fullpaper_harmiati dkk

12
IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SUKU ENGGANO DI KECAMATAN ENGGANO KABUPATEN BENGKULU UTARA PROVINSI BENGKULU Oleh: Harmiati 1 , Henny Aprianti 2 , Alexander, 3 1 Universitas Prof. DR. Hazairin, SH Bengkulu 2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prodi Administrasi Negara Email: [email protected] Abstrack Tujuan penelitian ini mengidentifikasi kearifan lokal suku Enggano berkaitan dengan kepranataan dan potensi lokal yang dapat mendorong penguatan ekonomi penduduk Enggano. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Enggano meliputi 6 desa yaitu; desa Banjarsari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, dan Kahyapu. Di desa tersebut berdomisili 5 (lima) suku asli Engggano yaitu; Kaitora, Kaahoao, Kaharuba, Kaharubi, dan Kauno. Informan penelitian ini ditentukan secara purposive sampling terdiri dari; ketua suku, kepala pintu suku, kepala desa, camat, dan pemuka masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif. Data primer dikumpulkan dengan wawancara, kuesioner sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan studi dokumentasi. Teknik analisis data berupa analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal di pulau Enggano dapat diidentifikasi sebagai berikut; 1) rumah adat untuk kepala suku (yup kakadie), dan untuk masyarakat biasa (yup keiop), pesta adat (yakarea), dan upacara pelantikan ketua suku (phaneku), 2) tarian- tarian seperti; tari perang, tari paema, tari semut, tari pakititih yepe dan tari kamumun nainey, 3) ikatan kekerabatan (periuk dan kaudar), 4) wilayah kesukuan tempat bermukim kaum suku, 5) aktivitas gotong royong berupa ; pahitaruai, paho’ahai, paruru nagrai, paruru debu. 6) pranata pengaturan penguasaan lahan oleh Ketua suku yang sudah berlangsung sejak lama setiap keluarga diberi hak kepemilikan lahan seluas 2 ha secara gratis. 7) kepercayaan terhadap roh 1 Ketua Peneliti Hibah Bersaing tahun 2015 2 Anggota Peneliti 1 3 Anggota Peneliti 2

Upload: fisip-unihaz-bengkulu

Post on 14-Apr-2016

27 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Kearifan Lokal, Suku Enggano

TRANSCRIPT

Page 1: Fullpaper_Harmiati dkk

IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SUKU ENGGANO DI KECAMATAN ENGGANO KABUPATEN BENGKULU UTARA

PROVINSI BENGKULU

Oleh: Harmiati1, Henny Aprianti2, Alexander,3

1Universitas Prof. DR. Hazairin, SH Bengkulu 2Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prodi Administrasi Negara

Email: [email protected]

Abstrack

Tujuan penelitian ini mengidentifikasi kearifan lokal suku Enggano berkaitan dengan kepranataan dan potensi lokal yang dapat mendorong penguatan ekonomi penduduk Enggano. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Enggano meliputi 6 desa yaitu; desa Banjarsari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, dan Kahyapu. Di desa tersebut berdomisili 5 (lima) suku asli Engggano yaitu; Kaitora, Kaahoao, Kaharuba, Kaharubi, dan Kauno. Informan penelitian ini ditentukan secara purposive sampling terdiri dari; ketua suku, kepala pintu suku, kepala desa, camat, dan pemuka masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif. Data primer dikumpulkan dengan wawancara, kuesioner sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan studi dokumentasi. Teknik analisis data berupa analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal di pulau Enggano dapat diidentifikasi sebagai berikut; 1) rumah adat untuk kepala suku (yup kakadie), dan untuk masyarakat biasa (yup keiop), pesta adat (yakarea), dan upacara pelantikan ketua suku (phaneku), 2) tarian-tarian seperti; tari perang, tari paema, tari semut, tari pakititih yepe dan tari kamumun nainey, 3) ikatan kekerabatan (periuk dan kaudar), 4) wilayah kesukuan tempat bermukim kaum suku, 5) aktivitas gotong royong berupa ; pahitaruai, paho’ahai, paruru nagrai, paruru debu. 6) pranata pengaturan penguasaan lahan oleh Ketua suku yang sudah berlangsung sejak lama setiap keluarga diberi hak kepemilikan lahan seluas 2 ha secara gratis. 7) kepercayaan terhadap roh leluhur, kekuatan magis yang dibawa sejak lahir dari keturuanan suku kahaoa (perihei), penunggu hutan keramat (hium ko’ek), dan masa berkabung/masa berpantang (yapuruhie). Dari hasil penelitian menunjukan bahwa telah terjadi pergeseran beberapa kearifan lokal suku Enggano, pergeseran ini dipengaruhi oleh keamajuan teknologi dan pola pikir kaum suku dari kelima suku tersebut yang mengarah kebutuhan ekonomi. Perubahan yang sangat drastis adalah pranata kepemilikan tanah yang diatur oleh ketua suku karena terdapat beberapa penduduk yang telah menguasai tanah dengan jumlah yang sangat luas dengan cara membeli dan mengurus surat-surat tanah melalui kepala desa dan camat tanpa sepengetahuan kepala suku.

