frekuensi makan dan metode kb dengan obesitas
DESCRIPTION
hubungan makan dan kbTRANSCRIPT
Frekuensi Makan dengan Obesitas
Berdasarkan hasil analisis riskesdas 2010, diketahui bahwa status gizi pada orang
dewasa di Indonesia, di atas 18 tahun didominasi oleh masalah obesitas dan perempuan
dewasa (>18 tahun) di Indonesia memiliki prevalensi obesitas lebih tinggi (26,9%) daripada
laki-laki (16,3%). Prevalensi obesitas cenderung mulai meningkat setelah usia 35 tahun ke
atas dan mulai menurun kembali setelah usia 60 tahun ke atas.1
Berdasarkan hasil penelitian dari bagian ilmu gizi Universitas Sam Ratulangi Manado
di Puskesmas Wawonasa diperoleh data bahwa lebih banyak responden yang tidak obes
dengan IMT ≤25 kg/m2 yaitu 45 responden (58,4%) dan 32 responden (41,6%) yang obes
dengan IMT ≥24 kg/m2. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara
asupan karbohidrat dengan obesitas (p=0,980), tidak ada hubungan antara asupan protein
dengan obesitas (p=0,602) dan tidak ada hubungan antara asupan lemak dengan obesitas
(p=0,265).1
WHO (2000) menyatakan bahwa makanan berlemak mengatur sinyal yang mengontrol
rasa kenyang dengan cara melemahkan, menunda, dan mencegah kenyang sehingga
seseorang makan dalam jumlah yang berlebihan. Rasa yang enak, mudah diperoleh dan harga
yang rendah dari makanan padat energi, dalam hubungan dengan porsi makan yang besar dan
penundaan rasa kenyang, mungkin menjadi alasan utama makan secara berlebihan dan
peningkatan berat badan.1
Kegemukan atau overweight merupakan akibat dari kelebihan lemak tubuh karena tidak
adanya keseimbangan antara kalori yang dikonsumsi dengan energi yang dikeluarkan dan
seringkali menyebabkan gangguan kesehatan. Makin bertambah umur, metabolic rate makin
melambat; setiap 10 tahun sesudah umur 25 tahun, metabolisme sel-sel tubuh berkurang 4%
dan pada perempuan ketika memasuki periode menopause metabolic rate mulai menurun
sehingga tidak lagi dibutuhkan banyak kalori untuk mempertahankan berat tubuh.
Sumbangan total energi karbohidrat yang dianjurkan 60-65%, lemak 20-25% , protein 10-
15% dan sisanya adalah serat.2
Walaupun asupan karbohidrat tinggi namun apabila jenis karbohidrat kompleks, maka
tidak berpeluang menimbulkan kegemukan oleh karena indeks glikemik (IG) rendah.
Karbohidrat kompleks dengan IG yang rendah, tingkat laju penyerapan lambat sehingga
kadar glukosa dalam darah tidak meningkat, dengan demikian tidak ada kelebihan glukosa
dalam darah tidak meningkat, dengan demikian tidak ada kelebihan glukosa yang akan
disimpan sebagai lemak tubuh. Makin rendah tingkat gelatinisasi bahan pangan, makin
lambat laju pencernaan.2
Berdasarkan hasil penelitian di kota Padang Panjang menunjukan 54,20% perempuan
dengan status kegemukan (IMT >25). Lebih banyak perempuan dari hasil studi ini dengan
pola makan yang tidak baik (53,6%) demikian pula dengan perempuan yang menjalani
aktivitas ringan (68,20%). Pada studi ini hasil asupan energi (kkal/hr) rendah lebih banyak
(57,80%), sedangkan masukan zat gizi makro (tinggi dan rendah) hampir sama.2
Hubungan frekuensi makan dengan penambahan berat badan masih kontroversial. Para
ahli menyebutkan bahwa orang yang makan dalam jumlah sedikit dengan frekuensi 4-5 kali
sehari memiliki kadar kolesterol dan kadar gula darah yang lebih rendah jika dibandingkan
dengan mereka yang frekuensi makannya kurang dari itu.7
Ditinjau dari kemudahan proses pencernaan, lemak terbagi 3 golongan yaitu lemak
yang mengandung asam lemak tak jenuh ganda yang paling mudah dicerna, lemak yang
mengandung asam lemak tak jenuh tunggal yang mudah dicerna, dan lemak yang
mengandung asam lemak jenuh yang sulit dicerna. Makanan yang mengandung asam lemak
tak jenuh ganda dan tak jenuh tunggal umumnya berasal dari makanan nabati, kecuali minyak
kelapa. Makanan sumber asam lemak jenuh umumnya berasal dari hewani.7
Lemak merupakan makanan yang padat kalori. Apabila mengkonsumsi lemak berlebih
maka asupan kalori kita menjadi meningkat pesat. Asupan kalori tinggi bila tidak diimbangi
dengan pengelaran kalori yang seimbang maka akan menumpul sebagai lemak tubuh.
