang berada di sekitar DPS
Citarum belum berpengaruh pada kualitas air waduk, mengingat daerah tangkapan waduk
sebagian adalah pada daerah yang berbukit kapur.
b. Kenaikan Beban Polutan Organik
Hasil penelitian kualitas air pada lokasi Nanjung, yang terlihat pada Gambar 2.10
memperlihatkan bahwa sepanjang tahun kualitas air waduk tersebut rata-rata 11 mg/L BOD
pada tahun 1990. Sedangkan pada tahun 2000 terlihat bahwa kadar organik cenderung
mengalami peningkatan dibandingkan tahun 1999 pada bulan yang sama, yaitu 20 mg/L BOD
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
2-23
pada tahun 2000. Kondisi ini menunjukkan bahwa beban pencemaran organik di Citarum
terutama bagian hulu, mengalami peningkatan. Namun, bila dilihat pada Gambar 2.10 lokasi
Bendung Curug menunjukkan adanya perbaikan kandungan zat organik S.Citarum setelah
melewati waduk kaskade, yaitu rata-rata 2 mg/L (1990) menjadi 5 mg/L BOD pada tahun 2000.
Gambar 2.10 juga memperlihatkan bahwa pengaruh musim kurang menunjukkan
perubahan yang berarti, yang dapat dilihat bahwa pada musim kemarau kadar pencemaran
organik tinggi. Demikian juga pada musim hujan, tingkat pencemaran juga tetap tinggi atau
tidak terjadi pengenceran. Hal ini kemungkinan akibat adanya pencemaran dari sumber tersebar
atau non point source dari limbah domestik, pertanian, peternakan, dan terutama limbah pakan
ikan dari jaring apung.
Gambar 2.12 Kondisi Kualitas Air di Sekitar Tubuh Bendungan Waduk Saguling
Gambar 2.13 Kondisi kualitas air di sekitar intake Waduk Cirata
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
2-24
c. Kandungan Oksigen Terlarut
Parameter DO pada tahun 2000 di lokasi Nanjung rata-rata 2 mg/l juga terlihat makin
memburuk dibandingkan pada tahun 1990 sepanjang tahun, terutama pada musim kemarau,
yaitu 1 mg/l, seperti terlihat pada Gambar 2.8. Walaupun sebenarnya kadar DO pada tahun 1990
juga dalam kondisi stabil buruk, namun lebih tinggi yaitu rata-rata 3,7 mg/L. Pada lokasi
Bendung Curug dapat dilihat bahwa ketiga waduk tersebut ternyata berfungsi untuk
menyeimbangkan dan sekaligus memperbaiki kadar oksigen terlarut atau meningkatkan
kesegaran air, sehingga kadar DO pada tahun 1990 rata-rata 6,6 mg/L, sedangkan pada tahun
2000 relatif stabil rata-rata 5,2 mg/L.
d. Senyawa Nutrien
Gambar 2.9 pada lokasi Nanjung menunjukkan bahwa kandungan amonium menurun pada
tahun 2000, yaitu rata-rata 0,4 mg/L dibandingkan tahun 1990 yaitu rata-rata 1,28 mg/L.
Sedangkan bila ditinjau di lokasi B.Curug menunjukkan bahwa kandungan amonium meningkat,
yaitu dari rata-rata 0,06 mg/l pada tahun 1990 rata-rata 0,09 mg/L pada tahun 2000. Kondisi
tersebut diakibatkan oleh perikanan jaring apung yang jumlahnya meningkat pada saat level
muka air waduk meningkat pada musim hujan.
Gambar 2.14. Kondisi kualitas air di sekitar tubuh bendung Waduk Jatiluhur (Perum Jasa Tirta II, 2004)
Kandungan nitrit pada lokasi Nanjung berfluktuasi dengan rata-rata 0,093 mg/L pada tahun
1990 menjadi 0,065 mg/L pada tahun 2000. Namun pada B.Curug terjadi peningkatan, yaitu rata-
rata 0,008 mg/L pada tahun 1990 yang menjadi 0,014 mg/L pada tahun 2000. Hal tersebut juga
diduga karena adanya penguraian organik dari limbah pakan ikan dan sisa ekskreta ikan yang
dikelola dengan cara jaring apung.
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
2-25
Kandungan fosfor berhubungan dengan efisiensi pemakaian pupuk. Namun terjadi
peningkatan kandungan fosfor juga diduga adanya perikanan jaring apung sepanjang musim.
Dari data kualitas air pada 3 waduk di S.Citarum, yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata dan
Waduk Jatiluhur berpotensi perbaikan kualitas air permukaan khususnya Sungai Citarum yang
telah tercemar berat sejak dari bagian hulu. Pada umumnya, kualitas air yang dapat diperbaiki
terutama adalah kadar organik (sebagai BOD dan COD), deterjen, pH, partikel tersuspensi dan
logam berat. Namun demikian, terjadi penurunan kualitas air pada ketiga waduk, terutama
akibat sisa pakan ikan yang dipelihara melalui sistem perikanan jaring apung dan sisa
metabolisma dari ikan.
Mengingat pada Sungai Citarum terdapat waduk-waduk dan parameter N dan P adalah
parameter pencemaran penting pada waduk, disarankan kadar N dan P dicantumkan dalam
standar air limbah pada semua jenis industri di Citarum selain parameter lainnya.
Dengan demikian, agar beban pencemaran yang akan memasuki waduk kaskade Citarum
tidak semakin berat, maka diperlukan langkah-langkah pengendalian pencemaran terutama
pada bagian hulu dari S.Citarum yang merupakan input dari Waduk Saguling. Selain itu,
perikanan kolam jaring apung hendaknya dikendalikan untuk tidak melebihi kuota yang telah
ditetapkan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
2-26
DAFTAR PUSTAKA
Brahmana, Moelyo,M, Rahayu,S.1993. “Eutrofikasi Waduk Saguling”, Jurnal litbang Pengairan. 8
(28). Puslitbang Pengairan, Bandung
Irianto, E.W., Yuasa. A, Machbub,B., Sudjono,P., 2006. “The Influence of Cascade Reservoirs in The
Citarum Watershed to The Water Quality of Citarum River”. Dipresentasikan pada The fourth
Southeast Asian Water Environment, 6-8 Desember,AIT Bangkok-Thailand,
Lehmusluto,P., B.Machbub, Bukit,.N.T., Rusmiputro. S., F.Achmad., L.Boer., Brahmana, S., 1995.
“National Inventory of The Major Lakes and Reservoir in Indonesia”, Expedition Indodanau
Technical Report, In Cooperation RIWRD and University of Helsinky (direvisi 1997)
Lehmusluto,P., B.Machbub, Bukit,.N.T., Rusmiputro. S., F.Achmad., L.Boer., Brahmana, S., 1995.
“National Inventory of The Major Lakes and Reservoir in Indonesia”, Expedition Indodanau
Technical Report, In Cooperation RIWRD and University of Helsinky (direvisi 1997)
Lehmusluto,P.,2006. “From Assumptions to Knowledge-Based Water Resources Management
Ecological and Environmental Issues of Lakes as Examples”. Proceeding on International
Seminar Celebration the 70th Anniversary of the Research Center for Water Resources,
Bandung
Machbub,B., Fulazzaky, M.A., Brahmana, S. dan.Yusuf, I.A., 2003. “Eutrophication of Lakes and
Reservoir and Its Restoration in Indonesia”. Jurnal Litbang Pengairan Vol.17(50) , Puslitbang
Pengairan, Bandung.
Sukimin, S. 2004. Pengelolaan Waduk Kaskade Sungai Citarum: Tinjauan Aspek Ekologi Perairan.
Sulastri, Ami A Meutia dan Tri Suryono, 2004. Blooming Algae Dinoflagelata Ceratium hirudinella
di Waduk Karangkates, Malang Jawa Timur., Proseding Kolokium Puslitbang SDA, Bandung
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
3-1
BAB III
KRITERIA, INDIKATOR DAN PARAMETER EUTROFIKASI
3.1 Kriteria Status Mutu Air Danau dan Waduk
Pengelolaan lingkungan perairan danau diperlukan sebagai suatu petunjuk untuk menilai
perairan tersebut apakah masih layak digunakan sesuai dengan peruntukannya atau tidak,
mengingat kebutuhan akan air bukan saja dari segi kuantitas, tetapi juga dalam hal kualitas
harus baik. Selain itu, usaha pengendalian pencemaran perairan danau sangat diperlukan data,
informasi dan masukan mengenai tingkat pencemaran yang terjadi di perairan tersebut.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: 28/2009 Tentang Daya Tampung
Beban Pencemaran Air Danau dan/atau Waduk, Pasal 1 menyatakan bahwa status mutu air
adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu
sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan baku mutu air atau kelas air yang
ditetapkan. Sedangkan status trofik adalah status kualitas air danau berdasarkan kadar zat hara
dan kandungan biomasa fitoplankton atau produktivitasnya.
Salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan status kelas air dan status mutu
air danau dan waduk adalah kedalaman waduk dan danau. Danau sangat dangkal yang memiliki
kedalaman kurang dari 10 meter cukup ditentukan satu baku mutu air pada semua kedalaman
danau. Danau yang memiliki kedalaman 10-50 meter harus ditentukan dua baku mutu air, yaitu
status baku mutu lapisan epilimnion dan hipolimnion. Sedangkan danau dalam yang memiliki
kedalaman lebih dari 50 meter harus ditentukan satu baku mutu air pada lapisan epilimnion dan
dua baku mutu air untuk lapisan hipolimnion, yaitu pada bagian tengah danau dan pada bawah
danau yang contoh airnya diambil pada kedalaman 2 meter di atas dasar danau.
Penentuan status mutu air danau atau waduk ditentukan setelah diketahui jumlah
kebutuhan status mutu air yang ditetapkan berdasarkan kedalaman air danau atau waduk.
Setelah jumlah status mutu perairan diketahui, selanjutnya dilakukan pengukuran parameter-
parameter kualitas air. Hasil dari pengukuran kualitas air, pada titik-titik lokasi yang telah
ditentukan tersebut dibandingkan dengan parameter standar. Hasil perbandingan tersebut
digunakan untuk perhitungan skor pada kriteria STORET (Store and Retrieval), sesuai Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor: 114/2003 tentang Pedoman Pengkajian untuk Menetapkan
Kelas Air.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
3-2
a. Kriteria STORET
Kriteria STORET dibutuhkan untuk menentukan status mutu air berdasarkan hasil
pengukuran parameter-parameter kualitas air. Nilai yang terukur tersebut dibandingkan dengan
standar baku mutu kualitas air sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan dan Pengendalian Pencemaran Air. Hasil perhitungan menggunakan Tabel 3.1
selanjutnya dibandingkan dengan kriteria STORET seperti tercantum pada Tabel 3.2.