Kata Kunci: kearifan lokal, suku

1 Ketua Peneliti Hibah Bersaing tahun 20152 Anggota Peneliti 1 3 Anggota Peneliti 2

Page 2: Fullpaper_Harmiati dkk

Abstract

This research aims to identify the local wisdom Enggano’s tribes related to local management and potency that can boost economic empowerment for Enggano tribes. This research was done on Enggano sub-districts that encompassed six villages namely; Banjasari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana and Kahayu domiciled five (5) native Enggano tribes namely; Kaitora, Kaahoao, Kaharuba, Kaharubi, dan Kauno. The informants in this research were determined using purposive sampling including tribal chief, tribal door chief, headman, sub-district head and community leader. The approach applied in this research was qualitative data that consisted of primary and secondary data. The primary data was gathered using interview and questionnaire while secondary data was collected employing documentation study. The result of this research revealed that local wisdom in Enggano island can be identified as follows; 1) custom home for tribe head (yup kakadie) and ordinary people (yup keiop, traditional feast (yakarea) and inauguration ceremony chiefs (phaneku), 2) dances such as; perang, paema, semut, pakitith yepe, and kamumun nainey dances, 3) kinship (periuk and kaudar), 4) tribal area that is a place of settlement for the tribe, 5) mutual cooperation activities namely; pahitaruai, paho’ahai, paruru nagrai, and paruru debu, 6) the management regulation of land tenure by tribal chief that have been done since a long time ago, each family was given 2 ha for land tenure authority without paying, 7) belief to ancestral spirits, scared forest watchman (hium ko’ek) and period of mourning/periods of abstinence (yapuruhie). Based on the result of research, it showed that there is a friction that influences technology and mindset of the tribes from five tribes that direct to economical needs. The drastic change is the management of land tenure organized by tribe head because it can be found that some inhabitants have land tenure authority with plentiful area by buying and administering land document through headman and sub-district head without clearance tribal chief.

Key words : Local wisdom, tribe,

1. PENDAHULUAN

Pembangunan merupakan perubahan berencana untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, namun derasnya arus globalisasi dan modernisasi secara perlahan-lahan merubah pola hidup masyarakat berakibat tergerusnya beberapa kearifan lokal. Nilai-nilai lokal yang dianut dan menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat sedikit demi sedikit merubah  perspektif, gaya hidup, dan perilaku individu. Arus globalisasi secara perlahan-lahan mengikis nilai-nilai humanisme, ikatan dan hubungan sosial masyarakat.

Palau Enggano merupakan pulau terpencil dengan sumber daya alam yang potensial berjarak 90 mil laut dari ibu kota Provinsi Bengkulu dengan luas 40.000 ha. Secara administratif pulau Enggano terdiri dari satu kecamatan yang dinamakan kecamatan Enggano (Depdikbud,1990 dalam Hartiman, 1997). Untuk datang ke Pulau tersebut harus menggunakan kapal Perintis atau Kapal Raja Enggano dengan lama perjalanan sekitar 24 jam. Namun walaupun terpencil dan terisolir pulau tersebut mempunyai sumber daya alam kelautan yang potensial untuk dikembangkan dan pada saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal karena terbatasnya sumber daya manusia dan masih minimnya infrastruktur yang tersedia.

