evaluasi rasionalitas peresepan berdasarkan por...
TRANSCRIPT
-
EVALUASI RASIONALITAS PERESEPAN BERDASARKAN POR
NASIONAL DI PUSKESMAS KECAMATAN NGEMPLAK, KABUPATEN
SLEMAN, D. I YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Fransisca Ina Soerja Prasetyowati
NIM: 168114145
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
i
EVALUASI RASIONALITAS PERESEPAN BERDASARKAN POR
NASIONAL DI PUSKESMAS KECAMATAN NGEMPLAK, KABUPATEN
SLEMAN, D. I YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Fransisca Ina Soerja Prasetyowati
NIM: 168114145
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
ii
Persetujuan Pembimbing
EVALUASI RASIONALITAS PERESEPAN BERDASARKAN POR
NASIONAL DI PUSKESMAS KECAMATAN NGEMPLAK, KABUPATEN
SLEMAN, D. I YOGYAKARTA
Skripsi yang diajukan oleh:
Fransisca Ina Soerja Prasetyowati
NIM : 168114145
telah disetujui oleh
Pembimbing Utama
(Putu Dyana Christasani, M.Sc., Apt.) tanggal 21 April 2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
v
PRAKATA
Puji dan syukur panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penyertaan,
berkat, dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi
Rasionalitas Peresepan Berdasarkan POR Nasional Di Puskesmas Kecamatan
Ngemplak, Kabupaten Sleman, D. I Yogyakarta” dengan baik. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Farmasi (S. Farm) di
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Selama proses penyusunan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan
dukungan dan bantuan sehingga proses dapat berjalan dengan lancer. Penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah terlibat. Ucapan
terimakasih penulis sampaikan kepada:
1. Ibu Dr. Yustina Sri Hartini, Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ibu Putu Dyana Christasani, M.Sc., Apt. selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan
mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran dari awal bimbingan
dimulai hingga penyusunan skripsi selesai, serta bersedia membantu
memberikan solusi terbaik pada saat-saat yang tidak terduga selama
proses penelitian berlangsung.
3. Bapak Dr. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt. dan Ibu Dina Christin Ayuning
Putri, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk menguji penulis dari proses seminar proposal
hingga skripsi, serta memberikan masukan yang membangun dalam
penyusunan skripsi.
4. Komisi Etik Penelitian Kesehatan Universitas Respati Yogyakarta yang
telah memberikan izin penelitian.
5. Puskesmas Ngemplak I dan Puskesmas Ngemplak II Kabupaten Sleman
yang telah memberikan izin penelitian dan bersedia membagikan data
]meluangkan waktu untuk membantu dan membimbing penulis selama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
vi
6. Seluruh dosen dan staf Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta yang telah memberikan bantuan, ilmu, dan bimbingan
selama masa perkuliahan.
7. Papa dan mama tersayang yang telah sabar menghadapi kesetresan
penulis dan tidak lelah dalam memberikan dukungan doa selama proses
penyusunan skripsi.
8. Mas Ian dan Mas Bagus yang selalu menyemangati, mendoakan, dan
mengajari beberapa rumus Ms. Excel sehingga boleh mempercepat
proses pengolahan data penelitian.
9. Sahabat-sahabat ku di masa perkuliahan, Yayas, Tiara, Maureen, dan
Yohana, yang boleh mengisi manis pahit kehidupan di masa
perkuliahan.
10. Teman-teman FSMD, khususnya Agista Bangalino yang tidak lelah
membantu dan menjadi konsultan selama proses penyusunan skripsi
berlangsung.
11. Divisi Sponsorship PP 2016, khususnya Christa dan Kak Vita yang tidak
pernah lelah menghibur dan menjadi tempat cerita.
12. Sahabat-sahabat SMA yang selalu saling menyemangati di masa skripsi
ini, Vina, Berti, Fanni, Sinta, Bica, Vio, Ana, Rayna, Selma yang jauh
di sana.
13. Teman-teman satu kelompok skripsi, Yayas, Chasa, dan Etha, dan
seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
mendukung dan membantu dalam penyelesaian naskah skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa selama penyusunan naskah skripsi ini tidak terlepas dari
kekurangan dan kelalaian. Oleh karena itu, penulis terbuka atas kritik dan saran
yang membangun sehingga dapat menjadi lebih baik.
Penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
vii
PRAKATA
Puji dan syukur panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penyertaan,
berkat, dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi
Rasionalitas Peresepan Berdasarkan POR Nasional Di Puskesmas Kecamatan
Ngemplak, Kabupaten Sleman, D. I Yogyakarta” dengan baik. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Farmasi (S. Farm) di
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Selama proses penyusunan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan
dukungan dan bantuan sehingga proses dapat berjalan dengan lancer. Penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah terlibat. Ucapan
terimakasih penulis sampaikan kepada:
1. Ibu Dr. Yustina Sri Hartini, Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ibu Putu Dyana Christasani, M.Sc., Apt. selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan
mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran dari awal bimbingan
dimulai hingga penyusunan skripsi selesai, serta bersedia membantu
memberikan solusi terbaik pada saat-saat yang tidak terduga selama
proses penelitian berlangsung.
3. Bapak Dr. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt. dan Ibu Dina Christin Ayuning
Putri, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk menguji penulis dari proses seminar proposal
hingga skripsi, serta memberikan masukan yang membangun dalam
penyusunan skripsi.
4. Komisi Etik Penelitian Kesehatan Universitas Respati Yogyakarta yang
telah memberikan izin penelitian.
5. Puskesmas Ngemplak I dan Puskesmas Ngemplak II Kabupaten Sleman
yang telah memberikan izin penelitian dan bersedia membagikan data
kepada penulis untuk diolah dalam penelitian.
6. Ibu Nirma dan Ibu Rikha selaku Apoteker Puskesmas Ngemplak I dan
Puskesmas Ngemplak II Kabupaten Sleman yang telah bersedia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
viii
meluangkan waktu untuk membantu dan membimbing penulis selama
melakukan pengambilan data penelitian di puskesmas.
7. Seluruh dosen dan staf Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta yang telah memberikan bantuan, ilmu, dan bimbingan
selama masa perkuliahan.
8. Papa dan mama tersayang yang telah sabar menghadapi kesetresan
penulis dan tidak lelah dalam memberikan dukungan doa selama proses
penyusunan skripsi.
9. Mas Ian dan Mas Bagus yang selalu menyemangati, mendoakan, dan
mengajari beberapa rumus Ms. Excel sehingga boleh mempercepat
proses pengolahan data penelitian.
10. Sahabat-sahabat ku di masa perkuliahan, Yayas, Tiara, Maureen, dan
Yohana, yang boleh mengisi manis pahit kehidupan di masa
perkuliahan.
11. Teman-teman FSMD, khususnya Agista Bangalino yang tidak lelah
membantu dan menjadi konsultan selama proses penyusunan skripsi
berlangsung.
12. Divisi Sponsorship PP 2016, khususnya Christa dan Kak Vita yang tidak
pernah lelah menghibur dan menjadi tempat cerita.
13. Sahabat-sahabat SMA yang selalu saling menyemangati di masa skripsi
ini, Vina, Berti, Fanni, Sinta, Bica, Vio, Ana, Rayna, Selma yang jauh
di sana.
14. Teman-teman satu kelompok skripsi, Yayas, Chasa, dan Etha, dan
seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
mendukung dan membantu dalam penyelesaian naskah skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa selama penyusunan naskah skripsi ini tidak terlepas dari
kekurangan dan kelalaian. Oleh karena itu, penulis terbuka atas kritik dan saran
yang membangun sehingga dapat menjadi lebih baik.
Penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL….……………………………………………………..…... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………… iii
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………………. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………………………. v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS……..
vi
PRAKATA...…………………………………………………………………...... vii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...... ix
DAFTAR TABEL……………………………………………………………….. x
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………….. xi
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………..………………… xii
ABSTRAK…..……………………………………………………………..……. xiii
ABSTRACT……………………………………………………..…….………….. xiv
PENDAHULUAN……………………………………………….………………. 1
METODE PENELITIAN………………………………………………………... 3
Jenis dan Rancangan Penelitian………………………………………………. 3
Variabel Penelitian……………………………………………………………. 3
Definisi Operasional…………………………………………………………... 4
Populasi dan Sampel Penelitian………………………………………………. 4
Lokas, Izin, dan Etika Penelitian……………………………………………… 5
Instrumen Penelitian…………………………………………………………... 6
Tata Cara Penelitian…………………………………………………………... 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Populasi Penelitian yang Dianalisis………………………………………….. 9
Karakteristik Demografi Kunjungan Pasien…………………………………... 10
Frekuensi Peresepan Obat…………………………………………………….. 13
Hasil Analisis Indikator POR…………………………………………………. 16
Hasil Analisa Rasionalitas Resep Berdasarkan POR Nasional……………….. 22
KESIMPULAN………………………………………………………………….. 36
SARAN…………………………………………………………………………... 37
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 38
LAMPIRAN……………………………………………………………………... 40
BIOGRAFI PENULIS…………………………………………………………… 45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
x
DAFTAR TABEL
Tabel I. Karakteristik Demografi Kunjungan Pasien Puskesmas Ngemplak
I dan II Periode Januari hingga Juni 2019…………………………
11
Tabel II. Frekuensi Peresepan Obat di Puskesmas Ngemplak I Periode
Januari–Juni 2019…………………………………................
13
Tabel III. Frekuensi Peresepan Obat di Puskesmas Ngemplak II
Periode Januari–Juni 2019…………………………………...
14
Tabel IV. Distribusi Resep Antibiotik di Puskesmas Ngemplak I
Periode Januari–Juni 2019…………………………………...
17
Tabel V Distribusi Resep Antibiotik di Puskesmas Ngemplak II
Periode Januari–Juni 2019…………………………………...
20
Tabel VI Analisisis Rasionalitas Resep di Puskesmas Ngemplak I
Periode Januari–Juni 2019…………………………………...
23
Tabel VII Analisisis Rasionalitas Resep di Puskesmas Ngemplak II
Periode Januari–Juni 2019…………………………………...
30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Proses Inklusi dan Eksklusi…………………………………. 10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Formulir Pengambilan Data Resep………....…………..... 40
Lampiran 2. Formulir Analisis Data…………………………………… 41
Lampiran 3. Kode Etik Penelitian……………………………………… 42
Lampiran 4. Frekuensi Munculnya Obat Dalam Peresepan…………… 43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xiii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian peresepan obat
dengan indikator POR Nasional serta rasionalitas peresepan obat untuk ISPA non
pneumonia, diare non spesifik, dan myalgia di Puskesmas Kecamatan Ngemplak,
Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta selama periode Januari–Juni 2019. Jenis
penelitian yang digunakan adalah peneltiian deskriptif dengan metode
observasional. Instrumen yang digunakan untuk menilai rasionalitas peresepan
berdasarkan indikator POR Nasional yaitu dengan menggunakan formulir
pengambilan data resep dan formulir analisis data. Data dianalisis dengan
menggunakan rumus % penggunaan antibiotik/injeksi pada indikator POR Nasional
dan kriteria rasionalitas penggunaan obat berdasarkan literatur Panduan Praktek
Klinis oleh Ikatan Dokter Indonesia, British National Formulary, Formulariun
Nasional maupun Formularium Puskesmas.
