fahm, ikhlas, amal dan jihad
TRANSCRIPT
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada
(Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah
kamu kerjakan." (At-Taubah:105)
GITA NUR ISTIQOMAH
FAHM, IKHLAS, AMAL dan JIHAD
Bissmillahirohmanirrohim
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (At-Taubah:105)
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian
itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (al-An’am:153)
Sepuluh Rukun Baiat.,
Terdapat sepuluh rukun baiat yang dirisalahkan oleh Imam Hasan Al-Banna, dimana sepuluh
rukun itu bukan saja ditujukan untuk jamaah Ikhwanul Muslimin, akan tetapi kalau kita telaah lebih
jauh dapat diterapkan oleh umat muslim secara luas karena sifatnya yang umum. Sepuluh rukun itu
adalah: fahm (pemahaman), ikhlas, amal (aktifitas), jihad, tadhiyah (pengorbanan), taat (kepatuhan),
tsabat (keteguhan), tajarrud (kemurnian), ukhuwah, dan tsiqah (kepercayaan).
Bagi mereka yang terlibat dalam aktivitas dakwah, hal ini mungkin bukan sesuatu yang baru.
Bagi Ikhwanul Muslimin atau Gerakan yang terinspirasi olehnya (gerakan tarbiyah, PKS salah
satunya) risalah kecil itu telah menjadi pokok kajian gerakan. Risalah itu telah memberi arahan
metodologis bagi strategi perubahan sosial dan pembentukan organisasi yang kohesif.
Pertanyaan awal adalah apa yang dimaksud dengan rukun bai’at ? Rukun sebagaimana kita
ketahui terkait dengan sah tidaknya sebuah aktivitas. Membaca al fatihah, rukuk, sujud adalah rukun
sholat. Jika tidak dilakukan, sholat menjadi tidak sah. Apa makna rukun dalam rukun bai’ah ?
Aktivitas yang jika tidak dikerjakan, sebuah tujuan bisa tidak bernilai. Dalam hal ini tujuan dari rukun
bai’at ini adalah komitmen terhadap sebuah gerakan. Apa makna bai’at, barangkali ini sering
menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan karena konotasi tertentu? Janji setia. Kenapa butuh bai’at,
apakah syahadat saja tidak cukup bagi kita ? Janji setia terkait dengan pekerjaan besar yang ingin
dicapai dan butuh komitmen tinggi untuk mencapainya. Di zaman Rasulullah juga terjadi beberapa
bai’at, bai’tur ridhwan salah satunya.
Apa tujuan Hasan Al Banna menuliskan rukun bai’at ini ? Dalam kata pengantarnya, risalah
ini ditujukan untuk anggota Ikhwanul Muslimun dalam kategori pejuang (aktivis). Tujuan risalah ini
adalah mengubah status afiliatif seseorang menjadi partisipatif dan kontributif dalam organisasi
Ikhwan (menggunakan skemanya Anis Matta).
1 | P a g e
1. Rukun pertama. Dimulai dari Fahm. Pemahaman. Kenapa bermula dari sini ? Prioritas. Ilmu mendahului
perkataan dan perbuatan. Kenapa tidak diungkapkan dengan ilmu ? Karena faham adalah tujuan dari ilmu
(Yusuf Qardawi). Ilmu sesungguhnya bukan dengan banyaknya hafalan tetapi dalamnya pemahaman.
Skema pemahaman dasar yang diinginkan dimiliki oleh ikhwan disebutkan dalam Ushul ‘Isyrin (Dua puluh
prinsip pemahaman Islam Ikhwanul Muslimun). Faham adalah prinsip pengetahuan.
2. Ikhlas. Prinsip motivasi. Motivasi internal yang memberi energi untuk selalu bekerja.
3. Amal. Buah dari fahm dan ikhlas. Tertib amal dari memperbaiki pribadi sampai dengan menjadi guru
peradaban. Tertib amal ini terbagi menjadi amal individu (fardi) dan amal kolektif (kolektif). Dalam rukun
ini tertib amal yang disebutkan merupakan refleksi cita-cita besar Ikhwan. Mimpi hari ini adalah kenyataan
esok hari.
4. Jihad. Semangat keunggulan. Amal yang dilakukan tidak cukup dilakukan sekedarnya, tetapi perlu
dikerjakan hingga memenuhi kualitas jihad.
5. Tadhhiyah. Mencapai keunggulan perlu pengorbanan. Spirit untuk selalu memberi. Ruhul badzl. Tidak ada
jihad tanpa pengorbanan. Mengorbankan jiwa, harta, waktu, kehidupan, dan segala-galanya demi
mencapai tujuan. Pengorbanan dalam rangka memperjuangkan fikrah kita tidaklah sia-sia, akan tetapi
akan dibalas dengan pahala yang tidak terhingga dan balasan yang baik.
6. Taat. Semangat yang menggebu, pengorbanan yang banyak tidak boleh salah arah. Karena kerja dilakukan
secara kolektif, dalam organisasi, ada kerangka strategi yang perlu diperhatikan. Taat adalah mentaati
strategi yang telah ditetapkan. Melaksanakan perintah dan merealisasikan dengan serta merta, baik dalam
keadaan sulit maupun mudah, saat bersemangat maupun malas.
7. Tsabat (Teguh/tegar). Determinasi diri. Istiqamah. Sabar. Terus bekerja, meski waktu demikian lama.
Waktu adalah bagian dari solusi. Senantiasa bekerja sebagai mujahid dalam memperjuangkan tujuannya,
betapa pun jauh jangkauan dan lama waktunya, sampai bertemu dengan Allah SWT dalam keadaan
seperti itu. Dia akan mendapat salah satu dari dua kebaikan, iaitu hidup mati atau mati syahid.
8. Tajarrud (Kemurnian atau totalitas). Totalitas. Loyalitas terhadap ideologi. Shibghah, mencelupkan diri
aqidah secara total. Tulus pada fikrahmu dan membersihkannya dari prinsip-prinsip lain serta pengaruh
orang lain. Mengkhususkan diri untuk Allah SWT dan melepaskan diri dari segala sesuatu selain Allah SWT.
9. Ukhuwah. Spirit cinta. Hati dan ruh yang berpadu dengan Ikatan aqidah. Dimulai dari lapang dada
(salamatus shodr) hingga mengutamakan orang lain (itsar). Pelbagai hati dan ruh berpadu dengan ikatan
akidah kerana ikatan akidah adalah yang paling kukuh dan mahal. Ukhuwah wujud dari keimanan.
Kekuatan yang pertama adalah persatuan, tiada persatuan tanpa cinta kasih. Cinta kasih yang paling
lemah adalah lapang dada dan puncaknya adalah itsar (mengutamakan orang lain daripada dirinya
sendiri).
