faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma perencanaan di indonesia

6
1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergeseran Paradigma Perencanaan di Indonesia 1.3.1. Periode 60-an Pada kurun waktu ini, pendekatan pembangunan yang dilakukan masih bersifat parsial dan sektoral. Sebagai negara yang baru belajar membangun, pendekatan pembangunan yang diterapkan masih terbatas dan dipengaruhi pendekatan pembangunan masa sebelumnya. Titik berat pelaksanaan pengembangan wilayah terfokus pada kawasan perkotaan, sedangkan perdesaan belum mendapat perhatian serius. Dikotomi antara pengembangan perkotaan dan perdesaan mengakibatkan primacy kota (ditandai primacy index di atas 2.0 untuk kota besar dan di atas 3.0 untuk metropolitan). Di samping itu, kesenjangan pembangunan ekonomi dan demografi kian melebar. Hal ini dapat dimengerti, karena kawasan perkotaan menjadi magnet yang menarik untuk kegiatan investasi dan penduduk tertarik ke kawasan perkotaan. Pendekatan pengembangan wilayah yang memisahkan antara pengembangan perkotaan dan perdesaan terbukti kontraproduktif terhadap pembangunan keseluruhan. Memang terjadi peningkatan kegiatan ekonomi di perkotaan, tetapi di sisi lain mengakibatkan penurunan mutu lingkungan. Di samping itu, perdesaan yang kurang terperhatikan mengakibatkan produktivitasnya menurun. Hal ini mengakibatkan beban perkotaan meningkat akibat migrasi masuk kota meninggi dan supply produksi pertanian dari perdesaan menurun. 1.3.2. Periode 70-an

Upload: rizki-adriadi-ghiffari

Post on 29-Jul-2015

1.196 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Pergeseran Paradigma Perencanaan Di Indonesia

1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergeseran Paradigma Perencanaan di Indonesia

1.3.1. Periode 60-an Pada kurun waktu ini, pendekatan pembangunan yang dilakukan masih

bersifat parsial dan sektoral. Sebagai negara yang baru belajar membangun, pendekatan pembangunan yang diterapkan masih terbatas dan dipengaruhi pendekatan pembangunan masa sebelumnya. Titik berat pelaksanaan pengembangan wilayah terfokus pada kawasan perkotaan, sedangkan perdesaan belum mendapat perhatian serius.

Dikotomi antara pengembangan perkotaan dan perdesaan mengakibatkan primacy kota (ditandai primacy index di atas 2.0 untuk kota besar dan di atas 3.0 untuk metropolitan). Di samping itu, kesenjangan pembangunan ekonomi dan demografi kian melebar. Hal ini dapat dimengerti, karena kawasan perkotaan menjadi magnet yang menarik untuk kegiatan investasi dan penduduk tertarik ke kawasan perkotaan.

Pendekatan pengembangan wilayah yang memisahkan antara pengembangan perkotaan dan perdesaan terbukti kontraproduktif terhadap pembangunan keseluruhan. Memang terjadi peningkatan kegiatan ekonomi di perkotaan, tetapi di sisi lain mengakibatkan penurunan mutu lingkungan. Di samping itu, perdesaan yang kurang terperhatikan mengakibatkan produktivitasnya menurun. Hal ini mengakibatkan beban perkotaan meningkat akibat migrasi masuk kota meninggi dan supply produksi pertanian dari perdesaan menurun.

1.3.2. Periode 70-an Dalam prakteknya upaya keterpaduan melalui koordinasi antara daerah

administrasi ini belum menunjukkan hasil optimal, karena forum konsultasi lebih banyak dimanfaatkan untuk adu argumentasi dalam mempertahankan program dan proyeknya masing-masing. Hal ini disebabkan karena kurang kuatnya faktor pengikat yang mampu membangkitkan rasa kebersamaan.

Perumusan program pengembangan wilayah masih didominasi oleh program pusat (sentralistis) dan sektoral, karena pelaksanaan asas desentralisasi dan integrasi masih dikalahkan asas dekonsenterasi masing-masing sektor. Sementara itu, program daerah belum mencerminkan aspirasi masyarakat karena tindak pelibatan masyarakat masih semu (artificial).

Meski pada akhir periode ini muncul kegiatan untuk melibatkan daerah dan masyarakat, tetapi praktek yang dilaksanakan masih merupakan

Page 2: Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Pergeseran Paradigma Perencanaan Di Indonesia

kegiatan pusat yang dititipkan ke daerah seperti proyek konsolidasi lahan, Kampoong Improvement Project (KIP), UDKP dan lain-lain.

1.3.3. Periode 80-an Permasalahan dalam implementasi pendekatan lingkungan yaitu :

a. Belum terintegrasinya perencanaan berdasarkan wilayah administrasi dengan perencanaan berdasarkan wilayah fungsional SWS dan wilayah fungsional lainnya.

b. Kegiatan amdal masih bersifat parsial dan sektoral.c. Peraturan perundangan yang berlaku masih bersifat normatif,

sehingga masih diperlukan pengaturan yang lebih operasional dan lebih tegas dalam memberlakukan sangsi terhadap pelanggaran.

Menjelang akhir 80-an (akhir Pelita IV) disadari bahwa mekanisme yang terlalu sentralistis telah menimbulkan banyak permasalahan, antara lain :a. Terjadinya kebocoran dan duplikasi pendanaan pembangunan

karena penyusunan program sektoral yang tumpang tindih.b. Dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan seringkali tidak tepat

sasaran (lokasi, waktu, target group, kualitas dan kuantitas) karena rendahnya akuntabilitas.

c. Kurangnya keterlibatan peranserta daerah, masyarakat dan swasta/dunia usaha, yang sebenarnya dapat membantu pemerintah dalam pendanaan.

d. Keterlambatan dalam mewujudkan hasil pembangunan karena terlalu birokratif.

e. Banyak peraturan yang dibuat masing-masing sektor lebih mengutamakan kepentingan sektor.

Dalam evaluasi prakteknya, ada beberapa kelemahan dalam menerapkan pendekatan itu, yaitu :a. Penyusunan P3KT sebagai implemtasi Strategi Nasional

Pembangunan Perkotaan (NUDS) kerap hanya mencakup prasarana keciptakaryaan dan seolah terlepas dari pembangunan prasarana perkotaan lain, tidak terkait dalam sistem pengembangan wilayah terpadu. Hal ini barangkali menjadi kelemahan konsep P3KT.

b. Dalam penerapan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), muncul kesulitan mengintegrasikan pendekatan pembangunan berdasarakan wilayah administrasi dan wilayah fungsional.

c. Program masih bersifat sektoral dan daerah.d. Kebijakan untuk melaksanakan pendekatan ini masih bersifat makro

dan normatif sehingga sulit dilaksanakan.

Page 3: Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Pergeseran Paradigma Perencanaan Di Indonesia

1.3.4. Periode 90-an Perkembangan teknologi informasi memicu tuntutan terhadap

transparansi, keterlibatan masyarakat dalam pembangunan, desentralisasi dan otonomi daerah serta penghargaan terhadap HAM di Indonesia. Di samping itu, pembangunan yang terlalu sentralistik dan birokratis menimbulkan permasalahan baru, yaitu kurangnya kesadaran masyarakat akan peran mereka dalam pembangunan dan menurunnya peran swasta dan dunia usaha dalam investasi.

Terlalu dini menyatakan gagal atau berhasil terhadap pendekatan penataan ruang yang dilaksanakan pada periode ini. Pendekatan pembangunan yang dilaksanakan seperti KAPET dan penyusunan strategic plan baru saja dilaksanakan. Meski demikian, seiring pemberlakuan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, pendekatan tersebut butuh banyak penyesuaian.

Program pengembangan KAPET tidak dapat dipisahkan dari kewenangan daerah dalam mengembangkan wilayahnya. Dalam hal ini, keterlibatan unsur daerah seperti pemerintah daerah, DPRD, masyarakat, LSM, organisasi profesi, organisasi massa dan swasta, tidak dapat dikesampingkan.

Periode 90-an diakhiri dengan terjadinya turbulensi ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter, yang berlanjut pada krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal ini menyadarkan masyarakat untuk melakukan reformasi hukum dan perundangan, reformasi ekonomi dan sistem pemerintahan; yang melahirkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan, dan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

1.3.5. Periode 2000-anPendekatan periode 2000-an bukanlah satu-satunya obat mujarab yang dapat memecahkan semua masalah, karena masih memerlukan pengujian-pengujian; dan perlu diintegrasikan dengan pendekatan lain, yang mampu membangkitkan kesadaran masyarakat dan pelaku pembangunan lainnya untuk berperanserta dalam pembangunan wilayah.

Page 4: Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Pergeseran Paradigma Perencanaan Di Indonesia

1.4. Kesimpulan

Dalam pelaksanaannya, pendekatan pengembangan wilayah di Indonesia terus dilakukan penyesuaian seiring koreksi terhadap pendekatan yang dilaksanakan sebelumnya. Muncul kesadaran, pendekatan pembangunan yang bersifat sektoral dan parsial kerap mengakibatkan inefisiensi pembangunan, seperti duplikasi kegiatan serta konflik antarsektor dan daerah. Pendekatan pengembangan wilayah yang diterapkan terus berevolusi dari pendekatan yang bertumpu pada pendekatan ekonomi wilayah kemudian berkembang dengan mengintegrasikan pendekatan fisik dan infrastruktur, kelembagaan, manajemen dan lingkungan. Meski demikian, tantangan yang perlu dijawab agar pendekatan pengembangan wilayah berjalan efisien dan efektif adalah : Perlu tim yang mampu bekerja dalam bidang yang bersifat interdisipliner serta

tersedia informasi yang cukup untuk semua aspek yang dikaji; Perlu “kerelaan” untuk mendesentralisasikan kewenangan pembangunan

termasuk pembiayaan; Perlu willingness pemerintahan daerah untuk mengkoordinasikan kegiatan

mereka dan bekeja sama satu dengan lainnya; Perlu keseimbangan antara pendekatan bottom up dan top down serta

memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam menentukan tujuan dan prioritas pembangunan.