evaluasi area kebakaran lahan dan hutan berbasis …
TRANSCRIPT
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
19
EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS HOTSPOT CITRA MODIS
Evaluation of Land and Fores Fire Area Based of Hotspot Modis Imagery
Sahrul S. Adam1, Hernita Pasongli2 1Pascasarjana Pendidikan Geografi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
2Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Khairun, Ternate
e-mail: *[email protected], [email protected]
1. Pendahuluan
Persoalan kebakaran lahan dan hutan menjadi semakin beragam mulai dari faktor alami hingga
buatan manusia. Kebakaran hutan memiliki dampak cukup besar terhadap sistem hidrologi, degradasi
lahan, banjir dan erosi tanah [1], hilangnya keanekaragaman hayati, hingga degradasi hutan dan lahan
[2]. Faktor utama penyebab kebakaran tak lepas dari kondisi hutan dan lahan seperti kerapatan
vegetasi, jenis vegetasi, limbah hasil penebangan pohon, kondisi topografi, hingga perilaku manusia.
Bertolak dari situasi inilah menejmen evaluasi kebakaran membutuhkan instrument yang beragam
sehingga titik tumpuh pengambilan keputusan terkait pencegahan kebakaran lahan menjadi lebih
akurat.
Pemanfaatan citra Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) untuk menejmen
kebakaran hutan di mulai sejak tahun 1999, sebagai bagian dari Earth Observing System (EOS)
NASA. Data MODIS menjadi salah satu platform yang mengandalkan satelit Terra (pagi) dan Aqua
(sore) yang memiliki fitur spesifik untuk pemantauan kebakaran dan digunakan secara sistematis [3].
MODIS Fire Products dirancang untuk memberikan informasi dan menguji dua jenis produk api:
produk api aktif yang memberikan lokasi api yang terbakar dan produk area terbakar yang
memberikan tingkat bekas luka bakar selama periode waktu tertentu [4]. Algoritma kebakaran aktif
Abstract
Land and forest fires in Malifut sub-district, North Halmahera that occurred in 2015 were the largest
fires in the last 20 years, these fires have consumed most of the land and forest areas. The extent of land and
forest areas is a challenge in predicting and anticipating fires. For this reason, the use of hotspot information
becomes an important part of monitoring new possibilities related to fire in the following years. This study
aims to identify land and forest fires by testing the distribution of hotspots resulting from the interpretation of
MODIS imagery on fire hazard maps and maps of land and forest cover in Malifut sub-district. The method
used is descriptive with scoring and overlays as techniques of data analysis. Data processing uses ArcGIS
software version 10.6 by performing mathematical operations and shapefile hotspot data inputting. The
results of this study show that there are a total of 54 hotspots in Malifut sub-district, of which 48 hotspots
(88.89%) are spread in high-hazard areas, in the medium class as many as 6 hotspots (11.11%) and low class
no hotspots (0%). For the results of the identification of the distribution of hotspots on the land cover map, it
is found that the highest distribution of hotspots is on dry land agriculture with 34 hotspots (62.96%), shrub
land with 11 hotspots (20.37%), production forests with 7 hotspots (12.96%), and forests secondary dry land
and settlement each have 1 hotspot (1.85%).
Keywords— Hotspot, MODIS, land and forest fire
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
20
menggunakan beberapa saluran untuk mendeteksi anomali termal berdasarkan per-pixel, yang selain
kebakaran, termasuk titik panas (hotspot), sumber titik bersuhu tinggi, seperti suar gas dan
pembangkit listrik.
Titik panas atau hotspot adalah piksel citra satelit dengan intensitas inframerah tinggi yang
mengindikasikan sumber panas. Hotspot dapat mewakili satu titik api atau menjadi salah satu dari
beberapa hotspot yang mewakili api yang lebih besar. Dalam kajian kerawanan kebakran lahan dan
hutan, He et al., (seperti dikutip oleh [5]) mengidentifikasi tiga persyaratan utama untuk mengelola
risiko kebakaran hutan yaitu (1) identifikasi hotspot, (2) evaluasi probabilitas risiko, dan (3) langkah-
langkah untuk mengurangi risiko. Persyaratan utama ini secara praktis selaras dengan strategi yang
diusulkan oleh beberapa penulis dalam mengevaluasi risiko kebakaran hutan menggunakan Sistem
Informasi Geografis (SIG). Sebagian besar peneliti mempelajari potensi risiko melalui pemetaan titik
api hutan agar dapat bermanfaat dan untuk meningkatkan kekuatan kendali saat ini dan langkah-
langkah pencegahan.
Permenhut No. P.12/Menhut-II/2009 menyebutkan bahwa hotspot adalah indikator kebakaran
hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu
disekitarnya. Sehingga identifikasi awal kebakaran menurut [6] diperoleh melalui data hotspot.
Dengan demikian, hotspot dapat digunakan sebagai indikator atau kebakaran hutan dan lahan di suatu
wilayah, sehingga semakin banyak titik hotspot, semakin banyak pula potensi kejadian kebakaran
lahan di suatu wilayah. Definisi lain, hotspot adalah hasil deteksi kebakaran hutan/lahan pada ukuran
piksel tertentu (misal 1 km x 1 km) yang kemungkinan terbakar pada saat satelit melintas pada
kondisi relatif bebas awan dengan menggunakan algoritma tertentu [7], seperti instrumen
gelombang infra merah, menengah dan gelombang panjang 1 km yang dirancang khusus untuk
pengamatan kebakaran aktif (Kufman, dikutip oleh [8]. Dengan data titik panas ini dapat
diindikasikan sebagai lokasi terjadi kebakaran kebakaran.