Tabel 3.1 Nilai Skor Parameter yang Tidak Memenuhi Standar
No. Jumlah
Contoh Air Nilai Parameter
Faktor Bobot tiap Kelompok
Parameter
Fisika Kimia Biologi
1 < 10
Maksimal -1 -2 -3
Minimal -1 -2 -3
Rata-rata -3 -6 -9
2 > 10
Maksimal -2 -4 -6
Minimal -2 -4 -6
Rata-rata -6 -12 -18 Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2008
Keterangan:
- Nilai negatif. bila angka parameter melampui standar
- Nilai nol, bila angka parameter memenuhi standar
- Nilai parameter biologi = 3 x nilai parameter fisik
Tabel 3.2 Penentuan Status Mutu Air Berdasarkan Metode Storet
No Status Mutu Perairan Jumlah Skor
1 Baik sekali 0
2 Baik - 1 s.d. – 10
3 Sedang -11 s.d. – 30
4 Buruk > - 31
Sumber: Kementrian Lingkungan Hidup , 2008
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
3-3
Kotak 3.1 :
Contoh aplikasi kriteria STORET untuk menetapkan status mutu perairan waduk
Data pengukuran kualitas air dengan 8 contoh air (kurang dari 10 contoh air) sebagai berikut:
Nilai skor Nilai skor Nilai skor Nilai skor
a. Fisika
Residu Tersuspensi mg/ l -3 60 50 -3 50 -3 400 0 400 0
Residu Terlarut mg/ l -3 600 1000 0 1000 0 1000 0 2000 0
b. Kimia
pH -6 7,5 6 - 9 0 6 - 9 0 6 - 9 0 5 - 9 0
BOD mg/ l -6 8 2 -6 3 -6 6 -6 12 0
COD mg/ l -6 15 10 -6 25 0 50 0 100 0
DO mg/ l -6 5 6 -6 4 0 3 0 0 0
Total Fosfat mg/ l -6 0,5 0,2 -6 0,2 -6 1 0 5 0
NO3 mg/ l -6 4 10 0 10 0 20 0 20 0
H2S mg/ l -6 0,003 0,002 -6 0,002 -6 0,002 -6 0,002 -6
Deterjen mg/ l -6 0,22 0,2 -6 0,2 -6 0,2 -6 0,2 -6
c. Biologi
Total coliform Jml/100 ml -9 7500 1000 -9 5000 -9 10000 0 10000 0
Jumlah Skor -48 -36 -18 -12
SatuanParameterStandar klas 2 Standar klas 3 Standar klas 4Konsentrasi
terukur
Skor sampel
rata-rata
Standar klas 2
Kesimpulan: Hasil perhitungan skor dibandingkan dengan kriteria STORET menunjukkan bahwa status mutu perairan tersebut tidak sesuai untuk peruntukan baku mutu Klas 1 dan Klas 2 atau tercemar berat, namun masih cukup baik untuk peruntukan Klas 3 dan 4 atau tercemar sedang.
b. Kriteria Korosivitas
Kriteria korosivitas secara resmi memang belum ditetapkan. Namun kriteria ini perlu
diperhitungkan, mengingat banyak bangunan operasional waduk yang telah mengalami
permasalahan korosi. Karena itu, sebelum kriteria korosivitas ditetapkan untuk status mutu
perairan waduk, maka digunakan standar DIN 1969 seperti yang digunakan oleh Brahmana dan
Achmad (2001) untuk penelitian di Waduk Saguling dan Cirata sebagaimana diperlihatkan pada
Kotak
3.2. Adapun parameter kualitas air yang harus diukur untuk menentukan tingkat korosivitas
perairan waduk diperlihatkan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Parameter Kualitas Air untuk Penentuan Status Korosifitas Perairan
Kriteria Korosifitas pH CO2 Agresif NH4 Mg SO4
Merusak Sedikit 6.5 - 5.5 15 – 30 15 – 30 100 – 300 300 – 600
Merusak Banyak 5.5 - 4.5 30 – 60 30 – 60 300 - 1500 600 - 3000
Merusak Hebat > 4.5 > 60 > 60 > 1500 > 3000 Sumber: Standar DIN 1969 pada Brahmana dan Achmad, 2001.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
3-4
Kotak 3.2: Evaluasi korosifitas Waduk Saguling dan Cirata
Hasil pemantauan kualitas air menunjukkan bahwa perairan Waduk Saguling dan Waduk Cirata berpotensi terjadinya korosivitas, berdasarkan evaluasi korosivitas air dengan standar DIN 1969. Evaluasi air waduk terhadap beton menunjukkan bahwa perairan Waduk Saguling dan Waduk Cirata bersifat korosif rendah. Namun air pada dasar dan outlet Waduk Saguling dan Waduk
Cirata berpotensi korosivitas yang kuat. Karena itu, pelestarian kualitas air waduk dengan melakukan pengendalian pencemara air waduk harus dilakukan, agar keamanan bendungan dan termasuk bangunan operasional lainnya misalnya turbin pembangkit listrik bangunan operasional lainnya dapat terjamin keberlangsungan operasionalnya.
Sumber: Brahmana, S dan Firdaus Achmad, 2001. “Korosifitas Air Waduk Saguling dan Waduk Cirata Terhadap Turbin Dan Beton”, Jurnal Litbang Pengairan 15 (46), Puslitbang Pengairan, Bandung
c. Kriteria Status Ekosistem Akuatik
Untuk menentukan status ekosistem akuatik atau ekosistem perairan, yaitu dalam kondisi
ekosisten yang baik, terancam dan rusak perlu ditetapkan lebih dahulu kelas air dan baku mutu
air danau, penentuan status mutu air serta penentuan status trofik danau. Adapun parameter
lainnya adalah keanekaragaman hayati, jejaring makan, alga/ganggang biru (microcystis) dan
limbah pakan perikanan budidaya, seperti terlihat pada Tabel 3.4. Pada tabel tersebut juga
ditunjukkan indikator-indikator status pada tiap-tiap parameter. Sebagai contoh, status trofik
perairan hasil pengukuran adalah eutrofik berarti status eksosistem perairan danau maupun
waduk dalam kondisi “terancam”
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
3-5
Tabel 3.4 Kriteria Status Ekosistem Akuatik
Parameter Danau Status Ekosistem Danau
Baik Terancam Rusak
Ekosistem Akuatik
Status Trofik Oligotrof – Mesotrof
Eutrof Hypereutrof
Status Mutu Air Tidak tercemar Tercemar sedang Tercemar berat
Keanekaragaman
Hayati
Masih terdapat
jenis fauna/flora endemik dan asli
Berkurangnya jenis
fauna/flora endemik dan asli (indigenous)
Hilangnya jenis fauna/flora
endemik dan asli; banyak dan ditemukan jenis introduksi/ invasive
Jejaring Makan (food web)
Tingkat trofik seimbang (produsen primer/ sekunder, konsumer/ tersier)
Tingkat trofik tidak seimbang
Tidak terjadi tingkat trofik
Tutupan Tumbuhan Air
Terkendali tidak menyebar dan tidak mengganggu fungsi danau
Kurang terkendali dan mengganggu fungsi danau
Menyebar tidak terkendali sangat menganggu fungsi danau
Alga/ganggang biru (Microcystis)
Sedikit Sedang Marak (blooming)
Limbah Pakan Perikanan Budidaya
Jumlah produksi ikan dan penggunaan
pakan sesuai dengan daya tampung danau dan perizinan
Jumlah produksi ikan dan penggunaan
pakan melebihi daya tampung danau akan tetapi memenuhi perizinan
Kegiatan budidaya dan pemakaian pakan tidak terkendali, tidak memenuhi
perizinan dan tidak memenuhi daya tampung danau.
Sumber: Kementerrian Lingkungan Hidup, 2008
Penentuan status ekosistem sempadan ditentukan dengan menggunakan kriteria status
ekosistem sempadan, seperti diperlihatkan pada Tabel 3.5. Parameter-parameter yang
digunakan untuk penentuan status mutu ekosistem sempadan danau adalah kondisi sempadan,
kondisi pasang surut, pembuangan limbah dan pemanfaatan air danau. Tabel 3.6 menunjukkan
parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan status ekosistem danau yang berasal
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
3-6
dari daerah tangkapan atau daerah aliran sungai (DAS) yang berpengaruh terhadap kondisi
ekosistem danau.
Tabel 3.5 Kriteria Status Ekosistem Sempadan
Parameter Danau Status Ekosistem Danau
Baik Terancam Rusak
Ekosistem Sempadan
Sempadan Danau Tidak ada bangunan Mulai ada sedikit bangunan
Banyak bangunan
Sempadan Pasang Surut
a).Tidak ada bangunan b).Tidak ada
pengolahan tidak ada lahan, dan perkebunan dan sawah dengan pemupukan
Ada pengolahan
lahan untuk perkebunan dan sawah serta pemupukan.
a). Ada bangunan b).
Ada pengolahan lahan dan ada perkebunan dan sawah dengan pemupukan
Pembuangan Limbah Tidak ada pembungan
limbah
Ada pembuangan limbah, dan tidak ada sistem pengendalian pencernaran air,
akan tetapi tidak melampaui daya tampung pencemaran air danau
Ada pembuangan limbah, dan sistem pengendalian pencemaran air tidak ada atau kurang
baik, serta telah melampaui daya tampung pencemaran air danau
Pemanfaatan Air Danau
Pemanfaatan Tenaga Air PLTA
Tidak mengubah karakteristik pasang-surut karakteristik pasang-surut muka air dan tidak mengganggu ekosistem akuatik
Mengubah karakteristik pasang-surut muka air akan tetapi tidak mengganggu ekosistem akuatik
Mengubah hidrologi dan neraca air sehingga air danau surut drastis dan mengganggu ekosistem akuatik
Pengambilan Air Baku
Tidak mengubah karakteristik pasang-surut muka air dan
tidak menggangu ekosistem akuatik
Mengubah karakteristik pasang-surut muka air akan tetapi
tidak mengganggu ekosistem akuatik
Mengubah hidrologi dan neraca air sehingga air danau surut drastis dan
mengganggu ekosistem akuatik
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2008
Ke tiga kriteria status mutu ekosistem tersebut telah menunjukkan kajian yang cukup
lengkap status mutu suatu perairan danau. Meskipun terdapat kesamaan karakteristik antara
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
3-7
danau dan waduk, namun demikian karena ada beberapa perbedaan karakteristik antara
ekosistem danau dan waduk, maka penerapan kriteria SMED untuk penentuan status mutu
ekosistem waduk, masih memerlukan kajian lebih lanjut.
Tabel 3.6 Kriteria Status Ekosistem Daerah Tangkapan
Parameter
Danau
Status Mutu Ekosistem Danau (SMED)
Baik Terancam Rusak
Ekosistem Terestrial Daerah Tangkapan Air Danau
Penutupan vegetasi pada DAS atau lahan DTA
>75% 30-75% <30%
Koefisien regim sungai (Qmax/Qmin) masuk danau
<50 50-120 >120
Erosi lahan DAS atau DTA
Tingkat erosi masih dibawah toleransi
Tingkat erosi telah menyamai batas
toleransi
Tingkat erosi telah melebihi batas
toleransi
Dampak Pendangkalan
Tidak terjadi pendangkalan
Pendangkalan rata-rata <2% tahun dari
kedalaman danau
Pendangkalan rata-rata > 2% tahun dari kedalaman danau
Pembuangan Limbah
Ada pembuangan limbah dan ada sistem penegendalian pencemaran air, serta sesuai dengan daya tampung pencemaran air danau
Ada pembuangan limbah dan tidak ada sistem pengendalian pencemaran air, tetapi tidak melampaui daya tampung pencemaran air danau
Ada pembuangan limbah dan tidak ada sistem pengendalian pencemaran air, tetapi tidak melampaui daya tampung pencemaran air danau
Sumber: Pedoman pengelolaan ekosistem danau, Kementerian LH, 2008
3.2 Penerapan SMED pada Waduk
Berdasarkan hasil analisis data sekunder, diketahui bahwa Waduk Saguling dan Waduk
Sutami memiliki status eutrofik-hipereutrofik yang artinya telah terjadi proses penyuburan
marak alga yang sangat berat sebagaimana dinyatakan oleh Brahmana (1999) dan
Sulastri,dkk.(2004). Dari segi keanekaragaman hayati di kedua waduk telah mengalami
gangguan komposisi ikan serta kematian masal ikan (Sukimin,2004).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
3-8
Pencemaran kedua waduk tersebut cenderung meningkat. Tingginya konsentrasi zat hara
serta terdeteksinya senyawa H2S dan ammonia menunjukkan bahwa proses pembusukan di
dalam waduk telah terjadi (Brahmana, dkk., 2002). Permasalahan kualitas air pada kedua waduk
tersebut menyebabkan maraknya tumbuhan enceng gondok yang telah menggangu
operasional waduk. Bukit (2001) dan Brahmana, dkk (2002) melaporkan bahwa maraknya
tumbuhan enceng gondok terutama disebabkan pencemaran limbah domestik dan industri
yang melebihi daya tampung badan air penerima.
