fenomena sosial dalam puisi pesan uang...
TRANSCRIPT
FENOMENA SOSIAL DALAM PUISI “PESAN UANG” DAN
“BERCUKUR SEBELUM TIDUR” KARYA JOKO PINURBO
DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Irsyad Zulfahmi (109013000107)
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
i
ABSTRAK
IRSYAD ZULFAHMI: Skripsi: Fenomena Sosial dalam Puisi “Pesan Uang”
dan “Bercukur Sebelum Tidur” Karya Joko Pinurbo dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.
Puisi merupakan penggambaran tentang suatu konteks yang diungkapkan
melalui bahasa dan ekspresi yang mewakili perasaan sang penyair. Kehadiran Joko Pinurbo layak dianggap sebagai hadirnya penyair kontemporer, sebab bentuk-bentuk
pada puisinya yang sudah memiliki kebebasan berekspresi, baik dari bentuk, rima dan diksi yang dipilih.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi gambaran keadaan sosial yang terkandung dalam dua puisi karya Joko Pinurbo, yaitu Pesan Uang dan Bercukur
Sebelum Tidur. Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data atau dokumen lalu menganalisis data-data yang berkenaan dengan
dua puisi tersebut kemudian menarik kesimpulannya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan; secara bentuk, puisi Pesan Uang terdiri dari empat bait dan lima belas baris, menggambarkan bagaimana seseorang yang berusaha memperbaiki kondisi hidupnya
dengan cara “merantau”, yang kemudian tidak hanya berdampak pada sisi materi namun pada sisi moril juga. Gaya bahasa yang digunakan cenderung naratif dan
banyak dijumpai diksi-diksi yang paradoks. Sedangkan dalam puisi yang berjudul Bercukur Sebelum Tidur secara bentuk, terdiri atas dua puluh delapan larik dari dua bait. Penyair menggunakan tubuh sebagai metafor sebuah fenomena alam, di sinilah
penyair sebetulnya ingin menggambarkan mengenai laju perkembangan industri yang maju namun demikian kurang memperhatikan kelestarian lingkungan alam sekitar.
Kata kunci: Fenomena sosial, Puisi Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur, Joko
Pinurbo, Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
ii
ABSTRACT
IRSYAD ZULFAHMI: Social Phenomenon in Poetry Money Message and Shave
Before Sleep by Joko Pinurbo and the Implicated for Indonesian Language and
Litterature Education in Senior High School. Thesis. Jakarta: Indonesian Language and Litterature Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2013.
Poetry is the which one literature product, who result of the context depiction
and disclosed with language and expression who representation the soul of poet. Joko Pinurbo presence is deserve to be regard as the presence of contemporary poets,
because his poems form who already have the freedom of expression, kind of form, rhyme and diction that choosen.
This study aims to identify the picture of social conditions contained in two poems by Joko Pinurbo, namely the Money Message and Shave Before Sleeping.
This study used documentation method, namely data collection techniques to strengthen information or documents, such as those found in books, articles and
sourced from the internet, and then proceed to analyze the data with respect to two of the poem, then draw conclusions.
Based on the results of research conducted, it can be concluded; in form, the
poem Messages Money consists of four temple and fifteen rows, depicting how someone who tried to improve the conditions of life by "wander", which then have an impact not only on the material but also on the moral side. Style of language used
tends to be narrative and diction-diction often found the paradox. Meanwhile, in a poem titled Shave Before Sleeping in shape, consisting of 28 arrays of 2 stanza. The poet uses the metaphor of the body as a natural phenomenon, this is where the poet
actually want to describe the rate of development of advanced industrial however less attention to the preservation of the natural environment.
Key word: Social Phenomenon, Poetry Money Message and Shave Before Sleep, Joko
Pinurbo, Indonesian Language and Litterature Education.
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah SWT, yang telah memberikan segala rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis. Meskipun rintangan dan segala cobaan sempat ditujukan
kepada penulis, namun atas izin dan kasih-Nya pada akhirnya penulis masih
diberikan kemudahan dan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“Fenomena Sosial dalam puisi Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur karya Joko
Pinurbo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
SMA”. Tak lupa juga shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi
besar Muhammad SAW yang menuntun kita dari zaman yang jahiliyah menuju ke
zaman yang terang benderang seperti saat ini.
Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan
gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis Berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari Berbaga i Hambatan
dan rintangan, seperti yang disebutkan sebelumnya. Tanpa bantuan dan peran serta
dari berbagai pihak, skripsi ini rasanya hampir mustahil dapat terwujud. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Orang tua penulis, kepada ibu Hj. Nur A‟isah, S.Pd dan bapak H. Ahmad
Masyuri yang mau bersabar dan mendukung proses penulisan skripsi ini, serta
adik perempuan penulis, Maharani Phuspa Ningrum yang berusaha
menciptakan lingkungan yang nyaman untuk proses penulisan skripsi ini.
2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah mempermudah dan memperlancar
proses penyelesaian skripsi ini.
iv
3. Rosida Erowati, M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing, orang yang paling
membantu dalam proses penulisan skripsi hingga tahap paling akhir. Terima
kasih banyak atas arahan dan bimbingannya, semoga jasa-jasanya diberikan
balasan yang setimpal dari-Nya.
4. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya dosen-dosen
di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan selama ini dan
mau membantu dalam proses penyusunan skripsi ini khususnya.
5. Terima kasih untuk Nuri Purnama yang telah memberikan pengertian dan
dorongan motivasi kepada penulis hampir di setiap saat.
6. Terima kasih banyak untuk Bohari Muslim, Levy Arnaldo, Akbar Fatriyana,
Adi Nugroho, Yunita, M. Iqbal Maknur Gimbar Alam, Fajar Setio Utomo
Irfan Nawawi dan segenap keluarga besar komunitas Majelis Kantiniyah yang
tak dapat disebutkan namanya satu-persatu. Penulis mengucapkan terima
kasih karena telah mau menjadi teman berdiskusi yang baik bagi penulis
selama penulisan skripsi ini.
Semoga apa yang kita perbuat mendapat Ridho-Nya. Amin ya Robbal „alamin.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para
pembacanya, khususnya penulis sendiri.
Jakarta, 7 Juni 2012
Penulis,
Irsyad Zulfahmi
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK …………………………….…………………………………………….. i
ABSTRACT ………………………….…………………………………………….. ii
KATA PENGANTAR ……………..…………………………………………........ iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….. v
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….…. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang pendahuluan ……………………………………………........ 1
B. Identifikasi Masalah ………………...……………………………………….. 5
C. Pembatasan Masalah ……………………………………………………........ 5
D. Perumusan Masalah ……………………...………………………………….. 6
E. Tujuan Penelitian …………………………...……………………………...... 6
F. Manfaat Penelitian …………………………...…………………………........ 6
G. Metode Penelitian ……………………………..…………………………….. 7
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Puisi ………………………………………………………………………... 11
1. Pengertian Puisi ………………….…………………………………….. 11
2. Unsur-unsur Puisi …………………………………………………….... 15
3. Fungsi Puisi ………………………………………………………….… 22
vi
B. Fenomena Sosial ………………………………….……………………..…. 24
1. Pengertian Fenomena Sosial …………………….…………………..…. 26
2. Fenomena Sosial dan Proses Kreatif …………….…………………..… 28
C. Pembelajaran Sastra ………………………………….…………………..… 29
1. Sastra dalam Pembelajaran Hari Ini………………..………………..…. 29
2. Sastra dan Implikasinya dalam Proses Pembelajaran ………………….. 31
D. Tinjauan Sosiologi Sastra ………………………………………………..… 34
1. Pengertian Sosiologi Sastra ………………………………………….… 34
E. Penelitian yang Relevan …………………………………….…………..…. 36
BAB III PROFIL JOKO PINURBO
A. Biografi Singkat Joko Pinurbo ..………………………………………..…... 40
B. Joko Pinurbo sebagai Penyair ………………………………………..…….. 41
C. Joko Pinurbo, Puisi, dan Fenomena Sosial………………..………………... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Analisis Intrinsik Puisi Pesan Uang …………………………………….…. 48
B. Analisis Intrinsik Puisi Bercukur Sebelum Tidur ………………………..… 56
C. Fenomena Sosial dalam Puisi Pesan Uang ………………………………... 65
D. Fenomena Sosial dalam Puisi Bercukur Sebelum Tidur ……….................... 73
E. Implikasi Puisi Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur
Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA ……………. 80
vii
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ………………………………………………………...………… 83
B. Saran …………………………………………...…………………...……… 85
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………...… 86
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Lembar Uji Refrensi
Lampiran 2 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Lampiran 3 : Puisi Pesan Uang dan Puisi Bercukur Sebelum Tidur
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Puisi yang merupakan salah satu materi dalam pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di sekolah-sekolah, juga merupakan bagian seni yang objeknya adalah
pengalaman hidup manusia. Sebagai karya seni, puisi dalam pembelajaran di
sekolah hari ini rasanya kurang dipelajari sebagai pengalaman estetik. Padahal di
setiap karya sastra selalu menghadirkan pengalaman estetik, bahan perenungan,
dan kerap menyajikan banyak hal lain yang dapat menambah pengetahuan
manusia yang menghayatinya. Oleh karenanya puisi sebagai karya sastra secara
intrinsik mengandung nilai-nilai pendidikan yang dapat dijadikan sumber
pengetahuan dan belajar.
Pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, pendidik terkadang hanya
membahas puisi sebagai ilmu sastra yang berkutat pada pembahasan unsur-unsur
pembentuk yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Padahal tujuan puisi
sebagai ilmu sastra sendiri di antaranya yaitu membantu manusia menyingkap
rahasia keadaannya, memberi makna pada eksistensinya, serta untuk menemukan
kebenaran secara maknawi dalam setiap karya sastra. Adapun perbedaan antara
karya sastra dari bidang keilmuan dengan karya sastra dari bidang kesenian
pernah dipaparkan oleh Budi Darma, yang menganalogikan sastra sebagai pisau
yang bermata dua. Lebih jauh ia menjelaskan sebagai berikut:
Di satu sisi sastra sebagai ilmu dan di sisi lain sastra sebagai
seni. Mana yang akan digunakan itu tergantung pada titik berat konteksnya. Teori sastra dengan segala variasinya, termasuk kritik sastra, adalah seni yang muncul sebagai ilmu.”1
Dari penjelasan di atas, maka sudah seyogyanya dalam pembelajaran puisi
perlu menyeimbangkan antara pengalaman estetik dan keilmuan. Oleh karena
1 Budi Darma, Bahasa, Sastra dan Budi Darma , (Surabaya: JP Books, 2007), h. 65.
2
itulah pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia hadir dan bertujuan agar siswa
dan masyarakat pada umumnya mampu menghargai dan menikmati karya sastra
tersebut sebagai bagian dari pendidikan, sebab pada umumnya masyarakat saat ini
cenderung menilai bahwa puisi sebatas bacaan yang menghibur semata. Padahal
puisi merupakan bahasa komunikasi antara penyair dan pembacanya dan
komunikasi tersebut akan berjalan dengan sehat apabila pembaca dapat
menemukan nilai-nilai dalam puisi tersebut. Nilai-nilai tersebut dapat berupa
bahan pembelajaran moral, agama, kebangsaan dan sebagainya.
Sastra sendiri merupakan institusi sosial yang memakai medium bahasa.
Teknik-teknik sastra seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena
merupakan konvensi dan norma masyarakat sebab sastra menyajikan sebuah
kehidupan. Kehidupan ini sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun
karya sastra lebih cenderung meniru alam dan dunia subjektif manusia.
Bahasa, sebagai media yang digunakan oleh penyair berfungsi sebagai media
komunikasi yang menyampaikan sikap penyair terhadap fenomena sosial yang
berlangsung di sekitarnya. Penyair menampilkan permasalahan-permasalahan
yang terdapat dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan makna dari situasi
sosial dan historis dalam kehidupan manusia.
Dengan gaya intuitif dan kemampuan mengolah bahasa yang baik, beberapa
penyair menciptakan puisi yang di dalamnya seolah-olah penyair tersebut
mencoba menertawakan kondisi kehidupaan manusia, menyindir beberapa elemen
kehidupan manusia yang dirasa sangat ironis kenyataannya, sebab persepsi dari
tiap penyair adalah miliknya sendiri, dengan kejujuran yang fundamental dalam
menceritakan alam sekitarnya.
Dalam jagat kepenyairan, Joko Pinurbo mampu menyegarkan perpuisian tanah
air, sebab sejak era 1970-an mazhab kepenyairan seolah tak bisa lepas dari
pengaruh empat kekuatan besar: Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan
Mohamad dan Sapardi Djoko Damono.2 Keunikan yang dirasakan ketika
membaca puisi Joko Pinurbo adalah ia mampu mengemas pesan ke dalam
2 Putu Fajar Arcana & Mawar Kusuma, Jokpin, Tamasya Rohani Dalam Puisi, dalam Harian
Kompas, Jakarta, 22 Januari 2012.
3
„simbol-simbol‟ yang mengacu pada benda-benda yang sering digunakan sehari-
hari oleh hampir setiap orang seperti telepon genggam, sarung, ranjang dan lain-
lain. Joko Pinurbo bahkan juga memasukkan anggota badan seperti mata, kepala,
wajah, bibir dan lain-lainnya sebagai simbol dalam puisi-puisinya. Oleh karena
itu, Joko Pinurbo dianggap mencipta suatu gaya berpuisi yang ringan, renyah akan
tetapi tidak kehilangan simbolisme dan daya harunya.
Pada dasarnya puisi-puisi Joko Pinurbo tidak sepenuhnya meninggalkan
tradisi puisi lirik. Ia hanya mencoba mengembangkan gaya berpuisinya agar lebih
naratif supaya tidak terlalu dikuasai oleh tradisi puisi lirik3. Mengenai diksi, Joko
Pinurbo memilih kosa kata yang sederhana bahkan sering dipakai dalam bahasa
keseharian, yang biasanya tidak digunakan dalam bahasa puisi sehingga sebelum
mulai memahami isinya, pembaca akan merasa bahwa puisi-puisi Joko Pinurbo
sangat ringan.
Goenawan Mohamad pernah berujar bahwa seorang penulis percaya betul
bahwa kata-kata, begitu ia lahir dari dirinya, akan punya dampak. Dalam batas
tertentu, ia bisa dikatakan sebuah sosok yang heroik: ia yakin ada daya dunia
verbal dalam dan dari dirinya, dan ia juga bersedia menanggung sendiri ongkos
yang timbul setelah itu.4 Joko Pinurbo mengerjakan proyek yang demikian lewat
puisinya dengan muatan yang bersifat responsif atas apa yang terjadi di
sekitarnya, mengemasnya dan merefleksikannya ke dalam bentuk puisi-puisinya.
Dalam puisi-puisinya, Joko Pinurbo mengikatkan bentuk maupun tematiknya
pada narasi besar soal hubungan manusia. Joko Pinurbo melihat perilaku manusia
melalui hubungan anak-ibu, anak-ayah, serta anak-ibu-ayah. Joko Pinurbo pun
memainkan banyak metafor untuk membolak-balik pola hubungan itu, bisa
sebagai hubungan individu dengan Tuhan, warga negara dan negara, dan lainnya.
Sementara itu Subagio Sastrowardoyo berpendapat bahwa di dalam sajak
terjadi pengentalan pikiran dan pengalaman, yang pada dasarnya berciri
kesimpulan-kesimpulan filsafat. Kecenderungan berfilsafat itu terdapat pada sajak
3 Jika pada puisi naratif, penyair lebih objektif dengan bahan ceritanya, maka pada puisi lirik,
puisi berisi ungkapan pikiran dan perasaan penyairnya. Lebih jauh Soemardjo berpendapat bahwa
puisi lirik dapat dikatakan otobiografi batin penyair. (Lihat Jakob Soemardjo : 1984) 4 Goenawan Mohamad, Catatan Pingggir 6, (Jakarta: Pusat Data Tempo, 2006), h.19.
4
yang bagaimana pun sederhananya.5 Hal inilah yang tampak pada gaya berpuisi
Joko Pinurbo, dengan menulis sebuah puisi yang sederhana namun memuat
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang
ada, sebab, asal, dan hukumnya.
Apa yang terjadi dalam praktik-praktik sosial berdampak bagi kepenyairan
Joko Pinurbo, yaitu fenomena-fenomena sosial yang disaksikan, dirasa, dan
dialaminya. Apa-apa yang digambarkan dalam puisi-puisinya membicarakan yang
telah dan sedang berlangsung dalam tatanan masyarakat kita, dari sinilah karya
sastra menjadi faktual, paling tidak aktual, untuk menggambarkan situasi yang
benar-benar membutuhkan semacam respon bagi khalayak untuk dijadikan bahan
refleksi terhadap realitas.
Pembahasan puisi Joko Pinurbo secara formal dan sosiologis merupakan
bentuk apresiasi dan kritik terhadap karya sastra. Hingga kini, pembahasan puisi
secara mendalam lebih banyak dilakukan di media massa yang cenderung
menyajikan secara popular dan kurang menyentuh kebutuhan di sekolah.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, penelitian ini akan berfokus pada dua puisi
karya Joko Pinurbo yaitu, Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur dalam buku
kumpulan puisi Celana Pacar kecilku Di Bawah Kibaran Sarung (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2007), sebagai rekaman fenomena sosial yang terjadi di
kehidupan bermasyarakat. Di dalam kedua puisi tersebut berisi metafora-metafora
sederhana yang dituliskan dalam bentuk naratif dan memiliki kebebasan dari
bentuk, rima dan diksi yang dipilih.
Puisi-puisi Joko Pinurbo dianggap sangat ringan ketimbang puisi dengan lirik-
lirik yang rumit, namun, tetap sarat akan misteri dan kedalaman dalam merespon
gejala-gejala sosial yang tengah terjadi di kehidupan bermasyarakat. Oleh karena
itu, penelitian ini akan mensejajarkan fenomena yang ada dalam masyarakat
dengan dua puisinya, yaitu Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur dengan
menggunakan tinjauan sosiologi sastra serta mengimplikasikannya dalam
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
5 Subagio Sastrowardoyo, Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan , (Jakarta:Balai
Pustaka, 1989), h.109.
5
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang ada, maka identifikasi masalah
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kurangnya minat baca peserta didik terhadap karya sastra terutama pada
puisi.
2. Kurangnya kesempatan dalam mempelajari puisi sebagai pengalaman
estetik, kalaupun ada terlalu menitik beratkan pada pembahasan puisi
sebagai ilmu sastra.
3. Kurangnya pembahasan tentang fenomena sosial yang terkandung dalam
sebuah puisi, khususnya pada puisi-puisi Joko Pinurbo.
4. Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap puisi sebagai bahan
pertimbangan dalam memperkenalkan nilai edukasi kepada peserta
didik.
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang
muncul dalam penelitian ini. Pembatasan masalah juga dapat mempermudah
peneliti agar objek yang diteliti lebih spesifik dan mendalam. Dalam dua puisi
karya Joko Pinurbo yaitu, Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur terdapat
banyak temuan masalah, maka dari itu, penulis membatasi dan memfokuskan
penelitian pada:
1. Unsur intrinsik dalam dua puisi karya Joko Pinurbo yaitu, Pesan Uang
dan Bercukur Sebelum Tidur.
2. Hubungan antara dua puisi karya Joko Pinurbo yaitu, Pesan Uang dan
Bercukur Sebelum Tidur dengan fenomena sosial yang terjadi saat ini.
3. Implikasi dari dua puisi karya Joko Pinurbo yaitu, Pesan Uang dan
Bercukur Sebelum Tidur terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di SMA kelas X.
6
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah
penelitian seperti telah dikemukakan di atas, masalah penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana unsur intrinsik yang ada di dalam dua puisi Pesan Uang dan
Bercukur Sebelum Tidur karya Joko Pinurbo
2. Bagaimana dua puisi karya Joko Pinurbo, yaitu Pesan Uang dan
Bercukur Sebelum Tidur menggambarkan fenomena sosial yang terjadi
pada saat ini?
3. Bagaimana implikasi pembahasan dua puisi Joko Pinurbo, yaitu Pesan
Uang dan Bercukur Sebelum Tidur dalam pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di SMA kelas X?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan unsur intrinsik yang ada di dalam dua puisi Pesan Uang
dan Bercukur Sebelum Tidur karya Joko Pinurbo.
2. Mengidentifikasi fenomena sosial yang digambarkan pada dua puisi
karya Joko Pinurbo, yaitu Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur.
3. Mendeskripsikan implikasi dua puisi karya Joko Pinurbo, yaitu Pesan
Uang dan Bercukur Sebelum Tidur dalam Bahasa dan Sastra Indonesia di
SMA kelas X.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca, peneliti, dan penikmat
sastra agar mengetahui fungsi karya sastra sebagai media yang dapat
membeberkan serta mengupas fenomena-fenomena yang terjadi di tengah
masyarakat lewat sebuah puisi. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat
dalam memberikan wawasan yang lebih terhadap pembaca, peneliti, penikmat
sastra dan khususnya dalam dunia pendidikan, yaitu guru dan siswa untuk
7
mendalami makna suatu karya sastra sebagai bekal meningkatkan apresiasi dan
wawasan masyarakat terhadap karya sastra yang juga digunakan sebagai bahan
kajian mengenai aspek-aspek dan masalah-masalah kehidupan masyarakat dari
sudut estetika.
G. Metode Penelitian
1. Objek dan Waktu Penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan objek kajian berupa dua
buah puisi, yaitu Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur karya Joko
Pinurbo. Tempat yang akan digunakan dalam penelitian tidak terikat pada satu
tempat, karena objek yang dikaji berupa teks karya sastra yang terdapat pada
buku kumpulan puisi Joko Pinurbo yang berjudul Celana Pacarkecilku Di
Bawah Kibaran Sarung (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007). Penulis
melakukan kegiatan penelitian antara lain di perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Universitas
Indonesia dan Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin. Adapun waktu
penelitian dimulai pada bulan Januari 2013 - Juni tahun 2014.
2. Metode Penulisan
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Fokus Penelitian
Langkah awal sebuah penelitian adalah menentukan teks sastra yang
akan dikaji atau diteliti, dan persoalan apa yang muncul, yang
kemungkinan bisa dijelaskan dan dicarikan solusi melalui penelitian.
Langkah berikutnya setelah teks dan permasalahan ditentukan adalah
menentukan fokus penelitian.
Secara umum penelitian sastra dapat dikatagorikan ke dalam empat
fokus yang merujuk pada empat pendekatan Abrams, yaitu:
a) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan
penulis/penelitian genetik.