10. Tsiqah. Tenangnya hati terhadap kompetensi dan kejujuran pemimpin. Peran pemimpin sebagai orang tua
dalam ikatan hati, guru dalam memberi ilmu, syaikh dalam pendidikan ruhani dan komandan dalam
menentukan kebjakan dakwah. Rasa puasnya seorang jundi (perajurit) atas qa’id (pimpinan) dalam hal
kemampuan dan keikhlasannya, dengan kepuasan yang mendalam yang dapat menumbuhkan rasa cinta,
penghargaan, penghormatan, dan ketaatan.
2 | P a g e
→ PEMBAHASAN MENGENAI FAHM, IKHLAS, AMAL DAN JIHADPEMBAHASAN MENGENAI FAHM, IKHLAS, AMAL DAN JIHAD
Penempatan ‘Fahm’ sebagai rukun pertama juga ternyata ada maksudnya, seperti kita beriman.
Sebelum beriman, maka kita sebenarnya berilmu terlebih dahulu. Segala tindakan yang kita lakukan
hendaknya disertai dengan ilmu, jika tidak, maka bisa saja yang kita lakukan itu sia-sia, seperti
berbuat tanpa tujuan. Allah AWT pun menurunkan Al-Quran diawali dengan penyeruan terhadap
berilmu ”Iqra”.
‘F AHM ’
Fahm (pemahaman) yang dimaksud adalah engkau yakin bahwa fikrah kita adalah ‘fikrah islamiyah
yang bersih”.
Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
�م� �م�ام� الع�ل �ع�ه� و�الع�م�ل� الع�م�ل� إ �اب ت
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil
Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)
Bukti bahwa ilmu lebih didahulukan daripada amalan
Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum
Berkata dan Berbuat)” Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah
ta’ala,
�م� �ه� ف�اع�ل ن� �ه� ال� أ �ل �ال� إ �ه� إ �غ�ف�ر� الل ت �ك� و�اس� �ب �ذ�ن ل
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan
mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang
dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah
amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal
ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan
dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah
engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah
memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)
3 | P a g e
Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih
dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap
ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan
ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat
dari dirinya.” (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)
Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat
benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap
kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan
perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Fathul Bari,
1/108)
Keutamaan ilmu syar’i yang luar biasa
Setelah kita mengetahui hal di atas, hendaklah setiap orang lebih memusatkan perhatiannya untuk
berilmu terlebih dahulu daripada beramal. Semoga dengan mengetahui faedah atau keutamaan ilmu
syar’i berikut akan membuat kita lebih termotivasi dalam hal ini.
Pertama, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di dunia
Di akhirat, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat berbanding lurus
dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang
berilmu dari hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan.
Allah Ta’ala berfirman,
ف�ع� �ر� �ه� ي �ذ�ين� الل �وا ال �م�ن �م� آ �ك �ذ�ين� م�ن �وا و�ال �وت �م� أ �ع�ل ج�ات( ال د�ر�
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al Mujadalah: 11)
Kedua, seorang yang berilmu adalah cahaya yang banyak dimanfaatkan manusia untuk urusan
agama dan dunia meraka.
Dalilnya, satu hadits yang sangat terkenal bagi kita, kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang
membunuh 99 nyawa. Kemudian dia ingin bertaubat dan dia bertanya siapakah di antara penduduk
bumi yang paling berilmu, maka ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia bertanya
kepada si ahli ibadah, apakah ada taubat untuknya. Ahli ibadah menganggap bahwa dosanya sudah
sangat besar sehingga dia mengatakan bahwa tidak ada pintu taubat bagi si pembunuh 99 nyawa.
Maka dibunuhlah ahli ibadah sehigga genap 100 orang yang telah dibunuh oleh laki-laki dari Bani
Israil tersebut.
4 | P a g e
Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi, kemudian dia bertanya siapakah orang yang paling berilmu,
lalu ditunjukkan kepada seorang ulama. Dia bertanya kepada ulama tersebut, “Apakah masih ada
pintu taubat untukku.” Maka ulama tersebut mengatakan bahwa masih ada pintu taubat untuknya
dan tidak ada satupun yang menghalangi dirinya untuk bertaubat. Kemudian ulama tersebut
menunjukkan kepadanya agar berpindah ke sebuah negeri yang penduduknya merupakan orang
shalih, karena kampungnya merupakan kampung yang dia tinggal sekarang adalah kampung yang
penuh kerusakan. Oleh karena itu, dia pun keluar meninggalkan kampung halamannya. Di tengah
jalan sebelum sampai ke negeri yang dituju, dia sudah dijemput kematian. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kisah ini merupakan kisah yang sangat masyhur. Lihatlah perbedaan ahli ibadah dan ahli ilmu.
Ketiga, ilmu adalah warisan para Nabi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
�ن� �اء� إ �ي �ب �ن �م� األ �وا ل ث �و�ر3 ا ي �ار4 � د�ين ه�م4ا و�ال �م�ا د�ر� �ن �وا إ ث �م� و�ر� �ع�ل ذ� ف�م�ن� ال �خ� �ه� أ ذ� ب �خ� �ح�ظ7 أ و�اف�ر( ب
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu.
Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR.
Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud
dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Keempat, orang yang berilmu yang akan mendapatkan seluruh kebaikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
�ر�د� م�ن� �ه� ي �ه� الل ا ب �ر4 ي �ف�ق3ه�ه� خ� الد3ين� ف�ى ي
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan
dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya
pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan
kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada
dirinya.” (Majmu’ Al Fatawa, 28/80)
Ilmu yang wajib dipelajari lebih dahulu
Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk diamalkan saat itu,
adapun ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk diamalkan maka belum wajib untuk dipelajari.
Jadi ilmu mengenai tauhid, mengenai 2 kalimat syahadat, mengenai keimanan adalah ilmu yang
wajib dipelajari ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang harus diketahui.
5 | P a g e
Kemudian ilmu mengenai shalat, hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti bersuci dan lainnya,
merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari. Kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan
haram, ilmu tentang mualamalah dan seterusnya.
Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang haji belum wajib untuk
ia pelajari saat ini. Akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji, ia wajib mengetahui ilmu tentang haji
dan segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan,
adalah hal pertama yang harus dipelajari karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan
dengan niat. Kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itulah amalan yang benar.
Adapun kalau niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik. Ini semua jika
dilatarbelakangi dengan aqidah dan tauhid yang benar.
Deikianlah hendaknya kita memahami Islam, sebagaimana Islam yang sebenar-benarnya, tidak
kurang tidak lebih. Untuk itu, Hasan Al-Banna merangkumnya dalam batas-batas ushul al-‘isyrin (dua
puluh prinsip) yakni sebagai berikut ini.
Pertama, Islam adalah sistem menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara
dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban
dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan
pemikiran, sebagaimana ia adalah akidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak
lebih.
