filsafat universal
TRANSCRIPT
Filsafat Universal
Mata Kuliah
Pengantar Filsafat
Anggota Kelompok
Gilly Marlya Tiwow
Fredy Mundung
Fredy Musa
Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan
Universitas Negeri Manado
2009
Filsafat Universal
Pemikiran filsafat dapat mencapai kebenaran universal, yaitu kebenaran yang bersifat
umum tidak dibatasi ruang dan waktu. Maksudnya ialah berlaku semua ruang dan setiap
waktu. Dengan demikian kebenaran yang dicapai filsafat berlaku kapan dan dimana saja.
Dalam sejarah kefilsafatan telah tampak jelas adanya usaha sungguh-sungguh dari
para filsuf untuk mencari pengertian umum. Sokrates telah berusaha keras untuk membuka
selubung peraturan dan hukum-hukum yang semua dengan cara mengajak orang melacak
sumber-sumber hukum sejati, hingga dengan demikian dapat dicapai pengertian yang hakiki.
Adapun cara yang dilakukan Sokrates ialah dengan dialektika.
Dengan cara bekerja yang demikian itu Sokrates menemukan suatu cara bekerja yang
disebut induksi, yaitu : menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum dengan berpangkal
dari banyak pengetahuan tentang hal yang khusus. Umpamanya banyak orang yang
menganggap keahliannya (sebagai tukang besi, tukang sepatu, dan lain lain) sebagai
keutamaannya. Seorang tukang besi berpendapat, bahwa keutamaannya ialah jika ia
membuat alat-alat dari besia yang baik. Seorang tukang sepatu menganggap sebagai
keutamaannya, jika ia membuat sepatu yang baik. Demikian seterusnya. Untuk mengetahui
apakah “keutamaan” pada umumnya, semua sifat khusus keutamaan-keutamaan yang
bermacam-macam itu harus disingkirkan. Tinggallah keutamaan yang sifatnya umum.
Demikianlah dengan induksi itu sekaligus apa yang disebut definisi umum. Definisi umum
ini pada waktu itu belum dikenal. Sokrates yang menemukannya, yang ternyata penting sekali
artinya bagi ilmu pengetahuan.
Bagi Sokrates definisi umum bukan pertama-tama diperlukan bagi keperluan ilmu
pengetahuan, melainkan bagi etika. Yang diperlukan adalah pengertian-pengertian etis,
seperti umpamanya : keadilan, kebenaran, persahabatan dan lain-lainnya.
Dalam upaya mencari pengertian universal telah dilakukan pula oleh Aristoteles
dengan menggunakan logika. Logika merupakan ajaran mengenai berpikir yang benar dan
ilmiah. Logika membahas tentang bentuk-bentuk pikiran yang meliputi penalaran, pengertian
dan pertimbangan mengenai kaidah yang menguasai pemikiran.
Menurut Aristoteles, tiap pengertian berpautan dengan benda tertentu, karena
pengertian dapat dihubungkan yang satu dengan yang lain menurut tertibnya dan dapat
disusun menurut sifat-sifatnya yang umum. Umpamanya : secara kongkret ada anjingku,
anjingmu, anjingnya dan lain-lain, yang semuanya itu dapat digolongkan kepada pengertian
“anjing” yang lebih umum, umpamanya : anjing kampung. Di samping anjing kampung ada
2
anjing herder, anjing kikik, dan lain-lain, yang semuanya dapat digolongkan kepada
pengertian yang lebih umum, yaitu “anjing”. Anjing adalah binatang yang menyusui
disamping binatang-binatang menyusui lainnya, sehingga dapat digolongkan kepada
pengertian “binatang menyusui”. Binatang menyusui adalah binatang di samping binatang-
binatang yang lain, sehingga anjing dapat digolongkan kepada pengertian yang lebih umum,
yaitu “binatang”. Demikian seterusnya, dari binatang naik ke makhluk hidup, kemakhluk
hidup umumnya, dan seterusnya. Penggolongan menurut sifatnya yang umum ini yang tidak
dapat diturunkan dari yang lebih tinggi, sampai kepada kelompok pengertian yang telah
mencakup apa saja yang dapat dikatakan tentang sesuatu.
Usaha untuk memperoleh pengertian umum ( universal) didominasi oleh filsuf-filsuf
Skolastik, di antaranya Johanes Scortus Eriuygena, Thomas Aquinas, Boethius, Anselmus,
Petrus Abaelardus, Albertus Agung, dan William dari Ockham.
Johanes Scotus Eriugana sebagai tokoh awal Skolastik yang hidup pada tahun 810 – 870
telah berupaya memikirkan pengertian umum ( universal ). Pemikirannya bersifat metafisis.
Pangkat pemikiran metafisis Johanes adalah demikian : Makin umum sifat sesuatu, makin
nyatalah sesuatu itu. Yang paling bersifat umum itulah yang paling nyata. Oleh karena itu zat
yang sifatnya paling umum tentu memiliki realitas yang paling tinggi. Zat yang demikian itu
adalah alam semesta. Alam adalah keseluruhan realitas. Oleh karena itu hakikat alam adalah
satu, Esa. Tetapi di dalam alam yang Esa itu dibedakan 4 bentuk, yaitu :
a) Alam yang menciptakan, tetapi yang sendiri tidak diciptakan. Alam yang Esa serta
sempurna ini adalah Allah, satu-satunya realitas, yang adalah hakikat segala sesuatu, yang
jauh melebihi segala penentuan, bahkan yang mengatasi segala “yang ada”. Segala
sebutan Allah hanya mempunyai arti simbolis, juga Trinitas. Menurut Johanes segala
nama Allah termasuk teologia yang bersifat meneguhkan, demi kebenarannya harus
segera disusul oleh teologi yang bersifat menyangkal, yaitu bahwa manusia hanya dapat
menyebutkan “Allah itu buka apa” (bukan ini, bukan itu). Hal ini disebabkan karena
Allah adalah trasenden, sedemikian rupa,hingga hakikatNya tidak dapat dikenal. Bahkan
Ia sendiri tidak tahu apakah Dia itu, sebab Ia bukanlah sesuatu. Dengan demikian maka
satu-satunya realitas yang ada tidak dapat dikenal dengan akal. Jadi segala pengetahuan
manusia tentang realitas yang satu itu tentu berdasarkan wahyu. Allah yang tidak dapat
dikenal itu memperkenalkan diri dengan wahyu, dengan apa yang keluar daripadaNya
adalah hakikatNya, penampakanNya, teofaniNya. Dalam menampakkan diri ini Ia
3
menciptakan diri. Dengan penciptaan, Allah menjadi segala sesuatu, sehingga segala
sesuatu “yang ada” berasa karena mendapat bagian dari Allah.
b) Alam yang menciptakan, tetapi yang sendiri diciptakan. Ini adalah teofani pertama, yang
dunia idea, yang adalah pola dasar segala sesuatu. Kesatuan segala ide Johanes disebut
Logos. Segala sesuatu berasa di dalam Logos secara rohani. Selain dari itu di dalam
Logos “berada” dan ‘berpikir” adalah satu. Berpikir identik dengan berada. Karena
Logos memikirkan idea, maka idea berada.
c) Alam yang diciptakan, tetapi yang sendiri tidak menciptakan tekanan. Ini adalah teofani
kedua. Yaitu perealisasian segala sesuatu di dalam dunia yang tampak ini. Jagat raya
keluar daripada kesalaman diri Allah sendiri. Penciptaan ini terjadi karena Roh Kudus,
yaitu kasih Allah. Roh Kuduslah yang menjadikan segala ide turun dari dunia ide ke
dalam dunia gejala, menjadi dunia yanga tampak ini. Seluruh ini jagat raya adalah
bentuk-bentuk penampakan segala ide, oleh karenanya mewujudkan simbol-simbol atau
tanda-tanda.
d) Alam yang tidak menciptakan dan tidak diciptakan. Inilah Allah sebagai bentuk alam
yang keempat. Allah dipandang sebagai tujuan terakhir segala sesuatu, pengaliran
kembali ( remanasi ) yang mengikuti pengaliran keluar ( emanasi ). Segala sesuatu
berusaha menuju kembali kepada Allah. Jjika tujuan ini tercapai, sejarah kosmos telah
mencapai tujuannya. Jagat raya yang tampak ini akan dihapus tenggelam ke dalam pola-
pola dasarnya, ke dalam idea.
Pemikiran kefilsafatan terus berkembang, demikian pengertian tentang keumuman
(universalia ). Pada abad ke – 11 timbul pertentangan di kalangan filsuf mengenai
universalia. Pada abad ke – 11 pertentangan menjadi tujuan karena adanya sesuatu bagian
tulisan Beothius yang mempersoalkan, apakah pengertian-pengertian umum itu benar-benar
ada kenyataannya, baik di dalam ataupun di luar benda yang disebutnya, atau apakah
pengertian-pengertian umum itu hanya hasil pemikiran manusia saja. Segala pemecahan yang
dikemukakan pada abad pertengahan mengandaikan adanya realitas obyektif di luar manusia
serta adanya perbedaan yang hakiki antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akal.
Ada macam pemecahan yang dikemukakan, yaitu :
4
a) Pemecahan yang diberikan dalam jiwa realisme Plato, yaitu pemecahan yang
mengatakan, bahwa pengertian-pengertian umum itu memang memiliki realitas atau
kenyataan. Sekalipun seandainya tiada benda yang kongkret yang mengungkapkan
pengertian umum itu (tiada meja yang kongkret tampak itu) namun pengertian umum atau
pengertian jenis atau universalia itu ada juga. Hal-hal yang kongkret itu hanya
mewujudkan penjelmaan pengertian umum. (Pengertian umum atau pengertian jenis
“meja” setiap kali menjelma pada meja-meja yang kongkret itu, yang perbedaannya di
antara yang satu dengan yang lain hanya terdapat pada sifat-sifat yang kebetulan dari
tambahan saja). Aliran ini disebut aliran realisme atau lebih tepat ultra-realisme. Pada
abad ke – 9 hinga abad ke – 11 aliran ini mendapat pengikut yang paling banyak.
Pembelanya adalah Willem dari Champeaux (± 1070 – 1121).
b) Pemecahan kedua diberikan dalam jiwa Aristoteles, yang mengatakan, bahwa hal-hal
yang konkret itulah yang memiliki realitas atau kenyataan. Pengertian umum atau
pengertian jenis tidak memiliki kenyataan. Semuanya itu hanya kata-kata saja, yang
dipakai orang untuk menyebut benda-benda yang konkret dari satu jenis. Pandangan ini
didasarkan atas pertimbangan, bahwa ketika Aristoteles membicarakan hal kategori-
kategori, ia tidak membicarakan benda (res), melainkan kata-kata (voces). Oleh karena itu
pengertian-pengertian dan aturan-aturan yang logis tiada hubungan yang langsung dengan
realitas, tetapi dengan kata-kata yang dipakai dan dengan arti yang diberikan kepada kata-
kata itu. Aliran ini disebut Nominalisme. Pembelanya yang terpenting ialah Recellinus
dari Compaegne pada abad ke – 14 nominalisme tumbuh dengan kuat.
c) Di samping kedua pemecahan itu jalan tengah dikemukakan oleh Aristoteles dan
kemudian diikuti oleh Thomas Aquinas, yang mengemukakan, bahwa universalia bukan
berada di luar benda-benda yang konkret, tetapi di dalamnya. Harus ada dasarnya, bahwa
orang dapat menyebut benda-benda konkret yang bermacam-macam yang sejenis dengan
suatu istilah atau pengertian yang benda yang tanda-tanda pengenalannya sama.
Perbedaannya hanya pada hal-hal tambahan. Tidak ada hakikat itu berada dalam bentuk
ide-ide Allah, yang berdaya cipta. Jadi universalia itu ditemukan manusia dengan
menganalisa kenyataan-kenyataan yang diberikan oleh pengalaman.
Persoalan kefilsafatan yang terjadi pada abad ke – 11 masih tetap timbul dan mewarnai
persoalan kefilsafatan pada abad ke – 12, terutama masalah universalia. Menurut Anselmus,
5
pengertian-pengertian umum atau universalia bukan hanya sebutan saja, akan tetapi juga
memiliki realitas. Universalia benar-benar ada kenyataannya, bekas dari segala hal yang
individual, yaitu berada sebagai idea-idea di hal yang individual, yaitu berada sebagai ide-ide
di dalam Allah.
Baik pandangannya tentang pemikiran akali, maupun pandangan tentang iniversalia itu
dikaitkan dengan pandangan tentang bukti-bukti akan adanya Allah. Iman mengandalkan,
bahwa Allah pasti ada. Baru setelah kepastian ini akal berusaha membuktikannya. Ada dua
cara untuk membuktikan bahwa Allah ada. Adanya hal-hal yang terbatas mengandaikan
adanya hal-hal yang tidak terbatas, yang baik secara relatip (bakal dalam hubungannya
dengan hal-hal yang lain) mengandaikan adanya suatu yang baik secara mutlak. Seandainya
tiada hal yang baik secara mutlak tentu tiada suatu yang baik secara relatip. Demikian juga
halnya dengan yang besar secara relatip mengandaikan adanya hal-hal yang besar secara
mutlak. Beradanya “yang ada” secara relatip mengandaikan beradanya “yang ada” secara
mutlak, yaitu Allah. Cara yang lain untuk membuktikan adanya Allah ialah penguraian,
bahwa apa yang kita sebut Allah adalah suatu “ada” yang lebih besar dari apa saja yang dapat
kita pikirkan. Jika kita berbicara tentang Allah, yang kita maksud ialah suatu pengertian yang
lebih dari apa saja yang dapat kita pikirkan. Jadi pengertian “Allah” yang berada dalam
pikiran kita adalah lebih besar daripada apa saja yang ada di dalam pikiran. Apa yang di
dalam pemikiran ada sebagai yang tertinggi atau yang terbesar, tentu juga berada di dalam
kenyataan sebagai yang tertinggi dan yang terbesar.
Sekalipun cara penguraian ini tidak dapat ditetapkan terhadap segala hal (pulau yang
terindah yang diperkirakan orang atau dikhayalkan, belum tentu benar-benar ada dalam
kenyataan), namun pengertian tentang Allah memang berbeda dengan pengertian-pengertian
yang lain. Hanya pengertian tentang Allah sebagai tokoh yang jauh lebih besar daripada
segala sesuatu itulah yang menuntut adanya realitas yang sesuai dengan pengertian itu, sebab
adalah suatu kenyataan, bahwa segala manusia memiliki pengertian tentang Allah itu.
Inilah sebabnya Anselmus menentang nominalisme Roscelinus yang mengemukakan,
bahwa hanya sebutan saja.
Pemikiran Anselmus besar sekali pengaruhnya atas perkembangan filsafat, terutama
teologi pada masa berikutnya. Sebenarnya karya-karya Anselmus ditulis pada abad ke – 11
dan ia sendiri hidup pada tahun 1033 – 1109 akan tetapi karena karya-karya sangat besar
6
pengaruhnya bagi pemikiran Skolastik, maka ada baiknya tokoh ini dibicarakan dalam
generasi abad ke – 12. Dilihat dari segi integralitas pemikiran kefilsafatannya, maka
Anselmus dapat dipandang sebagai tokoh Skolasyikus yang sangat menonjol dan penting.
Pada abad ke – 12 muncul filsuf Petrus Abaelerdus (1079-1142) yang berusaha keras
untuk memberi pemecahan kepada pemikiran pada masa kejayaan Skolastik. Pemikiran
kefilsafatannya cukup menonjol sebab ia mampu menemukan pemecahan dalam pemikiran
Aristoteles, walaupun sebenarnya Abaelardus sendiri kurang mengenal.
Menurut dia, yang nyata dalam arti yang sebenarnya hanyalah yang secara individual
konkret ada. Oleh karena itu pengertian jenis yang bersifat umum atau universalia, bukanlah
benda ( res ), namun juga bukan hasil pemikiran yang semena-mena, bukan hanya kata-kata (
voces ). Sebab pengertian jenis itu menunjukkan kepada sifat-sifat yang benar-benar ada
benda-benda yang konkret itu. Hanya saja sifat-sifat itu tidak memiliki kenyataannya sendiri
di laut benda yang konkret itu. Sifat-sifat itu dengan nyata berada di dalam benda yang
konkret itu. Demikianlah pengertian jenis bukanlah benda (res ), bukan kata-kata ( voces ),
melainkan sermo (pernyataan isi yang ideal). Pengertian umum terjadi karena abstraksi.
Padahal pengertian yang diabstrakan tidak identik dengan realitas. Menurut sifat-sifat hakiki
tertentu memang ada kesamaan di antara benda-benda yang bermacam-macam dalam satu
jenis. Kesamaan ini diungkapkan dalam suatu sermo, suatu pernyataan tentang isi yang ideal.
Pernyataan itu terjadi oleh perbuatan jiwa yang sedemikian rupa hingga apa yang diamatinya
diambil hal-hal yang cocok bagi pernyataan sebagai pengertian diambil hal-hal yang cocok
bagi pernyataan sebagai pengertian. Pendapat ini disebut sermonisme atau konseptualisme.
