fabrikasi sera optik.pdf
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
FABRIKASI DAN KARAKTERISASI SERAT OPTIK
DENGAN METODE PRE-CASTING
Disusun Oleh :
NANANG AGUS SAPUTRO
NIM M0206055
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagian
persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains Fisika
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Januari, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini dibimbing oleh :
Pembimbing I
Ahmad Marzuki, S.Si, Ph.D
NIP. 19680508 199702 1 001
Pembimbing II
Dra. Riyatun, M.Si
NIP. 19680226 199402 2 001
Dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 6 Januari 2011
Anggota Tim Penguji :
1. Drs. Cari, M.A, Ph.D
(.............................................)
NIP. 19610306 198503 1 001
2. Drs. Usman Santosa, M.S
NIP. 19510407 197503 1 003
(.............................................)
Disahkan oleh
Jurusan Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Ketua Jurusan Fisika,
Drs. Harjana, M.Si, Ph.D
NIP. 19590725 198601 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “FABRIKASI
DAN KARAKTERISASI SERAT OPTIK DENGAN METODE PRE-CASTING”
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga belum pernah ditulis atau dipublikasikan oleh
orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka.
Surakarta, 20 Desember 2010
Nanang Agus Saputro
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Sebagian dari skripsi saya yang berjudul “FABRIKASI DAN
KARAKTERISASI SERAT OPTIK DENGAN METODE PRE-CASTING” telah
dipresentasikan dalam:
Seminar Nasional Sains dan Pendidikan Sains Tahun 2010 oleh Program Studi
Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univesitas
Muhammadiyah Purworejo pada tanggal 13 November 2010 dengan judul
“KARAKTERISASI SIFAT OPTIK DAN THERMAL BAHAN PLASTIK UNTUK
FIBER OPTIK”
Surakarta, 20 Desember 2010
Nanang Agus Saputro
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
FABRIKASI DAN KARAKTERISASI SERAT OPTIK DENGAN METODE PRE-CASTING
NANANG AGUS SAPUTRO Jurusan Fisika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Sebelas Maret
ABSTRAK
Tulisan ini berisi tentang fabrikasi dan karakterisasi serat optik dari bahan polimer menggunakan metode pre-casting. Metode pre-casting merupakan proses pencetakan serat optik dengan bahan yang sudah ada, bakal core berupa silinder pejal dan bakal cladding berupa silinder berlubang. Bakal core dari bahan Polymthlmethacrylate (PMMA) difabrikasi dengan variasi suhu sebesar 1800 C - 2500 C dengan cladding udara. Pekanan diberikan agar bahan keluar dari cetakan. Penekanan dilakukan dengan memberikan beban massa sebesar 510 gram. Untuk serat optik yang difabrikasi dengan variasi penekanan, massa yang digunakan sebesar 220 gram – 510 gram dengan menggunakan suhu 1900 C. Serat optik yang digunakan adalah serat optik dengan cladding Polyvinilclorida (PVC).
Dari hasil fabrikasi telah dapat dibuat serat optik dengan bahan polimer. Karakterisasi serat optik berupa keseragaman diameter dan rugi-rugi cahaya yang melewati serat optik. Besarnya keseragaman diameter diukur dengan menggunakan cara mekanik dan optik. Diameter yang diperoleh untuk variasi suhu sebesar 0,06 mm – 0,44 mm. Diameter yang diperoleh untuk variasi penekanan sebesar 0,086 mm – 0,108 mm. Rugi-rugi serat optik diukur dengan metode cut-off. Besarnya rugi-rugi serat optik sebesar 5,99 dB – 16,16 dB.
Kata kunci: fabrikasi, serat optik polimer, karakterisasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
FABRICATION AND CHARACTERIZATION OF OPTICAL FIBER WITH PRE-CASTING METHOD
NANANG AGUS SAPUTRO Departement of Physics. Mathematics and Natural Sciences Faculty.
Sebelas Maret University
ABSTRACT
Optical fiber fabrication and characterization of polymeric materials has been investigation using pre-casting method. Pre-casting method is a fiber drawing process of optical fiber with a material that already exists, would be in the form of cylindrical solid core and cladding will form hollow cylinders. Will Polymthlmethacrylate core of material (PMMA) was fabricated by varying the temperature of 1800 C – 2500 C with air cladding. Pressure given for materials out of the mold. Emphasis is done by giving the mass load of 510 grams. For optical fiber fabricated with variations in emphasis, which used mass of 220 grams - 510 grams by using a temperature of 1900 C. Optical fiber used is optical fiber with cladding Polyvinilclorida (PVC).
From the results of fabrication of optical fiber has to be made with polymer materials. Characterization of optical fiber diameter and uniformity of loss of light through optical fibers. The size uniformity of the diameter was measured by using mechanical and optical. Diameter obtained for the temperature variation of 0.06 mm – 0.44 mm. Diameter obtained for the variation suppression of 0.086 mm - 0.108 mm. Loss of optical fiber is measured by the cut-off method. The amount of optical fiber loss of 5.99 dB – 16.16 dB.
Keyword: fiber fabrication, polymer optical fiber, characterization
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Keberanian yang sebenarnya adalah bagaikan layang-layang,
hentakan angin yang menentang tidak melemparkannya ke bawah,
bahkan sebaliknya akan menaikkannya semakin tinggi.
(John Petti Senn)
Didiklah adikmu, karena ia akan hidup di masa mendatang.
(Al Hadits)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan kepada:
Bapak Ibuku Tercinta,
My Brother and Sister,
INDONESIA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahirobbil’alamin, Puji Syukur kehadirat Allah SWT, atas
segala limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi dengan judul “Fabrikasi dan Karakterisasi Serat Optik
dengan Metode Pre-Casting ” tanpa halangan suatu apapun.
Skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari banyak pihak,
karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ahmad Marzuki, S.Si, Ph.D. selaku Pembimbing I yang telah memberi
motivasi, bimbingan, ide serta saran dalam penyusunan skripsi.
2. Dra. Riyatun, M.Si, selaku Pembimbing II yang telah mengingatkan
dalam menulis serta memberikan masukannya kepada penulis.
3. Bapak Mohtar Yunianto, S.Si, M.Si, selaku pembimbing akademik yang
banyak memberikan, arahan, rancangan dalam proses belajar serta ajaran
saling menyapanya.
4. Bapak dan Ibu dosen serta staff di Jurusan Fisika FMIPA UNS.
5. Mas David (David Harjanto, ST) selaku teknisi laboratorium yang telah
membantu dalam proses pengerjaan skripsi.
6. Keluarga besar UPT Laboratorium Pusat FMIPA UNS, yang membantu
dalam proses pengerjaan skripsi dan memberikan kemudahan dalam
pemakaian alat percobaan.
7. Ayah dan Ibu tercinta, yang selalu memberikan doa, perhatian, dan
motivasi yang tak terkirakan.
8. Dua saudaraku, masing-masing dari kalian yang telah memberikan
karakter yang kuat dalam keluarga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
9. Wiwit, Teguh, Hastho, Mukhlis, Sigit. Selaku teman-teman yang telah
membantu selama berada di wisma biru.
10. Dewan. P dan Dwi. S, selaku rekan satu bimbingan yang telah membantu
dalam penyusunan skripsi di lab optika dan photonika Jurusan Fisika
FMIPA UNS
11. Gizka, Udin, Yudha, yang telah memberi masukan dan perhatiannya.
12. OG aye (sang pemberi Motivasi), Korti, Toni, Hastho, Sigit, Teguh, Fu’ad,
Tatag, Christ, Suryono, Udin, Herlina, Fajriyah, Bundo. Tetap jalin
silaturahmi dan jaya FISIKA 2006.
13. Fisika angkatan 2007, 2008, 2009, dan 2010.
14. Semua pihak yang telah membantu penulis sehingga laporan penelitian ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik atas kebaikan dan
bantuan yang telah Anda berikan. Selain itu semoga isi dari skripsi yang telah
kami susun dapat memberikan informasi tentang fabrikasi dan karakterisasi serat
optik berupa keseragaman diameter dan rugi-rugi serat optik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................... iii
HALAMAN ABSTRAK............................................................................ v
HALAMAN ABSTRACT ......................................................................... vi
MOTTO ..................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ...................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ............................................................................... ix
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiv
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xviii
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................ 2
1.3. Batasan Masalah ............................................................. 3
1.4. Tujuan Penelitian ............................................................ 3
1.5. Manfaat Penelitian .......................................................... 3
1.6. Sistematika Penulisan ..................................................... 4
2. DASAR TEORI
2.1. Pembiasan Cahaya (Refraksi) ......................................... 5
2.2. Indeks Bias ...................................................................... 6
2.3. Pemantulan Internal Sempurna ....................................... 6
2.4. Prinsip Kerja Serat Optik ................................................ 7
2.4.1. Modus Transmisi................................................. 7
2.4.2. Numerical Aperture............................................. 7
2.5. Struktur dan Macam-macam Serat Optik ........................ 9
2.5.1. Serat Optik Single Mode Fiber Step Index .......... 10
2.5.2. Serat Optik Multi Mode Step Index ..................... 10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
2.5.3. Serat Optik Multi Mode Fiber Graded Index...... 11
2.6. Serat Optik Polimer ......................................................... 11
2.7. Difraksi............................................................................ 12
2.8. Analisa Thermal .............................................................. 13
2.9. Viskositas ........................................................................ 15
2.10. Viskoelastis Sifat Bahan ................................................. 17
2.11. Fabrikasi Serat Optik Polimer ......................................... 19
2.12. Metode Pre-Casting ........................................................ 19
2.13. Polimer ............................................................................ 20
2.14. Rugi-rugi Pada Serat Optik ............................................. 21
2.14.1. Rugi-rugi karena Bahan ..................................... 21
2.14.1.1. Absorbtion Loss .......................................... 21
2.14.1.2. Rayleigh Scattering Loss ............................ 22
2.14.2. Rugi-rugi karena Penggunaan sebagai Transmisi 22
2.14.2.1. Rugi-rugi karena Pelengkungan ................. 22
2.14.2.2. Microbending Loss ..................................... 23
2.14.2.3. Splicing Loss ............................................... 24
2.14.2.4. Rugi-rugi Coupling ..................................... 24
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ......................................... 25
3.2. Peralatan yang Digunakan .............................................. 25
3.3. Bahan Penelitian ............................................................. 26
3.4. Prosedur dan Pengumpulan Data .................................... 26
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Penyiapan Alat dan Bahan .............................................. 34
4.1.1. Alat Fabrikasi ...................................................... 34
4.1.1.1. Hasil .............................................................. 34
4.1.1.2. Pembahasan .................................................. 35
4.1.1.2.1. Furnace dan Tenperature Control ....... 35
4.1.1.2.2. Alat Penekan………………… ............ 36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
4.1.1.2.1. Motor Pemutar ..................................... 37
4.1.2. Karakterisasi Sifat Optik Bahan ........................... 37
4.1.2.1. Hasil .............................................................. 37
4.1.2.1.1. Absorbansi ........................................... 37
4.1.2.1.2. Indeks Bias .......................................... 39
4.1.2.2. Pembahasan ..................................................... 40
4.1.2.2.1. Absorbansi ........................................... 40
4.1.2.1.2. Indeks Bias .......................................... 41
4.1.3. Karakterisasi Sifat Thermal Bahan ...................... 43
4.1.3.1. Hasil .............................................................. 43
4.1.3.2. Pembahasan .................................................. 44
4. 2. Fabrikasi Serat Optik Polimer .......................................... 46
4.2.1. Hasil ..................................................................... 46
4.2.1.1. Fabrikasi Inti (Core) ..................................... 46
4.2.1.2. Fabrikasi Core dan Cladding dengan
Variasi Tekanan ............................................ 48
4.2.2. Pembahasan ......................................................... 49
4.3. Karakterisasi Serat Optik Polimer ..................................... 52
4.3.1. Keseragaman Diameter ....................................... 52
4.3.1.1. Hasil .............................................................. 53
4.3.1.2. Pembahasan .................................................. 55
4.3.2. Pengukuran Rugi-rugi Serat Optik ...................... 56
4.3.2.1. Hasil .............................................................. 56
4.3.2.2. Pembahasan .................................................. 57
5. SIMPULAN
5.1 Simpulan ......................................................................... 59
5.2. Saran................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 60
LAMPIRAN-LAMPIRAN......................................................................... 62
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Arah pembiasan cahaya (a) Mendekati garis normal (b)
Menjauhi garis normal ....................................................... 5
Gambar 2.2 Pemantulan internal sempurna ........................................... 6
Gambar 2.3 Sudut dimana sinar dapat diterima serat optik ................... 8
Gambar 2.4 Bagian-bagian serat optik ................................................... 9
Gambar 2.5 Serat optik single mode step index ..................................... 10
Gambar 2.6 Serat optik multi mode step index ...................................... 10
Gambar 2.7 Serat optik multi mode graded index ................................. 11
Gambar 2.8 Difraksi ............................................................................... 12
Gambar 2.9 DTA pada pemanasan (a) Gelas yang tidak mengalami
devitrifikasi dan tidak memperlihatkan proses thermal
lain selain titik transisi gelas Tg dan (b) Gelas yang
mengalami devitrifikasi di atas Tg ..................................... 14
Gambar 2.10 Perubahan bentuk akibat penerapan gaya geser tetap ........ 15
Gambar 2.11 Uji thermal polycarbonate ................................................. 18
Gambar 2.12 Perubahan modulus terhadap suhu dan transisi ................. 18
Gambar 2.13 Set-up alat metode pre-casting ........................................... 20
Gambar 2.14 Rugi-rugi karena pelengkungan ......................................... 22
Gambar 2.15 Numerical Aperture ............................................................ 23
Gambar 2.8 Rugi-rugi karena mircobending ......................................... 23
Gambar 3.1 Diagram alir tahap-tahap penelitian ................................... 27
Gambar 3.2 Sampel bahan polimer (a) PMMA (b) PVC ....................... 29
Gambar 3.3 Pengukuran diameter core sebanyak 10 titik ..................... 31
Gambar 3.4 Set-up alat pengukuran diameter dengan difraksi .............. 31
Gambar 3.5 Metode cut-off .................................................................... 33
Gambar 4.1 (a) Fiber Tower (b) Furnace (c) Alat penekan (d) Motor
penggulung ......................................................................... 34
Gambar 4.2 Spectrum absorbansi PMMA ............................................. 38
Gambar 4.3 Spectrum absorbansi PVC .................................................. 38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
Gambar 4.4 Pengukuran dengan sudut Brewster bahan PMMA dan
PVC .................................................................................... 39
Gambar 4.5 Kurva hubungan panjang gelombang dengan koefisien
absorbsi (a) PMMA (b) PVC ............................................. 40
Gambar 4.6 Kurva absorbansi NAD dan NADH ................................... 41
Gambar 4.7 Kurva karakterisasi thermal bahan PMMA ........................ 43
Gambar 4.8 Kurva karakterisasi thermal bahan PVC ............................ 44
Gambar 4.9 Bakal core diberi penekanan pada saat pencetakan ........... 50
Gambar 4.10 Hasil pengukuran diameter dengan cara mekanik (a) Suhu
1800 C (b) Suhu 1900 C (c) Suhu 2000 C (d) suhu 2100 C
(e) Suhu 2400 C (f) Suhu 2500 C ........................................ 53
Gambar 4.11 Hasil pengukuran diameter dengan difraksi ....................... 54
Gambar 4.12 Pengukuran keseragaman diameter pada tiap-tiap titik
dengan variasi penekanan menggunakan mikrometer
skrub ................................................................................... 54
Gambar 4.13 (a) Pengaruh suhu terhadap diameter (b) Pengaruh beban
massa alat penekan terhadap diameter pada saat proses
pencetakan serat optik polimer ........................................... 56
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbedaan sifat polimer thermoplas dengan polimer
thermoset ............................................................................. 21
Tabel 4.1 Data pengukuran diameter serat optik yang dicetak pada
suhu 2400 C beban massa 510 gram, λ = 633 nm, dan
D = 1,27 m .......................................................................... 47
Tabel 4.2 Data pengukuran diameter serat optik yang dicetak dengan
pemberian beban massa 510 gram pada suhu 1900 C .......... 50
Tabel 4.3 Data diameter rata-rata dengan variasi suhu, dengan beban
massa alat penekan 510 gram ............................................... 55
Tabel 4.4 Data diameter rata-rata dengan variasi massa, dengan suhu
1900 C ................................................................................... 55
Tabel 4.5 Hasil pengukuran rugi-rugi serat optik polimer yang
dicetak dengan variasi suhu ................................................. 57
Tabel A.1 Data Pengukuran indeks bias dengan sudut Brewster bahan
PMMA ................................................................................ 62
Tabel A.2 Data Pengukuran indeks bias dengan sudut Brewster bahan
PVC ...................................................................................... 64
Tabel B.1 Data pengukuran keseragaman diameter (pengaruh suhu)
dengan cara mekanik ............................................................ 66
Tabel C.1 Data pengukuran keseragaman diameter dengan cara optik
pada suhu 2500 C.................................................................. 68
Tabel C.2 Data pengukuran keseragaman diameter dengan cara optik
pada suhu 2400 C.................................................................. 69
Tabel C.3 Data pengukuran keseragaman diameter dengan cara optik
pada suhu 2100 C.................................................................. 70
Tabel C.4 Data pengukuran keseragaman diameter dengan cara optik
pada suhu 2000 C.................................................................. 71
Tabel C.5 Data pengukuran keseragaman diameter dengan cara optik
pada suhu 1900 C.................................................................. 72
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
Tabel C.6 Data pengukuran keseragaman diameter dengan cara optik
pada suhu 1800 C.................................................................. 73
Tabel D.1 Data pengukuran keseragaman diameter (pengaruh
penekanan) dengan mikrometer skrub ................................. 74
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Data penentuan indeks bias dengan sudut Brewster ........... 62
Lampiran B. Data pengukuran keseragaman diameter (pengaruh suhu)
denagan cara mekanik ......................................................... 66
Lampiran C. Data pengukuran keseragaman diameter (pengaruh suhu)
dengan cara optik ................................................................ 68
Lampiran D. Data pengukuran keseragaman diameter (pengaruh
penekanan) dengan mikrometer skrub ................................ 74
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penemuan serat optik sebagai media transmisi didasarkan pada hukum
Snellius untuk perambatan cahaya pada media transparan seperti pada kaca yang
terbuat dari kuartz kualitas tinggi dan dibentuk dari dua lapisan utama yaitu
lapisan inti yang biasanya disebut core (indeks bias ¢囊) dan dilapisi oleh
cladding dengan indeks bias ¢挠. Menurut hukum Snellius jika seberkas sinar
masuk pada suatu ujung serat optik ( media yang transparan ) sedemikian hingga
saat mengenai bidang batas core-cladding, sudut datangnya bernilai lebih besar
atau sama dengan sudut kritis maka seluruh sinar akan merambat sepanjang inti
(core) serat optik menuju ujung yang satu (Kuzyk, 2007).
