fp.unmas.ac.id · widiarta & pakki variasi virulensi virus tungro 1 j. hpt tropika. issn...

92
Widiarta & Pakki Variasi Virulensi Virus Tungro 1 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Vol. 15, No. 1: 1 – 9, Maret 2015 VARIASI VIRULENSI VIRUS TUNGRO BERSUMBER DARI INOKULUM DI DAERAH ENDEMIS TUNGRO DI INDONESIA I Nyoman Widiarta 1 & Syahrir Pakki 2 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Jl. Merdeka 147, Bogor 2 Loka Penelitian Penyakit Tungro, Lanrang, Sidrap, Sulawesi Selatan E-mail: [email protected] ABSTRACT Variations in virulence of tungro viruses from various inoculum sources in tungro endemic areas in Indonesia. Rice tungro disease is caused by virus which is effectively transferred by the green leafhopper. Reactions of resistant varieties to virus sources of inocula from 15 tungro endemic areas were employed as indicator of variations of virus virulence. The green leafhopper of Sukamandi’s population was used as the vector and allowed to transfer viruses acquired from tungro’s infected plants from 15 tungro endemic areas to five groups of virus resistant varieties based on parent source of resistance using free choice screening box method. The results showed that the most resistant variety was group V1-Tukad Petanu, followed by V4-Tukad Unda, V2-Tukad Balian and V3-Bondoyudo. Based on resistance test result group variety of V1-Tukad Petanu is recommended for 15 provinces source of incula except for Sulawesi Utara. Group variety of V4-Tukad Unda is not recommended to plant in Yogyakarta and Banten provinces. Group V2-Tukad Balian is not recommended to plant in Bali, Sulawesi Utara, Banten and Kalimantan Selatan provinces. Group V3-Bondoyudo is not recommended to plant in Jawa Tengah, Yogyakarta, and Banten provinces. There were variations in virus virulence among sources of inocula. Six virulence variants were identified, i.e. 001 (Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua), 011 (Jawa Tengah), 021 (Bali, Kalimantan Selatan), 051 (Yogyakarta), 071 (Banten) and 121 (Sulawesi Utara). Key words: endemic area, rice tungro virus disease, variation in virulence ABSTRAK Variasi virulensi virus tungro bersumber dari inoculum di daerah endemis tungro di Indonesia. Penyakit tungro disebabkan oleh virus dan paling efektif ditularkan oleh wereng hijau. Reaksi varietas tahan terhadap virus dengan sumber inokulum tungro dari 15 provinsi endemis tungro dijadikan indikator untuk mengetahui adanya variasi virulensi virus tungro. Wereng hijau koloni Sukamandi digunakan sebagai vektor untuk menularkan virus dari tanaman sakit yang diambil dari 15 provinsi endemis tungro kepada lima golongan varietas padi tahan virus berdasarkan tetua tahan virus sebagai varietas diferensial menggunakan metode pilihan bebas dalam kurungan kawat kasa. Variasi virulensi diidentifikasi berdasarkan kemampuan virus menginfeksi golongan varietas tahan. Hasil pengujian menunjukkan urutan ketahanan golongan varietas padi tahan virus dari tahan ke peka adalah golongan V1-Tukad Petanu, V4-Tukad Unda, V2-Tukad Balian dan V3-Bondoyudo. Berdasarkan ketahanan diketahui Golongan V1-Tukad Petanu sesuai hampir untuk seluruh 15 provinsi sumber inokulum, kecuali Sulawesi Utara. Golongan V4-Tukad Unda tidak sesuai untuk Yogyakarta dan Banten. Golongan V2-Tukad Balian tidak sesuai untuk Bali, Sulawesi Utara, Banten dan Kalimantan Selatan. Golongan V3-Bondoyudo tidak sesuai untuk Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Banten. Terdapat variasi virulensi (varian) antar virus dari daerah endemis tungro di 15 provinsi. Virulensi inokulum dapat dikelompokkan menjadi 6 varian, yaitu 001 (Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua), 011 (Jawa Tengah), 021 (Bali, Kalimantan Selatan), 051 (Yogyakarta), 071 (Banten) dan 121 (Sulawesi Utara). Kata kunci: daerah endemis penyakit tungro, variasi virulensi PENDAHULUAN Ketidakstabilan produksi padi dapat disebabkan oleh kekeringan atau banjir serta terjadinya wabah hama dan penyakit (Shahjahan et al., 1990). Penyakit tungro menjadi salah satu kendala untuk mencapai stabilitas hasil. Gejala penyakit tungro yang berat disebabkan oleh infeksi dua partikel virus tungro berbentuk batang (rice tungro bacilliform virus; RTBV) dan virus tungro berbentuk bulat (rice tungro spherical virus; RTSV) (Hibino et al ., 1978). Kedua partikel virus tungro tersebut ditularkan oleh wereng hijau secara semi persisten (Hibino & Cabunagan, 1986). Wereng hijau spesies Nephotettix vierscens adalah vektor yang paling efisien menularkan kedua partikel virus penyebab penyakit tungro, dibandingkan dengan spesies

Upload: others

Post on 04-Mar-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Widiarta & Pakki Variasi Virulensi Virus Tungro 1 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 15, No. 1: 1 – 9, Maret 2015

VARIASI VIRULENSI VIRUS TUNGRO BERSUMBER DARI INOKULUM DI DAERAH ENDEMIS TUNGRO DI INDONESIA

I Nyoman Widiarta1 & Syahrir Pakki2

1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Jl. Merdeka 147, Bogor2Loka Penelitian Penyakit Tungro, Lanrang, Sidrap, Sulawesi Selatan

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Variations in virulence of tungro viruses from various inoculum sources in tungro endemic areas in Indonesia. Rice tungrodisease is caused by virus which is effectively transferred by the green leafhopper. Reactions of resistant varieties to virussources of inocula from 15 tungro endemic areas were employed as indicator of variations of virus virulence. The greenleafhopper of Sukamandi’s population was used as the vector and allowed to transfer viruses acquired from tungro’s infectedplants from 15 tungro endemic areas to five groups of virus resistant varieties based on parent source of resistance using freechoice screening box method. The results showed that the most resistant variety was group V1-Tukad Petanu, followed byV4-Tukad Unda, V2-Tukad Balian and V3-Bondoyudo. Based on resistance test result group variety of V1-Tukad Petanu isrecommended for 15 provinces source of incula except for Sulawesi Utara. Group variety of V4-Tukad Unda is not recommendedto plant in Yogyakarta and Banten provinces. Group V2-Tukad Balian is not recommended to plant in Bali, Sulawesi Utara,Banten and Kalimantan Selatan provinces. Group V3-Bondoyudo is not recommended to plant in Jawa Tengah, Yogyakarta,and Banten provinces. There were variations in virus virulence among sources of inocula. Six virulence variants were identified,i.e. 001 (Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, SulawesiTenggara, Papua), 011 (Jawa Tengah), 021 (Bali, Kalimantan Selatan), 051 (Yogyakarta), 071 (Banten) and 121 (Sulawesi Utara).

Key words: endemic area, rice tungro virus disease, variation in virulence

ABSTRAK

Variasi virulensi virus tungro bersumber dari inoculum di daerah endemis tungro di Indonesia. Penyakit tungro disebabkanoleh virus dan paling efektif ditularkan oleh wereng hijau. Reaksi varietas tahan terhadap virus dengan sumber inokulumtungro dari 15 provinsi endemis tungro dijadikan indikator untuk mengetahui adanya variasi virulensi virus tungro. Werenghijau koloni Sukamandi digunakan sebagai vektor untuk menularkan virus dari tanaman sakit yang diambil dari 15 provinsiendemis tungro kepada lima golongan varietas padi tahan virus berdasarkan tetua tahan virus sebagai varietas diferensialmenggunakan metode pilihan bebas dalam kurungan kawat kasa. Variasi virulensi diidentifikasi berdasarkan kemampuan virusmenginfeksi golongan varietas tahan. Hasil pengujian menunjukkan urutan ketahanan golongan varietas padi tahan virus daritahan ke peka adalah golongan V1-Tukad Petanu, V4-Tukad Unda, V2-Tukad Balian dan V3-Bondoyudo. Berdasarkan ketahanandiketahui Golongan V1-Tukad Petanu sesuai hampir untuk seluruh 15 provinsi sumber inokulum, kecuali Sulawesi Utara.Golongan V4-Tukad Unda tidak sesuai untuk Yogyakarta dan Banten. Golongan V2-Tukad Balian tidak sesuai untuk Bali,Sulawesi Utara, Banten dan Kalimantan Selatan. Golongan V3-Bondoyudo tidak sesuai untuk Jawa Tengah, Yogyakarta, danBanten. Terdapat variasi virulensi (varian) antar virus dari daerah endemis tungro di 15 provinsi. Virulensi inokulum dapatdikelompokkan menjadi 6 varian, yaitu 001 (Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Lampung, SulawesiBarat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua), 011 (Jawa Tengah), 021 (Bali, Kalimantan Selatan), 051 (Yogyakarta), 071(Banten) dan 121 (Sulawesi Utara).

Kata kunci: daerah endemis penyakit tungro, variasi virulensi

PENDAHULUAN

Ketidakstabilan produksi padi dapat disebabkanoleh kekeringan atau banjir serta terjadinya wabah hamadan penyakit (Shahjahan et al., 1990). Penyakit tungromenjadi salah satu kendala untuk mencapai stabilitashasil. Gejala penyakit tungro yang berat disebabkan olehinfeksi dua partikel virus tungro berbentuk batang (rice

tungro bacilliform virus; RTBV) dan virus tungroberbentuk bulat (rice tungro spherical virus; RTSV)(Hibino et al., 1978). Kedua partikel virus tungrotersebut ditularkan oleh wereng hijau secara semipersisten (Hibino & Cabunagan, 1986). Wereng hijauspesies Nephotettix vierscens adalah vektor yang palingefisien menularkan kedua partikel virus penyebabpenyakit tungro, dibandingkan dengan spesies

2 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 1 - 9

N. nigropictus, N. malayanus dan N. parvus (Hibino& Cabunagan, 1986).

Penanaman varietas tahan terbukti efektifmencegah terjadinya ledakan penyakit virus tular vektorseperti penyakit tungro (Holt, 1996). Sampai saat inisejumlah varietas tahan vektor virus tungro, wereng hijautelah dilepas (Musaddad et al., 1993) yang tersedia untukdipilih petani. Namun, fanatisme petani terhadap varietastahan wereng hijau tertentu seperti IR64, Ciliwung yangmutu tanak berasnya sesuai preferensi konsumen,menyebabkan varietas-varietas tahan wereng hijau yangkualitas berasnya tidak sebanding dengan varietastersebut tidak ditanam petani, padahal varietas tersebutsudah peka. Hal tersebut menyebabkan anjuranpengendalian tungro dengan pergiliran varietas tahanwereng hijau tidak dilakukan petani. Untukmenanggulangi hal tersebut varietas baru yangberkualitas baik, berpotensi hasil tinggi, umur genjah (90-110 hari), dan tahan virus tungro perlu dirakit.

Dalam upaya merakit varietas tahan virus tungroyang telah teridentifikasi dan digunakan sebagai sumbertetua dalam persilangan diantaranya Utri Merah danBalimau Putih (Kobayashi et al., 1993; Khush et al.,2004; Choi, 2004), disamping TKM 6 (Daradjat et al.,1999; Azzam et al., 2001). Utri Merah diketahui mampumenghambat perkembangan partikel RTBV (Hibino etal., 1978; Hasanuddin et al., 1995). Galur harapanM1085C-1-1 hasil persilangan dengan tetua tahan virusdilaporkan konsisten tahan terhadap tungro (Hasanuddinet al., 1996). Pada tahun 2000 dari upaya perakitanvarietas tahan virus berhasil dilepas lima varietas tahanvirus yaitu Tukad Unda, Tukad Balian, Tukad Petanu,Bondoyudo dan Kalimas dan berikutnya pada tahun 2009dilepas lagi 3 varietas tahan yaitu Inpari 7 Lanrang, Inpari8 dan Inpari 9 Elo dengan tetua tahan berbeda-beda.

Meskipun telah tersedia varietas tahan virus sejaktahun 2000 setelah varietas tahan wereng hijau patahketahanannya, serangan penyakit tungro masih terusterjadi bahkan beberapa varietas tahan virus dilaporkanmenunjukkan gejala penyakit tungro (Suprihanto et al.,2010). Pada periode 2005-2009 rata-rata luas serangantungro setiap tahun 8893 ha, namun sampai denganOktober 2011 luas serangan penyakit tungro telahmencapai 14.201 ha diantaranya 333 ha tanaman pusodengan nilai kehilangan hasil mencapai Rp. 77,6 milyar(Budiyanto et al., 2011). Dalam upaya memperpanjangmasa ketahanan varietas tahan virus diperlukanpergiliran varietas berdasarkan informasi tingkat adaptasivirulensi virus yang berkembang di suatu lokasi.Penelitian ini bertujuan menguji virulensi virus darisumber inokulum yang diambil dari tanaman sakit di 15

provinsi daerah endemis tungro di Indonesia yangdijadikan dasar rekomendasi pergiliran varietas padispesifik lokasi.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Inokulum virus berupa tanamansakit, diambil dari 15 provinsi daerah endemis tungropada periode tahun 2009-2011 secara bertahap di limaprovinsi setiap tahun. Pada tahun 2009 dilakukanpengambilan sampel tanaman sakit di Jawa Barat(Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Nusa Tenggara Barat(NTB), Bali, dan Sulawesi Selatan (Sulsel). Selanjutnyatahun 2010 di lima provinsi yaitu Jawa Timur (Jatim),Lampung, Sulawesi Barat (Sulbar), Sulawesi Tengah(Sulteng), dan Papua, sedangkan pada tahun 2011 diProvinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Sulawesi Utara(Sulut), D.I. Yogyakarta (Yogya), Banten dan KalimantanSelatan (Kalsel). Uji penularan dilakukan di rumah kacaBalai Besar Penelitian Padi di Sukamandi, secarabertahap lima inokulum setiap tahun dari 2009-2011.

Perbanyakan Wereng Hijau dan Sumber Inokulum.Pembiakan serangga N. virescens dilakukan di rumahkaca dengan cara sebagai berikut: dua puluh pasangimago dari kebun percobaan di Sukamandi diambilmenggunakan jaring serangga, kemudian dipeliharadalam kurungan plastik mika ukuran 30 x 28 x 25 cm,diberi makanan bibit tanaman padi varietas IR64 umur15 hari setelah sebar. Pasangan serangga dibiarkanmeletakkan telur selama seminggu, baru kemudiandipindahkan ke kotak yang lain untuk peneluranberikutnya. Dengan cara demikian didapat seranggaberumur seragam dalam satu kurungan. Untuk pengujiandigunakan serangga nimfa besar atau imago jantan danbetina 3 hari setelah ganti kulit.

Inokulum virus berupa tanaman sakit, diambil dari15 provinsi daerah endemis tungro di Jawa Barat (Jabar),Jawa Tengah (Jateng), Nusa Tenggara Barat (NTB),Bali, Sulawesi Selatan (Sulsel), Jawa Timur (Jatim),Lampung, Sulawesi Barat (Sulbar), Sulawesi Tengah(Sulteng), Papua, Sulawesi Tenggara (Sultra), SulawesiUtara (Sulut), D.I.Yogyakarta (Yogya), Banten danKalimantan Selatan (Kalsel) pada periode tahun 2009-2011 yang untuk memudahkan memberi nama inokulumsesuai singkatan nama provinsi tempat pengambilantanaman sakit. Rumpun tanaman sakit beserta akarnyadicabut sedemikian rupa, sehingga sedikit mungkinmengalami kerusakan, selanjutnya ditanam kembali padaember plastik di rumah kaca.

Widiarta & Pakki Variasi Virulensi Virus Tungro 3

Varietas Diferensial. Berdasarkan tetua tahan varietastahan virus yang telah dilepas di Indonesia dapatdikelompokkan menjadi V0-V4 seperti pada Tabel 1(Kobayashi et al., 1993; Azzam et al., 2001; Khush etal., 2004; Choi, 2004). Varietas yang tidak memilikiriwayat persilangan tetua tahan virus digolongkan dalamV0 yaitu TN1, Pelita I/1. Varietas tahan dengan tetuatahan Utri Merah dikelompokkan dalam V1 yaitu TukadPetanu dan Inpari 7 Lanrang. Varietas dengan tetuatahan TKM6 dikelompokkan dalam V2 yaitu TukadBalian dan Kalimas. Varietas dalam kelompok V3 sepertiBondoyudo, Inpari 8 dan Inpari 9 Elo berasal dari tetuatahan TKM6 dan Gampai. Varietas dalam golongan V4memiliki riwayat persilangan dengan tetua tahan BalimauPutih yaitu Tukad Unda. Setiap golongan varietasditanam 10 batang per ember.

Uji Penularan. Penularan virus tungro dilakukanmenggunakan metode inokulasi buatan dengan prosedursebagai berikut. Imago wereng hijau diberi kesempatan

melakukan pemerolehan virus pada tanaman sakitselama 24 jam, setelah itu wereng hijau yang telahmendapatkan virus (viruliverus) diberi kesempatanmenularkan virus pada 5 varietas diferensial yangdibedakan berdasarkan sumber ketahanan terhadap virus(Tabel 1) selama 24 jam, dengan kepadatan populasi 2ekor/batang bibit dalam test tube. Bibit varietasdiferensial tahan virus ditanam dalam ember plastik dirumah kaca dan dicek ketahanannya. Uji dilakukandengan rancangan acak kelompok, dengan 20 ulanganuntuk setiap varietas diferensial.

Penilaian tingkat keparahan penyakit dilakukuanmenggunakan Standard Evaluation System for Rice(IRRI, 1996) dengan skor 1, 3, 5, 7, 9. Uraian skor gejalapenyakit seperti pada Tabel 2.

Ketahanan varietas terhadap penyakit tungrodigolongkan berdasarkan indeks penyakit (IP) tungrohasil pengamatan 1 dan 2 minggu setelah inokulasidengan kategori sebagai berikut; tahan (T: 0-3), moderat(AT: 4-6), dan peka (P: 7-9) (IRRI, 1996). Rekomendasi

Nama Varietas Tahun pelepasan Sumber tetua tahan Gol Pelita I/1 1971 Tidak ada V0 TN1 - Tukan Petanu 2000 V3-Utri Merah V1 Inpari 7 Lanrang 2009 Tukad Balian 2000 V1-TKM 6 V2 Kalimas 2000 Bondoyudo 2000 V1G-TKM 6+Gampai V3 Inpari 8 2009 Inpari 9 Elo 2009 Tukad Unda 2000 V4-Balimau Putih V4

Skor Gejala (%) Deskripsi

1 0 Tidak ada gejala

3 1 – 10 Terserang tungro kerdil dan belum menguning

5 11 – 30 Terserang tungro kerdil dan kuning

7 31 – 50 Terserang tungro kerdil dan kuning

9 > 50 Terserang kerdil dan orange atau mati

Tabel 2. Uraian Skor keparahan gejala tungro

Tabel 1. Penggolongan varietas tahan virus

Pada pengujian ini untuk golongan V0 sebagai kontrol varietas peka digunakan varietas Pelita/TN1 (V0-Pelita/TN1), golongan V1 varietas Tukad Petanu (V1-Tukad petanu), golongan V2 varietas Tukad Balian (V2-TukadBalian), golongan V3 varietas Bondoyudo (V3-Bondoyudo) dan untuk golongan V4 digunakan varietas TukadUnda (V4-Tukad Unda) sebagai varietas diferensial.

4 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 1 - 9

varietas untuk kategori T sampai AT digolongkan sesuai,sedangkan golongan varietas dengan hasil uji kategori Ptidak direkomendasikan. Indeks penyakit tungro dihitungmenggunakan rumus :

dengan:IP = indeks penyakit tungron = jumlah tanaman yang terserang tungro dengan

skor gejala tertentutn = total rumpun yang diamati

Penamaan Varian Virulensi. Pemberian kode variasivirulensi virus dari berbagai sumber inokulum dilakukandengan modifikasi metode Mogi et al. (1992) untukmengidentifikasi patotipe patogen blas menggunakanangka tiga digit dengan cara menjumlahkan nilai kodedari varietas diferensial yang bereaksi peka dari hasiluji penularan berdasarkan tingkat ketahanan.

Besaran nilai kode berdasarkan urutan ketahananvarietas diferensial V0-V4 terhadap inokulum virustungro dari 15 daerah endemis tungro. Sebagai konvensinilai kode tertinggi 100 diberikan pada inokulum yangmampu mematahkan ketahanan varietas diferensialyang paling tahan, berikutnya semakin berkurangketahanannya berturut-turut untuk urutan tingkatketahanan ke-2, ke-3 dan ke-4 diberi nilai kode 040, 020,010 dan nilai terendah 001 varietas kontrol rentan.Tingkat ketahanan golongan varietas diferensialdikelompokkan berdasarkan kategori ketahanan dari hasiluji penularan. Varian virulensi diberikan denganmenjumlahkan nilai kode berdasarkan kemampuaninokulum menginfeksi varietas diferensial. Dengan caratersebut semakin besar nilai kode varian virulensisemakin virulen inokulum tersebut.

Virulensi virus dari 15 lokasi pengambilaninokulum dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu (1)kelompok sangat ganas dengan varian virulensi > 070,(2) ganas dengan varian virulensi antara 011-071, dan(3) lemah dengan varian virulensi < 011.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ketahanan Varietas. Dari pengujian ketahanangolongan varietas tahan terhadap virus tungro dari 15Provinsi sumber inokulum dari Jawa Barat (Jabar), JawaTengah (Jateng), Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali,Sulawesi Selatan (Sulsel), Jawa Timur (Jatim), Lampung,Sulawesi Barat (Sulbar), Sulawesi Tengah (Sulteng),Sulawesi Tenggara (Sultra), Sulawesi Utara (Sulut),D.I.Yogyakarta (Yogya), Banten dan Kalimantan Selatan

tnn(9) n(7) n(3) n(1)

IP

(Kalsel) diketahui bahwa golongan varietas V1-TukadPetanu memiliki peluang tidak terinfeksi paling tinggi,sehingga rangking ketahanannya paling tinggi diberirangking ke-1 dengan nilai kode 100 (Tabel 3).Berikutnya berdasarkan peluang tidak terinfeksi semakinmenurun, secara berurutan diberi rangking ke-2, ke-3dan ke-4 adalah V4-Tukad Unda, V2-Tukad Balian, danV3-Bondoyudo diberi nilai kode secara berurutan 040,020 dan 010. Sedangkan untuk kontrol peka diberi nilaikode 001. Tukad Petanu juga dilaporkan paling tahandibandingkan dengan Tukad Balian, Tukad Unda,Kalimas dan Bondoyudo berdasarkan hasil ujimenggunakan sumber inokulum dari Sumut, Jabar,Jateng, Sulsel, Sulbar dan Sulteng (Suprihanto et al.,2010).

Varian Virulensi. Virus tungro yang berasal dariinokulum Jabar, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulselyang hanya dapat menginfeksi varietas golongan V0-Pelita/TN1 tetapi belum dapat menginfeksi keempatgolongan varietas tahan (Tabel 4) dinyatakan sebagaivarian 001. Virus tungro dari sumber inokulum Jatengyang telah dapat menginfeksi golongan varietas tahanV3-Bondoyudo, teridentifikasi sebagai varian 011,sedangkan virus dari sumber inokulum Bali yang telahdapat menginfeksi golongan varietas tahan V2-TukadBalian diidentifikasi sebagai varian 021.

Virus tungro yang berasal dari inokulum Jatim,Lampung, Sulbar, Sulteng dan Papua belum dapatmenginfeksi keempat golongan varietas tahan (Tabel 5)dan hanya mampu menginfeksi golongan varietas V0-Pelita/TN1. Virus tungro tersebut diidentifikasi sebagaivarian 001, seperti halnya virus tungro yang berasal dariinokulum Jabar, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulsel(Tabel 4), dan Sultra (Tabel 5). Virus dari sumberinokulum Kalsel (Tabel 6) seperti halnya virus darisumber inokulum Bali telah dapat menginfeksi golonganvarietas tahan V2-Tukad Balian, teridentifikasi sebagaivarian 021. Virus tungro yang berasal dari inokulumSulut dan Yogyakarta masing-masing telah dapatmenginfeksi dua golongan varietas tahan, sedangkanvirus tungro yang berasal dari inokulum Banten telahdapat menginfeksi tiga golongan varietas tahan (Tabel6). Virus tungro yang berasal dari inokulum Sulut telahdapat menginfeksi dua golongan varietas tahan V1-Tukad Petanu dan V2-Tukad Balian sehinggadiidentifikasi sebagai varian 121. Begitu juga, virustungro dari inokulum Yogya, yang telah dapatmenginfeksi dua golongan varietas tahan dari golonganyang berbeda yaitu V4-Tukad Unda dan V3-Bondoyudo,diidentifikasi sebagai varian 051. Virus tungro dariinokulum Banten telah dapat menginfeksi tiga golongan

Widiarta & Pakki Variasi Virulensi Virus Tungro 5

Golongan-Varietas (Gen-tahan)

Hasil pengujian Peluang tidak terinfeksi

Rangking ketahanan Nilai Kode

P AT T V0-Pelita/TN1 15 0 0 0,00 5 001 V1-Tukad Petanu 1 1 13 0,87 1 100 V2-Tukad Balian 4 4 7 0,47 3 020 V3-Bondoyudo 3 6 6 0,40 4 010 V4-Tukad Unda 2 2 11 0,73 2 040

Tabel 3. Rangking ketahanan varietas diferensial berdasarkan hasil uji penularan inokulum tungro yang diambildari 15 provinsi daerah endemis tungro

Golongan-Varietas (Gen-tahan) Nilai Kode

Asal Inokulum Jabar Jateng NTB Bali Sulsel

V1-Tukad Petanu 100 T T T T T V4-Tukad Unda 040 T T T T T V2-Tukad Balian 020 AT T T P AT V3-Bondoyudo 010 AT P AT AT T V0-Pelita/TN1 001 P P P P P Varian virulensi 001 011 001 021 001

Tabel 4. Varian virulensi virus tungro sumber inokulum dari Jabar, Jateng, NTB, Bali dan Sulsel tahun 2009

Golongan-Varietas (Gen-tahan) Nilai Kode

Asal Inokulum Jatim Lampung Sulbar Sulteng Papua

V1-Tukad Petanu 100 T T T T T V4-Tukad Unda 040 T T T T T V2-Tukad Balian 020 T T T T T V3-Bondoyudo 010 T T T T T V0-Pelita/TN1 001 P P P P P Varian virulensi 001 001 001 001 001

Tabel 5. Varian virulensi virus tungro sumber inokulum dari Jatim, Lampung, Sulbar, Sulteng dan Papua tahun 2010

Golongan-Varietas (Gen-tahan) No. Kode

Asal Inokulum Sultra Sulut Yogya Banten Kalsel

V1-Tukad Petanu 100 AT P T T T V4-Tukad Unda 040 AT T P P AT V2-Tukad Balian 020 AT P AT P P V3-Bondoyudo 010 AT AT P P AT V0-Pelita/TN1 001 P P P P P Varian virulensi 001 121 051 071 021

Tabel 6. Patotipe virus tungro sumber inokulum dari Sultra, Sulut, Yogyakarta, Banten dan Kalsel tahun 2011

6 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 1 - 9

varietas tahan yaitu V4-Tukad Unda, V2-Tukad Baliandan V3-Bondoyudo, teridentifikasi sebagai varian 071.

Varian virulensi (strain) partikel virus tungroawalnya dibedakan berdasarkan gejala penyakit yangtimbul akibat reaksi suatu varietas. Di India telahdiidentifikasi ada 5 strain (Anjaneyulu & John, 1972),selanjutnya di Filipina Cabauatan et al. (1995)membedakan varian virus bulat (RTSV) menjadi duaberdasarkan virulensinya pada varietas TKM6 danvarian virus batang (RTBV) menjadi 4 berdasarkanvirulensinya terhadap varietas FK135. Pada pengujianini variasi virulensi virus tungro dapat dikelompokkanmenjadi 6 varian berdasarkan virulensinya pada 5golongan varietas diferensial berdasarkan perbedaansumber tetua tahan, seperti halnya pemberian biotipeuntuk wereng coklat (Baehaki & Munawar, 2009) danwereng hijau (Hirae et al., 2007).

Menggunakan RT-PCR dan analisis restriksidiketahui bahwa genotype virus batang (RTBV) berbedatergantung waktu, sedangkan genotipe virus bulat(RTSV) ditemukan lebih dari satu kali dari satu tempat(Arboleda & Azzam, 2000) yang menunjukkan komposisipopulasi virus tidak stabil. Hasil analisis RFLP denganenzim restriksi BstYI dan HindIII menunjukkan adanyakeragaman genetik antara virus bulat (RTSV) yangberasal dari sampel yang diambil di Jawa, Bali danSulawesi (Praptana et al., 2009), sebagaimana yangdilaporkan oleh Azzam et al. (2000).

Virulensi Virus. Dari Tabel 7 dapat diketahui bahwavirus dari sumber inokulum Sulut termasuk sangat ganas,

virus dari sumber inokulum Bali, Yogyakarta, Bantendan Kalsel termasuk kategori virus ganas, sedangkansisanya termasuk kategori virus lemah. Menggunakangalur FK 135, Cabauatan et al. (1995) Filipina berhasilmengidentifikasi empat strain virus bulat (RTBV), yaituL, G1, G2 dan Ic berdasarkan gejala yang muncul, danyang paling virulen adalah strain Ic. Sejalan dengan hasilpenelitian tersebut, hasil penelitian ini juga menunjukkanbahwa dengan menggunakan varietas tahan yangberbeda dapat diidentifikasi variasi virulensi dan strainmana yang paling virulen. Menggunakan populasiwereng hijau dari tempat pengambilan inokulum sebagaipenular, Praptana et al. (2014) juga melaporkan adanyavariasi virulensi virus tungro dari daerah endemis diJabar, Jateng, Yogyakarta, Sulteng, Sulbar, Sulsel, Balidan NTB.

Kesesuaian Varietas. Berdasarkan hasil pegujianketahanan dengan menggolongkan kelompok varietastahan dan agak tahan sebagai sesuai dan kelompokvarietas peka sebagai tidak sesuai dapat diketahui bahwakeempat golongan varietas tahan masih sesuai untukdirekomendasikan ditanam pada sebagian besar provinsisumber pengambilan inokulum (Tabel 8).

Golongan varietas tahan V4-Tukad Unda tidakdirekomendasikan untuk Banten dan Yogyakarta.Golongan varietas tahan V1-Tukad Petanu tidakdirekomendasikan untuk Sulut. Golongan varietas tahanV2-Tukad Balian tidak direkomendasikan untuk Bali,Sulut, Banten dan Kalsel, sedangkan untuk V3-

Asal Inokulum Keganasan ( patotipe)

Sangat ganas (>071) Ganas (011-071) Lemah (< 011)

Jabar - - v Jateng - - v NTB - - v Bali - v - Sulsel - - v Jatim - - v Lampung - - v Sulbar - - v Sulteng - - v Papua - - v Sultra - - v Sulut v - - Yogyakarta - v - Banten - v - Kalsel - v -

Tabel 7. Keganasan Virus Tungro dari 15 provinsi asal inokulum

Widiarta & Pakki Variasi Virulensi Virus Tungro 7

Bondoyudo tidak direkomendasikan untuk Jateng, Yogyadan Banten.

Varietas Tukad Petanu yang dihasilkan dari tetuaUtri Merah diketahui paling tahan berdasarkan hasilpengujian menggunakan sumber inokulum virus tungrodari 15 provinsi daerah endemis tungro, karena disampingtahan virus bulat (RTSV) (Azzam et al., 2001; Azzam& Chancellor, 2002) juga tahan wereng hijau dan toleranvirus batang (RTBV) (Choi, 2004).

Pola penurunan ketahanan Utri Merah tidakmengikuti hukum Mendel tetapi diatur oleh lebih darisatu gen (Shahjahan et al., 1990). Varietas Tukad Undayang menempati urutan kedua sebagai varietas tahan,tetuanya adalah Balimau Putih. Varietas Balimau Putihtermasuk toleran infeksi virus tungro (Zenna et al.,2006), karena meskipun titer virusnya tinggi, tetapi gejalapenyakit tidak berat sehingga kehilangan hasil lebihrendah.

SIMPULAN

Diantara keempat golongan varietas tahan yangtelah dilepas, golongan V1-Tukad Petanu paling tahandari hasil pengujian menggunakan sumber inokulumtungro yang diambil dari 15 provinsi daerah endemistungro, sedangkan yang paling rentan golongan varietasV3-Bondoyudo. Urutan ketahanan varietas berikutnyaadalah varietas Tukad Unda dan V2-Tukad Balian.Tukad Petanu sesuai untuk hampir seluruh 15 provinsi

Sesuai: kategori ketahanan AT-T; Tidak: kategori ketahanan P.

sumber inokulum, kecuali Sulut. Berdasarkan kategoriketahanan direkomendasikan golongan V4-Tukad Undatidak sesuai untuk Yogyakarta dan Banten. GolonganV2-Tukad Balian tidak sesuai untuk Bali, Sulut, Bantendan Kalsel. Golongan V3-Bondoyudo tidak sesuai untukJateng, Yogyakarta, dan Banten. Terdapat variasivirulensi (varian) antar virus dari daerah endemis tungrodi 15 provinsi. Virulensi inokulum dapat dikelompokkanmenjadi 6 varian, yaitu 001 (Jabar, NTB, Sulsel, Jatim,Lampung, Sulbar, Sulteng, Sultra, Papua, 011 (Jateng),021 (Bali, Kalsel), 051 (Yogyakarta), 071 (Banten) dan121 (Sulut).

SANWACANA

Penelitian ini didanai oleh Kemendiknas tahun2009 dan Kemenristek tahun 2010-2011. Terimakasihpada Oco Rumasa, teknisi litkayasa yang telahmembantu dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anjaneyulu A & John VT. 1972. Strains of rice tungrovirus. Phytopathology 62:1116–1119.

Arboleda M & Azzam O. 2000. Inter-and intra-sitegenetic diversity of natural field population ofrice tungro bacilliform virus in the Philippines.Arch. Virol. 145(12): 275–289.

Asal Inokulum Kesesuaian Golongan varietas

V4-Tukad Unda V1-Tukad Petanu V2-Tukad Balian V3-Bondoyudo

Jabar Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Jateng Sesuai Sesuai Sesuai Tidak NTB Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Bali Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Sulsel Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Jatim Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Lampung Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sulbar Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sulteng Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Papua Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sultra Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sulut Sesuai Tidak Tidak Sesuai Yogyakarta Tidak Sesuai Sesuai Tidak Banten Tidak Sesuai Tidak Tidak Kalsel Sesuai Sesuai Tidak Sesuai

Tabel 8. Kesesuaian varietas tahan virus dari 15 provinsi asal inokulum

8 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 1 - 9

Azzam O, Arboleda M, Umadhay KML, de los ReyesJB, Cruz FS, Mackenzie A, & McNally KL.2000. Genetic composition and complexity ofvirus populations at tungro endemic andoutbreak rice sites. Arch. Virol. 145(12): 2634–2657.

Azzam O, Imbe T, Ikeda R, Nath PD, & Coloquio E.2001. Inheritance of resistance to rice tungrospherical virus in a near-isogenic line derivedfrom Utri Merah and in rice cultivar TKM6.Euphytica 122(1): 91–97.

Azzam O & Chancellor TCB. 2002. The biology,epidemiology and management of rice tungrodisease in Asia. Plant Dis. 86(2): 88–100.

Baehaki SE & Munawar D. 2009. Uji biotipe werengcoklat, Nilaparvata lugens Stal di sentraproduksi padi. Dalam: Suprihatno B, DaradjatAA, Satoto, Baehaki SE, Suharto H, &Suprihanto (Eds.). Prosiding SeminarNasional Padi. pp. 347–360. Sukamandi,Indonesia. 22–24 Juli 2008.

Budiyanto E, Nurhidayat M, Supami, & Haryati S. 2011.Perlindungan tanaman untuk menekankehilangan hasil padi. Dalam: Hermanto A, Muir,& Pakki S (Eds.). Prosiding SeminarNasional Penyakit Tungro. pp. 1–9. Makassar,Indonesia. 10 November 2011.

Cabauatan PQ, Cabunagan RC, & Koganezawa H.1995. Biological variants of rice tungro virusesin the Philippines. Phytopathology 85(1): 77–81.

Choi IR. 2004. Current status of rice tungro diseaseresearch and future program. Dalam:Hasanuddin A, Widiarta IN, & Sunihardi (Eds.).Prosiding Seminar Nasional Status ProgramPenelitian Tungro MendukungKeberlanjutan Produksi Padi Nasional. pp.3–14. Makassar, Indonesia. 2 September 2004.

Daradjat AA, Widiarta IN, & Hasanuddin A. 1999.Breeding for rice tungro virus resistance inIndonesia. In: Chancellor TCB, Azaam O, &Heong KL (Eds.). Proceeding of theInternational Workshop on Tungro Disease

Management. pp. 39–44. IRRI, Los Banos,Laguna, Philippines. 9–11 November 1998.

Hasanuddin A, Widiarta IN, & Yulianto. 1995. Keadaanpenyakit tungro pada padi sawah di Jawa Baratdan Jawa Tengah. Panduan acara dan intisarimakalah. Kongres Nasional XIII dan SeminarIlmiah PFI. Mataram, Indonesia. 25–27September 1995.

Hasanuddin A, Suherman O, Baco D, & Koesnang.1996. Galur padi M1085C-11-1, daya hasil tinggidan tahan terhadap penyakit tungro. PenelitianPertanian Tanaman Pangan 15(1): 1–4.

Hibino H & Cabunagan RC. 1986. Rice tungro-associated viruses and their relations to hostplants and vector leafhopper. InternationalSymposium on Virus Diseases of Rice andLeguminous Crops in the Tropics. pp. 173–182. Tropical Agriculture Research Centre.Ibaraki, Japan.

Hibino H, Roechan M, & Sudarisman S. 1978.Association of two types of virus particles withpenyakit habang (tungro disease) of rice inIndonesia. Phytopathology 68(10): 1412–1416.

Hirae M, Fukuta Y, Tamura K, & Oya S. 2007. Artificialselection of biotypes of green rice leafhopper,Nephotettix cincticeps Uhler (Homoptera:Cidadellidae), and virulence to resistant ricevarieties. Appl. Entomol. Zool. 42(1): 97–107.

Holt J. 1996. Spatial modelling of rice tungro diseaseepidemics. In: Chancellor TCB, Teng PS, &Heong KL (Eds.). Rice Tungro DiseaseEpidemiology and Vector Ecology. pp. 74–86.IRRI and NRI, Los Banos, The Philippines.

IRRI. 1996. Standard Evaluation System for Rice.INGER Genetic Resources Center.

Khush GS, Angeles E, Virak PS, & Brar DS. 2004.Breeding rice for resistance to tungro virus atIRRI. SABRAO J. Breed. Genet. 36(2): 101–106.

Kobayashi N, Ikeda R, & Vaughan DA. 1993.Resistance to rice tungro viruses in wild speciesof rice (Oryza spp.). Jpn. J. Breed. 43(2): 247–255.

Widiarta & Pakki Variasi Virulensi Virus Tungro 9

Mogi S, Sugandhi Z, Baskoro SW, Edwina R, & IrwanC. 1992. Establishment of the differential varietyseries for pathogenic race identification of riceblas fungus and the distribution of race basedon the new differential in Indonesia. Dalam:Anonymous (Ed.). Penyakit Padi. pp. 84–100.Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Jakarta,Indonesia.

Musaddad A, Kasim H, & Sunihardi. 1993. VarietasUnggul Tanaman Pangan. Pusat Penelitiandan Pengembangan Tanaman Pangan.

Praptana RH, Sumardiyono YB, Hartono S, TrisyonoYA, & Widiarta IN. 2014. Keragaman virulensidan konstruksi molekuler virus tungro pada padidari daerah endemis. Penelitian PertanianTanaman Pangan 33(2): 93–101.

Praptana RH, Sumardiyono YB, Hartono S, WidiartaIN, & Muhsin M. 2009. Deteksi keragamanvirus tungro dari beberapa daerah endemis diIndonesia dengan teknik PCR-RFLP. J. Perlind.Tan. Indones. XV(1): 29–38.

Shahjahan M, Jalani BS, Zakri AH, Imbe T, & OthmanO. 1990. Inheritance of tolerance to rice tungrobaciliform virus (RTBV) in rice (Oryza sativaL.). Theor. Appl. Genet. 80(4): 513–517.

Suprihanto, Widiarta IN, & Kusdiaman D. 2010. Evaluasivirulensi virus tungro dari beberapa daerahendemis dan uji ketahanan plasmanutfah padi.J. Perlind. Tan. Indones. XVI(1): 33–41.

Zenna NS, Sta Cruz FC, Javier EL, Duka IA, BarrionAA, & Azzam O. 2006. Genetic analysis oftolerance to rice tungro bacilliform virus in rice(Oryza sativa L.) through agroinoculation. J.Phytopathol. 154(4): 197–203.

10 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 10 - 16 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 15, No. 1: 10 – 16, Maret 2015

PRELIMINARY STUDY ON EUBLEMMA SP.(EUBLEMMINAE): A LEPIDOPTERAN PREDATOR OF COCCUS VIRIDIS

(HEMIPTERA: COCCIDAE) ON COFFEE PLANTSIN BANDARLAMPUNG, INDONESIA

Indriyati & F.X. Susilo

Division of Plant Protection, Department of Agrotechnology,Faculty of Agriculture Universitas Lampung

Jl. Prof. Soemantri Brojonegoro No 1, Bandarlampung 35145E-mail: [email protected]

[email protected]

ABSTRACT

Preliminary study on Eublemma sp. (Eublemminae): a Lepidopteran predator of Coccus viridis (Hemiptera: Coccidae) oncoffee plants in Bandarlampung, Indonesia. The objectives of this study were 1) to identify a Lepidopteran predator of thesoft green scale Coccus viridis and 2) to present preliminary data on the predator’s feeding rate. Some coffee leaves whereeggs of the Lepidopteran predator have been laid in C. viridis colonies were taken from the field and observed in thelaboratory. The predator’s growth and development was noted and the specimens were identified up to generic level based onthe caterpillar morphology. Ten coffee leaves each with certain number of C. viridis were also collected from the field,transferred to the laboratory, and each was inoculated with one starved caterpillar that had just formed its protective casing.The number of surviving C. viridis was counted daily. This study reveals that the caterpillar, identified as Eublemma sp. isfound to feed obligately on C. viridis. The predation rate of Eublemma sp. in laboratory is 97 + 11 scales / caterpillar.

Key words: Coccus, Eublemma, Lepidoptera, Noctuidae, predator

ABSTRAK

Studi awal tentang Eublemma sp. (Eublemminae): Lepidoptera predator Coccus viridis (Hemiptera: Coccidae) padatanaman kopi di Bandarlampung, Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi Lepidoptera predator kututempurung hijau Coccus viridis dan menyajikan data awal daya predasinya. Beberapa daun kopi yang terinfestasi C. viridisdan diletaki telur Lepidoptera predator diambil dari lapangan dan diamati di laboratorium. Pertumbuhan dan perkembanganpredator sejak telur hingga imago dicatat dan spesimennya diidentifikasi sampai taraf genus berdasar karakter morfologi ulat.Sebanyak sepuluh helai daun kopi yang diinfestasi C. viridis juga dikoleksi dari lapangan, dibawa ke laboratorium, dankemudian setiap daun diinokulasi dengan seekor ulat yang dilaparkan dan baru saja membentuk selubung pelindung. BanyaknyaC. viridis yang takat (bertahan hidup) diturus setiap hari. Studi ini menunjukkan bahwa ulat, teridentifikasi sebagai Eublemmasp., merupakan predator obligat pada C. viridis. Daya predasi Eublemma sp. di laboratorium adalah 97 + 11 ekor kututempurung/ulat.

Kata kunci: Coccus, Eublemma, Lepidoptera, Noctuidae, predator

INTRODUCTION

The Lepidoptera is a diverse insect order.Membering of more than 160 thousand species(estimated; Common, 1990) wherein 157 thousands havebeen described (NHM, 2014) makes the Lepidopteraone of the four most diverse insect orders of the world(Susilo, 2011). Lepidopteran imagoes can be distinguishedinto butterflies, moths, and skippers; they generally feedon nectar while their larvae, known as caterpillar, are

mostly phytophagous and several hundred species ofthem are pestiferous to various plants or plant products(Kalshoven, 1981).