Di pulau Enggano banyak terdapat kearifan lokal yang menjadi pedoman dalam berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan secara arif. Kearifan lokal yang mereka miliki tidak dijadikan bagian dari pengelolaan untuk peningkatan perekonomian keluarga. Sehingga kebiasaan (folkways) masyarakat berupa kesenian, budaya, dan sumber daya yang lainnya hanya menjadi kekuatan yang mengikat untuk kaum suku itu

2

Page 3: Fullpaper_Harmiati dkk

sendiri. Kearifan masyarakat dalam interaksinya dengan alam hanya menjadikan kekuatan normatif yang mengatur komunitas saja karena sifatnya normatif dan tidak tertulis maka kearifan lokal suku Enggano semakin hari semakin bergeser dari kondisi yang aslinya. Bahkan kearifan lokal yang dulu pernah ada kemudian mulai menghilang bahkan tidak dijalankan lagi oleh masyarakat karena perubahan atau pergeseran sistem nilai sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sangat cepat.

Pengidentifikasian kearifan lokal suku Enggano perlu dilakukan karena belum terdapat kajian tentang hal ini, suku Enggno juga memiliki kekhasan dari segi sistem budaya dan pengelolaan lingkungan karena pulau Enggano memiliki rentanitas kerusakan lingkungan yang tinggi mengingat wilayah berpulau-pulau. Oleh sebab itu, pendesainan pengelolaan kearifan lokal di kalangan masyarakat desa sangat membutuhkan pemahaman nilai-nilai budaya dan ekonomi secara menyeluruh dan mengakar untuk meningkatkan pemanfaatan kearifan lokal sehingga menjadi daya tarik pendatang untuk menikmati wisata pantai, budaya, wisata alam dan lain sebagainya.

2. METODE

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif, langsung mengarah pada keadaan dan pelaku-pelaku yang menjadi sasaran. Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan wawancara dan kuesioner sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan studi dokumentasi. Informan penelitian ini ditentukan secara purposive sampling Bogdan (1975) terdiri dari; Ketua Suku, Kepala Pintu Suku, Kepala Desa, Camat, dan Pemuka Masyarakat. Teknik analisis data berupa analisis deskriptif kualitatif.

3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat diidentifikasi kearifan lokal suku Enggano di Kecamatan Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu sebagai berikut:

1. Rumah Adat, Yakarea, dan Phaneku kahaoa

Rumah adat suku Enggano terbagi menjadi 2 bentuk yaitu; rumah adat untuk ketua suku Enggano yang berbentuk bulat (yup kakadie) didirikan secara bergotong royong dengan kaum suku, letak rumah ditengah-tengah pemukiman kaum suku memiliki satu pintu, satu jendela di kamar, tangganya yang bisa dilepas dan disimpan. Ruang tamu dan pertemuan dilantai bawah yang tidak diberi dinding dan cukup luas. Di pulau Enggano hanya terdapat 2 (dua) rumah adat suku Kaitora dan suk Kauno terletak di desa Meok untuk ketua suku yang ada di pulau Enggano adalah rumah adat. Diujung tiang utama terdapat kain putih sebagai tanda penghormatan kepada roh nenek moyang dan mohon izin bagi anak cucu yang akan menempati. Letak rumah ketua suku berada ditengah-tengah pemukiman bertujuan untuk mempermudah pengawasan terhadap kaum suku.

Sedangkan rumah adat suku Enggano untuk warga biasa berbentuk persegi (yup keiop) yang didirikan ditengah-tengah pemukiman kaum suku. Memiliki satu pintu didepan dan disamping kiri, dua jendela kecil, dan memiliki tangga sandaran yang

3

Page 4: Fullpaper_Harmiati dkk

bisa dilepas tergantung situasi dan kondisi. Di rumah adat tidak ada simbol-simbol khusus untuk pemujaan atau lambang kepercayaan.