Dalam teknologi serat optik telah dilakukan berbagai macam riset guna
memperbaiki kualitas bahan maupun melakukan pengembangan terhadap
teknologi transmisi sinyal. Sebagaimana halnya serat optik yang dibuat dari bahan
kaca, serat optik plastik penjalaran cahayanya tidak terpengaruh oleh gangguan
elektromagnetik, sehingga menarik untuk digunakan sebagai saluran transmisi.
Selain itu serat optik plastik bersifat dielektris sehingga menghindari risiko akibat
arus hubung singkat, sehingga cocok digunakan di daerah yang eksplosif dan
rawan kebakaran, seperti di kawasan industri. Harga dari serat optik plastikpun
murah dibandingkan serat optik kaca (Waluyo, Nehru, 2000).
Masalah dalam teknologi serat optik di Indonesia adalah serat-serat
tersebut masih diimpor, sehingga tingkat ketergantungan akan serat optik tersebut
tinggi. Kebutuhan serat optik yang begitu pesat tidak diimbangi dengan adanya
produksi serat optik. Untuk mengurangi angka ketergantungan tersebut maka lab
optika dan photonika Universitas Sebelas Maret Surakarta melakukan penelitian
tentang fabrikasi serat optik polimer. Tujuannya adalah mencari kondisi fabrikasi
serat optik sehingga dapat dihasilkan serat optik yang dengan tingkat keseragaman
diameter yang baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Pada penelitian ini peneliti mencetak serat optik dengan metode pre-
casting dengan bakal core berupa silinder pejal dan bakal cladding berupa silinder
berlubang menjadi dasar dalam proses pencetakan ini. Bakal core dimasukkan
kedalam bakal cladding yang dalam proses ini terlihat bahwa serat optik dapat
dibuat ketika memenuhi syarat yaitu indek bias core berbeda dengan indek bias
cladding, selain itu bahan yang digunakan bening/ transparan dan tentunya serat
optik yang dihasilkan dapat mentransmisikan cahaya (Keiser, 2000).
Dari bakal core yang dimasukkan ke dalam cladding menyerupai stuktur
serat optik yang terdiri dari core dan cladding menjadi dasar pemikiran untuk
membuat fiber optik dari bahan plastik menggunakan metode pre-casting. Yaitu
pencetakan serat optik dengan bakal core dan cladding yang sudah ada. Pada
penelitian ini peneliti melakukan pengamatan tentang pengaruh suhu dan beban
massa alat penekan, dengan ketinggian dibuat konstan. Kegiatan fabrikasi fiber
dilihat dari ilmu material melitputi kegiatan berupa pemilihan dan karakterisasi
bahan, fabrikasi fiber dan karakterisasi fiber. Bahan yang digunakan dalam
penelitian adalah Polymethlmetacrylate (PMMA), yaitu bahan yang saat ini bagus
digunakan sebagai bahan pembuat serat optik.
1.2. Perumusan Masalah
Kualitas suatu serat optik sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan
pembuatnya dan bagaimana serat optik tersebut difabrikasi. Pada tahap penelitian
sekarang ini, konsentrasi penelitian akan diletakkan pada kondisi fabrikasi serat
optik. Berdasarkan kondisi tersebut maka permasalahan yang timbul adalah:
1. Bagaimana pengaruh suhu dan beban massa alat penekan terhadap
diameter core pada saat pencetakan serat optik.
2. Bagaimana kondisi homogenitas serat optik dilihat dari keseragaman
diameter dari hasil fabrikasi dengan variasi suhu dan penekanan.
3. Bagaimana menghasilkan produk serat optik dengan cahaya yang
dapat ditransmisikan, dengan memperhatikan keseragaman diameter
berdasarkan karakterisasinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
1.3. Batasan Masalah
Permasalahan pada penelitian ini dibatasi pada:
1. Metode yang digunakan adalah metode pre-casting.
2. Proses pencetakan menggunakan variasi suhu sebesar 1800 C, 1900 C,
2000 C, 2100 C, 2400 C, 2500 C. Variasi ini dengan pertimbangan
bahwa bahan Polymethlmetacrylate (PMMA) sudah mulai meleleh
pada suhu 2500 C.
3. Penekanan diberikan dengan menggunakan beban massa alat penekan
seberat 220 gram, 480 gram, dan 510 gram.
4. Bahan yang digunakan sebagai core dalam proses pencetakan serat
optik adalah Polymethlmetacrylate (PMMA).
1.4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Melakukan studi pendahuluan sifat fisis dari bahan PMMA dan PVC
sebagai bahan serat optik.
2. Melakukan fabrikasi serat optik dari bahan PMMA sebagai core dan
PVC sebagai cladding.
3. Melakukan karakterisasi terhadap ukuran diameter serat optik dengan
variasi suhu fabrikasi dan variasi penekanan.
4. Melakukan karakterisasi sifat optik serat optik yaitu menentukan rugi-
rugi serat optik.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Menghasilkan serat optik polimer yang dapat mentransmisikan cahaya.
2. Memberikan informasi tentang pencetakan serat optik dengan
menggunakan bakal core dan bakal cladding yang sudah ada (metode
pre-casting).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
3. Memberikan manfaat untuk perkembangan teknologi serat oprik serta
sebagai langkah awal dalam mengurangi ketergantungan terhadap
impor teknologi serat optik.
1.6. Sistematika Penulisan
Penulisan laporan Tugas Akhir (TA) ini mengikuti sistematika penulisan
sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, bab ini berisi latar belakang penelitian, perumusan
masalah, batasan masalah, tujuan dari penelitian, manfaat penelitian,
serta sistematika penulisan Tugas Akhir (TA).
BAB II Dasar Teori, bab ini berisi teori dasar dari penelitian yang dilakukan
BAB III Metodologi Penelitian, bab ini menerangkan tentang metode penelitian
yang meliputi waktu, tempat dan pelaksanaan penelitian, alat dan
bahan yang digunakan, serta langkah-langkah dalam penelitian
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, bab ini berisi tentang hasil penelitian
dan analisa/ pembahasan yang dibahas dengan acuan dasar teori yang
berkaitan dengan penelitian.
BAB V Penutup, bab ini berisi simpulan dari hasil pembahasan di bab
sebelumnya dan saran-saran untuk pengembangan lebih lanjut Tugas
Akhir (TA) ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
BAB II
DASAR TEORI
2.1. Pembiasan Cahaya (Refraksi)
Pembiasan cahaya adalah peristiwa penyimpangan atau pembelokan
cahaya karena melalui dua medium yang berbeda kerapatan optiknya. Arah
pembiasan cahaya dibedakan menjadi dua macam yaitu :
1. mendekati garis normal
Cahaya dibiaskan mendekati garis normal jika cahaya merambat dari
medium optik kurang rapat ke medium optik lebih rapat.
2. menjauhi garis normal
Cahaya dibiaskan menjauhi garis normal jika cahaya merambat dari
medium optik lebih rapat ke medium optik kurang rapat.
Gambar 2.1 adalah gambar arah pembiasan cahaya dengan �囊 < �挠.
a.) b.)
Gambar 2.1. Arah pembiasan cahaya
a.) Mendekati garis normal b.) Menjauhi garis normal
Syarat-syarat terjadinya pembiasan adalah sebagai berikut:
1. Cahaya melalui dua medium yang berbeda kerapatan optiknya.
2. Cahaya datang tidak tegak lurus terhadap bidang batas (sudut datang
lebih kecil dari 90O).
r
i
n1
n2
Cahaya bias
Normal
Cahaya datang
r
i n1
air
Cahaya bias
Cahaya
datang
n2
Normal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
2.2. Indeks Bias
Pembiasan cahaya dapat terjadi dikarenakan perbedaan laju cahaya pada
kedua medium. Laju cahaya pada medium yang rapat lebih kecil dibandingkan
dengan laju cahaya pada medium yang kurang rapat. Perbandingan laju cahaya
dalam ruang hampa (c) dengan laju cahaya dalam suatu zat (v) dinamakan indeks
bias (n) (Xicheng, dkk, 2007). Nilai indeks bias secara matematis ditunjukkan
pada persamaan 2.1.
� = 品剖 (2.1)
2.3. Pemantulan Internal Sempurna (Total Internal Reflection)
Pemantulan internal sempurna adalah pemantulan yang terjadi pada
bidang batas dua zat bening yang berbeda kerapatan optiknya. Pada gambar 2.2
ditunjukkan pemantulan sempurna dengan bidang batas dua zat �囊 dan �挠 dengan �囊 < �挠.
Gambar 2.2. Pemantulan internal sempurna
Cahaya datang yang berasal dari �挠 (medium optik lebih rapat) menuju ke
udara (medium optik kurang rapat) dibiaskan menjauhi garis normal (berkas
cahaya J). Pada sudut datang tertentu, maka sudut biasnya akan 900 dan dalam hal
ini berkas bias akan berimpit dengan bidang batas (berkas K). Sudut datang ini
dinamakan sudut kritis (sudut batas). Apabila sudut datang melebihi sudut kritis,
n1
n2
cahaya datang
cahaya bias
cahaya pemantulan sempurna
J K L
bidang batas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
maka cahaya tidak lagi dibiaskan, tetapi seluruhnya dipantulkan (berkas L).
Peristiwa inilah yang dinamakan pemantulan internal sempurna.
Syarat terjadinya pemantulan internal sempurna adalah:
1. Cahaya datang berasal dari zat yang lebih rapat menuju ke zat yang lebih
renggang.
2. Sudut datang lebih besar dari sudut kritis.
2.4. Prinsip Kerja Serat Optik
2.4.1. Modus Transmisi
Cahaya yang merambat di dalam serat optik pada kenyataannya adalah
sekumpulan gelombang elektromagnetik (EM) yang menduduki selapis pita
frekuensi tipis pada spektrum elektromagnetik. Dengan demikian, cahaya
merambat dalam bentuk gelombang elektromagnetik di dalam serat optik.
Gelombang elektromagnetik memiliki komponen medan listik dan medan magnet,
dan masing-masing komponen ini membentuk pola-pola tertentu di dalam serat
optik. Pola-pola ini disebut sebagai modus transmisi. Modus transmisi merupakan
metode transmisi sebuah gelombang cahaya. Sebuah serat optik hanya dapat
mengakomodir modus dalam jumlah yang terbatas. Hal ini dikarenakan tiap-tiap
modus adalah sepasang pola medan listrik dan medan magnet memiliki ukuran
fisik tertentu. Ukuran inti serat optik menentukan seberapa banyak modus yang
dapat lewat di dalamnya (Crisp, 2001).