Keseimbangan antara asupan kalori dengan pengeluaran energi akan menjaga keseimbangan
berat badan seseorang. Jika seseorang memakan banyak kalori sementara pembakarannya
menjadi energi kurang maka cadangan kalori akan disimpan dalam bentuk lemak yang akan
membuat berat badan orang tersebut meningkat. Sebagian besar penyebab kegemukan adalah
tingginya konsumsi kalori tanpa dibarengi oleh aktifitas fisik yang memadai.7
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) pesan ke-8, yaitu makan pagi dapat
memelihara ketahanan fisik, mempertahankan daya tahan saat bekerja, dan meningkatkan
produktivitas kerja (Depkes 2005). Pada penelitian yang dilakukan departemen gizi
masyarakat IPB Bogor, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar subjek
memiliki kebiasaan makan bersama keluarga dengan persentase masing-masing 58,3% subjek
obes dan 64,9% subjek normal. Frekuensi kebiasaan makan bersama keluarga biasa
dilakukan 1 kali dalam sehari baik subjek obes (61,1%) maupun subjek normal (62,2%).
Adapun frekuensi menu makan lengkap umumnya 1 kali sampai 2 kali dalam sehari yang
biasa dikonsumsi oleh kedua kelompok subjek. Namun, 5,6% subjek obes memiliki frekuensi
menu makan lengkap >3 kali/hari, berbeda halnya dengan subjek normal.8
Frekuensi makan makanan selingan adalah 1 kali dalam sehari baik subjek obes (50%)
maupun subjek normal (67,7%). Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang nyata (p>0,05) pada kebiasaan sarapan, kebiasaan makan bersama keluarga, frekuensi
makan bersama keluarga, frekuensi menu makan lengkap, frekuensi makan makanan selingan
antara subjek obes, dan normal.8
Pada umumnya frekuensi makan sayur adalah setiap hari dengan persentase masing-
masing pada subjek obes adalah nyata lebih tinggi (47,2%) daripada subjek normal (40,5%),
sedangkan untuk frekuensi makan buah terdapat perbedaan antara subjek obes dan normal.