Permasalahan rezim aliran sungai pada kedua waduk tersebut telah dilaporkan oleh Pawitan
(2007), yaitu rasio aliran maksimum dan minimum input Waduk Saguling adalah 84 yang berarti
termasuk dalam kategori terancam, karena luas kawasan lindung yang sehat pada DAS Citarum
bagian hulu adalah 19,5% (Sobirin, 2008). Sedangkan rezim aliran sungai pada Waduk Sutami
adalah 18,5 atau kondisi ekosistem DAS masih baik, karena luas tutupan vegetasi lahan sekitar
33% dari daerah tangkapan air (Soekistijono.,2004). Machbub, dkk (2003) dan Sukistijono (2004)
melaporkan bahwa laju sedimentasi pada kedua waduk telah melampaui kapasitas rencana
waduk. Kondisi tersebut menyebabkan persentase volume terisi tampungan mati (dead storage)
Waduk Saguling dan Waduk Sutami masing-masing telah mencapai 72% dan 93,3%. Hasil kajian
dan uji-coba penerapan status ekosistem waduk disajikan pada Tabel 3.7.
Berdasarkan hasil kajian penerapan status mutu ekosistem danau (SMED) di atas, ditinjau
berdasarkan kriteria ekosistem akuatik, sempadan dan daerah tangkapan, diketahui bahwa
kedua waduk tersebut umumnya dalam kondisi terancam. Karena itu, komitmen untuk
mengelola DAS secara benar memiliki peran yang sangat penting dalam menjamin
keberlanjutan fungsi waduk.
Kriteria SMED umumnya dapat diterapkan untuk penentuan kondisi ekosistem waduk.
Namun demikian, perlu dilakukan penyempurnaan agar kriteria-kriteria tersebut dapat
diterapkan dengan lebih baik. Kriteria-kriteria tersebut menjadi indikator keberhasilan
pengelolaan DAS, karena beberapa kriteria berkaitan erat dengan pengelolaan DAS. Sebagai
contoh, koefisien rezim sungai, tutupan vegetasi, erosi lahan serta sistem pengelolaan limbah
pada DAS merupakan indikator-indikator utama dalam pengelolaan DAS secara terpadu.
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
3-9
Tabel 3-7. Penerapan Kriteria Status Ekosistem pada Waduk Saguling dan Waduk Sutami
Kriteria Waduk Saguling Waduk Sutami
Kondisi Status Kondisi Status
Status Trofik Eutrofik-Hipereutrofik
Terancam – rusak
Eutrofik- Hipereutrofik
Terancam-Rusak
Status Mutu Air Terdeteksi H2S dan Amonia
Terancam Terdeteksi H2S dan Amonia
Terancam
Keanekaragaman Hayati
Komposisi ikan terganggu dan
terjadi kematian masal
Terancam Gangguan ekosistem
perairan dan kematian masal
Terancam
Jejaring Makanan
(Food web)
Mengganggu
keseimbangan trofik
Terancam Mengganggu
keseimbangan trofik
Terancam
Tutupan Tumbuhan Air
Eceng-gondok dominan dan ganggu fungsi waduk
Terancam Eceng-gondok dominan dan mengganggu fungsi waduk
Terancam
Alga/Ganggang Biru (Microcistis)
Marak(Blooming) alga dan Microcystis
Rusak Marak (Blooming) algae dan Microcystis
Rusak
Limbah pakan
budidaya perikanan
Melebihi daya
tampung
Rusak Perikanan
Tangkap, sesuai daya tampung
Baik
Sempadan waduk Tidak ada bangunan Baik Tidak ada bangunan
Baik
Sempadan pasang surut
Tidak ada bangunan dan ada pengolahan lahan sawah ada pemupukan
Terancam Tidak ada bangunan dan ada pengolahan lahan sawah ada pemupukan
Terancam
Pembuangan Limbah
di sempadan
Ada pembuangan
limbah dan tidak ada pengolahan limbah, belum melampaui daya tampung
Terancam Ada pembuangan
limbah dan tidak ada pengolahan limbah, masih sesuai daya tampung
Terancam
Pemanfaatan Air Danau
Pemanfaatan PLTA Sesuai rencana desain, tidak mengubah karakteristik pasang surut
Baik Sesuai rencana desain, tidak mengubah karakteristik pasang surut
Baik
Pengambilan Air Baku Sesuai rencana desain, tidak mengubah
karakteristik pasang surut
Baik Sesuai rencana desain, tidak mengubah
karakteristik pasang surut
Baik
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
3-10
Tutupan vegetasi
pada DAS
<30% Rusak Tinggal 33% Terancam
Koefisien rezim sungai (Qmax/Qmin) masuk waduk
50<(455/5,4) <120 Terancam (866/46,6) <50 Baik
Erosi lahan pada DAS 5,4 Juta m3/th melebihi disain
rencana 4 Juta m3/th
Rusak 5,4 Juta m3/th melebihi disain rencana 0,95 Juta m3/th
Rusak
Dampak pendangkalan waduk
Mengurangi dead storage s/d 72%
Rusak Mengurangi kapasitas tampungan 43% dan dead storage efektif tinggal 6,7%
Rusak
Pembuangan Limbah pada DAS
Ada pembuangan limbah domestic dan industry, tetapi sangat sedikit pengolahan
limbah,melampaui beban tampungan limbah
Rusak Ada pembuangan limbah domestik dan industry dan efisiensi pengolahan
rendah,sehingga melampaui beban tampungan limbah
Rusak
Usulan indikator untuk penyempurnaan kriteria yang terdapat pada SMED untuk
pengelolaan ekosistem waduk antara lain : (a) Penggabungan indikator alga biru, jejaring atau
rantai makanan (food web) dan keanekaragaman hayati menjadi indikator keanekaragaman
hayati; (b) Penyesuaian kriteria pada indikator erosi lahan dikaitkan dengan perkiraan awal
tingkat erosi waduk; (c) Penggantian indikator dampak pendangkalan danau dengan indikator
dampak pendangkalan waduk; (d) Penggabungan indikator pengambilan air untuk PLTA dan air
baku menjadi indikator pemanfaatan air waduk; (e) Penyesuaian perhitungan jumlah kolam
jaring apung yang diperbolehkan pada perairan waduk; (f) Penyesuaian indikator status mutu air
dikaitkan dengan baku-mutu air yang telah ditetapkan; (g) Penambahan indikator korosivitas; (h)
Penambahan indikator kualitas sedimen dasar waduk; (i) Penambahan indikator kualitas
sedimen dasar waduk.
Penggabungan indikator alga biru, jejaring atau rantai makanan (food web) dan
keanekaragaman hayati menjadi indikator keanekaragaman hayati atau biodiversitas karena
keterkaitan ketiganya sangat erat. Keanekaragaman hayati atau biodiversitas yang rendah
berarti telah terjadi dominasi salah satu jenis mikroalga, misalny kelompok Cyanophita pada
rantai makanan (Haarcoryati, 2008). Dominasi salah satu jenis mikroorganisme berakibat
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
3-11
terganggunya keseimbangan rantai makanan pada waduk. Indeks keanekaragaman plankton
yang makin tinggi menunjukkan kualitas perairan waduk yang makin baik, karena indeks
keanekaragaman plankton menunjukkan fluktuasi dari makroinvertibrata bentos (Macbub,
1982). Salah satu indek keanekaragaman hayati yaitu Indeks Shanon-Wienner yang digunakan
oleh Brahmana (1999) untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati di Waduk Saguling dan
Waduk Jatiluhur.
Penyesuaian kriteria pada indikator erosi lahan dikaitkan dengan perkiraan awal tingkat
erosi waduk. Penyesuaian kriteria tersebut diperlukan, karena besarnya erosi dan sedimentasi
yang tertampung pada waduk sangat menentukan masa layan waduk. Ilyas (1995) juga
menyimpulkan bahwa laju sedimentasi yang tinggi menyebabkan umur layanan waduk menjadi
pendek. Kondisi tersebut perlu diantisipasi dengan membandingkan antara laju sedimentasi
rencana yang diperbolehkan masuk ke dalam waduk dengan laju sedimentasi aktual (Lubis dan
Ilyas, 1989).
Penggantian indikator dampak pendangkalan danau dengan indikator dampak
pendangkalan waduk yang dikaitkan dengan prosentase volume terisi tampungan mati waduk.
Kapasitas operasional tampungan waduk akan berkurang, apabila kapasitas tampungan mati
waduk lebih cepat terisi akibat laju erosi-sedimentasi yang melebihi kapasitas rencana.
Sukistyono, dkk (2005) menyatakan bahwa untuk mempertahankan kapasitas tampungan
efektif, pengelola waduk di DAS Brantas harus melakukan penggelontoran sedimen sebanyak
dua kali setahun. Hal tersebut tentunya dapat membawa dampak pada ekosistem sebelah hilir
waduk. Dampak yang terjadi pada ekosistem sebelah hilir waduk tersebut diantaranya adalah
kekeruhan yang tinggi dan perubahan warna selama penggelontoran, sehingga menyebabkan
kematian ikan. Kapasitas tampungan mati yang telah penuh menyebabkan berkurangnya
volume efektif waduk, sehingga ada volume air yang termanfaatkan (Pangesti dan
Isnugroho,1989)
Penggabungan indikator pengambilan air untuk PLTA dan air baku menjadi indikator
pemanfaatan air waduk yang dikaitkan dengan desain rencana hidrologi, neraca air dan tinggi
muka air waduk, karena dalam mendesain waduk telah memperhitungkan neraca air waduk.
Selain itu, penggabungan indikator juga dimaksudkan agar penentuan status ekosistem waduk
dapat lebih efektif, karena memiliki kesamaan dalam hal debit keluar air waduk.
Penyesuaian perhitungan jumlah kolam jaring apung yang diperbolehkan pada perairan
waduk, mengingat pada beberapa waduk telah terjadi pertumbuhan kolam jaring apung (KJA)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
3-12
secara berlebihan. Soemarwoto (2004) menyarankan jumlah KJA yang diperbolehkan sebesar
maksimum 1% dari luas perairan waduk dan lokasi KJA tersebut menyebar.
Penyesuaian indikator status mutu air dikaitkan dengan baku-mutu air yang telah
ditetapkan, sehingga status mutu air waduk dapat dievaluasi. Pusat Penelitian Sumber Daya
Alam dan Lingkungan (PPSDAL) UNPAD (2002) menggunakan metoda STORET untuk
mengevaluasi status mutu air Waduk Saguling sesuai Kepmen LH 115/2003 tentang penentuan
status mutu air. Pada waduk terstratifikasi, penentuan status mutu air disesuaikan dengan
stratifikasi waduk, yaitu status mutu lapisan epilimnion dan status mutu lapisan hipolimnion.
Penambahan indikator korosivitas, mengingat banyaknya bangunan operasional waduk
yang mengalami korosi. Untuk mengukur tingkat korosivitas perairan waduk diusulkan
menggunakan Indeks Korosivitas Langilier. Indeks korosivitas tersebut telah digunakan oleh
Brahmana dan Ahmad (2001) untuk penentuan korosivitas perairan Waduk Saguling dan Cirata .
Penambahan indikator kualitas sedimen dasar waduk, mengingat logam berat dan senyawa
fosfor dapat terikat secara mudah dengan partikel tererosi dari DAS dan selanjutnya
terakumulasi di dalam waduk. Senyawa-senyawa yang terikat pada sedimen tersebut
berpengaruh pada ekosistem waduk bila terlepas pada perairan. Untuk itu diusulkan, agar
parameter yang diukur untuk penentuan kualitas sedimen adalah senyawa fosfor, karena dapat
memicu eutrofikasi (Lerman, 1974), sedangkan kandungan logam berat yang dianalisis pada
sedimen dasar waduk meliputi Cr, Cu, Pb, Cd dan Hg. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan
oleh Sutrisno, dkk (2002) diketahui bahwa akumulasi kandungan logam berat pada sedimen
dasar di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur terdeteksi lebih besar daripada kandungan logam
berat dalam tubuh ikan.
