layanan.hukum.uns.ac.id file/data... · web viewyang memberikan hak kebendaan terbatas atas...
TRANSCRIPT
KEDUDUKAN KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN
KEBENDAAN DALAM KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
FARIT MASYHUDI
NIM. E0006125
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KEDUDUKAN KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN
KEBENDAAN DALAM KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
Oleh
FARIT MASYHUDI
NIM. E0006125
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Maret 2011
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Djuwityastuti , S.H.,M.H Hernawan Hadi ,S.H.,Mhum NIP 195405111980032001 NIP 196005201986011001
ii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
KEDUDUKAN KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN KEBENDAAN DALAM KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
OlehFARIT MASYHUDI
NIM. E0006125
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan
Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Rabu
Tanggal : 13 April 2011
DEWAN PENGUJI
1. Moch. Najib Imanullah, S.H, M.H, Ph.D :...........................................................NIP. 195908031985031001
Ketua
2. Hernawan Hadi ,S.H.,Mhum :........................................................... NIP. 196005201986011001
Sekretaris
3. Djuwityastuti , S.H.,M.H :...........................................................NIP. 195405111980032001
Anggota
MengetahuiDekan,
Mohammad Jamin, S.H.,M.HumNIP.196109301986011001
iii
PERNYATAAN
Nama : Farit Masyhudi
NIM : E0006125
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
“KEDUDUKAN KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN KEBENDAAN
DALAM KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR
37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG’’ adalah betul-betul karya sendiri.
Hal-hal yang bukan karya sayadalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda
citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti
pernyataan saya tidak benar,maka saya bersedia menerima sanksi akademik
berupa pencabutan penulisanhukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari
penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Maret 2011
yang membuat pernyataan
Farit Masyhudi
NIM. E0006125
iv
ABSTRAK
Farit Masyhudi, E 0006125. 2011. KEDUDUKAN KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN KEBENDAAN DALAM KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tujuan dari penulisan hukum ini ialah untuk mengetahui kedudukan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (separatis) dalam kepailitan berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta mengetahui eksekusi yang dilakukan oleh kreditor pemegang hak jaminan kebendaan terkait dengan adanya masa penangguhan.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat perskriptif dan terapan. Penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statue approach). Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dengan studi dokumen atau bahan pustaka. Analisis bahan hukum dengan menggunakan metode penalaran deduktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (separatis) yaitu pemegang gadai, hipotek, fidusia, dan hak tanggungan, dalam kepailitan terjamin dan kuat berdasarkan Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan harus didahulukan dalam pelunasan piutangnya. Pembagian boedel pailit kepada para kreditor tersebut dalam kepailitan berdasarkan tiga (3) prinsip, yaitu Prinsip Paritas Creditorum, Prinsip Pari Passu Prorata Parte, dan Prinsip Structured Creditors. Urutan kreditor di dalam kepailitan yaitu dari kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren. Tetapi aturan Pasal 55 ayat (1) tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) terkait dengan eksekusi yang dilakukan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (separatis) di mana harus menunggu masa penangguhan yaitu selama 90 hari. Dengan demikian tentunya akan menimbulkan risiko dan kurang menjamin hak-hak kreditor pemegang hak jaminan kebendaan, apabila debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, karena harus tunduk pada aturan penangguhan eksekusi.
Kata kunci : Kreditor, Jaminan Kebendaan, Kepailitan
v
ABSTRACT
Farit Masyhudi, E0006125. 2011. THE POSITION OF CREDITOR HOLDING THE PROPERTY COLLATERAL RIGHT IN BANKRUPTCY BASED ON THE ACT NO. 37 OF 2004 ABOUT BANKRUPTCY AND DEBT PAYMENT OBLIGATION DELAY. Law Faculty, Sebelas Maret University.
The objective of research is to find out the Position of creditor holding the property (separatist) collateral right in bankruptcy based on the act no. 37 of 2004 about bankruptcy and debt payment obligation delay as well as the execution carried out by the creditor holding the collateral right related to the deferment period.
This study belongs to a normative law research that is prescriptive and applied in nature. The writer employed the statue approach. The law materials used were primary and secondary law materials. Technique of collecting law material was documentary study. The technique of analyzing law material used was deductive analysis method.
The result of research shows that the position of creditor holding the property (separatist) collateral right is as the pawning, mortgage, fiduciary, and dependent right holder in the bankruptcy is guaranteed and strong based on the article 55 clause (1) of Act no. 37 of 2004 about bankruptcy and debt payment obligation delay. The creditor holding the property collateral right should be transcend his/her debt payment. The bankrupt boedel distribution to the creditor during the bankruptcy was done based on three (3) principles: Paritas Creditorum, Pari Passu Prorata Parte and Structured Creditors principles. The creditor’s affair in the bankruptcy concerns the separatist, preference and congruent creditors. But the article 55 clause (1) is not consistent with the article 56 clause (1) concerning the execution carried out by the creditor holding the collateral right in which she/he should wait for deferment period of 90 days. Thus, it, of course, will result in the risk and inadequately guarantee the rights of the creditor holding the collateral right, when the debtor is stated bankrupt by the Commercial court, because she/her should be submitted to the execution deferment regulation.
Keywords: Creditor, Property Collateral Right, Bankruptcy
vi
MOTTO
“Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah manusia mengerjakan yang
baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah
terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah”.
(Q.S. Luqman: 17)
vii
PERSEMBAHAN
Teriring rasa syukur kepada Allah SWT, karya ini kupersembahkan untuk:
1. Bapak H. Triwahyudi dan Ibu Hj. Sawarni yang telah membesarkan dan
mendidik dengan penuh kasih sayang;
2. Kakak-kakakku (Nurul Rahmawati, S.E dan Siti Nur K, S.Si) dan Adikku
(Taufiq Urrachman) yang telah memberi motivasi yang baik
3. Ita’, atas kebersamaanmu diwaktu sedih dan senang
4. Teman senasib dan seperjuangan Tri Idiot (Penulis [Ulo], Andri [Komodo],
Awe [Boyo] ) teman berbagi cerita, semoga kita bisa menjadi saudara
selamanya,
5. Tim Kebanggaan Marmozzi FC, Lian, Zaki, Juni, Anung, Wahyu, Agus Doy,
Rudy, Erik, Adi CN, Didit, Ahimsa, Puguh, Udin, Prast, Haris.
6. Teman-teman Angkatan 2006 Dawud, Aji, Mahendra, Angga, Hendro,
Lukman KCM, Qomar, Bedu, Erika, Dian, Ulin, Tami, Yaya’, Nia, Neney,
Mut, Amel, Fafa, Erlina, Memey, Gita, Mega, Chacha.
7. Teman-teman Angkatan 2007 Hapid, Estu, Tri, Giska, Ayu, Wisnu, Adel, Mi
Chan, dan banyak lagi lainnya.
8. Temen-temen BEM FH, Gova, Delik, Korfah and UKM lainnya
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya,
sehingga dapat menyelesaikan tugas penulisan hukum dengan sebaik-baiknya
yang berjudul “KEDUDUKAN KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN
KEBENDAAN DALAM KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG’’.
Penulisan hukum ini untuk mengetahui bagaimana kedudukan kreditor
pemegang hak jaminan kebendaan (separatis) di dalam Undang-undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
terkait pemenuhan hak-hak kreditor pemegang jaminan kebendaan dalam hal
pembagian boedel pailit. Penulisan hukum ini disusun guna memenuhi dan
melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penyusunan
penulisan hukum ini masih terdapat kekurangan maupun ketidaksempurnaan di
dalamnya, karena keterbatasan pengetahuan. Atas kekurangan tersebut, penulis
mengharapkan kritik maupun saran yang bersifat membangun guna ke depan
menjadi lebih baik lagi.
Banyak kesulitan yang ditemui dalam menyelesaikan penulisan hukum ini,
namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang
timbul dapat teratasi. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya yang kepada:
9. Bapak Moh. Jamin, S.H, M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret atas kesempatan belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
10. Orang Tua dan adik yang selalu menyayangi, mencintai, dan memotivasi dengan baik.
11. Ibu Ambar Budi S. S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Perdata yang
telah sedikit banyak memberikan petunjuk dalam penulisan hukum ini.
ix
12. Ibu Djuwityastuti, S.H.,M.H selaku Pembimbing I dan Bapak Hernawan
Hadi,S.H.,M.Hum selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan
petunjuk dan pengarahan dalam penulisan hukum ini.
13. Bapak Yudho Taruno M. ,S.H.,M.Hum., selaku Pembimbing Akademik yang
telah membimbing selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
14. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas
segala dedikasinya terhadap seluruh mahasiswa selama menempuh studi di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
15. Seluruh Bapak dan Ibu Penjaga Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
16. Keluarga besar penulis yang selalu mendukung penulis.
17. Seluruh Sahabat dan Kawan di Fakultas Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
18. Semua pihak yang tidak dapatdisebutkan satu persatu yang telah membantu
penyusunan penulisan hukum ini baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Akhir kata, semoga penulisan hukum ini dapat memberi manfaat bagi
semua pihak. Penulis memohon maaf jika terdapat kekeliruan ataupun kesalahan
dalam penyusunan penulisan hukum ini. Semoga Allah SWT melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.
Surakarta,April 2011
Penulis,
Farit Masyhudi
E0006125
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI......................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN.......................................................................... iv
ABSTRAK........................................................................................................ v
MOTTO............................................................................................................ vii
PERSEMBAHAN............................................................................................. viii
KATA PENGANTAR...................................................................................... ix
DAFTAR ISI..................................................................................................... xi
DAFTAR BAGAN........................................................................................... xiii
BAB I : PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian...................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian.................................................................... 5
E. Metode Penelitian..................................................................... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum.................................................. 9
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 11
A. Kerangka Teori......................................................................... 11
1. Tinjauan tentang Kepailitan................................................ 11
a. Pengertian Kepailitan.................................................... 11
b. Tujuan Kepailitan.......................................................... 12
c. Asas-Asas dalam Kepailitan ......................................... 13
d. Syarat-syarat Pernyataan Kepailitan ............................. 14
e. Proses Pengajuan Permohonan Pailit ........................... 18
f. Akibat Kepailitan ......................................................... 19
xi
2. Tinjauan tentang Kreditor................................................... 20
a. Pengertian Kreditor....................................................... 20
b. Peraturan danJenis-Jenis Kreditor................................. 21
3. Tinjauan tentang Jaminan................................................... 25
a. Pengertian Jaminan....................................................... 25
b. Bentuk-Bentuk Jaminan................................................ 26
c. Pihak-Pihak yang terkait dalam Jaminan...................... 35
d. Tujuan Jaminan............................................................. 36
B. Kerangka Pemikiran.................................................................. 37
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................ 40
A. HASIL PENELITIAN ............................................................. 40
Penjelasan Kreditor Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang....... 40
B. PEMBAHASAN ..................................................................... 48
Kedudukan Kreditor Separatis Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.................................................. 48
PENUTUP………………................................................................................ 63
A. Simpulan…………................................................................... 63
B. Saran……………..................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA .………….............................................................. 65
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Alur Kerangka Pemikiran...............................................................
37
xiii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ekonomi di Indonesia pada saat ini tumbuh tidak begitu
pesat. Hal ini terlihat dari banyaknya pengangguran yang ada serta mata uang
rupiah yang naik turun terhadap mata uang asing terutama mata uang dollar.
Seiring dengan era yang semakin modern, maka semakin komplek juga masalah
yang timbul dibidang ekonomi tersebut. Orang hidup memerlukan modal untuk
mencukupi kebutuhannya. Demikian juga suatu perusahaan untuk memenuhi
kegiatan usahanya.
Dalam kehidupan, baik perorangan (natural person) maupun suatu badan
hukum (legal entity) adakalanya tidak memiliki uang yang cukup untuk
membiayai keperluan atau kegiatannya. Untuk dapat mencukupi kekurangan
tersebut, orang atau perusahaan dapat antara lain melakukannya dengan
meminjam uang yang dibutuhkan itu dari pihak lain (Sutan Remy, 2002: 5).
Permasalahan sering kali muncul selama perkembangan suatu perusahaan
atau industri tersebut adalah kebutuhan akan dana bagi perusahaan guna
menjalankan kegiatan usahanya tidak diragukan lagi sebagai salah satu kebutuhan
yang sangat esensial atau mendasar. Untuk melanjutkan usaha, perusahaan
tersebut kemudian meminjam dana dari sumber yang lain yang lebih dikenal
dengan utang. Dana yang berupa utang dapat diperoleh perusahaan tersebut dari
berbagai sumber seperti bank-bank, lembaga pembiayaan, pasar uang yang
memperjual-belikan surat-surat utang jangka pendek, pasar modal yang
memperjual-belikan surat-surat utang jangka panjang, maupun sumber-sumber
pembiayaan lainnya yang bisa digunakan oleh perusahaan untuk mendapatkan
utang yang disertakan dengan bunga.
Apabila seseorang atau suatu badan hukum memperoleh pinjaman dari
pihak lain (orang lain atau badan hukum lain), maka pihak yang memperoleh
pinjaman itu disebut debitor sedangkan pihak yang memberikan pinjaman disebut
kreditor. Pemberian pinjaman atau kredit yang diberikan oleh kreditor kepada
debitor dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa debitor dapat
1
2
mengembalikan pinjaman tersebut kepada kreditor tepat pada waktunya. Tanpa
adanya kepercayaan dari kreditor, tidaklah mungkin kreditor mau memberikan
pinjaman kepada debitor, hal ini disebut dengan kredit (credit) yang berasal dari
kata credere yang berarti kepercayaan atau Trust (Sutan Remy Sjahdeini, 2002:6).