Kedua, Al-Quran yang mulia dan Sunah rasul yang suci adalah tempat kembali setiap Muslim untuk
memahami hukum-hukum Islam. Ia harus memahami Al-Quran sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa
Arab, tanpa takalluf (memaksakan diri memaknai suatu ayat tanpa memiliki nash pendukung yang
lain, hanya mengandalkan pendapat sendiri tanpa menyandarkannya pada pengetahuan bahasa
Arab) dan ta’assuf (serampangan). Selanjutnya, ia memahami Sunnah yang suci melalui rijalul hadits
(perawi hadits) yang terpercaya.
Ketiga, Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah) adalah
cahaya dan kenikmatan yang ditanamkan Allah di hati hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sedangkan
ilham, lintasan perasaan, ketersingkapan (rahasia alam), dan mimpi bukanlah bagian dari dalil
hukum-hukum syariat. Ia dapat pula dianggap dalil asalkan tidak bertentangan dengan hukum-
hukum agama dan teks-teksnya.
Keempat, jimat, mantra, guna-guna, ramalan, perdukunan, penyingkapan perkara ghaib, dan
semisalnya, adalah kemungkaran, yang harus diperangi, kecuali mantra dari ayat Al-Quran atau ada
riwayat dari Rasulullah SAW.
6 | P a g e
Kelima, pendapat imam atau wakilnya tentang sesuatu yang tidak ada teks hukumnya, tentang
sesuatu yang mengandung ragam interpretasi, dan tentang sesuatu yang mebawa kemaslahatan
umum, dapat diamalkan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah umum syariat. Ia
mungkin berubah seiring perubahan situasi, kondisi, dan tradisi setempat. Prinsipnya, ibadah itu
diamalkan dengan kepasrahan total tanpa mempertimbangkan makna. Sedangkan dalam urusan
selain ibadah (adat istiadat), harus mempertimbangkan maksud dan tujuannya.
Keenam, setiap orang boleh diambil atau ditolak kata-katanya, kecuali al-ma’shum (Rasulullah) SAW.
Setiap yang datang dari kalangan salaf dan sesuai dengan Kitab dan Sunnah, kita terima. Jika tidak
sesuai dengannya maka kitabullah dan Sunnah rasul-Nya lebih utama untuk diikuti. Namun
demikian, kita tidak boleh melontarkan kepada orang-orang karena sesuatu yang diperselisihkan
dengannya – kata-kata caci maki dan celaan. Kita serahkan saja terhadap niat mereka, dan mereka
telah berlalu dengan amal-amalnya.
Ketujuh, setiap muslim yang belum mencapai kemampuan telaah dalil-dalil hukum furu’(cabang),
hendaklah mengikuti pemimpin agama. Meskipun demikian, alangkah baiknyajika – bersamaan
dengan sikap mengikutinya ini – ia berusaha semampunya untuk mempelajari dalil-dalilnya.
Hendaknya, ia menerima setiap masukan yang disertai dengan dalil selama ia percaya dengan
kapasitas orang yang memberi masukan itu. Hendaknya, ia menyempurnakan kekurangannya dalam
hal ilmu pengetahuan jika ia termasuk orang yang pandai, sehingga mencapai derajat penelaah.
Kedelapan, khilaf dalam masalah fiqih furu’(cabang) hendaknya tidak menjadi faktor pemecah belah
dalam agama, serta tidak menyebabkan permusuhan dan tidak juga kebencian. Setiap mujtahid
mendapatkan pahalanya. Sementara itu, tidak ada larangan melakukan studi ilmiah yang jujur
terhadap persoalan khilafiyah dalam naungan kasih sayang dan saling membantu karena Allah untuk
menuju kepada kebenaran. Semua itu dengan tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik.
Kesembilan, setiap masalah yang amal tidak dibangun diatasnya - sehingga menimbulkan
perbincangan yang tidak perlu – adalah kegiatan yang dilarang secara syar’i. Misalnya
memperbincangkan berbagai hukum tentang masalah yang tidak benar-benar terjadi, atau
memperbincangkan makna ayat-ayat Al-Quran yang kandungan maknanya tidak dipahami oleh akal
pikiran, atau memperbincangkan tentang perihal perbandingan keutamaan dan perselisihan yang
terjadi di antara para sahabat (padahal masing-masing dari mereka meiliki keutamaannya sebagai
sahabat Nabi dan pahala niatnya). Dengan takwil (menafsirkan baik perilaku para sahabat) kita
terlepas dari persoalan.
Kesepuluh, makrifat kepada Allah dengan sikap tauhid dan penyucian (Dzat)-Nya adalah setinggi-
tinggi tingkatan akidah Islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan hadits-hadits sahih
7 | P a g e
tentangnya, serta berbagai keterangan mutasyabihat yang berhubungan dengannya, kita cukup
mengimaninya sebagaimana adanya tanpa takwil dan ta’thil, serta tidak memperuncing perbedaan
yang terjadi di antara para ulama. Kita mencukupkan diri dengan keterangan yang ada, sebagaimana
rasulullah SAW dan para sahabatnya mencukupkan diri dengannya.
“...dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami......" (Ali-‘Imran:7)
Kesebelas, setiap bid’ah dalam agama Allah yang tidak ada pijakannya, tetapi dianggap baik oleh
hawa nafsu manusia, baik berupa penambahan maupun pengurangan, adalah kesesatan yang wajib
diperangi dan dihancurkan dengan menggunakan cara yang terbaik, yang tidak justru menimbulkan
bid’ah lain yang lebih parah.
Kedua belas, perbedaan pendapat dalam masalah bid’ah Iidhafiyah (bid’ah penambahan), bid’ah
tarkiyah (bid’ah penolakan), dan iltizam (membuat peraturan-peraturan bagi ibadah yang bersifat
mutlak) terhadap ibadah muthlaqah (yang tidak ditetapkan, baik cara maupun waktunya) adalah
perbedaan dalam masalah fiqih. Setiap orang memiliki pendapat sendiri. Namun tidaklah mengapa
jika dilakukan penelitian untuk mendapatkan hakikatnya dengan dalil dan bukti-bukti.
Ketiga belas, cinta kepada orang-orang yang shaleh, memberikan penghormatan kepadanya, dan
memuji karena pengaruh baiknya adalah bagian dari taqarub kepada Allah SWT. Sedangkan para
wali adalah mereka yang disebut dalam firman-Nya, yaitu “…orang-orang yang beriman dan mereka
itu bertakwa. Karamah pada mereka itu benar-benar terjadi jika memenuhi syarat-syarat syar’i-nya.
Semua itu dengan suatu keyakinan bahwa mereka-semoga Allah meridhai mereka-tidak memiliki
mudarat dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, baik ketika masih hidup maupun setelah mati.