8
b) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan pembaca.
c) Penelitian dengan fokus teks itu sendiri.
d) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan realitas.6
Berdasarkan keempat jenis fokus penelitian di atas, dalam penelitian
ini penulis menggunakan fokus yang keempat, yaitu penelitian dengan
fokus teks dan hubungannya dengan realitas. Fokus penelitian yang
keempat ini dilakukan dengan mengkaji teks itu dengan memandang
hubungan teks dengan unsur lain yang menyelingkupinya. Penelitian
dengan fokus ini percaya bahwa objek kajian dapat dicapai jika peneliti
memandang teks dengan mengaitkannya dengan penulis, realitas atau
teks lain.
b. Bentuk dan Strategi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang
dilakukan adalah secara intrinsik (yaitu pendekatan melalui isi karya
sastra itu sendiri), dan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar yang
mempengaruhi karya sastra).
Menurut Nyoman Kutha Ratna, metode desktiptif analitik dilakukan
dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan
analisis.7 Untuk lebih lanjut ia pun menjelaskan pengertian metode
deskriptif analitik sebagai berikut:
Secara etimologis, deskripsi dan analisis berarti
menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein („ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai), tidak diberikan arti tambahan, tidak semata-
mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode
gabungan yang lain, misalnya deskriptif komparatif,
6 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h.180
7 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2007), h. 53.
9
metode dengan cara menguraikan dan membandingkan,
dan metode deskriptif induktif, metode dengan cara menguraikan yang diikuti dengan pemahaman dari dalam ke luar.8
Kemudian pendekatan intrinsik atau pendekatan melalui isi karya
sastra itu sendiri yang disebut pendekatan objektif. “Pendekatan objektif
adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan pada karya
sastra.”9 Pendekatan objektif dengan demikian memusatkan perhatian
semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis intrinsik.10
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-
dokumen lain yang berhubungan dengan objek penelitian.
3. Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Membaca buku kumpulan puisi karya Joko Pinurbo yaitu
Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2007).
b. Menetapkan dua puisi karya Joko Pinurbo, Pesan Uang dan
Bercukur Sebelum Tidur sebagai objek penelitian dengan fokus
menemukan fenomena sosial yang tergambar dalam dua puisi
tersebut.
c. Membaca ulang dengan cermat dua puisi karya Joko Pinurbo,
yaitu Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur untuk
menentukan fenomena sosial apa yang terdapat di dalam dua
8 Ibid
9 Siswanto, op,cit. h. 183
10 Kutha Ratna, op,cit., h. 73
10
puisi tersebut dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di sekolah.
d. Menandai kata, lirik dan bait yang mengandung unsur fenomena
sosial.
e. Mengklasifikasikan data dan menetapkan kriteria analisis.
f. Menganalisis data yang sudah diklasifikasikan dan melakukan
pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data.
g. Menyimpulkan hasil penelitian
4. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada
buku Pedoman Penulisan Skripisi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2013.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu
suatucara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan,
buku, surat kabar, majalah dan berita online.
6. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung
objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu puisi Pesan Uang dan
Bercukur Sebelum Tidur karya Joko Pinurbo.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat
untuk membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumber-
sumber dari penulis lain yang berbicara terkait dengan objek
penelitian.
11
BAB II
ACUAN TEORETIS
A. Puisi
1. Pengertian Puisi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia puisi berarti; (1) ragam sastra yang
bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait: (2)
gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga
mempertajam kesadaran orang akan berpengalaman dan membangkitkan
tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama dan makna khusus; (3) sajak.1
Melihat penjelasan di atas, berarti dapat disimpulkan bahwa puisi berarti sebuah
seni dengan bahasa sebagai mediumnya.
Sementara itu, tidak ada puisi tanpa realita yang berarti puisi merupakan
cerminan realita kehidupan. Tidak ada satu pun karya yang tidak bertolak dari
realita. Realita dalam puisi merupakan replika dari sejumlah kejadian yang ada
dalam kehidupan manusia, karena sebuah karya tidak lahir dari kekosongan
keadaan, ia tercipta dari fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada zamannya.
Jika dengan realita puisi membentuk suatu hubungan yang kreatif, dengan
orang lain ia menyediakan suatu dialog. Sebab puisi dengan sendirinya akan
mendistorsi realita kehidupan sesuai dengan idealisme penciptanya. Hal ini pernah
diungkapkan oleh Seno Gumira bahwa dari fakta ke fiksi, yang terjadi hanyalah
perubahan bingkai atas kenyataan akibat polesan-polesan yang dilakukan oleh
pengarangnya.2
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1112. 2 Seno Gumira Ajidarma, Trilogi Insiden, (Yogyakarta: Penerbit Bentang Pustaka, 2010), h. 396.
12
Tentang apa-apa yang digambarkan dan dihadirkan dalam sebuah puisi, itu
semua semacam proses kreatif yang menghubungkan antara alam kejiwaan dan
keberpikiran seorang penyair dengan fenomena alam serta fenomena sosial yang
terjadi di sekitarnya. Hal ini senada dengan pendapat Goenawan Mohamad berikut
ini:
Orang mengatakan bahwa zaman berbeda dari masa sekitar 1945, bahwa suasana telah berganti. Tapi meskipun
kesusastraan adalah suatu kesaksian atas kondisi manusia dalam keadaan dan waktu tertentu, ia bukanlah replika yang
lengkap dari sang zaman. Lagi pula perlu diingat bahwa ciri kesusastraan di suatu masa terkadang dilahirkan oleh beberapa pribadi yang punya latar belakang pengalamannya sendiri
tanpa ada hubungannya secara langsung dengan keadaan sosial di masanya.3
Lebih jauh Goenawan Mohamad menganalogikan bahwa sastrawan adalah
manusia dengan semua masalahnya, dalam suatu kehidupan, hasil sastranya pun
bukan hasil suatu eksemplar dari suatu jumlah, melainkan hasil perseorangan yang
betul-betul utuh.
Fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekitaran sastrawan
ditransformasikan ke dalam bentuk estetika oleh pengarang dengan seperangkat
bahasa. Melalui eksplorasi bahasa pengarang akan menampilkan sebuah realita
kehidupan dalam bentuk yang berbeda, salah satunya yaitu lewat puisi dengan
aspek keindahan yang optimal. Namun oleh Suwardi Endaswara keindahan ini
dibedakan pengertiannya menjadi tiga aspek yaitu: (a) keindahan yang identik
dengan kebenaran, (b) keindahan dalam estetik murni, yaitu keindahan dalam
pengalaman sastrawan, yang mempengaruhi seseorang untuk merasa indah atau
3 Goenawan Mohamad, Di Sekitar Sajak , (Jakarta: PT Tempint, 2011), h.2.
13
tidak indah suatu karya dan (c) keindahan sederhana, yang terbatas pada panca
indera.4
Puisi merupakan semacam proses dan hasil dialektika, dan hal ini ternyata
dapat merujuk pada pernyataan Acep Zamzam Noor,“sebuah puisi pasti memiliki
inti persoalan, meskipun puisi itu berbicara tentang banyak hal, misalnya.”5 Semua
hal yang disinggung dalam sebuah puisi harus melalui proses menuju pada inti
persoalan, semacam memperkuat inti persoalan.
Jika sebuah puisi bicara langsung pada inti persoalan, tanpa proses, tanpa
tahapan-tahapan, tanpa gambaran-gambaran pendukung, maka hasilnya akan
terasa kering, „kurang greget‟ dan tidak menunjukkan kekayaan makna. Akan
tetapi, jika sebuah puisi telah menemukan tema atau inti persoalan maka semua
gambaran pendukung yang disajikan penyair akan makin jelas fungsinya dalam
keseluruhan bangunan puisi.6
Imajinasi lahir dari intuisi penyairnya yang muncul dari totalitas diri atau
pribadi seorang penyair, dan tanpa totalitas itu tadi maka intuisi tak akan pernah
muncul. Itulah sebabnya puisi yang dapat dipercaya bersumber pada totalitas hidup
penyairnya. Pada waktu ia sedang menciptakan puisinya, dalam waktu yang
bersamaan puisi itu memuat sebuah momentum, situasi dan kondisi yang mewakili
keadaan ketika puisi itu diciptakan sehingga seseorang yang membaca puisi itu
seakan-akan melihat, mendengar, merasakan bahkan ikut terlibat pada suatu
kondisi atau peristiwa yang digambarkan lewat puisi tersebut.
Hal di atas ternyata senada dengan apa yang dikemukakan Emha Ainun Najib.
Ia berpendapat bahwa membaca puisi adalah memasuki suatu kelangsungan
pengalaman rohani yang tidak hanya memerlukan kerja pikirannya, tapi juga hati
dan perasaan, yang sedianya dilengkapi oleh kemampuan imajinatif dan kepekaan
4 Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra , (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Widyatama,
2004), h.68.
5 Acep Zamzam Noor, Puisi dan Bulu Kuduk: Perihal Apresiasi dan Kreatif, (Bandung: Penerbit
Nuansa, 2011), h.24. 6Ibid.
14
intuitif.7 Ini berarti puisi dimulai dengan daya imajinatif dan intuitif. Mereka yang
mencipta dengan sungguh-sungguh tahu bahwa dalam kesenian terdapat semacam
komunikasi atau bahkan sebuah dialektika antara manusia dengan realita sosial
yang melingkupinya dan tak akan pernah selesai.
Usaha untuk menghidupkan gejala-gejala sosial agar mencapai realitas yang
tergambar sebagai puisi, hanya mungkin terjadi ketika penyairnya cermat dan
hemat kata-kata, jeli dan hati-hati mengamati gejala alam dan yang terpenting
ditopangdengan penguasaan berpuisi yang baik. Tanpa kesediaan dan kesanggupan
atas itu semua, daya intuitif penyair akan „mandeg‟, ia tak pernah dapat
menyelesaikan proses penciptaan puisi. Hal ini sejalan dengan pendapat penyair
Linus: “Oleh penguasaan teknik berpuisi yang sudah matang, kata-kata sederhana
itu pun punya tenaga keindahan dan khas. Salah satu tugas penyair memang
memberi tenaga dan jiwa pada kata-kata. Tanpa ambil peran itu, dia akan menulis
esai dan bukan puisi.”8
Singkatnya, puisi di sini juga boleh diartikan sebagai karya sastra hasil
refleksi dari kejadian-kejadian yang ada di tengah masyarakat. Realita yang terjadi
di tengah masyarakat tersebut kemudian dituangkan oleh penyair berdasarkan alam
imajinasinya kedalam bentuk puisi. Dengan demikian sebuah puisi dapat
memberikan alternatif untuk menggambarkan situasi yang terjadi dalam arus
masyarakat, pembaca diharapkan mendapat manfaat dari sebuah karya sastra yang
dibacanya.
7 Emha Ainun Najib, Budaya Tanding, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h.131.
8 Linus Suryadi AG, Dibalik Sejumlah Nama, Sebuah Tinjauan Puisi-puisi Indonesia Modern,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989) , h.111.
15
2. Unsur-unsur Puisi
A. Struktur Fisik Puisi
1) Tipografi atau perwajahan puisi
Antara puisi dengan prosa, yang paling membedakan dari kedua karya sastra
tersebut adalah dari segi tipografi atau perwajahannya. Dalam penulisan sebuah
prosa yang terjadi adalah biasanya setiap lembar dipenuhi dengan kata-kata yang
mendeskripsikan tentang sesuatu hal, maka pada puisi tidak dipenuhi dengan kata-
kata seperti halnya prosa. Tepi kanan atau tepi kiri halaman yang memuat puisi
belum tentu terisi penuh dengan kata-kata.
Wahyudi Siswanto dalam bukunya, Pengantar Teori Sastra menjelaskan
seberapa jauh pengaruh perwajahan puisi dengan ruang pemaknaan pada puisi. Ia
menjelaskan sebagai berikut:
Pada puisi konvensional, kata-katanya diatur dalam deret yang disebut larik atau baris. Setiap satu larik tidak selalu
mencerminkan satu pernyataan. Mungkin saja satu pernyataan ditulis dalam satu atau dua larik, bahkan bisa lebih. Larik
dalam puisi tidak selalu dimulai dengan huruf besar dan di akhiri dengan titik (.). Kumpulan pernyataan dalam puisi tidak membentuk paragraf, tapi membentuk bait. Sebuah bait dalam
suatu puisi mengandung satu pokok pikiran.9
Pada kesimpulannya, tipografi atau perwajahan dalam puisi amat penting
karena pengaturan baris dalam puisi dapat berpengaruh terhadap pemaknaan
terhadap suatu puisi, sebab menentukan kesatuan makna. Selain itu perwajahan
pada puisi dapat pula mewakili maksud dan kejiwaan penyairnya.
2) Diksi dan gaya bahasa
Pada umumnya kita menganggap bahasa sastra adalah bahasa yang khas,
khususnya puisi, bahasa spesifik yang biasanya digunakan oleh para penyair.
9 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h.113
16
Apakah lantas kita batasi sebuah puisi atas dasar kebahasaannya yang khas
dibanding bahasa sehari-hari yang kita pakai? Pertanyaan ini mengantarkan kita
pada pendapat Sutardji Calzoum Bachri yang mengatakan, “tidak heran kalau
sajak bisa jadi gelap. Minim pintu, arah, tanda dan isyarat yang diberikan pada
pembaca untuk menciptakan sesuatu yang masuk hati dan akal sehat.”10
Sutardji menganggap kegelapan sebuah puisi merupakan kebebasan bagi
pembaca, bahwa sajak yang ekstrem gelap menciptakan pembaca yang ekstrem
merdeka. Kebebasan itulah yang nantinya melahirkan daya baca yang kreatif bagi
pembacanya. Sementara itu, Linus berpendapat, “puisi yang baik bukan sekedar
hasil kelihaian penyairnya beretorika, bukan sekedar hasil kemahiran penyairnya
mengartikulasikan kata-kata abstrak, tapi hasil kesanggupan penyairnya
mentransformasikan pengalamannya menjadi kata-kata intuitif.”11
Dalam puisi kata-kata tidak sekadar berperan sebagai alat yang
menghubungkan pembaca dengan ide penyair, seperti peran kata-kata konkret
dalam bahasa sehari-hari, gaya bahasa retoris seperti asonansi atau gaya bahasa
yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama.12 Dalam puisi kata-kata juga
sekaligus sebagai pendukung imaji dan penghubung pembaca dengan dunia intuisi
penyair.
Meskipun perannya sebagai penghubung tak bisa dilenyapkan, namun
keutamaan kata-kata dalam puisi adalah sebagai objek yang mendukung imaji. Hal
inilah yang membedakannya antara kata-kata dalam puisi dan yang bukan puisi,
sebab Hugh Kenner pun menjelaskan bahwa it is true a poetry brewed out of the
sounds and implication of words is not a medium in which to think .13
10
Sutardji Calzoum Bachri, Isyarat: Kumpulan Esai, (Yogyakarta: Indonesia Tera, 2007) , h.117
11
Pamusuk Erneste (ed.), Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (Jilid 3) ,
(Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2009), h.26. 12
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001) , h.130
13
“Itu benar bahwa puisi bersumber dari suara dan keterlibatannya terhadap kata dan bukanlah
media dimana untuk berpikir”, baca: Hugh Kenner (ed). Twentieth Century Views. T .S.Eliot: A
Collection of Critical Essays, (United States of America: Prentice-Hall, Inc., 1962), h.38.
17
Hampir senada dengan pernyataan Sutardji, Goenawan Mohamad dalam
esainya mengutip pernyataan Alfred North Whitehead, “apabila kita memahami
segalanya tentang matahari, segalanya tentang atmosfir dan segalanya tentang
rotasi bumi, kita masih terluput untuk melihat kecemerlangan sinar matahari
terbenam.”14 Bagi Goenawan Mohamad sendiri, di saat melihat sinar matahari itu
kita pun masing-masing punya pengalaman sendiri, yang tak sepenuhnya bisa
dikomunikasikan secara persis.
Singkatnya, Goenawan Mohamad menganggap bahwa prestasi kesusastraan
yang matang mencerminkan suatu gaya, setiap gaya mencerminkan suatu
kepribadian dan suatu kepribadian tumbuh dan hanya bisa benar benar demikian
bila ia ada dalam lingkup komunikasi yang merdeka, dan pandangan Goenawan
Mohamad ini bisa dikatakan senada dengan Walt Whitman yang berpendapat
bahwa, “the messages of great poets to each man and woman are, come to us on
equal terms, only then can you understand us, we are no better than you what we
enclose you enclose, what we enjoy you may enjoy.”15
Kenyataan menunjukkan bahwa terjadi kesalahpahaman dalam menjelaskan
hubungan puisi sebagai karya sastra dengan latar yang digunakan sebagai unsur
pembangun puisi tersebut. Kesalahpahaman tersebut sebagian besar diakibatkan
oleh adanya perbedaan dalam menyimak hakikat puisi sebagai karya sastra yang
merupakan hasil imajinasi, rekaan, dan proses kreativitas, termasuk bahasa yang
metaforis atau konotatif.
14
Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1993), h.72.
15“Pesan dari penyair besar untuk setiap pria dan wanita, bahwa yang datang kepada kami adalah
sama, hanya demikian anda dapat memahami kami, kami tidak lebih baik dari apa yang kami tutupi,
kalian juga tutupi, apa yang kita nikmati anda juga dapat menikmati.” Baca: Walt Whitman, Complete
Poetry and Collected Prose, (New York: Literary Classic of The United States, Inc., 1982), h.14.
18
3) Rima dan Ritma
Rima merupakan persamaan bunyi pada puisi baik di awal, tengah maupun
akhir. Sedangkan jika merujuk pada pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), rima diartikan sebagai“pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam
larik sajak maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan”.16
Wahyudi Siswanto beranggapan bahwa rima mencakup tiga hal, yaitu
sebagai berikut:
a) Onomatope: tiruan terhadap bunyi. Dalam puisi, bunyi-bunyi ini
memberikan warna suasana tertentu seperti yang diharapkan oleh
penyair, misalnya pada setiap konsonan huruf-huruf terdapat
pemaknaan-pemaknaan tersendiri, seperti sifat, suasana atau bahkan
sebuah sugesti.
b) Bentuk intern pola bunyi: merupakan aliterasi, asonansi, persamaan
awal atau akhir, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi
bunyi dan sebagainya.
c) Pengulangan kata atau ungkapan: pengulangan kata-kata tidak terbatas
pada bunyi, namun mungkin kata-kata atau ungkapan. Pengulangan
bunyi, kata, dan frasa memberikan efek magis yang murni.17
Sementara Wellek dan Warren mengartikan rima sebagai “pengulangan (atau
mendekati pengulangan) bunyi, rima mempunyai fungsi efoni.”18 Wellek dan
Warren pun di sini menambahkan, bahwa efek bunyi berbeda dari satu bahasa ke
bahasa lainnya, sebab tiap bahasa mempunyai sistem fonetiknya sendiri.19
16 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1174. 17
Siswanto, Op.cit. h. 122.
18
Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta , (Jakarta: PT
Gramedia, 1989), h.199. 19
Ibid, h. 198.
19
Wellek dan Warren tak lupa menekankan pula, yang terpenting untuk diingat
bahwa rima mempunyai makna dan sangat terlibat dalam membentuk ciri puisi
secara keseluruhan. Kata-kata disatukan, dipersamakan atau dikontraskan oleh
rima. 20
Sedangkan Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan
dengan pengulangan bunyi, kata, frasa dan kalimat, lebih jauh Waluyo
menjelaskan ritma sebagai berikut:
Ritma juga dapat di bayangkan seperti tembang mocopat dalam tembang jawa. Dalam tembang tersebut berupa
pemotongan bait-bait puisi secara berulang-ulang setiap 4 suku kata pada baris-baris puisi sehingga menimbulkan gelombang
yang teratur. 21
Adapun contoh ritma bisa kita lihat dari puisi karya Ali Hasjmy, yaitu ritma
berupa pemenggalan baris-baris puisi menjadi dua bagian/frasa sebagai berikut:
Pagiku hilang/ sudah melayang Hari mudaku/sudah pergi
Kini petang/ datang melayang Batang usiaku/ sudah meninggi.22
B. Struktur Batin Puisi
1) Tema
Mursal Esten mengatakan bahwa “sebuah cerita rekaan membutuhkan tema.
Tema ini akan dijalin di dalam sebuah plot cerita.”23 Jika melihat dalam konteks
puisi, tema sendiri merupakan gagasan pokok yang ingin disampaikan oleh
pengarang yang dimuat dalam karyanya.24
20
Rene Wellek & Austin Warren. loc. cit. 21
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995) , h.94. 22
Ibid, h. 95. 23
Mursal Esten, Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur, (Bandung: Angkasa, 2013) , h.134. 24
Siswanto, op. cit., h. 124.
20
Dalam puisi, Waluyo menjelaskan bahwa tema merupakana “pokok pikiran
atau pokok persoalan yang begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga
menjadi landasan utama pengucapannya.”25 Waluyo mencontohkan jika ada
desakan yang kuat berupa rasa belas asih atau kemanusiaan, maka puisi bertema
kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan untut memprotes ketidakadilan,
maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial.
Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya
yang terimajinasikan. Oleh sebab itu, tema bersifat khusus bagi penyair akan tetapi
menjadi objektif ketika di tangan khalayak atau pembaca.26 Secara singkat tema
dapat diartikan sebagai gagasan dasar yang menopang isi yang ada dalam karya
sastra, oleh sebab itu tema mengacu pada sebuah makna yang mengikat
keseluruhan unsur-unsur apa yang ingin disampaikan oleh penyair sehingga hadir
sebagai sebuah kesatuan yang padu, seperti apa yang dikatakan oleh Angela
Carter: “Some refer to the central idea, the thesis , or even the message of the
story, and that is roughly what we mean by theme: a generalization or abstraction
from the story.”27
2) Suasana
Dalam menciptakan karya, perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus
dapat dihayati pembaca bagaimana suasana ang dibangun oleh penyair, contohnya
saja, dalam menghadapi tema keadilan sosial atau kemanusiaan penyair banyak
menampilkan bagaimana kehidupan pengemis, gelandangan atau orang-orang yang
termarjinalkan.
25
Waluyo, op.cit., h 106. 26
Waluyo, op.cit., h 107.
27 “Sebagian mengacu pada ide pokok, kesimpulan, atau pesan dari cerita, dan itulah apa yang
dimaksud dengan tema: penyederhanaan atau inti dari cerita .” Baca: Jerome Beaty, et.al.,The Norton
Introduction to Literature: Shorter Eighth Edition ,(United States of America: W. W. Norton &
Company, Inc., 2002), h.214.
