faktor-faktor yang mempengaruhi penemuan...
TRANSCRIPT
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEMUAN KASUS
PNEUMONIA BALITA DI PUSKESMAS KOTA TANGERANG
SELATAN TAHUN 2015
SKRIPSI
Oleh:
Lina Sri Marlinawati
(1111101000122)
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, September 2015
Lina Sri Marlinawati
NIP. 1111101000122
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, September 2015
Lina Sri Marlinawati, NIM : 1111101000122
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita
di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015
xxi+ 188 halaman, 13 tabel, 10 gambar, 7 lampiran
ABSTRAK
Pneumonia adalah penyebab kematian balita tertinggi di dunia, lebih
banyak dibandingkan dengan penyakit lainnya seperti AIDS, malaria, campak
sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian dengan target cakupan
penemuan kasus pneumonia balita. Pada tahun 2014, dari 25 puskesmas yang
ada di Kota Tangerang Selatan, hanya 3 puskesmas yang mampu memenuhi
target penemuan kasus pneumonia balita (100%). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia
balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan.
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif pendekatan
mixed methods (kualitatif dan Kuantitatif) dengan desain studi kasus.
Informan dalam penelitian adalah kepala puskesmas, penanggung jawab
program P2 ISPA petugas MTBS serta informan ahli. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen yang
dilakukan di Puskesmas Kota Tangerang Selatan yaitu puskesmas yang
berhasil mencapai target penemuan kasus pneumonia balita (Puskesmas
Baktijaya dan Serpong 1) dan puskesmas yang tidak berhasil mencapai target
nasional (Puskesmas Kranggan dan Pisangan).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas yaitu penyusunan rencana
program, kegiatan program, pencatatan dan pelaporan, faktor petugas
kesehatan (pelatihan, pengetahuan, dan lama kerja petugas), motivasi kerja,
kepemimpinan kepala puskesmas, ketersediaan media cetak dan media
penyuluhan. Sedangkan faktor yang tidak berpengaruh dengan penemuan
kasus pneumonia yaitu jenis kelamin, tingkat pendidikan, tatalaksana MTBS
dan kegiatan evaluasi.
Simpulan, agar cakupan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas
kota Tangerang Selatan mencapai target, dapat dilakukan dengan
meningkatkan pembinaan dan pelatihan kepada penanggung jawab P2 ISPA
dan petugas MTBS mengenai pengetahuan pneumonia balita. Puskesmas juga
iii
perlu melakukan kegiatan penemuan kasus secara aktif dengan melakukan
pelacakan kasus dan kunjungan rumah penderita pneumonia balita.
Kata kunci : Pneumonia balita, Cakupan penemuan, Puskesmas
Daftar Bacaan : 59 (1987-2014)
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
SCHOOL OF PUBLIC HEALTH
DEPARTEMENT EPIDEMIOLOGY
Undergraduate Thesis, September 2015
Lina Sri Marlinawati, NIM : 1111101000122
xxi+ 188 pages, 13 tables, 10 images, 7 attahments
Factors That Affecting The Discovery Of Pneumonia Cases in Toddlers At
Public Health Center South Tangerang City 2015
Abstract
Pneumonia is the highest cause of toddlers mortality in the world, more than
any other diseases such as AIDS, malaria, and measles, so it is necessary to
control with a target coverage of pneumonia cases in toddlers. In 2014, 25 public
health centers in South Tangerang, only 3 health centers that were able to meet the
target of the discovery pneumonia cases in toddlers (100%). This study aims to
determine the factors that influence the findings pneumonia cases in toddlers in
Public Health Centers South Tangerang City.
This research is a descriptive epidemiological mixed methods approach
(qualitative and quantitative) with a case study design. Informants in this study
was the head of the clinic, person in charge of P2 ISPA program IMCI officer and
expert informants. Data collected by interview, observation and document review
conducted in Public Health Center South Tangerang City to reach the target of the
discovery infant pneumonia cases (PHC Baktijaya and Serpong 1) and Public
health centers were not successful (PHC Kranggan and Pisangan).
Results showed that the factors that influence the discovery of pneumonia
cases in toddlers at the public health center are programming, activities program,
recording and reporting, health workers factors (training, knowledge, and working
time), motivation, the head public health center’s leadership, availability of print
and reach media. While the factors that do not affect the discovery of pneumonia
cases are gender, education level, management of IMCI and activies evaluation.
The conclusion is, in order to th coverage of pneumonia cases in toodlers at
South Tangerang health center reaches the target, it can be done by improving
guidance and training to the person in charge of P2 ISPA and IMCI officer on
toddler pneumonia knowledge. PHC also need to conduct a finding case actively
by doing cases tracking and visit the home of the toddlers who is suffering from
pneumonia..
Keywords: Toddler Pneumonia, Coverage discovery, Public health centers
Reading List; 59 (1987-2014)
v
vi
vii
LEMBAR PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk Pencipta-ku. Allah SWT, yang selalu
memberikan apa yang hamba-Nya butuhkan tanpa diminta.
Juga untuk kedua orangtua dan keluarga tercinta, tanpa kasih dan sayang
mereka, aku takkan mampu menjadi seperti sekarang.
Serta untuk para Pejuang Toga yang terus berusaha melawan rasa kantuk dan
malas dalam mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan agar lolos ketahapan
kehidupan selanjutnya.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
(5) Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan. (6) Sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan. (QS. Al Insyiraah; 5-6)
viii
RIWAYAT HIDUP
Nama : Lina Sri Marlinawati
Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 06 Januari 1993
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 22 Tahun
Agama : Islam
. HP : 089646455576
Alamat : Kp. Kebon Kelapa No. 19, Rt. 04/ 006, Ds.
Buaranjati, Kec. Sukadiri, Kab. Tangerang,
Banten
Alamat Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan :
1. S1 Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta :2011-2015
2. SMA Negeri 2 Kabupaten Tangerang :2008-2011
3. MTs. Daarul Muqimien Buaran Jati Tangerang :2005-2008
4. SD Negeri 01 Buaran Jati Tangerang :1999-2005
5. TK Dharma Aeni Pekayon Tangerang :1997-1999
Riwayat Organisasi :
1. Anggota PSDM (Pengembangan Sumber Daya Manusia) ESA (Epidemiology
Students Association) periode 2013-2014
2. Anggota Divisi Syiar, Komisariat Dakwah FKIK periode 2012-2013
3. Anggota di Lembaga Dakwah Kampus UIN Jakarta periode 2011- 2012
4. Sekertaris Departemen Pendidikan Ikatan Remaja Masjid Nurul Falah periode
2009-2010
5. Anggota Rohis SMAN 2 Kabupaten Tangerang periode 2009-2010
ix
KATA PENGANTAR
السالم عليكن ورحمة اهلل وبركاتة
Alhamdulillaahi robbil „aalamiin, segala puji bagi Allah SWT yang selalu
memberikan rahmat dan ridho sehingga melancarkan proses penyelesaian skripsi
ini. Skripsi ini berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus
Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015”.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi
penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan”.
Terdapat beberapa hambatan dan kesulitan selama proses penulisan skripsi
ini, namun atas Rahmat-Nya bantuan berbagai pihak akhirnya tulisan ini dapat
diselesaikan. Atas segala bantuan tersebut, pada kesempatan kali ini dengan
segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Dr. H. Arif Sumantri, S.K.M., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku Kepala Program Studi Kesehatan
Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Minsarnawati Tahangnaca, SKM, M.Kes selaku Dosen Pembimbing
1 dan Penanggung Jawab Peminatan Epidemiologi, yang senantiasa
meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan berdiskusi. Terima
kasih ibu, semoga Allah SWT membalas kebaikan ibu.
x
4. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS selaku dosen pembimbing 2 skripsi yang
telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan serta
bimbingannya sehingga tugas akhir ini selesai. Terima kasih ibu,
semoga Allah SWT membalas kebaikan ibu.
5. Kedua orang tua, Ibu Marwati dan Bapak Nurali, kasih sayang dari
beliau begitu menginspirasi dan menjadi motivasi begitu berharga bagi
penulis. Aldi Rojali dan Taufik Rozki yang selalu memberikan semangat
kepada penulis, untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini.
6. Ibu Hoirun Nisa, Ph. D selaku dosen peminatan epidemiologi,
7. dr. Sholah Imari selaku dosen peminatan epidemiologi dan informan
ahli dalam penelitian ini.
8. Kepala Puskesmas Bakti Jaya, Serpong 1, Kranggan dan Pisangan,
terima kasih sudah diberikan izin penelitian.
9. Para Informan di Puskesmas Bakti Jaya, Serpong 1, Kranggan dan
Pisangan, terima kasih untuk waktu dan informasi yang sudah diberikan.
10. Putri Anggraeni (pipi), terima kasih untuk bantuannya dari mulai
magang, pengumpulan data sampai penyusunan skripsi. Terima kasih
banyak pi.
11. Putri Widyastuti (PW) dan Sukma Mardiyah, terima kasih banyak untuk
koreksiannya di skripsi ini, sehingga penulis mengetahui begitu banyak
kesalahan dalam penulisan
12. Teman-teman Kostn Balans, Fuji, Annisa Azhima, Risa, Ka Omi, Dani,
terima kasih atas motivasi dan dukungannya selama ini.
xi
13. Teman-teman Epideiologi 2011: Ila, Kiki Iis, Rini, Upit, Nayla, Lia,
Desy, Fica, Dina, Denok, Safira, Anjar, Lela, Siti, Kemal, Karim, Falah,
Dea yang selalu menghibur, memberi dukungan lewat doa atau
berbagai bantuan.
14. Sarah Ajeng, terima kasih atas koreksian abstrak bahasa inggris.
15. Lusi, Uus, Syifa, Iis, Isti yang selalu menyediakan waktu untuk berbagi
suka dan duka.
16. Kak Lutfi, Kak Tika, Kak Nida dan Kak Putri, terima kasih atas arahan
dan sarannya.
17. Pejuang toga, teman-teman Kesmas 2011 serta semua pihak yang tidak
dapatdisebutkan satu persatu.
Penulis menyadari, skripsi ini belum mencapai kesempurnaan. Penulis
mengharapkan kritik yang membangun dari Pembaca. Semoga tulisan ini
bermanfaat.
والسالم عليكن ورحمة اهلل وبركاتة
Jakarta, September 2015
Penulis
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. v
LEMBAR PERSEMBAHAN ............................................................................. vii
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ viii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................................ 1
Rumusan Masalah .......................................................................................... 7
Pertanyaan Penelitian ..................................................................................... 8
Tujuan ............................................................................................................ 9
Manfaat ....................................................................................................... 11
Ruang Lingkup ............................................................................................ 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 13
Definisi ISPA dan Pneumonia ...................................................................... 13
Hubungan ISPA dan Pneumonia ................................................................. 14
Klasifikas dan Tatalaksana Pneumonia ....................................................... 14
Epidemiologi Pneumonia ............................................................................. 15
Cakupan Penemuan Pneumonia .................................................................. 16
Program P2 ISPA untuk Pengendalian Pneumonia Balita .......................... 17
1. Arah dan Tujuan Pengendalian ISPA/Pneumonia ........................... 17
2. Tujuan dan Sasaran .......................................................................... 18
3. Kebijakan dan Strategi Program ...................................................... 21
4. Kegiatan Program P2 ISPA ............................................................. 24
5. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ...................................... 24
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cakupan Penemuan Pneumonia ......... 26
1. Faktor Petugas Kesehatan ................................................................. 29
2. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Penunjang ............................... 37
3. Faktor Lain ....................................................................................... 40
Pemantauan Wilayah Setempat .................................................................... 52
xiii
1. Kegiatan Surveilans dengan Penemuan Pneumonia ........................ 52
2. Peran Kader ..................................................................................... 53
Puskesmas .................................................................................................... 53
1. Pengertian Puskesmas ...................................................................... 53
2. Fungsi Puskesmas ............................................................................ 54
3. Upaya Puskesmas ............................................................................ 55
Petugas Puskesmas ...................................................................................... 57
Kerangka Teori ............................................................................................ 58
BAB III KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI OPERASIONAL ................... 61
A. Kerangka Pikir ...................................................................................... 61
B. Definisi Istilah ...................................................................................... 66
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 73
A. Desain Penelitian .................................................................................. 73
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................ 73
C. Informan Penelitian .............................................................................. 74
1. Informan Utama ................................................................................ 75
2. Informan Pendukung ........................................................................ 75
3. Informan Ahli .................................................................................. 75
D. Instrumen Penelitian ............................................................................. 76
1. Kualitatif .......................................................................................... 76
2. Kuantitatif ........................................................................................ 77
E. Data dan Sumber Data .......................................................................... 77
1. Data Primer ...................................................................................... 77
2. Data Sekunder .................................................................................. 77
F. Pengumpulan Data Penelitian ............................................................... 79
1. Pengumpulan Data ........................................................................... 79
2. Tahap Pengumpulan Data ................................................................ 81
G. Triangulasi Data ................................................................................... 82
1. Sumber ............................................................................................. 82
2. Metode ............................................................................................. 82
H. Pengolahan dan Analisis Data .............................................................. 85
1. Kualitatif .......................................................................................... 85
2. Kuantitatif ........................................................................................ 86
BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................. 87
A. Karakteristik Informan Penelitian ........................................................ 87
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ..................................................... 88
C. Gambaran Umum Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas
Kota Tangerang Selatan ........................................................................ 90
xiv
D. Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita di
Puskesmas ............................................................................................. 93
1. Perencanaan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita ............. 94
2. Kegiatan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita .................. 99
3. Tatalaksana Pneumonia Balita/MTBS ............................................ 104
4. Kegiatan Pencatatan dan Pelaporan ............................................... 109
5. Faktor Petugas Kesehatan ............................................................... 115
6. Motivasi Petugas ............................................................................. 124
7. Kepemimpinan Kepala Puskesmas ................................................. 127
8. Ketersediaan Sarana dan Prasarana ................................................ 129
9. Kegiatan Evaluasi ........................................................................... 136
BAB VI PEMBAHASAN ......................................................................... 142
A. Keterbatasan Penelitian ...................................................................... 142
B. Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita di
Puskesmas ........................................................................................... 143
1. Perencanaan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita ........... 143
2. Kegiatan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita ................ 147
3. Tatalaksana Pneumonia Balita/MTBS ............................................ 151
4. Kegiatan Pencatatan dan Pelaporan ............................................... 155
5. Faktor Petugas Kesehatan ............................................................... 159
6. Motivasi Petugas ............................................................................. 172
7. Kepemimpinan Kepala Puskesmas ................................................. 175
8. Ketersediaan Sarana dan Prasarana ................................................ 177
9. Kegiatan Evaluasi ........................................................................... 181
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 184
A. Simpulan ......................................................................... 184
B. Saran ................................................................................. 189
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 193
LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur < 2
Bulan ...................................................................................................................... 45
Tabel 2.2 Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur 2
Bulan ≤ 5 Tahun ..................................................................................................... 46
Tabel 3.1 Definisi Istilah ........................................................................................ 66
Tabel 4.1 Daftar Tempat penelitian ....................................................................... 74
Tabel 4.2 Informan Penelitian ................................................................................ 76
Tabel 4.3 Pengumpulan Data Penelitian ................................................................ 78
Tabel 4.4 Triangulasi Data Penelitian .................................................................... 83
Tabel 5.1 Karakteristik Informan ........................................................................... 88
Tabel 5.2 Cakupan Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota
Tangerang Selatan tahun 2014 ............................................................................... 92
Tabel 5.3 Pengetahuan Petugas dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita di
Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014 .................................................... 123
Tabel 5.4 Motivasi Kerja Petugas dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita di
Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014 .................................................... 126
Tabel 5.5 Kepemimpinan Kepala Puskesmas dalam Penemuan Kasus
Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014 .................. 128
Tabel 5.6 Observasi Ketersediaan Sarana dan Prasarana dalam Kegiatan
Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Tahun 2015 ............................................................................................................ 132
xvi
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Teori Perilaku Kinerja dari Gibson (1987) ........................................ 27
Gambar 2.2 Kerangka Teori ................................................................................... 60
Gambar 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................ 65
Gambar 5.1 Stempel ISPA ..................................................................................... 133
Gambar 5.2 Register Harian Pneumonia ................................................................ 133
Gambar 5.3 Formulir Laporan Bulanan ................................................................. 133
Gambar 5.4 Buku Pedoman P2 ISPA .................................................................... 134
Gambar 5.5 Pedoman Tatalaksana Pneumonia/MTBS ........................................... 134
Gambar 5.6 Media Poster Pneumonia .................................................................... 134
Gambar 5.7 Lembar Balik Pneumonia Balita ....................................................... 135
xviii
DAFTAR SINGKATAN
1. AIDS :Acquired Imuno Deficiency Syndrome
2. Binwil :Bina Wilayah
3. BP :Balai Pengobatan
4. Depkes :Departemen Kesehatan
5. Dinkes : Dinas Kesehatan
6. Form :Formulir
7. ISPA :Infeksi Saluran Pernapasan Akut
8. KB :Keluarga Berencana
9. Kememkes :Kemenkenterian Kesehatan
10. Kesling :Kesehatan Lingkungan
11. KIA :Kesehatan Ibu dan Anak
12. KLB :Kejadian Luar Biasa
13. Lokbul :Loka Karya Bulanan
14. Lokmin :Loka Karya Mini
15. LP :Lembaga Pemerintah
16. LS :Lembaga Swasta
17. LSM :Lembaga Swadaya Masyarakat
18. MTBS :Manajemen Terpadu Balita Sakit
19. OB :Office Boy
20. ORMAS :Organisasi Kemsyarakatan
21. P2 ISPA : Pengendalian Penyaki Infeksi Saluran Pernapasan Akut
xix
22. P2PL :Program Pengendalian Penyakit Lingkungan
23. PAUD :Pendidikan Anak Usia Dini
24. PKM :Pusat Kesehatan Masyarakat
25. POA :Plan of Action
26. Posyandu :Pos Pelayanan Terpadu
27. Promkes :Promosi Kesehatan
28. Puskesmas :Pusat Kesehatan Masyarakat
29. PWS :Pemantauan Wilayah Setempat
30. Riskesdas :Riset Kesehatan Dasar
31. SD :Sekolah Dasar
32. SDM :Sumber Daya Manusia
33. SK :Surat Keputusan
34. SKM : Sarajana Kesehatan Masyarakat
35. SMD :Survey Mawas Diri
36. Tangsel :Tangerang Selatan
37. TB :Tuberkolosis
38. TDDK :Tarikan Dinding Dada Bagian Bawah Ke Dalam
39. TK :Taman Kanak-kanak
40. UKS :Unit Kesehatan Sekolah
41. UPTD :Unit Pelaksana Teknis Daerah
42. WHO :World Health Organization
xx
Daftar Lampiran
Lampiran 1 Persetujuan Menjadi Informan
Lampiran 2 Pedoman Wawancara Mendalam
Lampiran 3 Matriks Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan Utama
Lampiran 4 Matriks Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan
Pendukung
Lampiran 5 Matriks Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan Kunci
Lampiran 6 Dokumentasi Penelitian
Lampiran 7 Surat Izin Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan
penyakit yang sering terjadi pada anak. ISPA juga merupakan salah satu
penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40%-
60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat di
bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA.
Salah satu penyakit ISPA yang menjadi target program pengendalian ISPA
adalah pneumonia (Setyati, 2014).
Pneumonia adalah penyebab kematian balita tertinggi di dunia,
lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lainnya seperti AIDS,
Malaria, Campak. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta
balita meninggal karena pneumonia (1 balita / 15 detik) dari 9 juta total
kematian balita. Diantara 5 kematian balita, 1 diantaranya meninggal
karena pneumonia. Di negara berkembang (termasuk Indonesia), 60%
kasus pneumonia disebabkan oleh bakteri, sedangkan di negara maju
disebabkan oleh virus. Oleh sebab itu pneumonia juga disebut pembunuh
anak nomor 1 (the number one killer of children). Di negara berkembang
pneumonia merupakan penyakit terabaikan (the neglegted disease) atau
terlupakan (the forgotten disease). Banyak anak meninggal karena
pneumonia, namun sangat sedikit perhatian yang diberikan terhadap
2
masalah tersebut (UNICEF, WHO, 2009). Kurangnya perhatian tersebut
disebabkan gejala pasti pneumonia anak tidak mudah diketahui sehingga
diperlukan kecermatan petugas kesehatan dalam mendeteksinya.
World Health Organization (WHO) memperkirakan di negara
berkembang kejadian pneumonia anak-balita sebesar 151,8 juta kasus
pneumonia per tahun, sekitar 8,7% (13,1 juta) diantaranya pneumonia
berat. Di dunia terdapat 15 negara dengan prediksi kasus baru dan kejadian
pneumonia paling tinggi anak-balita sebesar 74% (115,3 juta) dari 156 juta
kasus diseluruh dunia. Lebih dari setengah terjadi pada 6 negara, yaitu:
India 43 juta, China 21 juta, Pakistan 10 juta, Bangladesh, Indonesia, dan
Nigeria sebesar 6 juta kasus, mencakup 44% populasi anak balita di dunia
pertahun (World Pneumonia Day, 2012).
Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2013, angka kematian
akibat pneumonia pada balita sebesar 1,19%, pada kelompok bayi angka
kematian lebih tinggi yaitu sebesar 2,89% dibandingkan pada kelompok
umur 1-4 tahun yang sebesar 0,20%. Pneumonia juga selalu berada pada
daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan. Hal ini
menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat utama dan berkontribusi tinggi terhadap
angka kematian balita di Indonesia (Kemenkes, 2013). Kematian yang
disebabkan pneumonia merupakan peringkat teratas kematian pasien di
fasilitas kesehatan (Kemenkes, 2012).
3
Menurut Riskesdas 2013, periode prevalens pneumonia balita
(Kejadian pneumonia sebulan terakhir) di Indonesia sebesar 18,5 per 1000
balita. Di provinsi Banten, periode prevalens pneumonia balita
berdasarkan diagnosis/gejala berada di atas rata-rata periode prevalens
nasional yaitu sebesar 18,7 per 1000 balita. Sedangkan menurut Profil
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2014 diketahui bahwa
penyebab kematian balita tertinggi adalah pneumonia. Dengan prevalensi
pneumonia balita sebesar 42,3 per 1000 balita (Dinkes Kota Tangerang
Selatan, 2014).
Salah satu upaya penurunan angka kesakitan dan kematian yang
berhubungan dengan pneumonia pada balita ditentukan oleh keberhasilan
upaya penemuan dan tatalaksana penderita, pada tahun 2014 cakupan
nasional yang telah ditetapkan Kemenkes yaitu 100%. Pada tahun 2013
cakupan penemuan kasus pneumonia balita di Indonesia mencapai
23,52%, sedangkan provinsi Banten hanya mencapai 29% dari target
penemuan kasus pneumonia balita yang sudah ditetapkan. Hal ini
menyebabkan tidak ada satupun provinsi yang mencapai target tersebut.
Setiap wilayah mempunyai perkiraan kasus pneumonia pada balita sebesar
10% dari jumlah balita di wilayah tersebut. Untuk menjalankan upaya
tersebut, penemuan kasus dilaksanakan melalui kegiatan yang menunjang
upaya masyarakat untuk mencari pengobatan kasus pneumonia secara
tepat dan deteksi dini oleh petugas kesehatan. Selain itu perlu dilakukan
dan dioptimalkan penemuan dan tatalaksana penderita di rumah tangga
4
dan masyarakat (keluarga, kader dan posyandu), di tingkat pelayanan
kesehatan tingkat pertama atau dasar (puskesmas pembantu dan pelayanan
kesehatan di desa) dan di sarana kesehatan rujukan (rumah sakit)
(Kemenkes, 2012).
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan mempunyai 25
puskesmas. Pencapaian penemuan kasus pneumonia di Kota Tangerang
selatan pada tahun 2014 menurun sebelumnya pada tahun 2013 sebesar
44% menjadi 42,4%, pencapaian angka penemuan kasus tersebut sangat
jauh dari target nasional dan hanya ada 3 puskesmas yang mempunyai
angka penemuan kasus pneumonia balita di atas target nasional
diantaranya Puskesmas Serpong I, Puskesmas Pondok Aren dan
Puskesmas Bakti Jaya. Dengan demikian ada 22 puskesmas yang tidak
mencapai target penemuan penderita pneumonia (Dinkes Tangerang
Selatan, 2014). Pencapaian angka penemuan kasus terebut sangat jauh
berbeda dengan penemuan kasus di Dinkes Kabupaten Tangerang pada
tahun 2013,dengan angka penemuan sebesar 84,06% lebih tinggi dari
Dinkes Tangerang Selatan (Dinas Kabupaten Tangerang, 2014). Padahal
Kota Tangerang Selatan, dalam hal pelayanan kesehatan lebih modern dan
mempunyai mobilitas yang tinggi dari pada Kabupeten Tangerang
Menurut Kementrian Kesehatan (2012), rendahnya angka
penemuan pneumonia Balita tersebut disebabkan antara lain: sumber
pelaporan rutin terutama berasal dari puskesmas, hanya beberapa dan
Kabupaten/Kota yang mencakup rumah sakit dan sarana pelayanan
5
kesehatan lainnya. Deteksi kasus di puskesmas masih rendah karena
sebagian besar tenaga belum terlatih, kelengkapan pelaporan masih rendah
terutama pelaporan dari Kabupaten/Kota ke Provinsi.
Berdasarkan laporan magang oleh peneliti pada tahun 2015, dengan
teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan
analisis data, mengenai pelaksanaan program P2 ISPA tahun 2014 di
Puskesmas Pamulang, salah satu puskesmas yang ada di Kota Tangerang
Selatan. Diketahui bahwa rendahnya penemuan pneumonia balita karena
kegiatan P2 ISPA belum berjalan dengan baik seperti: deteksi kasus di
puskesmas belum optimal, penemuan penderita secara aktif belum berjalan
dengan baik, pencatatan kasus, pelacakan dan pemantauan dengan
kunjungan rumah belum berjalan dengan baik, sarana dan prasarana serta
sumber pelaporan rutin dari penyelenggaran pelayanan kesehatan swasta
yang belum terlaporkan.
Hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan Dharoh, dkk (2014)
menunjukkan, bahwa faktor–faktor yang berhubungan dengan cakupan
penemuan kasus pneumonia pada balita adalah motivasi (p=0,020).
Sedangkan pendidikan (p=1,000), pengetahuan (p=1,000), perencanaan
(p=1,000), pelaksanaan (p=0,292), dan penilaian (p=0,567) tidak ada
hubungan dengan cakupan penemuan kasus pneumonia pada balita.
Sedangkan menurut penelitian lain faktor yang berpengaruh adalah:
profesionalisme petugas P2 ISPA puskesmas, pelatihan program P2 ISPA
dan supervisi pengelola program P2 ISPA Kabupaten/ Kota ke puskesmas
6
(Nurcik, 2000). Penelitian lainnya menemukan bahwa pengetahuan,
ketersediaan sarana, pencatatan laporan kasus pneumonia, kerjasama lintas
program dan pelayanan standar P2 ISPA, mempunyai hubungan yang
bermakna dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita
(Irmawati, 2012). Semua penelitan tersebut hanya menggunakan
pendekatan kuantitatif, sehingga perlu digali lebih mendalam dengan
pendekatan kuantitatif dan kualitatif, mengenai faktor yang mempengaruhi
cakupan penemuan kasus pneumonia balita, pendekatan kualitatif
dilakukan untuk mendapatkan faktor yang mempengaruhi cakupan
penemuan kasus pneumonia balita yang tidak bisa diukur dengan
pendekatan kuantitatif.
Sehubungan dengan uraian tersebut, dengan ini penulis
memandang perlu untuk meneliti lebih lanjut dengan pendekatan
kuantitatif dan kualitatif (mixed methods) mengenai faktor yang
mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di wilayah kerja
masing-masing Puskesmas Kota Tangerang Selatan, penelitian ini
dilakukan di puskesmas karena puskesmas sebagai sarana kesehatan
terdepan yang langsung berhubungan dengan masyarakat merupakan
ujung tombak dalam mencapai pembangunan kesehatan yang optimal dan
akan mencapai target nasional apabila seorang petugas mampu
menjalankan program puskesmasnya dengan baik. Selain itu penelitian
kualitatif dalam studi epidemiologi sekarang ini lebih kekinian terutama
7
epidemiologi sosial dan epidemiologi perencanaan kesehatan untuk dapat
memecahkan masalah kesehatan di Puskemas dan masyarakat.
Adapun puskesmas yang akan diteliti adalah puskesmas yang
mempunyai angka penemuan kasus pneumonia yang rendah pada tahun
2014 yaitu Puskesmas Pisangan, Puskesmas Kranggan dan puskesmas
dengan penemuan pneumonia balita yang mencapai target nasional (100%)
yaitu Puskesmas Serpong 1 dan Puskesmas Bakti Jaya. Dengan tujuan
dapat mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015.
B. Rumusan Masalah
Penemuan kasus pneumonia balita di Kota Tangerang Selatan masih
terbilang rendah, sehingga tidak mencakup sasaran kasus yaitu balita atau
10% dari jumlah balita yang ada. Menurut beberapa hasil penelitian yang
telah dilakukan, faktor yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia
balita adalah peran petugas kesehatan (tenaga terlatih, tingkat pendidikan,
pengetahuan petugas, lama memegang program P2 ISPA, motivasi
petugas, kepemimpinan kepala puskesmas), ketersediaan sarana kesehatan
(alat dianostik, media cetak/buku cetakan terkait program P2 ISPA, bagan
tatalaksana peneumonia/MTBS) dan kegiatan supervisi, evaluasi,
pencatatan dan pelaporan, perencanaan kegiatan dan kegiatan penemuan
kasus yang dilakukan serta kegiatan tatalaksana kasus. Oleh karena itu
perlu diteliti lebih lanjut melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif
8
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penemuan pneumonia di
Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015.
C. Pertanyaan Peneliti
1. Bagaimana penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota
Tangerang Selatan tahun 2014?
2. Bagaimana perencanaan program kegiatan penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015?
3. Bagaimana kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas
Kota Tangerang Selatan tahun 2015?
4. Bagaimana pengaruh kegiatan pencatatan dan pelaporan dalam
penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang
Selatan tahun 2015?
5. Bagaimana pengaruh kegiatan tatalaksana pneumonia atau MTBS
dalam penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota
Tangerang Selatan tahun 2015?
6. Bagaimana pengaruh faktor petugas kesehatan (jenis kelamin petugas,
Pelatihan petugas, pendidikan Petugas, lama memegang program P2
ISPA, pengetahuan petugas) dalam penemuan penderita pneumonia
balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015?
7. Bagaimana pengaruh faktor motivasi dalam penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015?
9
8. Bagaimana pengaruh faktor kepemimpinan kepala puskesmas dalam
penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang
Selatan tahun 2015?
9. Bagaimana ketersediaan sarana dan prasarana (media cetak/buku
cetakan dan media penyuluhan) dalam penemuan penderita
pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015?
10. Bagaimana kegiatan evaluasi dalam penemuan kasus pneumonia
balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor yang mempengaruhi penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas
Kota Tangerang Selatan tahun 2014
b. Mengetahui perencanaan kegiatan penemuan kasus pneumonia
balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015
c. Mengetahui kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di
Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015
d. Mengetahui kegiatan pencatatan dan pelaporan kasus
pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun
2015
10
e. Mengetahui kegiatan tatalaksana penemuan kasus pneumonia
balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015
f. Mengetahui faktor petugas kesehatan (jenis kelamin petugas,
pelatihan petugas, pendidikan Petugas, lama memegang
program P2 ISPA, pengetahuan petugas, motivasi petugas dan
kepemimpinan kepala puskesmas) dalam kegiatan pelaksanaan
penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota
Tangerang Selatan tahun 2015
g. Diketahuinya faktor motivasi mempengaruhi penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun
2015
h. Diketahuinya faktor kepemimpinan kepala Puskesmas yang
mempengaruhi cakupan penemuan kasus pneumonia balita di
Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015
i. Mengetahui ketersediaan sarana dan prasarana (media
cetak/buku cetakan dan media penyuluhan) dalam kegiatan
pelaksanaan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas
Kota Tangerang Selatan tahun 2015
j. Mengetahui kegiatan evaluasi dalam kegiatan pelaksanaan
penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota
Tangerang Selatan tahun 2015.
11
E. Manfaat
1. Bagi Dinas Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau
saran dan bahan pertimbangan dalam merencanakan pembuatan
program penemuan kasus pneumonia balita serta menyempurnakan
pelaksanaan penemuan kasus pneumonia di Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan. Selain itu , sebagai bahan evaluasi program P2
ISPA di Dinas Kota Tangerang Selatan.
2. Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan atau saran
untuk program penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas
sehingga dapat meningkatkan cakupan penemuan kasus pneumonia
balita. Selain itu juga dapat dimanfaatkan oleh kepala puskesmas
bagaimana cara memimpin bawahannya di puskesmas agar petugas
termotivasi dalam pekerjaanya di puskesmas kinerja
3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan di
perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang diharapkan bermanfaat sebagai referensi untuk melakukan
penelitian lebih lanjut terkait dengan faktor determinan penemuan
kasus pneumonia balita.
12
4. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan atau
pertimbangan bagi penelitian lainnya dalam mengembangkan
penelitian serupa.
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota
Tangerang Selatan tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian
epidemiologi deskriptif pendekatan mixed methods (kualitatif dan
Kuantitatif), desain studi kasus. Informan utama dalam penelitian adalah
kepala puskesmas, dengan triangulasi sumber yaitu penanggung jawab
program P2 ISPA di puskesmas dan petugas MTBS (Manajemen Terpadu
Balita Sakit). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam,
observasi dan telaah dokumen. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-
Juli di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015 dengan memilih
masing-masing 2 puskesmas yang mempunyai penemuan kasus
pneumonia balita yang rendah yaitu Puskesmas Pisangan, Puskesmas
Kranggan dan 2 puskesmas yang mempunyai penemuan kasus pneumonia
balita yang tinggi yaitu Puskesmas Serpong 1, Puskesmas Bakti Jaya.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai
jaringan paru (alveoli) yang disebabkan terutama oleh bakteri dan
merupakan penyakit saluran pernapasan akut yang sering menyebabkan
kematian (UNICEF, WHO, 2009; Kemenkes, 2010). Penyebab p neumonia
adalah infeksi bakteri, virus maupun jamur. Pneumonia mengakibatkan
jaringan paru mengalami peradangan. Pada kasus pneumonia, alveoli
terisi nanah dan cairan menyebabkan kesulitan penyerapan oksigen
sehingga terjadi kesulitan bernafas (Rudan, 2008).
Anak dengan pneumonia menyebabkan kemampuan paru
mengembang berkurang sehingga tubuh bereaksi dengan bernapas cepat
agar tidak terjadi hipoksia. Apabila pneumonia bertambah parah, paru
akan menjadi kaku dan timbul tarikan dinding bawah ke dalam (Ni
Nyoman, 2013). Anak dengan pneumonia dapat meninggal karena
hipoksia dan sepsis. Akibatnya kemampuan paru untuk menyerap oksigen
menjadi berkurang. Kekurangan oksigen membuat selsel tidak bisa
bekerja (UNICEF, WHO, 2006).
14
B. Hubungan ISPA dan Pneumonia
ISPA dan Pneumonia sangat erat hubungannya terutama pada Balita.
ISPA yang berlanjut dapat menjadi pneumonia hal tersebut sering terjadi
pada balita terutama apabila mengalami gizi kurang atau gizi buruk dan
dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak higienis (Rudan,
2008, Mardjanis, 2010). Oleh karena itu, jika balita menderita ISPA perlu
mendapatkan penanganan segera, agar penyakit tidak berlanjut menjadi
pneumonia.
C. Klasifikasi pneumonia balita
Program Pengendalian Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit
ISPA dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan bukan pneumonia.
Pneumonia dibagi atas derajat beratnya yaitu pneumonia berat dan
pneumonia tidak berat (Kemenkes, 2012). Penyakit batuk pilek seperti
rinitis, faringitis, tonsilitis, dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya
digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar
penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan
terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan
pada Balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin.
Semua radang telinga akut harus mendapat antibiotik (Setyati, 2014).
Klasifikasi berdasarkan frekuensi nafas, tarikan dinding dada
bagian bawah, bunyi nafas (stridor):
15
1. Pneumonia
Batuk, demam lebih dari 380 C disertai sesak nafas.
Frekuensi nafas lebih dari 40 x / menit, ada tarikan dinding dada
bagian bawah. Pada auskultasi didapati bunyi stridor pada paru.
2. Non Pneumonia
Bila bayi dan Balita batuk, demam 380 C tidak disertai nafas
cepat lebih dari 40 x / menit, tidak ada tarikan dinding dada bagian
bawah dan tidak ada bunyi stridor pada paru (Kemenkes, 2012).
Program P2 ISPA mengklasifikasi kasus keadaan ke dalam 2
kelompok usia yaitu dibawah 2 bulan (Pneumonia berat dan bukan
Pneumonia). Usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun menjadi
pneumonia berat dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam, pneumonia dan bukan pneumonia.
D. Epidemiologi Pneumonia
Epidemologi pneumonia dapat terjadi di semua negara tetapi data
untuk perbandingan sangat sedikit, terutama di negara berkembang.
Pneumonia adalah penyakit umum di semua bagian dunia dan penyebab
utama kematian pada masa neonatus. WHO memperkirakan bahwa 1 dari
5 kematian bayi baru lahir disebabkan pneumonia. Lebih dari dua juta
anak balita meninggal setiap tahun di seluruh dunia (E-jurnal, 2013).
WHO juga memperkirakan bahwa sampai dengan 2 juta kematian yang
disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae dapat di cegah dengan
16
vaksin, dan lebih dari 90% dari kematian ini terjadi di negara-negara
berkembang. Kematian akibat pneumonia umumnya menurun dengan usia
sampai dewasa akhir (News Medical, 2011).
World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 15
negara dengan prediksi kasus baru dan kejadian pneumonia paling tinggi
anak-balita sebesar 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus diseluruh dunia.
Lebih dari setengah terjadi pada 6 negara, yaitu: India 43 juta, China 21
juta, Pakistan 10 juta, Bangladesh, Indonesia, dan Nigeria sebesar 6 juta
kasus, mencakup 44% populasi anak balita di dunia pertahun (World
Pneumonia Day, 2012). Berdasarkan data WHO/UNICEF tahun 2009
dalam “Pneumonia: The Forgotten Killer of Children”, Indonesia
menduduki peringkat ke-6 dunia untuk kasus pneumonia pada balita
dengan jumlah penderita mencapai 6 juta jiwa. Diperkirakan sekitar
separuh dari total kasus kematian pada anak yang menderita pneumonia di
dunia disebabkan oleh bakteri pneumokokus (UNICEF, WHO, 2009).
E. Cakupan Penemuan Kasus Pneumonia Balita
Cakupan penemuan pneumonia balita adalah jumlah kasus
pneumonia balita yang ditemukan di suatu wilayah kerja puskesmas dari
estimasi jumlah balita diwilayah kerja puskesmas tersebut. (target yang
ditemukan adalah 10% dari populasi balita). Adapun perhitungan
rumusnya adalah sebagai berikut:
17
Angka cakupan penemuan pneumonia Balita di Indonesia pada
tahun 2000, berkisar antara 20%-36%. Angka cakupan tersebut masih jauh
dari target nasional yaitu periode 2000-2004 adalah 86%, sedangkan pada
periode 2005-2009 pencapaian target cakupan sebesar 46%-86%, Masih
jauh dari target cakupan yang ditetapkan oleh Kemenkes. Tujuan khusus
pengendalian pneumonia balita yaitu tercapainya cakupan penemuan
pneumonia balita pada tahun 2010 sebesar 60%, tahun 2011 sebesar 70%,
tahun 2012 sebesar 80%, tahun 2013 sebesar 90% dan tahun 2014 sebesar
100% (Kemenkes, 2012).
F. Program P2 ISPA untuk Pengendalian Pneumonia Balita
Program P2 ISPA adalah suatu program pemberantasan penyakit
menular yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian akibat ISPA, terutama pneumonia (infeksi paru akut) pada usia
di bawah lima tahun. Program P2 ISPA dikembangkan dengan mengacu
pada konsep menajemen terpadu pemberantasan penyakit menular dan
penyehatan lingkungan berbasis wilayah. Konsep terpadu meliputi
penanganan pada sumber penyakit, faktor risiko lingkungan, faktor risiko
perilaku dan kejadian penyakit dengan memperhatikan kondisi lokal
(Kemenkes, 2012).
1. Arah dan Tujuan Pengendalian ISPA/Pneumonia
Pelaksanaan program P2 ISPA ditujukan pada kelompok
usia Balita, yaitu bayi (0-12 bulan) dan anak balita (1 tahun ≤ 5
18
tahun) dalam bentuk upaya penanggulangan penyakit pneumonia.
Pemilihan kelompok balita sebagai target populasi program
didasarkan pada kenyataan bahwa angka mortalitas dan morbiditas
ISPA pada kelompok umur balita masih tinggi di Indonesia. Di
samping itu keberhasilan upaya program P2 ISPA dapat
mempunyai daya ungkit dalam penurunan angka kematian bayi di
Indonesia (Kemenkes, 2012). Dengan menitikberatkan pelaksanaan
upaya pada penanggulangan penumonia maka program P2 ISPA
dapat disebut sebagai program P2 ISPA untuk penanggulangan
Balita (Rita, 2002).
2. Tujuan dan Sasaran
a. Tujuan Umum
Tujuan umum pengendalian penyakit ISPA adalah
menurunkan angka kesakitan dan kematian karena pneumonia.
b. Tujuan Khusus
1) Pengendalian Pneumonia Balita
a) Tercapainya cakupan penemuan balita sebagai
berikut (tahun 2010: 60%, tahun 2011:70%, tahun
2012:80%, tahun 2013: 90%, tahun 2014: 100%)
b) Menurunkan angka kematian pneumonia balita
sebagai kontribusi penurunan angka kematian bayi
dan balita, sesuai dengan tujuan MDGs (44
menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup) dan
19
indikator nasional angka kematian bayi (34
menjadi 23 per 1.000 kelhiran hidup).
2) Kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza
serta penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi
wabah.
a) Tersusunnya dokumen rencana kontijensi
kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi
influenza di 33 provinsi pada akhir tahun 2014.
b) Tersusunnya pedoman dan petunjuk pelaksanaan
penanggulangan pandemi influenza pada akhir
tahun 2014.
c) Tersosialisasinya pedoman-pedoman yang terkait
dengan kesiapsiagaan dan respon pandemi
influenza pada akhir tahun 2014.
d) Tersusunya pedoman latihan (Exercise) dalam
kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza pada
akhir tahun 2014.
3) Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun
Terlaksananya kegiatan Surveilans Sentinel Pneumonia
di rumah sakit dan puskesmas dari 10 provinsi pada
tahun 2007 menjadi 33 provinsi pada akhir tahun 2014.
4) Faktor risiko ISPA
20
Terjalinnya kerjasama/kemitraan dengan unit program
atau institusi yang kompeten dalam pengendalian faktor
risiko ISPA khususnya pneumonia (Kemenkes, 2012).
c. Sasaran
1) Pengendalian Pneumonia Balita
a) Balita (≥ 5 tahun)
2) Kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza
serta penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi
wabah.
a) Pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan
terkait di pusat dan daerah.
b) Unit-unit esensial, swasta, media massa serta lembaga
swadaya masyarakat.
3) Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun
a) Kelompok umur ≥ 5 tahun di fasilitas pelayanan
kesehatan.
4) Faktor risiko ISPA
a) Lintas program dan lintas sektor
b) Masyarakat (Kemenkes, 2012).
21
3. Kebijakan dan Strategi Program
a. Kebijakan
Untuk mencapai program penemuan kasus
pneumonia maka ditetapkan kebijakan operasional
sebagai berikut:
1) Advokasi kepada pemangku kepentingan di
semua tingkat untuk membangun komitmen
dalam pencapain tujuan pengendalian ISPA.
2) Pengendalian ISPA dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
3) Peningkatan penemuan kasus dan tatalaksana
pnemonia Balita sesuai dengan standar
disemua fasilitas pelayanan kesehatan.
4) KIE pengendalian ISPA melalui berbagai
media sesuai dengan kondisi sosial budaya
setempat.
5) Ketersediaan logistik pengendalian ISPA
menjadi tanggung jawab pusat dan daerah.
6) Pengendalian ISPA dilaksanakan melalui
kerjasama dan jejaring dengan lintas program,
lintas sektor, swasta, perguruan tinggi dan
organisasi non pemerintah lintas nasional
maupun internasional.
22
7) Meningkatkan kualitas pelayanan melalui
peningkatan kemampuan sumber daya,
pembinaan/supervisi, sistem pemantauan dan
evaluasi program serta sosialisasi
pemberdayaan masyarakat.