Caterpillars of some genera have been known tobe predaceous, but information on this is limited. Thereare only brief mentions in Kalshoven (1981) thatcaterpillars of some species of Autoba, Catoblemma,and Eublemma feed on coccids and that Eublemmacaterpillars are predaceous to the soft green scaleCoccus viridis. In early March of 2014 we found

Indriyati & Susilo Preliminary Study on Eublema sp. 11

Lepidopteran larvae feeding on the soft green scale oncoffee plants in Bandarlampung, Lampung Province-Indonesia. The objectives of this preliminary study were1) to identify the Lepidopteran predator with notes ofits developmental stages and 2) to present preliminarydata on the predator’s feeding rate.

MATERIALS AND METHODS

Study Site. Observations were done over dozens ofcoffee plants in Universitas Lampung complex,Bandarlampung, and at the university’s Plant PestsLaboratory, Faculty of Agriculture, in the period ofMarch-May, 2014.

Some coffee leaves where eggs of theLepidopteran predator have been laid in the midst ofC. viridis colonies were taken from the field andobserved in the laboratory. An Olympus dissectingmicroscope was used to daily observe the predator’sbiological development from egg stage to the emergenceof their adult moths. The Lepidopteran predator wasthen identified up to generic level. Identification wasbased on the caterpillar morphological characters.Determination of family name was based on the numberof ventral prolegs (Peterson, 1984; Stehr, 1987) whilethat of generic name was based on the following keycharacters (Beardsley, 1982): 1) type of crochets, 2)body setal structure, and 3) height ratio of the 8th:7th

spiracles.The predator’s feeding rate was determined in

the laboratory. A number of predatory larvae were takenfrom the field and acclimated in the laboratoy for 18hours without prey. Ten coffee leaves each with certainnumber of C. viridis were then collected from the fieldand transferred to the laboratory. In the laboratory, eachof those leaves was then inoculated with one starved

A B

Figure 1. Eggs of the Lepidopteran predator, Eublemma sp. (A) Two predator’s eggs laid in between their preyindividuals, C. viridis (arrows indicate the positions of the eggs). (B) One predator’s egg is enlarged(bar = 0.5 mm)

Lepidopteran predator larva that had just formed itsprotective casing. The number of surviving C. viridiswas counted daily using a hand-tally counter. Countingwas stopped when the survival number has no longerdecreased; otherwise, the larval predator has pupated.Predation was determined by substracting any twoconsecutive survival numbers. Cummulative predationwas determined by adding up any two consecutivenumbers of predated C. viridis.

RESULTS AND DISCUSSION

Biological Development and Identification. Figure1 displays eggs of the Lepidopteran predator. Theseglobular eggs were laid singly and in between C. viridisindividuals (Figure 1A). The eggs are whitish-yellow incolor and with a diameter of 0.3 + 0.0 mm (n = 40;Figure 1B). Our rearing resulted in two gravid femalepredators; one laid 35 eggs total, the other 42.

The larval Lepidopteran predator has peculiarhabit during their feeding on C. viridis. The neonatelarva (Figure 2A) does not directly feed on C. viridisimago(es); instead, it first goes underneath of a femaleC. viridis to search for and eat her laid-eggs and newly-hatched crawlers. The larva then continues to eat; thistime it eats C. viridis eggs which are still inside thebody of their mother. That way, this female’s ventralbody parts and reproductive organs are totally damagedwhich soon causes her death. The larval predator leavesthe cadaver, i.e. her dorsal integumental remnant (Figure2B), to search for other groups of C. viridis eggs andcrawlers. As it eats them up, a group at a time, thelarval predator molts and grows larger.

Eating up larger-sized C. viridis, a largerpredatory larva spins a protective casing. The casingconsists of larval silken threads and remnants of C.

12 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 10 - 16

viridis prey. The casing also gets larger as the size ofthe larval predator increases (Figure 2C). The casingprotects the predator from ants that try to tend the scales.The full-grown larval predator sizes 6.2 + 0.2 mm (n =10, Figure 2D).

The predatory larva is of eruciform-type withsome specific characters. It has three pairs of thoraciclegs, two pairs of ventral prolegs (located at A5 andA6), and one pair of anal prolegs (at A10), respectively.Each proleg is equipped with uniordinal crochets. Figure3 shows lateral penellipse arrangements of the analcrochets. All prolegs initially function as walker legs.However, as the larva molts and starts forming protectivecasing, the anal prolegs grow larger and become thelargest pairs. In the process, their plantae tilt upward,securing them at a posterio-dorsal position. With thatposition, these prolegs can no longer function as walkers.Instead, they then assume a new function, i.e. tightlyhold the protective casing.

Figure 4 shows obtected pupae of the predator.Newly formed pupae are yellowish brown with blackspots at eye position (Figure 4A). Older pupae turndarker and stouter (Figure 4B). Pupal size is 5.0 + 0.2mm (n = 10; Figure 4B). The entire pupal development(5.3 + 0.9 days, n = 3) occurs inside a cocoon whichbasically is the final form of the larval protective casing.The larval casing is a dome-like while the pupal cocoonis oblonged. Pupal molting inside the cocoon results in amoth which makes its way out via a very neat polarpapillum (Figure 4C).

The emerging moths are of typical noctuids(Figure 5). Their body builts are robust with dull-darkappearance. Their labial palpi, filiform-type antenae, andother appendages on the head are fair in sizes. Beingsimilar to the appearance of the overall body surfacecamouflages the appendages, regardless of their sizes.Dorsal markings on forewings vary from almost noneto prominent (Figure 5). Wings are ornamented with

A B C D

Figure 2. Larvae of the Lepidopteran predator, Eublemma sp. (A) Neonate larval predator. (B) Larval preda-tor leaves remnant of C. viridis cadaver. (C) Larval predator with protective casing consisting ofremnants of C. viridis prey. (D) Full-grown larval predator (bar = 2 mm)

Figure 3. Uniordinal-lateral penellipse crochets of the larval Lepidopteran predator, Eublemma sp.

Indriyati & Susilo Preliminary Study on Eublema sp. 13

dense fringes along their apex (Figure 5). Wingspan is14.1 + 0.3 mm (n = 10).

As a rule, larvae of Lepidoptera are eachequipped with four pairs of ventral prolegs (A3, A4, A5,A6) and one pair of anal prolegs (A10) (Peterson, 1984).Some families, however, posses less than four ventralprolegs, i.e. none (Nepticulidae; Opostegidae;Limacodidae; Stehr, 1987), one (A6; Geometridae;Peterson, 1984; Stehr, 1987), two (A5, A6; Noctuidaein part), or three (A4, A5, A6; Noctuidae in part; Nolidaein part; Peterson, 1984). As previously mentioned, ourlarval specimens have two ventral prolegs (A5, A6);that means, they should be included in the Noctuidaefamily.

As also shown (Figure 3), the specimen’s crochetsare of uniordinal type. According to Beardsley (1982),this type of crochets belongs to two noctuid genera, i.e.Eublemma and Amyna. Beardsley (1982) delimits thetwo genera by the body setal character and the heightratio of the 8th:7th spiracles. Body setae of Amyna aredark with dark ring around the setal bases. Moreover,the height ratio of 8th:7th abdominal spiracles is more

A B C

Figure 4. Pupae and cocoon of the Lepidopteran predator, Eublemma sp. (A) Newly formed pupae. (B)Older pupae (bar = 2 mm). (C) A cocoon with an open papillar cap.

A B C

Figure 5. Moths of the Lepidopteran predator, Eublemma sp., with various markings on their forewings (A, B,C) (bars = 3 mm)

than twice for Amyna. Our specimens cannot be Amynabecause they are equipped with pale body setae withoutdark basal ring and with 8th:7th spiracle height ratio ofless than twice—in fact, both spiracles are of similarheight and size. Therefore, we identified our specimensas Eublemma sp.

Predation Rate. One starved Eublemma sp. caterpillaron a coffee leaf predated a total of 97 + 11 individualsof C. viridis in six days (Figure 6). In the first two days,the prey’s population was cut in-half by the predator.At the end of the sixth day, the surviving C. viridis preyon the coffee leaf became no more than 16% of theirinitial total number (averaged 155 individuals).

Discussion. The genus Eublemma of the subfamilyEublemminae consists of 339 world species (Kumar &Ramamurthy, 2012); which mostly, if not all, arepredatory (Pierce, 1995). The predatory species of thisgenus feed obligately on coccoids (Pierce, 1995)including Eublemma sp. in this study that feeds on thesoft green scale C. viridis. The most notable Eublemma

14 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 10 - 16

Figure 6. Daily mean numbers of C. viridis during six days of predation by a Eublemma sp. caterpillar.○ = surviving; ● = predated. Bars = standard errors of the means

predators, however, are E. amabilis that feed on thelac scale Kerria sp. or on the wax scale Ceroplastessp. and E. scitula that feed on the brown or black scaleSaissetia sp. (Kumar & Ramamurthy, 2012;Chattopadhyay, 2011; Rahman et al., 2009; Awamlehet al., 2009; Pierce, 1995; Fernandez et al., 1980). Theother coccoid-eating species include E. coccophaga,E. communimacula, E. costimacula, E. deserta, E.dubia, E. gaynery, E. ochrochroa, E. pulvinariae,E. roseonivea, E. rubra, E. trifasciata, E. virginalis,and E. vinotincta (Pierce, 1995). A record ofphytophagous Eublemma species can be traced inKravchenko et al. (2007) where five of 18 species foundin Israel are known to feed on plants in the Asteraceaefamily while the host plants of the rest (13 species) havenot been determined.

In Kalshoven (1981), the Lepidopteran predatorof the green soft scale in Indonesia is reported asEublemma vacillans Wlk., but that cannot be used asthe binomial name for our specimens. To be correct,Eublemma vacillans Wlk. should be written up formallyas Eublemma vacillans (Walker) (Art. 51.3; ICZN,1999), meaning that vacillans has been previously

described by Walker for (and designated it to) a genusother than Eublemma. That is true because Walker in1864 designated the species name vacillans to the genusZurobata (Noctuidae) (Kendrick, 2004). Thus, thebinomial name Zurobata vacillans Walker should begiven the taxonomic priority and be the valid binomialname. It follows that, on the one hand, as we consider itto be a nomen nudum, Eublemma vacillans cannot beused as the designation of our specimens or of any otherspecimen for that matter. On the other hand, ourspecimens cannot be Zurobata vacillans either, becauseZurobata vacillans are phytophagous (i.e. feeding onthe longan fruit tree in Thailand; Anonymous, 2003) whileour specimens are predaceous.

Seven valid Eublemma species names have beenattached to Indonesian specimens (Kumar &Ramamurthy, 2012). Three names are attached directlyto Eublemmae, i.e. Eublemma carneola Hampson,Eublemma pudica Snellen, and Eublemma roseonivea(Walker). The other four are attached through synonymy,as follow. Indonesian Thalpochares accedens Felder,Rogenhofer & Poole is the synonym of South AfricanEublemma anachorensis (Wallengren) while our

Indriyati & Susilo Preliminary Study on Eublema sp. 15

Thalpochares adulans Felder, Rogenhofer, & Poole,Anthophila sexta Guenee & Poole, and Micrahemirhoda Walker & Poole are the synonyms of India’sEublemma dimidialis (Fabricius). The same, ourAnthophila virginea Guenee and Eublemma dembaSwinhoe are the synonyms of Italian Eublemmaragusana (Freyer) and India’s Eublemma trifasciata(Moore), respectively. The taxonomic attachments andaffinities as above (Kumar & Ramamurthy, 2012) arewell-recognized but none indicates definite affinity tothe characters of our specimens; including specifity oftheir host or prey items. Therefore, as it stands, wecannot designate (or have not been able to designate)any of the seven species names to our specimens(Eublemma sp.).

Is Eublemma sp. an effective predator? In thelaboratory, Eublemma sp. shows a relatively highconsumption (97 + 11 C. viridis scales/Eublemma sp.larva, Figure 6). The rate is higher than that, for instance,of E. antonina which can consume only 18-20 Antoninagraminis scales/E. antonina larva (Nagaraja &Nagarkatti, 1970). That means, Eublemma sp. has ahigh predation potential. Its actual predation, however,needs further investigations. It has not been clear howconsistent the predation rate will be in the presence of(1) scale-tending ants and/or (2) natural enemies.

The actual Eublemma sp. predation may be lowerthan potential Eublemma sp. predation, considering thefollowing situations. First, the larval Eublemma sp.predator may be protected from ants by its body casingbut so far no quantitative data available on this. Moreover,as scale-tending ants are in general predatory to non-scale insects (Susilo, 2011), a failure in the part ofEublemma sp. to protect itself from ants may lead toshifting its role from the predator of the scales to beingthe prey of the ants. Second, Eublemma sp. eggs seemto be prone to egg predators (i.e. ants and others)because these eggs are laid singly (Figure 1A) andunprotected. Predation to Eublemma sp. eggs may leadto low initial population of Eublemma sp. larvae. Third,Eublemma sp. eggs also seem to be prone to eggsparasitoids. In line to this, Eublemma sp. larvae may beprone to parasitoids as well, in spite of their havingprotective casings. It has been well-known (Kalshoven,1981) that strong protective casing (consisting of leafparticles, sand and other components) in psychid larvaecannot protect them from parasitoid attacks. In sum,natural enemies and competitors can lower the predationrate of Eublemma sp. and quantitative data on Eublemmasp. in relation to those factors need to be investigated infurther studies.

CONCLUSION

This study reveals that a kind of Lepidoptera larva,identified as Eublemma sp. (Eublemminae: Noctuidae)is found to feed obligately on the soft green scale,C. viridis (Hemiptera: Coccidae). The predatorycaterpillar has two abdominal prolegs (A5 & A6) andanal proleg (A10), each with uniordinal crochets. Thepredation rate of Eublemma sp. in laboratory is 97 + 11scales / caterpillar. Further studies needed include 1)the faunistic studies on Eublemminae in Indonesia andtaxonomic studies on Indonesian Eublemma sp. and 2)ecological studies on Indonesian Eublemminae.

REFERENCES

Anonymous. 2003. Longan and lychee fruit from thePeople’s Republic of China and Thailand. DraftImport Risk Analysis Report Part B. AustralianGovernment, Department of Agriculture,Fisheries and Forestry, the Commonwealth ofAustralia. Canberra.

Awamleh RA, Al-Antary TM, & Bilal HM. 2009.Survey of natural enemies of fig wax scaleCeroplastes rusci L (Homoptera: Coccidae)and seasonal abundance of the parasitoidScutellista caerulea Fonscolombe(Hymenoptera: Pteromalidae) in Jordan. JordanJ. Agric. Sci. 5(4): 434–445.

Beardsley JW. 1982. A key to the late instar larvae odsome Hawaiian Noctuidae. Proc. HawaiianEntomol. Soc. 24(1): 37–49.

Chattopadhyay S. 2011. Introduction to Lac and LacCulture. Tech. Bull. FBTI 01. Department ofForest Biology and Tree Improvement Facultyof Forestry Birsa Agricultural University atKanke, India. Ranchi.

Common IFB. 1990. Moths of Australia. MelbourneUniversity Press. Carlton.

Fernandez JM, Mendivil X, & Almagro F. 1980. Estudiode Saissetia oleae en Cordova. Bol. Serv.Plagas 5: 149–156.

ICZN (International Commission on ZoologicalNomenclature). 1999. International codes ofzoological nomenclature. In: Ride WDL, CoggerHG, Dupuis C, Kraus O, Minelli A, ThompsonFC, & Tubbs PK (Eds.). International Trustof Zoological Nomenclature. c/o The NaturalHistoryMuseum – Cromwell Road. London.

16 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 10 - 16

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops inIndonesia. Revised and translated by van derLaan PA & Rothschild GHL. PT Ichtiar Baru– van Hoeve. Jakarta.

Kendrick RC. 2004. Summary moth survey report 1994to March 2004 at Kadoorie Farm & BotanicGarden Tai Po, Hong Kong. Fauna DepartmentKadoorie Farm and Botanic Garden HongKong. Tai Po.

Kravchenko VD, Fibiger M, Mooser J, Junnila A, &Müller GC. 2007. The Eublemminae of Israel(Lepidoptera: Erebidae). SHILAP Revta.Lepidopt. 35(140): 513–519.

Kumar R & Ramamurthy VV. 2012. Checklist of thegenus Eublemma Hubner, 1821 (Lepidoptera:Noctuidae: Eublemminae). Munis Entomol.Zool. 7(2): 1227–1251.

Nagaraja H & Nagarkatti S. 1970. Description of newspecies of Eublemma (Lep.: Noctuidae)predaceous on Antonina graminis (Maskell)(Hem.: Pseudococcidae) in India with briefnotes on its biology. http://www.nhm.ac.uk/research-curation/.. . /NagaraNa970.pdf.Accessed on 27 July 2014.

NHM. 2014. Lepidoptera. http://www.nhm.ac.uk/research-curation/life-sciences/insects/organisms/ lepidoptera/indexhtml. © TheTrustees of the Natural History Museum,London. Accessed on 27 July, 2014.

Peterson A. 1984. Larvae of Insects An Introductionto Nearctic Species. Part I Lepidoptera andHymenoptera. Columbus.

Pierce N. 1995. Predatory and parasitic Lepidoptera:carnivores living on plants. J. Lepidopt. Soc.49(4): 412–453.

Rahman MM, Ahmed KN, Karim KNS, & Ali MS.2009. Bionomics of Eublemma amabilis Moore(Lepidoptera: Noctuidae), a major predator oflac insect and its control measure. BangladeshJ. Sci. Industr. Res. 44(1): 57–64.

Stehr FW. 1987. Order Lepidoptera. In: Stehr FW (Ed.).Immature Insects. pp. 288–596. Kendall/Hunt.Dubuque.

Susilo FX. 2011. Keberadaan serangga di ekosistempertanian: keanekaragaman, interelasi danprospek pengelolaannya secara bio-rasional.Orasi Ilmiah Dalam Rangka PengukuhanProfesor Tetap Bidang Entomologi Pertanian,Fakultas Pertanian Universitas Lampung.Bandarlampung.

Ratna et al. Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma [60Co] 17 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 15, No. 1: 17 – 25, Maret 2015

PENGARUH IRADIASI SINAR GAMMA [60Co]TERHADAP BACTROCERA CARAMBOLAE DREW & HANCOCK

IN VITRO DAN IN VIVO

Endang Sri Ratna1, Kemas Usman2, Indah Arastuti3, & Dadan Hindayana1

1Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,Jl. Kamper, Kampus IPB Darmaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat 16680

2Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian, Jl. Kampung Utan - Setu, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat 17520

3Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional,Jl. Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta Selatan 12440

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Effect of gamma irradiation [60Co] against Bactrocera carambolae Drew & Hancock in vitro and in vivo. Bactroceracarambolae Drew & Hancock is one of the most important pests on guava fruit. According to a quarantine regulation inexport-import commodities, irradiation treatment is a suitable methods for eradicating infested organism, which is relativelysafe for the environment. The aim of this research was to determine mortality doses and an effective dose of [60Co] gamma rayirradiation for the eradication purpose, and its implication on the survival of fruit fly B. carambolae. Two irradiation methodsof in vitro dan in vivo were carried out, by exposing egg and 3rd instar larvae of B. carambolae obtained from the laboratoryreared insect. Eleven doses of gamma ray irradiation of 0, 30, 50, 75, 100, 125, 150, 175, 200, 300, 450, and 600 Gy were applied,respectively. The level of 99% fruit fly mortality was estimated by the value of LD99 using probit analysis and the number oflarvae, pupae and adult survival were evaluated by analysis of variance (ANOVA), and the means compared by Tukey’s test,at 5% of significance level. These result showed that the effective lethal dose (LD99) of irradiation that could be successful toeradicate eggs and 3rd instar larvae in vitro were 2225 and 2343 Gy and in vivo were 3165 dan 3177 Gy, respectively. Almost allof the treated larvae survived and developed to pupae, therefore only the minimum irradiation dose of 30 Gy allowed the pupaeto develop into adults.

Key words: Bactrocera carambolae, eradication, irradiation, LD99

ABSTRAK

Pengaruh iradiasi sinar gamma [60Co] terhadap Bactrocera carambolae Drew & Hancock in vitro dan in vivo. Bactroceracarambolae Drew & Hancock merupakan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) penting pada buah jambu biji. Sehubungandengan regulasi karantina dalam lalulintas komoditas ekspor, iradiasi merupakan upaya membebaskan OPT dari komoditastersebut yang relatif aman terhadap lingkungan. Penelitian ini bertujuan menentukan dosis lethal dan dosis efektif iradiasisinar gamma [60Co] untuk mengeradikasi lalat buah B. carambolae, serta mengamati implikasi terhadap keloloshidupannya.Dua metode pengujian in vitro dan in vivo masing-masing diaplikasikan terhadap telur dan larva instar 3 B. carambolae hasilperbanyakan laboratorium. Sebelas dosis perlakuan iradiasi diaplikasikan berturut-turut: 0, 30, 50, 75, 100, 125, 150, 175, 200,300, 450, dan 600 Gy. Tingkat mortalitas 99% (LD99) ditentukan melalui program probit, dan kemampuan keloloshidupan larva,pupa, dan imago dibedakan melalui uji Tukey pada taraf 5%. Hasil perlakuan menunjukkan bahwa dosis lethal iradiasi efektif(LD99) berhasil mengeradikasi telur dan larva instar 3 berturut-turut sebesar 2225 dan 2343 Gy in vitro, serta 3165 dan 3177 Gyin vivo. Hampir seluruh larva perlakuan yang lolos hidup berhasil berkembang menjadi pupa, namun hanya dosis iradiasiterendah, yaitu 30 Gy saja yang dapat berkembang menjadi imago.

Kata kunci: Bactrocera carambolae, eradikasi, iradiasi, LD99

PENDAHULUAN

Bactrocera carambolae Drew & Hancockadalah lalat buah Tephritidae yang perilakunya polifag,banyak menyebabkan kerusakan pada berbagaikomoditas buah seperti jambu biji (Psidium guajava

L.) dan mangga (Mangifera indica L.) dengan inangutamanya belimbing (Averrhoa carambola L.) danjambu air (Syzygium samarangense (Blume) Merr. &L. M. Perry)) (Kapoor, 2005; Siwi et al., 2006; Lemoset al., 2014). Berdasarkan daerah persebarannya, lalatbuah ini merupakan serangga karantina penting berkaitan

18 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 17 - 25

dengan ekspor buah-buahan (CAB International, 2007).Dalam upaya membebaskan komoditas ekspor buahjambu biji dari infestasi telur dan larva lalat buah, makatindakan pemusnahan (eradikasi) kontaminan organismetersebut perlu dilakukan untuk menghindariperkembangan populasi lebih lanjut hingga pelabuhantujuan (IPPC, 2008; Hallman, 2011).

Perlakuan pemaparan sinar radioaktif (iradiasi)pancaran sinar gamma [60Co] merupakan metodeeradikasi yang paling cepat dan praktis diaplikasikan bagibuah kemasan ekspor, relatif tidak menyebabkanfitotoksisitas atau kerusakan bahan seperti padaperlakuan suhu panas dan dingin, tidak meninggalkanresidu yang berbahaya seperti perlakuan fumigasi,sehingga relatif lebih aman terhadap kesehatan danlingkungan (Dória et al., 2007; Follet et al., 2008;Hallman, 2011). Iradiasi ini telah banyak dilakukan untukmengeradikasi lalat buah pada berbagai komoditaskarantina. Mansour & Franz (1996) melaporkan bahwairadiasi sinar gamma dapat menyebabkan sterilitas telurCeratitis capitata, kegagalan pembentukan pupa dankemunculan imago pada buah mangga. Perlakuan dosisminimum iradiasi sinar gamma juga dilaporkan dapatmenyebabkan sterilitas telur, menghambatperkembangan instar pradewasa, serta reproduksi imagoAnastrepha spp., B. jarvisi, B. tryoni (Hallman &Loaharanu, 2002), dan perkembangan pupa C. capitatapada buah mangga (Torres-Rivera & Hallman, 2007).Odai et al. (2014) melaporkan bahwa iradiasi sinargamma efektif digunakan untuk mengeradikasi hamakarantina B. invadens pada buah mangga. Iradiasi sinargamma dilaporkan menghambat perkembangan pupa B.correcta (Puanmanee et al., 2010) dan menekaninvestasi larva Ceratitis spp. dan Bactrocera sp. padabuah jambu biji (Dória et al., 2007; Kabbashi et al.,2012).

Pengujian penerapan dosis perlakuan iradiasi sinargamma untuk tindakan karantina terhadap lalat B.carambolae pada komoditas buah jambu biji belumpernah dilaporkan di Indonesia, sehingga pengujianefikasi iradiasi terhadap keberadaan lalat tersebut perludilakukan. Tujuan penelitian ini adalah menentukan dosislethal dan mengevaluasi keefektifan dosis minimumiradiasi sinar gamma [60Co] untuk keperluan eradikasilalat buah B. carambolae, serta mengamati implikasiterhadap keloloshidupannya.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan diLaboratorium Phytosanitary, Pusat Aplikasi IsotopRadiasi-Badan Tenaga Nuklir Nasional (PAIR-Batan),

Jakarta. Penelitian dilakukan mulai bulan Agustus sampaidengan Desember 2014.

Penyediaan Serangga Uji. Lalat buah B. carambolaediisolasi dari perbanyakan serangga di LaboratoriumPhytosanitary, PAIR-Batan, Jakarta. Lalat tersebutdipelihara di dalam media pakan buatan mengikuti metodebaku yang telah dikembangkan oleh Kuswadi et al.(1999). Telur dan larva instar 3 hasil perbanyakangenerasi pertama digunakan sebagai stok serangga uji.

Penyediaan Media Uji In Vivo. Buah jambu biji, P.guajava, berdaging buah merah muda (pink guava)dengan kematangan 75% diambil dari perkebunan petanidi daerah Bojong Gede, Jawa Barat. Buah jambu bijiditempatkan di dalam kantung plastik, kemudian disimpandi dalam lemari es pada suhu 15 °C di laboratorium.Buah dengan umur simpan satu hari digunakan sebagaimedia peneluran lalat pada pengujian in vivo.

Perlakuan Iradiasi terhadap Telur dan Larva Instar3 secara In Vitro. Telur lalat buah B. carambolaeberumur satu hari diisolasi dari populasi stokperbanyakan dan dipaparkan di permukaan kertas saringbasah. Kertas berisi setiap seratus butir telur diletakkandi permukaan media pakan buatan yang berada di dalamsebuah kotak plastik bertutupkan kain kasa, berukuran8×8×5 cm. Dua pengujian iradiasi diaplikasikan terhadaptelur dan larva instar 3 berumur satu hari. Larva ujidiperhitungkan dengan menginkubasikan telur selamalima hari di dalam media pakan buatan. Setiap kotakpakan yang telah berisi telur dan larva uji di dalamnya,satu persatu dimasukkan ke dalam mesin IradiatorGamma Chamber 4000 A (kapasitas 4 L, laju dosis45.0763 krad/jam) dan diberi perlakuan iradiasi sinargamma sumber [60Co] dengan dosis masing-masing 0,30, 50, 75, 100, 125, 150, 175, 200, 300, 450, dan 600 Gy(Kabbashi et al., 2012; Kuswadi 2011). Setiap perlakuanpemaparan diulang sebanyak tiga kali.

Segera setelah selesai penyinaran, pakan besertatelur dan larva uji dikeluarkan dari mesin iradiator dandipelihara di dalam ruangan suhu ± 26 oC dengankelembaban nisbi ± 70%. Jumlah telur yang tidakmenetas pada permukaan media kertas saring diamatilangsung 24 jam setelah pemaparan. Pengaruhpenyinaran terhadap larva diamati dengan memindahkantelur berumur lima hari ke dalam wadah silinder plastikberukuran diameter 15 cm dan tinggi 20 cm yang dialasiserbuk gergaji kayu. Larva yang berhasil hidup akanberpindah dari media pakan ke dalam serbuk gergajiuntuk berpupa yang selanjutnya diamati keberhasilanhidup imagonya. Jumlah larva yang gagal membentuk

Ratna et al. Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma [60Co] 19

pupa dan pupa yang ganti kulit (eklosi) jadi imago dihitungdengan membongkar pakan dan media serbuk gergajidi akhir percobaan. Perubahan morfologi telur dan larvaakibat iradiasi juga diamati.

Perlakuan Iradiasi terhadap Telur dan Larva Instar3 Secara In Vivo. Pada pengujian iradiasi in vivo, teluruji diperoleh dengan memaparkan sebuah jambu biji pada15 pasang imago lalat buah B. carambolae berumur 17hari setelah eklosi yang merupakan periode awalpeletakkan telur. Sebelum dipaparkan, buah jambu diberipenusukan dengan jarum untuk menentukan lokasioviposisi mengikuti metode yang diuraikan Odai et al.(2014). Untuk mendapatkan 100 butir peletakkan teluruji, pemaparan dilakukan selama 3 jam, pada pukul 06.00-09.00, di dalam kurungan kasa berukuran 20×20×20 cm.Setelah itu, buah yang telah diinfestasi telur dikeluarkandari kurungan kasa, disimpan di dalam wadah silinderplastik yang beralaskan serbuk gergaji, kemudiandipelihara di dalam ruangan dengan suhu dan kelembabansama seperti di atas.

Perlakuan iradiasi telur dan larva instar 3 berturut-turut diberikan pada telur berumur 24 jam dan lima harisetelah disisipkan pada buah. Sumber iradiasi dan dosisyang digunakan sama dengan perlakuan in vitro. Setiapperlakuan iradiasi diulang tiga kali. Variabel pengamatanyang diamati adalah persentase kematian (mortalitas)telur dan larva instar 3, dan keloloshidupan stadia pupadan imago.

Analisis Data. Data mortalitas dan perkembanganpradewasa ditabulasi pada program komputer MicrosoftExcel 2007, kemudian dianalisis pada program Minitabversi 16 dengan menggunakan metode Rancangan AcakLengkap (RAL). Untuk membedakan rata-rata hasilperlakuan iradiasi, persentase data kegagalanpembentukan pupa dan imago ditransformasimenggunakan arcsin untuk menormalisasikan distribusidalam analisis ANOVA, dilanjutkan dengan uji Tukeypada tingkat kepercayaan 95%. Penentuan dosis letal50% (LD50) dan 99% (LD99) diukur melalui analisisprobit menggunakan program SAS (SAS Institute 2002).Data mortalitas perkembangan pradewasa dikoreksimenggunakan formula Abbott’s (Finney, 1971).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Iradiasi terhadap Mortalitas Telur danLarva Instar 3 In Vitro dan In Vivo. Berdasarkan hasilpengujian iradiasi sinar gamma in vitro dan in vivoterhadap B. carambolae diketahui bahwa semakin tinggidosis iradiasi yang diaplikasikan menyebabkan semakintinggi tingkat kematian telur dan larva instar 3 (Tabel1).

Hasil kedua pengujian in vitro maupun in vivomenunjukkan bahwa, dosis perlakuan iradiasi terendah30 Gy terhadap telur berturut-turut telah menunjukkantingkat kematian telur 47% dan 36% yang nyata lebihtinggi dibandingkan kontrol. Tingkat mortalitas telur nyata

Tabel 1. Pengaruh iradiasi sinar gamma [60Co] terhadap mortalitas telur dan larva instar 3 B. carambolae secarain vitro dan in vivo

Rata-rata persentase yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyataberdasarkan uji Tukey dengan taraf 5%.

Dosis (Gy)

Mortalitas telur ± SD (%) Mortalitas larva instar 3 ± SD (%)

In Vitro In Vivo In Vitro In Vivo 0 1,7 ± 0,6 a 0,6 ± 0,7 a 2,3 ± 2,1 a 0,6 ± 0,1 a 30 47,0 ± 3,6 b 35,8 ± 1,5 b 14,0 ± 4,0 b 1,1 ± 0,3 a 50 48,0 ± 3,5 bc 43,4 ± 6,1 b 17,3 ± 0,6 bc 1,9 ± 0,1 ab 75 49,0 ± 4,0 bcd 45,2 ± 7,6 b 18,8 ± 1,7 cd 5,2 ± 3,4 ab 100 49,7 ± 1,5 bcd 46,0 ± 6,8 b 34,1 ± 12,1 cde 11,7 ± 4,9 ab 125 55,0 ± 1,7 cde 48,7 ± 9,6 b 39,0 ± 14,1 cde 15,8 ± 10,6 ab 150 56,0 ± 0,0 de 56,3 ± 17,0 b 40,2 ± 12,5 cde 17,4 ± 9,2 abc 175 56,0 ± 2,0 de 57,5 ± 22,0 b 41,2 ± 8,0 de 27,5 ± 10,4 bcd 200 61,7 ± 1,1 e 62,1 ± 10,5 b 50,3 ± 7,6 def 28,2 ± 22,3 bcd 300 99,7 ± 0,6 f 98,8 ± 2,4 c 76,2 ± 5,8 def 53,9 ± 29,0 cde 450 100,0 ± 0,0 f 100,0 ± 0,0 c 79,8 ± 1,5 ef 59,3 ± 14,2 de 600 100,0 ± 0,0 f 100,0 ± 0,0 c 95,4 ± 0,6 f 72,1 ± 5,9 e

20 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 17 - 25

tertinggi dicapai mulai dosis 300 Gy sebesar 99,7%hingga 98,8% dan pada dosis 450 Gy dan lebih tinggilagi tidak satupun telur yang hidup dan berkembang.Kemampuan iradiasi dalam menekan penetasan telurlalat buah B. carambolae relatif hampir mirip terjadipada dosis terendah yang diaplikasikan oleh Mansour& Franz (1996) yang melaporkan bahwa dosis 20 Gyperlakuan in vivo telah dapat menekan penetasan telurlalat C. capitata pada buah mangga.

Hasil percobaan iradiasi sinar gamma terhadaplarva menunjukkan tingkat ketahanan yang relatifmeningkat dibandingkan terhadap telur. Tingkat kematianlarva pada perlakuan in vitro maupun in vivo dengannilai setara atau relatif sedikit lebih tinggi dari tingkatkematian telur, yaitu 50,3% dan 53,9% berturut-turutterjadi pada perlakuan dosis iradiasi sinar gammasebesar 200 Gy dan 300 Gy. Menurut Hallman &Loaharanu (2002), tingkat toleransi serangga terhadapiradiasi pada umumnya meningkat seiring denganperkembangan stadia pertumbuhannya. Mansour &Franz (1996) menyatakan bahwa telur lalat C. capitatayang baru menetas dan telur berumur 24 jam lebih rentanterhadap perlakuan iradiasi dibandingkan telur yangberumur 48 jam. Dosis minimum penghambatpembentukan pupa juga dilaporkan efektif pada 160 Gysaat diaplikasikan pada larva instar pertama dan dosistersebut meningkat menjadi lebih besar dari 600 Gy saatdiaplikasikan pada larva instar 3. Dória et al. (2007)melaporkan bahwa ketahanan perlakuan iradiasi palingtinggi terjadi pada larva instar 3 C. capitata yangdiinvestasikan pada buah jambu biji dibandingkan larvainstar pertama dan kedua, dan paling rentan pada telur.Oleh karena itu, dosis perlakuan iradiasi yang ditujukanuntuk larva instar 3 tersebut sesuai digunakan untukkeperluan eradikasi dalam tindakan karantina buahterinvestasi lalat B. carambolae (Hallman & Loaharanu,2002).

Kemampuan iradiasi sinar gamma dalammembunuh telur maupun larva lalat B. carambolae lebihjelas lagi ditunjukkan dengan dosis lethal yang terterapada Tabel 2.

Stadia LD50 (Gy) LD90 (Gy) LD99 (Gy)

In Vitro In Vivo In Vitro In Vivo In Vitro In Vivo

Telur 71,2 82,7 474,3 615,7 2225,0 3165,0 (25,3-113,4) (47,0-122,7) (250,7-4014) (313,0-4165) (704,9-169363,3) (961,9-112470,0)

Larva instar 3

158,1 334,3 698,3 1156 2343,0 3177,0 (129,9-195,0) (311,4-361,6) (484,7-1254) (997,0-1373) (1295,0-6261,0) (2549,0-4113,0)

Tabel 2. Dosis letal iradiasi sinar gamma [60Co] pada stadia telur dan larva instar 3 B. carambolae secara in vitrodan in vivo

Hasil perlakuan iradiasi in vitro dan in vivo,menunjukkan bahwa dosis lethal yang dapat membunuhlarva secara umum ditunjukkan dengan nilai LD50,berturut-turut yaitu untuk telur berkisar 71,2 dan 82,7dan larva berkisar 129,9 dan 311,4 Gy Dosis iradiasi inirelatif lebih tinggi dibandingkan dosis yang diaplikasikanterhadap lalat C. capitata pada buah jambu biji dengannilai LD50 sebesar 103 Gy (Dória et al., 2007).

Berdasarkan dokumen konvensi internasionalstandar penggunaan iradiasi terhadap keamanan buahdan sayuran, dinyatakan bahwa dosis minimumkeamanan karantina sebesar 150 Gy merupakan dosisperlakuan iradiasi yang dapat diterima di Amerika Serikatuntuk menghindari investasi serangga berkembangmenjadi imago (ICGFI, 1991; 1999; USDA-APHIS,2006). Dosis minimum iradiasi umumnya bervariasibergantung pada jenis serangga dan buah yangterinfestasi. Sebagai contoh iradiasi larva instar 3 lalatbuah C. capitata pada jeruk, pepaya, dan manggaberturut-turut memerlukan dosis minimum 40-200 Gy,80-150 Gy, dan 100-225 Gy untuk menghindaripembentukan imago (Torres-Rivera & Hallman, 2007).Dosis efektif untuk tingkat keamanan karantina buahpada genus Anastrepha berkisar 50-60 Gy untuk buahmangga dan belimbing, genus Bactrocera berkisar 100-150 Gy dan 250 Gy untuk buah mangga dan pepaya,dan genus Ceratitis berkisar 100-150 Gy dan 218-500Gy untuk buah mangga dan pepaya (Hallman &Loaharanu, 2002). Pada percoban ini, nilai LD50 telahmemenuhi kriteria dosis minimum yaitu pada perlakuanlarva instar 3 in vitro, sebaliknya pada perlakuan in vivonilai LD50 relatif lebih besar dari dosis minimum standar.Walaupun demikian, dosis perlakuan in vivo tersebutmasih diharapkan efektif setelah keberhasilan stadiaperkembangan serangga pasca iradiasi lebih lanjutdiamati.

Perlakuan fitosanitari merupakan upayakeamanan karantina untuk mengeradikasi ataumembebaskan organisme yang terinfestasi ke dalambahan komoditas ekspor-impor. Untuk memenuhi kriteriatersebut, perlakuan iradiasi terhadap telur dan larva ­B.

Ratna et al. Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma [60Co] 21

carambolae baik in vitro dan in vivo pada percobaanini dinyatakan dengan nilai LD90 berturut-turut berkisar474,3-698,4 Gy dan 615-1156 Gy, dan nilai LD99 berkisar2225-2343 Gy dan 3165-3177 Gy (Tabel 2). Idealnya,iradiasi sinar gamma terhadap organisme yang akandibebaskan menghendaki nilai probit 9 atau LD99 untukmenentukan dosis yang menyebabkan kematian 99,68%,sehingga tidak satupun organisme sasaran dapat loloshidup dari komoditas tersebut, walaupun demikian nilaiLD90 sering digunakan untuk menentukan dosisperacunan efektif dalam manajemen pengendalianorganisme pengganggu tanaman (IPPC, 2003). Dóriaet al. (2007) melaporkan bahwa Nilai LD90 perlakuaniradiasi terhadap larva instar 3 lalat buah C. capitatasebesar 1862 Gy. Kabbashi et al. (2012) menyatakanbahwa tingkat eradikasi (infestasi-zero) lalat Ceratitisspp. dan Bactrocera spp. untuk buah-buah pascapanendicapai pada 2000 Gy. Nilai tersebut relatif masih tinggidibandingkan perlakuan terhadap instar yang sama padaB. carambolae. Perlakuan dosis lethal berdasarkan nilaiLD90 dan LD99 yang relatif tinggi seringkali menimbulkankerusakan pada media perlakuan. Seperti contohnya,batas tingkat keamanan kerusakan terhadap mutu dankualitas buah jambu biji dilaporkan sebesar 300 Gy(Reyes-Campos et al., 2013) dan sayuran sebesar 1000Gy (Mitcham, 1999). Oleh karena itu, penentuan dosisefektif fitosanitari diperlukan upaya toleransi penilaianbukan dari standar mortalitas akut, melainkan lebih

Rata-rata persentase (data terkoreksi Abbott’s formula, dilanjutkan dengan transformasi arcsin) yang diikuti olehhuruf yang sama pada kolom dan jenis perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan ujiTukey dengan taraf 5%.

Dosis (Gy)

Kegagalan pembentukan pupa ± SD (%)

Perlakuan telur Perlakuan larva instar 3

In Vitro In Vivo In Vitro In Vivo

0 (kontrol) 31,7 ± 9,1 a 47,7 ± 2,1 a 30,7 ± 3,2 a 36,4 ± 6,6 a 30 77,5 ± 1,2 b 77,7 ± 0,3 b 6,7 ± 2,0 ab 7,4 ± 4,9 ab 50 93,4 ± 2,9 c 90,5 ± 1,5 c 9,3 ± 1,8 ab 11,8 ± 3,5 ab 75 95,7 ± 0,9 c 91,1 ± 0,8 c 10,0 ± 0,8 abc 10,9 ± 10,5 ab 100 99,6 ± 0,7 d 99,4 ± 1,1 d 23,2 ± 5,8 bcd 14,9 ± 4,4 abc 125 100,0 ± 0,0 d 97,5 ± 4,3 d 27,6 ± 13,7 bc 16,8 ± 14,4 abc 150 100,0 ± 0,0 d 100,0 ± 0,0 d 27,6 ± 5,0 bc 21,9 ± 12,3 abc 175 100,0 ± 0,0 d 96,9 ± 2,8 d 25,6 ± 4,7 bc 32,7 ± 3,3 bcd 200 100,0 ± 0,0 d 100,0 ± 0,0 d 29,9 ± 4,6 c 42,1 ± 11,7 cde 300 100,0 ± 0,0 d 100,0 ± 0,0 d 52,9 ± 1,2 d 60,2 ± 24,2 de 450 100,0 ± 0,0 d 100,0 ± 0,0 d 76,9 ± 0,6 e 64,8 ± 5,7 e 600 100,0 ± 0,0 d 100,0 ± 0,0 d 96,7 ± 0,6 f 71,1 ± 0,5 e

Tabel 3. Pengaruh iradiasi sinar gamma [60Co] pada stadia telur dan larva instar 3 B. carambolae terhadapkegagalan pembentukan pupa secara in vitro dan in vivo

ditujukan kepada implikasi perlakuan iradiasi terhadapkegagalan perkembangan dan pertumbuhan serangga.

Pengaruh Iradiasi terhadap PerkembanganPradewasa B. carambolae. Iradiasi sinar gamma invitro dan in vivo terhadap telur dan larva B.carambolae berpengaruh terhadap kegagalan bergantikulit dan metamorfosis (Tabel 3). Pada perlakuan telurin vitro, dosis iradiasi yang menyebabkan kegagalanpembentukan pupa terendah terjadi pada 30 Gy yaitumencapai 77,6%. Pada dosis 50-100 Gy, kegagalanpembentukan pupa meningkat hingga melebihi 90% danpada dosis yang lebih tinggi lagi yaitu 125-600 Gy, tidakterbentuk pupa sama sekali. Kegagalan pembentukanpupa terendah juga dijumpai pada perlakuan in vivo yaitu30 Gy, namun kerentanan terhadap iradiasi meningkathingga kisaran 50-175 Gy dibandingkan perlakuan invivo, dan kegagalan pembentukan pupa absolut terjadipada dosis iradiasi 200-600 Gy. Menurut Thomas &Hallman (2011), pemaparan iradiasi seringkali berakibatterhadap perubahan perkembangan serangga termasukekdisis yang umumnya terjadi pada masa transisi, yaituperubahan stadia larva ke pupa atau pupa ke imago.Semakin tinggi dosis iradiasi yang diberikan, makakeloloshidupan larva semakin rendah. Pemberian iradiasidosis terendah 15 Gy dan tertinggi 30 Gy terhadap telurA. ludens menyebabkan kegagalan pembentukan pupaberturut-turut 65% hingga 81%.