Yakarea merupakan pesta adat yang dilakukan oleh suku Enggano dalam rangka peresmian rumah adat Enggano. Sebelum upacara yakarea diadakan acara sumbangan sebagai tanda bergembira diiringi dengan nyanyian-nyayian sambil membawa sumbangan ala-kadarnya sebagai pertanda telah adanya saling kesepahaman.

Phaneku kahaoa merupakan upacara pelantikan ketua suku kahaoa pada acara pelantikan dilakukan prosesi penyerahan mahkota ke ketua suku sekaligus penyerahan warisan adat berupa parang satu buah, uang Rp 1000,- dan satu lokasi kebun kelapa, terok dan durian (surat adat).

2. Tarian

Tari perang, tari paema, tari semut, tari pakititih yepe dan tari kamumun nainey. Tari perang merupakan tari perdamaian antar suku. Tari paema merupakan ungkapan rasa gembira karena maksud dan tujuan tercapai, tari semut melambangkan rasa kesatuan masyarakat dalam menyukseskan pesta agar dalam pelaksanaannya tidak ada halangan, tari pakititih yepe merupakan tari pembersihan (bersih desa) dengan tujuan membersihkan kaudar/kampung dari arwah leluhur yang meninggal di kampung tersebut, tari kamumun nainey adalah tari kegembiraan disituasi apapun ungkapan spontan gerakan dan pakaian bebas bisa bergandengan tangan.

3. Periuk dan Kaudar

Periuk adalah merupakan ikatan kekerabatan yang diambil dari keturunan nenek sesuai dengan garis keturunan matrilineal.

Kaudar terbentuk dari beberapa periuk mendiami suatu daerah tertentu masih satu suku atau anak suku. Satu kaudar biasannya dihuni minimal 5 (lima) periuk dengan rata-rata satu periuk lima orang anak dan 25 (dua puluh lima) cucu.

4. Wilayah Kesukuan

Wilayah kesukuan yang dimiliki oleh masing-masing suku Enggano disepakati oleh Ketua suku yaitu; suku Kaitora wilayah kesukuannya di kampung tengah (Meok), wilayah kesukuan Kauno di sekitar desa Meok, wilayah kesukuan Kahaoa wilayahnya di desa Apoho, wilayah kesukuan Kaarubi disekitar desa Kaana, dan wilayah kesukuan Kaaruba disekitar desa Malakoni. Tempat tinggal berdasarkan wilayah kesukuan mengalami pergeseran karena dari pola perkawinan aksorilokal menjadi patrilokal. Kebiasaan adat suku Enggano dalam anak yang baru menikah mengikuti pola aksorilokal kaum laki-laki mengikuti kaudar isterinya sebagai tempat menetap karena mengikuti garis keturunan ibu atau materilinial. Akan tetapi, pada saat sekarang ini banyak orang Enggano yang baru menikah tinggal di kaudar suaminya namun garis keturunannya tetap mengikuti garis keturunan ibunya, hak dan kewajiban tetap dipatuhi oleh suku tersebut (Ekorusyono 2013).

5. Aktivitas Gotong Royong

Aktivitas gotong royong sejak nenek moyang telah berlangsung dan memiliki berbagai macam bentuk yaitu; pahitaruai, paho’ahai, paruru nagrai, paruru debu sebagaimana uraian berikut;

4

Page 5: Fullpaper_Harmiati dkk

Pahitaruai merupakan aktivitas tolong menolong bidang pertanian dengan cara bergotong royong dalam mengerjakan tanah pertanian pada waktu menanam padi. Dalam pahitarua, beberapa orang, biasanya enam sampai dua puluh orang, bermufakat untuk secara bergantian mengerjakan tanah pertanian bersama-sama.

Paho’ahai, adalah bantuan pribadi merupakan kegiatan tolong-menolong khusus membantu seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan kelompok secara bersama-sama, berbagai jenis pekerjaan, baik dalam bidang pertanian, perikanan atau dalam pekerjaan-pekerjaan di sekitar rumah tangga. Seseorang yang meminta bantuan tenaga dalam berkewajiban untuk menjamu makan orang-orang yang telah membantunya.