Agar usulan-usulan tersebut di atas dapat digunakan sebagai tolok ukur pengelolaan
ekosistem waduk dan pengambilan keputusan, maka diperlukan sejumlah kajian lebih lanjut.
Pengkajian yang dilakukan meliputi indikator-indikator serta dampak yang ditimbulkan secara
kuantitatif. Dengan demikian, penentuan status mutu ekosistem waduk secara lebih terukur
dapat dilakukan melalui suatu pemantauan kualitas air.
3.3 Klasifikasi Eutrofikasi
Eutrofikasi berasal dari bahasa Junani yang terdiri dari dua kata yakni Eu = baik dan
Trophe=makanan. Kedua kata tersebut bila disatukan diartikan sebagai pemberi makanan yang
baik atau penyuburan.Proses penyuburan perairan waduk dandanau dapat terjadi secara
.alamiah atau kultural. Eutrofikasi alamiah adalah eutrofikasi yang terjadi secara alamiah alau
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
3-13
tanpa pengaruh aktifitas manusia, sedangkan eutrofikasi kultural adalah eutrofikasi yang
dipengaruhi oleh limbah penduduk, limbah pertanian, limbah industri dan sebagainya.
Tabel 3.8 Kategori Status Trofik Wetzel’s
Tingkat Trofik Fosfat Total mg/l
Nitrogen Total mg/l
PP mg C/m3/hr
Klorofil-a mg/l
Ultrotrofi k 0,001-0,005 0,01-0,25 0,01-0,5
Oligotrofik 50-300 0,3-3
Oligomesotrofik 0,005-0,01 0,25-0,60 250-1000
Mesoeutrofik 0,01 - 0,03 0,50-1,1 2-15
Eutrofik > 1000 10-500
Hypertrofik 0,03-5 0,5-15
Sumber: Brahmana, dkk; PP: Produktifitas Primer. JLP. No. 28 Th. 8 - KW.II, 1993
Eutrofikasi disebabkan oleh proses meningkatnya kadar zat hara, terutama parameter
nitrogen dan fosfor, pada air danau dan atau waduk. Wetzel (1975) pada Brahmana,dkk (1993)
membagi tingkat eutrofikasi waduk atau danau dalam beberapa tingkatan yaitu : mesotrofik,
oligotrofik, eutrofik dan hypereutrofik (dystrofik). Waduk mesotrofik adalah waduk yang
kandungan nutrien dan produktivitasnya rendah. Umumnya waduk yang umurnya masih muda
termasuk kategori tersebut. Waduk. oligotrofik adalah waduk yang kandungan nutrien dan
produktivitasnya sedang. Jenis waduk tersebut sangat cocok untuk perikanan dan pemanfaatan
lainnya. Waduk eutroflk adalah waduk yang kandungan nutrient dan produktivitasnya tinggi dan
kandungan oksigen pada lapisan hipolimnion rendah. Waduk hypereutrofik adalah waduk yang
mengandung banyak material humus, kandungan oksigennya rendah, dan jumlah spesies
ganggang sedikit atau keanekaragaman hayati rendah. Sedangkan parameter dan tingkat trofik
kategori Wetzel’s selengkapnya terlihat pada Tabel 3.8.
Sedangkan Sulastri, dkk (2004) menggunakan metoda Riding dan Rast (1989) untuk
menentukan trofik Waduk Sutami di Malang, seperti terlihat pada Tabel 3.9.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
3-14
Tabel 3.9 Kriteria Klasifikasi Status Trofik untuk Perairan Danau dan Waduk
(Ryding & Rast, 1989).
Parameter
Status Trofik
Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik Hipereutrofik
Total Fosfor (ug/L)
Rata-rata 8,0 26,7 84,4 -
Kisaran 3,0 – 17,7 10,9 – 95,6 16,2 - 386 750 - 1200
Jumlah contoh (n) 21 21 71 -
Total Nitrogen (ug/L)
Rata-rata 661 753 1875 -
Kisaran 307- 1630 361 – 1387 393 - 6100 -
Jumlah contoh (n) 22 8 37 -
Kedalaman Secchi (m)
Rata-rata 9,9 4,2 2,45 -
Kisaran 5,4 – 28,3 1,5 – 8,1 1,5 – 7,0 0,4 – 0,5
Jumlah contoh (n) 13 20 70 - Sumber: Sulastri, dkk. (2004)
Dari berbagai kategori status trofik tersebut diatas, Kementerian Lingkunga Hidup
menetapkan Pedoman Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2008), yang terdiri empat
kategori status trofik dari UNEP (Tabel 3.9) berdasarkan kadar unsur hara dan kandungan
biomasa atau produktivitasnya yaitu:
a. Oligotrofik, adalah status trofik air danau dan atau waduk yang mengandung unsur hara
dengan kadar rendah. Status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah belum
tercemar dari sumber unsur hara nitrogen dan fosfor.
b. Mesotrofik, adalah status trofik air danau dan atau waduk yang mengandung unsur hara
dengan kadar sedang. Status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Nitrogen dan
Fosphor namun masih dalam batas toleransi, karena belum menunjukkan adanya indikasi
pencemaran air.
c. Eutrofik, adalah status trofik air danau atau waduk yang mengandung unsur hara dengan
kadar tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar oleh peningkatan kadar nitrogen
dan fosfor.
d. Hipereutrofik, adalah status trofik air danau atau waduk yang mengandung unsur hara
dengan kadar sangat tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar berat oleh
peningkatan kadar nitrogen dan fosfor.
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
3-15
Tabel 3.10 Kategori Status Trofik Danau menurut Metode UNEP-ILEC
Status Trofik
Kadar Rata-rata
Total N (pg/1)
Kadar Rata-rata
Total P (pg/1)
Kadar Rata-rata
Khiorofil-a
(pg/1)
Kecerahan
Rata-rata
(m)
Oligotrofik <650 <10 < 2.0 >10
Mesotrofik <750 < 30 < 5.0 >4
Eutrofik >1900 < 100 < 15 >2.5
Hyperetrofik > 1900 >100 > 200 <2.5
Menurut UNEP-IETC/ILEC (2001), fosfor membatasi proses eutrofikasi jika kadar nitrogen
lebih dari delapan kali kadar fosfor, sementara nitrogen membatasi proses eutrofikasi jika
kadarnya kurang dari delapan kali kadar fosfor. Sedangkan Goldman & Horne (1983) menyatakan
bahwa bila rasio N dan P lebih besar dari 12, maka sebagai faktor pembatas adalah unsur Fosfor,
sedangkan rasio N dan P lebih kecil dari 7, maka sebagai pembatas adalah senyawa N. Rasio N
dan P yang berada antara 7 dan 12 menandakan bahwa N dan P bukan sebagai faktor pembatas
(non-limiting factor).
Pedoman pengelolaan danau juga memberikan alternatif lain penentuan status trofik dari
beban limbah yang mengandung unsur hara yang masuk air waduk atau danau, yaitu melalui
Metoda Carlson, seperti terlihat pada Tabel 3.10 dan persamaan sebagai berikut:
TSI-TP = 14,42 x Ln[TP] + 4,15 (3.1)
TSI-Klorofil-a = 30,6 + 9,81 x Ln[Khlorofil-a] (3.2)
TSI-SD = 60 – 14,41 x Ln[Secchi] (3.3)
Rata-rata TSI = (TSI-P + TSI-Cl-a + TSI-SD)/3 (3.4)
Dimana :
TSI-TP : trofik Status Indeks untuk Total Fosfor, dalam ug/L
TSI-Klorofil-a : nilai Trofik Status Indeks untuk klorofil-a, dalam ug/L
TSI-SD : nilai Trofik Status Indeks untuk kedalaman cakram Sechi, dalam meter.
Sumber: Pedoman pengelolaan ekosistem danau, KLH 2009, Modifikasi OECD 1982,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
3-16
Hasil perhitungan rata-rata nilai Trofik Status Indeks dibandingkan dengan status trofik
seperti terlihat pada Tabel 3.11, sehingga diketahui tingkat status trofik danau atau waduk .
Tabel 3.11 Kategori Status Trofik Danau menurut Metode Carlson
TSI rata-rata
Status Trofik Keterangan
< 30 Ultraoligotrof Air jernih, kadar unsur hara sangat rendah
30-40 Oligotrof Air jernih, kadar unsur hara rendah
40-50 Mesotrof Kecerahan air sedang, kadar unsur hara sedang
50-60 Eutrof ringan Penurunan kecerahan air, kadar unsur hara.
Meningkat
60-70 Eutrof sedang Marak alga (Microcystis) kandungan unsur hara
tinggi
70-80
Eutrof berat Marak alga dan pertumbuhan gulma air secara cepat, kadar unsur hara sangat tinggi
> 80
Hypereutrof Marak alga, keadaan perairan dalam kondisi anoxia yang menyebabkan kematian ikan secara massal, kadar unsur hara amat sangat tinggi
Sumber: Carlson's (1977), Kementerian Lingkungan Hidup (2009)
3.4 Indikator Potensial yang Harus Dikontrol
Menurut Goldmen and Horne (1983) pada Brahmana (1993) eutrofikasi perairan danau dapat
terjadi secara alami atau natural eutrophication dan secara kultural atau cultural eutrophication.
Eutrofikasi alami terjadi karena adanya proses alami yang menimbulkan proses eutrofikasi
perairan. Sedangkan aktivitas manusia menyebabkan terjadinya proses peningkatan unsur hara
di perairan, sehingga terjadi eutrofikasi kultural. Sedangkan proses masuknya zat hara ke
perairan waduk dan danau dapat melalui input sungai yang tercemar oleh zat hara maupun dari
lapisan tanah yang mengandung unsur hara dan tererosi masuk ke perairan waduk dan danau.
Pencemaran tersebar (diffuse source) adalah zat pencemar yang terbawa akibat limpasan
hujan juga menjadi penyebab terjadinya pencemaran waduk dan danau. Novotny,dkk (2004)
menjelaskan bahwa sumber pencemaran tersebar di antaranya berasal dari : (1) emisi zat
pencemar tersebar yang masuk ke badan air akibat peristiwa meterologi; (2) emisi timbulan
limbah yang tersebar pada suatu lahan dan masuk ke air permukaan maupun terinfiltrasi ke air
tanah; (3) emisi pencemar tersebar yang sulit dimonitor dan dikendalikan dari sumber asal; (4)
emisi zat pencemar akibat kondisi geologis lahan yang tergerus; (5) emisi zat pencemar tersebar
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
3-17
dari suatu kegiatan yang menghasilkan partikel tersuspensi, zat hara, bakteri patogen dan
senyawa beracun.
Machbub, dkk (2003) mengemukakan bahwa terjadinya eutrofikasi di suatu perairan danau
dan waduk dapat dideteksi melalui berbagai indikator, yaitu: (1) menurunnya konsentrasi
oksigen terlarut di zona hipolimninion; (2) meningkatnya zat hara yaitu nitrogen dan fosfor
badan air; (3) menurunnya transparansi perairan, serta (4) meningkatnya padatan tersuspensi,
terutama yang mengandung bahan organik. Indikator-indikator tersebut merupakan tanda
umum, namun pemantauan paramater kualitas air tetap harus dilakukan, terutama parameter
terkait dengan proses eutrofikasi.
