fermentasi nata de coco _ fanny owela _ 11.70.0112 _ c2
DESCRIPTION
laporan praktikum fementasi 2014TRANSCRIPT
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan pengujian terhadap aroma, warna, kekentalan, dan rasa pada kecap
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Fermentasi Kecap.
Kel. Aroma Warna Kekentalan RasaC1 ++ ++ + +C2 + + + +C3 + ++ + +C4 + + + ++C5 + ++ ++ ++
Keterangan :Aroma : Warna : Kekentalan : Rasa :+ : kurang kuat : kurang hitam : kurang kental : kurang manis++ : kuat : hitam : kental : manis+++ : sangat kuat : sangat hitam : sangat kental : sangat manis
Tabel diatas menjelaskan hasil fermentasi kecap yang dilakukan oleh kloter C. Perlu
diketahui bahwa masing-masing kelompok memiliki sekidit perbedaan dalam perlakuan
yang diberikan, yaitu kelompok C1 dan C2 diberikan inokulum sebanyak 0,5% pada
kedelai yang difermentasi, kemudian kelompok C3 dan C4 diberikan inokulum 0,75%
pada kedelainya, sedangkan kelompok C5 diberikan inokulum sebesar 1% juga pada
kedelai yang difermentasi. Hasil yang didapat ialah seperti yang dapat dilihat pada tabel
bahwa kelompok C1 memiliki aroma yang kuat, dengan warna yang hitam namun
kurang kental dan kurang manis. Kelompok C2 memiliki aroma, warna, kekentalan, dan
rasa yang kurang secara keseluruhan. Kelompok C3 mendapatkan hasil berupa aroma
yang kurang kuat, dengan warna yang hitam, akan tetapi kurang kental dan kurang
manis. Kelompok C4 mendapatkan hasil yang mirip dengan kelompok C2 namun
dengan sedikit perbedaan, yaitu aroma yang kurang kuat dengan warna yang kurang
hitam dan kurang kental, tapi rasa yang manis. Sedangkan pada kelompok C5, aroma
yang didapatkan dari kecap yang dihasilkan ialah kurang kuat, namun warna yang
dihasilkan sudah hitam yang kental dan rasa yang manis.
1
2. PEMBAHASAN
Pada praktikum teknologi fermentasi dengan judul fermentasi substrat padat yaitu
fermentasi kecap ini, praktikan melakukan fermentasi dengan menggunakan kedelai
kuning. Menurut Rahman (1992), kecap merupakan salah satu jenis makanan tradisional
yang dihasilkan melalui fermentasi dari kedelai hitam, atau dengan menggunakan jenis
kacang-kacangan lainnya. Kecap dapat digunakan sebagai bahan penyedap tambahan
dalam tujuan untuk memperkuat flavor, serta dapat memberikan warna pada produk lain
yang ditambahkan. Asam glutamat dalam kecap juga mampu memberikan rasa sedap
pada kecap yang ditambahkan pada bahan makanan lain dalam kondisi bebas.
Muangthai et al (2007) menambahkan bahwa asam amino glutamat merupakan asam
amino yang paling banyak terdapat dalam kecap. Rahman (1992) juga menambahkan
bahwa pada prinsipnya kecap dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan tingkat kekentalannya,
yaitu kecap manis dan kecap asin dengan kecap manin memiliki kekentalan yang lebih
tinggi daripada kecap asin.
Menurut jurnal Study on the Production of Fermented Soybean Sauce by Using
Aspergillus oryzae and Aspergillus flavus, oleh Lynn et al (2013), kecap mengandung
banyak asam amino esensial seperti Valin, Triptophan, Lisin, Histidin, dan banyak
mengandung vitamin terutama vitamin B6 dan antioksidan isoflavon. Ditinjau dari
komposisinya, kecap merupakan makanan yang mudah diserap dan dicerna tubuh
karena tersusun dari komponen yang berat molekulnya tergolong rendah. Produk kecap
biasanya mengandung protein dengan peptida yang sederhana dan asam-asam amino,
maka dari itu konsumen kecap mendapatkan protein yang mudah dicerna dari konsumsi
kecap selain dari mendapatkan vitamin yang banyak terkandung dalam kecap.
