documentfr

Upload: siti-awaliyah

Post on 21-Jul-2015

71 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kamis, 26 November 2009LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA

A. PENGERTIAN Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera otak terdapat dibagi dalam dua macam yaitu : 1. Cidera otak primer Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi. 2. Cidera otak sekunder Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma. Proses-proses fisiologi yang abnormal: - Kejang-kejang - Gangguan saluran nafas - Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena: edema fokal atau difusi hematoma epidural hematoma subdural hematoma intraserebral over hidrasi - Sepsis/septik syok - Anemia - Shock Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cidera otak dan sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.

KLASIFIKASI Beratnya cedera kepala saat ini didefinisikan oleh The Traumatik Coma Data Bank berdasarkan Skore Scala Coma Glascow (GCS). Penggunaan istilah cedera kepala ringan, sedang dan berat berhubungan dari pengkajian parameter dalam menetukan terapi dan perawatan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut : 1. Cedera Kepala Ringan Nilai GCS 13 15 yang dapat terjadi kehilanga kedaran atau amnesia akan tetapi kurang dari 30 menit. Tidak terdapat fraktur tengkorak serta tidak ada kontusio serebral dan hematoma. 2. Cedera Kepala Sedang

Nilai GCS 9 12 yang dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak. 3. Cedera Kepala Berat Nilai GCS 3 8 yang diikuti dengan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial.

Tabel 1. Skala Koma Glasgow (Blak, 1997) 1. Membuka Mata / E Spontan Terhadap rangsang suara Terhadap nyeri Tidak ada 4 3 2 1 2. Respon Motorik / M Mampu mengikuti perintah Melokalisasi nyeri Menghindar nyeri Fleksi abnormal Ekstensi abnormal Tidak ada respon 6 5 4 3 2 1 3. Respon Verbal / V

Orientasi baik Orientasi terganggu Kata-kata tidak jelas Suara Tidak jelas Tidak ada respon 5 4 3 2 1 Total 3 - 15 sumber :keperawatan kritis, pendekatan holostik vol, II tahun 1995, hal:226 Perdarahan yang sering ditemukan: Epidural Hematom: Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.

Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu. Subdural Hematoma Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil. Perdarahan Intraserebral Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital. Perdarahan Subarachnoid: Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.

Tipe trauma kepala

a. Trauma kepala terbuka 1) Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi durameter. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak, misalnya akibat benda tajam atau tembakan. 2) Fraktur linier di daerah temporal, dimana arteri meningeal media berada dalam jalur tulang temporal, sering menyebabkan perdarahan epidural. Fraktur linier yang melintang garis tengah, sering menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya sinus sagitalis superior. 3) Fraktur di daerah basis, disebabkan karena trauma dari atas atau kepala bagian atas yang membentur jalan atau benda diam. Fraktur di fosa anterior, sering terjadi keluarnya liquor melalui hidung (rhinorhoe) dan adanya brill hematom (raccon eye). 4) Fraktur pada os petrosus, berbentuk longitudinal dan transversal (lebih jarang). Fraktur longitudinal dibagi menjadi anterior dan posterior. Fraktur anterior biasanya karena trauma di daerah temporal, sedang yang posterior disebabkan trauma di daerah oksipital. 5) Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustakhius. Setelah 2 3 hari akan nampak battle sign (warna biru di belakang telinga di atas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Pada dasarnya fraktur tulang tengkorak itu sendiri tidaklah menimbulkan hal yang emergensi, namun yang sering menimbulkan masalah adalah fragmen tulang itu menyebabkan robekan pada durameter, pembuluh darah atau jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pusat vital, saraf kranial dan saluran saraf (nerve pathway). b. Trauma kepala tertutup 1) Komotio serebri (gegar otak) Penyebab gejala komotio serebri belum jelas. Akselerasi-akselerasi yang meregangkan otak dan menekan formotio retikularis merupakan hipotesis yang banyak dianut. Setelah penurunan kesadaran beberapa saat pasien mulai bergerak, membuka matanya tetapi tidak terarah, reflek kornea, reflek menelan dan respon terhadap rasa sakit yang semula hilang mulai timbul kembali. Kehilangan memori yang berhubungan dengan waktu sebelum trauma disebut amnesia retrograde. Amnesia post traumatic ialah kehilangan ingatan setelah trauma, sedangkan amnesia traumatic terdiri dari amnesia retrograde dan post traumatic. 2) Edema serebri traumatic Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis terutama pada anakanak. Pingsan dapat berlangsung lebih dari 10 menit, tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan jaringan otak. Pasien mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah. Pemeriksaan cairan otak mungkin hanya dijumpai tekanan yang agak meningkat. 3) Kontusio serebri Kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak mengganggu jaringan. Kontosio sendiri biasanya menimbulkan defisit neurologis jika mengenai daerah motorik atau sensorik otak. Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosa kontusio serebri meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri sangat sering terjadi difrontal dan labus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk pedarahan intra serebral (ATLS 1997).

