fiqih mu'amalah fordebi · kekayaan, hak-hak dan penyelesaian sengketa”1. perbedaan...
TRANSCRIPT
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
IMPLEMENTASI FIQIH MU’AMALAH DALAM LEMBAGA
KEUANGAN SYARI’AH Oleh: Dr. Jamaludin Acmad Kholik, Lc. MA.
(Dosen Pasca Sarjana IAIN Kediri Jawa Timur)
A. PENGERTIAN FIQIH MU'AMALAT MALIYAH
Mu'amalat secara bahasa merupakan jama' dari kata mu'amalah, diambil dari kata 'âmaltu
al rajula u'âmiluhu mu'âmalatan, yang berarti berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan
mâliyah berasal dari kata mâl yang berarti harta.
Mu'amalat secara terminologi memiliki dua pengertian, pengertian yang luas dan
pengertian yang sempit, dengan pengertian yang luas mu'amalat berarti: hukum-hukum syari'at
yang mengatur hubungan sesama manusia di dunia, baik yang berkaitan dengan harta maupun
wanita. Pengertian ini seperti yang didefinisikan oleh Dr.Abdul Sattar Fathullah Sa’id: “Fiqh
mu’amalat ialah hukum syari’ah yang berkaitan dengan transaksi manusia mengenai jual beli,
gadai, perdagangan, pertanian, sewa, menyewa, perkongsian, perkawinan, penyusuan, thalak,
‘iddah, hibah & hadiah, washiat, warisan, perang dan damai”1. Dalam konteks mu’amalah dalam makna luas, Ibnu Abidin membagi mu’amalah kepada
5 bidang:
• Mu’awadhah Maliyah (Hukum Tukar menukar harta)
• Munakahat (Hukum perkawinan)
• Mukhashamat (Hukum Acara)
• Amanat dan ‘Ariyah (Pinjaman)
• Tirkah (harta warisan)
Sebagian ulama mengkhususkan mu'amalat pada hukum-hukum yang berkaitan dengan
harta, dengan membagi fikih Islam menjadi: Ibadat, mu'amalat, munakahat, 'uqubat.
Sebagaimana Ustadz Ali Fikri mendefinisikan mu'amalat sebagai berikut: "mu'amalat adalah
1 Dr.Abdul Sattar Fathullah Sa’id, "Al-mu'amalah fil Islam", Makkah: Rabithah alam Al-Islami, hlm.12.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
ilmu yang mengatur pertukaran harta dan manfaat antar sesama manusia dengan perantaraan
akad-akad dan kewajiban-kewajiban".
Dr. Musthafa Ahmad Zarqa juga mendefinisikan mu'amalat dengan: “Hukum-hukum
tentang perbuatan manusia yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia mengenai harta
kekayaan, hak-hak dan penyelesaian sengketa”1. Perbedaan pengertian mu'amalah dalam arti sempit dan luas adalah dalam cakupannya,
pengertian yang luas mencakup mu’awadhat maliyah, munakahat, warisan, politik dan pidana.
Sedangkan dalam makna sempit cakupannya hanya tentang ekonomi (iqtishadiyah).
Pengkhususan mu'amalat untuk hukum-hukum yang hanya berkaitan dengan harta lebih tepat.
Pengertian yang khusus (sempit) inilah yang sama maknanya dengan "fiqih mu'âmalah mâliyah".
Dengan demikian fiqih mu'amalat maliyah bisa kita artikan sebagai "hukum-hukum
syari'at yang mengatur hubungan manusia yang berkaitan dengan harta", sehingga mencakup
akad-akad tukar-menukar; seperti jual beli dan sewa, akad-akad sosial; seperti hibah, wakaf dan
wasiat, akad pembebasan; seperti pembebasan dari hutang, akad-akad musyarakah dan jaminan;
seperti gadai, kafalah dan hiwalah (transfer)2. Atau dengan bahasa lain fiqih mu’amalah mâliyah
ialah : “Aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
memperoleh dan mengembangkan harta benda” atau “Aturan-aturan Allah tentang kegiatan
ekonomi manusia”.
B. URGENSI FIQIH MU'AMALAT MALIYAH
Urgensi fiqih mu'âmalah dapat dilihat dari keterkaitannya yang sangat erat dengan
syari'at Islam, karena fiqih mu'amalat adalah bagian integral dari syari'at Islam yang tidak bisa
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Syari'at Islam tidak dapat tegak dari sisi amali kecuali
dengan menerapkan fiqih mu'amalat, baik yang berkaitan dengan aktivitas individu maupun
kolektif3.
1 Dr.Musthafa Ahmad Zarqa, " Al-Madkhal al-Fiqh Al-Am", Damaskus: Al-Adib, 1966-1967, hlm. 55. 2 Dr. Muhammad 'Utsman Syabir, “al Mu'amalat al maliyah al mu'ashirah”, Jordan: Dar al nafais, cet. III tahun 1419 H/1999 M, hal. 10. 3 Prof. Dr. Nashr Farid Washil, Buhûts wa Dirasât fî: al 'Uqûd al ribawiyyah wa al mu'amalât al mashrafiyyah wa
al siyasah al naqdiyyah, Cairo: Maktabah al shafa, cet. I th. 1420 H/ 2000 M, hal. 23.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
Apabila ekonomi konvensional –dengan sebab situasi kelahirannya- terpisah secara
sempurna dari agama. Maka keistimewaan terpenting ekonomi Islam adalah keterkaitannya
secara sempurna dengan Islam itu sendiri, yaitu aqidah dan syariah1.