22 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 17 - 25

Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadappembentukan pupa relatif lebih lemah terhadap larvainstar 3 ditunjukkan dengan kegagalan pembentukanpupa yang tidak mencapai 100% seperti terjadi padatelur (Tabel 3). Dosis terendah yang dapat dicapai untukpenghambatan pembentukan pupa di atas 50% terjadipada 300 Gy pada kedua perlakuan in vitro maupun invivo. Namun penghambatan yang melebihi 70% baruterjadi pada dosis 450 Gy pada perlakuan in vitro dandosis tertinggi 600 Gy pada perlakuan in vivo. Perlakuaniradiasi sinar gamma terhadap penghambatanperkembangan imago pada nilai probit 9 semakinmeningkat seiring dengan perkembangan stadiaserangga, seperti misalnya pada telur, larva instar 1, danlarva instar 3 B. latifrons memerlukan dosis minimumberturut-turut 13,4; 17,5; dan 88,1 Gy (Follet et al., 2011).Teknik artificial (in vitro dan in vivo) tidak menunjukkanperbedaan kegagalan pembentukan imago padapemberian dosis 25 Gy berturut-turut sebesar 99 dan98,5% (Hallman & Thomas, 2010).

Implikasi iradiasi sinar gamma juga berpengaruhpada keloloshidupan pupa untuk berkembang dan gantikulit (eklosi) menjadi imago. Hasil percobaan inimenunjukkan bahwa seluruh dosis perlakuan iradiasiterhadap telur, termasuk dosis terendah 30 Gy nyataefektif dapat mengeradikasi lalat B. carambolae baikin vitro maupun in vivo, sedangkan pada perlakuan larvainstar 3, dosis efektif eradikasi terjadi pada dosis 50 Gy(Tabel 4).

Thomas & Hallman (2011), melaporkan bahwapemaparan iradiasi pada dosis 30 Gy terhadap telurAnastrepha ludens mampu memberikan keloloshidupanimago sebesar 0,4%. Odai et al. (2014) melaporkanbahwa hasil uji konfirmasi probit 9 dinyatakan tidak adasatupun imago yang berhasil keluar dari pupa setelahlarva instar 3 B. invadens dipaparkan dengan dosisiradiasi 68,5 Gy. Berdasarkan nilai penghambatan

Dosis (Gy)

Kegagalan pembentukan imago ± SD (%)

Perlakuan telur Perlakuan larva instar 3

In Vitro In Vivo In Vitro In Vivo

0 (kontrol) 32,7 ± 0,0 a 52,0 ± 1,8 a 28,3 ± 1,5 a 37,0 ± 0,4 a 30 100,0 ± 0,0 b 100,0 ± 0,0 b 98,1 ± 0,8 b 98,8 ± 1,6 b 50 100,0 ± 0,0 b 100,0 ± 0,0 b 100,0 ± 0,0 b 100,0 ± 0,0 b

Rata-rata persentase (data terkoreksi Abbott’s formula, dilanjutkan dengan transformasi arcsin) yang diikuti olehhuruf yang sama pada kolom dan jenis perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan ujiTukey dengan taraf 5%.

Tabel 4. Pengaruh iradiasi sinar gamma [60Co] pada stadia telur dan larva instar 3 B. carambolae terhadapkegagalan pembentukan imago secara in vitro dan in vivo

99,9968% (probit 9) terhadap empat spesies lalat, dosisminimum 100 Gy untuk spesies lalat A. ludens, A.oblique, A. serpentine, dan 150 Gy terhadap C.capitata pada buah mangga, dan 150 Gy B. latifronspada buah cabai paprika pascapanen direkomendasikansebagai dosis generik terhadap pembebasan infestasilalat (Bustos et al., 2004). Seperti telah diuraikan di atasbahwa dosis minimum yang dianjurkan untuk keamanankarantina adalah 150 Gy (ICGFI, 1991; 1999; USDA-APHIS, 2006). Dosis yang diperoleh dari hasil percobaanini sesuai dengan kebutuhan dosis generik untukmembebashamakan imago lalat B. carambolae padabuah jambu biji, yaitu sebesar 50 Gy.

Pengaruh Iradiasi terhadap Morfologi Tubuh Lalat.Teknik iradiasi sinar gamma ini sangat sesuai digunakanuntuk perlakuan karantina. Pada dosis yang relatifrendah, iradiasi telah menyebabkan penggelapan ataumelanisasi integumen yang biasanya diikuti denganabnormalitas morfologi tubuh dan kematian organismehidup (Gambar 1).

Hasil percobaan iradiasi terhadap lalat B.carambolae menyebabkan penggelapan warna padapermukaan telur, larva, dan pupa, yaitu berubah menjadicokelat dibandingkan kontrol yang tidak diberi iradiasirelatif berwarna putih kekuningan (Gambar 1A, B, C).Pupa yang lolos hidup dan dapat eklosi menjadi imago,namun hanya sebagian kepala atau tubuhnya saja yangmenjorok keluar dari puparium (Gambar 1D). Bentuktubuh imago yang berhasil eklosi seutuhnya dari pupamenjadi tidak sempurna, yaitu tampak bagian kepala,tungkai dan abdomen mengkerut dengan sayap keriputatau tidak membentang sempurna, dan beberapa saatsetelah eklosi imago tersebut mati (Gambar 1D). Tingkatmelanisasi akibat perlakuan iradiasi sinar gamma jugatelah dilaporkan pada larva kumbang penggerek kacanghijau Callosobruchus sinensis (Supawan et al., 2005)

Ratna et al. Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma [60Co] 23

Gambar 1. Perubahan morfologi lalat buah B. carambolae setelah perlakuan iradiasi. A = telur, B = larva instar 3,C = pupa, D = imago, I = perlakuan iradiasi, K = perlakuan kontrol (tanpa iradiasi)

dan telur serta larva lalat buah jambu B. correcta(Puanmanee et al., 2010). Perlakuan iradiasi terhadaplalat buah A. ludens pada dosis rendah telahmenyebabkan terhambatnya proses ekdisis dari larvake pupa, yaitu hanya sampai terbentuk pupakriptosepalik (larva berhasil metamorfosis dari larva kepupa namun kepala belum berkembang masih invaginasi,bakal tungkai dan sayap terbentuk tetapi tidak menyatudengan bagian toraks) atau pupa fanerosefalik (larvaberhasil ekdisis, kepala pupa sudah terbentuk dan bakaltungkai dan sayap berkembang sempurna) (Hallman &Thomas, 2010; Thomas & Hallman, 2011). Apabila pupaberhasil eklosi menjadi imago, maka hanya sebagiantubuhnya saja yang mampu keluar dari puparium atauterbentuk imago, namun mati sebelum sayapnyamembentang. Thomas & Hallman (2011), melaporkan

bahwa kiner ja iradiasi terutama berawal padapenghambatan perkembangan otot larva saat prosesmetamorfosis bersamaan dengan hal tersebut terjadipenurunan kadar protein. Perlakuan iradiasi sinar gammapada dosis 30 Gy menurunkan sepuluh kali lipat jumlahhemosit normal yang tidak diberi perlakuan iradiasi(Puanmanee et al., 2010). Pengaruh irradiasi khususnyaterjadi pada jaringan diakibatkan oleh adanya pemutusanDNA sel-sel organisme sasaran, sehingga terjadiketidak-sempurnaan replikasi atau pembelahan sel(Crowder, 1986; Sardjono & Wibowo, 1987; Ferrier,2010) Akibat lanjut dari kerusakan tersebut, selkehilangan kemampuan untuk memperbanyak diri danindividu tidak mampu bertahan hidup. Perlakuan iradiasisinar gamma sumber [60Co] dosis 90 Gy terhadapstadium pra-dewasa lalat buah menyebabkan

24 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 17 - 25

abnormalitas bentuk organ sensori apada antenna dansayap sehingga menyebabkan disorientasi perilaku kawindan pencarian inang imago B. zonata (El-Akhdar &Afia, 2009) dan menyebabkan kerusakan sel germinaljaringan reproduksi imago jantan peach B. carambolae(Kuswadi, 2011). Perlakuan iradiasi dosis minimumterhadap lalat buah B. carambolae dapat memberikankeamanan tingkat sterilitas serangga yang lolos darikematian akibat perlakuan radiasi.

SIMPULAN

Dosis lethal iradiasi sinar gamma [60Co]terhadap mortalitas telur dan larva instar 3 B.carambolae secara in vitro dicapai pada nilai LD50berturut-turut sebesar 77,2 dan 158,1 Gy, dan LD99sebesar 2225 dan 2343 Gy, dan secara in vivo terjadipada nilai LD50 berturut-turut sebesar 82,7 dan 334,3Gy, dan LD99 sebesar 3165 dan 3177 Gy. Dosis minimumiradiasi sinar gamma [60Co] sebesar 50 Gy termasukdosis generik yang efektif mengeradikasi infestasi telurdan larva instar 3 B. carambolae. Iradiasi sinar gamma[60Co] berimplikasi pada melanisasi integumen,abnormalitas morfologi tubuh imago dan kematian lalatB. carambolae.

SANWACANA

Penulis mengucapkan terima kasih kepada BadanKarantina Pertanian atas dukungan dana penelitianmelalui biaya pendidikan SK Nomor 695/Kpts/KP.440/6/2014 tanggal 16 Juni 2014. Penulis juga mengucapkanterima kasih kepada Balai Uji Terap Teknik dan MetodeKarantina Pertanian atas masukan dan saran, sertaPusat Aplikasi Isotop Radiasi-Badan Tenaga NuklirNasional atas dukungan berupa fasilitas penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Bustos ME, Enkerlin W, Reyes J, & Toledo J. 2004.Irradiation of mangoes as a postharvestquarantine treatment for fruit flies (Diptera:Tephritidae). J. Econ. Entomol. 97(2): 286–292.

[CAB International] Commonwealth AgriculturalBureau International. 2007. Crop ProtectionCompendium (CD-Rom). CAB International.Wallingford (UK).

Crowder LV. 1986. Mutagenesis. In: Soetarso (Ed.).Genetika Tumbuhan. pp. 322–356. GadjahMada University Press, Yogyakarta.

Dória HOS, Albergaria NMMS, Arthur V, & de BortoliSA. 2007. Effect of gamma radiation againstthe Mediterranean fruit fly Ceratitis capitata(Diptera: Tephritidae) in guava fruits. Bol. San.Veg. Plagas 33(2): 285–288.

El-Akhdar EAH & Afia YE. 2009. Functionalultrastructure of antennae, wings and theirassociated sensory receptors of peach fruit fly,Bactrocera zonata (Saunders) as influencedby the sterilizing dose of gamma irradiation. J.Rad. Res. Appl. Sci. 2(4): 797–817.

Ferrier PA. 2010. Irradiation as a quarantine treatment.Food Policy. 35(6): 548–555.

Finney DJ. 1971. Probit Analysis 3 rd Edition.Cambridge University. Cambridge (UK).

Follet PA, Phillips TW, Armstrong JW, & Moy JH. 2011.Generic phytosanitary radiation treatment fortephritid fruit flies provides quarantine securityfor Bactrocera latifrons (Diptera: Tephritidae).J. Econ. Entomol. 104(5): 1509–1513.

Follet PA, Willink E, Gastaminza G, & Kairiyama E.2008. Irradiation as an alternative quarantinetreatment to control fruit flies in exportedblueberries. Rev. Ind. y Agric. de Tucuman85(2): 43–45.

Hallman GJ. 2011. Phytosanitary applications ofirradiation. Comprehen. Rev. Food Sci. FoodSaf. (10): 143–151.

Hallman GJ & Loaharanu P. 2002. Generic ionizingradiation quarantine treatments against fruit flies(Diptera: Tephritidae) proposed. J. EconEntomol. 95(5): 893­–901.

Hallman GJ & Thomas D. 2010. Ionizing radiation as aphytosanitary treatment against fruit flies(Diptera: Tephritidae): efficacy in naturallyversus artificially infested fruit. J. Econ.Entomol. 103(4): 1129–1134.

[ICGFI] International Consultative Group on FoodIrradiation. 1991. Irradiation as a quarantinetreatment of fresh fruits and vegetables. ICGFIDocument No. 13, International AtomicEnergy Agency. Vienna: Austria.

[ICGFI] International Consultative Group on FoodIrradiation. 1999. Enhanching food safetythrough irradiation. ICGFI DocumentInternational Atomic Energy Agency. Vienna:Austria.

Ratna et al. Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma [60Co] 25

[IPPC] International Plant Protection Convention. 2003.International Standards for PhytosanitaryMeasures No.18: Guidelines for the Use ofIrradiation as a Phytosanitary Measure. FAO.Rome.

[IPPC] International Plant Protection Convention. 2008.Replacement or reduction of the use of methylbromide as a phytosanitary measure.Recommendation for the Implementation ofthe IPPC. FAO. Rome.

Kabbashi EEBM, Nasr OE, Musa SK, & Roshdi MAH.2012. Use of gamma irradiation for disinfestationof guava fruits flies Ceratitis spp. andBactrocera sp. (Diptera: Tephritidae) inKhartoum State, Sudan. Agri. Sci. Res. J. 2(4):177–182.

Kapoor VC. 2005. Taxonomy and biology ofeconomically important fruit flies of India. Isr.J. Entomol. 35-36(6): 459–475.

Kuswadi AN. 2011. Kerusakan morfologis dan histologisorgan reproduksi lalat buah Bactroceracarambolae (Drew & Hancock) (Diptera;Tephritidae) jantan yang dimandulkan denganiradiasi gamma. J. Aplikasi Isotop Radiasi 7(1):1–9.

Kuswadi AN, Nasution IA, Indarwatmi M, & Darmawi.1999. Pembiakan massal lalat buah Bactroceracarambolae (Drew & Hancock) denganmakanan buatan. Dalam: Pusat StudiPengendalian Hayati Universitas Gadjah Mada(Ed.). Panduan Seminar NasionalPengendalian Hayati. pp. 4–5 Yogyakarta,Indonesia. 12–13 Juli 1999.

Lemos LDN, Adaime R, Barros CRDJ, & Deus EDG.2014. New hosts of Bactrocera carambolae(Diptera: Tephritidae) in Brazil. Fla. Entomol.97(2): 841–843.

Mansour M & Franz G. 1996. Gamma radiation as aquarantine treatment for the Mediterranean fruitfly (Diptera: Tephritidae). J. Econ. Entomol.89(5): 1175–1180.

Mitcham B. 1999. Iradiation as a QuarantineTreatment. Perishables Handling QuarterlyIssue. Department of Pomology UCD, DublinAugust 1999.

Odai BT, Wilson DD, Bah FBA, Torgby-Tetteh W, &Osae MY. 2014. Irradiation as a quarantinetreatment against Bactrocera invadens, inMangifera indica, L. in Ghana. African J.Agric. Res. 9(21): 1618–1622.

Puanmanee K, Wongpiyasatid A, Sutantawong M, &Hormchan P. 2010. Gamma irradiation effecton guava fruit fly, Bactrocera correcta (Bezzi)(Diptera: Tephritidae). Kasetsart J. (Nat. Sci.).44: 830–836.

Reyes-Campos R, Sandoval-Guillén J, Bustos-Griffin E,& Valdivia-López MaA. 2013. Irradiationeffects on the chemical quality of guavas.[Abstract]. Adv. J. Food Sci. Technol. 5(2):90–98.

Sardjono & Wibowo D. 1987. MikrobiologiPengelolaan Pangan. PAU Pangan dan GiziUniversitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

SAS Institute. 2002. SAS 9.1 TS Level 1 M3. SASInstitute, Cary, NC.

Siwi SS, Hidayat P, & Suputa. 2006. Taksonomi danBioekologi Lalat Buah Penting di Indonesia(Diptera: Tephritidae). Laporan KerjasamaBalai Besar Penelitian dan PengembanganBioteknologi dan Sumberdaya GenetikPertanian, Indonesia dan Department ofAgriculture, Fisheries, and Forestry, Australia.Bogor.

Supawan J, Hormchan P, Sutantawong M, &Wongpiyasatid A. 2005. Effects of gammaradiation on azuki been weevil (Callosobruchuschinensis (L.)). Kasetsart J. (Nat. Sci.) 38 :57–64.

Thomas DB & Hallman GJ. 2011. Developmental arrestin Mexican fruit fly (Diptera: Tephritidae)irradiated in grapefruit. Ann. Entomol. Soc. Am.104(6): 1367-1372. http://dx.doi.org/ DOI:10.1603/ANI1035. Diakses 24 Februari 2015.

Torres-Rivera Z & Hallman GJ. 2007. Low-doseirradiation phytosanitary treatment againstMediterranean fruit fly (Diptera: Tephritidae).Fla. Entomol. 90(2): 343–346.

[USDA-APHIS] US Department of Agriculture-Animaland Plant Health Inspection and Services. 2006.Treatments for Fruits and Vegetables. FederalRegister 71: 4451–4464.

26 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 26 - 32 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 15, No. 1: 26 – 32, Maret 2015

KEMELIMPAHAN DAN KERAGAMAN JENIS PARASITOIDHAMA PENGGULUNG DAUN PISANG ERIONOTA THRAX L.

DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Lestari Wibowo, Indriyati, & Purnomo

Bidang Proteksi Tanaman, Jurusan AgroteknologiFakultas Pertanian Universitas Lampung

Jl. Prof. Sumantri Brojonegoro No.1, BandarlampungE-mail: [email protected]

ABSTRACT

The abundance and diversity of the parasitoid of banana leaf skipper pest (Erionota thrax L.) in South Lampung Regency.This research was conducted to determine the abundance, diversity, and parasitation ability of several parasitoids of thebanana skipper or banana leafroller (Erionota thrax) in South Lampung Regency. This research was carried out with a surveymethod by taking out samples of larvae and pupae of E. thrax in the District of Natar, Jati Agung, and Tanjung Bintang, SouthLampung. Results of the survey showed that there were 8 types of parasitoids recovered from larvae or pupae of E. thrax, i.e.Brachymeria lasus (Chalcididae: Hymenoptera), B. thracis (Chalcididae: Hymenoptera), Charops sp. (Ichneumonidae:Hymenoptera), Casinaria sp. (Ichneumonidae: Hymenoptera), Xanthopimpla sp. (Ichneumonidae: Hymenoptera), Cotesiaerionotae (Braconidae: Hymenoptera), and two parasitoids Diptera (Tachinidae and Sarcophagidae). The highest abundanceof parasitoid was found in Tanjung Bintang with 171 parasitoids (index of diversity (H’) = 1.0256 and index of evenness (E) =0.5724). In Natar District, the abundance of parasitoid was 63 parasitoids, but it had a greater H’ value (1.4396) and E-value(0.7398). Meanwhile, in Jati Agung District, the abundance of parasitoid was 56 individuals but the value of H’ was also high,which was 1.012 with the value of E of 0.6064. The percentages of parasitation to the larvae and pupae E. thrax were 55.01%(Tanjung Bintang District), 31.68% (Natar District) and 33.34% (Jati Agung District).

Key words: abundance, diversity, Erionota thrax, parasitoid

ABSTRAK

Kemelimpahan dan keragaman jenis parasitoid hama penggulung daun pisang (Erionota thrax L.) di Kabupaten LampungSelatan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemelimpahan, keragaman, dan daya parasitasi berbagai jenis parasitoidhama penggulung daun pisang Erionota thrax di Kabupaten Lampung Selatan. Penelitian dilakukan dengan metode survey,dengan pengambilan sampel larva atau pupa E. thrax sebanyak 60 sampel dari 3 desa dari setiap kecamatan (Kecamatan Natar,Jati Agung, dan Tanjung Bintang). Hasil penelitian menunjukkan terdapat 8 jenis parasitoid yang memarasit larva dan pupa E.thrax, yaitu Brachymeria lasus (Chalcididae: Hymenoptera), B. thracis (Chalcididae: Hymenoptera), Charops sp.(Ichneumonidae: Hymenoptera), Casinaria sp. (Ichneumonidae: Hymenoptera), Xanthopimpla sp. (Ichneumonidae:Hymenoptera), Cotesia erionotae (Braconidae: Hymenoptera), dan parasitoid dari ordo Diptera yaitu famili Tachinidae danSarcophagidae. Kemelimpahan parasitoid tertinggi ditemukan di Kecamatan Tanjung Bintang yaitu sebanyak 171 ekor parasitoid,dengan indeks keanekaragaman (H’) sebesar 1,0256, dan indeks kemerataan (E) sebesar 0,5724. Di Kecamatan Natarkemelimpahan parasitoid lebih rendah yaitu terdapat 63 ekor parasitoid, namun nilai H’ lebih tinggi yaitu 1,4396 dengan nilai Esebesar 0,7398. Sedangkan di Kecamatan Jati Agung, kemelimpahan parasitoid yaitu 56 ekor, dengan nilai H’ sebesar 1,012,dan nilai E sebesar 0,6064. Persentase parasitasi oleh berbagai jenis parasitoid terhadap larva dan pupa E. thrax tertinggi diKecamatan Tanjung Bintang mencapai 55,01%, sedangkan di Kecamatan Natar sebesar 31,68% dan di Kecamatan Jati Agungsebesar 33,34%.

Kata kunci: kemelimpahan, keragaman, Erionota thrax, parasitoid

PENDAHULUAN

Provinsi Lampung, khususnya KabupatenLampung Selatan merupakan salah satu penghasil pisangyang cukup tinggi. Menurut BPS & Bapeda Lampung

(2007), pada tahun 2006 produksi pisang di KabupatenLampung Selatan mencapai 294.363 ton. Pada tahun2013 Lampung merupakan pemasok pisang urutanketiga nasional, yaitu sebesar 984.298 ton. Setiap harinyatidak kurang dari 70 ton pisang dari Provinsi Lampung

Wibowo et al. Kelimpahan dan Keragaman Jenis Parasitoid 27

dikirim ke Banten, DKI, dan Jawa Barat. Sehingga,Lampung layak ditetapkan sebagai kawasan pisangnasional (BPS Provinsi Lampung, 2013).

Dalam budidaya tanaman pisang, pengendalianhama dan penyakit tanaman merupakan hal yang mutlakuntuk dilakukan. Salah satu serangga yang berasosiasidengan tanaman pisang adalah ulat penggulung daunpisang Erionota thrax (Lepidoptera: Hesperidae)(Kalshoven, 1981). Tanaman yang terserang E. thraxmenunjukkan gejala daun pisang tergunting dari bagianpinggir dan menggulung sejajar dengan tulang daun. Jikapopulasi tinggi, hama ini dapat menyebabkan sebagianbesar daun tergulung dan dimakan sehingga prosesfotosintesis terganggu serta buah yang dihasilkan tidakmaksimal. Kerugian akibat kehilangan hasil yangdisebabkan oleh hama ini bervariasi antara 10-30%(Emlias et al., 1997 dalam Hasyim et al., 2003). Selainberperan sebagai hama pemakan daun pisang, yang lebihpenting adalah E. thrax ini juga berperan sebagai agenpenyebar bakteri penyebab penyakit darah pisang (blooddisease bacterium) antar tanaman pisang (Suharjo etal., 2006; Mairawita et al., 2012).

Sementara itu, penyakit layu bakteri atau penyakitdarah bakteri (blood disease bacterium) adalah jenispenyakit menempati urutan pertama dalam daftarprioritas penyakit tanaman pisang di Indonesia (Valmayoret al., 1991 dalam Mairawita et al., 2012). Hal inidisebabkan penyakit ini termasuk jenis penyakit yangmematikan. Di Lampung kerugian yang ditimbulkan olehserangan penyakit ini cukup tinggi, yaitu sekitar 64%.Pada tahun 1993 di Lampung Selatan terdeteksi sekitar963.390 tanaman terserang penyakit ini. Sedangkan diLampung Utara tanaman yang terserang mencapai1.101.000 tanaman (Supriadi, 2005). Dengan demikiansebagai hama tanaman pisang yang juga dapat berperansebagai penular penyakit tersebut, maka pengendalianE. thrax perlu mendapat perhatian yang serius. Dengannilai ekonomi komoditas pisang yang tinggi, kerugian hasilakibat serangan hama penggulung daun pisang, E. thraxperlu ditekan dengan berbacara cara, termasukmemanfaatkan musuh alaminya.

Menurut Susilo (2007), serangga herbivora dapatmenjadi hama bila kepadatan populasinya cukup tinggi,tetapi populasi ini akan dapat ditekan dan tetap terkendalipada aras yang rendah oleh parasitoid dan predator lokalyang efektif. Secara alamiah, lingkungan sebenarnyamenyediakan mekanisme alami untuk mengaturkeseimbangan populasi berbagai jenis hewan yangberada di dalam komunitasnya. Dalam konteks populasiserangga hama, mekanisme alami pengaturkeseimbangan populasinya terutama ditentukan oleh

musuh alaminya yang berupa predator, parasitoid, danpatogen. Dalam pengendalian hama, sangat diperlukaninformasi atau pengetahuan dasar tentang biologi, siklusmusiman, serta dinamika populasi hama yang akan kitakendalikan (Sudarsono, 2013).

Parasitoid merupakan salah satu agensia hayatiyang mempengaruhi dinamika populasi hama. Informasitentang keragaman dan kelimpahan parasitoid padasuatu daerah sangat diperlukan untuk dapat menggalipotensinya dan selanjutnya bisa dimanfaatkan dalampengendalian hama. Semakin beragam jenis parasitoid,akan semakin mendukung stabilitas ekosistem. Padaekosistem yang stabil, efektivitas musuh alami cukupkuat dan dapat mengendalikan populasi hama secaraalamiah (Risch, 1987). Penelitian ini bertujuan untukmengetahui kemelimpahan, keragaman dan dayaparasitasi berbagai jenis parasitoid hama penggulungdaun pisang E. thrax di Kabupaten Lampung Selatan.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan denganmetode survei di Kabupaten Lampung Selatan yangmerupakan daerah sentra pertanaman pisang rakyat.Pada lokasi survei, dilakukan pengambilan sampel padatiga kecamatan yaitu Kecamatan Natar, Jati Agung, danTanjung Bintang. Sampel berupa gulungan daun pisangterserang E. thrax kemudian dibawa ke LaboratoriumHama Tanaman, Fakultas Pertanian UniversitasLampung untuk diamati parasitoid yang muncul, danselanjutnya parasitoid tersebut diidentifikasi. Penelitianini dilaksanakan pada bulan September 2013 sampaidengan Maret 2014.

Pengambilan Sampel. Sampel berupa gulungan daunpisang terserang E. thrax diperoleh dari KecamatanNatar, Jati Agung, dan Tanjung Bintang. Pada masing-masing kecamatan dilakukan pengambilan sampel daritiga desa yang dipilih berdasarkan luasan kebun pisangyang dimiliki petani. Pengambilan sampel pada setiapdesa dilakukan dengan cara membuat garis transeksepanjang pertanaman pisang rakyat yang ada (± 2 km).Jarak antara titik sampel dalam garis transek sekitar500 m. Pada tiap desa terdapat 5 titik sampel. Tiap titiksampel (dimana terdapat kebun/beberapa tanamanpisang) diambil 4 sampel gulungan daun pisang daritanaman yang berbeda. Sampel yang diambil adalahgulungan daun pisang yang berisi hama E. thrax daritiap desa sebanyak 20 sampel atau 60 sampel perkecamatan, sehingga keseluruhan sampel dalam surveiini berjumlah 180 sampel.

28 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 26 - 32

Koleksi Parasitoid. Sampel yang diperoleh darilapangan kemudian diletakkan di dalam wadah plastikberdiameter 30 cm dengan tinggi 35 cm lalu ditutupdengan kain kasa, selanjutnya disimpan di laboratorium.Sampel berupa daun pisang tergulung yang berisi larvaatau pupa E. thrax dipelihara hingga dari sampel tersebutakan muncul imago E. thrax atau parasitoid (bila larvaatau pupa E. thrax terparasit). Parasitoid yang munculdikoleksi dalam botol spesimen yang berisi alkohol 70%dan diberi label sesuai label pada sampel.

Identifikasi Parasitoid. Identifikasi dilakukan denganmengamati spesimen parasitoid awetan. Identifikasidilakukan berdasarkan ciri morfologi parasitoid, sepertibentuk dan venasi sayap, tungkai, tipe antena, dansebagainya dengan menggunakan mikroskop stereo,buku kunci identifikasi Hymenoptera (Goulet & Huber,1993; Borror & White, 1970), dan kunci identifikasi yangditulis oleh Erniawati & Ubaidillah (2011).

Analisis Data. Data jenis dan jumlah parasitoid yangdiperoleh digunakan untuk menganalisis indekskeanekaragaman Shannon (H’), indeks kemerataan (E),kemelimpahan, dan persentase parasitasi. IndeksShannon dihitung dengan rumus sebagai berikut (Krebs,1985):

dengan:H’= indeks Shannon,pi = proporsi jenis parasitoid ke-i

Kemerataan dihitung dengan rumus indeks kemerataan(evenness) (Odum, 1971; Price, 1997) sebagai berikut:

dengan:E = indeks kemerataanS = jumlah jenis parasitoid

Kemelimpahan setiap jenis parasitoid dihitung darijumlah individu masing-masing jenis parasitoid setiaplokasi (kecamatan).

Rumus untuk menghitung persentase parasitasi adalahsebagai berikut:

Sln H'

E

100% N1N2

IP

dengan:IP = Persentase parasitasi parasitoidN1 = Jumlah sampel (larva dan atau pupa) yang diambil

dari lapang dan dipelihara di laboratoriumN2 = Jumlah sampel (larva dan atau pupa) yang

terserang parasitoid

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaman dan Kemelimpahan Parasitoid E.thrax. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sampellarva dan pupa E. thrax yang dikumpulkan dari tigakecamatan di Kabupaten Lampung Selatan diparasit oleh8 jenis parasitoid, yaitu Chalcididae (Brachymeria lasusdan B. thracis), Ichneumonidae (Charops sp.,Casinaria sp. , Xanthopimpla sp.), Braconidae(Cotesia erionotae), Tachinidae, dan Sarcophagidae.

Beberapa jenis parasitoid yaitu Brachymerialasus, B. thracis, Casinaria sp., dan Tachinidaeditemukan pada ketiga kecamatan. Cotesia erionotaeditemukan pada Kecamatan Natar dan Tanjung Bintang,sedangkan Charops sp. ditemukan pada Kecamatan JatiAgung dan Tanjung Bintang, Xanthopimpla sp.ditemukan pada Kecamatan Natar dan Jati Agung.Parasitoid dari famili Sarcophagidae hanya ditemukandi Kecamatan Natar. Hasil penelitian Ahmad et al.(2008) di sekitar wilayah Bandung menemukan 4 spesiesparasitoid, 4 spesies di antaranya sama dengan yangditemukan di Lampung Selatan, yaitu Charops sp.,Brachymeria sp., Xanthopimpla sp., dan Cotesia sp.

Kemelimpahan atau jumlah parasitoid yangditemukan pada ketiga kecamatan sangat bervariasi.Jumlah dan jenis parasitoid yang diperolehmempengaruhi nilai dari indeks keanekaragaman jenis(H’) dan indeks kemerataan (E). Di Kecamatan Natar,jumlah spesimen parasitoid yang ditemukan mencapai63 ekor dengan jumlah jenis sebanyak 7 jenis parasitoid.Nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) dan indekskemerataan (E) cukup tinggi, hal ini menunjukkan padaKecamatan Natar parasitoid larva dan pupa E. thraxcukup beragam dan merata kemelimpahannya.

Kemelimpahan parasitoid di Kecamatan JatiAgung sebanyak 56 ekor dengan jumlah jenis sebanyak6 jenis. Nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) danindeks kemerataan (E) pada kecamatan ini lebih rendahdibandingkan dengan Kecamatan Natar. PadaKecamatan Jati Agung, jenis parasitoid didominasi olehBrachymeria thracis yang ditemukan sebanyak 38 ekor(Tabel 1). Keadaan seperti ini juga ditemui padaKecamatan Tanjung Bintang, yaitu kemelimpahanBrachymeria thracis sangat tinggi yaitu sejumlah 118ekor. Adanya dominasi oleh salah satu atau beberapa

Wibowo et al. Kelimpahan dan Keragaman Jenis Parasitoid 29

spesies menyebabkan nilai indeks keanekaragaman jenis(H’) dan indeks kemerataan (E) menjadi rendah (Tabel2).

Brachymeria merupakan parasitoid larva-pupadari beberapa jenis serangga. Parasitoid ini keluar daritubuh inang saat parasitoid telah menjadi imago, dantermasuk parasitoid yang bersifat gregarius atauberkelompok (Borror & White, 1970). Menurut Hasyimet al. ( 2003), Brachymeria sp. banyak ditemukanmemarasit hama penggulung daun pisang E. thrax diSumatera Barat. Brachymeria sp. juga diketahui dapatmemarasit hama lain seperti hama dari Famili Noctuidae(Plusia sp.), Hesperidae (Hidari sp.), dan FamiliPyralidae.

Parasitoid genus Brachymeria ditemukan 2spesies pada semua kecamatan, yaitu Brachymerialasus dan B. thracis. Brachymeria memiliki ciri yaitufemur belakang membesar dan bergerigi (Erniwati &Ubaidillah, 2011). Brachymeria merupakan parasitoidgregarius.

Terdapat perbedaan morfologi antara B. lasusdan B. thracis (Gambar 1). Perbedaan morfologi

n = 60 gulungan daun pisang yang berisi larva atau pupa E. thrax.

Karakteristik komunitas Natar (n=60)

Jati Agung (n=60)

Tanjung Bintang (n=60)

Kemelimpahan/jumlah spesimen (ekor) 63 56 171 Jumlah jenis 7 6 6 Indeks keanekaragaman jenis (H’) 1,43957 1,06124 1,02554 Indeks kemerataan (E) 0,73979 0,60635 0,572365

Tabel 2. Kemelimpahan dan indeks keanekaragaman jenis parasitoid larva dan pupa E. thrax di KecamatanNatar, Jati Agung, dan Tanjung Bintang

Jenis Parasitoid Kemelimpahan (ekor parasitoid/60 ekor inang)

Natar Jati Agung Tanjung Bintang

Brachymeria lasus (Chalcididae) 18 2 16 Brachymeria thracis (Chalcididae) 22 38 118 Charops sp. (Ichneumonidae) 0 3 1 Casinaria sp. (Ichneumonidae) 5 7 13 Xanthopimpla sp. (Ichneumonidae) 1 1 0 Cotesia erionotae (Braconidae) 15 0 20 Tachinidae 1 5 3 Sarcophagidae 1 0 0 Total Parasitoid (ekor) 63 56 171

Tabel 1. Kemelimpahan parasitoid yang ditemukan pada larva dan pupa E. thrax di Kecamatan Natar, Jati Agung,dan Tanjung Bintang (Lampung Selatan) pada 5 Januari - 25 Februari 2014

tersebut yaitu dalam hal bentuk antena dan warna tibia.Ujung antena B. lasus tidak membesar, sedangkan padaB. thracis ujung antenanya membesar. Selain itu B.lasus memiliki warna tibia dominan kuning, sedangkantibia B. thracis didominasi warna hitam.

Kemelimpahan B. thracis lebih tinggidibandingkan B. lasus pada semua lokasi terutama padaKecamatan Tanjung Bintang. B. thracis lebih bersifatgregarius. Dalam satu tubuh inang (pupa E. thrax yangterparasit) dapat keluar 5-24 imago B. thracis,sedangkan pupa E. thrax yang terparasit B. lasus hanyadapat ditemui 2-5 ekor imago parasitoid yang keluar daritubuh inangnya.

Parasitoid dari ordo Diptera ditemukan 2 famili,yaitu Tachinidae dan Sarcophagidae. Parasitoid darifamili Tachinidae ditemukan pada ketiga kecamatan,sedangkan famili Sarcophagidae hanya ditemukan padaKecamatan Natar. Parasitoid dari famili Tachinidae danSarcophagidae bersifat soliter, hanya ditemukan seekorparasitoid pada inang yang terparasit. Kemelimpahankedua jenis parasitoid dari kedua famili tersebut padaketiga kecamatan relatif rendah.

30 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 26 - 32

Parasitoid dari famili Ichneumonidae yangditemukan ada tiga spesies yaitu Charops sp., Casinariasp., dan Xanthopimpla sp., ketiganya bersifat parasitoidsoliter. Pada umumnya Famili Ichneumonidae memilikiciri yaitu ukuran tubuhnya berkisar 13 mm, berwarnahitam, antenanya panjang berjumlah 16 ruas. Charopssp. mempunyai pupa yang sangat khas yaitu berwarnaputih atau abu-abu dengan corak berwarna hitam. Pupatersebut menggantung keluar dari gulungan daun pisangdan memiliki benang yang cukup panjang (Gambar 2).

Casinaria sp. memiliki bentuk dan warna tubuhmenyerupai Charops sp., namun ukuran tubuhnyasedikit lebih besar, pupanya berwarna coklat, danmenempel dalam gulungan daun dekat larva inang.Kemelimpahan Casinaria sp. lebih tinggi dibandingkanCharops sp. dan Xanthopimpla sp. (Tabel 1).

A B C D

Gambar 1. (A) Antena dari imago parasitoid Brachymeria lasus; (B) antena dari imago parasitod B. thracis;(C) femur dan tibia tungkai belakang dari imago parasitoid Brachymeria lasus; (D) femur dan tibiadari imago parasitoid B. thracis

Gambar 2. Charops sp. (Hymenoptera: Ichneumonidae) parasitoid larva E. thrax (A) imago dan (B) pupa

Persentase Parasitasi. Persentase parasitasi dariberbagai jenis parasitoid yang ditemukan pada larva danpupa E. thrax sangat bervariasi. Di Malaysia, tingkatparasitasi dari komples parasitoid terhadap E. thraxberkisar 20-60% (Okolle et al., 2009). Dalam penelitianini juga didapat tingkat parasitasi yang cukup tinggi.Secara kumulatif, kompleks parasitoid tersebut sangatpotensial dalam menekan populasi E. thrax di lapangan(Tabel 3).

Mortalitas E. thrax karena parasitoid padaKecamatan Tanjung Bintang cukup tinggi yaitu sebesar55,01%. Nilai ini menunjukkan potensi yang tinggi darimusuh alami dalam menekan populasi hama penggulungdaun pisang di lapangan, keadaan ini perlu dipertahankandengan melakukan upaya konservasi. Menurut Purnomo(2010), konservasi bertujuan untuk mempertahankan

Wibowo et al. Kelimpahan dan Keragaman Jenis Parasitoid 31

Jenis Parasitoid Larva dan pupa E. thrax terparasit (%)

Natar Jati Agung Tanjung Bintang

Chalcididae (Brachymeria lasus ) 5,00 3,33 8,33

Chalcididae (Brachymeria thracis ) 6,67 6,67 16,67

Ichneumonidae (Charops sp.) 0,00 5,00 1,67

Ichneumonidae (Casinaria sp.) 11,67 11,67 21,67

Ichneumonidae (Xanthopimpla sp.) 1,67 1,67 0,00

Braconidae (Cotesia sp.) 3,33 0,00 1,67

Tachinidae 1,67 5,00 5,00

Sarcophagidae 1,67 0,00 0,00

Total 31,68 33,34 55,01

Tabel 3. Persentase parasitasi dari berbagai jenis parasitoid yang ditemukan pada larva dan pupa E. thrax diKabupaten Lampung Selatan

keberadaan musuh alami pada suatu agroekosistem agarproses predatisme dan parasitisme tetap berlangsungdengan baik dan eksplosi hama dapat dihindarkan.Pengembangan budidaya tanaman pisang perlumemperhatikan pengelolaan agroekosistem yang sesuaidengan prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT) agarterbentuk ekosistem pertanian yang kondusif bagikehidupan musuh alami hama.

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan di KabupatenLampung Selatan ditemukan 8 jenis parasitoid yangmemarasit larva dan pupa E. thrax, parasitoid dari ordoHymenoptera yaitu Chalcididae (Brachymeria lasusdan B. thracis), Ichneumonidae (Charops sp.,Casinaria sp., Xanthopimpla sp.), dan Braconidae(Cotesia erionotae), parasitoid dari ordo Diptera yaitufamili Tachinidae dan Sarcophagidae. Kemelimpahanparasitoid tertinggi (171 ekor parasitoid) terdapat diKecamatan Tanjung Bintang, dengan indekskeanekaragaman (H’) sebesar 1,0256 dan indekskemerataan (E) sebesar 0,5724. Pada Kecamatan Natarkemelimpahan parasitoid lebih rendah yaitu 63 ekorparasitoid, namun nilai H’ lebih tinggi yaitu 1,4396 dengannilai E sebesar 0,7398. Sedangkan di Kecamatan JatiAgung, kemelimpahan parasitoid yaitu 56 ekor, dengannilai H’ sebesar 1,0120 dan nilai E sebesar 0,6064.Persentase parasitasi oleh berbagai jenis parasitoid

terhadap larva dan pupa E. thrax tertinggi padaKecamatan Tanjung Bintang mencapai 55,01%,sedangkan pada Kecamatan Natar sebesar 31,68% danpada Kecamatan Jati Agung sebesar 33,34%.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad I, Maramis R, Sastrodihardjo S, & Permana AD.2008. Abundant parasitoids of Erionota thrax(Lepidoptera: Hesperiidae) in four bananaplantations around Bandung area. Presented atInternational Conference of Mathematicsand Natural Sciences (ICMNS) InstitutTeknologi Bandung, 28–30 Oktober 2008.

BPS & Bapeda Lampung. 2007. Lampung dalam Angka2007. Badan Pusat Statistik dan BadanPerencanaan Daerah Lampung. BandarLampung.

BPS Provinsi Lampung. 2013. Produksi TanamanSayuran dan Buah-Buahan ProvinsiLampung 2012. Lampung. Bps.go.id/publikasi/buku/sayuran2013/files/assets/basic-html/page13.html. Diakses 17 Maret 2015.

Borror DJ & White RE. 1970. A Field Guide toInsects: America North of Mexico. HoughtonMifflin Company. Boston New York.

32 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 26 - 32

Erniwati & Ubaidillah R. 2011. Hymenopteranparasitoids associated with the banana-skipperErionota thrax L. (Insecta: Lepidoptera,Hesperiidae) in Java, Indonesia. Biodiversitas12(2): 76–85.

Goulet H & Huber JT. 1993. Hymenoptera of theWorld: An Identification Guide to Families.Canada Communication Group. Ottawa,Canada.

Hasyim A, Kasimar, & Nakamura K. 2003. MortalitasStadia Pradewasa Hama Penggulung DaunPisang, Erionota thrax (L.) yang Disebabkanoleh Parasitoid. Sumatera Barat. J. Hort. 13(2):114–119.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops inIndonesia. Revised and translated by van derLaan PA & Rothschild GHL. P.T. IchtiarBaroeVan Hoeve. Jakarta.

Kerbs CJ. 1985. Ecology: The Experimental Analysisof Distribution and Abudance. Harper & RawPublisher. New York.

Mairawita, Habazar T, Hasyim A, Nasir N, & Suswati.2012. Potensi serangga pengunjung bungasebagai vektor penyakit darah bakteri(Ralstonia solanacearum Phylotipe IV) padapisang di Sumatera Barat. J. Entomol. Indones.9(1): 38–47.

Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. ThirdEdition. Sounders Company. Philadelphia.

Okolle JN, Ahmad AH, & Mansor M. 2009. Infestationand parasitism of banana skipper (Erionotathrax) (Lepidoptera: Hesperiidae) in relation tobanana leaf age and surface and distance fromfield Edge. Asian Aust. J. Plant Sci.Biotechnol. 3(1): 61–65.

Price PW. 1997. Insect Ecology. Third Edition. WileyInterscience. New York.

Purnomo. 2010. Pengendalian Hama MelaluiPengelolaan Agroekosistem. Pidato IlmiahPengukuhan Guru Besar Ilmu Hama Tumbuhan.Penerbit Universitas Lampung. Bandarlampung.

Risch SJ. 1987. Agricultural ecology and insect outbreaks. In: Barbosa P & Schultz JC (Eds.).Insect Outbreaks. pp. 217–237. AcademicPress Inc. New York.

Susilo FX. 2007. Pengendalian Hayati denganMemberdayakan Musuh Alami HamaTanaman. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Sudarsono H. 2013. Pengembangan InformasiBionomi Spesifik lokasi untuk MeningkatkanKeefektifan Pengendalian Hama UtamaTanaman Komersial. Pidato IlmiahPengukuhan Guru Besar Ilmu Hama Tumbuhan.Penerbit Universitas Lampung. Bandarlampung.

Suharjo R, Martono E, & Subandiyah S. 2006. PotensiErionota thrax sebagai Agen Penyebar PatogenPenyebab Penyakit Layu Bakteri pada TanamanPisang (Blood Disease Bacterium). J. HPT.Tropika 6(2): 100–106.

Supriadi. 2005. Present status of blood disease inIndonesia. In: Allen C, Prior P, & Hayward AC(Eds.). Bacterial Wilt Disease and theRalstonia solanacearum Spesies Complex. pp.395–404. APS Press St. Paul Minnesota USA.