8) Autopsi verbal dilakukan dalam rangka
menentukan penyebab kamatian Balita.
9) Penyusunan rencana kontijensi kesiapsiagaan
dan respon pandemi influenza semua tingkat.
10) Rencana pengendalian pneumonia disususn
berbasis bukti (evidence based) (Kemenkes,
2012).
b. Strategi
Strategi pengendalian ISPA di Indonesia
adalah sebagai berikut:
1) Membangun komitmen dengan pengambil
kebijakan disemua tingkat dengan
melaksanakan advokasi dan sosialisasi
pengendalian ISPA dalam rangka pencapaian
tujuan nasional dan global.
2) Penguatan jejaring internal dan eksternal
(LP/LS, profesi, perguruan tinggi, LSM, ormas
swasta, lembaga internasional, dan lain-lain).
23
3) Penemuan kasus pneumonia dilakukan secara
aktif dan pasif.
4) Peningkatan mutu pelayanan melalui
ketersediaan tenaga terlatih dan logistik.
5) Peningkatan peran serta masyarakat dalam
rangka deteksi dini pneumonia balita dan
pencarian pengobatan ke fasilitas pelayanan
kesehatan.
6) Pelaksanaan autopsi balita di masyarakat.
7) Penguatan kesiapsiagaan dan respon pandemi
influenza melalui penysusunan rencana
kontijensi disemua jejaring, latihan (exercise),
penguatan surveilans dan penyiapan sarana
prasarana.
8) Pencatatan dan pelaporan dikembangkan
secara bertahap dengan sistem komputerisasi
berbasis web.
9) Monitoring dan pembinaan teknis dilakukan
secara berjenjang, terstandar dan berkala.
10) Evaluasi program dilaksanakan secara berkala
(Kemenkes, 2012).
24
4. Kegiatan Program P2 ISPA
Kegiatan program P2 ISPA yang harus dilakukan
berdasarkan buku pedoman pengendalian ISPA adalah
sebagai berikut (Kemenkes, 2012):
a. Advokasi dan sosialisasi
b. Penemuan dan tatalaksana pneumonia balita,
kegiatannya antara lain: penemuan penderita
pneumonia, perkiraan jumlah penderita pneumonia
balita (perkiraan pneumonia balita), target penemuan
penderita pneumonia dan tatalaksana Pneumonia balita
c. Ketersediaan Logistik
d. Supervisi
e. Pencatatan dan pelaporan
f. Kemitraan dan jejaring
g. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia
h. Pengembangan program
i. Autopsi verbal
j. Monitoring dan evaluasi
5. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
MTBS singkatan dari Manajemen Terpadu Balita
Sakit atau Integrated Management of Childhood Illness
(IMCI dalam bahasa Inggris) adalah suatu pendekatan yang
terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan
25
fokus kepada kesehatan anak usia 0-5 tahun (balita) secara
menyeluruh. MTBS bukan merupakan suatu program
kesehatan tetapi suatu pendekatan/cara menatalaksana
balita sakit. Kegiatan MTBS merupakan upaya yang
ditujukan untuk menurunkan kesakitan dan kematian
sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan anak
balita di unit rawat jalan kesehatan dasar seperti puskesmas,
Pustu, Polindes, Poskesdes, dan lain-lain (Depkes, 2008).
Kegiatan MTBS memliliki 3 komponen khas yang
menguntungkan yaitu:
a. Meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam
tatalaksana balita sakit (petugas kesehatan non-dokter
yang telah terlatih MTBS dapat memeriksa dan
menangani pasien balita)
b. Memperbaiki sistem kesehatan (banyak program
kesehatan terintegrasi didalam pendekatan MTBS)
c. Memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam
perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan
balita sakit (berdampak meningkatkan pemberdayaan
masyarakat dalam pelayanan kesehatan) (Direktoran
Bina Kesehatan Anak, 2009).
26
G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia
Menurut Kemenkes (2012) Rendahnya angka cakupan penemuan kasus
pneumonia Balita disebabkan karena sumber pelapoan rutin terutama
berasal dari puskesmas, hanya beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang
mencakup rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya. penyebablainnya
yaitu program deteksi kasus di puskesmas masih rendah karena sebagian
besar tenaga belum terlatih, serta kelengkapan pelaporan masih rendah
terutama pelaporan dari kabupaten/Kota ke provinsi (Kemenkes, 2012).
Cakupan penemuan penderita pneumonia di puskesmas berhubungan
dengan beberapa faktor diantaranya yaitu faktor petugas sebagai pelaksana
pelayanan kesehatan di puskesmas, faktor sarana penunjang kegiatan
program P2 ISPA berupa ketersediaan sound timer untuk mendiagnosa
pneumonia, buku pedoman pelaksana program P2 ISPA, bagan tatalaksana
penderita ISPA, media untuk penyuluhan kepada masyarakat terutama ibu
balita yaitu berupa poster dan lembar balik (flip chart), ketersediaan obat-
obatan untuk penderita ISPA serta kegiatan pemantauan program P2 ISPA
yaitu berupa supervisi yang dimaksud untuk memeriksa kegiatan
pelaksanaan program apakah telah sesuai dengan yang telah digariskan
oleh kebijaksanaan program (Dharoh, 2013).
Dari penjelasan sebelumnya dijelaskan bahwa penemuan
pneumonia berhubungan dengan beberapa faktor, salah satunya adalah
petugas sebagai pelaksana pelayanan kesehatan atau hasil dari kinerja
petugas. Menurut Stephen P. Robbins (1986) yang dikutif oleh I Gusti
27
Agung Rai (2008) bahwa kinerja merupakan hasil evaluasi terhadap
pekerjaan yang telah dilakukan dibandingkan dengan kriteria yang telah
ditetapkan bersama. Pada pihak lain Ahuya (1996) dalam kutipan yang
sama, menjelaskan kinerja adalah cara perseorangan atau kelompok dari
suatu organisasi menyelesaiakan suatu pekerjaan atau tugas. Dari kedua
istilah tersebut terlihat bahwa istilah kinerja mengarah pada dua hal yaitu
proses dan hasil yang dicapai. Maka berikut ini akan diuraikan beberapa
teori yang berhubungan dengan kinerja.
Gibson (2006) menyampaikan model teori kinerja dan melakukan
analisis terhadap sejumlah variabel yang mempengaruhi perilaku dan
kinerja individu. Diagram skematis yang mempengaruhi perilaku dan
kinerja seperti pada gambar berikut:
Gambar 2.1
Teori perilaku dan kinerja
(Sumber: Gibson (1987) dalam Gibson (2006))
Faktor Individu
1. Kemampuan dan
keterampilan
- Mental
- Fisik
2. Latar belakang
- Keluarga
- Tingkat sosial
- Pengalaman
3. Demografi
- Umur
- Etnis
- Jenis kelamin
Perilaku individu
(apa yang dikerjakan)
Faktor organisasi
1. Sumber daya
2. Kepemimpinan
3. Imbalan
4. Struktur
5. Desain pekerjaan
Faktor Psikologis
1. Persepsi
2. Sikap
3. Kepribadian
4. Beban kerja
5. Motivasi
Kinerja
(hasil yang diharapkan)
28
Teori dari Gibson tersebut menyatakan bahwa terdapat 3 kelompok
yang mempengaruhi kinerja dan perilaku yakni variabel individu, variabel
organisasi, dan variabel psikologis. Variabel individu terdiri dari
subvariabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografi,
subvariabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi perilaku dan kinerja individu. Variabel demografis
mempunyai hubungan tidak langsung dengan perilaku dan kinerja.
Variabel psikologis terdiri dari subvariabel persepsi, sikap, kepribadian,
belajar dan motivasi. Variabel ini menurut gibson banyak dipengaruhi
keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel
demografis. Variabel psikologis seperti persepsi, sikap, kepribadian dan
belajar merupakan hal yang komplek dan sulit diukur.
Berdasarkan teori Gibson tersebut Yaslis Ilyas (2002) menyatakan
dalam kinerja (teori, penilaian dan penelitian), ketiga kelompok variabel
yang mempengaruhi perilaku kerja pada akhirnya akan berpengaruh pada
kinerja personal. Perilaku yang berhubungan dengan kinerja adalah
berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk
mencapai sasaran suatu jabatan atau tugas.
Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Tangkilisan (2005), bahwa
kinerja tergantung pada ability (kemampuan pembawaan), capacity
(kemampuan yang dapat dikembangkan), help (bantuan untuk terwujudnya
performance), incentive (insentif material maupun non material),
29
environment (lingkungan) dan evaluation (evaluasi). Berdasarkan
beberapa teori tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa faktor yang
berhubungan dengan cakupan penemuan pneumonia oleh petugas
puskesmas adalah berkaitan dengan teori kinerja di atas.
Menurut penelitian Nurcik (2002), dengan menggunakan teori
Gibson didapatkan hasil penelitian yaitu, ada hubungan yang kuat dan
bermakna secara sendiri-sendiri antara, pelatihan (OR=6,26 P=0,000;
95% CI 2,20-17,87), sarana penatalaksanaan penderita ISPA (OR 3,08
;P=0,033; 95% CI 1,09-9,67), dan supervisi lebih dari 2 kali (OR 4,80
;p=0,001;95% CI 1,76-13,12) dengan cakupan penemuan penderita
pneumonia balita. Peneliti lainnya yang menggunakan kerangka teori
Gibson, menunjukkan bahwa 91,67 % puskesmas mempunyai cakupan
rendah dan beban kerja (p=0,012) mempunyai hubungan yang bermakna
dengan cakupan penemuan pneumonia balita. Sedangkan variabel yang
tidak berhubungan secara statistik yaitu, pelatihan, pengetahuan, supervisi
dan kelengkapan sarana program P2 ISPA (Agusman, 2001).
1. Faktor Petugas Kesehatan
a. Jenis Kelamin
Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah
perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis
sejak seseorang lahir. Seorang laki-laki pada dasarnya
mempunyai sifat yang tegas dalam menjalankan suatu
program. Sedangkan seorang perempuan memiliki sifat atau
30
naluri keibuan yang sangat dibutuhkan bagi petugas kesehatan
terutama petugas MTBS pada saat memeriksa balita.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara jenis kelamin dengan kinerja petugas
kesehatan (Mulyaningsih, 2013). Hasil penelitian ini didukung
oleh pendapat ahli yang menyatakan bahwa secara umum tidak
ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin perempuan
dengan jenis kelamin laki-laki dalam kepuasaan kerja.
Perempuan dan laki-laki juga tidak ada perbedaan yang
konsisten dalam kemampuan memecahkan masalah,
keterampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi dan
sosiabilitas dan kemampuan belajar (Rival dan Mulyadi, 2010).
b. Pelatihan Petugas
Pelatihan menurut Sihula (dalam Hasibuan, 2008) adalah
suatu proses pendidikan pendek dengan menggunakan prosedur
sistematik dan terorganisir sehingga karyawan operasional
belajar pengetahuan teknik pengerjaan dan keahlian untuk
tujuan tertentu. Sedangkan menurut Azwar (2002), tujuan
pelatihan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan karyawan sehingga lebih percaya diri dalam
menyelenggarakan tugas selanjutnya.
Pelatihan merupakan usaha untuk menghilangkan
terjadinya kesenjangan (gap) antara unsur-unsur yang dimiliki
31
oleh seorang tenaga kerja dengan unsur-unsur yang
dikehendaki organisasi. Usaha tersebut dilakukan melalui
peningkatan kemampuan kerja yang dimiliki tenaga kerja
dengan cara menambah pengetahuan dan keterampilannya
(Notoatmodjo, 2003).
Kementrian Kesehatan (2012) menegakan bahwa pelatihan
kesehatan dilakukan melalui pelatihan teknis program dan
teknis fungsional secara berjenjang disemua tingkat
administrasi untuk menunjang profesionalisme. Dengan
demikian, dalam kaitannya dengan peningkatan mutu kualitas
pelayanan kesehatan, pelatihan berperan penting untuk
peningkatan kualitas.
Penelitian Ivantika (2001) di Bandung menyatakan bahwa
petugas yang telah mendapatkan pelatihan sebelumnya,
memiliki peluang 1,353 kali lebih besar untuk mendapat
cakupan program yang lebih tinggi dibandingakn dengan
petugas yang tidak mendapat pelatihan. Berbeda dengan
penelitian Sonara (2005), Pudjiastuti (2002) menyatakan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara pelatihan yang
pernah diikuti petugas kesehatan dengan dengan cakupan yang
harus dicapai, dalam hal ini cakupan penemuan pneumonia
balita. Hal ini kemungkinan disebabkan karena selam ini
pelatihan yang dilaksanakan hanya untuk memenuhi tuntutan
32
program semata tanpa mempertimbangkan perencanaan proses
belajar mengajar dengan matang serta asas manfaat yang
diperoleh. Disamping itu adanya kendala operasional untuk
menerapkan hasil penelitian tersebut di lapangan menyebabkan
keterampilan yang telah diperolah petugas lama-kelamaan
menjadi minimal kembali (Sonara, 2005).
Dalam program P2 ISPA, pelatihan yang diberikan kepada
petugas kesehatan di puskesmas meliputi pelatihan tatalaksana
penderita ISPA (terintegrasi dengan pelatihan MTBS) dan
pelatihan manajemen program P2 ISPA (Kemenkes, 2012).
c. Pendidikan
Pendidikan adalah tugas untuk meningkatkan pengetahuan,
wawasan, pengertian dan keterampilan dari para personil
sehingga mereka lebih dapat berkualitas (Notoatmodjo, 2003).
Dengan pendidikan, seseorang diharapkan menjadi pribadi
yang cerdas, kreatif, terampil, disiplin, beretos kerja
profesional, bertanggung jawab, dan produktif.
Pengembangan dan peningkatan tenaga kesehatan
dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (Kemenkes,2010)
karena menurut Flippo (dalam Hasibuan 2008), pendidikan
berhubungan dengan peningkatan pengetahuan umum dan
pemahaman atas lingkungan kita secara menyeluruh.
Lingkungan disini adalah pelayanan kesehatan yang diartikan
33
sebagai proses dalam pemberian pelayanan kesehatan.
Pernyataan lainnya Hersey dan Blanchard (dalam Sinora, 2005)
yang mengungkapkan bahwa pendidikan formal dan non-
formal dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil
keputusan dan berperilaku.
Namun demikian, penelitian Ivantika (2001), Sinora (2005)
dan Dharoh, dkk (2014) menyatakan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara pendidikan petugas dengan cakupan
penemuan penderita pneumonia. Selain itu hasil penelitian
Duhri, dkk (2013) menyebutkan bahwa petugas P2TB yang
memiliki jenjang pendidikan yang tinggi belum tetntu memilki
kinerja yang baik.
d. Lama Kerja
Masa kerja seseorang dalam organisasi perlu diketahui
karena masa kerja dapat merupakan salah satu indikator tentang
kecenderungan petugas tersebut dari berbagai segi kehidupan
organisasional, misalnya dikaitkan dengan produktivitas kerja
(siagian, 2002). Menurut wahyudi (2006) pengalaman seorang
tenaga kerja utuk melakukan suatu pekerjaan tertentu
dinyatakan dalam lamanya melaksanakan pekerjaan tersebut.
Pada umumnya, semakin lama orang bekerja maka
pengalaman bekerjanya akan bertmbah luas, sehingga orang
tersebut akan menjadi semakin terampil dalam melaksanakan
34
pekerjaannya. Dengan demikian, produktivitasnya diharapkan
juga akan semakin tinggi. Tetapi lamanya masa kerja tersebut
di satu sisi akan menimbulkan kebosanan dan kejenuhan, yang
pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerjanya.
Hal ini tentu saja tergantung pada kepribadian dan motivasi
masing-masing individu. Pada individu yang memilki dedikasi
dan etos kerja yang tinggi, maka status lama kerja justru akan
meningkatkan kualitas pekerjaanya, yang pada gilirannya akan
meningkatkan kualitas pelayanan.
Penelitian Ivantika (2001) menyatakan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara lama kerja pengelola P2 ISPA
dengan cakupan penemuan penderita pneumonia. Berbeda
dengan penelitian Sonara (2005) tidak ada hubungan yang
bermakana antara lama masa kerja petugas pelaksana MTBS
dengan cakupan penemuan penderita pneumonia.
e. Pengetahuan petugas
Pengatahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui
proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek
tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku
yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng. Proses
adopsi perilaku, menurut Rogers dalam Notoatmodjo, sebelum
35
seseorang mengadopsi sesuatu, di dalam diri orang tersebut
terjadi suatu proses yang berurutan yaitu (Notoatmodjo, 2003):
1) Awareness (kesadaran), individu menyadari adanya
stimulus.
2) Interest (tertarik), individu mulai tertarik kepada stimulus.
3) Evaluation (menimbang-nimbang), individu menimbang-
nimbang tentang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya. Pada tahap ini subjek memiliki sikap yang lebih
baik.
4) Trial (mencoba), individu sudah mulai mencoba perilaku
baru.
5) Adoption, individu telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, sikap dan kesadarannya terhadap stimulus.
Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif,
mencakup 6 tingkatan, yaitu:
a) Tahu (know): Tahu dapat diperhatikan sebagai mengingat
suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
b) Memahami (comprehension): diartikan sebagai
kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui dan dapat mengintepretasikan materi tersebut
secara benar.
36
c) Aplikasi (application): diartikan sebagai kemampuan
untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi sebenarnya (real).
d) Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk
menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-
komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi
tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e) Sintesis (synthesis): suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun,
dapat merencanakan dan dapat meringkas, dapat
menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau
rumusan-rumusan yang telah ada.
f) Evaluasi (evaluation): berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek,
penilaian didasarkan pada kriteria tertentu (Notoatmodjo,
2007)
Dalam program P2 ISPA, petugas kesehatan harus memiliki
pengetahuan tentang tatalaksana kasus penderita ISPA dan
tentang kebijakan program P2 ISPA, sehingga diharapkan
petugas mampu memberikan pelayanan yang baik.
Menurut Wawan (2010), peningkatan pengetahuan tidak
mutlak diperoleh dari pengetahuan formal saja, tetapi dapat
diperoleh melalui pendidikan informal seperti mengikuti
37
pelatihan, membaca buku pedoman atau media elektronik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Adnan (2013)
bahwa pengetahuan berhubungan dengan keterampilan petugas
dalam tatalaksana pneumonia balita. Hasil penelitian ini juga
didukung dengan hasil penelitian Duhri, dkk (2013) yang
menyebutkan bahwa pengetahuan memiliki kontribusi dalam
peningkatan kinerja petugas P2TB.
2. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Penunjang
Sarana merupakan salah satu perangkat administrasi, yaitu
sesuatu yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan
administrasi (Azwar,2002). Sarana terdiri dari peralatan, obat dan
bahan habis pakai serta dana. Sementara menurut pendapat tokoh
lain sarana termasuk dalam elemen struktur yang meliputi
bangunan fisik fasilitas dan peralatan.
Saran dalam program P2 ISPA untuk kegiatan penemuan
dan tatalaksana kasus penderita meliputi obat, alat bantu hitung,
barang cetakan dan buku pedoman.
a. Ketersediaan alat diagnostik
Ketersediaan sound timer sebagai alat bantu hitung
nafas dalam program P2 ISPA sebenarnya sangat diperlukan
karena alat tersebut digunakan untuk membantu petugas
dalam mengklasifikasikan penderita ISPA dengan tepat
melalui penghitungan frekuensi nafas dalam 1 menit.
38
b. Ketersediaan Barang Cetakan
Logistik media cetak yang disediakan program P2
ISPA untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran informasi
terdiri dari buku pedoman program P2 ISPA, pedoman
autopsi verbal, buku tatalaksana penderita ISPA
(terintegrasi dengan MTBS), buku pedoman ISPA untu
kader , poster dan lembar balik.
Penelitian Leida (dalam Sinora, 2005) menunjukkan
bahwa puskesmas yang mempunyai barang cetakan
mengenai ISPA berpeluang untuk lebih berkualitas dalam
tatalaksana kasus dibandingkan puskesmas yang tidak
tersedia barang cetakan mengenai ISPA. Hal ini sejalan
dengan penelitian Sinora (2005) menyatakan bahwa, ada
hubungan yang bermakna antara ketersediaan barang
cetakan pada puskesmas pelaksna MTBS dengan penemuan
penderita penumonia di Kabupaten Cianjur.
Besarnya kemungkinan adanya hubungan antara
ketersediaan barang cetakan dengan cakupan penemuan
penderita pneumonia ini disebabkan karena barang cetakan
berperan penting sebagai salah satu bahan informasi dan
bahan acuan dalam tatalaksana kasus.
39
c. Bagan Tatalaksana
Bagan tatalaksana yang terpasang diruang periksa
yang berisi petunjuk mengenai cara pemeriksaan terhadap
penderita dengan batuk dan kesukaran bernapas pada balita,
penentuan klasifikasi dan tindakan yang harus dilakukan ,
akan membantu petugas pada saat menangani kasus ISPA.
(Rasmuson, 1988, dalam Sinora, 2005).
d. Media penyuluhan
Media komunikasi, informasi dan edukasi, salah
satunya berupa lembar balik merupakan suatu alat
komunikasi yang efektif, yang telah dicoba terutama pada
negara-negara berkembang untuk perubahan yang positif.
Adapun media penyuluhan (Elektronik dan Cetak) menurut
pedoman P2 ISPA adalah tersedianya DVD tatalaksana
pneumonia balita, TV spot dan radio spot tentang pneumonia
balita, poster, lefleat, lembar balik, kit advokasi dan kit
pemberdayaan masyarakat (Kemenkes, 2012).
e. Media Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan Pelaporan yang baik, dinilai dari data dan
informasi yang tepat dan akurat, karena tanpa adanya hal
tersebut hasil kegiatan pencatatan dan pelaporan tersebut
akan sangat diragukan kebenarannya, oleh karena itu perlu
40
adanya media pencatatan dan pelaporan (Rajab, 2009).
Adapun macam-macam media pencatatan dan pelaporan
menurut pedoman P2 ISPA adalah sebagai berikut
(Kemenkes, 2012):
1) Stempel ISPA merupakan alat bantu untuk pencacatan
penderita pneumonia balita sebagai status penderita
2) Register harian pneumonia
3) Formulir laporan bulanan.
3. Faktor Lain
a. Perencanaan Program
Suatu kegiatan yang dilaksanakan di puskesmas
dimulai dengan perencanaan, agar kegiatan yang dijalankan
terarah dan mencapai tujuan yang diinginkan, adapun
pengertian perencanaan adalah sebagai berikut, perencanaan
menurut Drucker adalah suatu proses yang diorganisasi dan
dilaksanakan secara sistematis dengan menggunakan
pengetahuan yang ada sesuai keputusan yang telah ditetapkan
bersama. Keberhasilan pelaksanaan dapat dilihat dari
perbandingan antara hasil yang dicapai dengan target yang
telah ditetapkan (Herijulianti, dkk, 2002).
Sedangkan menurut Goetz, perencanaan adalah
kemampuan memilih satu kemungkinan dari berbagai
kemungkinan yang telah tersedia dan dipandang paling tepat
41
untuk mencapai tujuan. Dari berbagai pengertian tersebut
dapat dikatakan bahwa perencanaan adalah suatu rangkaian
kegiatan yang disusun secara sistematis untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan/diputuskan bersama
(Herijulianti, dkk, 2002). Berdasarkan penelitian Warsihayati
(2002) menunjukkan bahwa pembuatan rencana kerja
tahunan memberikan pengaruh terhadap cakupan kasus
pneumonia balita disuatu puskesmas. Sedangkan penelitian
Dharoh, dkk (2014) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan
antara perencanaan program dengan penemuan penderita
pneumonia balita.
Menurut Koontz dan O’Donnel dalam Sukarna (1992)
dan Hasibuan (1990) menyebutkan prinsip-prinsip/asas
perencanaan adalah prinsip membantu tercapainya tujuan,
efisiensi dari perencanaan, pengutamaan perencanaan, prinsi
pemerataan perencanaan, patokan perencanaan,
kebijaksanaan pola kerja, prinsip waktu, tata hubungan
perencanaan, prinsip alternatif, prinsip pembatasan faktor,
prinsip keterikatan, prinsip flexibilitas, prinsip ketetapan
arah, prinsip Perencanaan strategi.
Berdasarkan uraian prinsip tersebut, Sukarna (1992)
menyimpulkan sebagai berikut:
42
a. Perencanaan merupakan fungsi utama dari pada
manajer. Pelaksanaan pekerjaan tergantung kepada
baik-buruknya suatu perencanaan.
b. Perencanaan harus diarahkan terhadap tercapainya
tujuan. Oleh karena itu apabila tujuan tidak tercapai
mungkin disebabkan oleh kurang sempurnanya
perencanaan.
c. Perencanaan harus didasarkan atas kenyataan-kenyataan
objektif dan rasional untuk mewujudkan adanya kerja
sama yang efektif
d. Perencanaan harus mengandung atau dapat
memproyeksi kejadian-kejadian pada masa yang akan
datang.
e. Perencanaan harus memikirkan dengan matang tentang
budget, program, policy, procedure, methode dan
standar, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
b. Kegiatan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita
Dalam kegiatan pengendalian pneumonia balita,
kegiatan penemuan kasus pneumonia balita adalah kegiatan
inti. Penemuan kasus pneumonia merupakan salah satu
strategi dalam pengendalian pneumonia. Penemuan kasus
pneumonia dilakukan secara aktif maupun pasif. Penemuan
kasus secara pasif dilaksanakan diseluruh Unit Pelayanan
43
Kesehatan (UPK) yang ada dengan melihat data jumlah
penderita yang datang untuk berobat ke UPK tersebut
(Kemenkes, 2012).
Penemuan kasus secara aktif dilaksanakan oleh
petugas UPK aktif dilaksanakan oleh petugas dengan
mendatangi pasien di wilayah kerja UPK berdasarkan
kriteria klinis. Penderita dinyatakan positif berdasarkan
gejala klinis kemudian dilakukan konfirmasi dari
laboratorium darah dan sputum serta hasil rotgen thorax.
Data dari hasil konfirmasi laboratorium rotgen dan
pemeriksaan gejala klinis kemudian dikumpulkan yang
kemudian dikirim untuk dilakukan analisis dan pelaporan
data (Handayani, 2012).
Penelitian Handayani (2012) yang dilakukan di
seluruh puskesmas Kota Semarang menyebutkan bahwa
penemuan kasus yang dilakukan puskesmas di Kota
Semarang adalah penemuan kasus secara pasif. Selain itu
menurut penelitian lainnya yaitu penelitian, Dharoh dkk
(2014) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara
pelaksanaan program dengan cakupan penemuan kasus
penderita pneumonia balita. Hal sama juga terjadi pada
penelitian yang dilakukan oleh Marisa (2011) bahwa tidak
44
ada hubungan antara pelaksanaan program dengan angka
bebas jentik di Kota Semarang.
Penemuan penderita pasif dan aktif melalui proses
sebagai berikut:
a. menayakan balita yang batuk dan atau kesukaran
bernapas.
b. melakukan pemeriksaan dengan melihat Tarikan Dinding
Dada bagian bawah Ke dalam (TDDK) dan hitung napas.
c. melakukan penentuan tanda bahaya sesuai golongan unur
<2 bulan dan 2 bulan -< 5 tahun
d. melakukan klasifikasi balita batuk dan atau kesukaran
bernapas; pneumonia berat, pneumonia dan batuk bukan
pneumonia (Kemenkes, 2012).
c. Tatalaksana Pneumonia Balita
Pola tatalaksana penderita yang dipakai dalam
pelaksanaan pengendalian ISPA untuk penanggulangan
pneumonia pada balita didasarkan pada pola tatalaksana
penderita ISPA yang diterbitkan WHO tahun 1988 yang
telah mengalami adaptasi sesuai kondisi Indonesia. Menurut
Hasil penelitian Hidayati dan Wahyono (2011) diketahui
bahwa terdapat hubungan antara tatalaksana pelayanan
MTBS dengan kejadian pneumonia balita atau penemuan
kasus pneumonia.
45
Tabel 2.1
Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas
Umur < 2 Bulan
(Sumber: Kemenkes, 2012)
Setelah penderita pneumonia balita ditemukan dilakukan
tatalaksana sebagai berikut:
a. Pengobatan dengan menggunakan antibiotik: kotrimoksazol,
amoksilin selama 3 hari dan obat simptomatis yang diperlukan
seperti parasetamol dan salbutamol.
b. Tindak lanjut bagi penderita yang kunjungan ulang yaitu
penderita 2 hari setelah mendapat antibiotik di fasilitas
pelayanan kesehatan.
c. Rujukan bagi penderita pneumonia berat atau penyakit sangat
berat (Kemenkes, 2012).
46
Tabel 2.2
Tatalaksana Anak Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur
2 Bulan ≤ 5 tahun
(Sumber: Kemenkes, 2012)
d. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan Pelaporan merupakan kegiatan yang harus
disperhatikan oleh tenaga kesehatan (khususnya epidemiolog)
dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik bagi
individu, keluarga dan masyarakat. Untuk dapat melakukan
kegiatan Pencatatan dan Pelaporan dengan baik, maka dibutuhkan
data dan informasi yang tepat dan akurat, karena tanpa adanya hal
tersebut hasil kegiatan pencatatan dan pelaporan tersebut akan
sangat diragukan kebenarannya (Rajab, 2009).
47
Pengertian Pencatatan dan Pelaporan menurut Kron dan Gray,
pencatatan dan pelaporan adalah mengkomunikasikan secara
tertulis kepada tim kesehatan lain yang memerlukan data kesehatan
atau data epidemiologi secara teratur. Jika disimpulkan pencatatan
dan pelaporan mempunyai arti sebagai berikut:
a) Suatu kegiatan mencatat dengan berbagai alat/media
tentang data kesehatan yang diperlukan sehingga terwujud
tulisan yang bias dibaca dan dapat dipahami isinya.
b) Salah satu kegiatan administrasi kesehatan yang harus
dikerjakan dan dipertanggungjawabkan oleh petugas
kesehatan (khususnya epidemiolog).
c) Kumpulan Informasi kegiatan upaya pelayanan kesehatan
yang berfungsi sebagai alat/sarana komunikasi yang penting
antar petugas kesehatan (Sutomo, 2010).
pencatatan dan pelaporan dalam kegiatan penemuan kasus
pneumonia balita, mencakup analisis data yang dilakukan
berdasarkan kategori kelompok umur untuk mempermudah
pengambilan kebijakan dalam rangka pengendalian dan
pencegahan pneumonia. Data hasil analisis kemudian dilaporkan
dalam bentuk laporan mingguan ke pusat, serta dilakukan umpan
balik dan penyebarluasan informasi kepada publik berupa buletin,
website dan laporan hasil kegiatan penemuan kasus (WHO, 2011
dalam Handayani, 2012).
48
e. Motivasi Petugas
Motivasi menurut Walgito (2002) adalah kekuatan
yang terdapat dalam diri organisme itu bertindak atau
berbuat dan dorongan ini biasanya tertuju pada suatu tujuan
tertentu. Sejalan dengan pendapat tersebut, Suryabrata
(2000) menyatakan motivasi suatu keadaan dalam diri
individu yang mendorong individu untuk melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan.
Berdasarkan pengertian dari beberapa tokoh
tersebut, dapat disimpulkan pengertian motivasi yaitu suatu
dorongan dalam diri individu karena adanya suatu
rangsangan baik dari dalam maupun dari luar untuk
memenuhi kebutuhan individu dan tercapainya tujuan
individu. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Agusman
(2001) mengenai cakupan penemuan pneumonia balita,
menemukan bahwa faktor motivasi (p=0,040) mempunyai
hubungan yang bermakna dengan cakupan penemuan
pneumonia balita.
Selain itu hasil penelitan Sabuna (2011) dan
Dharoh, dkk (2014) menyebutkan bahwa motivasi petugas
(p=0,020) mempunyai hubungan dengan cakupan
penemuan penderita pneumonia balita atau tatalaksana
49
pneumonia balita. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa
motivasi kerja (p=0,02) berhubungan dengan kinerja tenaga
kesehatan di puskesmas (Rosita, dkk, 2013).
f. Kepemimpinan Kepala Puskesmas
Terry (dalam azwar, 2002) menyatakan bahwa
kepemimpinan adalah hubungan yang tercipta dari adanya
pengaruh yang dimilki oleh seseorang terhadap orang lain
sehingga orang lain tersebut secara sukarela mau dan
bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
Kepemimpinanan yang ditetapkan oleh seorang
pemimpin dalam organisasi dapat menciptakan integrasi
yang serasi dan mendorong semangat kerja karyawan
untuk mencapai sasaran yang maksimal (Hasibuan, 2001).
Pelaksanaan kepemimpinan cenderung menumbuhkan
kepercayaan partisipasi, loyalitas dan internal motivasi para
bawahan dengan cara persuasif.
Hasil penelitian Sinora (2005), menyatakan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara kepemimpinan
pada puseksmas pelaksana MTBS dengan cakupan
penemuaan penderita pneumonia balita. Sedangkan hasil
penelitian Rosita, dkk (2013) menyebutkan bahwa gaya
kepemimpinan (p=0,04) berhubungan dengan kinerja
50
tenaga kesehatan di puskesmas. penelitian ini juga
didukung dengan penelitian Ivantika (2001) menyebutkan
bahwa kepemimpinan kepala puskesmas (p=0,034)
mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan
penemuan penderita pneumonia balita.
Selain itu setiap kepala puskesmas mempunyai gaya
kepemimpinan yang berbeda-beda dalam pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan. Adapun gaya
kepemimpinan kepala puskesmas yaitu gaya kepemimpinan
partisipasi, gaya kepemimpinan konsultasi, gaya
kepemimpinan instruksi dan gaya kepemimpinan delegasi.
Menurut Thoha (2009) gaya kepemimpinan
konsultasi memilki esensi dimana pimpinan dan bawahan
saling bergantian dalam hal pemecahan masalah. Pemimpin
yang mempunyai gaya kepemimpinan instruksi berfungsi
sebagai komunikator yang menentukan apa (isi perintah),
bagaimana (cara mengerjakan perintah), bilamana (waktu
memulai, melaksanakan, dan melaporkan hasilnya), dan
dimana (tempat mengerjakan perintah) agar keputusan
dapat diputuskan secara efektif. Kepemimpinan partisipasi
dalam menjalankan fungsi partisipasi, pemimpin berusaha
mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam
pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakannya.
51
Sedangkan kepemimpinan delegasi, pemimpin memberikan
pelimpahan wewenang dalam membuat atau menetapkan
keputusan (Dimyati, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian Salam, dkk (2013)
diketahui bahwa terdapat hubungan antara gaya
kepemimpinan (instruktif, konsultasi, partisipasi dan
delegasi) dengan kinerja di puskesmas. Selain itu penelitian
Parawangsyah (2012) menyebutkan bahwa terdapat
hubungan antara gaya kepemimpinan berdasarkan
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dengan
disiplin kerja.
g. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu proses untuk menyediakan
informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah
dicapai, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan suatu
standar tertentu untuk mengetahui apakah ada selisih di
antara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah
dikerjakan itu bila dibandingkan dengan harapan-harapan
yang ingin diperoleh (Umar, 2002). Berdasarkan hasil
penelitian penelitian Warsihayati (2002) menunjukkan
bahwa kegiatan evaluasi di puskesmas tidak memberikan
pengaruh terhadap cakupan penemuan kasus pneumonia
balita.
52
H. Pemantauan Wilayah Setempat
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS
KIA) adalah alat manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA
disuatu wilayah kerja secara terus menerus, agar dapat dilakukan tindak
lanjut yang cepat dan tepat. Program KIA yang dimaksud meliputi
pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi
kebidanan, keluarga berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan
komplikasi, bayi, dan balita. Dengan manajemen PWS KIA diharapkan
cakupan pelayanan dapat menjangkau seluruh sasaran di suatu wilayah
kerja sehingga kasus dengan pneumonia balita dapat ditemukan sedini
mungkin untuk dapat memperoleh penanganan yang memadai (Kemenkes,
2010).
1. Kegiatan Surveilans dengan Penemuan Pneumonia
Definisi dan kegiatan PWS tersebut sama dengan definisi
Surveilens. Menurut WHO, Surveilens adalah suatu kegiatan
sistematis berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan,
menganalisis dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya
dijadikan landasan yang esensial dalam membuat rencana,
implementasi dan evaluasi suatu kebijakan kesehatan masyarakat
(Kemenkes, 2010). Oleh karena itu, pelaksanaan surveilens ada
kaitannya dengan penemuan pneumonia balita, jika kegiatan
53
surveilans sudah optimal dan dilaksanakan dengan baik maka
kegiatan penemuan pneumonia dapat mencapai indikator.
2. Peran Kader
Kegiatan PWS KIA atau pelaksanaan surveilans dalam
penemuan pneumonia balita, tidak lepas dari peran kader kesehatan
disetiap wilayah puskesmas. Kader adalah seorang tenaga sukarela
yang direkrut dari, oleh dan untuk masyarakat, yang bertugas
membantu kelancaran pelayanan kesehatan (Public Health, 2014).
Menurut Depkes RI (2003), berbagai peran kader,
khususnya pada kegiatan Posyandu, antara lain:
1. Melakukan pendekatan kepada aparat pemerintah dan tokoh
masyarakat.
2. Melakukan Survey Mawas Diri (SMD) bersama petugas yang
antara lain untuk melakukan kegiatan pendataan sasaran,
pemetaan, serta mengenal masalah dan potensi.
3. Melaksanakan musyawarah bersama masyarakat setempat
untuk membahas hasil SMD, menyusun rencana kegiatan,
pembagian tugas, dan jadwal kegiatan.
I. Puskesmas
1. Pengertian Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan
kabupaten atau kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
54
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Puskesmas
merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau
kota (UPTD). Puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian
dari tugas teknis operasional dinas kesehatan kabupaten atau kota
dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak
pembangunan kesehatan di Indonesia (Sulastomo, 2007).
Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarkan oleh
Puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan
kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal
di wilayah kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat
(Depkes, 2004).
2. Fungsi Puskesmas
Berikut fungsi puskesmas berdasarkan lampiran Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang
Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat (Depkes, 2004):
a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan
Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan
memantau penyelenggaraan pembangunan lintas sektor
termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah
kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung
pembangunan kesehatan.
55
b. Pusat pemberdayaan masyarakat
Puskesmas selalu berupaya agar masyarakat memiliki
kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan
masyarakat serta berperan aktif untuk hidup lebih sehat. Pusat
pelayanan kesehatan strata pertama. Puskesmas bertanggung
jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama
secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan
kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggung jawab
puskesmas meliputi:
a) Pelayanan kesehatan perorangan
b) Pelayanan kesehatan masyarakat
3. Upaya Puskesmas
Upaya kesehatan tersebut dikelompokkan menjadi dua
yakni (Depkes, 2004):
a. Upaya Kesehatan Wajib
Upaya kesehatan wajib Puskesmas adalah upaya yang
ditetapkan berdasarkan komitmen nasional, regional dan global
serta yang mempunyai daya ungkit tinggi untuk peningkatan
derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini harus
diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah
Indonesia. Upaya kesehatan wajib tersebut adalah:
1) Upaya Promosi Kesehatan
56
2) Upaya Kesehatan Lingkungan
3) Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga
Berencana
4) Upaya Perbaikan Gizi
5) Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
6) Upaya Pengobatan
b. Upaya Kesehatan Pengembangan
Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah
upaya yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan
yang ditemukan di masyarakat serta yang disesuaikan dengan
kemampuan puskesmas. Upaya kesehatan pengembangan
dipilih dari daftar upaya kesehatan pokok puskesmas yang
telah ada, yakni:
1) Upaya Kesehatan Sekolah
2) Upaya Kesehatan Olah Raga
3) Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat
4) Upaya Kesehatan Kerja
5) Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut
6) Upaya Kesehatan Jiwa
7) Upaya Kesehatan Mata
8) Upaya Kesehatan Usia Lanjut
c. Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional
57
Upaya laboratorium medis dan laboratorium kesehatan
masyarakat serta upaya pencatatan dan pelaporan tidak
termasuk pilihan karena ketiga upaya ini merupakan pelayanan
penunjang dari setiap upaya wajib dan upaya pengembangan
Puskesmas (Depkes, 2004).
Upaya kesehatan pengembangan puskesmas dapat pula
bersifat upaya inovasi, yakni upaya lain di luar upaya
puskesmas tersebut di atas yang sesuai dengan kebutuhan.
Pengembangan dan pelaksanaan upaya inovasi ini adalah
dalam rangka mempercepat tercapainya visi puskesmas
(Depkes, 2004).
J. Petugas Puskesmas
Petugas puskesmas yang secara langsung berhubungan dengan
masyarakat bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan dan
pengobatan penderita penyakit adalah, dokter puskesmas, perawat, dan
bidan. Dokter puskesmas yang merangkap sebagai kepala puskesmas,
mempunyai fungsi rangkap yaitu sebagai seorang dokter dan manajer
artinya tanggung jawab seorang dokter tidak hanya mengobati orang sakit
saja, tetapi jauh lebih besar yaitu memelihara dan meningkatkan kesehatan
dari masyarakat di dalam wilayah kerjanya. Perawat yang bertugas di
bagian Poli umum puskesmas mempunyai tanggung jawab melaksanakan
pelayanan pengobatan jalan yaitu memeriksa dan mengobati penderita
penyakit menular secara pasif.
58
Bidan puskesmas mempunyai tanggung jawab melaksanakan
pelayanan KIA dan KB, salah satu diantaranya yaitu melaksanakan
pemeriksaan berkala kepada ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak
di puskesmas. Untuk beberapa puskesmas yang kekurangan tenaga
perawatnya, maka tenaga bidan seringkali di tempatkan di bagian poli
umum puskesmas begitu pula sebaliknya. Petugas pemegang program P2
ISPA adalah petugas paramedis yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan program P2 ISPA di puskesmas termasuk pencatatan dan
pelaporan P2 ISPA.
K. Kerangka Teori
Dari tinjauan kepustakaan di atas, peneliti mencoba menyusun
kerangka teori penelitian yaitu faktor yang mempengaruhi penemuan
kasus pneumonia balita di Kota Tangerang Selatan, dengan memodifikasi
penjelasan dari Kemenkes (2012), teori kinerja dari Gibson tahun 1987,
karena hasil dari kinerja yang baik dari pegawai akan menghasilkan
kegiatan yang baik pula. Menurut Ahuya (1996) dalam I Gusti (2008),
menjelaskan kinerja adalah cara perseorangan atau kelompok dari suatu
organisasi menyelesaiakan suatu pekerjaan atau tugas.
Menurut penelitian Nurcik (2002), dengan menggunakan teori
Gibson didapatkan hasil penelitian yaitu: ada hubungan yang kuat dan
bermakna secara sendiri-sendiri antara: Pelatihan (OR=6,26 P=0,000;
95% CI 2,20-17,87), sarana penatalaksanaan penderita ISPA (OR 3,08
;P=0,033; 95% CI 1,09-9,67), dan supervisi lebih dari 2 kali (OR 4,80
59
;p=0,001;95% CI 1,76-13,12) dengan cakupan penemuan penderita
pneumonia balita. Peneliti lain yang menggunakan kerangka teori Gibson,
menunjukkan bahwa motivasi (p=0,012) mempunyai hubungan yang
bermakna dengan cakupan penemuan pneumonia balita (Agusman, 2001).
Pembuatan rencana kerja tahunan berpengaruh terhadap penemuan kasus
(Warsihayati, 2002). Adapun kerangka teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
60
Gambar 2.2
Kerangka Teori Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia
Balita
Faktor Petugas Kesehatan:
a. Jenis Kelamin
b. Pelatihan
c. Tingkat Pendidikan,
d. Pengetahuan Petugas
e. Lama Kerja
Faktor Sarana Kesehatan:
a. Alat Diagnostik Pneumonia,
b. Media cetakan
c. Media Penyuluhan
Faktor Lain:
a. Beban Kerja
b. Supervisi
c. Perencanaan program
d. kegiatan program
e. tatalaksana pneumonia
f. Pencatatan dan Pelaporan
g. Motivasi petugas
h. Kepemimpinan Kepala
Puskesmas
i. Evaluasi
Penemuan Kasus
Pneumonia Balita
Sumber: Kemenkes (2012), Gibson (1987)
61
61
BAB III
KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH
A. Kerangka Pikir
Kerangka pikir menjelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor yang mempengaruhi penemuan pneumonia balita di
Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015. Subjek utama yang dipilih
dalam penelitian ini adalah kepala puskesmas. Untuk itu pertama-tama
peneliti akan mengidentifikasi angka penemuan pneumonia balita pada
tahun 2014 di setiap Puskesmas yang diteliti, selanjutnya peneliti
mengidentifikasi perencanaan dan kegiatan penemuan pneumonia balita di
Puskesmas.