Krisis moneter yang melanda hampir seluruh belahan dunia pada
pertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian.
Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak
krisis yang tengah melanda. Negara kita memang tidak sendirian dalam
menghadapi krisis tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Negara kita
adalah salah satu Negara yang paling menderita dan merasakan akibatnya.
Selanjutnya tidak sedikit dunia usaha yang gulung tikar, sedangkan yang masih
dapat bertahan pun hidupnya menderita ( Ahmad Yani & Gunawan W, 2002: 1).
Dengan terpuruknya kehidupan perekonomian dunia maka akan berimbas
pada perekonomian nasional, dapat dipastikan banyak dunia usaha yang ambruk
dan rontok sehingga tidak dapat meneruskan kegiatannnya termasuk dalam
memenuhi kewajibannya kepada kreditor. Keambrukan itu akan menimbulkan
masalah besar jika aturan main yang ada tidak lengkap dan sempurna. Untuk itu
perlu ada aturan main yang dapat digunakan secara cepat, terbuka, dan efektif
sehingga dapat memberikan kesempatan kepada kreditor dan debitor untuk
mengupayakan penyelesaian yang adil. Salah satu sarana hukum yang menjadi
landasan bagi penyelesaian utang piutang dan erat relevansinya dengan
kebangkrutan dunia usaha adalah peraturan tentang kepailitan, termasuk peraturan
tentang penundaan kewajiban pembayaran utang (Ahmad Yani & Gunawan W,
2002: 2).
Kepailitan pada dasarnya merupakan perkara perdata, lebih tepatnya perkara
utang-piutang. Kepailitan merupakan proses dimana apabila seorang debitor tidak
mampu melunasi utangnya kepada lebih dari dua kreditornya dan utang tersebut
telah jatuh tempo yang diputus oleh Pengadilan Niaga sesuai dengan peraturan
kepailitan. Penyelesaiannya pun bisa dilakukan berbagai cara, mengajukan
permohonan pailit ke Pengadilan Niaga atau diselesaikan di luar pengadilan
(alternative dispute resolution), tergantung pilihan dari pihak kreditor yang
3
merasa haknya dilanggar. Perkara kepailitan mempunyai beberapa kekhususan
dibanding dengan perkara perdata biasa. Hal tersebut diantaranya dapat dilihat
dari syarat pengajuannya, pengadilan yang berwenang memeriksa dan
memutusnya, dan jangka waktu penyelesaian perkara tersebut yang berbeda
dengan perkara perdata pada umumnya.
Salah satu syarat pengajuan perkara kepailitan adalah debitor harus
mempunyai dua kreditor atau lebih, yang mana salah satu utangnya telah jatuh
tempo dan dapat ditagih. Di dalam kepailitan ada tingkatan jenis kreditor yaitu
kreditor separatis (kreditor pemegang hak jaminan kebendaan), kreditor preferen,
dan kreditor konkuren. Sehubungan dengan hal tersebut maka perkara kepailitan
akan berkaitan dengan masalah hak jaminan yang dimiliki oleh kreditor separatis,
baik berupa jaminan yang bersifat umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1131
dan Pasal 1132 Kitab Undang Undang Hukum Perdata ataupun yang bersifat
khusus.
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan :
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan :
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang
yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-
bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-
masing, kecuali antara para berpiutang itu ada alsaan-alasan yang sah
didahulukan”.
Menurut prinsip hukum jaminan, kedudukan kreditor pemegang hak
jaminan kebendaan tidak terpengaruh oleh kepailitan. Dalam Pasal 1131 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, hukum memberikan jaminan kepada kreditor
bahwa apabila debitor tidak melunasi hutangnya dikarenakan suatu hal pada
waktu yang ditentukan, maka harta kekayaan debitor baik yang bergerak maupun
tidak bergerak yang telah ada di kemudian hari, akan menjadi agunan hutangnya
4
yang dapat dijual untuk pelunasan pinjaman atau kredit yang diberikan oleh
kreditor kepada debitor. Sedangkan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, memberikan jaminan kedudukan yang seimbang pada para kreditornya.
Kedudukan yang seimbang tersebut antar kreditor dapat dikecualikan apabila
ditentukan lain oleh undang-undang yang berlaku Hal tersebut berarti Kreditor
tersebut dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Mengingat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan lex specialis (ketentuan
yang bersifat spesifik dalam hal kepailitan). Undang-Undang Nomor 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang tersebut
memberikan pengecualian terhadap kreditor yang mempunyai hak kebendaan,
pengecualian tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban
Pembayaran Utang, yang menyebutkan bahwa setiap kreditor Pemegang Gadai,
Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotik, atau Hak Agunan atas kebendaan
lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Ketentuan tersebut memberikan kedudukan yang kuat kepada kreditor pemegang
hak kebendaan terhadap aset debitor yang menjadi jaminan utangnya, yang tidak
terpengaruh oleh kepailitan yang menimpa debitor.
Namun demikian, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban
Pembayaran Utang hak eksekusi kreditor separatis dimaksud, ditangguhkan untuk
jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan
pernyataan pailit diucapkan. Oleh sebab itu pasal tersebut, secara teoritis
membatasi hak kreditor, sebagai kreditur separatis. Kemudian apabila ditinjau
lebih lanjut, Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut tidak
sepenuhnya memberikan jaminan kepada kreditur pemegang hak jaminan
kebendaan untuk melaksanakan hak-haknya (eksekusi) apabila debitor dinyatakan
pailit oleh Pengadilan Niaga mengingat barang yang dijaminkan berupa barang
bergerak sudah tidak ada lagi pada debitor, maka penulis tertarik untuk menelaah
5
KEDUDUKAN KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN KEBENDAAN
DALAM KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR
37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka penulis akan
mengemukakan pokok permasalahan yaitu Bagaimana kedudukan kreditor
(separatis) pemegang hak jaminan kebendaan dalam kepailitan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang ?
C. Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu yang hendak
dicapai, dan suatu penelitian dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun
yang menjadi tujuan penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
Untuk mengetahui kedudukan kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan terkait dengan masa penangguhan eksekusi.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pemahaman penulis di
bidang Hukum Perdata khususnya Hukum Kepailitan dan Hukum
Jaminan.
b. Memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana dalam
bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian tentunya diharapkan akan memberikan manfaat yang
berguna, khususnya bagi ilmu pengetahuan di bidang penelitian tersebut. Adapun
manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :
6
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pembangunan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan Hukum Perdata pada khususnya.
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan tentang kedudukan kreditor
pemegang hak jaminan kebendaan berdasarkan Undang-undang
kepailitan.
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-
penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran,
membentuk pola pikir ilmiah sekaligus mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Memberikan wawasan dan pengetahuan hukum bagi masyarakat luas
terkait dengan kedudukan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan
dalam kepailitan.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,
teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:35).
Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian
dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan yakni peneliti harus lebih dahulu
memahami konsep dasar ilmu pengetahuan yang berisi (system dan ilmunya) dan
metodologi penelitian disiplin ilmu tersebut (Johny Ibrahim, 2006:26). Didalam
penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan dalam
suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum
7
beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam relevansi dan aktualitasnya
(Johnny Ibrahim, 2006:28).
Berdasarkan hal tersebut maka penulis dalam penelitian ini menggunakan
metode penulisan sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan
penulisan hukum ini adalah penelitian normative atau penelitian hukum
kepustakaan. Penelitian hukum normatif menurut Johnny Ibrahim adalah
suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya (Johnny Ibrahim, 2006:57).
Penelitian hukum normatif memilki definisi yang sama dengan
penelitian hukum doctrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan
bahan-bahan hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan
mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johnny Ibrahim,
2006:44).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu hukum
itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif dan
terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari
tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep
hukum, dan norma-norma hukum. Sifat preskriptif keilmuan hukum ini
merupakan sesuatu yang subtansial di dalam ilmu hukum. (Peter Mahmud
Marzuki, 2008:22).
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, didalam penelitian hukum terdapat
beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam
penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statue approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93). Dari
8
kelima pendekatan penelitian hukum tersebut, penulis akan menggunakan
pendekatan undang-undang (statue approach).
Pendekatan undang-undang (statue approach) dilakukan dengan
menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani, untuk menelaah unsur filosofis adanya suatu
peraturan perundang-undanag tertentu yang kemudian dapat disimpulkan
ada atau tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isu
hukum yang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93-94). Dalam hal ini
yaitu Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum yang
dilakukan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. Sedangkan bahan
hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan
pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer
yaitu perundang-undangan terkait dengan kepailitan, sedangkan bahan
hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum.
5. Teknik Pengumpulan bahan hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang aakan digunakan sebagai
sumber di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan
bahan hukum dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan,
dokumen-dokumen resmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya
9
dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder.
Dari bahan hukum tersebut, kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai
bahan hukum penunjang di dalam penelitian ini.
6. Teknik Analisis
Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian
normatif dengan teknik analisis menggunakan metode silogisme dan
interpretasi. Interpretasi yaitu merupakan metode penemuan hukum yang
memberi penjelasan yang gamblang terkait teks undang-undang agar ruang
lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Silogisme yang penulis gunakan adalah metode penalaran deduktif,
yaitu hal-hal yang dirumuskan secara umum diterapkan pada keadaan yang
khusus. Dalam penelitian ini, penulis mengkritisi teori-teori ilmu yang
bersifat untuk kemudian menarik kesimpulan yang sesuai dengan isu hukum
yang diteliti atau dianalisis, yaitu mengenai kedudukan kreditor pemegang
hak jaminan kebendaan didalam perkara kepailitan.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum, serta untuk mempermudah pemahaman berkaitan seluruh isi
penulisan hukum ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan hukum ini
yang terdiri dari empat bab.
Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini terdiri dari subbab-subbab yaitu latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Bab pertama ini
merupakan awal yang menjadi dasar, bahan pertimbangan, serta
patokan dari penulisan hukum ini.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab II ini mengenai Tinjauan Pustaka berisi subbab Kerangka Teori
dan subbab Kerangka Pemikiran. Pada Kerangka Teori ini memuat
10
berbagai pengertiian yang mendukung dari judul yang ada hingga
memudahkan para pembacanya. Dimulai dari tinjauan mengenai
Kepailitan yang di dalamnya memuat pengertian kepailitan, asas-asas
dalam kepailitan, syarat-syarat pernyataan pailit, proses pengajuan
perkara pailitdan akibat hukum kepailitan. Tinjauan kedua yaitu
tinjauan mengenai kreditor yang di dalamnya memuat pengertian dan
jenis-jenis kreditor. Tinjauan yang ketiga yaitu tinjauan mengenai
Jaminan yang terdiri dari pengertian jaminan,, bentuk-bentuk jaminan,
pihak-pihak yang terkait dalam jaminan dan tujuan dari jaminan itu
sendiri. Pada subbab Kerangka Pemikiran, dibuat sebuah bagan untuk
menyederhanakan pola pikir serta alur arah dari tulisan ini.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan bab inti dan bab yang paling penting. Memaparkan
dan menjabarkan hasil penelitian yang kemudian dengan analisis
menghasilkan pembahasan atas pokok permasalahan yang dituju.
Dimulai dengan perbandingan kreditor dalam Undang-undang Nomor
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dan kreditor menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, kedudukan kreditor separatis dalam kepailitan, dan
eksekusi oleh kreditor separatis.
BAB IV :PENUTUP
Bab Penutup adalah bab terakhir, yang memuat kesimpulan dan saran.
Kesimpulan harus tetap merujuk pada pokok rumusan masalah yang
ditarik intinya dari hasil analisis pada pembahasan. Untuk saran lebih
bersifat unversal yang memunculkan ide untuk menciptakan keadaan
lebih baik terutama dalam kaitannya dengan inti dari penulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II.TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan
a. Pengertian
Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang
berhubungan dengan pailit. Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau
Bankrupt adalah the state or condition of a person (individual,
partnership, corporation, municipality) who is unable to pay is debt as
they are, or become due. The term includes a person against whom an
involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary
petition, or who has been adjudged a bankrupt.
Black’s Law Dictionary mengartikan pengertian pailit
dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang
(debitor) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.
Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata
untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara suka rela oleh debitor
sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (di luar debitor), suatu
permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan (Ahmad Yani dan
Gunawan Widjaja. 2002:11-12).
Menurut Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa:
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit
yang pengurusan dan pemberesan dilakukan oleh kurator di
bawah pengawasan hakim pengawas sebagai mana diatur dalam
Undang-Undang ini”.
Istilah kepailitan yang digunakan di Indonesia berasal dari kata
pailit yang bersumber dari bahasa Belanda yaitu failliet yang berarti
kebangkrutan, bangkrut dan faillissement untuk istilah kepailitan
yang berarti keadaan bangkrut. Sedangkan dalam bahasa Inggris untuk
istilah pailit dan kepailitan digunakan istilah bankrupt dan bankruptcy.
11
12
Berikut adalah pendapat beberapa ahli (http://mkn-unsri.blogspot.com,
Surakarta 10 Juli 2010) :
1) Menurut Subekti, pailisemen itu adalah suatu usaha bersama
untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang
secara adil.
2) Menurut Soekardono, kepailitan adalah penyitaan umum atas
kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya,
sehingga Balai Harta Peninggalanlah yang ditugaskan dengan
pemeliharaan serta pemberesan boedel dari orang yang pailit.