Ekonomi Islam adalah aturan Tuhan, setiap ketaatan terhadap aturan ini merupakan
ketaatan kepada Allah Swt. setiap ketaatan kepada Allah adalah ibadah, jadi menerapkan sistem
ekonomi Islam adalah ibadah2. Ini sesuai dengan misi diciptakannya manusia, yaitu untuk
menyembah Allah Swt, sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur'an:
نس الجن خلقت ﴿وما 3لیعبدون﴾ إلا والإ
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku".
n Hukum Mempelajari Fiqih Mu’amalat
Memahami/mengetahui hukum mu’amalah maliyah wajib bagi setiap muslim, namun
untuk menjadi expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah.
Kewajiban itu disebabkan setiap muslim tidak terlepas dari aktivitas ekonomi. Bahkan
sebagian besar waktu yang dihabiskan seorang manusia adalah untuk kegiatan mu'amalah,
seperti mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga, bahkan negara. Kalau kita
perhatikan perbandingan alokasi waktu untuk ibadah mahdhah dan mu'amalah seperti berikut:
Ibadah Mahdhah 5 x 10 menit = 50 menit, sedangkan mu'amalah (mencari nafkah/kerja)
dilakukan manusia mulai jam 7 pagi sd jam 19.00 = 12 jam. Hanya saja materi ibadah mahdhah
merupakan materi yang dominan dibahas para ustadz saat ini, sedangkan materi mu'amalat
cenderung diabaikan dalam pengajian.
n Akibat mengabaikan kajian mu'amalah
Apabila kajian fiqih mu'amalah diabaikan, akan mempunyai implikasi yang buruk bagi
umat Islam, diantaranya:
1 Prof. Dr. Ahmad Muhammad ‘Assal & Prof.Dr. Fathi Ahmad Abdul Karim, An-Nizham al-Iqtishadi fil Islam,
Cairo: 1977, hlm.17-18. 2 Muhammad Rawwas Qal’ah, Mabahits fil Iqtishad al-Islamiy, Kuwait Darun Nafas, 2000, hlm.55. 3 QS. Al Dzâriyât: 56
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
• Umat Islam kurang faham praktek mudharabah, musyarakah, ijarah, murabahah dan 40 lebih
jenis transaksi mu'amalah lainnya.
• Umat Islam tidak faham perbedaan bank Islam dengan bank konvensional, perbedaan margin
murabahah dengan bunga, perbedaan bunga dan bagi hasil.
• Umat Islam memandang sama saja bank Islam dan bank konvensional, asuransi Islam dan
konvensional, dll.
• Umat Islam memandang kalau Ekonomi Islam sama saja dengan ekonomi konvensional.
• Umat Islam tidak memahami fungsi uang, sehingga tanpa rasa berdosa mempraktekkan riba di
bank, asuransi, pasar modal dan kredit-kredit lainnya.
Karena pentingnya fiqih mu'amalat, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan
berkata :
لا یبع في سوقنا إلا من قد تفقھ في الدین
“Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang telah mengerti fiqh (mu'amalah)
dalam agama Islam” (H.R.Tarmizi)
Dalam konteks ini Allah Berfirman:
أصلواتك تأمرك أن نترك مایعبد ءابآؤنآ أو أن نفعل في أموالنا مانشاء إنك قالوا یاشعیب ﴿
شید 1﴾ لأنت الحلیم الر
"Mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami
meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyang kami atau melarang kami memperbuat
apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang
penyantun lagi berakal”
Ayat di atas mengisahkan perdebatan kaum Nabi Syu’aib yang mengingkari agama yang
dibawanya yang mengajarkan I’tiqad dan iqtishad (aqidah dan ekonomi)
Nabi Syu’aib mengingatkan mereka tentang kekacauan transaksi mu'amalah ekonomi yang
mereka lakukan selama ini. Ayat ini berisi dua peringatan penting, yaitu aqidah dan mu'amalah.
Ayat ini juga menjelaskan bahwa pencarian dan pengelolaan rezeki (harta) tidak boleh
1 QS. Hud: 87
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
sekehendak hati, melainkan mesti sesuai dengan kehendak dan tuntunan Allah, yang disebut
syari’ah.
C. KARAKTERISTIK FIKIH MU'MALAT MALIYAH
Fiqih mu'amalat memiliki keistimewaan tersendiri dari cabang-cabang fiqih lainnya, yang
harus dipahami oleh setiap muslim yang berinteraksi dengan permasalahan-permasalahan fiqih
mu'amalat kontemporer. Keistimewaan itu bisa kita lihat pada karakteristik fiqih mu'amalat
seperti di bawah ini:
1. Fiqih mu'amalat didasarkan kepada prinsip-prinsip umum
Fiqih mu'amalat seperti cabang-cabang fiqih Islam lainnya sumbernya bersifat rabbani,
yaitu bersumber kepada Al Qur'an dan sunnah. Hanya saja fiqih mu'amalat didasarkan pada
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah umum, tidak berkutat pada hal-hal yang rinci. Ini memberi
ruang pada para fuqaha untuk berijtihad dalam memberikan solusi hukum bagi permasalahan-
permasalahan yang baru muncul.