Keempat belas, ziarah kubur –kubur siapapun– adalah Sunnah yang disyariatkan dengan cara-cara
yang diajarkan Rasulullah SAW. Namun, meminta pertolongan pada penghuni kubur siapapun
mereka, berdoa kepadanya, memohon pemenuhan hajat (baik dari jarak dekat maupun kejauhan),
bernazar untuknya, membangun kuburnya, menutupinya dengan satir, memberikan penerangan,
mengusapnya (untuk mendapatkan berkah), bersumpah dengan selain Allah dan segala sesuatu yang
serupa dengannya adalah bid’ah besar yang wajib diperangi. Karenanya, janganlah mencari takwil
(pembenaran) terhadap berbagai perilaku itu karena menutup pintu fitnah yang lebih parah lagi.
Kelima belas, doa. Apabila diiringi tawasul kepada Allah dengan salah satu makhluk-Nya adalah salah
satu perselisihan furu’ menyangkut tata cara berdoa, bukan termasuk masalah akidah.
Keenam belas, istilah (keliru) yang sudah mentradisi (seperti riba Bank) tidak mengubah hakikat
hukum syar’i-nya. Akan tetapi, ia harus disesuaikan dengan maksud dan tujuan syariat itu, dan kita
8 | P a g e
berpedoman dengannya. Di samping itu, kita harus berhati-hati terhadap berbagai istilah yang
menipu (misalnya prinsip Islam sangat peduli dhuafa, sering dijadikan hujah bagi orang yang ingin
mengatakan bahwa sosialisme itu juga Islami), yang sering digunakan dalam pembahasan masalah
dunia dan agama. Ibrah itu ada pada esensi di balik suatu nama; bukan pada nama itu sendiri.
Ketujuh belas, akidah adalah fondasi aktivitas; aktivitas hati lebih penting dari aktivitas fisik. Namun,
usaha untuk menyempurnakan keduanya merupakan tuntutan syariat, meskipun kadar tuntutan
masing-masing berbeda.
Kedelapan belas, Islam itu membebaskan akal pikiran, menghimbaunya untuk melakukan telaah
terhadap alam, mengangkat derajat ilmu dan ulamanya sekaligus, dan menyambut hadirnya segala
sesuatu yang melahirkan maslahat dan manfaat. Hikmah adlah barang hilang milik orang yang
beriman (mukmin). Barangsiapa mendapatkannya, ialah orang yang paling berhak atasnya.
Kesembilan belas, panduan syar’i dan pandangan logika memiliki wilayahnya masing-masing yang
tidak dapat saling memasuki secara sempurna. Namun demikian, keduanya tidak pernah berbeda
(selalu beririsan) dalam masalah yang qath’i (absolut). Hakikah ilmiah yang benar tidak mungkin
bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat yang tsabitah (jelas). Sesuatu yang zhanni (interpretatif)
harus ditafsirkan agar sesuai dengan yang qath’i. jika yang berhadapan adalah dua hal yang sama-
sama zhanni maka pandangan yang syar’i lebih utama untuk diikuti sampai logika mendapatkan
legalitas kebenarannya, atau gugur sama sekali.
Keduapuluh, kita tidak mengafirkan seorang Muslim yang telah mengikrarkan dua kalimah syahadat,
mengamalkan kandungannya, dan menunaikan kewajiban-kewajibannya, baik karena lontaran
pendapat maupun kemaksiatannya, kecuali dia mengatakan kata-kata kufur, mengingkari sesuatu
yang telah diakui sebagai bagian penting dari agama, mendustakan secara terang-terangan Al-
Quran, menafsirkannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau
berbuat sesuatu yang tidak mungkin diinterpretasikan, kecuali dengan tindakan kufur.
Marilah kita awali setiap keyakinan dan amalan dengan ilmu agar luruslah niat kita dan tidak
terjerumus dalam ibadah yang tidak ada tuntunan (alias bid’ah). Ingatlah bahwa suatu amalan yang
dibangun tanpa dasar ilmu malah akan mendatangkan kerusakan dan bukan kebaikan.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan,
يصلح مما أكثر يفسد ما كان علم بغير الله عبد من
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan
daripada mendatangkan kebaikan.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)Allahu
akbar...!!!
9 | P a g e
‘ I KHLAS’
Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar
jika tidak ikhlas.
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”
Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”
Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau
melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”
Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang
berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling
benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak
diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus
ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai
sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad
dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi.
Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa
keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak
bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak
mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak
mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Makna Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak
kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah
saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam
beramal. Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal
tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari
kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat
10 | P a g e
dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil.
Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala
pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan
amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan,
perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa
melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan
demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan.
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang
berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam
segala aktivitas mengisi hidupnya.
Ciri Orang Yang Ikhlas
Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:
1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau
bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang
yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang.
Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”
Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal.
Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan
terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.
Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang
munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di
antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri
mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin
kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka
ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”
2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh
dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku
datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah
menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu,
11 | P a g e
dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka
adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia.
Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau
ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha
melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.
3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan
terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika
terlaksana oleh tangannya.
Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka
senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan
mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam,
bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.
Dan terakhir adalah sebagai penghujung tentang ikhlas maka kita dapat mengingat kembali
cerita lama (hadist) dalam kesempatan sifat ikhlas ini, yakni tentang pengaruhnya syetan terhadap
seorang yang taat. Jadi begini ceritanya (banyak versi hadist ini diceritakan) dalam bahasa khasnya
sang khatib bercerita. Di sebuah daerah hidup seorang lelaki yang taat kepada Allah yang setiap
harinya bekerja mencari kayu bakar untuk dijual dan tiap harinya juga bibir lelaki ini tidak luput dari
berzikir memuji Allah.
Tiba suatu saat, sebut saja orang taat ini hijrah ke gunung untuk menjauhkan diri dari
pengaruh dunia dan ingin lebih mendekatkan diri dengan Sang Khalik-Nya tanpa memikirkan
masyarakat yang ditinggalnya. Waktu berjalan dan terus berjalan sehingga banyak pemuka
agama/ulama di kampunya dulu telah pergi meninggalkan dunia. Namun, lelaki taat ini tetap saja
tidak menghiraukan keadaan masyarakatnya tersebut dan masih tetap menetap diri di daerah
pegunungan.
Hingga suatu hari masyarakat kampunya lelaki tadi dibawakan sebuah ajaran baru untuk
menyembah pohon. Tanpa berpikir panjang banyak masyarakat pun ikut bersama ajaran itu karena
telah berkurangnya ilmu agama akibat tidak adanya ulama-ulama lagi.
Tidak lama setelah itu, lelaki taat ini mendengar berita tersebut, bahwa masyarakatnya telah
berbelok keyakinan. Jelas saja, lelaki taat ini marah dan berniatnya untuk menebang/membabat
habis pohon sesembahan tersebut agar mereka tidak bisa menyembahnya lagi.
