fraktur wajah

29
BAB I PENDAHULUAN Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik. 1 Fraktur tulang muka disebabkan trauma pada muka yang menyebabkan satu hingga banyak tulang wajah atah komplit atau tidak komplit. Organ yang terlibat pada fraktur tulang muka terdiri atas jaringan lunak (kulit, otot, dan jaringan ikat), tulang muka itu sendiri, yaitu tulang kepala yang tidak membatasi otak (tulang hidung, zigoma, maksila, septum nasi dan mandibula). 1,2 Fraktur tulang muka lebih sering terjadi akibar dari faktor yang datangnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olahraga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tujuan utama perawatan fraktur tulang muka adalah rehabilitasi penderita secara maksimal yaitu penyembuhan tulang yang cepat,pengembalian fungsi okuler, fungsi pengunyah, fungsi hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi estetis serta memperbaiki oklusi dan 1

Upload: riski-chairi

Post on 25-Jan-2016

100 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

fraktur wajah

TRANSCRIPT

Page 1: fraktur wajah

BAB I

PENDAHULUAN

Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula

merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada

daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang

menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada

proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik.1

Fraktur tulang muka disebabkan trauma pada muka yang menyebabkan

satu hingga banyak tulang wajah atah komplit atau tidak komplit. Organ yang

terlibat pada fraktur tulang muka terdiri atas jaringan lunak (kulit, otot, dan

jaringan ikat), tulang muka itu sendiri, yaitu tulang kepala yang tidak membatasi

otak (tulang hidung, zigoma, maksila, septum nasi dan mandibula).1,2

Fraktur tulang muka lebih sering terjadi akibar dari faktor yang datangnya

dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat

olahraga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tujuan utama

perawatan fraktur tulang muka adalah rehabilitasi penderita secara maksimal yaitu

penyembuhan tulang yang cepat,pengembalian fungsi okuler, fungsi pengunyah,

fungsi hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan gigi-geligi

yang memenuhi estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa sakit akibat

adanya mobilitas segmen tulang.3

1

Page 2: fraktur wajah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang

dan/ atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur adalah

patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan

sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang

akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.

Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak

lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.2,4

Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang – tulang

wajah yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan

mandibular.3

2.2. Tulang – Tulang Wajah

Pada bagian depan tengkorak terdapat margo orbitalis superior dan area di

atasnya dibentuk ole hos frontale, yang didalamnya terdapa sinus frontalis. Margo

orbitalis lateralis dibentuk oleh os zygomaticum dan margo orbitaslis inferior

dibentuk oleh os zygomaticum dan maxilla. Margo orbitalis medialis dibentuk

oleh processus frontalis maxillae di sebelah bawah.5

Pangkal hidung dibentuk oleh ossa nasals, yang berartikulasi di bawah

dengan maxilla dan di atas dengan os frontale. Di anterior, hidung disempurnakan

dengan lamina superior dan inferior cartilage hyaline dan cartilago kecil ala nasi.5

Tulang yang penting pada sepertiga bagian tengah wajah adalah maxilla,

dengan gigi-geligi dan sinus maxillaris. Tulang sepertiga bagian bawah wajah

adalah mandibular, dengan gigi-geliginya.5

2

Page 3: fraktur wajah

Gambar 1. Tulang-tulang wajah

2.3. Etiologi

Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu

dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat

olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan

kekerasan, tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.3

Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini biasanya sering terjadi pada

pengendara sepeda motor. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian tentang

keselamatan jiwa mereka pada saat mengendarai sepeda motor di jalan raya,

seperti tidak menggunakan pelindung kepala (helm), kecepatan dan rendahnya

kesadaran tentang beretika lalu lintas. Sosin, Sak dan Holmgreen (1990), dalam

studi mortalitas Pusat Nasional Statistik Kesehatan data dari 1979-1986,

menemukan bahwa 53% dari 28.749 pengendara sepeda motor yang tidak

menggunakan helm meninggal karena cidera kepala yang mereka alami.3

2.4. Klasifikasi

Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa

fraktur yakni fraktur kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus

zigomatikus, fraktur dento-alveolar, fraktur mandibula dan fraktur maksila yang

terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III.6

2.4.1. Fraktur Komplek Nasal

3

Page 4: fraktur wajah

Tulang hidung sendiri kemungkinan dapat mengalami fraktur , tetapi yang

lebih umum adalah bahwa fraktur – fraktur itu meluas dan melibatkan proses

frontal maksila serta bagian bawah dinding medial orbital.7

Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut septum hidung. Kadang –

kadang tulang rawan septum hampir tertarik ke luar dari alurnya pada vomer dan

plat tegak lurus serta plat kribriform etmoid mungkin juga terkena fraktur.7

Perpindahan tempat fragmen – fragmen tergantung pada arah gaya fraktur.