Penemuan pneumonia balita di puskesmas menurut beberapa hasil
penelitian dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pembuatan
rencana kerja tahunan, kegaiatan penemuan kasus, tatalaksana kasus di
puskesmas, faktor petugas kesehatan (tenaga terlatih, tingkat pendidikan,
pengetahuan petugas, lama memegang program P2 ISPA), faktor motivasi
petugas, kepemimpinan kepala puskesmas, faktor sarana kesehatan (alat
diagnostik Pneumonia, Buku pedoman P2 ISPA terbaru, bagan tata
laksana, media penyuluhan) dan faktor lainnya (evaluasi, supervisi,
pencatatan dan pelaporan) (Agusman, 2001; Nurcik, 2002, Warsihayati,
2002).
62
Dalam penelitian ini, peneliti membuat kerangka pikir penelitian dari
pemikiran kerangka teori, dan disesuaikan dengan tujuan dalam penelitian.
Adapun yang diteliti yaitu angka penemuan kasus pneumonia balita,
perencanaan kegiatan tahunan, kegiatan penemuan kasus pneumonia
balita, kegiatan tatalaksana pneumonia balita, kegiatan pencatatan dan
pelaporan, faktor petugas kesehatan, ketersediaan saran dan prasarana,
kegiatan evaluasi. kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di
Puskesmas Kota Tangerang Selatan dilakukan secara pasif yaitu
menunggu balita yang sakit berobat ke puskesmas, seharusnya kegiatan
penemuan kasus pneumonia balita dilakukan secara aktif. kegiatan
tatalaksana pneumonia balita dapat mempengaruhi cakupan penemuan
kasus pneumonia balita, tatalaksana yang tidak sesuai prosedur dapat
menyebabkan laporan kasus tidak valid dan reliable. sehingga
menyebabkan kesalahan pada saat kegiatan pencatatan dan pelaporan
kasus pneumonia balita.
Faktor peran petugas kesehatan meliputi jenis kelamin, pelatihan
petugas; Pendidikan petugas, lama memegang program P2 ISPA,
pengetahuan petugas, hal ini mempengaruhi cakupan program penemuan
pneumonia balita, jika tenaga kesehatan tidak terlatih dalam program P2
ISPA maka pada saat mendiagnosis balita yang sakit akan mengalami
kesulitan. Tingkat pendidikan atau latar belakang pendidikan petugas
kesehatan, lama memegang program P2 ISPA. Teorinya semakin lama
maka semakin terampil dan tahu kondisi wilayah kerja dan bagaimana
63
upaya yang harus dilakukan untuk mencapai target cakupan penemuan
pneumonia balita.
Selanjutnya yaitu pengetahuan petugas kesehatan mengenai
pneumonia seperti klasifikasi pneumonia, gejala dan tanda-tanda
penderita pneumonia serta tatalaksana penderita ISPA, petugas MTBS
(manajemen terpadu balita sakit) harus mengetahui hal tersebut. Faktor
motivasi petugas dan kepemimpinan kepala puskesmas juga
mempengaruhi penemuan pneumonia balita di suatu puskesmas. Motivasi
petugas dan kepemimpinan kepala puskesmas berperan penting dalam
pencapaian angka penemuan pneumonia balita, karena semakin
termotivasi petugas kesehatan dengan program kesehatan yang dijalankan
maka semakin baik program tersebut dilaksanakan begitu pula dengan
kepemimpinan kepala puskesmas.
Selain itu tidak cukupnya sarana dan prasarana dalam program
penemuan pneumonia balita juga mempengaruhi cakupan penemuan
penderita pneumonia balita, seperti media cetak/buku cetakan dan media
penyuluhan sebagai sarana dan prasarana penunjang program. Selanjutnya
kegiatan pencatatan dan pelaporan mempengaruhi cakupan penemuan
pneumonia balita. Kegiatan evaluasi pada umumnya dilakukan sebulan
sekali untuk mengetahui kondisi kesehatan masyarakat di wilayah kerja
puskesmas. Hal ini jika evaluasi dilakukan secara rutin perbulan dan
dilakukan dengan baik dan benar akan mempengaruhi cakupan penemuan
penderita pneumonia. Pencatatan dan pelaporan kasus ISPA yang
64
dilakukan penanggungjawab P2 ISPA mempengaruhi jumlah cakupan
penemuan pneumonia balita.
Adapun beberapa faktor yang peneliti tidak teliti yaitu beban kerja,
alat diagnostik dan bagan tatalaksana. Faktor beban kerja tidak diteliti
karena di setiap puskesmas petugas puskesmas mempunyai beban kerja
ganda karena keterbatasan sumber daya manusia sehingga bersifat
homogen untuk diteliti. Alat diagnostik dan bagan tatalaksana tidak diteliti
karena setiap puskesmas pasti mempunyai alat diagnostik dan bagan
tatalaksana karena sarana tersebut disediakan oleh Dinas Kesehatan,
sehingga bersifat homogen untuk diteliti. Kegiatan supervisi yang
dilakukan Dinkes tidak diteliti karena kegiatan supervisi tidak dilakukan di
semua puskesmas, hanya pada beberapa puskesmas, seperti puksemas
yang mempunyai masalah, misalnya terjadi KLB pneumonia balita atau
adanya kematian balita yang disebabkan oleh pneumonia.
Berikut gambaran kerangka pikir dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
65
Gambar 3.1
Kerangka Pikir
Faktor petugas kesehatan
- Jenis kelamin petugas
- Pelatihan petugas
- Pendidikan Petugas
- Lama memegang program
P2 ISPA
- Pengetahuan petugas
Penemuan Penderita
Pneumonia Balita
- Perencanaan \ penemuan
pneumonia balita
-
- Kegiatan Evaluasi
Ketersediaan Sarana dan Prasarana
- Media cetak/buku cetakan
- Media Penyuluhan
- tatalaksana pneumonia
balita/MTBS
- Motivasi Petugas
- Kegiatan Pencatatan dan
pelaporan
- Kepemimpinan Kepala
Puskesmas
- Kegiatan penemuan
pneumonia balita
-
66
B. Definisi Istilah
Tabel 3.1
Definisi Istilah
No Istilah Definisi Alat Ukur Cara
Pengambilan
Data
Hasil Ukur Skala Ukur Sumber
1 Penemuan
kasus
pneumonia
balita tahun
2014
Tanggapan yang
diberikan informan
mengenai jumlah
penemuan kasus
pneumonia balita
dalam 1 tahun (2014)
dan dibandingkan
dengan target
penemuan kasus pada
tahun tersebut.
- Pedoman
wawancara
- Daftar
dokumen
- Wawancara
mendalam
- telaah
dokumen
Informasi
mengenai angka
penemuan kasus
pneumonia di
Puskesmas
- - Kepala
Puskesmas
- Penanggung
jawab
program P2
ISPA di
Puskesmas
- Profil
Puskesmas
atau laporan
tahunan
kinerja
Puskesmas
2 Perencanaan
program
kegiatan
penemuan
kasus
pneumonia
balita
Tanggapan informan
mengenai rencana
kegiatan penemuan
kasus pneumonia
balita di Puskesmas
- Pedoman
wawancara
- Daftar
dokumen
- Wawancara
mendalam
- telaah
dokumen
Informasi
mengenai
ketersediaan
pembuatan
perencanaan dan
adanya
dokumen
- - Kepala
Puskesmas
- Penanggung
jawab
program P2
ISPA di
Puskesmas
67
No Istilah Definisi Alat Ukur Cara
Pengambilan
Data
Hasil Ukur Skala Ukur Sumber
perencanaan
program
- Profil
Puskesmas
atau laporan
tahunan
kinerja
Puskesmas
3 Kegiatan
penemuan
pneumonia
balita
Bentuk implementasi
dari perencanaan
program PMTP guna
mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
- Pedoman
wawancara
- Daftar
dokumen
- Wawancara
mendalam
- telaah
dokumen
Informasi
mengenai
kegiatan yang
telah dibuat dan
pelaksanaan
kegiatan di
lapangan.
- - Kepala
Puskesmas
- Penanggung
jawab
program P2
ISPA di
Puskesmas
- Kepala
Puskesmas
4 tatalaksana
pneumonia
balita/MTB
S
Tata cara yang
dilakukan petugas
dalam mengurus atau
menangani penderita
pneumonia balita di
Puskesmas
- Pedoman
wawancara
- Wawancara
mendalam
Informasi
mengenai
kesesuaian
pedoman
tatalaksana
pneumonia
dengan kegiatan
tatalaksana
pneumonia
balita yang
- - Kepala
Puskesmas
- Penanggung
jawab
program P2
ISPA di
Puskesmas.
- Petugas MTBS
68
No Istilah Definisi Alat Ukur Cara
Pengambilan
Data
Hasil Ukur Skala Ukur Sumber
dilakukan oleh
petugas
kesehatan.
5 Pencacatan
dan
pelaporan
Kegiatan pencacatan
dan pelaporan kasus
pneumonia dengan
mengikuti pola
pencatatan kegiatan
yang sudah ada dan
alur pelaporan sesuai
dengan jalur yang ada
di tingkat Puskesmas
sampai Dinkes.
- Pedoman
wawancara
- daftar
observasi
- Wawancara
mendalam
- observasi
Informasi
mengenai
kesesuaian alur
pencatatan dan
pelaporan
dengan pola
pencatatan yang
telah ditentukan.
- - Kepala
Puskesmas
- Penanggung
jawab program
P2 ISPA
6. Faktor Tenaga Kesehatan
A Jenis
Kelamin
penanggung
jawab P2
ISPA dan
petugas
MTBS
(Manajemen
Terpadu
Balita Sakit)
Kondisi informan
secara biologis sejak
lahir
- pedoman
wawancara
- Wawancara 0. Laki-laki
1. Perempu
an
- Nominal - Kepala
Puskesmas
- Penanggung
jawab
program P2
ISPA di
Puskesmas
- Petugas MTBS
69
No Istilah Definisi Alat Ukur Cara
Pengambilan
Data
Hasil Ukur Skala Ukur Sumber
B Pendidikan
petugas
pelaksana
Pendidikan formal
terakhir yang pernah
ditempuh oleh
petugas pelaksana.
- pedoman
wawancara
- Wawancara 0. D3
1. S1
2. S2
(Ibantika,
2001.
Sinora,
2005)
- Ordinal - Kepala
Puskesmas
- Penanggung
jawab
program P2
ISPA di
Puskesmas
- Petugas MTBS
C Pelatihan
petugas
penanggung
jawab P2
ISPA dan
petugas
MTBS
(Manajemen
Terpadu
Balita Sakit)
Tenaga kesehatan
yang pernah
mengikuti Pelatihan
program P2 ISPA
tentang tatalaksana
penderita ISPA atau
pelatihan MTBS yang
diselenggarakan oleh
Dinas Kesehatan
Kota.
- Pedoman
wawancara
- Wawancara
mendalam
Informasi
mengenai
pelatihan
petugas
Puskesmas
terkait
pneumonia
balita.
- - Kepala
Puskesmas
- Penanggung
jawab
program P2
ISPA di
Puskesmas
- Petugas MTBS
D Lama Kerja Berapa lama petugas
P2 ISPA
bertanggung jawab
terhadap program
tersebut sampai
dengan waktu di
- Pedoman
wawancara
- Wawancara
mendalam
Informasi
mengenai lama
kerja petugas
Puskesmas
- - Kepala
Puskesmas
- Penanggung
jawab program
P2 ISPA
70
No Istilah Definisi Alat Ukur Cara
Pengambilan
Data
Hasil Ukur Skala Ukur Sumber
wawancara
E Pengetahua
n petugas
Pengetahuan tentang
klasifikasi
pneumonia, gejala
dan tanda-tanda
penderita pneumonia
serta tatalaksana
penderita ISPA .
- Kuesioner - Wawancara
(dengan cara
mengajukan
pertanyaan-
pertanyaanke
mudian di
skor, jika
benar =1 dan
salah =0)
0. Pengetahua
n buruk
Bila skor <
80
1. Pengetahua
n baik bila
skor ≥ 80
- Ordinal - Kepala
Puskesmas
- Penanggung
jawab program
P2 ISPA
- petugas MTBS
(Manajemen
Terpadu Balita
Sakit)
7 Motivasi
Petugas
Dorongan kerja yang
timbul pada diri
tenaga pelaksana
tekhnis program P2
ISPA untuk
berperilaku dalam
pencapaian hasil kerja
yang baik.
- Kuesioner - Wawancara 0. Motivasi
buruk : bila
skor < dari
40
1. Motivasi
baik: bila
skor 40-50.
(Dharoh,
dkk, 2013)
- Ordinal - Kepala
Puskesmas
- Penanggung
jawab program
P2 ISPA
- petugas MTBS
(Manajemen
Terpadu Balita
Sakit)
8 Kepemimpi
nan Kepala
Puskesmas
Kemampuan kepala
Puskesmas dalam
memimpin dan
memberikan
- Kuesioner - Wawancara 0. Kurang, bila
skor < 80
1. Cukup,bila
skor ≥ 80
- Ordinal - Kepala
Puskesmas
- Penanggung
jawab program
P2 ISPA
71
No Istilah Definisi Alat Ukur Cara
Pengambilan
Data
Hasil Ukur Skala Ukur Sumber
dukungan terhadap
pelaksana program P2
ISPA dalam
tatalaksana penderita
pneumonia.
(Nurcik,
2002)
- petugas MTBS
(Manajemen
Terpadu Balita
Sakit)
9. Ketersediaan sarana dan prasarana
A Media
ceatak/ buku
cetakan
Ketersediaan buku
pedoman P2 ISPA,
stempel ISPA, Buku
pencatatan dan
pelaporan, pedoman
MTBS, Pedoman
autopsi verbal.
- Pedoman
wawancara
- daftar
observasi
- Wawancara
mendalam
- observasi
Informasi
mengenai
kesesuaian
antara sarana
dan prasarana
penunjang
program
pneumonia yang
sudah
ditentukan
Kemenkes
dengan
ketersedian
sarana tersebut
di Puskesmas
- - Kepala
Puskesmas
- Penanggung
jawab program
P2 ISPA
B Media
Penyuluhan
Tersedianya media
penyuluhan untuk
kegiatan promosi
kesehatan kepada ibu
balita.
- Pedoman
wawancara
- daftar
observasi
- Wawancara
mendalam
- Observasi
- - Kepala
Puskesmas
- Penanggung
jawab program
P2 ISPA
72
No Istilah Definisi Alat Ukur Cara
Pengambilan
Data
Hasil Ukur Skala Ukur Sumber
10 Evaluasi Kegiatan evaluasi
yang diadakan
Puskesmas setiap
sebulan sekali atau
rapat bulanan untuk
membahas program
upaya kesehatan.
- Pedoman
wawancara
- Wawancara
mendalam
Informasi
mengenai
kegiatan
evaluasi yang
dilakukan di
Puskesmas
- - Kepala
Puskesmas
- Penanggung
jawab program
P2 ISPA di
Puskesmas
73
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
epidemiologi deskriptif pendekatan kualitatif dan kuantitaif dengan desain
studi kasus. Studi kasus merupakan penelitian yang berusaha menemukan
makna, menyelidiki proses dan memperoleh pengertian yang mendalam
tentang individu, satu kelompok, satu organisasi, satu program kegiatan,
dan situasi dalam waktu tertentu. Tujuannya untuk memperoleh deskripsi
yang utuh dan mendalam dari sebuah entitas (Moleong, 2009; Emzir,
2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang
mempengaruhi penemuan penderita pneumonia balita di Puskesmas Kota
Tangerang Selatan tahun 2015. Dengan memilih 2 Puskesmas yang
berhasil mencapai target nasional penemuan kasus pneumonia balita dan 2
puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional penemuan kasus
tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengeneralisasi penyebab masalah
penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di puskesmas yang ada di wilayah dinas
kesehatan Kota Tangerang Selatan, dengan spesifikasi puskesmas yang
berhasil mencapai target nasional yaitu puskesmas yang mencapai target
penemuan kasus pneumonia balita yang sudah ditetapkan Kemenkes pada
tahun 2014, dan puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional
74
74
yaitu puskesmas yang tidak mencapai target penemuan kasus pneumonia
balita yang sudah ditetapkan Kemenkes pada tahun 2014. Adapun nama
Puskesmas yang diteliti dalam penelitian ini adalah Puskesmas Pisangan,
Puskesmas Kranggan (Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target
nasional) dan Puskesmas Serpong 1, Puskesmas Bakti Jaya (Puskesmas
yang berhasil mencapai target nasional). Penelitian ini dilakukan selama
kurang lebih 2 bulan dimulai sejak bulan Juni hingga Juli 2015.
Tabel 4.1
Daftar Tempat Penelitian
No. Puskemas
Jenis
Puskesmas
Perkiraan Penderita
Pneumonia Balita
Tahun 2014 *(10%
dari jumlah balita
di Puskesmas dalam
satu tahun)
Penemuan Kasus
Pneumonia Balita
Tahun 2014
1 Pisangan
Kelurahan
687 1
2 Kranggan 1
3 Bakti
Jaya 259 291
4 Serpong
1 310 545
(Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014)
C. Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini adalah Kepala puskesmas. Pemilihan
informan ini disesuaikan dengan prinsip penelitian kualitatif yaitu
kesesuaian (Appropriateness) dan kecukupan (Adequacy) Kesesuain dalam
penelitian ini ialah informan dipilih berdasarkan pengetahuan yang
dimiliki informan yang berkaitan dengan topik penelitian. Prinsip
kecukupan adalah informasi yang didapatkan harus bervariasi dan
75
75
memenuhi kriteria atau kategori yang berkaitan dengan penelitian
(Sugiyono, 2009). Pada penelitian ini ada beberapa kategori informan
penelitian yang harus terpenuhi agar informasi didapatkan bervariasi yaitu:
1. Informan Utama
Informan utama adalah mereka yang terlibat secara
langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, dalam penelitian ini
informan utama yang diplih untuk wawancara mendalam adalah
kepala Puskesmas yang bersedia menyepakati informed consent.
2. Informan Pendukung
Informan pendukung dalam penelitian ini adalah staf
penanggung jawab program P2 ISPA di Puskesma dan petugas
kesehatan yang melakukan tatalaksana pneumonia balita atau
petugas MTBS Puskesmas. Hal ini dapat memberikan telaah secara
mendalam mengenai pelaksanaan penemuan pneumonia balita di
Puskesmas.
3. Informan Ahli
Informan ahli yaitu para ahli yang sangat memahami dan
dapat memberikan penjelasan berbagai hal yang berkaitan dengan
penelitian dan tidak dibatasi dengan wilayah tempat tinggal,
misalnya: akdemisi, budayawan, tokoh masyarakat dan lain-lain
(Sugiyono, 2013). Informan ahli dalam penelitian ini adalah
informan yang mengerti mengenai program penemuan kasus
76
76
pneumoni balita, yang tidak ada keterkaitan dengan tempat
penelitian.
Tabel 4.2
Informan Penelitian
No. Kategori
Informan
Jabatan Jumlah
Informan
Puskesmas/Instansi
1. Informan Utama
Kepala
Puskesmas
4
- Puskesmas
Pisangan
- Puskesmas
Kranggan
- Puskesmas
Bakti Jaya
- Puskesmas
Serpong 1
2. Informan
Pendukung
Penanggung
jawab P2 ISPA
di puskesmas
4
Petugas MTBS 1
3. Informan Ahli Purna Bakti
P2PL Kemenkes 1
P2PL Kemenkes
D. Instrumen Penelitian
1. Kualitatif
Pada penelitian kualitatif, peneliti memiliki kedudukan
khusus, yaitu sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data,
analisis, penafsir data, serta hasil penelitiannya (Moleong, 2010).
Kedudkan peneliti tersebut menjadikan peneliti sebagai key
instrument atau instrumen kunci yang mengumpulkan data
berdasarkan kriteria-kriteria yang dipahami (Sugiyono, 2009).
Instrumen penelitian dalam penelitian ini menggunakan
pedoman wawancara yang tergolong dalam bagian wawancara
mendalam untuk mewawancarai informan terkait masalah
penemuan kasus pneumonia balita. Instrumen penelitian lainnya
77
77
dalam pengumpulan data adalah pedoman wawancara, observasi
dan daftar dokumen. Selain itu, peneliti juga menggunakan alat
bantu berupa alat tulis, kamera, dan perekam suara agar dapat
memperkuat akurasi data.
2. Kuantitatif
Penemuan pneumonia balita di puskesmas diperoleh dari
data sekunder, tujuannya untuk mengklarifikasi data rekap ISPA
yang diperoleh dari dinas kesehatan. Instrumen penelitian ini
berupa kuesioner mengenai pengetahuan, motivasi petugas dan
petugas MTBS dan kepemimpinan kepala Puskesmas.
E. Data dan Sumber Data
1. Data Primer
Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan
menggunakan instrumen berupa kuesioner dan pedoman
wawancara mengenai faktor yang mempengaruhi penemuan
penderita pneumonia balita, setelah itu dilakukan juga observasi
untuk domain sarana dan prasarana pendukung penemuan
penderita pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan
tahun 2015.
2. Data Sekunder
Data Sekunder didapat dari laporan program P2 ISPA di
Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014. Data Sekunder
78
78
ditelaah untuk mengetahui Puskesmas di Kota Tangerang Selatan
yang mempunyai penemuan kasus pneumonia balita yang rendah
dan tinggi, pada tahun 2014. Data sekunder selanjutnya yaitu profil
Puskesmas dan laporan tahunan kinerja Puskesmas terkait
pelaksanaan penemuan pneumonia balita.
Tabel 4.3
Pengumpulan Data Penelitian
No
. Data
Sumber Data
Instrumen Primer Sekunder
Wawancara Observa
si
Telaah
Dokumen
1. Penemuan pneumonia balita
√ - √
Pedoman
Wawancara dan
Daftar Dokumen
2
- Perencanaan kegiatan
penemuan pneumonia balita
- Kegiatan penemuan
pneumonia balita
- Tatalaksana pneumonia balita
- Pencatatan dan pelaporan
√ - √
Pedoman
Wawancara dan
Daftar Dokumen
√ - -
√ - -
Faktor petugas Kesehatan
3 - Jenis kelamin petugas
- Pelatihan petugas
- Pendidikan Petugas
- Lama memegang program P2
ISPA
- Pengetahuan petugas
√ - -
Pedoman
Wawancara dan
Kuesioner
4 - Motivasi petugas √ - -
Kuesioner 5 - Kepemimpinan kepala
Puskesmas √ - -
ketersedian sarana kesehatan
6 - Media penyuluhan
- Media cetak/buku cetakan
√ √ -
Pedoman
Wawancara dan
Lembar Observasi
7
- kegiatan evaluasi
√ - - Pedoman
Wawancara
79
79
F. Pengumpulan data Penelitian
1. Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada tahap penelitian kualitatif
dan kuantitaif menggunakan teknik wawancara, wawancara
mendalam, observasi dan telaah dokumen.
a. Wawancara da Wawancara Mendalam
Dalam penelitian ini ada beberapa faktor yang diteliti
dengan menggunakan kuesioner seperti pengetahuan petugas,
motivasi petugas dan kepemimpinan kepala Puskesmas.
Wawancara mendalam dilakukan dengan penggalian secara
mendalam terhadap satu topik dengan pertanyaan terbuka
menurut perspektif informan. Peneliti melakukan pengumpulan
data dengan menggunakan alat bantu berupa pertanyaan-
pertanyaan tertulis dengan pedoman untuk wawancara
mendalam, buku catatan dan perekam suara untuk merekam
wawancara.
Selain menggunakan alat perekam, selama wawancara.
Peneliti juga membuat catatan yang bertujuan untuk
menuliskan keadaan atau situasi saat berlangsungnya
wawancara dan semua respon yang diperlihatkan oleh
partisipan berupa respon non verbal. Hal ini dimaksudkan
untuk membantu peneliti agar dapat merencanakan pertanyaan
80
80
baru berikutnya serta membantu untuk mencari pokok-pokok
penting dalam wawancara, sehingga hal ini dapat
mempermudah analisis.
Peneliti memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
pada informan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan,
peneliti juga berusaha mendorong partisipan agar
mengungkapkan berbagai hal ditanyakan berkenaan dengan
persepsi informan tentang cakupan penemuan pneumonia
balita di Puskesmas. Prosuder ini berlaku pada semua
informan. Melalui wawancara ini diharapkan terdapat
informasi dan ide dari informan yang dapat digunakan peneliti
untuk membangun makna dalam setiap topik (Moleong, 2010).
b. Observasi
Observasi dilakukan sebagai bahan konfirmasi terhadap
setiap pertanyaan informan dalam melaksanakan upaya
penemuan pneumonia balita di Puskesmas. Adapun daftar
observasi adalah media cetak/buku cetakan dan media
penyuluhan guna mendukung berjalanya upaya penemuan
pneumonia balita.
c. Telaah Dokumen
Dokumen yang diamati dalam penelitian ini adalah
dokumen resmi. Seperti profil Puskesmas dan laporan tahunan
81
81
kinerja Puskesmas. Dokumen ini dapat memberikan petunjuk
mengenai cakupan penemuan pneumonia balita di Puskesmas.
2. Tahap Pengumpulan Data
Sebelum penelitian dilakukan, peneliti mengurus perizinan
pengumpulan data di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan.
Surat izin diserahkan kepada kepala Dinas Kesehatan dan
kemudian di diteruskan kepada kepala seksi program P2 ISPA
untuk mendapatkan data penemuan penderita pneumonia balita,
kemudian dipilih 2 Puskesmas yang mempunyai penemuan
pneumonia balita terendah dan 2 Puskesmas yang mempunyai
penemuan pneumonia balita tertinggi.
Selanjutnya surat tersebut ditindak lanjuti untuk perizinan
kegiatan penelitian faktor yang mempengaruhi penemuan penderita
pneumonia balita di Puskesmas. Setelah izin diberikan peneliti
melakukan wawancara dan wawancara mendalam dengan informan
yang telah ditentukan yaitu kepala Puskesmas. Setelah itu peneliti
melakukan triangulasi sumber dengan mewawancarai infroman
pendukung yaitu; penanggung jawab P2 ISPA dan petugas
tatalaksana pneumonia balita atau petugas MTBS di Puskesmas.
Selanjutnya hasil wawancara dan observasi dianalisis dan disajikan
dalam bentuk narasi.
82
82
G. Triangulasi Data
Triangulasi data yang dilakukan peneliti adalah dengan cara
menilai validitas penelitian, maka dilakukan triangulasi diantaranya:
1. Sumber
Dilakukan dengan cara cross check data dengan fakta dari
sumber lainnya yang terkait untuk menggali topik yang sama.
Seperti melakukan wawancara mendalam kepada penanggung
jawab P2 ISPA dan petugas tatalaksana pneumonia balita atau
petugas MTBS di Puskesmas.
2. Metode
Dilakukan dengan menggunakan beberapa metode dalam
melakukan pengumpulan data diantaranya wawancara mendalam,
observasi dan telaah data sekunder berupa dokumen-dokumen
terkait penemuan penderita pneumonia balita.
83
Tabel 4.3
Triangulasi Data Penelitian
No Informasi
Teknik Pengumpulan Data Triangulasi
Wawancar
a
Mendalam
Telaah
Dokume
n
Obs
erva
si
Kepala
Puskesmas
Penanggung
Jawab P2 ISPA
di Puskesmas
Petugas
MTBS di
Puskesmas
1 Penemuan pneumonia balita √ √ - √ √ -
2 Perencanaan kegiatan
penemuan kasus pneumonia
balita
√ √ - √ √ -
2 Kegiatan penemuan
pneumonia balita √ - - √ √ -
3 Tatalaksana pneumonia
balita √ - -
√
√
√
4 Pencatatan dan Pelaporan √ - √ √ √ -
5 Faktor petugas kesehatan
- Jenis kelamin
petugas √ - - √ √
√
- Pelatihan petugas √ - - √ √
√
- Pendidikan Petugas √ - - √
√
√
- Lama Kerja √ - - √
√
√
84
No Informasi
Teknik Pengumpulan Data Triangulasi
Wawancar
a
Mendalam
Telaah
Dokume
n
Obs
erva
si
Kepala
Puskesmas
Penanggung
Jawab P2 ISPA
di Puskesmas
Petugas
MTBS di
Puskesmas
8
Ketersediaan saran dan prasarana
- Media cetak/buku
cetakan √ - √
√ √
-
- Media penyuluhan √ - √
√ √
-
9 Evaluasi √ - -
√
√
-
85
85
H. Pengolahan dan Analisis Data
1. Data Kualitatif
Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini
sebagai berikut:
a. Mengumpulkan semua data yang diperoleh dari seluruh
informan melalui wawancara mendalam, observasi dan telaah
dokumen.
b. Hasil wawancara mendalam dicatat kembali, berdasarkan
rekaman yang diperoleh pada saat wawancara mendalam dalam
bentuk tulisan (transkip).
c. selanjutnya dilakukan analisis data dan interpertasi data secara
kualitatif dan membandingkannya dengan teori yang ada.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan
analisis isi (content analysis). Menurut Holsti (1969) dalam
Moleong (2009), analisis isi merupakan suatu teknik penelitian
untuk menarik kesimpulan dengan mengidentifikasi karakteristik-
karakteristik khusus suatu pesan objektif dan sistematik.
Sesuai dengan penjelasan teknik analisis data kualitatif
yaitu analisis isi, semua data yang sudah diperoleh selanjutnya
dinarasikan dan disusun kedalam transkrip untuk kemudian dibuat
matriksnya. Data yang telah disusun kemudian diidentifikasi faktor
mana yang menjadi penyebab masalah dalam penemuan penderita
pneumonia balita. Seluruh data yang diperoleh disajikan dalam
86
86
bentuk narasi, dilengkapi dengan matriks. Hasil penelitian
tersebut kemudian dibandingkan dengan teori dari hasil
kepustakaan untuk menjelaskan dan melihat apakah terdapat
perbedaan hasil penelitian dengan teori.
2. Data Kuantitatif
Pengolahan data dalam data kuantitatif yaitu dengan
memberi kode, memeriksa kuesioner, memberi kode ulang, skoring
dan mengolah data. Adapun analisis data yang digunakan pada
pendekatan kuantitatif secara univariat dengan menggunakan hasil
skor dari variabel pengetahuan, pendidikan, motivasi dan
kepemimpinan kepala Puskesmas.
87
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Informan
Informan pada penelitian ini terdiri dari informan utama yaitu
kepala Puskesmas dan informan pendukung yaitu penanggung jawab P2
ISPA dan petugas MTBS di Puskesmas Kota Tangerang Selatan. Dalam
penelitian ini peneliti memilih 4 Puskesmas yang diteliti dengan
membandingkan 2 Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dan
2 Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional pada tahun
2014. Adapun Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional adalah
Puskesmas Baktijaya dan Puskesmas Serpong 1, sedangkan Puskesmas
yang tidak berhasil mencapai target nasional yaitu Puskesmas Pisangan
dan Puskesmas Kranggan. Selain itu peneliti juga mewawancarai informan
ahli untuk memberikan penjelasan mengenai permasalahan dalam
penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang selatan.
Berikut data informan pada penelitian ini yang disajikan dalam
bentuk tabel:
88
Tabel 5.1 Karakteristik Informan
Kode
Informan
Jenis
Kelamin
Usia
(tahun)
Lama
Bekerja
Pendidikan
Terakhir Jabatan/Pekerjaan
Infroman 1 Laki-laki 51
5 bulan SI Ked.
Gigi
Kepala PKM Bakti
jaya
Infroman 2 Perempuan 56
5 bulan SI Ked.
Gigi
Kepala PKM
Serpong 1
Infroman 3 Laki-laki 52
4 tahun SI Ked.
Gigi
Kepala PKM
Pisangan
Infroman 4 Perempuan 43
5 bulan SKM Kepala PKM
Kranggan
Infroman 5 Perempuan
40
4 tahun D3
Kebidanan
Penanggung jawab
P2 ISPA dan
Petugas MTBS
Bakti Jaya
Infroman 6 Perempuan
54
28 tahun D3
Kebidanan
Penanggung jawab
P2 ISPA dan
Petugas MTBS
Serpong 1
Infroman 7 Perempuan 28
1 tahun D3
Kebidanan
Penanggung jawab
P2 ISPA Pisangan
Infroman 8 Perempuan 24
1 tahun D3
Kebidanan
Penanggung jawab
P2 ISPA Kranggan
Infroman 9 Perempuan 39
5 bulan S1
Kedokteran
Petugas MTBS
PKM Pisangan
Infroman10 Perempuan 26
2 tahun D3
Kebidanan
Petugas MTBS
PKM Kranggan
Infroman 11 Laki-laki
61
S2
Epidemiolog
i
Informan
Ahli/Purna Bakti
P2PL Kemenkes Sumber: Form Identitas Informan, 2015
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom yang terbentuk
pada akhir tahun 2008 berdasarkan Undang-undang Nomor 51 tahun 2008,
tentang pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten
tertanggal 26 November 2008. Pembentukan daerah otonom baru tersebut
yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Hal ini
89
dilakukan dengan tujuan salah satunya untuk meningkatkan pelayananan
dalam bidang kesehatan.
Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten
yaitu pada titik koordinat 106'38' - 106'47’ Bujur Timur dan 06'13'30' -
06'22'30' Lintang Selatan dan secara administratif terdiri dari 7 (tujuh)
kecamatan, 49 (empat puluh sembilan) kelurahan dan 5 (lima) desa dengan
luas wilayah 147,19 Km2 atau 14.719 Ha. Batas wilayah Kota Tangerang
Selatan adalah sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota
Tangerang
b. Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Depok
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor & Kota Depok
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang
(Tangerangselatan.go.id, 2014)
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan memiliki 25 Puskesmas
terdiri dari 18 Puskesmas perawatan dan 7 Puskesmas non perawatan, 25
Puskesmas tersebut yaitu Puskesmas Pamulang, Benda Baru, Pondok
Benda, Serpong 2, Bakti Jaya, Rawa Buntu, Paku Alama, Pondok Kacang
Timur, Pondok Pucung, Pondok Ranji, Pondok Betung, Rengas, Pisangan,
Pondok Jagung, Jurang Mangu, Serpong 1, Serpong 2, Situ Gintung,
Kranggan, Setu, Ciputat Timur, Ciputat, Kampung Sawah, Pondok Aren,
Jombang dan Parigi (Dinas Kota Tangerang Selatan, 2013).
90
C. Gambaran Umum Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas
Kota Tangerang Selatan
Penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas dapat dilihat dari
cakupan penemuan kasusnya. Dalam pelaksanaan program P2 ISPA ada
beberapa indikator yang dapat digunakan untuk memantau dan menilai
pelaksanaan program. Salah satu indikator utama yang digunakan yaitu
cakupan penemuan kasus pneumonia. Dalam penelitain ini yang dimaksud
cakupan penemuan pneumonia adalah jumlah kasus yang berhasil
ditemukan dan dilakukan tindakan tatalaksana penderita. Angka cakupan
penemuan kasus pneumonia didapatkan dari hasil pembagian antara
jumlah kasus pneumonia yang ditemukan disuatu wilayah kerja Puskesmas
selama tahun 2014 dengan jumlah estimasi kasus pneumonia balita di
Wilaya kerja Puskesmas tersebut. Adapun cakupan nasional yang
ditetapkan Kemenkes pada tahun 2014 sebesar 100%. Berikut ini adalah
grafik mengenai cakupan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas
Kota Tangerang Selatan selama tahun 2012-2014.
91
Grafik 5.1
Penemuan Kasus Pneumonia di Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan Tahun 2012-2014
Sumber: Dinkes Kota Tangerang Selatan (2012,2013,2014)
Berdasarkan grafiks tersebut dapat diketahui bahwa penemuan
kasus pneumonia selama tahun 2012-2014 belum dapat mencapai target
yang ditetapkan Kemenkes. Pada tahun 2012 penemuan pneumonia balita
di Tangsel masih terbilang rendah yaitu 14,75% sedangkan target
penemuan secara nasional sebesar 80%. Pada tahun 2013 mengalami
peningkatan, akan tetapi masih jauh dari target yang ditetapkan Kemenkes
yaitu sebesar 90% dan pada tahun 2014 menjadi 100%. Rendahnya angka
penemuan kasus pneumonia balita di Kota Tangerang Selatan, disebabkan
karena pencatatan dan pelaporan kasus di Puskesmas. Berikut ini adalah
tabel mengenai cakupan penemuan kasus pneumonia di Puskesmas Kota
Tangerang Selatan tahun 2014.
14.75%
44% 42.40%
80%
90%
100%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
2012 2013 2014
Pre
sen
tase
Tahun
Pencapaian di Tangsel
Target Nasional
92
Tabel 5.2
Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Bulan Januari-Desember 2014
No. Puskesmas Perkiraan
Penderita
Jumlah
Penderita
Pneumonia
Cakupan
penemuan
pneumonia
balita (%)
1 Pamulang 1.614 1.197 74,1 2 Pondok Benda 396 268 67,6 3 Benda Baru 1.122 174 15,5 4 Ciputat 587 61 10,4 5 Situ Gintung 328 102 31 6 Jombang 522 203 38,8 7 Kampung Sawah 665 43 6,4 8 Ciputat Timur 688 71 10,3 9 Pondok Ranji 317 100 31,5 10 Pisangan 687 1 0,14 11 Rengas 263 248 94,2 12 Pondok Jagung 613 90 14,6 13 Paku Alam 771 564 73 14 Pondok Aren 434 957 220 15 Pondok Pucung 299 127 42,4 16 Pondok Betung 817 165 20,2 17 Jurang Mangu 890 172 19,3 18 Parigi 286 29 10,1 19 Pndk. Kacang
Timur 591 409
69,2
20 Serpong I 310 545 175,8 21 Serpong II 387 63 16,3 22 Rawa Buntu 805 16 2 23 Setu 217 86 39,6 24 Kranggan 249 1 0,4 25 Bakti Jaya 259 291 112
Dinkes Tangsel 14118 5983 42,2
Sumber: Laporan P2 ISPA Dinkes Tangerang Selatan, 2014
Berdasarkan tabel 5.2, dapat diketahui bahwa cakupan penemuan
kasus pneumonia di Puskesmas Kota Tangerang Selatan sebesar 42,2%,
hal ini menunjukkan bahwa cakupan penemuan kasus pneumonia masih
rendah. Angka tersebut masih jauh dari cakupan penemuan kasus
pneumonia balita yang ditetapkan Kemenkes yaitu 100%, dari 25
93
Puskesmas yang ada di Kota Tangerang Selatan hanya 3 Puskesmas
yang sudah mencapai target yaitu Puskesmas Pondok Aren, Puskesmas
Serpong 1, dan Puskesmas Bakti Jaya. Sedangkan Puskesmas dengan
cakupan penemuan kasus pneumonia < 1% yaitu Puskesmas Kranggan
dan Puskesmas Pisangan, dengan penemuan kasus dalam satu tahun
hanya ditemukan 1 penderita pneumonia balita di Puskesmas tersebut.
Dalam penelitian ini, Puskesmas diklasifikasikan menjadi dua
kelompok yaitu kelompok Puskesmas yang berhasil mencapai target
nasional dan kelompok Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target
nasional. Adapun kelompok Puskesmas yang berhasil mencapai target
nasional dalam penelitian ini yaitu Puskesmas Bakti Jaya dan Serpong 1.
Sedangkan Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional yaitu
Puskesmas Pisangan dan Puskesmas Kranggan.
D. Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita di
Puskesmas
Penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu faktor yang menunjukkan antara Puskesmas yang
berhasil mencapai target nasional dan tidak berhasil mencapai target
nasional dalam penemuan kasus pneumonia balita, faktor tersebut meliputi
pembuatan perencanaan program, kegiatan program penemuan kasus
pneumonia, pelatihan petugas, pengetahuan petugas, lama memegang
program P2 ISPA, motivasi petugas, kepemimpinan kepala Puskesmas,
ketersediaan sarana kesehatan (media cetak/buku cetakan terkait program
P2 ISPA, bagan tatalaksana peneumonia/MTBS). Berikut ini adalah uraian
94
hasil penelitian analisis faktor yang mempengaruhi penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan.
1. Perencanaan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita
Kegiatan penemuan kasus pneumonia balita yang dilaksanakan di
puskesmas dimulai dengan perencanaan program terlebih dahulu, agar
kegiatan yang dilakukan terarah dan sesuai pencapaian program yang
diinginkan. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui informasi
mengenai perencanaan program di Puskesmas, maka peneliti
melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam,
observasi dan telaah dokumen. Adapun pertanyaan yang ditanyakan
meliputi, ada tidaknya perencanaan program, kapan perencanaan
program dibuat dan siapa saja yang terlibat dalam perencanaan
program tersebut.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan pada saat
penelitian diketahui bahwa, semua Puskesmas membuat perencanaan
program penemuan kasus pneumonia balita, tetapi Puskesmas tersebut
tidak mempunyai bukti telah melakukan perencanaan program
tersebut. Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional pada
umumnya membuat perencanaan program tahun 2014 pada akhir tahun
2013. Hal tersebut dibenarkan oleh informan 5 dan 6, adapun hasil
wawancaranya adalah sebagai berikut.
95
Informan 1
“dilakukan dong. awal januari, januari, februari lah”
“kan kemarin saya juga baru, dari sini kan februari pertengahan.
Sebelumnya tuh januari, februari, maret, Cuma itu harus ada profil
Puskesmasnya baru dibuat perencanaan”
Informan 2
“ya rata-rata sih hampir sama dengan di Puskesmas lain,
misalnya pendataan kemudian temuan-temuan di Posyandu
pertemuan di dalam gedung,tapi apa yang dilakukan disini saya
enggak tahu persis terutama tahun 2014, karena ibu baru masuk
Februari 12-13”
Informan 5
“POA itu”
“ POA itu dibuat sebelum akhir tahun, Desember-november lah”
Informan 6
“iya ada, bulan Desember biasnya diakhir tahun”
“ iya buatnya dibantu sama dokter yang mimpinnya, kerja sama
kesling, iya”
Rencana program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas
yang berhasil mencapai target nasional, dibuat oleh penanggung jawab
program tersebut. Dalam perencanaannya penanggung jawab program
bekerjasama dengan petugas kesehatan lingkungan (kesling), promosi
kesehatan (promkes), petugas MTBS dan dokter umum di Puskesmas.
Berikut ini adalah hasil wawancara dengan kepala Puskesmas dan
penanggung jawab P2 ISPA, untuk mendukung informasi tersebut.
Informan 1
“yang buat perencanaan penanggung jawab P2 ISPA”
Informan 2
“Semuanya terlibat, terutama yang megang program mbak”
96
Informan 5
“oh iya kita namanya masing-masing program itu pasti bekerja
sama dengan promkes, kalau berhubungan dengan pneumonia bisa
promkes bisa kesling, MTBS bisa juga dengan apa namanya
binwil-binwil”
Informan 6
“ iya buatnya dibantu sama dokter yang mimpinnya, kerja sama
kesling, iya”
Perencanaan program penemuan kasus pneumonia balita, juga
dibuat di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional.
Menurut informasi yang diperoleh dari informan 7 dan 8, selaku
penanggung jawab P2 ISPA, diketahui bahwa pembuatan perencanaan
di Puskesmas tahun 2014 dilakukan pada awal tahun 2014. Berikut ini
adalah pernyataan yang disampaikan oleh beberapa informan untuk
mendukung informasi tersebut.
Informan 3
“dibuat Dibuat, oh kita ada sistem laporan, semua program sama
dibuat, ada laporan mingguan bulanan tahunan di rangkum dalam
satu laporan”
“perencanaan setahun sebelumnya, em, awal bulan ya”
Informan 4
“disini pasti ada perencanaan. Tapi jujur disini saya baru 5 bulan,
kalau rencana program sih setiap bulan. kalau cakupan
pencapaian target MTBS sih saya targetkan minamal 1-5 MTBS”
Informan 7
“ada, biasanya bulan Desember atau Januari lah”
Informan 8
“Ada buat 1 tahun, pas awal tahun”
97
“bulan, paling bulan Januari-februari, yaa desember akhir lah,
Rencana program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas
yang tidak berhasil mencapai target nasional, tidak berbeda jauh
dengan Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional.
Perencanaan tersebut dibuat oleh penanggung jawab program P2
ISPA. Berdasarkan informasi dari informan 7 dan 8, diketahui bahwa
dalam perencanaannya penanggung jawab program bekerjasama
dengan petugas kesehatan lingkungan (kesling), dokter umum di
Puskesmas dan kader posyandu. Berikut ini adalah hasil wawancara
yang mendukung informasi tersebut.
Informan 3
“yang buat bidan Septi, penanggung jawab pneumonia untuk anak
ya”, “program itu misalnya ada kaitan dengan posyandu dengan
bina wilayah bidan-bidan, kalau lintas program em lintas sektoral
itu bisa dengan BP-BP swasta atau klinik-klinik untuk meminta
laporan”
Informan 4
“MTBS belum berjalan maksimal, dan petugasnya pun belum
pernah ikut pelatihan MTBS.tapi saya coba terapkan, kalau yang
buat perencanaan yang megang programnya, melibatkan
seluruhnya. Terutama dokter. Ya dokter, soalnya yang menentukan
diagnosa itu kan dokter. Tidak ada lagi bidan atau perawat yang
memeriksa”
Informan 7
“yang buat saya sendiri”
Informan 8
“yang buat perencanaannya saya sendiri, jadi kan kayak
perencanaan untuk satu tahun kedepan kan, kerjasama sama sama
kesling pasti sama kader sama dokter di Puskesmas itu aja”
98
Informasi yang diperoleh dari informan, mengenai perencanaan
program di Puskesmas, sesuai dengan pendapat informan ahli bahwa,
suatu organisasi dalam hal ini Puskesmas, harus membuat perencanaan
program jika akan melakukan kegiatan untuk mencapai target
program. Sebelum prencanaan program dibuat, hal pertama yang harus
dilakukan adalah membuat peta masalah kemudian mengidentifikasi
masalah tersebut di wilayah Puskesmas. Selain itu, Puskesmas juga
harus membuat rencana atau agenda dalam periode bulanan dah harian.
Informasi ini didukung dengan hasil wawancara berikut ini:
Informan 11
“em, jadi organisasi mau melaksanakan kegiatan suka atau tidak
dia harus menyusun rencana kerja untuk mencapai targetnya,
berarti di jelas punya target punya peta masalah yang menjadi apa
namanya upaya yang mau dicari sesuai dengan targetnya
kemudian dia mengidentifikasi masalahnya, Puskesmas itu punya
jeda lima tahun dan dia bedah dalam lima tahun agendanya mau
berapa, kemudian dia bedah lagi dalam peroide bulanan,
pengalaman kita di Puskesmas, kita harus punya rencana harian
lebih opreasional misalnya tempat itu ada sepuluh, sepuluh itu
kira-kira gimana mulai diharian”
Rencana program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas
Baktijaya, Serpong 1, Pisangan dan Kranggan, bekerjasama atau
melibatkan semua staf Puskesmas dalam penyusunan rencana tersebut.
Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh informan ahli,
bahwa dalam pembuatan perencanaan program harus melibatkan
semua staf Puskesmas terutama kepala Puskesmas. Berikut ini adalah
99
pernyataan yang disampaikan oleh informan ahli mengenai hal
tersebut.
Informan 11
“untuk pneumonia itu, mau tak mau harus ada kontribusi dari
semua staf, terutama kepala Puskesmas harus menggabungkan
pneumonia sendiri, imunisasi sama ibu dan anak, terutama
lingkungan, apa lagi dalam upaya penemuan program pneumonia
menginginkan penemuan pneumonia dan peran kader semakin
dekat kan gitu, apa lagi petugas”
Berdasarkan informasi-informasi tersebut dapat diketahui bahwa,
semua Puskesmas membuat perencanaan program penemuan kasus
pneumonia balita tahun 2014, akan tetapi waktu penyusunananya
berbeda-beda. Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional,
membuat perencanaan program tersebut pada akhir tahun 2013 dengan
melibatkan penanggung jawab program, petugas kesling, promkes dan
petugas MTBS serta dokter umum. Sedangkan Puskesmas yang tidak
berhasil mencapai target nasional, penyusunan rencananya dilakukan
pada awal tahun 2014, adapun petugas yang terlibat yaitu petugas
kesling, dokter umum dan kader posyandu. Hal ini sesuai dengan
pendapat informan ahli bahwa, perencanaan dalam suatu organisasi
harus dibuat untuk mencapai target program dengan melibatkan semua
staf Puskesmas.
2. Kegiatan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita
Kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita, di setiap
Puskesmas berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi wilayah
100
tersebut. Dalam kegiatan pengendalian pneumonia balita, kegiatan
penemuan kasus merupakan kegiatan inti dan dapat dilakukan di
Puskesmas (secara pasif) ataupun di Posyandu atau masyarakat (secara
aktif). Dalam penelitian informasi tersebut dapat diperoleh dengan
melakukan wawancara mendalam kepada kepala Puskesmas dengan
dikonfirmasi kembali melalui pernyataan penanggung jawab P2 ISPA,
baru kemudian dapat ditarik kesimpulan mengenai hal tersebut.
Menurut informasi yang didapat pada saat penelitian, diketahui
bahwa kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita di
Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dilakukan secara
aktif dan pasif. Penemuan secara aktif dilakukan dengan mencari
penderita pneumonia balita di Posyandu dan di masyarakat. Selain itu
dalam pelaksanaanya Puskesmas bekerja sama dengan kader dan
Binwil. Sedangkan penemuan secara pasif di lakukan dengan
menunggu pasien datang ke Puskesmas tersebut. Tidak hanya itu,
Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional juga melakukan
pelacakan jika ada kasus pneumonia atau kematian bayi akibat
pneumonia. Berikut ini adalah hasil wawancara kepala Puskesmas dan
penanngung jawab P2 ISPA yang mendukung informasi tersebut.
Informan 1
“ya paling ya kalau kegiatan pneumonia sama MTBS, pelaksanaan
pelayanan MTBS di sini,
“iya, di posyandu juga. Kan di posyandu juga terus yaudah jadi
gitu kalo pelaksanaan pelayanan MTBS di sini kan, iya aktif kalau
101
itu kan di posyandu ya diperiksa terus kalau misalnya pneumonia
udah disuruh kesini kalau enggak sibuk”
Informan 2
“Saya tidak tahu persis kalau disini, ya tapinya pasti pelaksanaan
penyuluhan di posyandu pemeriksaan balita, iya bagusnya ya aktif dan
pasif, tapi sepertinya pasif saja”
Informan 5
“kalau pneumonia itu programnya 1 pelacakan kalau ada kasus
pneumonia, atau kematian bayi akibat pneumonia pelacakannya
ya, mungkin dalam setahun itu bisa tergantung kasus, kalau saya
di perencanaanya kan ada targetnya itu 2 kali, dilihat dari
banyaknya kasus aja itu baru kunjungan bayi yang meninggal
dalam setahun karena kasus pneumonia baik bayi ataupun balita
itu kunjungannya tapi kalau misalnya planing buat bulanan nya
mungkin kita sambil posyandu bisa juga menanyakan ke kader
atau kita juga sama binwil bisa mencari bayi dengan napas cepat
kita bisa bilang pneumonia kan, setiap haripun bahkan setiap
bulan pun kita di balai pengobatan di Puskesmas itu di poli itu kan
tiap hari ada yang berobat di poli anak kan kalau misalnyan bayi
dengan napas cepat bisa kita ambil data dari situ , tapi kalau
untuk POA nya sendiri bersamaan dengan posyandu atau binwil
kita bisa kadang ada bayi atau balita dengan napas cepat itu
disebut juga dengan pneumonia”
Informan 6
“selama ini sih itu pasif, tapi dicari juga neng di posyandu”
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa informan,
diketahui bahwa kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita
di Puskemas yang tidak berhasil mencapai target nasional, hanya
melakukan penemuan kasus di Puskesmas dan di klinik-klinik swasta.
Sehingga dapat dikatakan penemuan kasus di Puskesmas tersebut
dilakukan secara pasif. Menurut pengakuan informan di Puskemas
102
tersebut tidak ditemukan kasus pneumonia balita hanya 1 balita yang
tercatatat menderita pneumonia balita di tahun 2014.
Informan 3
“ke klinik-klinik mencari sasaran bisa juga dengan kunjungan
rumah, tergantung kasus, kalau ada kasus ya pernah, pernah
terkadang kalau jemput bola kita ke klinik-klinik swasta”
Informan 4
“strateginya ya kita di posyandu, penyuluhan perorangan,
penyuluhan perkelompok ibu-ibu di posyandu. Pokonya setiap ada
anak yang batuk pilek, demam pokoknya jangan dianggap enteng.
Kita kan disini cakupan TB juga masih rendah ya, ada batuk lebih
dari 2 minggu ya itu harus segera periksa dahak. Penyuluhan
motivasi perorangna, di luar dan dalam gedung ya itu tetap
dilakukan.”
Informan 7
“kalau kita, kita ke klinik-klinik, wilayah kerja Pisangan itu kita
nyari pasien jadi kita bikin formnya sepuluh penyakit terbesar
salah satunya untuk pneumonia karena kalau untuk di Puskesmas
kita kurang dari target kita jadi kita ke klinik-klinik yang ada di
wilayah kerja pisangan kita nyari nanti kan disitu di dapatkan
jumlah penderita yang ditemukan tapi ini lebih ke anak-anak ya
kita kalau dewasa enggak, cuma sampai lima tahun”
Informan 8
“paling penyuluhannya aja, di Posyandu-posyandu, paling kita
nunggu pasien saja”
Kegiatan program penemuan kasus di Puskesmas yang berhasil
mencapai target nasional, sesuai dengan pendapat informan ahli
bahwa, kegiatan penemuan kasus pneumonia balita harus dilaksanakan
secara kombinasi yaitu aktif (pencaraian di masyarakat seperti di
Posyandu) dan pasif (menunggu pasien yang datang ke Puskesmas),
103
dengan membuka pelayanan sebanyak mungkin. Adapun informasi
tersebut dapat didukung dari hasil wawancara berikut:
Informan 11
“sebenarnya gini kita punya istilah aktif sama pasif, seharusnya
kan akyif sama pasif itu berjalan barengan upaya paling penting
adalah aktif menjadi tonggak penemuan kasus tapi makna dari
aktif tiba-tiba menjadi penting ketika apa penyebarluasan
informasi ketika orang sakit tertentu harus datang ke pelayanan
menjadikan yang pasif itu tiba-tiba jadi aktif mendorong orang
untuk datang ke pelayanan yang menjadi pasif ketika saya
mendektkan pelayanan saja ke masyarakat melalui Puskesmas
keliling, melalu pos kesehatan desa dan banyak pos kesehatan desa
di Puskesmas ini semakin banyak frekuensinya berarti semakin
dekat dengan masyarakat, kombinasi pun yang disebut aktif itu
bisa jadi membuka pelayanan sebanyak mungkin”
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Puskesmas yang
berhasil mencapai target nasional melakukan kegiatan penemuan kasus
secara aktif maupun pasif untuk mencapai target penemuan kasus
pneumonia balita, sedangkan Puskesmas yang tidak berhasil mencapai
target nasional hanya melakukan penemuan kasus secara pasif dan
mereka hanya melakukan penyuluhan saja di Posyandu. Selain itu,
informasi yang diperoleh dari penanggung jawab P2 ISPA di
Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dalam
penjelasannya lebih detail dari pada Puskesmas yang tidak berhasil
mencapai target nasional. Menurut informan ahli target tersebut dapat
dicapai dengan membuka pelayanan sebanyak mungkin atau dengan
melakukan kegiatan penemuan kasus di masyarakat (secara aktif) dan
di Puskesmas (secara pasif).
104
3. Tatalaksana Pneumonia Balita/ MTBS
Kegiatan yang terpenting dalam penemuan kasus pneumonia balita
adalah tatalaksana kasusnya atau saat ini lebih dikenal dengan MTBS.
Melalui MTBS tersebut dapat diketahui seorang balita menderita
pneumonia atau tidak. Oleh karena kegiatan tatalaksana
pneumonia/MTBS adalah ujung tombak dari penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas. Berikut ini adalah hasil penelitian,
mengenai tatalaksana pneumonia balita/MTBS yang dilakukan di
Puskesmas.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan, diketahui
bahwa semua Puskesmas melakukan kegiatan tatalaksana pneumonia
balita. Kegiatan tersebut di Puskesmas yang berhasil mencapai target
nasional dilakukan di MTBS dengan penatalaksananya adalah dokter
yang dibantu dengan perawat atau bidan. Akan tetapi, jika dokter
tersebut tidak ada maka penatalaksananya adalah perawat atau bidan
yang sudah mendapatkan pelatihan atau mengetahui tatalaksana
pneumonia balita. Selain itu tatalaksana pneumonia balita juga
dilakukan di Posyandu untuk mencapai cakupan penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas tersebut. Berikut ini adalah hasil
wawancara dengan beberapa informan yang mendukung informasi
tersebut.
Informan 1
105
“ya dokter sama bidan atau perawat yang membantunya, balita
sakit kan, iya biasanya kalau pemeriksaan petugas yang sudah
paham atau sudah dilatih sebentar kalau petugas belum dilatih kan
lama ya meriksanya, kalau dia enggak begitu lama meriksanya”
Informan 2
“MTBS itu saya mengerti MTBS itu seharusnya ada, saya ngerti
dan itu sangat patuh bagaimana kita lebih detail dalam temuan iya
kan”
“iya petugas di bagian anak, seharusnya dia berdekatan juga
dengan gizi makanya ruangan gizi saya taro berdekatan dengan
anak”
“kita kekurangan tenaga disini,saya rasa tidak selalu dokter tapi
kadang-kadang”
Informan 5
“kan didalam MTBS itu kan ada standarnya, ada bayi/balita yang
di MTBS itu kan semua kita tanyain dia sudah kategori bahaya
atau tidak. Terus ada optionnya juga mengenai anak ada batuk /
sukar bernapas atau tidak. Kalau memang sukar bernapas, kan
kita hitung napasnya ddalam satu menit ada berapa napasnya,
sudah berapa lama iya kan jadi kita bisa lihat disitu dia
sebenarnya sakit apa. Kita bisa liat apa batuk, apa diare, apa
demam, campak atau malaria, disitu ada tu optionnya di MTBS itu
apa gangguan telinga,imunisasi, kurang gizi cacing, apa
pneumonia kan ada semua. tapi Kalau pneumonia paling kita
disini optionnya apakah anak batuk atau sukar bernapas. Nah
jadikan nanti kita hitung napasnya. dari situ Ketauan dia
pneumoni atau tidak gitu”
“Dokter umum yang periksa, kalau memang dia kesulitan
bernapas misalnya baru pneumonia ringan saja biasanya di kasih
obat untuk meredakan batuk, bahkan kalau misalnya itu pun
antibiotik yang sesuai dengan gejalanya dia, iya terus lanjut lagi”
Informan 6
“ya dua-duanya kadang dokter atau bidan, seharusnya emang
dokter ya tapi enggak selalu ada dokter di Puskesmas kadang-
kadang kan ada dinas malam nya pagi-pagi libur, yang pasti
dijelaskan menurut prosedur gitu”
106
“kan pasien datang harus ditanya, datang suruh duduk lalau
ditimbang duduk ditanya kenapa kan pasti dia jawabkan sakit
batuk apa sesak atau panas dan batuk nah diperiksa dilihat kan,
dilihat apakah ada napas cepat kalau kita lihat memang ada napas
cepat otomatis harus dihitung napasnya iya kan, kita kan target
juga sehari minimal 3 ya menemukan penderita pneumonia,
minimal 3 kalau lagi banyak mah banyak, kalau sekarang
menurun, dulu banyak banget ada 4 , karna mereka datangnya
dari luar wilayah mungkin kalau dari penduduk serpongnya
sendiri dia banyaknya kan ke dokter karena udah pada apa
namanya, bukan SDM nya ya, mungkin golongannya udah
menengah ke atas ya jadi dia banyaknya ke dokter praktek yang
swasta gitu ya jadi penduduknya yang ada di serpong sendiri itu
enggak banyak yang berobat kesini padahal mungkin ada
pneumonia yang enggak bisa ditemukan yang enggak datang ya
itulah jadi kita dilihatnya di posyandu kita pasti kalau di posyandu
kan balita yang ditimbang pas ditanya kenapa anaknya enggak
datang atau kenapa enggak disuntik kan , anak demam sakit atau
apa pasti sama bidannya diperiksa, saya sebagai petugasnya
sering mensosialisasikan tentang penyakit ISPA untuk penjaringan
pneumonia kan, yang pneumonia itu seperti apa gejalanya tanda-
tandanya dan seperti apa gitu kalau misalnya yang bukan
pneumonia seperti apa gitu kan mereka, minimalnya kan sudah
tahu yang ke posyandu pasti dilihat, oh iniada napas cepat ini
pneumonia, nah itu yang apa kata neng tadi aktif ya”
Menurut informasi yang diperoleh dari beberapa informan yaitu
kepala Puskesmas, penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS.
Diketahui bahwa, Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target
nasional dalam penemuan kasus pneumonia, juga melakukan
tatalaksana pneumonia balita di Puskesmas dengan menggunakan
pedoman MTBS. Sedangkan untuk penatalaksananya adalah dokter
yang dibantu oleh perawat atau bidan. Akan tetapi, sebagaimana yang
telah dijelaskan di Puskesmas tersebut hanya ada satu kasus dalam
107
setahun. Adapun informasi tersebut didukung dengan hasil wawancara
berikut ini :
Informan 3
“tatalaksananya dari MTBS, dokter umum yang melakukannya”
”selama ini sesuai aja, kalau banyak pasien kan tatalaksana itu
cukup rumit ya”
Informan 4
“Kalau dari MTBS ini ya lebih diketahui ya deteksi dininya .
karena kan kadang ada batuk yang buka pneumoni, ya pokoknya
banyak lah. Saya kan juga pernah ini lah MTBS, seperti itu”
“oleh dokter”
“ya dari anamnesis ,terus diagnosa. Misalnya kan batuk. Nah
batuk kan ada klasifikasinya seperti batuk bukan pneumoni. Jadi
ya itu, berdasarkan anamnesis dan klasifikasi itu”
Informan 7
“iya MTBS kan hanya penyakit-penyakit tertentu saja yang kita
masukan ke MTBS misalnya kayak ada pasien demam diare
yaudah kita masukin ke form”
“kebetulan kalau disini yang meriksa dokter”
“kalau pneumonia beratkan harus di rujuk ya kan disini kita
tindakannya udah batuk pilek ada sesak napas itu kita uab aja”
Informan 8
“Paling diperiksa sama dokter, nanti kan ada kasus pneumonia
diagnosanya sama dokter , jadi kita tahunya dari dokter”
“iya dokter”
“paling ditanya batuknya dari kapan?terus udah berobat kemana,
nanti kan kita lihat ada inian apa sih penarikan dinding
pernapasannya”
Informan 9
“di MTBS, sebelum masuk ke penyakitnya kan ada tuh didalam
form nya MTBS apa coba,tahu penyakit berat atau tidak gimana
caranya, sebelum kita melakukan MTBS syarat mutlaknya adalah
apa, tahu kan?hehe”
108
“nomor satu kalau MTBS itu pneumonia dibawah lima tahun ya”
“terus untuk MTBS sendiri nomor satu yang paling banyak itu kan
batuk pilek kan, yang nomor satu ini kalau ada penyakit beratnya
enggak bisa diwawancara di MTBS karena harus dirujuk segera,
kalau yang kedua ada batuk misalnya apa yang ditanya”
“berapa hari dilihat lagi batuknya dihitungnya pas sudah dihitung,
dihitung sama kita pakai apa, alatnya?”
“sound timer, pas sudah di hitung, lanjut yang berikutnya apa lagi,
tahu enggak kalau yang pneumonia”
Infroman 10
“kalau tatalaksananya ya sesuai prosedur saja, konsultasi sama
dokter kita punya ini apa namanya”
“pedoman dari MTBS”
“Dokter dibantu sama asisten bisa bidan atau perawat, tapi
biasanya dokter”
Sedangkan menurut pendapat informan ahli dalam penemuan kasus
pneumonia balita boleh siapa saja yang melakukan asalkan dalam
penatalaksanaanya diserahkan kepada yang berwenang. Adapun
pernyataanya adalah sebagai berikut:
Infroman 11
“sebetulnya urusan yang menemukan pneumonia adalah semuanya
termasuk kader, yang jadi perdebatan kan menentukan ini sesak
napas sering itu semuanya kan berstandar pada itu pada waktu
mengobati menetapkan diagnosa nya menurut saya kewenangan
tidak selalu bidan sama perawat boleh petugas kesehatan
lingkungan walaupun petugas kesehatan lingkungan bisa
menemukan penderita pneumonia dan diserahkan kepada yang
berwenang dalam pelanatalaksanaanya”
Berdasarkan informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa,
kegiatan tatalaksana pneumonia balita atau MTBS di Puskesmas
dilakukan di semua Puskesmas dengan penatalaksananya adalah dokter
109
umum. Akan tetapi, jika dokternya tidak ada, tatalaksana tersebut
diserahkan kepada bidan atau perawat yang sudah memahami
pneumonia. Pernyataan yang disampaikan informan 6 dan 7 (puskemas
yang berhasil mencapai target nasional) penjelasannya sangat detail
dan jelas berbeda dengan pernyataan dari petugas Puskesmas yang
tidak berhasil mencapai target nasional. Menurut informan ahli
penemuan kasus pneumonia balita dapat dilakukan oleh siapa saja
asalkan pada saat penatalaksanaannya diserahkan kepada yang
berwenang yaitu dokter atau petugas yang sudah terlatih dalam
tatalaksana pneumonia balita atau MTBS.
4. Kegiatan Pencatatan dan Pelaporan
Kegiatan pencatatan dalam penemuan kasus pneumonia balita
harus dilakukan secara rutin, untuk memantau jumlah kasus
pneumonia balita di Puskesmas dan melakukan kunjungan rumah
penderita pneumonia. Kegiatan pencatatan dan pelaporan sebaiknya
dilakukan oleh penanggung jawab program tersebut, hal ini dilakukan
untuk mengetahui pencapaian target program yang telah dibuat. Dalam
penelitian ini, dilakukan wawancara mendalam dan observasi media
pencatatan dan pelaporan (lihat gambar 5.2 dan gambar 5.3) untuk
mendukung informasi yang didapatkan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari kepala Puskesmas dan
penanggung jawab P2 ISPA di Puskesmas yang berhasil mencapai
110
target nasional, diketahui bahwa kegiatan pencatatan dan pelaporan
dilakukan oleh penanggung jawab P2 ISPA. Pencatatan dilakukan
setelah jam pelayanan secara rutin, hal ini dapat diketahui dari register
P2 ISPA pada saat observasi. Berikut ini adalah hasil wawancara
dengan kepala Puskesmas dan penangung jawab P2 ISPA yang
mendukung informasi tersebut.
Informan 1
“iya yang melakukannya penanggung jawab program, kan nanti
ada di LB3, dicatat setelah pelayanan”
Informan 2
“ iya petugasnya”
“ dilaksanakannya pastinya sesudah dong, sesudah selesai pasien
pelayanan lalu pencatatan register, iya setelah pelayanan. Saya
berharap setiap hari harus sudah dilakukan, ada tidaknya form
MTBS pneumonia harus di lakukan di register anak selesai hari itu
juga di bagian umum juga gitu, Cuma kadang terkendala kalau
petugas anaknya ada rapat diganti sama orang lain, kadang-
kadang itu yang sedikit hambatan”
Informan 5
“disini kan pencatatanya ada pneumonia ada form
sendiri,misalnya kita periksa terus kalo kita curiga pneumonia ya
sudah kita masukin aja ada registernya”
“iya setiap hari”
Informan 6
“setiap hari, di register”
“register ISPA ada yang bukan ISPA ada harus dicatat kalau
yang khusus pneumonia ada lagi dibukunya”
Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional tidak hanya
mencatat dari kasus yang datang ke Puskesmas, tetapi juga mencatat
111
dari laporan klinik swasta yang ada di wilayah kerja Puskesmas
tersebut. Tatalaksana pneumonia balita di Puskesmas menggunakan
formulir MTBS, sedangkan di klinik swasta tidak menggunakan
formulir tersebut. Berikut ini adalah hasil wawancara yang mendukung
informasi tersebut.
Informan 1
“ iya ada laporan kasus , dari klinik swasta pencatatannya dilakukan
sama penangung jawab P2 ISPA tapi kadang mereka saling bantu”
Informan 2
“sebetulnya harus ada tapi biasanya temuan di klinik swasta di
laporin jarang paling ada ISPA pneumonia ringan, tapi itupun
mereka ngerjainnya tanpa MTBS”
Informan 5
“dari klinik swasta itu tiap bulannya itu dia yang kasus pneumonia
sejauh ini kita paling dari bidan-bidan prakter, mantri kaya
perawat balai pengobatan ya ada sih”
Informan 6
“ada kalau lagi ada, pasti kalau swasta harus kaya jemput bola
aja, kalau yang orangnya ini apa”
Kegiatan pelaporan kasus pneumonia balita di Puskesmas yang
berhasil mencapai target nasional yaitu Puskesmas Baktijaya dan
Serpong 1, dilakukan setiap bulan, jika laporannya sudah lengkap.
Pelaporan kasus tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur dan
ketentuan dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, adapun
formulir pelaporannya sudah disediakan. Berikut ini adalah hasil
wawancara dengan informan yang mendukung informasi tersebut.
112
Informan 1
“kalau laporan ke dinkes setiap bulan"
Informan 2
“saya berharap kalau laporan bulanan sudah lengkap ya
dilaporkan ke Dinkes”
Informan 5
“iya nanti data kasus tersebut, baru dilaporkan ke dinke, sesuai
dengan ketentuan Dinkes”
Informan 6
“itu mah pasti neng, kan dinkes juga puya target penemuan kasus,
jadi Puskesmas harus lapor setiap bulannya”
Kegiatan pencatatan dan pelaporan di Puskesmas yang tidak
berhasil mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonia
balita, menurut informasi yang didapat, diketahui bahwa di wilayah
kerjanya tidak terdapat kasus pneumonia balita sehingga targetnya
tidak tercapai. Dengan demikian, petugas hanya melakukan kegiatan
pencatatan penyakit ISPA saja, adapun kegiatan pencatatan dilakukan
di Puskesmas oleh penanggung jawab programnya tetapi ada juga
dokter yang melakukannya. Adapun informasi tersebut dapat dilihat
dari hasil wawancara berikut ini:
Informan 3
“yang biasanya dokternya”
“iya, tapi ada juga tuh petugas P2 ISPA nya bantu”
“em rutin-rutin, biasanya setelah jam pelayanan”
Informan 4
“ada di laporan W2. Kita setiap hari senin, yang mencatat
laporannya penanggung jawab program”
113
Informan 7
“setiap bulan dari tanggal 25 ketemu tanggal 25 itu kita salin”
Informan 8
“habis pelayanan paling kita ngerekap, ada di register ISPA nya”
“Ada paling itu juga ISPA dewasa, ISPA yang sudah dewasa
yang ringan juga. Paling bukan pneumonia. kalau disini kan
pneumonia jarang, bukan jarang bahkan enggak ada pneumonia
kan”
Tidak berbeda jauh dengan Puskesmas yang berhasil mencapai
target nasional, Puskesmas yang tidak mencapai target nasional juga
memperoleh laporan dari klinik swasta mengenai kasus pneumonia.
Pelaporan dari klinik swasta sudah ditentukan oleh kebijakan Dinas
Kesehatan Kota Tangerang Selatan, bahwa klinik swasta yang di
Wilayah kerja Puskesmas harus melaporkan kunjungan pasiennya ke
Puskesmas tersebut. Sejauh ini, kegiatan tersebut belum maksimal,
sehingga belum ada kasus pneumonia yang dilaporkan oleh klinik
swasta ke Puskesmas Pisangan dan Kranggan. Berikut ini adalah hasil
wawancara yang mendukung informasi tersebut.
Informan 3
“kebanyakan kita sih yang jemput bola ya. iya kadang klinik
swasta ini langsung ke dinas enggak melalui kita dipikirnya kita
minta ke dinas padahal kita sendiri harus mencari gitu”
Informan 4
“hmmm kalo klinik swasta paling dari BPS. Tapi disini mah
enggak maksimal ya”
Informan 7
“iya nerima laporan dari klinikswasta, tapi paling ISPA dewas,
jarang yang pneumonia, malah enggak ada”
114
Informan 8
“dilaksanakan juga”
Kegiatan pelaporan kasus pneumonia balita di Puskesmas yang
tidak berhasil mencapai target nasional, dilakukan setiap bulan.
Prosedurnya dimulai dari register anak lalu dipindahkan ke register
ISPA baru kemudian dilaporkan ke Dinkes. Kasus pneumonia di
Puskesmas ini tidak ditemukan, sehingga hanya kasus ISPA saja yang
dilaporkan ke Dinkes setiap bulannya, Berikut ini adalah hasil
wawancara dengan informan yang mendukung informasi tersebut
Informan 3
“pelaporan ke Dinkes pasti ada, karena itu sudah tugas
Puskesmas”
Informan 4
“ya.. kita punya register tersendiri dan itu dilakukan setiap hari
ispa, diare, dan itu dilakukan setiap hari terus petugasnya
melaporkan ke dinas kesehtan seminggu sekali setiap hari senin.
Via email”
Informan 7
“ada, di register anak itu kita pindahin lagi ke register ISPA baru
kita laporin ke dinas”
Informan 8
“iya disini setiap bulan”
Menurut informan ahli kegiatan pencatatan dan pelaporan di
Puskesmas seharusnya tidak dilakukan berkali-kali. Sehingga beban
kerja penanggung jawab program tidak banyak, selain itu, untuk
pelaporan dari klinik swasta hanya bersifat sukarela saja. Adapun
informasi dari informan dapat dilihat dari hasil wawancara berikut ini:
115
Informan 11
“enggak, sehingga kalau dia enggak lapor enggak bisa dipaksa-
paksa yang bisa adalah meminta kesukarelaan”
“nah itu yang dibuat oleh aturan teman-teman di ISPA, nah
kemaren kita menyelasiakan pencatatan dan pelaporan
diPuskesmas yang peacatatan seperti itu aku minta hilang karena
di catat di bagian umum dari situ datanya diambil boleh nah
jangan buat pencatatan lagi nanti tugasnya banyak”
Berdasarkan informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
pencatatan dan pelaporan di lakukan di Puskesmas. Akan tetapi untuk
Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, berdasarkan
pernyataan informan 8 kasus pneumonia tidak ditemukan di
Puskesmas tersebut dan tidak ada pelaporan dari klinik swasta,
sehingga kasus pneumonia balita di Puskesmas tersebut tidak ada.
Berbeda dengan Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional,
berdasarkan pernyataan informan 5 dan 6 mengakui bahwa, Puskesmas
Baktijaya dan Serpong 1 menerima laporan dari klinik swasta jika ada
kasus pneumonia balita. Sedangkan menurut Informan ahli kegiatan
pencatatan di puskesmas seharusnya tidak dilakukan berkali-kali dan
pelaporan dari klinik swasta bersifat sukarela.
5. Faktor Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan dalam penemuan kasus pneumonia balita
berperan penting, karena sebagian besar kegiatan tersebut dilaksanakan
oleh petugas kesehatan di Puskesmas. Adapun faktor petugas
kesehatan yang diteliti yaitu jenis kelamin petugas, pelatihan petugas,
pendidikan petugas, lama kerja dan pengetahuan petugas. Dalam
116
penelitian ini, untuk mengetahui informasi tersebut, maka peneliti
melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam dan
kuesioner. Berikut ini adalah penjelasan mengenai faktor petugas
kesehatan.
1. Jenis Kelamin Petugas
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari tabel 5.1, jenis kelamin
petugas penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS semua
petugas adalah perempuan. Sedangkan untuk kepala Puskesmasnya
yaitu 2 laki-laki dan 2 perempuan. Sehingga tidak ditemukan adanya
perbedaan terkait faktor jenis kelamin petugas dalam penemuan kasus
pneumonia, baik Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional
maupun Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Hal
ini tidak sesuai dengan pendapat yang disampaikan informan ahli
bahwa, antara perempuan dan laki-laki dalam melaksanakan tugas ada
perbedaannya. Seorang laki-laki pada dasarnya mempunyai sifat yang
tegas dalam menjalakan suatu program program. Sedangkan seorang
perempuan memiliki sifat atau naluri keibuan yang sangat dibutuhkan
bagi petugas kesehatan terutama petugas MTBS pada saat memeriksa
balita. Berikut ini adalah pernyataan informan ahli mengenai hal
tersebut:
Informan 11
“saya tidak tahu persis secara teori tapi sepengalaman saya kalau
laki-laki lebih intens dan tegas gitu, tapi kalau merawat balita
lebih teliti kepada perempuan”
117
2. Pelatihan Petugas
Pada dasarnya pelatihan petugas Puskesmas dilakukan untuk
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman, sehinga petugas
mempunyai keterampilan yang baik dalam pelayanan kesehatan.
Selain itu, jika petugas tidak terlatih, akan kesulitan pada saat
tatalaksana pneumonia terutama untuk mengetahui adanya TTDK
(Tarikan Dinding Dada bagian bawah Ke dalam). Sedangkan petugas
yang sudah dilatih akan terbiasa dalam menangani kasus pneumonia.
Dalam penelitian ini, untuk mengetahui apakah penangung jawab P2
ISPA dan petugas MTBS sudah terlatih atau tidak, maka peneliti
melakukan wawancara mendalam, dengan menanyakan apakah
petugas sudah mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita atau
MTBS.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan diketahui
bahwa, salah satu petugas di Puskesmas yang berhasil mencapai target
nasional dalam penemuan kasus pneumonia sudah pernah
mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita. Menurut informan
6, petugas sudah mengikuti pelatihan beberapa kali yang
diselanggarakan dinas kesehatan. Oleh karena itu, penemuan kasus di
Puskesmas tersebut dapat mencapai target cakupan yang sudah
ditetapkan secara nasional. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan
beberapa informan, yang mendukung informasi tersebut.
118
Informan 1
“kalau petugas yang di MTBS ya dilatih jadi enggak semua, ini
baru bu leny itu aja sih”
“dinas provinsi kalau disini khusus bu Leny saja kan enggak
semua, ya sudah siapa yang dilatih ngajarin temannya, kalau yang
dilatih bu Leny setahu saya harusnya juga melatih staf yang lain”
Informan 2
“seharusnya sudah”
“ setahu saya dia senior dan harusnya sudah”
Informan 5
“kalau saya belum, nah itu dokter lia itu dulunya pernah megang
program ISPA diare di situ gintung untuk pelatihan khususnya
sepertinya sudah ada Bu euis dulu dia itu sudah pernah dilatih”
“dari dinas , namun masih kabupaten soalnya posisinya itu bu euis
dulunya yang megang program ISPA diare, yang baru td itu bu
euis kayaknya dia itu sudah pernah mengikuti pelatihan kalau
yang dokter lia itu kayaknya belum tapi dia sudah megang ISPA
diare itu”
Informan 6
“sering”
“ya itu itu aja kayak gitu, penatalaksanaan ISPA dan Diare itu aja
paling ya intinya ya apa namanya cara pemeriksaanya gimana itu
itu aja sih saya juga bosen itu itu aja”
Berbeda dengan Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional
dalam penemuan kasus pneumonia, petugas P2 ISPA dan petugas
MTBS di Puskesmas tersebut, salah satunya ada petugas yang sudah
mendapatkan pelatihan. Sedangkan, Puskesmas yang tidak berhasil
mencapai target nasional, sebagian besar petugasnya belum
mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita. Hanya terdapat
satu petugas MTBS yaitu dokter yang pernah mendapatkan pelatihan
di Puskesmas sebelumnya, dan baru 5 bulan bekerja di Puskesmas
119
Pisangan. Adapun informasi mengenai hal tersebut, dapat terlihat dari
hasil wawancara berikut:
Informan 3
“kalau pelatihan belum, pelatihan kan enggak gampang ya nanti
kalau dinas mengadakan pelatihan lagi gantian”
Informan 4
“hemm saya kira di sini petugasnya banyak yang belum di latih
MTBS ya”
“belum, disini belum ada yang terlatih. Tapi mereka udah punya
modul-modulnya .kan klasifikasinya sudah ada”
Informan 7
“belum ada”
“belum ada untuk P2 ISPA, kita belum ada”
Informan 8
“Blm pernah, belum ada”
“ya enggak tahu, mungkin dari Dinkesnya”
Informan 9
“pernah dulu perwakilan dari Puskesmas Jombang”
“itu kan pedoman dari Kemenkes”
“pedoman MTBS, semuanya ada ya dari Kemenkes aja sih”
Informan 10
“belum ada sejauh ini, belum ada jadi hanya buku pedoman
MTBS”
“belum”
“dari dinasnya kayaknya belum mengadakan pelatihan itu”
Menurut informan ahli, seharusnya petugas Puskesmas sudah
mendapatkan pelatihan atau setidaknya memahami sebatas mana
penemuan kasus pneumonia balita, yaitu dengan melakukan pelatihan
kecil di Puskesmas pada saat loka karya mini. Sehingga tidak diperlu
120
dana yang besar untuk mengadakan pelatihan tersebut. Berikut
pernyataan mengenai pentingnya pelatihan petugas.
Informan 11
“iya, kader saja dilatih, petugas juga seharusnya tahu sebatas
mana penemuan kasus pneumonia balita gitu”
“emang perlu anggaran kalau pelatihan gitu, karena gini
pengalaman saya menjelaskan tentang apa penemuan pneumonia
dibahas di loka karya jadi petugas ISPA menjelaskan bagaimana
pneumonia balita, loka karya dilaksanakan setiap bulan sebetulnya
pelatihan itu cukup begitu gitu enggak perlu ada hari pelatihan
khusus”
Berdasarkan informasi-informasi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa, banyak petugas yang belum mendapatkan pelatihan mengenai
pneumonia balita bahkan penanggung jawab program P2 ISPA dan
petugas MTBS belum pernah dilatih terutama di Puskesmas yang tidak
berhasil mencapai target nasional. Sama halnya dengan kepala
Puskesmas, semua kepala Puskesmas belum pernah mendapatkan
pelatihan mengenai pneumonia balita. Menurut informan ahli pelatihan
petugas dapat dilakukan pada saat loka karya mini dengan berbagi
pengalaman dari petugas yang sudah pernah mendapatkan pelatihan.
3. Pendidikan Petugas
Berdasarkan tabel 5.1, diketahui bahwa pendidikan penanggung
jawab P2 ISPA dan MTBS semuanya adalah D3 Kebidanan dan
terdapat satu dokter umum sebagai petugas MTBS. Sedangkan,
pendidikan kepala Puskesmas sebagian besar adalah S1 kedokteran
121
gigi dan hanya satu saja, yang berpendidikan SI Kesehatan
Masyarakat.
Berdasarkan pengamatan peneliti, pada saat wawancara dengan
informan. Diketahui bahwa, kepala Puskesmas dengan latar belakang
pendidikan SKM lebih memahami penyakit pneumonia secara
menyuluruh dan lebih terbuka dalam menyampaikan pendapat pada
saat wawancara, dibandingkan dengan kepala Puskesmas dengan latar
belakang pendidikan bukan SKM. Menurut informan ahli, seharusnya
petugas Puskesmas mempunyai latar belakang pendidikan kesehatan
seperti D3 Kebidanan, Sedangkan, kepala Puskesmas seharusnya SI
Kesehatan Masyarakat. Selain itu, pada saat ini orang bekerja bukan
karena pendidikan terakhirnya tetapi karena golongan atau pangkatnya.
penjelasan tersebut terlihat dalam pernyataan informan ahli berikut ini:
Informan 11
“sekarang ini kita ruwet itu problematika negara, saya enggak
tahu kalian nanti kerjanya dimana yang jelas kejadian dilapangan
itu kita sering kali memberi tugas kepada orang yang sebetulnya
bukan profesinya gitu yang paling banyak di jawa barat termasuk
di banten itu petugas kesling jadi sopir ambulan, apapun sebabnya
itu terjadi gitu, terus orang yang dilatih ISPA enggak tahu di
pindah kemana itu menjadi persoalan gitu, apa lagi sekarang
ketika menduduki jabatan apa jabatan di Puskesmas jadi eselon,
kepala Puskesmas eselon berapa? dengan kepala stafnya satu itu
dan itu jabatan daerah itu enggak lihat kamu siapa gitu pokoknya
kamu golongannya sekian pangkat kamu sekian memenuhi tingkat
jabatan seperti ini kamu saya pindahkan kemana gitu, makanya
perawat banyak yang jadi staf, termasuk dari tempat lain masuk ke
Puskesmas tiba-tiba jadi kepala Puskesmas karena golongannya”
4. Lama Kerja
122
Pengalaman seorang petugas Puskesmas utuk melakukan suatu
pekerjaan tertentu dinyatakan dalam lamanya melaksanakan pekerjaan
tersebut. Dalam penelitian ini untuk mengetahui lama kerjanya petugas
disuatu Puskesmas, maka peneliti melakukan wawancara mendalam.
Berdasarkan tabel 5.2, lama kerja kepala Puskesmas di Puskesmas
Bakti Jaya, Serpong 1 dan Keranggan baru berjalan 5 bulan, karena
ada pergantian kepala Puskesmas dan petugas lainnya yang dilakukan
oleh dinas kesehatan Kota Tangerang Selatan pada Februari 2015.
Akan tetapi, sebelumnya kepala Puskesmas sudah bekerja lama
menjadi kepala Puskesmas di Puskesmas sebelumnya.
Selain itu, berdasarkan tabel 5.2, diketahui bahwa, lama kerja
penangung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS di Puskesmas yang
berhasil mencapai target nasional, mempunyai waktu lama kerja yang
lama, seperti informan 6 sudah 28 tahun bekerja sebagai penanggung
jawab P2 ISPA. Sedangkan, lama kerja petugas Puskesmas yang
tidak berhasil mencapai target nasional berkisar antara 1-2 tahun di
Puskesmas tersebut. Menurut informan ahli lama kerja petugas
mempengaruhi pencapaian program di Puskesmas. Adapun pernyataan
informan ahli, tergambar dalam hasil wawancara berikut ini :
Informan 11
“ya pengalaman saya kerja orang bekerja itu dikasih sama butuh
waktu minimal enam bulan, kalau dia kerja kurang dari enam
bulan itu tidak bagus kecuali beberapa orang yang mempunyai
kemampuan berbeda rata-rata enam bulan tapi kalau dia sudah
bekerja empat tahun perlu ada perubahan kalau enggak motivasi
sama inovasinya hilang apalagi akalu sudah dua periode jabatan
123
kecuali beberapa orang ya kita membangun motivasinya tetap
ada"
5. Pengetahuan Petugas
Pengetahuan petugas dalam penemuan kasus pneumonia balita
sangat dibutuhkan terutama pada saat pemeriksaan pasien atau deteksi
dini di masyarakat. pengetahuan petugas mengenai pneumonia
meliputi, klasifikasi pneumonia, gejala dan tanda-tanda penderita
pneumonia serta tatalaksana kasus pneumonia balita. Dalam penelitian
ini, untuk menilai pengetahuan petugas, maka peneliti melakukan
wawancara dengan menggunakan kuesioner pengetahuan yang
berpedoman pada peanggulangan P2 ISPA. Adapun hasil pengetahun
petugas tersebut, dapat dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel 5.3
Pengetahuan Petugas dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita di
Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015
Puskesmas Pengetahuan Petugas
P2 ISPA MTBS P2 ISPA dan
MTBS
Pisangan Buruk Baik
Keranggan Buruk Buruk
Bakti Jaya Baik
Serpong 1 Baik
Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa pengetahuan petugas
Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional tergolong
buruk. Berdasarkan pengamatan pada saat wawancara, penangung
jawab P2 ISPA dan petugas MTBS, kesulitan dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang peneliti ajukan. Hal ini terjadi karena di
124
puskesma tersebut, petugasnya belum pernah mendapatkan pelatihan
mengenai pneumonia balita. Menurut informan ahli pengetahuan yang
dimilki petugas, dalam penemuan kasus pneumonia balita sangat
penting, terutama untuk membangun motivasi petugas. Adapun
pernyatan informan yang mendukung informasi tersebut, dapat terlihat
dari hasil wawancara berikut ini.
Infroman 11
“iya pengetahuan akan membangun motivasi”
6. Motivasi Petugas
Motivasi petugas dalam bekerja dapat mempengaruhi pencapaian
target program, dengan adanya motivasi kerja yang dimiliki kepala
Puskesmas, penangung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS, akan
dapat memberikan semangat kerja kepada petugas Puskesmas. Dalam
penelitian ini, untuk mengetahui motivasi kepala Puskesmas, maka
peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan tersebut.
