filsafat ibnu khaldun
DESCRIPTION
Filsafat Ibnu KhaldunTRANSCRIPT
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
1/197
ilsafat Ibnu Khaldun
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
2/197
Filsafat Ibnu Khaldun
PENGANTAR
Ketika menyampaikan hasil penelitian ini dalam sebuah seminar pada tahun 1972 di hadapan
sejumlah pemikir dan pemerhati filsafat Ibn Khaldun yang berasal dari berbagai negara, seperti
Suria, Mesir, Irak, Libanon, Maroko, dan Prancis, saya kemukakan kepada mereka bahwa kajian
saya tentang pemikiran Ibn Khaldunyang ditulis sesuai dengan standar akademis initidak
hanya dimaksudkan untuk meraih gelar doktor, untuk kemudian disimpan di antara kumpulan
arsip-arsip universitas. Bagi saya, dengan penelitian ini ada tujuan lebih luas yang ingin saya
capai yaitu memperkenalkan secara lebih luas pemikiran Ibn Khaldun kepada masyarakat dan
generasi terpelajar saat ini. Karena itu saya berharap kepada para peserta seminar agar tidak
melulu membahas aspek teknis dari kajian saya ini yang mungkin jauh dari kesan akademis-
ilmiah.
Mungkin karena pengantar yang saya kemukakan itu, seluruh peserta seminarkecuali
dua oranglebih banyak memusatkan perhatian mereka pada tataran teknis-akademis kajian
saya (dan itu hak mereka), serta mengabaikan bagian terpenting dari kajian ini yaitu
pengungkapan pemikiran-pemikiran baru tentang Ibn Khaldun yang meliputi tiga tema penting:
kedudukan struktur kehidupan sosial bangsa Arab di tengah perkembangan budaya; kedudukan
aspek politik bangsa Arab di tengah struktur kebangsaan; dan kedudukan masyarakat Arab di
tengah gempita perkembangan keilmuan, spiritual, dan kehidupan budaya.
Bagi saya, fenomena itu sangatlah menyakitkan karena berbagai bidang yang selama ini
menjadi objek pemikiran Ibn Khaldun tentang kehidupan bangsa Arab meliputi sejumlah aspek
sederhana, masih jauh dari sentuhan pemikiran para ulama dan peneliti kita. Padahal berbagai
aspek pemikiran Ibn Khaldun itu sangat penting untuk membangun dan mengembangkan
struktur sosial masyarakat ke arah yang lebih baik.Tampaknya, kedudukan kajian sayadi hadapan para pemikir dan penelitiidentik
dengan kedudukan bangsa arab di hadapan mahkamah sejarah dalam hubungannya dengan
ketiga bidang pemikiran yang telah menciptakan peradaban besar. Dan saya khawatir bahwa saat
ini kita lebih senang melontarkan tuduhan, sebagaimana yang banyak dikemukakan oleh para
pemikir kita saat ini bahwa Ibn Khaldun merupakan seorang pemikir yang terlampau mencintai
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
3/197
bangsanya (Arab), bahkan cenderung bersikap chauvinis. Atau paling tidak, kita juga berpikiran
sama dengan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan itu. Dalam forum seminar itu saya telah
menyiapkan diri seandainya tuduhan yang dulu dilontarkan kepada Ibn Khaldun, juga ditujukan
kepada saya karena berusaha untuk membawa pemikiran-pemikiran Ibn Khaldun ke tengah
gelanggang kehidupan bangsa Arab yang beranjak untuk bangkit.
Saya semakin kesal karena bebagai masalah dan kemungkinan persoalan yang telah saya
persiapkan sama sekali tidak dibahas oleh para peserta seminar; mereka menyentuh berbagai hal
yang sama sekali di luar bayangan saya. Mereka mendiskusikan masalah-masalah yang sangat
teknis seperti penempatan tanda baca: titik, koma, dan lain-lain, juga tentang rujukan dan
referensi yang tidak saya sertakan. Tetapi satu kritik paling pedas yang saya rasakan adalah
ungkapan yang mengatakan bahwa bahasa yang saya gunakan bukanlah bahasa ilmiah, tetapi
bahasa jurnalistik-populer. Dengan kata lain, bahasa yang saya gunakan bukan bahasa yang bisa
dibaca secara serius oleh pembacayang untuk memahaminya pun membutuhkan kerja keras
Bahasa saya, menurut mereka, adalah bahasa yang terlampau populer sehngga bisa diakses oleh
siapa pun, tidak hanya oleh kalangan akademis-ilmiah, tetapi juga oleh semua lapisan
masyarakat secara umum. Dengan demikian, karya saya itu telah jatuh dari tingkatan ilmiah
menjadi karya pop yang kacangan, dan saya dianggap telah merusak otoritas bahasa akademis
atau bahasa ilmiah.
Sungguh ironis, masalah semacam ini muncul ketika bangsa-bangsa yang maju sedang
berusaha untuk menyederhanakan kajian ilmiah mereka sebagaimana yang dulu dilakukan oleh
para ilmuwan kita pada masa kejayaan peradaban Arab. Fenomena semacam itu muncul ketika
bangsa Arab saat ini memiliki kekayaan alam yang luarbiasa serta warisan peradaban yang
agung tetapi tidak bisa didayagunakan karena manusia yang hidup di dalamnya tidak memiliki
wawasan kultural yang memadai, kecuali beberapa orang jurnalis dan ahli sejarah. Sehingga para
ilmuwan kita saat ini terus melaju penuh rasa percaya diri dengan bahasanya yang hebat yang
telah memusnahkan kehidupan itu sendiri, serta dengan kebudayaan mereka yang tidak pernah
menyatu dengan realitas yang dihadapi. Sedangkan para ilmuwan besar, para profesor di
berbagai perguruan tinggi saat ini lebih banyak berdiam diri di singgasana mereka dan enggan
mencampuri berbagai urusan masyakat atau urusan politik; mereka berdiam diri tanpa memiliki
kesadaran untuk melestarikan warisan budaya ini dengan bahasa mereka yang istimewa dan
tradisi peradaban mereka yang selama ini telah mengangkat derajat mereka melampaui orang-
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
4/197
orang biasa. Bahkan seorang ilmuwan dalam bidang ekonomi pun hanya memperhatikan
masalah halal dan haram suatu transaksi tanpa mau terlibat lebih jauh dalam urusan ekonomi.
Sama halnya, para ilmuwan kita saat ini enggan untuk mengurusi masalah-masalah sosial pilitik,
karena bagi mereka, bersentuhan dengan masalah-masalah itu akan membahayakan kepentingan
material mereka. Mereka tidak menyadari bahwa sikap seperti itu akan menghancurkan sisi
maknawi dari ilmu yang mereka kuasai. Karena itulah mereka hanya bisa diam sambil melihat
jalannya gerak peradaban dengan berbagai aspek kehidupannya yang nyata, meliputi aspek
budaya, politik dan lain-lain. Meski demikian, karya saya yang dianggap kacangan oleh para
peserta seminar itu, ketika diterbitkan dan dilempar ke pasaran, ternyata mendapat sambutan
yang cukup luas dari mayarakat. Itu terbukti dengan habisnya cetakan pertama buku ini dalam
waktu singkat, kemudian disusul dengan cetakan kedua, dan kini memasuki cetakan ketiga. Saya
sangat senang melihat fenomena itu, bukan dari sisi material yang saya dapatkan, tetapi bahwa
pemikiran-pemikiran dan kebijakan tentang umat serta bangsa bisa tersebar secara luas sehingga
masyarakat bisa mengetahui mana yang bermanfaat dan mana yang tidak berguna sama sekali.
Dan sesungguhnya, itulah kebijakan paling benar yang sesuai dengan nurani masyarakat yang
selamat dari reduksi pemikiran ilmiah sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama kita saat ini.
Saya berharap agar buku ini bisa memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat umumnya
dan generasi muda khususnya sehingga mereka mengatahui fenomena kehidupan yang telah
lampau dan masa sekarang agar mereka bisa menentukan langkah yang tepat untuk menghadapi
masa depan mereka.
Sungguh benar sebuah ungkapan yang menyatakan: jika kau tidak tahu darimana asalmu,
maka kau tak akan mengetahui kemana hendak pergi. Dan Ibn Khaldun telah menghabiskan
seluruh kehidupannya untuk meneliti dan menganalisis berbagai fenomena yang terjadi di tengah
masyarakatnya, yang berhasil membangun satu peradaban besar. Kemudian ia mengasingkan diri
di sebuah gua di sebelah barat jazirah yang berbatasan dengan Maghrib1untuk menyusun dan
menyempurnakan karyanya yang monumental tentang sejarah dan peradaban selama kurang dari
lima bulan. Hal yang sangat mengagumkan darinya adalah ketajaman analisis yang ia lakukan
1Dalam beberapa karyanya, Ibn Khaldun menggunakan istilah maghrib dan masyriq untuk membedakan dua
wilayah utama negeri-negeri umat Islam. Kadang, istilah maghrib ia gunakan untuk menyebut nama sebuah negara
Muslim yang kini disebut Maroko. Di sini, kedua kata itu sengaja tidak diterjemahkan secara harfiah menjadi timur
dan barat karena akan bercampur dengan dikotomi timur-barat dalam peristilahan kontemporer. Kata Maghrib
(dengan M kapital) digunakan untuk menunjuk nama negara Muslim, dan membedakannya dari maghrib sebagai
wilayah. (Penerj.)
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
5/197
dan kedalaman pemikiran yang ia tuangkan. Bahkan, hingga saat ini pun karya Ibn Khaldun tetap
memunculkan rasa kagum luarbiasa sebagaimana yang dikemukakan oleh Toney:
Sesungguhnya Muqaddimah merupakan karya paling besar dan paling agung yang pernah
ditulis sepanjang zaman dan di wilayah mana pun. Hal itu karena karya Ibn Khaldun itu
menyentuh satu permasalahansebagaimana dikatakan Yves Lacosteyang hingga saat ini pun
masih menjadi permasalahan masyarakat kita yaitu perpecahan masyarakat; kemudian Ibn
Khaldun menawarkan solusi untuk mengatasi masalah itu.
DR. Abdullah Syarith
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
6/197
PENDAHULUAN
Menjelang bab-bab akhir pembahasan buku ini, seorang kawan memberi saya sebuah buku
tentang Ilmu-ilmu Humaniora. Saya patut berterimakasih kepadanya atas pemberian itu.
Ketika menelusuri lembar-demi lembar buku itu, saya menemukan satu pembahasan tentang
masalah yang selama ini menjadi perhatian saya, bahkan sebelum saya menyusun buku ini.
Sungguh sangat disayangkan bahwa para penulis kita saat ini tidak begitu memedulikan
penerapan metode ilmiah dalam kajian ilmu-ilmu humaniora. Padahal, bagi saya, itulah satu-
satunya metode paling tepat, khususnya untuk membahas suatu objek seperti pemikiran etika
Ibn Khaldun. Penulis buku itu pun mengungkapkan kekecewaan yang sama terhadap
perkembangan itu. Ia mengatakan:
Ilmu-ilmu humaniora, atau rumpun ilmu yang digunakan untuk menganalisis berbagai
fenomena kemanusiaan, baik dari kajian individual maupun sosial, saat ini telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan itu sungguh berada di luar perkiraan kita
sebelumnya. Hal itu terjadi karena kita harus menggunakan ilmu-ilmu itu untuk mengantisipasi
pesatnya peradaban manusia. Perilaku dan peradaban manusia sesungguhnya diatur oleh hukum-
hukum ilmiah tertentu yang sangat mungkin untuk dianalisis dan diabstraksikan menjadi teori-
teori sosial, kemudian diterapkan untuk kegunaan manusia. Satu masalah penting yang kita
hadapi saat ini adalah bahwa sejarah manusia tak hanya menyuguhkan peradaban material, tetapi
mereka juga memiliki perilaku batin dan fenomena psikologis yang sangat sulit untuk dianalisis
secara rasional. Karena itu, langkah pertama yang harus kita lakukan saat ini adalah menguji
seluruh fenomena kebudayaan manusia dengan pengujian yang benar berdasarkan prinsip-rinsip
kebudayaan universal. Selebihnya, kita juga harus menganalisis perkembangan kebudayaan itu
sehingga teori-teori kemanusiaan yang kita kembangkan sesuai dengan gerak kebutuhan manusia
itu sendiri. Pada zaman sekarang kita membangun masyarakat kita dalam sebuah dunia yang
menjadikan ilmu sebagai metode. Tak hanya itu, manusia juga menganggap ilmu sebagai jalan
hidup mereka, tak hanya menjadi perangkat pelengkap dari suatu bangunan kebudayaan. Dengan
demikian, kita harus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dengan terus
melakukan analisis dan pengujian teoretis atas berbagai gejala kemanusiaan, serta terus berusaha
menyingkapkan berbagai hakikat kemanusiaan yang tak mengenal batas.