2.4.2. Numerical Aperture
Sinar cahaya yang masuk ke dalam inti serat optik membentuk sudut
datang tertentu terhadap poros serat optik. Sudut yang menuju ke arah permukaan
serat optik, tidak semua akan diteruskan. Tetapi ada syarat tertentu agar sinar yang
datang tersebut dapat diteruskan. Gambar 2.3 menunjukkan adanya sudut dimana
sinar diterima oleh serat optik yang disebut sebagai numerical aperture.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
q max
qi
nudara = 1
3
21
cladding
cladding
core n1
qr (Sudut kritis)
1
2 3
90
1 Cahaya yang masuk ke clading
2 Cahaya yang masuk dengan sudut kritis
3 Cahaya yang mengalir ke dalamcore
q max
qc
Daerah dimana sinar dapat diterimaoleh serat optik
Gambar 2.3. Sudut dimana sinar dapat diterima oleh serat optik
(Telkom, 2004)
Sinar tak dapat diterima jika melebihi wilayah θmax. Karena sinar yang
masuk memiliki sudut datang lebih besar dari θmax sehingga sinar tersebut masuk
namun tidak dapat berlanjut dan keluar. Sedangkan semua sinar yang berada di
wilayah θmax dapat masuk ke dalam serat optik, dengan batas kritis sejauh θmax.
Dengan menerapkan hukum snellius, θmax dapat ditentukan dengan
persamaan
212
2211,0 )(sinsin nnnn cmak -== qq (2.2)
Dimana 凰品= 气挠− 凰平 Persamaan 2.2 juga dapat digunakan untuk menghitung Numerical Aperture (NA)
D»-=== 2)(sinsin 12
122
211,0 nnnnnNA cmak qq (2.3)
Parameter Δ dikatakan sebagai perbedaan indeks core-cladding , didefinisikan
sebagai
)1(12 D-= nn (2.4)
Dimana perbedaan indeks Δ lebih kecil dari 1. Sejak numerical aperture
berhubungan dengan sudut maksimal yang dapat diterima, persamaan itu dapat
digunakan untuk menjelaskan sinar yang diterima serat optik dan untuk
menghitung efisiensi sumber sinar menuju serat optik (Keiser, 2000).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
2.5. Struktur dan Macam-Macam Serat Optik
Serat optik adalah suatu dielektrik waveguide yang beroperasi pada
frekuensi optik atau cahaya. Serat optik berbentuk silinder dan menyalurkan
energi gelombang elektromagnetik dalam bentuk cahaya di dalam permukaannya
dan mengarahkan cahaya pada sumbu aksisnya. Hal-hal yang mempengaruhi
transmisi dengan waveguide ditentukan oleh karakteristik bahannya, yang
merupakan faktor penting dalam penyaluran suatu sinyal sepanjang serat optik
(Walydainy, 2000).
Stuktur serat optik biasanya terdiri atas 3 bagian. Strukturnya ditunjukkan
pada Gambar 2.4, yaitu:
Coating (Buffer primer)
Selimut (clading)
Inti ( )core
Gambar 2.4. Bagian-bagian serat optik
a. Bagian yang paling utama dinamakan inti (core). Di bagian ini gelombang
cahaya yang dikirim dirambatkan. Inti (core) mempunyai indeks bias lebih
besar dari lapisan kedua. Inti (core) mempunyai diameter yang bervariasi
antara 5 – 50 mm tergantung jenis serat optiknya.
b. Bagian kedua dinamakan lapisan selimut/ selubung (cladding). Bagian ini
mengelilingi bagian inti dan mempunyai indeks bias lebih kecil dibanding
dengan bagian inti.
c. Bagian ketiga dinamakan jaket (coating/buffer primer). Bagian ini merupakan
pelindung lapisan inti dan selimut yang terbuat dari bahan plastik elastik
(Walidainy, 2000).
Jenis-jenis serat optik ada 3, yaitu Single Mode Fiber (SMF) Step index,
Multi Mode Fiber (MMF ) Step index, Multi Mode Fiber (MMF) Gradded index.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
2.5.1 Serat Optik Single Mode Fiber (SMF) Step index
Serat optik single mode umumnya terbuat dari bahan gelas silika (SiO2).
Ukuran core atau intinya adalah 8 - 12 mm sedangkan diameter cladding-nya 125
mm (Gambar 2.5). Dalam fiber jenis ini hanya satu berkas cahaya (satu mode)
yang dapat melaluinya.
Gambar 2.5. Serat optik Single Mode Step Index (Keiser, 2000)
2.5.2 Serat Optik Multi Mode Fiber Step Index
Serat optik Multi Mode Fiber (MMF) Step index terbuat dari bahan gelas
silica (SiO2). Ukuran intinya 50 - 200 mm, diameter selubungnya 125 - 400mm
(Gambar 2.6). Diameter core lebih besar dari Single Mode Fiber sehingga banyak
mode yang dapat melaluinya.
Gambar 2.6. Serat optik Multimode Step-Index (Keiser, 2000)
Jenis serat ini disebut multimode karena cahaya yang merambat dari satu
ujung ke ujung lainnya, terjadi dengan melalui beberapa lintasan cahaya.
Diameter inti (core) sebesar 50 mm - 200 mm dan diameter selubung (cladding)
125 mm - 400 mm.
8-12 mm
125 mm
n
nc
nf
50-200 mm nc
nc
nf 125-400 mm
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
2.5.3 Serat Optik Multi Mode Fiber Gradded Index
Serat optik Multi Mode Fiber Gradded Index biasanya terbuat dari multi
component glass & silica glass tapi dapat juga terbuat dari bahan lainnya. Ukuran
intinya 50 - 100 mm dan diameter selubungnya 125 - 140 mm. Ditunjukkan pada
gambar 2.7.
Gambar 2.7. Serat optik Multimode Gradded Index (Keiser, 2000)
Serat optik Multimode Gradded Index (Gambar 2.6) mempunyai indeks
bias yang merupakan fungsi dari jarak terhadap sumbu/poros serat optik.
Sehingga sinar akan dibiaskan secara bertingkat-tingkat menjauhi selubung dan
mendekati sumbu inti fiber optik, dengan demikian cahaya yang menjalar melalui
beberapa lintasan pada akhirnya akan sampai pada ujung lainnya pada waktu yang
bersamaan.
2.6. Serat Optik Polimer
Struktur dasar serat optik plastik (POF, plastic optical fiber), sebagaimana
serat optik gelas, adalah silinder konsentris yang bagian dalamnya disebut inti
(core) dan bagian luar yang disebut selubung (cladding). Cahaya menjalar di
dalam inti berdasarkan prinsip pantulan total akibat perbedaan indeks bias pada
bidang batas inti-selubung. Serat optik plastik yang paling umum digunakan
adalah intinya terbuat dari PMMA (polymethyl methaacrylate) dengan indeks bias
sekitar 1,49. Sebagai selubung umumnya digunakan bahan-bahan kopolimer dari
methacrylate, fluoro-alkyl, dan tetrafluoroethylene (dengan indeks bias sekitar
nf
n
nc
50-100 mm 125-140 mm
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
1,40 – 1,42). Diameter serat umumnya 1 min (90% merupakan inti karena
selubungnya merupakan lapisan tipis yang menyelimuti inti.
Indeks bias bahan core harus lebih besar dari indeks bias bahan cladding.
Bahan core tidak harus terbuat dari bahan yang sejenis dengan cladding, jadi serat
optik (fiber optic) bisa terbuat dari selembar senar transparant yang berfungsi
sebagai core dengan cladding udara, sebuah air sebagai core dan udara sebagai
claddingnya, dan lain sebagainya (Saleh, 1991).
2.7 Difraksi
Difraksi mempunyai manfaat yang besar dalam teknologi misalnya adalah
teknologi pembuatan disk. Data diolah melalui sifat-sifat optik yang menerapkan
teori difraksi. Contoh lain adalah untuk pengukuran diameter serat optik. Caranya
adalah dengan meletakkan sehelai rambut dalam obyek yang disinari dengan
cahaya dari laser dengan panjang gelombang tertentu. Hasilnya adalah pola gelap-
terang yang terlihat pada layar. Pola gelap terang terjadi karena difraksi. Difraksi
adalah peristiwa pembelokan gelombang saat melewati suatu obyek (misalnya
berupa rintangan ataupun celah) dalam hal ini rintangan (slit) berupa serat optik.
Proses difraksi ditunjukkan pada gambar 2.8.
Gambar 2.8. Difraksi
dengan, d ketebalan slit, λ panjang gelombang laser m orde terang ke-, D jarak slit
dengan layar, �屏 jarak terang ke- dengan pusat, ketebalan serat optik dapat diukur
dengan persamaan 2.5.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
� = 纵企屏劈邹瞥三 (2.5)
Pola gelap terang yang tampak pada layar diukur jarak terang pusat
dengan terang ke-1 (�屏囊) untuk mendapatkan diameter pada m = 1, sedangkan
untuk panjang gelombang serta jarak sumber dengan layar diketahui. Untuk m = 2
diukur jarak pusat terang ke-1 dengan terang ke-2 begitu seterusnya hingga m = n.
Besarnya diameter rata-rata adalah rata-rata diameter pada tiap-tiap pengukuran.
Pengukuran tersebut dilakukan untuk satu titik. Titik berikutnya diukur dengan
cara yang sama. Pada penelitian, cara ini digunakan untuk mengukur keseragaman
diameter serat optik.
2.8. Analisa Thermal
Analisa thermal dalam proses fabrikasi serat optik adalah penting
(Kasmayadi, Murwani, 2007). Dengan dilakukan analisa thermal dapat diketahui
karakteristik bahan yaitu perubahan fase zat yang meliputi suhu glass transisi
(Tg), kristalisasi (Tc) serta leleh (Tm). Data-data tentang analisa thermal
mempunyai peran penting dalam menentukan suhu fabrikasi.
Analisa termal diferensial adalah teknik dimana suhu dari sampel
dibandingkan dengan material referen inert selama perubahan suhu terprogram.
Suhu sampel dan referen akan sama apabila tidak terjadi perubahan, namun pada
saat terjadinya beberapa peristiwa termal, seperti pelelehan, dekomposisi atau
perubahan struktur kristal pada sampel, suhu dari sampel dapat berada di bawah
(apabila perubahannya bersifat endotermik) ataupun di atas ( apabila perubahan
bersifat eksotermik) suhu referen.
Penggunaan penting dari DTA (Differential Thermal Analysis) dan DSC
(Differential Scanning Calorimetry) pada gelas adalah untuk mengukur suhu
transisi gelas, Tg. Titik ini tidak muncul sebagai puncak yang jelas namun sebagai
perluasan anomali dari baseline pada kurva DTA, seperti yang ditunjukkan pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Gambar 2.9. Tg menunjukkan suhu dimana suatu gelas mengalami transformasi
dari padatan yang rigid menjadi cairan supercooled dan sangat viscous.
Gambar 2.9. DTA pada pemanasan (a) Gelas yang tidak mengalami devitrifikasi dan
tidak memperlihatkan proses thermal lain selain titik transisi gelas Tg dan (b) Gelas
yang mengalami devitrifikasi di atas Tg
Untuk gelas-gelas yang sangat stabil secara kinetik, seperti gelas silika,
titik transisi gelas Tg biasanya merupakan satu-satunya proses termal yang
terdeteksi pada DTA (Differential Thermal Analysis) karena kristalisasi terlalu
lambat untuk dapat berlangsung. (Gambar 2.9.a). Untuk jenis gelas lainnya,
kristalisasi atau devitrifikasi dapat muncul pada temperatur tertentu di atas Tg dan
di bawah titik leleh, Tm. Devitrifikasi nampak sebagai suatu proses eksoterm yang
diikuti dengan proses endoterm pada suhu yang lebih tinggi yang berkorelasi
dengan pelelehan dari kristal-kristal yang sama. (Gambar 2.9.b.). Titik transisi
gelas merupakan sifat penting dari gelas karena sifat ini merepresentasikan batas
suhu atas sebelum gelas mengalami fase kristalisasi. Untuk mengurangi loss pada
serat optik maka serat optik difabrikasi dengan suhu disekitar gelas transisi atau
gelas harus bebas dari Kristal. Oleh sebab itu serat optik harus dicetak antara Tg
dan Tc.
2.9. Viskositas
Viskositas merupakan kekentalan fluida. Viskositas bahan umumnya
sangat tergantung pada suhu. Viskositas turun dengan kenaikan suhu, semakin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
tinggi suhu maka viskositas bahan semakin turun dan semakin rendah suhu maka
viskositas bahan semakin naik.
Viskositas fluida merupakan ukuran ketahanan sebuah fluida terhadap
deformasi atau perubahan bentuk. Viskositas dipengaruhi oleh temperatur,
tekanan, kohesi dan laju perpindahan momentum molekularnya. Viskositas zat
cenderung menurun dengan seiring bertambahnya kenaikan temperatur hal ini
disebabkan gaya – gaya kohesi pada zat bila dipanaskan akan mengalami
penurunan dengan semakin bertambahnya temperatur.
Perubahan bentuk akibat penerapan gaya geser tetap ditunjukkan pada
gambar 2.10.
Gambar 2.10. Perubahan bentuk akibat penerapan gaya geser tetap
Besarnya gaya geser dituliskan pada persamaan 2.6.
> = µ �6莆钳 (2.6)
Apabila tegangan geser τ = 毗� , maka:
蛔= µ �6莆钳� atau 蛔= µ 6莆钳 (2.7)
F adalah gaya gesest (N), A luas penampang (m2), τ tegangan geser (N/m2), µ
viskositas dinamik, 6莆钳 Perubahan sudut atau percepatan sudut dari garis. Agar
berlaku hukum 6莆钳 maka dapat dinyatakan dalam
�6�莆yang disebut dengan gradient
kecepatan. Dalam bentuk differensial persamaan 2.7 dapat dinyatakan:
b
a d
U b’ c c’
u Zo
z
F
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
蛔= µ �6�莆 (2.8)
Persamaan 2.8 disebut sebagai hukum newton dari kekentalan, yang dapat juga
dituliskan pada persamaan 2.9.
µ = 泣�6/�莆 (2.9)
Dalam system satuan SI, tegangan geser dinyatakan dalan N/m2 dan gradient
kecepatan dinyatakan dalam (m/det)/m. sehingga satuan dari viskositas dinamik
adalah:
µ = 屁/屏潜(屏/�Ǵ̊)/屏 = 屁�Ǵ̊屏潜 = 瓶苹屏.�Ǵ̊ (2.10)
Perbandingan antara kekentalan dinamik dan kerapatan disebut kekentalan
kinematik, yang dituliskan pada persamaan 2.11.
