executive summary kekerasan seksual

2
Executive Summary Mewujudkan Payung Hukum Perlindungan dan Pemulihan Perempuan Korban Kekerasan Seksual Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama mitra lembaga pengada layanan mendorong Negara mengambil langkah strategis untuk melakukan perlindungan dan pemulihan yang komprehensif, berkesinambungan dan holistik terhadap perempuan korban kekerasan seksual. Langkah strategis itu perlu diwujudkan antara lain melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan, sebagaimana tercermin dalam Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan. Argumentasi mendasar perlunya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan adalah bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan seksual, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus oleh Negara. Sementara itu, korban kekerasan seksual, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dan pemulihan dari negara agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kurun waktu 13 tahun terakhir berjumlah hampir seperempat dari seluruh total kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Bahkan, pada tahun 2012-2013 terdapat sekitar 30% peningkatan angka kekerasan seksual, dan itu sama artinya dengan 35 orang setiap harinya menjadi korban kekerasan seksual. Sehingga dengan demikian, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual tidak lagi dapat ditunda terutama dengan menunjukkan peran dan tanggung jawab Negara untuk mengatasinya. Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, setidaknya terdapat 15 bentuk kekerasan seksual. Kelima belas bentuk itu adalah: Perkosaan, Pelecehan seksual, Eksploitasi seksual, Penyiksaan seksual, Perbudakan seksual, Intimidasi, ancaman dan percobaan perkosaan, Prostitusi paksa, Pemaksaan kehamilan, Pemaksaan aborsi, Pemaksaan perkawinan, Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, Kontrol seksual seperti pemaksaan busana dan deskriminasi perempuan lewat aturan, Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan perempuan, Pemaksaan Sterilisasi/Kontrasepsi. Bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan seksual banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Dari 15 Bentuk Kekerasan Seksual, Komnas Perempuan mencermati hanya 3 di antaranya yang diuraikan definisi dan ancaman pidananya dalam Undang-Undang, walaupun dengan sejumlah catatan karena tidak

Upload: denny-septiviant

Post on 16-Aug-2015

217 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kekerasan seksual, komnas perempuan

TRANSCRIPT

Page 1: Executive Summary Kekerasan Seksual

Executive Summary Mewujudkan Payung Hukum Perlindungan dan Pemulihan

Perempuan Korban Kekerasan Seksual Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama mitra lembaga pengada layanan mendorong Negara mengambil langkah strategis untuk melakukan perlindungan dan pemulihan yang komprehensif, berkesinambungan dan holistik terhadap perempuan korban kekerasan seksual. Langkah strategis itu perlu diwujudkan antara lain melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan, sebagaimana tercermin dalam Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan.

Argumentasi mendasar perlunya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan adalah bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan seksual, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus oleh Negara. Sementara itu, korban kekerasan seksual, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dan pemulihan dari negara agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

Kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kurun waktu 13 tahun terakhir berjumlah hampir seperempat dari seluruh total kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Bahkan, pada tahun 2012-2013 terdapat sekitar 30% peningkatan angka kekerasan seksual, dan itu sama artinya dengan 35 orang setiap harinya menjadi korban kekerasan seksual. Sehingga dengan demikian, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual tidak lagi dapat ditunda terutama dengan menunjukkan peran dan tanggung jawab Negara untuk mengatasinya.

Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, setidaknya terdapat 15 bentuk kekerasan seksual. Kelima belas bentuk itu adalah: Perkosaan, Pelecehan seksual, Eksploitasi seksual, Penyiksaan seksual, Perbudakan seksual, Intimidasi, ancaman dan percobaan perkosaan, Prostitusi paksa, Pemaksaan kehamilan, Pemaksaan aborsi, Pemaksaan perkawinan, Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, Kontrol seksual seperti pemaksaan busana dan deskriminasi perempuan lewat aturan, Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan perempuan, Pemaksaan Sterilisasi/Kontrasepsi.

Bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan seksual banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Dari 15 Bentuk Kekerasan Seksual, Komnas Perempuan mencermati hanya 3 di antaranya yang diuraikan definisi dan ancaman pidananya dalam Undang-Undang, walaupun dengan sejumlah catatan karena tidak

Page 2: Executive Summary Kekerasan Seksual

komprehensif. KUHP tentang perkosaan, UU PTPPO tentang perdagangan orang walaupun tidak eksplisit disebutkan untuk tujuan seksual, dan UU Perlindungan Anak tentang eksploitasi seksual terhadap anak. Persoalan lainnya, penggunaan aturan tersebut seringkali terhambat pada aspek pembuktian yang selama ini merujuk pada KUHAP, terutama pencarian dua alat bukti yang seringkali menjadi kendala untuk membuktikan terjadinya suatu tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini diperburuk dengan masih minimnya Perspektif HAM dan Gender bagi Aparat Penegak Hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual sehingga proses pemeriksaan hingga persidangan justru berpotensi melahirkan kekerasan dan trauma baru kepada korban, termasuk potensi terjadinya impunitas pelaku dari sejak proses penyelidikan dan penyidikan karena tidak adanya analisa kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan korban. Hadirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan bertujuan mencegah segala bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan; melindungi perempuan korban kekerasan seksual; menindak pelaku kekerasan seksual; memulihkan korban, pendamping, keluarga, dan komunitas; dan memberikan tanggung jawab pada negara. Untuk mewujudkan tujuan dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan, maka ruang lingkup yang harus diatur dalam RUU adalah terkait pencegahan, perlindungan bagi korban, penanganan dan pemulihan korban Kekerasan Seksual yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Pendidikan, Lembaga Masyarakat, dan Keluarga. RUU ini juga mengatur peran serta masyarakat dan kelembagaan yang akan mengawal implementasi dari UU ini jika disahkan. Apabila ruang lingkup dan materi muatan tersebut terakomodir, maka kehadiran negara untuk perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual menjadi sungguh nyata adanya.

Jakarta, 17 September 2014