Persoalan terkait deteksi hotspot adalah tidak semua kebakaran dapat diidentifikasi dari citra
satelit, baik karena kebakaran terlalu kecil [9], atau karena tutupan awan mengaburkan pandangan
satelit terhadap permukaan tanah [10]. Atau dalam arsip data kebakaran, ada beberapa hari di mana
data tidak dikumpulkan dan hari-hari dengan jumlah kebakaran yang lebih rendah dari biasanya dan
juga karena alasan seperti pemadaman sensor [11]. Sehingga ada kemungkinan omission error (ada
kebakaran tetapi tidak ada hotspot) dan commision error (ada hotspot tetapi tidak dideteksi adanya
kebakaran) [12]. Secara kontekstual, satelit mengambil 'snapshot' peristiwa saat melewati bumi.
Setiap hotspot / deteksi kebakaran aktif mewakili pusat piksel yang ditandai mengandung satu atau
lebih kebakaran, atau anomali termal lainnya. Untuk MODIS pikselnya sekitar 1 km. Untuk lokasi api
adalah titik tengah piksel (tidak harus koordinat api yang sebenarnya). Ukuran piksel aktual bervariasi
sesuai dengan pemindaian dan trek. Sehingga kemungkinan api seringkali kurang dari ukuran piksel.
Disini kita tidak dapat menentukan ukuran api yang tepat, akan tetapi bahwa setidaknya satu titik api
berada di dalam piksel yang terdeteksi.
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
21
Gambar 1. Model Analasis Hotspot MODIS.
Gambar 1 merupakan gambaran mengenai beberapa kebakaran aktif dalam satu garis hotspot
yang biasanya mewakili front api. Algoritma MODIS memeriksa setiap piksel dari petak MODIS, dan
akhirnya memberikan masing-masing kelas seperti data yang hilang, cloud, air, api, non-api, atau
tidak diketahui. Sehingga untuk menghindari nilai eror maka deteksi kebakaran dilakukan dengan
menggunakan algoritma kontekstual yang mengeksploitasi kuatnya radiasi inframerah-menengah dari
kebakaran [11]. Untuk itu, dengan keterbatas serta kelebihan dari data-data inilah dibutuhkan analisis
dan pendekatan yang bersifat kontinyu baik observasi lapangan dan pembuatan model peta kerawanan
dengan pendekatan kondisi fisik lokasi.
Beberapa literatur membutuhkan pendekatan matematis untuk menguji apakah hotspot yang
tampak merupakan benar-benar titik api atau bukan. LAPAN Indonesia menggunakan interval nilai
untuk mengidentifikasi tingkat kepercayaan hotspot berdasarkan tiga skala penilaian, yakni hijau
C(%) ≤ 29%, kuning 30% ≤ C(%) ≤ 79%, dan merah C(%) ≥ 80% [13]. Fire Information For
Resource Management System (FIRMS) dan [14] menggunakan skala kepercayaan yang diadopsi dari
jurnal An Enhanced Contextual Fire Detection Algorithm for MODIS yang ditulis oleh [7] yang
membagi tingkat kepercayaan hotspot melalui MODIS Active Fire Product User's Guide ke dalam
tiga kelas, yakni 0% ≤ C < 30% ‘perlu diperhatikan’, 30% ≤ C < 80% ‘waspada’, dan 80% ≤ C ≤
100% ‘segera penanggulangan’. Sehingga semakin tinggi nilai kepercayaan hotspot yang diperoleh
menunjukkan bahwa hotspot tersebut merupakan benar-benar titik api.
Penelitian ini tidak dibatasi berdasarkan tingkat kepercayaan hotspot, sehingga setiap hotspot
yang tampak akan dianggap sebagai titik api atau kemungkinan titik api dengan berdasarkan pada area
kemunculan hotspot tersebut. Untuk itu, analisis yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data
hotspot dari MODIS FIRMS dengan tujuan mengidentifikasi sebaran hotspot pada peta tutupan lahan
dan identifikasi sebaran hotspot pada peta rawan kebakaran. Menurut Vetrita (seperti dikutip oleh
[15]), sumber data MODIS FIRMS dengan berbagai confidence level memberikan tingkat akurasi
tertinggi dibandingkan sumber data lainnya, hal tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya korelasi
yang erat dalam pendeteksian kebakaran di wilayah studi dari berbagai level confidential [16]. Tujuan
mengidentifikasi sebaran hotspot pada kedua jenis peta ini untuk analisis lebih lanjut mengenai
keberadaan dan latar belakang kemunculan hotspot tersebut dengan berdasarkan kajian teori dan
penelitian terdahulu. Sehingga tingkat kepercayaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
22
berdasarkan hasil analisis deskriptif dan di dukung oleh studi literatur.
2. Metode Penelitian
Wilayah penelitian meliputi kawasan hutan dan lahan Kecamatan Malifut, Kabupaten Halmahera
Utara, Provinsi Maluku Utara. Aktivitas kebakaran permukaan lahan dan luas area terbakar tidak
dikumpulkan karena area permukaan yang luas untuk disurvei. Untuk itu, identifikasi aktivitas
kebakaran bergantung pada data hasil citra satelit menggunakan data MODIS (Terra dan Aqua). Titik
panas yang terdeteksi oleh sensor MODIS digunakan untuk mengidentifikasi aktivitas kebakaran pada
peta kerawanan kebakaran dan tutupan lahan.
Gambar 2. Peta Area Studi
2.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peta tematik berupa shapefile peta tutupan lahan, peta
curah hujan, peta jenis tanah dan peta batas administrasi desa tahun 2016 yang diterbitkan oleh Bappeda
Kabupaten Halmahera skala 1: 250.000 [17]. Untuk data sebaran hotspot diperoleh melalui website Fire
Information For Resource Management System (FIRMS) NASA yang tersedia di alamat
https://firms.modaps.eosdis.nasa.gov/ dan data hasil interpretasi citra MODIS dari Global Forest Watch Fires di
https://fires.globalforestwatch.org/ akuisisi tahun 2015.