贿= µ迄= 瓶苹屏.�Ǵ̊.瓶苹/屏遣 (2.11)
Viskositas kinematis sangat dipengaruhi oleh temperatur, demikian pula dengan
viskositas dinamik. Dengan ϑ viskositas kinematis (m2/det), 馆品 temperatur (oC)
besarnya viskositas kinematis dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan
2.12.
贿= (恼难铺囊难呛堑)(挠难嫩飘润) (2.12)
2.10. Viskoelastis Sifat Bahan
Polimer terdiri dari rantai molekul yang panjang memiliki sifat
viskoelastik yang unik, yang menggabungkan karakteristik elastis padatan dan
cairan Newtonian. Teori elastisitas klasik menggambarkan sifat mekanik zat padat
elastis dimana kelenturan sebanding dengan ketegangan dalam deformasi kecil.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Respon dari kelenturan tersebut adalah sebanding dengan laju regangan. Teori
klasik menggambarkan sifat hidrodinamika cairan kental, dengan respon
kelenturan tergantung pada laju regangan ini dan perilaku dari polimer.
Satu aplikasi penting dari DMA adalah pengukuran suhu transisi gelas
polimer. polimer Amorf memiliki temperatur transisi gelas yang berbeda, di atas
yang bahan akan memiliki sifat kenyal bukan perilaku gelas dan kekakuan
material akan turun drastis dengan peningkatan viskositas. Pada transisi kaca,
modulus penyimpanan menurun secara drastis dan modulus kerugian mencapai
maksimum. DMA sering digunakan untuk menandai suhu gelas transisi dari suatu
bahan .
Gambar 2.11 Sebuah uji thermal Polycarbonate. Penyimpanan Modulus (E’) dan
Rugi Modulus (E’’) terhadap suhu yang diplot. beban statis yang berbeda-beda
awal dan regangan digunakan. Dari gambar 2.11 penyimpanan modulus (E’)
untuk nilai 2,426 Mpa 0,05%; 6,647 Mpa 0,2%; 0,924 Mpa 0,02% menunjukan
grafik yang menurun secara eksponensial seiring dengan bertambahnya
temperatur. Sedangkan untuk rugi modulus (E’’) menunjukkan grafik yang naik
secara eksponensial seiring dengan bertambahnya temperatur. Transisi gelas suhu
Polycarbonate terdeteksi berada di sekitar suhu 1500 C.
Gambar 2.11. uji thermal Polycarbonate (Bose Electroforce Group)
E’
E’’
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Gambar 2.12. Perubahan modulus terhadap suhu dan transisi
(A Beginner’s Guide)
Sedangkan gambar 2.12 adalah grafik hubungan antara suhu dengan
penyimpanan modulus (E’) dimana pada fase suhu glass transisi (Tg) bahan
berubah dari padatan menjadi mebih lunak menyerupai karet (rubbery) sedangkan
pada fase suhu melting (Tm) bahan mulai meleleh. Dengan membandingkan
grafik tersebut dapat diketahui perubahan fase gelas yang diikuti dengan modulus
elastis bahan yaitu perubahan bahan dari keras menjadi lunak. Semakin besar suhu
semakin turun nilai viskositas bahan atau bahan menjadi rubbery. Dengan,
penyimpanan modulus :
~烛实弃钳祈钳cos磺 (2.13)
Rugi modulus:
~′烛实弃钳祈钳sin磺 (2.14)
Dari persamaan 2.13 dan 2.14 dapat dirumuskan sudut fase:
tan磺实琵烛琵" (2.15)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
2.11 Fabrikasi Serat Optik Polimer
Fabrikasi serat optik polimer dilakukan dengan beberapa metode untuk
fabrikasi tersebut dibedakan ke dalam dua kelompok besar, yaitu metode
pertukaran ion dan metode fase cair. Kedua metode mempunyai kelebihan dan
keunggulan masing-masing. Yang perlu diperhatikan pada proses fabrikasi serat
optik polimer adalah control yang teliti terhadap kemurnian bahan penyusun serat
optik polimer dan harus dihindari kontaminasi dengan bahan lain selama proses
fabrikasi. Pembuatan serat optik polimer dilakukan dengan cara menarik bahan
polimer kental-cair sehingga dapat diperoleh serat optik polimer dengan luas
penampang tertentu.
Dalam fabrikasi serat optik polimer pemilihan material penyusun serat
optik juga harus diperhatikan, antara lain: (Keiser, 2000).
1. Material penyusun harus mampu membentuk serat optik dengan jarak
yang panjang, ukuran yang kecil dan fleksibel,
2. Material harus bersifat transparan, sehingga benar-benar dapat
mentransmisikan cahaya secara akuran dan efisien,
3. Secara fisik, material penyusun serat optik harus mempunyai indeks
bias yang berbeda antara core dan cladding.
2.12. Metode Pre-Casting
Metode pre-casting merupakan ide pencetakan serat optik berbahan
polimer dengan dua buah sampel yang sudah ada seperti ditunjukkan pada gambar
2.13. Bakal core berupa silinder pejal, dan bakal cladding berupa silinder
berlubang. Struktur penyusun yang berupa inti dan selubung yang sama dengan
stuktur serat optik menjadikan metode ini digunakan sebagai penelitian. Proses
pencetakan dilakukan dengan cara bakal core dimasukkan ke dalam bakal
cladding, kemudian sampel tersebut dipanaskan dengan menggunakan furnace.
Suhu drawing didapatkan dari hasil pengujian sifat thermal bahan, kisaran antara
suhu gelas transisi dan suhu kristalisasi terhadap diameter core. Jadi sebelum
dilakukan fabrikasi harus diketahui karakter bahan dan karakter furnace untuk
mendapatkan sebaran panas yang maksimal antara bahan dan furnace. Secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
teknis bahan dipanaskan dalam furnace, sampel diberi gaya tekan dan ditarik ke
bawah agar sampel dapat keluar dari cetakan (gambar 2.13). Variasi suhu
dilakukan dengan mengeset furnace menggunakan temperature control, kecepatan
putar diatur pada kontrol kecepatan putar motor pemutar, sedangkan serat optik
yang dihasilkan digulung di dalam fiber drum (wadah serat optik). Proses
pencetakan serat optik dilakukan dengan memberikan penekanan menggunakan
alat penekan.
Gambar. 2.13. Set-up alat metode pre-casting (www.fibopt.ru)
Untuk proses pencetakan, kedua bahan yang telah disatukan dipanaskan di
dalam furnace. Pada fase kental-cair sebelum bahan mengalami pengkristalan
bahan di dorong dari atas dengan memberikan gaya beban massa yang dapat
diatur dengan menggunakan beban massa yang ditambahkan/ dikurangkan agar
bahan tersebut dapat keluar dari cetakan. Furnace digunakan sebagai pemanas
bahan menyusun serat optik polimer. Temperature control digunakan sebagai
pengatur suhu dalam memanaskan bahan.
2.13. Polimer
Polimer adalah material kristalin ataupun nonkristalin yang mempunyai
struktur molekuler berantai. Polimer mudah diproses, densitas rendah, dan
mempunyai sifat dielektrik. Ada dua macam polimer, yaitu termoplastik dan
Tower
Fiber drum
Serat Optik
furnace
Alat Penekan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
termoset. Termoplastik sebagian besar dari struktur molekuler satu atau dua
dimensi. Pada suhu tinggi ia akan melunak pada titik lebur atau transisi gelas.
Proses pelunakan yang terjadi pada suatu suhu tertentu akan mengeras lagi jika
suhunya diturunkan, suatu proses reversible. Jenis termoplastik di antaranya
adalah: polietilen, polistiren, polipropilen, poliamid, dan nilon. Jenis termoset,
sebaliknya, membentuk struktur molekuler tiga dimensi yang mengeras selama
proses curing berlangsung. Sekali mengeras, polimer jenis ini kalau dipanaskan
akan cenderung rusak dari pada mencair. Yang termasuk jenis ini adalah epoksi,
polyester, dan resin poliamid fenolik. Sifat dari polimer antara lain ringan, tahan
korosi, murah. Bahan thermoplast memiliki sifat mudah direnggangkan sedangkan
untuk bahan termoset keras dan rigit seperti ditunjukkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perbedaan sifat polimer termoplas dan polimer termoset
Plastik termoplas Plastik Termoset
Mudah diregangkan
Fleksible
Melunak jika dipanaskan
Titik leleh rendah
Dapat dibentuk ulang
Keras dan rigid
Tidak fleksible
Mengeras jika dipanaskan
Tidak meleleh jika dipanaskan
Tidak dapat dibentuk ulang
2.14. Rugi- rugi pada Serat Optik
Pada umumnya rugi-rugi serat optik dibagi berdasarkan dari mana rugi-
rugi tersebut ditimbulkan, yaitu :
1. Rugi-rugi yang timbul dari bahan serat optik itu sendiri.
2. Rugi-rugi yang timbul akibat penggunaan serat optik tersebut sebagai
media transmisi.
2.14.1. Rugi-Rugi karena Bahan
2.14.1.1. Absorption Loss
Rugi-rugi yang disebabkan karena masih banyaknya kotoran-kotoran pada
bahan gelas (terutama yang terbuat dari glass multi komponen). Kotoran-kotoran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
tersebut dapat berupa logam (besi, tembaga) atau air dalam bentuk ion-ion yang
dapat menyerap sinar yang melaluinya akan berubah menjadi energi panas. Energi
panas ini akan menyebabkan daya berkurang.
Untuk memperkecil rugi-rugi akibat ion-ion kotoran karena adanya unsur-
unsur logam dan lain-lain pada serat optik, maka kebersihan dan kemurnian bahan
gelas sangat menentukan. Salah satu cara memperkecil kerugian tersebut adalah
dengan teknik pengendapan uap kimia (Chemical Vapour Deposition), dimana
dengan diendapkannya ion-ion kotoran tersebut, redaman dapat diperkecil.
2.14.1.2. Rayleigh Scattering Loss
Peristiwa ini terjadi karena adanya berkas cahaya yang meengenai suatu
materi dalam serat optik yang kemudian menghamburkan/ memancarkan berkas-
berkas cahaya tersebut ke segala arah. Hal ini disebabkan ketidak homogenan
materi yang terdapat dalam serat optik tersebut yang mempunyai sifat
menghamburkan suatu berkas cahaya.
2.14.2. Rugi-rugi karena Penggunaaan Serat Optik sebagai Media Transmisi
2.14.2.1. Rugi-rugi karena Pelengkungan
Rugi-rugi ini terjadi pada saat sinar melalui serat optik yang
dilengkungkan, dimana sudut datang sinar lebih kecil dari pada sudut kritis
sehingga sinar tidak dipantulkan sempurna tapi dibiaskan. Seperti ditunjukan pada
gambar 2.14. ketika sudut datang lebih kecil dari sudut kritis (z囊dan z挠) cahaya
akan dibiaskan, sedangkan ketika sudut datang lebih besar dari sudut kritis cahaya
akan dipantulkan sepenuhnya (z脑).
Gambar 2.14. Rugi-rugi karena pelengkungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Untuk mengurangi rugi-rugi karena pelengkungan maka harga Numerical
Arpature dibuat besar.
Numerical Aperture (NA) adalah ukuran atau besarnya sinus sudut
pancaran maksimum dari sumber optik yang merambat pada inti serat yang
cahayanya masih dapat dipantulkan secara total. Pada gambar 2.15. pemantulan
internal total terjadi ketika indeks bias core lebih besar dari indeks bias cladding.
Besarnya NA dipengaruhi oleh indeks bias core dan cladding.
Gambar 2.15. Numerical Aperture
2.14.2.2. Microbending Loss
Rugi-rugi ini termasuk sebagai akibat adanya permukaan yang tidak rata
(dalam orde mikro) sebagai akibat proses perbaikan bahan yang kurang sempurna.
Gambar 2.16 memperlihatkan rugi-rugi karena microbending.
Gambar 2.16. Rugi-rugi karena microbending
Pada gambar tersebut memperlihatkan pembongkokan mikro terjadi
karena ketidakrataan pada permukaan batas antara inti dan selubung secara acak
External force
n1> n2
core
cladding
θ1 θ2n1
n2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
atau random. Sinar dengan sudut datang kurang dari sudut kritis akan dibiaskan
dan tidak lagi terjadi pemantulan sempurna di dalam serat optik.
2.14.2.3. Splicing Loss
Rugi-rugi ini timbul karena adanya gap antara dua serat optik yang
disambung. Hal ini terjadi karena dimensi serat optik yang demikian kecil
sehingga penyambungan menjadi tidak tepat sehingga sinar dari bahan serat optik
ke serat optik lainnya tidak dapat dirambatkan seluruhnya. Ada beberapa
kesalahan dalam penyambungan yang dapat menimbulakn rugi-rugi splicing,
yaitu:
1. Sambungan kedua serat optik membentuk sudut,
2. Kedua sumbu berimpit namun masih ada celah diantara keduanya,
3. Ada perbedaan ukuran antara kedua serat optik yang disambung.
Dengan P out adalah daya sesudah sambungan, P in daya sebelum
sambungan, untuk mengukur besarnya rugi-rugi karena sambungan digunakan
persamaan 2.16:
L (dB) = - 10 Log (P out/ P in) (2.16)
Besarnya rugi-rugi serat optik berharga negatif jika P in < P out, berharga positif
jika P in > P out , dan berhanilai 0 jika P in = P out.
2.14.2.4. Rugi-rugi Coupling
Rugi–rugi ini timbul karena pada saat serat optik disambungkan dengan
sumber cahaya atau photo detektor. Ps adalah daya yang dipancarkan oleh sumber
cahaya, Pt daya yang dimasukkan ke dalam serat optik. Dari perbandingan antara
intensitas yang dipancarkan oleh sumber cahaya dengan intensitas cahaya dan
intensitas yang dimasukkan ke dalam serat optik, efisiensi kopling (µ) secara
matematis dirumuskan pada persamaan 2.17..
µ = 篇搔篇丧 (2.17)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dari tanggal 1 September 2010
sampai 10 Desember 2010 di Laboratorium Material Jurusan Fisika FMIPA UNS,
Laboratorium bengkel Jurusan Fisika FMIPA UNS, serta Laboratorium Pusat
MIPA Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A, Kentingan, Surakarta.
