fh.unsoed.ac.idfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripsi... · web viewwasiat wajibah...
TRANSCRIPT
i
WASIAT WAJIBAH BAGI AHLI WARIS NON MUSLIM
(TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR :
51.K/AG/1999).
SKRIPSI
Oleh :
FAKIHTA RAKHMAN IHAS
EIA006084
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2011
ii
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
SKRIPSI
WASIAT WAJIBAH BAGI AHLI WARIS NON MUSLIM
(TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 51.K/AG/1999).
Oleh:
FAKIHTA RAKHMAN IHAS
EIA006084
Diterima dan disahkan
Pada Tanggal, Agustus 2011
Menyetujui,
Penguji I/ Pembimbing I Penguji II/ Pembimbing II Penguji III
Mukhsinun,S.H.,M.H. Haedah Faradz, S.H., M.H Ujiati, S.H.,M.H.
NIP 19590212 198702 1 001 NIP 19590725 198601 2 001 NIP 19490915 198003 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Hj. Rochani Urip Salami,S.H.,M.S.
iii
NIP. 19520603 198003 2 001
SURAT PERNYATAAN
Bertanda tangan dibawah ini :
Nama : FAKIHTA RAKHMAN IHAS
NIM : EIA006084
SKS : 2006
Judul skripsi : WASIAT WAJIBAH BAGI AHLI WARIS NON
MUSLIM (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 51.K/AG/1999).
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya
sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui
sebagai tulisan atau pikiran saya.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa saya melanggar
ketentuan tersebut, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Purwokerto, Agustus, 2011
Yang Membuat Pernyataan,
FAKIHTA RAKHMAN IHAS
NIM.E1A006084
iv
MOTO
“Hidup Adalah pIlihAN
Jalani hiDup ini Penuh Dengan Pilihan...jaNgan MenjadIkan
satu Hal sEbagai AcuAn...TaPi gUnakan bErbagaI HaL untuk
Setiap lanGkah qt keDepAn..
paDa Intinya orang Hidup Itu KuDu SABAR!!!!!
KagAk ada yang didApet dengan muDah untuk mempeRoleh
Sesuatu.kuDu SaBar Dan IkhtyaR teNTunya..
Keep spirit !!!”
ABSTRAK
v
Manusia merupakan mahluk hidup yang paling sempurna diantara mahluk lain
ciptaan Allah S.W.T, karena itu manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam
dan saling melakukan interaksi dalam hubunganya dengan manusia lainya, baik antara
muslim dengan non muslim.Salah satunya dalam hal mewaris yang terdapat dalam
putuan Mahkamah Agung Nomor 51.K/AG/1999 yang memberikan wasiat wajibah
kepada ahli waris non muslimyang kehilangan hak mewarisnya karena perbedaan agama.
Wasiat wajibah yang diberikan mahkamah agung dengan nomor 51.K/AG/1999
adalah untuk saudara kandung non muslim, padahal dalam Kompilasi Hukum Islam
dianalogikan kepada anak angkat dan orang tua angkat. Sedangkan perbedaan agam tetap
merupakan penghalang untuk dapat saling mewarisi. Sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim bahwa Rasulullah S.A.W pernah bersabda “ Orang-orang yang
beragama Islam tidak berhak mewarisi harta peninggalan orang-orang non muslim dan
begitu juga sebaliknya orang-orang non muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan
orang Islam”
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertimbangan hukum yang digunakan
hakim Mahkamah Agung terhadap pewarisan kepada ahli waris non muslim dalam
putusan nomor 51.K/AG/1999
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normative, dengan
spesifikasi penelitian deskriptif analisis, sumber data yang digunakan adalah data
sekunder berupa putusan Mahkamah Agung Nomor 51.K/AG/1999, Undang-undang dan
buku-buku literature yangh berkaitan dengan masalah penelitian.Data yang diperoleh
disajikan secara sistematis, dan analisis data dilakukan secara kualitative.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa Mahkamah Agung memberikan bagian
dari harta warisan kepada ahli waris non muslim, melalui wasiat wajibah.Putusan ini
bertentangan dengan hadist nabi Muhammad S.A.W yang diriwayatkan oleh Bukhori dan
Muslim” Orang-orang yang beragama Islam tidak berhak mewarisi harta peninggalan
vi
orang-orang non muslim dan begitu juga sebaliknya orang-orang non muslim tidak dapat
mewarisi harta peninggalan orang Islam”
Putusan Mahkamah Agung Nomor 51.K/AG/1999 juga tidk sesuai dengan pasal 171
huruf C Kompilasi Hukum Islam, dan pertimbangan hakim Mahkamah Agung yang
memposisikan Ahli waris non muslim seperti anak angkat dengan memberikan putusan
berdasarkan wasiat wajibah tidak tepat, karena tidak seseuai dengan Pasal 209 ayat (1),
dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
Kata Kunci : Wasiat Wajibah , Ahli Waris Non Muslim
ABSTRACT
vii
Human being is a creature that the most perfect among the other creatures of
Allah SWT, because of that human being has the diversity of need and doing the
interacton in relationship with the other human being whether between the Moslem
and non Moslem. One of this relationship is related to the legacy that is explained in the
decision of Supreme Court Number 51.K/AG/1999 that gives the testament of wajibah
to the non Moslem heirs hat lost their legacy because the different of their religion.
Testament of wajibah that has been given by supreme court number
51.K/AG/1999 is to full sibling of non Moslem, in fact in the Islam Law Compilation it
is analogized to the adopted child and parent of adopted child. And the different in
religion still become the barrier to get the legacy each other. As explained by
Bukhori and Muslim that Rasulullah S.A.W said that “The people that has Islam
religion did not have the right to get the legacy from the non Moslem wealth and
conversely for the non Moslem its self did not get the legacy from the Moslem
wealth”
The purpose of this research is to find out the law consideration that is used
by the judge of Supreme Court to the legacy for the wealth to the heirs of non
Moslem in the decision number 51.K/AG/1999.
This research uses the method of normative juridical approach by using
analysis descriptive research, data source uses the secondary data as decision of
Supreme Court Number 51.K/AG/1999, Ordinance and book literatures that connected
with the research problem. Data that has been obtained them presented systematically,
and data analysis is conducted qualitatively.
From the research result it can be found out that Supreme Court gives the part
of the legacy to the heirs of non Moslem, through the testament of wajibah. This
decision is contradiction wit h the prophet’s Hadist of Muhammad S.A.W that was
explained by Bukhory and Muslim “The people that has Islam religion did not have
viii
the right to get the legacy from the non Moslem wealth and conversely for the non
Moslem its self did not get the legacy from the Moslem wealth”
The decision of Supreme Court Number 51.K/AG/1999 also does not being
appropriate with the article 171 letters C in Islam Law Compilation, and the judge
consideration of Supreme Court that put their self as heirs of non Moslem as adopted
child by giving the decision based on the testament of wajibah is not being appropriate,
because it does not being appropriate with the Article 209 (1), and (2) in Islam Law
Compilation.
Keywords: Testament of Wajibah, Heirs of Non Moslem
KATA PENGANTAR
ix
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul
“WASIAT WAJIBAH BAGI AHLI WARIS NON MUSLIM (TINJAUAN
YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR :51.K/AG/1999)”.
Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu
pada kesempatan ini dengan segenap rasa hormat dan kerendahan hati, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Ibu H. Mukhsinun , S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah
memberikan bimbingan dan arahan hingga selesainya skripsi ini.
3. Bapak Haedah Faradz, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah
memberikan bimbingan dan arahan hingga selesainya skripsi ini.
4. Ibu Ujiati, S.H.,M.H., selaku Penguji yang telah memberikan saran-saran untuk
perbaikan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Saryono Hanadi S.H, M.H, selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan arahan dan bimbingan akademik selama mengikuti kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis selama mengikuti kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
7. Orang Tua dan Keluarga tercinta serta kawan-kawan seperjuangan yang telah
memberikan dukungan baik materiil maupun spiritual kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
x
Penulis dalam penulisan skripsi ini telah berusaha dengan sebaik-baiknya, namun
mengingat keterbatasan yang ada pada diri penulis, maka penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapkan dalam penyempurnaan skripsi ini. Dan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulils dan semua pihak yang membutuhkan.
Purwokerto, Agustus 2011
Penulis
xi
PERSEMBAHANKU
this creation’s dedicated to:
1. Allah SWT, Maha Pengasih dan Penyayang yang telah melimpahkan nikmat
dan karunia Nya, sehingga menjadi penerang hidupku.
2. Kedua orang tua ku ( ir.Ali ranchman.M.SI / Parwati) yang telah merawat dan
mendidik dengan penuh kasih sayang dan pelajaran hidup yang begitu berarti,
yang selalu memberikan semangat dan motivasi hingga pada akhirnya q
mampu untuk terus bangkit dari sekian keterpurukan yang q hadapi.Maaf q
belum bias membuat kalian bangga,paling tidak baru ini yang mapu q berikan
sebagai tanda bakti q kepada kalian.terima kasih atas segala yang telah
diberikan selama ini,baik secara materiil maupun immaterial…semoga esok
setelah sat ini q mampu mebuat kalian lebih bangga lagi
3. My brother , Saghuna Ramadhan.yuh koe ws mulai kul September besok.q
keluar kamu masuk,,nek bias jangan tiru masa lalu q di kampus hokum ini
yang ndleker ini.km kudu lebih rajin n semangat y.kalau bisa selesai dalam
wktu 3,5 tahun dikampus peternkan mu,,
4. Ayankuww n cintakuww, Ambar Astianingrum yang selalu mengisi hari-
harikuw dengan cinta dan kasih syankmu, makasih y atas segala waktu dan
harimu yang ade berikan,kesabaran mendengarkann keluh kesal q,hingga
mungkin telingamu memerah dan matamu pun menyipit….hehehe.makasih
juga atas segala pengorbanan yang ade berikan..
5. Special thanks to:
- Didit Yudanto bin Arino…hem…..q bingung dit arepo nulis apa go
koe,,heheh diomong apik y ora, ora juga y Mandan apik hehehe.tz y dit atas
segala bantuane selama ini,meh 5 tahun dewek brg,akeh crita akeh
duka,,tapi nek karo koe akeh dukane apa y hehehe.ayuh dit, q ws metu
xii
kiye,q sing lewih neng ngisormu jg ws rampung,koe juga kudu gagian
rampung y…salam go pak arino n keluarga y .kapan2 tak mampir ming
umahmu y..
- Bachtiar S.Ajez…hehehehe kanca all in,kanca bolos,,kanca poker,,yuh jez
gagian rampung.nek bisa desember y desember,nek emang bisa ne maret y
maret.aja kesuwen gole nyekeli buku..melas imah kae mbok disikat wong
hehehe.
- Jamal faruki bin mughni,,,hehehe sur gagian rampung sur…melas Yolanda
kae wis ngenteni sur….tx y sur atas bantuane selama ini sur….
- Fajar..kang mayuh digelis kang…aja mikirna si kae bae..masih banyak
wanita didepan sana hehehehe.
- Zain, hehehe ternyat ngene to rasane seminar n pendadarna.hem pantesan
rambutmu ngasi butak ngono.heh q nyusul ki olyh gelar S.H.wkwkwk.yuh
berjuan bareng maning kang 0 go golet kerja…
- Ari kucing bin sumarnNO…ehehehehe cing q ws rampung kiye..tx y ws
ngrewangi q slama kiye…yuh golet kerja bareng cing.,..sukses bareng ya….
- bwat temen-temen seperjuanganku, suci…hehehehen satu babeh beda ibu….
smoga sukses slalu buat km ci….akhirnya qt bisa selesai bareng nh cy…..
- bwat anak-anak FH UNSOED ‘06, Anggie, Febri, Gita, Maradona, Diah K
Dewi, Leny, Puji Pandu Dinilah, Widya, Eva, Argha, Fakihta, Zain,
gossblack,NurNaeny, Suci, Jamal, Didit, Aziz, Febri P., Fajar, Okta, Caca,
Dito, M.ari, Iqbal, Radix, Uzi, Diniel, Miko, Mila, Septian, Satya,
Somien,Guspa,marcel,arif,nanda,indra,Kodok,hafidz, Dan semua
MahaSiswa Fakultas Hukum lainnya yang tidak bias dibutkan satu-persatu,
Sukses buat kalian semua dan jangan lupakan pertemanan kita……!!!!!!!
6. Last but not least, semua pihak yang telah hadir dan mengisi hari- hari penulis.
Saat-saat indah bersama kalian akan selalu terekam di memory penulis, keep
smile in every single in your day…
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………………………………… . i
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….. ii
SURAT PERNYATAAN ........................……………………………….. iii
MOTTO …………………………………………………………...…...... iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
ABSTRACT…………………………………………………………….... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................... vii
PERSEMBAHAN ...................................................................................... xi
DAFTAR ISI……………………………………………………………... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………… 1
B. Perumusan Masalah………………………………………… 13
C. Tujuan Penelitian…………………………………………… 13
D. Kegunaan Penelitian………………………………………... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Waris Islam………………………………………… 15
1. Pengertian Hukum Waris Islam………………………… 10
2. Sumber-sumber Hukum Waris Islam….......……………. 15
3. Asas-Asas Hukum Waris Islam…………………………..21
B. Wasiat………………………….............................................. 18
xiv
1. Pengertian Wasiat………………………………………..36
2. Syarat-Syarat Wasiat…………………………………….37
3 Rukun Wasiat……………………………………………38
4 Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam………………….44
C. Wasiat Wajibah..............................................…………….... 50
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Pendekatan…………………………………...…. 60
B. Spesifikasi Penelitian……………………………………. 60
C. Lokasi Penelitian……………………………………….... 60
D. Sumber Data………………………………………..……. 61
E. Metode Pengumpulan Data…………………....……........ 61
F. Metode Penyajian Data…………………………….....….. 61
G. Metode Analisis Data……………………………..……... 62
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian………………………………………....... 63
B. Pembahasan.……………………………………….....…...81
BAB V PENUTUP
Simpulan ................................................................................... 90
Saran……………………………………………………………93
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan mahluk hidup yang paling sempurna di antara mahluk
ciptaan Allah S.W.T, oleh karena itu mempunyai hawa nafsu, pemikiran,
kecerdasan, yang tidak dimiliki oleh mahluk lainya. Sebagai mahluk hidup
manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam, dan untuk memenuhi
kebutuhan hidup tersebut manusia saling mengadakan hubungan antara satu
dengan yang lain.Salah satunya yaitu dengan melalui perkawinan yang diatur
dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
Sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku maka segala
pengaturan mengenai perkawinan, telah diatur secara jelas dalam Undang-
Undang No 1 tahun 1974. Undang-Undang ini mulai berlaku secara efektif
sejak 1 Oktober 1975 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya. Khususnya bagi orang yang
beragama Islam berlaku juga ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam
melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
Perkawinan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 adalah :
Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.1
1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty : Yogyakarta, 2000, hal :138.
2
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 tersebut di atas, dapat dilihat adanya unsur-
unsur : ikatan lahir batin, antara seorang pria dan seorang wanita, dan sebagai
suami isteri. Adapun yang dimaksud ikatan lahir ialah ikatan yang dapat
dilihat, dimana mengungkapkan adanya suatu hubungan antara seorang pria
dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri, atau disebut juga
hubungan formal dan hubungan ini sifatnya nyata. Ikatan batin merupakan
hubungan tidak formil atau merupakan ikatan yang tidak kelihatan dan hanya
dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi walaupun tidak
nyata ikatan itu harus ada. Hal ini disebabkan tanpa adanya ikatan batin,
ikatan lahir akan menjadi rapuh.2
Penjelasan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menentukan
sebagai berikut:
Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama ialah KeTuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, akan tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.3
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tersebut dapat diketahui, tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga
2 Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Semarang. Ghalia Indonesia, 1976, hal: 14-153 Soemiyati, op.cit,.hal : 9.
3
dapat diartikan pula bahwa sebenarnya perkawinan ini diharapkan untuk
berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.
Membentuk keluarga dalam perkawinan yang dimaksud adalah terdiri dari
bapak, ibu dan idealnya anak. Jadi mempunyai anak/keturunan adalah salah
satu tujuan dari perkawinan. Tujuan Perkawinan dalam Islam selain untuk
memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, sekaligus untuk
membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam
menjalani hidupnya di dunia ini, serta mencegah perzinahan, agar tercipta
ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman
keluarga dan masyarakat.4 Sebelum suami-isteri menikah, mereka mempunyai
hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kehidupannya, hak dan kewajiban
akan harta miliknya dan sebagainya, kemudian setelah mereka mengikatkan
diri dalam lembaga perkawinan, maka mulai saat itulah hak kewajiban mereka
menjadi satu. Pengertian menjadi satu tersebut bukan berarti hak dan
kewajiban atas harta masing-masing pihak akan meleburkan diri, melainkan
hak dan kewajiban atas harta mereka tetap utuh walaupun mereka telah
bersatu dalam kehidupannya.5
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 juga telah mengatur secara rinci
tentang harta perkawinan, antara lain dalam Pasal 35 yang menyebutkan :
1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
4 Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara : Jakarta, 1996, hal :26.5 Soemiyati, Op. Cit. hal : 138.