2.2 Metode
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan survei untuk pengamatan
wilayah penelitian dan pengumpulan data. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni
penelitian kepustakaan (library research), yaitu dilakukan dengan mempelajari teori dan konsep yang
sehubungan dengan masalah yang diteliti pada buku, jurnal, atau laporan hasil penelitian, guna
memperoleh landasan teoritis untuk melakukan pembahasan. Dan penelitian lapangan (field research)
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
23
yakni pengumpulan data dengan melakukan survey di lokasi penelitian.
Teknik pengolahan data ini menggunakan software ArcGIS versi 10.6 dengan tekhnik scoring dan
overlay. Tekhnik skoring merupakan tahap penentuan skor masing-masing variable kerawanan
kebakaran lahan diantaranya data tutupan lahan, jenis tanah, dan curah hujan. Variable kerawanan ini
diadaptasi dari standard yang digunakan dalam Indeks Risiko Bencana Indonesia [18], dan untuk
klasifikasi jenis tutupan lahan yang digunakan adalah reklasifikasi menurut Rucker (seperti yang
dikutip oleh [19]) dan hasil studi literatur. Tahap selanjutnya adalah kalkulasi melalui tekhnik overlay.
Tekhnik overlay merupakan menggabungkan dua lapisan untuk membuat kelas fitur keluaran baru
yang berisi informasi dari kedua input [20]. Tahap overlay dengan menggunakan persamaan
sederhana berikut.
Ik = [a*(Stl)] + [b*(Sch)] + [c*(Sjt)]
Keterangan:
Ik = Indeks kerawanan
Stl = Skor tutupan ahan
Sch = Skor curah hujan
Sjt = Skor jenis tanah
a,b,c = Koefisien
Tabel 1. Reklasifikasi dan Skoring Parameter Kerawanan Kebakaran Lahan dan Hutan
Parameter Skor
Bobot 1 2 3
Tutupan
lahan
Mangrove
primer, tanah
terbuka/ lahan
kosong
Mangrove
sekunder, Hutan
produksi,
Perkebunan
Pemukiman, Belukar
rawa, hutan lahan
kering sekunder,
pertanian lahan kering,
semak belukar
40%
Curah hujan
(mm/ tahun) >3000 1500 - 3000 <1500 40%
Jenis tanah Mineral Semi organik Organic/ gambut 20%
Penentuan skor interval masing-masing jenis indikator dilakukan menggunakan nilai indeks per
kelas kerawanan yakni kelas rendah, kelas sedang, dan kelas tinggi. Penentuan kelas tiap parameter
dilakukan dengan metode kelas dikali bobot masing-masing kelas. Berikut formula interval kelas
kerawanan kebakaran lahan dan hutan.
Interval = 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠−𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑖𝑛
𝐾𝑒𝑙𝑎𝑠
Tabel 2. Penentuan Kelas Kerawanan Kebakaran Lahan dan Hutan
Kelas Bobot Total Keterangan Warna
1 100 - ≤ 150 Rawan rendah Kuning
2 ≥ 160 - ≤ 210 Rawan sedang Orange
3 ≥ 220 - ≤ 300 Rawan tinggi Merah
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
24
Setelah overlay dan penginputan data hotspot, hasil akhir dari analisis ini berupa produk peta hasil
pemetaan sebaran hotspot pada area rawan kebakaran lahan dan sebaran hotspot pada area tutupan
lahan di kecamatan Malifut, Halmahera Utara.
Gambar 3. Alur Analisis Data dan Pembuatan Peta.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Studi Wilayah
Kawasan kecamatan Malifut memiliki luas total 35,122.2 hektar yang sebagian besar merupakan
kawasan hutan dan area perkebunan. Secara umum, lahan dan hutan di kecamatan Malifut dapat
dikelompokkan ke dalam beberapa kriteria diantaranya, penggunaan dan penguasaan lahan milik
pribadi, kawasan hutan milik komunitas hukum adat, milik korporasi dan milik Negara. Bagi
masyarakat petani, luasan lahan yang digunakan inipun tentunya terus mengalami perubahan. Hal ini
disebabkan karena masyarakat kecamatan Malifut mayoritas adalah petani/ pekebun dengan
persentase keluarga tani sebesar 76%. Usaha tani yang dijumpai adalah petani pala, cengkih, kelapa,
kopi dan tanaman bulanan lain. Sejak tahun 1997 terjadi perubahan status fungsi kawasan hutan oleh
pemerintah Indonesia dan sebagian besar dijadikan kawasan eksplorasi dan produksi pertambangan.
Perubahan luas kawasan terus terjadi seiring dengan perubahan kontrak karya wilayah ekplorasi
pertambangan setempat.
Gambar 4. Grafik Luas Tutupan Lahan di Kecamatan Malifut.
0,19 0,22 2,96 0,27 1,4111,12
18,2925,4
40,1
Grafik luas tutupan lahan (%)
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
25
Kebakaran besar-besaran di Kecamatan Malifut sudah terjadi tiga kali dalam rentang 15 tahun
terakhir. Kebakaran tidak terkendali terakhir kali terjadi pada tahun 2015. Kebakaran ini bertahan
lebih dari dua bulan yang menghabiskan sebagian besar kawasan hutan dan lahan. Kebakaran
menyebabkan kerugian ekonomi disebabkan kebakaran yang menghabiskan tanaman perkebunan
warga yang memasuki usia produktif. Kebakaran selanjutnya merambat pada area hutan adat dan
hutan produksi dimana kawasan ini berulang kali dilakukan penebangan liar oleh masyarakat
setempat.
Kondisi iklim dan curah hujan di kecamatan Malifut berkisar antara 1500 - 3000 mm hujan per
tahun. Curah hujan paling besar terlihat pada bulan mei dengan rata-rata 246 mm, sedangkan bulan
terkering terjadi pada oktober dengan kisaran 128 mm hujan. Perbedaan presipitasi antara bulan
terkering dan bulan terbasah adalah 139 mm.