3) Menurut Kartono, kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi
atas seluruh kekayaan si debitur untuk kepentingan seluruh
krediturnya bersama-sama, yang pada waktu si debitur
dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang
yang masing-masing kreditur miliki pada saat itu.
Berdasar pendapat beberapa ahli di atas tentang definisi atau
pengertian tentang kepailitan, maka dapat ditarik unsur-unsur sebagai
berikut yaitu:
1) Kepailitan dimaksudkan guna menjamin pembagian yang sama
terhadap harta kekayaan debitor di antara para kreditornya.
2) Kepailitan mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-
perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor.
3) Kepailitan memberikan perlindungan kepada debitor yang
beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh
pembebasan utang.
b. Tujuan Kepailitan
Tujuan-tujuan dari hukum kepailitan adalah :
1) Melindungi para kreditor konkuren untuk memperoleh hak
mereka sehubungan dengan asas jaminan. Menghindarkan
terjadinya saling rebut diantara para kreditor.
2) Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor diantara para
kreditor sesuai dengan asas pari passu (membagi secara
13
proporsional harta kekayaan debitor kepada para kreditor
konkuren).
3) Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan perbuatan
yang dapat merugikan kepentingan para kreditor.
4) Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik
dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan
utang.
5) Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah
mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keauangan yang
buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan
kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan.
6) Memberikan kesempatan kepada debitor dan kreditornya untuk
berunding dan membuat kespakatan mengenai restrukturisasi
utang -utang debitor (Sutan Remy, 2002: 39-40).
c. Asas-Asas dalam Kepailitan
Asas-asas hukum dalam kepailitan tercermin dalam Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan
Kewajiban Pembayaran Utang, yakni sebagai berikut (Adi
Sulistiyono. 2010: 9) :
1) Asas Keseimbangan
Undang-undang Kepailitan diadakan untuk memberikan
perlindungan hukum kepada para kreditor maupun debitor.
Perlindungan diberikan kepada debitor guna mencegah kreditor
yang tidak jujur, dan perlindungan hukum juga diberikan kepada
kreditor guna memperoleh akses terhadap harta kekayaan
debitor yang dinyatakan pailit karena tidak mampu lagi
membayar utang-utangnya.
2) Asas Kelangsungan Usaha
Undang-undang Kepailitan juga memungkinkan atau
memberikan kesempatan kepada debitor dimana apabila pihak
debitor dinilai masih memiliki itikad baik dan dipandang
14
mempunyai prospek untuk melangsungkan usahanya, untuk
melanjutkan usahanya dan melunasi utang-utangnya kepada
kreditor.
3) Asas Keadilan
Undang-undang Kepailitan menjamin keadilan bagi seluruh
pihak yang berkepentingan guna pembagian harta pailit. Sesuai
dengan asas Pari Passu yang tercermin di dalam Pasal 1132
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana membagi harta
pailit secara proporsional harta kekayaan debitor kepada kreditor
konkuren.
4) Asas Integrasi
Adanya integrasi antara sistem hukum formil dengan materiel
dalam Undang-undang Kepailitan. Dimana adanya suatu kaitan
atau kesatuan yang mengatur tentang masalah kepailitan.
d. Syarat-syarat Pernyataan Kepailitan
Pengajuan permohonan kepailitan terhadap debitor harus
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan kepailitan yang berlaku. Permohonan pernyataan
pailit tersebut kemudian diajukan melalui Pengadilan Niaga. Syarat-
syarat dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit tersebut
tercermin di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran
Utang yang menyebutkan :
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditornya dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan
yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Syarat pengajuan permohonan kepailitan yang telah tercermin
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
15
tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang
tersebut dapat dibagi menjadi :
1) Debitor minimal mempunyai dua kreditor
Syarat yang mengharuskan adanya debitor yang memiliki
minimal dua kreditor merupakan syarat yang wajib dipenuhi
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Syarat yang mengatur minimal memiliki
dua kreditor tersebut dikenal dengan syarat “concursus
creditorium”. Syarat tersebut merupakan “raison d’entre-nya”
Undang-Undang Kepailitan, karena eksistensi Undang-Undang
Kepailitan diperlukan untuk mengatur mengenai salah satunya
adalah bagaimana cara membagi harta kekayaan debitor di
antara para kreditornya dalam hal debitor memiliki lebih dari
seorang kreditor (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 63).
Debitor tidak dapat dinyatakan pailit jika hanya memiliki
seorang kreditor, hal itu disebabkan karena jika hanya memiliki
satu orang kreditor maka tidak ada keperluan untuk membagi
aset debitor di antara para kreditor.
2) Adanya minimal satu utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih
Utang menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban
Pembayaran Utang meyatakan bahwa:
“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen,
yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan
yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan debitur”.
16
Pengertian utang dalam pernyataan kepailitan harus telah
jatuh tempo atau jatuh waktu dan dapat ditagih. Utang yang
telah jatuh waktu ialah utang yang dengan lampaunya waktu
penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu,
menjadi jatuh waktu dan karena itu pula kreditor berhak
menagihnya (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 68).
Utang yang telah jatuh waktu dapat disebut pula hutang
yang telah expired dengan sendirinya menjadi utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, namun hutang yang telah dapat
ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh waktu.
Utang tersebut dapat ditagih karena terjadi salah satu peristiwa-
peristiwa yang disebutkan dalam perjanjian (events of default).
Adalah lazim dalam suatu perjanjian kredit mencantumkan
klausul events of default, yaitu klausul yang meberikan hak
kepada bank untuk menyatakan kepada nasabah debitor telah
cidera janji apabila salah satu peristiwa yang tercantum dalam
events of default terjadi (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 69).
Apabila dalam suatu perjanjian kredit tidak ditentukan
suatu waktu tertentu mengenai telah dapat ditagihnya suatu
utang, maka dapat merujuk dalam pada Pasal 1238 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan:
“Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah
atau dengan sebuah akta sejenis itu telah lalai, atau demi
perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa si
berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yang ditentukan”.
Menurut Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata berarti bila debitor dianggap lalai jika ada suatu perintah
atau akta pernyataan lalainya debitor yang dikirim oleh kreditor.
Akta pernyataan lalainya debitor biasa berbentuk surat teguran
17
atau somasi yang di dalamnya menyatakan bahwa debitor telah
lalai dan di dalam surat tersebut debitor diberikan waktu tertentu
untuk melunasi hutangnya. Dengan begitu secara otomatis maka
utang debitor telah dapat di tagih.
3) Diputus pengadilan yang berwenang
Permohonan pernyataan pailit diputus oleh pengadilan
yang berwenang. Pengadilan yang berwenang dalam hal ini
adalah Pengadilan Niaga. Pihak yang berwenang mengajukan
permohonan pernyataan pailit diatur di dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu:
a) Kreditornya, satu orang atau lebih,
b) Debitor sendiri (dalam hal debitornya telah menikah dan
terjadi pencampuran harta harus dengan persetujuan suami
atau istrinya),
c) Kejaksaan untuk kepentingan umum,
d) Bank Indonesia (BI) apabila debitornya adalah bank,
e) Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), apabila
debitornya adalah perusahaan efek,
f) Menteri Keuangan, jika debitornya Perusahaan Asuransi,
Reasuransi, BUMN bergerak untuk kepentingan publik.
Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh para
pemohonkepada pengadilan dengan mempertimbangkan bahwa
pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dimana
merupakan kewenangan hakim/ pengadilan untuk menerima
ataupun menolak suatu permohonan tersebut (Amir
Syamsuddin, 2005:87).
e. Proses Pengajuan Permohonan Pailit
Proses pengajuan permohonan pailit diajukan di Pengadilan
Niaga berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
18
tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang,
yaitu sebagai berikut:
1) Permohonan pernyataan pailit didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Niaga, tempat domisili debitor.
2) Panitera menyampaikan permohonan kepada Ketua Pengadilan
Niaga selama 2 (dua) hari, sejak pendaftaran dilakukan.
3) Pengadilan akan mempelajari permohonan dan menetapkan hari
sidang 3 (tiga) hari sejak pendaftaran dilakukan.
4) Pemanggilan sidang dilakukan 1 (satu) minggu sebelum sidang
pertama dilaksanakan.
5) Sidang harus dilaksanakan paling lambat 20 (dua puluh) hari
sejak hari pendaftaran.
6) Penundaan sidang boleh dilakukan paling lama 25 (dua puluh
lima) hari sejak pendaftaran.
7) Putusan permohonan pailit harus sudah jatuh/ diputuskan 60
(enam puluh) hari sejak didaftarkan.
8) Penyampaian salinan putusan kepada pihak yang
berkepentingan dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan
dijatuhkan.
9) Pengajuan dan pendaftaran permohonan kasasi kepada Panitera
Pengadilan Niaga selama 8 (delapan) hari sejak putusan
dijatuhkan.
10) Panitera Pengadilan Niaga mengirim permohonan kasasi kepada
pihak terkasasi 2 (dua) hari sejak pendaftaran permohonan
kasasi.
11) Pihak terkasasi menyampaikan kontra memori kasasi kepada
pihak Panitera Pengadilan Niaga selama 7 (tujuh) hari sejak
pihak terkasasi menerima dokumen kasasi.
12) Panitera Pengadilan Niaga menyampaikan berkas kasasi kepada
Mahkamah Agung selama 2 (dua) minggu sejak pendaftaran
permohonan kasasi.
19
13) Mahkamah Agung mempelajari dan menetapkan sidang selama
2 (dua) hari sejak permohonan diterima.
14) Sidang pemeriksaan permohonan kasasi dilaksanakan 20 (dua
puluh) hari sejak permohonan didaftarkan.
15) Putusan kasasi sudah harus jatuh paling lama 60 (enam puluh)
hari sejak permohonan kasasi didaftarkan.
16) Penyampaian putusan kepada pihak yang berkepentingan selama
3 (tiga) hari sejak putusan kasasi dijatuhkan.
17) Apabila hendak melakukan Peninjauan Kembali (PK) sesuai
dengan ketentuan prosedur pengajuan kasasi (Pasal 14 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang).
f. Akibat Kepailitan
Secara umum suatu pernyataan kepailitan memiliki akibat :
1) Kepailitan meliputi seluruh harta kekayaan debitor pada saat
pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh
selama kepailitan.
2) Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
3) Kepailitan hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri
pribadi debitur pailit.
4) Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan
semua para kreditor dan debitor. Hakim pengawas memimpin
dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan.
5) Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit
harus diajukan oleh atau terhadap kurator.
6) Segala perbutan debitor yang dilakukan sebelum dinyatakan
pailit, apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan tersebut secara
sadar dilakukan debitor untuk merugikan kreditor, maka dapat
dibatalkan oleh kurator atau kreditor.
20
7) Hibah dapat dibatalkan sepanjang merugikan harta kepailitan
(boedel pailit).
8) Perikatan selama kepailitan yang dilakukan oleh debitor, apabila
perikatan tersebut menguntungkan bisa diteruskan. Namun
apabila perikatan tersebut merugikan, maka kerugian
sepenuhnya ditanggung oleh debitor secara pribadi, atau
perikatan tersebut dapat dimintakan pembatalan.
9) Kepailitan suami atau istri yang kawin dalam suatu persatuan
harta, diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta tersebut
(Adi Sulistiyono. 2010: 29).
2. Tinjauan Umum Tentang Kreditor
a. Pengertian Kreditor
Didalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang telah
disebutkan mengenai pengertian kreditor. Kreditor adalah orang yang
mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang
dapat ditagih di muka pengadilan. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tidak dipakai istilah “kerditor”, tetapi dipakai istilah si
berpiutang (schuldeischer).
Dapat disimpulkan, kreditor adalah pihak (perorangan,
organisasi, perusahaan atau pemerintah) yang memiliki tagihan
kepada pihak lain (pihak kedua) atas properti atau layanan jasa yang
diberikannya (biasanya dalam bentuk kontrak atau perjanjian) dimana
diperjanjikan bahwa pihak kedua tersebut akan mengembalikan
properti yang nilainya sama atau jasa. Pihak kedua ini disebut sebagai
peminjam atau yang berhutang.