Pada subjek obes, frekuensi makan buah 1-3 kali dalam seminggu adalah nyata lebih rendah
(33,3%) daripada subjek normal (54,1%). Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang nyata (p = 0,491; p>0,05) pada frekuensi makan sayur antara subjek obes dan
normal. Namun, hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p =
0,020; p<0,05) pada frekuensi makan buah antara subjek obes dan normal.8
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek obes lebih banyak memiliki kebiasaan
jajan (61,1%) jika dibandingkan dengan subjek normal (56,8%). Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa subjek obes cenderung lebih banyak memiliki kebiasaan ngemil (58,3%)
bila dibandingkan dengan subjek normal (56,8%). Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) pada kebiasaan jajan dan ngemil antara subjek obes
dan normal.8
Jenis Kontrasepsi Hormonal dengan Obesitas
Kontrasepsi hormonal merupakan kontrasepsi yang mengandung hormon estrogen dan
atau progesteron yang diberikan kepada peserta KB untuk mencegah terjadinya kehamilan
(BKKBN, 2007). Komponen estrogen dapat memberikan efek pertambahan berat badan
akibat retensi cairan, sedangkan komponen progestin memberikan efek pada nafsu makan dan
berat badan yang bertambah besar (Hartanto, 2004).4
Pada penelitian yang dilakukan departemen epidemiologi Universitas Airlangga
diperoleh hasil sebesar 66,7% responden mengalami peningkatan berat badan. Uji chi-square
p= 0,483 disimpulkan bahwa tidak ada hubungan jenis kontrasepsi hormonal yang digunakan
dengan peningkatan berat badan akseptor. Hasil ini sesuai dengan penelitian Lin (2001), tidak
ada perbedaan peningkatan berat badan pada alat kontrasepsi pil, suntik dan implan.
Dinyatakan bahwa kekhawatiran peningkatan berat badan pada pengguna pil, suntik dan
implan tidak ditemukan.4
Pada penelitian yang dilakukan departemen epidemiologi Universitas Hasanudin di
Puskesmas Tamanlarea Makassar didapatkan hasil jenis kontrasepsi hormonal yang paling
banyak mengalami peningkatan berat badan yaitu kontrasepsi pil sebanyak 38 orang (90.5%),
dan yang paling sedikit mengalami peningkatan berat badan adalah kontrasepsi implant yaitu
sebanyak 8 orang (88.9%). Hasil analisis uji chi-square didapatkan nilai p (0.028) < nilai α
(0.05), dengan demikian maka Ho di tolak atau dapat disimpulkan bahwa “Ada hubungan
antara jenis kontrasepsi hormonal yang digunakan dengan kejadian peningkatan berat badan”.
Dan berdasarkan nilai koefisiensi phi (0.015) atau hubungan lemah, sehingga dapat
dikatakan bahwa jenis kontrasepsi hormonal memberikan kontribusi sebesar 1.5 % terhadap
kejadian peningkatan berat badan.5
Pada penelitian tersebut menunjukan bahwa jenis kontrasepsi hormonal yang paling
banyak mengalami peningkatan berat badan yaitu pil sebanyak 38 orang (90.5%), dan yang
paling sedikit mengalami peningkatan berat badan adalah jenis kontrasepsi implant yaitu
sebanyak 8 orang (88.9%). Hal ini disebabkan karena kandungan dari hormon estrogen dan
progesteron yang terdapat pada kontrasepsi pil, dimana hormon estrogen menyebabkan
retensi cairan dan oedema, sedangkan progesterone mempermudah penumpukan karbohidrat
dan gula menjadi lemak dan merangsang nafsu makan serta menurunkan aktifitas fisik,
akibatnya pemakaian kontrasepsi hormonal dapat menyebabkan bertambah berat badan.
Umumnya pertambahan berat badan tidak terlalu besar, untuk jenis kontrasepsi pil bervariasi
antara 1 kg - 5 kg. Sedangkan jenis kontrasepsi suntikan dan implant biasanya terjadi
kenaikan atau penurunan berat badan 1-2 kg.5
Penelitian ini sejalan dengan survei yang dilakukan oleh Gallo, dkk (2004) bahwa ada
hubungan antara jenis kontrasepsi pil yang digunakan dengan kenaikan berat badan. Survei
yang dilakukan di Amerika ini menemukan bahwa 20% wanita menghentikan penggunaan
kontrasepsi pil (oral) disebabkan karena kenaikan berat badan. Selain itu, pada penelitian lain
yang dilakukan oleh Berenson dan Mahbubur (2009) menemukan bahwa berat badan secara
signifikan meningkat saat menggunkan DMPA.5 Pertambahan berat badan ini terjadi karena
DMPA (Depot Medroxyprogesteron Asetat) merangsang pusat pengendali nafsu makan di
hipotalamus yang dapat menyebabkan akseptor untuk makan lebih banyak daripada biasanya.