Diantara prinsip-prinsip tersebut adalah:
a. Diharamkan memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur'an , Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu."
"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, Padahal kamu mengetahui."
Ayat ini adalah salah satu kaidah pokok dalam mu'amalat, sebagaimana yang dikatakan
oleh Ibnu al 'Arabi ketika menafsirkan ayat di atas: "ayat ini merupakan salah satu kaidah
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
mu'amalat dan dasar untuk transaksi tukar-menukar"1. Larangan ini mencakup perjudian,
penipuan, ghashab, penjualan khamer, suap dan lain-lain.
b. Dihalalkan jual beli dan diharamkan riba
Allah Swt. berfirman:
"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
c. Dilarang berbuat gharar (ada unsur ketidak jelasan)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkata:
2نھى رسول الله صلى الله علیھ وسلم عن بیع الغرر
"Rasulullah saw. melarang jual beli yang ada unsur ketidak jelasan"
Larangan berbuat gharar ini merupakan prinsip pokok yang mencakup banyak permasalahan
dalam bab jual beli.
d. Memperhatikan tujuan (maqâshid)
Seorang muslim dituntut untuk menjaga harta dan menginvestasikannya, sehingga dapat
melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh syara’ kepadanya, bahkan Islam menganggap
hifdzul mal (menjaga harta) merupakan salah satu dari lima tujuan syari’ah (maqashid syari’ah)
yang menjadi pondasi tegaknya suatu kehidupan.
2. “Pada dasarnya semua aktivitas mu'amalah adalah boleh kecuali ada dalil yang
melarangnya”
Kaidah fiqih mu'amalat ini berbeda dengan kaidah dasar dalam masalah ibadah yang
berbunyi: “Pada dasarnya dalam ibadah adalah haram, kecuali ada dalil yang membolehkannya”.
Maka dalam masalah mu'amalat tidak dilarang untuk melakukan suatu aktivitas, kecuali ada nash
(teks) syari'ah yang melarangnya secara jelas, baik dari segi dilalahnya maupun ketetapannya.
Perbedaan prinsip ibadah dan mu'amalah dapat kita lihat pada tabel berikut ini:
No. Ibadah Mu'amalah
1 Ibnu al 'Arabi, "Ahkâm al Qur'ân", Beirut: Dâr al kutub al 'ilmiyyah, cet. 3 th. 1424 H/ 2003 M. juz 1 hal. 137. 2 Ibnu Majah, "Sunan Ibnu Majah", tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dâr Ihyâ' al Kutub al 'Arabiyyah- Faishal
'Isâ al Bâbi al Halabî, juz 2 hal. 739, nomer hadits: 2195. Hadits senada diriwayatkan oleh Imam Muslim, "Shahih Muslim", Beirut: Dâr ihyâ' al Turâts al 'Arabiyyah, tahqîq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, 3/1153, nomer hadits: 1513.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
1 Bersifat tetap (ثابتة) Bersifat Elastis (متغیرة)
2 Tidak bisa berkembang Dapat berkembang sesuai dengan
zaman & tempat
3 Bersifat khusus,eksklusif Bersifat universal, inklusif
4 Nash-nash lebih terinci (tafshili) Nash-nash umumnya general
5 Peluang Ijtihad sempit Peluang ijtihad luas
3. Fiqih mu'amalat didasarkan kepada 'illat dan kemashlahatan
Jika kebanyakan masalah ibadah dalam Islam bersifat ta'abbudiyyah tidak
memperhatikan masalah rasionalisasinya, seorang muslim dituntut untuk melaksanakannya
meski tidak mengetahui 'illat ataupun hikmahnya, seperti jumlah rakaat dalam sholat, mencium
hajar aswad. Berbeda dengan fiqih mu'amalat yang kebanyakan bukan hal yang ta'abbudiyyah,
tapi melihat kepada 'illat dan alasan disyari'atkan suatu hukum yang bisa dicerna oleh akal
seorang muslim. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Al Syathibi dalam kitabnya:
وأصل المعاني، إلى الالتفات دون التعبد المكلف إلى بالنسبة العبادات في الأصل
1المعاني إلى الالتفات العادات
"Pada dasarnya hukum dalam ibadah bagi seorang mukallaf adalah ta'abbud tanpa melihat
kepada makna-makna, sedangkan hukum dasar dalam masalah 'âdât (kebiasaan) adalah melihat
kepada makna-makna".
Kemashalahatan yang dimaksudkan dalam fiqih mu'amalat adalah dengan mendahulukan
kemaslahatan dharuriat (primer) kemudian hajiat (skunder) baru kemudian tahsiniyat (tersier).
Seluruh syari'at Islam adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, semua bertujuan
untuk mewujudkan kebahagiaan dan kemashalatan manusia secara riil, baik yang bersifat
individu maupun kolektif (jama'ah)2.
4. Fiqih mu'amalat menggabungkan antara perkara permanen dan fleksibel
1 Syathibi, "al muwâfaqât", muhaqqiq: Abu 'ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, Dâr Ibnu 'Affan, cet. 1 th. 1417 H./ 1997 M. juz 2 hal. 513.