3.4.1 Parameter Fisika
a. Suhu
Adanya penyerapan cahaya oleh air danau akan menyebabkan terjadinya lapisan air yang
mempunyai suhu yang berbeda. Bagian lapisan yang lebih hangat biasanya berada pada daerah
eufotik (bagian atas), sedangkan lapisan yang lebih dingin biasanya berada di bagian afotik
(bagian bawah). Menurut Goldman & Horne (1989), bila danau tersebut tidak mengalami
pengadukan oleh angin, maka kolam air danau terbagi menjadi beberapa lapisan, yaitu lapisan
epilimnion, lapisan hipolimnion dan metalimnion. Lapisan epilimnion adalah yang hangat
dengan kerapatan jenis air kurang. Lapisan hipolimnion adalah lapisan yang lebih dingin
dengan kerapatan air kurang, dan lapisan metalimnion adalah lapisan yang berada antara
lapisan epilimnion dan hipolimnion. Pada daerah metalimnion terdapat lapisan termoklin, yaitu
lapisan dimana suhu akan turun sekurang-kurangnya 10C dalam setiap 1 meter kedalaman
(Jorgensen & Volleweider, 1989).
b. Padatan Tersuspensi (Suspended Solid) dan Padatan Terlarut (Dissolved Solid)
Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini
menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer
perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai
makanan. Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan, karena
menghalangi penetrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga menghambat proses fotosintesis
oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen
terlarut dalam badan air. Sedangkan padatan terlarut pada badan air berhubungan dengan
kadar salinitas perairan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
3-18
c. Kekeruhan dan Transparansi
Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel tersuspensi seperti
tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya.
Kekeruhan yang tinggi menyebabkan penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga
aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga menurun, yang berakibatn produktivitas perairan
menjadi turun.
Transparansi perairan ditentukan secara visual dengan menggunakan cakram Sechi.
Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut,
partikel-partikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai
dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air danau menjadi rendah, sehingga dapat
menurunkan nilai produktivitas perairan.
d. Warna Perairan
Warna perairan dikelompokkan menjadi warna sesungguhnya (true Color) dan warna
tampak (apparent color). Warna sesungguhnya dari perairan adalah warna yang hanya
disebabkan oleh bahan-bahan terlarut, sedangkan warna tampak adalah warna yang disebabkan
oleh bahan tersuspensi dan juga disebabkan oleh bahan organik dan anorganik yang sulit
terlarut. Warna tampak umumnya dapat di turunkan melalui proses koagulasi (Sawyer, dkk.,
2003).
Bahan-bahan organik seperti tanin, lignin dan asam humus dapat menimbulkan warna
kecoklatan di perairan. Perairan yang berwarna dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam
air, sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002 warna air sebaiknya tidak melebihi 15 unit PtCo. Sedangkan
pada PP Nomor 82/2001 tidak mengatur tingkat warna air baku.
3.4.2 Parameter Kimia
a. Derajat Keasaman (pH)
Sawyer (2003) menyatakan bahwa derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau
aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat
keasaman atau kebasaan suatu perairan. Tingkat keasaman merupakan faktor yang penting
dalam proses pengolahan air untuk perbaikan kualitas air. Kondisi perairan bersifat netral
apabila nilai pH sama dengan 7, kondisi perairan bersifat asam bila pH kurang dari 7, sedangkan
pH lebih dari 7 kondisi perairan bersifat basa Menurut Benjamin (2002) tingkat keasaman
mempengaruhi nilai BOD5, fosfat, nitrogen dan nutrien lainnya. Adanya karbonat, bikarbonat
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
3-19
dan hidroksida juga menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam-asam mineral bebas dan
asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan (Canter, 1992).
Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari unsur-unsur renik
yang terdapat di perairan, sebagai contoh H2S yang bersifat toksik banyak ditemui di perairan
tercemar dan perairan dengan nilai pH rendah. Karena itu, nilai pH maksimum untuk air minum
adalah 6,5 – 8,5 sesuai Permenkes Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002. Pada air baku untuk klas 1
sampai 3 nilai pH adalah 6-9, sedangkan klas IV adalah 5-9, seperti terlihat pada PP Nomor:
82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
b. Karbondioksida (CO2) Agresif
Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO2 yang terlarut di dalam
air. CO2 agresif dalam perairan alami merupakan hasil proses difusi dari atmosfer, air hujan,
dekomposisi bahan organik dan hasil respirasi organisme akuatik. Tingginya kandungan CO2
agresif pada perairan dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota perairan dan
cenderung bersifat korosif. Oleh karena itu, CO2 agresif menjadi salah satu senyawa indikator
timbulnya proses korosivitas perairan (Brahmana, 2001)
c. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO)
Sawyer (2003) menjelaskan bahwa oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor
penting sebagai pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak.
Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran
air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Adanya
pergolakan massa air akibat adanya angin atau gelombang membantu meningkatkan
kandungan oksigen terlarut karena meningkatnya proses difusi oksigen dari atmosfer ke badan
air.
Sebagian besar oksigen pada perairan danau dan waduk merupakan hasil sampingan
aktivitas fotosintesis. Pada proses fotosintesis, karbondioksida direduksi menjadi karbohidrat
dan air mengalami dehidrogenasi menjadi oksigen, yang dapat dinyatakan sebagai berikut:
6 CO2 + 6 H2Os C6H12O6 + 6 O2
Pada perairan danau ataupun waduk, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh proses
fotosintesis alga yang banyak terdapat pada zona epilimnion, sedangkan pada perairan
tergenang yang dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air pada zone litoral, keberadaaan
oksigen lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air. Keberadaan oksigen
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
3-20
terlarut di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer
(Sawyer,2003).
Berdasarkan PP Nomor 82 tahun 2001, badan air dengan kadar oksigen terlarut lebih besar
dari 6 mg/l masuk dalam kategori Klas 1, kadar oksigen terlarut antara 4-6 termasuk dalam
kategori Klas 2, kadar oksigen terlarut 3-4 mg/l berkategori Klas 3, sedangkan kadar oksigen
terlarut kurang dari 3 termasuk dalam kategori Klas 4.
d. Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD5) dan Kebutuhan
Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand, COD)
Adanya pencemaran pada badan air yang berasal dari bahan organik dapat diindikasikan
dengan parameter BOD5.. Bahan pencemar organik yang tinggi akan distabilkan secara biologik
dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik, sehingga
meningkatkan nilai BOD5
Kondisi anaerob atau tidak adanya oksigen pada perairan dapat mengakibatkan kematian
organisme akuatik. Hal tersebut disebabkan berlangsungnya proses oksidasi secara aerobik yang
melibatkan mikroorganisme pengurai, sehingga menyebabkan penurunan kandungan oksigen
terlarut di perairan sampai pada tingkat terendah. Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001
menegaskan bahwa kadar pencemar organik BOD pada badan air dengan Kategori klas 1 adalah
maksimum 2 mg/l, kategori Klas 2 yaitu 3-6 mg/l, Klas 3 yaitu dari 6-12 mg/l, sedangkan Klas 4
atau tercemar berat bila kadar BOD lebih dari 12 mg/l.
Kadar pencemar organik dalam badan air juga dapat diketahui dari nilai indikator COD atau
Chemical Oxygen Demand. Selain BOD5, kadar bahan organik juga dapat diketahui melalui nilai
COD. Sawyer, dkk (2003) menjelaskan bahwa COD adalah jumlah total oksigen yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi bahan pencemar organik secara kimiawi, baik yang dapat maupun sukar
didegradasi secara biologi menjadi CO2 dan H2O. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa
indikator COD paling baik dalam menggambarkan kandungan zat organic, baik yang dapat
didekomposisi secara biologis maupun yang tidak.
e. Senyawa-senyawa Nitrogen
Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N2, NO2 -, NO3
-, NH3 dan NH4 + serta
sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks (Sawyer, 2003). Sumber nitrogen terbesar
berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui sistem fiksasi
biologis dalam kondisi aerobik. Menurut Chester (1990), keberadaan nitrogen di perairan dapat
berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion nitrit (NO2-), ion
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
3-21
nitrat (NO3-), ammonia (NH3), ion ammonium (NH4
+) dan molekul N2 yang larut dalam air,
sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea akan mengendap dalam air.
Proses reduksi nitrat berjalan optimal pada kondisi anoksik (tak ada oksigen). Dinitrogen
oksida (N2O) adalah produk utama dari denitrifikasi pada perairan dengan kadar oksigen sangat
rendah, sedangkan molekul nitrogen (N2) adalah produk utama dari proses denitrifikasi pada
kondisi anaerob. Proses denitrifikasi akan berkurang atau lambat pada kondisi pH dan suhu
rendah, tetapi akan berjalan optimum pada suhu rata-rata danau pada umumnya. Kondisi
anaerob pada lapisan sedimen membuat proses denitrifikasi lebih besar, yaitu dengan laju rata-
rata 1 mg/L per hari (Jorgensen, 1980).
Kadar nitrogen yang tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan algae secara
tak terkendali (blooming). Berdasarkan PP Nomor 21/2008, kandungan zat hara persenyawaan
nitrogen dalam perairan adalah maksimum kadar senyawa nitrat (NO3-) adalah 10 mg/l untuk
Klas 1 dan 2, sedangkan untuk Klas 3 dan 4 maksimum adalah 20 mg/l. Parameter nitrit (NO2-)
kandungan maksimum pada badan air adalah 0,06 mg/l, lebih dari angka tersebut masuk
kategori klas 4. Sedangkan kandungan amonia (NH3-N) maksimum adalah 0,5 mg/l, untuk
perikanan tidak lebih dari 0,02 mg/l. Sedangkan standar kualitas air untuk air minum, menurut
Permenkes Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002 menegaskan bahwa kadar maksimum amonia dan
amonium masing-masing adalah 1,5 mg/l dan 0,2 mg/l.
e. Fosfat
Fosfor dalam perairan tawar ataupun air limbah pada umumnya dalam bentuk fosfat, yaitu
ortofosfat, fosfat terkondensasi seperti pirofosfat (P2O7), metafosfat (P3O93-) dan polifosfat (P4O13
6-
dan P3O105-) serta fosfat yang terikat secara organik. Senyawa ini berada sebagai larutan, partikel
atau detritus atau berada di dalam tubuh organisme akuatik (AWWA, 1995). Fosfat dalam
perairan yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik adalah dalam
bentuk ortofosfat, yaitu hasil hidrolisis dari polifosfat sebelum dapat dimanfaatkan sebagai
sumber fosfor.
Perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi melebihi kebutuhan normal
organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya proses eutrofikasi. Berdasarkan PP Nomor
21/2008, kandungan zat hara Total Fosfat dalam perairan maksimum adalah 0,2 mg/l untuk klas
1 dan 2, sedangkan untuk klas 3 dan 4 masing-masing maksimum 1 mg/l dan 5 mg/l. Sedangkan
standar kualitas air untuk air minum parameter fosfor tidak diatur.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
3-22
f. Pestisida
Limpasan dari daerah pertanian, aliran dari persawahan, buangan limbah domestik, limbah
perkotaan dan industri merupakan sumber Pestisida yang masuk ke badan air Pada umumnya
pestisida dalam badan air terserap pada partikel tersuspensi dan partikel yang diam atau
terpisah ke dalam subtrat organik. Penggunaan dampak negatif yang berlebihan terutama pada
bidang pertanian dapat menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, baik lingkungan
perairan, tanah dan udara maupun mahluk hidup yang bukan sasaran. Pestisida cenderung sulit
mengalami degradasi atau persisten, dan akan terakumulasi, meskipun ada yang bersifat
terdegradasi secara alami.