Bila karbohidrat yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak daripada yang digunakan dengan
segera untuk energi atau disimpan dalam bentuk glikogen maka kelebihan dengan cepat akan
diubah menjadi trigliserid dan kemudian disimpan di dalam jaringan adiposa
(Arthur,1990:626).6
Aktivitas fisik dengan Obesitas
Tingkat pengeluaran energi tubuh tergantung dari dua faktor yaitu (1) tingkat aktivitas
dan olahraga, (2) angka metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan fungsi minimal tubuh. Aktivitas fisik hanya mempengaruhi sepertiga
pengeluaran energi seseorang dari berat normal. Pada saat berolahrga, energi banyak yang
terbakar. Pengeluaran energi secara tidak langsung mempengaruhi sistem metabolisme basal
sehingga kurangnya olahraga secara tidak langsung akan mempengaruhi metabolisme basal.
Dengan demikian olahraga mempunyai peran penting dalam membuang cadangan energi
yang tertimbun dalam tubuh. Makin berat dan makin lama olahraga dilakukan, makin banyak
cadangan energi yang digunakan. Sebaliknya makin sedikit waktu yang dipakai untuk
berolahrga dan semakin ringan olahraga yang dilakukan, maka semakin kecil pula peran
olahraga dalam menggunakan cadangan energi. Menurut Sumosardjuno, olahraga yang cukup
(intensitas, lama dan frekuensi latihan) dapat mengurangi lemak tubuh. Latihan olahraga
dikatakan memiliki intensitas cukup bila denyut nadinya mencapai 70-75% dari denyut nadi
maksimal. Denyut nadi maksimal adalah 220 dikurangi umur dalam satu tahun.3
Menurut WHO dalam Hadi, keseimbangan energi tubuh selain dipengaruhi oleh pola
aktivitas fisik juga dipengaruhi oleh faktor diet. Bahkan dapat dikatakan sebagai faktor-faktor
utama (modifiable factors) yang melalui faktor-faktor tersebut banyak faktor luar yang
memicu pertambahan berat badan. Makanan yang tinggi lemak dan tinggi energi serta pola
hidup kurang gerak (sedentary lifestyles) adalah dua karakteristik yang berkaitan dengan
peningkatan obesitas.3
Daftar Pustaka
1. Jurnal Hubungan antara Asupan Zat Gizi Makro dengan Obesitas pada Wanita Usia
Subur Peserta Jamkesmas di Puskesmas Wawonasa Kecamatan Singkil Manado diunduh
dari http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ebiomedik/article/view/4607
2. Jurnal Kegemukan pada Wanita Usia 25-50 tahun di Padang diunduh dari
http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/18
3. Jurnal Status obesitas orang dewasa menurut faktor sosio demografi dan perilaku, di
Depok diunduh dari http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/pgm/article/view/1444
4. Jurnal Hubungan antara jenis dan lama pemakaian alat kontrasepsi hormonal dengan
peningkatan berat badan akseptor diunduh dari
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/4.%20Hubungan%20antara%20Jenis%20dan%20Lama
%20Pemakaian%20Alat%20Kontrasepsi.pdf
5. Jurnal Hubungan antara pengunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian peningkatan
berat badan pada WUS di makassar (jurnal vol 1 no 3 thn 2013)
6. Jurnal Dampak penggunaan alat kb terhadap IMT pada WUS diunduh dari
http://journal.unsil.ac.id/jurnal/20121/4101/20121104101083.pdf
7. Jurnal Model prediksi prevalensi obesitas pada penduduk umur di atas 15 tahun di
indonesia diunduh dari
http://ueu7065.weblog.esaunggul.ac.id/wp-content/uploads/sites/2396/2013/12/jurnal-
kros-seksional.pdf?vqxbmfbtmydxbttd
8. Jurnal Keterkaitan antara konsumsi pangan, gaya hidup dan status gizi pada pegawai obes
dan normal diunduh dari http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/JIPI/article/view/8382