12 | P a g e
Dengan begitu gagahnya sang lelaki taat tadi membawa sebilah kapak untuk menebangnya
pohon, namun ditengah perjalanan sang syetan pun menyamar untuk menggodanya dengan
berubah wujud menjadi manusia. Tanpa berfikir panjang, sang syetan menyapa hai lelaki yang taat?
kemana engkau ingin pergi dengan tergesa-gesa seperti itu. Lelaki tadi menjawab, “aku ingin
menebang pohon sesembahan tersebut karena telah menyesatkan umatku”.
Dan syetan pun tidak kalahnya menggoda, apa urusan mu dengan pohon itu. Bukannya
kamu taat kepada Allah dan selalu dekat dengan-Nya, kenapa harus ingin menebang pohon itu. Sang
lelaki pun menjawab, “ketaatanku dengan Allah adalah menyuruhku untuk menebang pohon itu”.
Syetan ternyata naik marah, “kalau begitu katamu, langkahi dulu mayatku”, kata syetan. Apa yang
terjadi, ternyata pergulatan yang tidak sehat pun terjadi, dan lelaki taat tadi dapat mengalahkan
syetan dengan mencekiknya di leher sehingga syetan kalah KO.
Dan disinilah hal yang sangat menarik, walau pohon yang tadi masih tetap utuh, sang syetan
ternyata disela-sela masa sekaratnya meminta grasi kepada lelaki taat tadi agar melepaskannya.
Sangatlah wajar bila orang taat ini memaafkan syetan tersebut. Tidak lama kemudian syetan yang
menyerupai manusia ini pun memberi permohonan yang luar biasa kepada lelaki taat tadi.
Hai lelaki yang taat, aku ingin memberimu dirham tanpa kamu harus bekerja lagi mencari
kayu bakar sehingga kamu bisa beribadah lebih banyak lagi kepada Allah, dan nanti dirham itu akan
aku tempatkan dibawah sajadah mu setiap kamu selesai shalat ambillah dirham itu untuk kamu
gunakan semaumu. Tanpa berkutik lagi, sang lelaki taat itu mengiyakan hal tersebut. Janji syetan ini
pun ditepatinya kepada lelaki taat tadi, setiap selesai shalat selalu ada dirham di bawah sajadah
lelaki taat itu. Namun, tibalah suatu saat dirham tersebut tidak ada di bawah sajadah lelaki taat tadi.
Apa yang terjadi, lelaki itu bangun dan membawa kapak kembali ingin menebang pohon
sesembahan tadi. Diperjalana ternyata syetan menyapa kembali, hai kemana engkau lelaki tua
dengan kapakmu itu?, lelaki taat tadi tanda basa basi langsung menjawab, “aku ingin menebang
pohon sesembahan umatku itu”. Tak dapat dipungkiri ternyata pergulatan yang tidak sehat episode
2 bergulir lagi. Anda tahu, kali ini syetan lah yang berhasil menyekik lelaki taat itu. Dan nasib KO pun
bagi sang lelaki taat tadi.
Disinilah inti pernyataan ikhlas tadi yakni ketika syetan memberikan kata-kata terakhir
kepada lelaki tadi, hai lelaki taat “tahukah kamu kenapa dulu aku kalah dari mu, karena engkau
pertama kali ingin menebang pohon itu karena Allah dan tiba hari ini engkau kalah kalah karena
niatmu jelas bukan lagi karena Allah melainkan dirham yang aku janjikan dulu”. Wallahu’alam apa
terjadi dengan lelaki taat itu.
13 | P a g e
‘ AMAL ’
Definasi Amal dari sudut perkataan adalah perbuatan/pekerjaan/perlakuan/tindakan.
Sedangkan dari segi Istilah, amal ini merupakan amal ibadah/amalan sehari-hari/melakukan sesuatu
dengan niat.
Amal adalah buah dari fahm dan ikhlas dimana ilmu adalah ketua/ pemimpin kepada setiap
amalan sedangkan ikhlas merupakan penentu diterimanya amalan. Kelebihan Ilmu ialah ia dapat
menunjuk/mengarah/memimpin amalan yang bakal dilaksanakan sehingga ilmu merupakan neraca
penimbang antara amalan baik, amalan buruk atau amalan paling baik. Jika amal berbeda dengan
ilmu maka ia tertolak, jika dipersetujui dengan ilmu ia diterima. Beramal tanpa ilmu seperti orang
yang mengembara tanpa petunjuk. Beramal dengan ilmu membuat kita bertindak dengan yakin dan
tenang.
Amal soleh selalu menyertai keimanan dan menjadi bukti kebenarannya. Amal di bidang
dakwah ilallah adalah amal soleh yang paling mulia dan paling utama. Amal adalah buah dari
pemahaman dan keikhlasan. Oleh karenanya, setiap ilmu hendaklah diamalkan agar tidak serupa
dengan orang Yahudi. Sufyan bin ‘Uyainah –rahimahullah- mengatakan,
د� م�ن� �ا م�ن� ف�س� �ن �م�ائ �ان� ع�ل �هD ف�يه� ك ب �ه�ود� م�ن� ش� �ي د� و�م�ن� ال �ا م�ن� ف�س� �اد�ن ب �ان� ع� �هD ف�يه� ك ب �ص�ار�ى م�ن� ش� الن
“Orang berilmu yang rusak (karena tidak mengamalkan apa yang dia ilmui) memiliki keserupaan
dengan orang Yahudi. Sedangkan ahli ibadah yang rusak (karena beribadah tanpa dasar ilmu) memiliki
keserupaan dengan orang Nashrani.” (Majmu’ Al Fatawa, 16/567)
عليه : الله صلى الله� و�ل� س� ر� م�ع�ت� س� ق�ال� �ه� ع�ن الله� ض�ي� ر� �خ�ط�اب� ال �ن� ب ع�م�ر� ح�ف�ص( �ي� ب� أ �ن� �ي �م�ؤ�م�ن ال �ر� �م�ي أ ع�ن�
�ه� : . ت ف�ه�ج�ر� �ه� و�ل س� و�ر� الله� �ل�ى إ �ه� ت ه�ج�ر� �ت� �ان ك ف�م�ن� �و�ى ن م�ا ام�ر�ئ( �ل3 �ك ل �م�ا �ن و�إ �ات� 3ي �الن ب �ع�م�ال� �أل ا �م�ا �ن إ �ق�و�ل� ي وسلم
�ه� �ي �ل إ ر� ه�اج� م�ا �ل�ى إ �ه� ت ف�ه�ج�ر� ه�ا �ك�ح� �ن ي �ة( أ ام�ر� و�� أ �ه�ا �ب �ص�ي ي �ا �ي �د�ن ل �ه� ت ه�ج�ر� �ت� �ان ك و�م�ن� �ه�، و�ل س� و�ر� الله� �ل�ى . إ
[ وابو البخاري بردزبة بن المغيرة بن إبراهيم بن إسماعيل بن محمد الله عبد أبو المحدثين إماما رواه
الكتب أصح هما اللذين صحيحيهما في النيسابوري القشيري مسلم بن الحجاج بن مسلم الحسين
[المصنفة
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafsh ‘Umar bin Al Khaththab, dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan setiap orang
akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-
Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia
dapatkan atau mendapatkan wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia inginkan itu.