Pada penelitian diperoleh hasil di Puskesmas Ngemplak I
ketidaktercapaian indikator POR terjadi pada kasus diare non spesifik.
Ketidaktercapaian indikator POR Nasional di Puskesmas Ngemplak II terjadi pada
kasus ISPA non pneumonia dan diare non spesifik. Rasionalitas peresepan di
Puskesmas Ngemplak I pada kasus ISPA mencapai di atas 65%, diare mencapai
70%, myalgia mencapai di atas 75%. Di Puskesmas Ngemplak II rasionalitas kasus
ISPA mencapai 47%, diare di atas 60%, dan myalgia mencapai 82%.
Kata kunci: puskesmas, POR Nasional, rasionalitas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xiv
ABSTRACT
This study aims to determine the suitability of drug prescribing with POR
Nasional’s indicators and the rationality of drug prescribing for non pneumonia
ISPA, non specific diarrhea, and myalgia in the Ngemplak District Health Center,
Sleman Regency, D.I. Yogyakarta in January–June 2019 period. This type of
research is descriptive research with observational methods. The instrument used
to assess is by using a prescription data collection form and data analysis form. Data
were analyzed using the formula% antibiotic/injection use in the National POR
indicator and the criteria for rationality of drug use based on the Clinical Practice
Guidelines literature by the Indonesian Medical Association, British National
Formulary, Indonesian National Formulary and Health Center’s Formularies.
Results obtained at the Ngemplak I Health Center, POR indicators were not
achieved in cases of non specific diarrhea. At Ngemplak II Health Center, POR
indicators were not achieved in cases of non specific diarrhea and non pneumonia
ARI. The prescribing rationality at the Ngemplak I Health Center in the case of ARI
reached above 65%, diarrhea reached 70%, and myalgia reached above 75%. In
Ngemplak II Health Center the rationality of ARI cases reached 47%, diarrhea
above 60%, and myalgia reached 82%.
Keywords: health center, POR Nasional, rationality
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
1
PENDAHULUAN
Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) merupakan salah satu
fasilitas pelayanan kesehatan yang mengupayakan penyelenggaraan
kesehatan baik untuk masyarakat maupun perseorangan pada tingkat
pertama. Pelayanan yang dilakukan oleh puskesmas mengacu pada upaya
promotif dan preventif dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
setinggi-tingginya. Puskesmas memiliki posisi yang penting dalam Sistem
Kesehatan Nasional, khususnya dalam subsistem upaya kesehatan
(Kemenkes, 2016). Tenaga kesehatan yang harus ada di Puskesmas salah
satunya adalah tenaga kefarmasian. Tenaga kefarmasian memiliki peran
dalam pemantauan dan pembinaan Penggunaan Obat yang Rasional (POR)
untuk mencegah dan mengatasi kesalahan dan permasalahan dalam
pemberian obat (Kemenkes, 2011).
Program POR (Penggunaan Obat Rasional) Nasional merupakan
salah satu usaha penyelenggaraan pelayanan kesehatan dengan menjamin
keamanan, efektifitas, serta biaya yang terjangkau untuk masyarakat yang
menerima pengobatan. Penggunaan obat dikatakan rasional jika pasien
memperoleh pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinis, dosis sesuai
dengan kebutuhan, pemberian obat dapat digunakan untuk jangka waktu
yang cukup serta biaya terjangkau. Indikator kinerja POR Nasional di
puskesmas diantaranya adalah % antibiotik (AB) ISPA non pneumonia, %
antibiotik (AB) pada diare non spesifik, % injeksi pada myalgia, dan rerata
jumlah item obat per resep (Kemenkes, 2017).
Pada tahun 2018, prevalensi ISPA menurut diagnosis tenaga
kesehatan dan gejala yang muncul di Indonesia sebesar 9,3% dan di Provinsi
D.I. Yogyakarta sekitar 7%. Di daerah Kabupaten Sleman pada tahun 2018,
prevalensi common cold/nasofaringitis akut sebanyak 78.995 kasus yang
menurun dari tahun sebelumnya yang berjumlah 86.350 kasus. Infeksi akut
lain pada saluran pernapasan bagian atas sebanyak 24.880 kasus. Prevalensi
diare di Indonesia pada tahun 2018 sebesar 8% dan di Provinsi D.I.
Yogyakarta pada tahun yang sama mencapai sekitar 8,5%. Angka insidensi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
2
diare di Kabupaten Sleman pada tahun 2017 sebesar 12,95% yang menurun
jika dibandingkan dengan tahun 2016 sebesar 15,72% dari angka kesakitan
214 per 1000 penduduk. Penyakit gangguan otot lain di Kabupaten Sleman
pada tahun 2018 gangguan pada jaringan otot sebesar 29.235 kasus (Dinkes,
2018; Kemenkes, 2018).
Pada tahun 2011 telah dilakukan sebuah penelitian mengenai evaluasi
rasionalitas penggunaan obat ditinjau dari indikator peresepan menurut
WHO di seluruh puskesmas Kecamatan Kota Depok pada tahun 2010 oleh
Sari (2011) dan diperoleh seluruh penggunaan obat belum rasional kecuali
peresepan injeksi. Tiga tahun setelahnya dilakukan kembali penelitian
mengenai perbandingan penggunaan obat rasional berdasarkan indikator
WHO di puskesmas kecamatan antara Kota Depok dan Jakarta Selatan oleh
Kardela, Retnosari, dan Sudibyo (2014) dan diperoleh hasil berdasarkan
indikator peresepan di Puskesmas Kota Depok relatif lebih baik daripada
Jakarta Selatan walaupun tidak berbeda bermakna.
Pada penelitian mengenai evaluasi penggunaan obat dengan indikator
prescribing pada puskesmas wilayah kota administrasi Jakarta Barat periode
tahun 2016 yang dilakukan oleh Munarsih, dkk pada tahun 2017 yang
menyatakan bahwa peresepan obat di puskesmas wilayah kota administrasi
Jakarta Barat belum rasional kecuali untuk peresepan antibiotik dan injeksi,
namun untuk indikator yang lainnya hampir mendekati rasional. Pada tahun
2018 telah dilakukan penelitian oleh Dewi, et al. dengan judul Evaluation
of Drugs Use with WHO Prescribing Indicator in Kuta Primary Health
dengan hasil diperoleh tidak ada kriteria POR dari target Dirjen Binfar yang
memenuhi (Dewi, et al., 2018)
Pengobatan yang tidak rasional dapat menyebabkan adanya beberapa
dampak negatif, contohnya pada penggunaan antibiotika yang tidak
rasional. Pengobatan dengan antibiotik akan menekan organisme secara
selektif dan secara tidak langsung dapat meningkatkan munculnya resistensi
karena adanya penggunaan obat tersebut (Shallcross, 2014). Resistensi
dapat terjadi karena adanya perkembangan mutasi gen yang dapat merubah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
3
aktivitas dari obat dan menghasilkan tahannya sel terhadap molekul
antimikroba. Horizontal Gene Transfer (HGT) juga berperan terhadap
evolusi bakteri dengan adanya DNA asing yang terakuisisi (Munita and
Arias, 2016). Selain adanya resistensi, antibiotik dapat menyebabkan
kejadian diare. Hal ini dapat terjadi karena adanya pertumbuhan yang tinggi
dari Clostridium sifficile yang dapat menyebabkan terjadinya
pseudomembranous colitis (peradangan pada kolon) dan akhirnya terjadi
diare (Glannelli, 2017).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat kesesuaian peresepan obat di
Puskesmas Kecamatan Ngemplak, Sleman, D.I. Yogyakarta dengan
indikator POR Nasional dan mengetahui rasionalitas peresepan obat untuk
ISPA non pneumonia, diare non spesifik, dan myalgia.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode
observasional karena pada penelitian ini tidak dilakukan pemberian intervensi
apapun dan hanya menggambarkan kondisi yang ada di Puskesmas Ngemplak,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Data pada penelitian ini diambil secara
restrospektif dengan mengambil data peresepan pada persiode Januari ̶ Juni 2019.
Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah penggunaan obat berdasarkan
indikator Penggunaan Obat Rasional (POR) Nasional dan rasionalitas penggunaan
obat untuk ketepatan indikasi, tepat jenis obat, tepat dosis, tepat cara pemberian,
dan tepat durasi penggunaan obat berdasarkan Formularium Puskesmas Ngemplak
I dan II dan apabila tidak terdapat formularium acuan, maka digunakan British
National Formulary (BNF) edisi 78, British National Formulary for Children 2019-
2020, Panduan Praktik Klinis oleh IDI, dan jika informasi yang diperlukan tidak
ada maka digunakan ISO 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
4
Definisi Operasional
1. Peresepan obat sesuai dengan indikator POR Nasional yaitu jika penggunaan
antibiotik untuk ISPA non pneumonia ≤ 20% dalam satu bulan, untuk diare
non spesifik sebesar ≤ 8% dalam satu bulan, dan penggunaan injeksi untuk
myalgia sebesar ≤ 1% dalam setiap bulannya.
2. Penilaian rasionalitas penggunaan obat dilihat dari ketepatan indikasi, tepat
jenis obat, tepat dosis, tepat cara pemberian obat, dan tepat durasi penggunaan
obat berdasarkan Formularium Puskesmas Ngemplak I, II, British National
Formulary (BNF), British National Formular for Children, Panduan Praktik
Klinis oleh IDI, dan ISO. Resep dikatakan rasional jika memenuhi kelima
kriteria tersebut.
a. Tepat indikasi adalah obat yang diberikan sesuai dengan gejala dari
diagnosis yang diberikan dokter kepada pasien.
b. Tepat pemilihan obat adalah jenis obat yang diberikan diresepkan
memiliki golongan obat yang sesuai untuk menangani penyakit pasien.
c. Tepat dosis adalah dosis yang diterima oleh pasien sesuai dengan
kondisi dan penyakit sakit pasien.
d. Tepat cara pemberian obat adalah apabila obat diberikan dengan cara
yang tepat sesuai dengan bentuk sediaan dan kondisi pasien.
e. Tepat lama pemberian obat adalah jumlah obat yang diterima pasien
sesuai untuk penyakit pasien dan sesuai dengan batas penggunaan obat
yang ada di Formularium Nasional (2017) dan Pedoman Pengobatan
Klinik (2017).