Gambar 5. Grafik Curah Hujan dan Hari Hujan di Kecamatan Malifut Periode 2011 - 2015.
2 962,00
2 491,002 713,00
1 811,00
913,40
2011 2012 2013 2014 2015
Curah hujan (mm)/ tahun
239,00
181,00
215,00
183,00
127,00
2011 2012 2013 2014 2015
Hari hujan (hari)/ tahun
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
26
Kelembaban udara di kecamatan Malifut rata-rata sebesar 89,91, dimana suhu udara rata-rata
tahunan berkisar 26.22 °C. November merupakan bulan terhangat sepanjang tahun dengan suhu rata-
rata mencapai 26.9 °C dan bulan maret merupakan bulan dengan suhu terendah yang berkisar antara
25.9 °C. Variasi suhu sepanjang tahun adalah 1.0 °C, dengan lama penyinaran matahari rata-rata
sebesar 50,33. Untuk jenis tanah di Kecamatan Malifut diklasifikasikan dalam jenis tanah mineral/
non organik yang meliputi jenis tanah dystropepts seluas 32,583.82 ha, hydraquents seluas 1,641.87
ha, tropaquepts seluas 2,106.28 ha, dan jenis tanah tropopsamment seluas 59.50 ha.
3.2. Analisis Sebaran Hotspot
Hasil analisis jumlah sebaran hotspot citra MODIS yang terdeteksi di kecamatan Malifut (gambar
6) memperlihatkan bahwa bulan yang tidak terdapat hotspot yakni bulan januari, maret, april, mei,
juni, November dan bulan desember. Sehingga hotspot hanya tampak pada bulan februari, juli,
agustus, September dan oktober. Jumlah hotspot pada bulan februari terdapat 1 hotspot, bulan juli
terdapat 2 hotpsot, pada bulan agustus terdapat 2 hotspot, pada bulan september hotspot terus
meningkat mencapai 10 hotspot, hingga memasuki bulan oktober jumlah hotspot dibulan ini mencapai
39 hotspot dengan jumlah total hotspot di tahun 2015 sebanyak 54 hotspot.
Gambar 6. Kenampakan Hotspot di Kecamatan Malifut Tahun 2015
Puncak kenampakan kepadatan hotspot terjadi pada september dan oktober, dimana pada bulan
ini juga memasuki musim panas akibat fenomena elnino yang menyebabkan berkurangnya curah
hujan di sebagain besar wilayah Indonesia terutama di daerah Sumatra bagian selatan, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku Utara, serta Papua yang
berlangsung pada bulan september hingga nopember (Mulyana, sebagaimana dikutip oleh [22]).
Jika sebaran hotspot pada gambar 6 diatas diuji berdasarkan pada nilai confidence/ tingkat
kepercayaan dengan menggunakan panduan dari MODIS Active Fire Product User's Guide maka
hasilnya dapat dijelaskan bahwa sebagian besar hotspot berada pada kelas kepercayaan ‘sedang’
hingga ‘tinggi’.
Gambar 7 memperlihatkan bahwa dari total 54 hotspot, terdapt 4 yang berada pada kepercayaan
<30% atau ‘perlu diperhatikan’, hotspot yang berstatus ‘waspada’ dengan kepercayaan antara ≥30%
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Jum
lah
ho
tsp
ot
Bulan
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
27
– ≤80% berjumlah 20 hotspot, dan hotspot yang berada pada kepercayaan >80% dengan status
‘segera penanggulangan’ berjumlah 30 hotspot.
Gambar 7. Hotspot Berdasarkan Tingkat Kepercayaan di Kecamatan Malifut.
Dari data ini dapat diketahui bahwa seiring menigkatnya jumlah hotspot, nilai kepercayaan juga
ikut meningkat. Data citra satelit berikut memperlihatkan konsistensi antara data shapefile hotspot
dengan data hasil interpretasi citra satelit MODIS di kecamatan Malifut dan skitarnya, sehingga
keputusan dalam penelitian ini untuk menggunakan secara keseluruhan data sebaran hotspot tersebut
dengan asumsi bahwa titik hotspot tersebut merupakan titik api atau kemungkinan titik api. [23]
Gambar 8. Hotspot Hasil Interpretasi Citra MODIS Tahun 2015 di Kecamatan Malifut
Gambar 8 merupakan sebaran hotspot hasil interpretasi citra MODIS akuisisi tahun 2015 yang
Acquisition date
0
20
40
60
80
100
120
12
/02
/20
15
20
/07
/20
15
26
/08
/20
15
04
/09
/20
15
04
/09
/20
15
20
/09
/20
15
22
/09
/20
15
25
/09
/20
15
01
/10
/20
15
02
/10
/20
15
10
/10
/20
15
11
/10
/20
15
11
/10
/20
15
12
/10
/20
15
13
/10
/20
15
18
/10
/20
15
19
/10
/20
15
20
/10
/20
15
20/1
0/2
015
20
/10
/20
15
22
/10
/20
15
22
/10
/20
15
22
/10
/20
15
22
/10
/20
15
27
/10
/20
15
29
/10
/20
15
29
/10
/20
15
Co
nfi
den
ce
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
28
diperoleh melalui Global Forest Watch Fire yang juga bergerak dibidang pemantauan dan moitoring
aktifitas kebakaran lahan dan hutan. Dapat diketahui bahwa hotspot menyebar tidak hanya di
kecamatan Malifut, tetapi juga hampir di semua area hutan dan lahan di pulau Halmahera, Maluku
Utara.