Paruru nagrai adalah cara tolong menolong diantara sesama warga suatu untuk mau membiayai suatu pesta atau upacara yang harus diselenggarakan oleh salah satu warganya. Paruru nangrai biasanya dilakukan seseorang meyelenggarakan pesta perkawinan atau pesta kalea (pesta besar).

Paruru debu adalah jenis gotong royong yang berarti mengumpulkan barang. Hal semacam ini dilakukan untuk menolong pihak laki-laki yang akan menikah. Melalui kepala sukunya memberi tahu bahwa akan dilakukan paruru debu pada hari tertentu. Kemudian para kerabat akan datang ke rumah calon pengantin laki-laki untuk mengantarkan barang berupa beras, minyak dll. Kepala suku menugaskan orang tertentu untuk mencatat sumbangan yang telah diberikan warga kepada orang tua calon mempelai laki-laki. Setelah bahan-bahan terkumpul maka keluarga pihak laki-laki mengantarkannya kepala pihak keluarga perempuan untuk acara pesta pernikahan.

6. Kekuatan Magis

Kepercayaan terhadap roh nenek moyang telah mengakar dalam alam bawah sadar penduduk asli Enggano. Mahluk penunggu diteluk Kinen adalah salah satu roh leluhur yang sangat dihormati. Roh leluhur oleh masyarakat Enggano diyakini memberi perlindungan, keselamatan, dan menjauhkan mereka dari segala bahaya. Roh leluhur tempat mengadu dan meminta pertolongan untuk keluar dari segala macam kesulitan pada saat kegiatan penting seperti; membangun rumah, membuka lahan baru, memanen tanaman, membuat jalan, dan berpergian sendirian maupun rombongan selalu meminta izin dan restu dari roh leluhur.

Perihei merupakan kekuatan magis yang dimiliki oleh suku Enggano dari suku Kahaoa yang dibawa sejak lahir dari lewat jalur ibu. Perihei dapat berlaku pada manusia, binatang, atau pun tanaman.

Hium ko’ek mahluk asing penunggu hutan keramat, laut, dan tanah-tanah tertentu; Ko’ok tidak menggangu manusia kalau tidak diganggu terlebih dahulu, namun kalau ada yang menggangu kediamannya akan mendapat bala’ dan gangguan yang tidak bisa diobati secara medis. Oleh sebab itu hutan keramat, pohon-pohon tertentu dilarang untuk ditebang, dilarang berkata sombong dan dilarang keluar rumah diwaktu magrib.

7. Pranata Pengaturan Penguasaan Lahan

Pranata pengaturan penguasaan lahan telah diatur oleh Ketua suku bahwa setiap keluarga diberi hak kepemilikan lahan seluas 2 ha secara gratis, pemberian tanah tersebut dilakukan melalui upacara adat yang disaksikan oleh masyarakat sekitarnya ditandai dengan penyerahan satu buah kampak sebagai tanda bahwa

5

Page 6: Fullpaper_Harmiati dkk

tanah tersebut telah diserahkan kepada seseorang. Semua penduduk tidak diperkenankan untuk memiliki tanah lebih dari 2 ha dengan maksud untuk menyediakan tanah bagi keturunan suku Enggano selanjutnya, tujuan lain adalah untuk menjaga kelestarian alam di Pulau Enggano karena pulau tersebut merupakan pulau kecil yang rentan dengan kerusakan.

8. Yapuruhie

Yapuruhie masa berkabung/berpantang apabila ada warga yang meninggal, terdapat beberapa larangan atau kegiatan selama masa berpantang yang tabu dilaksanakan berkaitan dengan kematian selama 3 (tiga) minggu atau sampai 40 (empat puluh) hari setelah kematian tidak diperkenankan ada pernikahan diantara warga, dilarang keras melakukan penyelewengan seperti zina, dan bergembira bermain gitar, bernyanyi atau berbicara keras selama masa berpantang. Kalau terjadi pelanggaran terhadap ”pantangan” maka yang melanggar harus membayar denda (eparaba uwai) sebesar Rp 150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) denda diserahkan kepada ahli waris yang tertimpa musibah dan 100.000 (sertatus ribu) diserahkan pada sukunya atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kalau terjadi lagi pelanggaran oleh orang atau sekelompok orang yang sama maka pelanggar akan diusir dari Enggano. Masa pantangan akan berakhir setelah diadakan selamatan (perbuki).