2 Prof. Dr. Nashr Farid Washil, hal. 26.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
Sebagian hukum mu'amalat bisa berubah sesuai dengan perubahan 'illat dan
kemashlahatan, dan sebagian lagi merupakan hukum yang permanen tidak bisa berubah meski
kondisi, tempat dan zaman telah berubah. Dengan demikian fiqih mu'amalat menggabungkan
antara hukum yang permanen dan yang fleksibel.
Diantara hukum-hukum yang permanen adalah harus ada rasa suka sama suka (tarâdhi)
dalam melakukan transaksi, diharamkan riba, penipuan dan penimbunan barang, serta hukum-
hukum yang berkaitan dengan tujuan-tujuan syari'ah seperti mewujudkan keadilan, larangan
melakukan kedzaliman, dan menjaga harta.
Sedangkan hukum-hukum yang berkaitan dengan wasail (sarana/teknis) atau ditetapkan
dengan ijtihad yang didasarkan kepada tradisi, maka bisa berubah dengan berubahnya wasail dan
tradisi. Misalnya uang merupakan alat untuk membeli suatu barang, dahulu dibuat dari emas dan
perak, namun sekarang menggunakan logam dan kertas, yang bisa dianggap sebagai uang yang
sah, meski bukan dari emas dan perak.
Oleh karena itu, penting sekali bagi seorang faqih untuk mengetahui perbedaan antara
hukum yang permanen dan yang fleksibel, agar dapat menentukan hukum permasalahan-
permasalahan mu'amalat kontemporer yang muncul secara tepat1.
D. AKAD-AKAD DALAM FIQIH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM LKS
1. Pengertian akad dalam fiqih
Secara bahasa akad berarti ikatan antara dua ujung-ujung sesuatu, baik ikatan itu secara
fisik maupun maknawi, dari satu pihak atau dari dua pihak.
Menurut terminologi/istilah fikih, akad berarti:
محلھ فى رهثأ یثبت روعمش جھو على ولبقب بیجاإ طتباار
Hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya
pengaruh/akibat hukum pada obyek akadnya2.
Pengertian Akad Dalam Fatwa DSN & KHES
Dalam Fatwa DSN:
1 Dr. 'Utsman Syabir, hal. 25-26. 2 Dr. Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islami wa adillatuh, 4/433.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
§Akad adalah pertalian (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan)
yangdibuat antara dua pihak atau lebih, sesuai prinsip syariah (Fatwa 88)
§Akad adalah transaksi atau perjanjian syar’i yang menimbulkan hak dan kewajiban serta
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Line Facility (Fatwa 45)
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES):
Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan
dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu (Pasal 20 angka 1 KHES).
2. Rukun akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab-qabul. Adapun orang yang
mengatakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya akad tidak dikatagorikan
rukun sebab keberadaanya sudah pasti.
Menurut jumhur ulama rukun akad ada tiga:
1. ‘aqid (orang yang melakukan transaksi)
2. Ma’qud ‘alaih (obyek akad)
3. Shighah (ijab dan qabul) 1
Menurut Fatwa DSN Rukun Akad terdiri dari:
1. Kesepakatan Untuk Mengikatkan Diri (Shighat al‘Aqd/Ijab wa Qabul);
2. Pihak-PihakYang Berakad (al Muta’aqidain/al‘Aqidain);
3. Objek Akad (Mahal al‘Aqd/al-ma'qud Alaih)
4. Tujuan Akad (Maudhu’ul ‘Aqd)
4. Syarat-syarat akad
Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah adanya hukum itu tergantung kepada adanya
syarat. Dan agar terjadi akad, disamping harus terpenuhi rukun-rukun di atas harus terpenuhi
empat macam syarat sebagai berikut:
a. Syarat in’iqad (syarat terbentuknya akad)
1 Ibid, 4/445.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
Yaitu agar terbentuk akad secara syar’i disyaratkan adanya syarat-syarat ini, kalau tidak
terpenuhi, maka akad tidak sah. Syarat ini terdiri dari syarat khusus yang harus dipenuhi bagi
masing-masing akad, dan syarat umum yang harus dipenuhi bagi semua akad, seperti syarat-
syarat yang berkaitan dengan rukun-rukun akad.
b. Syarthu shihhah (Syarat sah)
Yaitu syarat yang harus dipenuhi agar implikasi akad bisa diwujudkan, kalau tidak
terpenuhi, maka akad tidak sah. Kebanyakan syarat ini berkaitan dengan masing-masing akad,
misalnya madzhab Hanafi mensyaratkan jual beli harus terbebas dari 6 cacat:
1. Ketidak jelasan yang bisa mengakibatkan perselisihan.
2. Adanya paksaan, yaitu mengharuskan salah satu pihak untuk membeli tanpa kerelaannya.
3. Dibatasi waktu, yaitu membatasi jual beli dengan waktu tertentu, sebulan atau setahun
misalnya.