Kadar pestisida yang tinggi dapat menimbulkan kematian organisme akuatik secara
langsung (keracunan akut), yaitu kontak langsung atau melalui jasad lainnya seperti plankton,
perifiton dan bentos, sedangkan kadar rendah dalam badan air kemungkinan besar
menyebabkan kematian organisme dalam waktu yang lama, yaitu akibat akumulasi pestisida
dalam organ tubuhnya (Soemarwoto et al., 1979). Pada umumnya, pestisida memperlihatkan
sifat lebih toksik terhadap zooplankton dan bentos dengan tingkat toksik yang bervariasi,
tergantung jenis pestisida dan tingkat stadia komunitas yang bersangkutan.
g. Parameter Mikrobiologi
Keberadaan parameter mikrobiologi terutama bakteri digunakan sebagai indikator untuk
menilai tingkat higienisitas suatu perairan. Mikroorganisme pathogen atau mikroorganisme
yang bersifat berbahaya dari berbagai sumber, seperti permukiman, pertanian dan peternakan
mudah, masuk dan mencemari perairan. Bakteri coli merupakan kelompok bakteri yang sangat
sering digunakan sebagai indikator pencemaran badan air. Sedangkan Escherichia coli, yang
tergolong bakteri koli yang hidup normal di dalam kotoran manusia dan hewan, sehingga
kehadirannya dalam perairan menjadi petunjuk adanya pencemaran dari manusia atau hewan.
Pencemaran bakteri sangat tidak dikehendaki, baik ditinjau dari segi estetika, kebersihan,
sanitasi maupun kemungkinan terjadinya infeksi berbahaya.
Berdasarkan PP Nomor 21/2008, kandungan Total coliform dan Fecal coliform dalam
perairan adalah maksimum masing-masing 1000/100 ml dan 100/100 ml untuk klas 1, untuk klas
2 masing-masing maksimum 5000/100ml dan 1000/100 ml, sedangkan untuk klas 3 dan 4
masing-masing maksimum adalah 10000/ml dan 5000/100 ml. Sedangkan standar kualitas air
untuk air minum menurut Permenkes Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002 dikatakan bahwa
kandungan Total coli maupun Fecal Coli adalah 0.
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
3-23
Table 3.12. Hasil Pengukuran Kualitas Air di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur
Saguling Cirata Jatiluhur
No Parameter Unit Permukaan 20m Permukaan 20m Permukaan 20 m
Air Dalam air Dalam air Dalam
1 Padatan Terlarut mg/L 74 92 99 129 126 132
2 Padatan Tersuspensi mg/L 10 ..
12 6 10 6 7
3 Kekeruhan NTU 6,0 6,5 2,9 5,6 2,2 4
4 pH 7,.2 6,6 7,8 7,7 8,4 8.1
5 DO mg/L 4,9 0 5,5 0 8 0
6 BOD mg/L 3,0 3,4 3,6 2,4 4 2.6
7 COD mg/L 8,5 9,7 9,5 7,5 10 8
8 Total N mg/L 0,244 1,47 0,103 0,852 0,222 1,026
9 Total P mg/L 0,198 0,222 0,172 0,240 0,178 0.20
10 Kesadahan mg/L 31 37 42 56 62 61
11 Deterjen mg/L 0,048 0,042 0,057 0,050 0,025 0,016
12 Sulfida (S2-) mg/L 0 0,58 0 0,85 0 0,80
13 Ammonia bebas mg/L
0 0 0,003 0,017 0,012 0,046 (NH3-N) Sumber : Machbub, dkk.., 2003.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
3-24
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Lingkungan Hidup, 2009. Peraturan Meneter Lingkungan Hidup Nomor : 8/2009
Tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan Waduk
Kementerian Lingkungan Hidup, 2003. Keputusan Men LH Nomor 114/2003 tentang Pedoman
Pengkajian untuk Menetapkan Kelas Air
Brahmana, S. dan Achmad,F., 2001. “Korosifitas Air Waduk Saguling dan waduk Cirata terhadap
Turbin dan Beton”. Jurnal Litbang Pengairan Vol.15(46), Bandung
Brahmana, dkk,1993, PP: Produktifitas Primer. Jurnal Litbnag Pengairan. 28( 8), Puslitbang
Pengairan, Bandung
Brahmana,S. Moelyo,M dan Rahayu, S (1993). Eutrofikasi Waduk Saguling. Jurnal Litbang
Pengairan, 8(28), Puslitbang Pengairan, Bandung
Sulastri, Ami A Meutia dan Tri Suryono, 2004. Blooming Algae Dinoflagelata Ceratium hirudinella
di Waduk Karangkates, Malang Jawa Timur., Proseding Kolokium Puslitbang SDA, Bandung
UNEP-IETC-ILEC, 2001. Lakes and Reservoir Water Quality: The Impact of Eutrophication, Shiga-
Japan. Vol.3, ISBN: 4-906356-31-1
Machbub,B., Fulazzaky, M.A., Brahmana, S. dan.Yusuf, I.A., 2003. “Eutrophication of Lakes and
Reservoir and Its Restoration in Indonesia”. Jurnal Litbang Pengairan Vol.17(50) , Puslitbang
Pengairan, Bandung.
Novotny, V.,Campbell,N., D’Arcy,B., Frost,A dan Sansom,A.,2004., Diffuse Pollution, An
Introduction to The Problems and Sollutions. IWA Publishing, UK.
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
4-1
BAB IV
PEMICU EUTROFIKASI PADA WADUK DAN DANAU
4.1 Kelimpahan Plankton
Di alam ini termasuk pada badan air terdapat suatu mata rantai makanan atau biasa disebut
dengan siklus makanan. Fitoplankton merupakan dasar dari rantai makanan atau biasa disebut
dengan produsen primer pada badan air. Meningkatnya biomassa jenis organisme primer
merupakan gejala terjadinya eutrofikasi pada perairan danau atau waduk. Gejala tersebut
biasanya juga ditunjukkan dengan menurunnya jenis konsumer akibat melimpahnya
konsentrasi unsur hara dan perubahan parameter kimia lainnya seperti oksigen terlarut (OT),
kadar klorofil-a, turbiditas serta produktivitas primer (Vesjak,dkk,1997).
Meningkatnya konsentrasi biomasa di bagian epilimnion dan tingginya laju pengendapan
alga pada dalam kolom air, menyebabkan timbulnya kondisi anaerobik pada daerah hipolimnion
danau. Pertumbuhan populasi fitoplankton yang terdiri dari karbon, oksigen, hidrogen, nitrogen
dan fosfor merupakan salah satu indikator utama terjadinya eutrofikasi di suatu perairan.
Pengaruh dari eutrofikasi pada danau dan waduk selain pertumbuhan fitoplankton dan alga
yang berlebihan, juga kekeruhan, penurunan kadar oksigen badan air. Komposisi fitoplankton
pada badan air tidak konstan tapi dapat menggambarkan konsentrasinya dalam badan air
(Vesjak,dkk,1997)
Pada fitoplankton terdapat klorofil yang berperan dalam proses fotosintesis untuk
menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air yang digunakan sebagai dasar kehidupan.
Populasi fitoplankton yang berlebih, terutama yang bersifat toksik yang berada pada ekosistem
perairan, dapat menyebabkan berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan
kematian berbagai makhluk air lainnya. Fakta menunjukkan bahwa beberapa jenis fitoplankton
yang mempunyai potensi marak adalah yang bersifat toksik (Wiadnyana, 1996).
Mengingat dampak kerugian ledakan fitoplankton yang tinggi, di beberapa negara maju
permasalahan tersebut mendapat prioritas penanganan yang serius. Dampak utama dari
ledakan populasi fitoplankton adalah timbulnya Harmful Algae Blooms (HABs), yaitu fenomena
marak fitoplankton toksik pada suatu badan air yang menyebabkan kematian biota lain
(Anderson, dkk, 2008). Semua jenis fitoplankton yang beracun di atas dijumpai pada beberapa
perairan pesisir Indonesia. Racun-racun tersebut sangat berbahaya, karena di antaranya
menyerang sistem saraf manusia, pernapasan, dan pencernaan (Praseno dan Sugestiningsih,
2000). Faktor yang dapat memicu ledakan populasi fitoplankton berbahaya antara lain adanya
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
4-2
upwelling yang mengangkat massa air kaya unsur-unsur hara; adanya hujan lebat, dan masuknya
air ke badan air dalam jumlah yang besar (Wiadnyana, 1996).
Fitoplankton adalah organisme mikroskopik yang hidup melayang, mengapung di dalam
air serta memiliki kemampuan gerak yang terbatas (Horne dan Goldman, 1994). Fitoplankton
berperan sebagai salah satu bio indikator yang mampu menggambarkan kondisi suatu perairan,
kosmopolit dan perkembangannya bersifat dinamis, karena dominasi satu spesies dapat diganti
dengan lainnya dalam interval waktu tertentu dan dengan kualitas perairan yang tertentu pula.
Perubahan kondisi lingkungan perairan akan menyebabkan perubahan pula pada struktur
komunitas komponen biologi, khususnya fitoplankton.
Zat hara, yaitu nitrogen dan fosfor, merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
fitoplankton. Oleh karena itu, ketersediaan zat hara di perairan waduk, menjadi faktor pembatas
yang mengontrol keberadaan kelimpahan dan biomasa fitoplankton dari zona inlet atau muara
sungai sampai zona waduk. Klorofil-a merupakan pigmen yang hampir ditemukan pada semua
jenis fitoplankton dan merupakan pigmen yang paling maksimal dalam menyerap cahaya
matahari untuk proses fotosintesis.
Respon fitoplankton sebagai produsen utama perairan, terhadap unsur hara terjadi pada
lapisan perairan eufotik menentukan eksistensi fitoplankton. Pengaruh biologi juga terjadi
apabila terdapat perbedaan laju pertumbuhan spesies fitoplankton dan zooplankton yang
memangsa (grazing) fitoplankton, yang akhirnya akan mempengaruhi pengelompokan
fitoplankton di perairan.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu kajian ekologi mengenai komposisi dari
kelimpahan dan dominasi fitoplankton terkait dengan kondisi fisika-kimia perairan di perairan
tergenang untuk menentukan kualitas perairan pada kondisi muka air waduk yang minimum,
sehingga dapat digunakan untuk menentukan daya dukung serta upaya pengelolaan yang
tepat. Pengaruh biomasa plankton terhadap timbulnya eutrofikasi dapat dilihat pada Gambar
4.1
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
4-3
Gambar 4.1. Model dinamik Eutrofikasi akibat biomassa plankton (Anderson pada Gunawan, 2005)
4.2 Peningkatan Zat Hara
4.2.1 Senyawa Nitrogen
Senyawa nitrogen yang dialirkan ke badan air terutama berasal dari kegiatan manusia.
Manusia dan binatang menghasilkan unsur-unsur nitrogen. Sedangkan dari sumber pencemar
tersebar (non point sources) berasal dari pertanian atau pengolahan lahan dengan pemupukan
dan lahan permukiman yang menimbulkan senyawa nitrogen yang berlebihan. Dalam bentuk
anorganik, senyawa nitrogen berperan penting dalam kehidupan akuatik. Senyawa tersebut
dibutuhkan dalam jumlah besar untuk perkembang-biakan sel dan dikenal sebagai Makro-
nutrien bersama dengan senyawa karbon, fosfor, oksigen, sulfur, silika dan besi. Sedangkan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
4-4
senyawa yang dibutuhkan dengan jumlah yang kecil untuk pengembangan sel adalah mangan,
tembaga dan seng yang dikenal sebagai Mikronutrien.
Bentuk utama senyawa nitrogen di alam adalah nitrogen bebas (N2), amonium (NH4+) atau
amonia (NH3), nitrit (NO2) atau nitrat (NO3) dan organik nitrogen. Seperti terlihat pada Gambar
4.2, senyawa nitrogen dapat terbagi menjadi komponen partikulat maupun terlarut. Pada
gambar tersebut diperlihatkan dinamika proses senyawa nitrogen pada badan air, yang meliputi
(Chapra, 1997) :
Asimilasi Amonia dan Nitrat: termasuk dalam ini adalah pengambilan dari nitrogen
anorganik oleh fitoplankton, meskipun fitoplankton juga memanfaatkan amonia dan
nitrat.