B. ETIOLOGI Kecelakaan Jatuh Trauma akibat persalinan

C. TANDA DAN GEJALA Gangguan kesadaran Konfusi Abnormalitas pupil Awitan tiba-tiba defisit neurologik Perubahan tanda vital Gangguan penglihatan dan pendengaran Disfungsi sensory Kejang otot Sakit kepala Vertigo Gangguan pergerakan Kejang Gejala yang ditimbulkan akibat hematoma adalah luas. Biasanya akan terlihat akan adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat cedera,diikuti dengan pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan (interval yang jelas). Hal ini perlu dicatat walaupun interval nyata merupakan karakteristik dari hematoma epidural. Selama interval tertentu, kompensasi terhadap hematoma luas terjadi melalui absobsi luas CSS dan penurunan volume intravaskuler yang mempertahankan TIK normal. Ketika mekanisme ini tidak dapatmengkompensasi lagi, bahkan peningkatan kecil sekalipun dalam volume bekuan darah menimbulkan peningkatan TIK nyata. Kemudian sering secara tiba-tiba tanda kompresi muncul (biasanya penyimpangan kesadaran dan tanda defisit neurologi fokal seperti dilatasi dan fiksasi pupil atau paralisis ekstremitas) dan pasien menunjukkan penurunan yang cepat. D. PATOFISIOLOGI Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat. Proses Primer Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.

Proses Sekunder Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan. Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis. Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak. Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus. Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus. Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik. E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.

F. PATHWAY Kecelakaan Jatuh Trauma persalinan

Cidera kepala TIK - oedem - hematom Respon biologi Hypoxemia Kelainan metabolisme Cidera otak primer Cidera otak sekunder Kontusio Nyeri akut Laserasi Kerusakan cel otak rangsangan simpatis StressGangguan autoregulasi tahanan vaskuler Aliran darah keotak katekolamin Sistemik & TD sekresi asam lambung tek. Pemb.darah Mual, muntah gangguan metabolisme O2 Pulmonal tek. Hidrostatik Asam laktat Asupan nutrisi kurang Oedem otak kebocoran cairan kapiler Ketidakseimbangan nutrisi:kurang dari kebutuhan tubuh cardiac out put Perfusi jaringan oedema paru CerebralTidak efektif Difusi O2 terhambat Gangguan perfusi jaringan

hipoksemia, hiperkapneaPola napastidak efektif

G. PENATALAKSANAAN Konservatif Bedrest total Pemberian obat-obatan Dexamethason/ Kalmethason Analgesik Larutan hipertonik, yaitu manitol 20% atau glukosa 40%

Antibiotik Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran. Tindakan terhadap peningkatan TIK pemantauan TIK dengan ketat oksigenasi adekuat pemberian mannitol penggunaan steroid peningkatan kepala tempat tidur bedah neurologi Tindakan pendukung lain dukungan ventilasi pencegahan kejang pemeliharan cairan, elektrolit, dan keseimbangan nutrisi terapi antikonvulsan menenangkan pasien klorpromazin selang nasogastrik Pembedahan H. KOMPLIKASI Perdarahan ulang Kebocoran cairan otak Infeksi pada luka atau sepsis Timbulnya edema serebri Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK Nyeri kepala setelah penderita sadar Konvulsi Evaluasi epidural hematom dengan kontusio serebri lebih buruk daripada kalau hanya ada epidural hematomnya (Guillermann, 1996) Volume hematom epidural (EDH) EDH < 50 cc mortalitasnya 12 % EDH 50 100 cc mortalitasnya 33 % EDH > 100 cc mortalitasnya 66 % I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN Hal-hal yang perlu dikaji pada klien cedera kepala: 1. PENGKAJIAN PRIMER A. Air Way - Look, listen and fell B. Breathing - Look, listen and fell C. Circulation - Tanda-tanda vital, perfusi perifer D. Disability - Tingkat kesadaran, GCS, AVPU E. Expossure - Jejas, luka, trauma, fraktur