21
Menurut Waluyo “suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca
puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca.”28
Jadi kesimpulannya, dengan suasana yang dibangun dalam karyanya, penyair
memberikan kesan yang lebih mendalam kepada pembaca. Puisi bukan hanya
ungkapan yang bersifat teknis, namun suatu ungkapan yang total karena seluruh
aspek-aspek psikologis itu dikonsentrasikan dalam karyanya untuk memperoleh
komunikasi yang sempurna dengan pembacanya.
4) Amanat
Amanat biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan secara praktis. Ia
merupakan pesan dari pengarang yang memerlukan penafsiran sebagai bentuk
bahwa kita mampu memetik manfaat dari setiap karya . Setiap pembaca berbeda-
beda menafsirkan makna dalam sebuah karya.
Sementara itu, Wahyudi Siswanto mengatakan bahwa sadar maupun tidak,
ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa
dicari sebelum penyair menciptakan puisinya.29 Misalnya seperti sebuah puisi
yang merupakan sebuah alih wahana dari kisah wayang yang diambil dari
Mahabarata biasanya memberikan amanat bahwa kebaikan akan mengalahkan
kejahatan. Amanat tersebut merupakan perang bagi diri sendiri yang sebagai
manusia memiliki sisi baik dan sisi jahat.
Apa yang dikemukakan A.Teeuw semakin menjelaskan bahwa dalam setiap
karya terdapat amanat yang ingin disampaikan oleh penyair atau pengarang.
Pendapat A.Teeuw merujuk pada apa yang dipaparkan oleh Horatius, orang yang
pertama kali mengatakan pada banyak pembaca sastra, bahwa pada dasarnya
karya sastra bersifat utile dan dulce yang berarti dasarnya bermanfaat dan
nikmat.30
28
Waluyo, op.cit., h 125. 29
Siswanto, op. cit., h. 125. 30
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 8
22
3. Fungsi Puisi
Sastra berisi pengetahuan, sebab merupakan ungkapan pengalaman
pengarangnya. Pengetahuan kita terhadap sebuah situs sejarah misalnya, akan
lebih hidup dan berarti jika kita mengetahuinya latar belakang situs sejarah
tersebut lewat cerita, semacam memberikan penggugah rasa atau mengevokasi
energi-energi yang dirasakan stagnan, dari mekanisme yang statis sehingga lebih
dinamis atau bernyawa. Namun seorang sastrawan Amerika yang bernama Edgar
Allan Poe mengkritik bahwa fungsi puisi tidak terbatas sifatnya yang didaktis saja,
Poe beranggapan sastra berfungsi menghibur, dan sekaligus mengajarkan
sesuatu.31
Karya sastra merupakan peneladanan dan peniruan, sumber inspirasi dan
kebenaran, sehingga melalui karya sastra tersebut masyarakat dapat bercermin,
melihat eksistensinya melalui orang lain yang disebut pengarang atau penyair.
Oleh sebab-sebab itu dapat dikatakan bahwa karya sastra menunjukkan kepada
pembaca, yaitu jalan yang sebaiknya ditempuh.
Sementara Subagio Sastrowardoyo mengungkapkan bahwa lewat puisi kita
diajak merefleksikan kembali kondisi yang ada di sekeliling kita, sehingga
kehadiran puisi bagi masyarakat tidak bisa dianggap angin lalu. Lewat puisi juga
penyair mengajak masyarakat agar mempunyai persepsi bahwa “aku” di dalam
bait-bait puisi adalah “kita”, guna membangun perasaan, tanggung jawab dan
solodaritas yang kini semakin terkikis. Subagio menjelaskan bahwa “setidak-
tidaknya puisi hendak menyatakan nasib manusia yang terjepit, suatu human
predicament yang tidak dapat dihindari, apakah nasib buruk itu diderita oleh
penyairnya sendiri secara pribadi atau oleh manusia pada umunya.”32
Pendapat Subagio ternyata bisa dikaitan dengan penganut paham Marxis
yang memposisikan karya sastra sebagai refleksi perjuangan kelas untuk melawan
31
Wellek & Warren, op. cit., hlm.25
32 Subagio Sastrowardoyo, Pengarang Modern Sebagai manusia Perbatasan , (Jakarta:Balai
Pustaka, 1989), h. 109.
23
kaum kapitalis.33 Hal serupa dikemukakan oleh Goenawan Mohamad, “bahwa seni
mempertajam, membikin lebih intens penghayatan kita terhadap hal-hal dalam
kehidupan”34, bahkan ia mengutip pendapat Albert Camus yang mengatakan
bahwa seni adalah “pemberontakan” seniman kepada realitas.35
Pernyataan Camus yang menganggap seni adalah “pemberontakan” bisa saja
merujuk pada puisi-puisi karya WS.Rendra dan Wiji Tukul misalnya, yang
menempatkan puisi sebagai media untuk mengkritisi kaum konglomerat di era
Orde Baru yang dianggap bergandengan dengan pemerintah sehingga
menyebabkan robohnya sendi-sendi ekonomi masyarakat.
Pada proses penciptaanya, puisi menurut Eka Budianta, mudah sekali diberi
muatan cinta, benci, keras atau lembut, lucu atau menegangkan. Eka berpendapat
bahwa penyair berpotensi membawa pendengar dan pembacanya menyelami,
menghadapi dan mengatasi kekerasan. Dengan puisi dunia yang keras dapat
ditundukkan, dan dibangun kembali menjadi alam yang lembut, terhargai, dan
tersyukuri.36
Dalam hal ini tentu saja sah dan boleh memasukkan unsur kekerasan lalu
mengolah kekerasan menjadi sebuah puisi yang hebat, namun alangkah sayangnya
bila puisi berhenti pada poin itu, sebab “manusia merupakan keseimbangan antara
pikir akal yang menganalisis dan memecah-mecahkan suatu permasalahan dengan
hati dan dengan fantasi yang kreatif.”37
Jadi kesimpulannya, puisi sebagai bagian dari karya sastra dan seni berfungsi
sebagai media pengetahuan dan hiburan, mengacu pada kenyataan bahwa puisi
merupakan komunikasi antara penyair yang mengajak pembacanya merefleksikan
keadaan guna membangun perasaan, tanggung jawab, dan hubungan sosial.
33
Endaswara, op. cit., hlm. 81. 34
Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1993), h.70. 35
Ibid 36
Eka Budianta, Senyum Untuk Calon Penulis, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h. 36
37
S. Takdir Alisjahbana, Seni dan Satera di Tengah-tengah Pergolakan Masyarakat dan
Kebudayaan, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1985), h.169.
24
B. Fenomena Sosial
1. Pengertian Fenomena Sosial
Fenomena berasal dari bahasa Yunani; phainomenon yang berarti things
appearing yakni apa yang tampak.38 Sementara dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) fenomena berarti: (1) hal-hal yang dapat disaksikan dengan
pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah (seperti fenomena
alam); (2) sesuatu yang luar biasa; keajaiban; (3) fakta; kenyataan.39 Sedangkan
sosial bermakna: (1) berkenaan dengan masyarakat: perlu adanya komunikasi;(2)
suka memperhatikan kepentingan umum.40
Dari pengertian di atas, fenomena sosial dapat diartikan sebagai gejala-
gejala atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dan dapat diamati dalam kehidupan
sosial. Salah satu fenomena sosial yang terdapat dalam kehidupan kita sehari-hari
adalah adanya masalah-masalah sosial yang timbul baik dalam kehidupan
keluarga maupun masyarakat. Jika kita membicarakan fenomena sosial, perlu kita
mengacu pada sebuah perubahan sosial dan permasalahan sosial dalam tatanan
masyarakat yang diawali dengan interaksi.
Pendapat Selo Soemardjan dalam Soerjono Soekanto yang mengartikan
fenomena sosial mengantarkan kita pada sebuah konteks perubahan sosial, yang
dalam hal ini sebagai segala bentuk perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem
sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola prilaku di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat.41
Pembicaraan fenomena sosial juga tidak bisa dilepaskan dari hubungan
antara realitas fisik dan realitas psikis manusia. Misalnya saja fenomena sosial
38 Siswantoro, Metode Penelitian Sastra, Analisis Struktur Puisi , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), h. 42.
39
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 390. 40
Ibid.,h. 1331.
41
Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h.
305.
25
yang terjadi karena adanya masalah sosial yang merupakan akibat interaksi sosial
antara individu satu dengan individu lainnya, antara individu dengan kelompok,
atau antar kelompok.42
Interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari, secara keseluruhan merupakan
aktivitas yang bertujuan, yang pada dasarnya berfungsi memenuhi kepuasan
subjek. Aktivitas yang disertai dengan tujuan-tujuan tertentu, baik tujuan tersebut
berhasil dicapai secara langsung oleh pelaku maupun lewat anggota lain, dan
biasanya untuk menuju pada pencapaiannya, yaitu kepuasan subjektif tak jarang
terjadi gesekan-gesekan antar individu, hal inilah yang kiranya dapat dikatakan
fenomena sosial.
Fenomena sosial terjadi juga karena adanya perubahan dalam unsur-unsur
yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti misalnya perubahan
dalam unsur geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi
maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan
oleh Soerjono Soekanto, “perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian
yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya, bahkan
perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial.”43
Fenomena sosial sendiri mengacu pada banyak bentuk, di ataranya proses
sosial dan interaksi sosial seperti asosiatif dan disosiatif; kelompok-kelompok
sosial dalam masyarakat; dinamika kebudayaan; lembaga masyarakat; stratifikasi
masyarakat; kekuasaan, wewenang dan kepemimpinan dalam masyarakat; serta
masalah sosial yang terjadi diantaranya yaitu kemiskinan, kejahatan, pelanggaran
norma-norma masyarakat, masalah kependudukan dan masalah lingkungan
hidup.44
42
Ibid., h.358. 43
Ibid., h.308. 44
Ibid., h. vii
26
2. Fenomena Sosial dan Proses Kreatif
Kehadiran fenomena sosial yang terjadi meliputi berbagai aspek manusia
dan kehidupannya adalah materi yang digambarkan dalam sebuah puisi misalnya
ke dalam bentuk perjalanan hidup manusia yang terjadi di „jalan raya‟ atau „biru
langit‟ dan tanpa materi tersebut, sebuah karya sastra pastinya tidak bermakna.
Sebuah karya sastra menjadi menarik karena melibatkan sisi psikologis,
sosioligis, filosofis, kultural dan sisi politis yang kesemuanya adalah cerminan
pengalaman kehidupan dari penyair. Oleh sebab itu, terkadang banyak sastrawan
yang mengungkapkan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekelilingnya
tidak dengan cara yang sederhana. Misalnya menggunakan daya imajinasi dan
intuisi yang optimal serta perbendaharaan kata untuk menopangnya.
Karya sastra hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada
dalam kenyataan yang tampak, jadi berdiri di bawah kenyataan itu sendiri dalam
hierarki. Wujud yang ideal tidak bisa menjelma langsung dalam bentuk karya
sastra. Tetapi ini tidak berarti bahwa karya sastra sama sekali kehilangan nilai. 45
Puisi merupakan refleksi dari kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Realita yang terjadi di tengah
masyarakat tersebut kemudian dituangkan oleh penyair berdasarkan alam
imajinasinya ke dalam bentuk puisi. Dengan demikian puisi dapat memberikan
solusi atau alternatif untuk menggambarkan situasi dan kondisi yang terjadi dalam
arus masyarakat. Sapardi Djoko Damono beranggapan bahwa sastra merupakan
bagian cermin kehidupan, dan kehidupan itu berisi kenyataan sosial. Dalam
pengertian ini Sapardi menjelaskan bahwa:
Kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarkat dengan orang-orang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi
45
Teeuw, Op.cit., (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h.220.
27
bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang
lain atau masyarakat.46
Wellek dan Warren dalam bukunya menyitir pendapat Max Eastman
(seorang teoretikus yang juga menulis puisi) yang berpendapat:
“…pengarang—dan terutama penyair—mengira bahwa tugas
utama mereka adalah menemukan dan menyampaikan pengetahuan. Padahal fungsi utama penyair, adalah membuat kita melihat apa yang sehari-hari sudah ada di depan mata kita, dan
membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah kita ketahui.”47
Pendapat Eastmen semakin kuat manakala Carl Gustav Jung menambahkan
bahwa tidak ada bedanya apakah penyair tahu bahwa karyanya tumbuh dengan
matang di masyarakat, atau apakah ia beranggapan bahwa dengan menuangkan
apa-apa yang ada di pikirannyatelah dapat membuat seorang penyairnya sendiri
keluar dari kekosongan, akan tetapi disini Carl Gustav memerlukan dirinya untuk
menekankan bahwa “in this way the work of the poet comes to meet the spiritual
need of the society in wich he lives, and for this reason his work means more to
him than his personal fate, whether he is aware of this or not.”48
Seorang penyair kerap dianggap sebagai penanggung beban dunia, filsuf,
bahkan dalam sastra profetik penyair diibaratkan serupa nabi. Penyair yang peka
terhadap lingkungan, ia menyaksikan fenomena sosial yang terjadi di
sekelilingnya, secara visual itu ditulis kembali dalam bentuk puisi dengan
tambahan-tambahan pokok pikiran yang subjektif namun dengan gubahan bahasa
yang lebih khas, sehingga mempunyai keberartian yang lebih dalam dari dimensi
46 Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas, (Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), h.1. 47
Wellek & Warren, op. cit., h.31.
48
“Dengan cara ini karya penyair datang untuk memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat di
tempat ia tinggal, dan untuk alasan ini karyanya lebih berarti baginya daripada nasib pribadinya,
apakah dia menyadari hal ini atau tidak.” Baca: Arthur M.Eastman (ed), et.al.,The Norton Reader:
Sixth Edition Shorter,(United States of America: W. W. Norton & Company, Inc., 1984), hal.596.
28
visual sebelumnya seperti pendapat Sutan Takdir Alisjahbana yang menyatakan;
“Sebagai manusia yang berhubungan dengan manusia, penyair itu banyak pula
mendapat inspirasi dari pada perhubungan manusia seorang dengan yang lain.
Segala soal-soal masyarakat menggerakan perasaannya.”49
Pada dasarnya seorang penyair sendiri adalah orang yang mampu
merayakan hal nampaknya sederhana menjadi peristiwa yang menarik bahkan
dahsyat lewat rangkaian kata. Sastrawan memperlakukan kenyataan yang
dijadikan sebagai bahan mentah karya sastranya dengan meniru, memperbaiki,
menambah atau menggabungkan kenyataan yang ada untuk dimasukkan kedalam
karyanya. Kenyataan yang ada telah diinterpretasikan terlebih dahulu berdasarkan
pandangan diri sastrawan itu sebelum dijadikan karya sastra.50
Menyitir pendapat Frederich Albert Lange dalam Wardi Bachtiar yang
beranggapan bahwa puisi merupakan media rekonsiliasi antara kreativitas jiwa
dan determinisme serta skeptisme yang dihasilkan oleh fakta sosial.51 Albert
Lange menganggap puisi sebagai dunia ketiga yang menghubungkan dunia fisik
dengan psikis, subjektif dengan pengetahuan ilmiah objektif, dan pada tahap
selanjutnya menghubungkan antara dunia ideal dengan dunia empiris.
Eka Budianta dalam tulisannya menjelaskan bahwa penyair seperti
wartawan, jurnalis, seniman lain yang pada umumnya merupakan perantara atau
„jembatan‟ dalam istilah Eka. Ia berpendapat “…penyair bertugas sebagai
jembatan. Karya-karyanya menghubungkan dunia idea dan dunia kenyataan.”52
Demikianlah proses kreatif dalam menciptakan karya sastra, yang
sesungguhnya tidak dapat dipisahkan antara peristiwa sosial dalam proses
penciptaan yang berpusat pada kesan atau impresi.
49
S. Takdir Alisjahbana, Kebangkitan Puisi Baru Indonesia , (Jakarta: PT. Dian Rakjat, 1978), hal.30. 50
Siswanto, op. cit., h.46. 51
Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik , (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), h.140. 52
Budianta, Op.cit., h.1.
29
C. Pembelajaran Sastra
1. Sastra dalam Pembelajaran Hari Ini
Di kalangan masyarakat tertentu, penyair memperoleh gelar terhormat
lantaran dianggap „seorang nabi‟, di Cina misalnya. Pramoedya menuliskan
pengalamanya dalam menghadiri suatu konfrensi yang diadakan di Cina, yang
dimuat dalam Mimbar Indonesia pada tahun 1957. Pramoedya menuliskan kesan-
kesannya sebagai berikut:
Para penulis Cina menempati kedudukan yang tinggi. Suara mereka didengarkan oleh masyarakat. Bersama dengan politikus,
mereka menjadi para pemimpin spiritual yang memegang peran sangat penting dalam pembangunan bangsa di zaman kita. Ini turut
menjelaskan mengapa penulis diperlakukan sangat baik oleh masyarakat.”53
Meski demikian, sampai hari ini proses pembelajaran puisi tak jarang
menjumpai banyak kesulitan, entah dari minat siswanya yang kurang, dengan
alasan mulai dari sulitnya memahami bahasa puisi yang dianggap di luar
kebiasaan dari proses berkomunikasi sehari-hari, sampai dengan alasan yang
menganggap bahwa membaca atau menulis puisi merupakan proses yang
membosankan dan tak lagi berguna dibandingkan bidang studi lainnya yang
memberikan ilmu pengetahuan secara jelas. Bahkan tidak jarang proses
pembelajaran puisi menjadi tersendat karena disebabkan para guru bahasa dan
sastra sendiri cenderung menghindarinya karena merasa kesulitan untuk
mengajarkannya.
53Sebenarnya pendapat Pramoedya ini pertama kali ditulis di Mimbar Indonesia dengan judul
“Sedikit tentang Pengarang Tiongkok” pada tanggal 19 Januari 1957, di halaman 57, namun pada
penelitian ini penulis menyitir pendapat Pramoedya dari: Hong Liu, Goenawan Mohamad dan Summit
Kumar Mandal, Pram dan Cina, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), h.25.
30
Menurut Rahmanto, pada umumnya dalam usaha mengajarkan bagaimana
cara menikmati puisi, dijumpai dua macam hambatan yang cukup mengganggu.
Yang pertama, adanya anggapan kebanyakan orang yang menyatakan bahwa
secara praktis puisi sudah tak berguna lagi, merujuk pada gaya hidup kekinian
dalam dunia praktis yang banyak tergantung pada ilmu bisnis, ilmu pengetahuan
alam (fisika, kimia, dan biologi), serta teknologi modern.54
Hambatan yang kedua bagi Rahmanto adalah pandangan yang disertai
prasangka bahwa mempelajari puisi sering tersandung pada diksi-diksinya yang
„ruwet‟. Pandangan semacam ini mungkin sekali berasal dari para siswa yang
berkemauan keras untuk melakukan yang terbaik dengan berusaha memahami
dan menikmati sajak-sajak terkenal yang ditulis oleh para penyair yang sering
menggunakan simbol, kiasan dan ungkapan-ungkapan tertentu yang
membingungkan.55
Walaupun sumber kesulitan itu kadang-kadang berasal dari sifat dasar puisi
itu sendiri, namun untuk keperluan pengajaran puisi banyak pula ditemukan puisi
yang sangat mengesankan dan cukup mudah untuk dinikmati dan dipahami oleh
siswa sesuai dengan tingkat kemampuannya.Puisi-puisi jenis naratif dan dramatik
(balada) nampaknya cukup mengesankan dan lebih mudah untuk dipahami bagi
pemula.
Hal yang paling penting menurut Rahmanto adalah agar para pengajar tidak
terlalu terburu-buru dalam membebani para siswa dengan istilah-istilah teknis dan
gaya bahasa yang kompleks.56 Dalam beberapa hal, puisi memang merupakan
bahasa dan yang padat dan penuh arti, jadi apabila bahasa dan pokok persoalan
puisi itu mempunyai keselarasan, niscaya siswa akan merasa dirinya menghadapi
sesuatu yang mengesankan dan memerlukan perhatian khusus dalam praktek
pembelajaran bahasa dan sastra.
54
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1988), h.44. 55
Ibid, h. 46. 56
Ibid, h.48.
31
Bagi siswa, puisi yang demikian itu tidak akan mudah dilupakan dan sangat
berguna pada dirinya sebagai latihan mengkpresikan diri. Keuntungan lebih
lanjutnya adalah ketika puisi dapat membantu pembinaan seni berbicara untuk
siswa, mengingat puisi disusun berdasarkan referensi bentuk-bentuk bahasa lisan.
2. Sastra dan Implikasinya dalam Proses Pembelajaran
Pada bab sebelumnya telah dijabarkan bagaimana sifat sastra yang pada
hakikatnya tidak hanya menghibur namun juga mendidik, dan pada praktiknya
kita dapat menilai bagaimana sastra dan implikasinya dalam proses belajar di
bawah ini.
Pertama, sastra berperan dalam mengembangkan proses keterampilan
berbahasa. Pada umumnya ada empat unsur dalam keterampilan berbahasa, yaitu:
(1) menyimak, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis, mengikut sertakan
pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih
keterampilan membaca, dan mungkin ditambah keterampilan menyimak, bicara
dan menulis. B. Rahmanto menjelaskan sebagai berikut
Belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa dalam
praktek. Belajar sastra harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan
kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis dan diintegrasikan.”57
Dalam pembelajaran sastra pun siswa di arahkan untuk melatih
keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan guru,
teman atau lewat rekaman. Siswa dapat melatih keterampilan berbicara dengan
ikut berperan dalam suatu drama atau saat membacakan puisi di depan teman-
temannya. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan membaca dengan
57
Ibid.,h.38.
32
membacakan puisi atau prosa. Siswa pun mendapat keterampilan menulis ketika
diajak untuk menuliskan pengalamannya atau diajak menciptakan puisi.
Yang kedua, sastra memberi wawasan kebudayaan. Sastra tidak seperti
bidang studi pada umumnya yang menyuguhkan pengetahuan dalam bentuk jadi.
Ini diibaratkan, jika ilmu pengetahuan lainnya didasarkan atas perbedaan logika,
perbedaan sudut pandang dalam memecahkan problematika atas hal keilmuan
tersebut, maka dalam sastra pun karya lahir dalam perbedaan cara pandang
sastrawan dalam memecahkan problematika kehidupan manusia, tetapi perbedaan
tersebut didasarkan atas perbedaan aspek-aspek estetis. Dalam hal ini Nyoman
Kutha Ratna memberikan contoh, ia menyatakan bahwa, “dalam karya besar
bentuk dan isi memperoleh maknanya secara proporsional sebab karya besar
merupakan indikator perkembangan suatu kebudayaan tertentu.”58
Sastra adalah pantulan kembali keadaan masyarakat, secara tidak langsung
sastra memuat ilmu pengetahuan, sejarah dan segala yang menyangkut dengan
aspek manusia pada zamannya. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa secara
historis karya sastra lahir bersama dengan lahirnya semangat kebangsaan.