Ada dua perbedaan pengertian kreditor yang mengacu pada
pengertian utang dalam arti sempit dan luas.Pengertian kreditor yang
mengacu pada utang dalam arti sempit, adalah pihak yang memiliki
tagihan atau hak tagih berupa pembayaran sejumlah uang yang hak
tersebut timbul semata-mata dari perjanjian utang-piutang. Sedangkan
21
pengertian kreditor yang mengacu pada utang dalam arti luas, adalah
pihak yang memiliki tagihan atau hak tagih berpa pembayaran
sejumlah uang yang hak tersebut timbul baik karena perjanjian apapun
maupun karena undang-undang. Termasuk dalam hal ini adalah
tagihan berdasarkan putusan pengadilan. (Sutan Remy, 2002: 115) .
b. Peraturan dan Jenis-Jenis Kreditor
Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengisyratkan bahwa setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama
terhadap kreditor lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang
karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada
kreditor-kreditor lainnya. Pengajuan perkara kepailitan diatur di
dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang, salah
satunya dilakukan oleh kreditor. Pembagian boedel pailit tersebut
dibagi kepada para kreditor yang memiliki piutang yang didasarkan
pada tingkatan kreditor. Tiga (3) tingkatan kreditur tersebut, yaitu:
1) Kreditor Separatis, yaitu Kreditor yang mempunyai hak jaminan
kebendaan. Dikatakan “separatis” yang berkonotasi
“pemisahan”, karena kedudukan kreditor tersebut memang
dipisahkan dari kreditor lainnya. Dalam arti dia dapat menjual
sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan, yang
terpisah dengan harta pailit pada umumnya (Munir Fuady,
1998:109):
a. Gadai yang diatur dalam Bab XX Buku III Kitab Undang
Undang Hukum Perdata. Menurut Pasal 1150Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, gadai adalah “Suatu hak yang
diperoleh kreditor atas suatu barang bergerak yang
diserahkan kepadanya oleh debitor atau oleh kuasanya,
sebagai jaminan atas utangnya dan yang memberi
wewenang kepada kreditor untuk mengambil pelunasan
piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditor-
22
kreditor lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai
pelaksanaaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan
atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu,
yangdikeluarkan stelah barang itu diserahkan sebagai gadai
dan yang harus didahulukan”untuk kebendaan bergerak
dengan cara melepaskan kebendaan yang dijaminkan
tersebut dari penguasaan pihak yang memberikan jaminan
kebendaan berupa gadai tersebut ;
b. Hipotik yang diatur dalam Bab XXI Buku III Kitab Undang
Undang Hukum Perdata, Pasal 1162 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata. Hipotek adalah “suatu hak kebendaaan atas
benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian
daripadanya bagi pelunasan bagi suatu perikatan”, yang
menurut Pasal 314 Kitab Undang Undang Hukum Dagang
berlaku untuk kapal laut yang memiliki ukuran sekurang-
kurangnya dua puluh meter kubik dan didaftar di
Syahbandar Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
Departemen Perhubungan sehingga memiliki kebangsaan
sebagai kapal Indonesia dandiperlakukan sebagai benda
tidak bergerak. Sementara itu, yang tidak terdaftar dianggap
sebagai benda bergerak sehingga padanya berlaku ketentuan
Pasal 1977 Kitab Undang Undang Hukum Perdata;
c. Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
yang mengatur mengenai penjaminan atas hak-hak atas
tanah tertentu berikut kebendaan yang dianggap melekat
dan diperuntukkan untuk dipergunakan secara bersama-
sama dengan bidang tanah yang di atasnya terdapat hak-hak
atas tanah yang dapat dijaminkan dengan hak tanggungan ;
d. Jaminan Fidusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
23
2) Kreditor Preferen, yaitu Kreditor pemegang hak istimewa
seperti yang diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata. Hak istimewa adalah suatu
hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seseorang
berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi dari pada orang
berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi dari pada hak istimewa,
kecuali dalam hal-hal di mana oleh undang-undang ditentukan
sebaliknya.
3) Kreditor Konkuren atau disebut juga kreditor bersaing, karena
tidak memiliki jaminan secara khusus dan tidak mempunyai hak
istimewa, sehingga kedudukannya sama dengan kreditor tanpa
jaminan lainnya berdasarkan asas paritas cridetorium. Para
kreditor konkuren mempunyai kedudukan yang lebih
rendah/dikalahkan dengan pra kreditor preferen. Para kreditor
konkuren hanya mempunyai hak yang bersifat perorangan yang
mempunyai tingkatan yang sama satu dengan yang lainnya.
Tidak mempunyai kedudukan untuk didahulukan
pemenuhannya, baik karena adanya lebih dulu ataupun karena
dapat ditagih lebih dulu (Sri Soedewi Masjcoen Sofwan, 2007:
76).
Pembagian boedel pailit kepada para kreditor tersebut dalam
kepailitan berdasarkan tiga (3) prinsip, yaitu: (M Hadi Subhan, 2009:
27-31).
1) Prinsip Paritas Creditorum yaitu kesetaraan kedudukan para
kreditor, yang menentukan bahwa para kreditor mempunyai
kedudukan yang sama terhadap harta debitor. Prinsip ini
mengandung makna bahwa semua kekyaan debitor baik berupa
barang yang bergerak ataupun barang yang tidak bergerak
ataupun barang yang sekarang dimiliki debitor dan barang-
barang yang dikemudian hari dimiliki debitor terikat kepada
24
penyelesaian kewajiban debitor. Makna lain dari prinsip paritas
creditorium adalah bahwa yang menjadi jaminan umum
terhadap utang-utang debitor hanya terbatas pada harta
kekayaannya saja bukan aspek lainnya, seperti status pribadi dan
hak-hak lainnya diluar harta kekayaan sama sekali tidak
terpengaruh terhadap utang piutang debitor tersebut. Ketidak
adilan prinsip paritas creditorium adalah menyamaratakan
kedudukan para kreditor. Betapa tidak adilnya seorang kreditor
yang memiliki jaminan kebendaan diperlakukan sama dengan
seorang kreditor yang sama sekali tidak memegang jaminan
kebendaan.
2) Prinsip Pari Passu Prorata Parte, yaitu bahwa harta kekayaan
tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan
hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka,
kecuali jika antara kreditor itu ada yang menurut undang-undang
harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.
Berdasarkan prinsip tersebut, pembagian harta debitor untuk
melunasi utang-utangnya terhadap kreditor dilakukan tidak
sekedar sama rata, melainkan juga disesuaikan dengan
proporsinya. Singkatnya, kreditor yang memiliki tagihan lebih
besar akan mendapatkan porsi pembayaran yang lebih besar dari
pada kreditor yang tagihannya lebih kecil. Prinsip Pari Passu
Pro Rata Parte menemukan relevansinya dalam kondisi harta
debitor yang akan dibagi lebih kecil dibanding dengan jumlah
utang-utang debitor.
3) Prinsip Structured Creditors, yaitu prinsip yang
mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam
kreditor sesuai dengan kelasnya masing- masing. Dikatakan
belum lengkap dan adil karena kedua prinsip ini baru mengatur
tentang aturan dasar pembagian harta kekayaan debitor terhadap
para kreditor dalam kelas yang sama. Kreditor pemegang hak
25
jaminan kebendaan dan kreditor yang memiliki hak istimewa
belum terproteksi. Penerapan prinsip Structured Creditors dalam
praktek kepailitan, menjadi solusi dari benturan antara prinsip
hukum kepailitan dengan prinsip hukum jaminan dan hukum
lain yang memberikan keistimewaan tertentu pada kreditor
sebagaimana dimaksud di atas (M Hadi Subhan, 2009: 27-31).
Ketiga prinsip tersebut sangat penting baik dari segi hukum
perikatan dan hukum jaminan maupun hukum kepailitan. Tidak
adanya prinsip ini maka pranata kepailitan menjadi tidak bermakna
karena filosofi kepailitan adalah sebagai pranata untuk melakukan
likuidasi terhadap aset debitor yang memiliki banyak kreditor dimana
tanpa adanya kepailitan maka para kreditornya akan saling berebut
baik secara sah maupun secara tidak sah sehingga menimbulkan suatu
ketidakadilan baik terhadap debitor sendiri maupun terhadap kreditor
khususnya kreditor yang masuk belakangan sehingga tidak
mendapatkan bagian harta debitor untuk pembayaran utang-utang
debitor.
3. Tinjauan Umum Tentang Jaminan
a. Pengertian Jaminan
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,
yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara
umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya,
disamping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang-
barangnya (Salim HS, 2004: 21).
Kontruksi jaminan dalam definisi ini ada kesamaan dengan yang
dikemukakan Hartono Hadisoeprapto dan M. Bahsan. Hartono
Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan adalah “sesuatu yang
diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa
debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang
yang timbul dari suatu perikatan”.
26
Istilah yang digunakan oleh M. Bahsan adalah jaminan.Ia
berpendapat bahwa jaminan adalah “Segala sesuatu yang diterima
kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu utang piutang
dalam masyarakat” (Salim HS, 2004: 22).
Kedua definisi jaminan yang dipaparkan diatas, adalah
1) Difokuskan pada pemenuhan kewajiban kepada kreditor (Bank);
2) Ujudnya jaminan ini dapat dapat dinilai dengan uang (Jaminan
materiil); dan
3) Timbulnya jaminan karena adanya perikatan antara kreditor
dengan debitor.
b. Bentuk-bentuk Jaminan
Jaminan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu jaminan materiil
(Kebendaan) dan jaminan imateriil (Perorangan). Jaminan kebendaan
mempunyai ciri-ciri “kebendaan” dalam arti memberikan hak
mendahului diatas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat
dan mengikuti benda yang bersangkutan. Sedangkan jaminan
perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda
tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan sesorang lewat
orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan (Salim
HS, 2004: 23).
Ciri-ciri dari jaminan kebendaan menurut Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan, yaitu
1) Hukum kebendaan merupakan hukum yang bersifat memaksa
(dwingend recht) yang tidak dapat dikesampingkan (waife) oleh
para pihak.
2) Hak kebendaan dapat dipindahkan, dengan pengertian bahwa,
kecuali dalam hal yang bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum, hak milik atas kebendaan dapat
dialihkan dari pemiliknya semula kepada pihak lainnya, dengan
segala akibat hukumnya.
27
3) Individualiteit, yang berarti bahwa yang dapat dimiliki sebagai
kebendaan adalah segala sesuatau yang menurut hukum dapat
ditentukan terpisah (individued bepaald).
4) Totaliteit. Asas ini menyatakan bahwa kepemilikan oleh
individu atas suatu kebendaan berarti kepemilikan menyeluruh
atas setiap bagian kebendaan tersebut. Dalam konteks ini
misalnya seseorang tidak mungkin memiliki bagian dari suatu
kebendaan, jika ia sendiri tidak memiliki title hak milik atas
kebendaan tersebut secara utuh.
5) Asas tidak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid). Asas ini
merupakan konsekuensi hukum dari asas totaliet, dimana
dikatakan bahwa seseorang tidak dimungkinkan melepaskannya
hanya sebagian hak miliknya atas sesuatu kebendaan yang utuh.
Meskipun seorang pemilik diberikan kewenangan untuk
membebani hak miliknya dengan hak kebendaan lainnya yang
bersifat terbatas (jura in re aliena), namun pembebanan yang
dilakukan itu pun hanya dapat dibebankan terhadap keseluruhan
kebendaan yang menjadi miliknya tersebut. Jadi jura in re
aliena tidak mungkin dapat diberikan untuk sebagian benda,
melainkan harus untuk seluruh benda tersebut sebagi suatu
kesatuan.
6) Asas prioriteit. Pada uraian mengenai asas onsplisbaarheid
tersebut telah dikatakan bahwa atas suatu kebendaan dapat
dimungkinkan untuk diberikan jura in re aliena yang
memberikan hak kebendaan terbatas atas kebendaan tersebut.
Hak kebendaan terbatas ini oleh hukum diberikan kedudukan
berjenjang (prioritas) antara satu hak dengan hak lainnya. Ingat
ada hak kebendaan yang bersifat umum dan ada hak kebendaan
yang bersifat terbatas. Diatas hak milik mungkin dibebankan
hak pakai hasil, yang atas hak pakai hasil tersebut masih
mungkin dibebankan hipotek.
28
7) Asas percampuran (vermenging). Asas ini merupakan juga asas
kelanjutan dari pemberian jura in re aliena, dimana dikatakan
bahwa pemegang hak milik atas kebendaan yang diberikan hak
kebendaan terbatas tidak mungkin menjadi pemegang hak
kebendaan terbatas tersebut. Jika hak kebendaan terbatas
tersebut jatuh jatuh ke tangan pemegang hak milik kebendaan
tersebut, maka hak kebendaan yang bersifat terbatas tersebut
demi hukum hapus.
8) Asas publiciteit. Asas ini berlaku untuk benda tidak bergerak
yang diberikan hak kebendaan.
9) Asas perlakuan yang berbeda atas kebendaan bergerak dan
kebendaan tidak bergerak.
10) Adanya sifat perjanjian dalam setiap pengadaan atas
pembentukan hak kebendaan. Asas ini mengingatkan kita
kembali bahwa pada dasarnya dalam setiap hukum perjanjian
terkandung pula asaas kebendaan dan dalam setiap hak
kebendaan melekat pula sifat hukum perjanjian didalamnya.
Sifat perjanjian ini menjadi makin penting adanya dalam
pemberian hak kebendaan yang terbatas (jura in re aliena)
(Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004: 68).
Adapun bentuk daripada jaminan materiil (kebendaan), yaitu
1) Gadai
a) Pengertian
Istilah gadai berasal dari terjemahan dari kata pand
(Bahasa Belanda) atau pledge atau pawn (Bahasa Inggris).
Menurut Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, gadai adalah “Suatu hak yang diperoleh kreditor
atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya
oleh debitor atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas
utangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditor
29
untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu
dengan mendahului kreditor-kreditor lain; dengan
pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaaan
putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau
penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu,
yangdikeluarkan stelah barang itu diserahkan sebagai
gadai dan yang harus didahulukan” (Salim HS, 2004: 33).
Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian gadai
adalah
Adanya subjek gadai, yaitu kreditor (penerima
gadai) dan debitor (pemberi gadai),
Adanya objek gadai, yaitu brang bergerak, baik yang
berujud maupun tidak berujud,
Adanya kewenangan kreditor,
b) Dasar Hukum Gadai
Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
sampai dengan pasal 1160 Buku II Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata,
Artikel 1196 vv, title 19 Buku III NBW,
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang
Perusahaan Jawatan Pegadaian,
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1970
Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 1969 Tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian,
Peraturan pemerintah Nomor 103 Tahun 2000
tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
c) Subjek dan Objek Gadai
Subjek gadai trediri atas dua pihak yaitu pemberi
gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer).
Pemberi gadai adalah orang atau badan hukum yang
memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku
30
gadai kepada penerima gadai untuk pinjaman uang yang
diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Penerima gadai
adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai
sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya
kepada pemberi gadai (Salim HS, 2004: 36).