2. PENGKAJIAN SEKUNDER A. Keadaan umum B. Riwayat penyakit C. Pemeriksaan fisik head to toe DECAPBLS Bila ada fraktur : PIC J. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Pola nafas tidak efektif 2. Perfusi jaringan tidak efektif (cerebral) 3. Nyeri akut

K. RENCANA KEPERAWATAN No Diagnosis Tujuan Intervensi 1. Pola Nafas tidak efektif Definisi : Pertukaran udara inspirasi dan/atau ekspirasi tidak adekuat Batasan karakteristik : - Penurunan tekanan inspirasi/ekspirasi - Penurunan pertukaran udara per menit - Menggunakan otot pernafasan tambahan - Nasal flaring - Dyspnea - Orthopnea - Perubahan penyimpangan dada - Nafas pendek - Assumption of 3-point position - Pernafasan pursed-lip - Tahap ekspirasi berlangsung sangat lama - Peningkatan diameter anterior-posterior - Pernafasan rata-rata/minimal Bayi : < 25 atau > 60 Usia 1-4 : < 20 atau > 30 Usia 5-14 : < 14 atau > 25 Usia > 14 : < 11 atau > 24 - Kedalaman pernafasan Dewasa volume tidalnya 500 ml saat istirahat Bayi volume tidalnya 6-8 ml/Kg - Timing rasio - Penurunan kapasitas vital

Faktor yang berhubungan :

- Hiperventilasi - Deformitas tulang - Kelainan bentuk dinding dada - Penurunan energi/kelelahan - Perusakan/pelemahan muskulo-skeletal - Obesitas - Posisi tubuh - Kelelahan otot pernafasan - Hipoventilasi sindrom - Nyeri - Kecemasan - Disfungsi Neuromuskuler - Kerusakan persepsi/kognitif - Perlukaan pada jaringan syaraf tulang belakang - Imaturitas Neurologis NOC : Respiratory status : Ventilation Respiratory status : Airway patency Vital sign Status Kriteria Hasil : Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)

Skala : 1 : tidak adekuat 2 : sedikit adekuat 3 : sedang 4 : agak adekuat 5 : sangat adekuat NIC : Airway Management Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan Pasang mayo bila perlu Lakukan fisioterapi dada jika perlu Keluarkan sekret dengan batuk atau suction Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan Lakukan suction pada mayo Berikan bronkodilator bila perlu Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan. Monitor respirasi dan status O2

Terapi Oksigen Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea Pertahankan jalan nafas yang paten Atur peralatan oksigenasi Monitor aliran oksigen Pertahankan posisi pasien Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi Vital sign Monitoring Monitor TD, nadi, suhu, dan RR Catat adanya fluktuasi tekanan darah Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas Monitor kualitas dari nadi Monitor frekuensi dan irama pernapasan Monitor suara paru Monitor pola pernapasan abnormal Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit Monitor sianosis perifer Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik) Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign 2 Perfusi jaringan tidak efektif Definisi : Penurunan pemberian oksigen dalam kegagalan memberi makan jaringan pada tingkat kapiler Batasan karakteristik : Cerebral - Abnormalitas bicara - Kelemahan ekstremitas atau paralis - Perubahan status mental - Perubahan pada respon motorik - Perubahan reaksi pupil - Kesulitan untuk menelan - Perubahan kebiasaan Faktor-faktor yang berhubungan : - Hipovolemia - Hipervolemia - Aliran arteri terputus - Exchange problems - Aliran vena terputus - Hipoventilasi - Reduksi mekanik pada vena dan atau aliran darah arteri