Penjelasan: Hadits ini merupakan prinsip dasar yang begitu agung dalam permasalahan
amalan-amalan hati. Karena niat termasuk amalan hati. Para ulama mengatakan hadits ini adalah
14 | P a g e
separuh ibadah, karena ia merupakan timbangan amalan-amalan yang batin. Sedangkan hadits
Aisyah yang berbunyi,
د^ ر� ف�ه�و� �ه� م�ن �س� �ي ل م�ا ه�ذ�ا �ا م�ر�ن� أ ف�ي �ح�د�ث� أ م�ن�
“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu akan tertolak.”
(Shahih: dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Ash Shulh/2697/Fath], Muslim di dalam [Al
Aqdhiyah/1718/Abdul Baqi]).
Dalam lafazh lain,
د^ ر� ف�ه�و� �ا ن م�ر�� أ �ه� �ي ع�ل �س� �ي ل 4 ع�م�ال ع�م�ل� م�ن�
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami, maka amalan itu tertolak.”
(Shahih: dikeluarkan oleh Muslim di dalam [Al Aqdhiyah/1718/Abdul Baqi]. Al Bukhari secara ta’liq [13/hal
329/fath] cetakan As Salafiyyah)
Hadits ini adalah separuh agama, karena hadits ini merupakan timbangan amalan yang
dhahir (nampak). Jadi dapat dipetik faedah dari hadits, “Sesungguhnya amalan-amalan itu
tergantung dari niatnya.” Bahwa amalan apapun harus didasari niat, karena setiap orang yang
berakal tidak mungkin melakukan suatu amalan tanpa niat, hingga sebagian ulama mengatakan,
“Sekiranya Allah membebani suatu amalan kepada kita tanpa didasari oleh niat, tentunya hal itu
merupakan suatu pembebanan yang tidak mampu untuk dilakukan. ”
Bercabang dari faedah ini adalah: Bantahan terhadap orang-orang yang terhinggapi penyakit
was-was yang mengulang-ulang suatu amalan beberapa kali, hingga setan membisikkan kepada
mereka, “Sesungguhnya kalian belum memasang niat.” Kami katakan kepada mereka (orang-orang
was-was itu), “Tidak, tidak mungkin engkau melakukan suatu perbuatan tanpa didasari oleh niat.
Janganlah kalian membebani diri-diri kalian dan tinggalkan perasaan was-was itu. ”
Di antara faedah dari hadits ini adalah: “Sesungguhnya amalan itu tergantung dari
tujuannya.” Bisa jadi, suatu perkara –yang pada asalnya- mubah bisa menjadi amalan ketaatan jika
seseorang meniatkannya sebagai amalan kebaikan. Misalnya, ia meniatkan makan dan minumnya
untuk menambah kekuatan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Seorang yang berhijrah
kepada Allah dan rasul-Nya diberi pahala dan akan sampai pada apa yang diinginkannya. Sedangkan
orang yang berhijrah karena dunia yang ingin ia dapatkan atau wanita yang ingin ia nikahi, maka ia
terhalang mendapatkan pahala ini.
Amal adalah sesuatu yang penting dimana ia berfungsi untuk memenuhi tuntutan sebagai
hamba Allah, beribadah kepada-Nya,memenuhi tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi yakni
untuk memakmurkan bumi serta sebagai bekal untuk Hari Hisab nanti
15 | P a g e
16 | P a g e
‘ JIHAD ’
Jihad merupakan suatu kewajipan yang terus berlaku hingga hari kiamat. Tanpa jihad,
dakwah tidak akan pernah hidup. Ketinggian dan luasnya cakrawala dakwah menjadi tolok ukur bagi
sejauh mana keagungan jihad di jalannya, besarnya harga yang harus dibayar untuk mendukungnya,
dan banyaknya pahala yang disediakan untuk para aktivisnya.
Hidup ini adalah perjuangan dan perjuanganlah yang membuat kita hidup. Jihad fi sabilillah
merupakan puncak ajaran Islam. Sehingga umat Islam yang melaksanakannya akan mendapatkan
kemuliaan dan kejayaan di dunia dan surga Allah di akhirat.
Sebaliknya mereka yang meninggalkan jihad dan tidak terbersit sedikitpun dalam hatinya
untuk berjihad akan hina dan menderita di dunia serta mendapatkan siksa Allah di neraka. Jihad
adalah satu-satunya jalan bagi umat Islam untuk meraih kejayaan Islam, merdeka dari penjajahan
dan meraih kembali tanah yang hilang.
Ketika umat Islam lalai terhadap kewajiban, maka Allah akan menghinakan mereka. Rasulullah saw. bersabda,”
Jika kalian telah berdagang dengan ‘Inah (sistem riba’), mengikuti ekor-ekor sapi (sibuk beternak), rela
bercocok tanam dan meninggalkan jihad, pasti Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan
mencabut kehinaan itu hingga kalian kembali ke ajaran agama kalian.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Imam Syahid Hasan al-Banna berkata: Sesungguhnya umat yang mengetahui bagaimana cara
membuat kematian, dan mengetahui bagaimana cara meraih kematian yang mulia, Allah pasti
memberikan kepada mereka kehidupan mulia di dunia dan keni’matan yang kekal di akhirat. Wahn
(kelemahan) yang menghinakan kita tidak lain karena penyakit cinta dunia dan takut mati. Maka
persiapkanlah jiwa kalian untuk amal yang besar, dan semangatlah menjemput kematian niscaya
diberi kehidupan. Ketahuilah bahwa kematian adalah kepastian dan tidak datang kecuali satu kali.
Jika engkau menjadikannya di jalan Allah, maka hal itu merupakan keuntungan dunia dan ganjaran
akhirat.
Definisi Jihad
Jihad secara bahasa berarti mengerahkan dan mencurahkan segala kemampuannya baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Dan secara istilah syari’ah berarti seorang muslim
mengerahkan dan mencurahkan segala kemampuannya untuk memperjuangkan dan meneggakan
Islam demi mencapai ridha Allah SWT. Oleh karena itu kata-kata jihad selalu diiringi dengan fi
sabilillah untuk menunjukkan bahwa jihad yang dilakukan umat Islam harus sesuai dengan ajaran
Islam agar mendapat keridhaan Allah SWT.