3.2. Peralatan yang Digunakan
Pada penelitian ini digunakan peralatan sebagai berikut:
1. Tower untuk semua keperluan fabrikasi
2. Alat penekan dan beban massa
3. Furnace dan temperature control
4. Motor pnggulung dan fiber drum
5. Power supply
6. Laser HeNe 632,8 nm dan Power meter
7. UV-VIS-NIR spectrometer Shimadzu type 1601PC.
8. DSC (Differential Scanning Calorimetry) Mettler Toledo type 821
9. Mikrometer skrub
10. Transmitter
11. Receiver
12. Silet/ gunting
13. Gergaji
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Alat yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada gambar 2.13
dengan skema alat:
Pada gambar tersebut diperlukan fiber tower untuk proses fabrikasi. Fiber
tower ditunjukkan pada nomor (1) disertai dengan alat-alat fabrikasi berupa
furnace (pemanas) (nomor 5) dan temperature control untuk mengatur suhu
fabrikasi. Serat optik dicetak di dalam furnace dengan memberikan penekanan
dengan menggunakan alat penekan (2). Bakal core dan bakal cladding (3 dan 4)
dicetak dengan besarnya diameter dipengaruhi oleh suhu dan penekanan. Serat
optik hasil cetakan (6) digulung dengan motor pemutar dan diletakkan pada fiber
drum (wadah serat optik) (7).
3.3. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara adalah, sampel bakal
core berupa silinder pejal dari bahan akrilik/ Polymethlmetacrylate (PMMA), dan
sampel bakal cladding berupa silinder berlubang dari selang plastik/
Polyvinilclorida (PVC).
3.4. Prosedur dan Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.1
1
7
6
5
2 3
4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Gambar 3.1. Diagram alir tahap-tahap penelitian
Penyiapan alat dan bahan
- Pembuatan furnace - Penyiapan cetakan serat optik - Pembuatan alat penakan - Penyiapan motor penggulung
Karakterisasi bahan
- Pengukuran indeks bias PMMA dan PVC - Pengukuran absorbansi PMMA dan PVC - Pengukuran sifat thermal PMMA dan PVC
Fabrikasi serat optik
- Variasi suhu furnace - Variasi penekanan pada cetakan
Karakterisasi serat optik
- Diameter serat optik - Rugi-rugi serat optik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Detail dari masing-masing tahap seperti terlihat pada gambar 3.1 adalah:
1. Penyiapan Alat dan Bahan fabrikasi
Mengacu pada gambar 2.13 sebelum dilakukan pencetakan serat optik alat
yang harus disiapkan meliputi pembuatan furnace dan alat penekan. Furnace
digunakan dalam proses pemanasan bahan. Furnace dibuat dari elemen pemanas
(heating element) yang dilapisi dengan asbes untuk menahan panas agar tidak
melukai guna menjaga keamanan pada saat mencetak serat optik. Furnace dibuat
dengan dimensi (10 cm x 7 cm) ( p x t ). Di dalam furnace diletakkan cetakan
dengan menggunakan cetakan 1 inti core. Diantara cetakan dan furnace
diletakkan temperature control untuk mengatur suhu fabrikasi. Alat penekan
berupa besi pejal dengan diberi beban massa di atasnya. Posisi alat penekan dibuat
tegak/ lurus dengan lubang cetakan. Untuk menjaga agar bahan dan dorongan alat
penekan tetap lurus digunakan besi silinder berlubang yang diletakkan
menyelubungi alat penekan dengan ukuran diameter yang tidak jauh berbeda
dengan besi penekan.
Penyiapan bahan meliputi: penyiapan bakal serat optik
Polymethlmetacrylate (PMMA) dan Polyvinilclorida (PVC) sebagai bahan baku
pembuatan serat optik. Pemilihan bakal core Polymethlmetacrylate (PMMA) dan
bakal cladding Polyvinilclorida (PVC) memenuhi syarat sebagai bahan untuk
digunakan sebagai penelitian, karena memiliki indek bias yang berbeda, yaitu
PMMA mempunyai indek bias yang lebih besar daripada PVC.
Pembuatan sampel bahan untuk pengukuran cahaya dan refractive index
dilakukan dengan pemilihan sampel bahan sesuai dengan bahan yang akan
digunakan dalam pencetakan fiber optik yaitu akrilik (PMMA) dan selang plastik
(PVC). Akrilik yang berupa silinder pejal dipotong bagian ujungnya dengan
menggunakan gergaji. Dengan memperhatikan ketebalan sampel yang akan diuji,
selanjutnya bahan dipoles di bagian-bagian yang tidak rata sedemikian hingga
diperoleh bahan halus (optically polished) yang berikutnya siap untuk diukur
indek bias dan absorbansinya. Begitu pula dengan bahan dari selang plastik,
bahan dipotong sebagian. Namun pada bagian sisinya di belah, sehingga
didapatkan selimut dari selang plastik tersebut. Hal ini dikarenakan sampel akrilik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
berupa silinder pejal sedangkan sampel selang plastik berupa silinder berlubang.
Gambar 3.2. adalah gambar sampel yang diukur sifat optiknya.
(a) (b)
Gambar 3.2. Sampel bahan polimer a.) PMMA b.) PVC
Dimensi dari PMMA (gambar 3.2 a) yang diukur adalah 19,55 mm x 6,46
mm (p x t). Sedangkan, untuk PVC (gambar 3.2 b) adalah 21,42 mm x 15,06 mm
x 0,83 mm (p x l x t). Pembuatan sampel bahan untuk pengujian thermal dilakukan
dengan cara memotong kecil-kecil sampel sehingga akan terbentuk serpihan-
serpihan. Jika diperlukan sampel yang lebih halus sampel digerus secara merata
agar data yang diperoleh homogen (mewakili seluruh sampel).
2. Karakterisasi bahan
Karakterisasi dilakukan untuk mendapatkan karakter dari bahan, meliputi
absorbansi, indeks bias, serta sifat thermal dari bahan. Karakterisasi material
untuk memperoleh nilai indeks bias dilakukan dengan menggunakan metode
sudut Brewster yang mengikuti persamaan:
sin�颇~囊= sin(90难− �颇)~挠 (3.1)
sin�颇~囊= cos�颇~挠 (3.2)
Dari definisi tangen maka dari persamaan (3.2) dapat diturunkan menjadi
persamaan (3.3). Sudut poalrisasi dalam persamaan (3.2) disebut sudut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Brewster dan persamaan di atas disebut hukum Brewster. Dengan ~囊 indek bias di
udara = 1
~挠= Ô0�颇 (3.3)
Untuk karakterisasi absorbansi, pengukuran dilakukan dengan
menggunakan UV-VIS spectrometer Shimadzu type 1601PC. Sedangkan untuk
uji thermal dilakukan dengan menggunakan DSC (Differential Scanning
Calorimetry) Mettler Toledo type 821.
3. Fabrikasi serat optik
Fabrikasi serat optik dilakukan dengan mengatur suhu pada furnace pada
suhu 1800 C, 1900 C, 2000 C, 2100 C, 2400 C, 2500 C. Pada masing-masing suhu
settingan tersebut bakal core yang berupa silinder pejal dari bahan
Polymethlmetacrylate PMMA dimasukkan ke dalam cetakan di dalam furnace.
Pada saat proses pencetakan bakal core yang telah dimasukkan ke dalam cetakan
diberi penekanan dengan memberikan beban massa seberat 510 gram untuk
memberikan dorongan pada bahan agar keluar dari cetakan.
Pada proses pencetakan kestabilan suhu diperhatikan agar serat optik tidak
terpengaruh pada suhu diatas atau di bawah suhu settingan. Karena pengamatan
keseragaman diameter dilakukan dengan faktor suhu. Kecepatan putar motor
penggulung dibuat konstan untuk mendapatkan keseragaman diameter dari serat
optik polimer. Bakal core hasil cetakan dihasilkan dengan cladding berupa udara.
4. Karakterisasi Serat Optik
Karakterisasi serat optik pada penelitian ini dibatasi pada dua hal, meliputi
keseragaman diameter dan rugi-rugi serat optik.
1. Keseragaman Diameter
Tujuan dari karakterisasi keseragaman diameter adalah untuk mengetahui
seberapa jauh parameter utama fabrikasi terhadap keseragaman diameter serat
optik. Uji keseragaman diameter dilakukan dengan dua cara yaitu pengukuran
secara mekanik dan optik. Pengukuran secara mekanik menggunakan alat ukur
berupa mikrometer skrub dan pengukuran secara optik menggunakan metode
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
difraksi cahaya. Untuk mencari tingkat keseragam diameter dengan cara mekanik,
pengukuran ketebalan dilakukan dengan cara mengukur ketebalan dengan
memutar dan membaca nilai ketebalan yang terbaca pada skala mikrometer skrub.
Selain dengan cara mekanik, pengukuran diameter dengan cara optik.
Data diambil dengan mengukur ketebalan serat optik di 10 titik sepanjang 10 cm.
Pada setiap titik pada gambar 3.3 ditandai dengan x = 0 hingga x = 10. Pada
penelitian ini pengukuran keseragaman diameter data yang diambil sepanjang 10
cm dibagi atas 10 titik, x = 1 hingga x = 10. Nilai keseragaman diameter diukur
pada masing-masing serat optik. Sehingga dari data yang diperoleh dapat
dibandingkan nilai keseragaman diameternya. Gambar 3.3 menumjukkan cara
pengambilan data diameter core sebanyak 10 titik.
x=0 x=1 x=2 x=3 x=4 x=5 x=6 x=7 x=8 x=9 x=10
Gambar 3.3. Pengukuran diameter core sebanyak 10 titik sepanjang 10 cm
Dengan menggunakan difraksi
Pengukuran secara optik dilakukan dengan menggunakan difraksi.
Pengukuran ini dimaksudkan untuk mengukur ketebalan tanpa menyentuh obyek
yang diukur atau dengan kata lain diukur dengan cara optik. Pemilihan
pengukuran dengan cara ini dikarenakan pada pengukuran menggunakan
micrometer scrub dihasilkan keseragaman diameter yang tidak merata atau ada
bagian dari salah satu sisi terlukai akibat tertekan pada saat memutran skala pada
mikrometer skrub. Pengukuran dengan menggunakan difraksi dilakukan dengan
cara mengamati pola gelap terang yang ada pada layar. Gambar 3.4 merupakan
set-up alat dalam pengambilan data keseragaman diameter dengan difraksi. Jarak
yang dicatat adalah jarak pusat terang pertama dengan pusat terang kenol dan
diikuti dengan jarak pusat terang kedua dengan pusat kenol dan seterusnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Gambar 3.4. Set-up alat pengukuran diameter dengan difraksi
Dari data pengukuran jarak Ym pada layar dapat digunakan untuk mengukur
diameter serat optik polimer d yang memenuhi persamaan 3.4.
圭= 纵企屏劈邹瞥三 (3.4)
λ adalah panjang gelombang laser, m orde terang ke-, D jarak slit dengan layar,
dan 光屏 jarak terang ke- dengan pusat.
Jadi dengan cara seperti ini didapatkan sebaran keseragaman diameter
tanpa menyentuh obyek yang diukur. Pengukuran dilakukan dengan mengambil
10 titik dari serat optik polimer yang diukur secara berurutan sepanjang 10 cm.
Dengan memasukkan nilai 光屏 ke dalam persamaan 3.4 dengan panjang
gelombang serta jarak serat optik dengan layar yang dapat diketahui maka nilai
diameter dari masing-masing titik dapat terukur. Nilai diameter dari tiap titik
diperoleh dari rata-rata diameter yang dikur dari 桂囊 hingga 桂坡.
2. Rugi-rugi Serat optik
Untuk mengukur rugi-rugi pada serat optik dilakukan pengukuran dengan
metode cut-off, yaitu diukur intensitas yang keluar dari serat optik 挂迫囊 dengan
menggunakan power meter. Dan untuk pengukuran cahaya yang melewati serat
optik 挂迫挠 dengan cara memotong sepanjang 5 cm (过囊 - 过挠). Cahaya yang keluar
dari serat optik diukur dengan power meter. Cahaya inilah yang masuk melewati
serat optik. Dengan tanpa mengubah posisi awal serat optik maka rugi-rugi serat
D
Layar
Serat Optik
Laser
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
optik yang terukur adalah sepanjang 5 cm. Pengukuran rugi-rugi serat optik
ditunjukkan pada gambar 3.5.
Gambar 3.5. Metode cut-off
Dengan 挂迫囊 adalah intensitas yang keluar dari serat optik ( µWatt), 挂迫挠 intensitas
yang melewati serat optik ( µWatt), dan 过囊− 过挠 panjang serat optik, besarnya
rugi-rugi serat optik dapat diperoleh dari persamaan 3.5.
圭Ė= 囊难Ě努Ǵ(冗搔潜冗搔前)莆前能莆潜 (3.5)
过囊 - 过挠
laser Serat optik
laser
Power meter 挂迫囊 Serat optik
Power meter 挂迫挠
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Penyiapan Alat dan Bahan
4.1.1. Alat Fabrikasi
4.1.1.1. Hasil
Tower untuk fabrikasi serat optik telah berhasil dibuat. Gambar 4.1 (a)
adalah tower yang disiapkan untuk fabrikasi serat optik. Tower dilengkapi dengan
alat-alat fabrikasi meliputi: furnace, thermokopel, temperature control, alat
penekan serta motor pemutar untuk menggulung serat optik hasil cetakan.
(a)
(b) (c) (d)
Gambar 4.1. (a) Fiber Tower (b) Furnace (c) Alat penekan
(d) Motor penggulung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
4.1.1.2. Pembahasan
4.1.1.2.1 Furnace dan Temperature control
Pemanas (furnace) dan temperature control yang dibuat memiliki kriteria
antara lain dapat memanaskan cetakan, mengatur besarnya suhu pemanasan dan
dapat mengukur besarnya suhu yang dipanaskan oleh furnace tersebut. kriteria
tersebut dapat terpenuhi ketikan dalam prosesnya dilakukan dengan
menggabungkan furnace sebagai pemanas cetakan, temperature control sebagai
pengatur suhu pemanasan dan thermokopel yang digunakan sebagai pengukur
besarnya suhu cetakan.
Furnace digunakan dalam proses pemanasan bahan untuk melelehkan
bahan ketika bahan dimasukkan dalam cetakan. Besarnya suhu yang terbaca pada
temperature control ketika setting awal masih bersifat fluktuatif dan akan stabil
setelah suhu mengalami kenaikan dan penurunan suhu secara maksimal. Ketika
pada saat kita mengeset awal suhu dengan batas rentang suhu sebesat 500C maka
suhu dari keadaan suhu kamar atau suhu lingkungan yang terbaca oleh termokopel
mengalami kenaikan suhu secara bertahap hingga suhu maksimal dan akan
mengalami penurunan suhu pada suhu yang ditentukan. Karakter dari temperature
control menjadi dasar dalam melakukan setting temperature control. Dengan
demikian ketika akan memasukkan bahan dalam cetakan dan dipanaskan haruslah
menunggu hingga suhu stabil. Suhu yang terukur oleh termokopel tidak akan
stabil sebelum suhu tersebut naik dengan maksimal dan turun dengan maksimal
kemudian naik lagi hingga pada suhu yang ditentukan. Hal ini dikarenakan suhu
yang dihasilkan alat pemanas diatur oleh pengatur suhu dengan bahan bimetal
yang terpasang didalam perangkat pemanas. Pada prinsipnya bahan bimetal
tersebut memiliki criteria cepat memuai bila terkena panas. Kemampuan cepat
memuai ini dimanfaatkan untuk mengatur panas sesuai dengan kehendak, dengan
tekanan yang diberikan lewat tombol pengatur suhu di badan temperature control.