- Kerusakan transport oksigen melalui alveolar dan atau membran kapiler - Tidak sebanding antara ventilasi dengan aliran darah - Keracunan enzim - Perubahan afinitas/ikatan O2 dengan Hb - Penurunan konsentrasi Hb dalam darah NOC : Circulation status Tissue Prefusion : cerebral Kriteria Hasil : a. mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan : Tekanan systole dandiastole dalam rentang yang diharapkan Tidak ada ortostatikhipertensi Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg) b. mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan: berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi memproses informasi membuat keputusan dengan benar c. menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat kesadaran mambaik, tidak ada gerakan gerakan involunter Skala : 1 : tidak adekuat 2 : sedikit adekuat 3 : sedang 4 : agak adekuat 5 : sangat adekuat NIC : Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer) Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul Monitor adanya paretese Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lsi atau laserasi Gunakan sarung tangan untuk proteksi Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung Monitor kemampuan BAB Kolaborasi pemberian analgetik Monitor adanya tromboplebitis Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi

Vital sign Monitoring Monitor TD, nadi, suhu, dan RR Catat adanya fluktuasi tekanan darah Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan

Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas Monitor kualitas dari nadi Monitor frekuensi dan irama pernapasan Monitor suara paru Monitor pola pernapasan abnormal Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit Monitor sianosis perifer Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik) Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign

3. Nyeri Akut Definisi : Sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara aktual atau potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri Internasional): serangan mendadak atau pelan intensitasnya dari ringan sampai berat yang dapat diantisipasi dengan akhir yang dapat diprediksi dan dengan durasi kurang dari 6 bulan.

Batasan karakteristik : - Laporan secara verbal atau non verbal - Fakta dari observasi - Posisi antalgic untuk menghindari nyeri - Gerakan melindungi - Tingkah laku berhati-hati - Muka topeng - Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai) - Terfokus pada diri sendiri - Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan) - Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang) - Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil) - Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku) - Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah) - Perubahan dalam nafsu makan dan minum Faktor yang berhubungan : Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis) NOC: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 5X24jam pasien mampu untuk Mengontrol nyeri dengan indikator: Mengenal factor-faktor penyebab nyeri

Mengenal onset nyeri Melakukan tindakan pertolongan non-analgetik Menggunakan analgetik Melaporkan gejala-gejala kepada tim kesehatan Mengontrol nyeri Keterangan: 1 = tidak pernah dilakukan 2 = jarang dilakukan 3 =kadang-kadang dilakukan 4 =sering dilakukan 5 = selalu dilakukan pasien

Menunjukan tingkat nyeri Indikator: Melaporkan nyeri Melaporkan frekuensi nyeri Melaporkan lamanya episode nyeri Mengekspresi nyeri: wajah Menunjukan posisi melindungi tubuh kegelisahan perubahan respirasi rate perubahan Heart Rate Perubahan tekanan Darah Perubahan ukuran Pupil Perspirasi Kehilangan nafsu makan Keterangan: 1 : Berat 2 : Agak berat 3 : Sedang 4 : Sedikit 5 : Tidak ada Manajemen Nyeri Kaji secara komphrehensif tentang nyeri, meliputi: lokasi, karakteristik dan onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor presipitasi observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif Berikan analgetik sesuai dengan anjuran Gunakan komunikiasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan nyeri Kaji latar belakang budaya pasien Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas hidup: pola tidur, nafsu makan, aktifitas kognisi, mood, relationship, pekerjaan, tanggungjawab peran Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan nyeri kronis

Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang telah digunakan Berikan dukungan terhadap pasien dan keluarga Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan pencegahan kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan (seperti: temperatur ruangan, penyinaran, dll) Anjurkan pasien untuk memonitor sendiri nyeri Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (seperti: relaksasi, guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massase) Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon pasien Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup Anjurkan pasien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri secara tepat Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi keluhan Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota keluarga saat tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk pendekatan preventif Monitor kenyamanan pasien terhadap manajemen nyeri Pemberian Analgetik Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan keparahan sebelum pengobatan Berikan obat dengan prinsip 5 benar Cek riwayat alergi obat Libatkan pasien dalam pemilhan analgetik yang akan digunakan Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu analgetik jika telah diresepkan Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik, NSAID) berdasarkan tipe dan keparahan nyeri Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesuadah pemberian analgetik Monitor reaksi obat dan efeksamping obat Dokumentasikan respon setelah pemberian analgetik dan efek sampingnya Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek analgetik (konstipasi/iritasi lambung) Manajemen Lingkungan: Kenyamanan Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat Batasi pengunjung Tentukan hal hal yang menyebabkan ketidaknyamanan pasien sepeti pakaian lembab Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman Hindari penyinaran langsung dengan mata Sediakan lingkungan yang tenang Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan Atur posisi pasien yang membuat nyaman