Ammonifikasi: Proses transformasi dari nitrogen organik menjadi amonia. Ini adalah
proses yang komplek mencakup beberapa mekanisme proses. Termasuk dalam proses
ini adalah dekomposisi bakteri, eksresi zooplankton, dan autolisis langsung sesudah
kematian sel.
Nitrifikasi: yaitu proses oksidasi dari amonia menjadi nitrit, selanjutnya nitrit menjadi
nitrat. Proses ini dibantu oleh kelompok bakteri aerobik, digambarkan melalui proses
kimia orde satu. Pada kenyataannya trasnformasi dari nitrit menjadi nitrat merupakan
proses yang sangat cepat pada suatu model rantai makanan.
Denitrifikasi: Proses ini terjadi pada kondisi anaerobik, misalnya terjadi pada sedimen
dan lapisan hipolimnion anoksik (tidak ada oksigen). Akhir proses ini adalah Nitrogen
bebas (N2).
Fiksasi Nitrogen: Sejumlah organisme dapat memfiksasi unsur nitrogen. Kelompok
mikroorganisme ini adalah kelompok alge biru-hijau (blue-green algae). Adanya
kelompok bakteri ini menyebabkan fitoplankton atau mikroorganisme non fiksasi
nitrogen akan tersingkir karena rendahnya kadar nitrogen. Sedangkan alge biru-hijau
dapat menggunakan nitrogen dari udara, sehingga beban pencemar fosfor yang tinggi
pada waduk atau danau menyebabkan pertumbuhan alga hijau-biru yang dominan
atau marak alga. Kondisi tersebut menyebabkan turunnya kualitas air waduk dan danau,
bahkan dapat terbentuk gumpalan-gumpalan (scum).
Meskipun senyawa nitrogen sama pentingnya dengan fosfor dalam siklus kehidupan
perairan termasuk menjadi pemicu timbulnya eutrofikasi, namun ada perbedaan pada
keduanya yaitu (Chapra,1997):
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
4-5
Nitrogen memiliki fase gas, sedangkan alga hijau-biru mampu memfiksasi nitrogen
dari udara, sehingga alga hijau-biru menjadi dominan di badan air.
Nitrogen anorganik tidak menyerap kuat nitrogen yang terikat pada zat partikulat
seperti senyawa fosfor. Kondisi tersebut menyebabkan nitrogen dalam bentuk
partikulat tetap terbawa sedimen melalui proses pengendapan. Bentuk nitrogen
anorganik (khususnya nitrat) bersifat lebih mudah tersebar terutama pada air tanah.
Denitrifikasi hanya terjadi pada senyawa nitrogen atau tidak terjadi pada fosfor.
Karena proses ini hanya terjadi pada kondisi anaerobik, hal tersebut berakibat
terjadinya kondisi anoksik pada sedimen.
Gambar 4.2. Diagram senyawa nitrogen pada badan air (Chapra, 1997)
4.2.2 Senyawa Fosfor
Senyawa fosfor sangat penting untuk kehidupan. Fungsi-fungsi tersebut di antaranya
berperan pada sistem genetis dan sebagai penyimpan dan transfer energi pada sel
mikroorganisme. Dalam tinjauan kualitas air, senyawa fosfor adalah penting, karena selalu dalam
jumlah yang kecil dibandingkan senyawa makronutrien lainnya. Kelangkaan ini adalah akibat
beberapa faktor, antara lain:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
4-6
Senyawa fosfat tidak banyak di kulit bumi, dan fosfat mineral tidak dalam kondisi
terlarut;
Senyawa fosfat tidak dalam bentuk gas atau tidak ada di atmosfer, berbeda dengan
nitrogen dan karbon; serta
Senyawa fosfat cenderung terserap kuat pada partikel halus. Fosfat dapat terikat kuat
secara kimiawi pada partikel sedimen yang mengandung oksigen.
Meskipun secara alami senyawa fosfat langka, tetapi banyak aktifitas manusia yang
menghasilkan fosfat dan dibuang ke lingkungan. Manusia dan hewan secara substansial juga
menghasikan limbah yang mengandung senyawa fosfat. Deterjen yang digunakan untuk
kebutuhan domestik juga mengandung senyawa fosfor. Pertanian dan permukiman juga
berkontribusi sebagai sumber pencemar tersebar senyawa fosfor termasuk dari aktifitas
pemupukan terkait dengan penggunaan bahan kimia untuk pengolahan lahan. Erosi lahan juga
berpotensi meningkatkan tranport fosfor ke badan air.
Senyawa fosfat dalam badan air alami terdapat dalam berbagai bentuk (Chapra, 1997):
Soluble Reactive Phosphorous (SRP) atau Fosfor Reaktif yang Berguna (FRB) atau biasa
disebut dengan ortofosfat atau senyawa P anorganik, yaitu bentuk fosfor yang langsung
dapat digunakan pada tanaman. Senyawa ini terdiri dari H2PO4-, HPO4
2- dan PO43- ;
Particulat organic P atau P organik partikulat, partikel ini terbentuk terutama dari
tanaman hidup, hewan dan bakteri juga detritus organik;
Non-particulat organic P. Senyawa ini terdiri zat terlarut dan koloid organik yang
mengandung fosfor. Senyawa ini berasal dari dekomposisi organik P partikulat;
Particulat inorganic P atau P anorganik partikulat yang terdiri mineral fosfat, ortofosfat
terjerap dan fosfat komplek pada zat padat; serta
Nonparticulat inorganic. Kelompok ini adalah termasuk fosfat terkondensasi seperti yang
ditemukan pada deterjen.
Diagram senyawa fosfor dalam badan air seperti terlihat pada Gambar 4.3. Pengukuran
senyawa fosfat dalam badan air terutama diukur sebagai ortofosfat atau fosfat terlarut dan
sebagai Total Fosfat yang sering digunakan untuk mengetahui kondisi eutrofikasi badan air.
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
4-7
Gambar 4.3. Diagram senyawa nitrogen pada badan air (Chapra, 1997)
4.3 Fenomena Kolam Jaring Apung
Soemarwoto (2004) menyatakan bahwa jaring apung bermula dari analisis dampak
lingkungan (ADL) rencana pembangunan Bendungan Saguling tahun 1979-1980. ADL
menggunakan empat prinsip, yaitu ekosistem, pembatasan daerah dan bidang studi
(pelingkupan), identifikasi dampak dengan bagan alir dan pembangunan adalah untuk
masyarakat. Soemarwoto (2004 juga menyatakan bahwa hanya 3,8% penduduk yang mau
transmigrasi 96,2% tidak mau, sehingga perlu diberikan mata pencaharian. Selanjutnya
diperkenalkan teknologi jaring apung dapat diterima penduduk dan berkembang amat pesat
melalui penelitian bersama dengan Lembaga Penelitian Perikanan Darat di Danau Lido, Bogor
dan penyuluhan dilakukan di Waduk Saguling.
Jaring apung sangat produktif dan memiliki keuntungan yang besar, namun menimbulkan
dampak sosial-ekonomi dan biogeofisik. Dampak sosial-ekonomi KJA meliputi: (a)
ketergantungan pada benih dan pakan; (b) petani ikan tidak menguasai pasar; dan (c) masuknya
modal besar dari luar daerah dan berakibat marjinalisasi pengusaha lokal. Sedangkan dampak
biogeofisik adalah pencemaran oleh sisa makanan dan kotoran ikan, terjadinya kematian massal
ikan pada waktu terjadi pembalikan dan terjadinya eutrofikasi, pertumbuhan masal ganggang
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
4-8
microcystis, masukan zat pencemar dari DAS hulu dan kandungan zat racun dalam pakan
(Soemarwoto, 2004)
Eutrofikasi yang sangat cepat pada waduk dan danau di Indonesia tersebut diyakini oleh
banyak peneliti dipicu dan dipacu oleh aktivitas manusia yang memanfaatkan badan air tersebut
sebagai areal produksi ikan dalam KJA yang berlebihan. Disamping itu, aktivitas-aktivitas lainnya
pada daerah aliran sungai yang membuang limbah yang pada akhirnya masuk ke dalam waduk.
Sisa pakan yang terakumulasi di dasar perairan akan terdekomposisi menjadi nitrogen.
Zahidah (2007) pada penelitiannya di Waduk Cirata menyatakan bahwa bahwa indeks
keanekaragaman fitoplankton pada semua stasiun di semua kedalaman menunjukkan angka
yang sangat rendah, yaitu kurang dari 0,5 bahkan angka rata-ratanya untuk semua stasiun
kurang dari 0,3. Rendahnya nilai indeks keanekaragaman menunjukkan ekosistem berada dalam
kondisi yang tidak stabil sebagaimana yang dilaporkan oleh Odum (1992) pada Zahidah (2007).
Keanekaragaman yang rendah menunjukkan di ekosistem tersebut terdapat jenis tertentu yang
memiliki kelimpahan sangat tinggi, atau dengan kata lain terdapat kecenderungan dominasi.
Adanya kecenderungan dominasi terlihat dari tingginya kelimpahan genus Microcystis pada
seluruh stasiun dengan nilai persen dominansi berkisar antara (60 – 99).
Haarcoryati, (2008) juga menyatakan bahwa terdapat kaitan yang erat antara rasio nitrogen
dan fosfor dengan dominasi kelompok mikroalga pada waduk dan danau di Indonesia. Rasio N/P
kurang dari 10 maka pertumbuhan kelompok Cyanophyta dengan spesies Microcystis sp akan
mendominasi perairan (Ryding dan Rast, 1989 ).
Zahidah (2007) menjelaskan bahwa kualitas air Waduk Cirata berada dalam status eutrofik,
diperkuat juga dengan banyaknya fitoplankton dari kelas Cyanophyceae (terutama Microcystis
sp) memiliki rasio antara N (dalam bentuk NO3) dan P (dalam bentuk PO4) dengan nilai rendah,
Hal ini sesuai dengan pendapat Reynold (1990) yang menyatakan bahwa Cyanophyceae adalah
kelompok fitoplankton yang mampu bertahan dan berkembang dengan baik pada kondisi N/P
yang rendah.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa kemampuan kelas ini untuk bertahan dan memenangkan
persaingan serta berkembang biak lebih cepat didukung oleh kemampuan fiksasi nitrogen dari
atmosfir pada sebagian jenis Cyanophyceae serta adanya fenomena Luxury consumption of
Phosphorous pada hampir semua jenis Cyanophyceae. Zahidah (2007) menyatakan bahwa
kondisi kualitas air yang buruk tidak hanya ditemukan pada zona KJA, tapi juga pada zone non
KJA. Hal ini terutama ditunjukkan oleh melimpahnya fitoplankton dari kelas Cyanophyceae,
terutama Microcystis.
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
4-9
Untuk mencegah timbulnya eutrofikasi berlebihan akibat fenomena jaring apung ini adalah
pengaturan KJA yaitu maksimum hanya 1% luas permukaan dan jarak antara jaring minimum 50
meter. Sedangkan Sukimin (2004) mengusulkan adanya penentuan daya tampung waduk dan
danau terhadap pencemaran pakan untuk mencegah timbulnya pencemaran badan air tersebut
sebagaimana tercantum dalam Pedoman Pengelolaan Danau yang telah ditetapkan pada tahun
2009.
Langkah yang dapat dilakukan oleh petani jaring apung adalah menggunakan teknologi
aerasi, terutama pada saat tengah malam sampai menjelang fajar dan terutama sekali setelah
terjadi umbalan (upwelling). Selain itu, dengan pengaturan pola makan ikan, pemakaian jaring
yang mengurangi pengendapan sisa pakan dan metabolit ikan, pengaturan kepadatan benih
dan tidak menggunakan rumah jaga sebagai hunian keluarga adalah tindakan yang baik demi
terjaganya kualitas air waduk (Irianto, dkk, 2001). Sedangkan Fahmijani, dkk (2009) mengusulkan
menggunakan pola KJA berlapis, untuk mengurangi pakan ikan yang terbuang agar dimakan
ikan pada lapis bawahnya.