3.3. Hasil Analisis Sebaran Hotspot
Hasil analisis dan pembuatan peta kerawanan kabakaran lahan dan hutan di kecamatan Malifut,
kaupaten Halmahera Utara memperlihatkan secara spesifik bahwa kelas kerawanan yang
mendominasi di area lahan dan hutan kecamatan malifut merupakan kelas rawan tinggi dan kelas
rawan sedang. Sedangkan hasil sebaran hotspot paling banyak berada pada kelas rawan tinggi
sebanyak 48 hotspot, untuk kelas kerawanan kebakaran sedang terdapat sebanyak 6 hotspot, dan pada
kelas kerawanan kebakaran rendah tidak terdapat hotspot.
Gambar 9. Sebaran Hotspot pada Peta Kerawanan Kebakaran Lahan dan Hutan Kecamatan Malifut
Tingginya sebaran hotspot pada zon rawan tinggi tidak lepas dari kondisi fisik atau vegetasi di
kecamatan Malifut. Hasil pemetaan ini memperlihatkan konsistensi antara vegetasi yang mudah
terbakar serta dominannya aktifitas perkebunan menambah indeks rawan kebakaran yang tinggi.
Sebab jika ditinjau dari segi jenis tanah dan curah hujan di kecamatan Malifut secara umum kedua
variable ini tidak terlalu signifikan dalam menentukan indeks rawan kebakaran. Sebab di kecamatan
Malifut memiliki tanah mineral dan curah hujan yang cukup tinggi berdasarkan pada hasil skoring.
Meskipun demikian, ada situasi dimana fenomena elnino yang menyebabkan curah hujan menjadi
sangat kering dalam periode tertentu sehingga berimplikasi pada kebakaran di kecamatan Malifut.
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
29
Tabel 3. Jumlah Sebaran Hotspot pada Peta Rawan Kebakaran di Kecamatan Malifut
Kelas kerawanan
kebakaran Luas (ha)
Jumlah
Hotspot
Sebaran
hotspot (%)
Rawan Rendah 1,118.4 0 0.00
Rawan Sedang 13,601.9 6 11.11
Rawan Tinggi 20,401.9 48 88.89
Total 35,122.2 54 100
Sebaran hotspot pada peta kelas kerawanan kebakaran disini terlihat dimana kelas kerawanan
tinggi merupakan yang terluas sebesar 58.08% atau seluas 20,401.9 ha dengan persentase sebaran
hotspot sebesar 88.89%. Sedangkan kelas kerawanan sedang sebesar 38.72% atau seluas 13,601.9 ha
dengan sebaran hotspot sebesar 11.11%, dan kelas kerawanan rendah sebesar 3.18% atau 1,118.4 ha
dan tidak terdapat hotspot atau persentase 0.00%. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa cukup
akurat antara hasil pemetaan kerawanan dengan hasil uji distribusi sebaran hotspot pada masing-
masing kelas kerawanan kebakaran lahan dan hutan.
Hasil identifikasi sebaran hotspot pada peta tutupan lahan yang ada di kecamatan Malifut hanya
ada 5 dari 9 jenis tutupan lahan yang terdapat hotspot. Sebaran hotspot tertinggi terdapat di tutupan
lahan pertanian lahan kering sebanyak 34 hotspot. Lahan semak belukar terdapat 11 hotspot, untuk
tutupan lahan hutan produksi terdapat 7 hotspot dan tutupan lahan hutan lahan kering sekunder dan
pemukiman masing-masing terdapat 1 hotspot. Untuk tutupan lahan hutan mangrove primer,
mangrove sekunder, tanah terbuka dan belukar rawa tidak ada kenampakan hotspot.
Gambar 10. Kenampakan sebaran hotspot pada jenis tutupan lahan kecamatan di Malifut
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
30
Hasil sebaran hotspot pada area tutupan lahan yang ada di kecamatan Malifut sebagian sebaran
hotspot tertinggi terdapat pada jenis tutupan lahan pertanian lahan kering sebanyak 34 hotspot.
Penyebaran hotspot tidak terlepas dari jenis vegetasi yang ada pada tutupan lahan tersebut dan juga
kecenderungan dilakukannya aktifitas perkebunan. Kondisi ini di dorong dengan budaya dan
pandangan masyarakat dengan pola pembukaan lahan yang masih mengandalkan tebas bakar pada
waktu musim kemarau untuk persiapan lahan pertanian pada musim penghujan [24]. Fenomena
kebakaran yang diidentifikasi oleh [25] mempelihatkan bahwa padang rumput lebih sering terbakar
daripada lahan pertanian aktif maupun tutupan lahan lainnya hal ini dikarenakan padang rumput
menyediakan bahan bakar yang melimpah dan juga mudah terbakar, karena api masih digunakan
sebagai mekanisme untuk membuka area yang cocok untuk pertanian. Meskipun sebagian dari
kebakaran yang terjadi di kecamatan Malifut memiliki dampak positif bagi para pekebun dikarenakan
tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah sehingga membuka lahan dengan cara membakar
menjadi alternative yang cepat, mudah, murah, serta tidak membutuhkan banyak tenaga. Hal ini
berarti bahwa relasi antara kebakaran lahan dengan kekuatan ekonomi terlihat sangat kuat, dimana
factor kemiskinan menjadi persoalan utama yang mendorong masyarakat miskin membuka hutan dan
lahan dengan cara membakar [26].Sehingga terdapat keterkaitan antara kemunculan titik panas yang
kontinyu dengan perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Kemunculan titik panas yang kontinyu
bisa terjadi dalam jangka waktu yang panjang dan jangka waktu yang relatif singkat. Tetapi
kemunculannya yang kontinyu menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi
lahan perkebunan [27]. Untuk itu, pola kemunculan hotspot yang konsisten memungkinkan pola
perubahan lahan akan tetap berlangsung dan potensi keakaran yang lebih besar.