4. Adanya unsur penipuan tentang sifat barang yang dijual.
5. Adanya hal yang merugikan (dharar) bagi salah satu pihak.
6. Adanya syarat yang rusak, misalnya menjual mobil dengan syarat tidak dipakai oleh
pembeli dalam waktu sebulan atau setahun.
c. Syarthu nafadz (Syarat bisa dilaksanakan implikasi akad), syaratnya ada dua:
1. Kepemilikan (al milk), yaitu kepemilikan atas sesuatu tanpa ada hak orang lain terhadap
barang tersebut, dan mampu melakukan tasharuf terhadap barang tersebut tanpa ada
penghalang secara syar’i.
2. Kekuasaan (al wilayah), yaitu kekuasaan dalam pandangan syari’ah yang menjadikan
akad terbentuk dan bisa dilaksanakan implikasinya.
d. Syarthu luzum (Syarat agar akad mengikat), disyaratkan agar akad mengikat harus
terbebas dari khiyar yang membolehkan salah satu pihak membatalkan akad.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
5. Klasifikasi Akad
Pertama : dilihat kepada segi ada atau tidaknya tasmiyah pada akad tersebut. Maka akad
ditinjau dari segi ini, dibagi kepada :
• ‘Uqud musammah, yaitu akad-akad yang telah ditetapkan syara’ dan diberikan hukum-
hukumnya, seperti jual beli, hibah, ijrah, sirkah, dll.
• ‘Uqud ghairu musammah, yaitu akad-akad yang belum diberikan istilah-istilah dan belum
ditetapkan hukumnya.
Kedua: dilihat dari segi disyari’atkannya akad atau tidaknya. Maka akad ditinjau dari segi ini
dibagi dua :
• ‘Uqud musyru’ah, yaitu akad-akad yang dibenarkan syara’ dan diizinkannya, umpamanya jual
beli, jual harta yang ada harganya dan termasuk juga hibah, dan rahn (gadai).
• ‘Uqudun mamnu’ah, yaitu akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak binatang yang
masih dalam kandungan yang dalam bahasa Arab dikatakan bai’ malaqih atau bai’ madlamin,
yang dikenal di masa jahiliyah.
Ketiga : dilihat dari segi sah tidaknya akad. Akad ditinjau dari segi ini, dibagi dua pula :
• ‘Uqud shahihah, yaitu yang cukup syarat, baik syarat-syarat yang bersifat umum, maupun
syarat-syarat yang khusus baik pada pokonya, maupun pada cabang-cabangnya. Contohnya
seperti menjual sesuatu dengan harga sekian kalau kontan, dan sekian kalau hutang.
• Uqud fasidah, yaitu akad-akad yang cedera yang tidak sempurna, yakni terdapat padanya
sebagian syarat yang berpautan dengan bukan hukum pokok. Umpamanya menjual sesuatu
dengan harga yang tertentu tetapi ditangguhkan masa pembayarannya kepada masa yang tidak
ditentukan.
Keempat : dilihat dari sifat bendanya. Akad dilihat pada sifat bendanya, dibagi dua juga :
• Uqud ‘ainiyah, yakni yang disyaratkan untuk kesempurnaannya menyerahkan barang-barang
yang dilakukan akad.
• ‘Uqud ghairu ‘ainiyah, yaitu akad-akad yang hasil dengan semata-mata akad dilakukan.
Kelima : dilihat dari bentuk atau cara melakukan akad. Dari sudut ini dibagi dua pula:
• Akad-akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu, yaitu ada saksi, seperti
pernikahan.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
• ‘Uqud ridlaiyah, yakni akad-akad yang tidak memerlukan upacara yang apabila terjadi
persetujuan kedua belah pihak telah menghasilkan akad, seperti kebanyakan akad.
Keenam : dilihat kepada diberlakukan tidaknya, akad dibagi dua:
• ‘Uqud nafizah, yaitu terlepasnya dari suatu penghalang sahnya akad.
• ‘Uqud mauqufah, yaitu akad-akad yang berpautan dengan persetujuan, seperti akad fudluly
(akad-akad mauquf, karena berlakunya akad ini adalah setelah disetujui oleh bersangkutan
sendiri atau si pemilik harta).
Ketujuh : dilihat dari luzum dan dapat difasakhkannya akad, akad dibagi menjadi empat
macam:
• Aqad lazim, bihaqqi tharafaini, yaitu akad ini tidak dapat difasakh dengan jalan iqalah,
misalkan akad nikah.
• ‘Uqud lazimah bi haqqi tharafaini, tetapi dapat difasakh dengan iqalah, atas persetujuan
kedua belah pihak, seperti jual beli, shulh, dll.
• ‘Uqud lazimah bihaqqi ahadi tharafaini, seperti rahn dan kafalah.
• ‘Uqud jaizah (lazimah bihaqqi kila tharafaini), yaitu yang boleh ditarik oleh masing-masing
pihak tanpa menunggu persetujuan pihak yang kedua, seperti ida’, i’arah dan wakalah.
Kedelapan : dilihat dari segi tukar-menukar hak, terbagi atas :
• ‘Uqudun mu’awadlah, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik, seperti jual beli,
sewa menyewa, shulh dengan harta, atau shulh terhadap harta dengan harta.
• ‘Uqud tabarru’at, yaitu akd-akad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan, seperti hibah
dan i’arah.
• ‘Uqud yang mengandung tabarru’ pada permulaan tetapi menjadi mu’awadlah pada akhirnya,
seperti qaradl dan kafalah.
Kesembilan : dilihat kepada harus dibayar ganti dan tidaknya, terbagi atas :
• ‘Uqud dlaman, yaitu tanggung jawab pihak kedua sesudah barang-barang itu diterimanya.
Seperti jual beli, iqalah, qismah, qaradl.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
• ‘Uqud amanah, yaitu tanggung jawab dipikul oleh yang punya, bukan oleh yang memegang
barang yaitu: ida’, i’arah, syirkah,wakalah, dan washayah.
• ‘Uqud yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, dari segi yang mengharuskan dlaman, dari segi
lain merupakan amanah, yaitu ijarah, rahn, shulh ‘am mal bi manfa’ah.
Kesepuluh : dilihat dari segi tujuan akad, yaitu :
• Yang tujuannya atau ghayahnya tamlik, seperti bai’ mudlarabah.
• Yang tujuannya mengkokohkan kepercayaannya saja (tautsiq), seperti rahn dan kafalah.
• Yang tujuannya menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washayah.
• Yang tujuannya pemeliharaan, yaitu aqdul ‘ida.
Kesebelas : dilihat dari segera berlakunya dan terus menerus berlakunya, tidak habis pada
waktu akad itu, yakni :
• ‘Uqud fauriyah, yaitu akad-akad yang pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama,
seperti jual beli.
• ‘Uqud mustamirrah, yaitu akad-akad yang pelaksanaannya memerlukan waktu yang menjadi
unsur asasi dalam pelaksanaannya, seperti ijarah.
Keduabelas : dilihat dari asliyah dan tabi’iyah. Akad dari segi ini dibagi dua juga :
• ‘Uqud asliyah, yaitu segala akad yang berdiri sendiri, tidak memerlukan kepada adanya
sesuatu urusan lain, misalnya jual beli, ijarah, dll.
• ‘Uqud tab’iyah, yaitu segala akad yang berpautan wujudnya pada adanya sesuatu yang lain,
misalnya rahn dan kafalah.1
6. Hal-hal yang bisa merusak akad
Hal-hal yang dipandang merusak terjadinya akad adalah : paksaan, kekeliruan, penipuan
atau pemalsuan dan tipu muslihat.
a. Paksaan (Al-Ikrah)
Untuk sahnya, suatu akad harus terjadi dengan sukarela antara pihak-pihak bersangkutan.
Unsur paksaan mengakibatkan akad yang dilakukan menjadi tidak sah. Kaidah umum dalam
1Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah(Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997) hlm 109-116
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
muamalat menentukan bahwa setiap tindakan atau akad yang terjadi dari orang yang dipaksa,
tidak ada nilainya atau tidak mempunyai akibat hukum sama sekali.
b. Kekeliruan (ghalath)
Kekeliruan yang dimaksud disini ialah kekeliruan yang terjadi pada objek akad, bukan
pada subjeknya juga, sebab tentang subjek akad sudah dibicarakan dalam macam-macamnya,
apakah seseorang bertindak sebagai subjek asli, mewakili orang lain, atau lancang. Kekeliruan
pada objek akad mungkin terjadi pada jenisnya atau sifatnya. Bila unsur sukarela antara dua
pihak merupakan asas sahnya suatu akad, terjadinya kekeliruan pada objek akad itu akan
menghilangkan unsur sukarela tersebut. Maka, bila dalam suatu akad terjadi kekeliruan jenis
objek, akad itu dipandang batal sejak awal.
c. Penipuan atau pemalsuan (Taghrir dan Tadlis)
Yang dimaksud dengan penipuan atau pemalsuan disini ialah menyembunyikan cacat
pada objek akad agar tampak tidak seperti yang sebenarnya, atau perbuatan pihak penjual
terhadap barang yang dijual dengan maksud untuk memperoleh harga yang lebih besar.Maka,
para fukaha mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa pihak yang merasa tertipu
berhak merusak (fasakh) akad.
d. Tipu Muslihat (Ghaban)
- Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang terkecoh berhak fasakh, meskipun bukan
merupakan akibat tipu muslihat sebab kecohan itu adalah semacam kelaliman yang harus
dihilangkan dari segala macam akad yang dapat menerima fasakh.
- Menurut pendapat yang mengatakan bahwa orang yang terkecoh tidak berhak fasakh,
kecuali apabila ada sebab lain. Maka, akad dipandang sah sebab merupakan suatu kebaikan
apabila stabilitas muamalat dapat terpelihara.
- Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa orang yang terkecoh berhak fasakh, dengan
ketentuan jika tipu muslihat itu datangnya dari partner yang melakukan akad dengannya.
Perlu dicatat bahwa pendapat yang memberi hak fasakh kepada orang yang terkecoh itu
adalah jika kecohan itu dipandang berat. Jika kecohan dipandang ringan, ia tidak
berpengaruh terhadap akad muamalat.1
1 Ibid, hlm 101-106
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
7. Implementasi Akad-akad fiqih dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
Akad-akad fiqih yang diterapkan di Lembaga Keuangan Syari’ah bisa diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Akad Pertukaran, terdiri dari:
1. akad jual beli (Murabahah, Salam, dan istishna’)
2. sewa menyewa (ijarah murni dan ijarah wa iqtina’/ ijarah muntahiyah bi tamlik)
b. Akad percampuran, terdiri dari:
1. mudharabah (mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah)
2. musyarakah (‘inan)
c. Akad titipan (wadi’ah)
d. Akad kepercayaan, terdiri dari:
1. Wakalah (wakalah muthlaqah, dan wakalah muqayyadah)
2. Kafalah
3. Hawalah
4. Rahn
Contoh aplikasi akad dalam produk LKS
Produk Lembaga keuangan syari’ah terdiri dari: Penghimpunan dana, penyaluran dana
dan jasa seperti berikut:
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
Keterangan:
a. Wadi’ah:
wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu
maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki
(fiqh sunnah)
- Hukum:
Pada dasarnya, penerima simpanan adalah yad al amanah (tangan amanah), artinya ia
tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama
hal ini bukan dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang
titipan.
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Praktik, 87
Implementasi wadi’ah di perbankan
Produkdanjasaperbankansyari'ah
Penghimpunandana
Giro:Wadi'ah
Mudharabah
Deposito:Mudharabah
Tabungan:MudharabahWadi'ah
Penyalurandana
Pembiayaan
BagiHasil
Mudharabah Musyarakah
Jualbeli
Murabahah Salam Istishna'
sewa
IjarahIjarah
muntahiyahbitamlik
Pinjaman:Qardh
Jasa
WakalahKafalahHawalahRahn
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
Dalam aktivitas perekonomian modern, si penerima simpanan tidak mungkin akan meng
–idle- kan aset tersebut, tetapi mempergunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu.
Karenanya, ia harus meminta izin dari si pemberi titipan untuk kemudian mempergunakan
hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh,
dengan demikian ia menjadi yad adh dhaman (tangan penanggung) yang bertanggung jawab atas
segala kehilangan/ kerusakan pada barang tersebut.
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Praktik, hal. 88
Mengacu pada pengertian yad adh dhaman, bank dapat memanfaatkan wadi’ah untuk
tujuan:
- current account (giro)
- saving account (tabungan berjangka)
Dalam hal ini bank boleh memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan
tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya ditetapkan dalam nominal atau persentase secara
advance, tetapi betul-betul merupakan kebijakan dari manajement bank.
b. Musyarakah
Akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Macam-macam Musyarakah/ syarikah:
1. Syarikat al milk (kepemilikan); warisan, wasiat, dll.
2. Syarikat al ‘uqud (kontrak)
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
Jenis-jenis syarikah al ‘uqud
a. Syarikat al ‘inan
Yaitu: kontrak antara dua orang atau lebih, setiap pihak memberikan suatu porsi dari
keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan
kerugian sebagaimana yang disepakati antara mereka. Akan tetapi porsi masing-masing pihak,
baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan
kesepakatan mereka.
b. Syarikah Mufawadhah
Yaitu: kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu
porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan
dan kerugian secara sama.
c. Syarikah A’mal/ abdan
Yaitu: kontrak kerja sama antara dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara
bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.
Misal: kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah.
d. Syarikah wujuh
Yaitu: kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise
baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan
menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian
berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra.
Aplikasi dalam perbankan
a. Pembiayaan proyek
Nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana.
b. Modal ventura ( al musyarakah al mutanaqishah)
Yaitu penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank
melakukan divestasi atau menjual sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Praktik, hal. 94
c. Mudharabah
Adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal)
menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan
usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, apabila rugi ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian bukan akibat kelalaian pengelola.
Macam-macam mudharabah:
1. Mudharabah muthlaqah
2. Mudharabah muqayyadah
Aplikasi pada perbankan
a. Pada penghimpunan dana:
1. Tabungan berjangka; deposito biasa, tabungan haji, kurban, dll.
2. Deposito spesial; khusus untuk bisnis tertentu
b. pembiayaan:
1. Pembiayaan modal kerja; perdagangan & jasa
2. Investasi khusus (mudharabah muqayyadah)
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Praktik, hal. 98
d. Murabahah
Jual beli murabahah secara bahasa diambil dari kata الربح yang artinya keuntungan, bai’
al murabahah berarti jual beli menggunakan modal dengan mendapatkan tambahan yang
diketahui1.
Jual beli murabahah secara istilah fiqih dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam al
Mughni: “Makna jual beli murabahah adalah jual beli dengan modal dan keuntungan yang
diketahui, dan disyaratkan kedua pihak mengetahui besar modal, misalnya mengatakan: modalku
untuk barang ini adalah seratus, aku jual kepadamu dengan keuntungan sepuluh, transaksi ini
diperbolehkan tanpa ada perbedaan pendapat tentang keabsahannya.2”
Penerapan akad murabahah dalam Lembaga keuangan syari’ah bisa digunakan untuk
pembiayaan dalam pembelian barang-barang, seperti rumah, mobil, tanah dan lain-lain.
1 Ibrahim Madkur, “al Mu’jam al wasith”, hal. 322. 2 Ibnu Qudamah, “al Mughni”, 4/129.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Praktik, hal. 107.
e. Bai’ Salam
Secara bahasa al salam adalah mashdar dari kata aslama, yang mashdar haqiqinya adalah
al Islâm, yang berarti: menyegerakan dan mendahulukan modal1.
