fungsi arajang pada masyarakat luwu - oxis.org · pdf filemaupun yang berada di daerah lain....
TRANSCRIPT
183
PENDAHULUAN
Kebudayaan merupakan keseluruhan tanda
atau simbol yang digunakan oleh manusia dalam
hidupnya untuk mempertahankan keberadaannya
sebagai mahluk hidup yang diperoleh dalam
kehidupannya sebagai warga suatu masyarakat
atau komunitas. Tanda atau simbol dapat dibagi
atas dua aspek yaitu, pertama hal-hal yang
abstrak, seperti ide-ide, pengetahuan, nilai-nilai,
norma, dan aturan yang tidak dapat dilihat, karena
tersimpan sebagai pengetahuan yang ada dalam
pikiran, kedua yang agak konkrit seperti perilaku
dan tindakan Hal itu dapat diartikan, bahwa
FUNGSI ARAJANG PADA MASYARAKAT LUWU
THE FUNCTION OF ARAJANG FOR LUWU SOCIETY
Iriani
Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar
Jalan Sultan Alauddin/ Tala Salapang km 7 Makassar, 90221
Telepon (0411) 885119,883748,Fsksimile (0411) 865116
Pos-el: [email protected]
Handphone: 081266169000
Diterima: 16 Februari 2015; Direvisi: 14 April 2015; Disetujui: 27 Mei 2015
ABSTRACT
This study aims to describe the function of arajang for Luwu society. This study uses a qualitative method and
technique of collecting data through in-depth interviews and observations of the society activities when facing
arajang, the tools used, and all activities regard to arajang. The study results showed that arajang is a heirloom
of Luwu Kingdom as a symbol of the legitimacy of king (datu) power. To maintain power, a king (datu) must be
able to maintain the existence of his arajang. Arajang is strongly associated with the belief of Luwu society with
the mythology of Tomanurung as god who came down from Heaven, thus considered to have magical power.
Arajang is too sacred for Luwu society, so that not just anyone can see it. If anyone want to see it, there are
in the palace of Luwu Kingdom and treated as a sacred object, even considered as a king (pajung).
Keywords: the function of arajang, Tomanurung, the power of legitimacy.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan fungsi arajang bagi masyarakat Luwu. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan observasi terhadap aktivitas
masyarakat ketika menghadap arajang, alat yang digunakan, dan segala aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat
berkaitan dengan arajang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa arajang merupakan benda pusaka kerajaan
Luwu yang menjadi simbol legitimasi kekuasaan raja (datu). Untuk mempertahankan kekuasaan, seorang
datu harus mampu mempertahankan arajang yang ada padanya. Arajang sangat terkait dengan kepercayaan
masyarakat Luwu tentang mitologi Tomanurung yang dipercaya sebagai dewa yang turun dari kayangan,
sehingga mempunyai kekuatan magis. Arajang sangat sakral bagi masyarakat Luwu, sehingga tidak sembarang
orang bisa melihatnya. Apabila ingin melihat arajang, beberapa persyaratan khusus harus dipersiapkan, berupa:
sesajen dan kebersihan hati. Arajang harus disimpan rapi di dalam istana kedatuan Luwu dan diperlakukan
sebagai benda keramat, bahkan dianggap sebagai raja (pajung).
Kata kunci: fungsi arajang, Tomanurung, legitimasi kekuasaan.
kebudayaan manusia baik pada tataran wujud
gagasan (ideas), tataran perilaku dan tindakan
(activities), serta tataran wujud benda-benda
(artifacts) diekspresikan melalui gagasan-gagasan
nilai-nilai, dan simbol-simbol, sehingga dapat
dikatakan, bahwa kebudayaan terdiri atas pola-
pola yang nyata, maupun tersembunyi. Perilaku
atau hasil tindakan akan mempengaruhi tindakan
selanjutnya dan lahir secara berpola (Ahimsa
Putra, 2004:3-4).
Adapun simbol yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah arajang atau benda-benda
pusaka kerajaan. Hampir semua kerajaan di
184
Sulawesi Selatan mengenal adanya arajang,
seperti Kerajaan Luwu, Bone, Wajo dan Gowa.
Dapat dikatakan, di daerah Bugis seperti Luwu,
Bone, dan Wajo lebih dikenal dengan arajang,
sedangkan di daerah Makassar seperti Gowa lebih
dikenal dengan kalompoang.
Secara historis arajang (Bugis) atau
kalompoang (Makassar) sangat terkait dengan
Tomanurung sebagai pemegang kendali politik,
dalam hal ini penguasa atau Raja. Oleh karena
itu raja dianggap sebagai wakil dari kalompoang
dalam melaksanakan kekuasaannya. Sehingga
perpindahan kalompoang kepada pemegang baru
berarti berpindah pula keududukan kekuasaan dan
hak untuk melaksanakan pengawasan atas tanah
(Paeni, 2002:28).