Sermo itu sesuai dengan hakikat tiap substansi. Ada hubungan batiniah antara benda-benda
dan apa yang dikaitkan benda itu. Benda-benda individual, yang secara pengertian umum
atau pengertian jenis. Hal itu disebabkan karana universalia berada di dalam kesadaran Allah.
Oleh karena itu maka kesimpulan Abaelardus adalah demikian :
Universalia sebagai pengertian umum pertama-tama berada sebagai ide di dalam Allah ( ante
res = sebelum bendanya ), kemudian universalia itu berada di dalam bendanya, yang tampak
dalam kesamaan dari sifat hakiki benda-benda itu ( in rebus = di dalam bendanya ), dan
akhirnya juga berada setelah benda-bendanya ada ( post res ), sebagai pengertian yang berada
di dalam pemikiran manusia.
Pengaruh pemikiran Aristoteles masih tampak dalam abad ke – 13. Hal ini dilihat
dalam pemikiran Albertus Agung (1206-1280). Kedudukan Albertus dalam masanya cukup
istimewa, sebab ia mempelajari filsafat demi filsafat. Dalam hal ini filsafat dipandang sebagai
ilmu yang memiliki objek, kaidah-kaidah, dasar-dasar, dan metode sendiri. Dalam ajarannya
7
yang mengenai universalia atau pengertian umum ia menggabungkan pendapat Aristoteles
dengan ajaran Neoplatonisme. Menurut dia, universalia atau pengertian umum hanya berada
sebagai bentuk saja. Ada 3 macam berada bentuk-bentuk itu , yaitu :
a) Sebagai bentuk-bentuk yang berada di dalam kesadaran atau akal Allah, yaitu ide-ide atau
pola dasar yang segala yang berada secara konkret di dunia ini. Segala sesuatu yang
diciptakan Allah diciptakan sesuatu dengan pola-pola dasar ini ( universalia ante rem =
universal yang berada sebelum berada sebagai benda ).
b) Sebagai bentuk-bentuk yang telah direalisir dalam kenyataan, yang berada sebagai benda.
Dalam tiap benda ide yang ada dalam kesadaran Allah tadi telah direalisir secara lebih
atau kurang sempurna ( universalia in re = universalia yang berada di dalam bendanya
sendiri ).
c) Sebagai bentuk yang dihasilkan oleh roh manusia, yaitu dengan jalan menghasratkannya
dari bendanya yang bermacam-macam itu, setelah benda-bendanya ada, pengertian
jenisnya kita bentuk dari benda-benda yang bersama-sama dengan benda-benda yang lain
yang kita amati ( universalia post rem = universalia ) yang dikonsepkan oleh kita setelah
bendanya ada. Demikianlah dapat disimpulkan bahwa kita membentuk pengertian-
pengertian jenis itu dari kenyataan yang dihadapkan kepada kita. Benda-bendanya berada
terlebih dahulu, lalu kita membentuk pengertian jenisnya dengan membandingkan benda-
benda itu yang satu dengan yang lain. Kita senantiasa mulai dengan mengamati jenis itu
sesuai dengan kenyataannya. Demikianlah dari pengalaman orang naik ke dunia benda-
benda yang abstrak, hingga sampai kepada Allah.
Di samping itu ada pula pendapat bahwa pengertian umum ( universalia ) tidak memiliki
eksistensi, sebab hanya yang tunggal itulah yang bereksistensi. Universalia hanya berada di
dalam akal saja. Pembedaan-pembedaan yang berarti adalah pembedaan-pembedaan yang
nyata ada, artinya : pembedaan-pembedaan di antara hal-hal yang benar-benar dapat
8
dipisahkan yang satu dari yang lain. Dengan ini pembedaan yang tradisional antara hakikat (
essential ) dan keberadaan ( existensia ) dari satu kenyataan saja.
Pemikiran tersebut di atas muncul pada masa akhir Skolastik. Tokohnya adalah William
dari Ockham (1285-1349), dan sejak saat inilah mulai muncul aliran baru yang disebut jalan
modern ( via modern ), pemikiran tersebut di atas memiliki konsekuensi tersebut di bidang
pengetahuan. Apabila bertitik tolak pada pemikiran John Locke (1632-1704) dengan metode
empirisnya jelaslah bahwa pengertian umum ( universal ) merupakan suatu sebutan kolektif
bagi semua gagasan yang tunggal dan majemuk dari rumpun dan jenisnya yang sama (
homogen ).
Sumber : Sudarsono, SH. MSi, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar, 2008, Rineka Cipta.
9