Sedangkan, untuk penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS,
motivasi petugas juga dapat dilihat dari kuesioner dengan
menggunakan skala likert 1 samapai 5.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa informan,
diketahui bahwa, semua kepala Puskesmas mempunyai motivasi untuk
menjadikan Puskesmas yang dipimpinnya menjadi lebih baik. Selain
itu, menurut informan 2, motivasinya yaitu lebih menekankan disiplin
kerja kepada petugas Puskesmas. Adapun pernyataan, mengenai
125
informasi tersebut dapat digambarkan dari hasil wawancara berikut
ini:
Informan 1
“dari sekarang saya harus menyiapkan impian saya Puskesmas
bakti jaya menjadi Puskesmas Kecamatan jangka lima tahun kan
begitu, kalau di Puskesmas Setu kan non perawatan Puskesmasnya
kecil kan, kalau Setu kan enggak mungkin karena enggak ada
perawatan, kalau Puskesmas keranggan kan dipojok sana”
Informan 2
“yang jelas lebih baik dong”
“ yang jelas saya tahap pertama yang dilakukan sebagai pimpinan
yang baru saya berusaha untuk semua staf disiplin yang baik ,
bekerja dengan baik. semua tugas akan dikerjakan dengan baik
kalau dia bekerja dengan baik tidak sekadar intruksi kamu
kerjakan MTBS, Yang kedua dapat memahami tugas tenaga
kesehatan tugas pokoknya, meskipun kan kadang kala MTBS
adapetugas yang mengerjakan tapi saya berharap dari petugas
yang sudah di latih dapat mentrasferkan ilmunya bagaimana
caramelaksanakan MTBS harus seperti itu dengan demikian semua
dia pahami termasuk pencatatan pelaporannya jadi siapa yang
bertugas, karena SDM yang ada di Puskesmas sering kali double
job, pekerjaan kita tumpang tindih , kalau pasien kan enggak
mungkin tidak tiap hari enggak bisa kita cegah”
Informan 3
“motivasi saya senyum sapa sabar mengutamakan pelayanan
menggalakan pelayanan promotif preventif”
Informan 4
“motivasinya saya ingin Puskesmas ini lebih baik ya. Puskesmas
ini kan sebagai pelayanan yang kita hadapi kan manusia. Jadi
saya selalu mengatakan keseluruh staf mengutamakan ke
disiplinan. Artinya jika meeka disiplin insha Allah kerjanya juga
akan baik. Mereka butuh kesolid an, butuh kerja sama,
keterbukaan. Alhamdulillah disini 5 buln, evaluasi triwulan
pertama kita memiliki kinerja yang tepat. Berartikan kita bukan
apa-apa tanpa temen-temen. Jadi memang saya selalu memotivasi
mereka untuk bekerjalah untuk hati, karena kalau bekerja tidak
126
dengan hati itu sulit. Pasien datang, periksa, pulang. Jadi saya
selalu menanamkan kepada temen-temen anggaplah Puskesmas ini
sebagai rumah kedua. Jadi ada rasa memiliki, rasa tanggung
jawab. Anggaplah semua pasien yang datang kesini keluarga kita.
Jadi misal keluarga kita datang ke Puskesmas, petugasnya asal-
asalan, tdak menyampaikan maksud dengan baik, apa rasanya?
Sebagai contoh, tempat tidur rawat inap tidak bersih, saya tanya
ke temen-temen. Mau gak tidur disitu? Mereka jawab gak mau bu.
Ya pasien sama gak mau. Jadi Alhamdulillah OB pun bekerja
dengan baik. Jadi pukesmas di tangerang selatan ini sudah ada”
Selain itu, untuk melihat motivasi penanggung jawab P2 ISPA
dan petugas MTBS, dapat dilihat dari penjelasan tabel berikut ini
Tabel 5.4
Motivasi Kerja Petugas dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita di
Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015
Puskesmas Motivasi Kerja
P2 ISPA MTBS P2 ISPA dan
MTBS
Pisangan Baik Buruk
Keranggan Buruk Buruk
Bakti Jaya Baik
Serpong 1 Baik
Berdasarkan tabel 5.4, diketahui bahwa, motivasi yang dimilki
petugas Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, motivasi
kerjanya tergolong buruk. Berbeda dengan Puskesmas yang berhasil
mencapai target nasional, petugasnya mempunyai motivasi yang tergolong
baik dalam penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas. Sedangkan,
menurut informasi dari informan ahli, semua petugas memilki motivasi
kerja yang dinilai dari kinerja petugas tersebut. Jika kinerja baik maka
motivasi petugasnya pun akan baik. Adapun pernyataan informan ahli,
127
yang mendukung informasi tersebut dapat terlihat dari hasil wawancara
berikut ini.:
Informan 11
“semua orang kan memiliki motivasi, tapi pada era sekarang ini
orang yang bekerja akan diukur pada apa itu dia harus
melaporkan kinerjanya kan dia sekarang dibayar lebih, saya
bekerja di Puskesmas gitu kalau kamu bekerja segini mendapatkan
angka segini, kalau ukur kinerja itu maka kamu dibayar bonus
tambahan sekian , sekarang semuanya seperti itu karena menteri
penertiban aparatur negara memformulasikan pegawai negeri
dibayar sesuai dengan kinerjanya”
7. Kepemimpinan Kepala Puskesmas
Kepemimpinan kepala Puskesmas pada dasarnya dapat
mempengaruhi kinerja petugas atau bawahannya. Kepemimpinan yang
baik yang dimilki kepala Puskesmas, akan mempengaruhi pencapaian
target penemuan kasus pneumonia balita yang baik pula. Dalam
penelitian ini, untuk mengatahui kepemimpinan kepala Puskesmas,
dapat diketahui berdasarkan kuesioner yang telah diisi dalam
wawancara mendalam oleh kepala Puskesmas, penanggung jawab P2
ISPA dan petugas MTBS. Adapun hasil penelitian tersebut dapat
diketahui dari penjelasan tabel berikut ini.
128
Tabel 5.5
Kepemimpinan Kepala Puskesmas dalam Penemuan Kasus
Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015
Puskesmas Kepemimpinan kepala Puskesmas
Kepala
Puskesmas
P2 ISPA MTBS P2 ISPA
dan
MTBS
Pisangan Tidak Baik Tidak Baik TidakBaik
Keranggan Baik Baik Tidak Baik
Bakti Jaya Tidak Baik Baik
Serpong 1 Baik Tidak Baik
Berdasarkan tabel 5.5, diketahui bahwa, kepemimpinan kepala
Puskesmas menurut penilaian petugasnya masih tergolong tidak baik,
terutama Puskesmas Serpong 1 Puskesmas yang berhasil mencapai
target nasional, Puskesmas Pisangan dan Kranggan Puskesmas yang
tidak berhasil mencapai target nasional. Hal ini terjadi karena, kepala
Puskesmas di Puskesmas Serpong 1 dan Puskesmas Kranggan, baru 5
bulan menjabat sebagai kepala Puskesmas. Pada saat peneliti
mengobservasi informan penelitian dengan melihat gaya bicara, sikap,
kemudian peneliti mengasosiasikan bahwa kepemimpinan kepala
puskesma bakti jaya dan Puskesmas Kranggan, memiliki kepemipinan
yang baik, berdasarkan observasi tersebut.
Selain itu, sebagaian besar kepala Puskesmas terbuka dalam
pengambilan keputusan dan pemecahan masalah di Puskesmas. Akan
tetapi, belum ada kepala Puskesmas yang meberikan penghargaan
kepada petugas sebagai prestasi kerjanya di Puskesmas. Sedangkan
menurut informan ahli kepemimpinan yang dimilki kepala Puskesmas
129
adalah kepemimpinan dalam manajemen dan epidemiologi. Adapun
penjelasan informan ahli tergambar dalam pernyataan berikut ini:
Informan 11
“yang jelas tuntutan kita itu kepada kepala Puskesmas yang
mempunyai kemampuan manajemen sama epidemiologi,
epidemiologi nanti masuknya kepada pasiennya karena bayak
teman-teman kita kepala Puskesmas orientasinya klinik jadi
enggak tahu medan pertempuran jadi kalau ada pasien di periksa
secara klinik, enggak begitu jeli mereka kasusnya berapa itu
mengakibatkan dia sendiri enggak punya orientasi public health,
kalau itu bias Puskesmas walaupun nanti petugasnya lihai-lihai”
8. Ketersediaan Sarana dan Prasarana
Ketersediaan sarana dan prasarana sebagai penunjang dalam
kegiatan pneumonia balita di Puskesmas sangat penting, tanpa adanya
sarana dan prasaran suatu program tidak dapat berjalan dengan baik.
Dalam penelitian ini ketersediaan sarana dan prasarana di Puskesmas,
dapat diketahui melalui wawancara mendalam dan observasi. Adapun
sarana dan prasarana yang diteliti dalam penelitian ini adalah media
cetak dan media penyuluhan dalam kegiatan tersebut.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara
mendalam dan observasi yang sudah dilakukan. Diketahui bahwa,
pernyataan informan mengenai ketersediaan sarana dan prasarana tidak
sesuai dengan hasil observasi di Puskesmas. Semua Puskesmas
mengatakan, mempunyai semua media cetak dan media penyuluhan
yang ditanyakan. Sedangkan, berdasarkan hasil observasi dapat
diketahui bahwa, Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional
130
mempunyai buku pedoman P2 ISPA, stempel ISPA dan lembar balik.
Akan tetapi sarana tersebut tidak dimiliki oleh Puskesmas yang tidak
berhasil mencapai target nasional. Adapun informasi tersebut dapat
terlihat dari hasil wawancara berikut ini.
Informan 1
“disana itu kan ada meja tuh nah ada buku-buku gede iya itu
poster-poster itu nanti dari petugas promkes dan di distribusikan
ke posyandu sekolah-sekolah”
Informan 2
“setahu saya ada dari Diinkes”
“ itu saya kumpulin karena saya enggak mau kehilangan ini masuk
ke data saya tapi saya enggak ragu-ragu untuk
mendistribusikannya mulai dari TK, PAUD, posyandu termasuk
swasta sekolah kita distribusikan apabila mencukupi sesuai
dengan tujuan kita jadi saya tidak asal bagi pada saat yang
berkaitan dengan UKS tidak sekedar ISPA kalau di UKS kan
enggak ada karena anak-anaknya sudah besar-besar di Posyandu
ISPA kita berikan kecacingan di taro di SD, jadi saya
mendistribusikan itu pun disesuaikan dengan kebutuhan”
Informan 5
“Lembar balik, leaflet-leafletnya, ada beberapa tapi enggak
banyak. jadi kita melakukan penyuluhan lembar baliknya. tapi
lembar balik ada melakukan penyuluhan ada lembar balik kita
kenalkan ada sound timer, buat menghitung napas cepat”
“Ada, pedoman P2 ISPA tapi masih yang lama ya”
Informan 6
“ada, yang diare juga ada pada dimana kali, kadang-kadang ada
yang pinjam, lemarinya belum diberesin waktu itu dipinjam siapa
gitu pas rapat ada yang pinjam enggak dikembaliin, kayak gini kan
pedomannya ada juga yang ini kan kayak pengendalian diare”
“ada tapi kemana tahu ya, dilemari coba nanti masih ada enggak
dilemari”
131
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan, diketahui
bahwa ketersediaan media cetak dan media penyuluhan, tersedia di
Puskesmas yaitu pedoman P2 ISPA, bagan tatalaksana MTBS, lembar
balik dan brosur-brosur mengenai pneumonia. Akan tetapi pada saat
diminta, untuk menujukkan media tersebut, petugas Puskesmas tidak
dapat menujukkan media tersebut kepada peneliti. Adapun informasi
tersebut dapat terlihat dari hasil wawancara berikut ini:
Informan 3
“kita bisa pake in fokus bisa laptop bisa pake buku,”
“media, seperti apa brosur-brosur yang dibagikan ke posyandu
mengenai balita sakit atau apa kenali tanda-tandanya harus
segera mungkin ke pelayanan kesehatan”
Informan 4
“ada, coba nanti tanyakan lagi ke petugas ya, dibawah sepertinya
diruang poli anak”
Informan 7
“em, pedomannya ada sih , tatalaksananya juga ada, MTBS juga
kita punya bagannya ada di ruang anak”
Informan 8
“Ada . apa namanya Lembar balik”
“iya tentang pneumonia”
“leaflet juga ada di MTBS kalau enggak ada papan yang diruang
BP disitu yang BP dewasa ada tuh alur-alur nya alur-alur
pneumonia”
“Ada kayaknya Pedoman P2 ISPA, kalau mau lihat nanti di
ruang BP”
Selain itu, peeneliti juga melakukan observasi di Puskesmas
khususnya di bagian poli anak pada saat penelitian. Adapun hasil
observasi ketersediaan sarana dan prasarana yaitu media cetak dan
media penyuluhan dapat dilihat dari tabel observasi berikut ini:
132
Tabel 5.6
Observasi Ketersediaan Sarana dan Prasarana dalam Kegiatan
Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang
Selatan Tahun 2015
No. Subjek yang di
Observasi
Puskesmas
Serpong
1
Bakti
Jaya
Pisangan Keranggan
Media cetakan
1 Stempel ISPA (lihat
gambar 5.1) √ - - -
2 Register harian
pneumonia (lihat
gambar 5.2)
√ √ √ √
3 Formulir laporan
bulanan (lihat gambar
5.3)
√ √ √ √
4 Pedoman
Pengendalian ISPA
(lihat gambar 5.4)
√ - - -
5 Pedoman tatalaksana
pneumonia/MTBS
(lihat gambar 5.5)
√ √
√ √
6 Pedoman Autopsi
Verbal - - -
Media Penyuluhan
1 Poster mengenai
pneumonia balita
(lihat gambar 5.6)
√ √ √ √
2 Lefleat mengenai
pneumonia balita - - - -
3 lembar balik
mengenai pneumonia
balita (lihat gambar
5.7)
- √ - -
4 Kit Advokasi dan Kit
pemberdayaan
Masyrakat
- - - -
5 Dvd tatalakasana
pneumonia balita - - - -
6 TV spot dan radio spot
tentang pneumonia
Balita
- - - -
133
Gambar 5.1
Stempel ISPA
Gambar 5.2
Register Harian Pneumonia
Gambar 5.3
Formulir Laporan Bulanan
134
Gambar 5.4
Buku Pedoman P2 ISPA
Gambar 5.5
PedomanTatalaksana Pneumonia/MTBS
Gambar 5.6
Media Poster Pneumonia
135
Gambar 5.7
Lembar Balik Pneumonia Balita
Berdasarkan tabel observasi tersebut dapat diketahui bahwa,
hanya ada satu puskesmas yaitu Puskesmas serpong 1 yang mempunyai
stempel ISPA (lihat gambar 5.1) dan buku pedoman pengendalian ISPA
(lihat gambar 5.4). Sedangkan untuk media penyuluhan yaitu media
lembar balik mengenai pneumonia balita (lihat gambar 5.7) yang ada,
hanya Puskesmas Baktijaya saja. Menurut informan ahli ketersedian
sarana dan prasarana diadakan oleh dinas kesehatan sehingga semua
Puskesmas masing-masing mempunyai sarana dan prasarana penunjang
program penemuan kasus pneumonia balita. adapun pernyataan yang
disampaikan informan ahli mengenai ketersediaan sarana dan prasarana
adalah sebagai berikut:
Infroman 11
“saya enggak tahu tapi urusan pengadaan ada dinas kesehatan
walaupun sebetulnya Puskesmas boleh melakukan pengadaan di
undang-undangnya kan gitu tetapi untuk melakukan pengadaan
136
tenaga yang mengadakan pengadaan harus ada itu di SK kan sama
bupati nah tapi kalau di Puskesmas enggak ada , boleh melakukan
pengadaan sendiri tetapi namanya penyuluhan kan butuh di copy
itu yang dilakukan temang-teman Puskesmas di copy atau kreasi
mungkin dianggarkan dengan dana yang tidak begitu banyak gitu,
kalau kreatif masyarakat juga”
“iya, kecuali kalau dia yang kreatif yang membuat posternya lalu
dikirimkan ke kabupaten bisa”
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan dan hasil
observasi pada saat penelitian, ketersediaan sarana dan prsarana masih
sangat minim. Hal ini dikarenakan adanya pergantian petugas atau
belum terkodinirnya sarana dan prasarana dari satu orang petugas.
Menurut informan ahli seharusnya Puskesmas melakukan pelaporan
sarana-prasarana tersebut dan perlu adanya petugas yang bertanggung
jawab dalam pengadaan dan pengelolaan sarana dan prsarana tersebut
di Puskesmas.
9. Kegiatan Evaluasi
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa informan,
diketahui bahwa kegiatan evaluasi di Puskesmas yang berhasil
mencapai target nasional dilakukan setiap bulan. Jika masalah itu
darurat, maka diadakan staff meeting mendadak. Kegiatan evaluasi di
puskesmas tersebut melibatkan semua petugas puskesmas mulai dari
office boy (OB) sampai petugas medis. Berikut ini adalah hasil
wawancara dengan beberapa informan yang mendukung informasi
tersebut:
137
Informan 1
“tiap bulan ada lokmin lokbul”
“kadang enggak nentu juga tergantung keadaanya, tapi pastinya
tiap bulan, terlibat dari mulai OB, kalau kita kan ada staf
meeting””
Informan 2
“untuk waktunya tidak selalu, tapi paling tidak minimal sebulan
sekali, kalau misalnya sangat urgent saya janjian hari ini bisa
besok tapi minimal satu kali, setiap kali kita rapat, misalnya
masukan dari staf-staf, apa yang mereka harapkan dari teman-
temannya apa yang diharapkan nanti jatuhnya akan prioritas lagi
mana yang akan di tindak lanjuti, tapi hampir setiap bulan
programnya berjalan dengan rutin jadi tidak ada bulan ini
program ISPA bulan depan enggak, enggak mungkin ya jadi tetap
berjalan”
Informan 5
“Bisa dadakan namanya staf meeting, kalau bulanan lokbul”
Informan 6
“iya perbulan, semua petugas terlibat tapi kalau kebagian,
waktunya kadang-kadang kan yang diomongin rapat banyak neng
enggak satu masalah aja kan”
Kegiatan evaluasi di Puskesmas yang berhasil mencapai target
nasional dilalukan setiap bulan dengan membicarakan pencapaian
program, kendala atau hambatan dalam pelaksanaan kegiatan program
dan membahas kebijakan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan.
Selain itu, tidak semua program Puskesmas dibahas dalam rapat
evaluasi, karena keterbatasan waktu yang dimiliki petugas Puskesmas.
Dalam kegiatan rapat evaluasi, sesama petugas atau penangung jawab
138
program saling bertukar pendapat mengenai masing-masing program
yang sedang petugas jalankan. Berikut ini adalah hasil wawancara
dengan beberapa informan yang mendukung informasi tersebut.
Informan 1
“dalam evaluasi yang dibicarakan ya pencapaian program atau
hambatan kendala atau membahas kebijakan di tangsel itu
disampaikan perencanaan yang dilakukan di tangsel. Kebijakan
dinas, nah itu semua dilakukan. di masyarakat ada kendala apa
engga. Ya gitu lah. Kegiatan rutin kan”
Informan 2
“ya ngebahas program, mungkin ngebahas semua program dalam
1 hari enggak mungkin, hari ini apa yang menjadi kemasalahan
utama satu itu, apakah bulan ini lagi trend apa, ada kejadian apa
kita bahas ada persoalan apa kita cermati pada bulan ini lalu kita
bicarakan, untuk di evaluasi di bulan depan biasnya kita dengan
kader-kader kesehatan biasanya kita lokmin, loka karya mini,
ketemuan UKS ketemuan kader ya kemudian kalau di dalam
gedung ya kita dengan staf”
Informan 5
“Apa kendalanya, bagaimana penangannya, kita juga sharing
supaya pencapaian kasusnya tercapai sama kaya yang lainnya.
jadi kita juga sharing sama-program yang lain bagaimana
program kita tercapai gitu lho jadi kerjasamanya sama kesling lah
sama promkes, semua petugas terlibat”
Informan 6
“Bicarakan kendala apa, upaya bagaiamana. gitu-gitu semua
dibicarakan programnya”
Kegaiatan evaluasi yang dilakukan Puskesmas yang tidak berhasil
mencapai target nasional, tidak jauh berbeda dengan Puskesmas yang
berhasil mencapai target nasional, yaitu kegiatan evaluasi dilakukan
setiap bulan, seperti loka karya mini atau loka karya bulanan. Hal ini
139
terjadi, karena rapat evaluasi dilakukan oleh semua Puskesmas dengan
kebijakan dari Dinkes, adapun informasi tersebut dapat terlihat dalam
pernyataan berikut ini:
Informan 3
“adanya lokmin saya lokbul tiap bulan atau ada juga mingguan
bisa”
Informan 4
“evaluasi program kita lokakarya bulanan kita laksanankan
seluruhnya”
Informan 7
“kemaren baru kita evaluasi program jadi cakupannya dilihat tapi
kita lokbul akhir bulan juga terus ngasih tahu”
“ya akhir bulan lah kalau evaluasi mah tiap akhir bulan”
Informan 8
“Evaluasi nanti kita kan laporan perbulan, evaluasinya perbulan
nanti kita lihat ada juga triwulan, tahunan”
Pembicaraan dalam kegiatan evaluasi di Puskesmas yang tidak
berhasil mencapai target nasional, hampir sama dengan kegiatan
evaluasi di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional. Adapun
yang dibahas yaitu semua program Puskesmas diantaranya petugas
menyampaiakan hasil program selama satu bulan, cakupan, targetnya
tercapai atau tidak, permasalahnnya apa, dan jika ada permasalahan apa
kendalanya serta dicarikan solusinya dalam evaluasi tersebut. Berikut
ini adalah hasil wawancara dengan beberapa informan yang mendukung
informasi tersebut.
140
Informan 3
“kalau kita semua program dijadiin satu aja, karena keterbatasan
waktu mereka juga pada sibuk megang program”
“kita semua program di evaluasi enggak hanya pneumonia, dalam
satu kegiatan perencanaan kedepan apa sudah mencapai sasaran
apa yang akan dilaksanakan tahun depannya makanya kita
evaluasi program, jadi kita ada namanya loka karya bulanan
terus da yang mingguan”
“ya salah satunya kita disitu bicara program-program”
Informan 4
“Itu menyampaikan hasil program, cakupan, targetnya berapa,
capaiannya berapa, permasalahnnya apa, kalo ada permasalahan
apa kendalanya. Kemudian pada saat lokbul temen-temen juga
menyampaikan hasil rapat apa yang mereka dapat dari hasil rapat
itu yang dikasih tau ke kita”
Informan 7
“pencapaian program, apa masalah atau hambantannya, banyak
lah mbak yang dibicarakan dalam rapat mah”
Informan 8
“Pencapaian target programnya, sasaran nya kan kita lihat dari
jumlah penduduk, jadi kan kita dapat target dari dinas berapa
persen sudah mencapai atau belum , tapi enggak apa-apa sih
kalau enggak kecapai juga, kalau mau kecapai bantuin mbak
nyarinya bantuin susah”
Menurut informan ahli kegiatan evaluasi di Puskesmas dilakukan
untuk mengetahui pencapaian program dan membangun motivasi yang
dilakukan setiap bulan. Adapun informasi yang disampaikan informan
ahli adalah sebagai berikut:
Informan 11
“Puskesmas itu, kalau evaluasi kan setahun Puskesmas harus
melakukan monitoring itu monitoring itu artinya gini melakukan
evaluasi sampai bulan ini saya sudah mencapai berapa banyak,
141
kemudian mengidentifikasi daerah-daerah mana yang sebetulnya
perlu diperhatikan atau pneumonia yang perlu menjadi perhatian
salah satunya tadi kebalik, jumlah yang kasusnya banyak berarti
sudah sukses yang tidak ada kasusnya berarti tidak sukses berarti
yang dikunjungi malah yang enggak banyak kasusnya dengan
melakukan evaluasi banyak faktor bisa kematian kondisi
lingkungan itu menjadi bahan monitoring”
“iya kan melakukan evaluasi bulanan untuk membangun motivasi
menginatkan teman-teman, kalau ada berita segini suapay
menjadi perhatian”
Berdasarkan informasi tersebut dapat disimpulkan, bahwa kegiatan
evaluasi di setiap Puskesmas dilakukan setiap bulan dalam kegiatan
lokmin dan lokbul. Setiap Puskesmas dalam kegiatan evaluasi
melibatkan semua staf dengan membahas pencapaian program. Akan
tetapi, tidak semua program dibahas dalam kegiatan evaluasi tersebut.
Menurut informan ahli kegiatan evaluasi juga berfungsi sebagai
pembangun motivasi petugas dalam bekerja.
142
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
1. keterbatasan waktu informan ketika wawancara, sehingga peneliti
melakukan wawancara secara berulang pada waktu yang berbeda.
Kondisi ini menyebabkan informasi yang diberikan oleh informan ada
perbedaan antara yang pertama dan kedua. Oleh karena itu peneliti
menarik simpulan berdasarkan pengamatan dan informasi yang
diperoleh pertama kali.
2. Informan yang terdiri dari kepala puskesmas dan staf, namun pada
tahun 2015 ini tepatnya pada bulan Februari terjadi pergantian
pimpinan dan staf di Puskesmas Serpong 1, Baktijaya, Kranggan dan
Pisangan. Sehingga ada beberapa informasi yang tidak rinci atau tidak
jelas yang disampaikan informan tersebut, namun keterbatasan ini
dapat diminimalisir dengan adanya triangulasi sumber.
3. Semua puskesmas tidak memiliki dokumen terkait perencanaan
program penemuan pneumonia, sehingga tidak ada bukti fisik yang
bisa disajikan pada penelitian ini. Tetapi dengan adanya triangulasi
metode dan sumber keterbatasan ini dapat diatasi.
143
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia
Balita di Puskesmas
Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas, yang merupakan variabel
penelitian adalah perencanaan program, kegiatan program, tatalaksana
pneumonia balita/MTBS, pencatatan dan pelaporan, motivasi petugas,
kepemimpinan kepala puskesmas, ketersediaan sarana dan prasarana serta
kegiatan evaluasi. Selain itu, dari segi faktor petugas kesehatan yaitu jenis
kelamin, status pelatihan, tingkat pendidikan, lama kerja, pengetahuan
tentang konsep pneumonia balita. Berikut ini adalah pembahasan dari hasil
penelitian yang telah dilakukan.
1. Perencanaan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita
Perencanaan program merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan/diputuskan bersama (Herijulianti, dkk, 2002). Dari definisi
tersebut dapat disimpulkan, bahwa perencanaan program sangat
penting untuk dilakukan. Perencanaan program penemuan pneumonia
balita adalah bagian dari program P2 ISPA di puskesmas. Berdasarkan
hasil penelitian, diketahui bahwa puskesmas yang berhasil dan tidak
berhasil mencapai target nasional menyusun perencanaan program
penemuan kasus pneumonia balita tahun 2014. Akan tetapi waktu
penyusunan rencana program di kedua puskesmas tersebut berbeda.
Gambaran perencanaan program penemuan kasus pneumonia balita
di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan
144
hasil penelitian, diketahui bahwa pembuatan perencanaan program
tahun 2014 dilakukan pada akhir tahun 2013, tepatnya pada bulan
Desember. Puskesmas juga membuat perencanaan program dalam
bentuk POA (plan of action) setiap program kegiatan yang akan
dilaksanakan di puskesmas tersebut yang dibuat oleh penanggung
jawab program. Selain itu, kewajiban membuat POA ini merupakan
intruksi dari dinas kesehatan..
Perencanaan program yang dibuat oleh puskesmas yang berhasil
mencapai target nasional, adalah hasil kerjasama antar beberapa
petugas puskesmas yaitu Promkes, Kesling, MTBS, dokter dan Binwil.
Hal ini dilakukan karena antara satu program dengan program lainnya
saling terkait. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama untuk mencapai
tujuan program tersebut khususnya dalam pencapaian target penemuan
kasus pneumonia balita.
Untuk melakukan triangluasi metode pada penelitian ini, peneliti
memverifikasi dokumen perencanaan program kepada informan,
sebagai bukti telah membuat perencanaan tersebut. Namun, dalam
kenyataanya tidak ditemukan dokumen tersebut, alasannya informan
lupa menyimpan POA yang telah dibuat. Informan mengakui bahwa
POA tersebut dipakai secara berulang setiap tahunnya jadi hanya
mengganti tanggal dan waktu pelaksanaan saja. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa pembuatan perencanaan program tahun 2014
di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dilakukan pada
145
akhir tahun 2013, dan bekerjasama dengan Promkes, Kesling, MTBS,
dokter dan Binwil.
Gambaran perencanaan program penemuan kasus pneumonia balita
di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pembuatan perencanaan
program di Puskesmas dilakukan pada awal tahun 2014, tepatnya
bulan Januari dan Februari. Adapun petugas yang membuatnya adalah
penanggung jawab program. Sehingga terkesan belum siap untuk
melakukan pelaksanaan program.
Tidak berbeda dengan puskesmas yang berhasil mencapai target
nasional, dalam perencanaan program petugas P2 ISPA di Puskesmas
yang tidak berhasil mencapai target nasional bekerjasama dengan
petugas puskesmas yaitu binwil, dokter dan petugas kesling dalam
perencanaa program tersebut. Selain itu, salah satu puskesmas
melakukan lintas program atau lintas sektoral dengan balai pengobatan
swasta atau klinik swasta, untuk meminta laporan kasus pneumonia
balita. Namun kasus pneumonia di puskesmas tersebut tidak mencapai
target, bahkan dalam satu tahun hanya satu penderita pneumonia yang
di temukan di wilayah kerja puskesmas tersebut.
Sama halnya dengan puskesmas yang berhasil mencapai target
nasional, untuk triangulasi metode mengenai perencanaan yang telah
dibuat, tidak ditemukan bentuk fisik, karena informan tidak
memberikan bukti perencanaan tersebut. Beberapa informan
146
memberikan penjelasan, bahwa dokumen tersebut ada di penanggung
jawab program yang lama dan sudah tidak bekerja. Sehingga dalam
penelitian ini, tidak dapat disajikan dokumen tersebut.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, agar program penemuan kasus
pneumonia balita mencapai target nasional maka harus menyusun
perencanaan program yang dilakukan pada akhir tahun, sehingga
kegiatan tersebut dapat dimulai pada awal tahun. Selain itu juga harus
bekerjasama dengan petugas puskesmas yaitu Promkes, Kesling,
MTBS, dokter dan Binwil. Hasil penelitian dengan pendekatan
kuantitaif, yang dilakukan Warsihayati (2002) menunjukkan bahwa
pembuatan rencana kerja tahunan memberikan pengaruh terhadap
cakupan kasus pneumonia balita disuatu puskesmas. Sedangkan
penelitian Dharoh, dkk (2014) menyebutkan bahwa tidak ada
hubungan antara perencanaan program dengan penemuan penderita
pneumonia balita. Hal ini terjadi, karena perencanaan dibuat hanya
untuk memenuhi kebutuhan Dinas Kesehatan, perencanaan tidak
digunakan sebagai acuan pelaksanaan kegiatan.
Tidak berbeda dengan pendapat informan ahli, bahwa perencanaan
dalam suatu organisasi harus dibuat untuk mencapai program dengan
melibatkan semua staf puskesmas. Menurut Hasibuan (1990)
menyebutkan prinsip-prinsip/asas perencanaan adalah prinsip
membantu tercapainya tujuan, efisiensi dari perencanaan, pengutamaan
perencanaan, prinsip pemerataan perencanaan, patokan perencanaan,
147
kebijaksanaan pola kerja, prinsip waktu, tata hubungan perencanaan,
prinsip alternatif, prinsip pembatasan faktor, prinsip keterikatan,
prinsip flexibilitas, prinsip ketetapan arah, prinsip perencanaan
strategi. Sedangkan dalam penelitian ini tidak dapat diketahui
kebenaran puskesmas mana saja yang menggunakan prinsip
perencanaan tersebut dalam penyusunan perencanaan program. Hal ini
disebabkan, karena tidak adanya dokumen perencanaan dalam
penelitian ini. Sehingga secara objektif tidak dapat dinilai.
Dengan demikian diharapkan semua penanggung jawab P2 ISPA
di Puskesmas dapat membuat perencanaan program sesuai dengan
prinsip perencanaan dan dapat merealisasikan perencanaan tersebut
dengan baik. Selain itu, Dinas Kesehatan sebaiknya mewajibkan
penanggung jawab program di puskesmas untuk menyusun
perencanaan program, serta bekerjasama dengan petugas Puskesmas
lainnya. perlu adanya penyimpanan dokumentasi penyusunan
perencanaan program.
2. Kegiatan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita
Standar dari Kemenkes (2012) mengenai kegiatan penemuan kasus
pneumonia balita di puskesmas dapat dilakukan dengan penemuan
kasus pneumonia secara aktif maupun pasif. Penemuan kasus secara
aktif dilaksanakan oleh petugas puskesmas dengan mendatangi pasien
atau mencari kasus di masyarakat melalui deteksi dini. Sedangkan
penemuan kasus secara pasif dilaksanakan diseluruh wilayah kerja
148
puskesmas yang ada, dengan melihat data jumlah penderita yang
datang, untuk berobat ke puskesmas tersebut. Kegiatan tersebut
berpengaruh terhadap pencapaian target penemuan kasus pneumonia
balita di puskesmas.
Gambaran kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita, di
puskesmas yang berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil
penelitian, diketahui bahwa puskesmas melakukan kegiatan tersebut
secara aktif dan pasif untuk mencapai target cakupan. Kegiatan secara
pasif dilakukan di puskesmas terutama dibagian MTBS untuk
tatalaksana pneumonia balita dan selanjutnya petugas melakukan
pendataan kasus tersebut. Sedangkan kegiatan secara aktif dilakukan di
Posyandu dengan memeriksa pasien, jika ditemukan penderita
pneumonia, maka segera dirujuk ke puskesmas untuk mendapatkan
penanganan dan pengobatan segera.
Selain itu, kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita di
puskesmas yang berhasil mencapai target nasional yaitu pelacakan
kasus pneumonia, kegiatan ini dilakukan jika ada kematian bayi akibat
pneumonia. Kegiatan selanjutnya yaitu pencarian kasus di Posyandu
yang bekerjasama dengan kader dan binwil, melakukan deteksi dini
pada bayi, jika ada napas cepat, maka bayi tersebut menderita
pneumonia. Di puskesmas ini, juga dilakukan kunjungan kerumah
untuk penderita pneumonia, jika dalam 2 hari tidak melakukan
149
kunjungan ulang ke puskesmas, maka petugas yang melakukan
kunjungan tersebut, untuk melihat kondisi balita di rumah.
Pada saat wawancara dilakukan di puskesmas tersebut, berdasarkan
hasil observasi, ditemukan penderita pneumonia balita yang sedang
diperiksa di Poli anak/MTBS. Hal ini menunjukkan, adanya kebenaran
bahwa puskesmas tersebut melakukan kegiatan program penemuan
kasus tersebut. Selain itu, di puskesmas tersebut juga, setiap bulannya
ditemukan kasus pneumonia balita. Dapat disimpulkan bahwa
puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, melakukan
kegiatan secara aktif dan pasif dalam kegiatan program penemuan
kasus pneumonia balita.
Gambaran kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita di
puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan
hasil penelitian, diketahui bahwa kegiatan tersebut hanya dilakukan
secara pasif yaitu dengan menunggu pasien datang ke puskesmas, dan
hanya melakukan penyuluhan saja di Posyandu, tanpa melakukan
deteksi dini atau pencarian kasus pneumonia balita di masyarakat.
Selain itu, untuk mencapai target penemuan kasus pneumonia,
petugas puskesmas meminta laporan dari kilinik swasta yang ada di
wilayah kerja puskesmas tersebut, jika ada kasus pneumonia balita.
Informan juga mengakui, bahwa tidak ditemukan kasus pneumonia,
tetapi kasus ISPA yang paling banyak ditemukan di puskesmas
tersebut. Akibatnya puskesmas kesulitan untuk mencapai target. Hal
150
ini mungkin terjadi, karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan
petugas mengenai pneumonia balita, sehingga mempengaruhi
penemuan kasus.
Kegiatan deteksi dini secara aktif perlu dilakukan oleh puskesmas,
agar penemuan kasus pneumonia balita dapat mencapai target
cakupan. Deteksi dini juga sangat penting untuk mengetahui kondisi
balita lebih awal, sebelum menderita pneumonia yang lebih berat dan
harus dirujuk ke dokter, kegiatan ini dapat dilakukan di Puskesmas
ataupun di masyarakat dengan bantuan kader dan Binwil. Adapun cara
melakukan deteksi dini pneumonia balita adalah dengan menanyakan
balita yang batuk atau kesukaran bernapas, selanjutnya dilihat apakah
ada TTDK atau tidak, kemudian penentuan tanda bahaya sesuai
golongan umur dan yang terakhir yaitu mengklasifikasikan balita
apakah pneumonia berat, pneumonia atau batuk bukan pneumonia
(Kemenkes, 2012). Deteksi dini dapat dilakukan oleh petugas yang
sudah terlatih ataupun mengetahui dan memahamai konsep pneumonia
balita.
Oleh karena itu, agar puskesmas berhasil mencapai target nasional
dalam pencapain target penemuan kasus pneumonia balita, maka perlu
dilakukan kegiatan program penemuan kasus secara aktif dan pasif,
serta perlu adanya kegiatan deteksi dini aktif. Menurut Kemenkes
(2012), menyatakan bahwa kegiatan penemuan kasus pneumonia balita
adalah kegiatan inti dalam program P2 ISPA. Penemuan kasus
151
pneumonia merupakan salah satu strategi dalam pengendalian
pneumonia. Sehingga kegiatan inilah yang menjadi ujung tombak dari
pencapaian target program tersebut. Penelitain yang dilakukan
Handayani (2012) di Puskesmas Kota Semarang menyebutkan bahwa
penemuan kasus yang dilakukan Puskesmas tersebut adalah penemuan
kasus secara pasif hal ini menyebabkan hanya 10% Puskesmas yang
mencapai target nasional.
Berbeda dengan hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh
Dharoh, dkk (2014) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara
pelaksanaan program dengan cakupan penemuan kasus penderita
pneumonia balita. Hal yang sama, juga terjadi pada penelitian yang
dilakukan oleh Marisa (2011) bahwa tidak ada hubungan antara
pelaksanaan program dengan angka bebas jentik di Kota Semarang.
Sedangkan menurut pendapat informan ahli untuk mencapai target
nasional dapat dilakukan dengan membuka pelayanan sebanyak
mungkin atau kombinasi dari kegiatan penemuan secara aktif dan
pasif. Dengan demikian, untuk puskesmas yang tidak berhasil
mencapai target nasional, diharapkan dapat melakukan penemuan
kasus secara aktif dan pasif.
3. Tatalaksana Pneumonia Balita/ MTBS
Pola tatalaksana penderita yang dipakai dalam penanggulangan
pneumonia balita didasarkan pada aturan tatalaksana pneumonia yang
diterbitkan WHO tahun 1988, dan telah mengalami adaptasi sesuai
152
kondisi Indonesia (Kemenkes, 2012). Pada saat ini tatalaksana
pneumonia balita berpedoman pada MTBS di puskesmas. Sehingga
semua puskesmas wajib melakukan MTBS, dengan adanya MTBS di
puskesmas penyakit pneumonia yang diderita balita dapat diketahui
dan segera diatangani oleh petugas yang bewenang.
Gambaran tatalaksana pneumonia balita atau MTBS di puskesmas
yang berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil penelitian,
diketahui bahwa puskesmas tersebut melakukan kegiatan tatalaksana
pneumonia balita atau MTBS. Kegiatan tersebut, menurut informan
sudah dilaksanakan sesuai dengan standar atau pedoman MTBS.
Pemeriksaan MTBS pada balita yang pertama kali dilakukan adalah
menanyakan kepada orangtua balita, apakah ada batuk, sukar bernapas
atau tidak, jika ada dilakukan penghitungan napas dalam satu menit.
Hasil dari pemeriksaan itulah petugas dapat menyimpulkan balita
tersebut menderita pneumonia atau tidak.
Kegiatan tatalaksana pneumonia balita/MTBS di Puskesmas yang
berhasil mencapai target nasional dilakukan oleh dokter umum yang
bertugas di poli anak dan dibantu oleh dokter atau perawat. Jika dokter
umum tidak melakukan pelayanan di poli tersebut, maka
penatalaksananya adalah bidan atau perawat yang terlatih atau
setidaknya sudah memahami prosedur tatalakasana pneumonia.
Sehingga tidak ada kesalahan pada saat tatalaksana dan penanganan
kasus tersebut.
153
Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional juga
menargetkan, dalam sehari penderita pneumonia yang ditemukan
harus 3 sampai 4 balita, yang ditatalaksana di MTBS. Tidak hanya di
puskesmas, tatalaksana tersebut juga dilakukan di Posyandu untuk
penjaringan pneumonia balita. Hal ini, dilakukan agar penemuan
kasus pneumonia balita dapat mencapai target nasional.
Gambaran tatalaksana pneumonia balita di puskesmas yang tidak
berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil penelitian,
diketahui bahwa tatalaksana tersebut dilakukan, jika ada kasus
pneumonia. Namun, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya,
kasus pneumonia di puskesmas tersebut tidak ditemukan. Hal ini
terjadi, karena tidak adanya petugas terlatih mengenai penyakit
pneumonia, informasi tersebut disampaikan oleh salah satu kepala
puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional.
Tatalaksana pneumonia balita di Puskesmas yang tidak berhasil
mencapai target nasional, dilakukan oleh dokter umum dan dibantu
oleh bidan atau perawat. Jika dokter tersebut tidak melakukan
pelayanan di puskesmas, maka yang melakukan tatalaksana tersebut
adalah bidan dan perawat. Namun, bidan atau perawat di puskesmas
tersebut, belum pernah mendapatkan pelatihan atau belum memahami
secara detail mengenai pneumonia balita. Akibatnya dalam kegiatan
tersebut tidak ditemukan kasus pneumonia balita.
154
Dengan demikian, dalam penelitian ini tidak ditemukan perbedaan
dalam hal kegiatan tatalaksana pneumonia balita antara puskesmas
yang berhasil tidak berhasil mencapai target nasional. Karena semua
puskesmas melakukan kegiatan tatalaksana atau MTBS. Perbedaanya
terdapat pada petugas penatalaksana, untuk puskesmas yang berhasil
mencapai target nasional ada beberapa petugas yang sudah
mendapatkan pelatihan dan memahami mengenai pneumonia.
Sedangkan puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional,
petugasnya belum pernah mendapatkan pelatihan menganai hal
tersebut.
Hasil penelitian kualitatif ini, menyatakan bahwa puskesmas yang
berhasil mencapai target nasional mempunyai tenaga terlatih lebih
banyak, sehingga pada saat pelayanan MTBS, kasus yang ditemukan
dapat mencapai target nasional. Sama halnya dengan penelitian
kuantitatif yang dilakukan Hidayati dan Wahyono (2011), diketahui
bahwa terdapat hubungan antara tatalaksana pelayanan MTBS dengan
kejadian pneumonia balita atau penemuan kasus. Hal ini terjadi karena
sebagaian besar langkah atau tahapan dari proses pemeriksaan hingga
pengobatan berdasarkan pelayanan MTBS khususnya pneumonia
dilaksanakan sepenuhnya oleh petugas yang berwenang atau terlatih.
Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari informan ahli.
Menurut informan ahli pada saat penatalaksanaan pneumonia balita.
seharusnya diserahkan kepada yang berwenang yaitu dokter dan
155
petugas yang sudah terlatih dalam tatalaksana pneumonia balita atau
MTBS. Sedangkan, untuk penemuan kasus pneumonia balita boleh
dilakukan oleh siapa saja yang sudah mendapatkan pengetahuan
mengenai pneumonia balita. Dengan demikian untuk petugas
Puskesmas diharapkan dapat melaksanakan tatalaksana pneumonia
balita atau MTBS sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan
Kemenkes, guna untuk menemukan kasus pneumonia balita sedini
mungkin di Puskesmas.
4. Pencatatan dan Pelaporan
Definisi pencatatan dan pelaporan menurut Kron dan Gray, adalah
mengkomunikasikan secara tertulis kepada tim kesehatan lain yang
memerlukan data kesehatan atau data epidemiologi secara teratur
(Sutomo, 2010). Pencatatan dan pelaporan dalam kegiatan penemuan
kasus pneumonia balita, mencakup analisis data yang dilakukan
berdasarkan kategori kelompok umur. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah pengambilan kebijakan dalam rangka pengendalian dan
pencegahan pneumonia (Kemenkes, 2012). Kegiatan pencatatan dan
pelaporan dalam penelitian ini adalah kegiatan pencatatan yang
dilakukan oleh P2 ISPA, baik data dari puskesmas maupun klinik
swasta. Berikut ini adalah pembahasan mengenai kegiatan pencatatan
dan pelaporan di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional.