Objek gadai yaitu benda bergerak. Dibagi menjadi
dua, yaitu benda bergerak yang berujud dan tidak berujud.
Benda bergerak berujud adalah benda yang dapat dipindah
atau dipindahkan. Contohnya, emas, arloji, sepeda motor.
Benda bergerak yang tidak berujud, seperti piutang atas
bawah, piutang atas tunjuk, hak memungut hasil atas
benda dan atas piutang (Salim HS, 2004: 37-38).
2) Fidusia
a) Pengertian
Istilah fidusia berasal dari bahasa belanda, yaitu
fiducie, sedangkan dalam bahasa inggris disebut fiduciary
transfer of ownership, yang artinya kepercayaan. Dalam
pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia dapat dijumpai pengertian
Fidusia, yaitu “Pengalihan hak kepemilikan suatu benda
atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda
yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik benda tersebut” (Salim HS,
2004: 55).
Dikenal juga mengenai istilah jaminan fidusia, yaitu
terdapat dalam pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 42
Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dapat dijumpai
pengertian Fidusia, “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan
atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak bewujud danbenda tidak bergerak khususnya
Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
31
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada
dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi
pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap
kreditor lainnya”.
Unsur- unsur jaminan fidusia
Adanya hak jaminan,
Adanya objek, yaitu benda bergerak baik berujud
maupun yang tidak berujud dan benda tidak
bergerak, khusunya bangunan yang tidak dibebani
hak tanggungan. Ini berkaitan dengan pembebanan
jaminan rumah susun,
Benda menjadi objek jaminan tetap berada dalam
penguasaan pemberi fidusia,
Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor (Salim HS, 2004: 57).
b) Dasar Hukum Jaminan Fidusia
Arrest Hoge Raad 1929, tertanggal 25 januari 1929
tentang Blerbrouwerij Arrest (Negeri Belanda),
Arrest Hoggerechtshof 18 Agustus 1932 tentang
BPM-Clynet Arrest (Indonesia),
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusi.
c) Subjek dan Objek Jaminan Fidusia
Subjek dari jaminan fidusia adalah pemberi dan
penerima fidusia. Pemberi fidusia adalah orang
perorangan atau korporasi pemeilik benda yang menjadi
objek jaminan fidusia. Penerima fidusia adalah orang
perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang
pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.
32
Objek jaminan fidusia menurut Undang Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yaitu
benda bergerak baik yang berujud maupun tidak berujud;
dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak
dibebani hak tanggungan. (Salim HS, 2004: 64).
3) Hak Tanggungan
a) Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggungan
diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Dalam
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan disebutkan pengertian hak
tanggungan adalah “Hak jaminan yang dibebankan pada
hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-
benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu
untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lainnya. “
b) Dasar Hukum
Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau
yang lebih dikenal dengan UUHT.
c) Subjek dan Objek Hak Tanggungan
Subjek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 8
sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan. Dalam kedua pasal itu
ditentukan bahwa yang dapat menjadi subjek hukum
dalam pembebanan hak tanggungan adalah pemberi hak
33
tanggungan dan pemegang hak tanggungan. Pemberi hak
tanggungan dapat perorangan atau badan hukum, yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap objek hak tanggungan. Sedangkan
pemegang hak tanggungan terdiri dari perorangan atau
badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang
berkepentingan. Objek Hak Tanggunganantara lain
meliputi: Hak Milik (eigendom), Hak Guna Bangunan
(HGB), Hak Guna Usaha (HGU).
4) Hak Hipotek
a) Pengertian
Pengertian hipotek dapat dilihat dalam Pasal 1162
Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Hipotek adalah
“suatu hak kebendaaan atas benda-benda tak bergerak,
untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan
bagi suatu perikatan”.
Vollmar mengartikan hipotek adalah “sebuah hak
kebendaan atas benda-benda tak bergerak tidak bermaksud
untuk memberikan orang yang berhak (pemegang hipotek)
sesuatu nikmat dari suatu benda, tetapi ia bermaksud
memberikan jaminan belaka bagi pelunasan hutang
dengan dilebih dahulukan” (Salim HS, 2004: 195-196).
b) Dasar Hukum
Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata,
Pasal 314 sampai dengan Pasal 316 Kitab Undang
Undang Hukum Dagang,
Artikel 1208 sampai dengan Artikel 1268 NBW
Belanda,
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992
tentang Pelayaran.
34
c) Subjek dan Objek Hipotek
Ada dua pihak dalam perjanjian pembebanan
hipotek kapal laut, yaitu pemberi hipotek
(hypotheekgever) dan penerima hipotek. Pemberi hipotek
adalah mereka yang sebagai jaminan memberikan suatu
hak kebendaan/ zakelijke recht (hipotek), atas bendanya
yang tidak bergerak, biasanya mereka mengadakan suatu
hutang tang terikat pada hipotek, tetapi hipotek atas beban
pihak ketiga. Penerima hipotek disebut juga
hypotheekbank, hypotheeknemer atau hypotheekhouder,
yaitu pihak yang menerima hipotek, pihak yang
meminjamkan uang dibawah ikatan hipotek.Biasanya yang
menerima hipotek ini adalah lembaga perbankan dan atau
lembaga keuangan nonbank (Salim HS, 2004: 200).
Objek hipotek diatur dalam Pasal 1164 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata, meliputi
Benda-benda tak bergerak yang dapat
dipindahtangankan beserta segala perlengkapannya,
Hak pakai hasil atas benda-benda tersebut beserta
segala perlengkapannya,
Hak numpang karang dan hak usaha,
Bunga tanah, baik yang dibayar dengan
uangmaupun yang harus dibayar dengan hasil tanah,
Bunga sepersepuluh,
Pasar-pasar yang diakui oleh pemerintah, beserta
hak-hak asli merupakan yang melekat padanya.
c. Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Jaminan
Pihak-pihak yang terkait dalam jaminan atas penyelesaian
utang-piutang dalam kepailitan antara lain:
1) Pihak penerima Jaminan
35
Penerima jaminan adalah pihak kreditor yang mengambil
inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan.
Pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan
pailit diatur di dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
2) Pihak pemberi Jaminan
Pihak pemberi Jaminan adalah pihak debitor yang
dimohonkan pailit oleh pihak pemohon yang berwenang dimana
debitor tersebut memiliki dua atau lebih kreditor dan tidak
membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih (Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, Herni Sri
Nurbayanti, 2004: 93).
3) Pihak pemberi Jaminan sebagai Pihak Ketiga (borg)
Pihak pemberi jaminan atau penanggung hutang lebih
dikenal dengan Borgtocht. Hubungan borg atau pihak ketiga
diatur dalam perjanjian tambahan. Meskipun borg berkedudukan
sebagai pihak ketiga, tetapi borg telah secara sukarela
mengikatkan diri sebagai debitor atau penjamin atau
penanggung (guarantor) kepada kreditor untuk berprestasi sama
dengan debitor. Prestasi tersebut dilakukan oleh penjamin bila
debitor tidak bisa memenuhi kewajibannya untuk melunasi
hutang-hutangnya kepada kreditor atau melakukan wanprestasi
terhadap perjanjian pokoknya. Penanggungan diatur dalam Pasal
1820 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
d. Tujuan Jaminan
Jaminan memiliki tujuan yaitu untuk melindungi kepentingan
kreditor. Kepentingan kreditor yang berhubungan dengan pemberian
dana yang telah diberikan oleh kreditor kepada debitor agar
dikembalikan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan.
Adanya jaminan yaitu untuk meyakinkan kreditor, bahwa debitor
36
memiliki kemampuan untuk mengembalikan atau melunasi utang atau
kreditnya yang diberikan kepadanya sesuai dengan persyaratan dan
perjanjian hutang atau kredit yang telah disepakati bersama antara
kreditor dengan debitor.
Pembuatan perjanjian jaminan adalah untuk menjamin
pelaksanaan perikatan debitor terhadap kreditor yang ada dalam suatu
perjanjian lain yang hendak dijamin pelaksanannya disebut saja
perjanjian pokok yang melahirkan perikatan-perikatan pokok. Dengan
demikian, kausa perjanjian penanggungan adalah untuk memperkuat
perjanjian pokoknya (J. Satrio, 1999: 60).
Kreditor Debitor
Wanprestasi
Undang Undang No37 Tahun 2004
Putusan PailitPengadilan
Niaga
Perjanjian Utang
Akibat HukumPailit
Jaminan
JaminanPeroranganJaminanKebendaan
Kedudukan KreditorPemegang JaminanKebendaan
37
B. Kerangka Pemikiran
Gambar. 1Kerangka Pemikiran
38
Keterangan
Penyelesaian hutang terkait dengan suatu perjanjian kredit antara pihak
kreditor maupun pihak debitor telah selesai jika pihak debitor mampu memenuhi
semua kewajibannya kepada pihak kreditor. Bila pihak debitor tidak memiliki
harta atau aset yang cukup maka dapat melalui jalur pengadilan berdasarkan
peraturan kepailitan yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan cara melakukan
permohonan pailit yang dilakukan oleh para kreditor kepada Pengadilan Niaga di
daerah wilayah hukumnya. Pengajuan permohonan pailit oleh kreditor harus
memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pengaturan dalam undang-undang tersebut berhubungan dengan jaminan yang
diberikan oleh pihak debitor kepada pihak kreditor.
Adanya hak jaminan yang dimiliki oleh Kreditor, baik berupa jaminan
yangbersifat umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ataupunyang bersifat khusus. Pasal 1131 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa segala harta kekayaan
Debitor baik yang berupa bendabergerak maupun benda tetap (benda tidak
bergerak), baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,
menjadi jaminan atau agunan bagi semua perikatan yang dibuat oleh Debitor
dengan para Krediturnya. Sehingga Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata itu memberikan ketentuan bahwa apabila Debitor cidera janji tidak
melunasi utang yang diperolehnya dari para Kreditornya, maka hasil penjualan
atas semua harta kekayaan Debitor tanpa kecuali, merupakan sumber pelunasan
bagi utangnya. Sedangkan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
memberikan jaminan kedudukan yang seimbang pada para kreditornya.
Kedudukan yang seimbang tersebut antar kreditor dapat dikecualikan apabila
ditentukan lain oleh undang-undang yang berlaku.
Dari situ muncul masalah mengenai kedudukan diantara para kreditornya.
Apakah harus disamakan atau ada yang lebih tinggi, karena dalam Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
39
Pembayaran Hutang. Pasal 55 ayat (1) menyebutkan bahwa kreditor pemegang
hak jaminan kebendaan dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi
kepailitan. Hal tersebut berkebalikan dengan ketentuan Pasal 56 yang
menyebutkan adanya waktu penangguhan pengeksekusian yaitu 90 hari setelah
putusan diucapkan.
Ketentuan Pasal 56 mengenai masa waktu yang ditetapkan sampai 90 hari
setelah putusan pailit diucapkan menimbulkan kekhawatiran dalam pemenuhan
hak kreditor pemegang jaminan kebendaan. Apabila boedel pailit tidak tercukupi,
ataupun hilang pada masa penangguhan akan mengakibatkan ketidakpastian
kedudukan kreditor pemegang jaminan kebendaan atas haknya tersebut.
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN.
Penjelasan Kreditor Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Kepailitan identik dengan kebangkrutan suatu usaha, dimana putusan
kepailitan berdampak negatif bagi para pengusaha. Putusan pailit
mengakibatkan semua harta benda maupun kekayaan yang dimiliki oleh
debitor kemudian menjadi harta boedel pailit dimana harta tersebut disita
dan dilelang guna pemenuhan segala kewajiban debitor. Kepailitan berarti
sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim
pengawas. Bankruptcy is a legal process that gives debtors relief from debts
they cannot pay and, in some cases, compensates creditors for the money
that debtors owe them. Originally, bankruptcy laws were enacted to protect
creditors but over the centuries these laws have evolved to protect debtors
to a greater extent (www.thewisdomjournal.com).
Penulis mengartikan kepailitan adalahproses hukum yang memberikan
bantuan debitor dari utang mereka tidak dapat membayar dan, dalam
beberapa kasus, kreditor mengkompensasi debitor yang berutang kepada
mereka. Awalnya, hukum kepailitan yang berlaku untuk melindungi
kreditor, tetapi selama berabad-abad undang-undang telah berevolusi untuk
melindungi debitor ke tingkat yang lebih besar.
Pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit
diatur di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu:
g) Kreditornya, satu orang atau lebih,
h) Debitor sendiri (dalam hal debitornya telah menikah dan terjadi
pencampuran harta harus dengan persetujuan suami atau
istrinya),
40
41
i) Kejaksaan untuk kepentingan umum,
j) Bank Indonesia (BI) apabila debitornya adalah bank,
k) Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), apabila debitornya
adalah perusahaan efek,
l) Menteri Keuangan, jika debitornya Perusahaan Asuransi,
Reasuransi, BUMN bergerak untuk kepentingan publik.
Kreditor yang berkepentingan terhadap debitor tidak hanya kreditor
konkuren saja melainkan juga kreditor pemegang hak jaminan kebendaan
atau yang sering disebut kreditor separatis dan kreditor yang menurut
ketentuan hukum harus didahulukan atau yang disebut dalam rezim hukum
kepailitan disebut kreditor preferen. Memang kreditor separatis sudah
memegang jaminan kebendaan dan ia dapat mengeksekusi jaminan
kebendaan yang dipegangnya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, akan
tetapi kreditor separatis tersebut masih memiliki kepentingan yang berupa
sisa tagihan yang tidak cukup ditutup dengan eksekusi jaminan serta
kepentingan mengenai keberlangsungan usaha debitor.