Gaya yang dikenakan sebelah lateral hidung akan mengakibatkan tulang hidung

dan bagian-bagian yang ada hubungannya dengan proses frontal maksila

berpindah tempat ke satu sisi.7

2.4.2. Fraktur Komplek Zigoma

Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila, tulang

dahi serta tulang temporal, dan karena tulang – tulang tersebut biasanya terlibat

bila tulang zigomatik mengalami fraktur, maka lebih tepat bila injuri semacam ini

disebut “fraktur kompleks zigomatik”.8

Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma beserta

suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura zigomakotemporal, dan sutura

zigomatikomaksilar. Suatu benturan atau pukulan pada daerah inferolateral orbita

atau pada tonjolan tulang pipi merupakan etiologi umum. Arkus zigomatik dapat

mengalami fraktur tanpa terjadinya perpindahan tempat dari tulang zigomatik.8

Gambar 2. Pandangan frontal dari fraktur zigomatik kompleks

4

Page 5: fraktur wajah

Gambar 3. Pandangan submentoverteks dari fraktur zigomatik kompleks.

Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut fraktur ”tripod”,

namun fraktur kompleks zigomatik merupakan empat fraktur yang berlainan.

Keempat bagian fraktur ini adalah arkus zigomatik, tepi orbita, penopang

frontozigomatik, dan penopang zigomatiko-rahang atas.8

Arkus zigomatikus bisa merupakan fraktur yang terpisah dari fraktur

zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi atau takikan pada arkus, yang

hanya bisa dilihat dengan menggunakan film submentoverteks dan secara klinis

berupa gangguan kosmetik pada kasus yang tidak dirawat, atau mendapat

perawatan yang kurang baik. Insidensi fraktur komplek zigoma sendiri berbeda

pada beberapa penelitian. Pada penelitian Hamad Ebrahim Al Ahmed dan kawan-

kawan insidensi fraktur komplek zigoma sebesar 7,4%. Sedangkan hasil

penelitian yang lain menunjukkan bahwa insidensi fraktur komplek zigoma

sebesar 42% dan 7,9%.8

2.4.3. Fraktur Dentoalveolar

Injuri dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau terlepasnya gigi-

gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya hubungan dengan fraktur yang terjadi di

alveolus, dan mungkin terjadi sebagai suatu kesatuan klinis atau bergabung

dengan setiap bentuk fraktur lainnya.9

Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan dengan terjadinya injuri

wajah adalah kerusakan pada mahkota gigi, yang menimbulkan fraktur dengan

atau tanpa terbukanya saluran pulpa.9

5

Page 6: fraktur wajah

Injuri fasial sering menekan jaringan lunak bibir atas pada gigi

insisor,sehingga menyebabkan laserasi kasar pada bagian dalam bibir atas dan

kadang-kadang terjadi luka setebal bibir. Sering kali injuri semacam ini

menghantam satu gigi atau lebih, sehingga pecahan mahkota gigi atau bahkan

seluruh gigi yang terkena injuri tersebut tertanam di dalam bibir atas.9

Pada seorang pasien yang tidak sadarkan diri pecahan gigi yang terkena

fraktur atau gigi yang terlepas sama sekali mungkin tertelan pada saat terjadi

kecelakaan, sehingga sebaiknya jika terdapat gigi atau pecahan gigi yang hilang

setelah terjadinya injuri fasial agar selalu membuat radiograf dada pasien,

terutama jika terjadi kehilangan kesadaran pada saat terjadinya kecelakaan.9

Fraktur pada alveolus dapat terjadi dengan atau tanpa adanya hubungan

dengan injuri pada gigi-gigi. Fraktur tuberositas maksilar dan fraktur dasar antrum

relatif merupakan komplikasi yang umum terjadi pada ilmu eksodonti.9

Insidensi fraktur dentoalveolar sendiri juga berbeda persentasenya, pada

beberapa penelitian, dimana masing-masing penelitian sebelumnya menunjukkan

persentase sebesar 5,4%, dan 49.0%.9

2.4.4. Fraktur Maksila

Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah fraktur maksila,

yang mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le

Fort II, Le Fort III. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, insidensi dari

fraktur maksila ini masing-masing sebesar 9,2% dan 29,85%.6

2.4.4.1. Fraktur Le Fort I

Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau

bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III.6

Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses

rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus

maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini

memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian

atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering

disebut sebagai fraktur transmaksilari.6,10

6

Page 7: fraktur wajah

2.4.4.2. Fraktur Le Fort II

Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip

dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya

dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura - sutura. Sutura

zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena.6,10

Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias

merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan

sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan

oklusinya tidak separah pada Le Fort I.6,10

2.4.4.3. Fraktur Le Fort III

Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian

tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii.6,10

Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana

bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa

mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma

intrakranial.6,10

Gambar 6. Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III

2.4.5. Fraktur Mandibula

Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari trauma

kecepatan tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur mandibula dapat terjadi

akibat kegiatan olahraga, jatuh, kecelakaan sepeda bermotor, dan trauma

7

Page 8: fraktur wajah

interpersonal. Di instalasi gawat darurat yang terletak di kota-kota besar, setiap

harinya fraktur mandibula merupakan kejadian yang sering terlihat.11

Pasien kadang-kadang datang pada pagi hari setelah cedera terjadi, dan

menyadari bahwa adanya rasa sakit dan maloklusi. Pasien dengan fraktur

mandibula sering mengalami sakit sewaktu mengunyah, dan gejala lainnya

termasuk mati rasa dari divisi ketiga dari saraf trigeminal. Mobilitas segmen

mandibula merupakan kunci penemuan diagnostik fisik dalam menentukan

apakah si pasien mengalami fraktur mandibula atau tidak. Namun, mobilitas ini

bisa bervariasi dengan lokasi fraktur. Fraktur dapat terjadi pada bagian anterior

mandibula ( simpisis dan parasimpisis ), angulus mandibula, atau di ramus atau

daerah kondilar mandibula.11

Gambar 7. Fraktur Mandibula

Kebanyakan fraktur simfisis, badan mandibula dan angulus mandibula

merupakan fraktur terbuka yang akan menggambarkan mobilitas sewaktu

dipalpasi.11

Namun, fraktur mandibula yang sering terjadi disini adalah fraktur kondilus

yang biasanya tidak terbuka dan hanya dapat hadir sebagai maloklusi dengan rasa

sakit.13,14 Dalam beberapa penelitian sebelumnya, dikatakan bahwa fraktur

mandibula merupakan fraktur terbanyak yang terjadi akibat kecelakaan lalu lintas

pada pengendara sepeda motor, dengan masing-masing persentase sebesar 51%

dan 72,8%.11

2.5. Pemeriksaaan Klinis

8

Page 9: fraktur wajah

Pemeriksaan dilakukan menyeluruh dengan memperhatikan kerusakan di

tempat lain, baik yang dekat maupun yang jauh, terutama cedera otak.

Pemeriksaan klinis dari masing-masing fraktur maksilofasial dapat dilakukan

dalam dua pemeriksaan, yakni pemeriksaan ekstra oral dan intra oral. Selanjutnya

dilakukan pemeriksaan radiografis yang dapat membantu dalam menegakkan

diagnosa dari fraktur maksilofasial.1

Pada inspeksi diperhatikan adanya asimetri muka, pembengkakan (udem),

hematoma, trismus, dan nyeri spontan serta maloklusi. Fraktur maksilofasial

biasanya disertai udem dan hematoma sehingga muka tampak sangat bengkak

(wajah balon). Le Fort* membedakan fraktur maksilofasial atas tiga macam, yaitu

fraktur sepertiga atas (LeFort III) dengan batas tepi atas orbita yaitu bagian os

frontalis, fraktur sepertiga tengah (LeFort II) yang dibatasi oleh tepi atas orbita

dan tepi bawah baris gigi atas yaitu bagian maksila, dan fraktur sepertiga bawah

(LeFort I) yang meliputi daerah mandibular.1

Palpasi harus dilakukan secara serentak (kanan kiri bersama-sama),

saksama (hati-hati), dan sistematis (3S). penderita fraktur maksilofasial tanpa

gangguan kesadaran dapat diperiksa dalam posisi berbaring atau duduk. Diagnosis

ditentukan atau didukung oleh foto Rontgen menurut Waters.1

Fraktur maksila pada umumnya bilateral. Fraktur unilateral terjadi pada

trauma lokal langsung. Secara klinis wajah tampak bengkak, mata tertutup karena

hematoma, ingus berdarah, dan sering kali disertai dengan gangguan kesadaran.

Penggolongan diagnosis menurut LeFort sangat penting dalam penanganan.

Penanganan ini menuntut sarana dan keahlian yang memadai. Fiksasi dan

imobilisasi berlangsung selama enam hingga delapan minggu.1

2.5.1. Fraktur Komplek Nasal

Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks nasal dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,

pemeriksaan dilakukan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat

adanya deformitas pada tulang hidung, laserasi, epistaksis, bentuk garis hidung

yang tidak normal. Sedangkan secara palpasi dapat terlihat adanya luka robek

pada daerah frontal hidung, edema, hematom, dan tulang hidung yang bergerak

9

Page 10: fraktur wajah

dan remuk. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi

dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya deformitas yang berlanjut,

deviasi pada tulang hidung, ekhimosis dan laserasi. Sedangkan secara palpasi

terdapat bunyi yang khas pada tulang hidung. Selanjutnya pemeriksaan fraktur

nasal kompleks dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi Water, CT Scan,

Helical CT dan pemeriksaan foto roentgen dengan proyeksi dari atas hidung.1,7

2.5.2. Fraktur Komplek Zigoma

Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks zigoma dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,

pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat

terlihat adanya kehitaman pada sekeliling mata, mata juling, ekhimosis, proptosis,

pembengkakan kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, asimetris pupil,

hilangnya tonjolan prominen pada daerah zigomatikus. Sedangkan secara palpasi

terdapat edema dan kelunakan pada tulang pipi. Pada pemeriksaan intra oral,

pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat

terlihat adanya ekimosis pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik,

kemungkinan penyumbatan oklusi didaerah molar pada sisi yang terkena injuri.

Sedangkan secara palpasi terdapat kelunakan pada sulkus bukal atas di daerah

penyangga zigomatik, anestesia gusi atas. Pemeriksaan fraktur komplek

zigomatikus dilakukan dengan foto rontgen submentoverteks, proyeksi waters dan

CT scan.8

2.5.3. Fraktur Dentoalveolar

Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,

pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat

terlihat adanya laserasi, edema dan ekimosisi pada daerah bibir. Sedangkan secara

palpasi terdapat pecahan gigi pada jaringan bibir. Pada pemeriksaan intra oral,

pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat

terlihat adanya laserasi pada permukaan lidah dan sulkus labial, avulsi dan

subluksasi. Sedangkan secara palpasi terdapat deformitas tulang, krepitus.

10

Page 11: fraktur wajah

Pemeriksaan fraktur dentoalveolar dilakukan dengan radiograf intra-oral dan

panoramik.9

2.5.4. Fraktur Maksila

Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le Fort III,

dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort tersebut berbeda.6

2.5.4.1. Le Fort I

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,

pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat

terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi

terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral,

pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat

terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri.

Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan

proyeksi wajah anterolateral.6,10

2.5.4.2. Le Fort II

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,

pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat

terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan

secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah,

mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada

pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi.

Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika

dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat

bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan

pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos

dan CT scan.6,10

2.5.4.3. Le Fort III

11

Page 12: fraktur wajah

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral.

Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara

visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis

periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan

mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah. Pemeriksaan selanjutnya

dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral,

foto wajah polos dan CT scan.6,10

2.5.5. Fraktur Mandibula

Pemeriksaan klinis pada fraktur mandibula dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,

pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat

adanya hematoma, pembengkakan pada bagian yang mengalami fraktur,

perdarahan pada rongga mulut. Sedangkan secara palpasi terdapat step deformity.

Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi.

Secara visualisasi terlihat adanya gigi yang satu sama lain, gangguan oklusi yang

ringan hingga berat, terputusnya kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang

mengalami fraktur. Sedangkan secara palpasi terdapat nyeri tekan, rasa tidak enak

pada garis fraktur serta pergeseran. Pada fraktur mandibula dilakukan

pemeriksaan foto roentgen proyeksi oklusal dan periapikal, panoramik tomografi (

panorex ) dan helical CT.12

Gambar 8. Fraktur nasal akibat kecelakaan kendaraan bermotor

12

Page 13: fraktur wajah

Gambar 9. Pemeriksaan dengan proyeksi waters dari fraktur kompleks zigomatik

Gambar 10. Fraktur Dentoalveolar

Gambar 11. CT koronal menunjukkan fraktur Le Fort I (kanan) dan Le

Fort II (kiri)

Gambar 12. Tampilan Waters menunjukkan fraktur Le Fort III (panah).

13

Page 14: fraktur wajah

Gambar 13. Radiografi Panoramik menunjukkan fraktur sudut kiri yang

meluas dan mencabut gigi molar 3. Gambar ini juga menunjukkan fraktur

simphisis kanan.

2.6. Perawatan

Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu

sama lain. Oleh sebab itu perawatannya akan dibahas satu per satu pada masing-

masing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum perawatan defenitif dilakukan, maka

hal yang pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan yakni

berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan

ABC. Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang harus

dilakukan adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri

maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah

penanganan kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka perawatan defenitif

dapat dilakukan.6

2.6.1. Fraktur Komplek Nasal

Pada fraktur komplek nasal, ada 2 cara perawatan yang dilakukan yakni

reduksi dan fiksasi. Fraktur kompleks hidung dapat direduksi dibawah analgesia

lokal, tetapi anestesia umum dengan pipa endotrakeal lewat mulut yang memadai

lebih diminati karena mungkin terjadi perdarahan banyak. Kadang – kadang bila

fraktur tidak begitu parah maka pemasangan splin setelah reduksi tidak perlu.

Pada beberapa kasus, pendawaian langsung antar tulang pada pertemuan dahi-

hidung akan bermanfaat.1,7

14

Page 15: fraktur wajah

2.6.2. Fraktur Komplek Zigoma

Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif. Fraktur

arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik. Adapun

langkah-langkah teknik Gillies yang meliputi :

a) Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal,

b) Mengidentifikasi fasia temporalis,

c) Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkungan dari aspek

dalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam untuk fasia,

cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus dihindari. Sehingga

arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang lebih normal.

Bila hanya arkus zigoma saja yang terkena fraktur, fragmen – fragmen

harus direduksi melalui suatu pendekatan memnurut Gillies. Fiksasi tidak perlu

dilakukan karena fasia temporalis yang melekat sepanjang bagian atas lengkung

akan melakukan imobilisasi fragmen-fragmen secara efektif.1,8

Gambar 14. Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus zigomatikus, A.

Insisi temporal melalui fasia subkutan dan fasia superfisial dibawah fasia temporal

bagian dalam, B. Reduksi fraktur dengan elevator

Ketika fragmen tulang dan gigi yang bergeser masih memiliki mukosa

yang baik di sisi lingual, maka fragmen tulang dan gigi tersebut masih dapat

dilestarikan.8

Pergeseran dikurangi dan mukosa yang terjadi laserasi tersebut diperbaiki

jika itu diperlukan. Pengurangan dari pergeseran tersebut bertujuan untuk

menstabilkan, yakni dilakukan dengan cara mengetsa pilar ke mahkota, baik pada

gigi yang terlibat maupun pada gigi yang berdekatan dengan batang akrilik atau

bar yang cekat ,splint komposit atau splin ortodonsi selama 4 - 6 minggu.8

15

Page 16: fraktur wajah

Tetapi jika terdapat kominusi yang kotor, sebaiknya gigi dan tulang yang

hancur tersebut dibuang dan dilakukan penjahitan pada mukosa yang berada

diatas daerah tulang yang telah rata.8

2.6.4. Fraktur Maksila

Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi

maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari

pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi, maka

dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau secara tidak

langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar. Sedangkan

perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I. Hanya

perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita

juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding digital dan

splinting. Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch

bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan

pelat pada sutura zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada

prosessus zigomatikus ossis frontalis.1,6

2.6.5. Fraktur Mandibula

Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yakni cara tertutup /

konservatif dan terbuka / pembedahan. Pada teknik tertutup, reduksi fraktur dan

imobilisasi mandibula dicapai dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi

maksilomandibular.13

Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan

dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat

atau plat. Terkadang teknik terbuka dan tertutup ini tidaklah selalu dilakukan

tersendiri, tetapi juga dapat dikombinasikan.13

2.7. Prognosis

Jika terapi dan operasi perbaikan utuk memulihkan bentuk dilakukan

dalam waktu 1 minggu setelah cedera/trauma maka prognosis baik. Jika penderita

16

Page 17: fraktur wajah

mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka penyembuhan menjadi

masalah.6

Trauma kendaraan sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh, dapat

menyebabkan trauma berat pada wajah sehingga membutuhkan prosedur bedah

multipel dan membutuhkan perawatan lama. Laserasi jaringan lunak karena bekas

luka biasanya dapat diatasi dengan lebih maksimal oleh ahli bedah plastik.6

17

Page 18: fraktur wajah

BAB III

KESIMPULAN

Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.

Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang – tulang wajah yaitu

tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibular.

Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang

datangnya dari luar seperti ekcelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan

akibat olahraga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tujuan utama

perawatan fraktur maksilofasial adalah rehabilitasi penderita secara maksimal

yaitu penyembuhan tulang yang cepat, penegembalian fungsi okuler, fungsi

pengunyah, fungsi hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan

gigi-geligi yang memenuhi estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa

sakit akibat adanya mobilitas segmen tulang.

Fraktur Le Fort merupakan tipe fraktur tulang – tulang wajah yang klasik

terjadi pada trauma – trauma di wajah. Trauma wajah meliputi : trauma pada soft

tissue, organ – organ khusus dan tulang – tulang. Hal ini merupakan suatu

kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan emergency karena dapat

menyebabkan sumbatan jalan nafas, cedera otak berat, dan mungkin fraktur

vertebra servikalis. Tujuan awal terapi adalah membeabskan jalan nafas.

18

Page 19: fraktur wajah

DAFTAR RUJUKAN

1. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. 2005. Jakarta.

2. Price S.A., Wilson L.M, Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit

Volume 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.

3. Yudhautama HS. Diagnosa dan Penatalaksanaan Fraktur Tulang Wajah (Le

Fort Fracture). Diperbaharui : 1 Agustus 2012 [Diakses : 02 Februari 2015].

Diunduh dari : http://www.dokterbedahherryyudha.com/2012/08/diagnosa-

dan-penatalaksanaan-fraktur.html

4. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, Kapita

Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Pertama, Penerbit Media Aesculapius

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.

5. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th ed. Jakarta:

EGC; 2006.

6. Moe KS. Maxillary and Le Fort Fractures. Updated : 3rd December 2013

[accessed : 2nd Febryuary 2015]. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview#showall

7. Kucik CJ, Clenney T, Phelan J. 2004. Management of Acute Nasal Fractures.

Am Fam Physic; 70 (7): 1315-20.

8. Hisao O, Yoshiaki S, Kazuo K. 2013. A New Classification of Zygomatic

Fracture Featuring Zygomaticofrontal Suture: Injury Mechanism and a Guide

to Treatment. Plastic surgery: An International Journal.

9. Samra FMA. Dentoalveolar Injuries Classification-Management-Biological

Consequences. Volume 1, Issue 4, 2014. Journal of Dental Health, Oral

Disorders & Therapy.

10. Donat TL, Ednress C, Mathog RH. Facial Fracture Classification According to

Skeletal Support Mechanisms. Arch Otolaryngol Head Neck Surg/ Vol 124,

Dec 1998.

11. Kamulegeya A, Lakor F, Kabenge K. 2009. Oral Maxillofacial Fractures Seen

At A Ugandan Tertiary Hospital: A Six-Month Prospective Study. Oral

19

Page 20: fraktur wajah

Maxillofacial Unit Of The Department Of Dentistry, Mulago Hospital,

Complex Mulago Hill. Clinics; 64(9): 843–848

12. Saigal, K., Ronald S. Winokur., et al. 2005. Use of Three-Dimensional

Computerized Tomography Reconstruction in Complex Facial Trauma. Facial

Plastic Surgery, Volume 21, Nomor 3, pp. 214-219

13. Yadavalli G, Hema Mythily P, NS Jayaprased. 2011. Clinical Evaluation of

Mandibula Angle Fractures with Teeth in Fracture Line, treated with Stable

Internal Fixation. Indian J stomatol; 2 (4) : 216-21.

20