Arajang atau regalia merupakan benda
pusaka Kerajaan Luwu yang sangat bermakna,
sebab raja Luwu memerintah atas nama arajang
atau regalia. Hampir semua orang Luwu
mengenal adanya arajang, walaupun pemahaman
setiap orang terhadap objek (arajang) tersebut
berbeda-beda. Selain itu arajang merupakan
benda keramat atau simbol kekuasaan Kerajaan
Luwu pada masa lampau yang biasanya berupa
benda-benda berupa parang dan semacamnya.
Benda-benda kerajaan tersebut dikenal dengan
beberapa nama, yakni ada yang dikenal dengan
Labungawaru, Labarana, Lakarurung, dan
Jekkoe. Pada saat ini benda tersebut disimpan
dengan rapi di dalam istana Kerajaan Luwu.
Bahkan disimpan dalam kamar khusus dan
sebagai benda keramat yang harus dihormati.
Tidak sembarang orang yang berkunjung ke
istana dapat melihat atau memasuki ruangan
tempat arajang berada, sebab arajang dianggap
sebagai raja atau Tomanurung yang mempunyai
kekuatan sakti.
Arajang masih dihormati oleh masyarakat
Luwu hingga saat ini, baik yang berada di Luwu
maupun yang berada di daerah lain. Salah
satu bentuk penghormatan yang masih dapat
disaksikan hingga saat ini adalah ketika akan
melakukan upacara maccerak tasik atau pesta laut.
Ada ritual yang disebut dengan ma’duppa, yaitu
upacara menghadap ke arajang untuk meminta
restu kepadanya agar pelaksanaan upacara dapat
berjalan dengan lancar, tanpa sesuatu hambatan
apapun. Arajang disimbolkan sebagai seorang raja
atau tomanurung yang mampu menyelesaikan
segala permasalahan di dalam masyarakat,
baik masalah sosial maupun bencana alam.
Oleh karena itu kiranya sangat penting untuk
melakukan penelitian tentang “Fungsi arajang
pada masyarakat Luwu” untuk memahami makna
yang terkait dengan arajang serta fungsi arajang
dalam masyarakat Luwu.
Bertitik tolak dari latar belakang
permasalahan, maka dapat dirumuskan beberapa
pertanyaan, yakni; (1) bagaimana eksistensi
arajang pada masyarakat Luwu terhadap arajang,
sehingga sampai saat ini masih dijadikan sebagai
benda keramat yang harus dihormati?; (2)
Bagaimana fungsi arajang terhadap masyarakat
Luwu pada saat ini?
Adapun tujuan penelitian ini adalah
ingin menganalisis, menginterpretasi dan
mendeskripsikan eksistensi arajang dalam
masyarakat Luwu. Demikian pula ingin men-
deskripsikan dan menganalisis fungsi arajang
terhadap masyarakat Luwu saat ini.
Untuk membahas dan menganalisis
hasil penelitian ini, digunakan teori struktural
fungsional yang dikemukkan oleh Talcot Parson,
yang mana menurut pendekatan struktural
fungsional, setiap masayarakat selalu ditemukan
adanya sistem nilai sebagai hasil konsensus
bersama (collective conciousness) semua anggota
masyarakat. Masyarakat mempunyai tujuan-
tujuan yang hendak dicapai dan disediakan
seperangkat cara pencapainnya. Kemudian pola
perilaku oleh kaidah sosial hasil konsensus
bersama mempunyai kekuatan memaksa dan ini
disadari oleh semua anggota masyarakat, bahwa
memang begitulah seharusnya (self enforcing).
Maka dalam keadaan seperti ini maka sistem
nilai bersifat fungsional dan mempunyai kekutan
integratif. Sistem nilai ini bersumber dari pola-
pola budaya yang meliputi beliave system, system
of expressive symbolism, dan systems of value
orientation standards (Narwoko, 2006: 262).
Lebih jauh diungkap, bahwa antara
kebudayaan dan nilai itu sangat berbeda, budaya
merupakan suatu yang lebih luas dari pada nilai.
Oleh karena itu antara nilai dan kepercayaan, serta
pandangan hidup itu berbeda satu sama lainnya.
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 183—195
185
Fungsi Arajang Pada ... Iriani
Nilai mengacu kepada kategori ”good” dan ”bad”
dan ”right” dan ”wrong”, sementara kepercayaan
mengacu kepada kategori ”true” dan ”false” dan
”correct” dan ”incorrect”. Kepercayaan sering
diartikan sebagai the desirable yang disetujui dan
diperintahkan oleh Tuhan. Jadi bagaimanapun,
dalam hal tertentu nilai dan kepercayaan memiliki
persamaan. Dua-duanya mengandung pemikiran
tentang standar atau pengukuran.