Salam disebut juga dengan salaf, salam adalah bahasa penduduk Hijaz, sedangkan salaf
adalah bahasa penduduk Iraq, seperti yang diungkapkan oleh Imam Mawardi. Akad ini disebut
salam karena adanya penyerahan modal di tempat akad, dan dinamakan salaf karena adanya
penyerahan modal terlebih dahulu2.
Sedangkan salam dalam istilah fuqaha, ada yang mendefinisikan: “Akad terhadap barang
yang ditentukan sifatnya dalam tanggungan, dengan imbalan yang diserahkan di depan”3.
Akad salam pada perbankan Islam dipergunakan untuk memberi pembiayaan para petani,
khususnya ketika pemerintah atau suatu perusahaan penampung buah-buahan atau pabrik gula
misalnya berkomitmen untuk membeli hasil pertanian saat panen. Perbankan Islam memberikan
pembiayaan kepada petani, dengan membeli hasil pertanian dengan akad salam, kemudian
menjualnya setelah diserahterimakan dari penjual, sehingga bank mendapat keuntungan dari
selisih penjualan dan pembelian tersebut.
1 Ibnu Mandzur, Lisân al ‘Arab, 4/664. 2 Muhammad syarbini al Khathib, al Iqnâ’ 2/291, Muhammad Abdul Aziz Hasan Zaid, Bai’ al salam watathbiqâtuhu al mashrafiyyah al mu’âshirah, (Giza: Markaz al iqtishâd al Islâmi, al mashraf al Islâmi al dauli lil istitsmâr wa al tanmiyah, Cet. tanpa tahun, hal. 4. 3 Imam Nawawi, “Raudhatu al thâlibîn”, 4/3.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
Akad salam juga digunakan dengan system parallel, ada dua akad salam, dengan cara
bank Islam membeli sejumlah barang komoditi yang dijelaskan sifat-sifatnya dan akan
diserahkan pada waktu yang akan datang. Kemudian menjual sejumlah barang yang sama,
dijelaskan juga sifat-sifatnya, dan dengan waktu penyerahan yang sama. Keuntungannya adalah
selisih dari harga pada saat membeli dan harga pada saat menjual1.
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Praktik, hal. 113.
f. Bai’ istishna’
Secara bahasa bai’ istishna’ dari kata isthana’a fulanan kadza, yang berarti minta
kepadanya dibuatkan sesuatu untuknya2.
Secara istilah al istishna’ adalah akad dengan orang yang membuat sesuatu untuk
mengerjakan sesuatu tertentu dalam tanggungan, seperti kesepakatan dengan tukang kayu untuk
membuat meja atau kursi3.
Dalam perbankan syari’ah istishna’ bisa digunakan untuk pembiayaan pembuatan
rumah, gedung, atau barang-barang.
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Praktik, 115.
1 Mundzir al Qahf, al iqtishâd al Islâmi ‘ilman wa ‘amalan, 179-180. 2 Muhammad bin Ahmad al Samarqandi “Tuhfatu al Fuqaha”, 2/362. 3 Dr. Wahbah Zuhaili, al Mu’amalat al Maliyah al Mu’ashirah, hal. 56.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
g. Ijarah
Ijarah secara bahasa berarti upah terhadap kerja, dan akad terhadap suatu manfaat dengan
imbalan1. Dan secara istilah ijarah adalah akad atas suatu manfaat yang diketahui dan
diperbolehkan dengan memberikan imbalan yang diketahui2.
Diantara ijarah dalam perbankan syari’ah ada yang disebut al ijarah al muntahiyah bi
tamlik, yaitu sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa
yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan
ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.
Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk al ijarah, dapat melakukan leasing, baik
dalam bentuk operating lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya, bank-bank
tersebut lebih banyak menggunakan al ijarah al muntahiyah bittamlik karena lebih sederhana dari
sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan asset, baik
pada saat leasing maupun sesudahnya3.
Dalam perbankan bisa digunakan untuk pembiayaan kepemilikan rumah, gedung dan
barang-barang komoditi lain, dengan menggunakan akad ijarah muntahiyah bitamlik.
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Praktik, hal. 119.
E. IKHTITAM
Fiqh mu’amalah merupakan bagian dari sistem Islam yang komperehensiv,
suatu agama yang memiliki sistem dalam semua dimensi kehidupan manusia, mulai
1 Dr. Ibrahim Madkur, al Mu’jam al wasith, hal. 7. 2 Muhammad al Khathib al Syarbini, Mughni al Muhtaj, 2/332. 3 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Praktik, hal. 118-119.
Disajikan untuk TOT Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam serta Fiqih Muamalah di UISI Gresik, 13-15 November 2018
dari sistem politik, sistem ekonomi, sosial, dan moral disamping dimensi spritualnya.
Makalah yang sederhana ini mudah-mudahan dapat membantu pembaca dalam
memahami fiqih mu’amalah khususnya implementasi akad-akad fiqih mu’amalah
dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, dengan harapan kita bisa kembali menerapkan
ajaran-ajaran Allah di muka bumi.
in urîdu illa al ishlâha mastatha’tu wamâ taufîqi illâ billâh ‘alaiji tawakkaltu wailaihi unîb.