Rasanya saya tak perlu membeberkan rasa senang saya yang tak terhingga ketika
membaca buku itu. Penulis menyuguhkan suatu objek pembahasan yang berbeda dengan apa
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
7/197
yang selama ini saya lakukan. Melalui karyanya itu ia ingin memadukan antara pemikiran ilmiah
yang terdapat dalam fenomena-fenomena kemanusiaan secara umum dengan berbagai perangkat
ilmiah yang dibutuhkan. Saat ini kita menggunakan berbagai teori yang diadopsi dari luar untuk
diterapkan dalam menganalisis peradaban kita yang kompleks dan heterogen. Bagi saya, hal itu
cukup untuk memajukan disiplin ilmu-ilmu humaniora di negeri ini.
Lebih jauh, penulis buku itu mengajukan sebuah tanya: Sampai kapan kita terus
beranggapan bahwa kemajuan teknologi lebih cepat ketimbang kemajuan manusia? Saya
berkeinginan untuk memasukkan perangkat pemikiran ilmiah ke dalam kehidupan etika kita
sehingga kita bisa keluar dari gaya serta metode klasik yang terus digunakan dari dulu hingga
sekarang, yaitu tradisi memberi peringatan keras dan tegas serta nasihat-nasihat lisan yang terus
diwariskan dari zaman ke zaman, serta mewartakan kebanggaan akan masa lalu yang gemilang.
Kita tak pernah menyadari bahwa metode semacam itu tidak bisa memberikan pengaruh positif
terhadap generasi kita saat ini yang telah memiliki tradisi berpikir modern. Selain itu, tradisi
konvensional itu tak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan makna
dan etika. Tradisi itu hanya menghasilkan perdebatan yang tak kunjung akhir dan mewariskan
pemikiran tradisional hingga saat ini.
Pemikiran Ibn Khaldun tentang etika sesungguhnya tidak berbicara pada tataran
kemanusiaan secara umumbaik individual maupun sosialsebagai satu entitas yang terpisah
dari faktor-faktor material (al-masyiyah), serta pengaruhnya terhadap sejarah, dimensi kultural
dan peradabannya. Ibn Khaldun melihat manusia sebagai suatu entitas yang berhubungan erat
dengan kehidupan duniawi, dengan makanan yang dimakan sehari-hari, dengan berbagai ritual
yang mentradisi serta seperangkat hukum atau peraturan yang mengikat dan mengatur perilaku
mereka. Pemikiran Ibn Khaldun tentang etika tidaklah sama dengan pemikiran Ibn Sina atau al-
Farabi, atau pun pemikiran para filsuf Yunani seperti Plato dan Sokrates. Pemikirannya pun tidak
dibangun berdasarkan hukum-hukum etikanya Immanuel Kant yang berangkat dari nurani yang
bebas dan bersih; juga tidak sama dengan filsafat manusia yang dikembangkan oleh para filsuf
idealisme yang mengusung prinsip keberbedaan antara realitas manusia dengan idea, atau antara
realitas dengan impian. Pemikiran semacam itu terus menjejakkan pengaruhnya ke dalam
kehidupan manusia sejak zaman Plato sampai saat ini sehingga kita terus hidup dalam kehidupan
yang dipenuhi konflik dan pertentangan antara dimensi rasional dengan dimensi material. Dan
sesungguhnya konflik-konflik itu menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap melemahnya
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
8/197
pengaruh etika terhadap kehidupan manusia. Manusia mengalami perkembangan yang berbeda-
beda dalam setiap periode sejarahnya. Khususnya kita pada saat ini, mengalami kemajuan yang
pesat dalam bidang ilmu, peradaban, maupun ekonomi, tetapi dalam disiplin etika kita masih
terus bertentangan satu sama lain, seiring mencuatnya perkembangan dalam berbagai bidang
yang lain. Karena itu pulalah, peradaban kita saat ini terus diwarnai peperangan antara satu
kelompok atau bangsa dengan kelompok atau bangsa lain di tengah maraknya keinginan untuk
memasukkan pemikiran ilmiah ke dalam disiplin etika.
Selain itu, juga ada seruan untuk tetap membiarkan kajian tentang etika di dalam disiplin
filsafat dengan alasan bahwa disiplin etika tidak membahas atau menganalisis sesuatu yang
terjadi secara nyata, tetapi membahas sesuatu yang semestinya berlaku dan diterapkan oleh
individu maupun masyarakat. Dan bagi mereka, pembahasan semacam itu tidak layak untuk
dianggap sebagai disiplin ilmiah. Orientasi pengetahuan semacam itu saat ini terus mendapat
sokongan dalam berbagai pembahasan modern agar melepaskan dirinya dari perkembangan
teori-teori sosial-politik.
Saya berusaha untuk menganalisis karya monumental Ibn Khaldun yang berjudul
Mukaddimah untuk mengungkapkan pemikirannya tentang etika. Hal itu tetap saya lakukan
meskipun Mukaddimah tidak bisa merepresentasikan gejolak pemikiran Ibn Khaldun. Bila kita
mengetahui cara untuk memadukan semangat keilmuan modern ke dalam karya-karyanya, tanpa
mengabaikan berbagai ungkapan yang tidak pernah ia katakan, atau bila kita membiarkan diri
kita untuk memahami segala sesuatu yang ia katakan namun tak pernah ia maksudkan, segala
sesuatu yang tidak ia nyatakan dengan tegas, tetapi cukup dibimbing oleh pemikirannya yang
brilian, kemampuan observasinya yang sangat mengagumkan, serta pemahamannya terhadap
berbagai bidang kebudayaan dengan pemahaman yang tak ada bandingannya saat itu, bahkan
pengaruh pemikirannya terus melampaui zaman demi zamansebagaimana yang diakui oleh
banyak sarjana Barat saat ini, maka kita akan mampu menganalisis berbagai masalah
kemanusiaan saat ini sebagaimana dulu ia menganalisisnya. IbnKhalduntelah berusaha untuk
mengupas berbagai masalah yang rumit dan mengentaskannya dari keraguan. Dan satu hal yang
sangat penting dalam pembahasannya terhadap berbagai kemanusiaan yang sangat luas,
khususnya dengan fenomena yang kita alami saat ini adalah bahwa pembahasannya sangat sesuai
dengan kondisi masyarakat kita saat ini, sehingga menjadikannya sebagai satu-satunya pemikir
yang mampu menafsirkan berbagai cacat dan kelebihan kita, kesempurnaan dan kekurangan kita
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
9/197
dengan penafsiran ilmiah. Itulah pembahasan yang saat ini kita geluti tetapi belum mampu untuk
kita selesaikan.
Pembahasan ini saya bagi ke dalam tiga bab besar. Bab pertama berisi pemikiran tentang
etika dan kebudayaan, bab kedua mengupas masalah pemikiran tentang etika dan politik, serta
bab ketiga membahas masalah pemikiran etika dan peradaban.
Masing-masing bab terdiri atas enam pasal dan perlu saya kemukakan bahwa pembagian
setiap bab ke dalam enam pasal itu bukanlah sesuatu yang disengaja, tetapi begitu saja muncul
sesuai dengan kerangka pembahasan yang dibutuhkan. Bahkan penetapan ketiga bab tersebut
muncul setelah saya selesai mengurai kedelapan belas pasal yang telah saya tetapkan sebelumnya
dalam outline pembahasan.
Pasal pertama dari bab pertama membahas pemikiran filosofis Ibn Khaldun disertai
pembahasan tentang problem pengetahuan yang berhubungan dengan etika, sebagaimana yang
terdapat dalam pemikiran setiap filsuf. Saya memusatkan pembahasan pada masalah wahyu,
mukjizat, karamah, dan sihir, serta apakah Ibn Khaldun menganggap aspek-aspek metafisika itu
sebagai pengatahuan sejati, ataukah semua itu hanya elemen-elemen dari fenomena kejiwaan,
tidak termasuk ke dalam disiplin pengetahuan. Orientasi saya untuk membahas masalah-masalah
itu merujuk pada dua sebab berikut: Pertama, karena Ibn Khaldun menganggap aspek-aspek
metafisika itu sebagai bagian penting dari kebudayaan masyarakat yang berkembang saat itu,
bahkan hingga saat ini pun tetap menjadi aspek yang diperhitungkan dalam kehidupan
masyaraka kita. Kedua, saya menyimpukan bahwa sesungguhnya Ibn Khaldun mengakui
keberadaan aspek-aspek metafisika yang tidak bisa ditafsirkan secara ilmiah itu, tetapi
menentang dengan tegas upaya untuk memasukkannya sebagai salah satu aspek pengetahuan,
atau dinisbatkan kepada pengetahuan. Ibn Khaldun menganggap bahwa filsafat tidak mungkin
merasionalisasikan aspek-aspek itu untuk kemudian mengembangkannya sebagai pengetahuan
atau salah satu unsur unsur pengetahuan yang bisa dicerap oleh akal. Maka, segala sesuatu yang
tidak bisa diuraikan oleh rasio dengan pembahasan ilmiah yang jelas dan tegas, cukuplah untuk
diimani dan dilesapkan ke dalam keyakinan spiritual yang tentu saja lebih luas ketimbang
pemahaman rasional. Akal manusia telah memiliki medan pengetahuan tersendiri yang jelas dan
terbatas. Kita tidak boleh menggunakannya kecuali dalam segala sesuatu yang bisa mempertegas
keyakinan kita terhadap pengetahuan, pemahaman dan kajian ilmiah. Dan sesungguhnya ada
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
10/197
banyak hal yang bisa kita analisis jika kita mengetahui cara-cara yang tepat untuk
mendayagunakan akal kita dalam batas-batasnya yang telah ditetapkan.
Pasal kedua bab pertama mengungkapkan sejumlah solusi yang dikedepankan oleh
berbagai kebudayaan untuk menyelesaikan masalah yang muncul dalam bidang etika. Secara
khusus saya akan mengupas sumbangan kebudayaan Cina dan India dalam masalah ini.
Sesungguhnya peradaban timur kuno telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam
pemikiran etika. Tetapi peradaban barat modern, yang memberikan sumbangan besar terhadap
pemikiran kita tentang sejarah, mengabaikan dan menganggap remeh sumbangan peradaban
bangsa-bangsa timur itu. Mereka meyakini bahwa filsafat yang berkembang saat ini
sesungguhnya berasal dari Barat, tepatnya di dataran Yunani dan memuncak di Barat pula, yaitu
di Eropa. Hal itu merupakan egoisme dalam pemikiran yang selayaknya kita hindari.
Meski demikian, hal itu tidak menghalangi saya untuk mengkaji pemikiran filsafat etika
yang dikembangkan oleh seorang filsuf Yunani yaitu Aristoteles karena pemikirannya tentang
etika menjadi landasan penting bagi perkembangan pemikiran etika pada zaman modern
sehingga etika menjadi satu disiplin ilmu yang mandiri. Pemikiran etika pada zaman modern
meluas menjadi suatu perdebatan akademis yang senantiasa bergema hingga saat ini antara
kelompok yang menggunakan pemikiran ilmiah dalam etika dengan kelompok yang tetap
menganggap etika sebagai bagian dari filsafat. Pertentangan akademis ini perlu dikemukakan
untuk memahami lebih jauh pemikiran ilmiah dala etika yang dikembangkan oleh Ibn Khaldun,
serta perkembangan-perkembangan baru yang muncul kemudian.