4
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.6
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatur lebih jelas
mengenai pembagian harta bersama yaitu dalam ketentuan Pasal 36 :
1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.7
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta
bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu
pihak tidak dapat meninggalkan pihak lainnya untuk melakukan perbuatan
hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka
seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu, seperti yang
disebutkan dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 :
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing.8
Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah semua harta yang
dimiliki oleh seseorang secara pribadi atau secara bersama-sama pada waktu
orang tersebut masih hidup. Pembahasan mengenai harta kekayaan menjadi
sesuatu yang penting ketika perkawinan tersebut berahir, atau salah satu antara
paangan suami istri meninggal, dimana harta kekayaan tersebut akan dibagi
6 Ibid,.7 Ibid,.8 Ibid,..
5
menjadi harta peninggalan dan harta warisan. Harta peninggalan adalah harta
kekayaan yang telah ditinggalkan pewaris, dimana jenis bendanya adalah harta
benda ( baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak ), dan hak-hak yang
mempunyai nilai kebendaan atau hak yang mengikuti bendanya. Harta warisan
adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi
hak ahli waris, dimana dari harta tersebut sisa setelah diambil untuk
kepentingan si mayit, yaitu untuk kepentingan pengurusan jenazah, hutang-
hutang dan penunaian wasiat.9
Dalam Hukum waris Islam menjelaskan bahwa pewarisan merupakan salah
satu bahasan yang sering menimbulkan perselisihan antara ahli waris dari
pewaris. Al-Qur'an dan Hadis telah mengatur bagian-bagian ahli waris secara
tegas, sehingga dikenal dengan sebutan al-furud al-muqaddarah (bagian pasti),
selain yang mendapat bagian sisa ('asabah). Oleh karena itu, ayat tentang bagian
ahli waris tergolong ayat yang petunjuknnya pasti atau tegas (dalalah
qat'iyyah).10
Dasar pemikiran waris karena adanya suatu akibat hukum dari suatu
peristiwa meninggalnya seseorang manusia, yang kemudian menyangkut
mengenai harta peninggalan. Berdasarkan batasan tersebut dapat diperoleh
ketentuan bahwa menurut hukum Islam kewarisan baru dapat terjadi setelah
pewaris meninggal dunia, dan meninggalkan harta warisan.11 Permasalahan
mengenai harta warisan sangat mudah menimbulkan sebuah masalah, maka
9 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta : Ekonisia, 2002, hal : 22.10 Ibid,.
11 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, UII Press Yogyakarta, 2001, hal : 132
6
diperlukan sebuah aturan hukum yang mengatur untuk menyelesaikan berbagai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap harta peninggalan seseorang pada
saat orang tersebut meninggal, yang kemudian akan beralih kepada ahli
warisnya. Hukum kewarisan Islam adalah hukum kewarisan yang diatur dalam
Al-Quran, Sunah Rasul, Fiqih serta hasil Ijtihad para fuqaha dalam memahami
ketentuan Al-Quran, dan Sunah Rasul.12
Hukum waris Islam dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf a
menjelaskan bahwa :
Hukum kewarisan islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah ) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagianya masing-masing.13
Dasar dari hukum waris islam berasal dari ayat-ayat yang terkandung dalam
Al –Quran, dimana ayat-ayat Al –Quran telah mengatur hukum waris
dengan jelas dan terperinci, seperti yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah
(2): 180. Sajuti Thalib dalam bukunya Hukum Kewarisan Islam Indonesia
menjelaskan beberapa sebab-sebab yang mengakibatkan timbulnya
hubungan waris-mewarisi adalah :
a. Hubungan nasab atau kerabat atau keturunan seperti ayah, ibu,
cucu, saudara kandung dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa
sebab-sebab terjadinya waris-mewarisi adalah kekeluargaan atau
nasab, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 7 :
12 Ibid,. hal : 130.13 Ibid,.
7
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ke-dua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak nagian ( pula ) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.14
Kekerabatan terjadi karena adanya hubungan keturunan antara dua
orang, baik keduanya berada dalam satu titik hubungan ( satu jalur )
seperti ayah ke atas atau anak kebawah, maupun pada jalur yang
memunculkan orang ketiga, yaitu saudara – saudara paman dari
ayah ibu.
b. Hubungan perkawinan yaitu suami atau istri, meskipun belum per-
nah berkumpul, atau telah bercerai, tapi masih dalam masa ‘iddah
talak raj’i. Perkawinan tersebut terjadi melalui adanya akad sah an-
tara seprang laki-laki dengan seorang perempuan, sekalipun belum
terjadi hubungan intim ( bersenggama ) antar keduanya.15 Adapun
perkawinan yang batal atau rusak tidak bias menjadi sebab untuk
mendapatkan hak waris.
c. Hubungan wala’ yaitu hubungan antara dua orang yang menjadikan
keduanya seakan sudah sedarang sedaging laksana hubungan nasab,
oleh karena itu, apabila ada seseorang yang memerdekakan ham-
banya dia menjadi maula dari orang yang dimerdekakanya, dan
berhak mewarisinya manakala bekas hambanya tersebut tidak mem-
punyai seorang pewaris pun.16
14 Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, Bandung : Pustaka Setia Bandung, 2009, hal : 111.15 Ibid,.16 Ibid,.
8
Rukun dan syarat warisan menurut hukum waris Islam :
a. Rukun Warisan
a) Muwarrits atau pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia, dan ahli
warisnya berhak untuk mewarisi harta waris.
b) Warrits atau ahli waris, yakni mereka yang berhak menerima harta
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan atau
ikatan pernikahan.
c) Mautus atau harta waris, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan
yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan seba-
gainya.17
b. Syarat Warisan
a) Meninggal dunianya pewaris, baik secara hakikat maupun secara
hukum, yang dimaksud secara hakiki maupun hukum adalah seseo-
rang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli waris atau seba-
gian dari mereka, atau vonis yang dijatuhkan hakim terhadap seseo-
rang yang tidak diketahui keberadaannya. Hal ini harus diketahui se-
cara pasti, karena bagaimanapun keadaanya manusia yang masih
hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta mi-
liknya. Matinya pewaris mutlak harus diketahui, agar tidak terjadi
permasalahan dikemudian hari.
b) Hidupnya orang-orang yang berhak mendapat harta warisan harus je-
las di saat meninggalnya pewaris. Maksudnya, hak kepemilikan dari
17 Muhammad Ali As-Shabuni , Hukum Waris Dalam Syariat Islam, Diponegoro : Bandung, 1998, hal :47.
9
pewaris harus dipindahkan kepada ahli waris yang secara syariat be-
nar-benar masih hidup.
c) Mengetahui status warisan secara pasti, termasuk jumlah bagiannya
masing-masing, dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah dike-
tahui secara pasti. Sebab dalam hukum waris jauh dekatnya hubun-
gan kekerabatan akan membedakan jumlah bagian yang diterima,
karena tidak cukup seseorang dikatakan sebagai saudara sang pe-
waris. Harus dinyatakan terlebih dahulu apakah ia sebagai saudara
kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing
mempunyai bagian yang tersendiri.18
Penghalang mewaris adalah keberadaan penghalang yang menyebabkan
gugurnya hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan.19 Ahli waris yang
dilarang mendapatkan warisan adalah seseorang ahli waris yang sebenarnya
mempunyai hak mewaris, tetapi karena suatu tindakanya telah meng-
gugurkan sebagian atau seluruh hak mewarisnya yaitu :
a. Faktor pembunuhan, yaitu apabila seseorang ahli waris membunuh
pewaris, ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah S.A.W. :
“ Pembunuh tidak berhak mewarisi harta orang yang
dibunuhnya”
Sangat masuk akal jika seseorang pembunuh tidak berhak atas harta
warisan yang yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah dibunuhnya.
18 Ibid.19 Abdul Ghofur Anshori, op.cit, hal : 31
10
Oleh karena itu, orang yang membunuh terhalang oleh perbuatannya
untuk mendapatkan warisan dari orang yang dibunuhnya. Kompilasi
Hukum Islam pasal 173 disebutkan:
Bahwa seseorang yang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena :
a) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris ;
b) Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.20
b. Faktor beda agama, dimana orang muslim memberikan warisan kepada
sesama muslim, dan jika ahli warisnya bukan muslim maka ia tidak
berhak mendapatkan warisan. Rasulullah S.A.W bersabda :
"la yarith al muslim al kafir wa la al kafir al-muslim", orang yang
beragama Islam tidak dapat menerima warisan dari orang yang
beragama lain (kafir), termasuk juga sebaliknya.21
c. Faktor perbudakan, yaitu seseorang yang berstatus sebagai budak tidak
mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudarannya. Sebab,
segala sesuatu yang dimiliki budak, secara tidak langsung menjadi milik
tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun ( budak murni ), mudabbar
( budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal ), atau
mukatab ( budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan
tuannya, dengan persyaratan yang disepakati oleh kedua belah pihak ).
20 Beni Ahmad Saebani, op.cit, hal : 209.21 Imam Malik Ibn Anas, Al-Muwata’ Imam Malik Ibn Anas, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999. Hal: 276.
11
Berdasarkan hal tersebut semua jenis budak merupakan penggugur hak
untuk mewarisi dak hak untuk diwarisi, disebabkan mereka tidak
mempunyai hak milik.22 Budak dapat mendapatkan hak waris, apabila ia
telah dimerdekakan oleh tuannya.
Dasar hukum ditetapkanya orang berbeda agama tidak mendapatkan hak
waris seperti yang disebutkan dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan Bukhari
muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah bahwa seorang muslim tidak
menerima warisan dari yang bukan muslim, dan sebaliknya seorang bukan
muslim tidak mewarisi dari seorang muslim, dimaksud dengan bukan agama
Islam adalah agama-agama kepercayaan dan aliran keaagamaan yang
bersumber selain dari agama Islam, hal ini menurut pendapat Jumhur ulama
seperti Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Imam Abu Daud.23 Berdasarkan hadits
tersebut maka dengan jelas bahwa bahwa orang yang berbeda agama atau
non muslim tidak dapat menerima hak mewaris dari orang muslim, begitu
juga sebaliknya. sesuai dengan hadist Rasulullah S.A.W :
"la yarith al muslim al kafir wa la al kafir al-muslim", orang
yang beragama Islam tidak dapat menerima warisan dari orang
yang beragama lain (kafir), termasuk juga sebaliknya.24
Hadis ini sebagai tambahan dari firman Allah S.W.T :
"layatawarath ahl millatain shatta", dua orang yang berbeda
agama tidak saling mendapatkan warisan sama sekali.25
22 Beni Ahmad Saebani, Syamsul falah, Hukum Perdata Islam Indonesia Di Indonesia, Bandung : Pustaka Setia, 2011, hal : 207.
23 Ibid,.24 Imam Malik Ibn Anas, op.cit, hal: 276.25 Ibid,.
12
Dua hadis inilah yang menjadi standar kewarisan di kalangan umat Islam
yang dianut oleh para ulama, sejak sahabat, ulama salaf dan khalaf. Namun
demikian, tidak menjadi ijma, karena ada beberapa sahabat tidak
menyepakatinya kafir di dalam hadis itu masih umum dan memerlukan khas
(pengkhususnya).
Menarik untuk dikaji, dalam putusan Mahkamah Agung Nomor register
perkara 51.K/AG/1999, yang memberikan bagian harta warisan melalui
“Wasiat Wajibah” kepada ahli waris non muslim, wasiat wajibah dalam
Kompilasi Hukum Islam dianalogikan kepada anak angkat dan orang tua
angkat. Sedangkan perbedaan agama tetap merupakan salah satu penghalang
untuk dapat saling mewarisi. Kompilasi Hukum Pasal 209 ayat 2 yang
menyebutkan bahwa :
Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya.26
Hal ini yang menjadi alasan bagi penulis untuk melakukan penelitian
guna penyusunan skripsi dengan judul : ” WASIAT WAJIBAH BAGI
AHLI WARIS NON MUSLIM“ (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah
Agung Nomor.51.K/AG/1999)”
26 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam. 2007,Sinar Grafika: Jakarta. Hal : 204.
13
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan yaitu : Bagaimana pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah
Agung tentang hak mewaris anak non muslim di dalam Putusan Mahkamah
Agung dalam putusan Nomor Register perkara 51. K /AG /1999?
C. Tujuan Penelitian
Ingin mengetahui pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim
Mahkamah Agung terhadap masalah pewarisan kepada anak non muslim
dalam putusan Nomor Register perkara 51. K /AG /1999?
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan disiplin ilmu
hukum perdata pada khususnya di Hukum Waris Islam
b. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat menjelaskan dan
memberi sedikit pencerahan bagi segenap civitas akademik Fakultas
Hukum UNSOED .
2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan infor-
masi bagi Mahasiswa, Hakim, Pengacara dan Masyarakat yang tertarik
dengan Hukum Waris Islam.
14
b. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat digunakan sebagai bahan
bagi penelilti yang akan mengadakan penelitian yang berkaitan dengan
Hukum Waris Islam
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Waris Islam
1. Pengertian Hukum Waris Islam
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang perpindahan hak
milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya.27 Selain
hal tersebut hukum waris mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan
harta kekayaan seseorang setelah meninggal dunia. Hukum kewarisan Islam
adalah hukum yang mengatur tentang segala aspek yang berkaitan dengan
waris yang berlaku untuk setiap manusia yang beragama islam dimana saja,
termasuk di Indonesia yang diatur berdasarkan pada Al-Quran, Sunah Rasul,
Fiqih sebagai hasil Ijtihad para fuqaha dalam memahami ketentuan Al-
Quran, dan Sunah Rasul.28 Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf a
disebutkan bahwa :
Hukum kewarisan islam mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagianya masing-masing.29
Hukum waris Islam disebut juga dengan istilah dengan Fara’idh, yang
artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua
yang berhak menerimanya.30 Fara’idh adalah bentuk jamak dari faridhah,
27 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Waris Islam di Indonesia, Bandung : Sumur Bandung, 2000, hal :13.28 Ibid.29 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit, hal : 194.30 Muhamad Rifa’I, Kifayahul Akhyar, Semarang :Toha Putra, 1998, hal : 242.
16
sedangkan makna yang dimaksud adalah mafrudhah, yaitu pembagian yang
telah dipastikan. Al Fara’idh menurut istilah adalah kepastian, sedangkan
menurut istilah syara artinya bagian-bagian yang telah dipastikan untuk ahli
waris.31 Arti kata mirats , menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sesuatu itu lebih umum dari pada sekedar harta, yang meliputi ilmu,
kemuliaan, dan sebagainya, sebagaimana Rasulullah S.A.W bersabda :
Ulama adalah ahli waris para Nabi, mereka ( para nabi ) tidak mewariskan dirham dan dinar, mereka hanya mewariskan ilmu pengetahuan. Barang siapa mengambilnya maka orang itu mendapatkan keuntungan yang besar.32
Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud hukum waris Islam adalah segala hal yang membahas mekanisme
pembagian harta peninggalan mayat kepada ahli warisnya sesuai dengan
petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah.
2. Sumber-Sumber Hukum Waris Islam.
Sumber hukum Islam merupakan persoalan polemik antara ahli ilmu
tasawuf dan ahli fiqih, Sumber hukum Islam secara hakiki adalah Allah.
Sementara menurut ahli fiqih, Jaih Mubarok berpendapat bahwa sumber
hukum Islam adalah Al-Quran sebagai dalil hukum.33 Islam mengakui adanya
hak milik pribadi yang dapat berpindah kepada ahli waris, karena pemiliknya
meninggal dunia, dan meninggalkan harta yang cukup banyak, serta adanya
31 Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fani , Fathul mu’in jilid 2, Bandung :Sinar Baru Algensindo, 1999, hal :1112.