Disetiap negara, pengaturan tentang kreditor itu berbeda. Pengaturan
mengenai urutan siapa yang harus diberi pelunasan dahulu di dalam negara
Amerika berbeda dengan pengaturan yang ada di Indonesia.
The bankruptcy liquidation procedure in the United States is called Chapter 7. The bankruptcy priority rule that determines how the proceeds of the sale are divided is called the “absolute priority rule.” It specifies that claims are paid in full in the following order: first,a dministrative expenses of the bankruptcy process itself; second, claims taking statutory priority, such as tax claims,ren t claims,a nd unpaid wages and benefits; and,t hird,unsecured creditors’ claims, including those of trade creditors, long-term bondholders,and holders of damage claims against the firm. Subordination agreements which specify that certain unsecured creditors rank above others in priority are followed; otherwise all unsecured creditors’ claims have equal priority. Equity holders receive the remainder,i f any (Corporate BankruptcyMichelle J. White).
42
Penulis mengartikan berdasakan prosedur kepailitandi Amerika
Serikat disebutkandalam Bab 7. Aturan prioritas kepailitan yang
menentukan bagaimana hasilpenjualan dibagi disebut "aturan prioritas
mutlak." menetapkan bahwa klaim ini dibayar secara penuh dalam urutan
sebagai berikut: pertama, biaya administrasi dari proses kebangkrutan itu
sendiri; kedua, klaim mengambil prioritas hukum, seperti tagihan pajak,
klaim sewa, dan upahyang belum dibayar, dan klaim ketiga unsecured
creditors , termasuk hutang usaha, pemegang obligasijangka panjang, dan
pemegang klaim kerusakan terhadap perusahaan. Subordinasi perjanjian
yang menetapkan bahwa unsecured creditors tertentu peringkatnya diatas
orang lain dalam urutan prioritas, jika tidakadasemua klaim unsecured
creditors memiliki prioritas yang sama. Ekuitas pemegang menerima
sisanya, jika ada. Jadi di Amerika, kreditor ditempatkan pada urutan ketiga
termasuk kreditor pemegang hak kebendaan.
Hukum Indonesia mengatur mengenai kreditor yaitu antara lain diatur
dalam:
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Dasar hukum jaminan adalah perjanjian pemberian jaminan
kebendaan antara debitor dan kreditor dengan tujuan menjamin
pemenuhan, pelaksanaan atau pembayaran suatu kewajiban, prestasi
atau utang debitor kepada kreditor. Betapa tidak adilnya seorang
kreditor yang memegang jaminan kebendaan diperlakukan sama
dengan seorang kreditor yang tidak memegang jaminan kebendaan.
Jika pada akhirnya disamakan kedudukan hukumnya antara kreditor
pemegang jaminan kebendaan dan unsecured creditor, maka adanya
lembaga hukum jaminan menjadi tidak bermakna lagi. Demikian pula
dengan kreditor yang oleh undang-undang diberikan keistimewaan
dalam pelunasan piutangnya. Jika kedudukannya disamakan dengan
kreditor yang tidak diberikan preferensi oleh undang-undang maka
dipastikan akan terjadi benturan kepentingan antara hukum kepailitan
dan hukum jaminan.
43
Setiap Kreditor pasti mempunyai jaminan kebendaan pelunasan
utang dari debitor baik yang bersifat umum maupun yang bersifat
khusus. Apabila kreditor tidak meminta jaminan secara khusus ketika
melakukan perjanjian utang-piutang dengan debitor secara otomatis
kreditor mempunyai jaminan umum pembayaran utang dari harta
benda milik debitor, seperti yang dijelaskan di dalam Pasal 1131 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata.
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun
yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada
dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan”.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa harta
debitor yang ada dan yang akan ada dikemudian hari, baik harta
bergerak maupun tidak bergerak akan menjadi jaminan pembayaran
utang bagi kreditor meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya.Berbeda
dengan jaminan yang bersifat khusus, pihak kreditor sejak semula
telah meminta kepada debitor agar hartanya secara khusus dijadikan
jaminan pembayaran utang sehingga apabila dikemudian hari pada
saat jatuh tempo debitor tidak dapat menepati janjinya untuk
membayar atau melunasi utangnya maka harta debitor tersebut dapat
dieksekusi oleh kreditor melalui prosedur tertentu.
Pasal 1132 Kitab Undang Undang Hukum Perdata disebutkan
bahwa :
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi
semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan
penjualan benda benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan,
yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali
apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah
untuk didahulukan”.
44
Bahwa dengan demikian setiap kreditor memiliki kedudukan
yang sama terhadap kreditor lainnya (paritas creditorum), kecuali
ditentukan undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah
untuk didahulukan daripada kreditor-kreditor lainnya pasal-pasal
dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata sebagaimana dijelaskan
di atas mengatur mengenai urutan prioritas para kreditor, apabila tidak
ditentukan bahwa suatu piutang merupakan hak istimewa yang
berkedudukan lebih tinggi daripada piutang yang dijamin dengan
suatu hak jaminan, maka urutan kreditornya adalah sebagai berikut :
a. Kreditor yang memiliki piutang yang dijaminkan dengan hak
jaminan.
b. Kreditor yang memiliki hak istimewa.
c. Kreditor konkuren.
Pasal 1134 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyatakan:
“Hak istimewa adalah hak yang oleh undang-undang diberikan
kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi
daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan
sifat piutangnya. Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi daripada
hak istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-
undang ditentukan sebaliknya”.
Pasal 1134 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa kedudukan kreditor yang memiliki hak istimewa lebih tinggi
daripada kreditor lainnya. Contoh dari undang-undang yang
menetukan bahwa ada kreditor lain yang kedudukannya lebih tinggi
dari kreditor pemegang hak jaminan adalah sebagai berikut (Munir
Fuady, 1998:106-107):
a. Pasal 1149 ayat (1) “Bahwa biaya-biaya perkara yang semata-
mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan;
biaya-biaya ini didahulukan daripada gadai dan hipotek”.
45
b. Undang-Undang Perpajakan, Pasal 21 Undang- Undang Nomor
28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, bahwa hutang pajak lebih tinggi kedudukannya dari
hutang lain, termasuk hutang dengan jaminan.
c. Undang-Undang Ketenagakerjaan, tagihan yang merupakan
hak-hak pekerja lebih kedudukannya dari tagihan biasa termasuk
tagihan yang dijamin dengan jaminan hutang. Tetapi Kitab
Undang Undang Hukum Perdata (Pasal 1149 ayat (4))
mengkategorikan tagihan tenaga kerja tersebut sebagai general
statutory priority, sehingga kedudukannya dibawah kreditor
separatis
d. Peraturan Pemerintah tentang Likuidasi Bank, Pasal 23 dari
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996. Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996 ini berlaku untuk likuidasi
bank, bukan untuk kepailitan bank. Jadi jika bank tersebut pailit,
yang berlaku adalah tetap Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang dan Kitab Undang Undang hukum Perdata, seperti juga
perusahaan lain.
Apabila suatu hak istimewa ditentukan harus dilunasi terlebih
dahulu daripada kreditor lainnya termasuk kreditor pemegang hak
jaminan, maka urutan para kreditor adalah sebagai berikut :
a. Kreditor yang memiliki hak istimewa.
b. Kreditor yang memiliki piutang yang dijaminkan dengan hak
jaminan.
c. Kreditor konkuren.
2. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Tujuan tujuan dari hukum kepailitan adalah melindungi para
kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan
asas jaminan. Menghindarkan terjadinya saling rebut diantara para
46
kreditor. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor diantara
para kreditor sesuai dengan asas paripassu (membagi secara
proporsional harta kekayaan debitor kepada para kreditor konkuren).
Salah satu asas hukum dalam kepailitan yaitu asas Keadilan, Undang-
undang Kepailitan menjamin keadilan bagi seluruh pihak yang
berkepentingan guna pembagian harta pailit. Sesuai dengan asas Pari
Passu yang tercermin di dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dimana membagi harta pailit secara proporsional harta
kekayaan debitor kepada kreditor konkuren. Selain asas tersebut,
terdapat asas Structured Creditors, yaitu prinsip yang
mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam kreditor
sesuai dengan kelasnya masing-masing.Penerapan prinsip Structured
Creditors dalam praktek kepailitan, menjadi solusi dari benturan
antara prinsip hukum kepailitan dengan prinsip hukum jaminan dan
hukum lain yang memberikan keistimewaan tertentu pada kreditor.
Dalam penjelasan Pasal 2 Undang Undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran
Utangbahwa pengajuan yang dilakukan oleh kreditor tidak hanya
kreditor konkuren saja, tapi juga bisa dilakukan oleh kreditor separatis
maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan
kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pailit tanpa
kehilangan hak agunan atau kebendaan yang mereka miliki terhadap
harta debitor dan haknya untuk didahulukan.
Pasal 55 ayat (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran
Utangmenyebutkan :
“Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaiman dimaksud
dalam Pasal 56, pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditor
pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau
hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan”.
47
Pasal 55 ayat (2) menyebutkan :
“Dalam hal penagihan suatu piutang sebagaimana dalam Pasal
136 dan Pasal 137 maka mereka hanya dapat berbuat demikian
setelah dicocokkan penagihannya dan hanya untuk mengambil
pelunasan dari jumlah yang diakui dari penagihan tersebut”
Ketentuan tersebut memberikan kedudukan yang kuat kepada
kreditor pemegang hak kebendaan terhadap aset debitor yang menjadi
jaminan utangnya, yang tidak terpengaruh oleh kepailitan yang
menimpa debitor. Kreditor yang memegang jaminan kebendaan
(yaitu; jaminan berupa Hak Tanggungan, Gadai dan Fidusia) diakui
secara tegas sebagai kreditor yang mempunyai hak preferensi
eksklusif terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya. Didalam
kepailitan disebut kreditor separatis. Pemberian kewenangan eksklusif
kepada kreditor separatis tersebut merupakan suatu prinsip hukum
yang telah lama berlaku di Indonesia. Prinsip itu bertujuan untuk
memberikan kepastian hukum kepada para pemilik modal dalam
memberikan pinjaman atau membiayai aktivitas komersial debitor.
Mengapa kedudukan gadai dan hipotek adalah lebih tinggi dari hak
istimewa, karena pada asasnya kehendak dari para pihak adalah lebih
diutamakan dari ketentuan undang-undang. Peraturan khusus lebih
diutamakan dari peraturan umum maka, privelegi khusus lebih diutamakan
dari prevelegi umum.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para kreditor pemegang
hak gadai dan hipotik menurut undang-undang mempunyai kedudukan yang
terkuat. Menurut Pasal 1133 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, hak
untuk didahulukan diantara para kreditur timbul dari : Hak Istimewa, Gadai,
Hipotik. Menurut Pasal 1134 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Hak
Istimewa ialah suatu hak yang oleh Undang-undang diberikan kepada
seorang kreditor sehingga tingkatan kreditor tersebut lebih tinggi daripada
kreditor lainnya, semata-mata sifat piutang kreditor tersebut. Kedudukan
Hak Jaminan terhadap hak istimewa, menurut Pasal 1134 Kitab Undang
48
Undang Hukum Perdata lebih tinggi daripada Hak Istimewa, kecuali dalam
hal-hal dimana oleh Undang-undang ditentukan sebaliknya. Hak istimewa
yang lebih yang lebih tinggi dari hak jaminan misalnya biaya perkara yang
semata-mata disebabkan karena suatu penghukuman untuk melelang baik
suatu benda bergerak maupun benda tidak bergerak . Biaya ini dibayar dari
hasil penjualan benda tersebut sebelum dibayarkan kepada para kreditor
lainnya, termasuk kepada kreditor pemegang hak jaminan.Dengan perkataan
lain, bahwa kedudukan kreditor separatis adalah yang tertinggi
dibandingkan kreditor lainnya, kecuali undang-undang menentukan
sebaliknya (Pasal 1134 Kitab Undang Undang Hukum Perdata). Kemudian
menyusul para pemegang hak istimewa, baru kemudian yang paling lemah
yaitu para kreditor konkuren.
B. PEMBAHASAN.Kedudukan Kreditor Separatis Berdasarkan Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pernyataan pailit seorang debitor penting bagi para kreditor yang
terlibat kepailitan. Kepailitan dimaksudkan guna menjamin pembagian yang
sama terhadap harta kekayaan debitor di antara para kreditornya. Penerapan
asasStructured Creditors, yaitu pengaturan tentang pengelompokan kreditor
berdasarkan kelas masing-masing kreditor. Undang Undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran
Utangmengklasifikasikan kreditor dalam 3 kelas, yaitu: Kreditor separatis
atau secured creditors; Kreditor preferen atau preferred creditors;Kreditor
konkuren atau unsecured creditors.
1. Kreditor preferen, yaitu Kreditor pemegang hak istimewa seperti yang
diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata. Bahwa biaya-biaya perkara yang semata-mata
disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan; biaya-biaya
ini didahulukan daripada gadai dan hipotek. Hak hak istimewa
49
berdasarkan Undang-Undang Perpajakan, Pasal 21 dari Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, bahwa hutang pajak lebih tinggi kedudukannya dari
hutang lain, termasuk hutang dengan jaminan. Peraturan Pemerintah
tentang Likuidasi Bank, Pasal 23 dari Peraturan Pemerintah Nomor 68
Tahun 1996. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996 ini berlaku
untuk likuidasi bank, bukan untuk kepailitan bank. Undang-Undang
Ketenagakerjaan, tagihan yang merupakan hak-hak pekerja lebih
kedudukannya dari tagihan biasa termasuk tagihan yang dijamin
dengan jaminan hutang. Tetapi Kitab Undang Undang Hukum Perdata
(pasal 1149 ayat (4)) mengkategorikan tagihan tenaga kerja tersebut
sebagai general statutory priority, sehingga kedudukannya dibawah
kreditor separatis.