Gambaran kegiatan pencatatan dan pelaporan di puskesmas yang
berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil penelitian,
156
diketahui bahwa Puskesmas tersebut melakukan kegiatan pencatatan
kasus pneumonia secara rutin, setelah jam pelayanan. Kasus tersebut
dicatatat di formulir register pneumonia yang sudah disediakan oleh
Dinkes. Adapun kegiatan pencatatan bertujuan untuk mengetahui ada
atau tidaknya kasus pneumoni dan untuk mengetahui pasien yang tidak
melakukan kunjungan ulang ke puskesmas selama 2 hari setelah
berobat.
Puskesmas tersebut juga memperoleh laporan kasus pneumonia
dari klinik-klinik swasta, praktek bidan dan balai pengobatan, jika
ditemukan kasus pneumonia di wilayah kerja puskesmas. Namu
laporan kasus dari klinik tersebut, tidak dicatatat berdasarkan MTBS.
Hal tersebut dilaporkan ke puskesmas setiap bulan, dan biasanya
puskesmas yang menjemput data kasus tersebut atau dikenal dengan
istilah jemput bola.
Kegiatan pelaporan kasus pneumonia di Puskesmas yang berhasil
mencapai target nasional dilaksanakan setiap bulan. Dengan mengikuti
alur pelaporan yang sudah ditentukan oleh Dinkes. Format pelaporan
yang harus diisi oleh petugas puskesmas antara lain adalah usia, alamat
dan klasifikasi pneumonia. Laporan tersebut harus dikerjakan oleh
penanggung jawab program, agar Dinkes mengetahui penemuan kasus
pneumonia disetiap puskesmas.
Gambaran kegiatan pencatatan dan pelaporan di puskesmas yang
tidak berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil penelitian,
157
diketahui bahwa puskesmas tersebut telah melakukan pencatatan dan
pelaporan. Namun, kasus pneumonia tidak ditemukan di puskesmas
tersebut. Hal ini mungkin terjadi, karena petugas di puskesmas tersebut
belum mendapatkan pelatihan dan kurang memahami mengenai
tatalaksana pneumonia. Sehingga di puskesmas tersebut tidak ada
catatan kasus pneumonia.
Alur pelaporan kasus pneumonia di puskesmas yang tidak berhasil
hampir sama dengan puskesmas yang berhasil mencapai target
nasional. Perbedaanya puskesmas yang tidak berhasil mencapai target
nasional tidak ditemukan kasus pneumonia, sehingga laporan kasus
pneumonia setiap bulannya nol dan hanya terdapat 1 kasus saja di
tahun 2014. Dengan adanya hal ini, seharusnya penannggung jawab P2
ISPA di Dinkes melakukan supervisi ke puskesmas tersebut.
Selain itu, puskesmas tersebut tidak menerima laporan dari klinik
swasta mengenai kasus pneumonia, meskipun puskesmas melakukan
kegiatan pencarian kasus ke klinik-klinik swasta. Seharusnya petugas
dari Dinkes melakukan pembinaan atau pemantauan untuk mengetahui
hambatan apa saja yang ada di puskesmas tersebut. Sehingga
pencapaian target penemuan kasus tidak tercapai. Dapat disimpulkan
bahwa di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional sulit
menemukan kasus pneumonia balita dan tidak adanya pelaporan dari
klinik swasta.
158
Pencatatan dan pelaporan adalah bagian dari kegiatan surveilans di
puskesmas. Surveilens adalah suatu kegiatan sistematis
berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan, menganalisis
dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan
landasan yang esensial dalam membuat rencana, implementasi dan
evaluasi suatu kebijakan kesehatan masyarakat (Kemenkes, 2010).
Selain itu, kegiatan surveilans dapat dilaksanakan secara aktif dan
pasif.
Surveilans pasif adalah kegiatan yang mengumpulkan,
menganalisis dan menginterpretasi data yang berasal dari puskesmas
yaitu dengan menunggu pasien datang ke Puskesmas. Sedangkan
kegiatan surveilans aktif datanya diperoleh dari penemuan kasus di
masyarakat seperti deteksi kasus di Posyandu. Dalam penelitian ini,
baik puskesmas yang berhasil maupun yang tidak berhasil mencapai
target nasional, keduanya belum melaksanakan kegiatan surveilans,
akan tetapi hanya melakukan bagian pencatatan dan pelaporan.
Sehingga bukti berbasis data belum ada, padahal dari hasil kegiatan
surveilans dapat dimanfaatkan untuk membuat perencanaan program
selanjutnya yang berdasarkan evidence base.
Menurut penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh Ningrum
(2006), diketahui bahwa petugas yang terlambat dalam melakukan
pencatatan dan pelaporan kasus, akan menjadi salah satu faktor
penyumbang ketidakberhasilan program di puskesmas. Sedangkan
159
menurut informan ahli kegiatan pencatatan di puskesmas seharusnya
tidak dilakukan berkali-kali dan pelaporan dari klinik swasta bersifat
sukarela.
Dengan demikian, sebaiknya puskesmas melakukan kegiatan
pencatatan dan pelaporan dengan memanfaatkan waktu secara efektif
dan efesien. Selain itu, perlu dilaksanakan surveilans berbasis
puskesmas, baik secara pasif maupun aktif, sehingga kegiatan
surveilans di puskesmas tidak hanya pencatatan dan pelaporan saja.
Untuk Dinkes perlu diadakannya kegiatan supervisi atau pembinaan di
puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional
5. Faktor Petugas Kesehatan
Dalam penelitian ini faktor petugas kesehatan, yang diteliti yaitu
jenis kelamin petugas, pelatihan petugas, pendidikan petugas, lama
memegang program dan pengetahuan petugas. Faktor petugas diteliti,
karena semua kegiatan dilakukan oleh petugas puskesmas. Berikut ini
adalah pembahasan mengenai faktor petugas kesehatan.
a. Jenis Kelamin
Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah
perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak
seseorang lahir. Adapun dalam penelitian ini, yang dimaksud
dengan jenis kelamin petugas adalah kondisi informan secara
biologis sejak lahir. Seorang laki-laki pada dasarnya mempunyai
sifat yang tegas dalam menjalankan suatu program. Sedangkan
160
seorang perempuan memilki sifat atau naluri keibuan yang sangat
dibutuhkan bagi petugas kesehatan terutama petugas MTBS pada
saat memeriksa balita..
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa tidak ada
perbedaan jenis kelamin petugas antara puskesmas yang berhasil
maupun yang tidak berhasil mencapai target nasional. Semua
penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS adalah perempuan.
Sedangkan untuk kepala puskesmasnya yaitu 2 laki-laki dan 2
perempuan. Sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa perempuan
memiliki sifat keibuan pada saat memeriksa balita terutama pada
saat tatalaksana pneumonia.
Hasil penelitian ini, didukung dengan hasil penelitian
Mulyaningsih (2013) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara jenis kelamin dengan kinerja petugas
kesehatan. Perempuan dan laki-laki juga tidak ada perbedaan yang
konsisten dalam kemampuan memecahkan masalah, keterampilan
analisis, dorongan kompetitif, motivasi dan sosiabilitas dan
kemampuan belajar (Rival dan Mulyadi, 2010). Hal ini berbeda
dengan pendapat yang disampaikan informan ahli bahwa antara
perempuan dan laki-laki dalam melaksanakan tugas ada
perbedaannya yaitu laki-laki lebih intens, sedangkan perempuan
lebih teliti dalam merawat balita, terutama dalam penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas.
161
b. Pelatihan Petugas
Pelatihan petugas menurut Sihula (dalam Hasibuan, 2008)
adalah suatu proses pendidikan pendek dengan menggunakan
prosedur sistematik dan terorganisir, sehingga karyawan
operasional mempunyai pengetahuan teknik pengerjaan dan
keahlian untuk tujuan tertentu. Pelatihan petugas sangat penting
untuk dilakukan terutama dalam hal tatalaksana pneumonia. Selain
itu, Kemenkes (2012) menegaskan bahwa pelatihan kesehatan
dilakukan melalui pelatihan teknis program dan teknis fungsional
secara berjenjang disemua tingkat administrasi untuk menunjang
profesionalisme. Dalam program P2 ISPA, pelatihan yang
diberikan kepada petugas kesehatan di Puskesmas meliputi
pelatihan tatalaksana penderita pneumonia (terintegrasi dengan
pelatihan MTBS) dan pelatihan manajemen program P2 ISPA.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa penangung
jawab P2 ISPA dan MTBS di puskesmas yang berhasil mencapai
target nasional, sudah pernah mendapatkan pelatihan mengenai
pneumonia balita yang dilaksanakan oleh Dinkes. Selain itu,
beberapa petugas di puskesmas tersebut, juga sudah pernah
mendapatkan pelatihan. Pada saat wawancara, informasi yang
diberikan informan tersebut sangat detail dan jelas, berbeda dengan
jawaban petugas yang belumterlatih. Namun, kepala Puskesmas
belum pernah mengikuti pelatihan mengenai pneumonia. Kepala
162
puskesmas, hanya sekadar memahami dari penjelasan petugas yang
sudah terlatih dan membaca buku mengenai penyakit tersebut.
Dengan adanya tenaga terlatih di puskesmas yang berhasil
mencapai target nasional, maka kegiatan penemuan kasus di
puskesmas tersebut, dapat berjalan dengan baik, terutama kegiatan
secara pasif yang dilakukan di MTBS atau poli anak. Sehingga
puskesmas tersebut dapat mencapai target nasional yang sudah
ditentukan. Dalam hal ini, secara kualitatif pelatihan petugas
berpengaruh terhadap penemuan kasus pneumonia balita di
puskesmas. Penelitian ini didukunga dengan hasil penelitian
kuantitaif, oleh Adnan (2013) diketahui bahwa pelatihan
berkontribusi paling dominan terhadap keterampilan petugas dalam
tatalaksana pneumonia.
Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa puskesmas yang
tidak berhasil mencapai target nasional, tidak mempunyai tenaga
terlatih, terutama penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS
mengakui bahwa belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai
pneumonia. Hanya ada satu petugas MTBS yaitu dokter umum
yang pernah dilatih, akan tetapi petugas tersebut baru 5 bulan
menjadi petugas MTBS. Sebelumnya petugas tersebut
mendapatkan pelatihan dari dinas kesehatan, ketika bekerja di
puskesmas yang dulu.
163
Petugas yang tidak terlatih, di puskesmas tersebut didukung
oleh pendapat kepala Puskesmas yang tidak berhasil mencapai
target nasional, bahwa petugasnya, masih banyak yang belum
mendapatkan pelatihan, sehingga kesulitan dalam pelaksanaan
penemuan kasus pneumonia balita. tidak hanya cakupan
pneumonia yang tidak tercapai cakupan program lainnya seperti
cakupan penemuan kasus TB juga tidak tercapai. Hal tersebut
disampaikan oleh kepala puskesmas pada saat wawancara.
Tidak terlatihnya petugas di puskesmas tersebut. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena adanya mutasi pegawai di
puskesmas, sehingga susunan pegawai di puskesmas relatif baru
dan petugas terlatih tidak lagi di puskesmas tersebut. Selain itu,
pelatihan yang diadakan dinas kesehatan juga bersifat berkala.
Hasil penelitian ini, sejalan dengan penelitian kuantitatif
yang dilakukan Ivantika (2001) di Bandung menyatakan bahwa
petugas yang telah mendapatkan pelatihan sebelumnya, memiliki
peluang 1,353 kali lebih besar untuk mendapat cakupan program
yang lebih tinggi dibandingakn dengan petugas yang tidak
mendapat pelatihan. Sama halnya dengan penelitian Nurcik (2002)
mengenai hubungan profesionalisme petugas P2 ISPA dengan
cakupan penemuan kasus pneumonia balita, diketahui bahwa
pelatihan petugas (OR=6,26 P=0,000; 95% CI 2,20-17,87)
164
mempunyai hubungan yang kuat dan bermakna dengan cakupan
penemuan penderita pneumonia balita.
Menurut pendapat informan ahli, bahwa seharusnya
petugas puskesmas sudah mendapatkan pelatihan atau setidaknya
memahami sebatas mana penemuan kasus pneumonia balita yaitu
dengan melakukan pelatihan kecil di puskesmas pada saat loka
karya mini. Oleh karena itu perlu diadakan pelatihan petugas di
dinas kesehatan dan puskesmas, guna menambah pengetahuan dan
pemahaman petugas puskesmas mengenai pneumonia balita.
c. Pendidikan Petugas
Pendidikan adalah tugas untuk meningkatkan pengetahuan,
wawasan, pengertian dan keterampilan dari para personil, sehingga
mereka lebih dapat berkualitas (Notoatmodjo, 2003). Dengan
adanya pendidikan, seseorang diharapkan menjadi pribadi yang
cerdas, kreatif, terampil, disiplin, beretos kerja profesional,
bertanggung jawab dan produktif. Menurut Kemenkes (2010),
bahwa pengembangan dan peningkatan tenaga kesehatan dilakukan
melalui pendidikan dan pelatihan. Dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan pendidikan petugas adalah pendidikan formal
terakhir yang pernah ditempuh oleh petugas pelaksana.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pendidikan
penanggung jawab P2 ISPA di Puskesmas yang berhasil maupun
yang tidak berhasil mencapai terget nasional yaitu D3 Kebidanan.
165
Sama halnya dengan petugas MTBS di puskesmas tersebut. Hanya
1 puskesmas saja yaitu puskesmas yang tidak berhasil mencapai
terget nasional, dengan pendidikan terakihr petugas MTBSnya
adalah SI Kedokteran. Namun demikian, tidak ditemukan adanya
perbedaan pendidikan petugas antara puskesmas yang berhasil
maupun yang tidak berhasil mencapai target nasional dalam
penemuan kasus pneumonia balita.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa
pendidikan terakhir kepala Puskesmas di Puskesmas Baktijaya,
Serpong 1 dan Pisangan adalah S1 kedokteran gigi. Sedangkan
pendidikan terakhir kepala Puskesmas di Kranggan adalah SI
Kesehatan Masyarakat. Pada saat wawancara, berdasarkan hasil
pengamatan informasi yang diberikan kepala Puskesmas dengan
latar belakang pendidikan SKM, lebih memahami penyakit
pneumonia secara menyuluruh dan lebih terbuka dalam
menyampaikan pendapat dibandingkan kepala puskesmas yang
bukan SKM.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Handayani
(2012), bahwa pendidikan petugas P2 ISPA dan MTBS di
Puskesmas yaitu D3 Kebidanan, D3 Keperawatan dan D3
Kesehatan lingkungan. Hasil penelitian ini juga didukung dengan
penelitian Ivantika (2001), Sinora (2005) dan Dharoh, dkk (2014)
menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
166
pendidikan petugas dengan cakupan penemuan penderita
pneumonia. Selain itu, hasil penelitian Duhri, dkk (2013)
menyebutkan bahwa petugas P2TB yang memiliki jenjang
pendidikan yant tinggi belum tentu memilki kinerja yang baik.
Sama halnya dengan penelitian Adnan (2013), menyatakan bahwa
pendidikan tidak berhubungan dengan keterampilan petugas dalam
tatalaksana pneumonia.
Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat Flippo (dalam
Hasibuan 2008), bahwa pendidikan berhubungan dengan
peningkatan pengetahuan umum dan pemahaman atas lingkungan
kita secara menyeluruh. Sama halnya dengan pendapat Hersey dan
Blanchard (dalam Sinora, 2005) yang mengungkapkan bahwa
pendidikan formal dan non-formal dapat mempengaruhi seseorang
dalam mengambil keputusan dan berperilaku. Sedangkan menurut
pendapat informan ahli yaitu pada saat ini orang bekerja bukan
karena pendidikan terakhirnya, tetapi karena golongan dan
pangkatnya. Oleh karena itu dalam perekrutan petugas kesehatan di
Puskesmas latar belakang pendidikan kesehatan sangat penting
untuk diutamakan dalam perekrutan tersebut.
d. Lama Kerja petugas
Menurut Wahyudi (2006) pengalaman seorang tenaga kerja
untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dinyatakan dalam
lamanya melaksanakan pekerjaan tersebut. Lama kerja seseorang
167
dalam organisasi perlu diketahui karena lama kerja dapat
merupakan salah satu indikator tentang kecenderungan petugas
tersebut dari berbagai segi kehidupan organisasional, misalnya
dikaitkan dengan produktivitas kerja (Siagian, 2002). Pada
umumnya, semakin lama orang bekerja maka pengalaman
bekerjanya akan bertambah luas, sehingga orang tersebut kan
menjadi semakin terampil dalam melaksanakan pekerjaanya.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan lama kerja petugas
adalah berapa lama penangung jawab P2 ISPA memegang program
tersebut sampai dengan waktu diwawancara.
Berdasarkan hasil penelitian, gambaran lama kerja petugas
di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, diketahui
bahwa penangung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS di
Puskesmas tersebut sudah 28 tahun bekerja sebagai petugas
tersebut. Petugas juga sudah mengikuti pelatihan pneumonia
berkali-kali yang diadakan Dinkes Kabupaten dan Kota. Dengan
demikian, pengalaman kerja petugas inilah yang menyebabkan
kegiatan penemuan kasus pneumonia di Puskesmas tersebut
berhasil mencapai target nasional.
Selain itu, lama kerja kepala puskesmas di pusekesmas
tersebut baru berjalan 5 bulan. Hal ini disebabkan adanya
pergantian pimpinan dan staf puskesmas yang dilakukan Dinkes
pada bulan Februari 2015. Namun, kepala puskesmas tersebut
168
sudah mempunyai pengalaman sebagai kepala puskesmas di
puskesmas sebelumnya. Pada dasarnya sistem yang dijalankan
disetiap puskesmas adalah sama terutama puskesmas dalam satu
Kota, yang berbeda hanyalah petugas dan wilayah kerjanya serta
prioritas penyakit yang ditangani puskesmas.
Gambaran lama kerja petugas di puskesmas yang tidak
berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil penelitian,
diketahui bahwa penangung jawab P2 ISPA baru berjalan 1 tahun,
menurut informasi dari informan bahwa petugas sebelumnya sudah
pindah ke puskesmas lain. Sehingga informan belum terlalu
memahami mengenai pneumonia balita. Sedangakan untuk petugas
MTBS di puskesmas tersebut, baru bertugas 5 bulan. Sebelumnya
petugas tersebut sudah menjadi petugas MTBS di puskesmas lain,
hal ini dapat terlihat dari informasi yang diberikan informan
mengenai tatalaksana pneumonia balita yang begitu detail.
Lama kerja kepala puskesmas di puskesmas tersebut baru
bertugas 5 bulan, hal ini disebabkan karena adanya mutasi pegawai
yang dilakukan Dinkes Kota Tangerang Selatan pada bulan
Februari 2015. Akan tetapi, kepala puskesmas tersebut sudah
mempunyai pengalaman sebagai kepala puskesmas di puskesmas
sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa lama
kerja petugas di puskesmas tersebut relatif baru.
169
Hasil Penelitian ini sesuai dengan pendapat Gibson (1987),
menyatakan bahwa lama kerja memberikan pengaruh kepada
prestasi kerja. Menurut penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh
Setiadi (2001). ditemukan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara lama kerja dengan kinerja bidan dalam penemuan
kasus ISPA. Penelitian ini juga didukung dengan hasil penelitian
yang dilakukan Ivantika (2001) menyatakan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara lama kerja pengelola P2 ISPA dengan
cakupan penemuan penderita pneumonia.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan informan ahli yang
menyatakan bahwa lama kerja petugas mempengaruhi pencapaian
program di puskesmas. Dengan demikian, diharapakan petugas
yang sudah lama bekerja di puskesmas dapat memberikan
pengalamannya kepada petugas baru, dalam hal menjalankan
program puskesmas, terutama program penemuan kasus
pneumonia balita. Sehingga semua puskesmas dapat mencapai
tujuan program.
e. Pengetahuan Petugas
Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2007) seseorang dikatakan
mencapai tingkat pengetahuan yang baik apabila mampu
menyebutkan, menguraikan, mendifinisikan, menyatakan dan
sebagainya serta menjelaskan secara benar obyek yang telah
dipelajari. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
170
penegatahuan petugas adalah pengetahuan mengenai klasifikasi
pneumonia, gejala dan tanda-tanda penderita pneumonia serta
tatalaksana penderita pneumonia. Pengetahuan petugas ditunjukkan
kepada penangung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS.
Gambaran pengetahuan petugas puskesmas yang berhasil
mencapai target nasional, diketahui bahwa pengetahuan
penanggung jawab P2 ISPA dan MTBS sudah tergolong baik. Hal
ini, disebabkan karena petugas tersebut sudah bekerja lama dan
pernah mengikuti pelatihan mengenai pneumonia. Sehingga
pengetahuan petugas terkait penemuan kasus pneumonia balita
juga lebih baik. Selain itu, semua pertanyaan yang peneliti ajukan
terjawab semua dengan benar oleh petugas tersebut. Kepala
puskesmas dalam penelitian ini tidak ditanyakan pengetahuan
mengenai hal tersebut, karena kepala puskesmas tidak melakukan
pelayanan pengobatan di puskesmas.
Gambaran pengetahuan petugas di puskesmas yang tidak
berhasil mencapai target nasional masih tergolong buruk, ketika
mengisi pertanyaan pengetahuan yang diajukan peneliti, masih
banyak jawaban yang salah, hanya satu petugas MTBS di
puskesmas tersebut berpengetahuan baik, karena di puskesmas
sebelumnya petugas tersebut pernah menjadi petugas MTBS.
Petugas mempunyai pengetahuan buruk dikarenakan petugas
tersebut belum pernah mengikuti pelatihan dan lama kerja sebagai
171
petugas tersebut masih realtif baru. Sehingga pengalaman yang
dimilki petugas tersebut masih kurang.
Dengan demikian, terdapat perbedaan pengetahuan petugas
di puskesmas yang berhasil dengan puskesmas yang tidak berhasil
mencapai target nasional. Puskesmas yang berhasil mencapai target
nasional, petugasnya mempunyai pengetahuan yang baik.
Sedangkan puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional
mempunyai pengetahuan yang buruk mengenai pneumonia balita.
Pengetahuan seseorang akan membentuk tindakan dalam
suatu kinerja. Namun bukan berarti seseorang yang berpendidikan
rendah mutlak berpengetahuan rendah. Menurut Wawan (2010),
peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pengetahuan
formal saja, tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan informal
seperti mengikuti pelatihan, membaca buku pedoman atau media
elektronik.
Dalam program P2 ISPA, petugas kesehatan harus memiliki
pengetahuan tentang tatalaksana kasus penderita ISPA dan tentang
kebijakan program P2 ISPA, sehingga diharapkan petugas mampu
memberikan pelayanan yang baik (Kemenkes, 2012). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Adnan (2013) bahwa
pengetahuan berhubungan dengan keterampilan petugas dalam
tatalaksana pneumonia balita. Penelitian ini juga didukung dengan
hasil penelitian Duhri, dkk (2013) yang menyebutkan bahwa
172
pengetahuan memiliki kontribusi dalam peningkatan kinerja
petugas P2TB.
Hal tersebut didukung dengan pernyataan informan ahli,
bahwa pengetahuan yang dimilki petugas dalam penemuan kasus
pneumonia balita sangat penting diantaranya untuk membangun
motivasi petugas. Oleh karena itu petugas puskesmas disarankan
dapat mengetahui dan memahami pneumonia balita. Hal tersebut
dapat diperoleh dari kegiatan pelatihan, sharing dengan petugas
lain atau membaca buku pedoman P2 ISPA serta membaca media
elektronik terkait penemuan kasus pneumonia balita.
6. Motivasi Petugas
Menurut pendapat Suryabrata (2000) menyatakan motivasi
suatu keadaan dalam diri individu yang mendorong individu untuk
melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan.
Sedangkan menurut Wagito (2002) motivasi adalah kekuatan yang
terdapat dalam diri organisme itu bertindak atau berbuat dan dorongan
ini biasanya tertuju pada suatu tujuan tertentu. Adapun yang dimaksud
dengan motivasi petugas dalam penelitian ini adalah dorongan kerja
yang timbul pada diri informan untuk berperilaku dalam pencapaian
hasil kerja yang baik.
Gambaran motivasi petugas di puskesmas yang berhasil
mencapai target nasional, dapat diketahui bahwa motivasi petugasnya
tergolong baik. Hal ini dapat diketahui berdasarkan jawaban
173
penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS, ketika mengisi
kuesioner motivasi dengan menggunakan sakal likert 1-5. Motivasi
yang dimiliki petugas puskesmas tersebut sesuai dengan pencapaian
target penemuan kasus pneumonia balita. Dengan adanya motivasi
yang baik akan mendorong petugas untuk bekerja menjadi lebih baik
terutama dalam pencapaian tujuan program.
Selain itu motivasi kepala puskesmas di puskesmas yang
berhasil mencapai target nasional yaitu ingin menjadikan Puskesmas
yang dipimpinnya sebagai puskesmas kecamatan untuk lima tahun
mendatang. Dalam hal ini puskesmas tersebut lebih menekankan
pelayanan kepada pasien. Selain itu juga kepala puskesmas
mempunyai motivasi ingin menjadi lebih baik terutama dalam
pelayanan kepada pasien dan lebih menekankan disiplin kerja para
petugas Puskesmas. Sehingga tugas yang dikerjakan dapat selesai
dengan baik dan cepat.
Gambaran motivasi petugas di puskesmas yang tidak berhasil
mencapai target nasional, diketahui bahwa motivasi yang dimilki
penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS masih tergolong
buruk, hanya satu petugas saja yang mempunyai motivasi baik di
puskesmas tersebut. Hal ini mungkin terjadi karena kuranngnya
motivasi yang diberikan pimpinan kepada bawahan dalam
melaksanakan penemuan kasus pneumonia balita. Karena motivasi
174
yang dimiliki petugas buruk, maka target penemuan kasus di
puskesmas tersebut tidak tercapai.
Selain itu, motivasi yang dimiliki kepala puskesmas yang tidak
berhasil mencapai target nasional, diketahui bahwa kepala puskesmas
lebih mengutamakan pelayanana dengan senyum, sapa dan sabar serta
menggalakkan pelayanan promotif dan pereventif. Selain itu, kepala
puskesmas juga lebih menekankan disiplin kerja kepada para
petugasnya dan mengajarkan kepada petugas untuk bekerja dengan
hati dan mengnganggap pasien sebagai keluarga. Tidak hanya itu,
kepala puskesmas juga meminta kepada petugasnya, untuk mempunyai
rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap puskesmas.
Pada umumnya motivasi untuk mencapai target penemuan
kasus pneumonia balita, yang dimilki informan sangat tinggi. Namun
dalam prakteknya sering kali tidak sesuai dengan motivasi yang
dimilki. Menurut Notoatmodjo (2003), motivasi akan mempengaruhi
persepsi dan perilaku seseorang. Hasil penelitian ini didukung dengan
hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh Agusman (2001)
mengenai cakupan penemuan pneumonia balita, menemukan bahwa
faktor motivasi (p=0,040) mempunyai hubungan yang bermakna
dengan cakupan penemuan pneumonia balita.
Selain itu hasil penelitan Sabuna (2011) dan Dharoh, dkk
(2014) menyebutkan bahwa motivasi petugas (p=0,020) mempunyai
hubungan dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita atau
175
tatalaksana pneumonia balita. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa
motivasi kerja (p=0,02) berhubungan dengan kinerja tenaga kesehatan
di puskesmas (Rosita, dkk, 2013). Menurut informan ahli semua
petugas memiliki motivasi kerja yang dinilai dari kinerja petugas
tersebut. Dengan demikian, diharapkan kepala puskesmas dapat
memotivasi atau memberikan semangat kepada petugas dalam bekerja,
dengan adanya motivasi dari kepala puskesmas tersebut, Akan
mendorong seseorang dalam menyelesaikan pekerjaan dengan baik.
7. Kepemimpinan Kepala Puskesmas
kepemimpinan adalah hubungan yang tercipta dari adanya
pengaruh yang dimilki oleh seseorang terhadap orang lain sehingga
orang lain tersebut secara sukarela mau dan bersedia bekerjasama
untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Terry dalam azwar, 2002).
Kepemimpinanan yang ditetapkan oleh seorang pemimpin dalam
organisasi dapat menciptakan integrasi yang serasi dan mendorong
semangat kerja karyawan untuk mencapai sasaran yang maksimal
(Hasibuan, 2001). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
kepemimpinan kepala puskesmas adalah kemampuan kepala
puskesmas dalam memimpin dan memberikan dukungan terhadap
pelaksanaan program penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas.
Gambaran kepemimpinan kepala puskesmas di puskesmas yang
berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan pengakuan informan
pendukung, kepemimpinan kepala puskesmas sudah tergolong baik,
176
terutama dalam hal keterbukaan dalam pengambilan keputusan yang
selalu melibatkan staf. informasi tersebut diperoleh berdasarkan
jawaban informan pendukung pada saat menjawab kuesioner
penelitian. Sedangkan berdasarkan penilaian kepala puskesmasnya
sendiri, kepemimpinan yang dimilikinya sudah tergolong baik.
Gambaran kepemimpinan kepala puskesmas di puskesmas yang
tidak berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan informasi dari
informan pendukung, kepemimpinan kepala puskesmas masih
tergolong tidak baik, hal ini sesuai dengan pengakuan atau jawaban
dari kepala puskesmas, terutama dalam hal penyampaian pendapat dan
penghargaan yang diberikan pimpinanan kepada petugas yang
berprestasi.
Dengan demikian, puskesmas yang berhasil mencapai target
nasional dengan kepemipinan kepala Puskesmas tergolong baik. Hasil
penelitian ini, di dukung dengan hasil penelitian Rosita, dkk (2013)
menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan (p=0,04) berhubungan
dengan kinerja tenaga kesehatan di puskesmas. penelitian ini juga di
dukung dengan penelitian Ivantika (2001) menyebutkan bahwa
kepemimpinan kepala puskesmas (p=0,034) mempunyai hubungan
yang bermakna dengan cakupan penemuan penderita pneumonia
balita.
Adapun macam-macam gaya kepemimpinan kepala puskesmas
yaitu gaya kepemimpinan partisipasi, konsultasi, instruksi delegasi.
177
Gaya kepemimpinan partisipasi adalah gaya kepemimpinan yang
paling sering digunakan kepala Puskesmas dalam pemecahan masalah.
Sedangkan gaya kepemimpinan intruksi paling sering digunakan
dalam hal pengambilan keputusan (Thoha, 2009). Dalam penelitian ini,
gaya kepemimpinan yang dimiliki kepala puskesmas di puskesmas
yang berhasil mencapai target nasional yaitu gaya kepemimpinan
partisipasi dan intruksi, dengan adanya gaya kepemimpinan tersebut
petugas merasa lebih dihargai, sehingga dapat memotivasi dan
memberikan semangat kepada petugas dalam pelaksanaan kegiatan
program di puskesmas.
Hasil penelitian Salam, dkk (2013) menyebutkan bahwa terdapat
hubungan antara gaya kepemimpinan (intruksi, konsultasu, partisipasi
dan delegasi) dengan kinerja di puskesmas. Selain itu penelitian
Parawangsyah (2012) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara
gaya kepemimpinan berdasarkan pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan dengan disiplin kerja. Sedangkan menurut informan ahli
kepemimpinan yang harus dimilki kepala puskesmas adalah
kepemimpinan dalam manajemen dan epidemiologi untuk dapat
memecahkan masalah dan mengambil keputusan dalam pelaksanaan
program di puskesmas.
8. Ketersediaan Sarana dan Prasarana
Sarana adalah salah satu perangkat administrasi, yaitu sesuatu yang
dibutuhkan untuk melaksnakan pekerjaan administrasi (Azwar,2002).
178
Sarana dan prasarana sangat penting dalam kegiatan program
penemuan kasus pneumonia balita. Sarana tersebut yang diteliti yaitu
media cetak dan media penyuluhan terkait program penemuan
pneumonia di puskesmas, yang dinilai berdasarkan observasi peneliti.
Adapun media cetak meliputi stempel ISPA, register harian
pneumonia, formulir laporan bulanan, buku pedoman pengendalian
ISPA, pedoman tatalaksana pneumonia/MTBS, pedoman autopsi
verbal. Sedangkan media penyuluhannya meliputi poster, lefleat
pneumonia balita, lembar balik, kit advokasi dan kit pemberdayaan
masyarakat, dvd tatalakasana, tv spot dan radio spot terkait pneumonia
balita. Berikut ini adalah penjelasan mengenai hal tersebut.
Gambaran media cetak di puskesmas yang berhasil mencapai target
nasional dalam penemuan kasus pneumonoa balita, berdasarkan hasil
observasi, puskesmas tersebut, mempunyai stempel ISPA, register
harian pneumonia, formulir laporan bulanan, buku pedoman
pengendalian ISPA, pedoman tatalaksana pneumonia/MTBS.
Puskesmas yang mempunyai stempel ISPA dan buku pedoman
pengendalian ISPA hanya puskesmas Serpong 1, dengan adanya
stempel ISPA dapat memudahkan pencatatan yang dilakukan petugas.
Sedangkan, untuk buku pedoman autopsi verbal, informan tidak dapat
menunjukkan buku tersebut, dikarenakan buku tesebut di simpan oleh
Binwil, untuk menginvestigasi kasus jika ditemukan balita meninggal
di wilayah kerja puskesmas.
179
Selain itu, media penyuluhan yang ada di puskesmas yang berhasil
mencapai target nasional yaitu poster dan lembar balik mengenai
pneumonia balita. Puskesmas yang mempunyai lembar balik
pneumonia balita hanya Puskesmas Baktijaya saja. Selebihnya lembar
balik tersebut tidak ada di puskesmas. Media penyuluhan lainnya
seperti kit advokasi dan kit pemberdayaan masyarakat, dvd
tatalakasana, tv spot dan radio spot terkait pneumonia balita, tidak
ditemukan di puskesmas yang berhasil maupun yang tidak berhasil
mencapai target nasional, padahal media penyuluhan tersebut
disarankan oleh Kemenkes harus ada di Puskesmas dan pengadaanya
oleh Dinkes. Hal ini, mungkin terjadi karena pengelolaan media
penyuluhan dipegang oleh petugas lain, akan tetapi peneliti hanya
mewawancarai kepala Puskesmas, penanggung jawab P2 ISPA dan
petugas MTBS.
Gambaran media cetak dan media penyuluhan di puskesmas yang
tidak berhasil mencapai target nasional dalam penemuan kasus
pneumonoa balita, berdasarkan hasil observasi Puskesmas tersebut,
mempunyai register harian pneumonia, formulir laporan bulanan,
pedoman tatalaksana pneumonia/MTBS yang terpasang di dinding.
Selain itu, untuk media penyuluhannya hanya mempunyai poster
pneumonia balita. Sedangkan media lainnya sepeti stempel ISPA, buku
pedoman P2 ISPA dan lembar balik pneumonia balita tidak dimiliki
oleh puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, padahal
180
media tersebut diadakan oleh Dinkes. Hal ini mungkin terjadi, karena
adanya pergantian petugas atau penanggung jawab program, akan
tetapi terkait media cetak dan media penyuluhan tidak dipindah
tangankan ke petugas yang baru. Sehingga media tersebut di
puskesmas tidak dapat digunakan untuk program selanjutnya.
Menurut informan ahli ketersedian sarana dan prasarana diadakan
oleh dinas kesehatan sehingga semua puskesmas masing-masing
mempunyai sarana dan prasarana penunjang program penemuan kasus
pneumonia balita. Akan tetapi, pada kenyataannya media cetak dan
media penyuluhan yang dimiliki Puskesmas yang berhasil mencapai
target nasional, tidak dimiliki oleh Puskesmas yang tidak berhasil
mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonia balita.
Media tersebut yaitu buku pedoman P2 ISPA, Stempel ISPA dan
lembar balik pneumonia balita.
Penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian yaitu penelitian
Warsihayati (2002), Nurcik (2002) dan Sinora (2005) menyatakan
bahwa, ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan barang
cetakan pada Puskesmas pelaksna MTBS dengan penemuan penderita
penumonia di Kabupaten Cianjur. Selain itu penelitian ini juga sejalan
dengan penelitian Hidayati dan Wahyono (2011) menunjukkan
adanya hubungan yang bermakana antara sarana dan prasarana
pendukung MTBS dengan kejadian pneumonia.
181
Dengan demikian. seharusnya setiap petugas puskesmas yang
mengalami pergantian penanngung jawab program, memindah
tangankan media cetak dan media penyuluhan terkait program tersebut
kepada penanggung jawab program yang baru, serta adanya pencatatan
mengenai ketersediaan sarana tersebut dan jika tidak ada segera
melaporkannya ke Dinkes. Selain itu, sebaiknya Dinkes mengadakan
evaluasi dengan Puskesmas mengenai pengadaan sarana dan prasarana
penunjang program penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas.
9. Kegiatan Evaluasi
Kegiatan evaluasi adalah suatu proses untuk menyediakan
informasi mengenai sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah tercapai,
bagaimana perbedaan pencapaian yang dilakukan dengan suatu standar
tertentu, untuk mengetahui apakah ada selisih diantara keduanya, serta
bagaimana manfaat yang telah dikerjakan itu dibandingkan dengan
harapan-harapan yang ingin diperoleh (Umar, 2002). Kegiatan evaluasi
pada dasarnya wajib dilakukan oleh suatu organisasi, dalam hal ini
misalnya puskesmas, adapun waktu kegiatannya dilaksanakan
berbeda-beda sesuai dengan kebijakan di puskesmas tersebut, tapi pada
umunya dilakukan setiap bulan. Berikut ini adalah penjelasan
mengenai kegiatan evaluasi yang dilakukan di puskesmas yang
berhasil maupun yang tidak berhasil mencapai target nasional.
Gambaran kegiatan evaluasi di puskesmas yang berhasil mencapai
target nasional, dilakukan setiap bulan dalam kegiatan loka karya mini
182
(Lokmin)atau loka karya bulanan (Lokbul). Akan tetapi, jika ada
masalah yang darurat maka kegiatan tersebut bisa dilakukan lebih dulu
dari jadwal yang sudah ditentukan, dengan intruksi dari kepala
puskesmas. Dalam kegiatan tersebut, semua petugas puskesmas
terlibat mulai dari office boy (OB). Hal ini dilakukan agar semua staf
mengetahui sejauh mana pencapaian program yang dilakukan di
puskesmas.
Kegiatan evaluasi yang dilakukan oleh puskesmas yang berhasil
mencapai target nasional, dalam kegiatannya membahas pencapaian
program, hambatan atau kendala selama menjalankan program dan
membahas kebijakan di Dinkes terkait program puskesmas. Namun
tidak semua program dibahas dalam kegiatan evaluasi tersebut, karena
keterbatasan waktu yang dimiliki petugas, dan untuk program
puskesmas selanjutnya, akan dibahas di evaluasi mendatang. Selain
itu, petugas puskesmas juga melakukan sharing dengan sesama
petugas, agar pencapaian atau tujuan program tercapai. Sehingga setiap
program dapat bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan
programnya, seperti program penemuan kasus pneumonia balita dapat
bekerjasama dengan kesling dan promkes.
Gambaran kegiatan evaluasi di puskesmas yang tidak berhasil
mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonia balita,
dilakukan setiap bulan, seperti Lokmin dan Lokbul, karena kegiatan
tersebut sudah ditetapkan oleh Dinkes, sehingga semua puskesmas
183
melakukan kegiatan tersebut. Adapun yang dibahas dalam evaluasi
yaitu pencapaian hasil program, permasalahan atau kendala yang
dihadapi, seperti tidak ditemukannya kasus pneumonia balita di
puskesmas tersebut. Dengan demikian, kegiatan evaluasi di puskesmas
yang tidak berhasil mencapai target nasional, tidak berbeda dengan
puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, kerena puskesmas
melakukan evaluasi sesuai dengan kebijakan dari Dinkes.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Warsihayati (2002)
menunjukkan bahwa kegiatan evaluasi di puskesmas tidak
memberikan pengaruh terhadap cakupan penemuan kasus pneumonia
balita. Hal ini terjadi karena semua puskesmas setiap bulannya
melakukan evaluasi program untuk melihat sejauh mana tujuan dari
program dapat tercapai. Menurut informan ahli kegiatan evaluasi juga
berfungsi sebagai pembangun motivasi petugas dalam bekerja,
sehingga kegiatan evaluasi harus selalu dilakukan oleh puskesmas.
Dengan demikian, seharusnya setiap program melakukan kegiatan
evaluasi, karena pada saat evaluasi yang dilakukan setiap bulan tidak
semua program puskesmas dibahas.
184
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1 Puskesmas yang Berhasil Mencapai Target Nasional dalam
Penemuan Kasus Pneumonia Balita
a. Penyusunan rencana program penemuan kasus pneumonia
balita tahun 2014 di Puskesmas yang berhasil mencapai
target nasional dibuat pada akhir tahun 2013. Sehingga
perencanaannya dibuat lebih awal, sebelum pelaksanaan
program.
b. Kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita di
Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional yaitu
dilakukan dengan kunjungan rumah atau pelacakan kasus
pneumonia di masyarakat dan melakukan pelayanan medis
di puskesmas. Sehingga penemuan kasus pneumonia balita
dapat mencapai target.
c. Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional,
melakukan pencatatan dan pelaporan yang merangkum dari
semua pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja
puskesmas tersebut. Sehingga kasus yang ditemukan lebih
banyak.
d. Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional,
mempunyai tenaga terlatih, sehingga Puskesmas tersebut
185
dapat menemukan kasus pneumonia di Puskesmas dan di
masyarakat melalui kegiatan tatalaksana dan pelacakan
kasus.
e. Penanggung jawab P2 ISPA di Puskesmas yang berhasil
mencapai target nasional sudah bekerja selama 28 tahun.
Sehingga mempunyai pengalaman dan wawasan yang luas
dalam menjalankan program tersebut.
f. Pengetahuan penanggung jawab P2 ISPA di puskesmas
yang berhasil mencapai target nasional dalam penemuan
kasus pneumonia balita sudah tergolong baik, dengan
adanya pengetahuan yang baik mengenai penyakit
pneumonia, dapat memudahkan petugas dalam kegiatan
penemuan kasus tersebut.
g. Motivasi yang dimilki petugas di puskesmas yang berhasil
mencapai target nasional, sudah tergolong baik, dengan
adanya motivasi tersebut dapat memberikan semangat dan
dorongan kepada petugas dalam melaksanakan kegiatan
penemuan kasus pneumonia.
h. Kepemimpinan kepala puskesmas di puskesmas yang
berhasil mencapai target nasional, berdasarkan penilaian
petugasnya sudah tergolong baik, terutama dalam
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang
186
selalu melibatkan staf, sehingga staf merasa dihargai dalam
kegiatan tersebut .
i. Ketersediaan media cetak dan media penyuluhan di
puskesmas yang berhasil mencapai target nasional,
berdasarkan observasi puskesmas tersebut mempunyai
stempel ISPA, register harian pneumonia, formulir laporan
bulanan, buku pedoman pengendalian ISPA, pedoman
tatalaksana pneumonia/MTBS, poster dan lembar balik,
dengan adanya media tersebut dapat menunjang
pelaksanaan program penemuan kasus pneumonia balita di
puskesmas, sehingga target penemuan dapat tercapai.
2 Puskesmas yang Tidak Berhasil Mencapai Target Nasional
dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita
a. Penyusunan rencana program penemuan kasus pneumonia
balita tahun 2014 di Puskesmas yang tidak berhasil
mencapai target nasional dibuat pada awal tahun 2014.
Sehingga perencanaannya dibuat pada saat awal tahun
pelaksanaan program.
b. Kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita di
puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional
hanya melakukan pelayanan medis di puskesmas dan
penyuluhan di Posyandu, sehingga penemuan kasus
pneumonia tidak mencapai target.
187
c. Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional,
tidak mendapatkan laporan kasus dari klinik swasta yang
ada di wilayah kerja puskesmas.
d. Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional,
belum mempunyai tenaga terlatih, sehingga petugas belum
mengetahui dan memahami pneumonia balita secara
menyeluruh.
e. Penanggung jawab P2 ISPA dan MTBS di puskesmas yang
tidak berhasil mencapai target nasional baru bekerja 1-2
tahun, sehingga masih relatif baru dan belum mempunyai
pengalaman dan wawasan yang luas dalam menjalankan
program tersebut.
f. Pengetahuan penanggung jawab P2 ISPA di puskesmas
yang tidak berhasil mencapai target nasional masih
tergolong buruk, petugas belum memahami konsep
pneumonia balita.
g. Motivasi yang dimilki petugas di puskesmas yang tidak
berhasil mencapai target nasional masih tergolong buruk,
motivasi mempengaruhi petugas dalam bekerja.
h. Kepemimpinan kepala puskesmas di puskesmas yang tidak
berhasil mencapai target nasional, berdasarkan penilaian
petugasnya masih tergolong tidak baik. khususnya dalam
hal pengambilan keputusan.