Tabel 4. Sebaran Hotspot pada Tutupan Lahan daan Hutan di Kecamatan Malifut
Tutupan lahan Luas (ha) Jumlah
hotspot
Sebaran
hotspot (%)
Hutan produksi 14,084.8 7 12.96
Pertanian lahan keing 8,923.5 34 62.96
Hutan lahan kering sekunder 6,426 1 1.85
Semak belukar 3,907.1 11 20.37
Hutan mangrove primer 1,039.70 0 0
Pemukiman 497 1 1.85
Hutan mangrove sekunder 95.3 0 0
Tanah terbuka 78.7 0 0
Belukar rawa 70.1 0 0
Total 35,122.2 54 100
Sementara pada jenis tutupan lahan semak belukar terdapat 11 hotspot. Tren sebaran hotspot yang
diidentifikasi oleh [6] menunjukkan bahwa hotspot tertinggi mengikuti arah lahan yang tidak
digunakan untuk budidaya dan didominasi oleh semak belukar dalam rentang waktu 11 tahun (2005
hingga 2016), jumlah hotspot tertinggi selalu hadir dalam jenis semak belukar. Ini menunjukkan
bahwa pola pergerakan kebakaran hutan selalu mengikuti lahan semak belukar disebabkan semak
belukar merupakan bahan bakar yang strukturnya lebih halus sehingga lebih mudah terbakar
dibanding dengan jenis bahan terbakar yang lain [28]. Untuk hutan produksi terdapat 7 hotspot.
Kemunculan hotspot pada kawasan hutan produksi diduga merupakan hasil pembakaran yang
dilakukan oleh warga masyarakat sebab kawasan perkebunan yang berbatasan secara langsung dengan
hutan produksi sehingga kemungkinan titik api yang muncul di kawasan hutan produksi adalah api
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
31
yang berasal dari aktifitas pembakaran dari luar area hutan. Wardani (sebagaimana dikutip oleh [21])
bahwa bila hotspot terjadi di wilayah seperti HPH, HTI atau perkebunan, maka kemungkinan besar
merupakan kebakaran. Untuk hutan lahan kering sekunder dan pemukiman terdapat masing-masing 1
hotspot. Biasanya hotspot yang terletak di daerah pemukiman hanya merupakan pembakaran untuk
penyiapan lahan. Sehingga dalam hal ini, hotspot hanya mengidentifikasikan terjadinya panas atau
pembakaran (terkendali) dan belum tentu kebakaran (tidak terkendali) [21].
Pola pemanfaatan kawasan untuk perkebunan secara tak terkendali serta pembalakan liar
menjadikan kawasan lahan dan hutan di kecamatan Malifut dalam kondisi yang rentan terbakar.
Kerentanan kebakaran mengarah pada pembukaan lahan perkebunan dengan cara tebas-bakar sebab
diketahui bahwa sebagian besar titik api bersumber dari area perkebunan yang merambat ke kawasan
hutan produksi dan hutan lahan kering sekunder. Persoalan serupa ditemukan oleh [28] bahwa
kawasan hutan lindung memiliki tingkat kepadatan hotspot terendah. Tingginya kepadatan hotspot di
kawasan hutan tanaman industri diduga disebabkan oleh aktifitas penyiapan lahan HTI dengan cara
membakar. Selain itu, aktifitas pembakaran di sekitar kawasan HTI juga diduga merembet ke luar
area HTI sehingga terjadi kebakaran di luar area HTI. Untuk itu, menurut Putri (seperti yang dikutip
oleh [21]) bahwa mayoritas sebaran titik panas pada areal penutupan lahan paling tinggi terdapat pada
penutupan berupa hutan yaitu hak pengusahaan hutan (HPH). Tingginya jumlah titik panas pada HPH
tersebut di duga terjadi karena adanya kegiatan pembukaan lahan dengan cara pembakaran di dalam
maupun diluar areal HPH tersebut.
Merambatnya api dari area perkebunan ke area hutan produksi dan hutan lahan kering sekunder
menyebabkan masyarakat lebih memilih memandamkan api sebatas area perkebunan masing-masing.
Alasan masyarakat memilih untuk tidak memadamkan api di kawasan hutan liar disebabkan karena
keterbatasan dalam memobilisasi sumber daya manusia maupun ekonomi untuk memadamkan api di
kawasan hutan yang cukup luas dan jauh. Mengingat bahwa luas hutan prduksi yang mencapai
14,084.76 ha dan hutan lahan kering sekunder seluas 6,425.98 ha menghasilkan tantangan tersendiri
bagi masyarakat. Persoalan lainnya adalah track/ jalur menuju kawasan hutan yang cukup rumit
menjadi dasar kerentanan masyarakat untuk memadamkan api. Secara sepintas hasil ini sejalan
dengan yang ditemukan oleh Mercer dan Prestemon (seperti yang dikutip oleh [29]) menemukan
hubungan positif antara kemiskinan dan luas lahan liar yang terbakar dan intensitas kebakaran di
daratan liar, menunjukkan bahwa begitu kebakaran hutan liar dinyalakan, masyarakat miskin memiliki
lebih sedikit sumber daya untuk memadamkan api.
Persoalan lain yang muncul di kawasan hutan kecamatan Malifut adalah pembalakan dan
penebangan liar secara terus menerus. Pembalakan secara liar ini disebabkan karena kebutuhan akan
permintaan kayu untuk pembuatan perkakas rumah, kursi, meja, kayu bakar dan konstruksi rumah
yang terus menerus tentu mengarah pada degradasi kondisi fisik lahan dan hutan lebih rentan terjadi
kebakaran. Dikutip dari [30] bahwa terdegradasinya hutan terutama disebabkan oleh eksploitasi kayu
baik secara legal maupun illegal dan konversi untuk perkebunan/ HTI, persawahan dan transmigrasi
menyebabkan hilangnya tajuk atau kanopi pohon besar berimplikasi pada kondisi hutan menjadi lebih
terbuka terhadap sinar matahari dan iklim mikro menjadi lebih kering.