3.2. PEMBAHASAN

Kearifan lokal terbentuk dari perilaku, kebiasaan, norma, dan kelembagaan masyarakat. Pergeseran dan perubahan karakteristik kearifan lokal sangat dipengaruhi oleh sistem sosial, ekonomi dan budaya. Derasnya arus globalisasi berakibat pada perubahan pola dan perilaku masyarakat karena mereka belum dapat mengembangkan dan memanfaatkan kearifan lokal sebagai modal untuk mendukung penguatan ekonomi keluarga. Pola kehidupan masyarakat mengalami pergeseran dari cara-cara hidup yang tradisional menuju masyarakat modern dan secara perlahan-lahan kearifan lokal yang mereka miliki yang menjadi bagian dari hidup mereka berubah bentuk bahkan hilang ditengah tengah hiruk pikuk kehidupan masyarakat transisi. Kondisi ini membutuhkan perlakuan yang arif dalam merumuskan pola-pola yang paling tepat untuk mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal yang dapat menjadi penguatan ekonomi.

Usaha pengembangan dan pelestarian kearifan lokal memerlukan pengelolaan secara bersama baik masyarakat adat, pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten serta penduduk pendatang. Penginisiasian sistem hukum yang baik harus tumbuh dan berakar kuat dalam masyarakat dengan didorong dari berbagai pihak, sebagai contoh; pranata kepemilikan lahan yang telah disepakati oleh kelima ketua suku di kecamatan Enggano mengalami perubahan secara drastis. Pranata yang telah diatur oleh ketua suku bahwa setiap kepala keluarga yang tinggal menetap di pulau Enggano diberi lahan oleh ketua suku seluas 2 ha melalui upacara adat disertai dengan pemberian kampak disaksikan oleh kaum suku sekitarnya (Harmiati dkk2011). Pemberian lahan oleh ketua suku ini tidak disertai oleh surat-surat tanah, sebagai bukti mereka telah memiliki tanah secara sah bukti kepemilikan tanah. Hal ini yang menjadi permasalahan bagi masyarakat dan kaum suku karena pemerintah mengakui bukti sah kepemilikan tanah adalah surat-surat tanah seperti akta jual beli atau sertifikat tanah dari kecamatan dan dari Badan Pertanahan Kabupaten Bengkulu Utara. Dalam hal ini ketua suku semakin tidak berdaya

6

Page 7: Fullpaper_Harmiati dkk

walaupun pranata kepemilikan lahan sudah diatur dengan kesepakatan ketua-ketua suku di Enggano.

Dalam pengelolaan sumber daya alam terutama tentang kelautan juga terjadi pergeseran dan muncul kecenderungan yang semakin menguat terkait dengan pola perekonomian mengarah kepada bentuk tindakan yang spekulatif dan eksploitatif terhadap sumber daya alam. Dalam hal ini ketua suku semakin tidak berdaya walaupun pranata pengolahan sumber daya laut seperti larangan menggunakan bom dilaut, kapal besar menyapu semua benih-benih ikan dilaut dan alat berbahaya yang lainnya. Ketua suku tidak berdaya dalam menghadapi permasalahan ini padahal sumber penghidupan kaum suku di pulau Enggano sebagian besar dari laut hal inilah yang menjadi pertimbangan ketua suku dalam melestarikan sumber daya laut sehingga kehidupan anak cucu suku Enggano dapat berkelanjutan. Ketua suku dan kaum suku pihak yang selalu kalah dalam mempertahankan hak dan terkadang dikalahkan dengan alasan kawasan diperlukan untuk kepentingan umum dan pembanguan hal ini sesuai dengan (Iskandar, 1999).