Greibstein, seorang sosio-kultural pernah membuat kesimpulan atas
pendapat-pendapat mengenai istilah sosio-kultural, salah satu kesimpulannya
sebagai berikut:
“Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya
apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan. Ia harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap
karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu sendiri
merupakan objek kultural yang rumit.”59
58 Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta , (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), h.515 59
Damono, op. cit., h. 4.
33
Dari kesimpulan Greibstein, kita dapat bayangkan bahwa karya sastra
memuat bagaimana semangat zamannya yang bersifat kolektif, yang
menggambarkan perkembangan sosial masyarakat atau kebudayaan yang berlaku
pada saat itu. Oleh karena itu, apabila kita dapat merangsang siswa-siswa untuk
memahami fakta-fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa itu akan sampai
pada realisasi bahwa fakta-fakta itu sendiri jauh lebih penting dibanding karya
sastra itu. Hal yang demikian akhirnya memberikan pengalaman yang berbeda
ketika menelaah fakta lewat karya sastra sehingga pada akhirnya meningkatkan
minat siswa untuk lebih jauh menyelami dunia pembelajaran sastra.
Ketiga, sastra menunjang pembentukan watak. Perilaku seseorang pada
dasarnya mengacu pada faktor-faktor kepribadiannya yang paling dalam. Tak ada
satu pun jenis pendidikan yang mampu menentukan watak manusia secara pasti
kecuali pendidikan yang menggunakan praktik Brain Wash atau cuci otak.
Bagaimanapun pendidikan hanya dapat berusaha membina dan membentuk, akan
tetapi pendidikan tidak menjamin secara mutlak bagaimana watak manusia yang
dididiknya.
Di sisi lain, sastra sebagai media pendidikan yang memuat pembelajaran
moral diharapkan dapat menjadi tuntunan kearah pembetukan etika, sebagaimana
ungkapan Nyoman Kutha Ratna bahwa “memahami karya sastra pada gilirannya
merupakan pemahaman terhadap nasihat dan peraturan, larangan dan anjuran,
kebenaran yang harus ditiru, jenis-jenis kejahatan yang harus ditolak, dan
sebagainya.”60
Sementara Rahmanto berpendapat bahwa seseorang yang telah banyak
mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka
untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai sebab di
banding pelajaran-pelajaran lainnya ia mengatakan bahwa “sastra mempunyai
kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian
60
Kutha Ratna, Op.cit., h. 438
34
kemungkinan hidup manusia.”61 Rahmanto beranggapan bahwa pengajaran sastra
hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai
kualitas kepribadian anak didik sehingga ia akan mampu menghadapi masalah-
masalah hidup dengan pemahaman, wawasan, toleransi dan rasa simpati yang
lebih mendalam.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan alat
untuk mendidik, terlebih jika dikaitkan dengan pesan muatannya, hampir secara
keseluruhan karya sastra merupakan sarana-sarana pembelajaran guna mengasah
keterampilan berbahasa, menambah wawasan dan membentuk etika pada
kepribadian si anak didik.
D. Tinjauan Sosiologi Sastra
1. Pengertian Sosiologi Sastra
Selain empat pendekatan yang dikemukakan oleh Abrams; pendekatan
objektif, ekspresif, mimetik, dan pragmatik, masih terdapat lagi kajian sastra yang
merupakan interdisipliner dari ilmu sastra dengan ilmu lain. Sosiologi sastra salah
satunya yang merupakan interdisipliner ilmu sastra dengan sosiologi. Sosiologi
sastra sendiri berasal dari dua kata dari bahasa Yunani, yaitu sosio atau socius
yang berarti bersama-sama, bersatu, kawan atau teman dan logos yang berarti
sabda, perkataan, perumpamaan atau ilmu.62
Menurut Sapardi Djoko Damono, sosiologi sastra merupakan pendekatan
sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan.63 Dari buku Theory of
Literature, yang ditulis oleh Wellek dan Warren, Sapardi menemukan setidaknya
ada tiga sub pembahasan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu sosiologi
pengarang, sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu
61
Rahmanto, Op.cit., h. 24 62
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.1 63
Damono, op. cit., h.2
35
sendiri; dan sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh
sosial karya sastra.64 Mengacu pada penemuan Sapardi, maka sosiologi sastra
juga bisa dikaitkan dengan pendapat Kutha Ratna yang beranggapan bahwa
sosiologi sastra dapat juga disebut sebagai sosiokritik sastra, dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.65
Disisi lain, Suwardi Endaswara berpendapat bahwa sosiologi sastra
merupakan cabang penelitian yang bersifat reflektif dengan asumsi dasar bahwa
karya sastra tidak lahir dalam kekosongan sosisal. Kehidupan sosial yang
memicu lahirnya karya sastra. Pendapat Suwardi bertolak dari peryataan
Glickberg yang mengemukakan bahwa seperti apapun bentuk karya sastra,
fantastis atau mistis sekalipun, berangkat dari fenomena sosial.66
Namun Hippolyte Taine, yang dianggap sebagai peletak dasar sosiologi
sastra modern, mengingat bahwa fenomena sosial karya sastra merupakan fakta
yang multi interpretable, yang bagi Taine kadar kepastiannya tidak sebanding
jika dibandingkan dengan ilmu pasti.67Namun demikian, sosiologi sastra sudah
semestinya tetap berusaha mengungkapkan fakta-fakta seputar sastra yang
terbagi atas sastrawan sebagai pencipta karya, karya sastra itu sendiri dan publik
sebagai pembaca dan yang menilai karya sastra, sebab masing-masing fakta
sastra memiliki persoalan-persoalan teknis sendiri. Hal inilah yang dijelaskan
oleh Escarpit, bahwa sosiologi sastra harus dapat memperhatikan kekhasan fakta
sastra serta memberikan keuntungan kepada para pengarang dan pembaca
dengan cara membantu ilmu sastra secara tradisional, baik sejarah maupun kritik,
agar menjadi tugas-tugas khusus yang dicakupnya.68
Jadi kesimpulannya, pendekatan ini berguna untuk mengungkapkan
pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang
64
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h.4 65
Kutha Ratna, op. cit,.h.7 66
Endaswara, op. cit., h.77 67
Ibid,.h.70. 68
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm.14.
36
mengaitkan unsur kemasyarakatan dalam melatar belakanginya. Aspek-aspek
tersebut meliputi: seberapa jauh peranan atau manfaat karya sastra dalam
mengubah struktur masyarakat, seberapa jauh keterlibatan langsung antara
pengarang dengan lingkungan sosialnya, proses kreatif penyair dalam
menciptakan karyanya sebagai proses sosio-kultural.
E. Penelitian yang Relevan
Hasil dari proses penelitian atau analisis merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari unsure-unsur lainnya, baik yang berkaitan langsung maupun tidak
langsung dengan pemasalahan yang dibahas oleh seorang peneliti. Sebuah karya
ilmiah mutlak membutuhkan refrensi atau sumber acuan guna menopang peelitian
yang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari makalah, skripsi,
jurnal, internet atau yang lainnya.
Sejauh yang peneliti ketahui, belum ada yang meneliti terkait persoalan
“Fenomena Sosial Dalam Puisi Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur Karya
Joko Pinurbo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di SMA”. Dalam hal ini penulis memaparkan bagaimana dalam dua puisi
karya Joko Pinurbo yang berjudul Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur
terdapat suatu gambaran tentang dinamika hubungan manusia dengan lingkungan
sosialnya dan alam sekitarnya yang mempengaruhi juga dalam proses pembentukan
karakter seseorang yang tidak hanya berdampak pada sisi materi, namun menyentuh
pada sisi yang lebih dalam lagi dalam kehidupan manusia, yaitu sisi moril.
Dua puisi karya Joko Pinurbo, yaitu Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur
merupakan proses kreatif yang merujuk pada sebuah pengamatan fenomena-
fenomena atau peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dalam kehidupan sehari-hari
penyairnya sendiri, Joko Pinurbo. Implikasi puisi Joko Pinurbo dalam pembelajaran
adalah bagaimana peserta didik memahami bahwa di dalam puisi terdapat semacam
bentuk komunikasi secara artistik yang dapat menciptakan kembali situasi
37
kemanusiaan dan hubungan kemanusiaan. Ini dimaksudkan untuk menanamkan
kesadaran pada peserta didik, bahwa puisi memiliki fungsi yang esensial dalam
pembinaan proses pemanusiaan insan-insan modern yang selalu dilanda oleh
konflik-konflik yang tak terselesaikan.
Berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam penelitian terhadap puisi-puisi
karya Joko Pinurbo ini, dapat dibandingkan dengan skripsi Febry Nur Rafahmi,
Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, yang
meneliti “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Puisi Telepon Genggam
Karya Joko Pinurbo”. Dalam penelitiannya ini, Febry berusaha menunjukkan
bahwa di dalam kumpulan puisi Telepon Genggam karya Joko Pinurbo ditemukan
pemakaian 8 gaya bahasa yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri sesuai
bentuk dan konteks penggunaannya.
Menurut hasil temuan Febry, dalam kumpulan puisi Telepon Genggam karya
Joko Pinurbo, gaya bahasa metafora dibagi menjadi 6 bentuk dan memiliki fungsi
antara lain; (1) memberi penegasan sifat pada sebuah benda, (2) membentuk frasa-
frasa benda yang imajinatif, (3) menciptakan imajinasi absurd untuk memperkaya
makna puisi. Gaya bahasa personifikasi dalam kumpulan puisi Telepon Genggam
dapat dibagi menjadi 4 bentuk dan memiliki fungsi antara lain; (1) melukiskan ciri
fisik, perilaku serta sifat-sifat manusia pada benda mati untuk menghidupkan
suasana dalam puisi, (2) melukiskan perilaku binatang pada benda mati untuk
menekankan situasi mencekam. Gaya bahasa paradoks dibagi menjadi 2 bentuk dan
memiliki fungsi antara lain; (1) mengungkapkan kritik secara implisit, (2)
melukiskan suatu keadaan yang bersifat ironis. Gaya bahasa hiperbola dibagi
menjadi 2 kelompok dan memiliki fungsi antara lain; (1) memberikan kesan
dramatis dengan melebih-lebihkan intensitas jumlah, (2) memberikan kesan
dramatis dengan melebih-lebihkan intensitas suasana. Gaya bahasa sinekdoke
dibagi menjadi 2 bentuk dan memiliki fungsi antara lain; (1) memperindah
pelukisan suasana dengan menyebutkan sebagian hal untuk mewakili keseluruhan,
(2) memperindah pelukisan suasana dengan menyebutkan keseluruhan hal untuk
38
mewakili sebagian dari hal tersebut. Gaya bahasa metonimia dibagi menjadi 5
kelompok dan memiliki fungsi antara lain; (1) mengkonkretkan suasana
berdasarkan hubungan spasial, (2) mengkonkretkan kata benda abstrak, (3)
mengkonkretkan sifat dan bentuk. Gaya bahasa aliterasi dibagi menjadi 6 kelompok
dan memiliki fungsi antara lain; (1) menciptakan efek dramatis pada pelukisan
suasana, (2) menciptakan efek dramatis pada pelukisan sifat. Sedangkan gaya
bahasa asonansi dalam kumpulan puisi Telepon Genggam tersebut dibagi menjadi 5
kelompok dan memiliki fungsi antara lain; (1) menciptakan efek dramatis pada
keadaan sebuah benda, (2) menciptakan efek dramatis pada sebuah peristiwa.
Peneliti memaknai setiap gaya bahasa berdasarkan interpretasi peneliti sendiri.
Penelitian yang dikerjakan oleh Febry Nur Rafahmini merupakan penelitian
kualitatif. Data penelitiannya ini berupa paparan teks puisi dalam kumpulan puisi
Telepon Genggam karya Joko Pinurbo. Data ini diperoleh dari 32 puisi yang
terdapat dalam kumpulan puisi Telepon Genggam karya Joko Pinurbo.
Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri sebagai instrumen kunci dengan
teknik dokumentasi dan dibantu tabel pengumpul data. Analisis data dilakukan
dengan pendekatan semiotik. Dalam penelitian ini, digunakan triangulasi sumber,
triangulasi peneliti, triangulasi metode, maupun triangulasi teori untuk pemeriksaan
keabsahan data.
Sementara itu, Teguh Susanto yang juga mengambil jurusan di universitas yang
sama dengan Febry Nur Rafahmini, di Universitas Negeri Malang, juga
menganalisis puisi karya Joko Pinurbo. Teguh menganalisis “Relasi Struktural-
Semiotik dalam Kumpulan Puisi Telepon Genggam karya Joko Pinurbo”.
Penelitian yang dikerjakan oleh Teguh ini bertujuan untuk mengetahui relasi
struktural dan semiotik dalam kumpulan puisi Telepon Genggam karya Joko
Pinurbo yang meliputi deskripsi (1) penggunaan pola rima (pola rima aliterasi dan
pola rima asonansi); (2) penggunaan kata (denotatif dan konotatif); (3) penggunaan
citraan (visual, auditif, kinaesthetik, dan taktil); (4) penggunaan majas
39
(personifikasi, metafora, dan hiperbola); (5) penggunaan ikon; (6) penggunaan
indeks; (7) penggunaan simbol; dan (8) relasi ikon, indeks, dan simbol ikon.
Adapun Galuh Chandrakirana (0700010121), mahasiswa jurusan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, yang
meneliti “Sistem Tanda dalam Puisi Joko Pinurbo”. Menurut Galuh, Joko Pinurbo
dalam sajak-sajaknya menghadirkan satu tanda dengan tanda lainnya saling
bertumpang-tindih dan topang-menopang sehingga menciptakan pemahaman yang
utuh untuk menjelaskan gagasan utama.
Dalam penelitiannya ini Galuh Chandrakirana mengambil empat sajak sebagai
data, yaitu sajak trilogi Celana, Tubuh Pinjaman, Pacarkecilku dan Telepon
Genggam. Menurut Galuh, sistem tanda yang dihadirkan oleh Joko Pinurbo dalam
sajak-sajaknya antara lain simbol, kontras, ambiguitas, humor dan pemertahanan
rima. Pada simpulan terakhirnya Galuh mengemukakan bahwa melalui sajak Joko
Pinurbo, seseorang akan melihat sajak dengan wajah yang lain. Sajak ternyata tidak
harus puitis dan mendayu-dayu. Sajak ternyata bisa sangat menggelitik. Sajak
ternyata bisa cair dan mengalir, namun tetap penuh dengan makna.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang penulis paparkan di atas, maka skrpsi
yang berjudul “Fenomena Sosial dalam Puisi Joko Pinurbo dan Implikasinya dalam
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” ini belum pernah ada yang
menggunakan judul yang sama. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul tersebut
sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana.
40
BAB III
PROFIL JOKO PINURBO
A. Biografi Singkat Joko Pinurbo
Joko Pinurbo dilahirkan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei
1962. Menempuh pendidikan di SD Sukabumi, SMP Maguwa, Tahun 1981 tamat
dari SMA Seminari Mertoyudan Magelang (1981) dan, Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (kini Universitas) Sanata
Dharma Yogyakarta (1987). Selama mengajar di almamaternya dia sambil juga
membantu majalah Basis. Ia juga pernah membantu jurnal Puisi.1
Joko Pinurbo mengaku mulai gemar menulis puisi sejak di SMA. Puisi-
puisinya tersebar di berbagai media dan buku antologi bersama. Pada awalnya
Joko Pinurbo menerbitkan puisi-puisinya dalam bentuk stensilan. Buku-buku
stensilan itu adalah Sketsa Selamat Malam (1986) dan Parade Kambing (1986).
Kelak lahirlah buku-buku puisi Celana (1999), memperoleh hadiah sastra lontar
2001. Ia juga menerima Sih Award (penghargaan puisi terbaik jurnal puisi 2001)
untuk puisi Celana 1, Celana 2, dan Celana 3.2
Joko Pinurbo diundang untuk membacakan puisinya di Festival Puisi
Antarbangsa Winternachten Over-zee 2001, di Jakarta, Festival Sastra/Seni
Winternachten 2002 di Belanda, Forum Puisi Indonesia 2002 di Hamburg,
Jerman, dan Festival Puisi Internasional-Indonesia 2002 di Solo.
Buku kumpulan puisinya Di Bawah Kibaran Sarung (2001) mendapatkan
penghargaan sastra pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2002.
Sebelumnya ia ditetapkan sebagai Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2001. Tahun 2005
ia menerima Penghargaan Sastra Khatulistiwa untuk antologi puisi Kekasihku
(2004). Buku kumpulan puisinya yang lain; Pacarkecilku (2002), Telepon
Genggam (2003), Pacar Senja yang berisi seratus puisi pilihan (2005), Kepada
1 Joko Pinurbo, Telepon Genggam, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hal.78.
2 Ibid
41
Cium (2007) dan Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007) yang
memuat tiga kumpulan sajaknya skaligus.3 Kumpulan sajaknya Celana telah
diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Touser Doll (2002). Selain ke
bahasa Inggris, sejumlah puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan
Belanda.
B. Joko Pinurbo sebagai Penyair
Karya-karya Joko Pinurbo yang mengandung sentuhan jenaka yang
membungkus tema-tema serius merupakan karya-karya yang seringkali menarik
kritikus untuk mengkaji. Meskipun seringkali cara pandangnya terhadap suatu
tema diangkat secara jenaka atau terkesan main-main namun di sisi lain Joko
Pinurbo mengangkat hal-hal serius yang telah atau sedang berlangsung di tengah-
tengah masyarakat, tema-tema yang diusungnya sangat penting dan menarik untuk
dikaji.
Joko Pinurbo adalah penyair kontemporer yang memiliki kebebasan dari
bentuk, rima dan diksi yang dipilih. Puisi naratifnya sangat ringan ketimbang
puisi dengan larik lirik yang rumit, namun, tetap sarat akan misteri dan
kedalaman. Hal serupa diungkapkan oleh Ignas Kleden yang menilai bahwa pada
puisi Joko Pinurbo yang mendapat sorotan utama adalah badan, diselidikinya
dengan renungan yang intens, dan diberi peran ganda, baik sebagai tanda
(signifier) maupun sebagai apayang hendak ditandai (the signified).4 Lebih dalam
lagi Ignas menjelaskan sebagai berikut:
“Pandangan penyair terhadap badan, jauh dari pandangan erotis, yang melihat tubuh sebagai penjelmaan keindahan, daya
tarik atau sex appeal, tetapi lebih berupa suatu pandangan filosofis, yang kadang eksistensial, kadang ontologis sifatnya, tetapi selalu disertai dengan humor yang kental uang kadang
mendekati sarkasme.”5
3 Joko Pinurbo, Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Saruing , (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2007). 4 Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya,
(Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2004), hal.247. 5 Ibid, hal. 248.
42
Puisi-puisi Joko Pinurbo adalah ironi-ironi yang diungkapkan dengan kata-
kata banal. Ia merasa tidak perlu meletakkan puisi sebagai sesuatu yang sakral
meski tidak berarti ia menyepelekan suatu konteks yang membangun puisi itu
sendiri. Sapardi mengatakan, “beberapa sajak Joko Pinurbo mungkin lucu,
terutama jika di lisankan di hadapan khalayak yang belum pernah secara cermat
membacanya.”6
Lebih jauh Sapardi menganggap benda-benda yang disebutkan dalam puisi
Joko Pinurbo merupakan lambang-lambang yang membentuk sistem
perlambangan tertentu yang erat sekali hubungannya dengan dunia bawah sadar.
Sapardi mencontohkan ketika ia membaca puisi Joko Pinurbo yang berjudul
Boneka. Sajak Boneka (1) yang sedikit banyak menyidir keadaan masyarakat kita
sekarang, menggambarkan seorang pembuat boneka yang tidak betah tinggal di
negerinya sendiri dan melarikan diri ke negara boneka.7
Joko Pinurbo membuat strategi teks puisi yang berbeda dengan
menghadirkan kekuatan komedi dan tragedi. Imaji-imajinya dalam setiap puisi
yang ia ciptakan bergerak dalam berbagai wacana dan terjadi sistem pemaknaan
yang kompleks dan juga alur dari peristiwa-peristiwa dalam puisi-puisinya
diakhiri dengan konklusi yang tragis. Hal ini dapat dilihat lewat salah satu
puisinya yang paling terkenal, yaitu Celana, 1. Dalam puisisi ini, komedi yang
terasa sejak awal kemudian berakhir menjadi tragedi yang berada dalam suatu
totalitas kisah manusia dengan celana, yang seolah memberikan gambaran
bagaimana seorang manusia sangat bergantung pada sebuah celana, namun disisi
lain celana seperti simbol eksistensialis dari seorang manusia.
Celana, 1
Ia ingin membeli celana baru buat pergi ke pesta supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.
6 Joko Pinurbo, Celana, (Magelang: Indonesia Tera, 1999), hal.72.
7 Ibid, hal.71.
43
Ia telah mencoba seratus model celana di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun yang cocok untuknya.
Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.
“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir
tanpa celana dan berkelana
mencari kubur ibunya hanya untuk menanyakan: “Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?
Puisi Celana, 1 nampaknya menjadi awalan intensitas dan konsistensi Joko
Pinurbo menuliskan puisi yang reflektif dan kontemplatif, yang dalam sebagian
puisi-puisinya mengandung sebuah kritik. Joko Pinurbo bermain dengan kenaifan,
kenakalan, dan kritik yang kuat dalam bentuk puisinya yang naratif, jauh dari
tradisi lirik.
“Kau adalah mata, aku airmatamu”, tulis Joko Pinurbo dalam sebuah
sajaknya yang berjudul Kepada Puisi. Joko Pinurbo menganggap jika puisi adalah
mata, maka ia sebagai penyair adalah air mata. Mungkin bagi Joko Pinurbo antara
puisi dengan penyairnya terdapat sebuah hubungan yang intim, ini seperti
mengacu pada sebuah anggapan yang mengatakan penyair adalah orang yang
harus „menzinahi‟ kata-kata hingga melahirkan bentuk puisi yang matang.
Alex R Nainggolan dalam esainya yang berjudul Diksi Genit Joko Pinurbo
mengatakan, penyair harus menemukan kesabarannya dengan menelurkan
44
ide/sajaknya (“Bertelur”). Ia adalah pangeran sejati yang membuka rahasia kata
paling dalam, menelusupinya dari hari ke hari, dan mengeraminya.8 Alex
menganggap Joko Pinurbo menyederhanakan semua ke kompleksan puisinya.Ia
menuliskan dengan pilihan kata yang sederhana, acapkali menjaga ruang antar
kalimat, segalanya baur dan susunannya membuka peristiwa lain terhadap dunia.