Bimetal akan berfungsi sebagai kontak untuk memutus dan menyambung arus
listrik. Bila bimetal akan memutus arus sehingga panas menjadi turun dan bila
suhu elemen pemanas kurang dari suhu setingan, maka bimetal akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
menyambung arus kembali. Oleh karena itu suhu yang terukur oleh termokopel
pengalami penyesuaian suhu hingga mencapai suhu konstan.
4.1.1.2.2. Alat Penekan
Alat penekan dirancang untuk memberikan tekanan ketika bahan
dimasukkan ke dalam cetakan. Dalam proses pencetakan ketikan bahan
dipanaskan, maka bahan akan mengalami perubahan fase dari keras menjadi
lunak. Dalam fase ini, sebelum bahan mengalami pengerasan kembali akibat suhu
ruangan ataupun suhu pada karakter suhu kristalisasi bahan, maka bahan ditekan
ke bawah agar bahan dapat keluar dari cetakan. Penekanan mempunyai pengaruh
menurunkan viskositas. Hal ini dikarenakan interaksi antar partikel zat yang
dipengaruhi oleh penekanan mengalami perubahan viskositas. Penekanan
memberikan gaya ke bawah terhadap material yang dipanaskan. Penekanan ini
menyebabkan material keluar dari cetakan, semakin besar gaya yang diberikan
dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin cepat bahan keluar dari
cetakan. Secara eksperimen pengamatan tersebut dilakukan dengan memberikan
variasi beban penekan. Alat penekan memberikan pengaruh terhadap laju aliran
fluida material di dalam pemanas, sehingga ketika bahan dimasukkan ke dalam
cetakan di dalam furnace, pengaruh terhadap diameter serat optik dapat teramati.
Aliran fluida yang lambat mempengaruhi keluaran bahan cetakan begitu pula
dengan aliran fluida yang cepat, keduanya berpengaruh terhadap diameter serat
optik yang dihasilkan.
Ketika aliran fluida lambat maka banyaknya bahan yang keluar sedikit, hal
ini memungkinkan bahan menggumpal di dalam cetakan, jika tidak dikeluarkan
maka perubahan fase dari material dapat berubah kembali akibat suhu lingkungan,
sehingga penekanan dilakukan. Aliran fluida yang lancar memberikan hasil serat
optik yang dapat keluar dari cetakan sehingga alat penekan dirancang guna
memberikan dorongan agar bahan dapat keluar dari cetakan. Dengan aliran fluida
yang lancar, memberikan hasil keluaran berupa serat optik dengan keseragaman
diameternya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
4.1.1.2.3. Motor Pemutar
Motor pemutar dalam proses fabrikasi digunakan sebagai motor
penggulung serat optik polimer hasil fabrikasi. Pada penelitian ini digunakan
motor pemutar dengan kecepatan kecil, Kecepatan motor yang kuat memberikan
gaya tarikan yang kuat pula terhadap serat optik polimer saat keluar dari cetakan,
tarikan yang kuat dapat menyebabkan serat optik mudah putus ketika akan
digulung. Oleh sebab itu kecepatan putar motor pemutar disesuaikan dengan
kelenturan serat optik polimer hasil cetakan. Selain memberikan pengaruh
terhadap kekuatan tarikan motor pemutar juga memberikan pengaruh terhadap
diameter core yang dihasilkan. Kecepatan motor pemutar yang konstan
memberikan gaya tarikan yang konstan pula terhadap serat optik polimer yang
dihasilkan, sehingga dengan menjaga kecepatan motor pemutar agar tetap konstan
memberikan hasil berupa keseragaman diameter serat optik polimer hasil
pencetakan. Motor pemutar yang digunakan dalam penelitian adalah motor
pemutar hasil pembuatan prototype yang diaplikasikan untuk memutar/
menggulung serat optik dengan kecepatan putar 0,095 rad/s.
4.1.2. Karakterisasi Sifat Optik Bahan
Sebelum dilakukan fabrikasi serat optik dilakukan karakterisasi sifat optik
bahan. Karakterisasi sifat optik meliputi pengukuran serapan cahaya dan
pengukuran indeks bias. Pengukuran serapan cahaya menggunakan Ultra Violet
Visible Spectroscopy Double Beam Shimadzu 601PC dan pengukuran refractive
index menggunakan sudut Brewster. Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui
karakter dari bahan yang disiapkan sebagai bahan pembuat serat optik. Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Polymethlmetacrylate (PMMA) dan
Polyvinilclorida (PVC).
4.1.2.1. Hasil
4.1.2.1.1 Absorbansi
Gambar 4.2 dan 4.3 adalah kurva hasil pengukuran serapan cahaya dari
bahan PMMA dan PVC. Tampak jelas bahwa dari masing-masing bahan memiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
kurva yang khas. Kurva diberi warna beda untuk membedakan kaurva karakter
dari kurva PMMA (merah) dengan kurva PVC (hitam). Dari kedua kurva tersebut
dapat teramati ada bagian yang cahaya terabsorbansi. Besarnya absorbansi dapat
diketahui dari kurva bahwa nilai absorbansi PMMA lebih besar daripada PVC
pada panjang gelombang 200 nm – 400 nm. Dari kurva juga jelas diperlihatkan
bahwa pada saat cahaya melewati suatu bahan maka sebagian besar cahaya
ditransmisikan.
Gambar 4.2. Spectrum Absorbansi PMMA
Gambar 4.3. Spectrum Absorbansi PVC
240 320 400 480 560 640 720 800 880 9600.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
Ab
sorb
ansi
Panjang Gelombang (nm)
240 320 400 480 560 640 720 800 880 9600.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
Ab
sorb
ansi
Panjang Gelombang (nm)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
0
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
0.006
0.007
0.008
0.009
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Inte
nsita
s
Sudut
Sampel PVC
Sampel PMMA
Spektrofotometri adalah metoda analisis yang didasarkan pada interaksi
antara radiasi elektromagnetik dengan suatu materi berupa molekul jenis interaksi
yang terjadi seperti absorbansi (Agyros, 2009). Absorbsi terjadi karena adanya
serapan elektron terhadap photon yang berinterkaksi denganya pada energi
tertentu sehingga elektron tersebut dapat terksitasi dari ground state ke exited
state. Karena tiap bahan mempunyai karakteristik dalam hal level-level energinya
maka transmisi/ absorbansi tiap material adalah khas.
4.1.2.1.2. Indeks Bias
Penentuan nilai indek bias bahan dilakukan dengan cara pengukuran
reflektansi dengan metode sudut Brewter. Hasil pengukuran indek bias bahan
ditunjukkan pada gambar 4.4. Pengukuran intensitas dilakukan dengan memutar
meja spectrometer dari sudut 500 hingga 600.
Gambar 4.4. Pengukuran dengan sudut Brewster bahan PMMA dan PVC
Dari pengukuran tersebut dapat ditentukan besarnya indek bias PMMA
dan PVC dengan mengamati intensitas yang terkecil dari masing-masing
pengukuran, dimana intensitas tersebut digunakan untuk memenuhi persamaan
3.3. Intensitas terkecil yang diperoleh (gambar 4.4) adalah: untuk bahan PMMA
tercatat pada sudut 56,330 dan untuk bahan PVC tercatat pada sudut 55,50. Dari
hasil tersebut dapat ditentukan nilai indeks bias dari masing-masing bahan dengan
TM
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
indeks bias PMMA tg 56,330 = 1,501 dan indek bias PVC tg 55,50 = 1,455.
Dengan sudut Brewster adalah sudut dimana intensitas yang diterma power meter
paling rendah dengan kata lain hampir semua cahaya ditransmisikan. Dari hasil
tersebut jelas bahwa bahan yang digunakan sebagai core adalah PMMA.
4.1.2.2. Pembahasan
4.1.2.2.1. Absorbansi
Absorbansi cahaya oleh bahan PMMA dan PVC merupakan suatu bentuk
interaksi antara gelombang foton dengan molekul penyusun bahan tersebut.
Intensitas cahaya yang keluar dari bahan dapat diketahui dari prosentasi
transmitansi bahan. Semakin besar nilai transmitansi bahan menunjukkan semakin
besarnya intensitas cahaya yang keluar setelah melewati bahan tersebut.
Nilai koefisien absorbsi dari sampel seperti diberikan oleh persamaan
α = A/T (4.1)
dengan, α adalah koefisien absorbs, A absorbansi, T ketebalan bahan. Gambar 4.5
adalah gambar yang menunjukkan hubungan antara panjang gelombang dengan
besarnya koefisien absorbsi.
(a) (b)
Gambar 4.5. Kurva Hubungan Panjang Gelombang dengan Koefisien
Absorbsi (a) PMMA (b) PVC
240 320 400 480 560 640 720 800 880 960-1.0-0.50.00.51.01.52.02.53.03.54.04.55.05.56.0
Ko
efis
ien
Ab
sorb
si
Panjang Gelombang (nm)
240 320 400 480 560 640 720 800 880 960
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Ko
efis
ien
Ab
sorb
si
Panjang Gelombang (nm)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Gambar 4.6 merupakan kurva basic UV-VIS theory dari spectrum NAD
dan NADH. Dari kurva terlihat bahwa masing-masing dari bahan memiliki kaurva
absorbansi yang khas. Pada panjang gelombang antara 200 nm – 300 nm cahaya
yang melewati bahan akan diteruskan. Dari kurva juga jelas diperlihatkan
seebagian besar dari cahaya yang melewati bahan akan diteruskan.
Gambar 4.6. Kurva absorbansi NAD dan NADH
(Termo spectronic, Basic UV-VIS, Theory, Concept and Applications)
Dari hasil pengukuran serapan cahaya yang dilakukan untuk bahan
PMMA dan PVC (Gambar 4.2 dan 4.3) juga memiliki karakter kurva yang khas
seperti kurva pada gambar 4.6. ini menunjukkan bahwa hasil pengukuran
bersesuaian dengan teori. Pada panjang gelombang 200 nm – 300 nm cahaya yang
melewati bahan akan diserap serta sebagian besar cahaya yang melewati bahan
akan diteruskan.
4.1.2.2.2. Indeks Bias
Penentuan nilai indek bias bahan dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara pengukuran reflektansi dengan metode sudut Brewter. Sampel diletakkan
dalam posisi tegak dengan permukaannya disinari dengan laser HeNe dengan
cahaya terpolarisasi TM (Transfer Magnetic) di dalam ruangan gelap (Baek, dkk,
2003). Penentuan indek bias dilakukan dengan cara mencari nilai intensitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
terendah yang dihasilkan dari pemantulan cahaya oleh laser HeNe terhadap
bidang yaitu sampel. Atau dengan kata lain seluruh sinar hampir semuanya
ditransmisikan, nilai reflektansi mendekati nol. Sudut pantul dimana intensitas
terendah didapat disebut dengan sudut Brewster. Besarnya polarisasi pada berkas
pantulan bergantung pada sudut datang cahaya. Sudut ini yang disebut sudut
polarisasi, yang nilainya memenuhi persamaan 4.2.
3�凰颇= 坡前坡潜 (4.2)
Sudut ini terjadi jika 凰颇+ 凰破= 90难, dimana 柜囊 adalah indeks bias materi
dimana cahaya datang, dan n挠 adalah indeks bias diluar materi. Dari Hukum
Snellius kita tahu bahwa,
sin凰颇柜囊= sin凰破柜挠 (4.3)
Dengan mengganti 凰破dengan sin(90难− 凰贵) maka diperoleh,
sin凰颇柜囊= sin(90难− 凰颇)柜挠
sin凰颇柜囊= cos凰颇柜挠 (4.4)
Dari definisi tangen maka dari persamaan (4.4) dapat diturunkan menjadi
persamaan (4.2). Sudut poalrisasi dalam persamaan (4.2) disebut sudut
Brewster dan persamaan di atas disebut hukum Brewster. Dengan 柜囊 indek bias di
udara = 1, maka karakterisasi material untuk memperoleh nilai indeks bias
dilakukan dengan menggunakan metode sudut Brewster yang mengikuti
persamaan 4.5.
柜挠= 3�凰颇 (4.5)
Data intensitas diambil dari pergeseran sudut antara 500 - 600 . Mengacu
pada penelitian bahwa besarnya sudut Brewster diperoleh dari variasi sudut 00 –
1000 dengan pergeseran sudut sebesar 100. Dalam percobaan ini didapatkan sudut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Brewter antara sudut 500 – 600. Oleh sebab itu dalam penelitian ini dilakukan
pengukuran dari rentang sudut tersebut dengan ketelitian yang lebih dipersempit
yaitu dengan pergeseran sudut sebesar 1/60.
4.1.3. Karakterisasi Thermal Bahan dengan Differential Scanning
Calorimetry (DSC)
4.1.3.1. Hasil
Hasil pengujian DSC menggunakan sampel PMMA dan PVC di dapatkan
data yang ditunjukkan pada gambar 4.7 dan 4.8. Terlihat jelas di sini bahwa suhu
glass transisi dari PMMA adalah 114,28o C sedang untuk PVC adalah 70,90o C.
Suhu tersebut sebagai landasan dalam penelitian agar ketika dilakukan
pengamatan terhadap pengaruh suhu tidak membuat bahan hingga mencapai fase
meleleh atau mencapai fase kristalisasi. Karena untuk mengurangi loss pada serat
optik maka serat optik polimer harus bebas dari kristal.
Gambar 4.7. Kurva karakterisasi thermal bahan PMMA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Gambar 4.8. Kurva karakterisasi thermal bahan PVC
4.1.3.2. Pembahasan
Karakterisasi thermal dilakukan untuk mengetahui suhu fabrikasi,
perubahan fase bahan dari keras menjadi lunak untuk bahan polimer amorf
ditunjukkan pada fase gelas transisi. Dari hasil pengujian menggunakan
Differential Scanning Calorimetry (DTA) didapatkan kurva karakteristik thermal
bahan dengan suhu gelas transisi. Gambar 4.6 dan 4.7 merupakan hasil pengujian
bahan dengan menggunakan Differential Scanning Caloimetry (DSC) Mettler
Toledo type 821. Fase gelas transisi ditunjukkan dengan grafik endo down artinya
adalah semakin ke bawah bahan tersebut menyerap panas pada saat dipanaskan.
Hubungan antara suhu dan endo down pada grafik tersebut adalah bahan akan
semakin besar menyerap panas seiring dengan kenaikan suhu.