Populasi dan Sampel Penelitian
Jumlah dan Teknik Sampling
Pada penelitian tidak dilakukan teknik sampling. Seluruh resep pada
periode Januari ̶ Juni 2019 yang masuk dalam kriteria inklusi dan eksklusi
digunakan sebagai data penelitian.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Kriteria Inklusi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
5
a. Resep ISPA non pneumonia, diare non spesifik, dan myalgia yang
ditulis oleh dokter di Puskesmas Kecamatan Ngemplak, Sleman, D.I.
Yogyakarta pada bulan Januari ̶ Juni 2019.
b. Resep ISPA non pneumonia, diare non spesifik, dan myalgia yang
memiliki kelengkapan secara administratif (nama pasien, usia
pasien, berat badan pasien [khususnya pada anak usia
-
6
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk pengambilan data yaitu dengan
menggunakan formulir pengambilan data resep (formulir 1). Formulir ini
digunakan untuk menuliskan data yang berisi data administrasi dan terapi yang
diberikan dalam resep yang mencangkup bentuk dan kekuatan sediaan, indikasi
obat, jumlah obat, dosis, frekuensi, dan durasi terapi, serta cara pemberiannya dari
resep-resep yang menjadi sampel penelitian. Selain itu juga digunakan formulir
analisis data (formulir 2) untuk membantu dalam analisis hasil pencatatan data.
Hasil pencatatan kemudian akan diolah dalam bentuk persentase dan dianalisa.
Tata Cara Penelitian
Observasi Awal
Peneliti melakukan observasi terlebih dahulu untuk mengumpulkan
informasi mengenai perkiraan jumlah resep ISPA non pneumonia, diare non
spesifik, dan myalgia yang masuk pada setiap harinya. Selain itu peneliti mencari
informasi mengenai acuan penatalaksanaan terapi yang digunakan di Puskesmas
Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Etika Penelitian, Permohonan Ethical Clearance dan Izin Penelitian
Data yang akan diambil akan dijaga kerahasiaannya dengan tidak
mencantumkan nama asli pasien dan mengganti dengan nama inisial, dan
sepenuhnya data hanya akan digunakan untuk penelitian ilmiah. Penelitian ini akan
mengajukan permohonan izin untuk memenuhi etika penelitian yang diajukan
kepada Komisi Etik Penelitian Kesehatan FIKES Universitas Respati Yogyakarta
untuk memperoleh ethical clearance.
Pengumpulan Data
Resep-resep yang ada dalam periode Januari hingga Juni 2019
dikumpulkan dengan memperhatikan kriteria inklusi dan eksklusi yang ada. Selain
itu, dilakukan juga wawancara dengan Apoteker maupun Dokter yang ada di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
7
Puskesmas Kecamatan Ngemplak terkait konfirmasi kelengkapan resep dan dasar
pemberian obat dalam resep.
Pengelompokkan Data
Resep yang masuk dalam kriteria inklusi dan eksklusi dikelompokkan
mejadi tiga kelompok berdasarkan diagnosis utamanya yaitu ISPA non pneumonia,
diare non spesifik, dan myalgia. Kemudian pada setiap penyakit, resep dipisahkan
sesuai dengan bulan penulisan resep. Resep yang ada dalam setiap kelompok didata
berkaitan dengan identitas pasien (disamarkan) dan data adanya antibiotik di dalam
resep atau tidak untuk ISPA non pneumonia dan diare non spesifik serta data ada
tidaknya penggunaan injeksi pada myalgia pada formulir pengambilan data
(lampiran 1).
Pengolahan dan Analisis Data
Pada setiap kelompok dianalisis mengenai jumlah antibiotik yang
digunakan untuk kelompok penyakit ISPA non spesifik pada setiap bulannya,
jumlah antibiotik yang diresepkan untuk kelompok penyakit diare non spesifik pada
setiap bulannya, dan jumlah peresepan sediaan injeksi untuk penyakit myalgia pada
setiap bulannya.
Data pada setiap kelompok akan ditampilkan dalam bentuk persentase.
Persentase diperoleh dengan membagi jumlah resep yang terdapat antibiotik untuk
ISPA non pneumonia dan diare non spesifik atau jumlah pasien yang mendapatkan
sediaan injeksi pada penyakit myalgia dengan jumlah lembar resep sesuai dengan
kelompok penyakit dan dikalikan dengan 100%, atau apabila dinyatakan dalam
rumus sebagai berikut:
% 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘/𝑖𝑛𝑗𝑒𝑘𝑠𝑖 =Jumlah pasien yang mendapatkan antibiotik/injeksi
Jumlah lembar resep per bulan dalam tiap penyakit x 100%
Persentase yang diperoleh dari tiap kelompok dibandingkan dengan batas
indikator POR yang ditetapkan oleh pemerintah. Apabila penggunaan antibiotik
pada ISPA non pneumonia kurang dari sama dengan 20%, maka indikator kinerja
POR tercapai, apabila penggunaan antibiotik pada diare non spesifik kurang dari
sama dengan 8%, maka persentase capaian indikator kinerja POR tercapai, dan jika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
8
penggunaan sediaan injeksi pada myalgia kurang dari sama dengan 1%, maka
indikator kinerja POR tercapai.
Setelahnya ditentukan rasionalitas peresepan berdasarkan kriteria POR
Nasional pada keseluruhan R/ dalam setiap kelompok berdasarkan lima kriteria
rasionalitas yaitu ketepatan indikasi, jenis obat, dosis, cara pemberian dan durasi
penggunaan obat. Apabila sebuah resep memenuhi kriteria POR Nasional maka
diberikan tanda centang (v) pada formulir analisis data (lampiran 2) sesuai dengan
kriteria yang dipenuhi. Seluruh R/ yang memenuhi kelima kriteria rasionalitas
dihitung dalam bentuk persentase dari keseluruhan R/ dalam setiap kelompok
penyakit yang dijadikan sampel penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian tentang “Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Berdasarkan
POR Nasional di Puskesmas Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, D.I.
Yogyakarta” dilakukan terhadap peresepan pada periode Januari–Juni 2019 dengan
mengamati dan menganalisa resep-resep yang ada di Puskesmas Ngemplak I dan
Puskesmas Ngemplak II sebanyak 17.058 lembar resep dan dipilih sesuai kriteria
inklusi dan eksklusi yang sudah ditetapkan dengan total kasus 1.765 untuk penyakit
ISPA non pneumonia (ISPA/Common Cold/Batuk/Batuk–pilek), 131 kasus diare
non spesifik (diare/DCA [Diare Cair Akut]/GEA [Gastroentritis]), dan 503 kasus
Myalgia/LBP (Low Back Pain) dan digunakan sebagai subyek penelitian.
Hasil dari penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel. Pembahasan dalam
penelitian ini dibagi menjadi lima bagian yaitu berkaitan dengan populasi penelitian
yang dianalisis, karakteristik demografi kunjungan pasien Puskesmas Kecamatan
Ngemplak untuk penyakit ISPA, diare dan myalgia; frekuensi peresepan obat di
Puskesmas Kecamatan Ngemplak untuk penyakit ISPA non pneumonia, diare dan
myalgia, hasil evaluasi peresepan obat di Puskesmas Kecamatan Ngemplak untuk
penyakit ISPA, diare dan myalgia berdasarkan POR (Penggunaan Obat Rasional)
Nasional, serta hasil evaluasi rasionalitas peresepan obat di Puskesmas Kecamatan
Ngemplak untuk penyakit ISPA, diare dan myalgia.
Populasi Penelitian yang Dianalisis
Total resep yang masuk selama periode Januari hingga Juni 2019 di
Puskesmas Ngemplak I sebanyak 8.927 lembar resep dan di Puskesmas Ngemplak
II sebanyak 8.131 lembar resep. Keseluruhan resep yang masuk dipilahkan
berdasarkan kriteria inklusi yang sudah ditetapkan. Sebanyak 1.574 lembar resep di
Puskesmas Ngemplak I dan 843 lembar resep di Puskesmas Ngemplak II memenuhi
kriteria inklusi penelitian. Namun, 14 lembar resep dari Puskesmas Ngemplak I dan
4 lembar resep dari Puskesmas Ngemplak II dieksklusi karena memiliki penyakit
penyerta infeksi. Resep yang menjadi subyek penelitian sebanyak 1.560 lembar dari
Puskesmas Ngemplak I dan 839 resep dari Puskesmas Ngemplak II yang kemudian
dianalisis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
10
Gambar 1. Proses Inklusi dan Eksklusi
Karakteristik Demografi Kunjungan Pasien
Jumlah resep yang masuk di Puskesmas Ngemplak I selama periode
Januari–Juni 2019 sebanyak 1.123 kasus ISPA/Common Cold/Batuk/Batuk–pilek
(Tabel I) atau dapat dikatakan diatas 70% dari jumlah 1.560 resep yang menjadi
subyek penelitian. Hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam “Profil Kesehatan
Kabupaten Sleman tahun 2018” bahwa penyakit ISPA/Common
Cold/Batuk/Batuk–pilek termasuk dalam 10 penyakit besar yang ada di Kabupaten
Sleman. Pada penelitian ini terdapat kasus ISPA/Common Cold/Batuk/Batuk–pilek
sebanyak 642 (Tabel I) dari total 839 resep yang masuk di Puskesmas Ngemplak II
dalam periode Januari–Juni 2019 dan menjadi subyek penelitian yang jika
dinyatakan dalam bentuk persentase adalah 76,5% dari total resep yang ada.
8.927 lembar resep di Puskesmas
Ngemplak I dan 8.131 lembar
resep di Puskesmas Ngemplak II
periode Januari-Juni 2019
1.574 lembar resep di Puskesmas
Ngemplak I dan 843 lembar resep
di Puskesmas Ngemplak II
memenuhi kriteria inklusi
1.560 lembar resep di Puskesmas
Ngemplak I dan 839 lembar resep
di Puskesmas Ngemplak II
dianalisis
18 lembar resep tereksklusi:
14 resep di Puskesmas Ngemplak I
dan 4 lembar di Puskesmas
Ngemplak II memiliki diagnosis
penyakit penyerta infeksi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
11
Tabel I. Karakteristik Demografi Kunjungan Pasien Puskesmas Ngemplak I
dan II Periode Januari hingga Juni 2019
Puskesmas
Ngemplak I
Karakteristik ISPA Diare Myalgia
n=1123 n=78 n=359
Usia
0–11 239 (21,3%) 9 (11,5%) 0 (0%)
12–25 195 (17,3%) 19 (24,4%) 11 (3,1%)
26–45 286 (25,5%) 20 (25,7%) 75 (20,9%)
46–65 119 (10,6%) 26 (33,3%) 200 (55,7%)
> 65 284 (25,3%) 4 (5,1%) 73 (20,3%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 443 (39,5%) 33 (42,3%) 120 (33,2%)
Perempuan 680 (60,5%) 45 (57,7%) 239 (66,8%)
Puskesmas
Ngemplak II
Karakteristik ISPA Diare Myalgia
n=642 n=53 n=144
Usia
0–11 69 (10,8%) 2 (3,8%) 0 (0%)
12–25 119 (18,5%) 16 (30,2%) 8 (5,5%)
26–45 187 (29,1%) 17 (32,1%) 23 (16%)
46–65 179 (27,9%) 12 (22,6%) 78 (54,2%)
> 65 88 (13,7%) 6 (11,3%) 35 (24,3%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 306 (47,5%) 22 (41,5%) 43 (29,9%)
Perempuan 336 (52,5%) 31 (58,5%) 101 (70,1%)
Berdasarkan “Profil Kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2018”
dinyatakan bahwa gangguan otot termasuk dalam 10 besar penyakit yang ada di
Kabupaten Sleman dengan jumlah kasus mencapai 29.235 kasus. Pada penelitian
ini, di Puskesmas Ngemplak I terdapat 359 kasus gangguan otot baik myalgia, LBP
(Low Back Pain), maupun gangguan otot lainnya seperti pegal-pegal dari total
1.560 resep (23%) selama periode Januari-Juni 2019. Di Puskesmas Ngemplak II
ditemukan 144 kasus gangguan otot baik myalgia, LBP, maupun gangguan otot
lainnya seperti pegal-pegal dari total 839 resep yang berarti ada 17,2% kasus yang
ditemukan di Puskesmas Ngemplak II selama periode Januari–Juni 2019.