17 | P a g e
Imam Syahid Hasan Al-Banna berkata, “Yang saya maksud dengan jihad adalah; suatu
kewajiban sampai hari kiamat dan apa yang dikandung dari sabda Rasulullah saw.,” Siapa yang mati,
sedangkan ia tidak berjuang atau belum berniat berjuang, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah”.
Adapun urutan yang paling bawah dari jihad adalah ingkar hati, dan yang paling tinggi
perang mengangkat senjata di jalan Allah. Di antara itu ada jihad lisan, pena, tangan dan berkata
benar di hadapan penguasa tiran.
Dakwah tidak akan hidup kecuali dengan jihad, seberapa tinggi kedudukan dakwah dan
cakupannya yang luas, maka jihad merupakan jalan satu-satunya yang mengiringinya. Firman Allah,”
Berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad” (QS Al-Hajj 78).
Dengan demikian anda sebagai aktifis dakwah tahu akan hakikat doktrin ‘ Jihad adalah Jalan Kami’
Tujuan Jihad
Jihad fi sabilillah disyari’atkan Allah SWT bertujuan agar syari’at Allah tegak di muka bumi
dan dilaksanakan oleh manusia. Sehingga manusia mendapat rahmat dari ajaran Islam dan terbebas
dari fitnah. Jihad fi sabilillah bukanlah tindakan balas dendam dan menzhalimi kaum yang lemah,
tetapi sebaliknya untuk melindungi kaum yang lemah dan tertindas di muka bumi. Jihad juga
bertujuan tidak semata-mata membunuh orang kafir dan melakukan teror terhadap mereka, karena
Islam menghormati hak hidup setiap manusia. Tetapi jihad disyariatkan dalam Islam untuk
menghentikan kezhaliman dan fitnah yang mengganggu kehidupan manusia. (QS an-Nisaa’ 74-76).
Macam-Macam Jihad
Jihad fi Sabilillah untuk menegakkan ajaran Islam ada beberapa macam, yaitu:
1. Jihad dengan lisan, yaitu menyampaikan, mengajarkan dan menda’wahkan ajaran Islam
kepada manusia serta menjawab tuduhan sesat yang diarahkan pada Islam. Termasuk dalam
jihad dengan lisan adalah, tabligh, ta’lim, da’wah, amar ma’ruf nahi mungkar dan aktifitas
politik yang bertujuan menegakkan kalimat Allah.
2. Jihad dengan harta, yaitu menginfakkan harta kekayaan di jalan Allah khususnya bagi
perjuangan dan peperangan untuk menegakkan kalimat Allah serta menyiapkan keluarga
mujahid yang ditinggal berjihad.
3. Jihad dengan jiwa, yaitu memerangi orang kafir yang memerangi Islam dan umat Islam. Jihad
ini biasa disebut dengan qital (berperang di jalan Allah). Dan ungkapan jihad yang dominan
disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah berarti berperang di jalan Allah.
Keutamaan Jihad dan Mati Syahid
18 | P a g e
Beberapa ayat Alquran memberikan keutamaan tentang berjihad. Di antaranya, (QS an-
Nisaa’ 95-96)(QS as-Shaff 10-13).
Rasulullah SAW bersabda: Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW ditanya: ”Amal apakah yang
paling utama?” Rasul SAW menjawab: ”Beriman kepada Allah”, sahabat berkata:”Lalu apa?” Rasul SAW
menjawab: “Jihad fi Sabilillah”, lalu apa?”, Rasul SAW menjawab: Haji mabrur”. (Muttafaqun ‘alaihi)
Dari Anas ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Pagi-pagi atau sore-sore keluar berjihad di jalan Allah
lebih baik dari dunia seisinya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dari Anas ra bahwa nabi SAW bersabda: ”Tidak ada satupun orang yang sudah masuk surga ingin
kembali ke dunia dan segala sesuatu yang ada di dunia kecuali orang yang mati syahid, ia ingin kembali ke
dunia, kemudian terbunuh 10 kali karena melihat keutamaan syuhada.” (Muttafaqun ‘alaihi)
”Bagi orang yang mati syahid disisi Allah mendapat tujuh kebaikan: 1. Diampuni dosanya dari mulai
tetesan darah pertama. 2. Mengetahui tempatnya di surga. 3. Dihiasi dengan perhiasan keimanan. 4.
Dinikahkan dengan 72 istri dari bidadari. 5. Dijauhkan dari siksa kubur dan dibebaskan dari ketakutan di hari
Kiamat. 6. Diletakkan pada kepalanya mahkota kewibawaan dari Yakut yang lebih baik dari dunia seisinya. 7.
Berhak memberi syafaat 70 kerabatnya.” (HR at-Tirmidzi)
Hukum Jihad Fi Sabilillah
Hukum Jihad fi sabilillah secara umum adalah Fardhu Kifayah, jika sebagian umat telah
melaksanakannya dengan baik dan sempurna maka sebagian yang lain terbebas dari kewajiban
tersebut. Allah SWT berfirman:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi
dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS at-Taubah 122).
Jihad berubah menjadi Fardhu ‘Ain jika:
1. Muslim yang telah mukallaf sudah memasuki medan perang, maka baginya fardhu ‘ain
berjihad dan tidak boleh lari.
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang
menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi
mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri
dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan
tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS al-Anfal 15-16).
2. Musuh sudah datang ke wilayahnya, maka jihad menjadi fardhu ‘ain bagi seluruh penduduk di
daerah atau wilayah tersebut .
19 | P a g e
”Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka
menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS
at-Taubah 123)
3. Jika pemimpin memerintahkan muslim yang mukallaf untuk berperang, maka baginya
merupakan fardhu ‘ain untuk berperang. Rasulullah SAW bersabda:
”Tidak ada hijrah setelah futuh Mekkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Dan jika kamu diperintahkan
untuk keluar berjihad maka keluarlah (berjihad).” (HR Bukhari)
Kata-Kata Jihad
Khubaib bin Adi ra. berkata ketika disiksa oleh musuhnya, “Aku tidak peduli, asalkan aku
terbunuh dalam keadaan Islam. Dimana saja aku dibunuh, aku akan kembali kepada Allah.
Kuserahkan kepada Allah kapan saja Ia berkehendak. Setiap potongan tubuhku akan diberkatinya”.
Al-Khansa ra. berpesan kepada 4 anaknya mengantarkan mereka untuk jihad, “Wahai anak-
anakku ! Kalian tidak pernah berkhianat pada ayah kalian. Demi Allah, kalian berasal dari satu
keturunan. Kalianlah orang yang ada dalam hatiku. Jika kalian menuju ke medan perang, jadilah
kalian pahlawan. Berperanglah ! Jangan kembali. Aku membesarkan kalian untuk hari ini”.