L. DAFTAR PUSTAKA Arif Mansjoer, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Penerbit Media Aeusculapius FK-UI, Jakarta Doenges M.E. at al., 1992, Nursing Care Plans, F.A. Davis Company, Philadelphia Hudak C.M., 1994, Critical Care Nursing, Lippincort Company, Philadelphia. Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, EGC, Jakarta Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby Year-Book, St. Louis Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-Book, St. Louis Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-2002, NANDA Diposkan oleh Y.D. Hartanto S.Kep., Ns di 04:11 Label: kumpulan-askep-yudh

ASKEP FRAKTUR PADA KEPALA Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater. Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital condylar. 1, 2 Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior. Jenis fraktur lain pada tulang tengkorak yang mungkin terjadi yaitu : Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran, dan umumnya tidak diperlukan intervensi. Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau tanpa kerusakan pada scalp. Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan operasi untuk mengoreksi deformitas

yang terjadi. Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus dan bayi yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura normal jadi melebar. Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar tengkorak dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan serebrospinal (Cerebrospinal Fluid). 1, 3 Suatu fraktur tulang tengkorak berarti patahnya tulang tengkorak dan biasanya terjadi akibat benturan langsung. Tulang tengkorak mengalami deformitas akibat benturan terlokalisir yang dapat merusak isi bagian dalam meski tanpa fraktur tulang tengkorak. Suatu fraktur menunjukkan adanya sejumlah besar gaya yang terjadi pada kepala dan kemungkinan besar menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi cranium. Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis, dan sebaliknya, cedera yang fatal pada membran, pembuluh-pembuluh darah, dan otak mungkin terjadi tanpa fraktur. Otak dikelilingi oleh cairan serebrospinal, diselubungi oleh penutup meningeal, dan terlindung di dalam tulang tengkorak. Selain itu, fascia dan otot-otot tulang tengkorak manjadi bantalan tambahan untuk jaringan otak. Hasil uji coba telah menunjukkan bahwa diperlukan kekuatan sepuluh kali lebih besar untuk menimbulkan fraktur pada tulang tengkorak kadaver dengan kulit kepala utuh dibanding yang tanpa kulit kepala. 1, 2 Fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan hematom, kerusakan nervus cranialis, kebocoran cairan serebrospinal (CSF) dan meningitis, kejang dan cedera jaringan (parenkim) otak. Angka kejadian fraktur linear mencapai 80% dari seluruh fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini terjadi pada titik kontak dan dapat meluas jauh dari titik tersebut. Sebagian besar sembuh tanpa komplikasi atau intervensi. Fraktur depresi melibatkan pergeseran tulang tengkorak atau fragmennya ke bagian lebih dalam dan memerlukan tindakan bedah saraf segera terutama bila bersifat terbuka dimana fraktur depresi yang terjadi melebihi ketebalan tulang tengkorak. Fraktur basis cranii merupakan fraktur yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang bisa melibatkan banyak struktur neurovaskuler pada basis cranii, tenaga benturan yang besar, dan dapat menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal melalui hidung dan telinga dan menjadi indikasi untuk evaluasi segera di bidang bedah saraf. 4 INSIDEN Cedera pada susunan saraf pusat masih merupakan penyebab utama tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada usia muda di seluruh dunia. Pada tahun 1998 sebanyak 148.000 orang di Amerika meninggal akibat berbagai jenis cedera. Trauma kapitis menyebabkan 50.000 kematian. Insiden rata-rata (gabungan jumlah masuk rumah sakit dan tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per 100.000 penduduk. Sebanyak 22% pasien trauma kapitis meninggal akibat cederanya. Sekitar 10.000-20.000 kejadian cedera medulla spinalis setiap tahunnya. 5 Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus fraktur linear sederhana, yang merupakan jenis yang paling umum, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun. Fraktur tulang temporal sebanyak 15-48% dari seluruh kejadian fraktur tulang tengkorak, dan fraktur basis cranii sebesar 19-21%. Fraktur depresi antara lain frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital (5%), dan pada daerah-daerah lain (10%). Sebagian besar fraktur depresi merupakan fraktur terbuka (75-90%). Insiden fraktur tulang tengkorak rata-rata 1 dari 6.413 penduduk (0.02%), atau 42.409 orang setiap tahunnya. Sejauh ini fraktur linear adalah jenis yang banyak, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun di Amerika Serikat. 1, 2