Mungkin fragmen itu diambilnya hanya separuh, tetapi ia membuka kemungkinan
masuknya muatan makna yang lain.
Bagi Alex, Joko Pinurbo merupakan penyair yang berhasil menempatkan
kata-kata menjadi puisi yang kaya, dan yang paling mengagetkan adalah ketika
seolah-olah Joko Pinurbo pun mengamini hal itu. Dalam esainya yang dimuat
dalam Harian Tempo ia mengemukakan bahwa dirinya sering kali menulis sajak
yang mencoba melebur lebih dari satu tema, bahkan kadang ia suka menulis sajak
yang seakan-akan merupakan peleburan lebih dari satu puisi.9
Dalam puisi-puisinya, Joko Pinurbo juga seolah tak mau ketinggalan
menunjukkan proses kreatifnya dengan terbuka kepada para pembacanya. Kisah-
kisah dan konsep keberpuisian atau kepenyairannnya hadir dalam sebagian puisi-
puisinya yang mengarah pada biografi penyair dan biografi puisi, akan tapi masih
kuat mengandung humor-humor yang tragis. Misalnya saja pada puisi Pinurbo
berikut:
Orang Gila Baru
Sesungguhnya saya malas membaca sajak-sajak saya sendiri. Setiap saya membaca sajak yang saya tulis, dari balik gerumbul kata-kata tiba-tiba muncul orang gila baru
yang dengan setengah waras berkata, “Numpang tanya, apakah anda tahu alamat rumah saya?”
Kuantar ia ke rumah sakit jiwa dan dengan lembut kukatakan, “Ini rumahmu. Beristirahatlah dalam damai.”
Gila, ia malah mencengkeram leher baju saya dan meradang, “Ini rumahmu, bukan rumahku.”
8 Alex R Nainggolan, Diksi Genit Joko Pinurbo, dalam Harian Suara Merdeka, 05 Desember
2004. 9 Joko Pinurbo, Kepada Kekasihku, dalam Harian Tempo, 30 Oktober 2005.
45
Secara keseluruhan Joko Pinurbo mengambil apa pun unsur-unsur yang ada
atau karakter-karakter yang ada di sekitarnya, baik itu celana, becak, ranjang
tidur, seorang guru, tetangganya maupun sosok ibu dan ayah, yang dihadirkan
dalam puisi-puisinya menjadi sistem simbolik yang cerdas untuk mengungkapkan
karakter-karakter kontradiktif, situasi batas, absurditas, dan hipokritas manusia di
dalam dirinya maupun di dalam relasinya dengan orang lain.
C. Joko Pinurbo, Puisi, dan Fenomena Sosial
Puisi merupakan pantulan keadaan yang sudah atau sedang berlangsung di
sekitar penyair, dalam bentuk kata.Namun, lewat majas-majasnya, bahasa
kiasannya, puisi terbiasa menautkan ranah-ranah pengalaman yang sering tampak
berjauhan meski pun ada juga yang menampilkan ranah –ranah yang tampak
disekitar kita. Joko Pinurbo sendiri kerap mendaftarakan lingkup kehidupan
bersosialnya manusia dalam kata-kata yang seakan bergerak dan bergetar ke arah
lain atau ke dalam rangkaian citra yang intim seperti yang dikatakan Ignas Kleden
bahwa, “pada penyair Joko Pinurbo, seluruh kehidupan manusia, politik, sosial-
budaya, ekonomi, dan religius, tidak diterjemahkan kedalam gerak-gerik alam,
tetapi ke dalam gerak-gerik badan, yaitu apa yang dikenal sebagai body
language.”10
Dalam puisi Joko Pinurbo pun bisa saja kita bertemu dengan bahasa-bahasa
kiasan, tetapi sesungguhnya kita lebih sering berada pada sebuah wilayah, yaitu
ironi, yang diciptakan oleh Joko Pinurbo. Di sanalah kita bisa belajar sedikit-
banyak tentang jarak antara kata dan dunia. Namun pada dasarnya, puisi yang
dianggap sebagai sebuah karya merangkai kata, merupakan suatu komunikasi
yang menyampaikan tentang sebuah keadaan, seperti apa yang dikatakan
Goenawan Mohamad, “…sebab kata itu bagian dari bahasa ruang”.11
10
Kleden, op.cit., hal. 256.
11
Goenawan Mohammad, Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai, (Jakarta: Penerbit Kata Kita,
2008), hal.18.
46
Keunikan puisi-puisi Joko Pinurbo dalam bentuknya yang naratif, cenderung
mengungkapkan kompleksitas kehidupan yang dialami manusia. Tragedi itu
mengacu pada realitas, peristiwa, dan subjek yang bisa ditemui, dan dirasakan
dalam kehidupan sehari-hari. Tematik yang dihadirkan Joko Pinurbo terasa dekat
dengan realitas dan mengantarkan pembaca pada dunia rekaan yang terbuka
terhadap tafsiran. Tematik dalam puisi-puisi Joko Pinurbo dihadirkan dengan
ironi, naif, komedi, kesedihan dan tragedi, misalnya saja pada puisinya berikut ini:
Naik Bus di Jakarta
Sopirnya sepuluh.
Kernetnya sepuluh. Kondekturnya sepuluh.
Pengawalnya sepuluh. Perampoknya sepuluh. Penumpangnya satu, kurus,dari tadi tidur melulu;
kusut matanya, kerut keningnyaseperti gambar peta yang ruwet sekali. Sampai di terminal, kondektur minta ongkos:
"Sialan, belum bayar sudah mati!"
Okke Kusuma, salah satu dosen FIB-UI, pernah mengkaji puisi ini. Menurut
Okke Kusuma, secara sepintas sajak ini terasa lucu, terutama melihat oposisi
antara angka sepuluh bagi sopir, kernet, kondektur, pengawal (yang biasanya
hanya terdiri dari satu orang di setiap bus) dan perampok, dengan penumpang
yang biasanya banyak, hanya disebut satu. Namun, kelucuan di awal sajak
berubah menjadi tragedi di akhir sajak. Rupanya penumpang yang banyak itu
cukup disebut satu, untuk mengemukakan kesamaan nasib mereka. Kesengsaraan
hidup di kota besar hanya dinyatakan dengan "kusut matanya, kerut keningnya
seperti gambar peta yang ruwet sekali". Sesampai di terminal, ternyata
penumpang itu telah mati dan bagi kondektur, uang sebanyak dua atau tiga ribu
rupiah lebih penting dari nyawa manusia.12
12 Okke Kusuma Sumantri Zaimar, Joko Pinurbo: Penyair Muda yang Penuh Potensi,
Disajikan dalam seminar “Gelar Sastra Dunia”, FIB-UI, 19-20 Juli 2005.
47
Joko Pinurbo dalam puisi-puisinya tidak hanya menampilkan kompleksitas
kehidupan manusia dengan gaya bahasanya yang humoris, dalam sebagian puisi-
puisinya yang lain dia juga sering menampilkan aspek kehidupan yang menyentuh
dan tidak lagi menggunakan gaya bahasanya yang terkesan humoris, misalnya
saja pada puisi berikut:
Baju Bulan
Bulan, aku mau Lebaran.Aku ingin baju baru, tapi tak punya uang.Ibuku entah di mana sekarang, sedangkan ayahku hanya
bisa kubayangkan. Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam?
Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan bajunya yang kuno di antara begitu banyak warna-warni baju buatan. Bulan mencopot bajunya yang keperakan,
mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat menangis di persimpangan jalan.
Bulan sendiri rela telanjang di langit, atap paling rindang bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang.
Begitu jauh bayangan dan imaginasi Joko hingga kita dapat menyaksikan
bagaimana bulan mempunyai semacam perasaan atau jiwa bagi makhluk hidup
lainnya. Disinilah proses kreatif yang ditunjukkan oleh Joko Pinurbo, bahwa
suasana atau fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita, menyantap perasaan dan
memberikan ilham yang segala-segalanya mampu direkam ke dalam kata-kata.
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Analisis Intrinsik Puisi Pesan Uang
Pesan Uang
Ketika aku akan merantau buat cari penghidupan, Uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan royal, supaya kamu
cepat kaya. Kalau kaya, kamu bisa balas dendam terhadap kemiskinan.”
Sekian tahun kemudian aku pulang sebagai orang kaya, Aku bangun daerah baru di atas perkampungan lama.
Hore! Aku telah mengalahkan kemiskinan. Aku tak butuh lagi masa depan.
Kemudian aku jatuh miskin. Hartaku amblas, harga diriku kandas.
Kekayaanku tinggal hutang-hutangku. Ketika aku akan merantau lagi buat cari kekayaan,
uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan kau habis-habiskan kemiskinan. Kalau tak punya lagi kemiskinan,
bagaimana bisa mati dengan kaya?”
Bait 1
Secara bentuk, puisi Pesan Uang terdiri dari empat bait dan lima belas
baris. Gaya bahasa yang digunakan Joko Pinurbo dalam puisi ini cenderung
naratif dan banyak dijumpai larik-larik yang mengandung diksi-diksi yang
49
paradoks1. Bait pertama, dimulai dari larik pertama sampai dengan larik ketiga
yang mengacu pada penegasan eksistensi aku-lirik pada puisi ini:
Ketika aku akan merantau buat cari penghidupan,
Pada bait ini, penyair mencoba menyelipkan majas personifikasi untuk
memberikan kesan yang lebih pada “uang”.2 Pada hakikatnya uang merupakan
benda mati namun pada bait ini penyair menempatkan uang seolah-olah
menjadi benda hidup dan berpesan pada “aku”. Tokoh “aku” di sini mewakili
bagaimana penggambaran nasib seorang manusia yang dalam prosesnya bakal
menuju “cari penghidupan” dan hal ini mengantarkan pada semacam dialektika
antara “uang” dan “aku” yang ada pada bait ini, yaitu sebagai berikut:
Ketika aku akan merantau cari penghidupan
uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan royal, supaya kamu Cepat kaya. Kalau kaya, kamu bisa balas dendam terhadap kemiskinan .”
Pada hakikatnya uang merupakan alat tukar yang digunakan seseorang
untuk mendapatkan hal-hal yang menyangkut kebutuhan sehari-hari. Di sisi
lain uang juga dapat mempengaruhi seseorang untuk menentukan kedudukan,
dari golongan mana ia berasal, sejauh mana ia dapat memenuhi kebutuhan
yang penting maupun tidak penting untuk kebutuhan sehari-harinya, atau
secara singkat dapat dikatakan uang juga berperan sebagai media untuk
memenuhi kebutuhan eksistensi seseorang.3
Pada bait pembuka ini seolah Joko Pinurbo langsung memberikan pesan
moral, supaya kita tidak rentan berada di tengah kecenderungan akan
1 Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan
fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena
kebenaranny, contoh: Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang berlimpah . Baca:
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 136. 2 Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan
benda-benda yang tak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Baca: Gorys Keraf,
Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 140. 3 Apapun yang bereksistensi tentu nyata ada. Sesuatu yang dikatakan bereksistensi jika hal itu
adalah sesuatu yang bersifat publik, yang artinya objek itu sendiri harus dialami atau dapat dialami
oleh banyak orang yang melakukan pengamatan. Baca: Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat,
(Jakarta: Penerbit Tiara Wacana Yogya, 2004), h. 50.
50
pendangkalan nilai-nilai kehidupan oleh hedonisme yang begitu mendewakan
kenikmatan materi, namun di sisi lain memberikan kesan yang menarik sebab
pada bait pembuka ini penyair langsung menawarkan kedalaman suasana
kontemplasi atau perenungan lewat penggambaran saat “aku akan merantau
cari penghidupan” dan saat “uang berpesan” pada “aku”.
Pada bait pertama ini, berisikan pengenalan tokoh “aku” yang dalam puisi
ini disebut sebagai subjek-lirik. Kata konkret yang terdapat dalam bait ini
adalah “uang”, sedangkan imaji penglihatan yaitu “merantau” dan imaji
pendengaran yaitu “berpesan” yang digunakan oleh penyair untuk menguatkan
suasana atau keadaan yang tengah terjadi dalam bait ini.
Bait 2
Pada bait kedua ini gaya naratif dalam teknik berpuisi Joko Pinurbo makin
terasa, sebab jika dilihat dari bait pertama hingga masuk pada bait kedua ini,
“aku” yang menjadi subjek-lirik seperti memaparkan bagaimana perjalanan
“merantau”nya, hampir lengkap sebagai prosa, lengkap dengan permainan
waktu, latar dan dialog.
Pada bait ini terdapat kehendak yang sepertinya ingin diungkapkan oleh
Joko Pinurbo, bagaimana “uang” merupakan penggambaran dari sebuah proses
„pencarian‟ dan juga „klimaks‟. Ia menggambarkan bagaimana uang
mempunyai kekuatan untuk merubah keadaan, meliputi tempat tinggal,
pergaulan, gaya hidup maupun stratifikasi atau kedudukan seseorang, hal itu
tampak pada larik satu sampai dengan larik kedua, yaitu sebagai berikut:
Sekian tahun kemudian aku pulang sebagai orang kaya. Aku bangun daerah baru di atas perkampungan lama.
Joko Pinurbo seolah memberikan muatan pada bait ini tentang bagaimana
seseorang yang telah mendapatkan satu hal yang ia ingin miliki, akan lupa pada
keadaan hidup selanjutnya atau dengan kata lain, Joko Pinurbo berusaha
51
menggambarkan bagaimana kondisi manusia yang cepat puas akan hasil yang
ia peroleh. Untuk memperkuat hal itu ia menyisipkan istilah gaya bahasa
oksimoron.4 Gaya bahasa oksimoron disisipi pada saat si subjek-lirik
“mengalahkan kemiskinan” yang membuat subjek-lirik makin percaya diri dan
“tak butuh lagi masa depan”, hal itu digambarkan sebagai berikut:
Sekian tahun kemudian aku pulang sebagai orang kaya.
Aku bangun daerah baru di atas perkampungan lama. Hore, aku telah mengalahkan kemiskinan. Aku tak butuh lagi masa depan.
Dalam bait ini imaji visual meliputi; “sekian tahun kemudian”, “pulang” ,
“orang kaya”, “daerah baru”, dan “pekampungan lama” yang makin
menguatkan latar dan suasana bagaimana perjalanan “aku” yang merantau dan
setelahnya “pulang sebagai orang kaya” dengan pandangan hidup yang baru.
Bait 3
Pada bait ini digambarkan bagaimana pada suatu saat “aku” jatuh miskin,
padahal pada bait sebelumnya “aku” telah mengalahkan kemiskinan dan pulang
sebagai orang kaya. Di tengah keadaan inilah kemiskinan merupakan momok
pada sebagian orang, sebab kemiskinan kerap diartikan sebagai suatu keadaan
dimana seseorang tidak sanggup memanfaatkan tenaga mental maupun
fisiknya. Pada saat menderita kemiskinan inilah Joko Pinurbo agaknya melihat
celah untuk menghadirkan ritma atau asonansi pada larik kedua untuk
menimbulkan kesan yang lebih dramatis, yaitu pada petikan berikut;
Hartaku amblas, harga diriku kandas
4 Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk
mencapai efek yang bertentangan. Atau dapat juga dikatakan oksimoron adalah gaya bahasa yang
mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang
sama, dan sebab itu sifatnya lebih tajam dan padat dari paradoks. Baca: Gorys Keraf, Diksi dan
Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 136.
52
Bait ketiga merupakan bait yang terpendek dari bait-bait lainnya pada
puisi ini sebab memuat tiga larik saja, sedang pada bait-bait lainnya memuat
sampai dengan empat larik. Pada bait ini kata abstrak meliputi; miskin, hartaku
amblas, harga diriku, kekayaanku dan hutang-hutangku.
Bait 4
Bait empat merupakan bait penutup pada puisi ini. Pada bait ini terdapat hal
yang menarik, yaitu persamaan bentuk seperti pada bait pembuka. Pada bait
pertama digambarkan bagaimana subjek-lirik, yaitu “aku” akan pergi merantau
dan pada bait keempat ini digambarkan “aku” akan kembali merantau, namun
demikian terdapat hal yang berbeda, yaitu ketika pada bait pertama diceritakan
bagaimana “aku akan merantau buat cari penghidupan” maka kali ini
digambarkan bagaimana “aku merantau buat cari kekayaan”.
Jika kita membandingkan bentuk dan isi antara bait pertama dan bait
keempat, ini dapat mengantarkan kita pada sebuah penafsiran, yaitu jika pada
bait pertama “aku akan merantau buat cari penghidupan” lebih mengarah pada
bagaimana “aku” merantau untuk mendapatkan kekayaan guna memenuhi
kebutuhan hidup. Kekayaan di sini nyatanya juga digunakan oleh subjek-lirik
untuk mengubah kondisi hidupnya agar menjadi lebih baik dari kondisi
sebelumnya, bukan saja dari cara “aku” untuk memenuhi kebutuhan sehari-
harinya, namun kekayaan disini telah mengubah pandangan hidup si subjek-
lirik, sebab pada bait kedua digambarkan bagaimana gejala ini menjangkit pada
diri “aku” yang lebih hedonis.
Penafsiran pada bait pertama menjadi agak berbeda dibandingkan pada
bait keempat ini, sebab pada bait keempat ini “aku akan merantau lagi buat cari
kekayaan” bukan lagi untuk “merantau buat cari penghidupan” sebab kekayaan
disini bukan lagi bentuk kekayaan seperti sebelumnya, kekayaan di sini bisa
diartikan sebagai bentuk motivasi, setelah diperkuat dengan uang yang
53
berpesan pada aku. Hal ini bisa dilihat jika pada bait pertama uang berpesan
pada “aku” agar;
“Hiduplah hemat, jangan royal, supaya kamu
Cepat kaya. Kalau kaya, kamu bisa balas dendam terhadap kemiskinan .”
Sedangkan pada bait keempat uang berpesan pada “aku” agar;
“Hiduplah hemat, jangan kau habis-habiskan
kemiskinan. Kalau tak punya lagi kemiskinan, bagaimana bisa mati dengan kaya?”
Pada bait keempat ini, suasana ketika uang berpesan pada “aku” dapat
merujuk pada sebuah gambaran bagaimana kondisi seseorang yang sedang
berada pada kondisi hidup yang dililit kemiskinan, setelah sebelumnya berada
pada keadaan kaya dan bergelimangan harta, berusaha mencari kekayaannya
kembali namun dengan tujuan yang berbeda. Pada kali ini ia dipesankan pula
agar ia tidak menyia-nyiakan apa yang telah terjadi padanya dan agar
semuanya menjadi pembelajaran untuk kehidupan di waktu mendatang.
Secara singkat, dapat dikatakan tema pada puisi ini adalah; perjalanan
seseorang mencari kekayaan, dan amanat yang dapat diambil dari keseluruhan
puisi ini adalah agar bagaimana kita sebagai manusia tidak dikalahkan oleh hal-
hal yang bersifat sementara, seperti harta dan tahta contohnya. Nilai yang
terkandung dalam puisi ini meliputi nilai keberanian, sehingga muncul nilai
kemandirian dan juga nilai kesederhanaan.
54
Tabel 1
Tabel Imaji Penglihatan Puisi Pesan Uang
Bait Baris Imaji Penglihatan
1 1 Merantau
2 Uang berpesan
2 1 Sekian tahun kemudian, pulang, orang
kaya
2 Daerah baru, perkampungan lama
3 Hore
3 1 Jatuh miskin
4 1 Merantau lagi
2 Uang berpesan
Tabel 2
Tabel imaji Pendengaran Puisi Pesan Uang
Bait Baris Kata Konkret
1 2 Uang berpesan
2 3 Hore
4 2 Uang berpesan
Tabel 3
Tabel Kata Konkret Puisi Pesan Uang
Bait Baris Kata Konkret
1 2 Uang
2 2 Perkampungan lama
4 4 Mati
55
Tabel 4
Tabel Kata Abstrak Puisi Pesan Uang
Bait Baris Kata Abstrak
1 1 Cari penghidupan
2 Hemat
3 Dendam
4 Kemiskinan
2 1 Orang kaya
2 Daerah baru
3 Mengalahkan kemiskinan
4 Masa depan
3 1 Jatuh miskin
2 Hartaku amblas, harga diriku
3 Hutang-hutangku
4 1 Cari kekayaan
2 Hemat
3 Kauhabis-habiskan kemiskinan
56
B. Analisis Intrinsik Puisi Bercukur Sebelum Tidur
Bercukur Sebelum Tidur
Bercukur sebelum tidur
membilang hari-hari yang hancur
membuang mimpi-mimpi yang gugur
memangkas semua yang ranggas dan uzur
semoga segala rambut segala jembut
bisa lebih rimbun dan subur.
Lalu datang musim dalam curah angin
menumpahkan air ke seluruh dataran,
ke gunung-gunung murung
dan lembah-lembah lelah di saentero badan
Jantungku meluap, penuh.
Sungai menggelontor, hujan menggerjai
di sektor-sektor irigasi agrodarahku.
Malam penuh traktor, petani mencangkul
di hektar-hektar dagingku.
Tubuhku hutan yang dikemas
menjadi kawasan megindustri
dimana segala cemas segala resah
diolah di sentra-sentra produksi.
Tubuhku ibukota kesunyian yang diburu investor
dari berbagai penjuru
Tubuhku daerah lama yang ditemukan kembali
daerah baru yang terberkati.
Lalu tubuhku bukan siap-siapa lagi
Tubuhku negeri yang belum diberi nama
Dan kuberi saja nama dengan sebuah ngilu,
saat bercukur sebelum tidur.
Bait 1
Secara bentuk, puisi Bercukur Sebelum Tidur terdapat 28 larik dari 2 bait.
Bait pertama dibuka dengan pengalaman seseorang yang melakukan kegiatan
“bercukur sebelum tidur” yang sebenarnya merupakan rutinitas yang dapat
57
dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Akan tetapi penyair
menghendaki proses “bercukur sebelum tidur” sehingga dapat mengacu pada
kontek-konteks yang sedemikian rupa, pada sebuah proses yang memiliki
pengalaman batin yang lebih luas. Proses bercukur yang merupakan rutinitas
kebanyakan orang diangkat menjadi semacam fenomena yang lebih kompleks
ketika beriringan dengan;
“membilang hari-hari yang hancur
membuang mimpi-mimpi yang gugur memangkas semua yang ranggas dan uzur semoga segala rambut segala jembut
bisa lebih rimbun dan subur.”