Kurniawati et al. Identifikasi Tomato Infectious Chlorosis Virus 33 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 15, No. 1: 33 – 43, Maret 2015

IDENTIFIKASI TOMATO INFECTIOUS CHLOROSIS VIRUSPENYEBAB PENYAKIT KLOROSIS PADA TANAMAN TOMAT

DI CIPANAS JAWA BARAT MELALUI PERUNUTANNUKLEOTIDA GEN PROTEIN SELUBUNG UTAMA

Fitrianingrum Kurniawati, Gede Suastika, & Giyanto

Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian BogorJl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Identification of tomato infectious chlorosis virus, the causal agent of chlorosis disease on tomato in Cipanas West Javaby sequencing of main coat protein gene nucleotide. Tomato infectious chlorosis virus (TICV) causes chlorosis on tomato.Tomatoes infected by this virus shows interveinal yellowing, necrotic, bronzing, brittleness, and declining in productivity.This study aims to identify the causal agent of chlorotic disease on tomato by sequencing the coat protein gene. The methodsinvolve collecting infected plants, total RNA extraction, cDNA synthesis, DNA amplification, visualization of the results ofreverse transcription polymerase chain reaction (PCR), and phylogenetic analysis using BLAST, clustal w, Bioedit v 7.0.5.3,MEGA v 6:06. RT-PCR using spesific primers (CP-F TICV Bam and TICV R-Hind) amplified a DNA band of 792 bp, which hasbeen successfully sequenced and identified as TICV. Nucleotide sequences homology analysis showed that TICVIndonesia_TWJ isolate Cipanas is the same strain as TICV from other countries (99.4 – 100%), such as Spain, Greece, USA,France, and Italy.

Key words: chlorosis disease, coat protein gene, reverse transcription polymerase chain reaction, sequencing, TICV

ABSTRAK

Identifikasi Tomato infectious chlorosis virus penyebab penyakit klorosis pada tanaman tomat di Cipanas Jawa Baratmelalui perunutan nukleotida gen protein selubung utama. Tomato infectious chlorosis virus (TICV) merupakan penyebabpenyakit klorosis pada tanaman tomat. Tomat yang terserang penyakit ini menunjukkan gejala klorosis pada bagian antaratulang daun, nekrotik, bronzing, daun mudah rapuh, dan produksi buah menurun. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasipenyebab penyakit klorosis pada tanaman tomat melalui perunutan nukleotida gen protein selubung. Metode penelitian inimeliputi pengumpulan tanaman sakit, ekstraksi RNA total tanaman, sintesis cDNA, amplifikasi DNA, visualisasi hasil reversetranscription polymerase chain reaction (RT-PCR), analisis perunutan nukleotida dan filogenetika menggunakan programBLAST, Clustal W, Bioedit Sequence Alignment Editor v 7.0.5.3, MEGA v 6.06. Berdasarkan hasil RT-PCR menggunakanpasangan primer spesifik (TICV CP-F Bam dan TICV R-Hind) diperoleh pita DNA berukuran 792 pb, telah berhasil dirunutberdasarkan runutan basa nukleotida dan diidentifikasi sebagai TICV. Analisis homologi runutan nukleotida menunjukkanbahwa TICV TWJ asal Cipanas merupakan strain virus yang sama dengan TICV dari negara lain (99.4-100%) seperti Spanyol,Yunani, USA, Perancis, dan Italia.

Kata kunci: gen coat protein, klorosis, perunutan nukleotida, TICV, reverse transcription polymerase chain reaction

PENDAHULUAN

Tanaman tomat merupakan salah satu tanamanhortikultura yang mempunyai banyak manfaat. Salahsatu hambatan dalam budi daya tomat adalah seranganvirus tanaman. Banyak jenis virus tanaman yang telahdilaporkan menyerang tanaman tomat. Tomato mosaicvirus (ToMV) (Xue et al., 1998), Tomato chlorosisvirus (ToCV) (Segev et al., 2004), Tomato yellow leafcurl virus (TYLCV) (Köklü et al., 2006), Tomato leafcurl virus (TLCV) (Reddy et al., 2005), dan Tomato

spotted wilt virus (TSWV) (Hu et al., 2011) merupakanvirus yang telah dilaporkan menyerang tanaman tomatdi beberapa negara. Beberapa tahun terakhir ini diberbagai negara telah dilaporkan adanya virus baru yangmenginfeksi tanaman tomat. Tanaman tomat yangterinfeksi virus ini menunjukkan gejala klorosis, sehinggapenyakitnya disebut dengan penyakit klorosis. Penyakitklorosis ini disebabkan oleh Tomato infectious chlorosisvirus (TICV) (Dalmon et al., 2005; Tsai et al., 2004).Penyakit ini telah ditemukan di beberapa sentra produksitomat di Indonesia, seperti Garut, Cianjur, Bogor,

34 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 33 - 43

Magelang, Rinjani, dan Yogyakarta (Hartono &Wijonarko, 2007; Fitriasari, 2010; Suastika et al., 2010;Sa’adah, 2013).

Gejala serangan TICV pada tanaman tomatditunjukkan oleh daun-daun menguning (Duffus et al.,1996), klorosis pada bagian antara tulang daun. Gejalaklorosis yang sangat parah akan menyebabkan daunmengalami nekrotik (kematian jaringan) dan menjadirapuh, serta ukuran buah menjadi lebih kecil, mudahgugur dan proses pemasakan terganggu sehingga hasilpanen menurun (Wisler et al., 1998a; Wisler et al.,1998b).

TICV ditularkan dari satu tanaman ke tanamanlainnya oleh serangga vektor Trialeurodesvaporariorum (Hemiptera: Aleyrodidae) yang dikenaldengan nama kutu kebul. Penularan dapat terjadi secaracepat ke seluruh areal pertanaman karena seranggavektor bersifat aktif. TICV ditularkan oleh seranggavektor secara semipersisten (Duffus et al., 1996;Wintermantel, 2004).

Teknik deteksi TICV berbasis molekuler melaluireverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) telah dilakukan oleh para peneliti. Teknik deteksiini dilakukan dengan menggunakan pasangan primer yangberbeda-beda tergantung dari bagian mana yang akandiamplifikasi. Hartono & Wijonarko (2007) sertaJacquemond et al. (2009) telah melakukan deteksi TICVdengan teknik RT-PCR menggunakan pasangan primerheat shock protein (HSP-70h), Fitriasari (2010)menggunakan pasangan primer yang telah disisipidengan runutan enzim restriksi Bam HI dan HindIII(TICV-CP F Bam dan TICV-CP R Hind), Orillio &Navas-Castillo (2009), Andriani (2011), dan Nurulita &Suastika (2013) menggunakan pasangan primer TICV-CF dan TICV-CR. Deteksi dengan RT-PCR dapatdilakukan dengan cepat dan hasilnya akurat.

Teknik deteksi berbasis molekuler selain RT-PCRadalah dengan perunutan DNA (sequencing).Perunutan DNA adalah proses penentuan urutannukleotida pada suatu fragmen DNA. Tujuan dari prosesini adalah untuk menentukan identitas maupun fungsifragmen suatu DNA dengan membandingkannyadengan fragmen DNA lain yang telah diketahui. Nurulita& Suastika (2013) telah melakukan perunutan nukleotidaTICV pada gen protein selubung minor (CPm).Perbedaan CPm dan CP terletak pada fungsinya. CPmberperan dalam penularan dengan reseptornya, CPutama berperan dalam perakitan virus. Perunutannukleotida gen protein selubung utama (CP) belumpernah dilakukan sehingga penelitian ini bertujuan untukmengidentifikasi TICV penyebab penyakit klorosis pada

tanaman tomat melalui perunutan nukleotida gen proteinselubung utama (CP).

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan diLaboratorium Virologi Tumbuhan, Fakultas PertanianInstitut Pertanian Bogor dan Laboratorium Biokimia BalaiBesar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian(BB-BIOGEN), pada bulan November 2011 sampaidengan Februari 2012.

Pengumpulan Tanaman Sakit. Pengambilan sampeltanaman bergejala klorosis dilakukan secara purposif(purposive sampling). Pengambilan dan pengumpulansampel dilakukan di desa Pacet, Kecamatan Cipanas,Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Daun tanaman yangterinfeksi TICV diamati dan difoto gejalanya, kemudiandiambil untuk diidentifikasi dengan menggunakan reversetranscription polymerase chain reaction (RT-PCR).

Ekstraksi RNA Total. Ekstraksi RNA total dilakukandengan menggunakan Qiagen RNAeasy Plant Mini Kitdan dikerjakan sesuai dengan protokol yang diberikan(Qiagen, 2001).

Sintesis complementary (c) DNA. RNA hasil ekstraksidisintesis menjadi cDNA dengan menggunakan teknikReverse Transcription Polymerase Chain Reaction(RT-PCR). Proses RT-PCR dilakukan menggunakan kitkomersial Access RT-PCR System (Promega, US). Hasilekstraksi RNA berupa RNA total selanjutnya dilakukansintesis complementary cDNA melalui proses ReverseTranscription (RT) atau transkipsi balik yang digunakanuntuk mengubah RNA menjadi cDNA. Tabung mikrodiisi dengan 10 µl reaksi RT yang terdiri atas 1 x ddH2O3,7 µl, 10x bufer RT 2 µl, 10 mM dNTP 0,5 µl, 50 mMdTT 0,35 µl, 10 µM random heksamer 0,75 µl, MMuLVRev 0,35 µl, Ribolock 0,35 µl, dan RNA 2 µl. Komponen-komponen tersebut digunakan untuk satu kali reaksi RT.Reaksi RT dilakukan dalam sebuah Automated Thermalcycler (Gene Amp PCR System 9700; PE AppliedBiosystem, US) yang diprogram untuk satu siklus padasuhu 25 ºC selama 5 menit, 42 ºC selama 60 menit, dan70 ºC selama 15 menit. Siapan cDNA hasil RTdigunakan sebagai templat dalam reaksi PCR.

Amplifikasi DNA. Reaksi PCR dengan total volume25 µl digunakan untuk memperbanyak pita cDNA yangtelah terbentuk dari proses RT. Komposisi bahan yangdigunakan dalam reaksi PCR terdiri atas 2x Go tag green

Kurniawati et al. Identifikasi Tomato Infectious Chlorosis Virus 35

master mix PCR 12,5 µl, 10 µM Primer spesifik TICV-CP F-Bam no ATG (5'-AATTAAGGATCCGAAAACTTATCTGGTAATGCAAAC-3’) 1 µl dan TICV-CP R-Hind (5'-AATTAAAAGCTTTTAGCATGGGTGTTTCATATCAGCC-3') (Fitriasari, 2010) 1 µl, 1 x ddH2O8,5 µl, dan 2 µl cDNA hasil RT. Proses ini didahuluidengan denaturasi awal pada 94 ºC selama 4 menit,dilanjutkan dengan 30 siklus yang terdiri dari denaturasipada 94 ºC selama 1 menit, penempelan primer(annealing) pada 55 ºC selama 1 menit, danpemanjangan (Extension) pada 72 ºC selama 2 menit.Kontrol positif TICV yang digunakan adalah sampeltanaman tomat yang terinfeksi TICV hasil penelitianFitriasari (2010), kontrol negatif menggunakan templatetanaman tomat sehat, sampel TICV Indonesia_TWJberasal dari tanaman tomat yang bergejala interveinalyellowing.

Visualisasi Hasil RT-PCR. Hasil amplifikasi DNAyang didapat dari proses PCR selanjutnya dilakukanvisualisasi dengan elekroforesis gel agarose 1% dalambufer elektroforesis Tris-borat EDTA 0,5x (40 mM Tris,20 mM sodium asetat, dan 1 mM EDTA, pH 7,0) denganpewarnaan ethidium bromide (0,5 µg/10 ml). Visualisasipita DNA dilakukan dengan meletakkan gel agarose padaUV translluminator. Dokumentasi pita DNA dilakukanmenggunakan kamera digital.

Analisis Perunutan Nukleotida dan Filogenetik.Sebanyak 50 µl hasil PCR dikirim ke PT. GenetikaScience Indonesia untuk disekuensing. Elektroforegramyang didapatkan dianalisis menggunakan programsequence scanner v 1.0 (Applied Biosystem, USA).Hasil perunutan nukleotida yang diperoleh kemudiandikonfirmasi ke GenBank dengan program Basic LocalAlignment Search Tool (BLAST) yang tersedia pada

A B C

Gambar 1. Gejala penyakit klorosis pada tanaman tomat yang ditemukan di lapangan; (A) Interveinal yellowing;(B) Terjadi perubahan warna pada bagian daun menjadi merah keunguan (bronzing) dan (C) daun

mengalami nekrotik

National Center for Biotechnology Information(NCBI, 2014). Runutan nukleotida yang telahdikonfirmasi kemudian disejajarkan denganmenggunakan penyejajaran berganda ClustalW padaprogram Bioedit Sequence Alignment Editor v 7.0.5.3(Hall, 1999). Pohon filogenetika dikonstruksimenggunakan perangkat lunak MolecularEvolutionary Genetic Analysis Software (MEGA) v6.06 dengan metode UPGMA menggunakan boostrap1000 kali ulangan. Rujukan runutan nukleotida isolatTICV dari negara lain diperoleh dari GenBank.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyakit Klorosis pada Tanaman Tomat. Surveiyang dilakukan di Desa Pacet, Kecamatan Cipanas,Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat berhasilmenemukan tanaman tomat yang memperlihatkan gejalaklorosis. Penyakit ini ditandai dengan perubahan warnakuning pada jaringan diantara tulang daun (interveinalyellowing), yang dimulai dari daun-daun tua di bagianbawah kemudian berkembang ke bagian pucuk (Gambar1A); kadang-kadang terjadi perubahan warna padabagian daun menjadi merah keunguan (bronzing)(Gambar 1B); dan pada gejala lanjut beberapa bagiandaun klorotik mengalami nekrotik (Gambar 1C). Gejalasemacam ini bersesuaian dengan gejala yang diinduksioleh TICV menurut peneliti terdahulu (Duffus et al.,1996; Li et al., 1998; Wintermantel & Wisler, 2006;Wisler et al., 1998a).

Deteksi dengan RT-PCR. Amplifikasi menggunakanprimer spesifik TICV-CP F-Bam no ATG dan TICV-CP R-Hind berhasil mendapatkan pita DNA denganukuran sekitar 792 pb (Gambar 2), hal ini sesuai denganhasil penelitian Fitriasari (2010). Produk RT-PCR TICV

36 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 33 - 43

berhasil dirunut, dan hasil runutan menunjukkan kualitasyang baik dan tidak ada kesalahan dalam perunutanberdasarkan analisis kesejajaran.

Analisis Perunutan Nukleotida dan Filogenetik.Menurut Barton (1998) analisis tingkat homologi runutannukleotida merupakan cara yang sahih untukmengidentifikasi suatu spesies virus. Homologi urutannukleotida virus penyebab klorosis pada tanaman tomatdapat dilihat pada Tabel 1.

Homologi TICV Indonesia_TWJ dengan TICVdari negara lain berkisar antara 99,4–100%. MenurutFauquet et al. (2005) jika suatu spesies virus mempunyaipersamaan runutan nukleotida pada bagian gen proteinselubung lebih dari 90% maka virus-virus tersebutmerupakan suatu spesies virus yang sama. Hal inimenunjukkan bahwa spesies TICV TWJ yang berasaldari Cipanas, Jawa Barat merupakan spesies TICV yangsama dengan TICV yang berasal dari negara Spanyol,Yunani, USA, Italia, dan Perancis.

Tabel 1. Homologi runutan nukleotida virus penyebab klorosis pada tanaman tomat di Cipanas, Jawa Barat(TICV Indonesia_TWJ) dengan TICV yang telah dilaporkan oleh beberapa negara lain

No Nama Isolat No Aksesi Homologi (%)

1 2 3 4 5 6 1 TICV Indonesia_TWJ ID 2 TICV Spanyol_SP5131 FJ542305 100 ID

3 TICV Yunani_TI-Th173 HG380072 99,7 99,7 ID 4 TICV USA_CA4 FJ542306 99,7 99,7 100 ID

5 TICV Perancis_Fr EU625351 99,6 99,6 99,8 99,8 ID 6 TICV USA_OC FJ815441 99,4 99,4 99,7 99,7 99,6 ID

TICV Indonesia_TWJ (1) : Isolat TICV Cipanas, Jawa Barat, IndonesiaTICV Spanyol _SP1531 (2) : Isolat TICV Spanyol (Orilio & Navas-Castillo, 2009)TICV Yunani_TI-Th173 (3) : Isolat TICV Yunani (Orfanidou et al., 2014)TICV USA_CA4 (4) : Isolat Amerika Utara dan Eropa (Orilio & Navas-Castillo, 2009)TICV Perancis_Fr (5) : Isolat Perancis (Jacquemond et al., 2009)TICV USA_OC (6) : Isolat Orange County, California, Amerika Serikat (Wintermantel et al., 2009)

Gambar 2. Hasil amplifikasi sampel DNA CP-TICV dengan metode RT-PCR. Lajur 1: marker 1 kb (Fermentas,US), Lajur 2: kontrol negatif (tanaman tomat sehat), Lajur 3: kontrol positif (TICV penelitian Fitriasari,2010), Lajur 4: sampel tanaman tomat yang terinfeksi TICV dari lapangan yang menunjukkan gejalainterveinal yellowing

1 2 3 4

±792 pb

250 bp 500 bp

1000 bp 750 bp

10000 bp

1000 pb 750 pb 500 pb

250 pb

+792 pb

10000 pb

Kurniawati et al. Identifikasi Tomato Infectious Chlorosis Virus 37

Panjang gen protein selubung TICV adalahsekitar 760 pb (Hartono et al., 2003). Panjang sebagiangen protein selubung TICV yang berhasil dirunut dandisejajarkan berkisar 792 pb (Gambar 3). Runutannukleotida sebagian gen protein selubung isolat TICVIndonesia_TWJ yang berasal dari Cipanas, Jawa Baratsetelah disejajarkan dengan isolat-isolat TICV darinegara lain terletak antara nukleotida ke- 1 sampai 792pada runutan nukleotida RNA2 genom TICV. Perbedaanrunutan nukleotida antara isolat TICV Indonesia_TWJ(Cipanas-Jawa Barat) dengan isolat dari negara lainterjadi pada posisi nukleotida ke 29, 54, 212, 228, dan525 (Gambar 3). Perunutan dan penyejajaran nukleotidaini dilakukan untuk memastikan bahwa runutan tersebut

adalah runutan sebagian gen protein selubung TICVyang berada pada RNA 2 dari genom TICV (Orilio &Navas-Castillo, 2009).

Analisis pohon filogenetika menunjukkan bahwahubungan kekerabatan enam isolat TICV terbagimenjadi 2 kelompok (Gambar 4). Kelompok I terdiri dariisolat TICV asal Yunani, Amerika Utara dan Eropa(USA_CA4), Perancis (Fr). Indonesia, Spanyol, danAmerika Serikat Orange County (USA_OC). Hal inimenunjukkan bahwa isolat TICV asal Indonesia masihberkerabat dekat dengan isolat asal Spanyol, AmerikaSerikat Orange County (USA_OC), Yunani, Perancis(Fr), Amerika Utara dan Eropa (USA _CA4).

A

Alignment: A:\Pipiet\jurnal TICV\rawtext ticv 180615 new

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 5 15 25 35 45 55TICV Ind ATGGAAAACT TATCTGGTAA TGCAAACTAT GATGAAACTA ACACCAGTCGTGTGAACTCTTICV Spany ATGGAAAACT TATCTGGTAA TGCAAACTAT GATGAAACTA ACACCAGTCGTGTGAACTCTTICV Yunan ATGGAAAACT TATCTGGTAA TGCAAACTAT GATGAAACTA ACACCAGTCGTGTAAACTCTTICV USA_C ATGGAAAACT TATCTGGTAA TGCAAACTAT GATGAAACTA ACACCAGTCGTGTAAACTCTTICV Peran ATGGAAAACT TATCTGGTAA TGCAAACTAT GATGAAACTA ACACCAGTCGTGTAAACTCTTICV USA_O ATGGAAAACT TATCTGGTAA TGCAAACTTT GATGAAACTA ACACCAGTCGTGTAAACTCTClustal Co ********** ********** ******** * ********** ********** *** ******

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 65 75 85 95 105 115TICV Ind GATGGAATTG GAAGTCACAT GGAGCATGAT GATGATGACA GGTCAGTCAACGGACCTCCATICV Spany GATGGAATTG GAAGTCACAT GGAGCATGAT GATGATGACA GGTCAGTCAACGGACCTCCATICV Yunan GATGGAATTG GAAGTCACAT GGAGCATGAT GATGATGACA GGTCAGTCAACGGACCTCCATICV USA_C GATGGAATTG GAAGTCACAT GGAGCATGAT GATGATGACA GGTCAGTCAACGGACCTCCATICV Peran GATGGAATTG GAAGTCACAT GGAGCATGAT GATGATGACA GGTCAGTCAACGGACCTCCATICV USA_O GATGGAATTG GAAGTCACAT GGAGCATGAT GATGATGACA GGTCAGTCAACGGACCTCCAClustal Co ********** ********** ********** ********** ********** **********

38 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 33 - 43

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 125 135 145 155 165 175TICV Ind AGTGATGAGA TAAACAATCA TACTACGAGA TCTGTTCATG GTAGAGATCACACGTCAGGTTICV Spany AGTGATGAGA TAAACAATCA TACTACGAGA TCTGTTCATG GTAGAGATCACACGTCAGGTTICV Yunan AGTGATGAGA TAAACAATCA TACTACGAGA TCTGTTCATG GTAGAGATCACACGTCAGGTTICV USA_C AGTGATGAGA TAAACAATCA TACTACGAGA TCTGTTCATG GTAGAGATCACACGTCAGGTTICV Peran AGTGATGAGA TAAACAATCA TACTACGAGA TCTGTTCATG GTAGAGATCACACGTCAGGTTICV USA_O AGTGATGAGA TAAACAATCA TACTACGAGA TCTGTTCATG GTAGAGATCACACGTCAGGTClustal Co ********** ********** ********** ********** ********** **********

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 185 195 205 215 225 235TICV Ind AATATAGGAG ATTACTCAAA AGCTGACTTG AATAGAATTA TGGTCAAAGTCAGTAGACCGTICV Spany AATATAGGAG ATTACTCAAA AGCTGACTTG AATAGAATTA TGGTCAAAGTCAGTAGACCGTICV Yunan AATATAGGAG ATTACTCAAA AGCTGACTTG AATAGAATTA TGGTCAAGGTCAGTAGACCGTICV USA_C AATATAGGAG ATTACTCAAA AGCTGACTTG AATAGAATTA TGGTCAAGGTCAGTAGACCGTICV Peran AATATAGGAG ATTACTCAAA AGCTGACTTG AATAGAATTA TGGTCAAGGTCAGTAGACCGTICV USA_O AATATAGGAG ATTACTCAAA AGCTGACTTG AGTAGAATTA TGGTCAAGGTCAGTAGACCGClustal Co ********** ********** ********** * ******** ******* ** **********

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 245 255 265 275 285 295TICV Ind GATGCTATGA GTGAATCCGA TAGTAACTTG TATAAAGAGG TGATTGTTGA ATATCTGAAATICV Spany GATGCTATGA GTGAATCCGA TAGTAACTTG TATAAAGAGG TGATTGTTGAATATCTGAAATICV Yunan GATGCTATGA GTGAATCCGA TAGTAACTTG TATAAAGAGG TGATTGTTGAATATCTGAAATICV USA_C GATGCTATGA GTGAATCCGA TAGTAACTTG TATAAAGAGG TGATTGTTGAATATCTGAAATICV Peran GATGCTATGA GTGAATCCGA TAGTAACTTG TATAAAGAGG TGATTGTTGAATATCTGAAATICV USA_O GATGCTATGA GTGAATCCGA TAGTAACTTG TATAAAGAGG TGATTGTTGAATATCTGAAAClustal Co ********** ********** ********** ********** ********** **********

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 305 315 325 335 345 355TICV Ind AACAATTGTA CTGGAGGTGC GGAACCGGAT AAAGTTTTAG TGGTTGCATT TTTTGTTGCA

Kurniawati et al. Identifikasi Tomato Infectious Chlorosis Virus 39

TICV Spany AACAATTGTA CTGGAGGTGC GGAACCGGAT AAAGTTTTAG TGGTTGCATTTTTTGTTGCATICV Yunan AACAATTGTA CTGGAGGTGC GGAACCGGAT AAAGTTTTAG TGGTTGCATTTTTTGTTGCATICV USA_C AACAATTGTA CTGGAGGTGC GGAACCGGAT AAAGTTTTAG TGGTTGCATTTTTTGTTGCATICV Peran AACAATTGTA CTGGAGGTGC GGAACCGGAT AAAGTTTTAG TGGTTGCATTTTTTGTTGCATICV USA_O AACAATTGTA CTGGAGGTGC GGAACCGGAT AAAGTTTTAG TGGTTGCATTTTTTGTTGCAClustal Co ********** ********** ********** ********** ********** **********

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 365 375 385 395 405 415TICV Ind CTATGTCAGT ATGCTCTCAA CTCTGGCACT TCGGTTAAAG CAATAAGTGA CAGGACTGTGTICV Spany CTATGTCAGT ATGCTCTCAA CTCTGGCACT TCGGTTAAAG CAATAAGTGACAGGACTGTGTICV Yunan CTATGTCAGT ATGCTCTCAA CTCTGGCACT TCGGTTAAAG CAATAAGTGACAGGACTGTGTICV USA_C CTATGTCAGT ATGCTCTCAA CTCTGGCACT TCGGTTAAAG CAATAAGTGACAGGACTGTGTICV Peran CTATGTCAGT ATGCTCTCAA CTCTGGCACT TCGGTTAAAG CAATAAGTGACAGGACTGTGTICV USA_O CTATGTCAGT ATGCTCTCAA CTCTGGCACT TCGGTTAAAG CAATAAGTGACAGGACTGTGClustal Co ********** ********** ********** ********** ********** **********

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 425 435 445 455 465 475TICV Ind GATTTGAGTT TTGGGTATGA CAATCAAAAA TATACAGTTA AAGCGGGACA TTTTTTATCATICV Spany GATTTGAGTT TTGGGTATGA CAATCAAAAA TATACAGTTA AAGCGGGACATTTTTTATCATICV Yunan GATTTGAGTT TTGGGTATGA CAATCAAAAA TATACAGTTA AAGCGGGACATTTTTTATCATICV USA_C GATTTGAGTT TTGGGTATGA CAATCAAAAA TATACAGTTA AAGCGGGACATTTTTTATCATICV Peran GATTTGAGTT TTGGGTATGA CAATCAAAAA TATACAGTTA AAGCGGGACATTTTTTATCATICV USA_O GATTTGAGTT TTGGGTATGA CAATCAAAAA TATACAGTTA AAGCGGGACATTTTTTATCAClustal Co ********** ********** ********** ********** ********** **********

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 485 495 505 515 525 535TICV Ind TATGCTCAAT CTAGAACGTC AGGTCACCCA AACGCTCTAA GGAGGTTCAT GCGATCTAGTTICV Spany TATGCTCAAT CTAGAACGTC AGGTCACCCA AACGCTCTAA GGAGGTTCATGCGATCTAGTTICV Yunan TATGCTCAAT CTAGAACGTC AGGTCACCCA AACGCTCTAA GGAGGTTCATGCGATCTAGTTICV USA_C TATGCTCAAT CTAGAACGTC AGGTCACCCA AACGCTCTAA GGAGGTTCATGCGATCTAGT

40 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 33 - 43

TICV Peran TATGCTCAAT CTAGAACGTC AGGTCACCCA AACGCTCTAA GGAGATTCATGCGATCTAGTTICV USA_O TATGCTCAAT CTAGAACGTC AGGTCACCCA AACGCTCTAA GGAGGTTCATGCGATCTAGTClustal Co ********** ********** ********** ********** **** ***** **********

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 545 555 565 575 585 595TICV Ind CTGGAAACAG TTAAACAACT ACAAGATGTT GGGCTGATAT ATTCTAATGG AGTCGTGGCCTICV Spany CTGGAAACAG TTAAACAACT ACAAGATGTT GGGCTGATAT ATTCTAATGGAGTCGTGGCCTICV Yunan CTGGAAACAG TTAAACAACT ACAAGATGTT GGGCTGATAT ATTCTAATGGAGTCGTGGCCTICV USA_C CTGGAAACAG TTAAACAACT ACAAGATGTT GGGCTGATAT ATTCTAATGGAGTCGTGGCCTICV Peran CTGGAAACAG TTAAACAACT ACAAGATGTT GGGCTGATAT ATTCTAATGGAGTCGTGGCCTICV USA_O CTGGAAACAG TTAAACAACT ACAAGATGTT GGGCTGATAT ATTCTAATGGAGTCGTGGCCClustal Co ********** ********** ********** ********** ********** **********

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 605 615 625 635 645 655TICV Ind GCGAAACATG GGGTTGTGAA AGAATTCAGA AACAGCTATG CAGACTTTGACACTGGTCATTICV Spany GCGAAACATG GGGTTGTGAA AGAATTCAGA AACAGCTATG CAGACTTTGACACTGGTCATTICV Yunan GCGAAACATG GGGTTGTGAA AGAATTCAGA AACAGCTATG CAGACTTTGACACTGGTCATTICV USA_C GCGAAACATG GGGTTGTGAA AGAATTCAGA AACAGCTATG CAGACTTTGACACTGGTCATTICV Peran GCGAAACATG GGGTTGTGAA AGAATTCAGA AACAGCTATG CAGACTTTGACACTGGTCATTICV USA_O GCGAAACATG GGGTTGTGAA AGAATTCAGA AACAGCTATG CAGACTTTGACACTGGTCATClustal Co ********** ********** ********** ********** ********** **********

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 665 675 685 695 705 715TICV Ind CTAGACAGAA TGTCTAACGA CGATCTGGCT GCGTTGATGT TAGCTAAATG TCATGCATTGTICV Spany CTAGACAGAA TGTCTAACGA CGATCTGGCT GCGTTGATGT TAGCTAAATGTCATGCATTGTICV Yunan CTAGACAGAA TGTCTAACGA CGATCTGGCT GCGTTGATGT TAGCTAAATGTCATGCATTGTICV USA_C CTAGACAGAA TGTCTAACGA CGATCTGGCT GCGTTGATGT TAGCTAAATGTCATGCATTGTICV Peran CTAGACAGAA TGTCTAACGA CGATCTGGCT GCGTTGATGT TAGCTAAATGTCATGCATTGTICV USA_O CTAGACAGAA TGTCTAACGA CGATCTGGCT GCGTTGATGT TAGCTAAATGTCATGCATTGClustal Co ********** ********** ********** ********** ********** **********

Kurniawati et al. Identifikasi Tomato Infectious Chlorosis Virus 41

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 725 735 745 755 765 775TICV Ind AAGAAATCCG AAGGTAATAG TAGAACTATA TACAATACGG TGCAATTGGC TGATATGAAATICV Spany AAGAAATCCG AAGGTAATAG TAGAACTATA TACAATACGG TGCAATTGGCTGATATGAAATICV Yunan AAGAAATCCG AAGGTAATAG TAGAACTATA TACAATACGG TGCAATTGGCTGATATGAAATICV USA_C AAGAAATCCG AAGGTAATAG TAGAACTATA TACAATACGG TGCAATTGGCTGATATGAAATICV Peran AAGAAATCCG AAGGTAATAG TAGAACTATA TACAATACGG TGCAATTGGCTGATATGAAATICV USA_O AAGAAATCCG AAGGTAATAG TAGAACTATA TACAATACGG TGCAATTGGCTGATATGAAAClustal Co ********** ********** ********** ********** ********** **********

....|....| .. 785TICV Ind CACCCATGCT AATICV Spany CACCCATGCT AATICV Yunan CACCCATGCT AATICV USA_C CACCCATGCT AATICV Peran CACCCATGCT AATICV USA_O CACCCATGCT AAClustal Co ********** **

Gambar 3. Runutan basa nukleotida gen protein selubung isolat TICV Indonesia_TWJ (Cipanas, Jawa Barat)dengan isolat TICV dari negara lain, huruf yang berwarna merah menunjukkan runutan nukleotidayang berbeda

TICV Yunani_TI-Th173 TICV USA_CA4 TICV Perancis_Fr TICV Indonesia_TWJ TICV Spanyol_SP5131 TICV USA_OC ToCV

90

6255

51

Gambar 4. Pohon filogenetika isolat-isolat TICV berdasarkan runutan nukleotida gen protein selubung menggunakanprogram MEGA v 6.06 dengan pendekatan UPGMA

42 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 33 - 43

SIMPULAN

TICV isolat Cipanas berhasil dirunutnukleotidanya dan memiliki homologi sebesar 99,4–100% dibandingkan dengan isolat dari Negara Spanyol,Amerika Serikat Orange County (USA_OC), Yunani,Perancis (Fr), Amerika Utara dan Eropa (USA _CA4).TICV isolat Cipanas berada dalam satu kelompokdengan isolat Spanyol, Amerika Serikat Orange County(USA_OC), Yunani, Perancis (Fr), Amerika Utara danEropa (USA _CA4). Dengan demikian TICV isolatCipanas merupakan spesies yang sama dengan TICVisolat Spanyol, Amerika Serikat Orange County(USA_OC), Yunani, Perancis (Fr), Amerika Utara danEropa (USA _CA4).

DAFTAR PUSTAKA

Andriani A. 2011. Deteksi diferensial Tomato chlorosisvirus (ToCV) dan Tomato infectious chlorosisvirus (TICV) dengan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR).Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Barton GJ. 1998. Protein sequence alignment techniques.Acta Cryst. D54: 1139–1146.

Dalmon A, Bouyer S, Cailly M, Girard M, Lecoq H,Desbiez C, & Jacquemond M. 2005. Firstreport of Tomato chlorosis virus and Tomatoinfectious chlorosis virus in Tomato crops inFrance. Plant Dis. 89(11): 1243.

Duffus JE, Liu HY, & Wisler GC. 1996. Tomatoinfectious chlorosis virus-a new clostero-likevirus transmitted by Trialeurodesvaporariorum. Eur. J. Plant Pathol. 102(3):219–226.

Fauquet CM, Mayo MA, Maniloff J, Desselberger U,& Ball LA. 2005. Virus Taxonomy EightReport of the International Committee onTaxonomy of Viruses. Virology DivisonInternational Union of Microbiological Societies.San Diego.

Fitriasari ED. 2010. Keefektifan kutukebul dalammenularkan virus penyebab penyakit kuningpada tanaman tomat. Tesis. Institut PertanianBogor. Bogor.

Hall TA. 1999. Bioedit: a user-friendly biologicalsequence alignment editor and analysis programfor windows 95/98/NT. Nucleic Acids Symp.Ser. 41: 95–98.

Hartono S, Natsuaki T, Sayama H, Atarashi Y, & OkudaS. 2003. Yellowing disease of tomatoes causedby Tomato infectious chlorosis virus newlyrecognized in Japan. J. Gen. Plant Pathol. 69:61–64.

Hartono S & Wijonarko A. 2007. Biomolecularcharacterization of Tomato infectious chlorosisvirus caused yellowing disease on tomato plantsin Indonesia. J. Akta Agros Spec. 2: 139–146.

Hu ZZ, Feng ZK, Zhang ZJ, Liu YB, & Tao XR. 2011.Complete genome sequence of a tomato spottedwilt virus isolate from China and comparison toother TSWV isolates of different geographicorigin. Arch. Virol. 156(10): 1905–1908.

Jacquemond M, Verdin E, Dalmon A, Guilbaud L, &Gognalons P. 2009. Serological and moleculardetection of Tomato chlorosis virus andTomato infectious chlorosis virus in tomato.Plant Pathol. 58(2): 210–220.

Köklü G, Rojas A, & Kvarnheden A. 2006. Molecularidentification and the complete nucleotidesequence of a Tomato yellow leaf curl virusisolate from Turkey. J. Plant Pathol. 88(1): 61–66.

Li RH, Wisler GC, Liu HY, & Duffus JE. 1998.Comparison of diagnostic techniques fordetecting Tomato infectious chlorosis virus.Plant Dis. 82: 84–88.

[NCBI] National Center for Biotechnology Information.2014. Basic Local Alignment Search Tool. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/BLAST. Diakses 15 Juli2014.

Nurulita S & Suastika G. 2013. Identifikasi Tomatoinfectious chlorosis virus dan Tomatochlorosis virus melalui reverse transcriptionpolymerase chain reaction dan analisis sikuennukleotida. J. Fitopatol. Indones. 9(4): 107-115. doi: 10.14692/jfi.9.4.107.

Kurniawati et al. Identifikasi Tomato Infectious Chlorosis Virus 43

Orfanidou CG, Dimitriou C, Papayiannis LC, MaliogkaVI, & Katis NI. 2014. Epidemiology and geneticdiversity of criniviruses associated with tomatoyellows disease in Greece. Virus Res. 186: 120–129.

Orílio AF & Navas-Castillo J. 2009. The completenucleotide sequence of the RNA2 of theCrinivirus Tomato infectious chlorosis virus:isolates from North America and Europe areessentially identical. Arch. Virol. 154(4): 683–687.

Qiagen. 2001. RNeasy Mini Handbook. Ed-3. QiagenInc, Valencia.

Reddy RVC, Colvin J, Muniyappa V, & Seal S. 2005.Diversity and distribution of begomovirusesinfectiong tomato in India. Arch. Virol. 150(5):845–867.

Sa’adah L. 2013. Uji serologi diferensial dan simultanTomato chlorosis virus (ToCV) dan Tomatoinfectious chlorosis virus (TICV) pada tanamantomat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Segev L, Wintermantel WM, Polston JE, & Lapidot M.2004. First Report Tomato chlorosis virus inIsrael. Plant Dis. 88(10): 1160.

Suastika G, Hartono S, Nishigawa H, & Natsuaki T.2010. Yellowing disease outbreaks in tomato inIndonesia associated with infection of Tomatochlorosis virus and Tomato infectiouschlorosis virus[abstract]. ISSAASInternational Congress 2010: AgriculturalAdaptation in Response to Climate Change.Denpasar (ID). November 14-18, 2010.

Tsai WS, Shih SL, Green SK, & Hanson P. 2004. Firstreport of the occurrence of Tomato infectiouschlorosis virus in Taiwan. Plant Dis. 88: 311.

Wintermantel WM. 2004. Emergence of green housewhitefly (Trialeurodes vaporariorum)transmitted criniviruses as threats to vegetableand fruit production in North America. APS Net[jurnal on-line]. http://www.apsnet.org/online/feature/whitefly/whitefly.pdf. Diakses 24 Maret2009.

Wintermantel WM, Hladky LL, Gulati-Sakhuja A, Li R,Liu HY, & Tzanetakis IE. 2009. The completenucleotide sequence and genome organizationof Tomato infectious chlorosis virus: a distinctcrinivirus most closely related to lettuceinfectious yellow virus. Arch. Virol. 154(8):1335–1342.

Wintermantel WM & Wisler GC. 2006. Vectorspecificity, host range, and genetic diversity ofTomato chlorosis virus. Plant Dis. 90(6): 814–819.

Wisler GC, Duffus JE, Liu HY, & Li RH. 1998a. Ecologyand epidemiology of whitefly-transmittedclosteroviruses. Plant Dis. 82(3): 270–280.

Wisler GC, Li RH, Liu HY, Lowry DS, & Duffus JE.1998b. Tomato chlorosis virus: a new whitefly-transmitted, phloem-limited, bipar titeclosterovirus of tomato. Phytopathology 88(5):402–409.

Xue C, Zhou X, Liu Y, & Li D. 1998. Cloning, sequence,analysis, and expression in E. coli of coatproteingene and 3’ non-coding region of Tomatomosaic virus. Zhongguo Bing Du Xue 13: 150–155.

44 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 44 - 52 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 15, No. 1: 44 – 52, Maret 2015

PENYAKIT HAWAR DAUN PINUS MERKUSIIDI BERBAGAI PERSEMAIAN KAWASAN UTAMA HUTAN PINUS

JAWA TIMUR

Sutarman & Andriani Eko Prihatiningrum

Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah SidoarjoJl. Raya Gelam 250 Candi Sidoarjo, Jawa Timur, 61271

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Leaf blight disease of Pinus merkusii in various nurseries of pine forest in major area of East Java. This study aims to: (i)obtain isolates of pathogens, (ii) determine disease on seedling growth during the critical period and the young plants, (iii)determine the effect of pathogenic isolates on disease severity, and (iv) determine the effect of altitude on severity ofseedling’s leaf blight disease of Pinus merkusii from various nursery locations in East Java. The experiment was conductedin February-August 2014 at nine locations in the nursery and one young pine plantation site. Disease index data wereanalyzed using Microsoft Office Excel 2007 software to determine the regression model of the relationship between the indexof disease with the independent variables and with Anova followed by Duncan test to find out the effect of altitude differenceto the index of disease. Pathogen that causes late blight is Pestalotia theae Sawada. In the critical period, seedling diseaseindex increased from 7.38 to an average of 26.96 in the nursery RPH Celaket; while on the young plants in the field in RPHKemiri disease index ranged 28-31. Differences in altitude did not affect disease index difference. Based on disease index, threeisolates of pathogens that require serious attention are Wagir isolates (985 m asl., the most virulent), Ngantang (500 m asl.),and South Pujon (1200 m asl.).

Key words: altitude, disease index, Pestalotia theae, Pinus merkusii

ABSTRAK

Penyakit hawar daun Pinus merkusii di berbagai persemaian kawasan utama hutan pinus Jawa Timur. Penelitian inibertujuan untuk: (i) mendapatkan isolat patogen hawar daun, (ii) mengetahui pertumbuhan penyakit hawar daun pada bibitselama periode kritisnya dan pada tanaman muda, (iii) mengetahui pengaruh isolat patogen terhadap keparahan penyakit, dan(iv) mengetahui pengaruh ketinggian tempat terhadap keparahan penyakit hawar daun bibit Pinus merkusii dari berbagailokasi persemaian di Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan pada Februari-Agustus 2014 di 9 lokasi persemaian dan 1 lokasipertanaman muda pinus. Data indeks penyakit dianalisis dengan menggunakan software Excel 2007 Microsoft Office untukmengetahui model regresi hubungan antara indeks penyakit dengan variabel bebasnya dan dengan Anova yang dilanjutkandengan uji Duncan untuk mengetahui pengaruh perbedaan ketinggian tempat terhadap indeks penyakit. Patogen yangmenyebabkan hawar daun adalah Pestalotia theae Sawada. Dalam periode kritisnya, indeks penyakit bibit tumbuh dari 7,38hingga mencapai rata-rata 26,96 di persemaian RPH Celaket; sedangkan pada tanaman muda di lapangan di RPH Kemiri indekspenyakit tidak tumbuh yaitu antara 28-31. Perbedaan ketinggian tidak mempengaruhi perbedaan indeks penyakit. Berdasarkanindeks penyakit, 3 isolat patogen yang memerlukan perhatian serius adalah isolat Wagir (985 m dpl.) yang paling virulen,diikuti oleh Ngantang (500 m dpl.) dan Pujon Selatan (1200 m dpl.).

Kata kunci: indeks penyakit, ketinggian tempat, Pestalotia theae, Pinus merkusii

PENDAHULUAN

Pinus merkusii adalah salah satu tumbuhan asliIndonesia dengan habitat asal di daerah antara Acehdan Sumatera Utara yang penyebarannya ke wilayahlain di Sumatera (Jambi, Sumatera Barat, Lampung),Sulawesi, dan Jawa. Khusus di Jawa Timur pertanamanP. merkusii dikelola Perum Perhutani Unit II Jawa Timur,

terletak di luar kawasan konservasi pegunungan:Welirang-Arjuna-Anjasmoro, Kawi dan Kelud, Bromo-Tengger-Semeru, serta Iyang dan Ijen yang dapatdianggap sebagai kawasan utama hutan pinus di JawaTimur.

Sejauh ini perhatian banyak pihak lebih tertujupada fakta kerusakan hutan akibat degradasi lahan danhutan yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas

Sutarman & Prihatiningrum Penyakit Hawar Daun Pinus Merkusii 45

manusia dan perubahan iklim. Sementara itu perhatianterhadap ancaman laten gangguan organisme patogensangat kurang. Khusus pada pinus di Indonesia, ada 2jenis penelitian yang sudah dilakukan yaitu: oleh Achmadet al. (1997, 1999a, 1999b) terhadap penyakit dampingoff dengan output berupa informasi potensi agensiabiokontrol dan oleh Sutarman et al. (2001, 2004a, 2004b)pada hawar daun bibit pinus yang menunjukkan faktapotensi Pestalotia theae sebagai patogen virulen.Dengan keterbatasan informasi dalam pola pembinaanhutan tanaman yang ada, maka tidak dapat dijamin pihakpemangku kepentingan dapat mengantisipasi ketikaterjadi out break gangguan patogen yang bersinergidengan dampak perubahan iklim.