Pengelola waduk berkewajiban sebagai regulator, terutama dalam hal menetapkan lokasi
termasuk jarak antar jaring apung, pemantauan kualitas air secara kontinyu, dan pengelolaan
lingkungan di sekitar waduk. Selain itu, pengelola waduk dapat berperan sebagai fasilitator
dalam hal pengembangan pemasaran, sehingga pendapatan petani meningkat, maka para
petani jaring apung tersebut akan lebih mudah untuk diajak peduli dan menjaga kualitas
lingkungan di sekitar waduk. Koordinasi dengan instasi terkait juga sangat diperlukan dalam hal
pengelolaan waduk/danau setingkat DAS (Irianto, dkk., 2001). Sedangkan pola hubungan antara
petani jaring apung dan pengelola waduk adalah terlihat pada Gambar 4.4.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
4-10
- Penempatan dan pengaturan lokasi
- Pengelolaan DPS dan lingkungan waduk
- Pemantauan rutin kualitas air
- Penanggulangan gulma
- Memfasilitasi usaha jaring apung
yang berwawasan lingkungan
- Managemen pakan yang teratur
- Pengaturan kerapatan benih
- Pemakaian jaring dia (0,5-1)"
- Memakai teknologi aerasi
- Membantu menanggulangi gulma
- Tidak untuk rumah hunian
Pengelola Waduk
Sebagai Regulator
Petani Jaring Apung
Sebagai Produsen
Kualitas Air TerjagaOperasional Waduk
Berjalan Lancar
Hasil Memuaskan
Gambar 4.4 Diagram pola hubungan antara petani jaring apung dan pengelola waduk (Irianto, dkk, 2001)
4.4 Pencemaran Daerah Aliran Sungai
Straskaba dan Tundisi (1999) ekosistem perairan waduk dan danau cenderung mengalami
degradasi, karena kurang kepedulian dan kesungguhan profesional dalam pengelolaannya.
Banyak diantaranya terancam, baik dari segi kuantitas maupun kualitas airnya, termasuk juga
dari kelangsungan hidup biotanya. Hal ini disebabkan terutama oleh meningkatnya kegiatan
manusia di perairan maupun daerah tangkapan. Kondisi tersebut menyebabkan waduk akan
sulit sekali dipulihkan kondisinya apabila tercemar dan rusak, perlu waktu yang lama untuk
pemulihannya dengan biaya yang tidak sedikit.
ICES (2009) menyatakan bahwa keterkaitan antara badan air waduk dengan DAS sedemikian
eratnya, sehingga kerusakan ekosistem DAS akan berdampak negatif pada ekosistem danau dan
waduk. Oleh karena itu, danau dan waduk sebagai unit ekologis tidak dapat dipisahkan
pengelolaannya berdasarkan batasan administratif serta diperlukan satu dasar pengetahuan
yang komprehensif untuk dapat mengelola danau secara baik dan benar, sehingga pemanfaatan
danau dapat berlangsung secara berkelanjutan
Sebagaimana dinyatakan oleh Rees (2009), aktifitas-aktifitas manusia pada DAS yang dapat
berdampak pada sistem sumber daya air diantaranya (a) deforestasi dan urbanisasi akan
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
4-11
merubah limpasan permukaan dan rejim aliran yang mempengaruhi penggunaan air, resiko
banjir dan kelongsoran; (b) kuantitas, waktu dan lokasi pengambilan air baik permukaan
maupun tanah berdampak pada penggunaan sumber daya air pada sebelah hilir; (c) perubahan
tata-guna lahan dapat merubah laju evapotranspirasi, laju sedimentasi dan pengambilan air
dapat mempengaruhi kestersediaan dan biaya suplai air bersih; (d) produk air limbah pertanian,
air limbah industri dan rumah-tangga akan berpengaruh pada kualitas air pada air tanah dan air
di hilir. Hal tersebut berpengaruh pada pengolahan air limbah, menurunkan produksi pertanian,
ekonomi, lingkungan dan penggunaan rekreasi.
Berdasarkan pedoman pengelolaan danau (Kementerian Lingkungan Hidup, 2008),
ekosistem danau terdiri dari ekosistem perairan (akuatik), ekosistem sempadan (sebagai
ekosistem peralihan) dan ekosistem daratan (terestrial). Ketiga ekosistem tersebut menghadapi
berbagai kerusakan lingkungan yang berdampak pada keberlanjutan dan fungsi waduk sebagai
sumber daya air. Berbagai sumber dan dampak permasalahan tersebut telah merusak ekosistem
waduk juga berpotensi dan telah terjadi pada beberapa waduk di Indonesia.
Machbub, dkk (2003) menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi pada danau dan waduk di
Indonesia antara lain (a) pendangkalan dan penyempitan sempadan, yang dapat merusak
ekosistem; (b) pencemaran kualitas air yang menggangu pemanfaatan air dan pertumbuhan
biota akuatik; (c) kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversity); (d) pertumbuhan gulma air
dan marak alga disebabkan proses penyuburan air waduk sebagai akibat pencemaran limbah
organik dan zat hara (unsur nitrogen dan fosfor) dan zat penyubur; (e) perubahan fluktuasi muka
air danau, yang disebabkan oleh kerusakan DAS serta pengambilan air dan tenaga air tanpa
memperhatikan keseimbangan hidrologi dapat mengganggu keseimbangan ekologis daerah
sempadan. Karena itu pengelolaan lingkungan daerah aliran sungai menjadi penting dalam
ramgka perlindungan waduk dan danau dari permasalahan tersebut diatas.
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa sumber-sumber zat hara yang masuk ke
perairan waduk atau danau terutama adalah bersumber dari kegiatan manusia meliputi kegiatan
domestik, industri, pertanian dan peternakan yang limbahnya tidak terkelola dengan baik,
sehingga memicu timbulnya permasalahan eutrofikasi. Sumber-sumber pencemar tersebut
dapat berupa sumber pencemar titik maupun sumber pencemar tersebar. Selain itu, kegiatan
perikanan budidaya atau kolam jaring apung pada perairan waduk dan danau juga menjadi
pemicu kelimpahan plankton karena limbah pakan berlebihan yang terakumulasi pada sedimen
dasar. Pengendalian pencemaran untuk mencegah masuknya zat hara secara berlebihan pada
waduk atau danau memerlukan perencanaan yang komprehensif dengan memperhatikan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
4-12
karakteristik masing-masing waduk atau danau, yang selanjutnya diimplementasikan secara
benar dalam suatu kerangka kebijakan.
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
4-13
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, D,M., J,M, Burkholder., W,P, Cochlan., P,M, Gilbert., C,J, Gobler., C,A, Heil., R,M, Kudela.,
M,L, Parsons., J,E, Jack Rensel., D,W, Townsend., V,L, Trainer., G,A, Vargo., 2008, “Harmful
Algall Blooms And Eutrophication: Examining Linkages From Selected Coastalregion Of The
United Stated”, Harmful Algae., 8, 39-53.
Astuti, Bambang.1992. Sistem Terpadu Dalam Pengelolaan Lingkungan Waduk/Situ
Saguling/Cirata. Puslitbang Perikanan, Jakarta
Chapra, Steven.C., 1997. Surface Water Quality Modelling. Mc Graw Hill Book Inc, NewYork
Fahmijani,Trijanto, A.Lukman, dan.Meutia,A., 2009. Keramba Jaring Apung Ramah Lingkungan,
Konferensi Danau Berkelanjutan. Denpasar-Bali
Gunawan,W., Zahidah dan Mulyanti,W., 2006. “Model Eutrofikasi untuk Merancang Kebijakan
Pengelolaan Waduk yang Berkelanjutan melalui Sistem Dinamik”. Laporan Riset DIKTI.
Haarcoryati, A.,2008. Hubungan Rasio N/P dengan kecenderungan dominasi komunitas
mikroalga pada waduk-waduk di DAS Citarum., Buletin Keairan Vol.1(1), Puslitbang SDA,
Bandung
Goldman,C.R dan Horn, A.J.,1994. Limnology. 2nd. Mc Graw Hill.Inc
ICES.2009. “Human Induced Eutrophication is Minimized Especially Adverse Effect”. Final Report,
European Commision
Irianto,E.W., Machbub,B,. Ilyas, M.T. dan Sudarna.,A.,2001 . Konsep pengelolaan jaring apung
peduli lingkungan dalam Rangka menjaga kualitas air waduk” Buletin Keairan 2001,
M.Vesjak, T.Savsek, dan E.A. Stuhler.1997. System Dynamik of Eutrophication process in Lakes.
European Journal of Operational research. Elsevier Science, London, hal.442-451.
Machbub,B., Fulazzaky, M.A., Brahmana, S. dan.Yusuf, I.A., 2003. “Eutrophication of Lakes and
Reservoir and Its Restoration in Indonesia”. Jurnal Litbang Pengairan Vol.17(50) , Puslitbang
Pengairan, Bandung.
Praseno, D,P. dan Sugestiningsih., 2000, Red tide di perairan Indonesia, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi – LIPI, Jakarta
Rees, J.A.,2008. “Urban Water and Sanitation Services; An IWRM Approach”. Global Water
partnership Technical Committee.
Straskraba,M and Tundisi, J.G. “Guidelines of Lake Management Volume 9: Reservoir Water
Quality Management”, ILEC,1999
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
4-14
Sumarwoto,O.2004. “Pengelolaan Jaring Apung. Seminar Pengelolaan Waduk dan Danau”.
Seminar Pengelolaan Waduk dan Danau, 12 Oktober, Puslitbang SDA
Wiadnyana, N,N., 1996, Mikroalga berbahaya di Indonesia. Oseanology dan Limnology di
Indonesia, 29, 15 – 28.
Zahidah , 2007. “Komunitas Fitoplankton di Zona Karamba Jaring Apung (KJA) dan Non KJA di
Waduk Cirata”, Laporan Teknis Fakultas Perikanan dan Kelautan UNPAD, Bandung.
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…
5-1
BAB V
PEMODELAN EUTROFIKASI
5.1 Korelasi Parameter Eutrofikasi
Tingkat kesuburan perairan danau atau waduk dapat dihitung berdasarkan beberapa
parameter yang sangat berpengaruh terhadap kesuburan danau sesuai dengan perhitungan
Indeks Status Trofik atau Trofik Status Index (TSI), yaitu Total Fosfor, klorofil-a, dan kecerahan
menggunakan pengukuran cakram sechi (Sechi Disk).
Penentuan ketiga parameter tersebut berdasarkan adanya keterkaitan yang erat dari
masing-masing parameter, dimana unsur pencemar yang masuk ke perairan danau yang berupa
fosfor akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan fitoplankton pada perairan tersebut, yang
ditandai dengan adanya konsentrasi klorofil-a. Kepadatan klorofil-a tersebut akan menyebabkan
terhambatnya cahaya yang masuk kedalam perairan danau yang ditandai dengan makin
rendahnya kecerahan perairan. Hubungan antara kadar Total Fosfor (TP) dengan konsentrasi
klorofil-a memiliki korelasi positif seperti ditunjukkan pada Gambar 5.1, sedangkan korelasi
antara kosnentrasi klorofil-a dengan transparansi terlihat pada Gambar 5.2.
Gambar 5.1 Korelasi antara fosfor dan klorofil-a (Bartsch &Gaksleter,1978 pada Chapra, 1997)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
5-2
Gambar 5.2 Korelasi transparansi (kedalaman Sechi) dan klorofil-a (Rast & Lee,1978 pada Chapra, 1997)
Gambar 5.3 Pendekatan skematik untuk memprediksi variable status trofik berdasarkan prediksi model beban fosfor (Chapra,1997)
Gambar 5.3 menunjukkan skema penentuan status eutrofik melalui suatu model korelasi
antara konsentrasi senyawa fosphor, transparansi dan klorofil-a.