32 Ibid,. 33 Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Setia, 2007, hal: 137.
17
ahli waris keturunannya yang masih hidup, maka Islam mewajibkan kepada
keluarga atau ahli waris sebelum harta peningagalan menjadi hak ahli waris,
lebih dulu harus diperhatikan berbagai hak yang menyangkut harta peninggalan
itu, sebab mungkin pada waktu hidupnya mempunyai hutang yang belum
terbayar atau meninggalkan suatu pesan atau wasiat yang menyangkut harta
peninggalan, dan sebagainya, yang bersumber pada :
2.1. Al –Quran.
Al-Quran berasal dari kata qura’a yang berarti telah membaca.34 Al-Quran
adalah kumpulan wahyu ( kata-kata ) Allah yang disampaikan kepada
Muhammad S.A.W. dengan perantaraan Malaikat Jibril.35 Beberapa ayat dalam
Al-Quran yang mengatur pembagian harta waris antara lain terdapat dalam :
a) QS. An-Nisaa’ (4), dan dapat ditambahkan satu ayat dalam QS. Al-
Anfal (8).
b) QS.An-Nisaa’ (4):1, menegaskan tentang kuatnya hubungan kerabat
karena pertalian darah.
c) QS.Al-Anfal (8):75, menegaskan bahwa hak kerabat karena pertalian
darah, sebagian lebih diutamakan dari sebagian lain
d) QS.An-Nisaa’ (4):7, memberi ketentuan bahwa laki-laki dan perempuan
sama-sama berhak atas harta warisan orang tua dan kerabatnya.
e) QS.An-Nisaa’ (4):8, memerintahkan agar sanak kerabat, anak yatim,
dan orang miskin yang hadir menyaksikan pembagian harta warisan
diberi sejumlah harta sekedar untuk dapat ikut menikmati harta yang
34 Mohd. Idirs Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika,2004, hal :45.35 Ibid,. hal : 46.
18
baru saja dibagi.
f) QS.An-Nisaa’ (4):9, memperingatkan agar orang senantiasa
memperhatikan anak cucu yang akan ditinggalkan agar jangan sampai
mereka mengalami kesempitan hidup sebagai akibat kesalahan orang
tua membelanjakan hartanya.
g) QS.An-Nisaa’ (4):11 menentukan bagian anak laki-laki sama dengan
dua anak perempuan; dua atau lebih anak perempuan (apabila tidak
ada anak laki-laki) menerima 2/3 harta warisan, dan apabila hanya
seorang (tidak ada anak laki-laki) menerima ½ harta warisan; apabila
ada anak, ayah, ibu masing-masing menerima 1/6 harta warisan;
apabila tidak ada anak, bagian ibu adalah 1/3 harta warisan (ayah
mendapatkan sisanya);apabila ada saudara lebih dari seseorang,
bagian ibu adalah 1/6 harta warisan.
h) QS.An-Nisaa’ (4):12, menentukan bagian suami adalah ½ harta
warisan apabila pewaris tidak meninggalkan anak;apabila bagian
suami adalah ¼ harta warisan setelah hutang dan wasiat dibayarkan;
ditentukan pula harta bagian istri adalah ¼ harta warisan apabila tidak
ada anak, dan 1/8 harta warisan apabila ada anak.
i) Apabila seseorang meninggal tanpa meninggalkan ayah atau anak,
padahal ia meninggalkan saudara laki-laki atau perempuan (seibu),
bagian saudara apabila hanya satu orang adalah 1/6 harta warisan, dan
apabila lebih dari satu orang, mereka bersama-sama mendapatkan 1/3
harta warisan. 36
36 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta : UII Press,2001, hal : 5.
19
2.2. Sunah Rasul.
Kata As-Sunnah sering diidentikan dengan Al-hadist, Al-Hadist ini sering
digunakan oleh para ahli hadist dengan maksud yang sama dengan kata
“sunnah”, menurut pengertian yang digunakan oleh kalangan ulama ushul.37
As-Sunnah menurut istilah syara’, yaitu segala sesuatu yang datang dari
Rasulullah S.A.W., baik ucapan, perbuatan ataupun pengakuan.38 As-Sunnah
tersebut harus disampaikan secara sanad yang benar dengan hukum yang
bersumber dari Rasulullah S.A.W, kedudukannya sama dengan hukum yang
bersumber dari Al-Quran sebagai peraturan perundang-undangan yang harus
diikuti oleh umat Islam dalam melaksanakan syariat Illahi.39
Sunnah rasul menyebutkan pula hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al-
Quran, antara lain sebagai berikut :
a) Hadits riwayat Bukhari dan muslim mengajarkan bahwa ahli waris laki-
laki yang lebih dekat kepada mayit lebih berhak atas sisa harta warisan,
setelah diambil bagian dari ahli waris yang mempunyai bagian-bagian
tertentu.
b) Hadits riwayat Bukhari dan muslim mengajarkan bahwa wala’( harta
warisan bekas budak yang tidak meninggalkan waris kerabat ) adalah
menjadi hak orang yang memerdekakanya.
c) Hadits riwayat Ahmad dan Abu Daud mengajarkan bahwa harta
warisan orang yang tidak meninggalkan ahli waris adalah menjadi
milik baitul mal.
37 Ibid,.38 Muhammad Ajjaj Al-khatib, Ushul Al-Hadist Ulumu Wafat Hauruhu, 1995,Cairo : Dar al-fiqri, hal : 19.39 Abdul Manan, op.cit, hal : 71.
20
d) Hadits riwayat Al-Jama’ah, kecuali Muslim dan Nasai mengajarkan
bahwa orang muslim tidak berhak mewaris atas harta orang kafir, dan
orang orang kafir tidak berhak mewaris atas harta orang ,muslim.
e) Hadits riwayat Ahmad, Malik dan Ibnu Majah, mengajarkan bahwa
pembunuh tidak berhak mewaris atas harta orang yang dibunuhnya.
f) Hadits riwayat Bukhari menyebutkan bahwa dalam suatu kasus warisan
yang ahli warisnya terdiri dari satu anak perempuan, satu cucu
perempuan (dari anak laki-laki), dan satu saudara perempuan, Nabi
memberikan bagian warisan kepada anak perempuan 1/2 , kepada cucu
perempuan 1/6 dan untuk saudara perempuan sisanya.
g) Hadits riwayat Ahmad menyebutkan bahwa Nabi memberikan bagian
warisa kepada dua nenek perempuan 1/6 harta waris dibagi dua.
h) Hadits riwayat Ahmad mengajarkan bahwa anak dalam kandungan
berhak mewaris setelah dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai
tangisan kelahirannya.40
2.3 Ijtihad
Ijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan mempergunakan daya
kemampuan intelektual serta menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya
yang resmi, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, kemudian menarik garis hukum
daripadanya dalam suatu masalah tertentu. Pembagian harta warisan dalam
beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad. Ijtihad adalah pemikiran sahabat
atau ulama dalam menyelesaikan kasus-kasus pembagian warisan, terhadap
hal-hal yang tidak ditentukan dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul terhadap hal
40 Ahmad Azhar Basyir, op.cit, hal : 8.
21
yang tidak ditentukan dalam Al-Quran dan Sunnah rasul. Sebagai contoh
adalah status saudara-saudara yang mewaris bersama-sama dengan kakek,
didalam Al-Quran hal ini tidak dijelaskan.41 Al-Quran hanya menjelaskan status
saudara-saudara bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama dengan anak
laki-laki yang dalam kedua keadaan ini mereka tidak mendapatkan apa-apa
lantaran terhijab.
3. Asas-Asas Hukum Waris Islam.
Hukum Islam mempunyai asas-asas hukum yang diambil dari al-Qur’an
dan As-Sunnah, dan hal tersebut juga diikuti oleh para Ulama Indonesia dalam
menyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI). Asas-asas tersebut adalah :
3.1. Asas ijbari
Asas ijbari secara harfiah berarti memaksa. Asas ini merupakan kelanjutan
dari prinsip tauhid yang mengandung arti bahwa prealihan harta dari seseorang
yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya
menurut ketetapan allah tanpa digantungkan kepada kehendak sipewaris atau
ahli warisnya.42 Unsur memaksa dalam Hukum waris ini karena kaum
muslimin terikat untuk taat kepada Hukum allah sebagai konsekuensi logis dari
pengakuannya kepada Allah dan kerasulan Muhammad seperti dinyatakan
melalui dua kalimah sahadat. Peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang
meninggal dunia sesuai dengan firman allah dalam al-quran surat an-nisa ayat
7 berikut ini :
Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita
41 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit., hal 9.42 Moh, Muhibbin, Abdul wahid, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hal : 24.
22
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.43
Asas ijbari Hukum kewarisan islam dapat dilihat dari unsur-unsur memaksa
atau kepastian dalam asas termaksud, yang mengandung arti bahwa peralihan
harta tersebut terjadi dengan sendirinya menurut ketentuan Allah S.W.T, tanpa
tergantung kepada kehendak dari pewaris ataupun permintaan ahli warisnya.44
3.2. Bilateral
Asas bilateral artinya seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah
pihak, yaitu dari pihak kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak kerabat
keturunan perempuan.45 Asas ini dapat dijumpai dasar hukuknya dalam al-
qur’an surat an-nisa ayat 7, 11, 176 yang penjelasannya sebagai berikut :
a. ayat 7 surat an-nisaAyat ini menjelaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayahnya dan juga dari ibunya. Demikian juga perempuan ia berhak mendapat warisan dari kedua orangtuanya.b. ayat 11 surat an-nisa• Anak perempuan berhak menrima warisan dari orang tuanya sebagaimana halnya dengan anak laki-laki dengan perbandingan bagian seorang anak laki-laki sebanyak bagian dua oang anak perempuan.• Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, sebesar seperenam. Demikian juga ayah berhak menerima warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, sebesar seperenam, bila pewaris meninggalkan anak.
c. ayat 12 surat an-nisa• Bila seorang laki-laki mati punah, maka saudaranya yang laki-lakilah yang berhak atas harta peninggalannya, juga saudaranya yang perempuan berhak mendapat harta
43 Balai Penelitian P3M, Jurnal Penelitian Agama, IAIN Sunan Kalijaga, 1998, hal ; 1844 Moh, Muhibbin, Abdul wahid, op.cit, hal : 24.45 Ibid,.
23
warisannya itu,• Bila pewaris yang mati punah itu seorang perempuan, maka saudaranya baik laki-laki maupun perempuan berhak menerima harta warisannya.d. ayat 176 surat an-nisa• Seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara perempuan, maka saudaranya yang perempuan itulah yang berhak menerima harta warisannya.• Seorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki itulah yang berhak menerima harta warisan.46
3.3. Individual
Asas individual artinya harta warisan dapat dibagi bagi kepada masing-
masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan, dalam melaksanakan asas
ini seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian
dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar
masing-masing.47 Dalam hal ini, setiap ahli waris berhak atas bagian yang
didapatna tanpa terikat kepada ahli waris yang lain,karena bagian masing-
masing telah ditentukan. Dasar Hukum asas ini pun merujuk kepada surat an-
nisa ayat 7, 12, dan 176 :
a. an-nisa ayat 7
yang artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.
b. an-nisa ayat 12
yang artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
46 Balai Penelitian P3M, op.cit, hal ; 1847 Moh, Muhibbin, Abdul wahid, op.cit, hal :28.
24
mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
c. an-nisa 176
yang artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.48
3.4. Keadilan yang berimbang
Keadilan yang berimbang artinya harus senantiasa terdapat keseimbangan
48 Balai Penelitian P3M, op.cit, hal ; 19.
25
antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan
kewajiban yang harus ditunaikannya. Misalnya laki-laki dan perempuan
mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-
masing kelak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Asas keadilan atau
keseimbangan disini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat
keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang
dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.49 Dalam Hukum kewarisam
islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada
hakikatnya merupakan kelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap
keluarganya. Oleh karena itu, bagian yang diterima oleh masing-masing ahli
waris harus berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing
terhadap keluarganya.50 Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab
kehidupan keluarga, yakni mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya
menurut kemampuannya, sebagaimana firman allah dalam surat al-baqarah
ayat 233 yang berbunyi :
Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
49 Moh, Muhibbin, Abdul wahid, op.cit, hal :29.50 Ibid,.
26
apa yang kamu kerjakan. Dan dalam surat al-tahalaq ayat 7 dinyatakan :
Artinya : Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.51
Tanggung jawab itu merupakan kewajiban agama yang harus dilaksanakan,
terlepas dari persoalan apakah istrinya mampu atau tidak; anaknya memerlukan
bantuan atau tidak, terhadap kerabat lain tanggung jawab seorang laki-laki juga
ada, sebagaimana firman allah dalam surat al-baqarah ayat 177 yang berbunyi :
yang artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.52
Tanggung jawab perempuan dan laki-laki sangat berbeda, tanggung jawab
perempuan tidak seberat tanggung jawab laki-laki terhadap keluarganya.
Perempuan justru harus menerima infaq, tempat tinggal, dan nafkah lainnya
dari suaminya. Dengan demikian, sesungguhnya manfaat yang dirasakan oleh
laki-laki dan perempuan dari harta peninggalan yang mereka peroleh adalah
sama. Dapatkah dipahami rasa kadilan Hukum islam dalam kewarisan dimana
51 Balai Penelitian P3M, op.cit, hal ; 19.52 Ibid,.
27
bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan itu didasarkan atas
perbedaan tanggung jawab yang hakikatnya masing-masing sama dari
perbedaan pembagian tersebut.
3.5. Asas Waratsa
Waratsa dalam Al-Qur’an mengandung pengertian makna peralihan harta
setelah kematian. Asas waratsa ini menyatakan bahwa kewarisan itu hanya ada
kalau ada yang meninggal dunia. Ini Ini berarti bahwa kewarisan dalam
Hukum islam itu semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang.53
Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang merupakan kewarisan itu
hanya terjadi bila orang yang mempunyai harta meninggal dunia. Harta
seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan sebutan sebagai harta
warisan selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Asas ini
sekaligus menolak asas kewarisan testament yang dianut dalam asas kewarisan
Hukum perdata barat. Ketentuan kewarisan dalam kompilasi Hukum islam
hanya akan terjadi kalau pewaris benar-benar telah meninggal dunia dan ahli
waris benar-benar telah meninggal dunia dan ahli waris benar-benar hidup pada
saat meninggalnya pewaris tersebut dalamhal ini ada dua macam yaitu :
1. Meninggal secara hakiki yaitu hakikat dapat dipersaksikan bahwa pewaris
benar-benar telah meninggal dunia.
2. Meninggal secara hukmi : yaitu sebenarnya pewaris yang dinyatakan
meninggal itu tidak dapat disaksikan kematiannya tetapi karena dengan
kuat tentang hal itu telah terjadi maka supaya ahli waris tidak ternanti-nanti
dalam ketidak pastian Hukum kewarisan dan pemilikan harta mereka dapat
53 Moh, Muhibbin, Abdul wahid, op.cit, hal :30.
28
meminta kepengadilan agama untuk menetapkan matinya pewaris secara
hukmi.54
Hal ini bisa terjadi karena lamanya pewaris tidak pulang, untuk mencapai
kepastian Hukum seperti ini maka pengadilan dapat memberikan
keputusannya. Hal ini sejalan dengan maksud pasal 171 KHI. Dengan
demikian persoalan kematian dalam islam adalah menjadi suatu hal yang
sangat menentukan dan akan menciptakan Hukum baru, bahkan menjadi kajian
yang strategis, dalam kaitannya dengan penetapan rentetan Hukum waris.
4. Rukun dan Syarat Warisan.
4.1. Rukun Warisan
Rukun Warisan adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu warisan dan
merupakan hakekat dari warisan itu sendiri. Pewarisan harus memenuhi tiga
rukun waris, bila salah satu dari tiga rukun ini tidak terpenuhi, maka tidak
terjadi pewarisan.55 Ketiga rukun itu adalah :
a. Al-Muwarits
Al-Muwarrits sering diterjemahkan sebagai pewaris, yaitu orang yang memberikan harta warisan. Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang meninggal dunia, lalu hartanya dibagi-bagi kepada para ahli waris. Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris.
b. Al-Warits
Al-Warits sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima harta peninggalan, karena adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
c. Harta Warisan
Harta warits adalah benda atau hak kepemilikan yang ditinggalkan, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya. Sedangkan
54 Balai Penelitian P3M, op.cit, hal ; 21.55 Tim Pengfajar Hukum Waris Islam,Hukum Waris Islam,Purwokerto:Unsoed,2006,hal :24.
29
harta yang bukan milik pewaris, tentu saja tidak boleh diwariskan. Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila suami meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana yang milik istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris. Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena bukan termasuk harta warisan. 56
4.2. Syarat Waris
Syarat warisan adalah sesuatu yang harus ada dalam dalam warisan, tetapi
buykan termasuk dalam hakekat warisan itu sendiri, kalau salah satu syarat dari
warisan itu tidak terpenuhi maka wartisan itu tidak sah.Bilamana salah satu
dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan. Syarat
pewarisan ada tiga:
a. Meninggalnya Muwarrits
Ada dua macam meninggal yang dikenal oleh para ulama ahli fiqih, yaitu meninggal secara hakiki dan meninggal secara hukum.
a). Meninggal secara hakiki
Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli medis menyatakan bahwa seseorang sudah tidak lagi bernyawa, dimana unsur kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.
b). Meninggal secara hukum
Meninggal secara hukum adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah meninggal dunia, meski jasadnya tidak ditemukan. Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan perang, atau hilang saat bencana alam, lalu secara hukum formal dinyatakan kecil kemungkinannya masih hidup dan kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah telah meninggal dunia.
b. Hidupnya Ahli Waris
Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia. Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang yang akan menerima warisan haruslah masih hidup secara hakiki ketika pewaris meninggal dunia.Seorang anak yang telah meninggal lebih dulu dari ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak itu telah punya istri dan anak. Istri dan anak itu tidak
56 Ahmad Sarwat,Fiqih Mawarist, Bandung : DU Center, 2001, hal : 43.
30
mendapatkan warisan dari mertua atau kakek mereka. Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih dulu dari kakek.
c. Ahli Waris Diketahui
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.57
5. Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
5.1. Kerabat hakiki
Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, dan seterusnya.Seorang anak yang tidak pernah tinggal dengan ayahnya seumur hidup tetap berhak atas warisan dari ayahnya bila sang ayah meninggal dunia. Demikian juga dengan kasus dimana seorang kakek yang telah punya anak yang semuanya sudah berkeluarga semua, lalu menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan seorang wanita dan mendapatkan anak, maka anak tersebut berhak mendapat warisan sama besar dengan anak-anak si kakek lainnya.