Kemudahan kelarutan kecap juga dijelaskan oleh Kasmidjo (1990) bahwa kecap
memiliki kelarutan hingga 90%.
Kecap merupakan produk yang kaya akan kandungan flavor organik yang mudah
menguap seperti ester, fenol, alkohol, asam, dan senyawa-senyawa heterosiklik Feng et
al (2013). Namun mutu kecap dan kandungan keseluruhan dari kecap dapat berbeda-
beda karena di Indonesia kecap biasanya dibuat secara tradisional oleh banyak
2
3
kelompok industri. Pembuatan kecap secara tradisional ini dilakukan dengan
membiarkan kapang yang diberikan pada media tumbuh secara langsung (Astawan &
Astawan, 1991). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kecap memiliki perbedaan
mutu ialah jenis kedelai yang digunakan, lama fermentasi dalam larutan garam, dan
kemurnian biakan kapang yang digunakan untuk proses fermentasi.
Secara umum, proses pembuatan kecap terdiri dari 3 cara, yaitu proses fermentasi,
proses hidrolisis, dan gabungan dari kedua prose itu yaitu fermentasi dan hidrolisis
(Purwoko, 2007). Prinsip umum dari pembuatan kecap ialah untuk menguraikan
protein, karbohidrat, dan lemak menjadi komponen yang lebih sederhana yaitu asam
amino, glukosa, dan asam lemak. Dalam praktikum, pembuatan kecap dilakukan dengan
proses fermentasi dimana dibagi lagi menjadi 4 tahap utama, yaitu fermentasi kapang,
fermentasi larutan garam, filtrasi dan pasteurisasi, serta pematangan.
2.1. Tahapan Pembuatan Kecap dan Bahan yang Digunakan
Seperti yang disampaikan diatas, pembuatan kecap dengan proses fermentasi akan
melalui tahap fermentasi kapang dan fermentasi dalam larutan garam. Hal ini sesuai
dengan yang dilakukan praktikan dalam pengujian laboratorium bahwa fermentasi
kecap akan melalui 2 tahapan tersebut sebelum proses pemasakan kecap. Proses
pembuatannya menggunakan kedelai kuning sebagai bahan utama pembuatan kecap.
Jenis kedelai kuning dipilih karena pembuatan kecap juga dapat menggunakan kedelai
kuning selain dari penggunaan kedelai hitam yang biasa digunakan dalam pembuatan
kecap. Hal ini sudah sesuai dengan teori yang disampaikan Kasmidjo (1990).
Pembuatan kecap diawali dengan perendaman kedelai hingga seluruh permukaan
kedelai terendam air. Proses perendaman dilakukan selama 1 malam sebelum kedelai
digunakan untuk praktikum di laboratorium.
Proses perendaman bertujuan untuk hidrasi kedelai sehingga mempermudah dalam
proses pemasakan nantinya karena kedelai menjadi lebih lunak karena perendaman
(Tortora et al, 1995). Kasmidjo (1990) menambahkan bahwa setelah proses
perendaman, kedelai akan mengalami pertambahan berat akibat dari masuknya air
kedalam biji kedelai tersebut. Setelah biji kedelai mekar, air yang digunakan untuk
4
merendam kedelai dibuang dan kedelai ditiriskan. Selanjutnya dilakukan proses
pemisahan kacang kedelai dari kulit arinya. Proses pemisahan ini dilakukan secara
manual oleh praktikan dengan tujuan untuk memisahkan kedelai dari kulitnya sehingga
didapatkan kedelai tanpa kulit ari sekaligus membersihkan kedelai dari kotoran-kotoran
yang mungkin menempel pada bagian luar kedelai (Astawan & Astawan, 1991).
Tahap selanjutnya ialah perebusan kedelai. Proses ini menurut Tortora et al (1995)
memiliki beberapa tujuan, yaitu :
- Melunakan biji kedelai
- Merusak protein inhibitor
- Menghilangkan bau langu pada kedelai
- Menginaktifkan zat antinutrisi
- Menghilangkan mikroorganisme kontaminan yang mungkin ada pada
permukaan kedelai
- Memecah protein yang ada dalam kedelai tanpa menyebabkan kerusakan.
Proses perebusan dapat kembali meningkatkan aktivitas air bebas dalam biji kedelai,
untuk itu perlu dilakukan penirisan supaya air dalam kedelai berkurang dan aktivitas air
bebas dalam kedelai juga berkurang karena berkurangknya air. Kemudian, kedelai yang
tidak begitu basah dan lebih dingin tersebut diletakkan diatas tampah yang sudah dialasi
dengan daun pisang bersih. Tampah dpilih sebagai wadah karena memingkinkan adanya
oksigen yang masuk yang berguna untuk fermentasi kapang dalam pembuatan kecap.
Menurut Chungqi et al (2013) dalam jurnal yang berjudul Biochemical Changes in the
Fermentation of the Soy Sauce Prepared with Bitter, proses fermentasi kecap dengan
batch konvensional kedelai dimulai dengan campuran antara kedelai dan kapang pada
rasio perbandingan tertentu.
Penambahan inokulum dengan perbandingan tertentu kedalam kedelai ialah pada
kelompok C1 dan C2 ditambahkan 0,5% inokulum, kelompok C3 dan C4 sebanyak
0,75% inokulum, sedangkan kelompok C5 sebanyak 1% inokulum komersial tempe
(Gambar 1). Setelah penambahan inokulum, kedelai dan inokulum yang ditambahkan
diaduk merata. Inokulum yang digunakan ini merupakan Rhizopus sp. Setelah
5
penambahan inokulum, tampah ditutup dengan penutup lalu diinkubasi selama 3 hari.
Fermentasi harus dilakukan dalam jumlah dan lama waktu yang tepat karena jika terlalu
lama akan menghasilkan enzim yang terlalu banyak sehingga menghasilkan cita rasa
yang kurang baik (Su et al, 2005) sedangkan jika terlalu sebentar, maka enzim yang
dihasilkan masih terlalu sedikit dan belum mengeluarkan komponen-komponen yang
penting untuk proses fermentasi (Astawan & Astawan, 1991).
Gambar 1. Kedelai yang diberikan penambahan inokulum dan diaduk rata.
Konsentrasi inokulum yang ditambahkan dalam kedelai yang difermentasi akan
mempengaruhi komponen kimia yang dihasilkan dalam kecap nantinya. Komponen
tersebut dihasilkan dari penguraian karbohidrat, protein, dan lemak oleh enzim-enzim
yang dikeluarkan oleh mikroorganisme yang digunakan untuk menghasilkan kecap.
Semakin banyak penggunaan inokulum maka akan semakin cepat mikroorganisme
menguraikan komposisi kimia kompleks menjadi lebih sederhana. Namun, terlalu
cepatnya proses penguraian akan menghasilkan kuliatas produk akhir yang tidak sesuai
dengan yang diharapkan karena akan menghasilkan rasa yang berbeda. Proses
fermentasi juga akan menghasilkan asam amino bebas (Yanfang & Wenyi, 2009). Asam
amino bebas akan menghasilkan produk yang beraneka ragam rasa seperti, asin, manis,
dan umami, bahkan pahit.
Keberhasilan dari proses fermentasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan medianya.
Maka dari itu, kondisi lingkungan tempat inokulasi media perlu diatur dan dijaga
supaya sesuai dengan lingkungan untuk melakukan fermentasi. Pada praktikum
fermentasi kecap ini, kondisi lingkungan sudah mampu dijaga dengan baik dan
6
dibuktikan dari berhasilnya fermentasi yang dilakukan (Gambar 2). Setelah diinkubasi
dalam tampah, selanjutnya dilakukan proses fermentasi dalam larutan garam atau tahap
moromi. Tahap ini diawali dengan pemotongan hasil fermentasi kapang (koji) dengan
ukuran kecil-kecil. Setelah itu, koji diletakkan diatas nampan besar untuk dikeringkan
dalam dehumidifier selama 2-4 jam. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan kapang
yang mungkin masih melekat pada koji karena kapang sudah tidak lagi diperlukan pada
media fermentasi kecap. Pengeringan juga bertujuan untuk menghilangkan/mengurangi
kadar air (Peppler & Perlman, 1979).
Gambar 2. Hasil fermentasi koji sebelum dipotong-potong
Sesudah dikeringkan dalam dehumidifier, koji tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
toples plastik bening. Larutan garam 20% kemudian ditambahkan kedalam toples yang
sudah berisi koji. Pembuatan larutan garan 20% dilakukan dengan cara menambahkan
200 gram garam halus kedalam 1 liter aquadestilata. Larutan garam yang digunakan
sudah sesuai dengan teori yang ada yaitu diperlukan 15-20% larutan garam untuk tahap
perendaman dalam larutan garam. Perendaman dalam larutan garam bertujuan untuk
pengawetan dan pembatas pertumbuhan mikroorganisme. Namun dalam jurnalnya,
Sumague et al (2008) mengatakan bahwa ada bakteri jenis Bacillaceae yang tahan
terhadap konsentrasi garam yang tinggi sehingga dalam proses yang tidak higienis,
kontaminasi masih dapat terjadi. Perendaman dalam larutan garam juga mampu
memberikan rasa asin pada kecap nantinya karena terjadi proses ekstraksi senyawa-
senyawa yang dihasilkan dari fermentasi pada tahap sebelumnya.
Proses perendaman dalam larutan garam dilakukan selama 1 minggu. Setiap hari dalam
1 minggu, tahap moromi ini dijemur dibawah sinar matahari selama 30 menit sambil
7
dilakukan pengadukkan sesekali. Berdasarkan teori Wu et al (2010), fermentasi dengan
suhu 450C dapat menghasilkan kecap yang lebih hitam. Proses fermentasi yang
dilakukan praktikan kurang sesuai dengan teori dari Wu et al (2010) karena proses
fermentasi dilakukan praktikan pada suhu 25-300C (suhu ruang) jika sedang tidak
diletakkan dibawah sinar matahari. Disamping itu, penyimpanan dan perendaman dalam
larutan garam selama 1 minggu juga tidak sesuai dengan teori dari Astawan & Astawan
(1991) yang mengatakan bahwa tahap moromi sebaiknya berjalan selama 2-4 minggu.
Setelah perendaman dalam larutan garam, fermentasi tahap moromi berakhir dan
dilanjutkan dengan penyaringan air hasil fermentasi (Santoso, 1994). Hal ini sesuai
dengan teori yang disebutkan bahwa praktikan melakukan penyaringan setelah
fermentasi dianggap sudah berakhir. Air yang diambil ialah sejumlah 200 ml kemudian
ditambahkan dengan air minum sebanyak 750 ml. Selanjutnya, bumbu-bumbu yang
ditentukan oleh asisten dosen di laboratorium disiapkan bersamaan. Bumbu yang
digunakan yaitu gula jawa, ketumbar, bunga pekak, laos, dan kayu manis (Gambar 3).
Gambar 3. Bahan yang digunakan dalam proses pemasakan kecap.
Gula jawa digunakan dalam proses pemasakan kecap karena menurut Santoso (1994),
gula jawa atau gula kelapa dapat digunakan untuk menentukan jenis kecap yang
dihasilkan menjadi produk kecak manis atau kecap manis, yang dengan tiap 1 liter filtrat
yang diambil membutuhkan 2 kg gula jawa. Proses pemasakan dilakukan dengan
mencampurkan filtrat kecap dengan air minum kemudian dicampur juga dengan bumbu-
bumbu menjadi 1 wadah lalu dimasak diatas kompor (Gambar 4). Penggunaan rempah-
rempah dalam pembuatan kecap diperlukan untuk meningkatkan mutu sensoris
8
khususnya yang berkaitan dengan citarasa, warna, dan aroma produk. Disamping itu,
rempah-rempah/herbal mampu memberikan keuntungan positif bagi tubuh, seperti
rangsangan terhadap pencernaan, pengaruh hipolipidemia, antidiabetes, antilitogenik,
serta berpotensi sebagai antioksidan (Skandamis, 2002). Ketumbar dapat digunakan
sebagai bumbu masakan, obat-obatan, dan memiliki efek positif bagi kesehatan. Kayu
manis merupakan rempah yang diambil kulit batang dan dahannya dan memiliki hasil
samping daun dan ranting (Abdullah, 1990).
Gambar 4. Proses pemasakan kecap setelah semua bahan diaduk beberapa waktu.
2.2. Sensori Produk
Pada tabel 1, ditampilkan hasil uji sensori fermentasi kecap yang dilakukan oleh
kelompok C1, C2, C3, C4, dan C5. Ada 4 parameter yang diuji yaitu aroma, warna,
kekentalan, dan rasa dari produk hasil fermentasi kecap. Untuk parameter warna yang
dihasilkan, pada kelompok C1 mendapatkan hasil aroma yang kuat dengan kelompok
C2-C4 mendapatkan hasil aroma yang kurang kuat. Aroma dari kecap didapatkan dari
bumbu-bumbu yang digunakan untuk proses pemasakan kecap diatas kompor dan dari
komponen volatil yang dihasilkan dari pembuatan kecap (Santoso, 1994). Apriyantono
& Gono (2004) menambahkan bahwa aroma yang dihasilkan pada kecap dipengaruhi
pula oleh jumlah inokulum yang digunakan. Semakin banyak inokulum yang digunakan
maka hasil yang didapat akan semakin kuat. Namun pada praktiknya, kelompok yang
memiliki aroma tertinggi dibandingkan dengan yang lain ialah kelompok C1 dengan
penggunaan inokulum 0,5%. Dengan kata lain, hasil praktikum yang didapat tidak
sesuai dengan teori yang ada. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang lamanya
9
waktu fermentasi yang digunakan karena berdasarkan sumber yang dipaparkan
sebelumnya, waktu fermentasi yang dibutuhkan ialah 2-4 minggu. Disamping itu
perbedaan yang terjadi dapat pula karena perbedaan jumlah bumbu-bumbu yang
digunakan antarkelompok yang mampu mempengaruhi aroma dari kecap yang
diproduksi.
Parameter yang diamati selanjutnya ialah warna pada kecap. Warna merupakan
parameter mutu penting dari kecap. Tingkat kehitaman warna pada kecap dipengaruhi
dari jumlah gula jawa dan jenis gula jawa yang digunakan dalam pemasakan kecap.
Pada praktiknya, warna yang didapatkan ialah hitam oleh kelompok C1, C3, dan C5
sedangkan untuk kelompok C2 dan C4 ialah kurang hitam. Warna pada kecap juga
dihasilkan dari reaksi antara asam amino dengan gula reduksi (Kasmidjo, 1990).
Semakin banyak jumlah gula jawa yang ditambahkan dalam pemasakan, maka warna
yang dihasilkan akan semakin hitam. Selama proses fermentasi dalam larutan garam,
warna produk akan berubah karena terjadinya reaksi browning antara gula pereduksi
dengan gugus amino protein (Astawan & Astawan, 1991).
Hasil sensori yang selanjutnya ialah kekentalan. Hasil yang didapat sesuai dengan tabel
1 ialah pada kelompok C1-C4 mendapatkan kekentalan dengan tingkat kekentalan
kurang kental dan pada kelompok C5 hasilnya ialah kental. Sama dengan parameter
sensori lainnya, kekentalan berpengaruh pada banyakanya gula yang ditambahkan.
Semakin banyak gula jawa yang ditambahkan maka akan semakin kental. Disamping itu
Rahayu et al (2005), proses pemasakan juga mempengaruhi kekentalan kecap. Pada
praktikum ini, kelompok C5 menggunakan gula jawa sebanyak 3 kg dan merupakan
penggunaan gula dengan kosentrasi terbesar yang ada dalam praktikum tersebut. Maka
dari itu hasil praktikum sesuai dengan teori yang ada.
Parameter uji sensori yang keempat ialah rasa produk kecap hasil fermentasi. Rasa yang
didapatkan ialah kurang manis pada kelompok C1,C2, dan C4 sedangkan rasa manis
didapat pada kelompok C4 dan C5. Selain gula yang digunakan dan jumlahnya, bakteri
asam laktat yang dihasilkan waktu proses feremntasi juga mempengaruhi tingkat
kemanisan produk kecap yang dihasilkan. Bakteri asam laktat akan keluar sewaktu
10
tahap moromi atau taham dimana direndam dalam larutan garam. Lamanya waktu
perendaman dalam larutan garam akan menentukan berapa banyak bakteri asam laktat
yang muncul. Semakin lama waktu yang digunakan makan akan semakin banyak asam
laktat yang keluar sehingga menyebabkan penurunan nilai pH. Penurunan nilai pH
larutan fermentasi ini akan menyebabkan penurunan rasa manis pada kecap. Selain itu,
rasa manis juga akan tertutup oleh rasa asin karena ditutupi oleh garam yang
membungkus kedelai sewaktu tahap moromi. Pada praktiknya, hasil yang didapat cukup
sesuai yaitu, dengan menggunakan inokulum yang lebih banyak maka rasa manis akan
meningkat. Akan tetapi, pengujian secara sensori tidak dapat menghasilkan jawaban
yang akurat karena pengujian hanya dilakukan sebanyak 1 kali oleh 1 orang dimana
panilis dapat saja melakukan kesalahan sewaktu membandingkan.
3. KESIMPULAN
kecap merupakan salah satu produk yang dibuat dengan cara fermentasi dengan
menggunakan bahan dasar kacang-kacangan.
Fermentasi pada kecap akan dilakukan dengan tahap fermentasi kapang,
fermentasi dalam larutan garam, filtrasi dan pasteurisasi, dan pematangan.
Perendaman kedelai sebelum diolah dalam fermentasi mempunyai tujuan untuk
melunakkan kedelai supaya lebih mudah dalam perebusan.
Pencucian kedelai bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang menempel
dipermukaan kedelai.
Perebusan kedelai memiliki tujuan untuk melunakkan kedelai kembali, merusak
inhibitor protein, menginaktifkan zat antinutrisi, menghilangkan bau langu, serta
membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan.
Penirisan kedelai dilakukan untuk mengurangi kandungan air bebas dalam kedelai.
Penambahan jumlah inokulum akan berpengaruh terhadap jumlah koji yang
dihasilkan.
Pengeringan kedelai dengan dehumidifier dilakukan dengan tujuan untuk
membunuh kapang yang digunakan dalam proses fermentasi supaya tidak
mengganggu tahapan fermentasi berikutnya.
Perendaman dalam larutan garam menggunakan garam dengan konsentrasi 20%
pada suhu ruang (25-300C).
Larutan garam dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak
diinginkan.
Penambahan larutan garam sewaktu fermentasi dengan perendalam larutan garam
akan mengurangi rasa manis pada produk kecap nantinya.
Penilaian sensori berupa aroma, warna, kekentalan, dan rasa pada produk kecap
akan dipengaruhi oleh jumlah inokulum yang ditambahkan, banyaknya bumbu-
bumbu yang digunakan selama pemasakan, serta lama waktu fermentasi dan
pemasakan produk diatas kompor.
Aroma didapatkan dari adanya komponen volatil pada kecap yang timbul dari
proses pemasakan menggunakan bumbu-bumbu.
11
12
Warna dipengaruhi oleh jenis gula jawa yang digunakan serta jumlah
penggunaannya.
Kekentalan dan rasa manis berbanding lurus dan tergantung dari jumlah
penggunaan gula jawa dalam proses fermentasi.
Praktikan, Asisten Dosen :
Stella Mariss H
Meilisa Lelyana D
Chrysentia A.L.M
Katharina Nerissa
Fanny Owela Widjaja Andriani Cintya S
11.70.0112
4. DAFTAR PUSTAKA
Astawan, M. dan M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Abdullah, A., (1990), Kemungkinan Perkembangan Tiga Jenis Kayu Manis di Indonesia, dalam Tanaman Industri Lainnya, Prosiding Simposium I Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, hal..1231-1244.
Chunqi,M., Guoqing,H., Xinyong,D., Meilin,C & Shiyang,G.(2013). Biochemical Changes in the Fermentation of the Soy Sauce Prepared with Bittern. Advance Journal of Food Science and Technology 5(2)
Feng, J; X. Zhan, Z. Zheng; D. Wang; L. Zhang & C. Lin. (2013). New Model for Flavour Quality Evaluation of Soy Sauce. Czech J. Food Sci. Vol. 31, 2013, No. 3: 292–305.
Kasmidjo, R. B. (1990).Tempe : mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Lynn et al.(2013). Study on the Production of Fermented Soybean Sauce by Using Aspergillus oryzae and Aspergillus flavus. Journal of Scientific & Innovative Research Vol 2.
Muangthai, P.; P. Upajak; and W. Patumpai. (2007). Study of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagion Pea and Soy bean.KMITL Sci. Tech. J. Vol. 7 No. S2
Peppler, H.J. and Perlman, D. (1979). Microbial Technology. Fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco.
Purwoko, T dan Noor S. H. (2007).Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. oligosporus.Biodiversitas Volume 8 No 2.
Rahayu, A., Suranto, dan T. Purwoko.(2005). Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro gung (Leucaenaleucocephala) terfermentasi Aspergillusoryzae.Bioteknologi 2 (1): 14-20.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta.
Santoso, H.B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.
13
14
Skandamis, P., Tsigarida, E. dan Nychas, G.-J.E. 2002. The effect of oregano essential oil on survival/death of Salmonella typhimurium in meat stored at 5ºC under aerobic, vp/map conditions. Food Microbiology. 19: 97– 103.
Sumague, Ma. Josie V., et al. 2008. Predisposing Factors Contributing to Spoilage of Soy Sauce by Bacillus circulans. Philippine Journal of Science 137 (2): 105-114
Su, N; M. Wang; K. Kwok & M. Lee. (2005). Effects of Temperature and Sodium Chloride Concentration on the Activities of Proteases and Amylases in Soy Sauce Koji. J. Agric. Food Chem. 2005, 53, 1521-1525.
Tortora, G. J.; R. Funke & C. L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin /Cummings Publishing Company, Inc. USA.
Wu, Ta Yeong; M. S. Kan; L.F Siow; dan Lithnes Kalaivani P. (2010). Effect of Temperature on Moromi Fermentation of Soy Sauce with Intermittent Aeration.African Journal of Biotechnology Vol. 9(5), pp. 702-706.
Yanfang, Zhang & Tao Wenyi. (2009). Flavor and Taste Compounds Analysis in Chinese Solid Fermented Soy Sauce. African Journal of Biotechnology.