Termogram hasil analisis DSC dari suatu bahan polimer akan memberikan
informasi titik transisi kaca (Tg), yaitu suhu pada saat polimer berubah dari
bersifat kaca menjadi seperti karet, titik kristalisasi (Tc), yaitu pada saat polimer
berbentuk kristal, titik leleh (Tm), yaitu saat polimer berwujud cairan, dan titik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
dekomposisi (Td), yaitu saat polimer mulai rusak. Pada grafik hanya menunjukkan
fase glass transisi karena suhu yang digunakan tidak mencapai suhu kristalisasi.
Prinsip dasar yang mendasari teknik pengukuran DSC adalah, bila sampel
mengalami transformasi fisik seperti transisi fase, lebih atau kurang, panas harus
mengalir ke referensi untuk mempertahankan keduanya pada temperatur yang
sama. Lebih atau kurang panas yang harus mengalir ke sampel tergantung pada
apakah proses ini eksotermik atau endotermik. Misalnya, sebagai sampel padat
meleleh, cairan itu akan memerlukan lebih banyak panas mengalir ke sampel
untuk meningkatkan suhu pada tingkat yang sama sebagai acuan. Hal ini
disebabkan penyerapan panas oleh sampel karena mengalami transisi fase
endotermik dari padat menjadi cair. Demikian juga, sampel ini mengalami proses
eksotermik (seperti kristalisasi), panas yang lebih sedikit diperlukan untuk
menaikkan suhu sampel. Dengan mengamati perbedaan aliran panas antara
sampel dan referensi, diferensial scanning kalorimeter mampu mengukur jumlah
panas yang diserap atau dilepaskan selama transisi tersebut.
Pada polimer, khususnya plastik, definisi temperatur tinggi adalah suhu
diatas 1350 C. Pada temperatur tinggi, polimer tidak hanya melunak, tetapi juga
dapat mengalamidegradasi termal. Sebuah plastik yang mengalami pelunakan
pada temperatur tinggi tetapi mulai mengalami degradasi termal pada suhu yang
jauh lebih rendah hanya dapat digunakan pada suhu di bawah suhu dia mulai
mengalami degradasi. Menentukan temperatur aplikasi membutuhkan
pengetahuan mengenai perilaku degradasi termal dari polimer tersebut. Titik
pelunakan pada polimer sangatlah ditentukan oleh tipe polimer yang digunakan.
Pada polimer amorf, suhu yang penting adalah Tg (glass transition temperature).
Sedangkan, pada polimer kristalin dan semi-kristalin, suhu yang penting terletak
pada Tm (melting point) (Kasmayadi, Murwani 2007).
Karena suhu glass transisi merupakan suhu dimana bahan mulai melunak
(masih padat tetapi sudah lunak) dan suhu ini selalu ada di bawah suhu
kristalisasi, maka dari hasil pengujian seperti pada Gambar 4.7 dan 4.8 dapat
diketahui bahwa fabrikasi serat optik dari bahan tersebut dapat dilakukan minimal
pada suhu 1200 C.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Suhu mempunyai pengaruh terhadap viskositas bahan akan tetapi
penentuan suhu tidak dapat dilakukan dengan cara langsung begitu saja, dengan
thermograph hasil pengujian bahan, dapat dilakukan pengamatan suhu terhadap
proses pencetakan serat optik berbahan polimer.
4.2. Fabrikasi Serat Optik Polimer
4.2.1. Hasil
4.2.1.1. Fabrikasi Inti (Core)
Fabrikasi serat optik polimer dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu
dan penekanan terhadap diameter core serat optik polimer. Penekanan dan suhu
memberikan pengaruh terhadap viskositas bahan, ketika suhu dinaikkan interaksi
antar partikel atau gaya kohesi bahan semakin kecil, begitu pula dengan viskositas
bahan yang semakin kecil. Semakin kecil viskositas bahan akan semakin encer.
Semakin encer bahan mengakibatkan bahan akan mudah keluar dari cetakan.
Ketika bahan keluar dari cetakan dengan adanya tarikan menjadikan diameter
serat optik terbentuk. Dalam proses pencetakan ada beberapa hal yang
mempengaruhi diameter yaitu suhu, penekan, serta kecepatan putar motor
penggulung. Jika kecepatan putar motor penggulung konstan pengaruhnya adalah
keseragaman diameter serat optik polimer. Tidak hanya itu saja suhu dan
penekanan juga memberikan pengaruh terhadap aliran fluida bahan ketika
dipanaskan.
Pada fabrikasi pertama, dilakukan pencetakan dengan menggunakan bakal
core yang berupa silinder pejal, bakal core dari bahan PMMA yang sebelumnya
telah diuji sifat optik berupa serapan cahaya serta indek bias, dan sifat thermal
untuk mengetahui suhu fabrikasinya. Dalam penelitian ini, telah dihasilkan
beberapa serat optik dengan core PMMA. PMMA yang berupa silinder pejal
langsung dicetak dengan cara dimasukkan ke dalam cetakan dan dipanaskan di
dalam furnace. Proses pemanasan dilakukan dengan variasi suhu untuk
mengetahui pengaruh suhu terhadap diameter. Penekanan diberikan agar bahan
yang ada di dalam cetakan keluar. Pemberian penekanan dimaksudkan untuk
mengurangi kemungkinan bahan akan mengeras kembali di dalam cetakan. Suhu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
ruangan mempengaruhi serat optik yang keluar dari cetakan. Pada saat serat optik
ditarik keluar dari cetakan, bahan dimungkinkan akan kembali ke fasenya dari
lunak menjadi keras. Hai ini karena dipengaruhi oleh udara dari luar. Jadi serat
optik yang dihasilkan ketika awal penarikan hingga ke motor penggulung tidak
digunakan. Serat optik polimer yang digulung dengan menggunakan motor
penggulung dengan kecepatan konstanlah yang dipakai, karena pada saat ini
tarikan sama dan keseragaman diameter sudah mulai terbentuk.
Proses fabrikasi dilakukan dengan variasi suhu pemanasan sebesar 1800 C,
1900 C, 2000 C, 2100 C, 2400 C, dan 2500 C. Pada proses fabrikasi ini furnace di
set pada suhu yang ditentukan tersebut. Furnace mengalami fluktuasi nilai panas
pada awal pengaturan, fluktuasi terjadi pada saat saklar bimetal saling terhubung.
Bakal baru dimasukkan kedalam cetakan ketika pada temperature control
menunjukkan nilai yang sesuai dengan pengaturan. Perbedaan suhu yang
ditentukan menunjukkan pengaruh dengan rentang yang mendekati dan berjauhan
dimaksudkan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap homogenitas serat optik
ketika keluar dari cetakan yang hubungannya dengan keseragaman diameter core.
Diameter serat optik diukur dengan menggunakan difraksi seperti pada
set-up pengukuran keseragaman diameter dengan difraksi pada gambar 3.6. Hasil
pengukuran ditunjukkan pada tabel 4.1 yang mewakili dari data yang diperoleh
pada lampiran C. Pada penelitian ini serat optik yang dihasilkan adalah serat optik
dengan core PMMA dan cladding udara.
Tabel 4.1. Data pengukuran diameter serat optik yang dicetak pada suhu 2400 C
dengan beban massa 510 gram, λ= 633 nm, dan D= 1,27 m
Titik ke- Y1(cm) Y2(cm) Y3(cm) Y4(cm)
1 0,5 1,1 1,6 1,6 2 0,5 1,0 1,5 1,5 3 0,5 1,0 1,5 1,5 4 0,5 1,1 1,5 1,5 5 0,5 1,0 1,6 1,6 6 0,5 1,0 1,6 1,6 7 0,5 1,1 1,6 1,6 8 0,5 1,2 1,7 1,7 9 0,5 1,2 1,7 1,7
10 0,5 1,0 2,0 2,0
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
4.2.1.2. Fabrikasi Core dan Cladding dengan Variasi Penekanan
Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap pengaruh penekanan
terhadap viskositas bahan polimer yang disiapkan sebagai bahan pembuat serat
optik polimer. Bahan yang telah disiapkan meliputi PMMA yang digunakan
sebagai core serat optik polimer dan PVC sebagai cladding.
Fabrikasi dilakukan dengan cara yang sama yaitu dengan bakal core dan
bakal cladding yang sudah ada kemudian dimasukkan ke dalam cetakan di dalam
furnace. Proses fabrikasi tersebut dilakukan dengan 3 variasi beban massa dengan
menggunakan suhu sebesar 1900 C. Dengan melakukan variasi penekanan maka
dihasilkan serat optik yang memiliki diameter yang berbeda-beda, ini
menunjukkan bahwa besarnya penekanan memberikan pengaruh terhadap
viskositas bahan di dalam cetakan. Aliran fluida yang mengalir dari cetakan
hingga dikeluarkan dari lubang cetakan diakibatkan oleh dorongan dari massa
yang memberikan gaya ke bawah. Aliran fluida semakin cepat. ditambah dengan
besarnya tarikan yang diberikan oleh motor penggulung. Pada penelitian ini
dihasilkan 3 serat optik yang memiliki ukuran diameter yang berbeda yang dibuat
dengan variasi beban massa alat penekan. Dengan suhu yang sama akan tetapi
diberikan perlakuan penekanan yang berbeda menghasilkan serat optik dengan
ukuran diameter yang berbeda. Bentuk fisik serat optik yang dihasilkan adalah
bening, transparan. Pengukuran diameter dilakukan dengan menggunakan
mikrometer skrub, karena serat optik yang dihasilkan masih belum mempunyai
homogenitas core dan cladding yang sama, atau berupa masih berupa serat-serat.
oleh sebab itu pengukuran tidak dapat dilakukan dengan cara optik. Karena jika
menggunakan cara optik diameter yang terukur tidak mewakili diameter secara
keseluruhan. Hasil pengukuran diameter serat optik yang dicetak dengan varisai
penekanan ditunjukkan pada tabel 4.2 yang mewakili data yang diperoleh pada
lampiran D. Data diambil dengan cara mengukur ketebalan serat serat optik
dengan menggunakan mikrometer skrub. Besarnya diameter diperoleh dari
pembacaan skala pada mikrometer skrub.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Tabel 4.2. Data pengukuran diameter serat optik yang dicetak dengan pemberian
beban massa 510 gram pada suhu 1900 C
Panjang(cm) Diameter(mm)
1 0,115 2 0,120 3 0,120 4 0,115 5 0,130 6 0,130 7 0,120 8 0,120 9 0,120 10 0,115 11 0,115 12 0,125 13 0,130 14 0,120 15 0,110 16 0,115 17 0,115 18 0,125 19 0,125 20
diameter rata-rata (mm) 0,120 0,120
Kesalahan Relatif: 0,086 %
4.2.2. Pembahasan
Dalam penelitian ini, fabrikasi serat optik polimer dilakukan dengan
menggunakan metode pre-casting, yang bermula dari bakal core berupa silinder
pejal yang apakah dari bakal ini bisa langsung dicetak di dalam cetakan. Dengan
memberikan penekanan dari atas, dan dipanaskan diharapkan bakal dapat keluar
dari cetakan sebelum bakal kembali keras atau terbentuk fase kristalisasi pada
suhu tertentu. Dari pemikiran itu dilakukanlah penelitian pengujian terhadap
bahan PMMA yang disiapkan untuk membuat serat optik. Dari sini muncul
gagasan lain yaitu ketika bakal core berupa silinder pejal dimasukkan ke dalam
bakal cladding berupa silinder pejal, struktur yang terbentuk menyerupai struktur
dari serat optik yaitu serat optik terdiri dari core dan cladding. Oleh sebab itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
dilakukan percobaan dengan cara yang sama dengan memasukkan langsung bakal
core dan cladding ke dalam cetakan di dalam furnace.
Pada proses fabrikasi, dalam setiap pengambilan data digunakan bahan
PMMA yang dipotong sepanjang 20 cm. panjang dari bakal core disesuaikan
dengan panjang alat penekan yang digunakan untuk menekan bahan agar keluar
dari cetakan. Bakal dipotong dan dicuci hingga bersih. Hal ini memperhatikan
tentang cara memfabrikasi serat optik agar bahan clean dan terbebas dari material
lain yang dapat menjadi material pengotor. Kebersihan lingkungan juga tetap
dijaga dengan membersihkan lingkungn sekitar alat pencetak dan penekan yang
digunakan (Romaniuk, 2008). Gambar 4.9 Menunjukkan bakal core ketika
ditekan keluar dari cetakan.
Gambar 4.9. Bakal core diberi penekanan pada saat pencetakan
Selama proses pemanasan, bahan mengalami proses perubahan fase dari
keras menjadi lunak sampai membentuk rubbery (cair-karet). Pencetakan
dilakukan di antara suhu glass transisi dan suhu kristalisasi. Untuk mengurangi
loss maka serat optik harus bebas dari Kristal (Pearson, dkk). Dalam kondisi
F
Furnace
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
seperti ini bahan tersebut mengalami fenomena perubahan fase keras menjadi
materi dalam bentuk rubbery. Pada suhu rendah, polimer amorf merupakan
material gelas yang tersusun dari unit yang berulang dari molekul yang
terkarakterisasi dengan baik dan ketika dipanaskan akan meleleh membentuk
cairan yang encer. Akan tetapi, sebelum pelelehan biasanya terjadi keadaan
seperti karet (rubbery). Sebelum bahan mengalami perubahan fase kembali di
dalam cetakan dan komponen serat optik, maka bahan ditekan dari atas hingga
bahan keluar dari cetakan. Besarnya tekanan konstan. Oleh sebab itu, alat penekan
menggunakan beban yang dapat memberikan gaya tekan ke bawah. Hal ini
dimaksudkan untuk mendorong bahan keluar dari cetakan.
Langkah selanjutnya adalah melakukan penarikan terhadap bahan yang
telah keluar dari lubang cetakan. Penarikan dilakukan secara manual dengan
penggunakan pinset sampai serat mencapai motor penggulung. Selanjutnya serat
optik diposisikan lurus antara motor penggulung dengan lubang cetakan agar kuat
tarikan motor penggulung tidak terpengaruh oleh sudut akibat pembengkokan di
antara lubang cetakan yang dapat mengakibatkan permukaan yang tidak rata di
dalam serat optik. Penggulungan selanjutnya menggunakan motor penggulung
dengan kecepatan konstan yaitu 0,095 rad/ second. Diameter core yang terbentuk
pada awal penarikan belum memiliki diameter yang homogen, dikarenakan
penarikan awal masih dilakukan secara manual sehingga besarnya gaya tarikan
yang diberikan tidak sama. Diameter core cenderung konstan ketika sudah
digulung menggunakan motor penggulung. Dari hasil pencetakan dihasilkan
sebanyak 6 serat optik polimer dengan core PMMA dan cladding udara yang
dicetak dengan variasi suhu, sehingga didapatkan pula perbandingan diameter
serta rugi-rugi serat optik dari hasil karakterisasinya.