5.2. Pernikahan
Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia. Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan wairsan kepada adik
57 Ibid,. hal : 44.
31
iparnya, meski mereka tinggap serumah. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara suami dan istri.
5.3. Al-Wala
Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak berlaku lagi sistem perbudakan di tengah peradaban manusia, sebab yang terakhir ini nyaris tidak lagi terjadi.58
6. Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan
Hal-hal yang bisa menggugur hak waris seseorang ada tiga:
6.1. Pembunuhan Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka gugurlah haknya untuk mendapatkan warisan dari ayahnya. Si Anak tidak lagi berhak mendapatkan warisan akibat perbuatannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. " Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: Agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya. Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. :• Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat. • Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.
58 Ibid,.
32
• Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. • Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.59
6.2. Budak Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.60
6.3. Perbedaan Agama Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Maka seorang anak tunggal dan menjadi satu-satunya ahli waris dari ayahnya, akan gugur haknya dengan sendiri bila dia tidak beragama Islam, dan siapapun yang seharusnya termasuk ahli waris, tetapi kebetulan dia tidak beragama Islam, tidak berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris yang muslim. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:“Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim) Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbali, namun sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Al-islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad
59 Ibid, hal : 51.60 Ibid,.
33
termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam. Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya. Pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal.61
7. Macam-Macam Ahli Waris
Secara garis besar, dilihat dari jenis kelamin ahli waris ada empat macam
golongan ahli waris, yaitu :
1. Ahli waris laki-laki ada sepuluh orang yaitu :
a. Anak laki-laki.
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
c. Ayah.
d. Kakek ( nenek laki-laki ).
e. Saudara laki-laki.
f. Keponakan Laki-laki.
g. Anak laki-laki paman.
h. Suami.
i. Maula ( orang yang memerdekaan budak ).62
61 Ibid, hal :53.62 Beni Ahmad Saebani, op.cit, hal : 121.
34
2. Ahli waris perempuan ada tujuh orang, yaitu
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan
c. Ibu
d. Nenek perempuan
e. Saudara perempuan
f. Isteri
g. Permpuan yang telah memerdekakan si mayat.63
3. Ahli waris dalam keadaan bercampur ( laki-laki dan perempuan ) ada
kalanya tidak bercampur. Waris yang tidak bercampur, dari laki-laki ada
dua jalan, yaitu waris jalan pendek dan waris jalan panjang.
Waris jalan panjang, ahli waris laki-laki adalah :
a. Anak laki-laki.
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
c. Ayah.
d. Kakek.
e. Saudra laki-laki sekandung.
f. Saudara laki-laki seayah.
g. Saudara laki-laki ibu.
h. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
i. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan paman.
j. Paman.
k. Anak laki-laki paman.
63 Ibid,.
35
l. Suami.
m. Laki-laki yang telah memerdekakan si mayat.64
Ahli waris menurut jalan panjang adalah :
a. Anak perempuan.
b. Cucu perempuan.
c. Ibu.
d. Nenek dari ibu.
e. Nenek dari Ayah.
f. Saudara perempuan seayah.
g. Saudara Perempuan seibu.
h. Isteri.
i. Perempuan yang telah memerdekakan Si mayat.65
Apabila semuanya ada, yang mendapat warisan hanya 5 ( lima ) orang yaitu
:
a. Isteri
b. Anak perempuan
c. Cucu perempuan
d. Ibu
e. Saudara perempuan sekandung.66
Apabila ahli waris laki-laki dan perempuan semuanya ada, yang mendapat
bagian adalah :
a. Orang tua.
64 Ibid,. hal ; 122.65 Ibid.. 66 Ibid..
36
b. Anak laki-laki.
c. Anak perempuan.
d. Suami/isteri.67
4. Ahli waris yang tidak putus karena keadaan, ada 5 ( lima )
a. Suami.
b. Isteri.
c. Ayah.
d. Ibu.
e. Anak.68
B. WASIAT
1. Pengertian Wasiat
Wasiat berasal dari bahasa arab yaitu kata washshaitu asy-syaia ,ushi
artinya aushalyuhu yang dalam bahasa Indonesianya berarti “aku menyam-
paikan sesuatu”, yang berarti memberikan suatu penjelasan wasiat adalah
pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa barang, piutang,
ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah orang
yang berwasiat meninggal dunia.69 Wasiat adalah pemberian hak milik se-
cara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal. Berbeda
dengan hibah yang kepemilikannya terjadi saat itu juga, sedangkan wasiat
kepemilikannya setelah orang yang berwasiat itu meninggal. Islam, telah
mengatur bahwa bagi seseorang yang merasa bahwa ajalnya telah dekat, dan
67 Ibid.. hal : 12368 Ibid..
69 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit. hal : 44.
37
dia meninggalkan harta yang banyak maka diwajibkan kepadanya untuk
membuat wasiat terutama bagi kedua orang tuanya ( demikian juga kepada
kerabatnya yang lainya ), terutama apabila dia telah dapat memperkirakan
bahwa harta mereka ( kedua orang tua dan kerabat lainya ) tidak cukup un-
tuk keperluan mereka.70
Wasiat mempunyai syarat dan rukun. Pengaturan rukun dan syarat
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam telah mengatur tentang syarat dan
rukun dalam wasiat.
a. Syarat Pewasiatan.
Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalam Buku II
Bab V Pasal 194 Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan persyaratan-
persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pewasiatan
tersebut adalah sebagai berikut :
a) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
b) Harta benda yang diwasiatkan pun harus hak milik pewasiat.
c) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat 1 pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.71
Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :
a) Wasiat dilakukan secara lisan, dihadapan 2 ( dua ) orang saksi atau dilakukan dihadapan notaris.
b) Wasiat hanya boleh sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, kecuali ada persetujuan semua ahli waris
c) Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh
70 Ibid.71 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit.. hal : 200.
38
semua ahli waris.d) Persyaratan persetujuan pada poin 2 dan 3 pasal ini dibuat
secara lisan dihadapan dihadapan 2 (dua) orang saksi, atau dibuat dihadapan notaris.72
b. Rukun wasiat
Mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun wasiat hanya ada satu,
yaitu ijab ( pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta yang akan
wafat ), Menurut mereka , wasiat adalah akad yang hanya mengikat
pihak yan berwasiat, sedangkan bagi pihak penerima wasiat, akad itu
tidak bersifat mengikat.73 Ulama Mazhab Hanafi menyamakan antara
hak yang akan diterima melalui warisan dan wasiat, yang hanya berlaku
setelah pemilik harta meninggal dunia, oleh karena itu qabul tidak
diperlukan sebagaimana yang berlaku dalam hak waris.74 Berbeda
dengan apa yang dikatakan Ibnu Abidin ( W. 1252 H/ 1836M; tokoh
fiqih Mazhab Hanafi ) qabul tetap menjadi menjadi salah satu syarat
dalam wasiat.75
Kadar harta yang boleh diwasiatkan dalam hadits Rasulullah S.A.W
yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibn Abbas, tidak melebihi
sepertiga dari harta peninggalannya dan wasiat diberikan kepada selain
pewaris. Jika wasiat melebihi sepertiga dan penerima wasiat salah satu
ahli waris, maka wasiat itu bisa dilaksanakan jika ada persetujuan dari
semua ahli waris dengan membuat pernyataan persetujuan secara lisan
72 Ibid.73 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan,, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, P.T Raja Grafindo Persada: Jakarta,2008, hal : 132.74 Ibid.75 Ibid.
39
dengan dua orang saksi.76 Ditegaskan pada pada Pasal 196 Kompilasi
Hukum Islam, bahwa baik wasiat berupa tulisan atau pun lisan harus
dengan tegas dan jelas orang atau lembaga yang akan menerima wasiat
tersebut.77
Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang kematian,
atau ketika pemberi wasiat dalam keadaan sehat. Wasiat dapat dipandang se-
bagai pemberian yang dengan sukarela serta iklas didasari rasa kemanusiaan
memberikan hartanya kepada seseorang dengan keyakinan bahwa kelak
akan mendapatkan pahala dan pembalasan di akherat kelak. Pemberian
wasiat ditujukan kepada selain ahli waris, dengan kata lain penerima wasiat
bukanlah berasal dari golongan ahli waris.
Dasar hukum wasiat ini terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat
180:
Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseo-rang diantara kamu, jika ia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua, karib kerabat dengan cara yang baik, ( sebagai ) kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa.78
Hal tersebut diperkuat dengan Surat Al-Baqarah ( 2 ): 240 :
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri, hendaknya berwasiat untuk istri-istrinya, ( yaitu ) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah ( dari rumahnya ). Akan tetapi, jika mereka pindah ( sendiri ), maka tidak ada dosa bagimu ( wali atau waris dari yang meninggal ) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.79
76 H. Zainudin Ali, op. cit. Hal :78.77 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, loc. cit hal : 200.
78 Beni Ahmad Saebani, Syamsul falah, op.cit,. hal : 250.79 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak , op.cit, hal :45.
40
Jaman jahiliyah banyak bangsa Arab ketika sudah dekat ajalnya,
mewasiatkan supaya memberikan harta bendanya kepada orang-orang yang
jauh, yang tidak mempunyai hubungan darah dan keluarga dengannya. Ibu-
bapaknya sendiri, anaknya dan kaum kerabat dekatnya tidak disebut-sebut
dalam wasiat itu. Adapun motifnya karena menurut anggapan umum pada
waktu itu perbuatan yang demikian itu adalah satu kebanggaan, yang
menunjukkan tentang sifat kemurahan hati.80 Untuk menertibkan sikap yang
pincang dan berat sebelah itu, maka pada tahap pertama turunlah surat Al-
Baqarah, ayat 180, yang menegaskan supaya berwasiat mengenai soal harta
benda yang ditinggalkan itu untuk ibu-bapak sendiri dan keluarga yang
dekat-dekat. Sesudah itu, sebagai tahap kedua, kemudian turunlah ayat yang
terkenal dengan sebutan ayatul-mawarist yaitu, surat An-Nisa', yang
mengatur pembagian harta warisan secara terperinci, yang mengandung
nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.81
Turunnya ayat yang mengatur warisan itu, maka sebagian ahli-ahli tafsir
berpendapat bahwa ayat tentang wasiat tersebut (Al-Baqarah, ayat 180)
menjadi mansukh, artinya tidak diberlakukan lagi.82 Akan tetapi sebagian
ulama-ulama dan ahli tafsir yang lain menyatakan, bahwa ayat mengenai
soal wasiat itu masih tetap mempunyai kekuatan hukum.83 Motif dan hikmah
melakukan wasiat itu bagi orang yang banyak mempunyai harta kekayaan
80 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, 2002,Jakarta : UI Press, hal 134.
81 Ibid.82 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 2003,Jakarta : Logos, Cet. III, hal : 45.
83 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, Cet. III, 2003, hal : 23.
41
ialah sebagai tambahan amal yang masih dapat dilakukan seseorang ketika
ajalnya sudah hampir dan dekat. Wasiat itu barulah berlaku apabila orang
yang bersangkutan sudah meninggal. Pada hakekatnya, wasiat itu adalah
semacam hibah. Perbedaan antara hibah dengan wasiat ialah, bahwa hibah
itu dilakukan (diberikan) sendiri oleh orang yang bersangkutan ketika dia
masih hidup, sedang wasiat, realisasinya, ialah setelah yang berwasiat itu
meninggal dunia.84 Rasulullah sendiri tidak melakukan wasiat tatkala Beliau
akan meninggal dunia, sebab memang beliau tidak meninggalkan harta yang
banyak. Akan tetapi, para Khalifah dan sahabat-sahabat banyak yang
melakukan wasiat itu. Diantaranya Khalifah Abu Bakar Siddik yang
mewasiatkan 1/5 dari harta bendanya; Umar bin Khattab mewasiatkan 1/4
dari kekayaannya. 85
Setiap wasiat haruslah dijalankan oleh ahli waris yang tinggal, selama
wasiat itu masih dalam batas-batas ketentuan ajaran dan hukum Islam.
Orang yang tidak menjalankannya akan memikul sendiri dosanya, seperti
yang diperingatkan dalam Al-Quran:
"Barangsiapa yang mengubah wasiat (mengutak-atik wasiat), setelah
ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-
orang yang mengubahnya." (QS. Al-Baqarah 2: 181).86
Wasiat dilihat dari segi hukum, wasiat merupakan perbuatan hukum sepi-
hak ( merupakan pernyataan sepihak ), jadi dapat saja wasiat dilakukan
tanpa dihadiri oleh penerima wasiat, dan bahkan dapat saja dilakukan dalam
84 Ibid,.85 Ibid,.86 Ibid.
42
bentuk tertulis.87 Ahli hukum Islam telah sepakat bahwa batas pemberian
wasiat adalah sepertiga harta peninggalan pewaris. Dasar pembatasan pem-
berian wasiat ini adalah hadits Sa’ad bin Abi Waqash, seorang sahabat nabi
yang menceritakan ketika Sa’ad bin Abi Waqash yang ssedang sakit, kemu-
dia Rasulullah menjenguknya, dalam dialog antara Sa’ad bin Abi Waqah
dengan rasulullah adalah sebagai berikut:
“Sa’ad bin Abi Waqash bertanya kepada Rasulullah : Saya mempunyai yang banyak sedangkan saya hanya mempunyai seorang anak perempuan yang akan mewarisi saya. Saya sedekahkankah saja dua pertiga dari harta saya ini?”. Jawab Rasulullah : “ Jangan!”. Maka bertanya lagi Sa’ad : “Bagaimana jika seperdua?”. Rasulullah menjawab lagi : “Jangan”!. Sudah itu bertanyalah lagi Sa”ad : “Bagaimanakah jika sepertiga”?. Maka berkatalah Rasulul-lah : “Atstsulutsu kabirun, innaka in tarakta waladaka agh-niyaa’a khairun…..”(Besar jumlah sepertiga itu sesungguh-nya jika engkau tinggalkan anakmu dalam keadaan berke-cukupan adalah lebih baik).88
Walaupun demikian kalau ada wasiat pewaris yang lebih dari sepertiga
harta peninggalan, maka diselesaikan dengan salah satu cara berikut :
a) Dikurangi sampai batas sepertiga harta peninggalan. Atau
b) Diminta kesediaan semua ahli waris yang ada pada saat itu berhak menerima waris, apakah mereka mengik-laskan memberikan kelebihan wasiat atas sepertiga harta itu, kalau mereka mengiklaskanya maka halal dan ibadah hukumnya pemberian wasiat lebih dari sepertiga harta peninggalan itu.
Mengenai kedudukan hukum wasiat, ada yang berpendapat bahwa wasiat
itu wajib bagi setiap orang yang meninggalkan harta, baik harta itu banyak
maupun sedikit. Pendapat ini menurut Az-Zuhri dan Abu Mijlaz yang berpa-
87 Ibid., hal :4788 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta : Universitas Indonesia, 2007, hal : 110.
43
tokan pada Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 180 yang mewajibkan wasiat
ketika seseorang menghadapi kematian.89 Pendapat kedua menyatakan
bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi
dari si mayit itu wajib hukumnya, pendapat ini dipegang teguh oleh mazhab
Masruq, Iyas, Qatadah, Ibnu Jarir dan Az-Zuhri.90 Pendapat yang ketiga
adalah pendapat empat imam mazhab dan aliran Zaidiyah yang menyatakan
bahwa wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap orang yang meninggalkan
harta ( pendapat pertama ), dan bukan pula kewajiban terhadap kedua orang
tua dan karib kerabat yang tidak mewaris ( pendapat kedua ), tetapi wasiat
itu berbeda-beda hukumnya menurut keadaan. Wasiat itu terkadang wajib,
terkadang sunat, terkadang haram, terkadang makruh, dan terkadang jaiz
( boleh ).91
Wasiat itu wajib dalam keadaan manusia mempunyai kewajiban syara
yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti
adanya titipan hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya,
dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau mempunyai
amanat yang harus disampaikan, atau mempunyai hutang yan hanya dike-
tahui oleh dirinya sendiri saja.92
Wasiat itu disunatkan jika diperuntukan bagi kebajikan, karib kerabat,
orang-orang fakir, dan orang-orang saleh. Wasiat itu diharamkan apabila
merugikan ahli waris, misalnya wasiat yang melebihi 1/3 harta waris ter-
89 Beni Ahmad Saebani, Syamsul falah, op.cit, hal : 251.90 Ibid,,
91 Ibid,.92 Ibid,.
44
lebih sampai menghabiskan harta waris. Wasiat itu makruh, bila orang yang
berwasiat itu memiliki sedikit hartanya, sedangkan ia mempunyai seseorang
atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Sedangka wasiat itu
diperbolehkan jika ditujukan kepada orang yang kaya, baik orang yang di-
wasiati itu kerabat maupun orang yang jauh ( bukan kerabat ).93
2. Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam
Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian suatu benda
kepada orang lain atau lembaga, yang akan berlaku setelah pewaris
meninggal dunia.94 Dengan demikian wasiat adalah merupakan penyerahan
harta atau suatu hak secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang
berlaku setelah orang tersebut meninggal dunia. Disinilah perbedaan antara
perpindahan kepemilikan harta dengan jalan wasiat dan perpindahan
kepemilikan harta secara jual beli, hibah dan sebagainya.95
Perbedaan tersebut dapat dilihat dari tata cara dan akad cara perpindahan
harta tersebut. Meskipun akad wasiat dibuat ketika pemberi wasiat masih
hidup, namun pelaksanaanya baru dapat dijalankan ketika pemberi wasiat
tersebut meninggal. Artinya selama pemberi wasiat masih hidup, wasiat
tidak dapat dilaksanakan dan akad wasiat tersebut tidak mempunyai efek
apapun bagi perpindahan hak milik kepada orang yang diberi wasiat,
sedangkan dalam jual beli, hibah maupun sewa menyewa akadnya serta
93 Ibid,.94 Zainal abiding abu bakar, kumpulan peraturan- perundang-undangan dalam Peradilan Agama, Jakarta : Al hikmah,1999,hal : 348.95 Ibid,.
