fungsi arajang pada masyarakat luwu - oxis.org · pdf filemaupun yang berada di daerah lain....

13

Click here to load reader

Upload: ngothien

Post on 05-Feb-2018

225 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: FUNGSI ARAJANG PADA MASYARAKAT LUWU - oxis.org · PDF filemaupun yang berada di daerah lain. ... Jarak Kota Palopo dari ibu kota provinsi ... Kerajaan Luwu tidak terlepas dari mitologi

183

PENDAHULUAN

Kebudayaan merupakan keseluruhan tanda

atau simbol yang digunakan oleh manusia dalam

hidupnya untuk mempertahankan keberadaannya

sebagai mahluk hidup yang diperoleh dalam

kehidupannya sebagai warga suatu masyarakat

atau komunitas. Tanda atau simbol dapat dibagi

atas dua aspek yaitu, pertama hal-hal yang

abstrak, seperti ide-ide, pengetahuan, nilai-nilai,

norma, dan aturan yang tidak dapat dilihat, karena

tersimpan sebagai pengetahuan yang ada dalam

pikiran, kedua yang agak konkrit seperti perilaku

dan tindakan Hal itu dapat diartikan, bahwa

FUNGSI ARAJANG PADA MASYARAKAT LUWU

THE FUNCTION OF ARAJANG FOR LUWU SOCIETY

Iriani

Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

Jalan Sultan Alauddin/ Tala Salapang km 7 Makassar, 90221

Telepon (0411) 885119,883748,Fsksimile (0411) 865116

Pos-el: [email protected]

Handphone: 081266169000

Diterima: 16 Februari 2015; Direvisi: 14 April 2015; Disetujui: 27 Mei 2015

ABSTRACT

This study aims to describe the function of arajang for Luwu society. This study uses a qualitative method and

technique of collecting data through in-depth interviews and observations of the society activities when facing

arajang, the tools used, and all activities regard to arajang. The study results showed that arajang is a heirloom

of Luwu Kingdom as a symbol of the legitimacy of king (datu) power. To maintain power, a king (datu) must be

able to maintain the existence of his arajang. Arajang is strongly associated with the belief of Luwu society with

the mythology of Tomanurung as god who came down from Heaven, thus considered to have magical power.

Arajang is too sacred for Luwu society, so that not just anyone can see it. If anyone want to see it, there are

in the palace of Luwu Kingdom and treated as a sacred object, even considered as a king (pajung).

Keywords: the function of arajang, Tomanurung, the power of legitimacy.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan fungsi arajang bagi masyarakat Luwu. Penelitian ini menggunakan

metode kualitatif dan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan observasi terhadap aktivitas

masyarakat ketika menghadap arajang, alat yang digunakan, dan segala aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat

berkaitan dengan arajang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa arajang merupakan benda pusaka kerajaan

Luwu yang menjadi simbol legitimasi kekuasaan raja (datu). Untuk mempertahankan kekuasaan, seorang

datu harus mampu mempertahankan arajang yang ada padanya. Arajang sangat terkait dengan kepercayaan

masyarakat Luwu tentang mitologi Tomanurung yang dipercaya sebagai dewa yang turun dari kayangan,

sehingga mempunyai kekuatan magis. Arajang sangat sakral bagi masyarakat Luwu, sehingga tidak sembarang

orang bisa melihatnya. Apabila ingin melihat arajang, beberapa persyaratan khusus harus dipersiapkan, berupa:

sesajen dan kebersihan hati. Arajang harus disimpan rapi di dalam istana kedatuan Luwu dan diperlakukan

sebagai benda keramat, bahkan dianggap sebagai raja (pajung).

Kata kunci: fungsi arajang, Tomanurung, legitimasi kekuasaan.

kebudayaan manusia baik pada tataran wujud

gagasan (ideas), tataran perilaku dan tindakan

(activities), serta tataran wujud benda-benda

(artifacts) diekspresikan melalui gagasan-gagasan

nilai-nilai, dan simbol-simbol, sehingga dapat

dikatakan, bahwa kebudayaan terdiri atas pola-

pola yang nyata, maupun tersembunyi. Perilaku

atau hasil tindakan akan mempengaruhi tindakan

selanjutnya dan lahir secara berpola (Ahimsa

Putra, 2004:3-4).

Adapun simbol yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah arajang atau benda-benda

pusaka kerajaan. Hampir semua kerajaan di

Page 2: FUNGSI ARAJANG PADA MASYARAKAT LUWU - oxis.org · PDF filemaupun yang berada di daerah lain. ... Jarak Kota Palopo dari ibu kota provinsi ... Kerajaan Luwu tidak terlepas dari mitologi

184

Sulawesi Selatan mengenal adanya arajang,

seperti Kerajaan Luwu, Bone, Wajo dan Gowa.

Dapat dikatakan, di daerah Bugis seperti Luwu,

Bone, dan Wajo lebih dikenal dengan arajang,

sedangkan di daerah Makassar seperti Gowa lebih

dikenal dengan kalompoang.

Secara historis arajang (Bugis) atau

kalompoang (Makassar) sangat terkait dengan

Tomanurung sebagai pemegang kendali politik,

dalam hal ini penguasa atau Raja. Oleh karena

itu raja dianggap sebagai wakil dari kalompoang

dalam melaksanakan kekuasaannya. Sehingga

perpindahan kalompoang kepada pemegang baru

berarti berpindah pula keududukan kekuasaan dan

hak untuk melaksanakan pengawasan atas tanah

(Paeni, 2002:28).

Arajang atau regalia merupakan benda

pusaka Kerajaan Luwu yang sangat bermakna,

sebab raja Luwu memerintah atas nama arajang

atau regalia. Hampir semua orang Luwu

mengenal adanya arajang, walaupun pemahaman

setiap orang terhadap objek (arajang) tersebut

berbeda-beda. Selain itu arajang merupakan

benda keramat atau simbol kekuasaan Kerajaan

Luwu pada masa lampau yang biasanya berupa

benda-benda berupa parang dan semacamnya.

Benda-benda kerajaan tersebut dikenal dengan

beberapa nama, yakni ada yang dikenal dengan

Labungawaru, Labarana, Lakarurung, dan

Jekkoe. Pada saat ini benda tersebut disimpan

dengan rapi di dalam istana Kerajaan Luwu.

Bahkan disimpan dalam kamar khusus dan

sebagai benda keramat yang harus dihormati.

Tidak sembarang orang yang berkunjung ke

istana dapat melihat atau memasuki ruangan

tempat arajang berada, sebab arajang dianggap

sebagai raja atau Tomanurung yang mempunyai

kekuatan sakti.

Arajang masih dihormati oleh masyarakat

Luwu hingga saat ini, baik yang berada di Luwu

maupun yang berada di daerah lain. Salah

satu bentuk penghormatan yang masih dapat

disaksikan hingga saat ini adalah ketika akan

melakukan upacara maccerak tasik atau pesta laut.

Ada ritual yang disebut dengan ma’duppa, yaitu

upacara menghadap ke arajang untuk meminta

restu kepadanya agar pelaksanaan upacara dapat

berjalan dengan lancar, tanpa sesuatu hambatan

apapun. Arajang disimbolkan sebagai seorang raja

atau tomanurung yang mampu menyelesaikan

segala permasalahan di dalam masyarakat,

baik masalah sosial maupun bencana alam.

Oleh karena itu kiranya sangat penting untuk

melakukan penelitian tentang “Fungsi arajang

pada masyarakat Luwu” untuk memahami makna

yang terkait dengan arajang serta fungsi arajang

dalam masyarakat Luwu.

Bertitik tolak dari latar belakang

permasalahan, maka dapat dirumuskan beberapa

pertanyaan, yakni; (1) bagaimana eksistensi

arajang pada masyarakat Luwu terhadap arajang,

sehingga sampai saat ini masih dijadikan sebagai

benda keramat yang harus dihormati?; (2)

Bagaimana fungsi arajang terhadap masyarakat

Luwu pada saat ini?