ANATOMI Bagian cranium yang membungkus otak (neurocranium / brain box) menutupi otak, labirin, dan telinga tengah. and middle ear. Tabula eksterna dan tabula interna dihubungkan oleh tulang kanselosa dan celah tulang rawan (diplo). Tulang-tulang yang membentuk atap cranium (calvaria) pada remaja dan orang dewasa terhubung oleh sutura dan kartilago (synchondroses) dengan kaku. Sutura coronaria memanjang melintasi sepertiga frontal atap cranium. Sutura sagitalis berada pada garis tengah, memanjang ke belakang dari sutura coronaria dan bercabang di occipital untuk membentuk sutura lambdoidea. Daerah perhubungan os frontal, parietal, temporal, dan sphenoidal disebut pterion, di bawah pterion terdapat percabangan arteri meningeal media. Bagian dalam basis cranii membentuk lantai cavitas cranii, yang dibagi menjadi fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior. 6 1. Fossa anterior dibentuk oleh os frontal di bagian depan dan samping, lantainya dibentuk oleh os frontale pars orbitale, pars cribriformis os ethmoidal, dan bagian depan dari alae minor os sphenoid. Fossa ini menampung traktus olfaktorius dan permukaan basal dari lobus frontalis, dan hipofise. Fossa anterior dan media dipisahkan di lateral oleh tepi posterior alae minor os sphenoidale, dan di medial oleh jugum sphenoidale. Pada fossa cranii anterior terdapat sinus frontalis di bagian depan, alae minor os sphenoidale yang dengan bersama-sama pars orbitalis os frontal membentuk atap orbita dengan struktur-struktur di midline, diantaranya terdapat crista galli, pars cribriformis dan pars sphenoidal. 2. Fossa media lebih dalam dan lebih luas daripada fossa anterior, terutama ke arah lateral. Di bagian anterior dibatasi oleh sisi posterior alae minor, processus clinoideus anterior, dan sulcus chiasmatis. Di belakang dibatasi oleh batas atas os temporal dan dorsum sellae os sphenoid. Di lateral dibatasi oleh pars squamosa ossis temporalis, os parietal dan alae major os sphenoid. Merupakan tempat untuk permukaan basal dari lobus temporal, hipotalamus, dan fossa hipofiseal di tengah. Di kedua sisi lateralnya terdapat tiga foramina (foramen spinosum, foramen ovale, dan foramen rotundum). Pars anterior dinding lateral fossa media dibentuk oleh alae major os sphenoidal. Sisa dinding lateral lainnya dibentuk oleh pars squamosa os temporal yang merupakan tempat processus mastoideus dan mastoid air cells serta kanalis auditorius eksternus. Pyramid petrous mengandung membrane tympani, tulang-tulang pendengaran (malleus, incus, dan stapes), dan cochlea pada telinga dalam. Fossa media dan fossa posterior dibatasi satu sama lain di lateral oleh bagian atas os petrosus, dan di medial oleh dorsum sellae. 3. Fossa posterior adalah fossa yang terbesar dan terdalam merupakan tempat untuk cerebellum, pons, dan medulla. Di bagian anteromedial dibatasi oleh dorsum sellae yang melanjutkan diri menjadi clivus. Bagian anterolateral dibatasi oleh sisi posterior pars petrosa ossis temporalis, di lateral oleh os parietal, dan di posterior oleh os occipital. Lubang paling besar yang ada di basis cranii terdapat pada os occipital yaitu foramen magnum, dilalui oleh medulla oblongata. Meatus akustikus interna terdapat pada bagian posteromedial pars petrosa ossis temporalis. Foramen jugular berada di kedua sisi lateral foramen magnum. Foramen jugular dilalui oleh vena jugularis yang perluasan ke anterior dari sinus sagitalis superior dan melanjutkan diri menjadi sinus transversus dan sinus sigmoideus. 6, 12, 13 Jenis penyebab dan pola fraktur, tipe, perluasan, dan posisi adalah hal-hal yang penting dalam menentukan cedera yang ada. Tulang tengkorak menebal di daerah glabella, protuberansia eksternal occipital, processus mastoideus, dan processus angular eksternal dan disatukan oleh 3 arches pada masing-masing sisinya. Lapisan tulang tengkorak disusun oleh tulang cancellous