Jumlah kasus yang ditemukan tidak tinggi dibandingkan dengan angka
kasus dalam Profil Kesehatan Kabupaten Sleman 2018 (29.235 kasus). Hal ini dapat
disebabkan oleh adanya kepadatan penduduk yang berbeda dengan rentang usia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
12
yang berbeda pula pada setiap daerah. Selain itu, jumlah kasus yang ditemukan
tidak begitu banyak karena pada penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten Sleman menggunakan data di seluruh puskesmas di Kabupaten Sleman,
sehingga ada kemungkinan bahwa tingginya angka kasus myalgia adalah akibat
dominasi dari puskesmas tertentu.
a) Jenis kelamin
Pengelompokan jenis kelamin pasien dilakukan hanya untuk
melihat jumlah kasus yang dialami baik oleh kelompok laki-laki maupun
perempuan. Di Puskesmas Ngemplak I dan II dapat diketahui jumlah
kunjungan pasien yang paling tinggi adalah pada kelompok penyakit
ISPA/Common Cold/Batuk/Batuk–pilek (72% dan 76,5%). Berdasarkan
hasil penelitian diperoleh jumlah kunjungan pasien perempuan lebih tinggi
dibandingkan kelompok laki-laki pada ketiga kelompok penyakit selama
periode Januari–Juni 2019. Namun, data ini tidak dapat merepresentasikan
dominasi penyakit pada kelompok jenis kelamin tertentu.
b) Kelompok Usia
Pada hasil penelitian yang diperoleh di Puskesmas Ngemplak I,
persentase kunjungan pasien tertinggi untuk penyakit ISPA/Common
Cold/Batuk/Batuk–pilek diperoleh persentase paling tinggi yaitu kelompok
usia 26–45 tahun (dewasa) sebesar 286 (25,5%) kasus, untuk penyakit diare
dan myalgia tertinggi adalah kelompok usia 46–65 tahun (lansia) dengan
jumlah 26 (33,3%) kasus dan 200 (55,7%) kasus.
Kelompok usia dengan jumlah yang paling tinggi di Puskesmas
Ngemplak II untuk penyakit ISPA/Common Cold/Batuk/Batuk–pilek dan
diare adalah kelompok usia 26–45 tahun (dewasa) dengan jumlah 187
(29,1%) kasus dan 17 (32,1%). Namun, untuk penyakit myalgia yang paling
tinggi diderita oleh kelompok usia 46–65 tahun (lansia) dengan jumlah 78
(54,2%) kasus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
13
Frekuensi Peresepan Obat
Setiap dari kelompok penyakit ISPA non pneumonia, diare non spesifik,
dan myalgia diresepkan berbagai pilihan obat yang berbeda baik dari sisi golongan
maupun zat aktif obat yang berbeda pada setiap golongan. Berikut adalah daftar
penggunaan obat yang diresepkan di Puskesmas Ngemplak I (Tabel II) dan
Puskesmas Ngemplak II (Tabel III) beserta dengan frekuensi penggunaannya
selama periode Januari–Juni 2019.
Tabel II. Frekuensi Peresepan Obat di Puskesmas Ngemplak I
Periode Januari–Juni 2019
Penyakit Golongan Obat Frekuensi Muncul di Peresepan
ISPA Analgetik 753
Mukolitik dan Ekspektoran 885
Beta-2-Agonis 176
Antihistamin 760
Antiradang 15
Antibiotik 108
Diare Rehidrasi 77
Absorben 3
Suplemen 63
Antiemetik 13
Antispasmodik 1
Antibiotik 9
Myalgia Analgetik 350
Kortikosteroid 7
Suplemen 289
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
14
Tabel III. Frekuensi Peresepan Obat di Puskesmas Ngemplak II Periode
Januari–Juni 2019
Penyakit Golongan Obat Frekuensi Muncul di Peresepan
ISPA Analgetik 496
Mukolitik dan Ekspektoran 494
Beta-2-Agonis 56
Antihistamin 388
Antiradang 22
Antibiotik 84
Diare Rehidrasi 49
Pembentuk tinja 10
Absorben 18
Suplemen 31
Antiemetik 3
Antibiotik 9
Myalgia Analgetik 141
Kortikosteroid 1
Suplemen 123
Berdasarkan data di atas dapat diketahui tingkat peresepan analgetik,
mukolitik, dan antihistamin berada pada tingkat yang sangat tinggi di Puskesmas
Ngemplak I maupun Puskesmas Ngemplak II. Jumlah penggunaan tiap obat secara
lebih rinci dalam tiap golongan dapat dilihat pada Lampiran 4. Obat golongan
analgetik yang paling sering diresepkan pada kelompok penyakit ISPA/Common
Cold/Batuk/Batuk–pilek adalah Parasetamol tablet 500 mg dengan frekuensi
penggunaan 592 kali di Puskesmas Ngemplak I dan 438 kali di Puskesmas
Ngemplak II digunakan pada peresepan ISPA/Common Cold/Batuk/Batuk–pilek
yang masuk selama enam bulan (Januari–Juni 2019).
Pada urutan kedua tingkat peresepan yang paling tinggi adalah N Asetil
Sistein kapsul 200 mg yang berfungsi sebagai mukolitik dengan total peresepan 582
kali di Puskesmas Ngemplak I dan 319 kali di Puskesmas Ngemplak II. Pada urutan
ketiga tertinggi terdapat golongan antihistamin yaitu Setirizin tablet 10 mg dengan
total peresepan 378 kali di Puskesmas Ngemplak I dan 218 kali di Puskesmas
Ngemplak II dari total peresepan. Parasetamol tablet 500 mg, N Asetil sistein
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
15
kapsul 200 mg, dan Setirizin tablet 10 mg termasuk dalam obat yang terdaftar dalam
Formularium Nasional tahun 2017 untuk fasilitas kesehatan primer seperti
puskesmas. Ketiga obat tersebut telah terdaftar dalam formularium yang disusun
oleh pihak Puskesmas Ngemplak I dan II.
Pada Tabel II dan III tersebut dapat diketahui persentase antibiotik
dibandingkan jumlah kasus yang ada cukup rendah yaitu 9,7% di Puskesmas
Ngemplak I dan 13% di Puskesmas Ngemplak II dari total peresepan. Rendahnya
persentase penggunaan antibiotik yang ada menunjukkan bahwa secara keseluruhan
peresepan antibiotik terbatas pada kedua puskesmas tersebut, walaupun apabila
dilihat persentase yang ada di Puskesmas Ngemplak II lebih tinggi dan berada di
atas 10 %.
Pada kelompok penyakit diare, peresepan obat dengan frekuensi tertinggi
di Puskesmas Ngemplak I dan Puskesmas Ngemplak II adalah golongan rehidrasi
yaitu Oralit dalam bentuk sediaan sachet sebanyak 77 kali di Puskesmas Ngemplak
I dan 49 kali di Puskesmas Ngemplak II diberikan pada resep dengan diagnosis
diare atau hampir setiap resep terdapat pemberian Oralit sachet. Pada urutan kedua,
peresepan paling tinggi adalah golongan suplemen yaitu Zinc tablet 20 mg dengan
frekuensi 57 kali diresepkan di Puskesmas Ngemplak I dan 30 kali di Puskesmas
Ngemplak II. Dalam Formularium Puskesmas Ngemplak I dan II dijelaskan bahwa
Oralit sachet harus diresepkan apabila pasien menerima Zinc (baik tablet maupun
sediaan lainnya), sehingga hal ini mungkin menjadi alasan tingginya peresepan
Oralit di Puskesmas Ngemplak I dan II.
Myalgia/LBP (Low Back Pain)/pegal-pegal biasa diterapi dengan pilihan
ketiga golongan obat dalam Tabel II dan Tabel III di atas. Golongan obat paling
banyak diresepkan adalah OAINS (Obat Anti Inflamasi Non-Steroid). Persentase
peresepan obat paling tinggi adalah Ibuprofen tablet 400 mg (golongan OAINS)
dengan frekuensi peresepan sebanyak 160 kali selama periode Januari–Juni 2019 di
Puskesmas Ngemplak I. Pada urutan kedua terdapat golongan suplemen/vitamin.
Peresepan vitamin yang paling tinggi adalah Vitamin B1 tablet 50 mg dengan
frekuensi 129 kali.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
16
Berbeda dengan yang ada di Puskesmas Ngemplak I, peresepan obat yang
paling tinggi untuk penyakit myalgia di Puskesmas Ngemplak II adalah Natrium
Diklofenak tablet 50 mg yang mencapai 57 kali dari total resep. Pada urutan kedua
terdapat golongan suplemen yaitu Vitamin B1 tablet 50 mg dengan jumlah 54 kali
peresepan. Selisih tidak jauh, Parasetamol tablet 500 mg menduduki posisi ketiga
dengan frekuensi peresepan mencapai 53 kali dari 144 resep yang ada, dilanjutkan
dengan Vitamin B kompleks dengan jumlah 49 kali peresepan dari total
keseluruhan selama bulan Januari hingga Juni 2019.
Puskesmas Ngemplak I dan II merupakan puskesmas yang sudah termasuk
dalam puskesmas BLUD yang artinya puskesmas memiliki kewenangan untuk
melakukan pengadaan sendiri, diluar jalur POAK (Pengelolaan Obat dan Alat
Kesehatan) yang ada di kabupaten. Namun, berdasarkan peresepan yang ada selama
periode Januari hingga Juni 2019 untuk ketiga kelompok penyakit tersebut, obat
yang diresepkan tertulis dalam Formularium Nasional tahun 2017 untuk fasilitas
kesehatan primer.
Hasil Analisis Indikator POR
a) Puskesmas Ngemplak I
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
17
Tabel IV. Distribusi Resep Antibiotik di Puskesmas Ngemplak I
Periode Januari–Juni 2019
*AB = Antibiotik
ISPA
Januari Februari Maret April Mei Juni
Resep
AB
Resep
Non AB
Resep
AB
Resep
Non AB
Resep
AB
Resep
Non AB
Resep
AB
Resep
Non AB
Resep
AB
Resep
Non AB
Resep
AB
Resep
Non AB
11 103 15 222 15 213 21 148 20 175 22 158
% 9,6 90,4 6,3 93,7 6,6 93,4 12,4 87,6 10,3 89,7 12,2 87,8
Hasil TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI
Diare
Januari Februari Maret April Mei Juni
Resep
AB
Resep
Non AB
Resep
AB
Resep
Non AB
Resep
AB
Resep
Non AB
Resep
AB
Resep
Non AB
Resep
AB
Resep
Non AB
Resep
AB
Resep
Non AB
2 11 3 8 1 14 1 15 2 13 0 8
% 15,4 84,6 27,3 72,7 6,7 93,3 6,3 93,8 13,3 86,7 0,0 100,0
Hasil TIDAK TERCAPAI TIDAK TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI TIDAK TERCAPAI TERCAPAI
Myalg
ia
Januari Februari Maret April Mei Juni
Resep
Injeksi
Resep
Non
Injeksi
Resep
Injeksi
Resep
Non
Injeksi
Resep
Injeksi
Resep
Non
Injeksi
Resep
Injeksi
Resep
Non
Injeksi
Resep
Injeksi
Resep
Non
Injeksi
Resep
Injeksi
Resep
Non
Injeksi
0 37 0 51 0 86 0 69 0 66 0 50
% 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100
Hasil TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
18
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, pada kelompok penyakit
ISPA/Common Cold/Batuk/Batuk–pilek pada keseluruhan bulan (Januari hingga
Juni 2019) memenuhi indikator POR Nasional yaitu peresepan antibiotik tidak
mencapai 20% pada tiap bulannya (Kemenkes, 2017). Peresepan antibiotik paling
tinggi adalah pada bulan Juni yaitu mencapai 12,2% dan pada bulan April mencapai
12,4%. Hal ini dapat terjadi karena adanya kemungkinan kebutuhan pasien untuk
menerima antibiotik.
Dalam Pedoman Pengobatan Klinik (2017) dijelaskan bahwa pada kasus
infeksi sekunder bakteri maka perlu ditambahkan adanya antibiotika pada pasien
yang menderita rhinitis alergi (IDI, 2017). Pada penelitian tidak dapat diketahui
secara pasti terjadinya infeksi sekunder bakteri pada pasien dengan hanya melihat
data berupa resep. Penatalaksanaan sinusitis dan otitis media akut memerlukan
antibiotik dalam pengobatannya sehingga memang terdapat beberapa peresepan
antibiotik yang dirasakan perlu untuk diagnosis kedua penyakit tersebut (IDI, 2017;
BNF, 2019).
Pada penyakit diare, peresepan antibiotik tidak mencapai indikator POR
Nasional pada bulan Januari, Februari dan bulan Mei. Menurut indikator POR
Nasional, batas peresepan antibiotik pada kasus dengan diagnosis diare adalah
≤8%, sedangkan pada Januari mencapai 15,4%, Februari 27,3%, dan pada bulan
Mei mencapai 13,3% (Kemenkes, 2017). Tingginya persentase yang ada dapat
diakibatkan oleh adanya perlakuan kriteria inklusi dan eksklusi sehingga subyek
penelitian untuk diagnosis diare menjadi sangat kecil. Rerata kasus yang ditemukan
pada setiap bulannya hanya ada kurang dari 20 resep. Namun, ada kemungkinan
yang lain yaitu butuhnya pasien akan antibiotik.
Berdasarkan pada hasil wawancara dengan Apoteker, diagnosis yang
diambil untuk sampling POR Nasional pada kasus diare diantaranya adalah diare,
diare dengan/tanpa dehidrasi ringan/berat, DCA (Diare Cair Akut), dan GEA
(Gastroentritis). Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI), pada kasus GE
(Gastroentritis) dapat diberikan antibiotik, antiparasit, atau antijamur sesuai dengan
penyebabnya, sehingga dimungkinkan peresepan antibiotik diperlukan pada kasus
dengan diagnosis tersebut (IDI, 2017).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
19
Peresepan antibiotik yang ada untuk kasus diare di Puskesmas Ngemplak
I selama periode Januari hingga Juni 2019 diantaranya untuk dewasa adalah
Siprofloksasin tablet 500 mg, Kotrimoksazol tablet 480 mg, Kotrimoksazol forte
tablet 960 mg, Metronidazole tablet 500 mg, dan Amoksisislin sirup 125 mg/5 ml
untuk anak-anak. Pilihan antibiotik yang dibuat sudah sesuai dengan yang
dianjurkan dalam Pedoman Pengobatan Klinik yang dikeluarkan oleh IDI (2017),
yaitu Siprofloksasin 2x500mg/hari dan Kotrimoksazol 960 mg 2x1 tablet/hari. Jika
diare diduga disebabkan oleh adanya Giardia, maka Metronidazole perlu diberikan
dengan dosis 3x500mg/ hari selama 7 hari (IDI, 2017).
Pada peresepan untuk myalgia, keseluruhan resep yang masuk selama
periode Januari hingga Juni 2019 penggunaan injeksi adalah 0% atau dikatakan
tidak ada satupun peresepan injeksi untuk kasus myalgia. Hal ini dapat disebabkan
oleh adanya rencana pengadaan yang dilakukan oleh pihak puskesmas. Berdasarkan
hasil wawancara dengan Apoteker, diketahui bahwa sudah tidak dilakukan lagi
pengadaan untuk sediaan injeksi pada terapi myalgia/LBP/pegal-pegal
b) Puskesmas Ngemplak II
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
20
Tabel V. Distribusi Resep Antibiotik di Puskesmas Ngemplak II
Periode Januari–Juni 2019
*AB = Antibiotik
ISPA
Januari Februari Maret April Mei Juni
Resep
AB
Resep
Non AB Resep AB
Resep
Non AB Resep AB
Resep
Non AB Resep AB
Resep
Non AB Resep AB
Resep
Non AB Resep AB
Resep
Non AB
12 79 13 96 21 62 10 116 7 113 10 103
% 13,2 86,8 11,9 88,1 25,3 74,7 7,9 92,1 5,8 94,2 8,8 91,2
Hasil TERCAPAI TERCAPAI TIDAK TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI
Diare
Januari Februari Maret April Mei Juni
Resep
AB
Resep
Non AB Resep AB
Resep
Non AB Resep AB
Resep
Non AB Resep AB
Resep
Non AB Resep AB
Resep
Non AB Resep AB
Resep
Non AB
0 11 0 8 0 12 0 6 1 7 2 6
% 0 100 0 100 0 100 0 100 12,5 87,5 25 75
Hasil TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI TIDAK TERCAPAI TIDAK TERCAPAI
Myalgia
Januari Februari Maret April Mei Juni
Resep
Injeksi
Resep
Non
Injeksi
Resep
Injeksi
Resep
Non
Injeksi
Resep
Injeksi
Resep
Non
Injeksi
Resep
Injeksi
Resep
Non
Injeksi
Resep
Injeksi
Resep
Non
Injeksi
Resep
Injeksi
Resep
Non
Injeksi
0 30 0 19 0 19 0 31 0 25 0 20
% 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100
Hasil TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI TERCAPAI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
21
Berdasarkan data yang diperoleh di Puskesmas Ngemplak II selama
semester pertama tahun 2019, pada penyakit ISPA/Common Cold/Batuk/Batuk–
pilek hampir pada setiap bulan mencapai indikator POR Nasional dengan
melakukan peresepan antibiotik di bawah 20% (Kemenkes, 2017). Namun, pada
bulan Maret, indikator POR Nasional tidak tercapai dengan nilai persentase
peresepan antibiotik mencapai 25,3% atau sebanyak 21 resep dari 83 resep
ISPA/Common Cold/Batuk/Batuk–pilek yang masuk.
Tingginya peresentase penggunaan antibiotik dapat disebabkan oleh
adanya kemungkinan kondisi pasien yang mengalami infeksi sekunder akibat
infeksi bakteri. Menurut Pedoman Pengobatan Klinik (2017), pada kondisi infeksi
sekunder oleh adanya bakteri dapat diberikan antibiotik (Kemenkes, 2017). Selain
itu, terdapat lima resep yang ada di bulan Maret dengan diagnosis Otitis Media Akut
(OMA), sehingga kondisi ini memerlukan terapi antibiotik dalam proses
penyembuhannya (BNF, 2019; IDI, 2017).
Pada resep dengan diagnosis diare, resep selama bulan Januari hingga
April 2019 memenuhi indikator POR Nasional dengan nilai persentase ≤8%
(Kemenkes, 2017). Resep pada bulan Mei dan Juni tidak memenuhi indikator POR
Nasional dengan nilai 12,5% dan 25%. Tingginya persentase yang diperoleh dapat
diakibatkan oleh sedikitnya kasus diare yang ditemukan dan masuk dalam kriteria
inklusi dan eksklusi, karena sebenarnya jumlah resep dengan terapi antibiotik hanya
satu resep pada bulan Mei, dan dua resep pada bulan Juni. Keseluruhan penggunaan
antibiotik yang ada pada kedua bulan tersebut adalah pada kasus dengan diagnosis
DCA (Diare Cair Akut).
Diare akut biasanya memiliki waktu yang singkat dan diakibatkan oleh
virus, sehingga penggunaan antibiotik secara rutin tidak direkomendasikan pada
pasien yang tidak mengalami DCA yang parah. Penggunaan antibiotik yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan kondisi resistensi, eradikasi terhadap flora normal dalam
tubuh, meningkatkan durasi sakit, induksi Shiga toxins, dan meningkatkan biaya
pasien. Antibiotik hanya akan tepat jika digunakan pada diare akibat Shigellosis,
Campylobacteriosis, C. difficile, traveler’s diarrhea, dan infeksi protozoa (Barr, et
al., 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
22
Berdasarkan kebijakan POR (2017) dapat diketahui adanya peran besar
prescriber yang mempengaruhi dalam indikator peresepan untuk POR. Menurut
Mahfudhoh dan Thinni (2015) terdapat dua faktor dalam penulisan resep oleh
dokter, yaitu faktor medis dan faktor non medis. Faktor non medis yang
dimaksudkan adalah faktor kondisi peresepan dan faktor individu yang berbeda
pada setiap dokter. Peresepan yang dibuat oleh dokter menjadi salah satu proses
penting dalam pemberian obat yang rasional kepada pasien (Kemenkes, 2017;
Mahfudhoh dan Thinni, 2015; Amalia dan Asep, 2014).
Pada penelitian serupa yang dilakukan oleh Pulungan, Chan, dan Fransiska
(2019) ketidaktercapaian indikator POR Nasional untuk persentase antibiotik pada
penyakit diare non spesifik juga ditemukan. Pada penelitian tersebut dinyatakan
peresepan antibiotik yang berlebihan kemungkinan dikarenakan estimasi
berlebihan terhadap keparahan penyakit dan keinginan dokter maupun pasien
supaya gejala sakit yang dirasakan cepat hilang. Berdasarkan hal-hal tersebut,
adanya perbedaan individu baik sebagai penulis resep dan pasien mungkin dapat
mempengaruhi adanya peresepan antibiotik untuk bulan Mei dan bulan Juni di
Puskesmas Ngemplak II setelah empat bulan sebelumnya tidak ditemukan satupun
(Pulungan, Chan, dan Fransiska, 2019).
Batas indikator POR Nasional untuk peresepan injeksi pada penyakit
myalgia, sakit pinggang, pegal-pegal dan sejenisnya yang ditetapkan oleh
pemerintah di Indonesia adalah ≤1% (Kemenkes, 2017). Pada penyakit myalgia,
LBP, maupun pegal-pegal tidak ditemukan adanya peresepan injeksi pada setiap
bulan, sehingga pada bulan Januari hingga Juni 2019 seluruhnya mencapai
indikator POR Nasional. Tercapainya indikator ini dapat disebabkan oleh kebijakan
dari pihak puskesmas yang sudah tidak melakukan pemesanan injeksi untuk terapi
myalgia seperti vitamin B1 dan yang lainnya.
Hasil Analisis Rasionalitas Resep Berdasarkan POR Nasional
1. Puskesmas Ngemplak I
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
23
Tabel VI. Analisisis Rasionalitas Resep di Puskesmas Ngemplak I Periode Januari–Juni 2019
ISPA
Januari Februari Maret April Mei Juni
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
193 74 383 152 400 133 264 127 328 116 289 135
% 72,3 27,7 71,6 28,4 75 25 67,5 32,5 73,9 26,1 68,2 31,8
Diare
Januari Februari Maret April Mei Juni
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
14 14 8 15 20 13 21 11 13 17 14 6
% 50 50 34,8 65,2 60,6 39,4 65,6 34,4 43,3 56,7 70 30
Myalgia
Januari Februari Maret April Mei Juni
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
Jumlah R/
rasional
Jumlah R/
tidak
rasional
53 11 75 18 119 31 112 15 100 20 83 9
% 82,8 17,2 80,6 19,4 79,3 20,7 88,2 11,8 83,3 16,7 90,2 9,8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
24
a) ISPA/Common Cold/Batuk/Batuk–pilek
Analisis rasionalitas terhadap R/ pada tiap resep selama bulan
Januari hingga Juni 2019 dengan diagnosis ISPA/Common
Cold/Batuk/Batuk–pilek dilakukan pada setiap bulannya. R/ pada resep
dikatakan rasional apabila memenuhi lima kriteria tepat, yaitu tepat indikasi,
tepat jenis obat, tepat dosis, tepat durasi, dan tepat cara pemberian.
Berdasarkan Tabel VI dapat diketahui persentase rasionalitas pada penyakit
ISPA selama enam bulan semester pertama 2019 mencapai di atas 65%.
Kondisi ini sudah sesuai dengan target Kementrian Kesehatan RI untuk tahun
2015-2019 untuk persentase penggunaan obat rasional di Puskesmas sebesar
70% kecuali untuk bulan April dan Juni (Kemenkes, 2015).
Total dari 2.594 R/ yang ada selama periode Januari hingga Juni
2019 untuk penyakit ISPA/Common Cold/Batuk/Batuk–pilek yang ada,
terdapat 2.345 (90,4%) R/ memenuhi ketepatan indikasi. Obat dikatakan tepat
indikasi jika penggunaan obat sesuai dengan gejala dari diagnosis yang
ditetapkan oleh dokter pada resep. Banyak obat yang digunakan sesuai
dengan peruntukkannya, seperti penggunaan Parasetamol tablet maupun
sirup pada diagnosis Common Cold/ISPA karena biasanya pada penyakit
tersebut akan muncul kondisi demam oleh adanya reaksi imunitas tubuh.
Namun, masih terdapat beberapa R/ tidak memenuhi kriteria tepat indikasi
seperti pada penggunaan antibiotik untuk diagnosis ISPA/J.06, Common
Cold/J.00, dan batuk. Antibiotik hanya digunakan pada kasus infeksi
sekunder bakteri, sinusitis, dan otitis media saja, sehingga penggunaan
antibiotik masih banyak yang tidak memenuhi ketepatan indikasi (IDI, 2017).
Sebuah R/ dikatakan memenuhi ketepatan jenis obat apabila obat
yang diresepkan memiliki golongan obat yang sesuai untuk menangani
penyakit pasien. Pada kasus ISPA/Common Cold/batuk/batuk–pilek dari
2.594 R/ yang ada, 2.351 (90,6%) R/ memenuhi kriteria ketepatan jenis obat.
Obat yang paling banyak mengalami ketidaktepatan pada kriteria ini adalah
penggunaan Salbutamol baik dalam bentuk tunggal maupun racikan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
25
diresepkan pada kelompok kunjungan pasien yang memiliki diagnosis
ISPA/Common Cold/batuk/batuk–pilek. Menurut Formularium Nasional
tahun 2017 maupun pada Formularium Puskesmas Ngemplak I, penggunaan
Salbutamol pada fasilitas kesehatan tingkat pertama adalah sebagai antiasma.
Namun, penggunaan Salbutamol bukan berarti dapat menurunkan kondisi
klinis pasien, karena Salbutamol dapat digunakan untuk mengatasi sesak
napas pasien yang mengalami ISPA.
Resep dikatakan memenuhi ketepatan dosis apabila dosis yang
diberikan sesuai dengan kondisi pasien (usia dan berat badan) serta penyakut
pasien. Pada kriteria ketepatan dosis, sebanyak 2.031(78,3%) R/ memenuhi
dosis yang tepat dari total R/ yang masuk selama periode Januari hingga Juni
2019. Obat yang banyak tidak memenuhi ketepatan dosis adalah pada
peresepan CTM, Setirizin, dan Salbutamol. Peresepan CTM yang sering
terjadi adalah dengan dosis 4 mg, 2 kali 1 tablet pada tiap harinya, sedangkan
menurut Pedoman Pengobatan Klinik (2017), dosis CTM adalah 4 mg 3-4
kali sehari. Beberapa persepan Setirizin khususnya untuk tablet Setirizin 10
mg adalah 2 kali sehari, sedangkan dosis seharusnya menurut PPK 2017
adalah 10 mg pada setiap harinya.
Peresepan salbutamol khususnya pada resep racikan, banyak yang
mengalami underdose seperti terdapat kasus pada peresepan Salbutamol
tablet 2 mg, contohnya yang diresepkan hanyalah 4 tablet untuk 10 pulveres
pada pasien 2 tahun sehingga pasien hanya memperoleh 0,8 mg pada tiap
penggunaan. Menurut BNF Children (2019), anak usia 2 tahun menerima 1-
2 mg, 3-4 kali sehari, sehingga dosis yang diterima kurang (IDI, 2017; BNF,
2019). Namun, penggunaan CTM berfungsi dalam penanganan simptomatik
penanganan reaksi alergi pada ISPA sehingga penggunaan 2 kali sehari saja
bukan berarti kondisi pasien tidak dapat membaik.
Durasi penggunaan obat dikatakan tepat apabila jumlah obat yang
diterima pasien cukup dan sesuai dengan batas penggunaan yang ada di
Formularium dan Pedoman Pengobatan Klinik (2017). Pada kasus antibiotik
peroral, baik Amoksisilin tablet 500 mg, Amoksisilin sirup 125 mg/5 ml,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
26
Amoksisilin sirup forte 250 mg/5 ml Siprofloksasin tablet 500 mg,
Kotrimokzasol tablet 480 mg, maupun Kotrimokzasol forte tablet 960 mg
hampir keseluruhan tidak memenuhi ketepatan durasi penggunaan obat. Rata-
rata peresepan antibiotik hanya diberikan untuk 5 hari saja, sedangkan
menurut PPK (2017) antibiotik untuk kasus ISPA diberikan selama 7-10 hari
dan menurut Formularium diberikan untuk 10 hari (IDI, 2017; Formularium
Nasional, 2017).
Kriteria ketepatan cara pemberian obat adalah apabila obat diberikan
dengan cara yang tepat sesuai dengan bentuk sediaan dan kondisi pasien.
Total R/ yang memenuhi ketepatan cara pemberian obat adalah 2.593
(99,96%) R/ dari 2.994 R/ yang ada, yang berarti hanya satu R/ yang memiliki
cara pemberian obat yang kurang tepat. Kasus R/ yang dimaksud adalah pada
pasien usia 3 tahun menerima sediaan berupa tablet Parasetamol 500 mg
dengan pemberian sekali minum adalah 0,25 tablet. Hal ini kurang sesuai jika
diberikan kepada anak dengan usia 3 tahun kecuali pada resep diberikan
keterangan untuk dilakukan penggerusan sebelum diberikan kepada pasien
dan sudah terdapat kesepakatan antara dokter dan apoteker bahwa pada kasus
seperti ini apoteker dianggap tahu bahwa ini harus digerus.
b) Diare
Total R/ yang masuk selama periode Januari hingga Juni 2019 untuk
diagnosis penyakit diare, DCA (Diare Cair Akut), dan GEA (Gastroentritis)
mencapai 166 R/. Ketentuan peresepan dikatakan rasional sama dengan pada
kelompok penyakit ISPA, yaitu bila resep memenuhi kriteria ketepatan
indikasi, jenis obat, dosis, durasi pemberian, dan cara pemberian. Selama
periode enam bulan, ditemukan nilai persentase jumlah R/ rasional paling
tinggi ada pada bulan Juni yaitu sebesar 70%. Persentase yang diperoleh (lihat
Tabel VI) menunjukkan hanya bulan Juni saja yang sudah masuk batasan
target Kementrian Kesehatan RI untuk tahun 2015-2019 mengenai jumlah
penggunaan obat rasional di Puskesmas (Kemenkes, 2015).
Selama periode Januari hingga Juni 2019 ditemukan 163 (98,2%) R/
yang memenuhi ketepatan indikasi. Hal ini menunjukkan bahwa sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
27
hampir keseluruhan resep mencapai pemenuhan ketepatan indikasi di
Puskesmas Ngemplak I untuk penyakit diare. Namun, masih ada beberapa
yang masih tidak sesuai seperti kasus dengan diagnosis DCA namun
diberikan antibiotik. Pemberian antibiotik untuk DCA tidaklah tepat karena
diare akut tidak seharusnya memerlukan antibiotik dalam penanganannya
(Barr, et al., 2014).
Pada penelitian ditemukan sebanyak 163 (98,2%) R/ memenuhi
ketepatan jenis obat. Adanya ketidaktepatan seperti pada kasus
ketidaktepatan indikasi yaitu pada penggunaan antibiotik. Golongan
antibiotik tidak tepat dalam penanganan DCA. Diare akut biasanya memiliki
waktu yang singkat dan diakibatkan oleh virus, sehingga penggunaan
antibiotik secara rutin tidak direkomendasikan pada pasien yang tidak
mengalami DCA yang parah. Antibiotik hanya akan tepat jika digunakan
pada diare akibat Shigellosis, Campylobacteriosis, C. difficile, traveler’s
diarrhea, dan infeksi protozoa (Barr, et al., 2014).
Kriteria rasionalitas peresepan yang ketiga adalah ketepatan dosis.
Pada keseluruhan resep yang masuk dengan diagnosis diare/GEA/DCA di
Puskesmas Ngemplak I selama periode semester pertama ditemukan 155
(93,4%) R/ yang memenuhi ketepatan dosis. Contoh kasus ketidaktepatan
dosis adalah pada peresepan Kotrimoksazol 480 mg dengan dosis 2x1.
Menurut Pedoman Pengobatan Klinik (2017) untuk penyakit diare
seharusnya dosis yang diberikan adalah 2x2 atau 960 mg 2x1 (IDI, 2017).
Berkebalikan dengan kasus pada pasien yang menerima Kotrimoksazol forte
960 mg dengan dosis 2x2, yang seharusnya adalah cukup satu tablet saja
dengan frekuensi dua kali sehari.
Total dari 166 R/ yang ada, hanya 96 (57,8%) R/ yang memenuhi
kriteria ketepatan durasi pemberian. Kasus paling banyak ditemukan dan ada
pada setiap bulan adalah pada Oralit sachet. Oralit sachet yang diberikan
jumlahnya masih kurang dan tidak sesuai dengan yang ada di Pedoman
Pengobatan Klinik (2017). Contoh kasus yang ada yaitu pada pasien yang
tergolong pasien dewasa namun hanya diberikan 2 dan 3 sachet. Menurut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
28
PPK yang dikeluarkan oleh IDI (2017) pada pasien dewasa minimal jumlah
oralit yang diberikan adalah 6 sachet, sehingga durasi pemberian tidak tepat.
(IDI, 2017).
Kriteria yang kelima adalah ketepatan cara pemberian. Keseluruhan
resep diare di Puskesmas Ngemplak I selama periode Januari hingga Juni
2019 memenuhi kriteria tepat cara pemberian. Seluruh bentuk sediaan dalam
resep diberikan sesuai dengan kondisi pasien dan dengan signa yang jelas
seperti pelarutan pada Oralit sachet.
c) Myalgia
Pada kelompok penyakit myalgia, sakit pinggang/LBP, pegal-pegal,
terdapat 646 R/ selama periode Januari hingga Juni 2019. Kriteria rasionalitas
yang digunakan pada kelompok penyakit ini ada lima, yaitu tepat indikasi,
tepat jenis obat, tepat dosis, tepat durasi pemberian obat, dan tepat cara
pemberian. Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pada setiap R/
memenuhi kelima kriteria rasionalitas tersebut. Pada data yang diperoleh
diketahui bahwa persentase rasionalitas paling tinggi ada pada bulan Juni
yaitu sebesar 90,2%. Pada Tabel VI dapat dilihat keseluruhan bulan sudah
memenuhi target yang ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan RI terkait
dengan jumlah penggunaan obat rasional di Puskesmas (Kemenkes, 2015).
Pada tiap R/ yang masuk selama Januari hingga Juni 2019 untuk
diagnosis myalgia, LBP, maupun pegal-pegal keseluruhan memenuhi kriteria
ketepatan indikasi. Begitu pula dengan kriteria ketepatan pemilihan jenis
obat. Keseluruhan R/ yang masuk di Puskesmas Ngemplak I untuk penyakit
myalgia memenuhi ketepatan pemilihan jenis obat. Pada analisis dosis,
terdapat 543 (84,1%) R/ dari total keseluruhan resep yang masuk untuk
penyakit myalgia, LBP maupun pegal-pegal yang memenuhi kriteria
ketepatan dosis. Ketidaktepatan pemberian dosis yang paling sering muncul
adalah pada peresepan Ibuprofen tablet 400 mg. Peresepan Ibuprofen tablet
400 mg sering diberikan dengan dosis dua kali sehari satu tablet. Namun,
menurut Pedoman Pengobatan Klinik yang dikeluarkan oleh IDI (2017),
penggunaan Ibuprofen dalam pengatasan nyeri adalah 400-800 mg, 3-4 kali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
29
sehari (IDI, 2017). Namun, penggunaan Ibuprofen bersifat simptomatik,
sehingga penggunaan dua kali sehari tidak menutup kemungkinan bahwa
nyeri yang dirasakan pasien sudah cukup berkurang dan tidak diperlukan
frekuensi tambahan lagi dalam sehari.
Pada data penelitian, diperoleh keseluruhan R/ yang masuk
memenuhi kriteria ketepatan durasi pemberian. Contohnya pada peresepan
vitamin B12 sebanyak 30 tablet. Hal ini termasuk tepat karena dalam
Formularium Nasional 2017 dinyatakan maksimal pemberian vitamin B12
adalah 30 tablet/kasus (Formularium Nasional, 2017). Kriteria rasionalitas
yang terakhir adalah ketepatan cara pemberian obat. Seluruh R/ yang masuk
untuk myalgia, LBP, dan pegal-pegal untuk pada semester pertama 2019
memenuhi ketepatan cara pemberian. Seluruh obat berupa sediaan tablet dan
kapsul dan tidak terdapat kunjungan pasien anak maupun kondisi lain yang
membutuhkan rute selain peroral, sehingga keseluruhan R/ memenuhi
ketepatan cara pemberian obat.
2. Puskesmas Ngemplak II
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
30
Tabel VII. Analisisis Rasionalitas Resep di Puskesmas Ngemplak II Periode Januari–Juni 2019
ISPA
Januari Februari Maret April Mei Juni
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
85 133 113 169 86 140 139 157 118 133 112 130
% 39 61 40,1 59,9 38,1 61,9 47 53 47 53 46,3 53,7
Diare
Januari Februari Maret April Mei Juni
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
21 4 18 1 25 3 9 3 10 6 12 8
% 84 16 94,7 5,3 89,3 10,7 75 25 62,5 37,5 60 40
Myalgi
a
Januari Februari Maret April Mei Juni
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
Jumlah
R/
rasional
Jumlah
R/ tidak
rasional
51 6 29 6 29 6 52 4 41 6 29 6
% 89,5 10,5 82,9 17,1 82,9 17,1 92,9 7,1 87,2 12,8 82,9 17,1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
31
a) ISPA/Common Cold/Batuk/Batuk–pilek
R/ pada resep dikatakan rasional apabila memenuhi lima kriteria
rasionalitas, yaitu tepat indikasi, tepat jenis obat, tepat dosis, tepat durasi, dan
tepat cara pemberian. Berdasarkan Tabel VII dapat dilihat bahwa tidak ada
satupun selama bulan Januari hingga Juni 2019 yang persentase jumlah R/
rasional di atas 50%, yang artinya rasionalitas untuk peresepan diagnosis
ISPA/Common Cold/Batuk/Batuk–pilek masih rendah. Rasionalitas
peresepan paling tinggi terjadi pada bulan April dan Mei yaitu 47%. Hal ini
menunjukkan bahwa target penggunaan obat rasional yang ditetapkan oleh
Kementrian Kesehatan RI belum tercapai untuk penyakit ISPA di Puskesmas
Ngemplak II (Kemenkes, 2015).
Total dari 1.515 R/ yang ada selama periode Januari hingga Juni
2019 untuk penyakit ISPA/Common Cold/Batuk/Batuk–pilek yang ada,
terdapat 1.467 (96,8%) R/ memenuhi ketepatan indikasi. Angka 96,8%
menunjukkan bahwa sudah banyak R/ yang peruntukkan indikasinya tepat
pada tiap pasien. Namun masih terdapat 3,2% yang tidak memenuhi seperti
pada kasus dengan diagnosis batuk dan Common Cold yang mendapatkan
antibiotik. Menurut PPK 2017, penggunaan antibiotik hanya untuk infeksi
bakteri sekunder (IDI, 2017). Common Cold belum tentu diakibatkan oleh
adanya bakteri. Penggunaan antibiotik hanya untuk Common Cold dengan
komplikasi infeksi sekunder bakteri. Namun, contoh ini tidak dapat diketahui
pastinya memiliki komplikasi infeksi bakteri sekunder atau tidak karena pada
penelitian ini tidak dapat diketahui kondisi dahak pasien ataupun gejala
infeksi bakteri lainnya, sehingga pemberian antibiotik ini mungkin berfungsi
pada pasien dan memperbaiki kondisi klinis yang ada.
Kriteria yang kedua adalah tepat jenis obat. Pada kasus
ISPA/Common Cold/batuk/batuk–pilek dari 1.515 R/ yang ada, 1.397
(92,2%) R/ memenuhi kriteria ketepatan jenis obat. Obat yang paling banyak
mengalami ketidaktepatan pada kriteria ini sama dengan yang ada di
Ngemplak I yaitu penggunaan Salbutamol baik dalam bentuk tunggal maupun
racikan yang diresepkan pada kelompok kunjungan pasien yang memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
32
diagnosis ISPA/Common Cold/batuk/batuk–pilek. Menurut Formularium
Nasional tahun 2017 maupun pada Formularium Puskesmas Ngemplak II,
penggunaan Salbutamol pada Fasilitas kesehatan tingkat pertama adalah
sebagai antiasma. Namun, dalam kondisi ini mungkin Salbutamol digunakan
sebagai off-label sehingga dapat membantu perbaikan kondisi klinis pasien
terkait adanya obstruksi napas selama ISPA berlangsung.
Pada kriteria ketepatan dosis, sebanyak 910 (60,1%) R/ memenuhi
dosis yang tepat dari total R/ yang masuk selama periode Januari hingga Juni
2019. Obat yang banyak tidak memenuhi ketepatan dosis adalah pada
peresepan CTM, N Asetil sistein, dan Parasetamol. Peresepan CTM yang
sering terjadi adalah dengan dosis 4 mg, 2 kali 1 tablet pada tiap harinya,
sedangkan menurut Pedoman Pengobatan Klinik (2017), dosis CTM adalah
4 mg 3-4 kali sehari, sama halnya dengan Parasetamol dan N Asetil sistein.
Namun, perlu dilihat bahwa memang Parasetamol dan CTM tersebut
berfungsi sebagai pengatasan simptomatik sehingga memungkinkan bahwa
penggunaan dua kali sehari sudah dirasa cukup.
Kondisi yang ada di Puskesmas Ngemplak II sama dengan yang
terdapat pada Puskesmas Ngemplak I. Pada kasus antibiotik peroral, baik
Amoksisilin tablet 500 mg, Amoksisilin sirup 125 mg/5 ml, Amoksisilin sirup
forte 250 mg/5 ml Siprofloksasin tablet 500 mg, Kotrimokzasol tablet 480
mg, maupun Kotrimokzasol forte tablet 960 mg hampir keseluruhan tidak
memenuhi ketepatan durasi penggunaan obat. Rata-rata peresepan antibiotik
hanya diberikan untuk 5 hari saja, sedangkan menurut PPK (2017) antibiotik
untuk kasus ISPA diberikan selama 7-10 hari dan menurut Formularium
diberikan untuk 10 hari. Selain itu peresepan Setirizin rerata diberikan 6 tablet
yang artinya untuk 6 hari. Menurut Formularium Nasional 2017 penggunaan
Setirizin hanya boleh diresepkan maksimal untuk 5 hari. (IDI, 2017;
Formularium Nasional, 2017).
Pada penelitian, total R/ yang memenuhi ketepatan cara pemberian
obat adalah 1.515 (100%) R/ dari total kasus yang ada, yang berarti seluruh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
33
pemilihan bentuk sediaan dan cara penggunaan yang diresepkan sudah sesuai
dengan kondisi pasien.
b) Diare
Keseluruhan R/yang masuk selama periode Januari hingga Juni 2019
untuk diagnosis penyakit diare, DCA, dan GEA di Puskesmas Ngemplak II
mencapai 120 R/. Bulan Februari merupakan bulan dengan persentase
rasionalitas peresepan paling tinggi, yaitu mencapai 94,7%. Namun, bulan
berikutnya hingga Juni mengalami penurunan mencapai angka 60% (lihat
Tabel VII). Pada Tabel VII dapat dilihat bahwa hanya bulan Januari hingga
April saja yang memenuhi target dari pemerintah terkait penggunaan obat
rasional di Puskesmas yaitu mencapai di atas 70% (Kemenkes, 2015).
Selama periode semester pertama tahun 2019 ditemukan 117
(97,5%) R/ yang memenuhi ketepatan indikasi. Hal ini menunjukkan bahwa
sudah hampir semua resep mencapai pemenuhan ketepatan indikasi di
Puskesmas Ngemplak II untuk penyakit diare. Namun, masih ada 3 R/ yang
masih tidak sesuai yaitu diagnosis DCA namun diberikan antibiotik.
Pemberian antibiotik untuk DCA tidaklah tepat karena diare akut tidak
seharusnya memerlukan antibiotik dalam penanganannya (Barr, et al., 2014).
Pada penelitian ditemukan 117 (97,5%) R/ memenuhi ketepatan
jenis obat. Adanya ketidaktepatan seperti pada kasus ketidaktepatan indikasi
yaitu pada penggunaan antibiotik. Golongan antibiotik tidak tepat dalam
penanganan DCA. Diare akut biasanya memiliki waktu yang singkat dan
diakibatkan oleh virus, sehingga penggunaan antibiotik secara rutin tidak
direkomendasikan pada pasien yang tidak mengalami DCA yang parah.
Antibiotik hanya akan tepat jika digunakan pada diare akibat Shigellosis,
Campylobacteriosis, C. difficile, traveler’s diarrhea, dan infeksi protozoa
(Barr, et al., 2014).
Pada keseluruhan resep yang masuk dengan diagnosis
diare/GEA/DCA di Puskesmas Ngemplak II selama periode semester
pertama ditemukan 101 (84,2%) R/ yang memenuhi ketepatan dosis. Kasus
ketidaktepatan dosis obat contohnya ditunjukkan pada penggunaan Atapulgit
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
34
tablet yang hampir ada pada setiap bulan. Di Puskesmas Ngemplak II, rata-
rata pasien diresepkan Atalpugit dengan jumlah 1 tablet pada setiap dosis.
Menurut Pedoman Pengobatan Klinik, penggunaan Atapulgit digunakan
sebanyak 2 tablet pada tiap dosis (IDI, 2017).
Total dari 120 R/ yang ada terdapat 112 (93,3%) R/ yang memenuhi
kriteria ketepatan durasi pemberian. Kasus paling banyak ditemukan dan ada
pada setiap bulan sama dengan yang ada di Puskesmas Ngemplak I yaitu
peresepan Oralit sachet. Oralit sachet yang diberikan jumlahnya masih kurang
dan tidak sesuai dengan yang ada di Pedoman Pengobatan Klinik (2017).
Contoh kasus yang ada yaitu pada pasien yang tergolong pasien dewasa
namun hanya diberikan 5 sachet. Menurut PPK yang dikeluarkan oleh IDI
(2017) pada pasien dewasa minimal jumlah oralit yang diberikan adalah 6
sachet, sehingga durasi pemberian tidak tepat. (IDI, 2017).
Kriteria yang kelima adalah ketepatan cara pemberian. Keseluruhan
resep diare di Puskesmas Ngemplak II selama periode Januari hingga Juni
2019 memenuhi kriteria tepat cara pemberian. Seluruh bentuk sediaan dalam
resep diberikan sesuai dengan kondisi pasien dan dengan signa yang jelas
seperti pelarutan pada Oralit sachet.
Ketidaktercapaian rasionalitas terjadi pada bulan Mei dan bulan Juni
bersamaan dengan ketidaktercapaian indikator POR Nasional untuk
persentase antibiotik pada penyakit diare non spesifik. Namun, apabila dilihat
kembali dalam data, ketidarasionalan didominasi bukan karena penggunaan
antibiotik, melainkan karena tingginya peresepan Atapulgit dibandingkan
pada empat bulan yang lain. Ketidaktepatan dosis untuk Atapulgit
menyebabkan kasus tidak rasional meningkat. Ketercapaian rasionalitas
penggunaan obat di puskesmas adalah koordinasi dan kerjasama antara
tenaga kesehatan puskesmas, terutama kepala puskesmas, dokter, dan
penanggung jawab farmasi (Pulungan, Chan, dan Fransiska, 2019).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
35
c) Myalgia
Di Puskesmas Ngemplak II ditemukan 265 R/ selama periode
Januari hingga Juni 2019. Pada penelitian ini diperoleh data persentase
rasionalitas paling tinggi adalah pada bulan April sebesar 92,9%.
Keseluruhan R/ yang masuk 100% memenuhi ketepatan indikasi. Begitu pula
dengan kriteri ketepatan jenis obat, seluruh R/ yang masuk selama periode
Januari hingga Juni 2019 untuk penyakit myalgia sudah sesuai dan memenuhi
ketepatan pemilihan jenis obat. Keseluruhan bulan sudah memenuhi target
yang dipasang oleh Kementrian Kesehatan RI dengan nilai rasionalitas diatas
70% (Kemenkes, 2015).
Terdapat 226 (85,3%) R/ yang memenuhi ketepatan dosis.
Ketidaktepatan pemberian dosis yang paling sering muncul adalah pada
peresepan Ibuprofen tablet 400 mg dan Parasetamol tablet 500 mg. Peresepan
Ibuprofen tablet 400 mg dan Parasetamol tablet 500 mg sering diberikan
dengan dosis dua kali sehari satu tablet. Namun, menurut Pedoman
Pengobatan Klinik yang dikeluarkan oleh IDI (2017), penggunaan Ibuprofen
dalam pengatasan nyeri adalah 400-800 mg, 3-4 kali sehari (IDI, 2017).
Namun, perlu diperhatikan bahwa Ibuprofen dan Parasetamol bersifat
simptomatik sehingga kemungkinan penggunaan dua kali sehari saja tidak
akan memperburuk kondisi klinis dari pasien,
Keseluruhan R/ yang masuk untuk penyakit myalgia di Puskesmas
Ngemplak II selama semester pertama tahun 2019 memenuhi ketepatan
durasi penggunaan obat. Contohnya, pada resep yang masuk rerata peresepan
obat adalah 6-10 tablet Vitamin B1, hal ini sesuai dengan yang tertera dalam
Formularium Nasional 2017 bahwa maksimal pemberian adalah 30
tablet/kasus. (Formularium Nasional, 2017).
Kriteria rasionalitas yang terakhir adalah ketepatan cara pemberian
obat. Seluruh R/ yang masuk untuk myalgia, LBP, dan pegal-pegal untuk
pada semester pertama 2019 di Puskesmas Ngemplak II memenuhi ketepatan
cara pemberian. Seluruh obat berupa sediaan tablet dan kapsul dan tidak
terdapat kunjungan pasien anak maupun kondisi lain yang membutuhkan rute
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
36
selain peroral, sehingga keseluruhan R/ memenuhi ketepatan cara pemberian
obat.
Berdasarkan analisis di atas, dapat diketahui masih ada beberapa peresepan
yang tidak memenuhi lima kriteria rasionalitas, yaitu indikasi, jenis obat, dosis,
durasi pemberian, dan cara pemberian. Pada penelitian ini, rasionalitas hanya dilihat
dari kelima parameter tersebut, namun sebenarnya masih terdapat sembilan
parameter lain seperti tepat diagnosis, tepat informasi, tepat interval waktu
pemberian, waspada ESO (Efek Samping Obat), tepat penilaian kondisi pasien, obat
yang diterima harus efektif, tepat tindak lanjut, tersedia di setiap saat dengan harga
yang terjangkau, dan tepat penyerahan obat.
Selain itu, pada penelitian ini juga terdapat keterbatasan yang lain, yaitu
analisis yang dilakukan hanya berdasarkan satu alat ukur saja yaitu dengan melihat
literatur. Kondisi pasien, praktik klinis, serta outcome yang telah tercapai pada
pasien tidak dapat dijadikan alat ukur dalam penelitian karena subyek penelitian
yang ada hanya berupa lembaran-lembaran resep. Namun, sebenarnya dokter
memberikan resep-resep tersebut pasti dengan pertimbangan-pertimbangan khusus.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fitriani, et al., ada pengaruh pengetahuan
dan informasi tentang adanya formula obat baru mempengaruhi seorang dokter
terhadap kepatuhan menulis resep obat sesuai formularium. Selain itu, adanya
faktor pasien dengan keluhan dan keinginan yang bersifat individual sebagai pihak
yang melakukan transaksi pembayaran dapat mempengaruhi penulisan resep dokter
(Fitriani, et al., 2015).
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian mengenai “Evaluasi
Rasionalitas Peresepan Berdasarkan POR Nasional di Puskesmas Kecamatan
Ngemplak, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta” meliputi:
1. Ketidakrasionalan penggunaan antibiotik yang tidak mencapai indikator
POR Nasional di Puskesmas Ngemplak I pada kasus diare terjadi pada bulan
Januari (15,4%), Februari (27,3%), dan bulan Mei (13,3%).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
37
Ketidaktercapaian indikator POR Nasional di Puskesmas Ngemplak II
terjadi pada kasus ISPA di bulan Maret (25,3%), serta pada kasus diare di
bulan Mei (12,5%) dan bulan Juni (25%).
2. Rasionalitas peresepan di Puskesmas Ngemplak I untuk kasus ISPA non-
pneumonia me