Adapun tujuan penelitian ini adalah

ingin menganalisis, menginterpretasi dan

mendeskripsikan eksistensi arajang dalam

masyarakat Luwu. Demikian pula ingin men-

deskripsikan dan menganalisis fungsi arajang

terhadap masyarakat Luwu saat ini.

Untuk membahas dan menganalisis

hasil penelitian ini, digunakan teori struktural

fungsional yang dikemukkan oleh Talcot Parson,

yang mana menurut pendekatan struktural

fungsional, setiap masayarakat selalu ditemukan

adanya sistem nilai sebagai hasil konsensus

bersama (collective conciousness) semua anggota

masyarakat. Masyarakat mempunyai tujuan-

tujuan yang hendak dicapai dan disediakan

seperangkat cara pencapainnya. Kemudian pola

perilaku oleh kaidah sosial hasil konsensus

bersama mempunyai kekuatan memaksa dan ini

disadari oleh semua anggota masyarakat, bahwa

memang begitulah seharusnya (self enforcing).

Maka dalam keadaan seperti ini maka sistem

nilai bersifat fungsional dan mempunyai kekutan

integratif. Sistem nilai ini bersumber dari pola-

pola budaya yang meliputi beliave system, system

of expressive symbolism, dan systems of value

orientation standards (Narwoko, 2006: 262).

Lebih jauh diungkap, bahwa antara

kebudayaan dan nilai itu sangat berbeda, budaya

merupakan suatu yang lebih luas dari pada nilai.

Oleh karena itu antara nilai dan kepercayaan, serta

pandangan hidup itu berbeda satu sama lainnya.

WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 183—195

Page 3: FUNGSI ARAJANG PADA MASYARAKAT LUWU - oxis.org · PDF filemaupun yang berada di daerah lain. ... Jarak Kota Palopo dari ibu kota provinsi ... Kerajaan Luwu tidak terlepas dari mitologi

185

Fungsi Arajang Pada ... Iriani

Nilai mengacu kepada kategori ”good” dan ”bad”

dan ”right” dan ”wrong”, sementara kepercayaan

mengacu kepada kategori ”true” dan ”false” dan

”correct” dan ”incorrect”. Kepercayaan sering

diartikan sebagai the desirable yang disetujui dan

diperintahkan oleh Tuhan. Jadi bagaimanapun,

dalam hal tertentu nilai dan kepercayaan memiliki

persamaan. Dua-duanya mengandung pemikiran

tentang standar atau pengukuran.

Sistem kepercayaan adalah termasuk

di dalamnya emosi keagamaan, kelompok

keagamaan, dan sistem upacara keagamaan

(Koentjaraningrat,1990:148). Hal ini sangat

terkait dengan ritual yang dilakukan pada arajang

sebagai benda keramat yang dianggap mempunyai

kekuatan sakti.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode

kualitatif dengan teknik pengumpulan data

melalui wawancara mendalam kepada orang

yang bertugas sebagai penjaga arajang di

dalam istana dan melakukan wawancara kepada

datu Luwu dan beberapa keturunannya, serta

beberapa orang yang mengetahui tentang

arajang, termasuk orang-orang yang pernah

mengunjungi arajang. Untuk menjaga agar

informasi yang disampaikan oleh informan tidak

mudah terlupakan, maka selama wawancara

berlangsung peneliti mencatat jawaban yang

dianggap relevan dengan permasalahan penelitian,

dan juga menggunakan alat bantu perekam.

Selain wawancara mendalam, juga dilakukan

observasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh

penjaga arajang saat akan menghadap ke arajang

dan pengunjung yang sedang melakukan ritual

terhadap arajang, seperti menyiapkan dupa dan

daun sirih serta perlengkapan lainnya. Untuk

melengkapi data lapangan, maka dilakukan studi

pustaka, dengan membaca beberapa literatur yang

ada relevansinya dengan arajang, termasuk hasil-

hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

Penelitian ini dilakukan di Kota Palopo,

tepatnya di istana Kerajaan Luwu (Kedatuan

Luwu). Adapun alasan memilih lokasi tersebut

adalah, karena arajang berada dan di simpan

dalam istana Kedatuan Luwu, yang saat ini selain

berfungsi sebagai museum, juga berfungsi sebagai

tempat tinggal datu Luwu.

Data yang diperoleh dari wawancara,

observasi dan dokumentasi dianalisis secara

kualitatif. Analisis data terdiri atas 3 alur

kegiatan secara bersamaan, yakni reduksi data,

menyederhanakan data yang diperoleh dengan

mengklasifikasi, dan penyajian data dengan

membuat abstraksi dengan menghubungkan

atau membandingkan dengan teori yang ada dan

penarikan kesimpulan.

PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Luwu atau Palopo merupakan salah satu ibu

kota kabupaten yang secara administratif masuk

dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Secara

Palopo terletak di sebelah barat,

tepatnya berbatasan dengan Tondon Nanggala

Kabupaten Toraja, sebelah utara berbatasan

dengan Walenrang Kabupaten Luwu, sebelah

timur berbatasan dengan Teluk Bone, dan sebelah

selatan berbatasan dengan Kecamatan Bua

Kabupaten Luwu.

Jarak Kota Palopo dari ibu kota provinsi

Sulawesi Selatan sekitar 366 km, dengan

waktu tempuh selama ± 9 jam. Dari ibu kota

provinsi Sulawesi Selatan menuju Kota Palopo

dapat menggunakan kendaraan berupa bus

maupun kendaraan pribadi. ibu kota Palopo

termasuk dalam wilayah Kecamatan Wara.

Pada pertengahan tahun 2006 kota Palopo

dimekarkan menjadi sembilan Kecamatan, yakni

kecamatan Wara, Kecamatan Wara Selatan, Wara

Timur, Wara Barat, Wara Utara, Mungkajang,

Telluwanua, Sandana, dan Bara.

Masyarakat Luwu, khususnya di Kota

Palopo mayoritas beragama Islam, walaupun tidak

ditemukan data tertulis secara pasti mengenai

jumlah penduduk berdasarkan agama, namun

dapat dilihat dengan sering ditemukan tempat

ibadah berupa masjid. Selain agama Islam

masyarakat Kota Palopo juga ada yang beragama

Nasrani dan beragama Budha.

Walaupun masyarakat Luwu sudah

mempunyai agama masing-masing, namun masih

terdapat kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan

gaib, mahluk-mahluk halus, dan kekuatan sakti

berupa dewa-dewa. Sehingga untuk menghindari

Page 4: FUNGSI ARAJANG PADA MASYARAKAT LUWU - oxis.org · PDF filemaupun yang berada di daerah lain. ... Jarak Kota Palopo dari ibu kota provinsi ... Kerajaan Luwu tidak terlepas dari mitologi

186

adanya gangguan dari dewa atau kekuatan sakti

tersebut, maka masyarakat mengadakan ritual

atau upacara untuk meminta perlindungan kepada

dewa yang menentukan nasib manusia (Dewa

Patotoe), termasuk kepercayaan kepada arajang

sebagai benda pusaka yang memiliki kekuatan

magis.

Masyarakat Luwu mengenal adanya

kepercayaan kepada Dewata SeuwaE yang

merupakan gerakan kerohanian yang bertujuan

mencari hubungan batin antara manusia dengan

Tuhan yaitu makhluk gaib yang dianggap ada

mendiami alam gaib. Dewa-dewa dianggap

sebagai personalitas hidup masyarakat dengan

menaruh kepercayaan kepada dewa yang

memelihara,/menjaga dan menggerakkan bala

bencana dalam kehidupan manusia. Hal ini

diwujudkan dengan melakukan prosesi ritual

terhadap kekuatan gaib yang mendiami alam raya

sebagai bagian dari kekuasaan Dewata Suwwae.

Eksistensi Arajang dalam Masyarakat Luwu

- Mitos tentang Arajang dan Tomanurung

Bagi masyarakat tradisional, mitos

merupakan cerita yang benar dan menjadi milik

mereka, seperti halnya cerita dalam La Galigo

tentang Tomanurung, yang dianggap cerita yang

sangat berharga dan penuh makna dan nilai dalam

kehidupan orang Bugis, khususnya di Luwu.

Mitos selalu menyangkut suatu penciptaan yang

dianggap sebagai jaminan eksistensi dunia dan

manusia.

Seperti halnya keberadaan arajang pada

Kerajaan Luwu tidak terlepas dari mitologi

dan kosmologi orang Luwu. Bahkan dalam

naskah La Galigo yang merupakan naskah

mytologi terpanjang di dunia, mengatakan

bahwa raja pertama di Luwu bersemayam di

Boting Langi, yaitu berada di langit ke tujuh

bersama permaisurinya. Atas saran dari menteri-

menterinya dan hasil kesepekatan seluruh

dewa-dewa penguasa di alam semesta ini, maka

dimufakatilah untuk menurunkan salah seorang

putera Patoto’e (yang maha pencipta) yang

bernama Batara Guru Latoge Langi Sangkuru

Wira untuk dijadikan raja dari segala raja di muka

bumi (Pangeran, 2011:6).

Dister dalam Daeng (2008:81) mengatakan,

bahwa mitos merupakan sebuah cerita pemberi

pedoman atau arah tertentu kepada sekelompok

orang. Mitos memberikan arah kepada kelakuan

manusia dan merupakan pedoman bagi manusia

untuk bertindak bijaksana. Bahkan mitos

menyadarkan manusia akan adanya kekuatan-

kekuatan ajaib. Seperti halnya cerita mitos tentang

Tomanurung di dalam cerita La Galigo yang

menceritakan asal mula terbentuknya Kerajaan

Luwu.

Dikatakan bahwa, Batara Guru pada

mulanya diturunkan di suatu tempat bernama

Ussu (di Malili Luwu Timur). Tempat tersebut

kemudian menjadi pusat pemerintahan Kerajaan

Luwu yang pertama. Batara Guru diturunkan

melalui sebilah bambu emas atau bambu kuning

yang disebut “tellang pulawengnge”. Dikatakan

juga bahwa setelah proses pengujian untuk

menjadi raja selesai atau setelah meletakkan dasar

pemerintahan Kerajaan Luwu, maka Batara Guru

digantikan oleh putranya yang bernama Batara

Lettu sebagai Pajung Luwu. Kemudian Batara

Lettu bersama permaisurinya Datu Sengngeng

melahirkan seorang putera yang bernama

Sawerigading Latoge Langi To Appanyompa

yang melakukan beberapa kali peperangan dan

penaklukan. Kemudian Sawerigading bersama

permaisurinya bernama We Cudai seorang putri

dari Kerajaan Cina, melahirkan seorang anak yang

bernama La Galigo, sebagai penulis naskah klasik

yang dikenal sebagai buku La Galigo.

Pada akhir naskah La Galigo disebutkan

bahwa”wettu rigilinna sinapatie” yaitu pada

waktu alam raya dibalikkan, maka Sawerigading

dan permaisurinya We Cudai serta seluruh

Kerajaan Luwu diperintahkankan oleh Patoto’e

untuk turun ke dasar samudera yang ke tujuh

(tinrelle lao ti toddang toja). Dengan demikian

maka berakhirlah periode La Galigo.

Menurut lontara, setelah berakhirnya

periode La Galigo, terjadi kekosongan kekuasaan

di Kerajaan Luwu, sehingga timbul kekacauan

tanpa ada norma-norma yang mengatur, sehingga

dikenal dengan sianrebale. Masa ini berlangsung

cukup lama yang kemudian berakhir dengan

munculnya Tomanurung di berbagai daerah

di Sulawesi Selatan, seperti manurungnge ri

Matajang di Kerajaan Bone, dan di Kerajaan

WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 183—195

Page 5: FUNGSI ARAJANG PADA MASYARAKAT LUWU - oxis.org · PDF filemaupun yang berada di daerah lain. ... Jarak Kota Palopo dari ibu kota provinsi ... Kerajaan Luwu tidak terlepas dari mitologi

187

Luwu muncul Tomanurung yang kedua yang

dikenal dengan nama Sampurusiang menjadi

pajung di Luwu (Pangeran, 2011:10).

Adanya istilah Tomanurung dalam mitologi

sistem pemerintahan tradisional Sulawesi Selatan

sangat terkait dengan adanya arajang, sebab

alat legitimasi yang digunakan oleh penguasa

untuk memiliki dan tetap mempertahankan

kekuasaannnya adalah arajang. Dianggap bahwa

Tomanurung yang akan menjadi pemimpin atau

raja/pajung/datu di suatu daerah bersamaan

dengan kehadiran arajang sebagai tanda kebasaran

seorang raja atau datu yang dianggap mempunyai

kekuatan magis.

Tomanurung dianggap sebagai peletak dasar

pembentukan dan perkembangan kerajaan. Selain

itu Tomanurung memiliki sumber kekuasaan yang

suci, bukan dari manusia, melainkan berasal dari

dewa yang tidak diketahui nama dan asal-usulnya

(Amir, dkk, 2012:37).

Tomanurung bersama arajangnya

merupakan titisan dewa yang turun dari kayangan

untuk menjadi pemimpin manusia di suatu negeri.

Oleh karena itu arajang dianggap sebagai titisan

dewa yang sangat dihormati beserta dengan

rajanya. Bahkan Abidin (1999:101) mengatakan

arajang merupakan pemilik kerajaan, sedangkan

yang menguasai dianggap sebagai wakil arajang

yang mewakili Tuhan (Dewata Seuae = Tuhan

yang Maha Esa; Puang Dewata, Puang Matua,

Dewata = Tuhan) yang akan memerintah. Oleh

karena itu yang dianggap sebagai pemilik kerajaan

adalah Tuhan yang diwakili oleh arajang.

Kemudian raja yang melaksanakan pemerintahan

dibantu oleh perangkat-perangkatnya. Raja atau

datu/pajung yang telah melakukan perjanjian

dengan rakyatnya akan tetap menjadi raja

sepanjang ia masih menaati isi perjanjiannya,

namun apabila ia tidak lagi menaati perjanjiannya,

maka ia akan dipecat sebagai raja, sebab dianggap

bukan lagi wakil dari Tuhan.

Arajang atau biasa juga disebut gaukeng

merupakan benda yang dianggap sangat penting

pada terbentuknya suatu permukiman baru,

sehingga sangat dihargai oleh suatu komunitas.

Arajang dapat berupa apa saja yang mempunyai

ciri-ciri yang unik, sehingga dianggap sebagai

mahluk halus yang mendiami suatu wilayah

yang mempunyai komunitas, bisa berupa biji

buah yang telah kering, tunggul pohon, bajak

tua, dan berupa batu. Eksistensi arajang tersebut

berawal dari adanya komunitas pada masa lampau

yang menemukan benda keramat, kemudian

benda tersebut dirawat bersama penemunya.

Pada akhirnya penemu benda tersebut menjadi

pemimpin pada suatu komunitas (Andaya dalam

Makkulau, 2010:53).

Setiadi (2010:779) mengatakan, bahwa

munculnya seorang pemimpin biasanya bersama

dengan keadaan kelompok yang mengalami

kegoncangan, ancaman musuh dari luar. Oleh

karena itu dalam kondisi demikian, maka anggota

kelompok mengalami kesulitan untuk mengatasi

berbagai persoalan yang muncul dan merasa

kesulitan untuk menentukan langkah-langkah

yang harus diambil untuk mengatasi kesulitan itu.

Dalam keadaan demikian, maka muncul seorang

yang memiliki kemampuan yang menonjol

yang diharapkan mampu mengatasi kesulitan

yang ada. Dengan demikian muncullah seorang

pemimpin dari hasil proses yang dinamis yang

sesuai dengan kebutuhan kelompok ini. Namun

apabila dalam keadaan demikian tidak muncul

seorang pemimpin, biasanya kelompok ini akan

mengalami disintegrasi kelompok. Seperti halnya

mitos tentang Tomanurung yang diyakini sebagai

dewa yang turun dari kayangan untuk menjaga

kemaslahatan manusia di bumi.

Keterangan tentang La Galigo banyak

diperoleh dari naskah klasik berbahasa Bugis,

yang dikenal dengan nama “galigo”. Kern

dalam (Pangeran, 2002:5) menyatakan, bahwa

naskah La Galigo merupakan salah satu naskah

mitologi yang yang terpanjang dalam bentuk

prosa lirik. Dalam naskah tersebut, diterangkan

bahwa masa paling awal, Patoto’e atau yang

menentukan nasib disebut To Palanroe (yang

maha pencipta) merupakan raja yang bersemayam

di Boting Langi’ atau puncak langit ke tujuh

bersama permaisuri yang digelar Palinge’e (maha

pengatur).

- Arajang

Luwu

Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa

keberadaan arajang sangat terkait dengan hadirnya

Tomanurung yang dianggap sebagai wakil Tuhan.

Fungsi Arajang Pada ... Iriani

Page 6: FUNGSI ARAJANG PADA MASYARAKAT LUWU - oxis.org · PDF filemaupun yang berada di daerah lain. ... Jarak Kota Palopo dari ibu kota provinsi ... Kerajaan Luwu tidak terlepas dari mitologi

188

Kemudian Tomanurung bersama arajangnya

turun ke bumi untuk memimpin manusia.

Mitologi tentang arajang dan Tomanurung

sangat terkait dengan sistem sosial atau sistem

kekerabatan orang Luwu. Raja diasosiasikan

sebagai dewa, sehingga keturunannya dianggap

sebagai bangsawan yang berdarah putih. Oleh

karena itu, apabila seorang datu atau raja

meninggal dunia, maka ia akan meninggalkan dua

hal, yakni yang pertama adalah darah dan kedua

adalah arajang.

Dapat dikatakan, bahwa prinsip kekerabatan

orang Luwu menganut sistem bilateral, dihitung

berdasarkan garis ayah maupun dari garis

keturunan ibu. Hal ini dapat dilihat pada gelar

kebangsawanan yang akan diberikan kepada

anaknya, yakni ketika ayahnya yang berdarah

bangsawan, ibunya bukan, maka anaknya tidak

mendapatkan gelar kebangsawanan, namun

apabila keduanya (ayah dan ibu) berasal dari

keturunan bangsawan, maka anaknya boleh

mendapat gelar bangsawan.

Kelompok keluarga orang Luwu dibangun

berdasarkan beberapa generasi/keturunan yang

dikenal dengan “Sulapa EppaE” yaitu empat

generasi nenek, empat generasi cucu, empat

generasi sepupu. Kelompok kekerabatan tersebut

saling mengenal dan membentuk keluarga luas

(extended family).

Kekerabatan orang Luwu mengenal

panggilan dan sebutan kekerabatan. Kadangkala

panggilan kekerabatan sama dengan sebutan

kekerabatan, dan kadangkala panggilan

kekerabatan berbeda dengan sebutan kekerabatan.

Perbedaan antara sebutan kekerabatan dan

panggilan kekerabatan, disebabkan karena adanya

pada keturunan, yakni adanya istilah bangsawan

dan bukan bangsawan. Seperti telah diungkapkan

di atas, bahwa Luwu adalah bekas kerajaan tertua

dan terbesar di Sulawesi Selatan, sehingga struktur

masyarakatnya masih dipengaruhi oleh sistem

kerajaan pada masa dahulu, khususnya pada

panggilan kekerabatan dan sebutan kekerabatan.

Sebutan maupun panggilan kekerabatan

dalam berinterkasi di dalam masyarakat. Dalam

hal ini sebutan kebangsawanan semakin populer

dan marak digunakan, seperti panggilan opu dan

sebutan opu, bahkan gelar tersebut digunakan

sampai ke kantor-kantor pemerintahan yang

bersifat formal.

Dalam masyarakat tradisional secara realitas

proses pelapisan sosial umumnya ditentukan oleh

faktor yang bersifat mitos yang berkaitan dengan

unsur-unsur yang bersifat “supranatural”. Kondisi

sosial dan pemikiran demikian merupakan suatu

hal umum yang terjadi atau berlaku pada semua

kelompok etnis yang terdapat di Indonesia,

termasuk di Luwu, yang mana pelapisan sosial

berasal dari adanya mitos tentang Tomanurung

atau orang yang turun dari kayangan.

Masyarakat Luwu mengenal adanya

stratifikasi sosial atau lapisan sosial menurut

dimensi kekuasaan sebagai dimensi yang cukup

menonjol pada masa dahulu. Dalam suatu garis

berikut.

1. Rombena Kamumu : 1. anak mattola

2. anak angileng

2. To maradeka : 1. To deceng

2. Jema lappa

3. Ata

Bentuk stratifikasi ini dipengaruhi oleh

adanya sistem kerajaan pada masa lampau yang

sangat terkait dengan adanya Tomanurung,

sehingga ada yang disebut bangsawan dan bukan

dipengaruhi dengan sistem bilateral, yaitu untuk

menentukan status atau gelar seorang anak

dihitung berdasarkan garis ayah dan garis ibu.

Menurut Sorokin (dalam Narwoko,

penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-

kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudan

tinggi dan kelas yang rendah, akibat dari adanya

sesuatu yang dianggap berharga oleh masyarakat.

Sesuatu yang dianggap berharga oleh masyarakat

tersebut sangat berbeda-beda, karena sangat

bergantung pada sistem nilai yang berkembang

di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Bagi bangsawan Luwu, sampai saat ini,

gelar (pattellarang) opu diberikan ketika orang

tersebut telah melangsungkan pernikahan. Bahkan

WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 183—195

Page 7: FUNGSI ARAJANG PADA MASYARAKAT LUWU - oxis.org · PDF filemaupun yang berada di daerah lain. ... Jarak Kota Palopo dari ibu kota provinsi ... Kerajaan Luwu tidak terlepas dari mitologi

189

masuk dalam rangkaian acara pernikahan adat

Luwu. Gelar tersebut diambil dari nama nenek

atau kakek, dari pihak ayah maupun dari pihak

ibu yang dianggap bisa diteladani akhlaknya.

Namun gelaran diambil dari keluarga ayah

atau keluarga ibu yang dianggap mempunyai

keturunan bangsawan yang masih asli (matase).

Selain dari keturunan yang matase, juga diambil

berdasarkan sifat dan karakter yang bisa dijadikan

suri tauladan. Selain gelaran diambil dari nama

nenek atau kakak, gelaran juga bisa diambil

dari paman atau bibi, juga bisa diambil dari

keponakan (sigona/dipasigona) atau anak saudara

laki-laki maupun anak saudara perempuan yang

mempunyai darah kebangsawanan yang matase

dan sifat yang terpuji. Gelaran juga diberikan

sesuai dengan jenis kelamin, yakni apabila yang

akan diberi gelar adalah perempuan, maka diambil

pula dari nama nenek atau keponakan yang

perempuan pula.

Dinamika sistem kekerabatan di Luwu,

akhirnya menghasilkan sistem piramida terbalik,

yakni darah kebangsawan seseorang semakin

berkurang. Misalnya seorang laki-laki bengsawan

(A) menikah dengan seorang perempuan bukan

bangsawan (B), maka hasil perkawinan kedua

orang tersebut akan melahirkan seorang anak yang

mempunyai kadar kebangsawanannya berkurang

atau tidak lagi seratus persen seperti ayahnya.

Demikian juga apabila seorang perempuan (C)

bangsawan menikah dengan seorang laki-laki

bukan bangsawan (D), maka anak dari hasil

perkawinan tersebut dianggap bukan bangsawan,

sehingga tidak mempunyai gelar bangsawan.

Soekanto (2009:24) menjelaskan, bahwa

ada beberapa alasan seseorang dapat memperoleh

kedudukan dalam masyarakat, yakni :

1. Diperoleh dengan sendirimya (berdasarkan

keturunan)

2. Diperoleh secara sengaja berdasarkan usaha

atau perjuangan

Bagi masyarakat Luwu, gelar andi dan opu

juga diperoleh melalui 2 alasan sesuai dengan

yang diungkapkan di atas, yakni gelar yang

diperoleh berdasarkan keturunan, akan sendirinya

berada pada kelas sosial tersebut. Seperti apabila

seorang anak yang yang berasal dari ayah dan

ibu adalah bangsawan, maka dengan sendririnya

dia bergelar bangsawan (andi atau opu) dan

sebaliknya.

Sementara ada gelar dan kedudukan

yang diperoleh melalui perjuangan atau usaha.

Misalnya jabatan dalam suatu instansi dan gelar

yang diperoleh karena jabatannya. Dengan

demikian maka orang tersebut berusaha untuk

menduduki jabatan penting agar dapat dengan

mudah mendeklarasikan dirinya sebagai kelas

sosial yang tinggi, baik dari kelas ekonomi maupun

kelas karena keturunan. Seperti yang banyak

terjadi pada masyarakat Luwu dewasa ini, karena

mempunyai harta banyak dan mempunyai jabatan

penting di pemerintahan, serta menganggap

dirinya masih mempunyai hubungan kekerabatan

dengan keluarga bangsawan, walaupun sudah jauh

sekali, maka ia dengan mudah dan tidak segan-

segan memberi gelar bangasawan pada dirinya

(opu atau andi).

Kemudian Errington (1989:98) menjelaskan

tentang kebangsawanan Luwu, bahwa:

Social ranking in akkarungeng Luwu, viewed

gradual dispersion or diminution of the white

blood lodged in its purest form in the Pajung or

Like light cast from a single source, white

blood in Akkarungen Luwu can be Pajung’s

to darkness at the vague perimeter.

Uraian di atas menjelaskan, bahwa

bangsawan Luwu atau keturunan pajung dikenal

dengan akkarungeng berasal dari keturunan

berdarah putih (maddarata takku) atau berasal

dari sumber yang bersih. Pajung atau pun raja

dianggap sebagai dewata (spirit) yang merupakan

keturunan Batara Guru atau manurung (turun dari

langit) yang dianggap sebagai pajung pertama

di Kerajaan Luwu. Para keturunan pajung atau

pajung dianggap to malebbi dan mampu menjaga

“siri” berprilaku yang baik, dan bertutur kata yang

baik, serta disenangi oleh masyarakat.

Selain itu untuk dinobatkan menjadi pajung

harus dari keturunan raja (pajung) yang lebih

dikenal dengan istilah anak mattola atau anak

angileng. Namun tidak dibenarkan anak angileng

menjadi pajung apabila masih ada golongan anak

Fungsi Arajang Pada ... Iriani

Page 8: FUNGSI ARAJANG PADA MASYARAKAT LUWU - oxis.org · PDF filemaupun yang berada di daerah lain. ... Jarak Kota Palopo dari ibu kota provinsi ... Kerajaan Luwu tidak terlepas dari mitologi

190

mattola. Apabila hal ini dilanggar maka akan

menimbulkan kekacauan di dalam Kerajaan Luwu

pada masa dahulu.

Pranata kekerabatan orang Luwu akibat

pengaruh keberadaan kerajaan (kepajungan)

Luwu tergambar dengan jelas, bahwa para

kerabat elit (bangsawan) perempuan dan laki-

laki yang belum menikah bergelar andi dan

apabila perempuan dan laki-laki telah menikah,

maka diberi gelar opu dan disapa dengan opu.

Bahkan pada masa dahulu sebelum memberi

gelar kepada seorang anak, terlebih dahulu

meminta pendapat kepada raja apakah anak

tersebut berhak menyandang gelar andi, apabila

raja atau pajung menyetujui, maka gelar tersebut

boleh diberikan kepada yang bersangkutan.

Misalnya apabila kedua orang tuanya berasal

dari keluarga bangsawan (andi) yang dianggap

matasa’, maka anaknya akan diberi gelar andi,

namun apabila hanya ibunya atau ayahnya yang

berketurunan bangsawan, maka anaknya tidak

berhak memperoleh gelar andi (Iriani, 2011:23).

Begitu ketatnya gelar kebangsawanan pada masa

dahulu, sehingga apabila ada seseorang yang

memakai gelar andi yang bukan dari keluarga

bangsawan, maka ia akan ditegur oleh pajung

agar tidak menggunakan gelar andi. Bahkan

ada kepercayaan masyarakat, bahwa apabila

menggunakan gelar andi bagi orang yang tidak

pantas atau bukan keturunan pajung Luwu maka

orang tersebut akan (durhaka) mabusung kepada

leluhur. Hal semacam ini juga diungkapkan oleh

Errington (1989:101), bahwa apabila seorang

laki-laki bangsawan menikah dengan perempuan

bukan bangsawan, maka anaknya tidak akan

mendapat gelar kebangsawanan (andi).

Seiring dengan perkembangan zaman yang

diiringi dengan perubahan struktur masyarakat

Luwu khususnya di Kota Palopo, maka gelar

kebangsawanan tidak lagi menjadi suatu pranata

kekerabatan yang ketat seperti pada masa kerajaan

dahulu sebab adanya pola perkawinan eksogami

dan sistem bilateral. Kelompok inilah yang

mewarnai pelapisan sosial yang terdapat dalam

struktur sosial orang Luwu pada masa dahulu.

Namun seiring dengan perkembangan zaman

strata ketiga sudah mengalami perubahan menjadi

strata kedua, sebab sudah mengalami pergeseran

kriteria, dilihat dari derajat dan peranannya di

masyarakat, tingkat pendidikan, kedudukan dan

kemampuan ekonomi.

Fungsi Arajang pada Masyarakat Luwu

- Simbol Kekuasaan

Kekusaan merupakan kemampuan

menggunakan sumber-sumber pengaruh yang

dimiliki seseorang atau sekelompok orang untuk

mempengaruhi pihak lain, sehingga pihak lain

yang dipengaruhi berperilaku atau bertindak

sesuai dengan keinginan atau kehendak pihak

yang mempengaruhi (Setiadi, 2010:746). Setiadi

juga membedakan antara kekuasaan (power)

dan kewenangan (authority). Setiap kemampuan

untuk mempengaruhi pihak lain disebut dengan

kekuasaan, sedangkan kewenangan menekankan

legalitas dari pengaruh yang ada pada diri

seseorang. Oleh karena itu maka kewenangan

diartikan sebagai kekuasaan yang melekat pada

diri seseorang atau sekelompok orang yang telah

mendapat dukungan dari orang yang dikuasainya

(legalized power).

Seperti telah diungkapkan sebelumnya,

bahwa arajang merupakan simbol kekuasaan

dan legitimasi sistem politik pada masa kerajaan

di Sulawesi Selatan pada umunya dan khususnya

di Luwu. Bahkan Mappangara (2005:160)

mengatakan, bahwa alat legitimasi yang digunakan

oleh penguasa dalam hal ini raja untuk memiliki

dan mempertahankan kekusaannya adalah

arajang. Walaupun ada unsur mitos di dalamnya.

Seperti yang dikatakan oleh Fahmid (2012:

5) bahwa benda-benda kerajaan atau pusaka

kerajaan, termasuk arajang sangat berperan

dalam meraih dan memiliki kekuasaan. Konsep

tentang adanya kekuasaan akan melahirkan

hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin

atau pengikut. Oleh karena itu maka struktur

masyarakat Luwu umumnya dapat dilihat sebagai

masyarakat yang memiliki struktur sosial politik

yang didominasi oleh ikatan solidaritas vertikal.

Menurut Weber (dalam Mappangara,

2005:160) ada tiga hal yang mendasari suatu

legitimasi, yaitu:

1. Sifat rasional, yakni keyakinan pada

keberlakuan peraturan yang dibuat dari

otoritas yang melekat pada peraturan-

WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 183—195

Page 9: FUNGSI ARAJANG PADA MASYARAKAT LUWU - oxis.org · PDF filemaupun yang berada di daerah lain. ... Jarak Kota Palopo dari ibu kota provinsi ... Kerajaan Luwu tidak terlepas dari mitologi

191

peraturan yang mengharuskan.

2. Sifat tradisional, yakni keyakinan pada

kesucian tradisi yang sudah berjalan lama

dan keabsahan terhadap pelaksanaan

otoritas yang melingkupi tradisi tersebut.

3. Sifat kharisma, yakni peletakan kesetiaan

pada hal-hal yang sangat suci. Kepahlawanan

atau sifat-sifat individu yang patut dicontoh,

dan pola-pola normatif yang diperlihatkan

olehnya.

Menurut Mappangara (2005:162), alat

legitimasi yang bisa dijadikan sebagai jaminan

oleh seseorang untuk mendapatkan kekuasaan

dan dianggap mendapat restu dari penguasa alam

adalah orang yang menguasai ornament kerajaan

yang disebut arajang. Oleh karena itu, siapaun

yang memegang arajang, maka ialah yang

dianggap sebagai penguasa atau raja.

Ramlan Surbakti dalam (Setiadi, 2010:750)

menjelaskan ada beberapa sumber yang

menjadikan seseorang atau sekelompok kecil

orang berkuasa atas orang lain yaitu, sarana

status sosial, keahlian, massa yang terorganisasi,

jabatan dan pers. Sumber normatif merupakan

sumber kekuasaan seseorang atau sekelompok

kecil orang yang memiliki pengaruh terhadap

pihak lain karena norma sosial yang berlaku

mengharuskan masyarakat patuh. Pemimpin

tersebut mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan,

seperti raja dan sultan.

Sistem Pemerintahan Kerajaan, Luwu

dipimpin oleh seorang raja yang disebut

dengan pajung. Di dalam menjalankan sistem

pemerintahannya, pajung dibantu oleh beberapa

pejabat kerajaan yang disebut dengan pakkatenni

ade. Mereka ini terdiri atas: opu patunru, opu

cenning, opu pabicara, opu temmarilaleng, dan

opu balirante. Masing-masing pejabat kerajaan

tersebut mempunyai tugas yang telah diatur

menurut peraturan kerajaan pada saat itu.

Sudah menjadi ketentuan adat, bahwa

apabila seorang pajung meninggal dunia, maka

secara otomatis dia akan digantikan oleh Opu

Cenning (putra mahkota atau saudara kandung

dari pajung atau datu), sekaligus sebagai panglima

perang Kerajaan. Orang yang menggantikan

posisi pajung, ketika pajung sedang berhalangan,

disebut dengan opu cenning, baik dia seorang

perempuan maupun seorang laki-laki (Pangeran,

2011:15).

Dalam setiap situasi dan hubungan

kekuasaan terdapat tiga unsur yang terlibat

di dalamnya, yaitu tujuan dari kekuasaan ini,

cara penggunaan sumber-sumber pengaruh dan

hasil penggunaan sumber-sumber pengaruh.

Seseorang dapat dikatakan mempunyai kekuasaan

potensial jika ia memiliki sumber-sumber

kekuasaan, misalnya tanah yang luas, kekayaan

yang melimpah ruah, senjata, pengetahuan dan

informasi, popularitas, status sosial yang tinggi,

massa yang terorganisasi dan jabatan (Setiadi,

2010:747).

Menurut Max Weber (dalam Soekanto,

2009:174) adalah kesempatan yang ada pada

seseorang atau sejumlah orang untuk melaksanakan

kemauannya sendiri dalam suatu tindakan sosial.

Kesempatan dapat dihubungkan dengan ekonomi,

dengan kehormatan, partai politik atau apa saja

yang menjadi sumber kekuatan bagi seseorang.

Kekusaaan merupakan peluang bagi

seseorang atau sejumlah orang untuk mewujudkan

keinginan mereka sendiri melalui suatu tindakan

komunal meskipun mengalami tantangan dari

orang lain yang ikut serta dalam tindakan komunal

itu, Geotano Mosca (dalam Soekanto, 2009:231)

menyatakan, bahwa dalam setiap masyarakat

selalu terdapat dua kelas penduduk, satu kelas yang

menguasai dan satu kelas yang dikuasai, Kelas

pertama jumlahnya selalu lebih kecil, menjalankan

semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan

dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh

kekuasaan itu, sedangkan kelas kedua jumlahnya

jauh lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas

pertama.

Asal mula sistem pemerintahan di Luwu

mengalami beberapa fase perkembangan, yakni

sebelum masa pemerintahan kerajaan, dikenal

adanya istilah anang, yaitu persekutuan yang

terdiri dari beberapa orang atau keluarga yang

dipimpin oleh orang tertua dalam keluarga.

Pemimpinnya adalah seorang yang dianggap

bijaksana. Kemudian lama-kelamaan muncul

keinginan untuk mempersatukan seluruh anang,

yang wilayahnya terdiri atas wilayah pantai/laut

(akkayang) dan wilayah daratan yang dijadikan

Fungsi Arajang Pada ... Iriani

Page 10: FUNGSI ARAJANG PADA MASYARAKAT LUWU - oxis.org · PDF filemaupun yang berada di daerah lain. ... Jarak Kota Palopo dari ibu kota provinsi ... Kerajaan Luwu tidak terlepas dari mitologi

192

sebagai tempat untuk bercocok tanam atau

padang/hutan, yang disebut dengan allaong-

rumang. Selain itu, juga dilengkapi dengan pasar

untuk dijadikan sebagai tempat jual beli hasil-hasil

bumi. Akhirnya terbentuklah persekutuan yang

lebih luas dan terorganisir, yang dikenal dengan

kedatuan yang dipimpin oleh seorang yang berasal

dari luar anang, dikenal dengan kepemimpinan

Tomanurung (Mattulada, 1998:26).

Dewasa ini Pemerintah Kota Palopo dan

para komunitas adat selalu berusaha untuk

mempertahankan identitas Kerajaan Luwu. Hal ini

dapat dilihat dengan masih eksisnya pajung Luwu

sebagai pemimpin adat saat ini dan juga beberapa

anak suku atau daerah bawahan Kerajaan Luwu,

seperti para ma’dika yang berkedudukan di tiga

daerah seperti pada masa dahulu, yaitu Ma’dika

Buah, Ma’dika Ponrang, dan Makole Baebunta.

Pada saat ini para perangkat Kerajaan Luwu

yang masih eksis, dalam hal ini baik pajung

maupun ma’dika, namun tidak lagi mengurus

masalah pemerintahan, akan tetapi mengurus

masalah yang berkaitan dengan adat dalam

masyarakat, seperti masalah tanah adat, yang saat

ini lagi hangat-hangatnya dibicarakan, masalah

upacara adat yang menyangkut orang banyak,

contohnya upacara maccerak tasik dan upacara

pernikahan adat. Selain itu juga mayarakat masih

merasa terikat dengan pemimpin lokal, sehingga

apabila ada kekacauan, mereka lebih dahulu

melapor kepada pemimpin adat, dalam hal ini

kepada ma’dika. Misalnya acara pernikahan adat,

siapa saja yang pantas menggunakan walasuji atau

bangunan dari bambu yang di pasngan di depan

rumah bagi yang akan melangsungkan pernikahan.

Bahkan ada informan yang menyatakan, bahwa

perkawinan tidak dianggap sakral apabila tidak

dihadiri oleh tokoh adat, seperti ma’dika atau

tokoh adat lainnya yang dianggap bisa mewakili

ma’dika. Berarti, bahwa para perangkat adat tidak

bertugas seperti pada masa kerajaan dahulu, sebab

tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat saat

ini. Walaupun demikian, umumnya masyarakat

masih merasa terikat dengan pemimpin adat

mereka, sehingga tetap menghormati dan

menujunjung tinggi pemimpin adat tersebut.

Sejak dahulu hingga dewasa ini arajang

menjadi simbol kekuasaan, walaupun para

keturunan datu Luwu sudah cenderung berkurang,

akibat pola perkawinan eksogami, namun

arajanglah yang menjadi artefak yang bisa

membuktikan, bahwa pernah ada kerajaan besar

di Luwu. Arajang tidak dapat musnah hingga

beberapa keturunan. Walaupun nantinya lama

kelamaan para keturunan raja atau datu sudah

tidak ada lagi yang berhak memegang arajang,

sebab darah kebangsawanannya sudah memudar

atau sudah tidak mencapai seratus persenlagi.

Mereka hanya dapat mengakui, bahwa dirinya

adalah keturunan datu Luwu, namun tidak dapat

mengambilnya sebagai warisan kekuasaan.

Walaupun simbol kekuasaan saat ini berbeda

dengan pada zaman dahulu, yang mana pada zaman

dahulu sistem kerajaan masih ada. Namun pada saat

ini arajang hanya bisa dikenang oleh masyarakat

pendukungnya, bahwa di Luwu pernah berdiri

suatu kerajaan yang besar dibuktikan dengan

adanya artefak arajang.

Pada struktur pemerintahan Kerajaan

Luwu dikenal istilah pajung sebagai pemimpin

tertinggi kerajaan. Gelar pajung hanya dapat

disandang apabila seseorang telah dinobatkan

menjadi raja, namun apabila belum dinobatkan

menjadi raja atau pajung, maka ia hanya bergelar

datu. Dalam pelaksanaan pemerintahan, pajung

dibantu oleh beberapa orang yang di kenal dengan

opu patunru, opu pabicara, opu to marilaleng,

dan opu balirante. Keempat jabatan tersebut

menyimbolkan keberadaan pranata politik dalam

realitas masyarakat Luwu pada masa dahulu.

Kebesaran dan keberadaan Kerajaan Luwu bukan

saja mempunyai gaung pada masa dahulu, tetapi

juga sangat berpengaruh terhadap sistem sosial

dan kebudayaan orang Luwu.

-Identitas Lokal

Parson (dalam Narwoko, 2006:259)

menyatakan bahwa.masyarakat sebagai sistem

interaksi kolektif dan perilaku, merujuk pada

persekutuan hidup (social community) dan ini

merupakan intisari struktur sosial yang fungsi

utamanya adalah mengintegrasikan. Fungsi

integrative setidaknya bisa ditunjuk dalam dua

hal,yakni perama memberikan criteria dan atau

identitas keanggotaan dalam sistem sosial, kedua

menciptakan norma sosial yang mengatur hubungan

individu dan subkolektif dalam sistem sosial.

WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 183—195

Page 11: FUNGSI ARAJANG PADA MASYARAKAT LUWU - oxis.org · PDF filemaupun yang berada di daerah lain. ... Jarak Kota Palopo dari ibu kota provinsi ... Kerajaan Luwu tidak terlepas dari mitologi

193

Identitas lokal merupakan ungkapan nilai-

nilai budaya yang membedakannya dengan daerah

lain. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa

arajang merupakan alat legitimasi sistem politik

pada masa kerajaan dahulu. Sehingga semua

raja-raja di Sulawesi Selatan memiliki arajang

sebagai simbol kekuasaannya. Di samping itu

arajang bersifat territorial, seperti arajang yang

ada di Luwu khusus dijadikan sebagai simbol

kekuasaan raja Luwu pada masa dahulu, demikian

pula halnya arajang yang ada di daerah lain.

Setiap raja atau datu yang telah meninggal

dunia atau telah habis masa jabatannya memiliki

keturunan dan didampingi oleh arajang sebagai

simbol legitimasi. Maka untuk meninggalkan atau

menandakan bahwa raja atau datu pernah ada

dan berkuasa, maka disitulah arajang berfungsi.

Sehingga walaupun keturunan dari raja atau datu

telah tiada akibat perkawinan eksogami, maka

arajang tetap ada dan tidak habis. Seperti yang

diungkapkan oleh salah seorang informan (Andi

Anton Pangeran,tgl 10 Februari 2014), bahwa:

Fungsi arajang sekarang hanya sebagai

identitas kelompok, (colectivity identity), orang

Bugis kalau ditanya bilang orang bugis Bone,

artinya orang Bugis mengidentifikasi dirinya

secara kolektif, karena dia punya arajang,

Kolektif identitas, sekarang penting, kalau tidak

punya, buktinya kalau lebaran mudik, sampai

berdasarkan arajang.

Kesatuan budaya dan adat istiadat, serta

arajang memperkuat identitas kolektif orang

Luwu. Oleh sebab itu, pada saat ini seseorang

yang masih menganggap dirinya sebagai bagian

dari keturunan datu Luwu atau bagian dari

arajang, maka mereka akan datang ke arajang

untuk melakukan penghormatan, baik yang

tinggal di Luwu maupun mereka yang berada di

perantauan.

Untuk menjaga agar arajang tetap menjadi

simbol kekuasaan datu Luwu pada masa dahulu

dan sebagai identitas orang Luwu masa sekarang,

maka arajang tetap dijaga dan dipelihara, bahkan

di tempatkan di tempat terhormat di dalam istana

yang disebut dengan palakka artinya ditinggikan,

bahkan dikeramatkan. Selain itu diberi kelambu

berwarna kuning dan tidak dapat diambil

gambarnya oleh siapapun. Apabila arajang

berserta tempatnya diambil gambarnya (difoto),

maka akan ada bencana yang menimpa bagi si

pengambil gambar atau bagi si penjaga arajang.

Hal tersebut dipercaya oleh si penjaga arajang.

Begitu tingginya nilai arajang bagi

masyarakat Luwu, sehingga tidak dibolehkan untuk

mengambil gambarnya atau didokumentasikan.

Padahal arajang hanya sebuah pedang yang

lengkap dengan tempatnya dengan panjang sekitar

75 cm.

Setiap malam Jumat di ruangan arajang

disiapkan sirih dan perlengkapan berupa dupa dan

lainnya. Hal ini salah satu cara untuk menghormati

arajang yang dianggap masih ada, bahkan

dianggap sebagai benda yang memiliki roh,

sehingga harus diperlakukan sama dengan raja/

datu pada saat raja masih hidup. Bahkan sampai

saat oleh sebagain orang Luwu menganggap

arajang sebagai raja yang mempunyai kekuatan

sakti. Oleh karena itu tidak jarang orang Luwu

yang datang ke istana dengan tujuan ingin

menghadap arajang guna meminta berkah. Pada

umumnya yang datang ke arajang adalah orang-

orang yang diperintahkan melalui mimpi. Melalui

mimpi mereka menginterpretasikan masing-

masing mimpi itu, bahwa ia harus berkunjung

ke arajang dengan membawa sesajen. Adapun

sesajen yang dibawanya adalah berupa ayam

kampung satu ekor dan kelapa muda, serta

seperangkat sirih. Sesajen merupakan salah

satu bentuk penghargaan kepada arajang agar

apa yang menjadi permasalahan dalam hidup

seseorang dapat terselesaikan.

Pada umumnya orang yang datang berziarah

ke arajang adalah mereka yang diberi petunjuk

melalui mimpi. Baik orang yang berasal dari

daerah Kota Palopo sendiri maupun orang

yang berasal dari luar Kota Palopo. Orang yang

datang berkunjung ke arajang menganggap

dirinya bagian dari arajang, yang dapat

mempengaruhi kehidupannya. Sehingga apabila

ia tidak melakukan sesuai dengan apa yang ada

dalam mimpinya, maka dapat mempengaruhi

kehidupannya ke arah yang buruk, begitupun

sebaliknya.

Fungsi Arajang Pada ... Iriani

Page 12: FUNGSI ARAJANG PADA MASYARAKAT LUWU - oxis.org · PDF filemaupun yang berada di daerah lain. ... Jarak Kota Palopo dari ibu kota provinsi ... Kerajaan Luwu tidak terlepas dari mitologi

194

- Sebagai Lembaga Adat

Keberadaan arajang hingga saat ini masih

mempengaruhi sistem kelembagaan dalam struktur

masyarakat Luwu, khususnya pada lembaga

Kerajaan yang masih ada hingga saat ini. Arajang

struktur lembaga kerajaan tetap eksis, walaupun

tidak semua, yakni disesuaikan dengan kondisi

masyarakat Luwu saat ini.

Hubungan antara arajang atau kalompoang

dan penemunya sebagai pemimpin kelompok

masyarakat yang akhirnya menciptakan

ketergantungan kepemimpinan pada arajang

atau gaukang atau kalompoang. Ketergantungan

inilah yang menciptakan jabatan kepemimpinan

dalam masyarakat menjadi jabatan warisan

dimana keturunan langsung dari penemu arajang

yang boleh dan dapat dipilih menjadi pemimpin

(Poelinggomang, 2004: 54). Hal inilah yang

menjadi cikal bakal lembaga adat yang ada di

Luwu hingga saat ini, seperti masih eksisnya

beberapa jabatan datu, opu pabicara, madika

bua, madika ponrang, dan makole Baebunta. Ada

jabatan-jabatan tertentu yang masih eksis dalam

lingkungan istana kedatuan Luwu hingga saat

ini, yakni jabatan yang masih dianggap penting

dan masih dibutuhkan oleh masyarakat. Seperti

yang dikatakan oleh Levi-Strauss dalam Gibson

(2009:222) menyatakan, bahwa dalam banyak

masyarakat “feodal” hal penting mengenai aset

para bangsawan masih tetap dipertahankan dan

diturunkan dari waktu ke waktu. Kemudian

bagaimana aset-aset ditransmisikan di Sulawesi

Selatan, tergantung dari beberapa faktor, seperti

di Luwu dengan melalui garis keturunan pendiri

kerajaan. Walaupun mereka tidak lagi memerintah

seperti dahulu, namun keberadaannya masih

dihargai oleh masyarakat, khususnya pada saat

pelaksanaan upacara adat dan ketika timbul

permasalahan dalam masyarakat.

PENUTUP

Arajang bagi masyarakat Luwu dimaknai

sebagai benda yang mempunyai kekuatan

sakti. Pemahaman masyarakat tentang arajang

sangat terkait dengan adanya mitos tentang

Tomanurung, atau dewa yang turun dari langit

beserta perangkatnya yaitu arajang. Arajang

dianggap sebagai benda yang sangat sakral,

sehingga menjadi simbol kekuasaan Kerajaan

Luwu pada masa dahulu sampai saat ini. Arajang

masih dihargai sebagai warisan Kerajaan Luwu

yang tidak dapat berubah atau hilang begitu saja

identitas kebangsawanannya dibandingkan darah

kebangsawanan.

Sehubungan dengan fungsi arajang

sebagai simbol kekuasaan Kerajaan Luwu, juga

dimaknai sebagai Tomanurung yang merupakan

masyarakat di Luwu. Oleh karena itu arajang

atau Tomanurung melahirkan istilah bangsawan

dan bukan bangsawan. Dapat dikatakan, bahwa

saat ini arajang dapat berfungsi sebagai pemersatu

masyarakat Luwu. Masyarakat Luwu Menganggap

dirinya sebagai bagian dari Kerajaan Luwu atau

arajang.

Terkait dengan arajang sebagai benda

kerajaan yang mempunyai pengaruh sangat

besar pada sistem sosial dan budaya masyarakat

Luwu yang sangat kaya dengan nilai-nilai

kepemimpinan dan masih sangat relevan dengan

kondisi saat ini. Maka perlu kiranya nilai-nilai

kepemimpinan yang melekat pada arajang dapat

diterapkan dalam masyarakat, yang diawali

dengan melakukan sosialisasi pada generasi

muda, yang nantinya akan bisa diterapkan dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A. Zainal. 1999. Kapita Selekta Sejarah

Sulawesi Selatan. Ujung Pandang:

Hasanuddin University Press.

Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2004. Kearifan

Tradisional dan Lingkungan Sosial. Makalah

ini disampaikan dalam seminar sehari

”Forum Peduli Tradisi” di selenggarakan

oleh Bidang Pelestarian dan Pengembangan

Kebudayaan. Kementrian Kebudayaan dan

Pariwisata, di Jakarta, 16 Februari 2004.

Amir, Muhammad, Syahrir Kila, Rosdiana

(Kajian Sejarah Perlawanan Tiga Kerajaan

Terhadap Pemerintah Hindia Belanda),

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,

Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar:

De La Macca.

WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 183—195

Page 13: FUNGSI ARAJANG PADA MASYARAKAT LUWU - oxis.org · PDF filemaupun yang berada di daerah lain. ... Jarak Kota Palopo dari ibu kota provinsi ... Kerajaan Luwu tidak terlepas dari mitologi

195

Daeng, Hans J. 2008. Manusia Kebudayaan

dan Lingkungan, Tinjauan Antropologis.

Yoyakarta: Pustaka Pelajar.

Errington. 1989. Meaning and Power in a

Southeast Asian Realm. United States of

Amerika: Princeton University Press.

Fahmid, Imam Majahidin. 2012. Identitas dalam

Kekusaan. Makassar: Ininnawa ISPEI.

Gibson, Thomas. 2009. Kekusaan, Raja, Syeikh,

dan Ambtenaar, Pengetahuan Simbolik dan

Kekuasaan Tradisional Makassar 1300-

2000. Makassar: Ininnawa.

Iriani. 2011. Gelar Opu Pada Orang Luwu :Suatu

Identitas Untuk Mendapatkan Kekuasaan.

Makassar: Balai Pelestarian Nilai Budaya

Makassar. Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan.

Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok

Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Makkulau, M.Farid. 2010. Manusia Bissu.

Mattulada. 1998. LATOA Suatu Lukisan Analitis

terhadap Antropologi Politik Orang Bugis.

Yogyakarta: Gadjamada Universiti Press

Mappangara, Suryadi. 2005.”Konsep Kekuasaan

Orang Bugis dan Makassar di Sulawesi

Selatan” dalam Bosara, Nomor 01/1.

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,

D e p u t i B i d a n g P e l e s t a r i a n d a n

Pengembangan Budaya. Balai Kajian

Sejarah dan Nilai Tradisional.

Narwoko, J. Dwi Bagong Suyanto. 2006.

Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan.

Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Paeni, Mukhlis. 2002. Batara Gowa Missianisme

dalam Gerakan Sosial di Makassar. Proyek

Pemasyarakatan dan Desiminasi Kearsipan

Nasional, Arsip Nasional Indonesia (ANRI),

kerjasama dengan Gadjah Mada University

Press.

Pangeran, Andi. 2011. Sinopsis Kirab Keraton

Luwu (Langkanae). Festival Keraton

Nusantara XI di Palembang.

Poelinggomang, Edward L. 2004. Perubahan

Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar

1906-1942. Yogyakarta: Ombak.

Setiadi, Elly M. 2010. Pengantar Sosiologi,

P e m a h a m a n F a k t a d a n G e j a l a

Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan

Pemecahannya. Jakarta: Kencana.

Soekanto, Soerjono. 2009. Pengantar Sosisologi.

Jakarta: Rajawali Press.

Fungsi Arajang Pada ... Iriani