(diplo) menyerupai roti sandwich di antara dua tablets, lamina externa (1.5 mm), dan lamina interna (0.5 mm). Diplo tidak ditemukan pada bagian tulang tengkorak yang dilapisi oleh otot, sehingga lebih tipis dan rentan terhadap fraktur. 1 PATOFISIOLOGI Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang diklasifikasikan menjadi : fraktur sederhana (simple) suatu fraktur linear pada tulang tengkorak fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih dalam dari tulang tengkorak fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan luar. Ini dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur basis cranii yang biasanya melalui sinus-sinus. 14 Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis cranii. Biasanya disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada pada daerah-daerah tertentu dari basis cranii. Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga subtipe dari fraktur temporal yaitu : tipe longitudinal, transversal, dan tipe campuran (mixed). Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars skuamosa os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen timpani. Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke posterior hingga cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di fossa media dekat foramen spinosum atau pada tulang mastoid secara berurut. Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan labyrinth, berakhir di fossa media. Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur transversal. Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal yang sedang diusulkan. Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous termasuk didalamnya fraktur yang melibatkan tulang mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak dikaitkan dengan defisit dari nervus cranialis Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga besar dengan kompresi ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi pada ligamentum alar. Fraktur jenis ini dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain membagi fraktur ini menjadi fraktur bergeser dan fraktur stabil misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum yakni : Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang mengakibatkan fraktur kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah suatu fraktur yang stabil. Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan meluas menjadi fraktur basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan sebagai fraktur stabil karena masih utuhnya ligamentum alae dan membran tectorial. Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat rotasi yang dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu fraktur yang tidak stabil. Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari benturan bertenaga besar yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sumber literatur mengelompokkannya menjadi

tipe longitudinal, transversal, dan oblique. Fraktur tipe longitudinal memiliki prognosis paling buruk, terutama bila mengenai sistem vertebrobasilar. Biasanya fraktur tipe ini disertai dengan defisit n.VI dan n.VII. 2 GAMBARAN KLINIS Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis periorbita (racoon eyes), ekimosis retroauricular ( Battles sign), dan kebocoran cairan serebrospinal (dapat diidentifikasi dari kandungan glukosanya) dari telinga dan hidung. Parese nervus cranialis (nervus I, II, III, IV, VII dan VIII dalam berbagai kombinasi) juga dapat terjadi. 2, 15, 16, 17 PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Pemeriksaan Laboratorium Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan radiologi. b. Pemeriksaan Radiologi Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih menguntungkan daripada foto Rontgen kepala. Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP, lateral, Townes view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik. 18 CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan. MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT scan. MRI memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT scan. c. Pemeriksaan Penunjang Lain Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya kebocoran CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah basah diluar dari noda darah yang kemudian disebut suatu halo atau ring sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat diketahui dengan menganalisa kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu polipeptida yang berperan dalam transport ion Fe. 2, 20, 24 DIAGNOSIS Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan diagnostik.

Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang lengkap dan mekanisme trauma. Trauma pada kepala dapat menyebabkan gangguan neurologis dan mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih jauh. Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur cranium atau cedera penetrasi antara lain : Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung Keluar darah atau cairan jernih dari telinga Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda eyes) Adanya luka memar di belakang telinga (Battles sign) Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak. 21 DIAGNOSA BANDING Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital). 22, 23 Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh : Kongenital Ablasi tumor atau hidrosefalus Penyakit-penyakit kronis atau infeksi Tindakan bedah 24, 25, 26 PENATALAKSANAAN A Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini tidak ada cedera B Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri C Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV line D Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutin E Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari depan dan belakang. 21 Setelah menyelesaikan resusitasi cardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan fisis menyeluruh pada pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Nasogastric tube dapat dipasang kecuali pada pasien dengan kecurigaan cedera nasal dan basis cranii, sehingga lebih aman jika digunakan orogastric tube. Evaluasi untuk cedera cranium dan otak adalah langkah berikut yang paling penting. Cedera kulit kepala yang atau trauma kapitis yang sudah jelas memerlukan pemeriksaan dan tindakan dari bagian bedah saraf. Tingkat kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), fungsi pupil, dan kelemahan ekstremitas. 19 Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasien-pasien dengan trauma kapitis. Fraktur ini menunjukkan adanya benturan yang kuat dan bisa tampak pada CT scan. Jika tidak bergejala maka tidak diperlukan penanganan. Gejala dari fraktur basis cranii seperti defisit neurologis (anosmia, paralisis fasialis) dan kebocoran CSF (rhinorhea, otorrhea). Seringkali kebocoran CSF akan pulih dengan elevasi kepala terhadap tempat tidur selama beberapa hari walaupun kadang memerlukan drain lumbal atau tindakan bedah repair langsung. Belum ada bukti efektifitas

antibiotik mencegah meningitis pada pasien-pasien dengan kebocoran CSF. Neuropati cranial traumatik umumnya ditindaki secara konservatif. Steroid dapat membantu pada paralisis nervus fasialis. 20 Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas tulang-tulang pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal. Mungkin diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3 bulan apabila membran timpani tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah kebocoran CSF persisten setelah mengalami fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan deteksi yang tepat mengenai lokasi kebocoran sebelum dilakukan tindakan operasi. 2 KOMPLIKASI Resiko infeksi tidak tinggi, sekalipun tanpa antibiotik rutin, terutama pada fraktur basis cranii dengan rhinorrhea. Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-tulang pendengaran dapat menjadi komplikasi dari fraktur basis cranii. Fraktur condyler tulang occipital adalah suatu cedera serius yang sangat jarang terjadi. Sebagian besar pasien dengan fraktur condyler occipital terutama tipe III berada dalam keadaan koma dan disertai dengan cedera vertebra servikal. Pasien-pasien ini juga mungkin datang dengan gangguan-gangguan nervus cranialis dan hemiplegi atau quadriplegi. Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis cranii yang terkait dengan gangguan nervus IX, X, and XI. Pasien-pasien dengan keluhan kesulitan phonation dan aspirasi dan paralisis otot-otot pita suara, pallatum molle (curtain sign), konstriktor faringeal superior, sternocleidomastoideus, dan trapezius. Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang juga berdampak terhadap nervus IX, X, XI, dan XII. Meski demikian, paralisis facialis yang muncul setelah 2-3 hari adalah gejala sekunder dari neurapraxia n.VII dan responsif terhadap steroid dengan prognosis baik. Suatu onset paralisis facialis yang komplit dan terjadi secara tiba-tiba akibat fraktur biasanya merupakan gejala dari transection dari nervus dengan prognosis buruk. Fraktur basis cranii juga dapat menimbulkan gangguan terhadap nervus-nervus cranialis lain. Fraktur ujung tulang temporal petrosus dapat mengenai ganglion Gasserian / trigeminal. Isolasi n.VI bukanlah suatu dampak langsung dari fraktur namun akibat regangan pada nervus tersebut. Fraktur tulang sphenoid dapat berdampak terhadap nervus III, IV, dan VI juga dapat mengenai a.caroticus interna, dan berpotensi menyebabkan terjadinya pseudoaneurisma dan fistel caroticocavernosus (mencapai struktur vena). Cedera caroticus dicurigai terjadi pada kasus-kasus dimana fraktur melalui canal carotid, dalam hal ini direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan CT-angiografi. 2 PROGNOSIS Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera nervus cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan hematom epidural. Sebagian besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi