ferro ferri
DESCRIPTION
AnalyticalTRANSCRIPT
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
PHARMACEUTICAL ANALYSIS
ANALISIS KADAR FERRO DAN FERRI DALAM SEREAL
“ NESTLE HONEY STARS”
Ester Rina D.A. 118114067
Andre S. 118114068
Canly Hansen Sudirman 118114069
Theresia Eviani 118114070
Kelompok : A6
Tanggal praktikum : 15 November 2013
LABORATORIUM KIMIA ANALISIS INSTRUMENTAL
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Makanan yang dikonsumsi manusia hendaknya mengandung banyak gizi untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Makanan yang penting bagi tubuh kita kaya akan serat,
vitamin, dan berbagai mineral termasuk zat besi (Fe). Namun sebenarnya dalam makanan
bisa saja mengandung zat yang tidak bergizi, atau tercemar sehingga berbahaya bagi tubuh.
Contohnya dalam kehidupan sehari-hari adalah sereal “Nestle Honey Stars” yang biasa
dikonsumsi manusia karena mengandung banyak gizi yang penting bagi tubuh.
Besi merupakan mikromineral yang paling banyak dalam tubuh manusia dan hewan.
Besi mempunyai peran penting dalam berbagai reaksi biokimia, misalnya pada proses
transfer oksigen. Secara alamiah, besi dapat diperoleh manusia dari makanannya, antara lain
daging, jantung, hati, ikan, kuning telur, serta sayuran. Besi dibutuhkan oleh tubuh manusia,
namun besi yang dikonsumsi manusia tentunya bukan besi dalam bentuk padatan logam,
akan tetapi dalam bentuk ion, yaitu Fe (II) dan Fe (III). Pada umumnya kadar besi dalam
makanan sekitar 0,1-3,3 mg per 100 gram-nya. Melihat begitu pentingnya besi dalam
kehidupan, maka perlu dilakukan penelitian mengenai penentuan besi.
Besi (Fe) mempunyai dua tingkat oksidasi yaitu +2 (ferro) dan +3 (ferri), sehingga
terbentuk ion Fe2+ dan Fe3+. Walaupun sama-sama zat besi, yang bermanfaat untuk manusia
adalah ferro, lain halnya dengan ferri yang bersifat racun. Pada umumnya, besi cenderung
membentuk senyawa dalam bentuk ferri daripada dalam bentuk ferro, dan masing-masing
dapat membentuk kompleks yang stabil dengan senyawa-senyawa tertentu.
Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian terhadap kandungan besi pada
makanan. Untuk melihat kadar ferro dan ferri pada produk makanan sereal “Nestle Honey
Stars” tersebut, maka perlu dilakukan analisis kandungan logam besi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah ferro dan ferri terdapat dalam sampel sereal “Nestle Honey Stars”?
2. Berapakah kadar ferro dan ferri dalam sampel sereal “Nestle Honey Stars”?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui ada tidaknya kandungan ferro dan ferri dalam sampel sereal “Nestle
Honey Stars”.
2. Untuk mengetahui kadar ferro dan ferri dalam sampel sereal “Nestle Honey Stars”.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian analisis makanan ini dapat memberikan informasi mengenai ada atau
tidaknya kandungan ferro dan ferri pada sampel sereal berdasarkan hasil uji kualitatif dan
kuantitatif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SEREAL
Makanan sereal dapat dikategorikan kedalam sereal tradisional karena dapat
dikonsumsi dalam bentuk panas maupun dingin. Makanan sereal ini juga dapat
dikonsumsi dengan penambahan susu. Dalam makanan sereal ini terkandung banyak
serat. Selain itu makanan sereal mengandung banyak vitamin dan beberapa mineral yang
dibutuhkan oleh tubuh. Contoh dari makanan sereal yaitu oats sereal, farina sereal, rice
and corn sereal (Maxwell, 1977).
Sereal ” Nestle Honey Stars” termasuk kedalam makanan sereal yang dibuat dengan
gandum utuh. Didalam sereal “Nestle Honey Stars” mengandung serat, berbagai vitamin
dan mineral seperti zat besi. Zat gizi tersebut dapat membantu memenuhi kebutuhan gizi
harian.
B. BAHAN-BAHAN YANG TERKANDUNG DI DALAM SEREAL
1. Besi
Besi (Fe) atau disebut juga dengan iron merupakan logam yang berasal dari bijih besi
(tambang) yang banyak digunakan untuk kehidupan manusia sehari-hari (Fessenden,
2000). Besi memiliki pemerian berupa serbuk (solid) yang berwarna hitam atau abu-abu,
bau yang khas, memiliki berat molekul sebesar 55,85 g/mol, berat jenis sebesar 7,86, titik
didih sebesar 3000oC (5432oF) serta memiliki titik lebur sebesar 1535°C (2795°F). Besi
bersifat tidak larut dalam air dingin, air panas, dan dietil eter. Besi dapat mengalami
kondisi ketidakstabilan seperti suhu yang tinggi, dengan penambahan bahan yang tidak
cocok dengan besi, air / kelembaban, dan udara. Besi juga dapat mengalami
inkompatibilitas, sangat reaktif dengan oksidator dan asam, serta sedikit reaktif dengan
kelembaban. Besi dapat memberikan efek kronik pada manusia seperti kerusakan pada
liver, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan, dan pankreas, selain itu besi juga dapat
menyebabkan iritasi pada kulit, pernapasan, dan pencernaan (Science Lab, 2005).
2. Air (H2O)
Air dengan rumus kimia H2O memiliki pemerian berupa cairan (liquid) yang tidak
berasa, berbau , dan berwarna. Air memiliki berat molekul sebesar 18,02 g/mol, pH 7
(netral), berat jenis 1, tekanan uap sebesar 2,3 kPa (@20oC), dan berat jenis uap sebesar
0,62. Air merupakan produk yang stabil (MSDS ,1995).
3. Vitamin C
Vitamin C (C6H8O6) atau asam askorbat memiliki pemerian berupa padatan kristal,
tidak berbau, memiliki rasa asam dan tajam, dan berwarna putih kekuningan. Vitamin C
memiliki suhu kritis sebesar 783oC (1441,4oF) dan berat jenis sebesar 1,65. Vitamin C
bersifat larut dalam air panas, larut secara partikular dalam air dingin, serta tidak larut
dalam klorofom, benzene, protelium eter, minyak, lemak, dan dietil eter. Kelarutan
vitamin C dalam air sebesar 1g/3mL air, dalam alkohol sebesar 1g/30mL alkohol, dalam
absolut alkohol sebesar 1g/50mL alkohol, dalam gliserol sebesar 1g/100mL gliserol, dan
dalam propilen glikol sebesar 1g/20mL propilen glikol. Vitamin C tidak stabil terhadap
panas, cahaya, udara, dan dengan bahan lain. Vitamin C dapat mengalami
inkompatibilitas dengan agen pengoksidasi (reaktif) (Science Lab, 2005).
4. Lemak
Lemak memiliki pemerian berupa cairan yang berwarna kuning keputihan dengan bau
yang khas. Lemak memiliki titik didih sebesar 300-360oC, titik lebur sebesar -20oC -10oC.
Viskositas sebesar 0,35 - 0,5 mm²/s @ 40°C dan relativitas kerapatan sebesar 0,35 - 0,5
mm²/s @ 40°C. Lemak dapat stabil dalam kondisi normal, namun lemak juga dapat tidak
stabil terhadap panas, cahaya, sinar, api, dan dengan yang bahan lain. Inkompatibilitas
lemak dapat terjadi terhadap agen pengoksidasi yang kuat (Science Lab, 2005).
5. Kalsium
Kalsium (Ca) memiliki pemerian berupa padatan dengan berat molekul 40,08 g/mol,
titik didih sebesear 1484°C atau 2703,2°F, titik lebur sebesar 839°C atau 1542,2°F, dan
berat jenis sebesar 1,54. Kalsium dapat mengalami inkompatibilitas dengan berbagai
bahan karena bersifat sangat reaktif terhadap asam. Produk-produk hasil dari reaksi ini
memiliki sifat mudah terbakar akan tetapi tidak bersifat toksik (Science Lab, 2005).
6. Vitamin B1
Vitamin B1 (C12H17N4OSCl.HCl) atau Thiamine memiliki pemerian berbentuk padat
yang berwarna putih, dengan pH sebesar 2,7-3,4 (10g/L), berat jenis sebesar 1,4 ,berat
jenis uap sebesar 10,4 , titik lebur sebesar 260oC atau 500oF, dan berat molekul sebesar
300,6582. Vitamin B bersifat sulit larut dalam air. Vitamin B tidak stabil terhadap
temperatur tinggi dan dapat terjadi inkompatibilitas terhadap bahan lain (Science Lab,
2005).
7. Vitamin B2
Vitamin B2 (C17H20N4O6) atau disebut juga riboflavin memiliki pemerian berbentuk
padat dengan berat molekul sebesar 376,37 g/mol dan titik lebur sebesar 2800C atau
5360F. Vitamin B2 sangat sulit larut dalam air dingin. Vitamin B2 merupakan produk
yang stabil (Science Lab, 2005).
8. Vitamin B3
Vitamin B3 (C6H5NO2) atau niasin memiliki pemerian berbentuk padat atau serbuk
kristal berwarna putih dengan berat molekul sebesar 123,11 g/mol, titik lebur sebesar
236,6oC, dan berat jenis sebesar 1,473. Vitamin B3 dapat larut dalam air dingin. Vitamin
B3 merupakan produk yang stabil (Science Lab, 2005).
9. Vitamin B5
Vitamin B5 (C9H17NO5Na) atau asam pantotenat memiliki pemerian berbentuk padat
atau kristal padat dengan berat molekul sebesar 241,22 g/mol, titik lebur sebesar 123oC
atau 253,4oF. Vitamin B5 bersifat mudah larut dalam air panas dan larut dalam air dingin.
Vitamin B5 bersifat stabil dan tidak reaktif dengan agen pengoksidasi dan alkalis
(Science Lab, 2005).
10. Vitamin B6
Vitamin B6 (C8H12ClNO3) atau piridoksin memiliki pemerian berbentuk padat atau
kristal dan tidak berbau. Vitamin B6 memiliki berat molekul sebesar 205,64 g/mol, titik
lebur sebesar 2040C atau 399,20F, dan berat jenis sebesar 0,8. Vitamin B6 mudah larut
dalam air dingin dan air panas, serta sangat sukar larut dalam metanol dan aseton.
Vitamin B6 bersifat stabil (Science Lab, 2005).
11. Vitamin B9
Vitamin B9 (C19H19N7O6) atau asam folat memiliki pemerian berbentuk padat dengan
berat molekul sebesar 441,4 g/mol dan pH 4. Vitamin B9 sangat tidak larut dalam air
dingin dan air panas. Vitamin B9 bersifat stabil (Science Lab, 2005).
12. Vitamin B12
Vitamin B12 (C63H88CoN14O14P) atau sianokobalamin memiliki pemerian berbentuk
padat dengan berat molekul sebesar 1355,39 g/mol dan titik lebur sebesar 102,50 C atau
216,50 F. Vitamin B12 dapat larut dalam air dingin. Vitamin B12 bersifat stabil (Science
Lab, 2005).
13. Natrium
Natrium memiliki pemerian berbentuk padat yang berwarna abu-abu dengan berat
molekul sebesar 22,99 g/mol, titik didih sebesar 881,40C, titik lebur sebesar 97,80C.
Natrium bersifat tidak larut dalam air dingin, air panas (Science Lab, 2005).
C. BAHAN-BAHAN YANG DIGUNAKAN DALAM PERCOBAAN
1. Buffer asetat
Buffer asetat terdiri dari komposisi berupa sodium asetat anhidrat, air, dan asam
asetat. Buffer asetat memiliki pemerian berbentuk cair dengan titik didih sebesar 100oC
(212oF), berat jenis sebesar1,02, tekanan uap sebesar 2,3 kPa (@20oC), berat jenis uap
sebesar 0,62. Buffer asetat bersifat larut dalam air baik dingin maupun panas, dan aseton,
mudah larut dalam air dan dapat terdipersi secara partikular di dalam metanol, dietil eter,
dan n-octanol. Buffer asetat tidak stabil karena sifatnnya yang inkompatibilitas dengan
bahan lain seperti jika terdapat agen pengoksidasi dan asam (Science Lab, 2005).
2. Hydroxylamine hydrochloride
Hydroxylamine hydrochloride (NH2OH.HCl) memiliki pemerian berbentuk padat
(kristal padat) berwarna putih kekuningan yang tidak berbau dengan pH 3,2 , berat
molekul sebesar 69,49 g/mol, titik lebur sebesar 151°C (303.8°F) -157oC, berat jenis
sebesar 1,67. Hydroxylamine hydrochloride mudah larut dalam air panas, larut dalam air
dingin, kelarutan dalam air : 560 g/l @ 20oC; 83 g/100 mg @ 17oC. Hydroxylamine
hydrochloride bersifat stabil namun dapat mengalami ketidakstabilan yang disebabkan
karena peningkatan suhu dan terjadinya inkompatibilitas material serta reaktif dengan
agen pengoksidasi, bahan mudah terbakar, bahan organik, dan alkalis (Science Lab,
2005).
3. Standar besi
Standar besi terdiri atas komposisi dari besi, air, dan HCl. Standar besi memiliki
pemerian berbentuk cair yang tidak berwarna (jernih) dengan titik didih sebesar 82.6°C
(180.7°F), titik lebur sebesar -41.6°C (-42.9°F), dan berat jenis sebesar 1,02. Standar besi
bersifat tidak larut dalam air dingin, air panas, minyak, metanol, dietil eter, n-oktanol, dan
aseton. Standar besi bersifat stabil namun dapat mengalami inkompatibilitas karena
sangat reaktif terhadap alkalis, reaktif dengan agen pereduksi, bahan mudah terbakar,
bahan organik, logam, dan asam (Science Lab, 2005).
4. Sodium asetat
Sodium asetat terdiri dari komposisi berupa air dan sodium asetat anhidrat. Sodium
asetat memiliki pemerian berbentuk cair yang berwarna bening (tidak berwarna) dengan
pH netral, titik didih sebesar 100°C (212°F), dan berat jenis sebesar 1,1. Sodium asetat
bersifat mudah larut dalam air dingin, air panas, dan dietil eter. Sodium asetat bersifat
stabil dan dapat mengalami inkompatibilitas dengan bahan-bahan lain seperti reaktif
terhadap agen pengoksidasi (Science Lab, 2005).
5. Phenanthroline 0.1% Solution
Phenanthroline 0.1% Solution terdiri dari komposisi berupa air dan {1,10}
Phenanthroline monohydrate. Phenanthroline 0.1% Solution memiliki pemerian
berbentuk cair dan pH netral. Phenanthroline 0.1% Solution bersifat stabil dan mudah
larut dalam air dingin (Science Lab, 2005).
6. Magnesium nitrat
Magnesium nitrat memiliki pemerian berbentuk padat dan bersifat higroskopik,
dengan berat molekul sebesar 256,41 g/mol, titik didih sebesar 330°C (626°F), titik lebur
sebesar 89°C (192.2°F), dan berat jenis sebesar 1,64. Magnesium nitrat sifat yang mudah
larut dalam air dingin. Magnesium nitrat besifat stabil namun dapat mengalami
inkompatibilitas dan reaktif terhadap agen pereduksi (Science Lab, 2005).
7. HCl
HCl memiliki pemerian berbentuk air yang tidak berwarna sampai kuning terang
dengan pH asam, titik didih sebesar 108,580C, titik lebur sebesar -62,250C. HCl bersifat
larut dalam air dingin, air panas, dan dietil eter. HCl bersifat stabil namun sangat reaktif
dengan logam serta reaktif dengan agen pengoksidasi, bahan organik, dan alkalis (Science
Lab, 2005).
D. ZAT BESI
Zat besi (Fe) merupakan kelompok logam yang esensial bagi tubuh karena
peranannya pada pembentukan hemoglobin, sebagai pembawa oksigen dalam darah, dan
dalam transfer CO2 dan H+ pada rangkaian trasport elektron yang diatur oleh fosfat organik.
Ada dua jenis zat besi dalam makanan yang kita makan yaitu dalam bentuk heme dan non
heme. Besi heme yaitu senyawa besi yang berikatan dengan protein dan ada dalam bentuk
besi anorganik atau besi non-heme (Anwar, 2009).
Normalnya besi diabsorpsi dalam duodenum dan jejunum proksimal. Transferin
(protein pembawa) yang ada didalam plasma membawa zat besi kedalam sel atau kesumsum
tulang untuk keperluan eritropoisis. Untuk dapat diabsorpsi, zat besi harus diubah dari bentuk
ferri menjadi bentuk ferro yang dilakukan oleh enzim brushborder ferireduktase. Hal ini
dapat terjadi karena nilai pH getah lambung yang rendah dapat membantu melarutkan zat
besi yang tercerna dan memudahkan reduksi enzimatik tersebut. Tubuh dapat
mengekskresikan zat besi dengan kemampuan yang terbatas dan kelebihannya akan disimpan
sebagai ferritin atau hemosiderin di dalam hati, limpa, serta sumsum tulang (Gibney, 2005)
Meskipun Fe termasuk dalam kelompok logam esensial tetapi kasus keracunan Fe
sering dilaporkan terutama pada anak-anak karena Fe pada sistem biologi makhluk hidup
bersifat kurang stabil dan secara perlahan berubah menjadi fero (Fe(II)) atau feri (Fe(III)).
Keracunan Fe menyebabkan ganstroenteritis nekrotikans dengan nyeri abdomen, muntah,
diare berdarah, dan selanjutnya syok. Keadaan ini dapat diikuti oleh asidosis, koma, dan
kematian, bahkan setelah terlihat perbaikan (Neal, 2006).
Menurut penelitian, kadar besi yang terlalu tinggi memiliki hubungan positif dengan
kasus artheosklerosis (penyempitan pembuluh darah) pada arteri yang menyuplai darah ke
otak. Zat besi mudah bereaksi dengan oksigen membentuk radikal bebas yang akhirnya
merusak kolesterol baik yang tadinya tidak berbahaya karena teroksidasi asam lemak
sehingga menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Satu hal yang perlu diwaspadai,
jangan mengkonsumsi makanan (suplemen) yang mengandung zat besi terlalu tinggi bila
tidak benar-benar anemia karena beresiko terjadi penyempitan pembuluh darah akibat
kelebihan zat besi (Christian, 2004).
Sebagian besar kasus keracunan besi akut terjadi pada anak, karena mengkonsumsi
suplemen zat besi yang ditujukan untuk orang dewasa. Dosis toksik akut besi pada bayi
sekitar 20 mg/kg BB, yang dampaknya berhubungan dengan iritasi gastrointestinal,
sementara efek sistemik umumnya tidak terjadi pada dosis 60 mg/kg BB. Lethal dose pada
anak-anak adalah sekitar 200-300 mg/kg BB. Keracunan besi pada orang dewasa jarang
terjadi. Laporan kasus individu menunjukkan bahwa dosis sekitar 100 g (kira-kira 1400
mg/kg BB) besi mempunyai dampak yang mematikan, meskipun kelangsungan hidup dapat
terjadi dengan adanya bantuan pengobatan (Expert Group on Vitamins and Minerals, 2003).
Dosis tinggi suplemen zat besi sering dikaitkan dengan efek gastrointestinal, terutama
sembelit, mual, diare dan muntah. Tingkat keparahan dan terjadinya efek tergantung pada
formulasi suplemen dan jumlah besi yang diserap pada usus. Tambahan suplemen dengan
dosis 100-200 mg zat besi/hari akan mengakibatkan mual, muntah dan nyeri epigastrium
Penelitian lain telah melaporkan berbagai efek pencernaan, termasuk diare, mual, muntah,
sembelit dan nyeri epigastrium, setelah dosis tambahan antara 50 dan 220 mg/hari (Expert
Group on Vitamins and Minerals, 2003).
Menurut keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor :
HK.00.05.52.6291 tentang acuan label gizi produk pangan, kandungan zat besi yang boleh
beredar dalam produk pangan di Indonesia tertera dalam tabel sebagai berikut :
NoZat
Gizi
Nilai Acuan Label Gizi untuk Kelompok Konsumen
Satuan Umum
Bayi
0-6
Bulan
Anak
7-23
Bulan
Anak
2-5
Tahun
Ibu
hamil
Ibu
Menyusui
26 Besi mg 26 0,3 8 8 33 32
(Badan POM, 2007).
Metode penetapan kadar besi secara kuantitatif dilakukan dengan reagen orto-
phenantrolin, prinsipnya besi dalam larutan direduksi menjadi bentuk ferro dengan cara
mendidihkannya dengan asam dan hidroksilamin HCl, kemudian direaksikan dengan orto-
fenantrolin pada pH 3,2 – 3,3. Tiga molekul fenantrolin dengan satu atom besi ferro
membentuk senyawa kompleks berwarna merah jingga. Warna yang terbentuk dibandingkan
dengan baku yang telah diketahui kadarnya secara spektrofotometri pada 510 nm
Sebelum dilakukan pembentukan senyawa kompleks berwarna, terlebih dahulu
dilakukan reaksi reduksi Fe3+ menjadi Fe2+. Ion Fe3+ direaksikan menggunakan
hidroksilamin hidroklorida. Persamaan reaksi nya adalah :
(Horwitz and Latimer, 2007).
Penentuan kadar zat besi dalam suatu sampel dapat ditentukan dengan menggunakan
spektrofotometri UV-Vis dengan panjang gelombang 480nm. Kadar besi dalam suatu sampel
yang cukup kecil dapat dianalisis dengan spektrofotometri UV-Vis menggunakan
pengomplekan. Metode spektroskopi Visibel berdasarkan penyerapan sinar tampak oleh suatu
larutan berwarna, oleh karena itu metode ini disebut juga sebagai metode kolorimetri. Hanya
larutan senyawa yang berwarna yang dapat ditentukan dengan metode ini. Senyawa yang tak
berwarna dapat dibuat berwarna dengan mereaksikannya dengan pereaksi yang menghasilkan
senyawa berwarna. Contohnya Fe dengan KSCN menghasilkan larutan berwarna merah.
Metode ini biasa digunakan untuk meneliti kadar besi dalam suatu sampel (Aziz, 2007).
E. SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS
Spektrofotometri UV-Vis merupakan suatu teknik analisis spektroskopik dengan
menggunakan instrumen spektrofotometer dan sumber REM (radiasi elektromagnetik)
ultraviolet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm). Spektrofotometri UV-Vis
lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif karena melibatkan
energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis. Absorbsi cahaya UV-Vis
mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar
yang berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Energi yang
terserap kemudian terbuang sebagai cahaya atau tersalurkan dalam reaksi kimia (Khopkar,
1990).
Terjadinya tumpang tindih energi elektronik dengan energi lainnya (translasi, rotasi,
vibrasi) disebabkan karena pita-pita spektrum visible dan faktor lain seperti faktor lingkungan
kimia yang diberikan oleh pelarut yang dipakai. Pelarut akan sangat berpengaruh mengurangi
kebebasan transisi elektronik pada molekul yang dikenakan radiasi elektromagnetik. Oleh
karena itu, spektrum zat dalam keadaan uap akan memberikan pita spektrum yang sempit
(Roth, 1988).
Instrumen spektrofotometri UV-Vis terdiri dari sumber, monokromotor, sel absorbsi,
sumber radiasi, monokromotor, tempat cuplikan, serta detektor. Skema dari instrument
spektrofotometri UV-Vis yaitu:
(Mulya dan Suharman, 1995).
Panjang gelombang maksimum (maks λ) merupakan panjang gelombang yang terjadi
karena eksitasi elektronik yang memberikan absorban maksimum. Penentuan panjang
gelombang maksimum yang pasti (tetap) dapat dipakai untuk identifikasi molekul yang
bersifat karakteristik-karakteristik sebagai data sekunder sehingga spektrum visibel dapat
dipakai untuk tujuan analisis kualitatif (data sekunder) dan kuatitatif (Fessenden, 2000).
F. VALIDASI METODE ANALISIS
Validasi metode analisis adalah proses yang menetapkan bahwa sifat pelaksanaan
metode analisis telah sesuai dengan tujuan pelaksanaanya. Parameter validasi terdiri dari :
1. Sensitivity (Sensivitas)
Sensitivity metode analisis adalah kemampuan metode analisis untuk memisahkan
perbedaan kecil dalam konsentrasi analit (Skoog, 1994).
2. Specificity (selektivitas)
Specificity adalah kemampuan pengukuran analit secara akurat dan spesifik dengan
kehadiran komponen lain dalam matriks sampel. Komponen tersebut mungkin
mengandung zat aktif, ekspien, pengotor, dan produk degredasi. Specificity dapat
diukur dengan menggunakan: limit of detection, yaitu parameter batas konsentrasi
terendah analit dalam suatu sampel bisa dideteksi dan limit of quantitation, yaitu
konsentrasi terendah analit di dalam sampel yang dapat diukur secara kuantitatif
(Yong, 1995).
3. Linearity (rentang kelurusan)
Rentang kelurusan yaitu suatu rentangan kadar yang terendah sampai kadar tertinggi
yang ditentukan dengan kadar dan direlasikan dengan serapan pada spektrofotometri
dengan koefisien korelasi yang mendekati satu (Mulya dan Suharman, 1995).
4. Accuracy (akurasi)
Akurasi adalah keterdekatan nilai hasil pengukuran dengan nilai sebenarnya yang
dinyatakan berupa persen perolehan kembali (recovery) dari penambahan zat atau
sampel yang diketahui kadarnya.Menurut Food and Drug Administration (FDA),
persyaratan perolehan kembali metode analisis adalah 80-120% (Mulya dan
Suharman, 1995).
5. Prescision (presisi)
Presisi yaitu tingkat kesamaan nilai antar data yang diperoleh bila prosedur diulang
untuk beberapa sampling pada sampel yang sama. Prescision biasanya dinyatakan
dengan persen simpangan baku (standard deviation = SD) atau simpangan baku relatif
(koefisien variasi) dan juga dapat dinyatakan dengan reprodubility (ketertiruan),
intermediate presicion, dan repeatability (keterulangan)..Presisi yang baik dinyatakan
dengan CV < 2% (Mulya dan Suharman, 1995).
6. Ruggedness (ketangguhan)
Ruggedness digunakan untuk melihat reprodusibilitas hasil analisis menggunakan
sampel yang sama dengan berbagai macam kondisi percobaan seperti laboratorium,
analisis, instrument, waktu yang berbeda, dan lain-lain (Yong, 1995).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. PRINSIP PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam analisis besi yaitu metode spektrofotometri visible dan
preparasi sampel melalui cara pengabuan kering untuk mengukur kadar besi total dan
ekstraksi untuk mengukur kadar Fe2+. Kadar Fe3+ dapat diperoleh dari selisih kadar besi
total dengan kadar Fe2+ dalam sampel.
Prinsip dari spektrofotometri visibel yaitu banyaknya energi yang diabsorbsi pada
panjang gelombang tertentu sebanding dengan banyaknya molekul yang menyerap radiasi,
dalam hal ini panjang gelombang yang digunakan berkisar antara 400-750 nm (sinar
tampak). Untuk itu, senyawa yang dianalisis harus merupakan senyawa yang berwarna.
Untuk mengubah senyawa yang tidak berwarna jadi berwarna dibutuhkan reaksi
pengkompleksan.
B. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
Alat – alat yang digunakan yaitu erlenmeyer, pipet volum, pipet tetes, gelas beaker,
aluminum foil, glass firn, labu takar, neraca analitik, sendok, spektofotometer visibel,
mortir dan stamper, orbital shaker, cawan porselen, tanur.
2. Bahan
Bahan – bahan yang digunakan yaitu sereal “Honey Stars“, larutan besi standar, larutan
hidroksilamin hidroklorida, asam klorida, H2O demineralisata, larutan o-fenantrolin,
magnesium nitrat, asam asetat, natrium asetat.
C. PROSEDUR KERJA
1. Uji Pendahuluan
a. Pemilahan sampel
Memilah antara kemasan dengan kondisi baik dengan kemasan dengan kondisi rusak
(pada praktikum kali ini akan menganalisis sampel dengan kemasan yang masih baik).
b. Pemastian sampel
Dilakukan dengan cara identifikasi :
Nama Sampel : Nestle Honey Stars
Produsen : PT. Nestle Jakarta-Indonesia
Komposisi : Lemak, besi, air, vitamin c, kalsium, vitamin B1, vitamin B2,
vitamin B3, vitamin B5, vitamin B6, vitamin B9, vitamin B12, natrium, dan asam
folat.
Tanggal kadaluarsa : 23 Juli 2014 (menandakan sampel masih dapat dianalisis
tanpa perlu pertimbangan mengenai zat yang sudah terdegradasi akibat sudah
melewati tanggal kadaluarsa)
Kode Produksi : 32544786W 16
Uji organoleptis sampel :
1) Bentuk : sampel yang digunakan harus memiliki bentuk sesuai dengan
keterangan identitas produk
2) Bau : sampel tidak berbau tengik
3) Warna : warna pada sampel harus sesuai dengan warna pada umumnya (putih
kekuningan)
2. Pra perlakuan (Sample handling)
Sampel disimpan dalam suhu kamar, di tempat yang kering dan tidak terkena sinar
matahari secara langsung.
3. Pembuatan Reagen dan Standar
a. Larutan o-fenantrolin
Larutkan 0,1 g o-fenantrolin dalam 80 mL H2O demineralisata pada suhu 800C,
dinginkan, kemudian ad pelarut hingga tanda batas dalam labu takar 100 mL. Selain
o-fenantrolin, dapat juga digunakan molybdenum, selenit, difenilkarbazon, atau
bathofenantrolin.
b. Larutan standar besi (0,1 mg/mL)
Larutkan 0.1 gram serbuk besi (analytical grade) dalam 20 mL HCl p.a. 12N dan 50
mL H2O demineralisata, larutkan sampai 100 mL. Diambil 10 mL larutan tersebut,
kemudian diencerkan dengan H2O demineralisata dalam labu takar 100 mL. Dapat
juga digunakan 3,512 g Fe(NH4)2.6H2O dalam H2O demineralisata, kemudian
ditambahkan 2 tetes HCl, larutkan sampai 500 mL, lalu diambil 10 mL larutan ini,
kemudian diencerkan dengan H2O demineralisata dalam labu takar 100 mL.
c. Larutan magnesium nitrat (0.5 g/mL)
Larutkan 50 gram magnesium nitrat (Mg(NO3)2.6H2O) dengan H2O demineralisata,
kemudian larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, add dengan
H2O demineralisata hingga batas tanda.
d. Buffer asetat (pH = 3,9)
Larutkan 8,3 gram natrium asetat anhidrat (NaC2H3O2) (sebelumnya dikeringkan
pada suhu 1000C) dalam H2O demineralisata, kemudian tambahkan 12 mL asam
asetat glasial, selanjutnya add menggunakan H2O demineralisata dalam labu takar
100 mL. Larutan ini berfungsi mencegah hidrolisis dari besi.
e. Larutan hidroksilamin hidroklorida
Larutkan 10 gram H2NOH.HCl dengan H2O demineralisata. Kemudian larutan
dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, tambahkan H2O demineralisata hingga
batas tanda. Senyawa pereduksi lainnya yang dapat digunakan yaitu Na tiosulfat,
sulfit, senyawa NH3OHCl, hidrazin, hidrogen sulfida, dan vitamin C.
f. Pembuatan larutan standar besi (II) untuk adisi (0.1 mg/mL)
Ditimbang 48.7 mg FeSO4.7H2O p.a., kemudian dilarutkan dalam labu takar 100 mL
menggunakan H2O demineralisata hingga batas tanda. Larutan ini digunakan untuk
validasi akurasi (penentuan recovery).
4. Rencana Optimasi
a. Penentuan Operating Time
Ambil 10,0 mL larutan stok standar besi (3b), masukkan ke dalam labu takar 25 mL.
Tambahkan 1 mL larutan hidroksilamin hidroklorida diamkan selama 5 menit lalu
tambahkan 5 mL larutan buffer dan 1 mL larutan o-fenantrolin. Kemudian tambahkan
H2O demineralisata sampai batas tanda. Scan larutan tersebut pada panjang
gelombang teoritis (510 nm) setiap 1 menit selama 30 menit.
b. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum (λmaks)
Ambil 10,0 mL seri larutan standar (3b) ke dalam labu takar 25,0 mL. Tambahkan 1,0
mL larutan agen pereduksi diamkan selama 5 menit lalu tambahkan 5,0 mL larutan
buffer dan 1,0 mL larutan o-fenantrolin, diamkan sesuai operating time yang
diperoleh. Kemudian tambahkan H2O demineralisata sampai batas tanda. Scan
masing-masing larutan pada panjang gelombang antara 450-550 nm.
5. Pembuatan Kurva Baku
Konsentrasi seri kurva baku yang dibuat adalah 0.001; 0.002; 0.003; 0.004; 0.005 mg/mL
dengan cara mengambil 1.0; 2.0; 3.0; 4.0; 5.0 mL larutan standar besi (3b) kemudian
ditempatkan dalam labu takar 100 mL. Tambahkan 4 mL agen pereduksi, diamkan selama
5 menit, tambahkan 20 mL buffer dan 4 mL o-fenantrilin, diamkan selama OT.
Tambahkan H2O demineralisata sampai batas tanda. Absorbansi masing–masing larutan
diukur pada panjang gelombang maksimum. Buat kurva baku dan persamaan regresi
linearnya (hubungan antara konsentrasi (sumbu x) dan absorbansi (sumbu y)).
6. Preparasi Sampel
Sampel digerus hingga halus dengan menggunakan mortir dan stamper. Kemudian
sampel yang telah halus ditimbang sebanyak 40 gram dan diayak dengan ayakan No. 20.
7. Pengabuan Kering
Timbang 12.5 gram serbuk sampel yang akan diabukan dalam cawan porselin. Cawan
porselin yang berisi sampel dipanaskan langsung pada nyala api lampu spiritus.
Tambahkan 1,0 mL Mg(NO3)2 untuk mengurangi waktu pengabuan, keringkan dan
nyalakan api dengan hati-hati, hindari dari percikan. Pengabuan dilakukan hingga praktis
bebas karbon, kemudian diangkat dan didapatlah abu besi.
Reaksi yang terjadi yaitu : Fe(s) + O2(g) Fe2O3(s)
8. Penetapan Kadar Besi Total
Sampel yang telah diabukan pada cawan porselin selanjutnya didinginkan dan
ditambahkan 5 mL HCl p.a. 12N, biarkan asam membilas bagian atas dari cawan dan
uapkan sampai kering di atas steam bath. Tahap ini dilakukan untuk melarutkan besi,
dimana dihasilkan garam- garam besi (II) dan hidrogen.
Reaksi yang terjadi :
Fe + 2H+ Fe2+ + H2
Fe + 2HCl Fe2+ + 2Cl- + H2
(Maria S., 2006).
Kemudian larutkan residu dengan 2 mL HCl p.a. 12N, dan panaskan 5 menit di atas steam
bath dengan gelas arloji di atas cawan (posisi gelas arloji dengan bagian cembung berada
dibawah).
Reaksi yang terjadi :
Fe2O3 + 6HCl 2FeCl3 + 3H2O
Cuci gelas arloji dengan H2O demineralisata. Larutan residu pada cawan porselin
selanjutnya disaring, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Bilas cawan
porselin dengan H2O demineralisata. Kemudian larutan residu diencerkan dengan H2O
demineralisata hingga batas tanda. Selanjutnya ambil 10,0 mL larutan, masukkan ke
dalam 25 mL labu takar. Tambahkan 1 mL larutan hidroksilamin hidroklorida. Diamkan
selama 5 menit lalu tambahkan 5 mL larutan buffer dan 1 mL larutan o–fenantrolin,
diamkan selama operating time yang telah ditentukan.
Reaksi yang terjadi :
Fe2+ + 3 C12H8N2 [Fe(C12H8N2)3]2+
Fe2+(aq) + 3 C12H8N2H+
(aq) [Fe(C12H8N2)3]2+ + 3H+
Kompleks yang terbentuk akan berwarna merah jingga pada pH 2-9. Selanjutnya,
ditambahkan H2O demineralisata hingga batas tanda. Selanjutnya dilakukan pengukuran
dengan spektrofotometri visibel dengan panjang gelombang maksimal yang telah
ditetapkan. Kadar besi total dalam sampel ditetapkan dengan memplotkan absorbansi
terukur dengan persamaan kurva baku yang telah diperoleh sebelumnya. Dilakukan
replikasi sebanyak tiga (3) kali.
9. Ekstraksi ferro dengan o–fenantrolin
a. Pembuatan larutan pengesktrak (C12H8N2) 1,5% dalam buffer HCl dengan pH 3,0.
Larutkan 3,75 g o-fenantrolin menggunakan HCl 1N yang ditambahkan tetes demi
tetes hingga semua o-fenantrolin larut. Larutan kemudian dimasukkan ke dalam labu
takar 250 mL. Selanjutnya add H2O demineralisata hingga batas tanda. pH akhir
larutan akan berada di sekitar pH 3,0.
b. Prosedur Ekstraksi:
1) Timbang 12.5 g sampel halus, masukkan dalam tabung erlenmeyer 250 mL.
2) Tambahkan 100 mL larutan pengesktrak dalam Erlenmeyer.
3) Tutup mulut tabung dengan plastik, gojok dalam orbital shaker selama 4-5 jam.
4) Filter dengan kertas saring bebas logam, kemudian ambil bagian filtratnya.
5) Letakkan dalam labu takar 100 mL, lalu encerkan dengan H2O demineralisata
hingga batas tanda.
6) Dilakukan replikasi sebanyak 3 kali
c. Penetapan kadar Fe2+
Masing-masing filtrat diambil sebanyak 10,0 mL, masukkan dalam labu takar 25 mL.
Encerkan dengan H2O demineralisata hingga batas tanda. Dari hasil pengenceran
dilakukan pengukuran dengan spektrofotometri visibel dengan panjang gelombang
yang telah ditetapkan.
d. Penetapan kadar Fe3+
Penetapan kadar ferri (Fe3+) dapat dihitung dengan cara jumlah Fe total hasil dari
pengabuan kering yang didapatkan dikurangkan dengan jumlah ferro yang didapatkan
dari hasil ekstraksi ferro dengan o-fenantrolin.
10. Rencana Validasi
1. Linieritas
Menghitung linieritas dari hasil pengukuran spektrofotometer, metode
analisis dapat diterima apabila koefisien korelasi yang diperoleh mendekati satu (r ≥
0,999). Sebanyak 5 seri konsentrasi larutan baku diukur absorbansinya dengan
menggunakan spektrofotometer visibel pada panjang gelombang maksimum. Dari
perolehan absorbansi tersebut kemudian diplotkan dengan membentuk kurva
konsentrasi vs absorbansi. Kurva yang diperoleh selanjutnya dibuat persamaan
garisnya dengan metode regresi linier y = bx + a. Pada persamaan tersebut a
menyatakan intersep dan b menyatakan slope. Linieritas dari kurva dilihat dari nilai
koefisien korelasi (r).
2. Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi
Batas deteksi atau LoD merupakan konsentrasi analit terendah dalam sampel
yang masih dapat dideteksi dan batas kuantifikasi atau LoQ merupakan konsentrasi
analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang
dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan. Persamaan regresi
linier yang diperoleh pada uji linieritas selanjutnya digunakan untuk menghitung
LoD dan LoQ.
3. Akurasi
Menghitung persen perolehan kembali (recovery) dari hasil pengukuran yang
telah dilakukan. Untuk keperluan tersebut maka ditambahkan standar adisi untuk
sampel yang dianalisis.
Timbang 5 gram serbuk sampel yang akan diabukan dalam cawan porselin.
Tabel 1. Pengguaan Standar Adisi
A B C D E
Sampel + 1,0
mL larutan 3f
Sampel + 2,0
mL larutan 3f
Sampel + 3,0
mL larutan 3f
Sampel + 4,0
mL larutan 3f
Sampel + 5,0
mL larutan 3f
Kemudian tambahkan 1.0 ; 2.0 ; 3.0 ; 4.0 ; 5.0 mL larutan besi standar untuk
adisi (3f). Selanjutnya cawan porselin yang berisi sampel dipanaskan langsung pada
nyala api lampu spiritus. Tambahkan 0,5-1,0 mL Mg(NO3)2 untuk mengurangi
waktu pengabuan, keringkan dan nyalakan api dengan hati-hati, hindari dari
percikan. Pengabuan dilakukan hingga praktis bebas karbon.
Sampel yang telah diabukan pada cawan porselin selanjutnya didinginkan dan
ditambahkan 5 mL HCl p.a. 12N, biarkan asam membilas bagian atas dari cawan
dan uapkan sampai kering di atas steam bath. Kemudian larutkan residu dengan 2
mL HCl p.a. 12N, dan panaskan 5 menit di atas steam bath dengan gelas arloji di
atas cawan(posisi gelas arloji dengan bagian cembungberada dibawah). Cuci gelas
arloji dengan H2O demineralisata. Larutan residu pada cawan porselin selanjutnya
dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Bilas cawan porselin dengan H2O
demineralisata. Kemudian larutan residu diencerkan dengan H2O demineralisata
hingga batas tanda.
Selanjutnya ambil 10,0 mL larutan, masukkan ke dalam 25 mL labu takar.
Tambahkan 1 mL larutan hidroksilamin hidroklorida. Diamkan selama 5 menit lalu
tambahkan 5 mL larutan buffer dan 1 mL larutan o–fenantrolin diamkan selama
operating time yang telah ditentukan.Tambahkan H2O demineralisata hingga batas
tanda. Selanjutnya dilakukan pengukuran dengan spektrofotometri visibel dengan
panjang gelombang maksimal yang telah ditetapkan. Kadar Fe2+ dalam sampel
ditetapkan dengan memplotkan absorbansi terukur dengan persamaan kurva baku
yang telah diperoleh sebelumnya.
Selanjutnya hitung persen recovery menurut rumus:
Menurut Food and Drug Administration (FDA), persyaratan perolehan kembali
metode analisis adalah 80-120%.
4. Presisi
Menghitung parameter presisi yang biasanya dinyatakan dalam persen
simpangan baku (standar deviasi) atau simpangan baku relatif (koefisien variasi).
Larutan sampel yang telah disiapkan diukur absorbansinya menggunakan
spektrofotometer visibel. Pengukuran absorbansi sampel berdasarkan replikasi
sampel pada tahap preparasi sampel sebanyak 3 kali. Absorbansi sampel yang
diperoleh dari pengukuran selanjutnya dihitung kadarnya menggunakan persamaan
kurva baku yang telah diperoleh sebelumnya. Kadar yang diperoleh dari ketiga
replikasi dihitung standar deviasi (SD) dan koefisien variansi (CV). Standar deviasi
dan koefisien variansi dapat dihitung dengan rumus :
Suatu metode analisis dapat diterima apabila koefisien variasi nya dibawah 2%
untuk larutan baku dan 4%untuk larutan sampel.
BAB IV
DATA PENGAMATAN
A. PEMBUATAN REAGEN DAN STANDAR
Larutan Penimbangan (g)
o-fenantrolin
Berat wadah 0.4248
Berat wadah + zat 0.5274
Berat wadah + sisa 0.4270
Berat o-fenantrolin 0.1004
Standar Besi
(0.1 mg/mL)
Berat wadah 0.3964
Berat wadah + zat 0.4226
Berat wadah + sisa 0.4026
Berat Serbuk Besi 0.0200
Magnesium Nitrat
(0.5 g/mL)
Berat wadah 61.926
Berat wadah + zat 101.929
Berat wadah + sisa 61.927
Berat Magnesium Nitrat 50.002
Buffer Asetat
(pH = 3.9)
Berat wadah 100.460 0.2398
Berat wadah + zat 108.761 8.5449
Berat wadah + sisa 100.460 0.2661
Berat Natrium Asetat
Anhidrat
8.301 8.2788
Hidroksilamin Hidroklorida
Berat wadah 100.625
Berat wadah + zat 110.674
Berat wadah + sisa 100.657
Berat Hidroksilamin
Hidroklorida
10.017
Sandar Besi (II)
Adisi (0.1 mg/mL)
Berat wadah 0.4225
Berat wadah + zat 0.4725
Berat wadah + sisa 0.4235
Berat Sandar Besi (II) 0.0490
B. RENCANA OPTIMASI
Penentuan Operating Time
Scanning pada λ 510 nm
Menit Absorbansi Menit Absorbansi Menit Absorbansi
1 0.012 11 0.015 21 0.017
2 0.013 12 0.016 22 0.018
3 0.013 13 0.016 23 0.018
4 0.014 14 0.016 24 0.018
5 0.014 15 0.016 25 0.018
6 0.014 16 0.016 26 0.019
7 0.015 17 0.017 27 0.019
8 0.015 18 0.017 28 0.019
9 0.015 19 0.017 29 0.019
10 0.015 20 0.017 30 0.019
Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ( λ max)
Konsentrasi (mg/mL) Absorbansi Panjang Gelombang (nm)
0.001 0.123 508
0.003 0.409 509
0.005 0.711 510
C. PEMBUATAN KURVA BAKU
Pengukuran dilakukan pada λ 509 dengan OT 26 menit
Konsentrasi Seri Kurva Baku (mg/mL) Absorbansi
0.001 0.124
0.002 0.266
0.003 0.426
0.004 0.547
0.005 0.743
Y = bx + a y = 151.9x – 0.0345, r = 0.9976
D. PENGABUAN KERING
Penimbangan Replikasi Replikasi Replikasi Adisi Adisi Adisi Adisi Adisi
I (g) II (g) III (g) 1 (g) 2 (g) 3 (g) 4 (g) 5 (g)
Berat wadah 30.63 34.78 33.36 34.09 30.77 33.67 29.95 30.67
Berat wadah
+ zat
43.23 47.23 45.84 46.66 43.38 46.16 42.45 43.19
Berat Wadah
+ sisa
30.63 34.78 33.36 34.09 30.77 33.67 29.95 30.67
Berat Cereal 12.6 12.45 12.48 12.57 12.61 12.49 12.50 12.52
E. EKSTRAKSI FERRO DENGAN O-FENANTROLIN
Pembuatan Larutan Pengekstrak 1.5% dalam Buffer HCl dengan pH 3.0
Penimbangan (g)
Berat wadah 62.186
Berat wadah + zat 69.643
Berat Wadah + sisa 62.186
Berat o-fenantrolin 7.457
Ekstraksi
Penimbangan Replikasi I (g) Replikasi I (g) Replikasi I (g)
Berat wadah 101.73 106.92 122.83
Berat wadah + zat 114.26 119.62 135.56
Berat Wadah + sisa 101.79 107.05 123.03
Berat Cereal 12.47 12.57 12.53
Lampiran
Gambar 1. Hasil Pengabuan Sampel “Honey Stars” Pada Suhu 1800oC
Gambar 2. Seri Larutan Baku Standar Besi (II) yang Membentuk Kompleks Warna
dengan Larutan o-fenantrolin
Gambar 3. Hasil Maserasi Sampel “Nestle Honey Stars”
Gambar 4. Hasil Penguapan Sampel Setelah Penambahan HCl 12N 12.5 mL
Gambar 5. Hasil Penguapan Sampel Setelah Penambahan HCl 12N 5 mL
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tujuan pada praktikum ini adalah untuk mengetahui kadar ferro dan ferri dalam
sampel sereal “Nestle Honey Stars”. Dalam sampel makanan terdapat kandungan besi yang
diperlukan oleh tubuh sebagai asupan mineral. Fungsi besi dalam tubuh adalah mengangkut
oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh dan menghilangkan racun dari tubuh. Jika
kekurangan, efeknya bagi tubuh adalah timbulnya warna pucat pada bagian bawah kelopak
mata dan mudah lelah. Jika berlebihan, efek yang ditimbulkan adalah pembengkakan pada
hati. Namun, tidak semua kandungan besi tersebut baik untuk tubuh. Besi dapat berupa ferro
dan ferri. Ferro (Fe2+) merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi
kandungan Fe2+ dalam sampel makanan dapat mengalami oksidasi sehingga berubah menjadi
Ferri (Fe3+) yang berbahaya bagi tubuh. Campuran keduanya inilah yang hendak
dikuantifikasi seberapa besar kandungan masing-masing jenis besi tersebut.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu uji pendahuluan. Uji pendahuluan ini
dilakukan untuk melihat identitas dari sampel yang akan dianalisis. Tahapan uji pendahuluan
ini meliputi pemilahan dan pemastian sampel. Hasil yang didapatkan dari uji pendahuluan ini
yaitu sampel yang akan dianalisis benar berupa sereal bermerk “Honey Stars”, diproduksi
oleh PT. Nestle Jakarta-Indonesia, kemasan sampel baik (masih tertutup rapat), kode
produksi sampel : 32544786W 16, tanggal kadaluarsa: 23 Juli 2014, dan berat bersih: 170
gram. Komposisi sampel tersebut adalah Lemak, besi, air, vitamin c, kalsium, vitamin B1,
vitamin B2, vitamin B3, vitamin B5, vitamin B6, vitamin B9, vitamin B12, natrium, dan
asam folat. Hasil organoleptis yaitu bentuk bulan dan bintang, warna kuning, tidak berbau
tengik, rasanya tidak berubah. Untuk menjaga agar sampel yang dianalisa tidak mengalami
perubahan kandungan akibat terdegradasi ataupun hal lainnya, sampel disimpan dalam suhu
kamar, di tempat yang kering dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Dengan
demikian saat alanilis tidak perlu dikhawatirkan adanya zat lain dari hasil degradasi sampel
yang dapat mengganggu analisis.
Dalam percobaan ini diperlukan beberapa reagen dan standar sehingga dilakukan
tahap pembuatan reagen dan standar. Larutan yang dibuat meliputi larutan o-fenantrolin,
larutan standar besi, larutan magnesium nitrat, buffer asetat, larutan hidroksilamin
hidroklorida, larutan standar besi FeSO4.6H2O untuk adisi. Untuk membuat larutan-larutan
tersebut, digunakan H2O demineralisata sebagai pelarut. H2O demineralisata adalah air bebas
mineral, digunakannya air bebas logam ini untuk mencegah adanya logam lain selain ferro
ferri, sehingga tidak mengganggu analisis ferro dan ferri dalam sampel. Larutan o-fenantrolin
berfungsi sebagai agen pengompleks dalam reaksi pengkompleksan yang nantinya bereaksi
dengan besi (II) menghasilkan larutan kompleks warna merah muda (Ferrous tris-o-
phenantrolin). Larutan standar besi berfungsi sebagai larutan stok untuk pembuatan seri
konsentrasi larutan kurva baku. Pada saat melarutkan serbuk besi dilakukan di atas hot plate
yang berfungsi mempercepat kelarutan besi dengan bantuan panas. Larutan magnesium nitrat
berfungsi untuk mengurangi waktu pengabuan yang berarti mempercepat proses oksidasi dari
sampel. Buffer asetat berfungsi untuk menjaga pH sekitar 3,9. Tujuan dijaganya pH 3.9 pada
larutan yaitu selain reaksi berlangsung optimal pada pH ini, juga bertujuan untuk mencegah
adanya reaksi terhadap logam lain seperti Cu dan Co bila pH terlalu basa. Larutan
hidroksilamin hidroklorida berfungsi untuk mereduksi ion Fe3+ menjadi ion Fe2+. Pembuatan
larutan FeSO4.6H2O digunakan sebagai standar adisi pada proses validasi.
Tahap optimasi yang dilakukan dalam praktikum ini yaitu penentuan operating time
(OT) dan panjang gelombang maksimum (λmaks). OT adalah waktu yang diperlukan senyawa
untuk bereaksi dengan reaktan lainnya. Tujuan penentuannya adalah untuk mendapatkan
waktu bagi senyawa untuk bereaksi dengan stabil dan optimal, dimana ditunjukan dengan
nilai absorbansinya yang paling tinggi. Panjang gelombang maksimum adalah panjang
gelombang dimana perubahan satuan absorbansi memiliki nilai yang paling besar terhadap
setiap perubahan satuan konsentrasi (sensitif dan proporsional). Ada beberapa alasan
mengapa harus menggunakan panjang gelombang maksimal, yaitu :
1. Di sekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbasnsi datar dan pada kondisi
tersebut hokum Lambert-Beer akan terpenuhi
2. Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan
ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan panjang gelombang
maksimum.
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Tujuan penentuan panjang gelombang maksimal yaitu untuk mendapatkan nilai
absorbansi maksimum dalam pengukuran. Pengukuran OT dan panjang gelombang
maksimum menggunakan larutan standar, lalu ditambah pereduksi, pendiaman selama 5
menit, buffer, dan o-fenantrolin sebagai pengkompleks. Pada penentuan panjang gelombang
maksimum, didiamkan selama OT, dimana hasil OT yang diperoleh dalam percobaan ini
yaitu selama 26 menit. Penentuan panjang gelombang maksimum menggunakan konsentrasi
seri 1, 3, dan 5 seri kurva baku karena dianggap ketiga seri konsentrasi tersebut dapat
mewakili seri kurva baku. Dari hasil percobaan diperoleh panjang gelombang maksimum
(λmaks) pada 509 nm.
Dalam praktikum ini, digunakan kurva baku sebagai standar eksternal. Dari nilai
absorbansi yang diperoleh dari pengukuran larutas standar besi (II) yang digunakan untuk
menentukan kurva baku, maka dapat diperoleh persamaan kurva baku yang dapat digunakan
untuk mengkuantifikasi kadar ferro - ferri pada sampel. Kurva baku dibuat dengan seri
konsentrasi kurva baku 0.001; 0.002; 0.003; 0.004; 0.005 mg/mL dari stok larutan standar
besi (II). Absorbansi masing–masing larutan diukur pada panjang gelombang maksimum
(509 nm) dan dibiarkan selama OT (26 menit). Persamaan kurva baku yang didapat adalah y
= 151,9x – 0,0345 dengan r = 0,9976. Hasil r yang didapat cukup bagus karena mendekati 1,
sehingga dianggap kurva cukup linear dan dapat menggambarkan hubungan yang
proporsional antara konsentrasi dengan absorbansi.
Tahap selanjutnya yaitu tahap preparasi sampel. Sebelum dianalisis, sampel
dipreparasi terlebih dahulu. Sampel digerus hingga halus dengan menggunakkan mortir dan
stamper. Tujuan penggerusan ini yaitu untuk memperkecil ukuran partikel sampel. Dengan
semaik kecilnya ukuran partikel sampel maka kandungan besi dalam sampel dapat keluar dan
terambil dengan lebih mudah. Setelah itu sampel yang telah halus ditimbang masing-masing
sebanyak 12.5 gram untuk tiap replikasi. Dalam praktikum ini, digunakan 3 kali replikasi
dengan tujuan untuk mendapatkan data yang lebih obyektif dengan mengetahui rata-rata yang
diperoleh dari replikasi tersebut.
Untuk mendapatkan kadar besi total dilakukan tahapan-tahapan berikut. Tahapan
pertama yaitu sampel yang telah ditimbang diletakkan di dalam cawan porselin untuk
diabukan. Kemudian masing-masing replikasi ditambah larutan Mg(NO3)2. Penambahan
larutan Mg(NO3)2 berfungsi untuk mengurangi waktu pengabuan. Pada praktikum ini proses
pengabuan dilakukan di dalam tungku hingga suhunya mencapai 1800ºC. Pengabuan ini
dilakukan hingga praktis bebas karbon. Pengabuan hingga praktis bebas karbon ini
ditandakan bila seluruh sampel sudah berubah menjadi abu dan sampelnya sudah tidak ada
yang berwarna hitam, karena profil karbon berwarna hitam. Tujuan membuat sampel menjadi
praktis bebas karbon yaitu untuk mengurangi adanya residu pengganggu dalam analisis kadar
besi pada sampel. Dengan semakin berkurangnya residu dalam analisis, maka analisis kadar
besi dalam sampel akan lebih mudah tanpa perlu khawatir adanya residu pengganggu yang
terlalu banyak ikut terukur. Pada praktikum ini, terdapat satu sampel yang masih terdapat abu
hitam yang menandakan masih adanya karbon. Hal ini dapat terjadi karena terjadi
pencampuran yang tidak rata antara sampel dengan larutan Mg(NO3)2 yang ditambahkan,
selain itu dpat terjadi karena waktu pengabuannya yang kurang lama. Fungsi dari pengabuan
ini selain utuk menghilangkan karbon, yaitu untuk menghilangkan senyawa-senyawa lain
yang terdapat dalam sampel seperti lemak, vitamin-vitamin dan senyawa lain yang dapat
mengganggu analisis. Pengabuan juga berfungsi mengoksidasi besi. Reaksi yang terjadi yaitu
: Fe(s) + O2(g) Fe2O3(s). besi yang teroksidasi ini yang nantinya dapat direaksikan dengan
asam untuk menghasilkan garam besi (III), yang nantinya dapat direduksi menjadi besi (II)
dengan cara direaksikan dengan larutan hidroksilamin hidroklorida.
Tahap selanjutnya yaitu dilakukan penetapan kadar besi total. Tujuan tahap ini yaitu
untuk menentukan kadar besi (II) total pada sampel. Sampel yang telah diabukan ditambah
dengan 12.5 mL HCl 12N. Tujuan penambahan HCl pada tahap ini yaitu untuk melarutkan
besi yang terdapat dalam sampel, dimana dihasilkan garam – garam besi (II) dan hidrogen.
Reaksi yang terjadi :
Fe + 2H+ Fe2+ + H2
Fe + 2HCl Fe2+ + 2Cl- + H2
HCl disini merupakan agen pengoksidasi, sehingga besi mampu mengalami oksidasi menjadi
besi (II). Besi (II) yang terbentuk ini yang nantinya dapat membentuk reaksi komplek dengan
o-fenantrolin sehingga menghasilkan larutan berwarna yang dapat diukur absorbansinya
menggunakan spektrofotometri visible. Normalitas HCl yang digunakan yaitu HCl 12 N,
digunakan HCl 12 N agar reaksi oksidasi besi menjadi besi (II) lebih optimal. Kemudian
diuapkan hingga kering untuk menghilangkan residu – residu yang ada, sehingga yang tersisa
hanya besi (II) (meskipun pengotornya tidak dapat hilang semua secara bersih, tetapi residu
pengganggunya menjadi lebih sedikit dari sebelumnya). Dengan demikian maka nantinya
saat reaksi kompleks dengan o-fenantrolin dan pengukuran nilai absorbansi menggunakan
spektro visible, akan lebih akuran karena pengotor yang mengganggu sedikit. Hasil
penguapan berupa bercak kuning, yang menunjukkan adanya besi (II). Dari hasil pekerjaan
semua cawan menunjukan adanya sisa berupa bercak kuning, tetapi pada sebagian cawan
terdapat sisa abu berwarna hitam yang merupakan sisa karbon dari sampel. Adanya sisa ini
dikarenakan saat pengabuan kering belum berjalan sempurna, sehingga karbon yang terdapat
dalam sampel belum hilang semua dan menyisakan bekas abu berwarna hitam.
Hasil pengerigan tersebut kemudian ditambah lagi dengan 5 mL HCl 12N. Tujuan
penggunaan HCl 12N yaitu untuk menghasilkan besi (III) dari sisa Fe2O3 yang ada, dengan
reaksi : Fe2O3 + 6HCl 2FeCl3 + 3H2O, dimana HCl ini berfungsi sebagai pembentuk
garam besi (III) yang nantinya direduksi menggunakan larutan hidroksilamin hidroklorida
menjadi besi (II). Pada proses penguapan, cawan ditutup menggunakan kaca arloji dengan
bagian cekung menghadap luar. Posisi ini bertujuan agar uap yang dihasilkan dapat menetes
kembali dengan baik dalam satu titik di bagian cekungnya (tidak meluber keluar ketika
penutupannya dengan cara bagian cekung menghadap kedalam). Pembilasan cawan yang ada
titik – titik uapnya menggunakan H2O demineralisata dan diencerkan hingga 100 mL.
Larutan hasil pengenceran tersebut kemudian ditambah dengan larutan hidroksilamin
hidroklorida. Tujuan penambahan larutan ini yaitu untuk mereduksi besi (III) yang terbentuk
tadi menjadi larutan besi (II), yang nantinya mampu membentuk kompleks warna dengan
larutan o-fenantrolin yang nantinya diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometri
visible, reaksi yang terjadi :
Fe2+ + 3 C12H8N2 [Fe(C12H8N2)3]2+
Fe2+(aq) + 3 C12H8N2H+(aq) [Fe(C12H8N2)3]2+ + 3H+
Kompleks tersebut akan menghasilkan larutan berwarna jingga, semakin tinggi kadar
besi (II) nya maka akan semakin pekat warna yang dihasilkan. Labu yang berisi larutan
berwarna tersebut harus ditutup menggunakan allumunium foil, karena sifat senyawanya
yang fotosensitif dan ditakutkan dapat mengganggu pengukuran nilai absorbansi larutan.
Larutan akan berwarna merah jingga pada pH 2-9. Larutan kembali dilarutkan dan
diencerkan menggunakan H2O demineralisata yang berfungsi pelarut. Hasil larutan ini diukur
absorbansinya menggunakan spektrofotometer visible pada panjang gelombang dan OT yang
telah ditentukan sebelumnya. Kadar besi diperoleh dengan cara memplotkan nilai absorbansi
yang diperoleh dari larutan sampel dengan persamaan kurva baku yang telah diperoleh
sebelumnya. Tahap – tahap tersebut direplikasi tiga kali. Namun pada praktikum, tahap yang
dilakukan hanya sampai pada pengupan sampel menggunakan 5 mL HCl 12N. Dengan
demikian hasil kadar dari besi (II) pada sampel belum dapat diketahui. Dari tahap yang sudah
dilakukan tersebut hanya dapat diketahui bahwa sampel mengandung besi dari hasi reaksi
reduksi – oksidasi yang terjadi, dengan adanya hasil residu berwarna kuning yang
menunjukan adanya besi (II), dan terbentuknya kompleks warna berwarna merah jingga
denga o-fenantrolin.
Kemudian untuk mengetahui kadar ferro yang ada, dilakukan ekstraksi ferro dengan
o-fenantrolin dengan cara ekstraksi maserasi. Langkah pertama yang dilakukan yaitu
ekstraksi. Pertama sampel yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 12,5 gram kemudian
dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer. Setelah itu ditambahkan 100 mL larutan
pengekstrak. Larutan pengekstrak dibuat dengan cara melarutkan 7,5 gram o-fenantrolin
dengan HCl 1N yang ditambahkan tetes demi tetes hingga semua o-fenantrolin larut dan
dimasukkan ke dalam labu takar 500 mL serta di add H2O demineralisata hingga batas tanda
sampai pH akhir larutan akan berada di sekitar pH 3,0. Tujuan dijaganya pH larutan pada pH
3,0 ini untuk menjaga kestabilan dari ferro karena ferro stabil pada pH 3,0 dan bila pH di atas
dari 3,0 maka dimungkinkan pengotor seperti kobalt akan ikut terdeteksi dan akan
mengganggu hasil pengukuran. Namun pada praktikum pH larutan masih 4,0. Ini
dimungkinkan karena adanya kesalahan dari praktikan misalnya kurang teliti dalam
penimbangan ataupun bahan-bahan yang digunakan untuk membuat larutan pengekstrak ini
telah tercemar ataupun rusak.
Setelah itu campuran sampel dengan larutan pengekstrak yang ada di dalam
erlenmeyer digojok dalam orbital shaker selama 4 jam. Penggojokkan ini berfungsi untuk
menghomogenkan sampel dengan larutan pengekstrak dan agar semua zat besi yang ada
dalam sampel berada dalam larutan pengekstrak. Sebelum sampel digojok tabung erlenmeyer
di tutup dengan menggunakkan plastik paraffin. Penggunaan plastik paraffin ini untuk
menggantikan aluminium foil. Aluminium foil ini tidak boleh digunakkan karena terbuat dari
logam dan ditakutkan akan mempengaruhi hasil analisis. Dari hasil ekstraksi tersebut disaring
menggunakkan kertas saring bebas logam. Penggunaan kertas saring bebas logam ini
dimaksudkan agar pada saat penyaringan tidak ada logam pengganggu dari kertas saring yang
ikut tersaring sehingga tidak mengganggu hasil, karena pada praktikum ini yang akan
dianalisis berupa logam yaitu ferro dan ferri. Penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan
antara filtrat dengan ampasnya. Filtrat yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam labu
takar 100 mL dan diencerkan dengan H2O demineralisata hingga batas tanda. Ekstraksi ferro
dengan o-fenantrolin dilakukan replikasi sebanyak 3 kali.
Tahapan selanjutnya yaitu penetapan kadar ferro dengan cara filtrat diambil sebanyak
10 mL lalu dimasukkan ke dalam 25 mL lalu di add dengan H2O demineralisata dan
dilakukan pengukuran dengan menggunakkan spektrofotometri visible dengan panjang
gelombang maksimum (509 nm). Setelah kadar ferro diketahui maka dapat diketahui kadar
ferri dengan cara jumlah Fe total hasil dari pengabuan kering yang didapatkan dikurangkan
dengan jumlah ferro yang didapatkan dari hasil ekstraksi ferro dengan o-fenantrolin. Namun
tahapan ini tidak dilakukan karena keterbatasan waktu praktikum, sehingga praktikan tidak
mendapatkan kadar ferro dan ferri yang terdapat dalam sampel. Dari praktikum yang
diperoleh yaitu hingga tahap maserasi saja. Dari tahap maserasi ini dapat diketahui bahwa
sampel mengandung feri, hal ini dapat dilihat dari adana perubahan warna larutan sampel
yang tadinya hanya berwarna kuning (warna dari sampel itu sendiri) menjadi timbul warna
merah muda yang merupakan kompleks warna dari ferrous tris-o-phenantroline.
Dalam praktikum ini, dilakukan validasi metode. Validasi dilakukan dengan
menentukan linearitas, presisi, akurasi. Linearitas yang baik menggambarkan dicapainya
hubungan proporsional antara konsentrasi dengan absorbansi, yang dapat ditunjukkan dengan
r yang mendekati 1. Hasil kurva baku yang digunakan untuk kuantifikasi kadar ferro ferri
dalam sampel menunjukkan r = 0,9976. Hasil ini cukup baik sehingga dianggap memenuhi
hubungan yang proporsional antara kadar ferro ferri dengan absorbansi.
Pada penentuan akurasi, dilakukan dengan penentuan recovery dengan menggunakan
standar adisi. Akurasi merupakan ketelitian metode analisis atau kedekatan antara nilai
terukur dengan nilai sebenarnya. Prosedur penyiapan sampel + standar adisi sama terhadap
prosedur persiapan sampel. Namun karena keterbatasan waktu, praktikan tidak sempat
melanjutkan hingga pengukuran konsentrasi ferro ferri dalam sampel, sehingga akurasi tidak
dapat ditentukan. Pada praktikum ini, juga dilakukan penentuan presisi. Presisi merupakan
ukuran keterulangan metode analisis dan biasanya diekspresikan sebagai simpangan baku
relative dari jumlah sampel yang berbeda secara signifikan secara statistik. Penentuan presisi
dilakukan dengan menghitung standar deviasi (SD) dan koefisien variansi (CV). Namun
karena keterbatasan waktu, praktikan tidak sempat melanjutkan hingga pengukuran
konsentrasi ferro ferri dalam sampel, sehingga presisi juga tidak dapat ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, F., 2009, Makan Tepat Badan Sehat, Hikmah, Jakarta, pp.79.
Aziz, V., 2007, Analisis Kandungan Sn, Zn, Pb dan Fe Dalam Makanan Secara
Spektrofotometri UV-Vis, UII, Yogyakarta.
Badan POM, 2007, Keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor : HK.00.05.52.6291 tentang Acuan Label Gizi Produk Pangan, Badan POM,
Jakarta.
Christian, D., 2004, Analitycal Chemistry, John Wiley and Son Inc, Danvers, pp. 55-56.
Fessenden, 2000, Kimia Organik, adisi III, Erlangga, Jakarta, pp.436-437.
Gandjar, I.G., Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal.
255, 465-466.
Gibney, M.J., 2005, Gizi Kesehatan Masyarakat, Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 151-
152.
Horwitz, W., and Latimer, G.W., 2005, Official Methods of Analysis of AOAC International,
18th Edition, AOAC International, USA, pp. 32.2
Khopkar, S., 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, UI, Jakarta, pp. 275-279
Maria S., 2006, Penentuan Kadar ogam Besi Dalam Tepung Gandum Dengan Cara
Destruksi Basan dan Kering Dengan Spektrofotometri Serapan Atom Sesuian Standar
NAsional Indonesia (SNI)01-3751-2006, Universita Sumatra Utara, Medan, hal. 38.
Maxwell, D.L., and Holahan J.L., 1977, Elements of Food Technology : Breakfast Cereals,
AVI Publishing Company, Inc., USA, p.
Mulya, M., danSuharman, 1995, Analisis Instrumental, Cetakan Pertama, Airlangga
University Press, Surabaya, pp. 6-11
Neal, M.J., 2006, At A Glance Farmakologi Medis, Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta, pp. 49.
Risk Assesment: Iron, Expert Group on Vitamins and Minerals, 2003, Expert Group on
Vitamins and Minerals, United Kingdom, pp. 278-280.
Roth, H., 1988, Analisis Farmasi, UGM Press, Yogyakarta, pp. 424-426.
Science Lab, 2005, MSDS Acetic Acid, Science Lab, Texas.
Science Lab, 2005, MSDS Iron, Science Lab, Texas.
Science Lab, 2005, MSDS Magnesium Nitrate, Science Lab, Texas.
Science Lab, 2005, MSDS o-Fenantrolin, Science Lab, Texas.
Science Lab, 2005, MSDS Sodium Acetate, Science Lab, Texas.
Science Lab, 2005, MSDS HCl, Science Lab, Texas.
Science Lab, 2005, MSDS Water, Science Lab, Texas.
Skoog, A., D., West, M., and Donald, J., F., 1994, Analytical Chemistry, 6rh edition, Saunde
College Publishing, United Stated of America, pp. 161, 170.
Yong, K., 1995, United States of Pharmacopeica, 23rd ed, New York, United State of
America, pp. 1932, 1934.