45
merta tanpa harus menunggu pihak penjual, penghibah meninggal lebih
dulu.96
Seperti lembaga hukum Islam yang lain, ketentuan hukum tentang
lembaga hukum wasiat terdapat juga diatur dalam Al-Quran surat Al-
Baqarah ayat 180 :
“ Diwjibkan atas kamu, apabila salah seorang dari kamu akan mati, jika ia meninggalkan harta, (bahwa ia membuat) wasiat bagi kedua orang tua dan kerabatnya dengan cara yang baik (ini adalah kewajiban bagi orang yang bertakwa (kepada Tuhan).”
Ayat tersebut member penegasan bahwa seseorang yang hendak
meninggal dunia ia harus meninggalkan wasiat, menyangkut harta yang ia
miliki, ayat ini juga dijadikan sebagai sumber dasar hukum wasiat wajibah.
Terutama kepada ahli waris yang terputus dengan pewaris, karena terhalang
oleh ahli waris yang lain, seperi cucu yang terhalang mendapatkan warisan
dari kakeknya karena pamannya masih hidup.
Wasiat juga mempunyai syarat dan rukun. Pengaturan rukun dan syarat
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam telah mengatur tentang syarat dan
rukun dalam wasiat.
a. Syarat Pewasiatan dalam Kompilasi Hukum Islam.
Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalam Buku II
Bab V Pasal 194 Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan
pewasiatan tersebut adalah sebagai berikut :
d) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun,
96 Ibid,.
46
berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
e) Harta benda yang diwasiatkan pun harus hak milik pewasiat.
f) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat 1 pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.97
Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :
e) Wasiat dilakukan secara lisan, dihadapan 2 ( dua ) orang saksi atau dilakukan dihadapan notaris.
f) Wasiat hanya boleh sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, kecuali ada persetujuan semua ahli waris
g) Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
h) Persyaratan persetujuan pada poin 2 dan 3 pasal ini dibuat secara lisan dihadapan dihadapan 2 (dua) orang saksi, atau dibuat dihadapan notaris.98
b. Rukun wasiat
Mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun wasiat hanya ada satu,
yaitu ijab ( pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta yang akan
wafat ), Menurut mereka , wasiat adalah akad yang hanya mengikat
pihak yan berwasiat, sedangkan bagi pihak penerima wasiat, akad itu
tidak bersifat mengikat.99 Ulama Mazhab Hanafi menyamakan antara
hak yang akan diterima melalui warisan dan wasiat, yang hanya berlaku
setelah pemilik harta meninggal dunia, oleh karena itu qabul tidak
diperlukan sebagaimana yang berlaku dalam hak waris.100 Berbeda
dengan apa yang dikatakan Ibnu Abidin ( W. 1252 H/ 1836M; tokoh
97 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit.. hal : 200.98 Ibid.
99 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, op.cit. hal : 132.100 Ibid.
47
fiqih Mazhab Hanafi ) qabul tetap menjadi menjadi salah satu syarat
dalam wasiat.101
Kadar harta yang boleh diwasiatkan dalam hadits Rasulullah S.A.W
yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibn Abbas, tidak melebihi
sepertiga dari harta peninggalannya dan wasiat diberikan kepada selain
pewaris. Jika wasiat melebihi sepertiga dan penerima wasiat salah satu
ahli waris, maka wasiat itu bisa dilaksanakan jika ada persetujuan dari
semua ahli waris dengan membuat pernyataan persetujuan secara lisan
dengan dua orang saksi.102 Ditegaskan pada pada Pasal 196 Kompilasi
Hukum Islam, bahwa baik wasiat berupa tulisan atau pun lisan harus
dengan tegas dan jelas orang atau lembaga yang akan menerima wasiat
tersebut.103
c. Pembatalan Wasiat.
Pembatalan wasiat dijelaskan dalam kompilasi hukum islam Pasal
197 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, yang tercantum dalam tiga ayat.
Alasan pembatalan wasiat tersebut adalah:
1. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena :a. Dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh
atau menganiaya berat pewasiat.b. Dipersalahkan secara memfitnah pengaduan bahwa
pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam hukuman minimal lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
c. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat, mencabut, atau
101 Ibid.102 H. Zainudin Ali, op. cit. Hal :78.103 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, loc. cit hal : 200.
48
merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
d. Dipersalahkan telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.104
2. Wasiat batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:a. Tidak mengetahui adanya wasiat sampai ia meninggal
dunia sebelum pewasiat meninggal.b. Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi ia menolak untuk
menerimanya.c. Mengetahui adanya wasiat tetapi tidak pernah
menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
3. Wasiat batal dikarenakan barang yang diwasiatkan musnah.
4. Masa waktunya habis jika wasiat yang berupa hasil dari benda ataupun pemanfaatan suatu benda (dikarenakan wasiat tersebut harus dibatasi dalam jangka waktu tertentu).105
Pasal 207 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa wasiat tidak
diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi
seseorang dan kepada orang yang memberi tuntutan kerohanian sewaktu ia
menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan
jelas untuk membalas jasa. Selain itu, pada Pasal 208 KHI disebutkan juga
bahwa wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta
wasiat. Pelarangan wasiat kepada orang yang dimaksud Pasal 207-208
Kompilasi Hukum Islam karena mereka terlibat langsung dalam
pelaksanaan wasiat tersebut sehingga dikhawatirkan terjadi penyimpangan
dalam pembuatannya.106
d. Pencabutan Wasiat
104 Ibid.105 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit.. hal : 201.106 Ibid.
49
Selain ada alasan pembatalan wasiat, Kompilasi Hukum Islam juga
mengatur bagaimana wasiat itu bisa dicabut, pencabutan wasiat ini terdapat
pada Pasal 199 Kompilasi Hukum Islam, adapun persyaratan pencabutan
tersebut:
1. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau sudah menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menariknya kembali.
2. Pencabutan wasiatnya dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau secara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi berdasarkan akta notaries bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
3. Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris. Tetapi kalau wasiat dibuat dengan akta notaris, maka hanya bisa dicabut dengan akta notaris.
4. Bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaries, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akte Notaris.107
e. Persengketaan Wasiat
Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-
undang No. 3 tahun 2006 pasal 49 tentang Peradilan Agama ditetapkan
bahwa perselisihan tentang wasiat menjadi kewenangan perdilan agama
untuk menyelesaikannya.108
Wasiat dalam kewarisan hukum Islam merupakan suatu wadah untuk
menampung hubungan antar generasi serta kedudukan masing-masing kaum
krabat. Rasulullah S.A.W dalam sunnahnya yang diriwayatkan oelh Al-
Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Umar ra, telah bersabda Rasulullah S.A.W, :
107 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit.. hal : 205.108 Ibid. Hal : 14.
50
Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang
hendak diwasiatkan, sesudah bermalam selama dua malam
tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikanya.109
C. Wasiat Wajibah
Konsepsi wasiat wajibah mulanya hanya diperuntukan hanya kepada
ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari
orang yang meninggal, karena sebuah alasan tertentu. Hal tersebut lahir
sebagai kebijaksanaan penguasa ( ulil amri ) terhadap orang-orang yang
tidak meninggalkan wasiat, sedangkan ia meninggalkan harta warisan yang
banyak. Artinya, kebijakan dalam wasiat wajibah lebih bersifat qadhariyah,
dalam pengertian kewajiban untuk mengeluarkan sebagian dari harta
peninggalan sebagai wasiat. Tidak lagi disandarkan kepada ada atau
tidaknya seseorang meninggalkan wasiat pada masa hidupnya, tetapi kepada
hukum atau undang-undang yang berlaku, Sehingga meskipun seseorang
tidak berwasiat semasa hidupnya, dengan sendirinya telah dianggap
berwasiat.110 Pada dasarnya memberikan wasiat itu adalah sebuah tindakan
yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri, yang didasarkan pada
sebuah rasa keiklasan dan kemanusiaan. Sehingga penguasa maupun hakim
dapat memaksakan kehendak seseorang untuk memberikan wasiat. Berawal
dari pendapat tersebut maka lahir istilah wasiat wajibah,
Wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung
kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap
109 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit.. hal : 46.110 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, op.cit. hal : 145.
51
dilaksanakan, baik diucapkan, atau dikehendaki maupun tidak oleh orang
yang meninggal dunia. Jadi pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan
bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan, dituliskan atau dikehendaki, tetapi
pelaksanaanya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan
bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.111
Teoretisi hukum Islam klasik ( klasik dan kontemporer ) berbeda
pendapat dalam menetapkan hukum wasiat wajibah. Wasiat wajibah
menurut pandangan Ibnu Hazm sifatnya hanya dianjurkan, bukan wajib,
dengan tujuan untuk membantu meringankan yang bersangkutann dalam
menghadapi kesulitan hidup. Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-
Tabari ( 225 H/839 M-310 H/923 M: mufassir ), dan Abu Bakar bin Abdul
Aziz ( tokoh fiqih hambali ) berpendapat bahwa wasiat seperti ini hukumnya
wajib, dengan alasan surat Al-Baqaroh ( 2 ) ayat 180, menurut mereka
perintah untuk berwasiat dalam ayat tersebut adalah untuk para ahli waris
yang terhalang mendapatkan warisan.112
Sebagian fuqaha seperti Ibnu Hazm, at-Thabari dan Muhammad Rasyid
Ridha yang memperbolehkan ahli waris non-muslim mendapat harta
warisan pewaris muslim dengan melalui wasiat wajibah.113 Ibnu Hazim
mengemukakan bahwa diwajibkan atas setiap muslim agar berwasiat bagi
kerabatnya yang tidak mewarisi yang disebabkan adanya perbudakan,
adanya kefukuran ( berlainan agama ), karena terhijab bukan ahli waris,
111 Ibid.112 Ibid., hal : 147.113 Abdul Manan, op.cit, hal : 320.
52
maka hendaknya ia berwasiat untuk mereka serelanya.114 Kewajiban untuk
melaksanakan wasiat wajibah tersebut bersigat Qadhai, artinya tidak hanya
sebagai tanggung jawab seseorang dalam melaksanakan perintah agama,
tetapi juga dapat dipaksakan apabila ia lalai melaksanakannya karena sudah
menyangkut kepentingan umum.115 Sementara itu, para ulama Mazhab
berselisih pendapat tentang sahnya wasiat seorang muslim untuk seorang
kafir harbi. Mazhab Maliki, Hambali, dan mayoritas Syafi’I mengatakan
bahwa wasiat seperti itu sah, ( kafir dzimmi adalah seorang kafir yang
membayar jizyah kepada kaum muslimin, sedangkan kafir harbi adalah
kafir yang harus diperangi ). Menurut Mazhab Imamiyah, kafir harbi adalah
orang kafir yang tidak mebiyayai kaum muslim, meskipun tidak memerangi
kaum muslimin. Asy-Syahid Ats –Tsani dalam kitab at-Masalik bab wasiat
mengatakan bahwa wasiat adalah sah bagi setiap orang yang tidak
memerangi kita dalam soal agama, baik dia kafir dzimmi ataupun kafir
harbi. 116 Orang-orang yang berhak mendapat wasiat wajibah sebagaimana
dimengerti, berdasarkan pendapat jumhurul ‘fuqaha’, salah satunya
Hazahirin bersama murid-muridnya, mewasiatkan sebagian harta benda
kepada seseorang keluarga, dekat maupun jauh, tidak diwajibkan oleh
syariat, kecuali bagi orang yang mempunyai tanggungan hak dengan orang
yang tidak dapat diketahui selain oleh dirinya sendiri atau menpunyai
amanat-amanat yang tidak diketahui orang lain ( saksi ).
114 Ibid,.115 Ibid116 Beni Ahmad Saebani, op.cit, hal : 352
53
Istilah wasiat wajibah tidak diketemukan dalam kitab fikih klasik, hanya
diketemukan pada kitab-kitab fikih kontemporer, terutama setelah
diundangkan wasiat wajibah diKompilasi Hukum Islam pada tahun 1991
melalui Instruksi Presiden. Artinya, wasiat wajibah tidak boleh diartikan
secara harfiyah bahwa wasiat itu hukumnya wajib sebagiamana dipahami
dari petunjuk kata "kutiba" pada QS. al-Baqarah (2): 180, walaupun
akhirnya ayat ini djadikan dasar berlakunya hukum tentang wasiat
wajibah.117 Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah mencantumkan wasiat
wajibah pada akhir kitabnya setelah membahas warisan dan takharruj,
dengan mengambil pasal 71 Kitab Undang-undang Hukum Wasiat Mesir
Tahun 1365 H/1946 M. Sementara itu, Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-
Islamy, memasukkan wasiat wajibah setelah membahas wasiat secara
komperatif dan Kompilasi Hukum Islam pada pasal 209 dan hanya
diperuntukkan anak dan orang tua angkat.118
Wasiat wajibah adalah wasiat yang dibebankan oleh hakim agar
seseorang yang telah meninggal dunia yang tidak melakukan wasiat secara
sukarela, harta peninggalannyadapat diambil untuk diberikan kepada orang
tertentu dalam keadaan tertentu pula.119 Penguasa atau hakim sebagai aparat
negara tertinggi mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi
putusan wajib wasiat yang terkenal dengan sebutan wasiat wajibah kepada
orang tertentu dalam keadaan tertentu. Wasiat wajibah adalah tindakan yang
dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau
117 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol. 3, Beirut : Dar al-Fikr, 1977. hal : 416118 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia , Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003, hal ; 462.119 Ibid,.
54
memberi putusan wajib wasiat bagi orang telah meninggal dunia, yang
diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Sedangkan, wasiat
disebut wasiat wajibah, dikarenakan beberapa hal:
a. Hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalaui perundang-umdangan atau surat keputusan tanpa terkantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat.
b. Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.120
Sebagian ulama berpendapat bahwa wasiat untuk kedua orang tua atau
kerabat yang tidak menerima waris adalah wajib, apabila si mayit tidak
berwasiat untuk mereka maka para ahli waris wajib mengeluarkan sejumlah
harta tertentu dari harta si mayit dan memberikan wasiat wajibah kepada
mereka, pendapat ini dikemukakan. 121
Sehubungan dengan perbedaan agama, apa yang disepakati para ulama
tersebut hanya sebatas ahli waris non muslim, baik sejak awal tidak
beragama Islam atau keluar dari agama Islam (murtad), tidak dapat mewarisi
pewaris muslim. Kesepakatan para ulama tersebut didasarkan pada Hadits
Nabi, Saw, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Usamah bin
Zaid, yang artinya :
“orang yang beragama Islam tidak dapat menerima warisan dari
orang yang beragama lain (kafir), begitu juga sebaliknya”.122
120 Umar Said, Hukum Islam di Indonesia tentang Waris, Wasiat, Hibah, dan Wakaf ,Surabaya : Cempaka. 1997. hal : 146. 121 Erik Sumarna, Wasiat Wajibah terhadap saudara kandung, Program Pasca Sarjana IAIN Sumatra Utara, Medan, 2004, hal :456.
122 Imam Malik Ibn Anas,op.cit, hal : 276
55
Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islm menjelaskan bahwa dasar
yang dijadikan rujukan penetapan wasiat wajibah adalah QS. Al-Baqarah
ayat 182 :
“diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma'ru”123
Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang taqwa. Ulama berbeda
pendapat tentang keberadaan QS. al-Baqarah (2): 180, apakah ia tergolong
ayat yang mansukhah (dihapus atau tidak berlaku) atau muhkamah (tetap
berlaku), sebagai berikut:
a. Ayat tersebut muhkamah, yang secara lahir menunjukkan umum, tetapi
maknanya khusus untuk kedua orang tua yang tidak menerima warisan
seperti orang kafir dan budak, dan kerabat yang tidak tergolong ahli waris.
Ini merupaan pendapat ibn 'Abbas, Hasan al-Basry, Dahhak, Tawus,
Masruq, Muslim ibn Yasar dan al-'Ala’ ibn Ziyad. Pendapat ini yang dipilih
Ibn Jarir al-Tabary.124 Dalam versi lain dijelaskan bahwa wasiat kepada
kedua orang tua dan kerabat ahli waris telah dinasakah (dihapus dan tidak
berlaku), sedangkan kerabat yang bukan ahli waris tetap wajib dilaksanakan.
Hal ini, karena wasiat diwajibkan berdasarkan ayat tersebut, baik yang
mendapatkan warisan maupun yang tidak . Akan tetapi, kemudian wasiat
kepada ahli waris dinasakh dan kepada bukan ahli waris tetap berlaku.
123 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, op. cit,.124 Al-Qurtuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur'an, Vol. 2 Mesir: Dar alKatib al 'Arabiyyah wa al-Nashr, 1967, hal : 262.
56
Namun demikian, al Tabari menyebutnya bukan dengan istilah nasakh,
tetapi takhsis, sebagaimana pendapat ulama mutaakhkhir.
b. Ibn 'Umar, Abu Musa al-Ash'ary, dan Sa'ad ibn Musayyab berpendapat
bahwa QS. al-Baqarah (2): 180 telah di-nasakh oleh ayat mawarits dalam
QS. al-Nisa' (4): 11, baik kepada orang yang menerima warisan atau tidak.
Hal ini berdasarkan dalil yang diriwayatkan dari al-Shafi'iy dari ’Imran ibn
Husain bahwa Rasulullah saw telah menetapkan hukum terhadap anak
budak yang dimiliki seorang lelaki yang tidak mempunyai harta benda,
selain budak yang dia merdekakan dan telah meninggal dunia. Kemudian,
beliau membaginya mejadi tiga bagian, yang dua dimerdekakan dan yang
empat tetap menjadi budak. Dalam hal ini, jika wasiat itu kepada kerabat
dan batal untuk lainnya, maka beliau tidak akan membolehkan wasiat
tentang dua hamba, karena merdekanya kedua budak tersebut berdasarkan
wasiat, padahal keduanya tidak tergolong kerabat.
c. Al-Razy dalam kitab tafsirnya al-Tafsir al-Kabir- menceritakan dari
Abu Muslim al-Asfahany, bahwa ayat ini muhkamah dan tidak di-nasakh. Ia
ditafsirkan dengan ayat mawarith, sehingga maknanya bahwa Allah
mewajibkan apa yang diwasiatkan Allah (mendapatkan warisan bagi kedua
orang tua dan kerabat sebagaimana dalam QS. al-Nisa' (4): 11).
d. Al-Razy dalam kitab tafsirnya Mafatih al-Ghaib-menukilkan pendapat
Abu Muslim al-Asfahany, bahwa QS. al-Baqarah (2): 180 adalah
muhkamah. Artinya tidak dihapus, dengan alasan sebagai berikut:
57
1) Ayat ini tidak berlawanan dengat ayat mawarits, namun ia
menetapkan,bahkan memperkuatnya .
2) Sesungguhnya tidak ada saling meniadakan antara berlakunya wasiat
kepada kerabat dan pewarisan. Dalam hal ini, wasiat merupakan
pemberian dari orang yang akan meninggal, sedangkan pewarisan
merupakan pemberian dari Allah. Dengan demikian, ahli waris dapat
memperoleh wasiat dan pewarisan melalui hukum yang terdapat
dalam kedua ayat tersebut.
3) Jika saja diperkirakan terjadi saling meniadakan antara ayat wasiat dan
warisan, maka sebenarnya dapat dipahami bahwa ayat mawarith
berfungsi sebagai takhsis terhadap ayat wasiat. Hal ini dapat dipahami
bahwa QS. al-Baqarah (2): ayat 180 secara umum menunjukkan bahwa
wasiat itu wajib untuk seiap kerabat. Sementara itu, ayat mawarits
mengeluarkan kerabat yang ahli waris. Oleh karena itu, ayat tentang
wasiat ini mengarah pada kerabat yang tidak sebagai ahli waris, karena
ada penghalang mendapatkan warisan seperti kafir (beda agama),
budak; terhalang ahli waris yang lebih dekat (mahjub), dan tergolong
dhawi al-arham (keturunan anak perempuan).125
Surat Al-Baqarah (2): 180 diarahkan petunjuknya pada kewajiban wasiat
kepada kedua orang tua dan kerabat yang tidak mendapatkan warisan karena
sesuatu hal (mani', mahjub, dan dhawi al arham). Sedangkan, petunjuk hadis
diarahkan pada larangan wasiat kepada ahli waris yang mendapatkan
125 Aly al Sais, Tafsir Ayat al Ahkam, vol. 1, Beirut: Dar al-Fikr, tt.,1999, hal : 56-57.
58
warisan. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami
bahwa ahli waris non muslim tidak dapat mewarisi dari orang tuanya atau
kerabatnya yang beragama Islam, tetapi dia mendapatkan bagian melalui
jalan wasiat wajibah dengan bagian tidak boleh lebih dari sepertiga harta
tinggalan mayyit. Penerapan wasiat wajibah melalui penafsiran al-Baqarah:
180 sebagaimana dalam kitab tafsir, secara umum lebih luas daripada
penerapan wasiat wajibah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang
mengkhususkan pada anak dan orang tua angkat.126
Yurisprudensi tetap di Lingkungan Peradilan Agama telah berulang kali
diterapkan oleh para praktisi hukum yang memberikan hak wasiat kepada
anak angkat melalui lembaga wasiat wajibah. Kasus yang terjadi di
Peradilan Agama, masalah wasiat wajibah termasuk sengketa waris.
Misalnya orang tua angkat yang memberikan bagian warisan kepada anak
angkat, dengan menyerahkan dan mengatasnamakan sebagian atau seluruh
harta kekayaanya kepada anak angkatnya.127
Penerapan lembaga hukum wasiat wajibah dalam kasus sengketa anak
angkat dan ahli waris beda agama di Indonesia merupakan perkembangan
hukum baru. Khusus mengenai ahli waris beda agama yang diberikan harta
warisan melalui lembaga wasiat wajibah harus melalui pertimbangan hukum
yang mendalam, sehingga antara kasus yang satu dengan yang lainya tidak
selalu memiliki hukum terapan yang sama.
126 Ibid,.127 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, op. cit, hal : 144.
59
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat
dan orang tua angkat terbina hubungan saling berwasiat. Dalam Pasal 209
ayat (1) dan ayat (2) berbunyi :
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.128
Menurut Pasal tersebut di atas, bahwa harta warisan seorang anak angkat
atau orang tua angkat harus dibagi sesuai dengan aturannya yaitu dibagikan
kepada orang-orang yang mempunyai pertalian darah (kaum kerabat) yang
menjadi ahli warisnya. Berdasarkan aturan ini orang tua anak atau anak
angkat tidak akan memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris.
Dalam Kompilasi Hukum Islam orang tua angkat secara serta marta
dianggap telah meninggalkan wasiat (dan karena itu diberi nama wasiat
wajibah) maksimal sebanyak 1/3 dari harta yang ditinggalkan untuk anak
angkatnya, atau sebaliknya anak angkat untuk orang tua angkatnya, dimana
harta tersebut dalam sistem pembagiannya bahwa sebelum dilaksanakan
pembagian warisan kepada para ahli warisnya, maka wasiat wajibah harus
ditunaikan terlebih dahulu.
BAB III
METODE PENELITIAN
128 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit.. hal : 205.
60
1. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis
normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam
kajian ini, hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah
dengan berbagai sistem lain yang ada di dalam masyarakat sehingga
memberi batas antara sistem hukum dengan sistem lainnya.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah deskriptif analitis, deskriptif
maksudnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan keadaan
atau gejala dari objek penelitian tanpa bermaksud untuk mengambil
kesimpulan secara umum, untuk kemudian akan dilakukan analisa terhadap
berbagai aspek yang diteliti dengan teori-teori, kaedah hukum serta berbagai
pengertian yang terkait dengan penelitian ini.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Universitas Jenderal
Soedirman, dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto.
4. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder, yang berupa bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan hukum primer adalah semua peraturan hukum yang dibentuk
dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau badan-
61
badan pemerintahan, yang berupa peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai wasiat wajibah, dan Putusan Mahkamah Agung No:
51.K/AG/1999.
b. Bahan hukum sekunder yaitu seluruh informasi tentang hukum yang
berlaku atau yang pernah berlaku di suatu negeri. Bahan hukum yang terdiri
atas buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh,
jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, yang berkaitan dengan wasiat
wajibah.
5. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan terhadap data
primer dan sekunder yang berhubungan dengan obyek penelitian, kemudian
dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh.
6. Metode Penyajian Data
Data dalam penelitian ini akan disajikan dengan cara pemilihan data yang
sesuai dengan obyek penelitian, kemudian merangkum dan
memfokuskannya pada hal-hal yang pokok, untuk kemudian dikaji sebagai
satu kesatuan yang utuh. Dan selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian
yang disusun secara sistematis.
7. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis normatif
kualitatif, yaitu suatu cara menginterpretasikan hasil penelitian dengan
mendasarkan pada norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin-doktrin
62
yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Norma hukum diperlukan
sebagai premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta yang
relevan (legal facts) yang ada dalam Putusan Mahkamah Agung No:
51.K/AG/1999 ditempatkan sebagai premis minor dan melalui proses
silogisme akan diperoleh kesimpulan terhadap permasalahan yang menjadi
obyek penelitian..
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
63
Penelitian ini dilakukan terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
51.K/AG/1999 yang merupakan kelanjutan dari putusan perkara di
Prngadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Penulis akan
menguraikan isi dari putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51.K/AG/1999
sebagai berikut :
1. Putusan Mahkamah Agung nomor 51.K/AG/1999 tanggal 29
September 1999.
1.1. Para Pihak yang Berpekara
Pihak-pihak yang Berperkara dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 51.K/AG/1999, antara lain sebagai berikut :
1. Ny. Subandiyah Ammar Asof, SH binti Setyono Hindro ,umur 55 tahun,
Agama Islam. Pekerjaan Notaris, bertempat tinggal di Komplek BNI
1946/PLN nomor : 5, pesing, Jakarta Barat.
2. Ny. Cicilia sri draswasir binti setjono hendro, umur 45 tahun, agama
Katolik, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Selomas
I/344, Semarang.
3. Ny. Sri Haryanti binti Setjono Hindro, Umur 48 tahun, Agama Islam,
pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Perum Poleko Blok c/13
Trembun, Bekasi, .
64
4. Bambang Hendriatmo bin Setjono Hindro, Umur 43 tahun, Agama Islam,
pekerjaan Pegawai PLN, bertempat tinggal di Perum Cipondah Makmur,
Blok D.X/ nomor 3, Tanggerang.
5. Putut Bayendra bin Setjono Hindro, Umur 37 tahun, agama Islam,
pekerjaan swasta, bertempat tinggal di jalan weru II.D.793,Perumahan
Margahayu Jaya Bekasi.
6. Sri Hendrayati binti Setjono Hindro, umur 35 tahun, Agama Islam,
pekerjaan Karyawati, bertempat tinggal di bumi Lestari H.45/31.
7. Indar Astuti Pranowo binti Hindro Merdoyo, umur 50 tahun, Agama
Katolik, bertempat tinggal di Jalan Prawirotaman nomor 4, Kecamatan
Nergangsan, Kotamadya Yogyakarta.
8. Ny. HJ. Danusubroto binti Mas Ngavehi Dodjosoewirjo. Umur 71 tahun,
Agama Islam, pekerjaaan Ibu rumah tangga, bertempat tinggal di jalan
Langenarjan Nomor 24, Kecamatan Kraton, Kotamadya Yogyakarta.
9. Ny. Hendrowinoto binti Mas Ngabehi DjojoSoewirjo, umur 68tahun,
agama Islam, Pekerjaan Ibu rumah tangga, bertempat tinggal di
Prawirotaman Ng.III/595, Kecamatan Mergangsan, Kotamadya
Yogyakarta.
10.Ny. Dewi Lakssmi Sugiarto binti Hindrotriwirjo, umur 42 tahun, Agama
Katolik, pekerjaan Ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Mantrijeron
Nj,III/804, Kecamatan Mantrijeron, Kotamadya Yogyakarta.
65
11. Bambang Wahyu Hurti.s. bin Hindrotriwirjo, umur 39 tahun, agama
islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Internal Audit F.T Itchi
Fc Bok 132 jalan Jenderal Sudirman nomor 24 Balikpapan.
12. Bernadeta Hartini Tri Prasasti binti Hindrotriwirjo, umur 37 tahun,
agama Katolik, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di jalan Cimandiri
50 Rt.$ Rw. V, Cipayang, ciputat Tanggerang.
13. Herlina Widyasari binti Pantoro, umur 35 tahun, agama Islam,
pekerjaan Ibu rumah tangga, bertempat tinggal di jalan Parangtritis
67K/83.
14. Yulia Yudantari binti Pantoro, umur 22 tahun, agama Islam, pekerjaan
mahasiswa, bertempat tinggal di jalan parangtritis 67 K/83.
15. Lucas Indriya bin Mas ngabehi Djojosowiryo, umur 57 tahun, agama
Katolik, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di jalan parangtritis nomor
95, Para pemohon kasasi dahulu para tergugat/pembanding
Melawan
Ny. Jazilah martadi hendrolesono binti cokrolesono, umur 64 tahun, agama
Islam,pekerjaan swasta,bertempat tinggal di Jalan Tirtodipuren nomor : 73,
Rt.64 Rw.XVII, Kelurahan Mentrijeron, Kecamatan Mentrijeron,
Kotamadya Yogyakarta Para termohon kasasi dahulu para
tergugat/pembanding
1.2. Duduk Perkara
66
1.2.1 Perkara warisan itu bermula dari tanah pusaka seluas 1319 m2 terletak
di Jalan Prawirotaman Mg III / 593, Yogyakarta. Sejak awal, pusaka
itu dimiliki Alm. Ng. Djojo Soewirjo. Tapi, setelah Soewirjo
meninggal, tanah pusaka dengan sertifikat Hak Milik Nomor. 924 /
tahun 1990 diwariskan kepada Martadi Hendrolesono, anak kandung
Soewirjo.
1.2.2 Bahwa Martadi meninggal setelah menunaikan Ibadah Haji pada
tanggal 17 November 1995 tanpa meninggalkan seorang anakpun,
namun meninggalkan seorang isteri yang kemudian dikenal dengan
nama Ny. Jazilah Martadi Hendrolesono.
1.2.3 Bahwa Martadi bukan merupakan anak kandung satu - satunya dari
Alm. Soewirjo. Martadi masih mempunyai 7 saudara kandung yang
sedarah. Ketujuh saudara kandung Martadi tersebut, adalah sebagai
berikut :
1. Setjono Hindiro bin Mas Ngabehi Djojo Soewirjo (almarhum)
meninggalkan 6 orang anak, yaitu:
Ny. Subandiyah Ammar Asof ,SH - agama Islam
Ny. Sri haryanti - agama Islam
Ny, Cicilia Sri Draswasih - agama Katolik
Bambang Hendriyanto - agama Islam
Putut Bayendra - agama Islam
67
Sri Hendriyati - agama Islam
2. Hindrowerdoyo bin Mas Ngabehi Djojo Soewirjo ( almarhum )
meninggalkan seorang anak yaitu :
Indar Astuti Pranowo - agama Katolik
3. Ny. Danu Subroto binti Mas Ngabehi Djojo Soewirjo - Agama Islam
4. Ny.Hindro winoto binti Mas Ngabehi Djojo Soewirjo - Agama Islam
5. Ny. Hindro Triwirjo Binti Mas Ngabehi Djojo Soewirjo (almarhum)
meninggalkan 3 orang anak yaitu :
Fidewi Laksmi Sugiyanto - Agama Katolik
Bambang Wahyu Murti S - Agama Islam
Bernadeta Harini Tri Prasasti - Agama Katolik
6. Drg. Pantoro (almarhum) meninggalkan 2 orang anak yaitu :
Ferlina Widyasari - Agama Islam
Yulia Yudantari - Agama Islam
7. Lucas Indriya - Agama Katolik
1.2.4. Bahwa semasa hidupnya Alm. Martadi Hendrolesono adalah seorang
muslim yang taat kepada agama yang dianutnya, sehingga
ketaqwaannya terhadap Allah S.W.T sempat diwujudkan dengan
68
menunaikan Ibdaha Haji yang merupakan kewajiban bagi pemeluk
agama Islam yang mampu.
1.2.5 Bahwa dalam hal kewarisan, maka terluangnya harta warisan adalah
dengan meninggalnya pewaris, sehingga karena harta peninggalan
tersebut ditinggalkan oleh seseorang yang beragama Islam, maka
sudah semestinya jika terhadap harta tersebut tunduk kepada hukum
yang dianut pewaris.
1.2.6. Bahwa karena itu pembagian harta warisan Alm. Martadi
Hendrolesono sudah semestinya menggunakan hukum yang dianut
oleh pewaris yaitu hukum kewarisan Islam bukan mengikuti
kemauan ahli waris.Dengan demikian karena pewaris adalah
seseorang yang beragama Islam maka harta warisan tersebut tidak
dapat dibagi selain dengan menggunakan hukum Islam.
1.2.7. Bahwa Penggugat beritikad baik untuk membagikan harta warisan
dilakukan sesuai dengan hukum waris Islam yang diatur dalam Al -
Qur’an Surat Al - Baqoroh / 2 : 195 tidak pernah ditanggapi oleh
para tergugat.
1.2.8. Bahwa menurut pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, penggugat adalah
ahli waris yang berhak atas harta peninggalan Alm. Martadi
Hendrolesono, karena masuk dalam kelompok ahli waris menurut
hubungan perkawinan, sedangkan menurut Q.IV:12 penggugat
69
termasuk dalam ahli waris golongan dzawul faraaid dan termasuk
dalam golongan keutamaan.
1.2.9 Bahwa berdasarkan pasal 180 Kompilasi Hukum Islam disebutkan
bahwa janda akan memperoleh ¼ bagian bila pewaris tidak
mempunyai anak.
1.2.1.0 Bahwa selanjutnya dalam pasal 181 Kompilasi Hukum Islam secara
tegas dan jelas kedudukan tergugat telah diatur oleh pasal tersebut
yang isinya antara lain : …….bila mereka itu dua orang atau lebih
maka bersama-sama mendapatkan 1/3 bagian.
1.2.1.1. Bahwa dengan demikian sesuai dengan hukum yang dianut oleh
pewaris, maka hak dari penggugat adalah 1/4 bagian harta
peninggalan Alm. Martadi dan para tergugat seluruhnya adalah 1/3
bagian.
1.2.1.2. Bahwa tehadap tergugat II, VII, X, XII, dan XV menurut aturan
hukum Islam adalah bukan merupakan ahli waris dan tidak berhak
untuk mewarisi atas warisan dari pewaris yang telah meninggal, hal
ini disebabkan bahwa para tergugat II, VII, X, XII, dan XV adalah
orang yang berlainan agama dengan pewaris sebagaimana
disebutkan dalam hadist Nabi Muhammad S.A.W yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan muslim yang ditafsirkan dari Q.S II:
221 yang berbunyi sebagai berikut :
70
“Bahwa orang-orang Islam tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang
non muslim dan orang non muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan
orang Islam”
1.2.1.3. Bahwa Penggugat beritikad untuk membagikan harta warisan
sebidang tanah SHM Nomor 924 atas nama Martadi - Jazilah
berkeinginan agar pembagian harta warisan itu dilakukan sesuai
dengan hukum waris Islam yang diatur dalam Al - Qur’an Surat Al
- Baqoroh / 2 : 195. Itikad baik Jazilah ditentang oleh saudara
kandung Martadi, hingga terjadi silang pendapat tentang
pembagian ahli warisnya. Ada yang berpendapat, agar saudara
kandung yang beragama Islam saja yang berhak atas harta warisan
tersebut. Ada pula yang berpendapat, agar harta warisan itu
dibagikan secara adil. Hingga terjadi tarik menarik dari dua
pendapat itu. Karena tidak ada titik temu, akhirnya sengketa
warisan tersebut bergulir ke Pengadilan.
1.3. Tuntutan
Primair :
71
1.31. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;
1.3.2 Menyatakan secara hukum, bahwa Alm Martadi Hendrolesono
meninggal
dunia dalam keadaan Islam;
1.3.3. Menyatakan secara hukum bahwa penggugat adalah ahli waris Janda
yang berhak atas harta peninggalan Alm. Martadi Hendrolesono;
1.3.4. Menyatakan secara hukum bahwa tanah dengan bangunannya
Sertifikat Hak Milik Nomor 924 atas nama Martadi Hendrolesono
gambar situasi No.3572 tanggal 5 September 1990 luas 1.319 M2 adalah
merupakan harta peninggalan alm.Martadi Hendrolesono dengan batas-
batas sebagai berikut :
Utara : Tanah No.125 SU.2544/1986 ;
Selatan : Jalan Kampung ;
Timur ; Tanah Pers . 170 SU.1287/1938 ;
Barat ; Tanah Pers . 1256 H.M 922/923 GS. 3571/1990 ;
1.3.5. Menyatakan secara hukum penggugat berhak ¼ (seper empat) bagian
dari seluruh harta peninggalan dari alm.Martadi Hendrolesono ;.
1.3.6. Menyatakan secara hukum bahwa para tergugat berhak 1/3 (seper
tiga) bagian dari harta peninggalan ;
72
1.3.7. Memerintahkan kepada para tegugat dan penggugat untuk tunduk
pada Kompilasi Hukum Islam guna melakukan pembagian harta
peninggalan dari alm. Martadi hendrolesono.
1.3.8. Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya yang timbul secara
tanggung renteng ;
Subsidair :
Mohon putusan lain yang seadil - adilnya.
1.4 Tentang Keberatan Pokok
Meninmbang, bahwa keberatan pokok yang diajukan oleh pemohon
Kasasi dalam memori Kasasinya tersebut pada pokoknya adalah :
1.4.1. Bahwa termohon kasasi/tergugat asal sebelum mengajukan
gugatan di Pengadilan Agama Yogyakarta , pemohon
kasasi/tergugat asal telah mengajukan gugatan di Pengadilan
Negeri Yogyakarta No: 35/Pdt.G/1997. Dengan demikian yang
pertama merasa terusik kepentingan hukumnya adalah pemohon
kasasi/tergugat asal dan telah melakukan pemilihan hukum
dalam menyelesaikannya. Hal ini sesuai dengan staatblad 1917
No.12 pasal 29 tentang penundukan diri secara diam-diam,
sehingga pengajuan gugatan di pengadilan hanyalah gugatan
tandingan sehingga tidak boleh ditolerir dan harus batal demi
73
hukum atau nebis in idem atau gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima ;
1.4.2. Bahwa Judex facti telah salah menerapkan hukum, karena
mendasarkan Sema No. 2/1990 dan juga Kompilasi Hukum
Islam, dimana sebenarnya surat edaran tersebut bersifat tidak
mengikat dan hanya sebagai salah satu acuan saja, Demikian
juga Kompilasi Hukum Islam hanya merupakan pedoman tetapi
secara hirarkhis yang menjadi pedoman utama adalah UU No.
7/1989 yang dalam penjelasannya jelas dimungkinkan memilih
hukum, adapun tentang penjabarannya yang terlebih penting
hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat ( pasal 27 ayat 1
UU No.14/1970 ).Sedangkan putusan Judex facti dalam
penerapannya sangat kasuistis, tidak boleh gebyak uyah karena
dalam perkara ini yang sangat mempunyai kepentingan hukum
adalah para pihak dan bukan para pewaris, lebih-lebih UU No.
7/1989 adalah belum lama dan ternyata diantara pemohon
kasasi/tergugat asal yang Non Islam sudah sejak sebelum UU
No. 7/1989 berlaku, sehingga semestinya hukum yang ditetapkan
adalah yang dapat mencerminkan keadilan para pihak mengingat
kehidupan beragama di Indonesia sangat pluralistis, sehingga
untuk perkara yang sangat melibatkan person yang berlainan
agama harus dapat diambil jalan tengah, sehingga akan menjadi
74
suatu hukum yang satu dapat diterima oleh semua pihak yaitu
pengadilan umum ;
1.4.3. Bahwa Judex facti telah keliru dalam menafsirkan sedapat
mungkin ( vide putusan No. 007/Pdt.G/1998.PTA.YK. hal.12 )
dengan mendasarkan Surat Keputusan Menteri Agama no.
154/1991. Karena sebenarnya hakim bersifat mandiri dan tidak
boleh terpengaruh Instansi manapun dalam memutus perkara,
sehingga putusan tersebut batal demi hukum ( Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI tanggal 17-9-1975 No:149 K/Sip/1973 ) ;
1.4.4. Bahwa Judex facti tidak member pertimbangan hukum yang
cukup karena member pertimbangan hukumnya secara utuh atau
hanya sepotong-sepotong serta tidak mempertimbangkan dalil-
dalil pemohon kasasi/tergugat asal yaitu tentang pembagian
harta, bahwa termohon kasasi/penggugat asal mendapatkan ¼
dan ahli waris lainnya ¾ bahwa diantara pemohon kasasi ada
yang beragama katholik sehingga tidak tunduk pada putusan
pengadilan agama, karena pengadilan ini hanya untuk orang
Islam, maka jelas gugatan termohon kasasi/penggugat asal
kelebihan subjek yang semestinya untuk pihak Non
Islam/Muslim harus gugatan tersendiri di pengadilan negeri ;
1.4.5. Bahwa Judex facti telah salah menerapkan hukum. Karena hanya
mengambil alih dari pertimbangan hakim pertama, kemudian
75
juga member putusan yang berlebihan yaitu dengan memberika
bagian Ny.Jazilah ( termohon kasasi/penggugat asal ) mendapat
¼ bagian dan ahli waris lain mendapat ¾ bagian tanpa didukung
dengan alasan hukum yang jelas, bukti-bukti yang kongkret
sehingga putusan tersebut harus dibatalkan demi hukum ;
1.4.6. Bahwa Judex facti telah salah menerapkan hukum, karena telah
lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan peraturan-
peraturan yang berlaku dan bertentangan dengan Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI pada tanggal 22-7-1972 No. 638
K/SIP/1969 dan tanggal 19-10-1972 No:87672 K/SIP/1972.
Dengan demikian putusan Judex facti harus dibatalkan dengan
mengadili sendiri ;
1.5. Tentang Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut mahkamah
Agung berpendapat :
1.5.1. Mengenai alasan keberatan ad.1.4.1 :
Bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena keberatan ini
tidak mengenai yang menjadi pokok persoalan dalam sengketa ini
( irrelevant )
1.5.2. Mengenai alasan keberatan ad.1.4.2, 1.4.3, 1.4.4, 1.4.6 :
76
bahwa keberatan-keberatan inipun tidak dapat dibenarkan karena
hal ini mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan tentang suatu keyakinan, hal mana tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena
pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak
dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan yang dimaksud
dalam pasal 30 Undang-Undang Mahkamah Agung Indonesia
( Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 )
1.5.3. Mengenai keberatan ad. 1.4.5
bahwa keberatan ini juga tidak dapat dibenarkan karena Judex
facti tidak salah dalam menereapkan hukum ;
1.6 Diktum Amar Putusan Hakim Mahkamah Agung
1.6.1. Atas pertimbangan di atas maka Mahkamah Agung memberi
putusan yang amarnya sebagai berikut :
Menolak permohonan kasasi dan Pemohon kasasi dengan
perbaikan amar putusan Pengadilan Tinggi Agama
Yogyakarta Nomor 007 / Pdt.G / 1998 / PTA.Yk. sehingga
berbunyi sebagai berikut :
Menyatakan bahwa permohonan banding Pembagian dapat
diterima ;
Dalam Eksepsi :
77
1.6.2 Menolak Eksepsi Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III,
Tergugat IV, Tergugat V, Tergugat VI, Tergugat VII,
Tergugat VIII, Tergugat IX, Tergugat X, Tergugat XI,
Tergugat XII, Tergugat XIII, Tergugat XIV, Tergugat XV,
seluruhnya ;
Dalam pokok perkara :
1.6.3. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian ;
1.6.4. Menyatakan secara hukum bahwa H. Martadi Hendrolesono bin
Mas Ngabehi Djojosoewirjo telah meninggal dunia tanggal 17
Nopember 1995 dalam keadaan tetap sebagai pemeluk agama
Islam ;
1.6.5. Menetapkan secara hukum bahwa penggugat ( Ny .Jazilah Martadi
Hendrolesono binti Cokrolesono) adalah ahli warus ( janda) dari
H.Martadi Hendrolesono bin Mas Ngabehi Djojosoewirjo ;
1.6.6. Menyatakan secara hukum bahwa sebidang tanah dengan bangunan
sertifikat Hak Milik Nomor M.924 / Btk dengan gambar situasi
Nomor 3572 tanggal 3 september 1990 yang dikeluarkan oleh
kantor pertanahan Kotamadya Yogyakarta seluas 1.319 M2 atas
nama Martadi Hendrolesono yang terletak dijalan Prawirotaman Mg
III / 593, Kel. Brotokusuman, Kec. Mergangsan Kotamadya
Yogyakarta, dengan batas - batas sebagai berikut :
78
Sebelah Utara : Tanah Nomor: 125.SU 2544 / 1986 Sebelah
Selatan: Jalan Kampung. Sebelah Timur : Tanah Pers 170 SU.1387
/ 1938; Sebelah Barat : Tanah Pers 1256HM92/ 923 GS3571 /
19190; adalah merupakan harta warisan dari H. Martadi
Hendrolesono bin Mas Nabehi Djojosoewirjo ;
1.6.7. Menyatakan bahwa penggugat berhak memperoleh ¼ (seperempat )
bagian dari harta warisan H. Martadi Hendrolesono bin Mas
Ngabehi Djojosoewirjo ;
1.6.8. Menyatakan secara hukum bahwa disamping penggugat ada ahli
waris Martadi Hendrolesono bin Mas Ngabehi Djojosoewirjo
adalah :
1. Subandiyah Amar Asof, SH binti Setjono Hindro (Tergugat I) sebagai
ahli waris pengganti dari saudara kandung laki - laki.
2. Sri haryanti binti Setjono Hindro (Tergugat II) sebagai ahli waris
pengganti dari saudara kandung laki - laki.
3. Bambang Hendriyanto bin Setjono Hindro (Tergugat IV) sebagai ahli
waris pengganti dari saudara kandung laki - laki.
4. Putut Bayendra bin Setjono Hindro (Tergugat V) ahli waris pengganti
saudara kandung laki - laki.
5. Sri Hendriyanti binti Setjono Hindro (Tergugat VI) sebagai ahli waris
pengganti dari saudara kandung laki - laki.
79
6. Ny. Dusubroto binti M. Ng. Djojosoewirjo (Tergugat VIII) sebagai ahli
waris saudara kandung perempuan.
7. Ny. Hendrowinoto binti M. Ng. Djojosoewirjo (Tergugat IX) ahli waris
saudara kandung perempuan.
8. Bambang Wahyu Murti bin Hindrotriwirjo (Tergugat XI) ahli waris
pengganti dari saudara kandung perempuan.
9. Ferlina Widyasari binti Pantoro (Tergugat XIII) ahli waris pengganti dari
saudara kandung laki - laki.
10. Yulia Yudantari binti Pantoro (Tergugat XIV) ahli waris pengganti dari
saudara kandung laki - laki.
11. Ny. Cicilia Sri Draswasih binti Setjono Hindro (Tergugat III).
12. Indar Astuti Pranowo binti Hindro Werdoyo (Tergugat IV);
13. Fi Dewi Laksmi Sugianto bin Ny. Hendro Triwirjo (Tergugat X);
14. Bernadeta Harini Tri Prasasti bin Ny. Hendro Triwirjo (Tergugat XII);
15. Lucas Indriya bin Mas Ngabehi Djojosoewirjo (Tergugat XV);
Kesemua berhak memperoleh 3/4 (tiga perempat) bagian dari harta waris H.
Martadi Hendrolesono bin Mas Ngabehi Djojosoewirjo ;
1.6.9. Memerintahkan kepada penggugat dan para Tergugat tersebut
sebagai ahli waris untuk mentaati dan melaksanakan pembagian
80
atas harta warisan H. Martadi Hindrolesono bin Mas Ngabehi
Djojosoewirjo sebagaimana tersebut;
1.6.1.0. Menolak gugatan Penggugat selebihnya;
1.6.1.1. Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp.473.600,- (Empat ratus tujuh puluh tiga ribu enam
ratus rupiah);
1.6.1.2. Menghukum para Pembanding untuk membayar biaya perkara di
tingkat banding sebesar Rp. 50.000,- (Lima puluh ribu rupiah);
1.6.1.3. Menghukum Pemohon Kasasi akan membayar biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp. 100.000,-
(Seratus ribu rupiah)
B. Pembahasan
81
Di Indonesia hingga saat ini belum terdapat suatu kesatuan hukum
tentang hukum kewarisan yang dapat di terapkan untuk seluruh warga
negara Indonesia. Hukum waris yang di terapkan kepada seluruh warga
negara Indonesia masih berbeda-beda ada yang memakai KUH perdata,
hukum adat dan khususnya untuk umat Islam memakai hukum Islam yang
telah di tetapkan oleh Al-Quran dan Al-Hadist dan yang di rumuskan dalam
Kompilasi Hukum Islam.
Hukum Islam telah menetapkan aturan waris dengan bentuk yang
sangat teratur dan adil, yang di dalamnya di tetapkan hak kepemilikan harta
bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang
sah. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilkan seseorang
sesudah, meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan
nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan besar atau
kecil. Di dalam Kompilasi Hukum Islam di rumuskan pengertian hukum
kewarisan pada Pasal 171 huruf (a) sebagai berikut:
"Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing"129
Salah satu syarat dari pewarisan adalah adanya ahli waris. Dilihat dari
bagian yang di terima, atau berhak atau tidaknya mereka menerima warisan,
ahli waris di bedakan menjadi tiga :
1. Ahli waris Dzawul Furudz adalah golongan keluarga tertentu yang ditetapkan menerima bagian tertentu dalam keadaan
129 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, loc. Cit, . hal : 194.
82
tertentu. Para Fuqaha sependapat bahwa dzawil furudh secara mutlak telah jelas bagian-bagiannya.
2. Ahli waris Ashabah yaitu mereka merupakan satu golongan yang saling membantu dan saling melindungi di antara mereka. Adapun pengertian ashabah menurut istilah para fuqaha adalah ahli waris yang tidak disebutkan jumlah ketetapan bagiannya di dalam Al-quran dan As sunnah dengan tegas. Pengertian ashabah dikalangan ulama adalah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal, selain itu ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhab al-furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.
3. Ahli waris Dzawul Arham adalah kerabat pewaris yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-quran dan As sunnah, dan bukan pula termasuk dari para ashabah. Maksudnya, dzawil arham adalah mereka yang bukan termasuk ashhabulfurudh dan bukan pula ashabah. Dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisi secara ashhabulfurudh, dan tidak pula secara ashabah130.
Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu
harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan si
mayit yang terdiri dari:
1. Zakat atas harta peninggalan.
Adapun yang dimaksud dengan zakat atas harta peninggalan, yaitu zakat yang semestinya harus dibayarkan oleh si mayit, akan tetapi zakat tersebut belum dapat terlaksana dan lantas ia meninggal, Maka untuk zakat ini harus dibayarkan dari harta peninggalan tersebut.
2. Biaya pemeliharaan jenazah
Adapun yang dimaksud dengan pemeliharaan si mayit adalah biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan jenazah, seperti kain kafan, pemandian dan penguburan jenazah.
3. Biaya hutang-hutang yang masih ditagih oleh kreditor ( pemberi pinjaman )
130 Beni Ahmad Saebani, op.cit, hal : 135.
83
Hal ini sejalan dengan hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad yang artinya berbunyi sebagai berikut : Jiwa orang mukmin disangkutkan dengan hutangnya, sehingga hutangnya itu dilunasi.
4. Melaksanakan wasiat
Adapun yang dimaksud wasiat di sini adalah wasiat yang bukan untuk kepentingan ahli waris, dan jumlah keseluruhan wasiat itu tidak boleh lebih dari 1/3 dari jumlah keseluruhan harta peninggalan.131Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. 132
Adapun yang di maksud dengan pewaris seperti yang di sebutkan dalam
pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam adalah :
"Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang di nyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan".133
Hukum waris Islam waris mensyaratkan bahwa dari meninggalnya si
pewaris, ada harta peninggalan, ahli waris yang sah dan tidak adanya
penghalang untuk mewarisi. Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf c
menyebutkan bahwa :
“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris".134
Berdasarkan pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam tersebut, yang di
maksud ahli waris adalah, mereka yang jelas-jelas mempunyai hak waris
ketika pewarisnya meninggal dunia dan tidak ada penghalangan untuk
mewarisi, yang di maksud dengan penghalangan mewaris adalah sebab-
131 Ibid,.132 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, loc. Cit, . hal : 51.
133 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, loc. Cit . hal : 194.134 Ibid,.
84
sebab atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk
memperoleh hak mewaris. Macam-macam penghalang untuk mendapatkan
warisan ada 3 yaitu :
1. Karena seorang hamba sahaya atau budak.
2. Karena membunuh.
3. Perbedaan Agama.135
Salah satu penghalang untuk mendapatkan hak mewaris adalah
perbedaan agama, sebab seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun di
warisi oleh orang non muslim dalam hal ini termasuk di dalamnya orang
yang murtad atau orang yang menganut agama lain selain Islam. Orang
muslim hanya memberikan waris kepada sesama muslim, jika yang
meninggal dunia adalah seorang muslim sedangkan ahli warisnya bukan
muslim, maka ia tidak berhak mendapatkan harta waris, berdasarkan hadist
yang diriwayatkan oleh Mu’az bin Jabal r.a yang artinya :
“ Orang Islam tidak mendapat warisan dari orang kafir, dan orang kafir
tidak mendapat warisan dari orang Islam “.136
Begitu juga dalam surat An Nissa ayat 141 yaitu :
“dan Allah sekali-sekali tidak akan memberikan jalan bagi orang kafir untuk
menguasi orang muslim”137
135 Beni Ahmad Saebani, Syamsul Falah, op.cit, hal : 206136 Ibid, hal : 210.137 Ibid,
85
Berdasarkan hasil penelitian data di atas ada beberapa ahli waris pengganti
adalah beragama non muslim yaitu beragama Katolik sehingga menjadi
penghalang bagi mereks untuk mendapat warisan karena berbeda agama
atau murtad dari agama Islam.
Berdasarkan data di atas, apabila di hubungkan dengan pertimbangan
hukum hakim Pengadilan Agama Menurut pasal 171 "Kompilasi Hukum
Islam", majelis Pengadilan Agama berpendapat bahwa : Cicilia Sri
Draswasih, Ny. Indar Astuti Pranowo, Fi Dewi Laksmi Sugianto, Bemadeta
Tri Prasasti, Lucas Indriya yang beragama katolik, menurut hukum Islam
bukanlah ahli waris H. Martadi Hendrolesono bin Mas Nabehi
Djojosoewirjo .
Menurut pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa
ahli waris haruslah yang beragama Islam pada saat meninggalnya si pewaris.
Oleh karena itu ahli waris yang berhak mendapatkan warisan adalah :
1. Yulia Yudantai binti Pantoro (Tergugat XIV)
2. Ferlina Widyasari binti Pantoro (Tergugat XIII)
3. Bambang Wahyu Murti bin Hindrotriwirjo ( Tergugat XI )
4. Ny. Hendrowinoto binti Mas Ngabehi Djojosoewirjo (Tergugat IX)
5. Ny Danusubroto binti Mas Ngabehi Djojosoewirjo (Tergugat VIII)
86
6. Sri Hendriyati bin Setjono Hindro ( Tergugat VI)
7. Putut Bayendra bin Setjono Hindro ( Tergugat V)
8. Bambang Hendriyanto bin Setjono Hindro ( Tergugat IV)
9. Subandiyah Ammar Asof, SH binti Setyono Hindro ( Tergugat 1)
10.Sri Haryanti binti Setjono Hindro ( Tergugat II )
Kata wasiat artinya pesan yang disampaikan oleh seseorang, dalam
istilah hukum Islam wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain,
baik berupa barang, piutang, maupun manfaat untuk dimiliki oleh orang lain
yang diberi wasiat setelah pemberi wasiat meninggal dunia.138
Pasal 194 Kompilasi Hukum Islam di atur mengenai ketentuan wasiat, yaitu:
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain.
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
(3) Pemilikan terhadap harta seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.139
Wasiat, adalah salah satu kewajiban dari ahli waris terhadap harta
peninggalan orang tuanya yang telah meninggal sebelum dibagikan kepada
ahli waris. Di katakan wasiat wajibah karena dua hal yaitu :
1.Hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan
138 Ibid, hak : 249.139 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, loc. cit. hal : 200.
87
atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat.
2.Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.140
Pelaksanaan dalam wasiat, ulama fiqih mensyaratkan bahwa orang yang
menerima wasiat bukan salah seorang yang berhak mendapatkan warisan
dari orang yang berwasiat, kecuali apabila ahli waris lainnya
membolehkan.141 Dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai wasiat wajibah
di atur di dalam Pasal 209 yang berbunyi:
1. Harta peninggalan anak angkat di bagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orangtua angkat yang tidak menerima wasiat di beri wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat di beri wasiat wajibah ssbanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orangtua angkatnya.142
Berdasarkan hasil penelitian data di atas, Hakim Mahkamah Agung dalam
perkara Reg. No. 51/K/AG/1999 memberi putusan dengan pertimbangan
berdasarkan "Wasiat Wajibah" dan memberikan hak waris Cicilia Sri
Draswasih, Indar Astuti Pranowo, Fi Dewi Laksmi Sugianto, Bemadeta Tri
Prasasti, Lucas Indriya yang beragama Katolik.
Menurut penulis pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Agung
berdasarkan wasiat wajibah adalah tidak tepat karena tidak sesuai dengan
apa yang di atur oleh Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam mengenai wasiat
140 Umar Said, loc.cit , hal : 146. 141 Ahmad Kamil, Fauzan, op.cit. hal : 139.
142 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, loc.cit. hal :204.
88
wajibah sebab Cicilia Sri Draswasih, Indar Astuti Pranowo, Fi Dewi Laksmi
Sugianto, Bemadeta Tri Prasasti, Lucas Indriya, tidak beragama Islam,
sehingga menjadi penghalang untuk mendapatkan warisan.
Berdasarkan kasus di atas, memang pada prinsipnya warisan harus jatuh
kepada ahli warisnya yang utama dalam hal ini adalah anak, namun dalam
kasus ini pewaris tidak memiliki seorang anak, maka ahli waris dari harta
peninggalan adalah janda, dan saudara kandung pewaris. Beberapa saudara
kandung pewaris tidak memeluk agama Islam, atau murtad atau sudah
pindah agama lain artinya hilanglah hak mewarisnya karena sudah menjadi
penghalang untuk mendapatkan warisan. Dan apabila hakim dalam melihat
kasus ini memberi putusan berdasarkan wasiat wajibah apakah hakim
melihat bahwa Sri, Indar Astuti Pranowo, Fi Dewi Laksmi Sugianto,
Bemadeta Tri Prasasti, Lucas Indriya berhak mendapatkan warisan padahal
dia sudah berpindah agama yaitu agama Katolik.
Seharusnya Hakim melihat bahwa kemurtadannya tersebut secara
otomatis telah menghilangkan hak mewarisnya terhadap harta peninggalan
orangtuanya dan tidak memberikan hak mewaris berdasarkan wasiat
wajibah karena wasiat wajibah di peruntukan kepada mereka yang tidak
memperoleh warisan bukan di sebabkan karena penghalang seperti yang
telah sebutkan diatas namun penghalang dalam pengertian terhijab oleh ahli
waris yang lain.
89
Wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam seperti yang disebutkan
dalam Pasal 209 ayat (1) dan (2) adalah terhadap anak angkat dan orangtua
angkat dan kepada merekapun hanya diberikan sepertiga dari harta
peninggalan pewarisnya, sehingga Hakim disini telah salah dalam
menerapkan hukum dalam kasus hak mewaris anak non muslim sebab
Cicilia Sri Draswasih, Indar Astuti Pranowo, Fi Dewi Laksmi Sugianto,
Bemadeta Tri Prasasti, Lucas Indriya, seharusnya tidak bisa menjadi ahli
waris dan kehilangan hak mewarisnya dan tidak bisa memberikan hak waris
berdasarkan wasiat wajibah sebab bukan seseorang yang berhak
mendapatkan wasiat wajibah dan bukan yang di atur di dalam Pasal 209
Kompilasi Hukum Islam yang memberikan hak waris berdasarkan wasiat
wajibah hanya kepada anak angkat dan orangtua angkat sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan, seharusnya yang dapat menggantikan
kedudukan dalam wasiat wajibah ialah hanya khusus cucu-cucu baik laki-
laki maupun perempuan yang orangtuanya meninggal dunia lebih dahulu
daripada yang mewariskan.
90
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan Mahkamah Agung No.
51/K/AG/1999 dapat di simpulkan bahwa Putusan Mahkamah Agung No.
51/K/AG/1999 yang memberikan bagian dari harta warisan melalui wasiat
wajibah kepada ahli waris non muslim adalah tidak tepat, karena hal
tersebut tidak sesuai dengan surat An Nisa ayat 141 yaitu :
“dan Allah sekali-sekali tidak akan memberikan jalan bagi orang
kafir untuk menguasi orang muslim”,
Ditegaskan kembali melalui hadist Nabi Muhammad S.A.W yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan muslim yang ditafsirkan dari Q.S II: 221
yang berbunyi sebagai berikut :
“Bahwa orang-orang Islam tidak dapat mewarisi harta
peninggalan orang non muslim dan orang non muslim tidak dapat
mewarisi harta peninggalan orang Islam”,
Hadis ini sebagai tambahan dari firman Allah S.W.T :
“dua orang yang berbeda agama tidak saling mendapatkan
warisan sama sekali”.
91
Al-quran QS. Al-Baqarah (2) ayat 180 juga menjelaskan secara umum
menunjukkan bahwa wasiat itu wajib untuk seiap kerabat, ayat mawarits ini
mengeluarkan kerabat yang ahli waris dan mengarah pada kerabat yang
tidak sebagai ahli waris, karena terhalang ahli waris yang lebih dekat
(mahjub), dan tergolong dhawi al-arham (keturunan anak perempuan)
bukan karena ada penghalang mendapatkan warisan seperti kafir (beda
agama), pembunuhan, dan perbudakan.
Putusan hakim Mahkamah Agung dalam perkara No. 51/K/AG/1999
juga tidak sesuai dengan Pasal 171 huruf C dan pertimbangan hakim
Mahkamah Agung yang memposisikan ahli waris non muslim seperti anak
angkat dengan memberikan putusan berdasarkan wasiat wajibah tidak tepat,
karena tidak sesuai dengan Pasal 209 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum
Islam.
92
B. SARAN
1. Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislative, perlu membuat
suatu Undang-Undang sebagai pedoman bagi hakim Peradilan Agama
hingga Mahkamah Agung dalam membuat keputusan bagi saudara
kandung non muslim, untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
sengketa hak mewaris bagi saudara kandung non muslim.
2. Mahkamah Agung sebagai Peradilan tertinggi di Indonesia seharusnya
dapat mempertimbangkan hukum yang konkrint dan jelas sebelum
memberi putusan, sehingga dapat diterima dan dimengerti bagi setiap
pihak yang berperkara. Khususnya perkara waris terhadap ahli waris
non muslim, hendaknya hakim Mahkamah Agung harus lebih
mempertimbangkan Al-Quran dan Al-Hadist sebagai dasar hukum
Islam.
93
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Saebeni, Beni. Fiqh Mawaris, Pustaka Setia : Bandung.2010.
Ali Muhammad, As-Shabuni. Hukum waris Dalam Syari’ah Islam. Diponegoro : Bandung.
1998
Azhar Ahmad, Basyir. Hukum Waris Islam. UII Press : Yogyakarta. 2001.
_________________, Hukum Perkawinan Islam. UII Press : Yogyakarta. 1989.
Ghofur .A, Anshori. Hukum Kewarisan Islam.Ekonisia: Yogyakarta. 2002.
Idris Mohd, Ramulyo. Hukum Perkawinan Islam. Bumi Aksara : Jakarta. 1996.
_________________,Asas-Asas Hukum Islam. Sinar Grafika : Jakarta. 2004.
Ibn anar, imam malik. Al Muwatta Imam malik ibn Anas. P.T Raja Grafindo Persada: Jakarta.
1999.
Kamil Ahmad, dan Fauzan, M. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia.
P.T Raja Grafindo Persada: Jakarta.2000.
Nasution Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta : UI
Press, 2002.
Rachman Fatur. Ilmu Waris.Al-Ma’arif. Bandung. 1981.
Subekti Trusto. Hukum Keluarga dan Perkawinan. Universitas jenderal Soedirman.
Purwokerto. .2009.
94
Supriyadi Dedi, Sejarah Hukum Islam, Pustaka Setia : Bandung.2009.
Thalib Sajuti. Hukum Kewarisan Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 2007.
Umar Said, Hukum Islam di Indonesia tentang Waris, Wasiat, Hibah, dan Wakaf ,Surabaya :
Cempaka. 1997.
Soekanto Soerjono, & Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat).
PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2006.
Lubis K, Suharwati & Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam.Sinar Grafika: Jakarta .2007
Manan Abdul, Reformasi Hukum Islam, RajaGrafindo Persada : Jakarta.2006.
Soemitro Rony Hanitjo. Metodologi Penelitian dan Jurimetri.Ghalia Indonesia: Jakarta.
1990
Soemiyati S.G. Asas-asas Hukum Islam. Fakultas Hukum UGM: Yogyakarta. .1997
Sulaiman Rasyid. fiqih islam. Attahirujah: Jakarta. 2001.
Tohaputra Ahmad.Al-Quran dan Terjemahanya.Asy syiva: Semarang. .2001
Wahid Marzuki & Rumadi, Fiqh Madzab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001
Yanggo Huzaemah, Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos, Cet. III,
2003.
Peraturan Perundang-undangan :
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 49 tahun 1989
95
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006, tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49
tahun 2006
-Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, tentang
Kompilasi Hukum Islam, Lembaran Negara Nomor 24 tahun 1991
Sumber lainnya :
http://majelis.mujahidin.or.id/new, Hak Anak Non Muslim Atas Harta Pewaris Muslim.