Pada larik pertama hingga keenam, mempunyai pemaknaan bahwa proses
bercukur merupakan sebuah kebiasaan rutin yang sering dilakukan kapan pun
bahkan sebelum tidur namun. Isi dalam bait ini mengacu pada wilayah
kontemplasi atau sebuah perenungan yang lebih tentang hubungan antara
manusia dengan lingkungan alam sekitar. Penggunaan rima “a-a-a-a” terjadi
pada setiap kata akhir di larik pertama hingga larik keempat; “tidur”, “hancur”,
“gugur”, dan “uzur”.
Pada larik selanjutnya digambarkan sebuah peristiwa pergantian musim,
yaitu ketika;
“Lalu datang musim dalam curah angin
menumpahkan air ke seluruh dataran, ke gunung-gunung murung
dan lembah-lembah lelah di saentero badan.”
Penyair menggunakan tubuh sebagai metafor sebuah fenomena alam. Pada
tubuh, penyair melihat padang menghampar, gunung yang menjulang dan
lembah yang menganga, dan itu kembali ditegaskan pada larik-larik
selanjutnya yang menceritakan sebuah bencana alam yang terjadi, dengan
tubuh sebagai latar dan simbol dalam larik selanjutnya;
58
“Jantungku meluap, penuh. Sungai menggelontor, hujan menggerjai di sektor-sektor irigasi agrodarahku”.
Pada larik di atas, hal yang cukup menarik ketika penyair menyelipkan
diksi “agrodarahku”. Dalam hal ini penyair membuat inovasi atau lebih
tepatnya membuat kreasi, yaitu menggabungkan frase “agro” dengan “darah”
yang pada umumnya frase “agro” selalu dipasangkan dengan “bisnis” atau
“industri” yang kemudian mengacu pada pengertian industri atau pabrik yang
bergerak di bidang pertanian, baik itu pengolahan hasil pertanian, penyediaan
bahan baku maupun industri pendukung pertanian lainnya.
Hal mengenai “agrodarahku” mengacu pada sebuah simbol, yang dapat
merujuk kepada pengertian bahwa letak tubuh sebagai ukuran keberadaan
manusia, di sini dibandingkan oleh penyair dengan sebuah sektor ekonomi
yang meliputi perusahaan, agen dan institusi yang menyediakan segala
kebutuhan pertanian dan mengambil komoditas dari pertanian untuk diolah dan
didistribusikan kepada konsumen dengan cara mengekplotasi secara membabi
buta tanpa mempertimbangkan ekosistem dan keserasian dengan lingkungan
alam sekitar.
Pada larik selanjutnya juga dijelaskan sebab bencana alam dalam tubuh
bisa terjadi yang disebabkan adanya ekploitasi besar-besaran terhadap unsur
kekayaan „alam tubuh‟;
“Tubuhku hutan yang dikemas
menjadi kawasan megindustri dimana segala cemas segala resah diolah di sentra-sentra produksi.
Tubuhku ibukota kesunyian yang diburu investor dari berbagai penjuru”.
Pernyataan ini diungkapkan penyair yang memandang tubuh dengan
sudut pandang tragis, dengan penekanan bahasanya yang menggunakan reptisi
59
epizeuksis.5 Repitisis epizeuksis yang bersifat langsung pada frase “segala
cemas segala resah”, yang sebenarnya menggambarkan bagaimana perlakuan
manusia yang menjarah kekayaan alam guna memanjakan kantong pribadi
tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan.
Hal ini merupakan sebuah penarikan bentuk dari makrokosmis ke dalam
bentuk mikrokosmis, yaitu gerak ke dalam dibanding gerak keluar yang
biasanya digunakan dalam penciptaan puisi-puisi pada umumnya seperti gerak
melirik mencari alam, dalam larik ini seperti mengandung perasaan manusia
terhadap alam atau menerjemahkan alam ke dalam perasaan manusia.6
Seolah ada tendensi penyair agar masyarakat dan khususnya bagi para
teknokrat yang mempunyai peran paling penting dalam menyikapi hal ini,
merefleksikan sebab-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan mereka sendiri.
Pada bait ini terdapat imaji visual yang meliputi: “bercukur”,
“membilang”, “hancur”, “ranggas”, “uzur”, “membuang”, “menumpahkan
air”, “seluruh daratan”, “murung”, “lelah”, “rimbun”, “subur”, “badan”,
“meluap, penuh”, “sungai menggelontor”, “hujan”, “malam”, “mencangkul”,
“di hektar-hektar”, “hutan yang dikemas”, “kawasan mega industri”, “cemas”,
“resah”, “diolah”, “sentra-sentra produksi”, “ibukota”, “diburu investor”, dan
“berbagai penjuru”, yang semua itu digunakan oleh penyair untuk menguatkan
suasana atau keadaan yang tengah terjadi dalam bait ini.
5 Repetisi Epizeukis adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan
diulang beberapa kali berturut-turut, contoh: kita harus bekerja, bekerja, dan terus bekerja untuk
tetap hidup. Baca: Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2001), h. 140. 6 Menurut Anaximenes, prinsip yang merupakan asal-usul segala sesuatu adalah udara.dalam
satu-satunya kutipan yang disimpan dari karyanya, ia mengatakan bahwa seperti jiwa menjamin
kesatuan tubuh kita, demikian pun udara melingkupi segala-galanya. Jiwa sendiri juga tidak lain
daripada udara saja, dipupuk dengan bernapas. Tema ini kemudian seringkali akan kembali lagi
dalam sejarah filsafat Yunani. Tubuh adalah mikrokosmos (dunia kecil), dan seakan-akan
mencerminkan jagat raya yang merupakan mikrokosmos (dunia besar). Baca: K. Bertens Sejarah
Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Anggota IKAPI, 1999), hal. 39
60
Bait 2
Bait ini terdiri atas enam larik yang merupakan bait terakhir dalam puisi
ini. Dalam bait ini tubuh masih menjadi metafor tentang keadaan alam atau
lingkungan:
Tubuhku daerah lama yang ditemukan kembali
daerah baru yang terberkati.
Dua larik awal pada bait ini mengacu pada sebuah penafsiran tentang
bagaimana perkembangan sebuah wilayah maupun penduduknya yang
sebelumnya berada di tataran terbelakang, entah dari segi pembangunan
ekonomi, politik, infrastruktur ataupun pendidikan atau bahkan semuanya. Hal
yang berbeda terjadi ketika wilayah tersebut tersentuh proyek pembangunan
oleh pihak atau investor asing menjadi sebuah wilayah yang melesat. Imaji
visual meliputi “daerah lama”, “ditemukan”, “daerah baru” dan “bercukur”
Sindiran yang dirasa amat pahit ketika penyair pada puisinya
mengungkapkan sebagai berikut:
Lalu tubuhku bukan siapa-siapa lagi Tubuhku negeri yang belum di beri nama
Maka pada larik inilah dijelaskan mengapa gerangan “tubuh” menjadi hal
yang sedemikian penting guna perbandingan dan perhatian ilmu sosial dan
ekonomi terhadap “tubuh” sebagai alam yang keadaanya relatif terbelakang.
Dengan penyair menunjukkan bahwa nasib “tubuh” sebagai fenomena yang
nampak terabaikan, justru memainkan peranan besar sebagai metafor untuk
mengilhami sebuah pergerakan guna perubahan sosial.
Pada larik terakhir, penyair memberi penutup dengan diksi-diksi yang
paradoks seperti berikut:
Dan kuberi saja nama dengan sebuah ngilu,
saat bercukur sebelum tidur.
61
Penekanan rasa “ngilu” merupakan representasi simbolik dari pernyataan
sikap penyair yang marah, kecewa atau bahkan sakit hati sebab merasa
dianiaya oleh pembangunan di sektor industri yang terus berkembang namun
di sisi lain dirasakan sangat merugikan alam dan masyarakat sendiri. “Tubuh”
dianggap sebagai bagian diri manusia itu sendiri yang menyambung hubungan
terhadap manusia lain, alam dan kebudayaan, maka disini “tubuh” merupakan
bahan perenungan akan fenomena sosial yang sudah atau sedang terjadi.
62
Tabel 1
Tabel Imaji Penglihatan Puisi Bercukur Sebelum Tidur
Bait Baris Imaji Penglihatan
1 1 Bercukur
2 Membilang, Hancur
3 Membuang, Gugur
4 Memangkas, Ranggas, Uzur,
6 Rimbun, Subur
8 Menumpahkan, Seluruh daratan
9 Murung
10 Lelah
11 Seantero badan
12 Meluap, penuh
13 Menggelontor
14 Hujan Menggerejai
15 Malam, Penuh Traktor, Mencangkul
16 Hektar-hektar
17 Hutan, dikemas
19 Cemas, Resah
20 Diolah, Sentra-sentar produksi
21 Diburu
2 1 Daerah lama, Ditemukan kembali
2 Daerah baru
6 Bercukur
63
Tabel 2
Tabel Imaji Pendengaran Puisi Bercukur Sebelum Tidur
Bait Baris Kata Konkret
1 21 Kesunyian
Tabel 3
Tabel Kata Konkret Puisi Bercukur Sebelum Tidur
Bait Baris Kata Konkret
1 3 Rambut, Jembut
7 Angin
8 Air
9 Gunung-gunung
10 Lembah-lembah
11 Badan
12 Jantungku
13 Sungai, Hujan
15 Traktor, Petani
16 Dagingku
17 Tubuhku, Hutan
21 Tubuhku
64
Tabel 4
Tabel Kata Abstrak Puisi Bercukur Sebelum Tidur
Bait Baris Kata Abstrak
1 2 Hari-hari
3 Mimpi-mimpi
7 Musim
14 Agrodarahku
17 Hutan yang dikemas
18 Megaindustri
21 Ibukota, Investor
2 4 Negeri
5 Sebuah ngilu
65
C. Fenomena Sosial dalam Puisi Pesan Uang
Kota, merupakan wilayah yang dipenuhi dengan unsur atau pola
kehidupan yang amat bervariasi atau heterogen, mulai dari penduduknya,
golongannya, pekerjaannya dan sebagainya. Hal yang demikian mengacu
pada apa yang dikatakan oleh Astrid Susanto:
Bahwa kota adalah heterogen juga di dalam pandangan hidupnya,
terbuktikan dari statistik wilayah yang memberikan hasil perbedaan antara angka kelahiran, angka kematian dan lain-lain
halmana memberikan petunjuk tentang perbedaan norma tentang hidup pada umumnya.7
Sementara itu, MC Iver menjelaskan bagaimana perbedaan antara
suasana kehidupan di kota dibandingkan dengan kehidupan di desa, hal ini
disebabkan oleh “sifat heterogen kota yang berbeda dengan desa yang
mempunyai kehidupan yang homogen.”8
Di desa pekerjaan lebih tertuju pada banyaknya pekerjaan yang
dikerjakan oleh orang dengan keahlian dan kemampuan yang hampir sama,
hal inilah yang menyebabkan kehidupan sosialnya cenderung pada kehidupan
masyarakat yang homogen. Berbeda halnya dengan di kota, dimana
spesialisasi makin bertambah penting dengan akibatnya yaitu berkurangnya
tenaga terdidik, sementara tenaga kerja spesialisasi semakin dibutuhkan.
Spesialisasi akan mengakibatkan kepada orang-orang dengan pekerjaan
yang sama akan lebih dekat satu sama lain, berbeda dengan di desa. Keadaan
inilah yang merupakan salah satu faktor tambahan mengapa kota adalah
wilayah yang sangat heterogen, yaitu salah satu contohnya dengan adanya
pengelompokan menurut spesialisasi tadi.
7 Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial , (Jakarta: Binacipta, 1997),
hal. 163. 8 Ibid
66
Sehubungan hal-hal yang ada di atas, kota atau yang notabenenya adalah
wilayah yang lebih maju dibandingkan pedesaan, di sisi lain merupakan
tujuan utama dari urbanisasi. Menurut Soerjono Soekanto, “urbanisasi adalah
suatu proses berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dapat pula
dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat
perkotaan.” 9
Lebih jauh Soerjono Soekanto menganalisis hal-hal yang menyebabkan
orang-orang pedesaan meninggalkan tempatnya dan memilih untuk pergi ke
kota, dan hasilnya kurang lebih sebagai berikut:
1) Di desa lapangan kerja pada umumnya kurang.
2) Penduduk desa, terutama kaum muda-mudi, meras tertekan oleh adat-
istiadat yang mengakibatkan cara hidup yang monoton. Untuk
mengembangkan pertumbuhan jiwa, banyak yang pergi ke kota.
3) Di desa tidak banyak untuk menambah pengetahuan. Oleh sebab itu
banyak orang yang ingin maju, kemudian meninggalkan desa.
4) Rekreasi yang merupakan salah satu faktor penting di bidang
sepiritual kurang sekali dan kalau juga ada, perkembangan sangat
lambat.
5) Bagi penduduk desa yang mempunyai keahlian lain selain bertani
seperti misalnya kerajinan tangan, tentu mengingini pasaran yang
lebih luas bagi hasil produksinya. Ini tidak mungkin didapatkan di
desa.10
Keadaan-keadaan seperti inilah yang mungkin coba digambarkan oleh
Joko Pinurbo lewat puisinya yang berjudul Pesan Uang. Pada larik pertama
Joko Pinurbo seolah sengaja menggambarkan subjek-lirik pada puisinya
tersebut akan merantau untuk mencari kehidupan dan bukan untuk sekedar
9 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005),
hal.157. 10
Ibid, hal.159.
67
mencari kekayaan saja, hal ini dapat terlihat seperti pada petikan puisi
sebagai berikut:
Ketika aku akan merantau cari penghidupan
uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan royal, supaya kamu Cepat kaya. Kalau kaya, kamu bisa balas dendam terhadap kemiskinan .”
Sementara itu, kota atau bahkan lingkupnya yang lebih besar yaitu negara
yang lebih maju, pada saat tertentu akan menyedot perhatian masyarakat di
daerah-daerah yang belum berkembang pada sebuah angan-angan akan
kesuksesan atau kesejahteraan hidup jika bekerja di kota atau wilayah yang
lebih maju, yang menjajikan upah keuntungannya yang jauh lebih tinggi. Di
sisi lain pekerjaan juga akhirnya akan menentukan sikap mental, yaitu karena
pekerjaan menjadi semacam soal rutinitas, dan orang-orang akan tergantung
dengan hal itu demi sebuah keberhasilan yang menentukan kekuatan sosial,
ekonomi bahkan sebuah tingkat yang bakal menentukan kekuasaan. Semua
ini akhirnya menentukan sikap mental dan pola pandang individu.
Pada kasusnya ada seorang yang bernama Ace dengan profesi sehari-
harinya sebagai pemulung. Sejak berumur lima tahun, Ace ikut ayahnya
memungut sampah. Mereka datang dari sebuah desa di Pandeglang, Banten,
demi sebuah mimpi kecil, yaitu hidup sejahtera meski dengan cara mengais
rezeki dari setumpukan sampah yang masih bisa didaur ulang kembali.11
Perjalanan Ace dan keluarganya untuk pergi merantau dari Pandeglang,
Banten menuju ke Jakarta seolah mengantarkan pada beberapa kesimpulan
yang dibuat oleh Phill. Astrid dan dapat kita ambil beberapa poin dari
kesimpulan itu. Phill. Astrid menyimpulkan sebagai proses sosial maka
masalah urbanisasi merupakan:
11
_____________ ,Tidak Seharusnya Mereka Di Jalan , dalam Harian Kompas, Jakarta, 10
April 2012.
68
1) Suatu masalah kesempatan kerja dan perkembangan baru.
2) Suatu gejala akibat pengaruh perkembangan bangsa atas kehidupan
sosial khususnya masyarakat yang belum dipengaruhinya.
3) Suatu gejala usaha modernisasi oleh manusia dengan memandang
kota sebagai pusat modernisasi.
4) Akibat dari perubahan kebudayaan lama yang di pengaruhi oleh
kebudayaan unsur-unsur baru.
5) Sebenarnya merupakan akibat pengaruh kota atas desa dengan
mengakibatkan suatu situasi sosial yang sukar untuk kota sendiri (=
urbanisasi = problema kota)
6) Adanya perubahan bentuk dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat.
7) Indikasi adanya kemajuan ekonomi.12
Pada prosesnya ketika seseorang telah mencapai apa yang dicari atau
dituju pada proses urbanisasi atau katakanlah merantau, orang itu cenderung
akan „gelap mata‟ dan pada tataran ini Mochtar Lubis dalam bukunya yang
berjudul Manusia Indonesia seolah-olah sedang mencibir watak masyarakat
Indonesia pada umumnya sebagai sebagai berikut:
Hari ini ciri manusia Indonesia ini adalah menjelma dalam
membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf,
singkatnya segala apa yang serba mahal. Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali terpaksa. Gejalanya hari ini adalah cara-cara banyak orang ingin
segera menjadi “miliuner seketika”, seperti orang Amerika membuat instant tea, atau dengan mudah mendapat gelar
sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari ke-dudukan berpangkat cepat bisa menjadi orang kaya.”13
Apa yang dipaparkan oleh Mochtar Lubis tidak terlepas dari bagaimana
pola yang dipakai untuk mengukur wilayah atau bahkan individu-individu
12
S. Susanto, op.cit., hal.174. 13
Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal.36.
69
yang belum maju dengan yang sudah maju, terkadang sepenuhnya dilihat dari
ukuran materi saja, bukan dari nilai-nilai yang muncul dari pembawaannya.
Hal yang seperti ini makin lama makin menimbulkan kesan yang salah,
seakan-akan sesuatu hal yang lebih kaya itu lebih maju dalam segala bidang,
dan kemudian menimbulkan rasa kurang pada wilayah-wilayah atau individu-
individu yang dikotak-kotakkan sebagai pihak yang terbelakang.
Pemaparan Mochtar Lubis mungkin bisa sedikit member penjelasan
tentang apa-apa yang mendorong subjek-lirik, si “Aku”, ketika sekembalinya
dari merantau dan mendapati dirinya sukses, ia seakan ingin menaikkan
kedudukannya dengan cara mengubah tatanan hidupnya yang pada awalnya
miskin dengan tatanan hidup yang baru, mungkin merujuk pada pola hidup
yang terpandang. Hal itu dapat dilihat dari petikan puisi berikut:
Sekian tahun kemudian aku pulang sebagai orang kaya. Aku bangun daerah baru di atas perkampungan lama. Hore, aku telah mengalahkan kemiskinan.
Aku tak butuh lagi masa depan.
Hal lain yang tampak pada bait puisi ini adalah bagaimana eksperesi
“Aku” ketika telah mengalahkan kemiskinan, kemudian mendapati dirinya
telah di puncak tertinggi dalam tatanan kehidupan sehingga merasa tak perlu
lagi memperdulikan tentang apa-apa yang akan terjadi di kehidupan sehari-
harinya atau pada jenjang kehidupannya nanti, yang kemudian digambarkan
oleh Joko Pinurbo sebagai “tak butuh lagi masa depan”. Hal yang seperti ini
boleh dikatakan sebagai “perasaan cepat puas”.
Dilansir dari situs berita online di www.merdeka.com pada tahun 2013,
yang memberitakan bahwa konglomerat Aburizal Bakrie aktif menjual aset-
aset perusahaannya kepada investor dalam maupun luar negeri, hal ini
disebabkan perusahan-perusahan milik Aburizal Bakrie yang terhimpun
dalam kelompok bisnis PT Bakrie & Brothers Tbk terlilit utang yang
jumlahnya sangat besar. Salah satu anak usahanya, Bakrie Life diduga pernah
70
pailit pada tahun 2008 sampai dengan angka Rp 360 miliar kepada nasabah
diamond investa, namun sampai dengan tahun 2013 setidaknya utang
perusahaan Bakrie Life kepada nasabah diperkirakan tersisa Rp 270 miliar.14
Utang-utang yang menggunung, yang menunggu untuk di lunasi oleh
kelompok bisnis PT Bakrie & Brothers Tbk pada akhirnya mempengaruhi
citra baik Aburizal Bakrie bukan saja di dalam negeri, namun sampai dengan
di luar negeri. Dari pemberitaan media internet di www.bisnis.liputan6.com,
melaporkan bahwa peringkat Aburizal Bakrie sebagai orang terkaya di Asia
selama tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 yang dikutip dari Forbes Asia
turun drastis. Semula, pada tahun 2009 Aburizal Bakrie ada di peringkat
keempat, tahun 2010 Aburizal Bakrie turun di peringkat kesepuluh, tahun
2011 Aburizal Bakrie kembali turun peringkat di urutan ketiga puluh, lalu
penurunan peringkat yang paling drastis adalah ketika di tahun 2012 dan
tahun 2013, Aburizal Bakrie berada di peringkat empat puluh terbawah orang
terkaya di RI.15
Mengenai bagaimana pasang-surut Aburizal Bakrie dalam menata usaha
bisnisnya merupakan salah satu contoh dari banyak kejadian yang ada dalam
ritual “merantau buat cari penghidupan” atau “merantau buat cari kekayaan”,
kira-kira seperti itulah bait berikut ini menggambarkannnya:
Kemudian aku jatuh miskin.
Hartaku amblas, harga diriku kandas. Kekayaanku tinggal hutang-hutangku.
Pada saat-saat “jatuh” bisa jadi merupakan sebuah awal perubahan bagi
seseorang, dan perubahan ini pula yang mengantarkan seseorang pada
14
Reporter: Novita Intan Sari, Utang abadi perusahaan Bakrie, di unggah pada tanggal 11
September 2013, pukul 07:35 WIB, (http://www.merdeka.com/uang/utang-abadi-perusahaan-
bakrie.html) 15
______________, 2 Tahun Sudah Aburizal Bakrie Tak Masuk Daftar Orang Kaya RI, di
unggah pada tanggal 21 November 2013, pukul 11:59 WIB, (http://www.merdeka.com/
uang/utang-abadi-perusahaan-bakrie.html)
71
semacam perubahan sosial yang cepat, sehingga “akan menimbulkan
perubahan nilai-nilai yang cepat. Perubahan yang cepat itu akan melahirkan
perbedaan sikap terhadap nilai-nilai yang ada.”16
Dalam keadaan ini, kiranya pendapat Mochtar Lubis patut
dipertimbangkan, ia berpendapat sebagai berikut:
Pada suatu hari, yang tidak lama lagi di masa depan, masyarakat kaya-kaya ini pun akan tiba pada jalan buntu
dan mereka akan dihadapkan dengan pilihan; mempertahankan tingkat hidup mewah mereka yang boros itu dengan segala daya upaya, juga dengan memaksakan
kemauan mereka pada negeri-negeri yang memiliki sumber-sumber bahan mentah yang mereka perlukan atau
mengubah gaya hidup mereka, menyesuaikan diri dan belajar hidup sederhana kembali.17
Pada puisi ini setidaknya kita telah melihat gambaran tentang bagaimana
seseorang yang berusaha memperbaiki kondisi hidupnya yang berada di
tataran bawah untuk naik ke permukaan dengan cara “merantau”. Namun
dalam “merantau” ini kita setidaknya dapat menilai bagaimana “merantau” itu
sendiri tidak hanya berdampak pada sisi materi, namun menyentuh pada sisi
yang lebih dalam lagi dalam kehidupan manusia, yaitu sisi moril.