Secara garis besar hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa jejak hotspot pada hasil pemetaan
zona rawan kebakaran dan peta tutupan lahan pada umumnya bersumber dari lahan perkebunan
masyarakat dan sekaligus merupakan gambaran mengenai lemahya pengawasan dan penegakan
hukum terhadap masyarakat yang membuka lahan dengan cara tebas-bakar menambah jumlah
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
32
kebakaran lebih rentan terjadi. Pembukaan lahan yang dilaksanakan dengan membakar dalam sekala
besar dapat menjadi sulit terkendali. Yang artinya bahwa dengan menjaga dan mengendalikan
pembakaran di kawasan perkebunan sekaligus menjaga kemungkinan api yang menjalar ke kawasan
hutan liar bisa teratasi sehingga upaya pencegahan agar bencana kebakaran lahan semacam ini tidak
akan terulang di tahun-tahun berikutnya.
4. Kesimpulan
Identifikasi sebaran hotspot pada tipe penutupan lahan yang ada di kecamatan Malifut hanya ada
5 dari 9 jenis tutupan lahan yang terdapat hotspot. Sebaran hotspot tertinggi terdapat di pertanian
lahan kering sebanyak 34 hotspot (62.96%), semak belukar terdapat 11 hotspot (20.37%), untuk hutan
produksi terdapat 7 hotspot (12.96%) dan hutan lahan kering sekunder dan pemukiman terdapat
masing-masing menyumbang 1 hotspot (1.85%). Terlihat pada peta kerawanan tinggi terdapat 48
hotspot (88.89%) kerawanan sedang terdapat 6 hotspot (11.11%), dan kelas kerawanan rendah tidak
terdapat hotspot atau 0.00%. Tingginya sebaran hotspot pada peta rawan sedang hingga tinggi, dan
tingginya sebaran hotspot pada area tutupan lahan merupakan gambaran bahwa terdapat hubungan
yang kuat antara praktek penggunaan lahan, kondisi vegetasi, kemunculan hotspot serta potensi
kebakaran dari waktu ke waktu.
Tren persebaran hotspot pada umumnya teridentifikasi muncul pada jenis tutupan lahan dan
vegetasi yang lebih mudah terbakar. Karena kondisinya vegetasi yang mudah dibakar, masyarakat
berupaya memanfaatkan situasi ini tanpa melihat risiko yang akan tejadi. Ditambah lagi praktek
permbalakan dan pembukaan lahan dengan metode tebas bakar masih menjadi persoalan utama
dimana perambatan titik api ke dalam lokasi perkebunan maupun menyebar ke kawasan hutan yang
berbatasan dengan area perkebunan menjadi sulit teratasi. Untuk itu, pemanfaatan data hotspot dari
citra MODIS sangat penting dalam menejmen penanggulangan bencana kebakaran lahan dan hutan
khususnya pihak Badan Penanngulangan Bencana Daerah Halmahera Utara. Sebab dengan data ini,
monitoring serta evaluasi jejak kebakaran dapat diprediksi dengan pembuatan model peta kerawana
kebakaran lahan serta penempatan pos-pos penanggulangan kebakaran pada zona yang dianggap
rawan terjadi kebakaran lahan dan hutan.
DAFTAR REFERENSI
[1] D. Sugiyarto, K. Gandasasmita, and Lailan, “Analisis Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan di
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dengan Pemanfaatan Pemodelan Spasial,” Globe, vol.
15, no. 1, pp. 62–67, doi: 10.24895/MIG.2013.15-1.74, (2013).
[2] R. Ajin, A. Loghin, P. Vinod, and M. Jakob, “Forest Fire Risk Zone Mapping Using RS and
GIS Techniques: A Study in Achankovil Forest Division, Kerala, India,” J. Earth, Environ.
Heal. Sci., vol. 2, no. 3, pp. 109–115, doi: 10.4103/2423-7752.199288, (2016).
[3] D. Roy, L. Boschetti, C. Justice, and J. Ju, “The collection 5 MODIS burned area product -
Global evaluation by comparison with the MODIS active fire product,” Remote Sens. Environ.,
vol. 112, pp. 3690–3707, doi: 10.1016/j.rse.2008.05.013, (2008).
[4] C. Justice, L. Giglio, S. Korontzi, J. Owen, J. Morisette, and D. Roy, “The MODIS fire
products,” Remote Sens. Environ., vol. 83, pp. 244–262, doi: 10.1016/S0034-4257(02)00076-7,
(2002).
[5] S. Mohd Said, E. Zahran, and S. Shams, “Forest Fire Risk Assessment Using Hotspot Analysis
in GIS,” Open Civ. Eng. J., vol. 11, pp. 786–801, doi: 10.2174/1874149501711010786, (2017).
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
33
[6] T. Turmudi, P. Kardono, P. Hartanto, and Y. Ardhitasari, “Forest and Land Fire Prevention
Through the Hotspot Movement Pattern Approach,” IOP Conf. Ser. Earth Environ. Sci., vol.
123, no. 1, doi: 10.1088/1755-1315/123/1/012027, (2018).
[7] L. Giglio, J. Descloitres, C. Justice, and Y. Kaufman, “An Enhanced Contextual Fire Detection
Algorithm for MODIS,” Remote Sens. Environ., vol. 87, no. 2–3, pp. 273–282, doi:
10.1016/S0034-4257(03)00184-6, (2003).
[8] L. Giglio, I. Csiszar, and C. O. Justice, “Global Distribution and Seasonality of Active Fires as
Observed with the Terra and Aqua Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS)
Sensors,” J. Geophisical Res., vol. 111, pp. 1–12, 2006, doi: 10.1029/2005JG000142, (2006).