188
i. Ketersediaan media cetak dan media penyuluhan di
puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional,
berdasarkan observasi puskesmas tersebut tidak
mempunyai stempel ISPA, buku pedoman pengendalian
ISPA, lembar balik pneumonia, padahal media ini dimiliki
oleh puskesmas yang berhasil mencapai target.
3 Puskesmas yang Berhasil dan yang Tidak Berhasil
Mencapai Target Nasional dalam Penemuan Kasus
Pneumonia Balita
a. Keduanya tidak menunjukkan adanya bukti penyusunan
perencanaan program (POA) tahun 2014. Sehingga secara
objektif dari segi perencanaan program tidak dapat dinilai.
b. Keduanya, melakukan tatalaksana pneumonia atau MTBS
dengan penatalaksananya adalah dokter, tetapi jika dokter
tidak ada tatalaksana tersebut dilakukan oleh bidan atau
perawat.
c. Keduanya belum menjalankan surveilans berbasis
puskesmas.
d. Penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS di
puskesmas yang berhasil maupun yang tidak berhasil
mencapai target adalah perempuan.
e. Pendidikan terakhir penanggung jawab P2 ISPA dan MTBS
di Puskesmas yang berhasil maupun yang tidak berhasil
mencapai target nasional adalah D3 Kebidanan.
189
f. Keduanya, melakukan kegiatan evaluasi setiap bulan pada
saat kegiatan loka karya mini dan loka karya bulanan, akan
tetapi tidak semua program dibahas dalam kegiatan
evaluasi tersebut karena keterbatasan waktu yang dimilki
petugas.
B. Saran
1. Bagi Dinas Kesehatan
a. Sebaiknya Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
mewajibkan penangung jawab P2 ISPA di puskesmas
untuk melakukan perencanaan setiap tahunnya dan
merealisasikan perencanaan tersebut.
b. Melaksanakan kegiatan surveilans pasif dan aktif berbasis
Puskesmas di Kota Tangerang Selatan, agar dapat
membuat perencanaan yang evidence base.
c. Menggerakkan kader kesehatan di setiap Puskesmas,
sehingga kegiatan deteksi dini di masyarakat dapat
dilaksanakan.
d. Disarankan untuk meningkatkan pembinaan dan pelatihan
kepada penanngung jawab P2 ISPA mengenai
pengetahuan dasar tentang pneumonia balita, sehingga
tenaga kesehatan di Puskesmas mengetahui konsep dasar
pneumonia balita.
190
e. Menjalin kerjasama dengan sektor lain dan melakukan
advokasi ke pemangku kebijakan dalam penemuan kasus
pneumonia balita, seperti bekerjasama dengan BLHD,
Badan Pemberdayaan Perempuan.
2. Bagi Puskesmas
a. Sebaiknya perlu melaksanakan penemuan kasus secara
aktif dan menggerakkan kader di tiap wilayah agar
cakupan penemuan kasus dapat meningkat.
b. Melaksanakan kegiatan surveilans berbasis Puskesmas
secara komprehensip, agar perencanaan dan evaluasi yang
dibuat berdasarkan evidence base.
c. Melakukan kegiatan deteksi dini atau penjaringan kasus
pneumonia balita di masyarakat dan bekerjasama dengan
kader, sehingga penemuan kasus pneumonia balita di
puskesmas dapat mencapai target nasional.
d. Menjalin kerjasama dengan sektor lain dalam hal
penemuan kasus pneumonia balita, seperti bekerjasama
dengan kelurahan, kecamatan, LSM.
e. Selain itu perlu diadakan sharing atau berbagi
pengalaman dengan petugas lain dalam menjalankan
program puskesmas, sehingga kegiatan penemuan kasus
pneumonia balita dapat dilaksanakan secara bersama-
sama dengan semua petugas puskesmas.
191
f. Serta disarankan memberikan penghargaan berupa
predikat petugas terbaik setiap bulan atau setiap tahun
sekali, untuk meningkatkan motivasi petugas dalam
pekejaanya.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Untuk institusi pendidikan hendaknya menjalin kerjasama
dengan pihak puskesmas di Kota Tangerang Selatan terutama
dalam hal penemuan kasus pneumonia balita di masyarakat
dengan melakukan deteksi dini di masyarakat, terutama di
puskesmas yang cakupan penemuan kasusnya sedikit.
4. Bagi peneliti lain
Bagi peneliti selanjutnya perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan kajian yang mendalam mengenai faktor-
faktor lain yang mungkin berpengaruh namun belum diteliti
dalam penelitian ini seperti penemuan kasus dimasyarakat dan
diharapakan peneliti selanjutnya dapat meneliti semua
puskesmas yang ada di Kota Tangerang Selatan.
192
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, Dewi Sartika. 2013. Evaluasi pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) pada Petugas Kesehatan dalam Tatalaksana Pneumonia
Pada Balita di Kabupaten Aceh Besar. Tesis Pasca Sarjana UGM.
Yogyakarta.
Agusman, 2001. Faktor-faktorkan yang berhubungan dengan cakupan penemuan
oenderita pneumonia pada Puskesmas di Kota Palembang tahun 2000.
Tesis FKM UI, depok.
Azwar azrul, 2002, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Pengelolaan Kesehatan di Kelompok
Usia Lanjut. Jakarta: Departemen Kesehatan.
____________________. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 Tentang Kebijakan Dasar
Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Departemen Kesehatan.
__________. 2008, Modul MTBS Revisi tahun 2008.
Derani M, Pope D, Mascarenchas, Smith KR, Weber M, Nigel B. 2008. Indoor
air polution from unprocessed solid fuel use and pneumonia risk in children
aged under five years; a systematic review and meta analysis. Bull WHO:
86:390-398.
Dharoh, Ana dkk. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Cakupan
Penemuan Penderita Pneumonia Pada Balita Di Kota Semarang. Jurnal
Kesehatan Masyarakat UDINUS: Semarang.
Dimyati, Hamdan. 2014. Model Kepemimpinan dan Sistem Pengambilan
Keputusan. Bandung; Pustaka Setia.
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2014. Data Program P2 ISPA
(Cakupan Penemuan Pneumonia Balita),
Direktorat Bina Kesehatan Anak, Depkes, 2009. Salah satu materi yang
disampaikan pada Pertemuan Nasional Program Kesehatan Anak, , Manajemen
Terpadu Balita Sakit. Diakses pada tanggal 9-April-2015. Dari
http://www.gizikia.depkes.go.id/archives/3274
Duhri,dkk . 2013. Kinerja petugas Puskesmas dalam penemuan penderita TB Paru
di Puskesmas Kabupaten Wajo. Jurnal FKM UNHAS. Makassar.
Emzir. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif; Analisis Data. Jakarta: Rajawali
Pers.
193
E-Jurnal. 2013. Epidemiologi Pneumonia. Diakses pada 25-Mei-2015. Dari:
http://www.e-jurnal.com/2013/09/epidemiologi-penumonia.html
Gibson, dkk. 1987. Perilaku, Struktur,Proses Edisi Kelima, Jilid 1, Ahli Bahasa
Djakarsih, Jakarta: Erlangga.
Handayani, Resti Paramita. 2012. Gambaran Kegiatan Penemuan Kasus
Pneumonia Pada Balita pSe-Kota Semarang. Tahun 2011. Jurnal Kesehatan
masyarakat UNDIP. 1 (2) ; 423-434.
Hasibuan. M. S. P. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi
Aksara.
Hidayati, A’laa Nurul dan Wahyono, Bambang. 2011. Pelayanan Puskesmas
Berbasis Manajemen Terpadu Balita Sakit Dengan Kejadian Pneumonia
Balita. Jurnal Kemas. 7 (1): 35-40.
Ilyas, Yaslil. 2002. Kinerja Teori penilaian dan penelitian . Pusat kajian ekonomi
kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyrakat UI.
Itma Annah,Rasdi Nawi, Jumriani Ansar. 2012. Faktor Kejadian Pneumonia
Anak Umur 6-59 Bulan di RSUD Salawengan Maros. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar.
Ivantika, Elvira. 2001. Faktor-faktor yang berhubungan dengan cakupan
penemuan pednerita pneumonia pada Puskesmas di Kabupaten Bandung
tahun 2000, Tesis FKM UI. Depok.
Kartasamita, 2010, Pneumonia Pembunuh Balita, Buletin Jendela Epidemiologi,
Volume 3, Kemenkes RI, Jakarta.
Kemenkes RI. 2010. Pneumonia Balita. Buletin Jendela Epidemiologi Volume 3.
Jakarta: Kemenkes RI
___________. 2010. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan
Anak (PWS KIA). Jakarta: Dirjen Bina Kesmas Direktorak Bina Kesehatan
Ibu.
___________. 2012. Pedoman Pengendalian ISPA. Jakarta: Kemenkes RI.
___________.2012. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. Jakarta: Dirjen
P2PL.
___________. 2013. Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2013. Jakarta:
Kemenkes RI.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999. Tentang
Persyaratan Kesehatan Perumahan.
194
Kristie, Sinora. 2005. Gambaran Cakupan penemuan penderita pneumonia
berdasarkan karaketristik kualifikasi petugas dan sarana logistik pada
Puskesmas pelaksana MTBS di kabupetan Cianjur tahun 2004. Tesis FKM
UI. Depok
Mangkunegara AP. 2009. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Bandung:
Rafika Aditama.
Mardjanis. 2010, Pengendalian Pneumonia Anak Balita Dalam Rangka
Pencapaian MDG4, Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 3, Kemenkes
RI, Jakarta.
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya
Mulyaningsih. 2013. Peningkatan kinerja Perawat Dalam Penerapan MPKP
Dengan Supervisi Oleh Kepala Ruang di RSUD Surakarta. Jurnal Gaster.
Volume 10, No. 1.
News Medical, 2011. Epidemiologi Pneumonia. Diakses pada 25-Mei-2015. Dari
http://www.news-medical.net/health/Pneumonia-Epidemiology-
%28Indonesian%29.aspx :
Ni Nyoman Kristina, dkk. 2013. Mengenal Penyakit Pneumonia (Ispa). Diakses
pada 15-02-2015. dari http://www.diskes.baliprov.go.id/id/MENGENAL-
PENYAKIT-PNEUMONIA--ISPA-
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
__________________. 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta:
Rineka Cipta.
_________________.2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta
Nurcik, Matdani. 2002. Hubungan Profesionalisme Petugas P2 ISPA Puskesmas
dengan Cakupan Penemuan Penderita Pneumonia Balita di Propinsi
Sumatera Selatan tahun 2000. Tesis Magister Pasca Sarjana Program Studi
Epidemiologi UI. Depok.
Parawangsyah, Ann, dkk. 2013. Hubungan Gaya Kepemimpinan Terhadap
Disiplin Tenaga Kerja Kesehatan di Puskesmas Batua kota Makassar, Jurnal
FKM UNHAS.
Public Health. 2014. Pengertian, Syarat dan Peran Kader Posyandu. Diakses
pada 26-Mei-2015. Dari : http://www.indonesian-
publichealth.com/2014/05/kader-posyandu-2.html
195
Pudjiastuti, Wiwiek, 2002. Analisis kepatuhan petugas puskesmas terhadap
MTBS di Puskesmas DKI Jakarta tahun 2001, Tesis FKM UI. Jakarta.
Rai, I Gusti Agung. 2008. Audit Kinerja pada Sektor Publik. Jakarta: Salemba
Empat.
Rajab, W., 2009. Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan. , pp.165-
171. EGC. Jakarta.
Rival, V., Mulyadi, D. 2010. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Rosita, dkk, 2013. Hubungan Gaya Kepemimpinan Motivasi dan Disiplin Kerja
Terhadap Kinerja Tenaga Kesehatan di Puskesmas Cempaka Kabupaten
Pinrang. Jurnal STIKES Nani Hasnuddin Makassar.Volume 2 (4).
Rudan, Igor et al. 2008. Epidemiologi dan Etiology of Chilhood Pneumonia.
Buletin of the world Health Organization.
Salam, Jumhur, dkk. 2013. Hubungan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja
Tenaga Kesehatan di Puskesmas Wara Selatan Kota Palopo. Jurnal AKK.
Vol 2 No. 2.
Sabuna, Apris. Hubungan antara pengetahuan dan motivasi perwata dengan
tatalaksana pneumonia balita di Puskesmas Kabupaten timor tengah selatan
NTT. Thesis. UNDIP.
Setyati, Amalia. 2014. Pneumonia: The Forgotten Killers Of Children. Diakses
pada 15 Januari 2015 dari : http://dinkes.jogjaprov.go.id/berita/detil_berita/716-pneumonia-the-
forgotten-killers-of-children
Sulastomo. . 2007. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Sutomo, A.H. & Machfoedz, I., Suriani & Rosmadewi, 2010. Epidemiologi
Kebidanan. , pp.175-180. Fitramaya. Yogyakarta.
Tangerangselatankota.go.id. 2014. Gambaran Umum Kota Tangerang Selatan.
Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2005. Manajemen Publik. Jakarta: Grasindo.
Umar, Husein. 2002. Evaluasi Kinerja Perusahaan.Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
UNICEF, WHO. 2006. Pneumonia The Forgotten Killer Of Children
_____________. 2009. Global Action Plan For Prevention and Control Of
Pneumonia (GAPP).
196
Warsihayati D, Rita. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan cakupan
penemuan kasus pneumonia pada Puskesmas di Kabupaten Bekasi tahun
2001. Tesis FKM UI. Depok.
Wawan, dkk, 2010. Teori dan Pengukuran pengetahuan, Sikap dan perilaku
Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.
World Pneumonia Day. 2012. Fight Pneumonia, A save Child. Global Coalition
Againts Child Pneumonia.
Bapak/Ibu/Sdr yang saya hormati,
Saya Lina Sri Marlinawati, mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat
Peminatan Epidemiologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta, saat ini saya sedang melakukan penelitian sebagai
tugas akhir dengan judul “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus
Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015”.
Pertama izinkan saya mengucapkan terimakasih atas kesediaan Bapak/Ibu/Sdr
untuk menjadi informan dan memberikan keterangan secara luas, bebas, mendalam,
benar, dan jujur. Hasil infromasi dan keterangan yang diberikan nanti akan digunakan
sebagai masukan untuk program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas
Kota Tangerang Selatan. Peneliti memohon izin untuk merekam pembicaraan selama
proses wawancara berlangsung dan peneliti menjamin kerahasian isi informasi yang
diberikan dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian.
Demikian atas segala perhatian dan bantuan Bapak/Ibu/Sdr saya ucapkan terima
kasih telah berpartisipasi dalam penelitian ini.
Hormat Saya,
Lina Sri Marlinawati
FORM INFORM CONCERN
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus
Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Tahun 2015
LAMPIRAN 1
PEDOMAN WAWANCARA
Tata cara wawancara:
1. Mengucapkan salam
2. Memperkenalkan diri
3. Menanyakan kesediaan menjadi informan (dan mendatangani menanyakan nama
informan)
4. Menanyakan nama informan
5. Meminta izin untuk merekam pembicaraan selama wawancara berlagsung
6. Memberikan pertanyaan pemanasan (sudah berapa lama bekerja, bagaimana kabar
hari ini)
7. Memberikan pertanyaan inti
8. Menutup sesi wawancara
9. Mengucapkan terima kasih
10. Memberikan souvenir
11. selesai
LAMPIRAN 2
FORM IDENTITAS INFORMAN
Kode Informan : (.........)*
Nama Informan :
Jenis Kelamin :
Umur :
Pendidikan :
Jabatan/Pekerjaan :
Lama Kerja :
Hari/Tanggal Wawancara :
Dengan ini saya bersedia menjadi informan untuk penelitian mengenai “Analisis Faktor
yang Mempengaruhi Penemuan Penderita Pneumonia di Puskesmas Kota Tangerang
Selatan tahun 2015”
Tangerang Selatan,..... Juni 2015
(.....................................................)
*) diisi peneliti
Pertanyaan untuk Kepala Puskesmas (Informan Utama)
1. perencanaan kegiatan penemuan kasus pneumonia balita
a. Apakah setiap tahun puskesmas membuat perencanaan program
penemuan kasus pneumonia balita?
b. Jika tidak ada perencanaan, kenapa tidak dibuatkan perencanaan?
c. Siapa saja yang terlibat dalam pembuatan rencana tahunan terkait
penemuan kasus pneumonia balita?
2. kegiatan penemuan kasus pneumonia balita
a. Kegiatan apa saja yang termasuk dalam program penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas?
b. Apakah ada kerjasama dengan MTBS dalam program penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas?
c. kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas yang bapak
pimpin, apakah penemuan secara aktif atau pasif? kenapa demikian? Selain
di puskesmas kegiatan penemuan pneumonia dilakukan dimana saja?
Dalam bentuk seperti apa?
3. Tatalaksana Pneumonua balita/MTBS
a. Apakah di Puskesmas dilakukan kegiatan tatalaksana pneumonia balita,
jika ada siapa yang melakukan hal tersebut?
b. Menurut saudara apakah petugas melakukan tatalaksana sesuai dengan
pedoman tatalaksana pneumonia balita/MTBS? Apakah saudara dapat
menyebutkan apa saja yang petugas lakukan pada saat tatalaksana
pneumonia balita?
4. Kegiatan Pencatatan dan Pelaporan
a. Apakah petugas puskesmas melakukan kegiatan pencatatan dan pelaporan
penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas dan di klinik swasta?
b. siapa yang melakukan kegiatan pencatatan dan pelaporan mengenai
pneumonia balita di Puskesmas?
c. apakah kegiatan tersebut dilakukan secara rutin?
d. apakah ada pelaporan dari fasilitas kesehatan swasta mengenai kasus
pneumonia balita?
e. Apakah ada pelaporan ke Dinkes mengenai kasus pneumonia?
5. Faktor petugas Kesehatan
d. Apakah petugas P2 ISPA di Puskesmas yang Bapak/Ibu pimpin, sudah
pernah mengikuti pelatihan P2 ISPA (tatalaksana pneumonia/MTBS)?
6. Motivasi Petugas
a. Apa motivasi atau upaya Bapak untuk memajukan puskesmas bapak
menjadi lebih baik, terutama dalam pencapaian target penemuan kasus
pneumonia balita?
7. Ketersediaan Sarana dan Prasarana
a. Apakah di Puskesmas yang Bapak/Ibu pimpin, tersedia media cetak dan
media penyuluhan terkait penemuan kasus pneumonia balita?
b. jika ada apakah media cetak atau buku cetakan digunakan dalam kegiatan
puskesmas?
c. jika tidak tersedia, kenapa tidak tersedia, apakh tidak ada anggaran dalam
pemenuhan media cetak tersebut?
d. Apakah di Puskesmas saudara tersedia media penyuluhan dalam bentuk
apa ( apakah Poster, Lefleat, lembar balik, Kit Advokasi dan Kit
pemberdayaan Masyrakat atau dvd tatalakasana pneumonia balita, TV spot
dan radio spot tentang pneumonia Balita)?
e. jika ada apakah media penyukuhan tersebut digunakan dalam kegiatan
puskesmas?
f. jika tidak tersedia, kenapa tidak tersedia, apakh tidak ada anggaran dalam
pemenuhan media penyuluhan?
8. Kegiatan evaluasi
a. Apakah di Puskesmas yang Bapak/Ibu pimpin, dilakukan kegiatan
evaluasi, siapa saja yang dilibatkan dalam kegiatan tersebut?
b. Apa saja yang dibicarakan dalam kegiatan evaluasi di Puskesmas?
9. Kepemimpinan Kepala Puskesmas
No Pertanyaan Diisi oleh
peneliti
1 Apakah ada sanksi/peringatan bagi petugas pelaksna yang lalai
bertugas
a. Tidak
b. Ada
2 Apakah ada pertemuan formal/rapat rutin untuk
mengkoordinasikan pelaksanaan program di puskesmas
a. Tidak
b. Ada, dalam setahun... kali sebutkan
3 Apakah di puskesmas tersedia sarana dalam penyampaian keluhan
dari petugas puskesmas sehubungan dengan pelaksanaan program
a. Tidak ada
b. Ada dalam bentuk ... sebutkan
4 Didalam pengambilan suatu keputusan, apakah saudara bersikap
terbuka dalam menerima saran di bawahan ...
a. tidak
b. ya
No Pertanyaan Diisi oleh
peneliti
5 Apakah sudara pernah memberikan penghargaan/reward kepada
petugas puskesmas yang dinilai baik dalam melaksanakan tugas
a. tidak pernah
b. pernah dalam bentuk... sebutkan
6 Apakah saudara selalu mengingatkan petugas pelaksana untuk
selalu melaksanakan tatalaksana kasus ISPA sesuai dengan standar
program,
a. tidak
b. iya
7 Apakah saudara memberikan bimbigan dalam tatalaksana kasus
ISPA seseuai dengan program
a. .tidak
b. iya
8 Apakah saudara mengevaluasi secara berkala pelaksanaan
program P2 ISPA
a. tidak
b. iya
No Pertanyaan
Perencanaan kegiatan penemuan pneumonia balita
1 Apakah setiap tahun puskesmas membuat perencanaan program penemuan
kasus pneumonia balita?
2 Siapa saja petugas yang dilibatkan, dalam pembuatan perencanaan
penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas?
Kegiatan Program Penemuan Pneumonia Balita
1 Kegiatan apa saja yang termasuk dalam program penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas?
2 Apakah ada kerjasama dengan MTBS dalam program penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas?
Tatalaksana Pneumonia Balita
1 Apakah di Puskesmas dilakukan kegiatan tatalaksana pneumonia balita,
jika iya siapa yang melakukan hal tersebut?
2 Apakah Ibu dapat menjelaskan dengan rinci mengenai tatalaksana
pneumonia balita sesuai dengan pedoman tatalaksana pneumonia
balita/MTBS?
Faktor Tenaga Kesehatan : Pelatihan
1 Apakah Ibu pernah mengikuti pelatihan P2 ISPA (tatalaksana a.
pneumonia/MTBS) yang diselenggrakan Dinkes?
Ketersediaan Sarana dan Prasarana :Media Cetak/ Buku Cetakan dan media
penyuluhan
1 Apakah di Puskesmas yang tempat Ibu bekerja, tersedia media cetak dan
media penyuluhan terkait penemuan kasus pneumonia balita?
Kegiatan pencatatan dan pelaporan
1 Apakah Ibu melakukan kegiatan pencatatan dan pelaporan penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas dan laporan dari klinik swasta?
2 Apakah ada pelaporan dari Puskesmas ke Dinkes mengenai kasus
pneumonia?
Kegiatan evaluasi
1 Apakah di Puskesmas tempat Ibu bekerja, dilakukan kegiatan evaluasi,
siapa saja yang dilibatkan dalam kegiatan tersebut?
2 Apa saja yang dibicarakan dalam kegiatan evaluasi di Puskesmas?
Pertanyaan untuk Staf Penanggung Jawab P2 ISPA (Informan
Pendukung)
No Pertanyaan
Tatalaksana Pneumonia Balita
1 Apakah di Puskesmas dilakukan kegiatan tatalaksana pneumonia balita,
jika iya siapa yang melakukan hal tersebut?
2 Apakah Ibu dapat menjelaskan dengan rinci mengenai tatalaksana
pneumonia balita sesuai dengan pedoman tatalaksana pneumonia
balita/MTBS?
Faktor Tenaga Kesehatan : Pelatihan
1 Apakah Ibu pernah mengikuti pelatihan P2 ISPA (tatalaksana a.
pneumonia/MTBS) yang diselenggrakan Dinkes?
Pertanyaan Untuk Petugas MTBS (Informan
pendukung)
Pertanyaan Untuk Infroman Ahli
1. Perencanaan Penemuan Pneumonia Balita
a. Menurut Bapak, apa yang dimaksud dengan perencanaan dalam suatu
program puskesmas?
b. Kapan seharusnya perencanaan program dibuat puskesmas?
c. Siapa saja yang seharusnya terlibat dalam pembuatan perencanaan
program penemuan kasus pneumonia balita?
2. Kegiatan Penemuan Pneumonia Balita
a. Menurut Bapak, kegaiatan penemuan kasus secara pasif atau aktif kah
yang lebih meningkatan penemuan kasus pneumonia balita di
puskesmas?
3. Tatalaksana Pneumonia Balita/MTBS
a. Menurut Bapak, jika di Puskesmas dilakukan tatalaksana pneumonia
balita, siapa yang seharusnya melakukan tatalaksana tersebut?
4. Kegiatan Pencatatan Dan Pelaporan
a. Menurut Bapak, apakah seharusnya ada pelaporan mengenai kasus
pneumonia dari klinik swasta atau praktek dokter?
b. Menurut Bapak, pencatatan dan pelaporan yang seperti apa yang
harus dilakukan puskesmas dalam meningkatkan angka penemuan
kasus pneumonia balita? kapan sebaiknya kegiatan pencatatan kasus
dilakukan?
5. Faktor petugas Kesehatan
a. Menurut Bapak, Apakah ada perbedaan antara petugas laki-laki
dengan petugas perempuan dalam menjalankan tugas, terutama dalam
pelaksanaan penemuan kasus pneumonia balita?
b. Menurut Bapak, apakah petugas puskesmas yang melakukan kegiatan
penemuan kasus pneumonia, harus mendapatkan pelatihan mengenai
hal tersebut?
c. Pelatihan yang seperti apa yang seharusnya diberikan kepada petugas
kesehatan, dalam hal penemuan kasus pneumonia balita, apakah
puskesmas harus mengadakan pelatihan tersebut?
d. Menurut bapak, pendidkan terakhir apa yang seharusnya dimiliki oleh
petugas kesehattan, seperti kepala Puskesmas, penangung jawab
program dan petugas MTBS?
e. Menurut Bapak, apakah lama kerja petugas puskesmas mempengaruhi
kinerjanya?
f. Menurut Bapak, apakah pengetahuan petugas berpengaruh dalam
pencapaian penemuan kasus pneumonia balita?
6. Motivasi Petugas
a. Menurut Bapak, apakah motivasi petugas di puskesmas dapat
mempengaruhi pencapaian penemuan kasus pneumonia balita di
puskesmaa?
7. Kepemimpinan Kepala Puskesmas
a. Menurut Bapak, kepemimpinan seperti apa yang seharusnya dimilki
oleh kepala puskesmas sebagai pimpinan?
8. Ketersediaan Sarana Dan Prasarana
a. Menurut Bapak, apakah ketersediaan media penyuluhan dan media
cetak sebagai penunjang program penemuan kasus pneumonia balita,
disetiap puskesmas harus ada? apakah media penyuluhan diadakan
oleh pemerintah atau kebijakan masing-masing puskesmas?
b. Apakah puskesmas boleh melakukan pengadaan seperti poster atau
media penyuluhan lainnya
9. Kegiatan Evaluasi
a. Menurut Bapak, kegiatan evalusi seperti apa yang seharusnya
dilaksanakan oleh puskesmas ? Berapa kali seharusnya puskesmas
mengadakan kegiatan tersebut ?
b. Pada saat kegiatan evaluasi, apakah petugas puskesmas harus hadir
semua dalam kegiatan tersebut?
Pedoman Observasi
No. Subjek yang di
Observasi
Ada Tidak
ada
Jumlah tersedia
Buku cetakan
1 Stempel ISPA
2 Register harian pneumonia
3 Formulir laporan bulanan
4 Pedoman Pengendalian
ISPA
5 Pedoman tatalaksana
pneumonia/MTBS
6 Pedoman Autopsi Verbal
Media Penyuluhan
1 Poster mengenai
pneumonia balita
2 Lefleat mengenai
pneumonia balita
3 lembar mengenai balik
pneumonia balita
4 Kit Advokasi dan Kit
pemberdayaan Masyrakat
5 Dvd tatalakasana
pneumonia balita
6 TV spot dan radio spot
tentang pneumonia
Balita
Dokumen Jumlah
balita
Penderita
pneumonia
balita
Cakupan
penemuan
pneumonia
balita
Profil Puskesmas 2014
Laporan tahunan Kinerja Puskesmas
2014
Daftar Dokumen
Kuesioner Pengetahuan
No. Pertanyaan Diisi
Oleh
peneliti
1 Penyakit apa yang diprioritaskan dalam program P2 ISPA ?
a. Semua jenis penyakit ISPA termasuk radang telinga dan tenggorokan
b. Pneumonia
c. Khusus penyakit ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi
d. Khusus penyakit infeksi saluran pernafasan atas
2 Bagaimana klasifikasi pneumonia pada bayi usia kurang dari 2 bulan menurut program P2
ISPA
a. Bukan pneumonia, pneumonia
b. Bukan pneumonia, pneumonia, pneumonia berat
c. Bukan pneumonia, pneumonia sedang,pneumonia
d. Bukan pneumonia, pneumonia sedang , pneumonia berat
3 Aldi berumur 1 tahun, dibawa ibunya ke Puskesmas dia batuk pilek dengan demam ringan
dan tidak ada tanda-tanda lainnya. Apa klasifikasi anda?
a. Pneumonia
b. Peneumonia berat
c. Bukan pneumonia
4 Anak berumur 8 bulan, dia sangat ngantuk dan sukar dibangunkan serta ada nafas cepat 56
kali per menit disertai dengan tarikan dinding dada ke dalam, apa klasifikasi anda?
a. Pneumonia
b. Pneumonia berat
c. Bukan pneumonia
5 Batasan nafas cepat sesui umur adalah
a. Umur bayi 2 bulan ≤ 1 tahun adalah 60 kali per menit atau lebih
b. Umur bayi < 2 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih
c. Umur anak 1 tahun ≤5 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih
d. Umur anak 1 tahun ≤5 tahun adalah 50 kali per menit atau lebih
6 Kepada siapa seharusnya tablet antibiotika diberikan?
a. Semua pasien ISPA dengan keluhan batukpilek
b. Semua pasien ISPA dengan demam dan batuk
c. Kepada pasien pneumonia saja
d. Kepada pasien pneumonia berat dengan kesadaran menurun
7 Antibiotika apa yang disarankan dalam tatalaksana pneumonia?
a. Kotrimokszol
b. Tetrasiklin
c. Ampicilin
d. Trisulfa
8 Untuk “berapa lama” antibiotika tersebut diberikan kepada penderita pneumonia
a. 2 hari
b. 3 hari
No. Pertanyaan Diisi
Oleh
peneliti
c. 4 hari
d. 5 hari
9 Alat bantu apa yang dipakai untuk menghitung nafas?
a. Sound timer
b. Arloji
c. Jam dinding
d. Tak ada alat bantu
10 Pada tahap pernafasan yang mana dapat anda temukan tarikan dinding dada ke dalam?
a. Menarik nafas
b. Mengeluarkan nafas
No. Pertanyaan Diisi
Oleh
peneliti
1 Program pemberantasan penyakit ISPA memberikan prioritas pada pemeberantasan penyakit:
e. Semua jenis penyakit ISPA termasuk radang telinga dan tenggorokan
f. Pneumonia
g. Khusus penyakit ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi
h. Khusus penyakit infeksi saluran pernafasan atas
2 Bagaimana klasifikasi pneumonia pada bayi usia kurang dari 2 bulan menurut program P2
ISPA
e. Bukan pneumonia, pneumonia
f. Bukan pneumonia, pneumonia, pneumonia berat
g. Bukan pneumonia, pneumonia sedang,pneumonia
h. Bukan pneumonia, pneumonia sedang , pneumonia berat
3 Aldi berumur 1 tahun, dibawa ibunya ke Puskesmas dia batuk pilek dengan demam ringan
dan tidak ada tanda-tanda lainnya. Apa klasifikasi anda?
d. Pneumonia
e. Peneumonia berat
f. Bukan pneumonia
4 Anak berumur 8 bulan, dia sangat ngantuk dan sukar dibangunkan serta ada nafas cepat 56
kali per menit disertai dengan tarikan dinding dada ke dalam, apa klasifikasi anda?
d. Pneumonia
e. Pneumonia berat
f. Bukan pneumonia
5 Batasan nafas cepat sesui umur adalah
e. Umur bayi 2 bulan ≤ 1 tahun adalah 60 kali per menit atau lebih
f. Umur bayi < 2 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih
g. Umur anak 1 tahun ≤5 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih
h. Umur anak 1 tahun ≤5 tahun adalah 50 kali per menit atau lebih
No. Pertanyaan Diisi
Oleh
peneliti
6 Apa yang dilakukan terhadap penderita pneumonia
a. Semua di rujuk ke rumah sakit untuk dirawat
b. Harus mendapat antibiotika parental (suntikan)
c. Pada penderita pneumonia bisa berobat jalan dengan mendapatkan antibiotika per
oral
7 Kasus dibawah ini merupakan “pneumonia berat “ bagi bayi yang harus dirawat
a. Anak usia 1 tahun, batuk pilek,suhu 39 derajat celcius
b. Bayi usia 1 bulan, demam , ada tarikan dinding dada bagian bawah kedalam
c. Bayi usia 3 bulan, batuk tanpa tarikan dinding dda bagian bawah
d. Anak usia 1 tahun,batuk, frekuensi nafas 37 kali per menit
8 Kepada siapa seharusnya tablet antibiotika diberikan?
e. Semua pasien ISPA dengan keluhan batukpilek
f. Semua pasien ISPA dengan demam dan batuk
g. Kepada pasien pneumonia saja
h. Kepada pasien pneumonia berat dengan kesadaran menurun
9 Antibiotika apa yang disarankan dalam tatalaksana pneumonia?
e. Kotrimokszol
f. Tetrasiklin
g. Ampicilin
h. Trisulfa
10 Untuk “berapa lama” antibiotika tersebut diberikan kepada penderita pneumonia
e. 2 hari
f. 3 hari
g. 4 hari
h. 5 hari
11 Alat bantu apa yang dipakai untuk menghitung nafas?
e. Sound timer
f. Arloji
g. Jam dinding
h. Tak ada alat bantu
12 Pada tahap pernafasan yang mana dapat anda temukan tarikan dinding dada ke dalam?
c. Menarik nafas
d. Mengeluarkan nafas
13 Umar bayi berusia 9 bulan, dibawa ibunya ke puskesmas dengan keluhan batuk sudah 3 hari,
menetek seperti biasa, suhu badan 36,5 derajat celcius. Frekuensi ernafasannya 45 kali per
menit dan tidak terlihat adanya tarikan dindingh dada bagian bwah . umar tergolong
penderita?
a. Pneumonia berat
b. ISPA ringan
c. Pneumonia
d. Batuk pilek biasa
No. Pertanyaan Diisi
Oleh
peneliti
e.
14 Pengobatan untuk umar adalah
a. Beri kotrimoksazol
b. Perwatan dirumah tanpa antibiotika
c. Beri injeksi kloramphenicol
d. Rawat inap dirumah sakit.
15 Berikut ini adalah tindakan yang akan saudara lakukan pada bayi usia 6 minggu dengan
pneumonia berat kecuali
a. Beri perawatan dirumah
b. Selimuti bayi agar tetap hangat
c. Berikan dosis pertama antibiotika
d. Segera rujuk ke rumah sakit
(Sumber; Buku pedoman P2 ISPA)
Kuesioner Kepemimpinan Kepala Puskesmas (untuk Peanggung jawab P2
ISPA dan Petugas P2 ISPA)
No Pertanyaan Diisi oleh
peneliti
1 Apakah kepala puskesmas memberikan sanksi/peringatan bagi
petugas pelaksana yang lalai bertugas
a. Tidak
b. Ada
2 Apakah kepala puskesmas mengadakan pertemuan formal/rapat
rutin untuk mengkoordinasikan pelaksanaan program di
puskesmas
a. Tidak
b. Ada, dalam setahun... kali sebutkan
3 Apakah di puskesmas tersedia sarana dalam penyampaian keluhan
dari petugas puskesmas sehubungan dengan pelaksanaan program
a. Tidak ada
b. Ada dalam bentuk ... sebutkan
4 Didalam pengambilan suatu keputusan, apakah kepala puskesmas
bersikap terbuka dalam menerima saran di bawahan ...
a. tidak
b. ya
5 Apakah kepala puskesmas pernah memberikan
penghargaan/reward keada petugas puskesmas yang dinilai baik
dalam melaksanakan tugas
a. tidak pernah
b. pernah dalam bentuk... sebutkan
6 Apakah kepala puskesmas selalu mengingatkan petugas pelaksana
untuk selalu melaksanakan tatalaksana kasus ISPA sesuai dengan
standar program,
a. tidak
b. iya
7 Apakah kepala Puskesmas memberikan bimbigan dalam
tatalaksana kasus pneumonia seseuai dengan program
a. .tidak
b. iya
8 Apakah kepala puskesmas mengevaluasi secara berkala
pelaksanaan program P2 ISPA
a. tidak
b. iya
No Pertanyaan Diisi oleh
peneliti
1 Apakah ada sanksi/peringatan bagi petugas pelaksna yang lalai
bertugas
c. Tidak
d. Ada
2 Apakah ada pertemuan formal/rapat rutin untuk
mengkoordinasikan pelaksanaan program di puskesmas
c. Tidak
d. Ada, dalam setahun... kali sebutkan
3 Apakah di puskesmas tersedia sarana dalam penyampaian keluhan
dari petugas puskesmas sehubungan dengan pelaksanaan program
c. Tidak ada
d. Ada dalam bentuk ... sebutkan
4 Didalam pengambilan suatu keputusan, apakah pimpinan saudara
bersikap terbuka dalam menerima saran di bawahan ...
c. tidak
d. ya
5 Apakah pimpinan sudara pernah memberikan penghargaan/reward
keada petugas puskesmas yang dinilai baik dalam melaksanakan
tugas
c. tidak pernah
d. pernah dalam bentuk... sebutkan
6 Apakah pimpinan saudara selalu mengingatkan petugas pelaksana
untuk selalu melaksanakan tatalaksana kasus ISPA sesuai dengan
standar program,
c. tidak
d. iya
7 Apakah pimpinan saudara memberikan bimbigan dalam
tatalaksana kasus ISPA seseuai dengan program
c. .tidak
d. iya
8 Apakah pimpinan saudara mengevaluasi secara berkala
pelaksanaan program P2 ISPA
c. tidak
d. iya
Pertanyaan Motivasi Petugas Penanggung Jawab P2 ISPA dan Petugas MTBS
Keterangan
1=Sangat tidak setuju
2= tidak setuju
3=kurang setuju
4=setuju
5=sangat setuju
No Pernyataaan
Alternatif Jawaban
Sangat
tidak
Setuju
Tidak
Setuju
Kurang
setuju setuju
Sangat
Setuju
1 Bekerja pada instansi ini
membuat saya berguna di
dalam kehidupan
bermasyarakat
2 Pemberian penghargaan bagi
petugas yang berprestasi akan
memberikan motivasi kerja
pada petugas
3 Saya merasa bahwa dengan
bekerja di perusahaan ini.
kebutuhan perumahan yang
wajar sudah dapat terpenuhi
4 Atasan saya selalu memberikan
pujian apabila saya
menjalankan tugas pekerjaan
dengan hasil memuaskan
5 Bekerja di instansi ini, dapat
menjamin kehidupan saya di
hari tua
6 Saya merasa senang karena
petugas kesehatan dan petugas
lainnya bisa menerima saya
sebagai partner yang baik
7 Saya selalu dilibatkan dalam
pertemuan atau rapat dalam
mengambil keputusan dalam
kegiatan puskesmas
8 Saya mersa senang bila
pengabdian saya, selam bekerja
di Puskesmas ini diakui oleh
kepala Puskesmas
9 Puskesmas memberikan
kesempatan bagi petugas untuk
mengembangkan potensi yang
ada pada dirinya untuk lebih
maju
10 Saya merasa tertantang untuk
menyelesaikan tugas yang
diberikan
No Pernyataaan
Alternatif Jawaban
Sangat
tidak
Setuju
Tidak
Setuju
Kurang
setuju setuju
Sangat
Setuju
1 Bekerja pada instansi ini
membuat saya berguna di
dalam kehidupan
bermasyarakat
2 Pemberian penghargaan bagi
petugas yang berprestasi akan
memberikan motivasi kerja
pada petugas
3 Saya merasa bahwa dengan
bekerja di perusahaan ini.
kebutuhan perumahan yang
wajar sudah dapat terpenuhi
4 Atasan saya selalu memberikan
pujian apabila saya
menjalankan tugas pekerjaan
dengan hasil memuaskan
5 Bekerja di instansi ini, dapat
menjamin kehidupan saya di
hari tua
6 Saya merasa senang karena
petugas kesehatan dan petugas
lainnya bisa menerima saya
sebagai partner yang baik
7 Saya selalu dilibatkan dalam
pertemuan atau rapat dalam
mengambil keputusan dalam
kegiatan puskesmas
8 Saya mersa senang bila
pengabdian saya, selam bekerja
di Puskesmas ini diakui oleh
kepala Puskesmas
9 Puskesmas memberikan
kesempatan bagi petugas untuk
mengembangkan potensi yang
ada pada dirinya untuk lebih
maju
10 Saya merasa tertantang untuk
menyelesaikan tugas yang
diberikan
Matriks Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan Utama (Informan 1 s/d 4)
No. Pertanyaan Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4
1
Perencanaan
Program
Penemuan Kasus
Pneumonia Balita
a. Apakah setiap
tahun puskesmas
membuat
perencanaan
program
penemuan kasus
pneumonia
balita?
b. Siapa saja
petugas yang
dilibatkan, dalam
pembuatan
perencanaan
penemuan kasus
pneumonia balita
di Puskesmas?
“dilakukan dong. awal januari,
januari, februari lah,”
“kan kemarin saya juga baru,
dari sini kan februari
pertengahan.
“Sebelumnya tuh januari,
februari, maret, Cuma itu
harus ada profil puskesmasnya
baru dibuat perencanaan”
“yang buat perencanaan
penanggung jawab P2 ISPA,
kan nanti ngumpulin semua
tuh, setiap pemegang program
baru dibuat”
“ya rata-rata sih hampir sama
dengan di Puskesmas lain,
misalnya pendataan kemudian
temuan-temuan di Posyandu
pertemuan di dalam gedung,tapi
apa yang dilakukan disini saya
enggak tahu persis terutama
tahun 2014, karena ibu baru
masuk Februari 12-13”
“Semuanya terlibat, terutama
yang megang program mbak”
“Dibuat, oh kita ada
sistem laporan, semua
program sama dibuat, ada
laporan mingguan bulanan
tahunan di rangkum dalam
satu laporan”
“perencanaan setahun
sebelumnya, ehmm, awal
bulan ya”
“yang buat bidan Septi,
penanggung jawab
pneumonia untuk anak
ya”, “program itu
misalnya ada kaitan
dengan posyandu dengan
bina wilayah bidan-bidan,
kalau lintas program
“disini pasti ada
perencanaan. Tapi jujur
disini saya baru 5 bulan,
kalau rencana program sih
setiap bulan, kalau cakupan
pencapaian target MTBS sih
saya targetkan minamal 1-5
MTBS”
“MTBS belum berjalan
maksimal, dan petugasnya
pun belum pernah ikut
pelatihan MTBS.tapi saya
coba terapkan, kalau yang
buat perencanaan yang
megang programnya,
melibatkan seluruhnya.
LAMPIRAN 3
No. Pertanyaan Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4
ehmm lintas sektoral itu
bisa dengan BP-BP swasta
atau klinik-klinik untuk
meminta laporan”
Terutama dokter. Ya dokter,
soalnya yang menentukan
diagnosa itu kan dokter.
Tidak ada lagi bidan atau
perawat yang memeriksa”
2
Program
Penemuan Kasus
Pneumonia Balita
a. Kegiatan apa saja
yang termasuk
dalam program
penemuan kasus
pneumonia balita
di Puskesmas?
“ya paling ya kalau kegiatan
pneumonia sama MTBS,
pelaksanaan pelayanan MTBS
di sini,
“iya, “iya di posyandu juga. Kan di
posyandu juga terus yaudah
jadi gitu kalo pelaksanaan
pelayanan MTBS di sini kan,
iya aktif kalau itu kan di
posyandu ya diperiksa terus
kalau misalnya pneumonia
udah disuruh kesini kalau
enggak sibuk”
“Saya tidak tahu persis kalau
disini, ya tapinya pasti
pelaksanaan penyuluhan di
posyandu pemeriksaan balita,
iya bagusnya ya aktif dan pasif,
tapi sepertinya pasif saja”
“ke klinik-klinik mencari
sasaran bisa juga dengan
kunjungan rumah,
tergantung kasus, kalau
ada kasus ya pernah,
pernah terkadang kalau
jemput bola kita ke klinik-
klinik swasta”
“strateginya ya kita di
posyandu, penyuluhan
perorangan, penyuluhan
perkelompok ibu-ibu di
posyandu. Pokonya setiap
ada anak yang batuk pilek,
demam pokoknya jangan
dianggap enteng. Kita kan
disini cakupan TB juga
masih rendah ya, ada batuk
lebih dari 2 minggu ya itu
harus segera periksa dahak.