Kita dapat melihat bagaimana ketika subjek-lirik telah pulang dari
“merantau” kemudian bergelimangan harta, akan tetapi menjadikan dirinya ke
dalam proses berpikir yang dangkal, semacam proses berpikir yang telah
dibutakan oleh materi atau hedonisme. Hingga suatu ketika obsesi dari subjek-
lirik terhadap hal-hal yang berupa kekayaan malah menenggelamkannya ke
keadaan miskin, ia belajar untuk tidak menyia-nyiakan apa yang telah terjadi
padanya dan agar semuanya menjadi pembelajaran untuk kehidupan di waktu
mendatang dan amanat yang dapat diambil dari keseluruhan puisi ini adalah
16
Ng.Philipus dan Nurul Aini, Sosiologi dan Politik , (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),
hal.34. 17
Lubis, op.cit., hal.67.
72
agar bagaimana kita sebagai manusia tidak dikalahkan oleh hal-hal yang
bersifat sementara, seperti harta dan tahta contohnya.
73
D. Fenomena Sosial dalam Puisi Bercukur Sebelum Tidur
Proses pengembangan industri di Indonesia yang ditempuh selama ini
merupakan strategi pembangunan yang menumpukan pertumbuhan ekonomi
sebagai fokus utamanya, hampir-hampir tanpa mempertimbangkan masalah
kelestarian lingkungan alam, akibat pengelolaan yang kurang arif
tersebutalam dan lingkungan yang akhirnya menjadi korban. Hal yang
demikian terjadi di kota Padang, ketika ratusan warga Kecamatan Bungus
Teluk Kabung kehilangan lahan perkebunan dan aliran sungai untuk
perariran sawah mereka, akibat pembangunan jalan. Ribuan tanaman
ekonomis seperti karet, durian, cokelat, dan padi hancur akibat tertimbun
material kayu dan longsoran material bukit sebab adanya proyek pembukaan
jalan.18
Beragam bencana alam menjadi pemandangan yang sering dijumpai,
misalnya saja bencana „lumpur panas‟ di Sidoarjo, Jawa Timur yang di
akibatkan penggalian pipa pertambangan yang terlalu dalam oleh PT Minarak
Lapindo, ini mencerminkan bahwa adanya pengelolaan sumber daya alam
yang kurang arif sehingga mengakibatkan ratusan hektar tenggelam, tak
terkecuali industri itu sendiri. Alih-alih ingin mendapatkan hasil yang lebih
baik, PT Minarak Lapindo malah terpaksa mengganti rugi kepada semua
pihak yang menjadi korban „umpur panas‟ sebanyak tiga koma delapan
triliun rupiah.19Hal ini yang coba digambarkan dalam penggalan puisi
berikut;
membilang hari-hari yang hancur membuang mimpi-mimpi yang gugur
Alam sebenarnya memiliki kehendak atas kehidupan manusia serta
makhluk hidup lainnya, yang artinya alam dan lingkungan sekitar kita
memiliki sifat menentukan kehidupan semua makhluk hidup, hal ini senada
18
_____________ ,Tanaman Dikorbankan, dalam Harian Kompas, Jakarta,10 April 2012. 19
Zulfi Suhendra, Lapindo Masih „Gantung‟ Kerugian Korban Lunpur Rp 900 Miliar,
diunggah pada tanggal 17 Maret 2012, pukul 21:05 WIB (http://m.detik.com/
finance/read/2012/04/17/205902/1894818/4/)
74
dengan Dwi Susilo yang beranggapan; “Dalam tahapan hubungan manusia
dengan lingkungan, ditunjukkan bahwa seluruh aspek budaya, prilaku bahkan
“nasib” manusia di pengaruhi, ditentukan, dan tunduk pada lingkungan.”20
Sementar dampak dari perkembangan industri begitu melesat dan jelas
sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat di sekitarnya, misalkan hasil
data yang di peroleh Hedisutomo, bahwa sekitar 70.000 hektar lahan sawah,
termasuk sawah tadah hujan, di Jawa pada periode 1980-1990 beralih fungsi
menjadi lahan industri.21 Sementara FWI (Forest Watch Indonesia)
mengatakan bahwa setidaknya hutan di provinsi Kalimantan hilang sebesar
dua juta hektar pada priode 2000-2009, yang menurut kajian organisasi
Telapak hal itu disebabkan adanya penggundulan hutan gambut di
Kalimantan oleh perkebunan kelapa sawit.22
Salah satu penyebab kerusakan alam adalah karena faktor tangan manusia
sendiri, sekalipun manusia telah berhasil mengembangkan teknologi yang
mampu memanipulasi alam dan karenanya menganggap mampu mengatasi
gejala-gejala alam yang terjadi. Namun pada kondisi tertentu, manusia pasti
akan mengalami sebuah fenomena alam yang mereka sendiri tidak berdaya
dalam menghadapi „keperkasaan‟ alam tersebut. Ini tergambar pada petikan
puisi sebagai berikut:
Lalu datang musim dalam curah angin menumpahkan air keseluruh dataran, ke gunung-gunung murung
dan lembah-lembah lelah di saentero badan.
Jantungku meluap, penuh.
Dalam beberapa kasus, terdapat sebuah penjelasan bahwa sebagian
pandangan manusia didominasi oleh lingkungannya, hal ini sebenarnya lebih
20
Rahmad .K. Dwi Susilo, Sosiologi Lingkungan, (Jakarta: Raja Garfindo Persada, 2008), hal.30. 21
Syamsir Salam dan Amir Fadhilah, Sosiologi Pembangunan: Pengantar Studi
Pembangunan Lintas Sektoral, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), hal.58 22
_____________ , Rencana Tata Ruang Kalimantan Di Pertanyakan , dalam Harian Kompas,
Jakarta, 12 Maret 2012.
75
merujuk pada penjelasan di paragraf sebelumnya yang beranggapan bahwa
kehidupan manusia sangat bergantung dengan alam, begitu pun sebaliknya,
sehingga terjalinlah semacam hubungan simbiosis mutualisme, yaitu saling
menguntungkan atau terlebih menjaga satu sama lain. Oleh sebab itu, ketika
muncul pihak lain yang merusak kekayaan alam, niscaya ada pihak lain yang
akan dirugikan baik secara moril maupun dari segi materil.
Contoh kasus yang terjadi yang di akibatkan ulah tangan-tangan manusia
sehingga merugikan manusia-manusia lainnya diantaranya ketika sebuah
perusahaan tambang batu bara di kota Jambi dituding sebagai penyebab
banjir bandang yang melanda perkampungan warga setempat. Hal itu
disinyalir sebab adanya pembuatan tanggul-tanggul di pinggiran sungai serta
penutupan daerah resapan sungai yang berupa rawa-rawa. Selain
menimbulkan banjir bandang, aktifitas pengerukan batu bara di tengah sungai
Sekalo mengakibatkan terkontaminasinya air sungai dengan material batu
bara.23
Dari hal di atas kitadapat menilai bahwa ketika banjir terjadi, ada
penduduk asli yang merasa dirugikan akibat adanya proyek industri yang ada,
hal seperti itu seolah ingin digambarkan pada puisi ini dalam larik ketiga
belas sampai dengan keempat belas, yaitu sebagai berikut:
Sungai menggelontor, hujan menggerejai di sektor-sektor irigasi di agrodarahku.
Saat ini kasus-kasus konfik perebutan tanah terkait pengelolaan kawasan
hutan terus menjadi persoalaan. Banyak masyarakat yang menggugat
pemerintah atau pihak perusahaan karena merasa tanahnya di serobot,
diantaranyakasus Pulau Padang, Kepulauan Meranti, Riau dan konflik antara
masyarakat suku Dayak Benuaq di Muara Tae dengan perusahaan kelapa
sawit PT. Munte Waniq Jaya Perkasa yang sempat memanas di tahun 2012.
23
_____________ ,Pengusaha Batu Bara Bantah Picu Banjir , dalam Harian Kompas,
Jakarta,11 April 2012.
76
Kasus Pulau Padang yaitu ketika para warganya menuntut kepada Menteri
Kehutanan merevisi Surat Keputusan Nomor 327/2009 yang member izin PT.
RAPP mengelola HTI (Hutan Tanaman Industri) di lima kabupaten, sebab
izin untuk membuka pertambangan yang diberikan kepada PT. RAPP
mencapai empat puluh satu ribu dua ratus lima hektar yang berarti hampir
mencapai setengah luas pulau, yaitu seratus sepuluh ribu hektar.Sementara
Pulau Palu sebagai pulau kecil yang memiliki luas kurang dari dua ratus ribu
hektar, pengelolaannya harusnya sesuai dengan Undang-undang nomor
27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus
dilakukan secara hati-hati dan ekstraktif. Apalagi, Pulau Padang adalah hutan
gambut berkedalaman tiga sampai dengan dua belas meter yang wajib di
lindungi.24
Konflik yang terjadi antara masyarakat suku Dayak Benuaq di Muara Tae
dengan perusahaan kelapa sawit PT. Munte Waniq Jaya Perkasa disebabkan
kebun karet Asuy yang dianggap sebagai tanah adat Muara Tae terkena
pembukaan lahan atau land clearing. Hutan adat milik masyarakat Dayak
Muara Tae, seluas enam ratus lima puluh delapan hektar kini di kuasai oleh
pihak PT. Munte Waniq Jaya Perkasa, sementara masyarakat Dayak Muara
Tae dilanda kegelisahan, sebab hutan adat yang dijadikan sandaran
kehidupan olehmereka kini dirambah.25 Hal ini sangat jelas tergambar pada
petikan puisi berikut:
Malam penuh traktor, petani mencangkul di hektar-hektar dagingku. Tubuhku hutan yang dikemas
menjadi kawasan mega industri.
Fenomena sosial yang tergambarkan di paragraf sebelumnya menegaskan
bahwa pada praktik pembangunan masyarakat asli yang mendiami kawasan
tersebut tidak dilibatkan. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang
24
_____________ ,Jahit Mulut Pun Tak Mempan , dalam Harian Kompas, Jakarta,25 Januari
2012. 25
_____________ ,Masa Depan Masyarakat Adat Pun Terancam , dalam Harian Kompas,
Jakarta, 1 Maret 2012.
77
dijelaskan Tjondronegoro yang berpendapat bahwa dalam praktik
pembangunan berencana, terdapat semacam pendekatan sentralistik (top
down approach) yang menempatkan masyarakat pedesaan sebagai sasaran.
Dalam konteks ini mereka beranggapan bahwa masyarakat pedesaan yang
merupakan bagian dari hak masyarakat untuk mengetahui dan berperan serta
dalam pengelolaan pembangunan.26
Pada kasus yang menimpa masyarakat Pulau Padang terasa lebih tragis
ketika mereka mengetahui reaksi tindakan dari pemerintah yang amat lamban
dalam menangani hal ini bahkan cenderung acuh, hingga puncaknya ketika
delapan orang warga Pulau Padang yang telah menginap hampir lima puluh
hari di depan gedung MPR/DPR/DPD rela menjahit mulut mereka, dan
esoknya tindakan yang sama disusul oleh sepuluh rekan mereka. Hal ini
dilakukan sebagai ungkapan rasa kecewa terhadap reaksi pemerintah yang
tak bergeming atas apa yang terjadi padahal bagi mereka pemerintah
dianggap sebagai pembela keadilan yang masih bisa mereka harapkan dalam
menyelesaikan masalah tersebut, dan pada bait terakhir dalam puisi ini
seolah-olah dapat menggambarkan bagaimana kondisi kejiwaan masyarakat
Pulau Palu tersebut;
Tubuhku negeri yang belum diberi nama. Dan kuberi saja nama dengan sebuah ngilu
Padahal Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan sempat mengingatkan untuk
para kepala daerah agar memprioritaskan keterlibatan rakyat dalam
pemanfaatan kawasan hutan. Ia menegaskan bahwa penerbitan izin usaha di
kawasan hutan harus mempertimbangkan dampak bagi ekonomi masyarakat
dan ekologi tanpa melanggar prosedur.27
Berkaitan dengan dialektika antara lingkungan dengan manusia, puisi ini
seolah mengilustrasikan kisah menarik tentang keputusan Mahkamah
Konstitusi pada tanggal dua puluh satu februari tahun dua ribu dua belas,
26
Salam dan Fadhilah, op.cit., hal.64. 27
_____________ ,Pemanfaatan Kawasan Hutan Harus Memihak Rakyat , dalam Harian
Kompas, Jakarta, 20 Maret 2012.
78
yang menghilangkan frase “yang ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam
definisi kawasan hutan. Akibatnya, semua kawasanhutan yang di tunjuk dan
atau di tetapkan setelah UU Nomor 41/1999 sampai 22 Februari 2012 tetap
sah dan memiliki ketetapan hukum mengikat, akan tetapi pengukuhan
kawasan hutannya haruslah di percepat.28
Pada hakikatnya, pengesahan dan penetapan hukum atas suatu daerah
tidaklah cukup, apalagi melihat kondisi daerah-daerah yang terpinggirkan
dari wilayah-wilayah perkotaan.Dibutuhkan perhatian khusus dalam
pembangunan di bidang infrastruktur untuk mendorong pembangunan di
sektor kemanusiaannya juga.Misalnya saja pada kasus produksi kelapa sawit
yang semula berpusat di kawasan Sumatra.Seperti kita tahu, kawasan
Sumatra di beberapa daerah banyak yang belum mendapat perhatian dari
pemerintah di bidang infrasturkturnya, hal ini berpengaruh pada laju
pertumbuhan penduduk yang lebih berkembang di pusat perkotaan
dibandingkan wilayah yang terpinggirkan. Akhirnya aktifitas di wilayah yang
terpinggirkan tersebut pun terbengkalai, dan dalam situasi itu masyarakat dan
pemerintah kita tak bisa berbuat banyak sementara di sisi lain banyak
investor yang melihat itu sebagai wilayah yang bisa dikembangkan.
Apa yang di jelaskan oleh Sekretaris Gabungan Usaha Kelapa Sawit
Indonesia, Joko Supriyono makin menegaskan hal itu, ia menjelaskan
bagaimana daerah di kawasan Kalimantan, Sulawesi, Papua, hingga Flores
dinilai cocok untuk komoditas perkebunan kelapa sawit. Lahan di kawasan
tersebut menurutnya masih luas.29 Namun pada paragraf-paragraf
sebelumnya kita tentunya telah tau bagaimana akhinya ketika produksi
kelapa sawit benar-benar terjadi di wilayah pinggiran yang akhirnya
menimbulakn rawan konflik antara penduduk setempat, pihak investor serta
pemerintah, dan hal itu ternyata bisa kita rasakan lewat petikan puisi ini di
larik keduapuluh satu, sebagai berikut:
28
_____________ ,Selesaikan Hak Masyarakat Adat, dalam Harian Kompas, Jakarta,21 Maret
2012. 29
_____________ ,Kawasan Timur Diincar, dalam Harian Kompas, Jakarta,11 April 2012.
79
Tubuhku ibu kota kesunyian yang di buru investor Dari berbagai penjuru. Tubuhku daerah lama yang di temukan kembali,
daerah baru yang terberkati. Lalu tubuhku bukan siapa-siapa lagi.
Kesimpulannya, meski sektor pertambangan menjadi penopang
pendapatan negara, kita perlu belajar dari pengalaman negara-negara lain.
Bisa mengundang investor dan menghasilkan uang bukan tanda negara kita
berhasil mengelola sumber daya alam.Adalah hal yang percuma jika kita
memperhatikan kemajuan sebuah produksi pertambangan dengan harapan
membuktikan sumberdaya alam kita berlimpah namun tidak memikirkan
dampak pada masyarakat setempat dan efek yang ditimbulkan selanjutnya
pada lingkungan dan alam itu sendiri.
80
E. Implikasi Puisi Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, puisi merupakan bagian dari
materi ajar bahasa dan sastra Indonesia yang tercantum dalam (GBPP)
Garis-garis Besar Program Pengajaran di SMA. Oleh sebab itu, materi ajar
ini harus disuguhkan sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai, yaitu
siswa mampu memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik dari sebuah puisi.
Salah satu upaya dalam mencapai tujuan pengajaran sastra yaitu,
pengetahuan sastra yang diajarkan kepada siswa hendaknya berangkat dari
suatu penghayatan atas suatu karya sastra yang kongkrit. Hal ini
dimaksudkan agar pengalaman sastra yang diajarkan pada siswa melekat dan
berakar kuat. Namun, hal yang paling penting menurut Rahmanto adalah
agar para pengajar tidak terlalu terburu-buru dalam membebani para siswa
dengan istilah-istilah teknis dan gaya bahasa yang kompleks.30 Dalam
beberapa hal, puisi memang merupakan bahasa dan yang padat dan penuh
arti, jadi apabila bahasa dan pokok persoalan puisi itu mempunyai
keselarasan, niscaya siswa akan merasa dirinya menghadapi sesuatu yang
mengesankan dan memerlukan perhatian khusus dalam praktek
pembelajaran bahasa dan sastra.
Bagi siswa, puisi yang demikian itu tidak akan mudah dilupakan dan
sangat berguna pada dirinya sebagai latihan mengkpresikan diri.
Keuntungan lebih lanjutnya adalah ketika puisi dapat membantu pembinaan
seni berbahasa untuk siswa, mengingat puisi disusun berdasarkan referensi
diksi dan gaya bahasa yang bervariasi, misalnya seperti yang di ungkapkan
oleh Yus Rusyana sebagai berikut:
Hasil sastra itu bukan saja berfungsi sebagai perekam
keadaan bahasa pada masa yang lalu, tetapi juga sebagai perekam keadaan bahasa pada masa sekarang, dan dalam sastra itu bahasa masa kini disimpan untuk keperluan masa
datang.
30
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1988), hal.48.
81
Dalam hubungan pengawetan bahasa itu sastra juga telah banyak memberikan bahan-bahannya untuk kepentingan leksikografi.31
Namun demikian, pada kenyataannya kegiatan mengapresiasikan
sebuah puisi dalam materi ajar jarang sekali dilakukan. Hal ini disebabkan
ruang dan waktu yang tersedia dalam kurikulum untuk mengarahkan siswa
ke arah tersebut amat terbatas. Mengacu pada alasan itulah, sebagian guru
tidak mengarahkan secara optimal peserta didik untuk menggali kemampuan
mereka dalam kegiatan mengapresiasikan sebuah puisi. Hal yang demikian
sangat bertolak belakang dengan apa yang dikemukakan oleh Rusyana,
bahwa guru sastra dituntut pula agar mempunyai semangat sehubungan
dengan pengajarannya, terlebih mempunyai kecintaan pribadi terhadap
sastra dan meyakini bahwa pengajaran sastra bermanfaat bagi muridnya.32
Padahal dalam praktiknya, proses berpuisi terdapat hal-hal yang
menyenangkan bagi peserta didik, karena dalam prosesnya, mereka dapat
berekspresi dengan bebas tanpa sekat yang membatasi ruang ekspresi
mereka, sehingga hal ini dapat memupuk rasa percaya diri bagi diri mereka.
Dengan kepercayaan diri, maka mereka dengan senang hati mengeksplor
segala kreativitasnya dan selalu ingin mengapresiasikan serta mencipta
puisi-puisi yang lebih baru lagi.
Mempelajari puisi, artinya kita belajar mengenal dan memahami satu
sama lain, karena dalam puisi terdapat semacam komunikasi antara
pengarang dan pembacanya. Konsekuensinya adalah bagaimana satu sama
lain saling memahami, dan dalam proses saling memahami inilah terdapat
sebuah dialektika yang panjang. Sebab dalam pembelajaran sastra peserta
didik tidak hanya sebatas mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan juga
menyatakan sikap terhadap nilai-nilai.33 Dalam dialektika tersebut kita dapat
mengenal kekurangan dan kelebihan orang yang di dalamnya, di mana
31
Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan , (Bandung,: C.V.
Diponegoro, 1984), hal.305. 32
Ibid, hal.332 33
Ibid
82
mengenal kekurangan kelebihan itu menjadi modal dasar untuk masuk ke
dalam wilayah penciptaan.
Artinya proses dalam sebuah puisi memberikan ruang seadanya untuk
mereka bersikap jujur terhadap diri sendiri karena alasan di atas, puisi
merupakan proses dialektika antara pembaca dengan pengarangnya yang
mengantarakan pada sebuah perenungan. Ini yang menjadi pijakan dasar
bagaimana peserta didik harus memproses dirinya secara optimal. Peserta
didik tak lagi memandang bahwa puisi hanya sebatas tulisan yang berisiskan
untaian kata-kata yang indah-indah atau lugas-lugas saja, mereka akan
mengerti bahwa puisi seperti ruang belajar untuk bersikap penuh kejujuran,
penghargaan, dan kerendahan hati, agar yang dihadirkan itu bersifat apa
adanya. Puisi sebagai karya sastra adalah sesuatu yang dapat menyentuh,
karena ia berada di wilayah rohani, yaitu sesuatu yang sakral, bersih, tidak
ada tendensi, pretensi, dan tidak ada niatan buruk.
Di dalam puisi terdapat semacam bentuk komunikasi secara artistik
yang dapat menciptakan kembali situasi kemanusiaan dan hubungan
kemanusiaan. Ini dimaksudkan untuk menanamkan kesadaran pada peserta
didik, bahwa puisi memiliki fungsi yang esensial dalam pembinaan proses
pemanusiaan insan-insan modern yang selalu dilanda oleh konflik-konflik
yang tak terselesaikan. Kebiasaan-kebiasaan itu dihadirkan dalam puisi
lewat media bahasa dalam proses penginternalisasian peranan-peranan sosial
setiap individu di dalam masyarakat. Maka dari itu, proses yang dilakukan
peserta didik dalam mempelajari puisi sudah tertanam dalam diri sehingga
hanya memperkuat dan memperdalam peran yang dimainkan.
83
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap dua puisi karya
Joko Pinurbo, yaitu Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur, maka dapat diambil
beberapa simpulan, yaitu:
1. Secara bentuk, puisi Pesan Uang terdiri dari empat bait dan lima belas baris.
Gaya bahasa yang digunakan Joko Pinurbo dalam puisi ini cenderung naratif
dan banyak dijumpai larik- larik yang mengandung diksi-diksi yang paradoks.