Kreditor preferen mempunyai hak mendahului atas barang. Hal
ini dimaksudkan, agar pemerintah dapat mengambil pelunasan terlebih
dahulu, terutama dalam pelunasan utang pajak. Akan tetapi, dalam hal
Kreditor Separatis mengeksekusi objek jaminan kebendaannya
berdasarkan Pasal 55 ayat (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
maka kedudukan tagihan pajak di atas Kreditor Separatis hilang. Pasal
21 ayat(3) Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, menentukan : “Hak
mendahului untuk pajak melebihi segala hak mendahului lainnya
kecuali terhadap :
a. Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman
untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak
bergerak.
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang
dimaksud, dan atau
c. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan
penyelesaian suatu warisan.”.
50
2. Kreditor konkuren atau disebut juga kreditor bersaing, karena tidak
memiliki jaminansecara khusus dan tidak mempunyai hak istimewa,
sehingga kedudukannya samadengan kreditor tanpa jaminan lainnya
berdasarkan asas paritas cridetorium. Kreditor jugaharus berbagi
diantara mereka secara proporsional, atau disebut juga secara pari
passu, yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing piutang
mereka, dari hasil penjualan harta kekayaan debitor yang tidak
dibebani dengan hak jaminan. Sebagai kreditor konkuren yang tidak
memiliki hak mendahului dan hak istimewa, dalam mengajukan
permohonan Pernyataan Pailit ke Pengadilan Niaga selama
persyaratan dan pembuktiannya sebagai kreditor terpenuhi, maka
semuanya tidak akan pernah menjaadi masalah. Sedang yang menjadi
masalah adalah ketika debitor dinyatakan pailit, ternyata debitor sudah
benar-benar bangkrut dan sudah tidak memiliki harta guna melunasi
utang-utangnya. Mereka mempunyai hak untuk mengajukan
permohonan pailit maupun hak untuk mengajukan proses perdamaian
penundaan kewajiban pembayaran utang dan mereka memiliki
kedudukan yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta
kekayaan debitor, baik yang telah ada maupun yang baru akan ada di
kemudian hari, setelah sebelumnya dikurangi dengan kewajiban
membayar piutang kepada para kreditor pemegang hak jaminan dan
kreditor pemegang hak istimewa secara proporsional menurut
perbandingan besarnya piutang masing-masing.
3. Kreditor separatis, yaitu kreditor yang mempunyai hak jaminan
kebendaan,diantaranya: pemegang hak tanggungan, pemegang gadai,
pemegang jaminan fidusia,pemegang hak hipotik, dan lain-lain. Hak
jaminan kebendaan yang dimiliki oleh kreditor ini memberikan hak
untuk menjual secara lelang atas kebendaan yang dijaminkan
kepadanya dan selanjutnya memperoleh hasil penjualan kebendaan
tersebut untuk pelunasan piutangnya secara mendahulu dari kreditor-
kreditor lainnya. Kreditor Separatis adalah kreditor yang didahulukan
51
dari kreditor kreditor lainnya untuk memperoleh pelunasan dari hasil
penjualan harta kekayaan debitor asalkan benda tersebut telah
dibebani dengan hak jaminan tertentu bagi kepentingan kreditor
tersebut.Pengertian kreditor Separatis mempunyai anggapan yang
sama dengan pengertian kreditor Preferen, karena kreditor Separatis
maupun kreditor Preferen mempunyai kesamaan hak yaitu hak
mendahului. Pasal 1134 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
menyebutkan bahwa kedudukan kreditor yang dijamin lebih tinggi
dari kreditor yang memegang hak istimewa, kecuali dalam hal dimana
Undang-Undang menentukan sebaliknya. Kedudukan sebagai Kreditor
Separatis tentu lebih disukai pihak kreditor dibandingkan haknya
menjadi kreditor konkuren. Sehubungan dengan itu, pihak kreditor
biasanya akan meminta penyerahan kekayaan debitor sebagai jaminan
bagi pembayaran kembali utangnya.
Kedudukan kreditor separatis dalam kepailitan diatur dalam dua tahap
yaitu masa pra pailit dan setelah masa setelah debitor dinyatakan pailit oleh
Pengadilan Niaga (pasca pailit). Kedudukan para kreditor separatis dengan
jelas diatur dalam Pasal 55 Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004
Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 55 ayat
(1) menyebutkan :
“Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaiman dimaksud
dalam Pasal 56, pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditor
pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau
hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan”.
Pasal 55 ayat (2) menyebutkan :
“Dalam hal penagihan suatu piutang sebagaimana dalam Pasal
136 dan Pasal 137 maka mereka hanya dapat berbuat demikian
setelah dicocokkan penagihannya dan hanya untuk mengambil
pelunasan dari jumlah yang diakui dari penagihan tersebut”.
52
Ketentuan dalam Pasal 55 ini, dapat dilihat bahwa kreditor separatis
memiliki hak yang tidak dimiliki oleh kreditor yang lain (Kreditor
Konkuren) yang hak untuk didahulukan. Ketentuan pasal tersebut berarti
seorang kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (Hipotek, Hak
Tanggungan, Hak Gadai, dan Fidusia) tidak terpengaruh oleh putusan
pernyatan pailit. Hal ini tentunya konsisten dengan ketentuan perundangan
lainnya yang mengatur tentang parate executie dari pemegang hak jaminan
kebendaan.
Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang juga mengatur kedudukan
kreditor separatis pada periode setelah debitor pailit sebagai berikut:
a. Pasal 56 dan Pasal 246
1) Pasal 56 ayat (1) “Hak eksekusi kreditor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga
untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan
debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka
waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal
putusan pernyataan pailit diucapkan”.
2) Pasal 56 ayat (2) “Penangguhan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tagihan kreditor yang
dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk
memperjumpakan utang”.
3) Pasal 56 ayat (3) “selama jangka waktu penangguhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kurator dapat
menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak
maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang
berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan
kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitor, dalam
hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi
kepentingan kreditor atau pihak ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)”.
53
4) Pasal 246 “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56, Pasal 57, dan Pasal 58 berlaku mutatis mutandis
terhadap pelaksanaan hak kreditor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (1) dan kreditor yang diistimewakan,
dengan ketentuan bahwa penangguhan berlaku selama
berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang”.
Kedua Pasal tersebut dikenal juga sebagaai ketentuan yang
mengatur tentang automatic stay, yang diberlakukan bagi
kreditor separatis setelah debitor dinyatakan pailit atau
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sementara ditetapkan.
Berdasarkan ketentuan stay ini kreditor belum dapat
mengeksekusi sendiri haknya selama 90 hari.
b. Pasal 60 ayat (3)
Pasal 60 ayat (3) menyebutkan bahwa :
“Dalam hal hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak cukup untuk melunasi piutang yang
bersangkutan, kreditor pemegang hak tersebut dapat
mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangn tersebut
dari harta pailit sebagai kreditor konkuren, setelah
mengajukan permintaan pencocokan utang”.
Apabila hasil penjualan barang jaminan piutang kreditor
separatis tidak mencukupi untuk memenuhi pembayaran
piutangnya, kreditor separatis dapat mengajukan tagihan atas
pelunasan atas kekurangan tersebut kepada kurator.
Konsekuensinya, kreditor separatis berubah menjadi kreditor
konkuren tetapi hanya untuk kekurangan tagihan
pembayarannya. Dengan demikian kekurangan tagihan ini harus
diajukan untuk dicocokkan dalam rapat verifikasi.
54
c. Pasal 138
Pasal 138 “Kreditor yang piutangnya dijamin dengan
gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan
atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang
diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan
dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut
kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan
benda yang menjadi agunan, dapat menunda diberikan hak-hak
yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut,
tanpa mengurangi hak unuk didahulukan atas benda yang
menjadi agunan piutangnya”.
Kreditor separatis yang dapat membuktikan bahwa
sebagian dari piutangnya tersebut tidak dapat dilunasi dari hasil
penjualan barang jaminan dapat menjadi kreditor konkuren atas
bagian piutang yang tak dapat dilunasi tersebut. Ketentuan ini
dibuat untuk mengantisipasi kemungkinan dari nilai jaminan
kebendaan yang dimiliki oleh kreditor separatis kurang dari
nilai piutang yang dimilikinya.
d. Pasal 149
1) Pasal 149 (1) “pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendeaann
lainnya dan kreditor yang diistimewakan, termasuk
kreditor yang mempunyai hak untuk didahulukan yang
dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan
dengan rencana perdamaian, kecuali apabila mereka telah
melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan
harta pailit sebelum diadakannya pemungutan suara
tentang rencana perdamain tersebut’.
55
2) Pasal 149 ayat (2) “Dengan pelepasan hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), mereka menjadi kreditor
konkuren, juga dalam hal perdamaian tersebut tidak dapat
diterima”.
Kreditor separatis pada prinsipnya tidak
mengeluarkan suara dalam rapat kreditor. Namun jika
kreditor separatis telah melepaskan haknya sebagai
kreditor separatis menjadi kreditor konkuren, ia memiliki
hak yang sama dengan kreditor konkuren lainnya. Kondisi
ini hanya akan terjadi dalam hal hak kreditor separatis
untuk didahulukan dibantah dalam rapat verifikasi.
Undang Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak membatasi kreditor mana
saja yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit, apakah itu
Kreditor Konkuren, Kreditor Preferen ataupun Kreditor separatis. Dalam
penjelasan Pasal 2 Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utangbahwa pengajuan
yang dilakukan oleh kreditor tidak hanya kreditor konkuren saja, tapi juga
bisa dilakukan oleh kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus
mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat
mengajukan permohonan pailit tanpa kehilangan hak agunan atau
kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk
didahulukan. Kalau permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditor
konkuren itu tidak masalah, karena memang kreditor konkuren tidak
mempunyai hak istimewa atau hak yang didahulukan sehingga patut apabila
agar hartanya dapat kembali. Namun demikian halnya dengan kreditor
separatis walaupun sebagai pemegang hak jaminan dan kreditor preferen
yang mempunyai hak istimewa mempunyai hak pelunasan lebih dulu tetap
dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor. Karena
justru dengan Undang Undang ini dibuat dengan tujuan untuk melindungi
56
hak hak seluruh kreditor baik yang bernaung dibawah Pasal 1132 maupun
Pasal 1133 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Berdasarkan ketentuan diatas jelaslah bahwa kedudukan kreditor
separatismempunyaikedudukan yang lebihtinggidarikreditorlainnyadantetap
dijamin pembayarannya oleh Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utangbaik pada
masa pra pailit maupun setelah debitor dinyatakan pailit. Bahkan jika
tagihannya dibantah, tagihan tersebut harus diakui secara bersyarat oleh
Kurator dalam rapat verifikasi dan dimasukkan dalam daftar piutang yang
diakui sementara. Demikian juga jika jaminan yang ada padanya tidak
mencukupi untuk memenuhi pembayaran tagihannya, kreditor separatis
dapat menjadi kreditor konkuren untuk kekurangan tagihannya tersebut
tanpa kehilangan hak istimewanya untuk mengeksekusi sendiri barang
jaminan yang ada padanya.Sebaliknya, apabila hasil penjualan tersebut
melebihi hutang-hutangnya, plus bunga setelah pernyataan pailit, ongkos-
ongkos dan hutang, maka kelebihan tersebut haruslah diserahkan kepada
pihak debitor. Akan tetapi, jika terdapat kreditor diistimewakan yang
tingkatannya di atas tingkatan kreditor separatis, maka kurator dan kreditor
diistimewakan tersebut dapat meminta kreditor separatis agar hasil
penjualan harta jaminan hutang tersebut diserahkan kepadanya sejumlah
yang sama dengan piutang yang diistimewakan tersebut.Hak jaminan
kebendaan yang dimiliki oleh kreditor pemegang jaminan kebendaan
tersebut memberikan kewenangan bagi kreditor tersebut untuk menjual
secara lelang kebendaan yang dijaminkan kepadanya dan untuk selanjutnya
memperoleh pelunasan secara mendahulu dari kreditor-kreditor lainnya dari
hasil penjualan kebendaan yang dijaminkan kepadanya tersebut.
Pernyataan pailit seorang debitor tidak terlalu penting bagi Kreditor
separatis dan Kreditor preferen, karena mereka dapat mengeksekusi benda
jaminan seolah-olah tidak ada kepailitan. Selaku separatis para pemegang
hak kebendaan dapat melaksanakan haknya dengan cepat/mudah.
Prosedurnya lebih mudah karena tidak melalui prosedur penyitaan lewat
57
jurusita. Selain itu separatis juga terbebas dari ongkos-ongkos boedel
seumumnya (Sri Soedewi Mahjoen Sofwan, 2007: 78).
Para kreditor yang memegang hak jaminan atas kebendaan,
mempunyai hak separatis.Menurut Setiawan, Hak Separatis adalah: "Hak
yang diberikan oleh hukum kepada kreditor pemegang Hak jaminan, bahwa
barang jaminan (agunan) yang dibebani dengan hak jaminan (hak agunan)
tidak termasuk harta pailit". Kreditorberhak untuk melakukan eksekusi
kekuasaannya sendiri yang diberikan oleh undang-undang sebagai
perwujudan dari hak kreditor pemegang hak jaminan untuk didahulukan dari
para kreditor yang lainnya(http://ejournal.umm.ac.id).