Penyuluhan motivasi
perorangna, di luar dan
dalam gedung ya itu tetap
No. Pertanyaan Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4
b. Apakah ada
kerjasama dengan
MTBS dalam
program
penemuan kasus
pneumonia balita
di Puskesmas?
“iya jadi dalam pemeriksaan
balita, dari situ bisa diketahui
penyakitnya apa, iya, jadi
begini kan ini puskesmas baru
sebelum tangsel jadi Kota dulu
kan Kabupaten Puskesmas ini
belum ada, dulu saya kan di
pondok jagung, jadi
petugasnya perlu dilatih MTBS
jadi yang belum dilatih berapa
gitu”
“Ya iya ada, MTBS yang
meriksa balita pas sakit., MTBS
penemuan pneumonia balita,
pneumonia balita bisa diketahui
melalui pelaksanaan MTBS
nya”
“sebagai fasilitator untuk
penemuan kasus itu sangat
penting sekali”
dilakukan”
“Kalau dari MTBS ini ya
lebih diketahui ya deteksi
dininya . karena kan kadang
ada batuk yang buka
pneumoni, ya pokoknya
banyak lah. Saya kan juga
pernah ini lah MTBS,
seperti itu”
3
Tatalaksana
Pneumonia Balita
b. Apakah di
Puskesmas
dilakukan
kegiatan
tatalaksana
pneumonia balita,
jika ada siapa
yang melakukan
hal tersebut?
“ya dokter sama bidan atau
perawat yang membantunya,
balita sakit kan, iya biasanya
kalau pemeriksaan petugas
yang sudah paham atau sudah
dilatih sebentar kalau petugas
belum dilatih kan lama ya
meriksanya, kalau dia enggak
begitu lama meriksanya”
“MTBS itu saya mengerti MTBS
itu seharusnya ada, saya ngerti
dan itu sangat patuh bagaimana
kita lebih detail dalam temuan
iya kan, jadi gimana saya
sarankan kamu ke pak Budi,
tadi kamu lihat enggak tadi ada
MTBS, laporan MTBS itu
enggak perlu lima, tiga orang
“tatalaksananya dari
MTBS, dokter umum yang
melakukannya”
“Kalau dari MTBS ini ya
lebih diketahui ya deteksi
dininya . karena kan kadang
ada batuk yang buka
pneumoni, ya pokoknya
banyak lah. Saya kan juga
pernah ini lah MTBS,
seperti itu”
“oleh dokter”
No. Pertanyaan Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4
c. Menurut
bapak/ibu apakah
petugas
melakukan
tatalaksana
pneumonia balita
sesuai dengan
pedoman
tatalaksana
pneumonia
balita/MTBS?
“iya sudah sesuai, tapi
spertinya tidak semua petugas
menggunakan alat hitung
napas, karena itu harus dilatih
dulu jadi susah kalau petugas
yang belum dilatih
menggunakan alat hitung
napas itu”
juga enggak apa-apa”
“iya petugas di bagian anak,
seharusnya dia berdekatan juga
dengan gizi makanya ruangan
gizi saya taro berdekatan
dengan anak”
“kita kekurangan tenaga
disini,saya rasa tidak selalu
dokter tapi kadang-kadang”
”selama ini sesuai aja,
kalau banyak pasien kan
tatalaksana itu cukup rumit
ya. kalau sudah dilatih
mereka melaksanakannya
sesuai dengan prosedur ya
kan ada SOP nya disitu”
“belum sesuai karena tadi
mereka masih banyak yang
belum dilatih paling pake
modul-modul saja”
4
Kegiatan
pencatatan dan
pelaporan
a. Apakah petugas
puskesmas
melakukan
kegiatan
pencatatan dan
pelaporan
penemuan kasus
“iya yang melakukannya
penanggung jawab program,
kan nanti ada di LB3”
“iya ada laporan juga dari
klinik swasta, pencatatannya
dilakukan sama penangung
jawab P2 ISPA tapi kadang
“sebetulnya harus ada tapi
biasanya temuan di klinik
swasta di laporin jarang paling
ada ISPA pneumonia ringan,
tapi itupun mereka ngerjainnya
tanpa MTBS, iya petugasnya”
“pastinya sesudah dong,
“yang biasanya dokternya
yang melakukan
pencatatan” “iya, tapi ada
juga tuh petugas P2 ISPA
nya bantu,” “ehmm rutin-
rutin”
“biasanya setelah jam
“ada di laporan W2. Kita
setiap hari senin, iya
penanggung jawab
program”
“hmmm kalo klinik swasta
paling dari BPS. Tapi disini
mah enggak maksimal ya, “
No. Pertanyaan Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4
pneumonia balita
di Puskesmas dan
di klinik swasta?
b. Apakah ada
pelaporan ke
Dinkes mengenai
kasus
pneumonia?
mereka saling bantu”
“kalau laporan ke dinkes
setiap bulan”
sesudah selesai pasien
pelayanan lalu pencatatan
register, iya setelah pelayanan,
sudah ada enggak tadi ? saya
berharap setiap hari harus
sudah dilakukan, ada tidaknya
form MTBS pneumonia harus
di lakukan di register anak
selesai hari itu juga di bagian
umum juga gitu, Cuma kadang
terkendala kalau petugas
anaknya ada rapat diganti sama
orang lain, kadang-kadang itu
yang sedikit hambatan”
“saya berharap kalau laporan
bulanan sudah lengkap ya
dilaporkan ke Dinkes”
pelayanan”
“kebanyakan kita sih yang
jemput bola ya. iya kadang
klinik swasta ini langsung
ke dinas enggak melalui
kita dipikirnya kita minta
ke dinas padahal kita
sendiri harus mencari
gitu”
“pelaporan ke Dinkes pasti
ada, karena itu sudah
tugas puskesmas”
“ya.. kita punya register
tersendiri dan itu dilakukan
setiap hari ispa, diare, dan
itu dilakukan setiap hari
terus petugasnya
melaporkan ke dinas
kesehtan seminggu sekali
setiap hari senin. Via email
No. Pertanyaan Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4
5 Faktor petugas
(Pelatihan Petugas)
a. Apakah petugas
P2 ISPA di
Puskesmas yang
Bapak/Ibu
pimpin, sudah
pernah mengikuti
pelatihan P2
ISPA (tatalaksana
pneumonia/MTB
S)?
“kalau petugas yang di MTBS
ya dilatih jadi enggak semua,
ini baru bu leny itu aja sih”
“dinas provinsi kalau disini
khusus bu Leny saja kan
enggak semua, ya sudah siapa
yang dilatih ngajarin
temannya, kalau yang dilatih
bu Leny setahu saya harusnya
juga melatih staf yang lain”
“seharusnya sudah”
“ setahu saya dia senior dan
harusnya sudah”
“perawat atau dokter”
“kalau pelatihan belum,
pelatihan kan enggak
gampang ya nanti kalau
dinas mengadakan
pelatihan lagi gantian”
“hemm saya kira di sini
petugasnya banyak yang
belum di latih MTBS ya”
“belum, disini beum ada
yang terlatih. Tapi mereka
udah punya modul-
modulnya .kan
klasifikasinya sudah ada”
6 Motivasi
a. Apa motivasi
atau upaya Bapak
untuk memajukan
puskesmas bapak
menjadi lebih
baik, terutama
dalam pencapaian
target penemuan
kasus pneumonia
balita?
“dari sekarang saya harus
menyiapkan impian saya
puskesmas bakti jaya menjadi
Puskesmas Kecamatan jangka
lima tahun kan begitu, kalau di
Puskesmas Setu kan non
perawatan puskesmasnya kecil
kan, kalau Setu kan enggak
mungkin karena enggak ada
perawatan, kalau Puskesmas
“yang jelas lebih baik dong”
“ yang jelas saya tahap pertama
yang dilakukan sebagai
pimpinan yang baru saya
berusaha untuk semua staf
disiplin yang baik , bekerja
dengan baik. semua tugas akan
dikerjakan dengan baik kalau
dia bekerja dengan baik tidak
sekadar intruksi kamu kerjakan
“motivasi saya senyum
sapa sabar mengutamakan
pelayanan menggalakan
pelayanan promotif
preventif”
“motivasinya saya ingin
puskesmas ini lebih baik ya.
Puskesmas ini kan sebagai
pelayanan yang kita hadapi
kan manusia. Jadi saya
selalu mengatakan
keseluruh staf
mengutamakan ke
disiplinan. Artinya jika
meeka disiplin insha Allah
No. Pertanyaan Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4
keranggan kan dipojok sana” MTBS, Yang kedua dapat
memahami tugas tenaga
kesehatan tugas pokoknya,
meskipun kan kadang kala
MTBS adapetugas yang
mengerjakan tapi saya
berharap dari petugas yang
sudah di latih dapat
mentrasferkan ilmunya
bagaimana caramelaksanakan
MTBS harus seperti itu dengan
demikian semua dia pahami
termasuk pencatatan
pelaporannya jadi siapa yang
bertugas, karena SDM yang ada
di puskesmas sering kali double
job, pekerjaan kita tumpang
tindih , kalau pasien kan enggak
mungkin tidak tiap hari enggak
bisa kita cegah”
kerjanya juga akan baik.
Mereka butuh kesolid an,
butuh kerja sama,
keterbukaan. Alhamdulillah
disini 5 buln, evaluasi
triwulan pertama kita
memiliki kinerja yang tepat.
Berartikan kita bukan apa-
apa tanpa temen-temen.
Jadi memang saya selalu
memotivasi mereka untuk
bekerjalah untuk hati,
karena kalau bekerja tidak
dengan hati itu sulit. Pasien
datang, periksa, pulang.
Jadi saya selalu
menanamkan kepada temen-
temen anggaplah puskesmas
ini sebagai rumah kedua.
Jadi ada rasa memiliki, rasa
tanggung jawab. Anggaplah
semua pasien yang datang
kesini keluarga kita. Jadi
No. Pertanyaan Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4
misal keluarga kita datang
ke puskesmas, petugasnya
asal-asalan, tdak
menyampaikan maksud
dengan baik, apa rasanya?
Sebagai contoh, tempat
tidur rawat inap tidak
bersih, saya tanya ke temen-
temen. Mau gak tidur
disitu? Mereka jawab gak
mau bu. Ya pasien sama gak
mau. Jadi Alhamdulillah OB
pun bekerja dengan baik.
Jadi pukesmas di tangerang
selatan ini sudah ada”
7 Ketersediaan
Sarana dan
Prasarana
penunjang
a. Apakah di
Puskesmas yang
Bapak/Ibu
pimpin, tersedia
“disana itu kan ada meja tuh
nah ada buku-buku gede iya itu
poster-poster itu nanti dari
petugas promkes dan di
“setahu saya ada dari Diinkes”
“itu saya kumpulin karena saya
enggak mau kehilangan ini
masuk ke data saya tapi saya
“kita bisa pake in fokus
bisa laptop bisa pake
buku,”
“media, seperti apa
“ada, coba nanti tanyakan
lagi ke petugas ya, dibawah
sepertinya diruang poli
anak”
No. Pertanyaan Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4
media cetak dan
media
penyuluhan
terkait penemuan
kasus pneumonia
balita?
distribusikan ke posyandu
sekolah-sekolah”
enggak ragu-ragu untuk
mendistribusikannya mulai dari
TK, PAUD, posyandu termasuk
swasta sekolah kita
distribusikan apabila mencukupi
sesuai dengan tujuan kita jadi
saya tidak asal bagi pada saat
yang berkaitan dengan UKS
tidak sekedar ISPA kalau di
UKS kan enggak ada karena
anak-anaknya sudah besar-
besar di Posyandu ISPA kita
berikan kecacingan di taro di
SD, jadi saya mendistribusikan
itu pun disesuaikan dengan
kebutuhan
brosur-brosur yang
dibagikan ke posyandu
mengenai balita sakit atau
apa kenali tanda-tandanya
harus segera mungkin ke
pelayanan kesehatan”
8 Kegiatan Evaluasi
c. Apakah di
Puskesmas yang
Bapak/Ibu
pimpin,
dilakukan
“tiap bulan ada lokmin lokbul”
“kadang enggak nentu juga
tergantung keadaanya, tapi
pastinya tiap bulan”
“ terlibat dari mulai OB, kalau
“untuk waktunya tidak selalu,
tapi paling tidak minimal
sebulan sekali, kalau misalnya
sangat urgent saya janjian hari
ini bisa besok tapi minimal satu
“waktu mereka juga pada
sibuk megang program”
adanya lokmin saya lokbul
tiap bulan atau ada juga
mingguan bisa”
“evaluasi program kita
lokakarya bulanan kita
laksanankan seluruhnya”
No. Pertanyaan Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4
kegiatan evaluasi,
siapa saja yang
dilibatkan dalam
kegiatan
tersebut?
d. Apa saja yang
dibicarakan
dalam kegiatan
evaluasi di
Puskesmas?
kita kan ada staf meeting”
“dalam evaluasi yang
dibicarakan ya pencapaian
program atau hambatan
kendala atau membahas
kebijakan di tangsel itu
disampaikan perencanaan
yang dilakukan di tangsel.
Kebijakan dinas, nah itu semua
dilakukan. di masyarakat ada
kendala apa engga. Ya gitu
kali, setiap kali kita rapat,
misalnya masukan dari staf-staf,
apa yang mereka harapkan dari
teman-temannya apa yang
diharapkan nanti jatuhnya akan
prioritas lagi mana yang akan
di tindak lanjuti, tapi hampir
setiap bulan programnya
berjalan dengan rutin jadi tidak
ada bulan ini program ISPA
bulan depan enggak, enggak
mungkin ya jadi tetap berjalan”
“ya ngebahas program,
mungkin ngebahas semua
program dalam 1 hari enggak
mungkin, hari ini apa yang
menjadi kemasalahan utama
satu itu, apakah bulan ini lagi
trend apa, ada kejadian apa kita
bahas ada persoalan apa kita
cermati pada bulan ini lalu kita
bicarakan, untuk di evaluasi di
“kalau kita semua
program dijadiin satu aja,
karena keterbatasan
“kita semua program di
evaluasi enggak hanya
pneumonia, dalam satu
kegiatan perencanaan
kedepan apa sudah
mencapai sasaran apa
yang akan dilaksanakan
tahun depannya makanya
kita evaluasi program, jadi
kita ada namanya loka
karya bulanan terus da
yang mingguan”
“ya salah satunya kita
disitu bicara program-
program”
“Itu menyampaikan hasil
program, cakupan,
targetnya berapa,
capaiannya berapa,
permasalahnnya apa, kalo
ada permasalahan apa
kendalanya. Kemudian pada
saat lokbul temen-temen
juga menyampaikan hasil
rapat apa yang mereka
No. Pertanyaan Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4
lah. Kegiatan rutin kan” bulan depan biasnya kita
dengan kader-kader kesehatan
biasanya kita lokmin, loka karya
mini, ketemuan UKS ketemuan
kader ya kemudian kalau di
dalam gedung ya kita dengan
staf”
dapat dari hasil rapat itu
yang dikasih tau ke kita”
Matriks Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan Pendukung (Informan 5 s/d 10)
No Pertanyaan Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Informan 9 Informan 10
1
Perencanaan
Program
Penemuan Kasus
Pneumonia Balita
a. Apakah setiap
tahun
puskesmas
membuat
perencanaan
program
penemuan
kasus
pneumonia
balita?
b. Siapa saja
petugas yang
dilibatkan,
dalam
pembuatan
perencanaan
penemuan
kasus
“POA itu”
“ POA itu dibuat
sebelum akhir tahun,
Desember-november
lah”
“tapi lupa POA nya
dimana, ya,,nanti
saya cari dulu”
“oh iya kita namanya
masing-masing
program itu pasti
bekerja sama dengan
promkes, kalau
berhubungan dengan
pneumonia bisa
promkes bisa kesling,
“iya ada, bulan
Desember biasnya
diakhir tahun”
“ iya buatnya dibantu
sama dokter yang
mimpinnya, kerja
sama kesling, iya”
“ada, biasanya
bulan Desember
atau Januari lah”
“yang buat saya
sendiri”
“Ada buat 1 tahun,
Pas awal tahun”
“bulan, paling bulan
Januari-februari,
yaa desember akhir
lah,
“yang buat
perencanaannya
saya sendiri, jadi
kan kayak
perencanaan untuk
satu tahun kedepan
kan, kerjasama sama
sama kesling pasti
- -
LAMPIRAN 4
No Pertanyaan Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Informan 9 Informan 10
pneumonia
balita di
Puskesmas?
MTBS bisa juga
dengan apa namanya
binwil-binwil”
sama kader sama
dokter di puskesmas
itu aja”
2
Program
Penemuan Kasus
Pneumonia Balita
a. Kegiatan apa
saja yang
termasuk
dalam program
penemuan
kasus
pneumonia
balita di
Puskesmas?
“kalau pneumonia itu
programnya 1
pelacakan kalau ada
kasus pneumonia,
atau kematian bayi
akibat pneumonia
pelacakannya ya,
mungkin dalam
setahun itu bisa
tergantung kasus,
kalau saya di
perencanaanya kan
ada targetnya itu 2
kali, dilihat dari
banyaknya kasus aja
itu baru kunjungan
bayi yang meninggal
“selama ini sih itu
pasif, tapi dicari juga
neng di posyandu”
“kalau kita, kita ke
klinik-klinik,
wilayah kerja
Pisangan itu kita
nyari pasien jadi
kita bikin formnya
sepuluh penyakit
terbesar salah
satunya untuk
pneumonia karena
kalau untuk di
puskesmas kita
kurang dari target
kita jadi kita ke
klinik-klinik yang
ada di wilayah
kerja pisangan kita
“paling
penyuluhannya aja,
di Posyandu-
posyandu, paling
kita nunggu pasien
saja”
- -
No Pertanyaan Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Informan 9 Informan 10
dalam setahun karena
kasus pneumonia baik
bayi ataupun balita
itu kunjungannya tapi
kalau misalnya
planing buat bulanan
nya mungkin kita
sambil posyandu bisa
juga menanyakan ke
kader atau kita juga
sama binwil bisa
mencari bayi dengan
napas cepat kita bisa
bilang pneumonia
kan, setiap haripun
bahkan setiap bulan
pun kita di balai
pengobatan di
puskesmas itu di poli
itu kan tiap hari ada
yang berobat di poli
anak kan kalau
misalnyan bayi
nyari nanti kan
disitu di dapatkan
jumlah penderita
yang ditemukan
tapi ini lebih ke
anak-anak ya kita
kalau dewasa
enggak, Cuma
sampai lima
tahun”
No Pertanyaan Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Informan 9 Informan 10
b. Apakah ada
kerjasama
dengan MTBS
dalam program
penemuan
kasus
pneumonia
balita di
Puskesmas?
dengan napas cepat
bisa kita ambil data
dari situ , tapi kalau
untuk POA nya
sendiri bersamaan
dengan posyandu atau
binwil kita bisa
kadang ada bayi atau
balita dengan napas
cepat itu disebut juga
dengan pneumonia”
“iya ada, dari MTBS
itu kan dapat
diketahui penyakitnya
apa”
“pasti lah neng, kalau
MTBS nya buruk atau
petugasnya belum
terlatih, susah
menentukan kasus di
MTBS”
“iya kerjasama
sama MTBS”
“di Puskesmas
dengan MTBS, di
posyandu dengan
kader”
No Pertanyaan Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Informan 9 Informan 10
3
Tatalaksana
Pneumonia Balita
a. Apakah di
Puskesmas
dilakukan
kegiatan
tatalaksana
pneumonia
balita, jika iya
siapa yang
melakukan hal
tersebut?
b. Apakah Ibu
dapat
menjelaskan
dengan rinci
mengenai
“Dokter umum yang
periksa, kalau
memang dia kesulitan
bernapas misalnya
baru pneumonia
ringan saja biasanya
di kasih obat untuk
meredakan batuk,
bahakan kalau
misalnya itu pun
antibiotik yang sesuai
dengan gejalanya
dia, iya terus lanjut
lagi”
“kan didalam MTBS
itu Kan ada
standarnya, ada
bayi/balita yang di
MTBS itu kan semua
“ya dua-duanya
kadang dokter atau
bidan, seharusnya
emang dokter ya tapi
enggak selalu ada
dokter di puskesmas
kadang-kadang kan
ada dinas malam nya
pagi-pagi libur, yang
pasti dijelaskan
menurut prosedur
gitu”
“iya pasti itu mah
neng dari dinas
kesehatan”
“kan pasien datang
harus ditanya, datang
suruh duduk lalau
ditimbang duduk
ditanya kenapa kan
“iya MTBS kan
hanya penyakit-
penyakit tertentu
saja yang kita
masukan ke MTBS
misalnya kayak
ada pasien demam
diare yaudah kita
masukin ke form”
“kebetulan kalau
disini yang
meriksa dokter”
“kalau pneumonia
beratkan harus di
rujuk ya kan disini
kita tindakannya
udah batuk pilek
“Paling diperiksa
sama dokter, nanti
kan ada kasus
pneumonia
diagnosanya sama
dokter , jadi kita
tahunya dari
dokter”
“iya dokter”
“paling ditanya
batuknya dari
kapan?terus udah
berobat kemana,
nanti kan kita lihat
“di MTBS,
sebelum masuk ke
penyakitnya kan
ada tuh didalam
form nya MTBS
apa coba,tahu
penyakit berat
atau tidak gimana
caranya, sebelum
kita melakukan
MTBS syarat
mutlaknya adalah
apa, tahu
kan?hehe”
“nomor satu
kalau MTBS itu
pneumonia
dibawah lima
tahun ya”
“terus untuk
MTBS sendiri
“kalau
tatalaksananya
ya sesuai
prosedur saja,
konsultasi
sama dokter
kita punya ini
apa namanya”
“pedoman dari
MTBS”
“Dokter
dibantu sama
asisten bisa
bidan atau
perawat, tapi
biasanya
dokter”
No Pertanyaan Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Informan 9 Informan 10
tatalaksana
pneumonia
balita sesuai
dengan
pedoman
tatalaksana
pneumonia
balita/MTBS?
kita tanyain dia
sudah kategori
bahaya atau tidak.
terus ada Optionnya
juga mengenai anak
ada batuk / sukar
bernapas atau tidak.
Kalau memang sukar
bernapas, kan kita
hitung napasnya
ddalam satu menit
ada berapa
napasnya, sudah
berapa lama iya kan
jadi kita bisa lihat
disitu dia sebenarnya
sakit apa . Kita bisa
liat apa batuk, apa
diare, apa demam,
campak atau malaria,
disitu ada tu
optionnya di MTBS
itu apa gangguan
pasti dia jawabkan
sakit batuk apa sesak
atau panas dan batuk
nah diperiksa dilihat
kan, dilihat apakah
ada napas cepat kalau
kita lihat memang ada
napas cepat otomatis
harus dihitung
napasnya iya kan, kita
kan target juga sehari
minimal 3 ya
menemukan penderita
pneumonia, minimal 3
kalau lagi banyak
mah banyak, kalau
sekarang menurun,
dulu banyak banget
ada 4 , karna mereka
datangnya dari luar
wilayah mungkin
kalau dari penduduk
serpongnya sendiri
ada sesak napas itu
kita uab aja”
ada inian apa sih
penarikan dinding
pernapasannya”
nomor satu yang
paling banyak itu
kan batuk pilek
kan, yang nomor
satu ini kalau ada
penyakit beratnya
enggak bisa
diwawancara di
MTBS karena
harus dirujuk
segera, kalau
yang kedua ada
batuk misalnya
apa yang
ditanya”
“berapa hari
dilihat lagi
batuknya
dihitungnya pas
sudah dihitung,
dihitung sama
kita pakai apa,
alatnya?”
No Pertanyaan Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Informan 9 Informan 10
telinga,imunisasi,
kurang gizi cacing,
apa pneumonia kan
ada semua. tapi Kalau
pneumonia paling kita
disini optionnya
apakah anak batuk
atau sukar bernapas.
Nah jadikan nanti kita
hitung napasnya. dari
situ Ketauan dia
pneumoni atau tidak
gitu”
dia banyaknya kan ke
dokter karena udah
pada apa namanya,
bukan SDM nya ya,
mungkin golongannya
udah menengah ke
atas ya jadi dia
banyaknya ke dokter
praktek yang swasta
gitu ya jadi
penduduknya yang
ada di serpong sendiri
itu enggak banyak
yang berobat kesini
padahal mungkin ada
pneumonia yang
enggak bisa
ditemukan yang
enggak datang ya
itulah jadi kita
dilihatnya di
posyandu kita pasti
kalau di posyandu kan
“sound timer, pas
sudah di hitung,
lanjut yang
berikutnya apa
lagi, tahu enggak
kalau yang
pneumonia”
No Pertanyaan Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Informan 9 Informan 10
balita yang ditimbang
pas ditanya kenapa
anaknya enggak
datang atau kenapa
enggak disuntik kan ,
anak demam sakit
atau apa pasti sama
bidannya diperiksa,
saya sebagai
petugasnya sering
mensosialisasikan
tentang penyakit ISPA
untuk penjaringan
pneumonia kan, yang
pneumonia itu seperti
apa gejalanya tanda-
tandanya dan seperti
apa gitu kalau
misalnya yang bukan
pneumonia seperti
apa gitu kan mereka,
minimalnya kan sudah
tahu yang ke
No Pertanyaan Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Informan 9 Informan 10
posyandu pasti
dilihat, owh iniada
napas cepat ini
pneumonia, nah itu
yang apa kata neng
tadi aktif ya”
4
Kegiatan
pencatatan dan
pelaporan
a. Apakah Ibu
melakukan
kegiatan
pencatatan dan
pelaporan
penemuan
kasus
pneumonia
balita di
Puskesmas dan
laporan dari
klinik swasta?
“disini kan
pencatatanya ada
pneumonia ada form
sendiri,misalnya kita
periksa terus kalo
kita curiga pneumonia
ya sudah kita masukin
aja ada registernya”
“iya setiap hari”
“dari klinik swasta itu
tiap bulannya itu dia
yang kasus
pneumonia sejauh ini
kita paling dari
“setiap hari, di
register”
“register ISPA ada
yang bukan ISPA ada
harus dicatat kalau
yang khusus
pneumonia ada lagi
dibukunya”
“ada kalau lagi ada,
pasti kalau swasta
harus kaya jemput
bola aja, kalau yang
orangnya ini apa”
“ada, di register
anak itu kita
pindahin lagi ke
register ISPA baru
kita laporin ke
Dinas”
“habis pelayanan
paling kita
ngerekap, ada di
register ISPA nya”
“Ada paling itu juga
ISPA dewasa, ISPA
yang sudah dewasa
yang ringan juga.
Paling bukan
pneumonia. kalau
disini kan
pneumonia jarang ,
bukan jarang
bahkan enggak ada
- -
No Pertanyaan Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Informan 9 Informan 10
b. Apakah ada
pelaporan dari
Puskesmas ke
Dinkes
mengenai
kasus
pneumonia?
bidan-bidan prakter,
mantri kaya perawat
balai pengobatan ya
ada sih”
“iya nanti data kasus
tersebut, baru
dilaporkan ke dinkes”
“itu mah pasti neng,
kan dinkes juga puya
target penemuan
kasus, jadi puskesmas
harus lapor setiap
bulannya”
“setiap bulan dari
tanggal 25 ketemu
tanggal 25 itu kita
salin”
pneumonia kan”
“dilaksanakan juga”
“iya disini setiap
bulan”
5
Faktor petugas
(Pelatihan
Petugas)
a. Apakah Ibu
pernah
mengikuti
pelatihan P2
ISPA
(tatalaksana a.
pneumonia/MT
BS) yang
“kalau saya belum,
nah itu dokter lia itu
dulunya pernah
megang program
ISPA diare di situ
gintung untuk
pelatihan khususnya
sepertinya sudah ada
“sering”
“ya itu itu aja kayak
gitu, penatalaksanaan
ISPA dan Diare itu
aja paling ya intinya
ya apa namanya cara
pemeriksaanya
gimana itu itu aja sih
“belum ada”
“belum ada untuk
P2 ISPA, kita
belum ada”
“Blm pernah, belum
ada”
“ya enggak tahu,
mungkin dari
Dinkesnya‟
“pernah dulu
perwakilan dari
Puskesmas
Jombang”
“itu kan pedoman
dari Kemenkes”
“pedoman MTBS,
semuanya ada ya
“belum ada
sejauh ini,
belum ada jadi
hanya buku
pedoman
MTBS”
“belum”
“dari dinasnya
No Pertanyaan Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Informan 9 Informan 10
diselenggrakan
Dinkes?
Bu euis dulu dia itu
sudah pernah dilatih”
“dari dinas , namun
masih kabupaten
soalnya posisinya itu
bu euis dulunya yang
megang program
ISPA diare, yang baru
td itu bu euis
kayaknya dia itu
sudah pernah
mengikuti pelatihan
kalau yang dokter lia
itu kayaknya belum
tapi dia sudah
megang ISPA diare
itu”
saya juga bosen itu itu
aja”
dari Kemenkes
aja sih”
kayaknya
belum
mengadakan
pelatihan itu”
6
Ketersediaan
Sarana dan
Prasarana
penunjang
a. Apakah di
Puskesmas
“Lembar balik,
leaflet-leafletnya, ada
“ada, yang diare juga
ada pada dimana kali,
“ehmm,
pedomannya ada
“Ada . apa namanya
Lembar balik”
- -
No Pertanyaan Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Informan 9 Informan 10
yang tempat
Ibu bekerja,
tersedia media
cetak dan
media
penyuluhan
terkait
penemuan
kasus
pneumonia
balita?
beberapa tp gak
banyak. jadi kita
melakukan
penyuluhan lembar
baliknya. tapi lembar
balik ada melakukan
penyuluhan ada
lembar balik kita
kenalkan ada sound
timer, buat
menghitung napas
cepat”
“Ada, pedoman P2
ISPA tapi masih yang
lama ya”
kadang-kadang ada
yang pinjam,
lemarinya belum
diberesin waktu itu
dipinjam siapa gitu
pas rapat ada yang
pinjam enggak
dikembaliin, kayak
gini kan pedomannya
ada juga yang ini kan
kayak pengendalian
diare”
“ada tapi kemana
tahu ya, dilemari coba
nanti masih ada
enggak dilemari”
sih ,
tatalaksananya
juga ada, MTBS
juga kita punya
bagannya ada di
ruang anak”
“iya tentang
pneumonia”
“leaflet juga ada di
MTBS kalau enggak
ada papan yang
diruang BP disitu
yang BP dewasa ada
tuh alur-alur nya
alur-alur
pneumonia”
“Ada kayaknya
Pedoman P2 ISPA,
kalau mau lihat
nanti di ruang BP”
7
Kegiatan Evaluasi
a. Apakah di
Puskesmas
tempat Ibu
bekerja,
dilakukan
kegiatan
“Bisa dadakan
namanya staf meeting,
kalau bulanan lokbul.
Bicarakan kendala
apa, upaya
bagaiamana. gitu-gitu
“iya perbulan”
“semua petugas
terlibat”
“kemaren baru kita
evaluasi program
jadi cakupannya
dilihat tapi kita
lokbul akhir bulan
juga terus ngasih
“Evaluasi nanti kita
kan laporan
perbulan,
evaluasinya
perbulan nanti kita
lihat ada juga
- -
No Pertanyaan Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Informan 9 Informan 10
evaluasi, siapa
saja yang
dilibatkan
dalam kegiatan
tersebut?
b. Apa saja yang
dibicarakan
dalam kegiatan
evaluasi di
Puskesmas?
semua dibicarakan
programnya”
“Apa kendalanya,
bagaimana
penangannya, kita
juga sharing supaya
pencapaian kasusnya
tercapai sama kaya
yang lainnya. jadi kita
juga sharing sama-
program yang lain
bagaimana program
kita tercapai gitu lho
jadi kerjasamanya
sama kesling lah
sama promkes, semua
petugas terlibat”
“program pasti itu
mah kalau kebagian
ya waktunya kadang-
kadang kan yang
diomongin rapat
banyak neng enggak
satu masalah aja
kan”
tahu”
“ya akhir bulan
lah kalau evaluasi
mah tiap akhir
bulan”
“pencapaian
program, apa
masalah atau
hambantannya,
banyak lah mbak
yang dibicarakan
dalam rapat mah”
triwulan, tahunan”
“Pencapaian target
programnya ,
sasaran nya kan kita
lihat dari jumlah
penduduk, jadi kan
kita dapat target
dari dinas berapa
persen sudah
mencapai atau
belum , tapi enggak
apa-apa sih kalau
enggak kecapai
juga, kalau mau
kecapai bantuin
mbak nyarinya
bantuin susah”
Matriks Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan Ahli (Informan 11)
No Pertanyaan Informan 11
1
Perencanaan Program penemuan
kasus pneumonia balita
d. Menurut Bapak, apa yang dimaksud
dengan perencanaan dalam suatu
program puskesmas?
e. Kapan seharusnya perencanaan
program dibuat puskesmas?
f. Siapa saja yang seharusnya terlibat
dalam pembuatan perencanaan
program penemuan kasus pneumonia
balita?
“ehm, jadi organisasi mau melaksanakan kegiatan suka atau tidak dia harus
menyusun rencana kerja untuk mencapai targetnya, berarti di jelas punya target
punya peta masalah yang menjadi apa namanya upaya yang mau dicari sesuai
dengan targetnya kemudian dia mengidentifikasi masalahnya,
“puskesmas itu punya jeda lima tahun dan dia bedah dalam lima tahun agendanya
mau berapa, kemudian dia bedah lagi dalam peroide bulanan, pengalaman kita di
Puskesmas, kita harus punya rencana harian lebih opreasional misalnya tempat itu
ada sepuluh, sepuluh itu kira-kira gimana mulai diharian”
“untuk pneumonia itu, mau tak mau harus ada kontribusi dari semua staf,
terutama kepala Puskesmas harus menggabungkan pneumonia sendiri, imunisasi
sama ibu dan anak, terutama lingkungan, apa lagi dalam upaya penemuan
program pneumonia menginginkan penemuan pneumonia dan peran kader semakin
dekat kan gitu, apa lagi petugas”
2
Kegiatan program penemuan kasus
pneumonia balita
a. Menurut Bapak, kegaiatan
penemuan kasus secara pasif atau
“sebenarnya gini kita punya istilah aktif sama pasif, seharusnya kan akyif sama
pasif itu berjalan barengan upaya paling penting adalah aktif menjadi tonggak
LAMPIRAN 5
aktif kah yang lebih meningkatan
penemuan kasus pneumonia balita di
puskesmas?
penemuan kasus tapi makna dari aktif tiba-tiba menjadi penting ketika apa
penyebarluasan informasi ketika orang sakit tertentu harus datang ke pelayanan
menjadikan yang pasif itu tiba-tiba jadi aktif mendorong orang untuk datang ke
pelayanan yang menjadi pasif ketika saya mendektkan pelayanan saja ke
masyarakat melalui puskesmas keliling, melalu pos kesehatan desa dan banyak pos
kesehatan desa di puskesmas ini semakin banyak frekuensinya berarti semakin
dekat dengan masyarakat, kombinasi pun yang disebut aktif itu bisa jadi membuka
pelayanan sebanyak mungkin”
3
Kegiatan tatalaksana pneumonia balita
atau MTBS di Puskesmas
a. Menurut Bapak, jika di Puskesmas
dilakukan tatalaksana pneumonia
balita, siapa yang seharusnya
melakukan tatalaksana tersebut?
“sebetulnya urusan yang menemukan pneumonia adalah semuanya termasuk
kader, yang jadi perdebatan kan menentukan ini sesak napas sering itu semuanya
kan berstandar pada itu pada waktu mengobati menetapkan diagnosa nya menurut
saya kewenangan tidak selalu bidan sama perawat boleh petugas kesehatan
lingkungan walaupun petugas kesehatan lingkungan bisa menemukan penderita
pneumonia dan diserahkan kepada yang berwenang dalam pelanatalaksanaanya”
4
Kegiatan pencatatan dan pelaporan
kasus pneumonia balita
c. Menurut Bapak, apakah seharusnya
ada pelaporan mengenai kasus
pneumonia dari klinik swasta atau
praktek dokter?
d. Menurut Bapak, pencatatan dan
pelaporan yang seperti apa yang
“enggak, sehingga kalau dia enggak lapor enggak bisa dipaksa-paksa yang bisa
adalah meminta kesukarelaan”
“nah itu yang dibuat oleh aturan teman-teman di ISPA, nah kemaren kita
menyelasiakan pencatatan dan pelaporan dipuskesmas yang pencatatan seperti itu
harus dilakukan puskesmas dalam
meningkatkan angka penemuan kasus
pneumonia balita? kapan sebaiknya
kegiatan pencatatan kasus dilakukan?
aku minta hilang karena di catat di bagian umum dari situ datanya diambil boleh
nah jangan buat pencatatan lagi nanti tugasnya banyak. jadi kan gini loket
mencatat, saya datang ke puskesmas identitas saya dicatat misalnya pak sholah
mau kemana saya ke poli umum, ya sudah ke poli umum, kemudian di poli umum
dicatat saya dapat pelayanan, begitu tapi jangan menandai nanti yang ISPA ada
register sendiri, TB karena dia diobati, diare , nanti kebayakan catatan”
5 Faktor petugas kesehatan
a. Jenis kelamin
a) Menurut Bapak, Apakah ada
perbedaan antara petugas laki-laki
dengan petugas perempuan dalam
menjalankan tugas, terutama
dalam pelaksanaan penemuan
kasus pneumonia balita?
“saya tidak tahu persis secara teori tapi sepengalaman saya kalau laki-laki lebih
intens dan tegas gitu, tapi kalau merawat balita lebih teliti kepada perempuan”
b. Pelatihan petugas
g. Menurut Bapak, apakah petugas
puskesmas yang melakukan
kegiatan penemuan kasus
pneumonia, harus mendapatkan
pelatihan mengenai hal tersebut?
h. Pelatihan yang seperti apa yang
seharusnya diberikan kepada
“iya, kader saja dilatih, petugas juga seharusnya tahu sebatas mana penemuan
kasus pneumonia balita gitu”
petugas kesehatan, dalam hal
penemuan kasus pneumonia
balita, apakah puskesmas harus
mengadakan pelatihan tersebut?
“emang perlu anggaran kalau pelatihan gitu, karena gini pengalaman saya
menjelaskan tentang apa penemuan pneumonia dibahas di loka karya jadi petugas
ISPA menjelaskan bagaimana pneumonia balita, loka karya dilaksanakan setiap
bulan sebetulnya pelatihan itu cukup begitu gitu enggak perlu ada hari pelatihan
khusus”
c. Pendidikan petugas
a) Menurut bapak, pendidkan
terakhir apa yang seharusnya
dimiliki oleh petugas kesehattan,
seperti kepala Puskesmas,
penangung jawab program dan
petugas MTBS?
“sekarang ini kita ruwet itu problematika negara, saya enggak tahu kalian nanti
kerjanya dimana yang jelas kejadian dilapangan itu kita sering kali memberi tugas
kepada orang yang sebetulnya bukan profesinya gitu yang paling banyak di jawa
barat termasuk di banten itu petugas kesling jadi sopir ambulan, apapun sebabnya
itu terjadi gitu, terus orang yang dilatih ISPA enggak tahu di pindah kemana itu
menjadi persoalan gitu, apa lagi sekarang ketika menduduki jabatan apa jabatan di
puskesmas jadi eselon, kepala puskesmas eselon berapa? dengan kepala stafnya
satu itu dan itu jabatan daerah itu enggak lihat kamu siapa gitu pokoknya kamu
golongannya sekian pangkat kamu sekian memenuhi tingkat jabatan seperti ini
kamu saya pindahkan kemana gitu, makanya perawat banyak yang jadi staf,
termasuk dari tempat lain masuk ke puskesmas tiba-tiba jadi kepala puskesmas
karena golongannya”
d. Lama Kerja petugas
a) Menurut Bapak, apakah lama
kerja petugas puskesmas
mempengaruhi kinerjanya?
“ya pengalaman saya kerja orang bekerja itu dikasih sama butuh waktu minimal
enam bulan, kalau dia kerja kurang dari enam bulan itu tidak bagus kecuali
beberapa orang yang mempunyai kemampuan berbeda rata-rata enam bulan tapi
kalau dia sudah bekerja empat tahun perlu ada perubahan kalau enggak motivasi
sama inovasinya hilang apalagi akalu sudah dua periode jabatan kecuali beberapa
orang ya kita membangun motivasinya tetap ada"
e. Pengetahuan petugas
a) Menurut Bapak, apakah
pengetahuan petugas
berpengaruh dalam
pencapaian penemuan kasus
pneumonia balita?
“iya pengetahuan akan membangun motivasi”
6
Motivasi petugas
b. Menurut Bapak, apakah motivasi
petugas di puskesmas dapat
mempengaruhi pencapaian
penemuan kasus pneumonia balita di
puskesmaa?
“semua orang kan memiliki motivasi, tapi pada era sekarang ini orang yang
bekerja akan diukur pada apa itu dia harus melaporkan kinerjanya kan dia
sekarang dibayar lebih, saya bekerja di puskesmas gitu kalau kamu bekerja segini
mendapatkan angka segini, kalau ukur kinerja itu maka kamu dibayar bonus
tambahan sekian , sekarang semuanya seperti itu karena menteri penertiban
aparatur negara memformulasikan pegawai negeri dibayar sesuai dengan
kinerjanya”
7
Kepemimpinan kepala puskesmas
b. Menurut Bapak, kepemimpinan
seperti apa yang seharusnya dimilki
oleh kepala puskesmas sebagai
pimpinan?
“yang jelas tuntutan kita itu kepada kepala puskesmas yang mempunyai
kemampuan manajemen sama epidemiologi, epidemiologi nanti masuknya kepada
pasiennya karena bayak teman-teman kita kepala puskesmas orientasinya klinik
jadi enggak tahu medan pertempuran jadi kalau ada pasien di periksa secara
klinik, enggak begitu jeli mereka kasusnya berapa itu mengakibatkan dia sendiri
enggak punya orientasi public health, kalau itu bias puskesmas walaupun nanti
petugasnya lihai-lihai”
8
Ketersediaan sarana dan prsarana
c. Menurut Bapak, apakah ketersediaan
media penyuluhan dan media cetak
sebagai penunjang program
penemuan kasus pneumonia balita,
disetiap puskesmas harus ada?
apakah media penyuluhan diadakan
oleh pemerintah atau kebijakan
masing-masing puskesmas?
d. Apakah puskesmas boleh melakukan
pengadaan seperti poster atau media
penyuluhan lainnya?
“saya enggak tahu tapi urusan pengadaan ada dinas kesehatan walaupun
sebetulnya puskesmas boleh melakukan pengadaan di undang-undangnya kan gitu
tetapi untuk melakukan pengadaan tenaga yang mengadakan pengadaan harus
ada itu di SK kan sama bupati nah tapi kalau di puskesmas enggak ada , boleh
melakukan pengadaan sendiri tetapi namanya penyuluhan kan butuh di copy itu
yang dilakukan temang-teman puskesmas di copy atau kreasi mungkin dianggarkan
dengan dana yang tidak begitu banyak gitu, kalau kreatif masyarakat juga”
“iya, kecuali kalau dia yang kreatif yang membuat posternya lalu dikirimkan ke
kabupaten bisa”
9
Kegiatan evaluasi
c. Menurut Bapak, kegiatan evalusi
seperti apa yang seharusnya
dilaksanakan oleh puskesmas ?
Berapa kali seharusnya puskesmas
mengadakan kegiatan tersebut ?
d. Pada saat kegiatan evaluasi, apakah
petugas puskesmas harus hadir
semua dalam kegiatan tersebut?
“puskesmas itu, kalau evaluasi kan setahun puskesmas harus melakukan
monitoring itu monitoring itu artinya gini melakukan evaluasi sampai bulan ini
saya sudah mencapai berapa banyak, kemudian mengidentifikasi daerah-daerah
mana yang sebetulnya perlu diperhatikan atau pneumonia yang perlu menjadi
perhatian salah satunya tadi kebalik, jumlah yang kasusnya banyak berarti sudah
sukses yang tidak ada kasusnya berarti tidak sukses berarti yang dikunjungi malah
yang enggak banyak kasusnya dengan melakukan evaluasi banyak faktor bisa
kematian kondisi lingkungan itu menjadi bahan monitoring”
“iya kan melakukan evaluasi bulanan untuk membangun motivasi menginatkan
teman-teman, kalau ada berita segini suapay menjadi perhatian”
Gambar Ruangan Poli Anak
Gambar Laporan Kasus
Gambar Soundtimer
Gambar Pada Saat Wawancara
Gambar pada Saat MTBS
Gambar Formulir MTBS
Gambar Tatalaksana Pneumonia
Sumber: Kemenkes (2012), Gibson (1987)