Perubahan iklim dalam 2-3 dasawarsa terakhirdiduga berperan dalam meningkatkan virulensi P. theaepada pinus. Di persemaian, konidiospora P. theaedipindahkan dari tanah media tanam yang berasal daritop soil bawah tegakan pinus melalui percikan air hujandan penyiraman (Sutarman et al., 2004a). Patogen inijuga mampu menginfeksi dan menjadikannya inangalternatif tanaman pinus dewasa dan berbagai tanamankehutanan lainnya baik pada tingkat pohon di alammaupun anakan (Canon, 1997; Old, 1997; Sharma &Florence, 1997). Di lain pihak, bibit pinus meskipunmemiliki simbiosis dengan mikoriza yang sempurna, diberinutrisi/pupuk yang lengkap, dan dilindungi dengan aplikasifungisida berbahan aktif mankozeb dan difenokonazoldi persemaian ternyata tidak mampu menghambatserangan patogen hawar daun (Sutarman et al., 2001).

Penyakit hawar daun mulai menyerang pascadamping off dengan gejala penyakit mulai tampak jelassejak bibit umur 2 bulan setelah overspin (BSO) danberkembang pesat hingga bibit umur sekitar 6 BSO(Sutarman et al., 2001). Selain lama penyinaranmatahari, seperti hasil penelitian Sutarman et al. (2004b)di Jawa Barat, ketinggian tempat mempengaruhi indekspenyakit. Namun demikian belum ada informasiseberapa jauh isolat patogen dari lokasi yang berbedadengan ketinggian tempat yang berbeda berpengaruhterhadap kemunculan dan pertumbuhan tingkat infeksipenyakit yang ditimbulkannya.

Dari uraian tersebut di atas, kiranya sangat pentingmelakukan pengamatan status infeksi atau intensitaspenyakit hawar daun bibit pinus ini pada berbagaikawasan representasi geoekologi dan pada beberapaketinggian lokasi persemaian di berbagai kawasan utamahutan pinus di Jawa Timur. Seluruh data hasil penelitiandiharapkan akan memperkaya informasi dalam rangkamerancang strategi pengendalian penyakit hawar daunyang berpotensi mengancam eksistensi hutan pinus di

Jawa Timur khususnya dan di Indonesia atau di kawasanlain di mana ditumbuhkan P. merkusii.

Penelitian ini bertujuan untuk: (i) mendapatkanisolat patogen hawar daun, (ii) mengetahui pertumbuhanpenyakit hawar daun pada bibit selama periode kritisnyadan pada tanaman muda, (iii) mengetahui pengaruh isolatpatogen terhadap keparahan penyakit, dan (iv)mengetahui pengaruh ketinggian tempat terhadapkeparahan penyakit penyakit hawar daun bibit P.merkusii dari berbagai lokasi persemaian yang menjadirepresentasi geoekologis.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Pelaksanaan penelitian terutamauntuk isolasi dan pengamatan mikroskopis dilaksanakandi Laboratorium Mikrobiologi Pertanian, Program StudiAgroteknologi, Fakultas Pertanian UniversitasMuhammadiyah Sidoarjo. Untuk pengamatan gejala,indeks penyakit, dan pertumbuhan penyakit, sertapengambilan contoh bibit pinus dilakukan di: (i)persemaian Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Celaket,di bawah koordinasi Bagian Kesatuan PemangkuanHutan (BKPH) Pacet, sebagai satu-satunya persemaianyang melayani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)Pasuruan dan pertanaman pinus tahun tanam 2013 diRPH Kemiri yang dianggap mewakili kawasangeografis-ekologis pegunungan Arjuno-Welirang-Anjasmoro, (ii) RPH Pujon Selatan, RPH Tumpang,RPH Bambang Utara-Dampit, RPH Ngantang, RPHWagir-Kepanjen, RPH Sumberawan yang melayaniKPH Malang dan dianggap mewakili kawasangeoekologis pegunungan Tenggar (Bromo-Tengger-Semeru), dan (iii) RPH Garahan (Jember) dan RPHWringin Tapung (Bondowoso) yang melayani KPHJember dan KPH Bondowoso sekaligus mewakilikawasan geoekologis pegunungan Iyang danPegunungan Ijen. Penelitian dilaksanakan mulaiFebruari-Agustus 2014. Secara keseluruhan diamati 9lokasi persemaian dan 1 lokasi pertanaman muda pinustahun tanam 2013 yang bibitnya berasal dari produksitahun 2013.

Isolasi dan Pengamatan Isolat Patogen. Daun jarumbibit P. merkusii bergejala hawar, yang diambil dari 9lokasi persemaian dan 1 lokasi pertanaman (RPHKemiri), dipotong dengan ukuran ± 5 mm dan disterilkanpermukaannya dengan alkohol 50% selama 3 detik dandibilas dengan air destilat steril. Selanjutnya potongandaun diinkubasi pada media PDA (komposisi media perliter: ekstrak kentang 200 g, dekstrosa 20 g, agar 20 g,

46 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 44 - 52

0,25 g chloramphenicol) pada suhu kamar.Pertumbuhan hifa serta karakteristik morfologi kolonidan konidiospora patogen diamati di bawah mikroskopcahaya merk “Yazumi” pada perbesaran 400 kali.

Pertumbuhan Indeks Penyakit. Untuk mengetahuipola pertumbuhan indeks penyakit hawar daun bibit P.merkusii pada periode kritis bibit dalam menghadapiinfeksi penyakit yaitu ketika berumur 2-6 bulan setelahoverspin (Sutarman et al., 2001 & 2004a), makadilakukan pengamatan pertumbuhan penyakit pada lokasiyang dapat merepresentasikan keseluruhan persemaiandi Jawa Timur yaitu di RPH Celaket (Mojokerto, KPHPasuruan). Untuk mengetahui pola pertumbuhanpenyakit hawar daun pada tanaman muda pascapenanaman di lapangan, yang bibitnya berasal daripersemaian di RPH Celaket, dilakukan pengamatan diRPH Kemiri (Mojokerto, KPH Pasuruan) pada lahanseluas 2 ha. Pengamatan perkembangan penyakit padapersemaian dilakukan 4 kali dengan mengukur indekspenyakit bibit pinus umur 8, 9, 10, 11 dan 12 minggusetelah overspin (MSO) pada pengamatan pertamahingga bibit berumur 24-28 MSO (atau umur bibit 5-6bulan). Pengamatan perkembangan penyakit padatanaman muda (berasal dari bibit produksi 2013) dipertanaman dilakukan dengan mengukur indeks penyakitpada umur 9 dan 10 bulan setelah tanam. Indekspenyakit ditentukan dengan menggunakan rumus dankriteria seperti yang disampaikan Sutarman et al. (2001)yang dimodifikasi:

dengan:P = Indeks penyakiti = nilai numerik (skor) bibit dan/atau tanaman muda

dengan kriteria gejala serangan yang bersangkutanni = jumlah bibit dan/atau tanaman muda dengan kriteria

gejala serangan yang bersangkutanN = jumlah bibit dan/atau tanaman muda yang diamatik = nilai numerik (skor) tertinggi dengan kriteria gejala

serangan terberat

Penentuan skor gejala hawar daun tiap bibit dan/atau tanaman muda yang diamati ditentukan dengankriteria gejala seperti terlihat pada Tabel 1.

Indeks Penyakit di Berbagai Ketinggian Tempat.Pengamatan indeks penyakit hawar daun pada: (i) bibitpinus produksi tahun 2014 pada usia awal 8-12 MSOhingga berumur 21-25 MSO (atau berumur antara 5-6bulan) yang merupakan periode kritis bibit pinus(Sutarman et al., 2001) pada semua lokasi persemaian,dan (ii) tanaman muda pinus yang berasal dari bibitproduksi tahun 2013 pada persemaian di RPH PujonSelatan dan RPH Wagir-Kepanjen (KPH Malang), RPHCelaket (KPH Pasuruan), RPH Garahan (KPHJember), serta tanaman muda tahun tanam 2013 di RPHKemiri (KPH Pasuruan).

Rancangan dan Analisis Statistika. Pertumbuhanindeks penyakit pada periode kritis (umur bibit antara2-6 bulan) (di persemaian RPH Celaket) diukur denganmenghitung indeks penyakit bibit dengan kelompok umurawal bibit 8-12 MSO sebanyak 4 kali dengan jeda waktu4 minggu, sehingga seluruhnya diperoleh 84 satuanpengamatan. Untuk pertumbuhan indeks penyakit pada

100% k . N

4k

1i)i(in

IP

Tabel 1. Kriteria gejala hawar daun bibit dan/atau tanaman P. merkusii yang disebabkan oleh P. theae (modifikasiSutarman et al., 2001)

Skor Kriteria gejala

0 Tidak ada gejala hawar daun

1 Sampai 1/3 bagian tajuk dengan ujung-ujung dan/atau bagian tengah daunnya menguning

2 Antara 1/3-2/3 bagian tajuk dengan ujung-ujung dan/atau bagian tengah daunnya menguning dan/atau sampai 1/3 bagian tajuk dengan ujung-ujung dan/atau bagian tengah daunnya coklat mengering

3 Lebih dari 2/3 bagian tajuk dengan ujung-ujung dan/atau bagian tengah daunnya menguning dan/atau sampai 1/3-2/3 bagian tajuk dengan ujung-ujung dan/atau bagian tengah daunnya coklat mengering

4 Lebih dari 2/3 bagian tajuk dengan daun-daun coklat mengering hingga tanaman mati

Sutarman & Prihatiningrum Penyakit Hawar Daun Pinus Merkusii 47

tanaman muda di lahan hutan pinus (RPH Kemiri) diukurdengan menghitung indeks penyakit tanaman muda pada5 kelompok tanaman sebanyak 2 kali dengan jeda waktu1 bulan, sehingga diperoleh 10 satuan pengamatan.Terhadap masing-masing data pertumbuhan indekspenyakit dilakukan penghitungan, untuk mendapatkanmodel regresi yang menghubungkan antara indekspenyakit dan waktu selama periode kritis (bibit dipersemaian) dan di pertanaman muda pinus, denganmenggunakan software program Excel 2007-MicrosoftOffice dengan taraf nyata 5%. Pada pengamatan indekspenyakit bibit produksi tahun 2014, untuk tiap lokasi dari9 persemaian ditentukan secara acak 5 bedengpersemaian sebagai ulangan dengan umur bibit yangrelatif seragam yaitu 24 MSO. Pengamatan indekspenyakit pada bibit produksi 2013 (4 lokasi persemaiandan 1 lokasi pertanaman tanaman muda) ditentukansecara acak 5 bedeng (untuk tiap persemaian) yangmasing-masing mengandung 500-1000 bibit dan 5 “petak”(untuk pertanaman tanaman muda) yang masing-masingberukuran 2000 m2 (dengan jarak tanam 2x3 mterkandung 260 batang tanaman per “petak”). Untuktiap satuan pengamatan, indeks penyakit ditentukan dari100 bibit dan/atau tanaman muda yang diamati denganmenggunakan rumus. Semua data indeks penyakitdianalisis dengan menggunakan ANOVA yangdilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Isolasi Patogen. Hasil isolasi yang dilakukandari daun bibit pinus bergejala hawar dari 9 lokasipersemaian dan dari daun tanaman berumur 9 bulansetelah tanam di RPH Kemiri menunjukkan patogenyang menyerang adalah Pestalotia theae Sawadadengan morfologi kondiospora dan koloni seperti terterapada Gambar 1. Isolasi juga dilakukan dari daun (daunjarum, kotiledon, dan daun tunggal) yang belummenunjukkan gejala dengan kriteria seperti pada Tabel1 dilakukan untuk mengetahui kemungkinan adanya fungiendofitik.

Koloni P. theae agak tipis di bagian tepi danberwarna putih dengan miselium yang relatif lebih lebatdi bagian tengah; tampak adanya zonasi pertumbuhanyang pola lingkarnya seperti lingkar tepi koloni. Padabagian tengah tampak adanya aservuli yaitu massaberbentuk bintik-bintik berwarna hitam yang merupakanmassa padat kumpulan konidiospora dengan diameterberagam antara 0,5-1,5 mm. Konidiospora dari 10 isolatyang ditemukan dari penelitian ini menunjukkan bentukdan ukuran yang relatif sama. Tiap konidiospora patogenterdiri atas lima sel yang berjajar lurus sampai

melengkung (Gambar 1). Sel paling pangkal (sel apikal)berwarna hialin dilengkapi dengan setula hialin yangberjumlah 2-3 helai dengan posisi agak melengkung kedalam; sel urutan ke-2 dan 3 dari ujung berwarna coklatgelap, sedangkan sel urutan ke 4 berwarna coklat namuntidak segelap sel ke-2 dan 3; sel ke-5 (sel basal) agaksilindrik dan hialin yang dilengkapi dengan pedisel(tangkai konidia). Konidiospora berukuran rata-rata24,35 µm x 7,23 µm, sedangkan panjang rata-rata setula32,85 µm dan pedisel 8,55 µm.

Semua ciri morfologi kesepuluh isolat P. theaedari berbagai lokasi di Jawa Timur ini sesuai dengandeskripsi patogen hawar daun bibit di Cianjur (JawaBarat) (Sutarman et al., 2004b) yang menunjukkanbahwa jenis patogen ini adalah P. theae Sawada.Diperlukan penelitian lebih lanjut apakah ada penyebaranpatogen hawar daun ini, yang berperilaku seperti patogensoil borne, dari suatu daerah ke daerah lain di pulauJawa seperti pada kasus migrasi Phytophthoraramorum yang menyebabkan kematian tanaman oakdan kayu ornament (Goss et al., 2011). Sementara ituhasil isolasi terhadap daun yang belum menunjukkangejala juga ditemukan patogen yang sama namundemikian fakta tersebut tidak mengindikasikan adanyaP. theae endofitik seperti yang ditunjukkan Verticilliumdahliae endofit mengkolonisasi inang namun tanpamenghasilkan gejala (Malcolm et al., 2013). Pada kasushawar daun bibit Pinus banksiana dan P. resinosa,gejala ditentukan oleh antagonisme Diplodiascrobiculata dan D. pinea di mana gejala hawar yangdisebabkan oleh D. pinea yang berada bersama-samadengan D. scrobiculata lebih rendah intensitas lukanyadibandingkan gejala hawar pada luka yang hanyaditempati D. pinea (Santamaría et al. , 2011).Ditemukannya konidiospora P. theae dengan jumlahsetula 3 helai di antara kumpulan konidiospora yangumumnya bersetula 2 helai menurut Sutarman et al.(2001; 2004b) merupakan variasi dari satu spesies P.theae dengan karakter patogenistik yang sama.

Pengamatan Pertumbuhan Indeks Penyakit. Hasilpengamatan pertumbuhan indeks penyakit bibit pinus dipersemaian RPH Claket pada kelompok bibit berumurantara 8-12 MSO pada pengamatan pertama hingga 13minggu berikutnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar2.

Hasil analisis regresi menunjukkan penambahanwaktu pada umur awal bibit yang berbeda berpengaruhterhadap pertumbuhan indeks penyakit yang ditunjukkandengan pola pertumbuhan indeks penyakit yang relatifsama antar umur awal bibit dengan model regresi: Y =9,848 + 1,573 X1 - 0,207X2, di mana X1 adalah waktu

48 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 44 - 52

A

Aservulus

20 µm

B

Gambar 1. Bentuk koloni (A) dan konidiospora Pestalotia theae Sawada (B)

Gambar 2. Pertumbuhan indeks penyakit beberapa kelompok umur pada periode kritis bibit di RPH Celaket,BKPH Pacet, KPH Pasuruan

Kelompok umur bibit 1) Indeks penyakit (skala 0-100)2)

Minggu ke-1 Minggu ke-5 Minggu ke-9 Minggu ke-13

12 MSO 7,38 11,40 19,53 27,61 11MSO 9,09 11,24 21,23 27,39 10 MSO 9,45 13,54 20,76 26,86 9 MSO 9,59 13,51 20,44 26,39 8 MSO 8,42 12,93 20,47 26,55

Rata-rata 8,78 12,52 20,49 26,96

Tabel 2. Indeks penyakit hawar daun bibit P. merkusii di RPH Celaket, BKPH Pacet, KPH Pasuruan

Sutarman & Prihatiningrum Penyakit Hawar Daun Pinus Merkusii 49

pengamatan, X2 adalah umur awal bibit, dengan R2 =0,941 (Tabel 3). Dengan demikian model regresi dapatditerima untuk menentukan indeks penyakit berdasarkanpenambahan waktu dalam periode kritis bibit (umur 2-6bulan) dengan umur awal pengamatan 8-12 MSO. Dalammodel tersebut tampak bahwa variabel waktu (dalamperiode kritis bibit) berpengaruh nyata terhadappertambahan indeks penyakit (t stat 35,839; P-value0,000) (Tabel 3). Sementara itu umur awal bibit dalampenelitian ini tidak berpengaruh nyata terhadappertumbuhan indeks penyakit (t stat -1,471; P-value0,145).

Hasil pengamatan perkembangan penyakittanaman muda di RPH Kemiri dilakukan sebanyak 2kali yaitu pada saat umur 9 bulan sampai umur 10 bulansetelah tanam disajikan pada Tabel 4. Pada tanamanmuda tidak terdapat pertumbuhan yang nyata. Hasilanalisis regresi menunjukkan penambahan waktu tidakberpengaruh terhadap pertumbuhan indeks penyakit (thitung 0,65 dan P-value 0,53 pada koefisien regresi;significance F 0,53 dan R2 0,05 pada ANOVA).

Sejalan dengan pertambahan umur bibit, indekspenyakit makin meningkat (Tabel 1, Gambar 2); makin

bertambah usia bibit, maka jarak tajuk antar bibit makinmendekat dan tumpang-tindih pada umur mulai 4-5bulan. Kepadatan tajuk yang tinggi, seperti dikemukakanMoral et al. (2012), merupakan penyebabperkembangan keparahan penyakit antraknosa lebihcepat pada tanaman zaitun yang disebabkan olehColletotrichum acutatum.

Di lain pihak tampak bahwa semua bibit denganumur awal berbeda mengalami perkembangan indekspenyakit yang relatif sama dan pada akhir fase kritis,yaitu pada saat umur 5-6 bulan, indeks penyakit menjadikurang dari 30 (26,39-27,61). Bibit umur 5-6 bulandengan indeks penyakit di sekitar 25-30 ini relatif amandari ancaman kematian, sehingga ketika umur 10-12bulan bibit dapat dikirim ke lapangan untuk penanamandan akan menjadi tanaman muda dengan indeks penyakityang ringan seperti di RPH Kemiri (Tabel 4); akan tetapiuntuk bibit dengan indeks penyakit yang lebih besarterutama di atas 50 pada saat bibit berumur 5-6 bulan,maka dapat dipastikan bibit mengalami kematianmenjelang dan pasca penanaman di lapangan (Sutarmanet al., 2001 & 2004b).

Kelompok Tanaman 1 ) Indeks Penyakit (skala 0-100)

Pengamatan ke-1 Pengamatan ke -2 2 )

Petak 1 30,56 30,26 Petak 2 28,57 28,57 Petak 3 30,00 30,68 Petak 4 28,13 29,55 Petak 5 29,28 29,37

Rata-rata 29,31 29,69

1)Petak tanaman menunjukkan sub lokasi yang berbeda graduasi lahan dengan umur tanaman sama yaitu 9 bulansetelah tanam, 2)Waktu pengamatan berselisih waktu 1 bulan.

Tabel 4. Indeks penyakit hawar daun pada tanaman muda P. merkusii di RPH Kemiri, BKPH Pacet, KPHPasuruan (700 m dpl)

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%

Intercept 9,848 1,482 6,647 0,000 6,900 12,796 Waktu 1,572 0,044 35,839 *) 0,000 1,485 1,660

Umur Awal -0,207 0,141 -1,471 0,145 -0,488 0,073

Tabel 3. Koefisien regresi indeks penyakit hawar daun bibit P. merkusii pada periode kritis bibit di RPH Celaket,BKPH Pacet, KPH Pasuruan

*) nyata pada taraf signifikansi 5%.

50 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 44 - 52

Indeks Penyakit Hawar Daun Bibit Produksi 2014.Hasil analisis ragam (ANOVA 5%: F hitung (9,09) > FTabel (2,21), db: 8,36) menunjukkan adanya perbedaanindeks penyakit, yang menunjukkan derajat serangan,di antara lokasi persemaian yang diamati. Rerata indekspenyakit untuk masing-masing lokasi persemaian dapatdilihat pada Tabel 5.

Dari Tabel 5 tampak bahwa bibit pinus diBambang Utara memiliki indeks penyakit rata-rataterkecil (25,47), sementara itu bibit di Sumberawan,Tumpang, Celaket, Garahan, Pujon Selatan, dan WringinTapung relatif menunjukkan tingkat serangan penyakityang lebih berat meskipun berada pada kisaran indekspenyakit (kurang dari 30) yang belum mengancamkematian bibit. Di lain pihak pada bibit di Wagir danNgantang kondisinya mengkhawatirkan karena beradapada kisaran indeks sekitar 50 yang dapat mengancamkematian bagi sebagian bibit ketika berumur 10 bulanhingga siap tanam. Fakta tersebut juga menjadi indikasibahwa ada perbedaan virulensi di antara kesembilanisolat dari 4 kawasan representasi ekogeologis di JawaTimur. Namun demikian ketinggian tempat yang menurutSutarman et al. (2004a), berdasarkan penelitiannya diJawa Barat menentukan berat serangan, ternyata padapengamatan ini bukan penentu perbedaan indekspenyakit. Pada ketinggian yang relatif sama, indekspenyakit di Ngantang (40,45) jauh lebih tinggi daripada

di Tumpang (29,06). Indeks penyakit yang berbeda diantara lokasi yang berbeda menunjukkan bahwa virulensiantar isolat relatif berbeda. P. theae isolat Wagirtampaknya paling virulen dibandingkan isolat lainya.

Selain virulensi isolat, curah hujan (Sutarman etal., 2004a) dan durasi kebasahan daun yang berbeda diantara lokasi persemaian menentukan adanya perbedaanindeks penyakit. Hasil penelitian Guyader et al. (2013)menunjukkan bahwa suhu (di antara 18-36) dan durasikebasahan menentukan berat penyakit antraknosa padaDioscorea alata yang disebabkan oleh Colletotrichumgleosporioides; pada daerah luka, aservuli berkembangdan menghasilkan konidiospora yang disebarkan kepermukaan daun di sekitarnya melalui percikan air hujan.

Indeks Penyakit Hawar Daun Tanaman MudaProduksi 2013. Indeks penyakit hawar daun tanamanmuda yang berasal dari bibit yang diproduksi tahun 2013dari 4 lokasi persemaian dan 1 lokasi pertanamantanaman muda menunjukkan derajat serangan yangberbeda berdasarkan hasil analisis ragam (ANOVA, Fhitung (365,9) > F Tabel (2,87), db: 4,20). Rerata indekspenyakit untuk masing-masing lokasi pengamatan tersajipada Tabel 6.

Patogen isolat Wagir menunjukkan virulensi yanglebih tinggi dibandingkan dengan isolat lainnyaberdasarkan hasil pengamatan terhadap bibit produksi

Representasi Geoekologis

KPH dan cakupan wilayah adminstratif

Lokasi pengamatan (RPH)

Altitude (m dpl.)

Rerata indeks

penyakit

Nilai Duncan

Pegunungan Welirang-Arjuno-Anjasmoro bagian Selatan,

KPH Malang (Malang, Pasuruan, Kediri, Blitar, Lumajang)

Pujon Selatan 1200 37,18 b 3,43

4,12 4,55

4,85

5,08

5,27

5,43

5,57

Sumberawan 1045 28,06 cd Wagir 985 50,33 a Bambang Utara 680 25,47 d Tumpang 520 29,06 d Ngantang 500 40,45 b

Pegunungan Welirang-Arjuno-Anjasmoro

Celaket 1040 27,72 cd

Gunung Iyang dan sekitarnya

Garahan 540 28,99 cd

Gunung Ijen dan sekitarnya

Wringin Tapung 340 31,89 c

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pengaruh yangnyata berdasarkan uji Duncan taraf 5%.

Tabel 5. Rerata indeks penyakit bibit tahun produksi 2014 pada berbagai persemaian P. merkusii di Jawa Timurdengan representasi geoekologis dan cakupan wilayah administrasi yang dilayaninya

Sutarman & Prihatiningrum Penyakit Hawar Daun Pinus Merkusii 51

tahun 2013 yang belum ditanam di lapang pada akhir2013 (Tabel 6) dan dipersiapkan untuk ditanam padaakhir tahun 2014 ketika musim hujan dimulai. Di lainpihak indeks penyakit di persemaian Pujon Selatanmenunjukkan rerata tertinggi (58,31). Jika dihubungkandengan kinerja isolat Pujon Selatan yang ditunjukkanoleh indeks penyakit pada bibit sebesar 37,18 (Tabel 5),tampak terdapat perbedaan nilai indeks yang cukupbesar. Hal ini diduga bibit produksi tahun 2013 di PujonSelatan kurang mendapat perawatan yang optimal.Namun demikian isolat patogen di Pujon Selatan cukupvirulen dan tidak dapat diabaikan dalam pengelolaanpersemaian.

Pada daun pinus tanaman muda, tampaknyainfeksi sekunder seperti yang ditunjukkan oleh Guyaderet al. (2013) sebagai akibat overlapping daun padakepadatan tajuk yang tinggi dan perkembangankeparahan penyakit sebagai akibat periode kebasahandaun (Moral et al., 2012), tidak terjadi secara efektif.Di lain pihak sejak umur bibit pinus 5-6 bulan aktivitasperoksidase rata-rata daun jarum, yang berperan dalamketahanan tanaman, meningkat (Sutarman et al., 2004a)dibandingkan umur lebih muda.

Indeks penyakit pada pertanaman muda pinus diRPH Kemiri rata-rata sebesar 29,69; jika mengacu padakriteria penentuan indeks penyakit yang ditunjukkanSutarman et al. (2001) hal itu berarti bahwa bibit yangditanam di lapangan bisa dipastikan hampir seluruhnyasudah terinfeksi di ujung-ujung daun jarumnya denganstatus serangan bersifat ringan (atau rata-rata skor 1).

Meskipun secara keseluruhan indeks penyakit baikdi persemaian maupun di pertanaman masih bersifatringan sampai sedang, tapi seluruh bibit telah menjadi

sumber bagi penularan penyakit pada saat itu dan padatahun produksi berikutnya.

SIMPULAN

Patogen yang menyebabkan hawar daun bibit disepuluh lokasi representasi geoekologi kawasan hutanpinus di Jawa Timur adalah jenis P. theae Sawadadengan indeks penyakit (skala 0-100) mencapai 7,38-26,96 pada bibit berumur 2-6 bulan dan 28-31 padatanaman umur 10 bulan di lapangan. Perbedaanketinggian tempat tidak mempengaruhi perbedaan indekspenyakit. Bibit pinus yang terserang parah adalah diRPH Ngantang dan RPH Wagir dengan indeks penyakit(skala 0-100) 40,45 dan 50,33 sedangkan tanaman mudayang terserang parah adalah di persemaian RPH Wagirdan RPH Pujon Selatan dengan indeks penyakit (skala0-100) 42,07 dan 58,31. Berdasarkan nilai indekspenyakit, 3 isolat patogen yang memerlukan perhatianserius adalah isolat Wagir (985 m dpl) paling virulen,yang diikuti oleh Ngantang (500 m dpl), dan PujonSelatan (1200 m dpl).

SANWACANA

Terima kasih disampaikan kepada DirektoratJendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan danKebudayaan atas dukungan pendanaan penelitian inimelalui skema Hibah Penelitian Fundamental Tahun 2014serta Perum Perhutani Unit II Jawa Timur atas izinkegiatan penelitian dan dukungan segenap pelaksanamanajemen di bawahnya hingga di lapangan.

Lokasi pengamatan Altitude (m dpl.)

Rerata Indeks Penyakit Nilai Duncan

Persemaian RPH Pujon Selatan (KPH Malang) 1200 58,31 a 1,28

1,48

1,60

1,69

Persemaian RPH Wagir (KPH Malang) 985 42,07 b

Persemaian RPH Celaket (KPH Pasuruan) 1040 27,11 d

Persemaian RPH Garahan (KPH Jember) 540 26,34 d

Pertanaman RPH Kemiri (KPH Pasuruan) 700 29,69 c

Tabel 6. Rerata indeks penyakit bibit tahun produksi 2013 pada berbagai persemaian P. merkusii dan tanamanpinus dengan tahun tanam 2013 di Jawa Timur

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pengaruh yangnyata berdasarkan uji Duncan taraf 5%.

52 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 44 - 52

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Hadi S, Harran S, Sa’id EG, Satiawihardja B,& Kardin MK. 1997. Biochemical defence ofPinus merkusii seedlings against damping-offpathogens. In: Kikkawa J, Dart P, Doley D, IshiiK, Lamb D, & Suzuki K (Eds.). Proceedingsof Brisbane Workshop. pp. 237–240. BIIO-REFOR/IUFRO/SPDC, Brisbane, Australia.

Achmad, Hadi S, Herlinayana EN, & Setiawan A.1999a. Patogenisitas Rhizoctonia solani padasemai Pinus merkusii dan Acacia mangium.J. Man. Hut. Trop. V(1): 11–21.

Achmad, Hadi S, Sa’id EG, Satiawihardja B, Kardin MK,& Harran S. 1999b. The potential use of twospecies of Trichoderma for the biological controlof damping-off on Pinus merkusii. In: De laCruz RE, Follosco M, & Ishii K (Eds.).Proceedings of Manila Workshop. pp. 103–107. BIIO-REFOR/IUFRO/SPDC, Manila,Philippines.

Canon P, Pascoe I, Beilharz & Zuan ZQ. 1997. Reporton fungi from diseased Acacia samplesexamined at Institute of HorticulturalDevelopment, Knoxfield, Victoria. In: Old KM,Lee SS, & Sharma JK (Eds.). Proceedingsof an International Workshops Subanjeriji(South Sumatra) . Disease of TropicalAcacias. pp. 108–113. CIFOR SpecialPublication, Bogor, Indonesia. April 28-May 3,1996.

Goss EM, Larsen M, Vercauteren A, Werres S,Heungens K, & Grünwald NJ. 2011.Phytophthora ramorum in Canada: Evidencefor migration within North America and fromEurope. Phytopathology 101(1): 166–171.

Guyader S, Crombez J, Salles M, Bussière F, & BajazetT. 2013. Modelling the effects of temperatureand leaf wetness on monocyclic infection in atropical fungal pathosystem. Eur. J. PlantPathol. 136(3): 535–545. DOI 10.1007/s10658-013-0185-8.

Malcolm GM, Kuldau GA, Gugino BK, & Jiménez-Gasco MDM. 2013. Hidden host plantassociations of soilborne fungal pathogens: Anecological perspective. Phytopathology 103(6):538–544.

Moral J, Jurado-Bello J, Sánchez MI, de Oliveira R, &Trapero A. 2012. Effect of temperature,wetness duration, and planting density on oliveanthracnose caused by Colletotrichum spp.Phytopathology 102(10): 974–981.

Old KM, Hood IA, & Yuan ZQ. 1997. Diseases oftropical acacias in Northern Queensland. In: OldKM, Lee SS, & Sharma JK (Eds.).Proceedings of an International WorkshopsSubanjeriji (South Sumatra). Diseases ofTropical Acacias. pp. 1–22. CIFOR SpecialPublication, Bogor, Indonesia.

Santamaría O, Smith DR, & Stanosz GR. 2011.Interaction between Diplodia pinea and D.scrobiculata in Red and Jack Pine seedlings.Phytopathology 101(3): 334–339.

Sharma JK & Florence EJM. 1997. Fungal pathogensas a potential threat to tropical acacias: casestudy of India. In: Old KM, Lee SS, & SharmaJK (Eds.). Proceedings of an InternationalWorkshops Subanjeriji (South Sumatra) .Diseases of Tropical Acacias. pp. 70–107.CIFOR Special Publication, Bogor, Indonesia.April 28-May 3, 1996.

Sutarman, Achmad, & Hadi S. 2001. Penyakit hawardaun bibit Pinus merkusii di pesemaian. J.Agritek 9(4): 1419–1427.

Sutarman, Hadi S, Saefuddin A, Achmad, & Suryani A.2004a. Epidemiologi hawar daun bibit Pinusmerkusii yang disebabkan oleh Pestalotiatheae. J. Man. Hut. Trop. X(1): 43–60.

Sutarman, Hadi S, Suryani A, Achmad, & Saefuddin A.2004b. Patogenesis hawar daun bibit Pinusmerkusii yang disebabkan oleh Pestalotia theaedi pesemaian. J. HPT Tropika 4(1): 32–41.

64 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 64 - 71 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 15, No. 1: 64 – 71, Maret 2015

MEKANISME ANTIBIOSIS BACILLUS SUBTILIS B315UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI KENTANG

Nur Prihatiningsih1, Triwidodo Arwiyanto2, Bambang Hadisutrisno2 & Jaka Widada2

1Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto Kampus KarangwangkalJl dr. Suparno Purwokerto 53123

2Fakultas Pertanian UGM YogyakartaE-mail: [email protected]

ABSTRACT

Antibiosis mechanism of Bacillus subtilis B315 for controlling potato bacterial wilt disease. Bacillus subtilis B315isolated from rhizospheric potato has antibiosis mechanism against Ralstonia solanacearum in vitro and become potentiallyused as controlling method of bacterial wilt in the field. The objectives of this research were to study the mechanism of B.subtilis B315 in controlling bacterial wilt disease, to study of B. subtilis B315 potency as both biocontrol and plant growthpromoter, and to evaluate the mechanism as biocontrol agent. This green house experiment used CRD (Completely RandomizedDesign) with 5 treatments and 6 replicates. The treatments were control (without B. subtilis B315), B. subtilis B315 wild type,antibiosis mutant M16, antibiosis mutant M4, and antibiosis mutant M14. Variables observed were incubation period, diseaseindex, infection rate, effectiveness of control, and growth components (i.e number of bud, plant height, leaf area, plant freshand dry weight). The result of this research showed that B. subtilis B315 could delay incubation period, suppressed thedisease index up to 64,9% and could promote the plant growth (leaf area). B. subtilis B315 had the antibiosis and othermechanisms that induced sistemic resistance. The implication of this research was that B. subtilis B315 could be used forbiocontrol the bacterial wilt and promoted the potato growth.

Key words: antibiosis, Bacillus subtilis B315, bacterial wilt disease control, potato plant growth promote

ABSTRAK

Mekanisme antibiosis Bacillus subtilis b315 untuk pengendalian penyakit layu bakteri kentang. Bacillus subtilis B315yang diisolasi dari rizosfer kentang mempunyai mekanisme antibiosis terhadap Ralstonia solanacearum secara in vitro.Mekanisme antibiosis secara in vitro ini sebagai potensi B. subtilis B315 untuk mengendalikan penyakit layu bakteri di lahankentang. Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari mekanisme antibiosis B. subtilis B315 untuk pengendalian penyakit layubakteri kentang, dan mempelajari potensi B. subtilis B315 sebagai pemicu pertumbuhan tanaman kentang, serta mengevaluasimekanisme B. subtilis B315 sebagai agensia pengendali hayati. Metode yang digunakan adalah percobaan di rumah kacadengan Rancangan Acak Lengkap dengan 5 perlakuan dan 6 ulangan. Perlakuannya adalah kontrol (tanpa B. subtilis B315),B. subtilis B315 tipe alami, mutan antibiosis M16, mutan antibiosis M4, mutan antibiosis M14. Variabel yang diamati adalahmasa inkubasi, indeks penyakit, laju infeksi, efektivitas pengendalian, komponen pertumbuhan tanaman (jumlah tunas, tinggitanaman, luas daun, bobot brangkasan segar dan kering). Hasil penelitian menunjukkan bahwa B. subtilis B315 sebagaiagensia pengendali hayati penyakit layu bakteri kentang dapat menunda masa inkubasi, menekan indeks penyakit layu bakteridengan efektivitas 64,9%, menekan laju infeksi dan mampu memicu peningkatan pertumbuhan tanaman yang dilihat dari luasdaun. B. subtilis B315 sebagai agensia pengendali hayati mempunyai mekanisme antibiosis dan mekanisme lain yaitupenginduksi ketahanan sistemik. Implikasi hasil penelitian ini adalah B. subtilis B315 dapat digunakan sebagai agensiapengendali hayati dan pemicu peningkatan pertumbuhan tanaman kentang.

Kata kunci: antibiosis, Bacillus subtilis B315, pengendalian penyakit layu bakteri, pemicu pertumbuhan tanaman kentang

PENDAHULUAN

Kentang (Solanum tuberosum L.) di Indonesiamerupakan komoditas hortikultura yang mendapatprioritas untuk dikembangkan, dan berpotensi untukdipasarkan di dalam negeri maupun ekspor. Penyakitlayu bakter i yang disebabkan oleh Ralstonia

solanacearum ini merupakan kendala dalam budidayakentang karena dapat menyebabkan kematian tanamandan merugikan hasil 75% (Semangun, 1989) dan lebihdari 75% di Karnataka (Gadewar et al., 1991). Lebihlanjut dijelaskan oleh Ghosh et al. (2009) bahwahubungan antara kehilangan hasil dan intensitas penyakitadalah linier. Pengendalian penyakit layu bakteri yang

Prihatiningsih et al. Mekanisme Antibiosis Bacillus subtilis B315 65

telah dilakukan adalah dengan cara fitosanitari dan kulturteknis seperti penggunaan umbi bebas penyakit, rotasitanaman, dan intercropping serta bahan kimia sepertifumigasi dengan methyl bromide, sodium hypochloritedan bakterisida (Champoiseau et al., 2010; Muthoni etal., 2012).

Penggunaan varietas kentang yang tahanterhadap penyakit layu bakteri dianggap lebih murah danpraktis, karena dengan pestisida kimia sintetik tidakefektif, fitosanitari dan kultur teknis sulit diaplikasikandi lapangan dan agensia pengendali hayati belum tersediasecara komersial (Muthoni et al., 2012). Sebagaialternatif pengendalian yang berwawasan lingkunganadalah dengan menggunakan agensia hayati sebagaibiopestisida. Bakteri yang berpotensi sebagai biopestisidadan aman dalam pengelolaan tanaman adalah genusAgrobacterium, Pseudomonas dan Bacillus (Beric etal., 2012). Genus Bacillus mempunyai kemampuanmensintesis beberapa senyawa yang berguna dalambidang pertanian dan industri. Beberapa metabolitsekunder dihasilkan oleh beberapa spesies dan strainBacillus yang menunjukkan aktivitas antibakteri danantijamur terhadap patogen tanaman (Yu et al., 2002;Ongena & Jacques, 2008).

Bacillus subtilis B315 diperoleh dari rizosferkentang sehat di antara kentang yang layu di daerahendemik, di Desa Serang Kecamatan KarangrejaKabupaten Purbalingga dengan ketinggian tempat 1200m dpl. Pada pengujian sebelumnya secara in vitro, B.subtilis B315 mampu menekan pertumbuhan R.solanacearum dengan mekanisme antibiosis,menunjukkan zona hambatan sebesar 18 mm dan denganmekanisme penghambatan bersifat bakteriostatik.Menurut Junaid et al. (2013), B. subtilis dapatmenghasilkan antibiotik sebagai mekanisme antibiosisseperti Bacillomycin D dan iturin yang dihasilkan olehB. subtilis AU195 dan QST713.

Mekanisme pengendalian hayati menurut Lo(1998) dan Junaid et al. (2013) dapat berupa (1)antibiosis, (2) kompetisi, (3) mikoparasitisme, (4) enzimpendegradasi dinding sel, dan (5) penginduksi ketahanan,(6) pemacu pertumbuhan dan (7) pengoloni rizosfer.Pengendalian secara hayati terhadap patogen tanamanmenjadi lebih penting karena tidak menimbulkan residu,aman bagi lingkungan, dan berpengaruh positif padatanaman. Selain itu, menurut Choudhary & Johri (2008)agensia hayati seperti Bacillus spp. dapat berperansebagai pupuk hayati dan agensia pengendali hayatimelalui mekanisme antibiosis, sekresi enzim pelisis, danpenginduksi ketahanan sistemik (Induced SystemicResistance = ISR).

Salah satu mekanisme penekanan oleh strainanggota genus Bacillus adalah antibiosis yangditunjukkan dengan terbentuknya zona hambatan padakultur Bacillus spp. yang ditumbuhkan pada mediumsecara berlapis dengan bakteri patogen. Antibiosismerupakan mekanisme antagonis dengan menghasilkanmetabolit sekunder berupa antibiotik atau senyawa miripantibiotik seperti enzim pelisis, senyawa yang mudahmenguap, siderofor, dan substansi toksik lainnya (Haggag& Mohamed, 2007). Antibiotik secara umumdidefinisikan sebagai senyawa organik dengan beratmolekul rendah, yang dihasilkan sebagai metabolitsekunder dan menghambat pertumbuhan atau aktivitasmetabolisme mikroba lain pada konsentrasi rendah.Krebs et al. (1998) menyatakan bahwa strain Bacillusyang diisolasi dari tanah teridentifikasi sebagai B. subtilismempunyai kemampuan sebagai antibakteri, antijamur,pemacu pertumbuhan tanaman dan penginduksiketahanan sistemik (Prihatiningsih, 2013). Formulasi B.subtilis sebagai pengendali hayati dengan produk“FZB24” telah didaftarkan di Jerman sebagai agensiapenguat tanaman.

Mekanisme antibiosis dari suatu agensia hayatidapat dibuktikan dengan cara membuat mutan antibiosis,yaitu mutan yang kehilangan sifat antibiosis namun sifatyang lain masih sama dengan tipe alaminya. Mutasimerupakan perubahan materi genetik yang dapat terjadikarena beberapa faktor seperti mutasi spontan danmutasi induksi karena mutagen. Mutasi dapat puladiartikan sebagai perubahan sekuen nukleotida darimolekul DNA, biasanya digunakan untuk perubahanpada skala relatif kecil, sedangkan rekombinasimelibatkan perubahan segmen polinukleotida di antaramolekul DNA yang berbeda dan dapat menyebabkanpenyusunan ulang (Brown, 1989).

Mutan bakteri adalah turunan bakteri tipe alami(tipe liar = wild type), yaitu terjadinya perubahan genpada bakteri tersebut akibat terjadi mutasi, yang dapatdilihat dari fenotipiknya (Sreeju et al., 2011). Mutanantibiosis B. subtilis RP24 menurut Grover et al. (2009)dikelompokkan menjadi mutan yang tidak menghambat(no antagonism) dan mutan yang menghambatsebagian (partial antagonism). Mikroba dapatmengalami mutasi dengan mutasi spontan atau terinduksidengan mutagen yang dapat berupa mutagen kimia, fisikseperti sinar UV. Pelczar et al. (2006) menyebutkanbahwa salah satu tipe mutasi adalah terbentuknya mutanyang menunjukkan kemampuan fermentasi yangberubah, meningkat atau menurunnya kemampuanmenghasilkan metabolit.

66 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 64 - 71

Permasalahan yang dihadapi adalah apakahpengendalian penyakit layu bakteri dengan B. subtilisB315 mengikuti mekanisme antibiosis seperti halnyapengujian antagonisme B. subtilis B315 terhadap R.solanacearum in vitro atau mempunyai mekanismelainnya. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mempelajarimekanisme antibiosis B. subtilis B315 untukpengendalian penyakit layu bakteri kentang, (2)mempelajari potensi B. subtilis B315 sebagai pemacupertumbuhan tanaman, dan (3) mengevaluasi mekanismeB. subtilis B315 sebagai agensia pengendali hayati.Hipotesis yang diajukan adalah B. subtilis B315 efektifuntuk mengendalikan penyakit layu bakteri kentangdengan mekanisme antibiosis, dan mampu memacupertumbuhan tanaman melalui mekanisme lain yangdimiliki yaitu sebagai penginduksi ketahanan sistemik.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan diLaboratorium Bakteriologi Fakultas Pertanian UGM dandi kebun percobaan Fakultas Pertanian UnsoedPurwokerto yang terletak di Desa Serang KecamatanKarangreja Kabupaten Purbalingga pada ketinggiantempat 1200 m dpl. Penelitian dimulai bulan Februarisampai dengan Juli 2012.

Penyiapan Bahan. Bahan yang digunakan dalampenelitian ini meliputi bakteri antagonis B. subtilis B315,mutan antibiosis B. subtilis B315M16, B. subtilisB315M4 dan B. subtilis B315M14 yang telah dimutasidengan EMS (Ethyl Methane Sulphonate) padapenelitian sebelumnya. Bakteri patogen R.solanacearum Pr7 yang diisolasi dari tanaman kentanglayu di Desa Serang Kecamatan Karangreja KabupatenPurbalingga. Tanaman kentang yang digunakan dalampenelitian adalah varietas Atlantik, bibit diperoleh daripenangkar benih di Desa Grogol Kecamatan BaturKabupaten Banjarnegara. Bahan kimia yang digunakanadalah medium biakan YPGA (yeast extract peptoneglucose agar) dan YPG cair.

Infestasi R. solanacearum dan B. subtilis B315. R.solanacearum diinfestasikan ke dalam tanah dengancara disemprotkan dalam tanah sambil diaduk agar R.solanacearum merata dilakukan 2 hari sebelum tanam.Kepadatan populasi R. solanacearum yangdiaplikasikan adalah 108 cfu/ml. Aplikasi B. subtilisB315 dan mutan antibiosis dilakukan dengan caraperendaman umbi bibit kentang 30 menit sebelum tanamdengan kerapatan populasi 108 cfu/ml pada masing-masing perlakuan. Perlakuan yang diujikan padatanaman kentang di rumah kaca dapat dilihat padaTabel 1.

Perlakuan B. subtilis B315 adalah dengan caraperendaman benih (umbi bibit) ke dalam suspensi B.subtilis B315 dengan kerapatan 108 cfu/ml dan dosis1000 ml suspensi untuk 8 umbi. Setiap perlakuan terdiriatas empat tanaman dan diulang enam kali, dirancangsecara Acak Kelompok Lengkap. Variabel yang diamati:masa inkubasi, indeks penyakit, laju perkembanganpenyakit (infection rate = r), populasi jamur total, danR. solanacearum.

Komponen pertumbuhan tanaman antara lainjumlah daun, luas daun, tinggi tanaman, bobot segar dankering brangkasan, dan komponen hasil tanamanmeliputi, jumlah umbi, bobot per umbi, dan bobot umbiper tanaman. Data pendukung adalah suhu dankelembaban udara, serta suhu dan kelembapan tanah,pH tanah, DHL (daya hantar listrik), kandungan Corganik, N total, dan P tersedia, K tersedia sertaketahanan agregat.

Perhitungan Indeks Penyakit layu bakteri berdasarkanrumus sebagai berikut:

dengan:IP = indeks penyakitn = jumlah tanaman pada kategori kk = kategori penyakitN = jumlah tanaman yang diamatiZ = nilai kategori penyakit tertinggi

No Simbol Perlakuan

1 K tanpa B. subtilis B315 2 B1 B. subtilis B315 tipe alami 3 B2 mutan antibiosis M16 4 B3 mutan antibiosis M4 5 B4 mutan antibiosis M14

Tabel 1. Susunan perlakuan

100% N Z

nk) (k IP 1

k

i

Prihatiningsih et al. Mekanisme Antibiosis Bacillus subtilis B315 67

Skala penilaian kerusakan (kategori) menurut Arwiyanto& Hartana (2001):

0 = tidak ada gejala1 = 1–10% daun layu2 = 11–30% daun layu3 = lebih dari 30% daun layu

Perhitungan laju infeksi berdasarkan rumus yangdikemukakan oleh van der Plank (1963) sebagai berikut:

Xt = Xo.ert

dengan:Xt = proporsi penyakit pada waktu tXo= proporsi penyakit pada awal pengamatane = konstanta logaritma (2,718)r = laju infeksi/laju perkembangan penyakit (unit/hari)t = waktu

Nilai r dihitung berdasarkan kriteria penyakit layu bakteritermasuk simple interest disease (SID), maka:

Data karakterisasi Bacillus spp. dan ujiantagonistik dianalisis secara deskriptif, sedangkan datapenelitian di rumah kaca dianalisis dengan sidik ragamdan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan DMRT(Duncan Multiple Range Test) dengan taraf kesalahan5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perlakuan B. subtilis B315 tipe alami dan mutanantibiosisnya mempengaruhi masa inkubasi, indekspenyakit dan laju infeksi (Tabel 2). Perlakuan B. subtilisB315 tipe alami mampu menunda masa inkubasi sampaidengan 7 hari. Perlakuan B. subtilis B315 tipe alamimenunjukkan masa inkubasi 36 hst, sedangkan rata-ratapada kontrol menunjukkan masa inkubasi selama 29,2hari (Tabel 2), meskipun pada umur 26 hst tanaman yangdiberi perlakuan kontrol dan mutan antibiosis M16 sudahmenunjukkan gejala layu.

Berdasarkan hasil analisis statistik indeks penyakitlayu bakteri, pengaruh pada perlakuan B. subtilis B315tipe alami dan mutan antibiosis M16 berbeda nyata.Namun demikian dibandingkan dengan 2 mutanantibiosis yang lain (M4 dan M14) perlakuan B. subtilisB315 tipe alami tidak berbeda nyata. B. subtilis B315tipe alami mampu menekan penyakit layu bakteri denganefektivitas penekanan 64,9%, sedangkan mutan M16hanya mampu menekan 49,9%. Efektivitas penekanan

terhadap penyakit layu bakteri pada mutan antibiosisM14 sama dengan B. subtilis B315 tipe alami.

Kemampuan mutan antibiosis dalam penekananpenyakit layu bakteri menunjukkan bahwa B. subtilisB315 mempunyai mekanisme lain dalam pengendalianhayati terhadap penyakit layu bakteri. Mekanisme laindari agensia pengendali hayati adalah secara tidaklangsung sebagai pemacu pertumbuhan tanaman danmenginduksi ketahanan sistemik. Lo (1998) menyatakanbahwa mekanisme pengendalian hayati meliputi 1)antibiosis, 2) kompetisi, 3) mikoparasitisme, 4) enzimpendegradasi dinding sel, dan 5) ketahanan terimbasatau terinduksi.

Peran B. subtilis B315 sebagai penginduksiketahanan sistemik dapat dilihat dari berkurangnyapenyakit lain pada tanaman kentang seperti hawar daunoleh Phytophthora infestans dengan intensitaspenyakit kurang dari 10%. Hasil penelitian di rumahkaca ini konsisten dengan hasil penelitian secara in vitropada penelitian sebelumnya bahwa mutan antibiosis M14mampu menghambat R. solanacearum dan di rumahkaca mampu menekan indeks penyakit denganefektivitas 64,9%. Mutan antibiosis M16 kehilangankemampuan menghambat R. solanacearum in vitro,dan di rumah kaca mampu menghambat indeks penyakitlayu bakteri sebesar 49,9%. Hal inilah yang menunjukkanbahwa B. subtilis B315 mempunyai mekanisme laindalam menekan penyakit layu bakteri.

Perkembangan penyakit layu bakteri padakentang dengan perlakuan B. subtilis B315 tipe alamidan mutan antibiosis menunjukkan kurva monomolekular(Gambar 1), yaitu perkembangan penyakit tipe bungasederhana (simple interest disease = SID), karena R.solanacearum adalah patogen tular tanah. Contreras-Medina et al. (2009) mengemukakan bahwaperkembangan penyakit dengan model monomolekularterjadi pada penyakit dengan patogen berdaur tunggalselama musim tanam (SID). Patogen yang mengikutidaur tunggal selama musim tanam adalah patogen tulartanah termasuk bakteri R. solanacearum. Penekananindeks penyakit layu bakteri pada kentang denganperlakuan B. subtilis B315 dengan cara perendamanbenih, menunjukkan efektivitas penekanan sebesar64,9%. Gejala penyakit layu bakteri di rumah kacadengan aplikasi B. subtilis B315 ditunjukkan dalamGambar 2.

Bakterisasi biji diikuti dengan perendaman akardengan bakteri antagonis di rumah kaca sangat efektifmengendalikan penyakit layu bakteri. Hasil penelitian dilapangan pada tanah yang terinfestasi R. solanacearumsecara alami, dengan perlakuan bakteri antagonis mampu

) oX

1log -

tX -11

(log t

2,3 r

68 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 64 - 71

Perlakuan Masa inkubasi (hst)

Indeks penyakit (%)

Laju infeksi (r) (unit/hari)

Efektivitas penekanan (%)

K 29,2 b 83 ,3 a 0,0459 - B 1 36,0 a 29 ,2 c 0,0098 64,9 B 2 35,7 a 41,7 b 0,0146 49,9 B 3 35,4 a 34,7 bc 0,0180 58,3 B 4 36,3 a 29 ,2 c 0,0098 64,9

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada ujiDuncan taraf kesalahan 5%. hst: hari setelah tanam, K: tanpa B. subtilis B315; B1: B. subtilis B315 tipe alami; B2:mutan antibiosis M16; B3: mutan antibiosis M4; B4: mutan antibiosis M14.

Tabel 2. Masa inkubasi, indeks penyakit dan laju infeksi penyakit layu bakteri kentang setelah aplikasi B.subtilis B315

Gambar 1. Perkembangan penyakit layu bakteri setelah perlakuan Bacillus sp. B315 tipe alami dan mutanantibiosis

Gambar 2. Gejala layu bakteri pada kontrol (A), perlakuan mutan Bacillus sp. B315M16 (B) dan tanaman sehatpada perlakuan Bacillus sp. B315 tipe alami

Prihatiningsih et al. Mekanisme Antibiosis Bacillus subtilis B315 69

menekan intensitas layu bakteri sampai 40% (Yuliantiet al., 1999). Karuna et al. (2003) menyatakan bahwabakterisasi antagonis dengan B. subtilis pada biji tomatsangat efektif untuk mengendalikan penyakit layu bakterioleh R. solanacearum.

Berdasarkan hasil pengamatan komponenpertumbuhan dan hasil kentang setelah perlakuanB. subtilis B315 tipe alami dan mutan antibiosismenunjukkan bahwa pada komponen pertumbuhan,hanya jumlah tunas dan luas daun yang berbeda nyata(Tabel 3). Perlakuan mutan M16 tidak berbeda nyatadengan perlakuan B. subtilis B315 tipe alami dan kontrolpada jumlah tunas, dan juga tidak berbeda nyata denganperlakuan mutan M4 dan M14, namun B. subtilis B315tipe alami dan kontrol berbeda nyata dengan mutan M4dan M14.

Perlakuan mutan M14 menunjukkan hasil terbaikdalam meningkatkan luas daun yaitu 287,56 cm2,sedangkan pada kontrol (tanpa Bacillus) luas daunhanya 182,25 cm2. Luas daun pada perlakuan B. subtilisB315 tipe alami sebesar 205,11 cm2 yang berbeda nyatadengan perlakuan lainnya, yaitu M16 sebesar 232,58 cm2.Padahal mutan M14 adalah kelompok mutan III yangmasih mampu menghambat R. solanacearum in vitromeskipun zona hambatannya kecil (3,3 mm) ataupenghambatannya hanya mencapai 36,26%(Prihatiningsih, 2013). Dengan kata lain mutan inikehilangan sedikit sifat antibiosisnya, namun sifat yanglain misalnya dalam meningkatkan komponenpertumbuhan seperti luas daun tidak hilang atau masihsama dengan tipe alaminya. Hal ini dapat dikatakanbahwa B. subtilis B315 mempunyai mekanisme laindalam mengendalikan penyakit layu bakteri kentang, yaitudengan memacu pertumbuhan tanaman.

Meskipun efektivitas pengendalian penyakit layubakteri pada perlakuan B. subtilis B315 tipe alamisebesar 64,9%, dan mutan M16 efektif sebesar 49,9%,namun pengaruhnya terhadap komponen pertumbuhantanaman adalah positif dapat meningkatkan luas daun.Sitompul & Guritno (1995) berpendapat bahwa luas daunmerupakan parameter utama dalam pertumbuhantanaman karena daun secara umum dipandang sebagaiorgan produsen fotosintat utama. Oleh karena itupengamatan luas daun sebagai indikator pertumbuhandan sebagai penunjang untuk menjelaskan prosespertumbuhan tanaman yang terjadi seperti padapembentukan biomassa tanaman. Peningkatanpertumbuhan tanaman ditunjukkan oleh peningkatan luasdaun setelah aplikasi B. subtilis B315, sehingga dapatmenyekap cahaya matahari yang lebih banyak, namunjuga disertai peningkatan kemampuan fotosintesis perluas daun yang ditunjukkan oleh nisbah bobot keringbrangkasan/luas daun yang lebih tinggi yaitu 0,1828(Tabel 3). Komponen pertumbuhan yang lain yaitu tinggitanaman, bobot segar dan bobot kering brangkasan tidakberbeda nyata pada semua perlakuan. Hasil inimenunjukkan bahwa dengan perlakuan B. subtilis B315baik tipe alami maupun mutan antibiosisnya tidakmemengaruhi tinggi tanaman, bobot segar dan bobotkering brangkasan.

Berdasarkan hasil pengamatan populasi jamurtotal dan populasi R. solanacearum setelah perlakuanB. subtilis B315 tipe alami dan mutan antibiosis,menunjukkan bahwa populasi jamur total pada kerapatan103 cfu/g tanah. dan populasi R. solanacearum dengankerapatan 104 cfu/g tanah (Tabel 4). Jamur yang tumbuhdari hasil isolasi rizosfer dengan perlakuan B. subtilisB315, berupa koloni yang berwarna putih, putih dengan

Tabel 3. Komponen pertumbuhan kentang setelah aplikasi B. subtilis B315

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada ujiDuncan taraf kesalahan 5%. K: tanpa B. subtilis B315; B: B. subtilis B315 tipe alami; B315M16: mutan antibiosisB. subtilis B315 (M16); B315M4: mutan antibiosis B. subtilis B315 (M4); B315M14: mutan antibiosis B. subtilisB315 (M14). BKB: Bobot kering brangkasan, LD: luas daun.

Perlakuan

Jumlah tunas

Tinggi tanaman

(cm)

Jumlah daun

Luas daun (cm2)

Bobot segar brangkasan

(g)

Bobot kering brangkasan

(g)

Nisbah BKB/

LD

K 5,06 a 42,63 a 26,05 a 182,25 d 104,17 a 24,58 a 0,1349 B315 5,09 a 47,92 a 30,17 a 205,11 c 135,00 a 37,50 a 0,1828 B315M16 4,85 ab 47,65 a 26,12 a 232,58 b 132,92 a 35,42 a 0,1523 B315M4 3,71 b 51,17 a 26,50 a 225,60 b 135,83 a 32,92 a 0,1459 B315M14 3,71 b 42,52 a 24,84 a 287,56 a 120,83 a 27,92 a 0,0970

70 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 64 - 71

Tabel 4. Populasi jamur total dan R. solanacearum setelah perlakuan B. subtilis B315

Perlakuan Populasi jamur total (103 cfu/g tanah dalam PDA+strep)

Populasi R. solanacearum (104 cfu /g tanah dalam (CPG -TTC)

K 10,10 90,90 B1 4,00 15,00 B2 15,50 17,00 B3 4,20 50,00 B4 10,05 30,20

tengah abu-abu dan putih kekuningan. Berdasarkan padawarna koloni jamur yang tumbuh teridentifikasi sebagaijamur yang termasuk kelompok Fusarium sp.,Phytophthora sp., Pythium sp., Trichoderma sp.,Aspergillus sp., dan Penicillium sp. Jamur-jamurtersebut dapat berupa patogen tanaman kentang yangpada daur hidupnya bertahan di dalam tanah, dan jugadapat merupakan jamur kelompok saprofit maupunantagonis. Barea et al. (2005) mengemukakan bahwajamur yang terdapat di rizosfer yaitu Fusarium sp.,Rhizoctonia sp., Phytophthora sp., Pythium sp.,Trichoderma sp., yang berasosiasi dengan mikroba lainbaik sebagai patogen, saprofit maupun antagonis. Jamur-jamur tersebut berkompetisi dalam kolonisasi, situsinfeksi, dan kompetisi dalam memperoleh sumber karbonsebagai nutrien dan kompetisi dalam signal untukmengkhelat besi.

Populasi R. solanacearum setelah akhir penelitianmenunjukkan terjadi penurunan dibandingkan denganpopulasi pada waktu infestasi ke dalam tanah, yaitu 23,3x 108 cfu/ml menjadi kerapatan 104 cfu/g tanah.Kerapatan populasi B. subtilis B315 lebih tinggidibandingkan dengan kerapatan populasi R.solanacearum yaitu 106 cfu/g tanah kering oven,meskipun mengalami penurunan dibandingkan denganpada saat perlakuan untuk perendaman benih yaitu 4,1x 108 cfu/ml.

Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan B.subtilis B315 di dalam tanah lebih banyak dan mampubertahan sampai dengan akhir penelitian dibandingkandengan patogen R. solanacearum. B subtilis B315 jugamampu mengendalikan penyakit hawar daun oleh jamurPhytophthora infestans dengan intensitas penyakithawar daun kurang dari 10%.

SIMPULAN

B. subtilis B315 mampu menunda masa inkubasi7 hari dan mengendalikan penyakit layu bakteri denganefektivitas sebesar 64,9%. B. subtilis B315 juga mampu

meningkatkan pertumbuhan tanaman pada luas daun.Mekanisme pengendalian penyakit layu bakteri kentangoleh B. subtilis B315 adalah antibiosis dan penginduksiketahanan sistemik, yang ditunjukkan denganpeningkatan pertumbuhan tanaman dan penekananpenyakit hawar daun oleh jamur P. infestans sertapenekanan populasi jamur total.

SANWACANA

Ucapan terima kasih disampaikan kepadaDirektorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas dana yangdiberikan melalui Beasiswa Program Pasca Sarjana(BPPS) selama mengikuti tugas belajar S3 di FakultasPertanian UGM, dari tahun 2009 s/d 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Arwiyanto T & Hartana I. 2001. Percobaan lapanganpengendalian hayati penyakit layu bakteritembakau (Ralstonia solanacearum).Mediagama 3: 7–14.

Barea JM, Pozo MJ, Azcon R, & Azcon-Agullar C.2005. Microbial co-operation in the rhizosphere.J. Exp. Bot. 56(417): 1761–1778.

Beric T, Kojic M, Stankovic S, Topisirovic L, DegrassiG, Myers M, Venturi V, & Fira D. 2012.Antimicrobial activity of Bacillus sp. naturalisolates and their potential use in the biocontrolof phytopathogenic bacteria. Food Technol.Biotechnol. 50(1): 25–31.

Brown TA. 1989. Genetics: a Molecular Approach.Van Nostrand Reinhold (International) Co.Ltd,London.

Champoiseau PG, Jones JB, Momol TM, Pingsheng J,Allen C, Norman DJ, & Caldwell K. 2010.Ralstonia solanacearum Race 3 biovar 2causing brown rot of potato, bacterial wilt oftomato and southern wilt of geranium. http://

Prihatiningsih et al. Mekanisme Antibiosis Bacillus subtilis B315 71

plantpath. ifas.ufl.edu/rsol/NRI_Project/Projectsummary.html. Diunduh 12 November2012.

Choudhary DK & Johri BN. 2008. Interaction ofBacillus spp. and plants-with special referenceto induced systemic resistance (ISR). <http://www.sciencedirect.com/science?>. Diunduh 28Februari 2009.

Contreras-Medina LM, Torres-Pacheco I, Guevara-Gonzalez RG, Romero-Troncoso RJ, Terol-Villalobos IR, & Osornio-Rios RA. 2009.Mathematical modeling tendencies in plantpathology. Afr. J. Biotechnol. 8 (25): 7399–7408.

Gadewar AV, Travedi TP, & Shekawat. 1991. Potato inKarnataka. Technical Bulletin 17: 33.

Ghosh PP, Mandal D, Laha S, & Dasgupta MK. 2009.Dynamics and severity model in managing fungaldiseases. J. Plant Prot. Sci. 1(1): 55–59.

Grover M, Nain L, & Saxena AK. 2009. Comparisonbetween Bacillus subtilis RP24 and its antibiotic-defective mutants. World. J. Microbiol. Biot.25(8): 1329–1335.

Haggag WM & Mohamed HAA. 2007. Biotechnologicalaspects of microorganism used in plant biologicalcontrol. World J. Agric. Sci. 3(6): 771–776.

Junaid JM, Dar NA, Bhat TA, Bhat AH, & Bhat MA.2013. Commercial biocontrol agents and theirmechanism of action in the management of plantpathogens. Int. J. Modern Plant & Anim. Sci.1(2): 39-57.

Karuna K, Khan ANA, & Ravikumar MR. 2003.Potential of biocontrol agents in the managementof bacterial wilt of tomato caused by Ralstoniasolanacearum International Bacterial WiltSymposium. <http://www.inra.fr/internet/departement/PATHOV/2nd-IBWS/B3.html>.Diunduh 9 Mei 2003.

Krebs B, Hoding B, Kubart S, Workie MA, Junge H,Schmiedeknecht G, Grosch R, Bochow H, &Hevest M. 1998. Use of Bacillus subtilis asbiocontrol agent. 1. Activities andcharacterization of Bacillus subtilis strains. J.Plant Dis.Prot. 105(2): 181–197.

Lo CT. 1998. General mechanisms of action of microbialbiocontrol agents. Plant Pathol. Bull. 7: 155–166.

Muthoni J, Shimelis H, & Melis R. 2012. Managementof bacterial wilt (Ralstonia solanacearumYabuuchi et al.,1995) of potatoes: opportunityforhost resistance in Kenya. J. Agric. Sci. 4(9):64–78.

Ongena M & Jacques P. 2008. Bacillus lipopeptides:versatile weapons for plant disease biocontrol.Trends Microbiol. 16(3): 115–125.

Pelczar, Michael J, & Chan ECS. 2006. Dasar-DasarMikrobiologi. Universitas Indonesia Press.Jakarta.

Prihatiningsih N. 2013. Aktivitas Antibiosis Bacillus sp.B315 sebagai agensia pengendali hayatiRalstonia solanacearum pada Kentang.Disertasi. Program Pasca Sarjana FakultasPertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Semangun H. 1989. Penyakit-Penyakit TanamanHortikultura di Indonesia. Gadjah MadaUniversity Press. Yogyakarta.

Sitompul SM & Guritno B. 1995. Analisis PertumbuhanTanaman. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Sreeju SN, Babu MM, Mariappan C, & Selvamohan T.2011. Effect of physical and chemical mutagenson biopolmer producing strains and RAPDanalysis of mutated strains. Arch. Appl. Sci. Res.3(6): 233–246.

Van der Plank JE. 1963. Plant Disease: Epidemics andControl. Academic Press, New York.

Yu GY, Sinclair JB, Hartman GL, & Bertagnolli BL. 2002.Production of Iturin A by Bacillussmyloliquefaciens suppressing Rhizoctoniasolani. Soil Biol. Biochem. 34: 955.

Yulianti T, Ibrahim N, & Dalmadiyo G. 1999.Pemanfaatan mikrobia antagonis untukmengendalikan penyakit lincat. ProsidingKongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFII. pp. 632–650.

72 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 72 - 80 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 15, No. 1: 72 – 80, Maret 2015

MEKANISME PARASITISME TRICHODERMA HARZIANUMTERHADAP FUSARIUM OXYSPORUM PADA SEMAI ACACIA MANGIUM

Susanti Tasik1, Siti Muslimah Widyastuti2, & Harjono2

1Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri PapuaJl. Gunung Salju, Amban Manokwari, Papua Barat,

2Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Jl. Agro No. 1, Bulaksumur, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

Mechanism of parasitism of Trichoderma harzianum on Fusarium oxysporum on Acacia mangium seedlings. Fusariumoxysporum is one of the most important soil-borne fungi the causal agent of damping-off disease. Detailed information itneeded to know how the pathogen can be inhibited by Trichoderma harzianum. The objective of this research was toinvestigate the inhibition mechanism of T. harzianum on F. oxysporum in vitro and in planta. Green Flourescent Protein (GFP)T. harzianum was used as biocontrol agent of F. oxysporum. An in vitro inhibition test of T. harzianum was performed usingdual culture method. In the in planta inhibition tests, seedlings of A. mangium were applied with GFP T. harzianum two daysbefore inoculation of F. oxysporum; GFP T. harzianum was simultaneously applied with F. oxysporum and GFP T. harzianumwas applied two days after inoculation of F. oxysporum. The inhibition effect of T. harzianum GFP was observed at sevendays incubation, indicated by attachment of T. harzianum to F. oxysporum hyphae. GFP T. harzianum hyphae covered thecolonies of F. oxysporum at 12 days after incubation. The highest life percentage of A. mangium seedlings was found on thetreatment of GFP T. harzianum two days before inoculation of F. oxysporum (82.22%), whereas the lowest life percentage wasfound on seedling applied with GFP T. harzianum two days after inoculation of F. oxysporum (64.44%).

Key words: Acacia mangium, damping-off, Fusarium oxysporum, green fluorescent protein (GFP), Trichoderma harzianum

ABSTRAK

Mekanisme parasitisme Trichoderma harzianum terhadap Fusarium oxysporum pada semai Acacia mangium. Fusariumoxysporum adalah salah satu jamur patogen tular tanah yang penting dan dapat menyebabkan penyakit rebah kecambah.Informasi terperinci mengenai jamur tersebut diperlukan untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan jamur tersebut dapatdihambat oleh Trichoderma harzianum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme penghambatan T.harzianum terhadap F. oxysporum secara in vitro and in planta. Trichoderma harzianum green fluorescent protein (GFP)digunakan sebagai agen pengendali hayati terhadap F. oxysporum. Pengujian secara in vitro menggunakan metode kulturganda. Susunan perlakuan pada pengujian secara in planta yaitu, aplikasi T. harzianum GFP dua hari sebelum inokulasi F.oxysporum; aplikasi T. harzianum GFP 2 bersamaan dengan inokulasi F. oxysporum; aplikasi T. harzianum GFP dua harisetelah inokulasi F. oxysporum. Pengaruh penghambatan T. harzianum GFP diamati pada tujuh hari setelah inkubasi, indikasinyaialah adanya penempelan hifa T. harzianum GFP pada hifa F. oxysporum. Hifa T. harzianum GFP menutupi koloni F. oxysporumpada 12 hari setelah inkubasi. Rata-rata persentase hidup semai A. mangium tertinggi ditunjukkan pada perlakuan aplikasi T.harzianum GFP dua hari sebelum inokulasi F. oxysporum yaitu sebesar 82,22 %, dan terendah pada perlakuan aplikasi T.harzianum GFP dua hari setelah inokulasi F. oxysporum sebesar 64,44%.Kata kunci: Acacia mangium, Fusarium oxysporum, green fluorescent protein (GFP), rebah kecambah, Trichoderma harzianum

PENDAHULUAN

Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI)merupakan salah satu model pengelolaan hutan yangdapat menjamin ketersediaan bahan baku kayu, terutamauntuk kebutuhan industri secara kontinyu. Sejakdicanangkan tahun 1984, pembangunan HTI terusmengalami peningkatan. Salah satu faktor yang perludiperhatikan dalam peningkatan produktivitas HTI adalah

penggunaan bibit yang unggul dari jenis yang unggul pula.Sebagai salah satu spesies pohon yang penting pada HTI(Hardiyanto & Arisman, 2004), Mangium (Acaciamangium Willd.) juga memiliki beberapa keunggulan.Keunggulan yang dimaksud adalah pertumbuhannyayang cepat (fast growing species) serta kayunyamemiliki sifat yang sesuai untuk bahan baku pulp dankertas, kayu pertukangan, konstruksi ringan dan arang.Untuk menunjang ketersediaan bahan baku, diperlukan

Tasik et al. Mekanisme Parasitisme Trichoderma harzianum 73

bibit A. mangium yang sehat dan jumlah yang cukupguna pencapaian target produksi maksimal yangdiharapkan.

Ketersediaan bibit A. mangium yang sehat,diawali dengan ketersediaan semai yang sehat terutamadari serangan penyakit di persemaian. Semai A.mangium di persemaian sangat rentan terutamaterhadap patogen tular tanah (soil born pathogen).Salah satu patogen tular tanah yang sering menyerangsemai di areal persemaian adalah Fusarium oxysporum.Beberapa semai di persemaian yang dilaporkan terserangpatogen ini, diantaranya semai Pinus merkusii (Achmadet al., 1997), P. Pinea (Machón et al., 2009) danEucalyptus viminalis (Salerno et al., 2000).

Pengendalian terhadap patogen tular tanah dapatdilakukan secara kimia dan hayati. Pengendalian secarakimia menimbulkan dampak negatif lebih banyakdibandingkan dampak positif. Meningkatnya bahayapolusi kimia pada lingkungan, residu pestisida padamakanan dan meningkatnya patogen yang tahanterhadap fungisida merupakan beberapa dampak yangditimbulkan (Widyastuti, 2007). Pengendalian secarahayati memiliki dampak negatif yang hampir tidak ada,karena merupakan metode pengendalian yang mencakuppenggunaan patogen dengan jenis virulensi yang rendah,budidaya tanaman inang yang lebih tahan danpenggunaan mikroorganisme antagonis yangmenghambat kelangsungan hidup atau aktivitas patogendalam menyebabkan penyakit (Widyastuti, 2007).Sebagai salah satu agen pengendali hayati (Bio kontrol),Trichoderma spp. merupakan mikroorganisme yangmemiliki beberapa keunggulan, salah satunya adalahsebagai mikoparasit yang agresif, dimana Trichodermaspp. mampu menyerang patogen yang sebelumnya telahberada di suatu habitat tertentu.

Trichoderma spp. merupakan salah satu agenpengendali hayati yang paling potensial untukdikembangkan sebagai pengendali hayati jamur tanah(Nakas & Hagedorn, 1990). Penelitian yang dilakukanoleh Widyastuti et al. (2003) dan Widyastuti & Hariani(2006) mengindikasikan bahwa Trichoderma efektifuntuk menghambat patogen tular tanah sepertiSclerotium rolfsii, Fusarium sp., Rhizoctonia solanidan F. oxysporum dengan berbagai mekanisme yaitukompetisi, antibiosis dan mikoparasit. Tujuan daripenelitian ini adalah untuk mengetahui mekanismepenghambatan terhadap F. oxysporum penyebabpenyakit rebah semai pada semai A. mangiummenggunakan T. harzianum.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan diLaboratorium Perlindungan dan Kesehatan Hutan danLaboratorium Struktur dan Sifat Kayu, FakultasKehutanan, Universitas Gadjah Mada sertaLaboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT)Unit III, Universitas Gadjah Mada pada bulan Januarihingga Maret 2010.

Isolasi Fusarium oxysporum, Trichodermaharzianum GFP dan Semai Acacia mangium. IsolatF. oxysporum merupakan koleksi LaboratoriumPerlindungan dan Kesehatan Hutan Universitas GadjahMada yang diisolasi dari semai A. mangium sakit umur2 minggu yang menunjukkan gejala rebah semai. IsolatT. harzianum GFP merupakan koleksi Dr. AgusPurwantara peneliti pada Balai Bioteknologi PerkebunanIndonesia-Bogor). Semai A. mangium diperoleh denganmenumbuhkan bibit A. mangium pada media tanahsteril.

Pengendalian Fusarium oxysporum denganTricoderma harzianum In Vitro. Daya antagonistikT. harzianum terhadap F. oxysporum diujimenggunakan metode dual culture yang dimodifikasidari Goltapeh & Danesh (2006). Fusarium oxysporumditumbuhkan 2 hari lebih awal dari T. harzianum GFPpada suhu ruangan 25 oC. Hal ini dikarenakanpertumbuhan koloni T. harzianum GFP lebih cepatdibandingkan koloni F. oxysporum. Jarak antara koloniF. oxysporum dan T. harzianum GFP adalah 3 cm,dengan jarak dari masing-masing tepi cawan Petriadalah 3 cm. Untuk pengamatan mikroskopis, diberigelas benda di antara koloni F. oxysporum dan T.harzianum GFP. Pengamatan secara makroskopisdilakukan sebelum dan setelah terjadi kontak antar hifaserta setelah koloni T. harzianum GFP terlihat telahmenutupi seluruh koloni F. oxysporum. Sedangkanpengamatan secara mikroskopis dilakukan setelah terjadikontak antar hifa. Pengukuran terhadap daya hambatsecara in vitro dari T. harzianum dilakukan denganmengukur diameter koloni F. oxysporum (kontrol) yangditumbuhkan pada media PDA tanpa T. harzianum GFPdan diameter koloni F. oxysporum yang ditumbuhkandengan T. harzianum GFP pada waktu yang sama.Pengukuran dilakukan hingga masa inkubasi 10 hari.

74 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 72 - 80

Perhitungan persentase penghambatan berdasarkanrumus :

dengan :C = daya hambata = rerata luas kontrol (koloni F. oxysporum)b = rerata luas koloni F. oxysporum dengan T.harzianum GFP

In Planta. Aplikasi in planta dilakukan denganmenggunakan 4 unit perlakuan, yaitu semai A. mangiumsehat (kontrol), aplikasi T. harzianum GFP dua harisebelum inokulasi F. oxysporum; aplikasi T. harzianumGFP 2 bersamaan dengan inokulasi F. oxysporum;aplikasi T. harzianum GFP dua hari setelah inokulasi F.oxysporum. Ulangan yang dilakukan adalah sebanyak3 ulangan/3 pot dengan jumlah semai A. mangium untuktiap ulangan sebanyak 15 semai. Total benih semai A.mangium yang dibutuhkan untuk aplikasi in planta tiapulangan sebanyak 45 semai. Selanjutnya semai A.mangium sehat diinokulasi dengan suspensi spora F.oxysporum dan T. harzianum GFP sesuai dengankombinasi telah ditetapkan. Umur semai saat diinokulasiadalah 7 hari dan pengamatan dilakukan setelah 2, 6,dan 12 hari setelah inokulasi. Pengamatan yang dilakukanmeliputi gejala dan tanda serta persentase jumlah semaiyang hidup pada akhir pengamatan untuk masing-masingperlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penghambatan Trichoderma harzianum GFPterhadap Fusarium oxysporum. Trichodermaharzianum GFP digunakan sebagai agen pengendalihayati terhadap F. oxysporum sebagai jamur patogenpada semai A. mangium. Hasil pengamatan secaramakroskopis menunjukkan bahwa biakan murniT. harzianum GFP (Gambar 1) berwarna hijau dan putihkekuning-kuningan, sedangkan secara mikroskopis hifaT. harzianum GFP terlihat berbeda ketika dilihatdibawah mikroskop fluoresen dan mikroskop cahaya(Gambar 2).

Aplikasi in Vitro. Miselium F. oxysporum danT. harzianum GFP mulai bersinggungan dan terjadikontak pada hari ke-4 setelah T. harzanium GFPditanam. Trichoderma harzianum GFP mulai tumbuhdan menutupi koloni F. oxysporum pada hari ke-10setelah terjadi kontak (Gambar 3). Persentase dayahambat mulai meningkat hingga mencapai 79,55% (masainkubasi 12 hari) yang dimulai dari 6,99% (masa inkubasi

5 hari) (Gambar 4). Hal tersebut mengindikasikanadanya kemampuan T. harzianum GFP sebagai agenpengendali hayati yang mempunyai kemampuanmikoparasit, yaitu kemampuan dalam hal memproduksienzim-enzim ekstraseluler yang dapat merusak dindingsel jamur lain dan kemudian digunakan sebagai sumbermakanan (Harjono & Widyastuti, 2001).

Daya antagonistik T. harzianum GFP terhadapF. oxysporum dengan metode dual culture pada 7 harimasa inkubasi menunjukkan bahwa terjadi prosespenempelan hifa T. harzianum GFP terhadap hifaF. oxysporum pada daerah kontak (Gambar 5A) dantidak terjadi pelilitan. Penempelan merupakan tahapanketiga dari pola interaksi mikoparasitisme yang dimilikioleh Trichoderma spp. Tahapan pertama dari polainteraksi mikoparasitisme antara Trichoderma spp.dengan jamur patogen adalah pertumbuhan kemotropik,dimana pada tahap ini terjadi proses rangsangan kimiawidari inang terhadap fungi antagonis. Tahap kedua adalahpengenalan atau rekognisi, pada tahap ini pada beberapakasus bersifat spesifik sehingga sifat antagonistikTrichoderma spp. hanya efektif untuk fungi patogentertentu. Tahap keempat adalah penguraian dinding selinang, terkait dengan enzim-enzim yang dihasilkan.Kemampuan Trichoderma spp. dalam menghasilkanenzim pengurai dinding sel (kitinolitik, selulolitik danglukanolitik) telah diteliti dan diuji kemampuannya (Kucuk& Kivan, 2003; Widyastuti et al., 2001; Witkowska &Maj, 2002). Selanjutnya seiring dengan bertambahnyamasa inkubasi (Gambar 5C) interaksi antaraT. harzianum GFP dengan F. oxysporum ditunjukkanmelalui kemampuan mikoparasitisme yaituT. harzianum GFP mampu tumbuh dan menutupisebagian besar koloni F. oxysporum. Kemampuanmikoparasitisme adalah kemampuan mikrobamemproduksi enzim ekstraseluler untuk merusak dindingsel fungi lain yang kemudian digunakan sebagai sumbermakanan (Harjono & Widyastuti, 2001). HTh

Aplikasi in Planta. Aplikasi in planta dilakukan untukmengetahui efektivitas T. harzianum GFP terhadapF. oxysporum di lapangan, karena kedua jamur tersebuthidup pada rhizosfer. Inokulasi semai A. mangiumdengan T. harzianum GFP terlebih dahulu yaitu 2 harisebelum inokulasi F. oxysporum, terlihat bahwa semaidalam kondisi sehat yaitu saat semai berumur 9 hari(Gambar 6A). Miselium F. oxysporum mulai terlihatpada hari ke-6 setelah inokulasi yaitu pada saat umursemai A. mangium 13 hari (Gambar 6B). Pada akhirpengamatan yaitu pada hari ke-12 setelah inokulasi, yaitusaat semai berumur 19 hari terdapat semai A. mangiumyang mati (Gambar 6C).

100% a

b- a C

Tasik et al. Mekanisme Parasitisme Trichoderma harzianum 75

Gambar 1. Trichoderma harzianum GFP

A

Gambar 2. Hifa Trichoderma harzianum GFP. (A) Hifa T. harzianum GFP (mikroskop fluoresen), (B) Hifa T.harzianum GFP (mikroskop cahaya). (Bar = 200 µm)

A B

C D

Gambar 3. Daya antagonistik Trichoderma harzianum GFP terhadap Fusarium oxysporum secara makroskopis.(Th) T. harzianum GFP; (Fo) F. oxysporum; 4 hari inkubasi (A); 7 hari inkubasi (B); 10 hari inkubasi(C); 12 hari inkubasi (D)

76 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 72 - 80

Gambar 4. Daya hambat Trichoderma harzianum GFP terhadap Fusarium oxysporum

Gambar 5. Daya Parasitisme Trichoderma harzianum GFP terhadap Fusarium oxysporum secara mikroskopis.(A) Hasil foto dengan mikroskop cahaya umur 7 hari inkubasi; (B) Hasil foto dengan mikroskopfluoresen umur 7 hari inkubasi; (C) Hasil foto dengan mikroskop cahaya umur 12 hari inkubasi; (D)Hasil foto dengan mikroskop fluoresen umur 12 hari inkubasi; (HFo) Hifa F. oxysporum, (HTh) HifaT. harzianum GFP. (Bar = 200 µm)

Tasik et al. Mekanisme Parasitisme Trichoderma harzianum 77

Gambar 6. Pengaruh Trichoderma harzianum GFP 2 hari sebelum inokulasi Fusarium oxysporum terhadapsemai Acacia mangium. Umur semai (A) 9 hari, (B) 13 hari, (C) 19 hari

Perlakuan semai A. mangium yang diinokulasiF. oxysporum dan T. harzianum GFP secarabersamaan menunjukkan bahwa pada hari ke-2 setelahdiinokulasi, yaitu saat semai A. mangium berumur 9 harimasih terlihat berada dalam kondisi sehat dan belumterlihat adanya miselium F. oxysporum berwarna putihyang menutupi semai A. mangium (Gambar 7A). Padahari ke-6 setelah diinokulasi yaitu pada saat semaiA. mangium berumur 13 hari sudah mulai terlihat adanyatanda yang ditunjukkan, yaitu dengan munculnyamiselium F. oxysporum yang berwarna putih (Gambar7B). Pada hari ke-13 (Gambar 7C) setelah inokulasiatau pada akhir pengamatan yaitu saat berumur 19 harisebagian besar semai telah mati.

Inokulasi semai A. mangium denganF. oxysporum 2 hari sebelum apliaksi T. harzianumGFP, menunjukkan bahwa pada hari ke-2 setelahinokulasi saat semai berumur 9 hari masih terlihat sehat(Gambar 8A), namun pada hari ke-6 setelah inokulasimiselium F. oxysporum terlihat menutupi semaiA. mangium (Gambar 8B), begitu juga pada akhirpengamatan yaitu 12 hari setelah inokulasi saat semaiberumur 19 hari, miselium F. oxysporum terlihatmenutupi permukaan tanah dan sebagian besar telahmenutupi semai A. mangium sehingga lebih banyaksemai yang mati (Gambar 8C).

Berdasarkan tiga unit per lakuan yangdiaplikasikan pada semai A. mangium, terbukti bahwaapliaksi T. harzianum GFP 2 hari sebelum inokulasiF. oxysporum lebih efektif dibandingkan aplikasiT. harzianum GFP dan F. oxysporum bersamaan daninokulasi F. oxysporum 2 hari sebelum inokulasiT. harzianum GFP. Hal ini ditunjukkan dengankeberadaan miselium F. oxysporum yang cenderunglebih sedikit (Gambar 6) seiring bertambahnya umursemai dibandingkan dua unit perlakuan lainnya (Gambar7 dan 8). Grondona et al. (1997) menyatakan bahwapemanfaatan T. harzianum telah terbukti menghambat

beberapa jamur tular-tanah diantaranya patogenF. oxysporum. Inokulasi T. harzianum GFP danF. oxysporum secara bersamaan juga menunjukkanhasil yang lebih baik dibandingkan inokulasiF. oxysporum 2 hari sebelum inokulasi T. harzianumGFP. Jamur di dalam tanah hidup bersama-sama denganmikroba antagonis yang menyebabkan lingkunganmenjadi miskin zat makanan dan terdapatnya metabolityang beracun, yang berakibat pada ketidakmampuanspora jamur dalam berkecambah dan bereproduksi(Agrios, 2005). Pernyataan tersebut mengindikasikanadanya pengaruh dari keberadaan T. harzianum GFPyang walaupun diaplikasikan bersamaan denganF. oxysporum, namun dapat menunjukkan dayaantagonisnya yang ditandai dengan berkurangnyamiselium F. oxysporum pada akhir pengamatan biladibandingkan dengan perlakuan inokulasi F. oxysporum2 hari sebelum aplikasi T. harzianum GFP. InokulasiF. oxysporum 2 hari sebelum aplikasi T. harzianumGFP menunjukkan hasil yang paling tidak efektif. Halini dikarenakan F. oxysporum terlebih dahulu berada disemai dan tanah sehingga kemampuan T. harzianumGFP sebagai agen pengendali hayati tidak terlaluberpengaruh nyata, terlihat dengan banyaknya miseliumF. oxysporum pada akhir pengamatan, baik pada semaimaupun permukaan tanah dibanding dua unit perlakuanlainnya (Gambar 8).

Persentase hidup semai A. mangium setelahdiinokulasi dengan tiga unit perlakuan yang berbedamenunjukkan pola yang berbeda (Gambar 9). SemaiA. mangium yang diapliaksikan dengan T. harzianumGFP 2 hari sebelum inokulasi F. oxysporummenghasilkan rata-rata persentase hidup semai yanglebih tinggi (82,22%), dilanjutkan dengan semaiA. mangium yang diaplikasikan dengan T. harzianumGFP dan F. oxysporum secara bersamaan (71,11%)dan semai A. mangium yang diinokulasi denganF. oxysporum 2 hari sebelum aplikasi T. harzianum

78 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 72 - 80

Gambar 7. Pengaruh inokulasi Trichoderma harzianum GFP dan Fusarium oxysporum secara bersamaanterhadap semai A. mangium. Umur semai (A) 9 hari, (B) 13 hari, (C) 19 hari setelah berkecambah.