Pasal ketiga mengupas perbandingan antara metode yang digunakan oleh Ibn Khaldun
untuk membahas etika dengan para filsuf Muslim yang lain, dan dengan para filsuf Yunani, serta
dengan Santo Agustinus, sebagai wakil dari filsuf Kristen. Satu perbedaan penting antara
pemikiran Ibn Khaldun dengan para filsuf lain adalah bahwa mereka menganggap manusia
sebagai entitas yang mandiri dan khas, terlepas dari realitas duniawi yang nyata, sehingga
mereka melesakkan sejumlah kemestian manusiawi dan nilai-nilai moral-ideal ke dalam segala
sesuatu yang tidak sesuai dengan realitas manusia yang diliputi oleh berbagai konflik, kesulitan
dan masalah. Ibn Khaldun menganggap bahwa sekolah yang sebenarnya bagi manusia untuk
mempelajari segala sesuatu yang bisa direalisasikan oleh mereka dalam kehidupan moral adalah
sejarah manusia itu sendiri, dengan syarat bahwa sejarah itu tidak kosong dari berbagai
peristiwa, tetapi bisa menguraikan sebab-sebab munculnya suatu peristiwa. Dengan demikian,
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
11/197
sejarah manusia menjadi satu aspek yang sangat penting yang di dalamnya kita bisa menemukan
sejumlah ibrah atau pelajaran moral. Banyak dari sejarahwan yang mengungkapkan suatu
peristiwa historis tetapi tidak mampu menyingkapkan berbagai ibrah dari sejarah itu sendiri
melalui analisis, serta tidak mau menggunakannya untuk menyingkapkan realitas dari berbagai
peristiwa. Jika saja para sejarahwan memasukkan unsur analisis ke dalam disiplin sejarah yang
mereka geluti, maka sejarah tidak hanya menjadi filsafat sejarah serta ibrah ilmiah dalam
pemikiran etika, tetapi kita juga bisa mengabstraksikan sejumlah kekayaan ilmiah lain yang
meliputi bidang-bidang pemikiran humaniora lainnya, seperti bidang sosial, ekonomi, politik,
agama, dan lain-lain. Sungguh mengagumkan bahwa semua hal itu disentuh oleh Ibn Khaldun
dalam pemikirannya tentang etika, disertai keluasan, kedalaman dan kecerdasan analisisnya yang
brilian.
Pasal keempat mencoba mengungkapkandari berbagai keistimewaan Ibn Khaldun
metode yang ia gunakan untuk membahas masalah etika. Dan nyatanya, metode yang ia gunakan
itu hampir serupa dengan metode-metode modern yang diterapkan oleh para pemikir
kontemporer dalam kajian etika. Selain itu, bagian ini pun akan membahas kembali posisi
pemikiran filsafat Islam dalam kajian etika, serta berbagai pendapat para pemikir modern tentang
hal itu. Kita akan mendapati bahwa Ibn Khaldun menempati posisi yang istimewa dalam bidang
tersebut. Namun kemudian muncul masalah, apakah Ibn Khaldun memang secara sengaja
berusaha untuk memasukkan pembahasan tentang etika di dalam Mukaddimah-nya, ataukah kita
saat ini yang berusaha meyakinkan adanya pembahasan etika dalam karya terkenalnya itu,
sebagaimana kita mengemukakan berbagai kajian lain semisal kajian sosiologi, ekonomi, dan
filsafat sejarah. Tetapi bukan masalah penting apakah Ibn Khaldun memaksudkan pembahasan
etika dalam karyanya atau tidak, tetapi yang penting adalah bisakah kitadi tengah
perkembangan tradisi ilmiah yang sangat pesatuntuk mengabstraksikan pemikiran tentang
etika dari karyanya yang sangat besar itu, ataukah kita tidak mampu melakukannya? Dan
khususnya menyangkut pemikiran tentang etika, kami melihat adanya satu bahasan penting yang
dikemukakan oleh pemikir modern yang menentang untuk melihat etika dari kajian eksternal.
Teori modern tentang etika mengemukakan bahwa etika tidak bisa dianalisis dengan
melepaskannya dari aspek internal manusia, serta dari unsur terpenting yang ditinggalkan oleh
para pemikir klasik tentang etika. Teori etika modern menentang kecenderungan para pemikir
klasik yang menjadikan moralitas sebagai realitas yang jauh dan berjarak dari kehidupan
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
12/197
manusia nyata. Teori etika modern menyatakan dengan tegas: kita tidak mungkin menganaslisis
dan menafsirkan berbagai peristiwa yang terjadi tanpa sebelumnya mengetahui realitas yang
meliputi peristiwa itu. Sama halnya, kita tidak bisa mengobati seseorang yang sakit fisik sampai
mengetahui dimensi psikis yang meliputinya. Materi pertama yang sangat penting bisa kita
temukan dalam karya Ibn Khaldun dengan standar yang mendekati kesempurnaan ilmiah,
meskipun kita mendapati kekurangan dalam pemikirannya.
Metode yang digunakan oleh Ibn Khaldun dengan menganalisis aspek eksternal dalam
kehidupan nyata manusia membuatnya sampai pada kesimpulan bahwa manusia bermoral
bukanlah manusia yang digambarkan oleh filsafat sebagai sesuatu entitas yang menetapi
kemestian dan ketentuan nilai-nilai ideal, tetapi manusia yang diciptakan dalam kehidupan ini
untuk berjuang: jiwanya berjuang melawan jasadnya, akalnya bertentangan dengan naluri-naluri
kemanusiaannya; struktur jiwa dan fisiknya senantiasa berjuang menghadapi lingkungan alam
yang meliputinya, juga lingkungan geografis, sosial, peradaban, dan politiknya. Di dalam dan
melalui seluruh perjuangan itulah manusia menjadi hamba bagi zat yang menciptakan dan
mengaturnya. Karena itulah, bagi Ibn Khaldun, manusia adalah anak dari kebiasaan dan adat
tradisinya, bukan anak dari alam dan lingkungannya (mazj). Dengan kata lain, sesungguhnya
yang mengatur perilaku manusia adalah aspek-aspek eksternal, bukan kehendak-kehendak
internal atau aspek-aspek kejiwaan. Konsep pemahaman semacam ini pada gilirannya
memunculkan beberapa pertanyaan penting yang mesti dihadapi oleh Ibn Khaldun dalam
pembahasannya tentang etika, yaitu: apakah manusia diciptakan untuk menetapi aspek-aspek
eksternalnya semata? Lalu, apa bedanya manusia dengan ikan, hewan, atau dengan tumbuhan
lain, seandainya ia tidak memiliki kehendak (internal) untuk mengubah dan mendayagunakan
aspek-aspek eksternal itu dan memanfaatkannya bagi kehidupan? Juga jangan dilupakan bahwa
masalah ini telah menjadi bagian paling sulit dalam kajian tentang etika, baik dalam pemikiran
klasik maupun kontemporer. Masalah ini menyangkut kajian tentang nurani dan kebebasan
manusia serta kekuasaanya untuk menciptakan jalan hidupnya sesuai dengan kehendaknya
sendiri. Dengan ungakapan lain, apakah manusia yang mengubah aspek-aspek eksternal, ataukah
aspek-aspek eksternal yang mengubah dan mentransformasikan manusia? Bahkan Alquran pun
berbicara tentang masalah ini:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah (keadaan) suatu kaum hingga mereka
mengubah (keadaan) mereka sendiri.
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
13/197
Ayat itu mengungkapkan bahwa Alquran sendiri mengakui kekuatan internal yang
dimiliki manusia, suatu aspek yang tampaknya tidak menjadi pusat perhatian Ibn Khaldun dalam
pembahasannya tentang etika. Sejauh yang kita dapatkan dari karya-karyanya, Ibn Khaldun
menganggap bahwa manusia selamanya berada dalam tegangan konflik dengan realitas yang
meliputinya, tetapi hanya ada sedikit manusia yang selamat keluar dari konflik tersebut. Dengan
demikian, jika kita ingin menguraikan segala perubahan yang terjadi dalam kehidupan internal
manusia, maka kita harus melihat perubahan itu dari aspek eksternalnya, dan aspek eksternalnya
itulah yang kemudian mengubah struktur internalnya.
Kekurangan Ibn Khaldun dalam prinsip ini tampak jelas dalam seluruh tema yang kita
abstraksikan dari pemikiran filsafat moralnya, karena ia beranjak dari realitas dan kemestian
menuju batas terjauh yang kadang-kadang menafikan contoh-contoh ideal yang semestinya
dilekatkan dalam kajian tentang etika, baik dari sisi ilmiah maupun lingkungan eksternal. Dan
kami berusaha untuk tidak menyembunyikan kekurangan itu dalam kajian ini, tetapi berupaya
untuk mengungkapkan dalam setiap bagian beberapa pembahasan yang berhubungan dengan hal
itu.
Pasal keenam, atau bagian terakhir dari bab pertama mengupas kebutuhan masyarakat
Arab dari sisi etikasebagaimana diuraikan oleh Ibn Khaldundalam setiap tingkat
keberadaannya: baik masyarakat perkoataan yang beradab maupun masyarakat pedesaan yang
terbelakang, baik dari sisi politik, sosial, psikologis, maupun moral. Bagi kami, bagian ini
merupakan bagian yang cukup menguras pemikiransebagaimana yang bisa Anda lihat
kemudiankarena ia menempatkan manusia Arab di depan mahkamah sejarah. Meski demikian,
ia tidak menuduh mereka, tetapi berusaha menganalisis setiap gerak perubahan mereka sesuai
dengan perjalanan sejarah, serta dalam berbagai aspek yang meliputi dan memengaruhi
kehidupan mereka. Ibn Khaldun menganalisis berbagai perubahan sosial masyarakat Arab
dengan analisis yang didasarkan atas aspek-aspek eksternal kehidupan manusia yang mengatur
setiap laku mereka. Tak sedikitpun ia membahas kehendak manusia serta pertentangan batinnya,
ataupun prinsip-prinsip yang dengannya mereka memperteguh keyakinan untuk mengantisipasi
pengaruh aspek-aspek ektsternal itu dalam perjalanan hidup mereka, serta menetapkan
kewajibannya atas semua upaya itu. Satu capaian penting Ibn Khaldun dalam pemikiran etika
adalah analisisnya bahwa masyarakat Arab memiliki jiwa yang sederhana dan cenderung pada
berbagai perkara yang sederhana. Karakter itulah yang menjadikan masyarakat Arab sebagai
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
14/197
masyarakat yang lemah sepanjang sejarah. Atau paling tidak, masyarakat Arab tertinggal jauh
dari perkembangan kebudayaan yang berkesinambungan dari satu periode ke periode berikutnya.
Mereka juga tidak mampu menegakkan aturan-aturan yang bisa tegak mngikuti gerak peradaban
sebagaimana yang dimiliki oleh bangsa-bangsa lain, baik yang hidup sebelum, sezaman atau pun
yang akan muncul di masa depan. Karakter gampangan dan kecenderungan menyederhanakan
berbagai masalah itulah yang membuatnya lemah menghadapi setiap tantangan zaman.
Masyarakat Arab pedesaan dikenal sebagai masyarakat yang pemberani karena lingkungan yang
keras mengharuskan mereka bersikap seperti itu, sedangkan masyarakat kotanya cenderung
bersikap lemah dan kekanak-kanakan karena horison kota mewarnai mereka dengan karakter
tersebut. Sikap mudah menyerah terhadap gejala eksternal telah menjadi karakter alami orang
Arab. Apakah Ibn Khaldun melakukan kesalahan dengan mengungkap kekurangan itu?
Bab kedua tentang etika dan politik dalam pemikiran Ibn Khaldun dimulai dengan pasal
pertama (atau pasal ketujuh dari seluruh bahasan) yang mengupas masalah kenegaraan Arab
ditinjau dari prinsip-prinsip realitasnya. Ia mengawalinya dengan menganalisis konsep negara di
Yunani kemudian membandingkan dengan kenyataan yang terjadi di bangsa-bangsa Arab yang
menjadi sandaran Ibn Khaldun dan mengabaikan prinsip-prinsipnya yang merupakan kemestian
bagi tegaknya suatu bangsa. Sejak awal Ibn Khaldun lebih memperhatikan kenyataan yang
terjadi dalam kehidupan manusia. Ia tidak pernah berangkat dari prinsip-prinsip yang tidak
diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dari pijakan ini kita bisa mendapati bahwa bagi
Ibn Khaldun, bangsa Arab dibangun atas prinsip-prinsip moral yang tidak ditemukan dalam
konsep negara di Yunani maupun di Romawi. Tetapi dari tataran realitas kita mendapati sesuatu
yang berbeda, bukan Islam, bukan pula Yunani, tetapi sebagai sebuah negara yang tidak tunduk
pada prinsip atau aturan apapun, yaitu prinsip realitas; dan bukan pula negara hukum (syariah).
Itulah yang menjadi prinsip dalam konsep negara Arab, kecuali yang terjadi pada masa empat
puluh tahun awal kebangkitan Islam.
Karena itulah kita mendapati bahwa Ibn Khaldun dalam analisisnya terhadap konsep
kebangsaan Arab dan etikanya menafikan dimensi hukum dan perundang-undangannya serta
bentuk-bentuk aturan lainnya. Ia menekankan analisisnya terhadap pemahaman jahiliyah yang
sejak dulu dijadikan panutan oleh penguasa Arab pra-Islam, yaitu konsep negara-suku (al-
qablah). Bahkan, dimensi etis yang memperindah struktur negara, bukanlah bagian dari syariat
yang telah diwajibkan oleh Islam kepada setiap penguasa. Pemahaman semacam itu didapati di
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
15/197
antara mereka sejak masa pra-Islam dan tetap bertahan hingga masa setelahnya, seakan-akan
syariah tetap diabaikan dalam kehidupan bangsa-bangsa Arab. Aspek syariah tidak menjadi
pijakan untuk mengembangkan peradaban yang telah dibangun atas prinsip-prinsip etika yang
dibawa oleh Nabi saw., yang kemudian dilanjutkan oleh para khalifah setelahnya.
Pemahaman jahiliyah terhadap konsep kenegaraan ini menggiring Ibn Khaldun untuk
membahas realitas konflik dalam suatu bangsa, karena negara tidak berdiri atas dasar-dasar
agama maupun rasio, tetapi dibangun atas dasar kesukuan. Bagi Ibn Khaldun, konsep kesukuan
terbentuk karena dua karakter yang dimiliki masyarakat Arab: pertama karakter untuk terikat dan
bersatu dalam satu tujuan sebelum mereka mencapai kekuasaan. Kedua adalah karakter bercerai-
berai dan berpecah-belah serta bertentangan di antara sesama mereka yang memunculkan
perpecahan dan perebutan kekuasaan juga keinginan untuk mendominasi kesejahteraan setelah
mereka mendapatkan kekuasaan. Dengan kata lain, seluruh anggota suatu negara pada awalnya
menyatukan diri dan menyamakan tujuan serta merapatkan barisan untuk berjuang mencapai
tujuan mereka. Kemudian mereka diceraiberaikan oleh hasrat mendapatkan harta dan yang
semacamnya. Dalam hal ini, Alquran menegaskan:
meskipun kau berikan seluruh yang ada di bumi, sungguh engkau tak akan mampu
mendamaikan hati-hati mereka.
Sebagai tambahan terhadap realitas perpecahan yang terjadi, Ibn Khaldun
mengemukakan bahwa bangsa Arab sepanjang sejarahnya tidak pernah sukses menegakkan
peraturan atau undang-undang yang mengatur seluruh elemen masyarakatnya, dan tidak pernah
bisa menciptakan suatu sistem politik yang mantap sebagaimana yang pernah dikembangkan di
Yunani dan Romawi. Kekuatan politik terrepresentasikan dalam kekuatan suku yang mengatur
seluruh tatanan masyarakat kemudian hancur karena perpecahan yang mereka alami, sedangkan
peran pemikiran politik dari para fuqaha, para filsuf, politisi dan para budayawan secara umum,
menjadi peran negatif di hadapan kenyataan yang menakjubkan ini. Karena itulah Ibn Khaldun
menganggap sifat bangsa Arab itu sebagai sifat alami yang tidak bisa diubah atau disembuhkan.
Baginya, yang bisa dilakukan hanyalah bersungguh-sungguh menganalisis secara ilmiah,
menggunakan analisis yang sesuai dengan pemahaman kita atas realitas bangsa Arab. Tetapi
upayanya itu baru sampai pada titik ini, belum mampu memberikan solusi yang tepat untuk
masalah yang dihadapi bangsa Arab.
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
16/197
Pasal kesembilan mengungkapkan masalah lain yang berhubungan dengan perpecahan
bangsa Arab, yaitu masalah ekonomi dan moralitas bangsa Arab. Dalam bidang ini kita
mendapati kelemahan yang merata dalam bidang ekonomi dan pemberdayaan keuangan pada
bangsa Arab. Hal ini terjadi tanpa menafikan kenyataan bahwa Alquran, hadis Nabi saw., dan
kebijakan khalifah Abu Bakar, Umar dan Ali mengutamakan pentingnya etika untuk mengatasi
masalah keuangan dan pengaturannya serta menetapkan berbagai aturan yang menjauhkan para
penguasa Arab dari kemungkinan terjerumus ke dalam jurang godaannya yang tak pilih bulu.
Sesungguhnya sikap mengumpulkan dan memupuk harta untuk kepentingan sendiri telah
menggejala sejak zaman sahabat Nabi saw, kemudian semakin marak seiring dengan terjadinya
perluasan wilayah Islam dan mengalirnya berbagai upeti dari negeri-negeri taklukan. Keadaan itu
diperburuk oleh penguasa yang mendayagunakan ekonomi negara dalam berbagai hal yang
melenceng dari hukum atau undang-undang. Berdasarkan kehancuran kecil dan dari sisi
lemahnya peraturan dalam bidang keuangan, Ibn Khaldun mengungkapkan berbagai jenis
kejahatan finansial yang dilakukan oleh negara Arab, bukan masyarakatnya, sehingga mereka
digambarkan sebagai orang-orang yang senang berlomba untuk mengumpulkan harta dengan
jalan yang sah maupun tidak sah. Mereka tak lagi peduli, bahkan jika harus mendapatkannya dari
sumber-sumber yang terlarang hanya agar bisa tampil di hadapan para penguasa sebagai orang-
orang yang berduit dan berkuasa, khususnya ketika para penguasa itu sedang mendapat masalah,
atau harus mengerahkan pasukan yang disewa untuk mempertahankan kekuasaan mereka; orang-
orang berduit itu siap berada di balik layar melimpahkan bantuan materialnya. Ibn Khaldun tidak
lupa untuk menganalisis tema ini, dengan mengungkapkan pemikiran tentang tertahannya
masyarakat umum untuk bekerja karena adanya kezaliman dari para penguasa dan orang-orang
kaya. Meski demikian, mereka terus berjuang ketika melihat bahwa hasil kerja keras mereka
mengalir memenuhi kantong-kantong para penzalim. Sesungguhnya hal itulah yang
menyebabkan merebaknya kekafiran di tengah masyarakat. Puncaknya adalah ketika rakyat
kebanyakan yang semakin lemah terus dipaksa untuk bekerja keras sedangkan mereka tidak
punya kesempatan sama sekali untuk menikmati jerih payahnya dan untuk memperbarui
semangatnya, atau mendapatkan hasil kerja mereka dengan bagian yang layak. Sebuah negara
merupakan pasar besar tempat berputarnya harta masyarakat, datang dan pergi sesuai dengan
hukum kapital. Ketika masyarakat telah kehilangan rasa aman dan perlindungan atas hartanya,
dan mereka kehilangan hasrat untuk menikmati jerih payah mereka, maka mereka akan berlepas
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
17/197
tangan dari pekerjaan dan serta merta, terputuslah aliran pemasukan untuk mereka, juga untuk
penguasa.
Pasal kesepuluh berbicara tentang kedudukan moral dan etika dalam konsep kenegaraan
di Arab ketika mereka berada dalam keadaan miskin atau berlimpah. Dengan kata lain,
bagaimanakah penguasa-penguasa Arab menerapakan strategi untuk menghadapi kemiskinan
yang dirasakan oleh masyarakat bawah sebelum mereka menerapkan hukum negara, hingga
mencapai kemewahan dan keberlimpahan, setelah bagaimana mereka menerapkan hukum
negara, dengan strategi yang bisa mempercepat hilangnya derita dan bencana. Kemewahan dan
keberlimpahan lebih ditekankan oleh Ibn Khaldun sebagaimana oleh para filsuf lain yang
berkutat dalam pemikiran politik. Kemewahan sejak dahulu hingga sekarang menjadi ancaman
paling penting yang membahayakan negara dan masyarakat, itulah yang disebut oleh Ibn
Khaldun sebagai wabah, bencana yang membunuh dan menghancurkan negara dengan
kehancuran yang lebih dahsyat ketimbang serangan musuh dari luar. Kemewahan dan
keberlimpahan material yang dialami oleh bangsa Arab terjadi dengan peralihan yang sangat
cepat, berkesinambungan dan tak terjangkau oleh bangsa-bangsa lain. Ibn Khaldun membahas
masalah ini dengan analisis yang mendalam dan cerdas. Di samping itu, ia juga mengungkapkan
adanya penyakit alami bangsa Arab yang sulit untuk disembuhkan. Dalam hal ini, Ibn Khaldun
berhenti di tengah jalan dari kemestian untuk membahas dimensi etis dari masalah tersebut. Dan
kita mendapati bahwa banyak sufi dan sebagian besar ulama yang menentang merebaknya gaya
hidup mewah di negara dan masyarakat. Berbeda dengan Ibn Khaldun, mereka memandang
bahwa hal itu bukanlah sifat alami masyarakat Arab. Perlawanan yang mereka lakukan sifatnya
negatif karena jauh dari analisis ilmiah, dan mencukupkan diri dengan nasihat-nasihat dan
peringatan keras.
Ibn Khaldun membahas hubungan antara kemewahan dan keberlimpahan yang dirasakan
oleh para penguasa dan masyarakat dengan munculnya pemberontakan dan perlawanan.
Sayangnya, kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan itu adalah orang-orang saleh yang
sangat jauh dari kemungkina sukses karena tidak memiliki syarat-syarat kesuksesan. Mereka
tidak memiliki kekuatan material yang sangat dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan. Mereka
juga tidak memiliki pengetahuan atau rujukan dalam bidang hukum dan pemerintahan. Pada
waktu-waktu tertentu mereka melakukan pemberontakan, bukan untuk merusak, tetapi untuk
menikmati cita-cita yang dilupakan oleh para penguasa. Karena itu dalam argumen Ibn Khaldun
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
18/197
tentang pemberontakan mereka, kita tak akan mendapatkan adanya simpati darinya, tetapi ia
melihat pemberontakan itu semata sebagai kekacauan (chaos) yang muncul dari situasi
kehidupan sosial yang tak menentu, bukan muncul sebagai kesadaran yang sejati.
Kesaling pengaruh yang tak kunjung habis antara kemewahan negara dan kekacauan
situasi sosial, dan yang membentuk kehidupan bangsa Arab dalam struktur pemerintahan dan
masyarakat, telah menjauhkan mereka dari perkembangan yang benar. Karena itulah kita,
bersama Ibn Khaldun, akan memasuki pembahasan baru yaitu: apakah masyarakat Arab
mengetahui perkembangan atau siklus kehidupan politiknya? Sebelum memasuki pembahasan
politik itu, Ibn Khaldun mengungkapkan pembahasan dari kajian filsafat dan alam sehingga ia
bisa mengungkapkan unsur-unsur baru dalam masalah perkembangan alami. Ia menjelaskan
bahwa perkembangan alami akan sampai pada kemustahilan berkembangnya suatu keadaan
menuju keadaan yang lain. Ia membukakan kepada kita suatu lapangan teoretis baru tentang
perkembangan sosial yang tidak dapat kita ketahui selain pada masa modern. Tetapi dalam
menerapkan teori ini dalam bidang sosial dan politik, kita mendapati perkembangan yang
terbalik dalam suatu siklus yang tidak pernah maju ke muka: setiap bangsa tercipta dari
kesempitan dan berakhir dalam kemewahan dan kehancuran. Kemudian muncul lagi bangsa yang
baru dari asal yang sama untuk kemudian berakhir dalam keadaan yang sama. Begitulah, setiap
bangsa berputar dalam suatu siklus yang kosong, kadang-kadang masyarakat berlindung di
bawah keadaan yang sempit, tidak bisa berinteraksi dengan siklus tersebut dan tidak mengetahui
perkembangan yang semestinya. Dari siklus perkembangan yang berujung pada terbentuknya
negara itulah Ibn Khaldun mengungkapkan pemikirannya yang brilian tentang perkembangan
negara yang disamakan dengan perkembangan manusia. Ia juga menganalisis bahwa
perkembangan yang terjadi dalam kehidupan sosial mengikuti garis perkembangan ini: revolusi
pemikiran dan ideologi terjadi dalam dari kehidupan sosial dalam bisang psikologi, peradaban
dan etika. Muncl orang-orang yang menghidupkan masalah itu. Mereka menjadi propagandis
utama yang bekerja untuk mengembangkan pemikiran dengan keberanian dan semangat juang
yang tinggi. Kemudian diikuti oleh bangkitnya kalangan pekerja yang bekerja keras memenuhi
penghidupan mereka. Lalu tidak lama kemudian, perkembangan terhenti begitu saja; ilmu-ilmu
syariat tidak berkembang untuk membandingi perkembangan masyarakat yang datang untuk
mengaturnya. Segala perjuangan dan kerja keras yang dikerahkan oleh para ulama untuk
mengembangkan syariat berhenti pada tataran individual yang tidak memberikan keuntungan apa
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
19/197
pun. Berbeda dengan kaum gereja, para penegak syariat tidak sampai pada pemikiran untuk
mendirikan majelis keagamaan yang di dalamnya berbagai masalah didiskusikan sehingga
perkembangannya sejalan dengan perkembangan sosial. Mereka hanya menetapkan berbagai
perkara yang masih tegak hingga saat ini. Hasilnya, agama terpisah dari kehidupan sebagaimana
ilmu terpisah dari agama. Perjuangan untuk agama tinggal kata-kata semata. Para ulama
menafsirkan fenomena keagamaan seperti menefsirkan mimpi. Agama terpisah dari kenyataan
hidup yang sebenarnya.
Pasal terakhir dari bab kedua membahas masalah-masalah ekonomi. Tegasnya,
membahas salah satu unsur yang sangat erat kaitannya dengan etika dalam kehidupan ekonomi,
yaitu unsur pekerjaan. Dan sangat mengagumkan, Ibn Khaldun memandang penting masalah ini
dalam kehidupan masyarakat, kemudian ia memberikan solusi, sebagaimana yang kita lakukan
hari ini, atas masalah itu. Ia menganalisis masalah ini dengan analisis filosofis kultural.
Kemudian melengkapinya dengan analisis terhadap kenyataan dalam sejarah masyarakat. Ia
mengemukakan adanya keterikatan antara pekerjaan dengan pemikiran di satu sisi, dan amal
serta pikiran dengan pertolongan sosial di sisi lain. Lalu, bagaimana hubungan segitiga antara
ketiga perkara itu dalam kehidupan masyarakat membentuk apa yang kita sebut saat ini sebagai
peradaban, kemajuan dan kesejahteraan. Kemajuan sesungguhnya dalam kehidupan suatu bangsa
tidak terletak pada dipenuhinya kas negara oleh emas atau uang, tetapi ditunjukkan oleh
semaraknya pekerjaan yang dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat sehigga mereka seakan-
akan menjelma sebagai sekelompok lebah. Setiap orang bekerja dalam bidangnya masing-
masing dan menghasilkan produk yang menghidupi manusia. Pemikiran diterapkan ke dalam
pekerjaan sehingga setiap pekerjaan berjalan teratur. Selain itu, kerjasama juga menghiasi setiap
langkah pekerjaan sehingga mereka mampu membangun negara menuju kemajuan yang nyata.
Setiap pekerja bergandeng tangan dengan para ilmuwan dan para pemikir.
Tetapi dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut kita akan menghadapi masalah status
sosial. Masalah ini juga dibicarakan oleh Ibn Khaldun. Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat
Arab terdapat golongan penguasa yang berbeda dengan golongan awam; lalu ada satu golongan
sosial lain yang memiliki kedudukan penting yaitu golongan saudagar atau para pedagang.
Golongan ini pada kenyataannya tidak bekerja dan tidak menghasilkan apa pun tetapi masyarakat
menjadikan mereka sebagai tumpuan kehidupan. Sedangkan golongan pekerja menggeluti
berbagai bidang pekerjaan dan produksi. Tetapi orang Arab tidak memiliki salah satu bidang
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
20/197
pekerjaan khusus dari sejumlah lapangan kerja yang ada karena mereka menganggap hina dan
merendahkannya. Selain itu, jiwa pedesaan (baduwi) masih tampak mendominasi berbagai
bidang kehidupan di perkotaan. Semangat pedesaan itu mewarnai gerak pekerjaan mereka.
Padahal pekerjaan merupakan motor penggerak peradaban dan dasar kemajuan suatu bangsa.
Kesalahan terbesar masyarakat Arab, dalam pandangan Ibn Khaldun, bukanlah karena mereka
tidak bekerja, tetapi karena mereka tidak menghormati pekerjaan dan tidak memuliakannya.
Mereka lebih suka menghina orang lain dalam pekerjaannya dan tidak mau memberikan upah
kepada mereka. Karena itu, orang-orang menjadi malas bekerja dan secara otomatis laju
peradaban pun menjadi tersendat. Itulah yang menjadi pokok pembicaraan Ibn Khaldun tentang
etika dan hubungannya dengan peradaban. Hingga saat ini kita masih tidak mempercayai
pekerjaan atau usaha sebagai kekayaan yang bisa diwariskan kepada anak cucu; kita
mempercayai kekayaan dan limpahan material sebagai satu-satunya bekal yang bisa diwariskan
kepada anak cucu kita.
Dengan berakhirnya pembahasan pasal ini, kita memasuki bab ketiga yang membahas
masalah peradaban dan etika. Pasal pertama membahas masalah pemikiran keagamaan dalam
masyarakat Arab. Dalam bagian ini ada satu pokok penting tentang kedudukan Islam dalam
membangun masyarakat. Islam menjadikan etika sebagai dasar kemajuan masyarakat. Ibn
Khaldun menganggap bagian terpenting dari etika dalam Islam adalah menghidupkan aspek
internal manusia, atau yang saat ini kita sebut hati nurani. Tetapi aspek tersebut cenderung
berubah menjadi aspek kuasa eksternal yang mengebiri kejantanan dan keberanian masyarakat
Arab.
Ketahuilah bahwa Islam tidak hanya mengurusi dimensi etika. Islam merupakan prinsip
dasar trejadinya kemajuan peradaban yang tadinya didominasi oleh pemikiran yang terbelakang
di tengah masyarakat yang ummi. Dan sangat disayangkan bahwa Islam yang telah membawa
masyarakat Arab keluar dari peradaban buta huruf, dan mencapai kemajuan peradaban manusia,
tidak mampu menjaga dan mempertahankan pengaruh peradaban tersebut, serta efek lain berupa
pemikiran baru dan berbagai penemuan baru dari kesederhanaan Islam serta keselamatannya
yang murni. Dan hal ini terjadi setelah masyarakat mendapat berkah dari perjuangan besar yang
dilakukan oleh para pemuka agama dan sejumlah pemikir untuk menangkis berbagai pemikiran
asing, serta untuk memelihara ruh Islam sebagaimana awal perkembangannya. Perjuangan besar
yang mereka lakukan itu merupakan upaya untuk menyebarkan dakwah Islam melalui jalan
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
21/197
peradaban, pemikiran dan dakwah. Dengan cara itulah mereka bisa menghilangkan kebodohan
dari masyarakat yang tidak mengetahui keadaan bahasa ataupun bangsanya sendiri. Kesuksesan
mereka dalam bidang ini, atau dalam penyebaran syiar Islam dan pendalaman dakwah Islam
dalam kehidupan masyarakat, tidak terganggu oleh kesuksesan bangsa lain yang telah
menyebarkan keyakinan mereka di tengah manusia. Tetapi kerja keras dan perjuangan tersebut
tidak disertai oleh pengembangan dasar-dasar agama dan konsistensi mereka di atas dasar-dasar
agama itu. Karena itu, para pemuka agama menjadi elemen ruhani, sosial dan peradaban, atau
elemen etika dalam agama; elemen inilah yang dianggap oleh Ibn Khaldun sebagai keistimewaan
mendasar dalam Islam.
Kemudian terjadi periode kejumudan masyarakat yang diperparah oleh kejumudan dalam
bidang fiqih. Para pemuka agama atau para ahli fiqih melancarkan peperangan terhadap
kebebasan berfikir secara filosofis sehingga mereka mengharamkan diri mereka, juga masyarakat
umum, untuk mengembangkan peradaban secara lebih luas. Karena itu, filsafat tetap menjadi
pemikiran tanpa masyarakat, dan fiqih menjadi bidang ilmu yang tanpa pemikiran. Tak hanya
itu, pada giliran berikutnya, mereka menjadi penentang terhadap setiap upaya pembaruan dalam
bidang agama, bahkan terhadap orang-orang yang bukan filosof sebagaimana yang terjadi di
maghrib, mereka menentangnya dengan keras, hingga Ibn Khaldun sendiri membahas mereka
dan membandingkannya dengan para pejuang awal yang berjuang bersama-sama Nabi saw, dan
bagaimana mereka menganggap agama sebagai penolong untuk menyelamatkan manusia dari
kehidupan yang hina. Begitulah perkembangan pemikiran agama di tangan para pemuka agama
di tengah-tengah pertentangan yang pengaruhnya tetap terasa hingga kini.
Pada pasal yang ke empat belas saya membahas pemikiran keagamaan yang
disandingkan dengan pemikiran tasawuf. Hal itu berhubungan erat dengan pembahasan Ibn
Khaldun tentang etika. Selain itu, pemikiran tasawuf telah dan hingga saat ini menduduki peran
yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan ini terungkap dalam suatu
gambaran istimewa yang meliputi pemikiran dalam bidang etika dan filsafat. Kesimpulan Ibn
Khaldun tentang masalah ini menegaskan bahwa tasawuf dalam masyarakat Islam telah menjadi
satu disiplin keras atas hawa nafsu dan meniadakan keterikatan pada kelezatan duniawi. Orang-
orang yang menempuh jalan ini bersikap zuhud terhadap dunia. Dan ketika sebagian besar
masyarakat terlelap dalam kemewahan dan keberlimpahan, sekelompok orang mengasingkan diri
dengan memperbanyak ibadah kepada Allah. Kemudian mereka menciptakan praktik-praktik
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
22/197
tertentu yang didasarkan atas pemikiran spiritual dan konsep asketisme Kristen dalam bentuk
yang baru. Selain itu, mereka juga biasanya menafikan pemikiran filosofis dalam tradisi yang
mereka kembangkan. Kecerdasan Ibn Khaldun dalam hal ini terungkap ketika ia
memperkenalkan fenomena-fenomena kejiwaan dalam tasawuf seperti perjuangan (mujhadah),
penyingkapan (musykafah), dan karamah, tetapi dengan syarat semua itu mesti selaras dengan
ajaran etika yang lurus; jika tidak maka semua itu dianggap sebagai praktik asing dan sihir yang
dekat dengan kekafiran. Bagi Ibn Khaldun, tasawuf dianggap sebagai perjuangan jiwa seorang
individu Muslim, tetapi ia enggan mengakuinya sebagai struktur sosial yang dibangun atas dasar
prinsip-prinsip sosial. Di sini, kami mengemukakan perbandingan antara Ibn Khaldun dengan
Gibb, ternyata keduanya memiliki kesamaan dalam metode analisis terhadap tasawuf, juga hasil
dari analisis mereka. Sebagaimana perbandingan atara pemikiran tasawuf, kesusasteraan, atau
disiplin simbol pada masa sekarang, yang ketiganya memiliki kesamaan yang menunjukkan
bahwa jiwa manusia selalu tertarik pada alam rahasia dan pembahasan tentang hal itu akan
menyingkapkan rahasia-rahasia itu, yaitu bahwa ketika ditemukan bahasa-bahasa yang tidak
dimengerti, akan disandarkan pada konsep syataht2dalam tasawuf atau konsep simbol dalam
bidang seni.
Tetapi simbol-simbol itu, baik yang sufistik maupun artistik, ketika menyebar di tengah
masyarakat dan menjadi satu metode dalam kehidupan, berkembang menjadi penentang terhadap
hukum-hukum etika yang telah terbentuk dalam masyarakat. Karena itu muncul pertentangan
keras antara para ahli fikih yang memegang otoritas hukum peribadahan umum di tengah
masyarakat, dengan para pemuka tasawuf yang menentang hukum-hukum itu. Permusuhan itu
tidak menghasilkan manfaat bagi masyarakat karena tetap terpecah antara verbalitas para ahli
fikih dan asketisme para ahli sufi sehingga keduanya tetap jauh dari ruh Islam dalam etika dari
dua sisi: mengikuti verbalitas para ahli fikih yang kosong dari ruh keagamaan Islam yang
sebenarnya, dan pemikiran baru yang menjadi ciri khas tasawuf.
Tetapi para ulama dan para sufi bukanlah aspek terpenting dan satu-satunya dalam
kehidupan budaya, serta tidak merepresentasikan pemikiran tentang etika. Di tengah masyarakat
terdapat sejumlah ilmuwan sejati yang bekerja untuk menyebarkan ilmu pengetahuan sehingga
ilmu itu memengaruhi kehidupan material melaui pertumbuhan industri dan teknologi, struktur
2Syataht adalah ungkapan-ungkapan atau pernyataan yang diucapkan oleh para sufi dalam keadaan ekstase atau
trance. Sebagian sufi mengatakan bahwa ungkapan itu merupakan ungkapan Tuhan melalui diri sufi yang telah
mencapai maqmpersatuan. (Penerj.)
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
23/197
hubungan antar masyarakat diwarnai oleh warna kebudayaan yang hakiki, dan pintu-pintu dialog
dengan alam semesta terbuka lebar bagi manusia. Risalah pemikiran Ibn Khaldun itu tidak bisa
disebarkan di tengah masyarakat oleh para ulama kecuali jika masyarakat itu sendiri telah
memiliki kesiapan kultural dan tingkat peradaban yang memungkinkan penyebaran pemikiran
itu. Dengan demikian, masyarakat buta huruf tidak akan bisa menerima atau membantu para
ilmuwan yang ada. Hubungan itu merupakan hubungan yang mutlak dan niscaya, masyarakatlah
yang menciptakan ulama, dan mereka membekali masyarakat dengan kemajuan pemikiran,
sedangkan masyarakat yang terbelakang tidak memiliki semangat keilmuan dan tidak melahirkan
para ilmuwan. Hal ini dinyatakan dengan tegas oleh Ibn Khaldun dengan membedakan antara
wilayah maghrib dan masyriq, antara masyarakat pedesaan dan masyarakat kota; masyarakat
pedesaan mengira bahwa masyarakat kota mengatasi mereka dalam hal pemikiran. Prasangka
semacam itu menyebar di tengah masyarakat lalai di maghrib yang mengira bahwa keunggulan
masyriq atas maghrib dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan industri merupakan
keunggulan esensial yang didukung oleh berkembangnya rasionalisme di masyriq, sedangkan di
maghrib terjadi kemunduran dan kejumudan esensial dalam bidang rasio. Sebenarnya yang
terjadi bukanlah demikian. Apa yang menjadikan masyriq unggul atas maghrib, dan masyarakat
kota atas masyarakat desa adalah karena industri memberikan manfaat yang nyata secara
rasional, dan rasio yang terlatih itu hanya dapat ditemukan ditengah masyarakat yang maju.
Ibn Khaldun memperhitungkan kegunaan ilmiah bagi masyarakat yang bisa diberikan
oleh suatu bidang pengetahuan, sebagaimana sebagian yang lain merujuk pada pemikiran ilmiah.
Para budayawan dan para ahli peradaban Islam telah mengemukakan pentingnya spirit etika yang
luhur yang menyertai pemikiran ilmiah, misalnya dengan mengutamakan kebenaran,
mengagungkan akal, analisis dan keraguan, serta memeliharanya untuk menguraikan ilmu
mereka sehingga menghasilkan manfaat yang besar.
Tetapi meski demikian, pemikiran ilmiah tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran baru.
Misalnya banyak muncul perkembangan baru dalam disiplin kimia, biologi dan astronomi,
sebagaimana berkembangnya ilmu ekonomi, efektifitas kerja dan pengembangannya.
Pada bagian terakhir, Ibn Khaldun memaparkan masalah yang dihadapi bangsa Arab dan
peranannya dalam lingkup pemikiran ilmiah. Ia juga mengutip pendapat beberapa ahli yang
mengemukakan bahwa bangsa Arab merupakan bangsa yang jauh dari tradisi pengetahuan, dari
politik, dan dari kerja. Kami telah mendiskusikan pemikiran tersebut dan telah berupaya untuk
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
24/197
membersihkannya dari segenap prasangka yang meliputinya disebabkan oleh reaksi yang
terlampau cepat dan pembacaan yang tergesa-gesa. Hal tersebut lebih besar pengaruhnya
ketimbang yang ditimbulkan oleh pemikiran Ibn Khaldun, yang bagi para pengagumnya tampak
sebagai pemikiran yang jelas, analitis, dan berani.
Jika agama, tasawuf, dan pengetahuan berjalin-kelindan dalam hubungan yang saling
bertentangan di tengah masyarakat Arab yang memunculkan pemikiran rasional dan etis, maka
bahasa dan kebudayaan, juga pendidikanakan diungkapkan pada bagian akhir buku ini
memiliki peranan yang besar dalam hubungan itu. Tanpa mengabaikan berbagai kekurangan dari
analisis yang dilakukan oleh Ibn Khaldun, kita bisa mendapati bahwa pendidikan menjadi satu
aspek penting dalam hasanah pemikiran bangsa Arab.
Dalam bagian ini, Ibn Khaldun membahas kedudukan bahasa Arab, baik dari sisi
gramatikalnya maupun sosio-linguistiknya. Kami menganggap penting untuk mengemukakan
pembahasan tentang hubungan antara bahasa dengan pemikiran etika dan bagaimana hubungan
itu hanya berkembang di atas prinsip sosial. Seandainya kita menyelesaikan masalah bahasa
hanya berdasarkan kaidah gramatikal, sebagaimana yang dilakukan para ahli nahwu, maka kita
tak akan menemukan adanya hubungan antara bahasa dengan etika. Sedangkan jika kita
menghadapinya berdasarkan peranannya dalam mentransformasikan masyarakat menuju
peradaban yang diinginkan dan maju, maka kita akan kesulitan untuk mendapatkan aspek
mendasar dalam pembahasan etika. Dimensi etika ini menjadi pokok pembahasan Ibn Khaldun
dengan analisisnya yang jelas dan mengagumkan.
Ibn Khaldun membahasnya dari sisi politik dan mengungkapkan bahwa kehidupan politik
dalam suatu masyarakat merepresentasikan realitas masyarakat yang sesungguhnya, sehingga
ketika fenomena kehidupan politik melemah, lemah pula perkembangan bahasa pada tataran
politik. Kemudian ia membahas masalah perkembangan dalam bahasa, dan menganggapnya
sebagai bagian yang penting. Bagi Ibn Khaldun, kedudukan para ahli nahwu sama dengan
kedudukan para ahli fikih yang hanya memelihara struktur kaidah. Karena itulah, bahasa
masyarakat berkembang statis dalam suatu keadaan. Pengajaran bahasa memiliki peranan
penting dalam hal ini. Dan masyarakat mengambil manfaat dari proses pengajaran inijika
bahasa yang dikembangkan adalah bahasa yang baikatau menghasilkan berbagai karya
sehingga mereka mencapai kedudukan sebagai masyarakat yang maju. Sedangkan di maghrib,
masalah bahasa sangatlah krusial karena mereka tidak hanya mengikat bahasa dalam kaidah-
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
25/197
kaidah linguistik yang ketat dan baku, dan ironisnya, kaidah-kaidah itu tidak mereka pedulikan
sama sekali. Hal itulah yang menyebabkan miskinnya peradaban di pelosok maghrib.
Munculnya seluruh perkembangan baru dalam bahasa Arab yang disebabkan oleh adanya
percampuran bahasa, dan kecenderungan untuk lebih mempelajari kaidah-kaidahnya, kemudian
keterpisahannya dari masyarakat, tidak hanya sebagai alat untuk berinteraksi secara verbal tetapi
juga sebagai perangkat berpikir dan pengetahuan, maka menurut Ibn Khaldun, kita harus
menciptakan bahasa sehari-hari yang kita sebut dengan bahasa umum, disertai kaidah-kaidah
baru sehingga bisa menjadi bahasa ilmu dan pengajaran, sebagaimana kita akan menciptakan
bahasa baru ketika bahasa lama dirasakan tak lagi memadai. Masalah itu membutuhkan
pembahasan panjang, yang salah satu bagiannya akan diungkap di sini, sedangkan selebihnya
ditinggalkan untuk para ahli bahasa, tetapi bagian terpenting dari pemikiran Ibn Khaldunyang
kami sandingkan dengan pemikiran etikaadalah bahwa suatu bangsa tidak boleh memiliki dua
jenis bahasa, bahasa untuk kalangan khusus dan bahasa untuk kalangan awam, sehingga pada
gilirannya akan menghasilkan kebudayaan umum dan kebudayaan khusus. Keterpecahan bahasa
itu telah mengakibatkan keterpecahan budaya, pemikiran, etika dan kehidupan sosial. Karena
itulah fenomena strata dalam bidang makna dan kehidupan ekonomi menjadi rusak.
Sesungguhnya, bahasa yang tidak menyatukan para pemakainya dalam tradisi puisi, etika, seni,
dan agama, bukanlah bahasa yang bisa melayani etika.
Kami telah mengemukakan tentang adanya keterpecahan sosial dan pemikiran dalam
bidang bahasa. Kami juga merasakan adanya keterpecahan dalam bidang kesusastraan. Hal itu
karena kesusastraan memainkan peranan yang besar dalam kehidupan ruhani dan moral bagi
masyarakat Arab karena mereka dianggap sebagai bangsa yang paling kuat terpengaruh oleh
struktur kalimat yang fasih, baik dalam bentuk syair maupun prosa. Hal itu disandarkan pada
pemikiran bahwa kesusastraanlah yang membentuk kehidupan sosial mereka dan
mengekspresikan kehidupan batin mereka serta fenomena kebudayaan mereka.
Ibn Khaldun menganggap bahwa kebudayaan secara umum dan sejarah secara khusus
merupakan aspek paling penting bagi seorang sastrawan. Dan berkenaan dengan hal itu,
kesusastraan Islam lebih tinggi dibanding kesusastraan Jahiliyah, karena kebudayaan berjalan
seiring dengan perkembangan sastra, sebagaimana perkembangan industri sejajar dengan
perkembangan pemikiran. Dalam hal ini, perkembangan kesusastraan di maghrib berjalan
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
26/197
sebaliknya, dibandingkan dengan perkembangan sastra di masyriq yang berjalan seiring dengan
perkembangan kebudayaan dan pergolakan peradaban.
Tetapi di sisi lain, Ibn Khaldun mengamati bahwa sastrawan Arab ketika mendapati
perkembangan kebudayaan yang pesat, dan meniscayakannya untuk meningkatkan disiplin
kesusastraannya, dilelapkan oleh kehidupan material dengan segala nikmat dan kelezatannya,
sehingga kemudian ia menggunakan sastra sebagai alat untuk berdusta dan rekayasa. Dan ia
menghindari segala masalah umat, yang telah mendahuluinya pada masa pra-Islam dan pada
masa awal perkembangan Islam, tanpa melibatkan horison kulturalnya, yang menjadi kemestian
dalam kehidupan kesusastraan. Perubahan orientasi moral itu berpengaruh buruk terhadap
perkembangan sastra, karena masyarakat dengan segala gejolak dan horison kulturalnya
merupakan teladan utama dan nilai ideal bagi seluruh fenomena kultural. Perubahan orientasi itu
akan menghilangkan sumber utama segala kreativitas dalam bidang kesusastraan yaitu
masyarakat. Keterpilahan itu terus berlanjut, begitu pula perkembangan dalam bidang tradisi dan
bidang kesenian lainnya. Dalam bidang kesusastraan, misalnya, terjadi pemilahan antara
sastrawan khusus dengan sastrawan populer. Banyak dari kalangan sastrawan khusus menulis
karya-karya yang tidak beranjak dari realitas. Sedangkan para penulis pop lebih banyak
menghasilkan karya dengan tema yang lebih banyak dan lebih beragam karena mereka
menyandarkan karyanya pada masyarakat yang hidup di dalamnya. Meskipun sastra pop tidak
bisa meningkatkan kualitasnya sesuai dengan peradaban tinggi, tetapi seiring dengan itu mereka
menghasilkan karya sastra yang baik, yaitu berupa cerita, sehingga saat ini jika kita ingin
membahas masalah cerita dalam kesusasteraan Arab, kita tak akan mendapatkannya dalam sastra
khusus namun dalam sastra pop. Sebabnya adalah karena sastra pop telah tersosialisasi dan sastra
khusus terasing dari masyarakat.
Seperti itu pulalah yang terjadi dalam bidang pendidikan dan kedudukannya dalam
hubungan antara sekolah dengan masyarakat. Dan sangat disayangkan bahwa banyak penulis
yang membahas masalah ini tetapi mengabaikan pemikiran Ibn Khaldun tentang pendidikan.
Saat ini bidang itu menjadi lapangan pemikiran yang paling rumit dalam pembahasan tentang
pendidikan kontemporer. Yang kami maksudkan adalah pemikiran Ibn Khaldun yang
mengaitkan keberadaan pendidikan dengan masyarakat. Pandangan itu sesuai dengan pemikiran
John Dowey yang mengaitkan kehidupan sosial dengan sekolah dalam satu ikatan yang legal;
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
27/197
sekolah tidak memiliki pengaruh terhadap pemikiran tentang etika, sebagaimana dalam bahasa
dan sastra, kecuali dalam suatu horison sosial tertentu.
Dalam bagian ini Ibn Khaldun mengungkapkan pandangannya yang khusus menyoroti
pendidikan di negeri-negeri maghrib yang menurutnya telah terasing dari kehidupan masyarakat.
Hal itu terjadi karena mereka menggunakan metode dan gaya pengajaran yang tidak disukai,
menghilangkan diskusi dan terlalu banyak karya yang ditulis dalam satu bidang tertentu, tidak
melakukan diversifikasi dalam pengetahuan, serta tidak membedakan antara ilmu yang menjadi
target pendidikan dengan ilmu yang menjadi media (ilmu alat); selain itu, mereka juga
menekankan pengajaran pada penguasaan material serta mengabaikan media-media inderawi
yang bisa membangkitkan kesadaran dan intensitas pelajar. Pada gilirannya, metode pendidikan
itu menghasilkan kekerasan dan ketegasan hukuman yang memengaruhi kecerdasan anak didik,
mengajari mereka bersikap munafik, menumbuhkan egoisme, menjauhkan dari sikap jujur, terus
terang dan keinginan untuk menghormati orang lain.
Sedangkan pengajaran bahasa yang merupakan disiplin mendasartanpa mengabaikan
kedudukannya sebagai pengetahuan mediasi (ilmu alat)di negeri-negeri maghrib berkembang
mencapai batas tertentu sehingga membutuhkan pengajaran sastra di sekolah-sekolah. Selain itu,
keinginan untuk menghasilkan para sastrawan yang mumpuni menjadi mustahil karena mereka
lebih menekankan pada pengajaran Alquran kepada anak-anak dan tidak membekalinya dengan
suatu keahlian linguistik tertentu atau pun disiplin ilmiah yang lain. Hasilnya, anak-anak
menguasai kemampuan untuk membaca Alquran namun buta dalam disiplin kebudayaan.
Pengajaran bahasa, dibandingkan dengan pengajaran disiplin yang lain, harus terbebas
dari kaidah-kaidah linguistik dan lebih banyak menekankan pada praktik dan penggunaannya
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pengajaran bahasa memiliki metode dan karakteristik
tertentu. Bahasa menjadi media untuk mengembangkan kebudayaan dalam masyarakat. Dengan
begitu, kedudukannya dalam pengembangan moral bisa terealisasi dengan baik.
***
Sesungguhnya konflik-konflik ringan yang terdapat dalam gambaran ringkas pemikiran
Ibn Khaldun tidak bisa menggambarkan dengan jelas seluruh pemikiran Ibn Khaldun yang
mendalam, matang dan bersifat ilmiah, serta bagaimana ia menjelaskan konsep etika dengan
baik, dan garapannya yang luas tentang berbagai masalah manusia, khususnya yang dialami oleh
bangsa-bangsa Arab. Bagi saya, dengan segala upaya yang telah dikerahkan untuk mengupas
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
28/197
pemikiran Ibn Khaldun tentang etika, pekerjaan ini hanyalah langkah awal dari satu pekerjaan
besar yang mungkin menjadi landasan ideologis untuk menyempurnakan kehidupan sosial
masyarakat Arab dalam lapangan sosial, politik dan kebudayaan. Hal itulah yang memaksa untuk
menggunakan seluruh sisa umur saya dalam mencapai tujuan itu, meskipun saya merasa masih
terlampau jauh untuk sampai pada tujuan itu. Saya berharap akan muncul para peneliti baru yang
berjuang dengan tulus dan sungguh-sungguh dalam menghasilkan temuan yang berbobot,
melengkapi setiap kekurangannya, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Ibn Khaldun
sesuai dengan kemampuan dan kapasitas ilmu mereka. Kita harus segera melepaskan diri dari
cacat yang kita derita sejak masa kanak-kanak kita, dan menyembunyikan segala penyakit dalam
diri kita, karena barangsiapa yang menyembunyikan penyakit dari dirinya sendiri, maka pasti
penyakit itu akan segera membunuhnya. Sesungguhnya segala kemunduran dan nestapa yang
dirasakan umat kita sepanjang sejarah peradabannya, disebabkan oleh kematian umat ini karena
kita selalu menyembunyikan cacat-cacat yang dimilikinya, juga karena kita selalu membagus-
baguskan sejarah dan kenyataan kita, lalu menceritakannya kepada generasi penerus dengan
kebanggaan lisan, tentang bangsa kita, agama, sastra, peradaban, dan kebudayaan kita. Dengan
sengaja atau tidak kita melupakan, atau enggan untuk mengungkapkan segala sesuatu yang
berada di balik pakaian lisan itu, berupa berbagai kekurangan dan cacat yang sering membuat
kita meringis. Apa yang bisa kita ketahui saat ini adalah bahwa kita lemah dan tidak kuasa untuk
menghimpun jiwa kita dan mengaturnya. Kita juga mengetahui tiadanya kepercayaan diri dan
terlalu bersandar pada orang lain baik dalam urusan yang kecil maupun yang besar. Selain itu,
segala sesuatu yang menyerang umat ini berupa kemubaziran, kerusakan, korupsi, kesengsaraan
dan kemunduran, tidak bisa diibaratakan sebagai penyakit yang menyerang tubuh yang sehat,
juga bukan serangan yang muncul ketika kita dalam keadaan sejahtera. Tetapi semua itu
sesungguhnya bencana yang terus berlanjut dan sifat bawaan yang senantiasa diwariskan dari
generasi ke generasi. Kita terus mengungkapkan kebaikan umat ini dan menghiasinya dengan
kata-kata yang indah dari zaman ke zaman. Segala sesuatu yang kita rasakan saat ini berupa rasa
sakit dan kesengsaraan harus dikembalikan bahwa generasi kitalah yang menghidupinya, jangan
menganggap bahwa itu merupakan hal baru dalam kehidupan atau sejarah kita. Maksudnya,
setiap generasi umat ini juga merasakan kehidupan yang pahit ini dalam satu bentuk kehidupan
yang berbeda dengan yang kita rasakan saat ini. Mungkin ada periode-periode tertentu ketika
umat ini tidak mengalami keterpurukan, tetapi itu hanyalah pengecualian yang sangat sedikit.
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
29/197
Dan kita telah terbiasa mengungkapkan kisah-kisah manis itu dengan berbagai bentuk
pengisahan dan dalam berbagai kesempatan. Sehingga terpatri dalam pikiran kita bahwa
menceritakan sesuatu yang tanpa kenyataan merupakan sesuatu yang biasa dan wajar. Masalah
itu sesungguhnya sangat erat kaitannya dengan masalah etika, lebih jauh lagi dengan prinsip-
prinsip pengetahuan rasional.
Lalu ketika ada orang lain yang menceritakan sesuatu yang sebenar-benarnya, kemudian
mengungkapkannya dalam peristilahannya sendiri, maka kita langsung menghadapinya dengan
sikap bermusuhan. Kemudian kita menyerangnya dengan berbagai tuduhan keji sebagaimana
yang ditujukan kepada para orientalis atau para penjajah. Tak hanya itu, kita juga menganggap
bodoh pemikirannya yang asing dan memandangnya dengan penuh kebencian. Hal muncul
karena kita tidak memahami kemampuan dan upayanya yang istimewa baik dari segi politik
maupun kebudayaan. Meski demikian, saat ini ada juga beberapa budayawan kita yang
menerapkan metoe barat dalam pemikirannya dan tidak hanya mengetahui bagaimana
menganalisis berbagai fenomena nyata, tetapi juga mengetahui bagaimana menggunakan rasio.
Kita cenderung mengambil pemikiran dengan metode mereka secara sistematis dan ketat, namun
tidak disertai analisis dan pembahasannya. Kita harus mengambilnya secara langsung dari
penulisnya bukan dari sisi aturan-aturannya yang ketat tetapi dari sisi analisisnya yang berani
terhadap kenyataan yang terjadi.
Hal itu terjadi karena kita mendahulukan prasangka baik terhadap kenyataan yang terjadi.
Dan saat ini, masih ada di antara kita yang menyibukkan diri dengan kecenderungan itu sehingga
selalu mencampuradukkan antara perasaan dengan rekayasa. Karenanya, kita merasa nyaman
dengan kebanggaan verbal yang telah diwariskan sejak zaman Jahiliyah. Kita tidak pernah
bangkit untuk mencari cacat-cacat bangsa ini kemudian menyembuhkannya dengan keberanian
dan perasaan yang penuh tanggung jawab.
Salah satu contohnya adalah perbandingan ini :
Dalam kitab al-Adlah al-Ijtimaiyyah f al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam), karya
Sayyid Quthbkarya ini dikutip karena hingga tahun 1967 telah mengalami cetakan ketujuh,
menunjukkan betapa pemikirannya banyak diapresiasi masyarakatdikatakan: sesungguhnya
banyak orang yang berjuang dalam dakwah Islam menggunakan metode-metode pemikiran
barat; mereka menerimanya dengan semangat sejak kali pertama ketika mereka berusaha
mereformasi kehidupan mereka dengan meminjam metode barat baik dalam pemikiran,
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
30/197
kehidupan, maupun perilaku. Sesungguhnya kita memiliki gambaran tentang kehidupan yang
lebih besar dibanding yang dimiliki oleh agama, filsafat, atau kebudayaan manapun. Dalam
gambaran itu tidak ada etika tentang pertanian maupun industri. Juga tidak ada etika tentang
masyarakat borjuis dan nilai-nilai bagi masyarakat proletar, tidak ada etika tentang investasi,
ataupun koperasi. Yang ada hanyalah etika Islam dan etika jahiliyah, nilai-nilai Islami dan nilai-
nilai Jahili. Sejumlah kecenderungan filsafat, orientasi tafsir sejarah manusia, orientasi ilmu jiwa
dan sejumlah pembahasan tentang etika, sesungguhnya merupakan orientasi dalam pemikiran
jahiliyah, bukan Islamyang dulu maupun yang kini dipengaruhi langsung oleh bentuk-bentuk
pemikiran jahiliyah. Sedangkan bagi Islam hanya ada dua macam kebudayaan: kebudayaan
Islam yang berdiri atas dasar hukum Islam, dan kebudayaan jahiliyah yang berdiri atas berbagai
metode yang semuanya merujuk pada satu macam aturan, yaitu aturan penegakan pemikiran
kemanusiaan di dalamnya. Sedangkan dalam Islam, keistimewaannya yang paling penting adalah
bahwa Islam merupakan keyakinan agung, baru, efektif, kreatif, dan reformatif. Islam mengisi
kekosongan jiwa dan kehidupan; Islam menghargai seluruh potensi manusia, baik berupa
perasaan maupun pekerjaan, emosi dan gerakan, sehingga di dalamnya tidak ada kekosongan
maupun keraguan, tidak pula ada kesempatan untuk berkhayal dan berpanjang angan yang hanya
menghasilkan khayalan atau imajinasi; Islam menghendaki kerja nyata dari seluruh umatnya.
Islam datang untuk mengembangkan kehidupan dan memajukannya, bukan untuk membiarkan
setiap peristiwa sosial berlalu begitu saja, di manapun dan kapan pun. Kepentingan Islam satu-
satunya adalah memelihara, memperbarui, dan meningkatkan kehidupan agar potensi
kemanusiaan digunakan untuk menghasilkan berbagai produk, mengembangkan dan
meningkatkannya. Sesungguhnya wacana yang berkembang seputar gerakan perkembangan dan
pembaruan dalam metode yang Islami, seluruhnya diorientasikan pada peningkatan kualitas
kemanusiaan.
Sesungguhnya dalam pemikiran materialis yang dikembangkan di barat dan menafikan
bidang etika tidak terdapat konsep yang menyeru pada terciptanya kebaikan bersama dan
maslahat umum. Sedangkan dalam pemikiran Islam tidak terdapat sesuatu yang menafikan unsur
spiritual dari kehidupan, atau menafikan iman tanpa kerja dan eksperimen, atau ajaran yang
menghina teladan-teladan yang baik (nilai-nilai ideal). Pengingkaran terhadap hakikat segala
sesuatusebagaimana yang diajarkan filsafattidak ada dalam pemikiran itu. Karena itu,
pertentangan (konflik) yang sebenarnya terjadi adalah antara Islam dengan dua pihak lain yang
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
31/197
bergerak bersamaan yaitu dengan pemikiran barat dan pemikiran timur. Islam merupakan
kekuatan sebenarnya yang berhenti di hadapan pemikiran materialisme yang dianut oleh bangsa-
bangsa di Eropa, Amerika dan Rusia. Islam merupakan ajaran yang meliputi seluruh keadaan dan
bidang kehidupan, menegakkan tugas sosial dalam suatu lingkup kemanusiaan yang dipenuhi
oleh pertentangan dan pertikaian. Islam juga menetapkan anjuran spiritual umum yang
ditetapkan oleh sang pencipta agar diterapkan dalam kehidupan di muka bumi. Islam
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan secara menyeluruh yang meliputi eksistensi dan
kehidupan, serta aturan-aturan praktis yang diterapkan di tengah masyarakat; Islam juga
menetapkan hukum syariat yang terperinci dan terbuka untuk dikembangkan sehingga bisa
berjalan sesuai perkembangan kebutuhan manusia. Demikian kata Sayyid Quthb dalam
bukunya itu.
Bandingkanlah pemikiran di atas dengan pemikiran Gustave Lebon tentang keadaan
bangsanya, Prancis. Gustave Lebon mengemukakan kedaan bangsa Prancis sebagai bangsa yang
terus berubah dengan pesat. Sejumlah peraturan politik mengalami perubahan secara mendasar
dalam jangka waktu yang pendek. Kelompok-suku-suku di Prancis berkembang menjadi
kelompok-kelompok yang berbeda. Pada hakikatnya mereka memiliki keyakinan yang sama;
setiap kelompok bangsa berkeinginan untuk mewujudkan tujuan akhir dengan cara dan media
yang beragam.
Ia juga membandingkan antara bangsa Latin dengan bangsa Anglosaxon. Ia berkata:
Bangsa-bangsa latin setiap hari menyia-nyiakan kekuatan mereka dan dikuasai oleh pikiran
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder, menyebarkan kebencian dan permusuhan
antara orang-orang miskin dengan orang-orang kaya. Mereka merupakan bangsa yang cepat
berreaksi dan cepat pula padam. Dari sisi kebangsaan mereka menjadi masyarakat yang lemah,
begitu pula dari sisi individu. Mereka tidak menghargai diri mereka sendiri serta tidak
mempercayai orang lain. Tetapi itulah pendidikan ala bangsa Latin yang menyedihkan.3
Lebihlanjut ia mengatakan: Sesungguhnya kami adalah bangsa kecil yang
menghasratkan kebebasan dan mengangankan persamaan. Dengan perasaan ringan kami
menanggung segala masalah sehingga semua masalah itu menjadi masalah bersama, bukan
masalah personal. Lebih jauh Lebon mengatakan, Sesungguhnya bangsa Amerika terdiri atas
dua kelompok: bangsa Inggris dan Bangsa Spanyol. Keduanya memiliki aturan dan perundang-
3Al-Sunan al-Nafsiyyah, hal. 178
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
32/197
undangan yang sama karena bangsa-bangsa selatan mengambil sistem hukumnya dari utara.
Tetapi etika Inggris di utara memiliki keistimewaan dengan kekuatannya yang hanya bisa
dibandingi oleh bangsa Romawi, dengan cita-cita yang tidak pernah surut, potensi besar dengan
tingkat pertumbuhan yang tinggi, kemerdekaan dan kekuatan jiwa yang hampir bisa disebut
ganas, semangat yang tinggi dan rasa keagamaan serta perilaku yang konsisten. Mereka
mengetahui dengan jelas kewajiban mereka, bisa memilah dengan tegas antara urusan kerja dan
masalah yang menghajatkan pemikiran serius. Mereka juga sangat peka terhadap relitas yang
melingkupinya, berungguh-sungguh membangun masyarakat dan optimis menghadapi jalan yang
membentang di hadapan mereka. Para pekerja di antara mereka senantiasa bergairah melakukan
kerja keras, dan para pelajar bersandar pada dirinya sendiri sejak kecil, mempelajari ilmu dan
keahlian berlayar. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada seorang pun yang akan
memperhatikan perjalanan hidup mereka kecuali diri mereka sendiri. Para guru di antara mereka
mengajarkan sedikit ilmu dan lebih banyak mengajarkan etika, menyadari bahwa etika
merupakan aspek paling penting yang menggerakkan sejarah.
Dikisahkan bahwa Raja Inggris pernah mengadakan perjanjian dengan Gubernur Albert
berisi penetapan syarat-syarat tentang biaya reguler yang digunakan oleh para pelajar di
Universitas Wellington. Selanjutnya gubernur itu menetapkan peraturan untuk memberikan
beasiswa kepada para pelajar berdasarkan seberapa tinggi nilai mereka dalam bidang etika,
bukan berdasarkan seberapa banyak ilmu yang dikuasainya. Jika hal itu terjadi pada bangsa-
bangsa latin, tentu yang akan mendapatkan beasiswa pendidikan adalah para pelajar yang paling
banyak dan paling menguasai berbagai kitab.
Sedangkan bangsa Spanyol di Amerika, sesungguhnya mereka menempati suatu wilayah
yang kaya dengan sumber daya alam. Hasil bumi mereka lebih banyak dua kali lipat dibanding
benua Eropa, sedangkan jumlah penduduknya sepuluh kali lipat lebih sedikit. Seluruh hasil bumi
itu siap untuk dikonsumsi dan terus berproduksi tanpa henti. Meski mereka memiliki kekayaan
alam yang berlimpah, namun mereka tenggelam dalam kebiasaan mubazir, hidup mewah, tidak
memiliki tatanan perilaku yang baik dan semangat berdagang yang rendah. Seluruh urusan
negara dipegang dan dikendalikan oleh para penguasa yang gaya hidupnya melebihi kaisar-
kaisar di Rusia, sedangkan para pegawai pemerintahannya bertindak sebagai pekerja bagi para
penguasa. Para penguasa terus berteriak sekehendak hati mereka tanpa pernah dipedulikan oleh
rakyat mereka. Negara mereka tinggal nama-nama belaka tanpa ada isinya. Semua hal itu
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
33/197
menyebabkan seluruh perdagangan dan industri berada dalam genggaman tangan orang-orang
asing yang berasal dari Inggris, Amerika dan Jerman. Dan berkat adanya orang-orang asing
itulah negara tersebut masih terjaga dan terpelihara dari serangan asing terhadap budaya yang
tunduk pada kebudayaan Eropa.1Ketika memperbandingkan antara gaya pemikiran para ulama
barat dan para ulama kita, maka tidak semestinya kita menanyakan niat: apakah niat Sayyid
Quthb dan orang-orang yang sepertinya semata-mata untuk kepentingan umat? Atau apakah niat
Gustave Lebon adalah melecehkan cita-cita bangsanya (bangsa Latin) dan negaranya (Prancis)?
Sesungguhnya niat keduanya sama. Tetapi yang pertama mewarisi sifat bangga dan
angkuh yang diwariskan sejak zaman kakek moyangnya sebelum Islam, sehingga kebanggaan
terhadap kabilah atau sukunya digantikan dengan kebanggaan terhadap Islam. Mereka lalai untuk
mempelajari hakikat terdalam yang terdapat di antara niat-niat keislamannya dengan realitas
umat Islam di hadapannya. Sedangkan yang kedua, Gustave Lebon, memperhatikan pemikiran
ilmiah yang mengkritik realitas yang terjadi sebelum mendalami suatu masalah; setelah itu ia
menganalogikan fenomena yang terjadi di masyarakatnya dengan realitas yang terjadi pada
masyarakat lain yang lebih maju. Dan ia akan mengungkapkan kenyataan yang terjadi tanpa rasa
takut atau gentar sedikitpun. Ia tidak merasa takut seandainya kelak ada orang yang menuduhnya
berkhianat karena mengungkapkan kenyataan bangsanya. Rasa kebangsaan dan keagamaannya
pun tidak berkurang; ia juga tidak mau mengingkari warisan umat dan kebudayaannya. Sama
halnya, generasi muda mereka pun tidak merasa takut untuk merendahkan nilai-nilai
kepribadiannya, atau menafikan harga dirinya ketika memuji bangsa lain dan mengutamakan
perilaku bangsa lain, atau sikap-sikap kekanak-kanakan sejenis yang biasanya dihindari oleh
orang-orang yang angkuh dengan keagungan dan kemuliaannya yang telah diwarisi dari satu
generasi ke generasi berikutnya, yang membuat mereka merasa menjadi umat yang lebih unggul
dibanding umat-umat sebelumnya. Hanya saja, mereka tidak menyadari bahwa senjata memiliki
dua sisi yang sama tajam. Jika disikapi secara berlebih-lebihan, maka sisi yang berbahaya akan
menebas dan memusnahkan sisi yang bermanfaat. Generasi muda kita memiliki semangat
tawakal dan percaya diri terhadap kebanggaan lisan; mereka menghadapi realitas yang terjadi
pada umat lain dengan pandangan yang asing; yang mereka perhatikan melulu ungkapan lisan,
dan menghadapi ilmu pengetahuan dengan niat ruhani. Mereka juga melupakan bahwa saat ini
kita hidup dalam satu masa yang setiap individu dan masyarakatnya tidak bisa berinteraksi
kecuali dengan pemikiran yang terlatih dan realitas material yang tak mengenal rasa kasihan.
-
7/14/2019 Filsafat Ibnu Khaldun
34/197
Disandarkan pada seluruh fenomena itu, b