Akan tetapi, walaupun kreditor separatis dapat mengeksekusi dan
mengambil sendiri hasil penjualan hak jaminan, ia tetap tunduk pada hukum
tentang penangguhan eksekusi untuk masa tertentu yakni maksimum selama
90 (sembilan puluh) hari untuk kepailitan, dan maksimum 270 hari untuk
penundaan kewajiban pembayaran hutang.Sekilas Pasal 55 Undang Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang mengakui hak separatis dari pemegang hak jaminan
sebagaimana ditentukan oleh Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Pencantuman Pasal 55 ini sangat penting bagi kepentingan dan pemberian
perlindungan kepada kreditor. Apabila membaca Pasal 55, nampaknya
Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang memang mengakui hak separatis dari
kreditor pemegang hak jaminan, tetapi hal tersebut berbeda dengan Pasal 56
Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang dimana hak kreditor pemegang hak jaminan
tersebut ditangguhkanpaling lama 90 hari sejak putusan pailit ditetapkan.
Alasan pembentuk Undang-undang menetapkan adanya tanggung waktu
tersebut adalah untuk memberikan perlindungan ekonomis terhadap hak
kurator menjual barang jaminan dalam kepailitan.
58
Penjelasan dari Pasal 56 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mengemukakan bahwa penangguhan yang dimaksud dalam Pasal 56 Ayat
(1) bertujuan antara lain :
1. Untuk memperbesar keuntungan tercapai perdamaian ; atau
2. Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit ; atau
3. Untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara
optimal.
Hanya saja tidak semua kreditor separatis berlaku penangguhan
kewajiban pembayaran utang tersebut. Hukum tentang penangguhan
kewajiban pembayaran utang tersebut mengenal pengecualian, yaitu sebagai
berikut:
1. Penangguhan eksekusi tidak berlaku terhadap kreditor yang dijamin
dengan uang tunai.
2. Penangguhan eksekusi tdak berlaku bagi kreditor untuk perjumpaan
utang yang merupakan bagian atau akibat dari mekanisme transaksi
yang terjadi di Bursa Efek dan Bursa Perdagangan Berjangka
(Penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004).
Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan segala tuntutan
hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan
dalam sidang badan peradilan, dan baik kreditor maupun pihak ketiga
dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang
menjadi agunan, kurator dapat menggunakan atau menjual boedel pailit
yang termasuk sebagai barang persediaan (inventory) atau barang bergerak
(current assets). Ketentuan pasal 56 ayat (1) Undang Undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran
Utang yang memberlakukan penangguhan eksekusi obyek hak jaminan atau
agunan sejak putusan pailit ditetapkan dirasakan kurang tepat, karena
ketentuan hukum yang menentukan terjadinya keadaan yang disebut
standstill atau automatic stay dalam kepailitan, yaitu keadaan status quo
59
terhadap harta kekayaan (assets) debitur maupun terhadap utang debitor
seyogyanya diberlakukan sejak dimulainya pengajuan permohonan
pernyataan pailit atau sejak permohonan pernyataan pailit didaftarkan di
pengadilan, dalam kerangka untuk memberi perlindungan hukum baik
kepada para kreditor terhadap upaya-upaya debitur menyangkut harta
kekayaannya yang dapat merugikan para kreditur, maupun kepada debitur
terhadap upaya-upaya para kreditor baik sendiri-sendiri maupun bersama-
sama dalam menagih piutangnya, agar supaya dalam penyelesaian utang
piutang itu dapat berjalan dengan tertib dan sesuai dengan prinsip-prinsip
dalam kepailitan.
Jangka waktu penangguhan tersebut berakhir demi hukum saat
kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi
(keadaan tidak mampu bayar). Keadaan insolvens iitu tidak perlu ditetapkan
dengan putusan hakim. Keadaan insovensi itu datang dengan sendirinya
bilamana (Purwosutjipto, 1998: 49):
1. Tidak ada akor ;
2. Ada akor, tetapi tidak disetujui oleh rapat verifikasi
3. Ada akor yang disetujui oleh rapat verifikasi tetap tidak mendapat
homolgasidari hakim pemutus kepailitan;
4. Ada akor yang sudah dihomolgasi tetapi ditolak oleh Hakim Banding.
Berdasarkan Pasal 59 Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentangKepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang, kreditor
penerima jaminan, harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu
paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 Ayat (1). Yang dimaksud dengan
harus melaksanakan hak-haknya” adalah bahwa kreditor sudah mulai
melaksanakan haknya.Dalam Pasal 178 Ayat (1) menyebutkan bahwa:
“jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana
perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, demi hukumharta pailit berada dalam keadaan
insolvensi”.
60
Dengan demikian, sekalipun masa verifikasi atau pencocokan
piutang memakan waktu lama dan masa insolvensi belum timbul, kreditor
separatis dapat mulai melaksanakan haknya. Apabila rapat verivikasi
beralarut-larut dan masa insolvensi menjadi tertunda melebihi jangka waktu
90 (sembilan puluh) hari setelah putusan pailit diucapkan, maka hak kreditor
separatis untuk bisa mulai melaksanakan eksekusinya menjadi ikut tertunda.
Hal ini menimbulkan resiko bagi kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan. Dimana dalam Undang-Undang lain telah memberikan
kedudukan yang kuat bila debitor dinyatakan pailit, antara lain dalam Pasal
1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai Gadai, Pasal 1162
Kitab Undang Undang Hukum Perdata mengenai Hipotik, Undang Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dan Undang Undang
Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Perbedaan pengaturan
tersebut menyebabkan terjadinya disharmonisasi hukum antara masing-
masing pengaturan tersebut yang erakibat tidak diberikanya kedudukan
yang sepantasnya bagi kreditor dan tidak terjadinya sinkronisasi dengan
Undang-Undang tentang Kepailitan.
Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang Undang Fidusia Nomor 42
Tahun 1999 menyebutkan bahwa, “Hak preferensi adalah hak penerima
fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda
yang menjadi obyek jaminan fidusia”. Dengan adanya pasal tersebut maka
hak pemegang fidusia harus didahulukan seperti juga halnya dengan
pemegang gadai, hipotek dan hak tanggungan. Selanjutnya dijelaskan dalam
Pasal 27 ayat (3) Undang Undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, bahwa
“Hak preferensi dari penerima fidusia tidak hilang dengan pailit atau
likuidasinya debitor”.
Hak yang didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran benda yang
menjadi jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia. Hak untuk
mengeksekusi sendiri jaminan fidusia dijelaskan dalam Pasal 15 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.
61
“Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak
menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas
kekuasaannya sendiri”.
Dengan demikian, jika debitor pailit, maka pihak penerima fidusialah
yang terlebih dahulu menerima pelunasan hutangnya yang diambil dari
penjualan barang obyek fidusia. Setelah itu, jika ada sisa, baru diberikan
kepada kreditor lainnya(Munir Fuady, 2003:42). Jika dihubungkan dengan
penangguhan eksekusi dalam kepailitan maka akan menimbulkan resiko
mengingat barang yang dijaminkan berupa barang bergerak sudah tidak ada
lagi pada debitor (penurunan nilai asset)karena pemegang hak jaminan
fidusia harus tunduk pada ketentuan jangka waktu eksekusi. Padahal
seharusnya pemegang hak jaminan fidusia bisa secara langsung mengambil
piutangnya dari jaminan fidusia tersebut.
Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan menentukan bahwa apabila pemberi Hak Tanggungan
dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan
segala hak yang diperolehnya menurut undang-undang ini, artinya kreditor
pemegang Hak Tanggungan dapat melaksanakan hak-haknya
berdasarkanUndang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
seakan-akan tidak ada kepailitan atau tagihan kreditur pemegang Hak
Tanggungan ada di luar kepailitan, yaitu di luar sitaan umum, dengan kata
lain obyek Hak Tanggungan tidak termasuk harta pailit. Maksud dari dapat
melaksanakan hak-haknya dalam Pasal 21Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan, tidak lain adalah melakukan eksekusi untuk
menjual obyek Hak Tanggungan dan mengambil hasil penjualan untuk
melunasi piutangnya terhadap debitur. Namun bila kita melihat ketentuan
dalam Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tepatnya dalam pasal 56 ayat (1),
hak dari kreditor pemegang hak jaminan kebendaanuntuk megeksekusi
obyek jaminan kebendaan ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari sejak putusan pailit ditetapkan, artinya pasal tersebut
62
justru tidak mengakui keberadaan hak separatis dari kreditor pemegang Hak
Tanggungan yang telah diakui dalamUndang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan.
Pemberlakuan masa penangguhan obyek hak jaminan di satu sisi dalam
prakteknya dapat mendatangkan kerugian khususnya bagi kreditor separatis
berkaitan dengan lamanya waktu yang diberikan yaitu 90 (sembilan puluh)
hari dan dengan tidak adanya kepastian atas nilai nominal yang akan
dikembalikan pada kreditor separatis. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa
Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaaan
Kewajiban Pembayaran Utang tidak konsisten dalam mengatur kedudukan
kreditor pemegang hak jaminan kebendaan, disatu sisi berdasarkan Pasal 55
ayat (1) kreditor tersebut dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi
kepailitan, di sisi lain menurut Pasal 56 ayat (1) pelaksanaan hak atau
eksekusi dari kreditor harus menunggu selama jangka waktu stay, yaitu
paling lama 90 hari sejak debitor dinyatakan pailit.
63
BAB IV.PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penelitian yang berjudul Kedudukan
Kreditor Pemegang Hak Jaminan Kebendaan Dalam Perkara Kepailitan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Pembagian boedel pailit dibagi
kepada para kreditor yang memiliki piutang yang didasarkan pada tingkatan kreditor. Tiga (3)
tingkatan kreditur tersebut, yaitu: Kreditor Separatis, Kreditor Preferen, dan Kreditor
Konkuren. Pembagian boedel pailit kepada para kreditor tersebut dalam kepailitan
berdasarkan tiga (3) prinsip, yaitu Prinsip Paritas Creditorum, Prinsip Pari Passu Prorata
Parte, dan Prinsip Structured Creditors. Kedudukan Kreditor Separatis dalam Kitab Undang
Undang Hukum Perdata maupun dalam kepailitan adalah kuat dan dijamin. Hal tersebut
dijelaskan dalam Pasal 1131, 1132, dan Pasal 1134 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Serta Pasal 55 ayat (1)) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pada prinsipnya Pasal 55 ayat (1) Undang
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran
Utangmemberikan jaminan bagi kreditor pemegang hak untuk mengeksekusi haknya.
Namun pada Pasal 56 ayat (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak konsisten jika dihubungkan dengan
peraturan tentang jaminan kebendaan. Antara lain ketentuan Undang Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan, yang mana tidak menetapkan masa penangguhan, sedangkan Pasal 56 ayat
(1) pelaksanaan hak atau eksekusi dari kreditor harus menunggu selama jangka waktu stay,
yaitu paling lama 90 hari sejak debitor dinyatakan pailit. Hal tersebut akan merugikan
kreditor pemegang hak jaminan kebendaan, yang seharusnya bisa mengambil pelunasan akan
tetapi harus tunduk pada aturan penangguhan eksekusi.
64
B. Saran
Beberapa saran yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak yang terkait antara
lain sebagai berikut:
Untuk Pemerintah diharapkan mengatur lebih rinci mengenai hak kreditor pemegang
hak jaminan kebendaan dalammasa stay sesuai Pasal 56 ayat (1) Undang Undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewaiban Pembayaran Utang terkait
pemenuhan hak kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang dapat mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak ada kepailitan sesuai Pasal 55 ayat (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun
2004 TentangKepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang.
65
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sulistiyono. 2009. “Hukum Kepailitan” Bahan Perkuliahan. Disampaikan pada perkuliahan Hukum Kepailitan pada semester Ganjil 2009/2010 di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Ahmad Yani, Gunawan Widjaja. 2002. Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Amir Syamsuddin. 2005. “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Kepailitan”. Jurnal Konstitusi. Vol 2, No 2.
Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayanti. 2004. Kepailitan di Negeri Pailit. Analisis Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta: Dimensi
HMN.Purwosutjipto. 1998. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Perwasutan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran. Jakarta: Djambatan.
http://ejournal.umm.ac.id . Eksekusi Hak Tanggungan Oleh Kreditur Preferen Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998(21 oktober 2010 pukul 22.00)
http://mkn-unsri.blogspot.com. Kedudukan Guarantor Dalam Kepailitan(10 juli2010 pukul 15.00)
Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu Media Publishing.
J. Satrio. 1999. Hukum Perikatan-Perikatan pada Umumnya. Bandung: Alumni.
KartiniMuljadi, Gunawan widjaja.2005. ”Seri hokum kekayaan: Hak istimewa, gadai, dan hipotek. Jakarta: kencana
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
M. Hadi Shubhan. 2009. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana.
Michelle J. White. Corporate Bankruptcy.Journal of Financial Economics. 2004
Munir Fuady. 2002. Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Citra Aditya Bakti.
. 2003. Jaminan Fidusia. Bandung: Citra aditya Bakti.
Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ron. The “New” Bankruptcy Laws. The wisdom journal, September 2009
Salim Hs. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 2007. Hukum Jaminan Di Indonesia: Pokok Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty.
66
Sutan Remy Sjahdeini. 1999. Hak Tanggungan: Asas Asas, Ketentuan Ketentuan Pokok dan Masalah Yang dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang Undang Hak Tanggungan). Bandung: Alumni.
. 2002. Memahami Failissements Verordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4443.
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168 Tamabahan Lembaran Negara Nomor 3889.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3632.