Sistem pengetahuan lokal, kearifan lokal dapat dipadukan dengan pelestarian nilai-nilai lokal. Kerjasama ketua suku, kaum suku, pemerintah desa, BPD, dan camat Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara merupakan sala satu cara mengatasi untuk masalah ketidakpatuhan masyarakat dalam pranata tentang kepemilikan lahan dan penangkapan ikan di laut secara lestari. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengelolaan bersama, hal ini perlu dilakukan pendekatan sistem pada tingkat lokal dan negara. Pengelolaan bersama meliputi pembagian kekuasaan yang sesungguhnya antara ketua suku di pulau Enggano dan pemerintah. Sehingga masing-masing dapat mengontrol penyimpangan yang terjadi. Menurut Mitchel et al (2000) apabila sumber daya dikelola secara lokal sebagian besar kewenangan diserahkan kepada masyarakat lokal yang didukung oleh pengakuan pemerintah.

4. KESIMPULANDari uraian hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diidentifikasi kearifan

lokal suku Enggano sebagai berikut;

1. Kearifan lokal yang teridentifikasi hanya pada tataran kebiasaan (folkways) namun ide-ide, nilai, nilai yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam telah mementingkan kelestarian sumber daya alam

2. Terdapat berbagai macam kearifan lokal suku Enggano akan tetapi belum dapat dimanfaatkan untuk penguatan ekonomi keluarga, karena masih terbatasnya sumber daya dalam pengelolaan kearifan lokal.

3. Terjadi pergeseran beberapa kearifan lokal suku Enggano berkaitan dengan pranata kepemilikan tanah yang selama ini diatur oleh ketua suku, akan tetapi sekarang pola pengusaan tanah telah diatur oleh pemerintah.

5. UCAPAN TERIMA KASIH

Tujuan penelitian ini mengidentifikasi kearifan lokal suku Enggano berkaitan dengan kepranataan dan potensi lokal yang dapat mendorong penguatan ekonomi penduduk Enggno. Pengidentifikasian kearifan lokal suku Enggano perlu dilakukan karena belum ada penkajian tentang kearifan lokal suku Enggano. Selama pelaksanaan penelitian banyak hal yang menghambat, terutama masalah transportasi ke lokasi penelitian. Walaupun demikian, syukur alhamdulilah akhirnya penelitian dapat berjalan sesuai waktu

7

Page 8: Fullpaper_Harmiati dkk

yang telah ditetapkan. Dalam kesempatan ini, kami juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Riset dan Pendidikan Tinggi yang telah membiayai pelaksanaan penelitian ini, Rektor Universitas Prof. DR. Hazairin, SH Bengkulu, Ketua Lembaga Penelitian Universitas Prof. DR. Hazairin, SH Bengkulu, Camat Kecamatan Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu. Para Ketua Suku, Kepala Pintu Suku di pulau Enggano, Para Kepala Desa di Wilayah Pulau Enggano Akhirnya kami juga mengharapkan kepada semua pihak untuk memberikan masukan-masukan yang konstruktif agar dapat meningkatkan kualitas penelitian kami di masa yang akan datang. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukannya.

DAFTAR PUSTAKA

Andi M. Akhmar dan Syarifuddin, 2007. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan, PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI dan Masagena Press, Makasar

Ekorosyono, 2013, Mengenal Budaya Enggano, Penerbit Buku Litera.

Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor

1975 Introduction To Qualitative Research Method, New York: John Willey Sons.

Harmiati, 2011, Model Pemberdayaan Suku Asli Enggano di Kecamatan Enggano Kabupaten Bengkulu Utara, LPPM UNIHAZ

-----------, 2008, Model Pemberdayaan Transmigran Lokal dalam Peningkatan Kesejahteraan Keluarga di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara, LPPM UNIHAZ

Hartiman, Andry Harijanto, 1997, Perkawinan Adat dalam Persfektif Antropologi Hukum: Studi Kasus Perdamaian Adat Sebagai Syarat Perkawinan Di Kecamatan Pulau Enggano”, dalam Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, No. Edisi Ke VI, Tanggal 6 Januari 1997, hal. 52-64.

Mitchell, B., B. Setiawan dan D.H. Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumber daya dan Lingkungan. GMUP. Yogjakarta. 498 hal.

8