Gambar 8. Pengaruh inokulasi Fusarium oxysporum 2 hari sebelum inokulasi Trichoderma harzianum GFPterhadap semai Acacia mangium. Umur semai 9 hari (A), 13 hari (B), 19 hari (C)

Gambar 9. Persentase hidup semai Acacia mangium setelah diinokulasi Trichoderma harzianum GFP dan Fusariumoxysporum. (K) Kontrol, (Th2) Inokulasi T. harzianum GFP 2 hari sebelum inokulasi F. oxysporum,(Th2 GFP dan Fo2) Inokulasi T. harzianum GFP dan F. oxysporum secara bersamaan, (Fo2) InokulasiF. oxysporum 2 hari sebelum inokulasi T. harzianum GFP

Tasik et al. Mekanisme Parasitisme Trichoderma harzianum 79

GFP yang menunjukkan rata-rata persentase hidup semaiterendah (64,44%). Hasil tersebut membuktikan bahwakeberadaan T. harzianum GFP sangat efektif danberpengaruh nyata terhadap persentase hidup semai A.mangium bila diaplikasikan terlebih dahulu ke tanah disekitar perakaran semai A. mangium. Mousseaux etal. (1998) melaporkan bahwa aplikasi T. harzianumterlebih dahulu lalu dilanjutkan dengan inokulasicampuran T. harzianum dan F. oxysporum pada semaiDouglas-fir (Pseudotsuga menziesii var. glauca[Beissn.] Franco) terbukti efektif mengurangi tingkatkematian semai hingga 50%.

Kesimpulan secara keseluruhan menunjukkanbahwa F. oxysporum secara in vitro melakukanpenetrasi melalui stomata pada permukaan pangkalbatang semai A. mangium, masuk hingga ke jaringanpembuluh floem dan xylem secara interseluler melaluiruang antar sel. Terjadi reaksi hipersensitif danakumulasi lignin akibat infeksi F. oxysporum. Secarain vitro, kemampuan antagonistik T. harzianum GFPterlihat yaitu melalui penempelan pada hifa F. oxysporumkemudian menguasai koloni F.oxysporum dengan caratumbuh memenuhi koloni F. oxysporum (12 hariinkubasi). Secara in planta, rata-rata persentase hidupsemai A. mangium tertinggi ditunjukkan pada perlakuaninokulasi T. harzianum GFP 2 hari sebelum inokulasi F.oxysporum (82,22%) dan terendah pada perlakuaninokulasi F. oxysporum 2 hari sebelum inokulasi T.harzianum GFP (64,44%).

SIMPULAN

Mekanisme penghambatan terhadap Fusariumoxysporum oleh Trichoderma harzianum pada semaiAcacia mangium adalah mekanisme parasitisme. Halini terlihat dengan adanya penempelan pada umur 7 harimasa inkubasi hingga pertumbuhan hifa T. harzianumyang tumbuh dan menutupi hifa F. oxysporum umur 12hari masa inkubasi (secara in vitro). Secara in planta,daya parasitisme T. harzianum terhadap F. oxysporumterlihat melalui ra ta-rata persen hidup semaiA. mangium. Rata-rata persentase hidup semaiA. mangium tertinggi ditunjukkan pada perlakuanaplikasi T. harzianum 2 hari sebelum inokulasiF. oxysporum sebesar 82,22%, dan terendah padaperlakuan inokulasi F. oxysporum 2 hari sebelumaplikasi T. harzianum sebesar 64,44%.

SANWACANA

Ucapan terima kasih disampaikan kepada TanotoFoundation atas dana yang diberikan, sehingga penelitianini dapat terlaksana.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad SH, Harran S, Sa’id EG, Satiawihardja B, &Kardin K. 1997. Biochemical defense of Pinusmerkusii seedlings against damping-offpathogens. Proceedings of the 6 th

International Workshop of BIO-REFOR .Brisbane. Australia. December 2-5, 1997.

Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Elsivier AcademicPress USA.

Goltapeh EM & Danesh YR. 2006. Pathogenicinteractions between Trichoderma species andAgaricus bisporus. J. Agric. Technol. 2(1):29–37.

Grondona I, Hermosa R, Tejada M, Gomis MD, MateosPF, Bridge PD, Monte E, & Garcia-acha I. 1997.Physiological and biochemical characterizationof Trichoderma harzianum, a biological controlagent against soilborne fungal plant pathogens.Appl. Environ. Microbiol. 63: 3189–3198.

Hardiyanto EB & Arisman H. 2004. PembangunanHutan Tanaman Acacia mangium:Pengalaman di Sumatera Selatan Musi HutanPersada. PT. Musi Hutan Persada. Palembang.Sumatera Selatan.

Harjono & Widyastuti SM. 2001. Permurnian dankarakteristik enzim endokitinase dari agenpengendali hayati Trichoderma reesei. J.Perlind. Tan. Indones. 7(1): 114–120.

Küçük Ç & Kivanç M. 2003. Isolation of Trichodermaspp. and determination of their antifungal,biochemical and physiological features. Turk.J. Biol. 27: 247–253.

Machón P, Pajares JA, Diez JJ, & Alves-Santos FM.2009. Influence of the ectomycorrhizal fungusLaccaria laccata on pre-emergence, post-emergence and late damping-off by Fusariumoxysporum and F. verticillioides on stone pineseedlings. Symbiosis 49(2): 101–109.

80 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 72 - 80

Mousseaux MR, Dumroese RK, James RL, Wenny DL,& Knudsen GR. 1998. Effcacy of Trichodermaharzianum as a biological control of Fusariumoxysporum in container-grown Douglas-firseedlings. New Forest. 15(1): 11–21.

Nakas JP & Hagedorn C. 1990. Biotechnology ofPlant-Microbe Interactions. McGraw-Hill.New York.

Salerno ML, Gianinazzi S, & Gianinazzi-Pearson V.2000. Effects on growth and comparison of roottissue colonization patterns of Eucalyptusviminalis by pathogenic and nonpathogenicstrains of Fusarium oxysporum. New Phytol.146(2): 317–324.

Widyastuti SM. 2007. Peran Trichoderma dalamRevitalisasi Kehutanan di Indonesia. GadjahMada University Press. Yogyakarta.

Widyastuti SM, Harjono, Sumardi, & Yuniarti D. 2003.Biological control of Sclerotium rolfsiidamping-off with three isolates of Trichodermaspp. Online J. Biol. Sci. 3(1): 95–102.

Widyastuti SM, Sumardi, & Sumantoro P. 2001.Efektivitas Trichoderma spp. sebagaipengendali hayati terhadap tiga patogen tulartanah pada beberapa jenis tanaman kehutanan.J. Perlind. Tan. Indones. 7(2): 98–107.

Witkowska D & Maj A. 2002. Production of lyticenzymes by Trichoderma spp. and their effecton the growth of phytopathogenic fungi. FoliaMicrobiol. 47(3): 279–282.

Suswati et al. Penapisan Limbah Pertanian (Sabut Kelapa dan Arang Sekam) 81 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 15, No. 1: 81 – 88, Maret 2015

PENAPISAN LIMBAH PERTANIAN (SABUT KELAPA DAN ARANG SEKAM)DALAM PENINGKATAN KETAHANAN BIBIT PISANG BARANGAN

BERMIKORIZA TERHADAP BLOOD DISEASE BACTERIUMDAN FUSARIUM OXYSPORUM F.SP. CUBENSE

Suswati1, Asmah Indrawati1, & Deddi Prima Putra2

1Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Medan AreaJl. Kolam No 1 Medan Estate 20223

2Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Kampus Unand Limau Manis. 25163Email: [email protected]

ABSTRACT

Agricultural waste screening (coconut fibre and chaff charcoal) in improving the resistance of Mychorrizae Baranganseedling to Blood diseases bacterium and Fusarium oxysporum f. sp. cubense. The application of soil and compost are verygeneral in Barangan banana seedling. However, those media always contaminated by BDB and Foc propagul. This researchwas intended to examine the influence of planting media composition (soil, coconut fibre and chuff charcoal) in improving theresistance of Mychorrizae Barangan banana seedling to blood diseases bacterium dan Fusarium oxysporum f sp.cubense.Some experiments conducted in wirehouse using a randomized complete block design application of two subtracts for soilsubstitution included to either coconut fibre (A) or chuff charcoal (B) (v:v) completed by 6 treatments of each: A0 = 100% soilmedia, A1 = 50% soil + 50% chuff charcoal, A2 = 50% soil + 25% chuff charcoal + 25% sand, A3 = 25% soil + 50% chuff charcoal+ 25% sand; A4 = 75% chuff charcoal + 25% sand, A5 = 100% chuff charcoal, B0 = 100% soil, B1 = 50% soil + 50 % chuffcharcoal; B2 = 50% soil + 25 % coconut fiber + 25% sand, B3 = 25% soil +50% coconut fiber +25% sand; B4 = 75% coconutfiber + 25% sand, B5 = 100% coconut fiber. The soil generated from banana seedling area of Sempakata village that seriouslyinfected BDB and Foc. The observation variables encompassed percentage of disease attack, density of BDB and Foc.population, period of pathogen incubation and measurement of Barangan seed and AMF colonization resistance development.The results indicated the planting of Mychorrizae Barangan banana seeds applied diminishing soil media as much as 25–100%substituted by chuff charcoal or coconut fiber increased the seed resistance of BDB and Foc.

Key words: BDB, Barangan, chuff charcoal, coconut fiber, Foc

ABSTRAK

Penapisan limbah pertanian (sabut kelapa dan arang sekam) dalam peningkatan ketahanan bibit pisang baranganbermikoriza terhadap Blood Disease Bacterium (BDB) dan Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc). Pemanfaatan mediatanam tanah dan pupuk kandang sangat umum digunakan dalam pembibitan tanaman pisang Barangan. Media tanam tanahsering kali terkontaminasi oleh propagul BDB dan Foc. Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh komposisi media tanam(tanah, arang sekam dan sabut kelapa) dalam meningkatkan ketahanan bibit pisang Barangan bermikoriza terhadap BDB danFoc.Penelitian ini dilakukan di rumah kawat dengan menggunakan rancangan acak kelompok dengan perlakuan subsitusitanah dengan 2 jenis substrat yaitu arang sekam (A) atau sabut kelapa (B) (v:v) dengan 6 perlakuan: A0 = media tanah 100%,A1 = 50% tanah + 50% sekam padi , A2 = tanah 50% + 25% arang sekam + 25% pasir, A3 = 25% tanah + 50% arang sekam + 25%pasir; A4 = 75% arang sekam + 25% pasir, A5 = 100% arang sekam, B0 = 100% tanah, B1 = 50% tanah + 50% sabut kelapa; B2= 50% tanah + 25% sabut kelapa + 25% pasir, B3 = 25% tanah + 50% sabut kelapa + 25% pasir; B4 = 75% sabut kelapa + 25%pasir, B5 = 100% sabut kelapa. Tanah yang digunakan berasal dari pertanaman pisang yang terserang BDB dan Foc di DesaSempakata.Variabel pengamatan: persentase serangan penyakit, intensitas penyakit, kepadatan populasi BDB dan Foc, masainkubasi patogen, kemudian dihitung efektivitas peningkatan ketahanan bibit Barangan dan kolonisasi FMA. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa penanaman bibit pisang Barangan bermikoriza dapat dilakukan dengan pengurangan media tanam tanahsebesar 25–100% yang disubsitusi dengan penambahan arang sekam atau sabut kelapa. Aplikasi FMA dan perbaikan komposisimedia tanam dapat meningkatkan ketahanan tanaman pisang Barangan terhadap BDB dan Foc.

Kata kunci: arang sekam, BDB, Barangan, Foc, sabut kelapa

82 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 81 - 88

PENDAHULUAN

Untuk mendapatkan pisang Barangan Medandengan kualitas kelas mutu A dan kelas B yangmemenuhi SNI-01-6153-1999 sudah sangat sulitditemukan di pasar-pasar buah di kota Medan. Hal inidisebabkan karena rendahnya produksi buah dengankualitas kelas tersebut. Rendahnya produksi dan kualitasbuah disebabkan karena tingginya persentase danintensitas serangan penyakit layu Fusarium yangdisebabkan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc).Persentase serangan dan intensitas serangan penyakitditemukan dalam jumlah tinggi di sentra pertanamanpisang Barangan rakyat di kecamatan STM Hulu danSTM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi SumateraUtara. Tanaman pisang Barangan yang terserangpenyakit layu Fusarium tampak merana, daun mengeringdimulai dari daun tertua, pada kondisi terparahditemukan seluruh daun pisang mengering sementarabuah masih muda. Serangan penyakit layu Fusariumdapat ditemukan pada semua fase pertumbuhan tanamanyaitu pada anakan, tanaman belum menghasilkan dantanaman yang sudah berbuah. Gejala serangan Foc danBlood Disease Bacterium (BDB) sering ditemukanterjadi secara bersamaan pada satu areal pertanamanpisang Barangan.

Serangan penyakit layu Fusarium merupakanancaman serius terhadap keberadaan pisang Barangandi Sumatera Utara. Berdasarkan informasi terbaruditemukan bahwa tingginya serangan Foc berkaitan eratdengan adanya perubahan adaptasi Foc terhadap kultivarpisang yang diserang dan pisang Barangan merupakanjenis pisang yang tergolong sangat rentan terhadap Foc.Menurut Jumjunidang et al. (2011), semua isolat Focyang diisolasi dari pisang Barangan adalah VCG(vegetatif compatibilitas group) 01213/16 yang dikenalsebagai Foc ras 4 tropika (TR4). TR4 merupakankelompok yang paling dominand itemukan yaitu 37,8%dari 400 isolat yang dikumpulkan dari seluruh Indonesia.Isolat tersebut tersebar mulai dataran rendah (2 m dpl)hingga dataran tinggi (1085 m dpl), selain itu propagulinfektif Foc dapat bertahan 20-40 tahun sedang propagulBDB dapat bertahan 1-2 tahun dalam tanah tanpakehilangan virulensinya.

Penggunaan bibit pisang yang sehat dan tahanterhadap penyakit merupakan solusi dalam menghadapitingginya serangan penyakit layu Fusarium. Untukmendapatkan bibit yang seragam dalam jumlah besardapat diperoleh melalui perbanyakan secara kulturjaringan, tetapi bibit ini memerlukan perlakuan khususselama masa aklimatisasi dan pembibitan.

Untuk meningkatkan pertumbuhan dan ketahananbibit pisang Barangan terhadap Foc dan BDB diperlukanadanya inovasi teknologi dalam pembibitan pisang.Aplikasi FMA pada periode aklimatisasi dan perbaikankomposisi media tanam pada pembibitan tanaman pisangdiharapkan dapat menjadi solusi. Perbaikan komposisimedia tanam merupakan salah satu unsur penting dalammenunjang pertumbuhan dan kesehatan tanaman. Jenismedia tanam akan memberikan pengaruh yang berbedaterhadap pertumbuhan tanaman (Hajrah, 1997). Padaumumnya media pembibitan pisang terdiri dari campurantanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1.Penambahan limbah pertanian sabut kelapa dan arangsekam dapat meningkatkan porositas media tanamdisamping dapat meningkatkan jumlah ketersediaanbahan organik. Arang sekam kaya akan karbon dan sabutkelapa kaya akan Kalium disamping unsur hara lainnya.Hingga kini masih jarang digunakan arang sekam dansabut kelapa dalam pembibitan tanaman pisang padahalketersediaan bahan baku kedua media tanam tersebutsangat berlimpah.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan dirumah kawat dan laboratorium program studiAgroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas MedanArea, dimulai dari bulan Maret sampai dengan Juli 2013.

Persiapan Planlet Pisang Barangan, Aplikasi FMAdan Penanaman Bibit Pisang. Planlet pisang yangdigunakan adalah kultivar Barangan hasil perbanyakanin vitro yang berasal dari perusahaan swasta kulturjaringan, Bogor. Planlet pisang dikeluarkan dari dalambotol, dicuci dengan air yang mengalir hingga media agartidak melekat, selanjutnya dikeringanginkan. Untukmerangsang pembentukan akar maka akar planletdigunting sampai tinggal 2 cm. Planlet pisang Barangandiaklimatisasi pada media campuran arang sekamdengan pasir steril (2:1). Campuran tersebut dimasukkanke dalam polybag ukuran 12 x 15 cm. Aplikasi FMAbersamaan waktunya dengan aklimatisasi planlet.Sumber inokulan FMA yang digunakan adalah dalambentuk campuran media tanam pasir yang mengandungspora, hifa eksternal dan potongan akar tanaman jagungyang terkolonisasi FMA. Sebanyak 50 g inokulan FMAyang mengandung ± 100 spora per planlet pisangBarangan. Bagian tengah media aklimatisasi dibuatlubang sedalam ± 5 cm, kemudian 50 g inokulan FMAditabur selanjutnya ditutup dengan selapis tanah (2 cm)kemudian di atasnya ditanam planlet. Polybag yang berisi

Suswati et al. Penapisan Limbah Pertanian (Sabut Kelapa dan Arang Sekam) 83

planlet pisang Barangan disusun di dalam sungkup plastiktransparan yang diberi naungan paranet 60%. Planletdiaklimatisasi selama 14 hari.

Bibit pisang Barangan umur 14 hari dipindahkanpada polybag perbesaran yang berisi 8 kg media tanamtanah yang berasal dari pertanaman pisang yangterserang berat BDB dan Foc dari Desa Sempakatayang dicampur dengan arang sekam dan sabut kelapa.

Rancangan percobaan yang digunakan adalahrancangan acak kelompok (RAK) berdasarkan jenismedia yang digunakan yaitu media arang sekam (A)dan sabut kelapa (B) dengan 6 taraf perlakuan.Perlakuan tersebut yaitu A0 = 100% tanah; A1 = 50%tanah + 50% arang sekam; A2 = 50% soil + 25% arangsekam + 25% pasir A3 = 25% tanah + 50% arang sekam+ 25% pasir; A4 = 75% arang sekam + 25% pasir; A5= 100% arang sekam; B0 = 100% tanah; B1 = 50%tanah+50% sabut kelapa; B2 = 50% tanah + 25% sabutkelapa + 25% pasir; B3 = 25% tanah + 50% sabut kelapa+ 25% pasir; B4 = 75% sabut kelapa + 25% pasir; B5 =100% sabut kelapa. Setiap perlakuan terdiri dari 15 unitsampel dengan masing-masing ulangan 3 kali.

Pada saat pemindahan bibit ke media tanamperlakuan sekaligus dilakukan pemupukan dengan Urea,NPK dan KCl. Pemupukan selanjutnya dilakukan sekalisebulan dengan 25% dosis rekomendasi (untuk 1 hapisang memerlukan 207 kg urea, 138 kg super fosfatdan 608 kg KCl (Subakti & Supriyanto, 1996).Penyiraman bibit dilakukan setiap hari dengan 200 mlair kran. Penyiangan gulma dan pengendalian hamadilakukan secara mekanik.

Pengamatan. Pengamatan dilakukan terhadappersentase serangan dan intensitas penyakit.Pengamatan persentase serangan dilakukan sejakmunculnya gejala hingga tanaman berumur 56 HSTdengan interval pengamatan 7 hari. Persentase serangandihitung dengan menggunakan rumus:

dengan:P = Persentase seranganJTP = Jumlah tanaman setiap perlakuanJTM = Jumlah tanaman terserang patogen

Intensitas penyakit pada daun dihitung pada daunyang menguning atau bergejala yang diamati padatanaman umur 7-56 HST menggunakan rumus:

100% JTM) - (JTP P

100% Z N

n) (S IP

dengan:IP = Intensitas penyakit pada daunS = Nilai skalan = Jumlah tanaman setiap skalaN = Jumlah tanaman seluruhnyaZ = Skala/skoring tertinggi dari daun

Skoring kerusakan berdasarkan skala Mohamedet al. (1999), yaitu:1 = Tidak ada gejala pada daun (tanaman sehat)2 = 1-10% daun menguning/bergejala3 = 11-25 daun menguning/bergejala4 = 26-50% daun menguning/bergejala5 = > 50% daun menguning/bergejala6 = tanaman mati

Keefektifan FMA menekan intensitas penyakitdan memperlambat masa inkubasi patogen dihitungberdasarkan rumus Sivan & Chet (1986):

dengan:Ei = Efektivitas penekanan intensitas penyakitIPk = Intensitas penyakit pada kontrol (media tanah)IPp = Intensitas penyakit pada perlakuan

Efektivitas FMA dalam memperlambat masainkubasi dihitung dengan menggukan rumus:

dengan:Em = Efektifan FMA memperlambat masa inkubasiMPk = Masa inkubasi BDB/Foc pada kontrol (tanpa

perlakuan)MPp = Masa inkubasi pada perlakuan

Kepadatan propagul Fusarium total dihitung padatanaman umur 28 hsa dengan menghitung langsung Focdalam sampel media tanam. Sebanyak 1 g media tanamdimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml airsteril, dilakukan pengenceran seri dan dihitung denganhaemositometer. Kepadatan populasi BDB pada mediatanam bibit pisang dihitung menggunakan metodepengenceran seri (10-6,10-8,10-10). Sebanyak 100 µLsuspensi hasil pengenceran seri dimasukkan ke dalamcawan petri yang berisi 15 ml medium TetrazoliumChloride (TZC) dilakukan secara terpisah untuk setiappengenceran). Cawan petri yang berisi biakan BDBdiinkubasi pada suhu 29 oC selama 48 jam.

100% IPk

IPp -IPk Ei

100% MPk

MPp -MPk EM

84 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 81 - 88

Kepadatan populasi BDB dihitung menggunakanrumus Klement et al. (1990):

dengan:JB = Jumlah bakteriA = Jumlah koloni bakteriB = Faktor pengenceran

Kolonisasi FMA diamati pada potongan akarpisang Barangan umur 84 hsa yang telah diwarnaidengan asam Fuchsin (Sukarno, 1998) dan dihitungdengan rumus Kormanik et al. (1980):

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengansidik ragam (ANOVA), apabila terdapat perbedaan yangnyata akan dilanjutkan dengan uji Duncan New MultipleRange Test (DNMRT) pada taraf 5% (Gomez & Gomez,1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aplikasi FMA pada planlet pisang Barangan saataklimatisasi dapat meningkatkan ketahanan tanamanpisang Barangan terhadap BDB dan Foc. Penanamanbibit pisang Barangan bermikoriza dalam media tanamcampuran arang sekam atau sabut kelapa secara nyatadapat meningkatkan ketahanan Barangan terhadap BDBdan Foc. Hingga 120 hari setelah tanam tidak ditemukanadanya serangan BDB. Gejala serangan Foc ditemukanpada beberapa tanaman dengan persentase serangandan intensitas serangan yang rendah yaitu masing-masing5–8,5% dan 5% dibanding kontrol (100% tanah) yaitusebesar 20% dan 10% (Tabel 1). Pada perlakuan A2(50% tanah + 25% arang sekam + 25% pasir) seranganFoc sebesar 8,5% sementara pada perlakuan A3, B1,B2, B3 dan B5 lebih rendah yaitu 5%. Penguranganmedia tanam tanah yang disubsitusi sebagian atauseluruhnya dengan substrat arang sekam dan sabutkelapa sebesar 25–100% dapat menekan persentaseserangan dan intensitas penyakit dengan efektivitaspenekanan sebesar 57,5–100% dan 50–100%.

Berkurangnya persentase serangan dan intensitaspenyakit kedua patogen diduga berkaitan erat dengansemakin baiknya perkembangan FMA pada perakarantanaman pisang. Penambahan arang sekam dan sabutmenyebabkan perbaikan sifat fisik dan kimia mediatanam disamping itu kedua substrat tersebut kaya akannutrisi hara. Menurut Savithri et al. (1993), sabut kelapa

B A JB

100% diamati yangakar

lonisasiakar terko akar kolonisasi %

kaya Kalium dan hara mikro (Fe, Mn, Zn, danCu).Disamping itu substrat sabut kelapa dapatmeningkatkan kapasitas retensi kelembaban, kandunganunsur hara tersedia, laju infiltrasi, jumlahporositas dankonduktivitas hidrolik tanah. Arang sekam mengandungSiO2 (52%), C (31%), K (0.3%), N (0,18%), F(0,08%),dan kalsium (0,14%). Kandungan silikat yang tinggi dapatmeningkatkan ketahanan tanaman terhadap hama danpenyakit (Bakri, 2008).

Aplikasi campuran arang sekam atau sabut kelapadengan media tanam tanah dapat meningkatkanketersediaan bahan organik dalam tanah. Keberadaanbahan organik tersebut akan memperbaiki kesuburantanah, sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Ketersediaanbahan organik berpengaruh posit if terhadapperkembangan kolonisasi FMA. Kondisi tersebut akanmemaksimalkan pertumbuhan struktur internal mikoriza,seperti hifa eksternal dan spora. Hifa eksternal lebihefektif dalam penyerapan hara dan air karena diameterhifa FMA 2–10 µm berukuran lebih kecil dibandingdiameter akar >300 µm. FMA sebagai miko simbiondapat berfungsi dalam meningkatkan ketahanan tanamanterhadap patogen tular tanah dan filoplan disampingmampu meningkatkan absorpsi hara, menstimulasipertumbuhan, meningkatkan kuantitas dan kualitas buah,meningkatkan ketahanan terhadap kekurangan air(Shrestha et al., 1996). Hasil penelitian Husin (1994)menunjukkan bahwa keberadaan struktur hifa eksternalyang mengolonisasi perakaran tanaman pisang akanmenambah luas permukaan absorpsi denganmeningkatnya volume bidang penyerapan akar terutamaterhadap unsur hara yang terikat dan tidak tersedia bagitanaman seperti unsur fosfor dan air.

Rendahnya persentase serangan BDB dan Focjuga berkaitan erat dengan tingkat kepadatan propagulpatogen di dalam jaringan tanaman dan di rizosferperakaran tanaman pisang. Kepadatan populasi BDBdan Foc ditemukan dalam jumlah tinggi di rizosferperakaran tanaman pisang pada perlakuan A0 (100%tanah) masing-masing 9,81 dan 11,17 log upk/ml,sementara pada perlakuan kombinasi substrat mediatanam ditemukan dalam jumlah rendah yaitu 7,04–7,77(log upk/ml) (Tabel 2).

Populasi Foc juga ditemukan dalam jumlah tinggipada perlakuan A0 (100% tanah) dan B4 (75% sabutkelapa + 25% pasir) masing-masing 11,17 dan 11,89 (logupk/ml), sementara pada perlakuan lainnya jumlahnyalebih rendah yaitu 7,81-9,58 (log upk/ml).

Beberapa peneliti melaporkan bahwa FMAmampu menghambat perkembangan propagul patogendi rizosfer maupun di dalam jaringan tanaman. AplikasiGlomus fasciculatum pada tanaman tomat di percobaan

Suswati et al. Penapisan Limbah Pertanian (Sabut Kelapa dan Arang Sekam) 85

Perlakuan Kode Persentase serangan

Efektivitas (%)

Intensitas penyakit

Efektivitas (%)

Masa inkubasi

(hari) 100% tanah A0 20,0 a 0,0 10 a 0 20 b 50% tanah + 50% arang sekam A1 0,0 c 100 0 c 100 * 50% tanah + 25% arang sekam + 25% pasir A2 8,5 b 57,5 5 b 50 45 a 25% tanah + 50% arang sekam + 25% pasir A3 5,0 b 75 5 b 50 45 a 75% arang sekam + 25% pasir A4 0,0 c 100 0 c 100 * 100% arang sekam A5 0,0 c 100 0 c 100 * 50% tanah + 50% sabut kelapa B1 5,0 b 75 5 b 50 40 a 50% tanah + 25% sabut kelapa + 25% pasir B2 5,0 b 75 5 b 50 40 a 25% tanah + 50% sabut kelapa + 25% pasir B3 5,0 b 75 5 b 50 40 a 75% sabut kelapa + 25% pasir B4 5,0 b 75 0 c 100 10 c 100% sabut kelapa B5 5,0 b 75 5 b 50 40 a

Tabel 1. Persentase, intensitas penyakit dan masa inkubasi Foc pada bibit pisang Barangan yang ditanam padaberbagai medium setelah aplikasi FMA

Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda pada taraf uji 5%.

Tabel 2. Kepadatan BDB dan Foc di risosfir perakaran tanaman pisang Barangan umur 28 hsa dengan mediatanam campuran arang sekam atau sabut kelapa dan FMA

Perlakuan Kode

Kepadatan BDB dan Foc pada 28 hsa (log upk/ml)

BDB Foc

100% tanah A0 9,81 a 11,17 a 50% tanah + 50% arang sekam A1 7,39 b 8,72 b

50% tanah + 25% arang sekam + 25% pasir A2 7,75 b 9,58 b 25% tanah + 50% arang sekam + 25% pasir A3 7,77 b 9,08 b

75% arang sekam + 25% pasir A4 7,08 bc 7,81 c

100% arang sekam A5 7,04 bc 7,87 c

50% tanah + 50% sabut kelapa B1 7,54 b 8,65 b

50% tanah + 25% sabut kelapa + 25% pasir B2 7,56 b 8,57 bc

25% tanah + 50% sabut kelapa + 25% pasir B3 7,48 b 8,51 bc 75% sabut kelapa + 25% pasir B4 7,40 b 11,89 a

100% sabut kelapa B5 7,04 bc 7,98 c

Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda pada taraf uji 5%.

pot dan pesemaian dapat menurunkan populasinematoda, massa telur dan indeks puru Meloidogyneincognita (Nagesh et al., 1999). Aplikasi FMA dapatmenyebabkan terhambatnya produksi klamidosporaThielaviopsis basicola (Campbell, 1989), tertekannyapertumbuhan Fusarium oxysporum f.sp. lycopersicumpada tanaman tomat (Reflin, 1993). Terhambatnyapembentukan zoosporangium dan pembebasan zoosporaPhytophthora parasitica pada akar jeruk yangbermikoriza (Davis & Menge, 1980) sehingga dapatmenurunkan kerusakan akar (Campbell, 1989). Menurut

Garcia-Garr ido & Ocampo (1989), kolonisasiG. mosseae dapat menurunkan unit pembentuk koloniErwinia carotovora dan Pseudomonas syringae padatanaman tomat yang menyebabkan rendahnyapersentase serangan. G. mosseae dapat mencegahinfeksi Pseudomonas syringae pada tanaman kedelai(Shalaby & Hanna, 1998). Li et al. (1997) jugamenemukan bahwa G. macrocarpum menurunkaninfeksi P. lacrymans pada tanaman terung danmentimun.

86 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 81 - 88

Terjadinya penghambatan perkembanganpropagul BDB dan Foc pada bibit pisang Barangandiduga disebabkan oleh FMA. Perkembangan intensifFMA dalam jaringan kortek akar bibit pisang Barangandapat menstimulasi pembentukan senyawa fenolik danhifa eksternal dapat menjadi penghalang masuknyapatogen. Menurut Suswati et al. (2011) aplikasi FMA(PU10-Glomus sp 1) dapat meningkatkan kandungansenyawa fenolik akar tanaman pisang Kepok sebesar153,82% (26,603 ± 2,693 µg/ml). Senyawa fenoliktersebut dapat menghambat perkembangan BDB dalamjaringan tanaman pisang Kepok sebesar 53,40-100,00%.Hasil yang sama juga diperoleh oleh Harrison & Dixon(1993); Morandi (1996); Larose et al. (2002)peningkatan ketahanan tanaman oleh FMA berhubunganerat dengan akumulasi kandungan fenolik danphytoalexin.

Aplikasi FMA menyebabkan terhambatnyaperkembangan BDB atau Foc dalam jaringan tanamanpisang Barangan. Hal ini mengakibatkan semakinpanjangnya waktu yang dibutuhkan oleh kedua patogenuntuk memunculkan gejala. Waktu yang dibutuhkan olehpatogen untuk berkembang biak hingga mampumemunculkan gejala serangan awal disebut masainkubasi. Aplikasi FMA efektif memperpanjang masainkubasi Foc 40-45 hari dibanding kontrol (20 hari).Kulkarni et al. (1997) melaporkan bahwa G.fasciculatum, Gigaspora margarita, Acaulosporalaevis dan Sclerocystis dussii nyata memperpanjang

masa inkubasi dan meniadakan efek destruktifSclerotium rolfsii pada tanaman kacang tanah (Arachishypogea). Hal ini disebabkan karena sistem perakarantelah dikolonisasi oleh mikoriza. Pada pengamatanmikroskopis ditemukan persentase kolonisasi FMA pada28 hsa telah mencapai 25-35% sementara pada kontrol(100% tanah) dan B5 (100% sabut) masih rendah yaitu5% dan 15% (Tabel 3).

Persentase kolonisasi FMA dalam perakarantanaman pisang Barangan meningkat sejalan denganmeningkatnya umur tanaman. Pada umur 84 hsapersentase kolonisasi telah mencapai > 70% dengankelas intensitas tergolong tinggi (4) sementara padakontrol 7%. Peningkatan persentase dan intensitaskolonisasi juga diiukuti dengan peningkatan kepadatanspora FMA. Kepadatan spora FMA pada mediakombinasi arang sekam atau sabut kelapa lebih tinggi(65-99 spora/g media tanam) dibanding pada mediatunggal tanah (60 spora/g tanah) atau sabut kelapa (30spora/g sabut kelapa). Kolonisasi FMA ditandai denganperkembangan intensif struktur FMA seperti hifainternal, arbuskular dan vesicular di jaringan korteks akartanaman pisang dan hifa eksternal (Gambar 1).

Struktur hifa eksternal akan menghalangimasuknya patogen kedalam perakaran tanaman.Menurut Vierheilig & Ocampo (1990,1991), keberhasilanintroduksi FMA dalam penekanan penyakit akanditentukan oleh berbagai faktor seperti : perbedaanspesies atau perbedaan antara isolat dalam satu spesies

Perlakuan

Rerata persentase kolonisasi, intensitas kolonisasi dan kepadatan multispora FMA

Kode 28 hsa 84 hsa

PK IK KS PK IK KS

100% tanah A0 5 c 2 5 b 7 b 2 60 b 50% tanah + 50% arang sekam A1 25 ab 2 70 a 80 a 4 81 ab 50% tanah + 25% arang sekam + 25% pasir A2 25 ab 2 60 ab 70 ab 4 65 b 25% tanah + 50% arang sekam + 25% pasir A3 25 ab 2 75 a 80 a 4 89 a 75% arang sekam + 25% pasir A4 35 a 2 70 a 85 a 4 92 a 100% arang sekam A5 25 ab 2 70 a 80 a 4 78 ab 50% tanah + 50% sabut kelapa B1 25 ab 2 70 a 80 a 4 90 a 50% tanah + 25% sabut kelapa + 25% pasir B2 25 ab 2 70 a 80 a 4 85 ab 25% tanah + 50% sabut kelapa + 25% pasir B3 25 ab 2 75 a 80 a 4 99 a 75% sabut kelapa + 25% pasir B4 25 ab 2 70 a 80 a 4 90 a 100% sabut kelapa B5 15 b 2 60 ab 80 a 2 30 c

Tabel 3. Rerata persentase kolonisasi, intensitas, efektivitas kolonisasi dan kepadatan multispora FMA pada tanamanpisang Barangan umur 28 hsa dan 84 hsa

*Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda pada taraf uji 5%;**hsa = hari setelah aklimatisasi.

Suswati et al. Penapisan Limbah Pertanian (Sabut Kelapa dan Arang Sekam) 87

Gambar 1. Struktur FMA pada perakaran tanaman pisang Barangan umur 84 hsa. Keterangan: V= strukturvesicular, hi= hifa internal, he= hifa eksternal, a= arbuskular. Perbesaran 100x

yang sama, kondisi tapak (site), spesies tanaman, waktuintroduksi, isolat patogen dan derajat kolonisasi.

SIMPULAN

Penanaman bibit pisang Barangan bermikorizadapat dilakukan dengan pengurangan media tanam tanahsebesar 25–100% yang disubsitusi dengan arang sekamatau sabut kelapa. Aplikasi FMA dan perbaikankomposisi media tanam dapat meningkatkan ketahanantanaman pisang Barangan terhadap Foc dan BDB.

SANWACANA

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktur DP2M Dikti yang telahmemberikan dana penelitian Direktorat Penelitian danPengabdian kepada Masyarakat Direktorat JenderalPendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan danKebudayaaan sesuai dengan Surat PerjanjianPelaksanaan Penugasan Penelitian Strategis NasionalNomor 50/SP2H/PL/DIT.LITABMAS/V/2013, tanggal13 Mei 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Bakri. 2008. Komponen kimia dan fisik abu sekam padisebagai SCM untuk pembuatan kompositsemen. Jurnal Perennial 5(1): 9–14.

Campbell R. 1989. Biological Control of MicrobialPlant Pathogens. Cambridge University Press.Cambridge, United Kingdom.

Davis RM & Menge JA. 1980. Influence of Glomusfasciculatus and soil phosphorus onPhytophthora root rot of citrus.Phytopathology 70(5): 447–452.

Garcia-Garrido JM & Ocampo JA. 1989. Effect of VAmycorrhizal infection of tomato on damagecaused by Pseudomonas syringae. Soil Biol.Biochem. 21(1): 165–167.

Gomez KA & Gomez AA. 1995. Prosedur Statistikuntuk Penelitian Pertanian. Edisi Kedua.Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Hajrah S. 1997. Pengaruh Macam Media TumbuhDalam Teknik Hidroponik TerhadapPertumbuhan dan Hasil Tanaman Paprika.Skripsi. Fakultas Pertanian, UniversitasMataram.

Harrison MJ & Dixon RA. 1993. Isoflavonoidaccumulation and expression of defence genetranscripts during the establishment of vesicular-arbuscular mycorrhizal associations in roots ofMedicago truncatula. Mol. Plant Microbe In.6(5): 643–654.

Husin EF. 1994. Mikrobiologi Tanah. UniversitasAndalas. Padang.

Jumjunidang, Hermanto C, & Riska. 2011. Virulensiisolat Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG01213/16 pada pisang barangan dari varietaspisang dan lokasi yang berbeda. J. Hort. 21(2):145–151.

88 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 81 - 88

Klement Z, Rudolph K, & Sand DC. 1990. Method inPhytobacteriology Academia Kiado. Budapest.

Kormanik PP, Bryan WC, & Schultz RC. 1980.Procedures and equipment for staining largenumbers of plant root samples forendomycorrhizal assay. Can. J. Microbiol.26(4): 536–538.

Kulkarni SA, Kulkarni S, Sreenivas MN, & Kulkani S.1997. Interaction between vesicular-arbuscular(VA) mycorrhizae and Sclerotium rolfsii Sacc.in groundnut. Karnataka J. Agric. Sci. 10(3):919–912.

Larose G, Chênevert R, Moutoglis P, Gagné S, Piché Y,& Vierheilig H. 2002. Flavonoid levels in rootsof Medicago sativa are modulated by thedevelopmental stage of the symbiosis and theroot colonizing arbuscular mycorrhizal fungus.J. Plant Physiol.159: 1329–1339.

Li SL, Zhao SJ, Zhao LZ, Li SL, Zhao SJ, & Zhao LZ.1997. Effects of VA mycorrhizae on the growthof eggplant and cucumber and control ofdiseases. Acta Phytophylac Sin. 24: 117–120.

Mohamed AA, Mak C, Liew KW, & Ho YW. 1999.Early evaluation of banana at nursery stage forFusarium wilt tolerance. In: Molina AB, NikMasdek NH, & Lie WKW (Eds.). Proceedingsof the International Workshop on theBanana Fusarium Wilt Diseases. BananaFusarium Wilt Management. pp.174–185.Towards Sustainable Cultivation. Malaysia.INIBAB. October 18-20, 1999.

Morandi D. 1996. Occurrence of phytoalexins andphenolic compounds in endomycorrhizalinteractions, and their potential role in biologicalcontrol. Plant Soil 185(2): 241–251.

Nagesh M, Reddy P, Kumar MVV, & Nagaraju BM.1999. Studies on correlation between Glomusfasciculatum spore density, root colonizationand Meloidogyne incognita infection onLycopersicum esculentum. J. Plant Dis. Prot.106(1): 82–87.

Reflin. 1993. Pengaruh inokulasi jamur MVA danFusarium oxysporum f. sp lycopersici terhadapinfeksi jamur MVA. Perkembangan penyakitlayu fusarium dan pertumbuhan tanaman tomat.Tesis. Program Pasca Sarjana UniversitasGadjah Mada. Yogyakarta.

Savithri P & Khan HH. 1993. Characteristics of coconutcoir peat and its utilization in agriculture. J.Plantation Crop 22: 1–18.

Sivan A& Chet I. 1986. Biological control of Fusariumspp. in cotton, wheat and muskmelon byTrichoderma harzianum. J. Phytopathol.116(1): 39–47.

Shrestha YH, Ishii T, Matsumoto I, & Kadoya K. 1996.Effects of vesicular-arbuscular mycorrhizalfungi on satsuma mandarin tree growth andwater stress tolerance and on fruit developmentand quality. J. Japan Soc. Hort. Sci. 64(4): 881–807.

Shalaby AM & Hanna MM. 1998. Preliminary studieson interactions between VA mycorrhizal fungusGlomus mosseae, Bradyrhizobium japonicumand Pseudomonas syringae in soybean plants.Acta Microbiol. Pol. 47(4): 385–391.

Sukarno N. 1998. Pewarnaan Akar untuk PengamatanKoloni Cendawan Mikoriza Arbuskula (FMA).Makalah Workshop Mikoriza “AplikasiCendawan Mikoriza pada TanamanPertanian, Perkebunan dan Kehutanan”. 5-10 Oktober 1998.

Subakti H & Supriyanto B. 1996. Perbaikan TehnikBudidaya Pisang. Balitbangtan. BalaiPenelitian Tanaman Buah. Solok.

Suswati, Habazar T, Husin EF, Nasir N, Putra DP, &Taylor P. 2011. Senyawa phenolik akar pisangcv. kepok (Musa acuminata) yang diinduksidengan fungi mikoriza Arbuskular IndigenusPU10-Glomus sp. 1 terhadap penyakit darahbakteri. J. Natur Indones. 13(3): 207–213.

Vierheilig H & Ocampo JA. 1990. Effect ofisothiocyanates on germination of spores ofG. mosseae. Soil Biol. Biochem. 22(8): 1161–1162.

Vierheilig H & Ocampo JA. 1991. Receptivity of variouswheat cultivars to infection by VA-mycorrhizalfungi as influenced by inoculum potential andthe relation of VAM-effectiveness to succinicdehydrogenase activity of the mycelium in theroots. Plant Soil 133(2): 291–296.

Wuryandari et al. Formula Berbahan Aktif Pseudomonad flouresen 89 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 15, No. 1: 89 – 94, Maret 2015

FORMULA BERBAHAN AKTIF PSEUDOMONAD FLUORESENDAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN

PENYAKIT LAYU PADA CABAI

Yenny Wuryandari, Sri Wiyatiningsih, & Maroeto

Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Jawa TimurJl. Raya Rungkut Madya, Surabaya, Jawa Timur

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Formula with active ingridient of fluorescent pseudomonads and its influence on wilt disease development of pepper. Thepurpose of this study was to synergize organic fertilizer with biopesticides of fluorescent pseudomonads 122 to be the bestformula to increase the resistance of pepper plants to wilt disease. The study used a completely randomized design (CRD),which consisted of four treatments. The treatments were forms of active ingredient formula of fluorescent pseudomonads(powder, pellet, granule, and liquid). The effectiveness of the formula in suppressing development of the disease was measuredby observing the incubation period, index of the disease and discoloration of vascular tissue of pepper. The results showedthat the disease incubation period of plant treated with liquid and powder formula was longer than formula with granule andpellet. Plants treated with powder formula showed the lowest disease index compared to control, liquid, pellet and granuleformula. Disease index and discoloration in vascular tissue was also of the lowest value when the plants were treated withpowder formula. This result indicate that active ingredient of fluorescent pseudomonads formulated in powder was the mosteffective to inhibit the development of wilt disease on pepper caused by Fusarium sp. and Ralstonia solanacearum.

Key words: fluorescent pseudomonads, pepper, wilt disease

ABSTRAK

Formula berbahan aktif pseudomonad fluoresen dan pengaruhnya terhadap perkembangan penyakit layu pada cabai.Tujuan penelitian ini untuk mensinergikan pupuk organik dengan biopestisida pseudomonad fluoresen 122 menjadi formulaterbaik untuk meningkatkan ketahanan tanaman cabai terhadap penyakit layu. Penelitian menggunakan rancangan acaklengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan. Keempat perlakuan tersebut adalah bentuk formula dengan bahan aktifpseudomonad fluoresen yaitu formula serbuk, pelet, granul, dan cair. Keefektifan formula dalam menekan perkembanganpenyakit, diukur dengan mengamati masa inkubasi, indeks penyakit dan perubahan warna jaringan pembuluh pada tanamancabai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengamatan masa inkubasi yang diperlakukan dengan formula cair danserbuk terlihat lebih lama dibandingkan formula granul dan pelet. Adapun hasil pengamatan terhadap indeks penyakit yangdiperlakukan dengan formula serbuk menunjukkan hasil yang paling rendah dibandingkan dengan kontrol, cair, pelet dangranul. Sampai akhir pengamatan indeks penyakit dan panjang perubahan warna pada jaringan pembuluh, dengan pemberianformula serbuk menunjukkan nilai paling rendah. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa perlakuan dengan pemberian formulaberbahan aktif serbuk paling mampu menghambat perkembangan penyakit layu pada cabai yang disebabkan oleh Fusariumsp. dan Ralstonia solanacearum.

Kata kunci: cabai, penyakit layu, pseudomonad fluorescen

PENDAHULUAN

Cabai mempunyai prospek permintaan yang baik,tetapi sektor budidayanya masih menghadapi berbagaikendala (Anonim, 2009). Salah satu kendala yang sangatmempengaruhi produksi cabai adalah penyakit utamayaitu penyakit yang disebabkan oleh Ralstoniasolanacearum dan Fusarium oxysporum. Kerugianakibat penyakit ini semakin tinggi karena sering kalikeduanya secara bersama menyerang tanaman cabai.

Sampai saat ini upaya pengendalian penyakit layupada cabai belum teratasi. Salah satu pengendalian yangramah lingkungan, dan merupakan komponen yangsangat penting dalam pengendalian secara terpadu,adalah pengendalian biologi. Pada penelitian sebelumnya,telah didapatkan rhizobakteria pseudomonad fluoresenterbaik yang mampu menghambat penyakit layu cabaiyang disebabkan oleh F. oxysporum dan R.solanacearum. Rhizobakteria pseudomonad fluoresenjuga mampu memacu pertumbuhan serta meningkatkan

90 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 89 - 94

produksi cabai (Wuryandari et al., 2012). Aplikasipengujian adalah dengan cara pencelupan akar. Carapencelupan akar masih ada kelemahannya atau belumoptimum karena tidak praktis dalam skala lapang,sehingga masih harus dikembangkan dengan pembuatanformula yang tepat untuk pengendalian penyakit layudan sekaligus untuk meningkatkan produksi tanamancabai.

Pengendalian biologi menggunakanmikroorganisme antagonis yang telah diformulasikandiharapkan dapat mengendalikan penyakit tersebutsecara efektif dan efisien. Sebelumnya telah dilakukanpenelitian pembuatan formula dengan bahan aktifrhizobakteria pseudomonad fluoresen tetapi hanya untukpengendalian penyakit layu bakteri R. solanacearumsaja. Formulasi yang telah diuji tersebut di atas dalambentuk pil-benih dan pelet dengan bahan pembawa pupukkandang yang dijual bebas di pasaran dan bukan produksidari Pabrik Mini Pupuk Organik UPN “Veteran” JawaTimur. Hasil yang diperoleh belum menunjukkan hasilyang optimal, di samping cara pembuatan formula pil-benih cukup sulit dan viabilitasnya masih rendah(Wuryandari et al., 2011).

Beberapa produk usaha Unit Produksi pupukorganik yang dihasilkan oleh Pabrik Mini Pupuk Organikdi UPN “Veteran” Jawa Timur antara lain pupukkompos dari limbah tanaman (serbuk), pupuk organikkombinasi kompos dan kotoran sapi (pelet), pupukorganomineral (granul) dan pupuk cair (cair). Produk-produk yang dihasilkan tersebut adalah pupuk yangberasal dari bahan organik berfungsi menambah nutrisidalam tanah. Hasil penelitian Augustien et al. (2012),menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik bentukgranul, dan serbuk yang dihasilkan oleh Pabrik MiniPupuk Organik di UPN “Veteran” Jawa Timur dapatmeningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman cabaidibandingkan kontrol. Produksi dan pemasaran pupukorganik di Pabrik Mini Pupuk Organik di UPN “Veteran”Jawa Timur masih belum maksimal. Produksi pupukorganik cair sebanyak 250–500 l/bulan, pupuk serbuk2-3 ton/bulan dan yang berbentuk granul sebanyak 500kg-1 ton/bulan. Untuk pengembangan dan peningkatanproduk pupuk organik, masih sangat diperlukanpenyempurnaan formula dengan mengkombinasi pupukorganik dari Pabrik Mini Pupuk Organik di UPN“Veteran” Jawa Timur dengan biopestisidapseudomonad fluoresen 122. Dari penelitian inidiharapkan diperoleh satu formula yang terbaik untukmeningkatkan ketahanan tanaman cabai terhadappenyakit layu.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan diLaboratorium Kesehatan Tanaman dan di Pabrik MiniPupuk Organik di UPN “Veteran” Jawa Timur, serta dirumah kaca Fakultas Pertanian, UPN “Veteran” JawaTimur, pada bulan Juni 2014.

Rancangan Penelitian. Penelitian ini menggunakanRancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4perlakuan. Perlakuan tersebut adalah bentuk formuladengan bahan aktif bakteri pseudomonad fluoresen 122yaitu formula serbuk, granul, pelet, dan cair. Formuladibuat dengan mengkombinasikan bahan pembawaberupa pupuk organik produk Pabrik Mini UPN Jatimserta inokulum rhizobakteria pseudomonad fluorescens.Bahan pembawa formulasi yang digunakan antara lainblotong 3 kg, kotoran sapi 1 kg, kandarwati 3/4 kg, danguano 1/2 kg. Semua bahan selanjutnya dicampur denganrhizobakter ia pseudomonad fluoresen dengankonsentrasi 1010 CFU/ml, dimasukkan pada alat pembuatpupuk sehingga campuran yang terbentuk berupabeberapa formula yaitu serbuk, granul, pelet dan cair.Pengujian terhadap bibit tanaman cabai sebelum dipindahke polibag, media tanam diberi formula sebanyak 10 gpada lubang tanamnya dan sebelumnya telah diberisuspensi patogen R. solanacearum dan F. oxysporumdengan dosis masing-masing 10 ml per lubang tanam.Adapun konsentrasi untuk R. solanacearum adalah 108

CFU/ml dan Fusarium sp. konsentrasi 107 spora/ml.Keefektifan formula dalam menekan perkembanganpenyakit, dengan mengamati masa inkubasi dan indekspenyakit, dan perubahan warna pada jaringan pembuluhpada tanaman cabai. Masing-masing perlakuan diulang3 kali.

Pengamatan Masa Inkubasi dan Indeks Penyakit.Parameter pengamatan penelitian meliputi a). Masainkubasi, diamati mulai dari inokulasi patogen sampaimunculnya gejala layu pada tanaman cabai. Masainkubasi diamati setiap hari, b). Indeks penyakit diamatiperkembangan gejala layu setiap 5 hari sampai hari ke-30 setelah inokulasi. Berat serangan dihitung menurutskala sebagai berikut:

0 = tidak ada gejala1 = 1 - 10% daun layu2 = 11 - 30% daun layu3 = 31 - 60% daun layu4 = 61 - 99 % daun layu5 = 100% daun layu

Wuryandari et al. Formula Berbahan Aktif Pseudomonad flouresen 91

Besarnya indeks penyakit dihitung dengan rumus(Arwiyanto, 1995):

dengan :I = indeks penyakitk = skala atau skornk = jumlah tanaman yang bergejala sakit dengan

skala k (0, 1, 2, 3, 4, 5)N = jumlah total tanaman yang diinokulasiZ = kategori serangan tertinggi

Pengamatan perubahan warna pada jaringanpembuluh dilakukan pada akhir pengamatan dengan caradestruktif yaitu tanaman dicabut dan dibelah batangnyasecara pembujur selanjutnya diukur panjang perubahanwarna jaringan. Semua uji disusun dalam RancanganAcak Lengkap dengan tiga ulangan dan data yangdiperoleh dianalisis dengan analisis varian (ANOVA).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Waktu Inkubasi. Jika ditinjau dari hasil pengamatanterhadap masa inkubasi, keempat formula yaitu formulaserbuk, granul, pelet dan cair menunjukkan hasil yangberbeda (Tabel 1). Masa inkubasi (munculnya gejalalayu) paling cepat terdapat pada perlakuan formula peletdan granul. Adapun pada formula serbuk dan formulacair masa inkubasi lebih lama yaitu 11 dan 13 hari.Apabila dibandingkan dari keempat formula makapemberian formula serbuk dan formula cair mampumenunda munculnya gejala penyakit layu kurang lebih2 sampai 4 hari. Hal tersebut mungkin bahan aktif bakteripseudomonad fluoresen 122 pada formula berupaserbuk dan cair, lebih mudah berkembang dalam tanahpada awal aplikasi, sehingga populasi awal bakteripseudomonad fluoresen 122 mampu menahan infeksipatogen penyebab layu dibandingkan formula pelet dan

%100.

0

ZxN

nkkI

k

i

granul yang masih harus memerlukan waktu lebih lamauntuk berkembang dalam tanah.

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwabakteri mampu memacu ketahanan sistemik tanamandengan memproduksi fitohormon, melarutkan fosfatanorganik, meningkatkan pengikatan Fe dengan siderofor(Podile & Kishore, 2007; Haas & Defago, 2005). Bakterigenus Pseudomonas juga memproduksi senyawaantimikroba atau senyawa penghambat yang berperansebagai agens hayati seperti phenazine, pyrrolnitrin,pyluteorin, phloroglucinols, cyclic lipopeptides, danhydrogen cyanida (Haas & Defago, 2005).

Indeks penyakit. Perkembangan penyakit mulaiinokulasi sampai pengamatan hari ke-35 setelah inokulasidapat dilihat pada Gambar 1. Pengamatan terakhirperlakuan dengan formula serbuk menunjukkan indekspenyakit paling rendah yaitu 41,67% kemudian diikutigranul dan pelet yaitu 49,17% dan 52,5% (Tabel 2).

Dari keempat formula yang diuji, nampak bahwaformula serbuk paling efektif dalam menekanperkembangan penyakit layu (indeks penyakit = 41,67%). Keadaan tersebut mungkin karena dalam formulaserbuk bakteri pseudomonad fluoresen 122 lebih dapatberkembang karena kondisi tidak padat seperti formulapelet dan granul, sehingga kebutuhan oksigen tercukupidan populasi bakteri lebih tinggi. Menurut Palleroni(1984), bakteri Pseudomonas fluorescens termasukbakteri obligat aerob.

Populasi bakteri pseudomonad fluoresen yangtinggi pada daerah perakaran akan lebih dapat menekanpopulasi patogen penyebab penyakit layu. Adapunformula cair, walaupun pada awal bakteri mampumenunda masa inkubasi, tetapi kurang dapat menekanperkembangan penyakit layu. Hal tersebut mungkinkarena bakteri pseudomonad fluoresecens dalamformula cair tidak mampu berkembang dengan baik. Halini mungkin karena terjadinya proses fermentasi padabahan-bahan yang ada pada pupuk cair yangmenghambat pertumbuhan bakteri. Selain itu mungkin

Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan nilai tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNTpada taraf 5%.

Formula Rata-rata masa inkubasi (hari)

Serbuk 11 b Granul 10 ab Pelet 9 a Cair 13 c

Tabel 1. Masa inkubasi penyakit layu pada cabai di rumah kaca yang diperlakukan dengan formula berbahan aktifpseudomonad fluoresen

92 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 89 - 94

Gambar 2. Perkembangan penyakit layu pada cabai setelah diperlakukan dengan formula berbahan aktifPseudomonad fluorescens 122

Formula Indeks Penyakit (%) hari ke-35

Serbuk 41,67 a Granul 49,17 bc Pelet 52,50 c Cair 60,83 d

Tabel 2. Indeks penyakit layu pada tanaman cabai dengan perlakuan formula berbahan aktif pseudomonad fluoresen

Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan nilai tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNTpada taraf 5%.

bakteri dalam media cair yang kondisinya kurang oksigenjuga dapat menghambat pertumbuhan bakteripseudomonad fluoresecens 122. Kondisi pH dari formulacair yang cukup tinggi yaitu 8,6 nampaknya juga kurangsesuai bagi bakteri pseudomonad fluoresen 122 sehinggadapat menurunkan populasinya. Seperti hasil penelitianLebert et al. (1998), kisaran pH untuk pertumbuhanbakteri Pseudomonas fluorescens adalah pH 5,8 – 7,0.Populasi bakteri pseudomonad fluoresen yang rendahdalam sistem perakaran pada formula cairmenyebabkan kurang dapat menghambat perkembanganpenyakit layu.

Mekanisme pengendalian hayati patogen tanamanoleh rhizobakteria dapat berupa produksi metabolitbakteri. Rhizobakter ia juga mampu memacupertumbuhan tanaman dengan memproduksi zatpengatur tumbuh seperti turunan auxin (Pinton et al.,2001). Sebagian besar rhizobakteria sepertiPseudomonas, Bacillus, Azotobacter memproduksisenyawa pemacu pertumbuhan seperti Indolacetic acid

(IAA), gibberellin, dan substansi lain seperti cytokinin(Brimecombe et al., 2001). Bakteri genus Pseudomonasjuga memproduksi senyawa antimikroba atau senyawapenghambat seperti phenazine, pyrrolnitrin, pyluteorin,phloroglucinols, cyclic lipopeptides, dan hydrogencyanida (Haas & Defago, 2005).

Perubahan Warna Jaringan Pembuluh. Salah satugejala penyakit layu adalah adanya perubahan warnapada jaringan pembuluh tanaman. Perubahan warnacoklat mulai dari akar, pangkal batang dan naik ke atassepanjang jaringan pembuluh. Perubahan warna padajaringan pembuluh, merupakan salah satu indikasiterjadinya degradasi atau kerusakan jaringan pembuluholeh patogen penyebab penyakit layu. Semangun (1991),mengatakan bahwa gejala dalam antara lain berupaperubahan warna di jaringan pembuluh, tilosis, dandegradasi selulosa di dalam dinding sel. Hasilpengamatan terhadap panjang perubahan warna padajaringan pembuluh dapat dilihat pada Tabel 3.

Wuryandari et al. Formula Berbahan Aktif Pseudomonad flouresen 93

Perlakuan dengan formula serbuk menunjukkanadanya perubahan warna jaringan yang paling pendekdibandingkan dengan formula yang lain. Hal iniberbanding lurus dengan kemampuan perlakuan formulaserbuk dalam menghambat perkembangan penyakit layu.Semakin besar tekanan atau hambatan perkembanganbakteri patogen oleh bakteri antagonis pseudomonadfluoresen dalam formula, semakin kecil kerusakan dalamjaringan pembuluh yang ditandai dengan semakinpendeknya perubahan warna pada jaringan pembuluh.

SIMPULAN

Aplikasi pseudomonad fluoresen dengan formulaserbuk paling efektif dalam menghambat penyakit layupada cabai ditunjukkan dengan penundaan kemunculangejala dan menurunkan indeks penyakit serta panjangwarna jaringan pembuluh paling rendah dibandingkandengan formula yang lain.

SANWACANA

Penelitian ini dapat terlaksana atas biaya HibahPenelitian Unggulan Perguruan Tinggi Nasional No. 32/SP2H/P/K7/KM/2014, untuk itu kami ucapkan terimakasih kepada Direktur Penelitian dan Pengabdiankepada Masyarakat, Direktorat Jenderal PendidikanTinggi, Kementerian Pendidikan dan KebudayaanRepublik Indonesia.

Formula Panjang Perubahan warna jaringan (cm)

Serbuk 0,67 a Granul 1,07 b Pelet 1,02 b Cair 1,16 b

Tabel 3. Rata-rata panjang perubahan warna jaringan pembuluh pada tanaman cabai

Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan nilai tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNTpada taraf 5%.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Budidaya Cabai Merah Keriting diLahan Kering. http://www.mojokertokota.go.id. Diunduh 12 Maret2014.

Arwiyanto T. 1995. Strategi pengendalian penyakit layubakteri tembakau cerutu di Sumatera Utara

secara terpadu. Ekspose Hasil PenelitianTembakau Deli IV, Medan.

Suhardjono H, Maroeto, Augustien NK, Mindari W, & .2012. Studi beda bentuk dan komposisi pupukorganik pada entisol untuk tanaman cabe.Plumula 1(2): 194–201.

Brimecombe MJ, De Lelj FA, & Lynch JM. 2001. Therhizosphere. The effect of root exudates onrhizosphere microbial populations. In: Pinton R,Varanini Z, & Nanipieri P (Eds.). TheRhizophere. Biochemistry and OrganicSubstances at the Soil-Plant Interface. pp.95–140. Marcel Dekker, Inc. New York-Basel.

Haas D & Défago G. 2005. Biological control of soilborne pathogens by fluorescent pseudomonads.Nat. Rev. Microbiol. 3(4): 307–319.

Lebert I, Begot C, & Lebert A. 1998. Growth ofPseudomonas fluorescens and Pseudomonasfragi in a meat medium as affected by pH (5.8–7.0) water activity (0.97–1.00) and temperature(7–25 degree C). Int. J. Food Microbiol. 39(1–2): 53–60.

Palleroni NJ. 1984. Pseudomonadaceae. In: Krieg NR& Holt JG (Eds.). Bergey’s Manual ofSystematic Bacteriology. pp. 141–199. TheWilliams and Wilkins Co. Baltimore.

Pinton R, Varanini Z, & Nanipieri P. 2001. TheRhizophere as a site of biochemical interactionsamong soil components, plants, andmicroorganisms. In: Pinton R, Varanini Z, Paulo& Nanipieri P (Eds.). The Rhizophere.Biochemistry and Organic Substances at theSoil-Plant Interface. pp. 1–18. Marcel Dekker,Inc. New York–Basel.

94 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 89 - 94

Podile AR & Kishore GK. 2007. Plant growth-promotingrhizobacteria. In: Gnanamanickam SS (Ed.).Plant-Associated Bacteria. pp. 195–230.Springer. The Netherlands.

Semangun H. 1991. Penyakit-Penyakit TanamanPerkebunan Indonesia. Gadjah MadaUniversity Press. Yogyakarta.

Wuryandari Y, Purnawati A, & Siswanto. 2011. Effectof Formulation with Pseudomonad fluoresenIsolate Pf-122 for Progress of Tobacco BacterialWilt Disease. The International Seminar onNatural Resources, Climate Change, andFood Security in Developing Countries .ISBN 978-602-8915-93-9.

Wuryandari Y, Wiyatiningsih S, & Sulistyono A. 2012.Induksi Pertumbuhan dan Ketahanan TanamanCabai terhadap Penyakit Utama Layu Ralstoniasolanacearum dan Fusarium oxysporummenggunakan Rhizobacteria. Laporan penelitianStrategis Nasional. Dikti 2012. Jakarta.

Bande et al. Epidemi Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada 95 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 15, No. 1: 95 – 103, Maret 2015

EPIDEMI PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG LADAPADA KONDISI LINGKUNGAN YANG BERVARIASI

La Ode Santiaji Bande1, Bambang Hadisutrisno2, Susamto Somowiyarjo2,& Bambang Hendro Sunarminto2

1Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo KendariJalan M.T Haryono, Anduonou, Kendari, Sulawesi Tenggara 93132

2 Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada YogyakartaE-mail: [email protected]

ABSTRACT

Foot rot disease epidemic on black pepper in variety of environmental conditions. The foot rot disease on black peppercaused by Phytophthora capsici Leonian, is often destructive to farmers of black pepper. This research aims to study theinfection rate and the pattern of development of the black pepper foot rot disease in various condition of the environment. Theresearch was conducted in the areas of black pepper cultivation in the Ultisol and Entisol soils. In each location plots were setwith few (<25%) and abundant (>75%) weeds. Variable observed was disease incidence. The data were used to analyze modelof development of the black pepper foot rot disease and infection rate. Results of the research showed that the model ofdevelopment of the black pepper foot rot disease was not affected by soil type, but the type of soil affected the infection rate.At the pepper plantation with abundance of weeds, the disease development followes Gompertz model. At the plantation withfew weeds, however the disease developed in a logistic model. The rate of disease infection on the black pepper plant withabundant weeds lower compared with those with few weeds.

Key words: epidemic, foot rot disease, infection rate, pattern of development disease

ABSTRAK

Epidemi penyakit busuk pangkal batang lada pada kondisi lingkungan yang bervariasi. Penyakit busuk pangkal batanglada yang disebabkan oleh Phytophthora capsici Leonian telah menjadi ancaman bagi petani lada. Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui model perkembangan dan laju infeksi penyakit busuk pangkal batang lada pada kondisi lingkungan yangbervariasi. Penelitian ini dilaksanakan di daerah sentra pertanaman lada dengan jenis tanah Ultisol dan Entisol. Masing-masing lokasi dibuat plot pengamatan pada kondisi lahan yang gulmanya banyak (>75%) dan gulmanya sedikit (<25%).Variabel yang diamati yaitu intensitas penyakit (yang diamati tiap 2 minggu). Data tersebut digunakan untuk menganalisismodel perkembangan penyakit dan laju infeksi penyakit busuk pangkal batang lada. Hasil penelitian menunjukkan bahwamodel perkembangan penyakit busuk pangkal batang lada tidak dipengaruhi oleh jenis tanah tetapi jenis tanah mempengaruhilaju infeksi penyakit. Pada pertanaman lada dengan gulma banyak, model perkembangan penyakit adalah Gompertz, dan padalahan dengan gulma sedikit, model perkembangan penyakitnya adalah logistik. Laju infeksi penyakit lebih rendah pada jenistanah Ultisol dibanding pada tanah Entisol. Pertanaman lada yang gulmanya banyak mempunyai laju infeksi yang lebihrendah dibandingkan dengan pertanaman lada yang gulmanya sedikit.

Kata kunci: epidemi, laju infeksi, model perkembangan penyakit, penyakit busuk pangkal batang

PENDAHULUAN

Lada (Piper nigrum) banyak diusahakan dalambentuk perkebunan rakyat yang pengusahaannya masihmenerapkan teknik budidaya sederhana (Yuhono, 2007).Lada selain terdapat di Lampung dan Bangka-Belitung,juga telah menyebar di Sulawesi Selatan, SulawesiTenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Bengkulu,Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa

Timur (Balittri, 2009). Budidaya lada khususnya diProvinsi Sulawesi Tenggara banyak diusahakan di lahankering dengan tingkat kesuburan tanah yang rendahdengan input pemupukan yang sangat terbatas bahkanada yang masih mengandalkan kesuburan alami.

Penyakit utama pada lada saat ini adalah busukpangkal batang lada yang disebabkan olehPhytophthora capsici (Manohara et al., 2005; Bandeet al., 2011). Epidemi penyakit ini terus meningkat danmengancam pertanaman lada di berbagai daerah di

96 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 95 - 103

Indonesia. Harga lada yang fluktuatif menyebabkanpetani tidak memelihara tanamannya dengan baik danmembiarkan tanamannya tumbuh dalam kondisi tidaksehat (Wahyuno, 2009). Tanaman yang tidak terawatdengan baik menyebabkan pertanaman tersebut menjadirentan terhadap infeksi P. capsici. Penyebaran patogendari penyakit ini di lapangan dapat terbawa oleh aliranpermukaan, gerakan kemotaksis zoospora, pertemuanakar sakit dengan akar sehat, atau peralatan pertanianyang terkontaminasi (Manohara et al., 2005; Benson etal., 2006). Tanaman yang rentan dan penularan patogenyang memiliki banyak cara menjadi pendukung terjadinyaepidemi penyakit busuk pangkal batang lada secaracepat.

Perkembangan dalam bidang epidemiologi telahmemunculkan berbagai analisis dalam modelperkembangan penyakit sesuai dengan perubahankondisi inang, patogen, dan lingkungan. Untukmenentukan model yang tepat diperlukan perbandinganmodel epidemi penyakit (Berger, 1981). Epidemi penyakittumbuhan di alam merupakan interaksi yang kompleksdan dinamis dari tiga faktor utamanya yaitu patogen,inang, dan lingkungan (Zadoks & Schein, 1979). Epidemipenyakit tumbuhan berkembang dalam skala ruang danwaktu yang dinamis. Pemahaman yang kompleks darifaktor-faktor yang berpengaruh dalam skala ruang danwaktu tersebut akan menjadi dasar pendugaan terhadapterjadinya epidemi penyakit dalam mendukungkeberhasilan pengelolaan penyakit (Milgroom & Peever,2003).

Variasi lingkungan agroekosistem perkebunan ladadiduga mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit busukpangkal batang lada.Variasi lingkungan tersebut dapatberupa variasi jenis tanah dan penutupan gulma yangsecara langsung maupun tidak langsung mempengaruhipenularan P. capsici di pertanaman lada. Oleh karenaitu penelitian tentang model perkembangan dan lajuinfeksi penyakit busuk pangkal batang lada pada jenistanah dan penutupan gulma yang bervariasi menjadipenting untuk dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui modelperkembangan dan laju infeksi penyakit penyakit busukpangkal batang lada pada kondisi lingkungan yangbervariasi dalam hal jenis tanah dan penutupangulmanya.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan didaerah pertanaman lada Kabupaten Konawe Selatandan Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Penelitian ini berlangsung mulai Maret 2010 sampaiNovember 2011.

Penentuan Daerah Pengamatan. Penentuan daerahuntuk pengamatan didasarkan pada perbedaan jenistanah dan penutupan gulma yang informasinya diperolehdari hasil survei pendahuluan. Kecamatan Konda diKabupaten Konawe Selatan mewakili jenis tanah Ultisoldan Kecamatan Wawotobi di Kabupaten Konawemewakili jenis tanah Entisol. Lokasi untuk pembuatanplot pengamatan ditentukan berdasarkan: sentrapertanaman lada (hamparan lebih 5 ha), kejadianpenyakit kurang dari 15%, dan luas plot pengamatanlebih dari 0,25 ha. Pada tiap lokasi pengamatan terpilih,dibuat enam petak pengamatan (tiga petak pada kebunyang penutupan gulmanya sedikit (penutupannya <25%)dan tiga petak lainnya pada kebun yang penutupangulmanya banyak (penutupannya >75%)). Tingkatpenutupan gulma ditentukan secara visual. Setiap plotterdiri atas 100 tanaman lada. Tanaman yang dijadikansampel yaitu lada yang telah berumur 6-7 tahun.

Pengamatan. Pengamatan kejadian penyakit dilakukantiap dua minggu sekali. Data kejadian penyakit yangdiperoleh setiap 2 minggu digunakan untuk menghitungproporsi penyakit yang kemudian digunakan untukpenentuan model perkembangan penyakit busuk pangkalbatang lada. Proporsi penyakit di hitung dengan rumus:

dengan:P = proporsi penyakita = jumlah tanaman lada yang layub = Jumlah total tanaman lada sampel yang diamati

Untuk mengetahui model perkembangan penyakitbusuk pangkal batang lada yang tepat, dilakukan ujiketepatan model atau uji kebaikan suai (goodness offit) perkembangan penyakit pada tiga model yang palingbanyak digunakan yaitu monomolekular, logistik, danGompertz (Neher & Campbell, 1992; Rivai, 2009).Pemilihan model melalui transformasi data proporsipenyakit (x) yang telah dikumpulkan, masing-masing kedalam ln (1/(1-x) untuk model monomolekular, ln{x/(1-x)} untuk model logistik, dan {-ln(-ln x)} untuk modelGompertz. Data baru ini diregresi secara linier terhadapwaktu (t) perkembangan penyakit tersebut. Selanjutnyadilakukan uji kebaikan suai (goodness of fit) modeltersebut dengan melihat koefisien determinasi (R2) dankuadrat tengah galat (KTG). Model terbaik dipilihdengan syarat koefisien determinasi (R2) yang terbesar

ba

P

Bande et al. Epidemi Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada 97

dan kuadrat tengah galat (KTG) yang kecil (Campbellet al., 1984; Rivai, 2009). Kurva model perkembanganpenyakit digambar dengan menggunakan programKaleidaGraph 4.0.

Selain itu, data tersebut digunakan juga untukperhitungan laju infeksi atau r (infection rate).Perhitungan laju infeksi didasarkan pada hasil pemilihanmodel perkembangan penyakit dengan menggunakanrumus:

Model monomolekular:

Model logistik:

Model Gompertz:

dengan:xt = proporsi penyakit pada waktu rx0 = proporsi penyakit pada awal pengamatan (t = 0)t = waktur = laju infeksi penyakit

unit waktuper )t x- 1

0xln -

t x- 1tx

(lnt1

1r

unit waktu)}per 0ln{-ln(x )}tln{-ln(x - t1 gr

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadianpenyakit busuk pangkal batang lada dari waktu ke waktuterus meningkat (Tabel 1 dan Tabel 2). Kondisilingkungan pertanaman lada menentukan modelperkembangan penyakit busuk pangkal batang lada.Dalam penelitian ini penyakit busuk pangkal batang ladayang disebabkan oleh Phytophthora capsicimempunyai lebih dari satu model perkembanganpenyakit. Dengan demikian penentuan modelperkembangan penyakit busuk pangkal batang ladadalam satu model perkembangan penyakit agakmenyulitkan. Kesulitan yang sama juga dilaporkan olehMacKenzie et al. (1983) bahwa penyakit busuk akaravokad yang disebabkan oleh P. cinnamomi sangat sulituntuk digolongkan dalam model monomolekular (bungasederhana) atau eksponensial (bunga majemuk).

Berdasarkan hasil uji ketepatan model diketahuibahwa variasi jenis tanah tidak mempengaruhi modelperkembangan penyakit. Jenis tanah Ultisol maupunjenis tanah Entisol mempunyai model perkembanganpenyakit yang sama yaitu model Gompertz dan modellogistik. Variasi penutupan lahanlah yang menentukandalam perbedaan model perkembangan penyakit (Tabel3). Model yang tepat untuk perkembangan penyakitbusuk pangkal batang lada pada pertanaman lada yang

per waktuunit per )0 x- 1

1ln -

t x- 11

(ln t1 mr

Pengamatan ke-i Proporsi Penyakit

Gulma Sedikit (GS) Gulma Banyak (GB)

1 0,02 0,01 2 0,03 0,02 3 0,04 0,03 4 0,04 0,03 5 0,10 0,06 6 0,12 0,07 7 0,16 0,08 8 0,18 0,09 9 0,31 0,16 10 0,42 0,21 11 0,55 0,25 12 0,61 0,28 13 0,63 0,30 14 0,66 0,31 15 0,75 0,34 16 0,83 0,38 17 0,91 0,42

Tabel 1. Proporsi penyakit busuk pangkal batang lada pada tanah ultisol

98 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 95 - 103

Pengamatan ke-i Proporsi Penyakit

Gulma Sedikit (GS) Gulma Banyak (GB)

1 0,03 0,02 2 0,04 0,02 3 0,07 0,03 4 0,09 0,04 5 0,10 0,05 6 0,12 0,07 7 0,17 0,09 8 0,25 0,11 9 0,35 0,14 10 0,46 0,18 11 0,58 0,23 12 0,66 0,25 13 0,74 0,27 14 0,81 0,30 15 0,86 0,33 16 0,90 0,34 17 0,95 0,39

penutupan gulmanya sedikit adalah Logistik, dan padayang penutupan gulmanya banyak adalah Gompertz baikpada jenis tanah Ultisol maupun jenis tanah Entisol.Menurut Rivai (2009) model perkembangan penyakityang disebabkan oleh suatu patogen pada inang tertentubukanlah hal yang spesifik, artinya penyakit yang telahdiidentifikasi perkembangannya menurut model tertentu,dapat saja berubah ke model lain apabila keadaan

lingkungan berubah. Kurva model masing-masing variasilingkungan disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Model perkembangan penyakit busuk pangkalbatang lada dalam penelitian ini mengikuti modelGompertz dan Logistik. Perbedaan model inimenggambarkan perbedaan kecepatan perkembanganpenyakit busuk pangkal batang lada dan siklusperkembangan patogen. Hal ini menunjukkan bahwa

Jenis Tanah Parameter Model perkembangan penyakit

Logistik Monomolekular Gompertz

Ultisol

A. Penutupan gulma sedikit -Koefisien determinasi, R2 (%) 98,80 84,60 95,60 -Kuadrat tengah galat (KTG) 0,05 0,08 0,06 B. Penutupan gulma banyak -Koefisien determinasi, R2 (%) 96,40 94,50 98,30 -Kuadrat tengah galat (KTG) 0,06 0,02 0,05

Entisol

A. Penutupan gulma sedikit -Koefisien determinasi, R2 (%) 99,00 84,20 94,10 -Kuadrat tengah galat (KTG) 0,04 0,15 0,11 B. Penutupan gulma banyak -Koefisien determinasi, R2 (%) 97,30 95,50 99,50 -Kuadrat tengah galat (KTG) 0,04 0,001 0,001

Tabel 3. Hasil uji ketepatan model perkembangan penyakit busuk pangkal batang lada

Tabel 2. Proporsi penyakit busuk pangkal batang lada pada tanah entisol

Bande et al. Epidemi Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada 99

Gambar 1. Kurva model perkembangan penyakit pada jenis tanah Ultisol. (A) model logistik pada penutupangulmanya sedikit, (B) model Gompertz pada penutupan gulmanya banyak

walaupun patogen penyakit busuk pangkal batang ladadi lokasi penelitian (P. capsici) merupakan patogenterbawa tanah (soil borne), tetapi dengan dukungankondisi lingkungan yang sesuai dapat mempunyai siklusinfeksi yang berulang atau tanaman sakit dapatmenghasilkan inokulum yang dapat menginfeksitanaman lada lain di sekitarnya. Hasil inokulasi padadaun, pada kondisi lembap, pada jaringan daun banyakditemukan sporangium, dan sporangium ini dapat menjadisumber inokulum baru. Penyakit yang patogennya

termasuk soil borne secara teori umumnya hanyamempunyai satu siklus infeksi dalam satu musim atauumur tanaman sehingga model perkembanganpenyakitnya digolongkan dalam monomolekular, tetapidalam penelitian ini patogennya dapat mempunyai lebihdari satu rantai infeksi. Menurut Neher & Campbell(1992), penyakit busuk akar Phytophthora pada cemara(Abies fraseri) perkembangan penyakitnya termasukmodel Gompertz. Dari hasil penelitian Campbell &Powell (1980 dalam Erwin & Ribeiro, 1996) diketahui

100 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 95 - 103

A

B

Gambar 2. Kurva model perkembangan penyakit pada jenis tanah Entisol. (A)model logistik pada penutupan gulmanyasedikit, (B) model Gompertz pada penutupan gulmanya banyak.

bahwa sebanyak 84% penyakit lanas pada tembakauyang disebabkan oleh P. parasitica var. nicotianaemengikuti kurva perkembangan eksponensial dan hanya16% yang perkembangannya monomolekular. MenurutCampbell (1986), perkembangan penyakit busuk akarsangat beragam, dan khusus pada patogenPhytophthora sp. sebagian besar mengikutiperkembangan bunga majemuk.

Implikasi dari model ini adalah laju infeksi penyakitatau laju perkembangan penyakit (r) busuk pangkal

batang lada bervariasi pada tiap lokasi. Dari modelperkembangan penyakit tersebut dapat diketahuibesarnya nilai laju infeksi penyakit. Kurva modelperkembangan penyakit mencirikan nilai dari parameterlaju infeksi, intensitas penyakit awal, dan intensitaspenyakit maksimum (Rivai, 2009). Menurut Neher etal. (1997), model dapat digunakan sebagai alatpembanding dalam kurva perkembangan penyakit.Model perkembangan penyakit pada model logistik danmodel Gompertz mempunyai kurva berbentuk sigmoid

Bande et al. Epidemi Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada 101

(S) yang berarti pada awal infeksi perkembanganpenyakit berjalan lambat, kemudian meningkat secaracepat, dan selanjutnya melambat kembali (Gambar 1dan Gambar 2). Model perkembangan penyakit iniselanjutnya digunakan untuk mengetahui lajuperkembangan penyakit busuk pangkal batang lada padamasing-masing lokasi penelitian.

Laju infeksi penyakit fluktuatif selama periodepengamatan dan berbeda pada masing-masing lokasi.Hasil perhitungan laju infeksi menunjukkan bahwa jenistanah yang berbeda mempengaruhi laju infeksi penyakitbusuk pangkal batang lada yang berbeda. Laju infeksipada pertanaman lada pada tanah Ultisol baik padakebun yang gulmanya sedikit maupun pada kebun yangpenutupan gulmanya banyak lebih rendah dibandingkandengan jenis tanah Entisol (Tabel 2). Tanah Entisolmempunyai perkembangan penyakit yang lebih tinggididuga karena mempunyai tingkat kesuburan yang lebihrendah. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa nilaiunsur makro (N, P, K, dan bahan organik) pada tanahUltisol lebih tinggi dibandingkan jenis tanah Entisol. Ladayang ditanam di daerah yang kurang sesuai untuk lada,akan mudah mendapat gangguan hama dan penyakit.Infeksi patogen akan meningkat pada tanah yangkekurangan unsur hara terutama kalium dan fosfat(Hadiwiyono & Widono, 2008). Perkembangan penyakitbersifat spesifik untuk tiap-tiap penyakit tanaman yangsangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya sehinggadapat berubah apabila lingkungan sekitar populasitanaman berubah (Rivai, 2009). Menurut Hadisutrisno(1989), semakin tinggi laju infeksi, maka semakin pendekperiode perkembangan penyakit sehingga epidemisemakin cepat terjadi.

Berdasarkan kondisi pertanaman lada,perkembangan penyakit pada pertanaman lada yangpenutupan gulmanya banyak mempunyai laju infeksi yanglebih rendah dibandingkan dengan pertanaman lada yangpenutupan gulmanya sedikit (Tabel 4). Hal inimenunjukkan bahwa gulma yang banyak dapatmenurunkan laju perkembangan penyakit. Gulma dapat

menghambat aliran air permukaan (run-off surface)yang dapat membawa inokulum patogen dalampertanaman lada sehingga inokulum patogen tidakmenyebar ke tanaman sehat di sekitarnya selama musimhujan dan juga gulma di sekitar tanaman lada dapatmenjadikan suasana kondusif tempat hidup bagimikroorganisme antagonistik. Menurut Wahyuno (2009),patogen penyakit busuk pangkal batang lada mudahterbawa air, tanah, atau bagian tanaman yang terserangsehingga penanaman tanaman penutup tanah dapatmengurangi penyebaran inokulum P. capsici daritanaman sakit ke tanaman sehat di sekitarnya.

Tingginya laju infeksi penyakit busuk pangkalbatang lada juga ditentukan oleh penularan P. capsici dilapangan. Keberadaan gulma atau tanaman penutuptanah diduga berperan dalam menghambat pergerakaninokulum P. capsici dari dalam tanah untuk sampai ketanaman lada sehat. Inokulum dari P. capsici yangterbawa oleh agen tertentu atau pergerakan secara aktifsampai pada tanaman lada akan mengadakan kontakdengan tanaman lada sehingga terjadi penularan(inokulasi). Berbagai cara penularan P. capsici terutamamelalui bantuan air yakni aliran air pada permukaantanah membawa inokulum P. capcisi (hifa, sporangium,zoospora dan oospora), pergerakan kapiler air tanah yangmembawa inokulum, partikel tanah yang telahterkontaminasi (Hausbeck & Lamour, 2004; Granke etal., 2009) dan penularan melalui angin sangat kecilterjadi (Granke et al., 2009). Penularan juga dapatmelalui tetesan air hujan yang jatuh ke tanah dapatmembantu memindahkan inokulum dari tanah ke daunyang di dekatnya sehingga memungkinkan terjadinyainfeksi P. capsici, alat per tanian yang telahterkontaminasi, bibit lada sakit, keong/siput, dan terbawaoleh ternak peliharaan (Manohara et al., 2005) sertabagian tanaman yang terserang (Wahyuno, 2009).Penularan secara aktif melalui pergerakan zoosporayang mampu berenang dalam air pada saluran drainaseatau saat hujan menuju akar tanaman (Hausbeck &Lamour, 2004; Wahyuno, 2009).

Jenis Tanah Penutupan Gulma Laju Infeksi (r) (per unit per hari)

Ultisol Sedikit 0,188 Banyak 0,050

Entisol Sedikit 0,200 Banyak 0,133

Tabel 4. Laju infeksi (r) penyakit busuk pangkal batang lada pada berbagai variasi lingkungan

102 J. HPT Tropika Vol. 15 No. 1, 2015: 95 - 103

SIMPULAN

Jenis tanah tidak mempengaruhi modelperkembangan penyakit busuk pangkal batang ladatetapi mempengaruhi laju infeksi penyakit. Modelperkembangan penyakit busuk pangkal batang lada padapertanaman lada yang penutupan gulmanya banyakadalah Gompertz dan pada penutupan gulmanya sedikitadalah Logistik. Laju infeksi penyakit busuk pangkalbatang lada lebih rendah pada jenis tanah Ultisoldibanding pada tanah Entisol. Pertanaman lada yanggulmanya banyak mempunyai laju infeksi (r) yang lebihrendah dibandingkan dengan pertanaman lada yanggulmanya sedikit.

DAFTAR PUSTAKA

Balittri (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan AnekaTanaman Industri). 2009. Prospek dan ArahPengembangan Agribisnis Lada . http://ballitri.litbang.deptan.go.id/database/unggulan/propeklada.pdf. Diakses tanggal 4 Agustus2009.

Bande LOS, Hadisutrisno B, Somowiyarjo S, &Sunarminto BH. 2011. KarakteristikPhytophthora capsici isolat Provinsi SulawesiTenggara. Agriplus 21(01): 75–82.

Benson DM, Grand LF, & Vernia CS. 2006. Temporaland Spatial Epidemiology of Phytophthora RootRot in Fraser Fir Plantations. Plant Dis. 90(9):1171–1180.

Berger RD. 1981. Comparasion of the Gompertz andLogistic equations to describe plant diseaseprogress. Phytopathology 71(7): 716–719.

Campbell CL, Jacobi WR, Powell NT, & Main CE. 1984.Analysis of disease progression and therandomness of occurrence of infected plantsduring tobacco black shank epidemics.Phytopathology 74(2): 230–235.

Campbell CL. 1986. Interpretation and uses of diseaseprogress curves for root diseases. In: LeonardKJ & Fry WE (Eds.). Plant DiseaseEpidemiology. Population Dynamics andManagement. Vol. 1. pp. 38–54. MacmillanPublishing Company. New York & CollierMacmillan Publishers, London.

Erwin DC & Ribeiro OK. 1996. Phytophthora DiseaseWorldwide. The American PhytopathologicalSociety. Minnesota. USA.

Granke LL, Windstam ST, Hoch HC, SmartCD, &Hausbeck MK. 2009. Dispersal and movementmechanisms of Phtophthora capsici sporangia.Phytopathology 99(11): 1258–1264.

Hadisutrisno B. 1989. Kajian epidemi penyakit hawardaun phoma pada tanaman serat-seratan.Dalam: Dwidjaputra IGP, Westen N, & Oka IB(Eds.). Prosiding Kongres Nasional X danSeminar Ilmiah PFI: Meningkatkan PerananPerhimpunan Fitopatologi IndonesiaMenuju Pertanian yang Maju, Efisien danTangguh. pp. 331–334. Denpasar. 14-16Desember 1989.

Hadiwiyono & Widono S. 2008. Hubungan faktorlingkungan tanah terhadap intensitas busukpangkal bawang putih di Tawangmangu. Agrin12(1): 15–22.

Hausbeck MK & Lamour KH. 2004. Phytophthoracapsici on vegetable crops: research progressand management challenges. Plant Dis. 88(12):1292–1303.

MacKenzie DR, Elliott VJ, Kidney BA, King ED, &Royer MH. 1983. Application of modernapproaches to the study of the epidemiology ofdiseases caused by Phytophthora (plantpathogens). In: Erwin DC, Bartnicki-Garcia S,& Tsao PH. (Eds.). Phytophthora its Boilogy,Taxonomy, Ecology, and Pathology. pp: 303–313. The American Phytopathological Society.Minnesota. USA.

Manohara D, Wahyuno D, & Noveriza R. 2005.Penyakit busuk pangkal batang tanaman ladadan strategi pengendaliannya. PerkembanganTeknologi Tanaman Rempah dan Obat 17: 41–51.

Milgroom MG & Peever TL. 2003. Population biologyof plant pathogens: the synthesis of plant diseaseepidemiology and population genetics. PlantDis. 87(6): 608–617.

Neher DA & Campbell CL. 1992. Underestimation ofdisease progress rates with the logistic,monomolecular, and gompertz models whenmaximum disease intensity is less than 100percent. Phytopathology 82(8): 811–814.

Bande et al. Epidemi Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada 103

Neher DA, Reynolds KL, & Campbell CL. 1997.Analysis of disease progress curves using liniearmodels. In: Francl LJ & Neher DA (Eds.).Exercises in Plant Disease Epidemiology. pp.29–33. The American PhytopathologicalSociety. Minnesota. USA.

Rivai F. 2009. Dimensi Waktu dan Ruang PenyakitTumbuhan. Universitas Baiturrahmah. Padang.

Wahyuno D. 2009. Pengendalian Terpadu BusukPangkal Batang Lada. Perspektif 8(1): 17–29.

Yuhono JT. 2007. Sistem agribisnis lada dan strategipengembangannya. J. Litbang Pertanian26(2): 76–81.

Zadoks JC & Schein RD. 1979. Epidemiology andPlant Disease Management. Oxford UniversityPress. New York.