Abdullah bin Mubarak berkata pada saudaranya Fudail bin Iyadh yang sedang asyik ibadah di
tahan suci,” Wahai ahli ibadah di dua tahan Haram, jika engkau melihat kami, niscaya engkau akan
tahu bahwa engkau hanya bermain-main dalam ibadah. Barangsiapa membasahi pipinya dengan air
mata. Maka, leher kami basah dengan darah”.
Demikianlah jihad adalah satu-satunya jalan menuju kemiliaan di dunia dan di akhirat.
Ampunan Allah, surga Adn, Pertolongan dan Kemenangan. Wallahu a’lam bishawaab.
20 | P a g e
Saudaraku, tinggalkan kesedihan dihatimu karena Sesungguhnya engkau sedang meniti jalan kebahagiaan hakiki 1Pagi-pagi setelah munajat ke Rabbnya dan tilawah, dia sudah siap-siap berangkat ke kampus bukan langsung untuk mengisi ruang kuliah tapi untuk rapat (syuro), kajian dan lain sebagainya yang merupakan aktivitas dakwahnya, dikala sebagian temannya masih khusyu’ diatas kasurnya dan bermain-main dialam mimpi. Begitulah kesehariannya, aktivitas dakwah sudah menjadi bagian yang tidak terpisah lagi dari hidupnya. Dakwah sudah menjadi pilihan jalan hidupnya, dakwah menjadi jalan baginya untuk menggapai kebahagiaan sejati dari Rabbnya.Wahai saudaraku, sesungguhnya jalan dakwah ini bukan hanya kebutuhan tapi sudah merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Jalan dakwah inilah yang telah dilalui oleh para Rasul Allah SWT, para sahabat, tabiin, salafus shalih dan orang-orang shaleh. Dengan jalan dakwah inilah kita akan mendapatkan nikmat Allah SWT yang sangat besar. Bahkan nikmat dalam berislam, iman dan persaudaraan akan semakin engkau rasakan kenikmatannya melalui dakwah ini. Karena dakwah adalah amal terbaik yang dapat memunculkan potensi diri dan memelihara keimanan yang kita miliki. Dakwah merupakan amal yang dapat memotivasi kita selalu meningkatkan ibadah dan kualitas diri kita. Orang-orang yang melaksanakan dakwah ini akan mendapatkan berkah dalam ridha Allah SWT, mendapatkan cinta Allah SWT, memperoleh rahmat-Nya, serta akan menerima balasan yang terus menerus dan berlipat ganda dari Allah SWT.Saudaraku, tapi harus engkau sadari bahwa jalan dakwah ini bukanlah jalan yang ditaburi dengan bunga-bunga dan buah-buah yang menyenangkan tapi jalan dakwah ini adalah jalan yang dipenuhi kerikil tajam, sukar dan penuh dengan liku-liku yang panjang. Pertarungan antara yang haq dengan yang batil merupakan fenomena yang nyata digambarkan semenjak dakwahnya para Nabi dan Rasul Allah SWT sampai saat ini. Dakwah menyerukan al-haq akan selalu berhadapan dengan kekuatan kebatilan (bahkan lebih besar) yang diserukan oleh syetan. Dan memang seperti inilah fitroh jalan dakwah ini. Oleh karna itu dakwah ini memerlukan kesabaran dan ketekunan dalam memikul beban yang berat. Dakwah ini memerlukan pengorbanan tanpa mengharapkan hasil segera, tanpa putus asa dan putus harapan. Dakwah memerlukan usaha dan kerja keras yang terus menerus dan hasilnya terserah Allah SWT. Namun demikian, Allah SWT senantiasa memberikan pertolongan dan balasan yang setimpal kepada mereka yang berdakwah dengan ikhlas.Wahai saudaraku aktivis dakwah, janganlah bersedih hati karna banyaknya waktu yang engkau gunakan untuk berdakwah, banyaknya hartamu yang habis karna dakwah, banyaknya tenaga yang engkau kerahkan, keringat peluh yang engkau tumpahkan, keletihan sendi-sendi tubuhmu, cemoohan, ejekan dan intimidasi yang engkau dapatkan karna dakwah, darah yang engkau tumpahkan karna dakwah bahkan semua apa engkau korbankan untuk dakwah ini. Yakinlah semua itu akan Allah SWT gantikan dengan yang lebih baik. Saudaraku janganlah bersedih dengan itu semua karna itu semua adalah karunia dan kasih sayang Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Ujian dan cobaan tersebut adalah sarana Allah SWT untuk menguji keimanan dan keteguhannmu dijalan dakwah ini, menghapus segala dosa yang pernah engkau lakukan dan dengan itu Allah SWT akan mengangkat derajatmu disisi-Nya.Saudaraku, sesungguhnya engkau adalah bagian dari umat yang terbaik yang dilahirkan oleh Allah SWT untuk manusia (QS. 3:110). Apakah sama antara orang yang berdakwah dengan
21 | P a g e
yang tidak berdakwah? apakah sama antara orang yang berdiam diri dan asyik dengan dunia dengan orang-orang yang menyeru manusia untuk kembali kepada Allah SWT ? apakah sama antara orang yang mengerjakan kebaikan dengan yang tidak ? Semuanya tidak sama dan orang-orang yang terbaik dihadapan Allah SWT adalah orang-orang yang teguh diatas jalan-Nya.Saudaraku, sesungguhnya Allah SWT telah mengabarkan berita gembira bahwa Allah SWT menjamin kehidupan orang-orang yang ikhlas dan sungguh-sungguh berjuang dijalan-Nya dengan berdakwah dan beramal sholeh dengan penuh keimanan dengan keberuntungan sejati dan kehidupan yang lebih baik dan itu yang tidak lain adalah syurga-Nya yang penuh dengan kenikmatan (QS. 3:4, 16:97). Siapakah yang lebih benar perkataannya selain Allah SWT ? siapakah yang lebih benar janjinya selain Allah SWT ? dan siapakah yang bisa menjamin kebagiaan hidup kita selain Allah SWT ? tidak ada lain kecuali Allah SWT. Cukuplah ini menjadi peneguh hatimu untuk tetap berada dijalan dakwah ini sampai Allah SWT mengembalikanmu ke “kampung” yang abadi.Saudaraku, sekarang tugas kita adalah bagaimana memanfaatkan waktu yang ada dihadapan kita dengan sebaik-baiknya untuk beramal dan berdakwah dengan sungguh-sungguh. Azamkan dihatimu bahwa engkau harus memberikan yang terbaik bagi dakwah ini karna itu adalah sebaik-baiknya investasi Pegang kuat-kuat slogan ini “Hidup dijalan dakwah dan dakwah adalah maksud hidup, dakwah sampai mati dan mati dijalan dakwah”. Wallahu a’lam bishowab.
22 | P a g e