Viskositas dari suatu bahan ketika dipengaruhi oleh suhu dan penekanan
menjadikan mudah atau tidaknya bahan keluar dari cetakan, sifat ini
menggambarkan cepat atau lambatnya cairan tersebut mengalir. Karena pengaruh
dari suhu bahan mengalami perubahan fase. Perubahan gaya kohesi bahan
dipengaruhi oleh suhu sehingga ketika suhu bertambah maka gaya kohesi semakin
berkurang. Viskositas dipengaruhi oleh temperatur, tekanan, kohesi dan laju
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
perpindahan momentum molekularnya. Gaya-gaya kohesi pada zat akan menurun
seiring dengan bertambahnya temperatur.
Disini jelas bahwa kenaikan suhu akan mengakibatkan terjadinya
penurunan viskositas polimer. Terjadinya penurunan viskositas polimer pada suhu
tinggi disebabkan karena terjadinya perenggangan ikatan molekul polimer
tersebut dan perubahan densitas. Dalam penelitian ini, ketika bakal core dan bakal
cladding dimasukkan ke dalam cetakan di dalam furnace, besarnya gaya penekan
mempercepat laju viskositas bahan. Dengan melakukan variasi penekanan
menunjukkan seberapa mudah bahan dikeluarkan dari cetakan serta melihat
bagaimana pengaruhnya terhadap serat optik yang dihasilkan dari penerapan
metode pre-casting. Homogenitas core dan cladding yang dihasilkan belumlah
sesempurna seperti yang dihasilkan oleh serat optik yang menggunakan satu inti
core. Namun dalam penelitian ini dapat dihasilkan serat optik polimer yang dapat
membandingkan bahwa suhu, penekanan, dan variasi putar memiliki pengaruh
yang besar terhadap diameter.
Semakin besar diameter core yang terbentuk seiring dengan meningkatnya
suhu fabrikasi. Ketika bahan dipanaskan, maka molekul-molekul penyusun bahan
akan bergetar, energi kinetik bahan bertambah. Ikatan antara molekul yang satu
dengan yang lain semakin renggang, sehingga ketika jatuh ke bawah pengaruh
gaya tarik gravitasi bumi dan beban massa alat penekan akan lebih kuat dibanding
gaya ikat antara molekul-molekul penyusun bahan, akibatnya semakin tinggi suhu
fabrikasi maka diameter core yang terbentuk juga semakin besar.
4.3. Karakterisasi Serat Optik Polimer
4.3.1. Keseragaman Diameter
4.3.1.1. Hasil
Pengukuran keseragaman diameter dilakukan dengan dua cara yaitu
dengan cara mekanik dan optik. Agar dalam pengukuran diameter serat otik tidak
melukai serat itu sendiri, maka digunakan pengukuran cahaya dengan cara optik.
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan difraksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Gambar 4.10 merupakan hasil pengukuran keseragaman diameter yang
dicetak dengan variasi suhu yang diukur dengan menggunakan mikrometer skrub.
Gambar 4.10. Hasil pengukuran diameter yang dicetak dengan variasi suhu dengan
menggunakan mikrometer skrub.
Kesalahan relatif dari gambar 4.10 dari dari suhu 1800 C – 2500 C secara
berurutan adalah 2,37%, 1,77%, 2,22%, 7,67%, 1,91%, 12,42%. Pengukuran
dilakukan dengan menggunakan mikrometer skrub. Pada gambar terlihat bahwa
dalam pengukuran dihasilkan keseragaman diameter dengan fluktuasi yang cukup
besar. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa serat optik yang diukur
diameternya ikut tertekan pada saat memutar skala mikrometer. Maka dilakukan
pengukuran dengan cara non kontak.
Gambar 4.11 adalah hasil pengukuran keseragaman diameter dengan
menggunakan cara optik. Cara ini dilakukan untuk menghindari rusaknya serat
optik akibat pengukuran dengan cara mekanik. Pada gambar nilai sebaran
diameter yang diukur mempunyai deviasi sebesar ± (0,004 - 0,032) mm. Ini
membuktikan bahwa pengukuran dengan cara optik mempunyai ketelitian yang
lebih baik dibandingkan pengukuran dengan cara mekanik. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahi keseragaman diameter yang dicetak dengan pengaruh
suhu dengan menggunakan suhu fabrikasi seperti pada gambar 4.11. .Dari gambar
4.11 terlihat jelas bahwa besarnya diameter dipengaruhi oleh suhu. Kesalahan
0 5 10 15 20 250.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
dia
met
er (
mm
)
Panjang (cm)
suhu 180 suhu 190 suhu 200 suhu 210 suhu 240 suhu 250
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
relatif pada gambar 4.11 dari bawah ke atas secara berurutan adalah 0,072%,
0,024%, 0,037%, 0,025%, 0,078%, 0,189%.
Gambar 4.11. Hasil pengukuran diameter dengan menggunakan teknik difraksi
Sedangkan untuk pengukuran keseragaman diameter serat optik polimer
dari hasil pencetakan dengan variasi penekanan dilakukan dengan menggunakan
mikrometer skrub. Ketelitian dari alat ukur ini sebesar 0.01 mm. Hasil pengukuran
ditunjukkan pada gambar 4.12. Kesalahan relatif pada gambar 4.10 dari bawah ke
atas adalah 0,064 %, 0,342 %, 0,086 %.
Gambar 4.12. Hasil pengukuran keseragaman diameter yang dicetak dengan variasi
penekanan menggunakan mikrometer skrub
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 120.000.050.100.150.200.250.300.350.400.450.500.550.60
Suhu 2500 C Suhu 2400 C Suhu 2100 C Suhu 2000 C Suhu 1900 C Suhu 1800 C
Dia
met
er (
mm
)
T itik ke-
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 200.04
0.06
0.08
0.10
0.12
0.14
0.16
0.18
0.20
Dia
met
er (
mm
)
Panjang (cm)
Massa 220 gram Massa 480 gram Massa 510 gram
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Dari data hasil pengukuran menggunakan mikrometer skrub dan difraksi
yang dipengaruhi oleh suhu dan penekanan dapat dibandingkan data diameter
rata-rata dari masing-masing pengukuran pada tabel 4.3 dan 4.4.
Tabel 4.3. Data diameter rata-rata (mm) dengan variasi suhu, dengan beban massa
alat penekan 510 gram
Tabel 4.4 Data diameter rata-rata (mm) dengan variasi massa, dengan suhu 1900 C
Beban massa 220 gram 480 gram 510 gram
Mikrometer skrub 0,086±5,49E-05 0,108±3,69E-04 0,120±1,03E-04
Dari hasil pengukuran tampak bahwa sebaran diameter yang diukur
dengan menggunakan mikrometer skrub lebih lebar dari pada menggunakan cara
difraksi antara 0,004 – 0,032. Hal ini dikarenakan pada saat memutar skala pada
mikrometer sk rub ada salah satu bagian yang terlukai atau tertekan. Selain itu
serat optik yang dihasilkan dengan variasi beban massa belum mempunyai
homogenitas core dan cladding. Dari data diketahui bahwa faktor suhu dan
penekanan berpengaruh terhadap proses pencetakan serat optik polimer. Dalam
penelitian ini dapat diberikan informasi tentang pengaruh beban massa alat
penekan terhadap diameter serat optik polimer yang dihasilkan. Dimana semakin
besar massa yang diberikan semakin besar diameter yang terbentuk.
4.3.1.2. Pembahasan
Dari hasil pengukuran diameter hasil fabrikasi serat optik polimer dengan
variasi suhu dan penekanan, tiap-tiap variasi diambil diameter rata-ratanya.
Suhu 1800 C 1900 C 2000 C 2100 C 2400 C 2500 C
Mikrometer 0,44±0,01 0,22±0,004 0,29±0,007 0,24±0,019 0,25±0,004 0,25±0,032
Difraksi 0,060±4,4
E-05
0,113±2,8E
-05
0,121±4,5E
-05
0,142±3,6E
-05
0,153±0,00
01
0,269±0,0005
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
(a) (b)
Hubungan antara keseragaman diameter dengan variasi suhu dan penekanan
diperlihatkan pada gambar 4.13.
Gambar 4.13. (a) Pengaruh suhu terhadap diameter (b) Pengaruh beban massa alat
penekan terhadap diameter pada saat proses pencetakan serat optik polimer
Dari grafik (gambar 4.13) terlihat bahwa nilai diameter core semakin besar
seiring dengan peningkatan suhu dan penekanan. Semakin besar suhu yang
diberikan bahan akan semakin encer (Romaniuk, 2008) dan semakin mudah untuk
ditarik menjadi serat optik polimer. Semakin besar suhu yang diberikan bahan
tersebut mulai mengalami perubahan fase dari keras menjadi lunak, pada saat
bahan dicetak pada suhu gelas transisi, wujud dari bahan berupa rubbery (seperti
karet) sehingga bahan akan lebih mudah keluar dari cetakan. Diameter akan
semakin besar seiring dengan kenaikan suhu pada suhu gelas transisi. Pada grafik
hubungan antara penambahan beban dan diameter serat optik belum mendapatkan
hasil yang maksimal karena selisih antara massa 1 dengan massa 2 dan 3
mempunyai range yang besar sehingga masih mempunyai nilai keseragaman
diameter yang belum dapat diprediksi secara maksimal, hal ini dikarenakan
keterbatasan beban massa yang dimiliki. Diameter mengalami kenaikan
dikarenakan aliran fluida dalam cetakan semakin cepat sehingga bahan akan lebih
mudah keluar dari cetakan. Pada suhu 1800 C, bahan belum terlalu encer, masih
sangat kental dan lengket, sehingga akibat tarikan dari motor penggulung serat
optik polimer yang terbentuk memiliki diameter kecil.
170 180 190 200 210 220 230 240 250 260
0.06
0.09
0.12
0.15
0.18
0.21
0.24
0.27
0.30
0.33
Dia
met
er r
ata-
rata
(m
m)
Suhu (C)160 200 240 280 320 360 400 440 480 520
0.080
0.085
0.090
0.095
0.100
0.105
0.110
0.115
0.120
0.125
0.130
Dia
met
er r
ata-
rata
(m
m)
Massa (gram)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
4.3.2. Pengukuran Rugi – rugi Serat Optik
4.3.2.1. Hasil
Hasil pengukuran rugi-rugi serat optik yang dicetak pada suhu 1800
sebesar 8,80 dB, sedangkan untuk rugi-rugi serat optik yang dicetak dengan
variasi suhu ditunjukkan pada tabel 4.5.
Tabel 4.5. Hasil pengukuran rugi-rugi serat optik polimer yang dicetak dengan
variasi suhu
Suhu ª迫囊(µW) ª迫挠(µW) �Ȭ
1800 C 0,75 0,83 8,80
1900 C 0,77 0,85 8,59
2000 C 0,88 1,06 16,16
2100 C 0,98 1,13 12,37
2400 C 1,12 1,20 5,99
2500 C 1,12 1,23 8,14
Besarnya rugi-rugi serat optik dapat diperoleh dari persamaan 4.6.
�Ȭ = 囊难Ě,1(冗搔潜冗搔前)莆前能莆潜 (4.6)
Dimana ª迫囊 adalah intensitas yang keluar dari serat optik ( µWatt), ª迫挠 intensitas
yang melewati serat optik ( µWatt), dan过囊− 过挠 panjang serat optik.
4.3.2.2. Pembahasan
Dalam pengujian rugi-rugi serat optik diukur nilai intensitas yang melalui
serat optik dengan nilai intensitas yang keluar dari serat optik (Moradi, dkk).
Pengujian yang dilakukan dengan memotong serat optik polimer sekitar 5 cm.
Dari masing-masing dibandingkan nilai rugi-rugi serat optik yang dihasilkan.
Dengan ª挠/ª囊 seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.5. Pengukuran rugi-rugi serat
optik dilakukan dengan mengukur intensitas cahaya yang keluar dari serat optik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
dengan cara membaca besarnya intensitas yang terukur pada power meter. Setelah
itu dibandingkan dengan intensitas yang terukur ketika serat optik dipotong
sebagian. Dilakukan pemotongan karena intensitas yang dihasilkan oleh sumber
cahaya tidak semuanya masuk ke dalam serat optik. Intensitas cahaya yang masuk
ke dalam serat optiklah yang diukur. Jadi ketika serat optik dipotong sebagian,
intensitas cahaya yang terbaca adalah intensitas cahaya yang melewati serat optik.
Perbandingan ini menunjukkan rugi-rugi serat optik. Cara pengukuran seperti ini
disebut dengan metode cut-off. Pada tabel 4.5 jelas ditunjukkan bahwa semakin
besar diameter serat optik makin banyak cahaya yang dilewatkan pada serat optik.
Akan tetapi dalam penelitian ini masih dihasilkan loss yang cukup tinggi.
Banyaknya loss akibat dari bahan itu sendiri atau rugi-rugi akibat proses
pencetakan (Xicheng, dkk, 2002).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
59
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan dan hasil penelitian yang telah
dikemukakan di bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan hasil karakterisasi sifat fisisnya, bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah PMMA dan PVC, PMMA dalam penelitian ini
memenuhi syarat digunakan sebagai core karena mempunyai indeks bias
lebih besar daripada PVC.
2. Kondisi diameter serat optik yang dicetak dengan metode pre-casting
dengan variasi suhu dan penekanan mempunyai nilai besarnya diameter
yang berbeda. Besarnya diameter yang diperoleh dengan variasi suhu
adalah 0,06 mm – 0,44 mm.
3. Besarnya diameter dipengaruhi oleh suhu dan pekanan dengan semakin
besar suhu dan pekanan yang diberikan maka semakin besar diameter yang
dihasilkan. Besarnya diameter yang diperoleh dengan variasi penekanan
adalah 0,086 mm – 0,120 mm.
4. Dari hasil karakterisasi bahwa besarnya loss serat optik yang dihasilkan
masih memiliki loss yang besar yaitu sebesar 5,99 dB – 16,16 dB. .
5.2. Saran
Hal-hal yang perlu disarankan pada penelitian selanjutnya untuk
mendapatkan serat optik yang lebih berkualitas adalah:
1. Merancang alat penekan dengan mempertimbangkan posisi tegak/
lurusnya terhadap posisi furnace yang terpasang pada tower.
2. Penggunaan beban massa yang tepat dalam proses fabrikasi.
3. Menjaga suhu agar dalam keadaan konstan sesuai dengan settingan.
4. Perkembangan modifikasi alat pemutar dengan kecepatan konstan dan alat
penjaga keseragaman diameter, agar didapatkan homogenitas serat optik.