[9] L. Giglio, W. Schroeder, J. V. Hall, and C. O. Justice, MODIS Collection 6 Active Fire Product
User ’ s Guide Revision B, Version-2., vol. December. NASA, (2018).
[10] G. R. C. of Canada, “Fire M3 Hotspots,” Natural Resources Canada, 2015.
https://www.nrcan.gc.ca/home (accessed Jun. 29, 2019).
[11] FIRMS, “FIRMS Frequently Asked Questions,” NASA, 2018. https://earthdata.nasa.gov/faq
(accessed Apr. 27, 2020).
[12] A. Zubaidah, Y. Vetrita, and M. Khomarudin, “Validasi Hotspot MODIS di Wilayah Sumatera
dan Kalimantan Berdasarkan Data Penginderaan Jauh Spot-4 Tahun 2012,” J. Penginderaan
Jauh, vol. 11, no. 1, pp. 1–14, 2014, [Online]. Available:
http://jurnal.lapan.go.id/index.php/jurnal_inderaja/article/view/2085, (2014).
[13] LAPAN, “Hotspot Informationas Forest/Land Fire’s,” LAPAN, 2016. http://modis-
catalog.lapan.go.id (accessed Apr. 27, 2020).
[14] Endrawati, Analisis Data Titik Panas (hotspot) dan Areal Kebakaran Lahan dan Hutan Hutan.
Jakarta: Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Ditjen Planologi
Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (2016).
[15] Endrawati., J. Purwanto, S. Nugroho, and A. S. Ruandha, “Identifikasi Areal Kebakaran Hutan
dan Lahan Menggunakan Analisis Semi Otomatis Citra Satelit Landsat,” in Seminar Nasional
Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan
Berkelanjutan, 2017, pp. 273–282, doi: 10.24895SNG.2-0.420, (2017).
[16] Y. Vetrita, A. Zubaidah, M. Priyatna, and K. D. . Sukowati, “Validasi Hotspot di Wilayah
Rawan Kebakaran Tahun 2012 : Kasus Lahan Gambut dan Kebakaran Kecil,” in Seminar
Nasional Penginderaan Jauh, 2014, pp. 491–497, [Online]. Available:
http://sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2014/prosiding/bukuprosiding_491-497.pdf, (2014).
[17] Bappeda, “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Halmahera Utara,”
Tobelo, Halmahera Utara, 2016. [Online]. Available: http://halmaherautarakab.go.id.
[18] BNPB, Risiko Bencana Indonesia (Disasters Risk of Indonesia), Oktober. Jakarta: Badan
Nasional Penanggulangan Bencana, (2016).
[19] A. Sabaraji, Identifikasi Zone Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan dengan Aplikasi SIG di
Kabupaten Kutai Timur. Samarinda: Universitas Mulawarman, (2005).
[20] M. Price, Mastering ArcGIS, Seventh Ed. New York: McGraw Hill Education, (2015).
[21] E. Septicorini, “Studi Penentuan Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan di Kabupaten Ogan
Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan,” IPB, (2006).
[22] M. Prayoga, A. Yananto, and D. Kusumo, “Analisis Korelasi Kerapatan Titik Api dengan
Curah Hujan di Pulau Suatera dan Kalimantan,” J. Sains Teknol. Modif. Cuaca, vol. 18, no. 1,
pp. 17–24, 2017, doi: 10.29122jstmc.v18i1.2037, (2017).
[23] GFWF, “Analyze Forest Fire,” Global Forest Watch Fire, 2019.
https://fires.globalforestwatch.org/map/ (accessed Jul. 10, 2019).
[24] S. S. Adam, M. . Rindarjono, and P. Karyanto, “Sistem Informasi Geografi Untuk Zonasi
Kerentanan Kebakaran Lahan dan Hutan di Kecamatan Malifut, Halmahera Utara,” J. Teknol.
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118
34
Inf. dan Ilmu Komput., vol. 6, no. 5, pp. 559–566, 2019, doi: 10.25126/jtiik.201961674, (2019).
[25] M. Ardiansyah, R. Boer, and A. Situmorang, “Typology of land and forest fire in South
Sumatra, Indonesia Based on Assessment of MODIS Data,” in Earth and Environmental
Science, 2017, vol. 54, no. 1, pp. 1–7, doi: 10.1088/1755-1315/54/1/012058, (2017).
[26] T. L. Solichin, P. Kiman, B. Firman, and R. Bagyono, “Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran:
South Sumatra Forest Fire Management Project,” Sumatera Selatan, (2007).
[27] H. . Januarisky, “Pola Sebaran Titik panas (hotspot) dan Keterkaitannya dengan Perubahan
Penggunaan Lahan (Studi Kasus Provinsi Kalimantan Barat),” IPB, 2012.
[28] J. I. Samsuri and L. Syafrina, “Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
(Studi Kasus Propinsi Kalimantan Tengah),” For. Indones. J. For., vol. 1, no. 1, pp. 12–18,
2012, [Online]. Available: https://media.neliti.com/media/publications/15360-ID-spatial-
model-of-land-and-forest-fire-risk-index-case-study-in-central-kalimanta.pdf, (2012).
[29] C. Gaither, N. Poudyal, S. Goodric, J. Bowker, S. Malone, and J. Gan, “Wildland fire risk and
social vulnerability in the Southeastern United States: An exploratory spatial data analysis
approach,” For. Policy Econ., vol. 13, pp. 24–36, 2011, doi: 10.1016/j.forpol.2010.07.009,
(2011).
[30] M. Tarigan, D. Nugroho, B. Firman, and A. Kunarso, “Pemutakhiran Peta Rawan Kebakaran
Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2015. Dokumen Standar Operasional
Prosedur untuk Pelaksanaan dan Pengelolaan Jaringan Data Spasial Kehutanan di Provinsi
Sumatera Selatan,” Palembang, (2016).