Bait pertama, dimulai dari larik pertama sampai dengan larik ketiga yang
mengacu pada penegasan eksistensi aku- lirik pada puisi ini atau yang disebut
dengan subjek- lirik. Secara singkat, dapat dikatakan tema pada puisi ini
adalah; perjalanan seseorang mencari kekayaan, dan amanat yang dapat
diambil dari keseluruhan puisi ini adalah agar bagaimana kita sebagai
manusia tidak dikalahkan oleh hal-hal yang bersifat sementara, seperti harta
dan tahta contohnya. Nilai yang terkandung dalam puisi ini meliputi nilai
keberanian, sehingga muncul nilai kemandirian dan juga nilai kesederhanaan.
Sedangkan dalam puisi yang berjudul Bercukur Sebelum Tidur secara
bentuk, terdiri atas 28 larik dari 2 bait. Penyair menggunakan tubuh sebagai
metafor sebuah fenomena alam, di sinilah penyair sebetulnya ingin
menggambarkan mengenai laju perkembangan industri yang maju namun
demikian kurang memperhatikan kelestarian lingkungan alam sekitar.
Amanat yang dapat diambil dari puisi ini adalah, ketika bisa mengundang
investor dan menghasilkan uang bukan tanda negara kita berhasil mengelola
sumber daya alam. Adalah hal yang percuma jika kita memperhatikan
84
kemajuan sebuah produksi pertambangan untuk membuktikan sumberdaya
alam kita belimpah namun tidak memikirkan dampak yang di timbulkan
selanjutnya pada alam itu sendiri.
2. Pada puisi yang berjudul Pesan Uang terdapat gambaran tentang bagaimana
seseorang yang berusaha memperbaiki kondisi hidupnya yang berada di
tataran bawah untuk naik ke permukaan dengan cara “merantau”, yang
kemudian tidak hanya berdampak pada sisi materi, namun menyentuh pada
sisi yang lebih dalam lagi dalam kehidupan manusia, yaitu sisi moril.
Sedangkan dalam puisi yang berjudul Bercukur Sebelum Tidur terdapat
semacam gambaran mengenai laju perkembangan industri yang maju namun
demikian kurang memperhatikan kelestarian lingkungan alam sekitar
sehingga pada suatu saat terjadi bencana alam yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat sekitar.
3. Implikasi dari dua puisi Joko Pinurbo, yaitu Pesan Uang dan Bercukur
Sebelum Tidur, dalam pembelajaran diharapkan nantinya dapat berpengaruh
terhadap para peserta didik dalam memahami bahwa di dalam puisi terdapat
semacam bentuk komunikasi secara artistik yang dapat menciptakan kembali
situasi kemanusiaan dan hubungan kemanusiaan. Ini dimaksudkan untuk
menanamkan kesadaran pada peserta didik, bahwa puisi memiliki fungsi
yang esensial dalam pembinaan proses pemanusiaan insan- insan modern
yang selalu dilanda oleh konflik-konflik yang tak terselesaikan. Kebiasaan-
kebiasaan itu dihadirkan dalam puisi lewat media bahasa dalam proses
penginternalisasian peranan-peranan sosial setiap individu di dalam
masyarakat. Maka dari itu, proses yang dilakukan peserta didik dalam
mempelajari puisi sudah tertanam dalam diri sehingga hanya memperkuat
dan memperdalam peran yang dimainkan.
85
B. Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan melalui penelitian ini berdasarkan
analisis dan implikasi adalah sebagai berikut:
1. Guru dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sudah semestinya
meningkatkan minat baca peserta didiknya terhadap karya sastra yang
bermutu dan memberi tugas kepada peserta didiknya untuk membaca dan
membandingkan fenomena-fenomena yang terdapat dalam karya sastra
yang dibacanya dengan fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan
nyata.
2. Selain nilai moral guru dalam pelajaran sastra dituntut untuk dapat
menuntun peserta didiknya agar menangkap fenomena-fenomena sosial
seperti apa saja yang terekam dalam karya sastra, dan diharapkan puisi-
puisi karya Joko Pinurbo bisa dijadikan sebagai bahan ajar dalam
pembelajaran Bahasa dan Sasrtra Indonesia di sekolah-sekolah.
3. Selain guru, orang tua juga sudah selayaknya meningkatkan minat baca
anaknya terhadap karya sastra yang bermutu dan memberikan pengarahan
yang baik untuk pembentukan karakter si anak.
4. Dan yang terakhir, sebagai intelektual yang bergerak di bidang sastra dan
juga calon pendidik, agar dapat memahami dan mampu meneliti dengan
baik karya sastra melalui tinjauan sosiologi sastra dan juga ketika
mengajarkan peserta didiknya di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
AG, Linus Suryadi. Dibalik Sejumlah Nama: Sebuah Tinjauan Puisi-puisi
____Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1989.
Ajidarma, Seno Gumira. Trilogi Insiden. Yogyakarta: Penerbit Bentang Pustaka.
____2010.
Alisjahbana, S. Takdir. Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Jakarta: PT. Dian
____Rakjat. 1978.
__________________. Seni dan Satera di Tengah-tengah Pergolakan
____Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: PT. Dian Rakyat. 1985.
Amini, Hasif. Pembedaan Karya Akan Mengerdilkan Kesusastraan Indonesia.
____http://oase.kompas.com/read/2009/07/10/23345557//pembedaan.karya.akan.
____mengerdilkan.kesusastraan.indonesia (diakses Jumat, 10 Juli 2009, Pukul
____23:34 WIB)
Amini, Hasif. Prosa. Harian Kompas. Minggu, 6 Juni 2010.
Arcana, Putu Fajar dkk. Jokpin, Tamasya Rohani Dalam Puisi. Harian Kompas.
____22 Januari 2012.
Bachri, Sutardji Calzoum. Isyarat: Kumpulan Esai. Yogyakarta: Indonesia Tera.
____2007.
Bachtiar, Wardi. Sosiologi Klasik. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. 2006.
Beaty, Jerome et.al. The Norton Introduction to Literature: Shorter Eighth
____Edition. United States of America: W. W. Norton & Company, Inc.. 2002.
Bertens, K.. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Anggota
____IKAPI. 1999.
Budianta, Eka. Senyum Untuk Calon Penulis. Jakarta: Pustaka Alvabet, Anggota
____IKAPI. 2005.
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas. Jakarta:
____Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
____Kebudayaan. 1978.
Darma, Budi. Bahasa, Sastra dan Budi Darma. Surabaya: JP Books. 2007.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
____Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
____Hidayatullah Jakarta. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: UIN Press. 2013.
Eastman, Arthur M. (ed), et.al. The Norton Reader: Sixth Edition Shorter. United
____States of America: W. W. Norton & Company, Inc.. 1984.
Endaswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
____Widyatama. 2004.
Erneste, Pamusuk (ed.). Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya
____Mengarang (Jilid 3). Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer. 2009.
Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008.
Esten, Mursal. Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung: Angkasa. 2013.
Kenner, Hugh (ed). Twentieth Century Views. T .S.Eliot: A Collection of Critical
____Essays, United States of America: Prentice-Hall, Inc. 1962.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
____2001.
Kleden, Ignas. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan
____Budaya, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. 2004.
Liu, Hong dkk. Pram dan Cina, Depok: Komunitas Bambu. 2008.
Lubis, Mochtar. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008.
Mohammad, Goenawan. Catatan Pingggir 6. Jakarta: Pusat Data Tempo, 2006.
__________________. Di Sekitar Sajak. Jakarta: PT Tempint. 2011.
__________________. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: PT Pustaka
____Firdaus. 1993.
__________________. Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai. Jakarta: Penerbit
____Kata Kita. 2008.
Najib, Emha Ainun. Terus Mencoba Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka
____Pelajar. 1995.
Nainggolan, Alex R.. Diksi Genit Joko Pinurbo. Harian Suara Merdeka 05
____Desember 2004.
Noor, Acep Zamzam. Puisi dan Bulu Kuduk: Perihal Apresiasi dan Kreatif .
____Bandung: Penerbit Nuansa. 2011.
Philipus, Ng. dkk. Sosiologi dan Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.
Pinurbo, Joko. Celana. Magelang: Indonesia Tera. 1999.
____________. Kepada Kekasihku. Harian Tempo. 30 Oktober 2005.
Rahmanto, B.. Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Penerbit Kanisisus. 1988.
Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
____2009.
__________________. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan
____Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.
__________________. Teori, Metode, dan Tekhnik Penelitian Sastra.
____Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Rusyana, Yus. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV.
____Diponegoro. 1984.
Salam, Syamsir. Sosiologi Pembangunan: Pengantar Studi Pembangunan Lintas
____Sektoral. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta. 2009.
Sari, Novita Intan. Utang abadi perusahaan Bakrie,
____http://www.merdeka.com/uang/utang-abadi-perusahaan-bakrie.html (diakses
____pada tanggal 11 September 2013, pukul 07:35 WIB).
Sastrowardoyo, Subagio, Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan.
____Jakarta: Balai Pustaka. 1989.
Siswanto, Wahyudi, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo. 2008.
Siswantoro, Metode Penelitian Sastra, Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta:
____Pustaka Pelajar. 2010.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi; Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo
____Persada, 2005.
Soemargono, Soejono, Pengantar Filsafat. Jakarta: Penerbit Tiara Wacana
____Yogya. 2004.
Sumardjo, Jakob, Memahami Kesusastraan. Bandung: Penerbit Alumni. 1984.
Suhendra, Zulfi, Lapindo Masih ‘Gantung’ Kerugian Korban Lunpur Rp 900
____Miliar. http://m.detik.com/finance/read/2012/04/17/205902/1894818/4/
____(diakses pada tanggal 17 Maret 2012, pukul 21:05 WIB).
Susanto, Astrid S., Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta:
____Binacipta. 1997.
Susilo, Rahmad K. Dwi. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Raja Garfindo Persada.
____2008.
Teeuw, A., Sastra dan Ilmu Sastra, Jakarta: Pustaka Jaya. 1984.
Waluyo, Herman J., Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Penerbit Erlangga 1995.
Whitman, Walt, Complete Poetry and Collected Prose, New York: Literary
____Classic of The United States, Inc.. 1982.
Wellek, Rene & Warren, Austin, Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
____1989.
Zaimar, Okke Kusuma Sumantri, Joko Pinurbo: Penyair Muda yang Penuh
____Potensi. Makalah disajikan dalam seminar “Gelar Sastra Dunia”, FIB-UI,
____19-20 Juli 2005.
______________. 2 Tahun Sudah Aburizal Bakrie Tak Masuk Daftar Orang Kaya
____RI. http://www.merdeka.com/uang/utang-abadi-perusahaan-bakrie.html
____(diakses pada tanggal 21 November 2013, pukul 11:59 WIB)
_____________. Jahit Mulut Pun Tak Mempan. Harian Kompas. Jakarta, 25
____Januari 2012.
_____________. Kawasan Timur Diincar. Harian Kompas. Jakarta, 11 April
____2012.
_____________. Masa Depan Masyarakat Adat Pun Terancam. Harian Kompas.
____Jakarta, 1 Maret 2012.
_____________. Pemanfaatan Kawasan Hutan Harus Memihak Rakyat . Harian
____Kompas. Jakarta, 20 Maret 2012.
_____________. Pengusaha Batu Bara Bantah Picu Banjir. Harian Kompas,
____Jakarta, 11 April 2012.
_____________. Rencana Tata Ruang Kalimantan Di Pertanyakan, Harian
____Kompas. Jakarta, 12 Maret 2012.
_____________. Selesaikan Hak Masyarakat Adat. Harian Kompas, Jakarta,
____21 Maret 2012.
_____________. Tanaman Dikorbankan. Harian Kompas. Jakarta,10 April 2012.
_____________. Tidak Seharusnya Mereka Di Jalan. Harian Kompas. Jakarta,
____10 April 2012.
LAMPIRAN
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Sekolah : SMA Negeri 16 Palmerah
Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas / Semester : X (Sepuluh) / 2 (dua)
Standar Kompetensi : 14. Menghayati puisi dan me ngungkapkan pendapat
siswa terhadap puisi yang dihayatinya melalui
diskusi
Kompetensi Dasar : 14.1 Siswa mampu memahami unsur intrinsik dan
ekstrinsik dari sebuah puisi.
14.2 Menghubungkan isi puisi dengan realitas alam,
sosial budaya dan masyarakat melalui diskusi
Indikator : 1. Memahami hubungan isi puisi dengan realitas
alam, hubungan isi puisi dengan sosial budaya,
hubungan isi puisi dengan masyarakat.
2. Mengidentifikasi (hubungan isi puisi dengan
realitas alam, hubungan isi puisi dengan sosial
budaya, hubungan isi puisi dengan masyarakat).
3. Mendiskusikan dan mengungkapkan hubungan
isi puisi dengan realitas alam, hubungan isi puisi
dengan sosial budaya, hubungan isi puisi dengan
masyarakat.
Alokasi Waktu : 4 x 45 menit
1. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Aspek Kognitif
Setelah kegiatan pembelajaran ini diharapkan siswa dapat :
Memahami hubungan isi puisi dengan realitas alam, hubungan isi
puisi dengan sosial budaya, hubungan isi puisi dengan masyarakat
dengan jelas.
B. Aspek Afektif
Setelah kegiatan pembelajaran ini diharapkan siswa dapat :
Menghargai pendapat dan hasil karya teman dengan memberikan
saran perbaikan.
C. Aspek Psikomotorik
Setelah kegiatan pembelajaran ini diharapkan siswa dapat :
1. Mengidentifikasi (hubungan isi puisi dengan realitas alam,
hubungan isi puisi dengan sosial budaya, hubungan isi puisi
dengan masyarakat) secara tepat.
2. Mendiskusikan dan mengungkapkan hubungan isi puisi dengan
realitas alam, hubungan isi puisi dengan sosial budaya, hubungan
isi puisi dengan masyarakat dengan jelas.
2. MATERI PEMBELAJARAN (TERLAMPIR)
1. Puisi
2. Hubungan isi puisi dengan realitas alam
3. Hubungan isi puisi dengan sosial budaya
4. Hubungan isi puisi dengan masyarakat
3. PENDEKATAN PEMBELAJARAN
Pendekatan Kooperatif
4. METODE PEMBELAJARAN
Tanya jawab
Diskusi
Demonstrasi
5. MODEL PEMBELAJARAN
Model Pembelajaran Dua Tinggal Dua Tamu
6. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN:
Pertemuan I (1 x 45 Menit)
No. Kegiatan Pembelajaran Alokasi
Waktu
A. Kegiatan Awal 1. Apersepsi
a. Guru membuka pelajaran dengan salam dan presensi kehadiran siswa.
b. Guru mengulas kembali pelajaran yang telah dilakukan pada pertemuan sebelumnya dengan bertanya jawab kepada siswa.
c. Menyampaikan pokok materi pelajaran yang akan dilaksanakan
2. Motivasi Guru menyampaikan kepada siswa tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dan memberikan penanaman sikap dan motivasi terhadap pembelajaran yang akan dilaksanakan.
5 Menit
5 Menit
B. Kegiatan Inti
1. Eksplorasi a. Guru menggali pengetahuan siswa mengenai
materi puisi melalui berbagai sumber. b. Guru menggiring pemikiran siswa ke materi
dengan menampilkan slide puisi “Bercukur sebelum tidur” (Joko Pinurbo) dan siswa memberikan tanggapan terhadap puisi tersebut.
2. Elaborasi a. Guru membimbing dan membagi kelas menjadi 4
kelompok diskusi. Setiap kelompok menyiapkan dua anggotanya untuk menjadi “tamu” yang nantinya akan ditugaskan untuk berkunjung ke kelompok lain.
b. Guru membagikan lembar materi kepada setiap kelompok yaitu:
10 Menit
50 Menit
Kelompok 1 = pengertian puisi
Kelompok 2 = hubungan isi puisi dengan realitas alam
Kelompok 3 = hubungan isi puisi dengan sosial budaya
Kelompok 4 = hubungan isi puisi dengan masyarakat.
c. Dua Siswa yang ditugasi menjadi tamu tiap kelompok, berkunjung ke kelompok lainnya dengan prosedur harus menggunakan salam dan yel-yel sebagai ciri khas kelompoknya.
d. Setelah selesai, dua tamu tersebut kembali ke kelompoknnya dan menjelaskan ke anggota lain mengenai materi yang dibahas kelompok yang telah dikunjungi tadi.
e. Setiap kelompok mewakilkan dua anggotanya untuk mengungkapkan hasil diskusinya di depan kelas, yaitu hasil diskusi materi kelompoknya dan siswa yang satunya mengenai materi dari kelompok yang dikunjungi. Presentasi diawali dengan yel-yel tiap kelompok.
f. Guru memberi kesempatan kepada kelompok yang lain untuk menanggapi penyampaian hasil diskusi tersebut.
3. Konfirmasi a. Guru memberikan tanggapan terhadap hasil
diskusi yang telah dilaksanakan oleh siswa di depan kelas.
b. Guru memberikan tambahan ulasan materi yang belum diketahui siswa.
c. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya.
10 Menit
C. Penutup a. Guru merefleksi dan menanyakan kesan siswa
terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan b. Guru bersama dengan siswa menyimpulkan
pembelajaran yang telah dilaksanakan. c. Guru memberikan tugas kepada siswa secara
kelompok untuk mencari puisi dari majalah atau internet kemudian mengaitkan isi puisi tersebut dengan realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat.
10 Menit
PERTEMUAN II (2 x 45 Menit)
No. Kegiatan Pembelajaran Alokasi Waktu
A. Kegiatan Awal
1. Apersepsi a. Guru membuka pelajaran dengan salam dan
presensi kehadiran siswa. b. Guru melakukan tanya jawab dengan siswa
untuk mengulas kembali pelajaran yang telah dilakukan sebelumnya.
2. Motivasi Guru menyampaikan kepada siswa tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dan memberikan penanaman sikap dan motivasi terhadap pembelajaran yang akan dilaksanakan.
5 Menit
5 Menit
B. Kegiatan Inti
1. Eksplorasi a. Guru mengelompokkan siswa seperti
kelompok pada pertemuan sebelumnya. b. Guru menginstruksikan kelompok untuk
mempresentasikan hasil temuan dari tugas pertemuan sebelumnya.
2. Elaborasi a. Guru memberi kesempatan siswa untuk
mempresentasikan tugasnya di depan kelas. Siswa yang lain memberi tanggapan.
b. Guru membagikan lembar kerja kepada siswa untuk mengidentifikasi puisi “Sepanjang Jalan Indonesia” dan dihubungkan dengan realita alam, sosial budaya, dan masyarakat.
c. Guru menunjuk perwakilan beberapa siswa untuk menyampaikan puisi hasil analisanya.
d. Siswa yang lain memberi tanggapan dan sanggahan.
3. Konfirmasi a. Guru memberi penguatan materi tambahan
kepada siswa. b. Guru memberi kesempatan siswa untuk
bertanya.
10 Menit
50 Menit
5 Menit
C. Penutup a. Guru merefleksi dan menanyakan kesan
siswa terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan
b. Guru memberikan motivasi untuk belajar kepada siswa
10 Menit
7. KARAKTER SISWA YANG DIHARAPKAN :
o Dapat dipercaya (trustworthines)
o Rasa hormat dan perhatian (respect)
o Tekun ( diligence)
o Tanggung jawab (responsibility)
8. MEDIA DAN SUMBER BELAJAR
Media
LCD dan laptop yang berisi :
Slide presentasi tentang materi hubungan isi puisi tersebut dengan
realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat.
Sumber Belajar
Buku ajar bahasa Indonesia SMA kelas X terbitan Erlangga
JokoPinurbo, Celana, (Magelang: Indonesia Tera, 1999)
9. PENILAIAN
1. Jenis tagihan : Tugas kelompok dan Tugas individu
2. Bentuk instrumen :
Tes tulis
Tes lisan
Observasi kinerja/ Demonstrasi
Tagihan hasil karya/ produk: tugas, proyek
Instrumen :
Bercukur Sebelum Tidur
Bercukur sebelum tidur
membilang hari-hari yang hancur
membuang mimpi-mimpi yang gugur
memangkas semua yang ranggas dan uzur
semoga segala rambut segala jembut
bisa lebih rimbun dan subur.
Lalu datang musim dalam curah angin
menumpahkan air ke seluruh dataran,
ke gunung-gunung murung
dan lembah-lembah lelah di saentero badan
Jantungku meluap, penuh.
Sungai menggelontor, hujan menggerjai
di sektor-sektor irigasi agrodarahku.
Malam penuh traktor, petani mencangkul
di hektar-hektar dagingku.
Tubuhku hutan yang dikemas
menjadi kawasan megindustri
dimana segala cemas segala resah
diolah di sentra-sentra produksi.
Tubuhku ibukota kesunyian yang diburu investor
dari berbagai penjuru
Tubuhku daerah lama yang ditemukan kembali
daerah baru yang terberkati.
Lalu tubuhku bukan siap-siapa lagi
Tubuhku negeri yang belum diberi nama
Dan kuberi saja nama dengan sebuah ngilu,
saat bercukur sebelum tidur.
Soal:
1. Tubuhku hutan yang dikemas
menjadi kawasan megindustri
dimana segala cemas segala resah
diolah di sentra-sentra produksi.
Pahami cuplikan puisi tersebut!
Sebutkan hubungan isi puisi dengan realitas alam !
2. Tubuhku ibukota kesunyian yang diburu investor
dari berbagai penjuru
Pahami cuplikan puisi tersebut!
Sebutkan hubungan isi puisi dengan sosial budaya !
3. Tubuhku daerah lama yang ditemukan kembali
daerah baru yang terberkati.
Lalu tubuhku bukan siap-siapa lagi
Tubuhku negeri yang belum diberi nama
Pahami cuplikan puisi tersebut!
Sebutkan hubungan isi puisi dengan masyarakat
Pedoman Penilaian :
No.
Soal Aspek yang dinilai Skor Bobot
1. A. Bahasa yang digunakan
Komunikatif
Kurang komunikatif
Tidak komunikatif
3
2 1
5
B. Isi cerita
Jawaban relevan
Jawaban kurang relevan
Jawaban tidak relevan
3
2 1
5
2. Makna puisi
Relevan
Kurang relevan
Tidak relevan
3 2
1
5
3. Jawaban
Sesuai
Kurang sesuai
Tidak sesuai
3 2
1
5
Perhitungan nilai akhir dalam skala 0 – 100 adalah sebagai berikut :
...... (100) idealskor x 0)maksimum(2Skor
skorPerolehan akhir Nilai