Sistem kepercayaan adalah termasuk
di dalamnya emosi keagamaan, kelompok
keagamaan, dan sistem upacara keagamaan
(Koentjaraningrat,1990:148). Hal ini sangat
terkait dengan ritual yang dilakukan pada arajang
sebagai benda keramat yang dianggap mempunyai
kekuatan sakti.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan teknik pengumpulan data
melalui wawancara mendalam kepada orang
yang bertugas sebagai penjaga arajang di
dalam istana dan melakukan wawancara kepada
datu Luwu dan beberapa keturunannya, serta
beberapa orang yang mengetahui tentang
arajang, termasuk orang-orang yang pernah
mengunjungi arajang. Untuk menjaga agar
informasi yang disampaikan oleh informan tidak
mudah terlupakan, maka selama wawancara
berlangsung peneliti mencatat jawaban yang
dianggap relevan dengan permasalahan penelitian,
dan juga menggunakan alat bantu perekam.
Selain wawancara mendalam, juga dilakukan
observasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
penjaga arajang saat akan menghadap ke arajang
dan pengunjung yang sedang melakukan ritual
terhadap arajang, seperti menyiapkan dupa dan
daun sirih serta perlengkapan lainnya. Untuk
melengkapi data lapangan, maka dilakukan studi
pustaka, dengan membaca beberapa literatur yang
ada relevansinya dengan arajang, termasuk hasil-
hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Penelitian ini dilakukan di Kota Palopo,
tepatnya di istana Kerajaan Luwu (Kedatuan
Luwu). Adapun alasan memilih lokasi tersebut
adalah, karena arajang berada dan di simpan
dalam istana Kedatuan Luwu, yang saat ini selain
berfungsi sebagai museum, juga berfungsi sebagai
tempat tinggal datu Luwu.
Data yang diperoleh dari wawancara,
observasi dan dokumentasi dianalisis secara
kualitatif. Analisis data terdiri atas 3 alur
kegiatan secara bersamaan, yakni reduksi data,
menyederhanakan data yang diperoleh dengan
mengklasifikasi, dan penyajian data dengan
membuat abstraksi dengan menghubungkan
atau membandingkan dengan teori yang ada dan
penarikan kesimpulan.
PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Luwu atau Palopo merupakan salah satu ibu
kota kabupaten yang secara administratif masuk
dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Secara
Palopo terletak di sebelah barat,
tepatnya berbatasan dengan Tondon Nanggala
Kabupaten Toraja, sebelah utara berbatasan
dengan Walenrang Kabupaten Luwu, sebelah
timur berbatasan dengan Teluk Bone, dan sebelah
selatan berbatasan dengan Kecamatan Bua
Kabupaten Luwu.
Jarak Kota Palopo dari ibu kota provinsi
Sulawesi Selatan sekitar 366 km, dengan
waktu tempuh selama ± 9 jam. Dari ibu kota
provinsi Sulawesi Selatan menuju Kota Palopo
dapat menggunakan kendaraan berupa bus
maupun kendaraan pribadi. ibu kota Palopo
termasuk dalam wilayah Kecamatan Wara.
Pada pertengahan tahun 2006 kota Palopo
dimekarkan menjadi sembilan Kecamatan, yakni
kecamatan Wara, Kecamatan Wara Selatan, Wara
Timur, Wara Barat, Wara Utara, Mungkajang,
Telluwanua, Sandana, dan Bara.
Masyarakat Luwu, khususnya di Kota
Palopo mayoritas beragama Islam, walaupun tidak
ditemukan data tertulis secara pasti mengenai
jumlah penduduk berdasarkan agama, namun
dapat dilihat dengan sering ditemukan tempat
ibadah berupa masjid. Selain agama Islam
masyarakat Kota Palopo juga ada yang beragama
Nasrani dan beragama Budha.
Walaupun masyarakat Luwu sudah
mempunyai agama masing-masing, namun masih
terdapat kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan
gaib, mahluk-mahluk halus, dan kekuatan sakti
berupa dewa-dewa. Sehingga untuk menghindari
186
adanya gangguan dari dewa atau kekuatan sakti
tersebut, maka masyarakat mengadakan ritual
atau upacara untuk meminta perlindungan kepada
dewa yang menentukan nasib manusia (Dewa
Patotoe), termasuk kepercayaan kepada arajang
sebagai benda pusaka yang memiliki kekuatan
magis.
Masyarakat Luwu mengenal adanya
kepercayaan kepada Dewata SeuwaE yang
merupakan gerakan kerohanian yang bertujuan
mencari hubungan batin antara manusia dengan
Tuhan yaitu makhluk gaib yang dianggap ada
mendiami alam gaib. Dewa-dewa dianggap
sebagai personalitas hidup masyarakat dengan
menaruh kepercayaan kepada dewa yang
memelihara,/menjaga dan menggerakkan bala
bencana dalam kehidupan manusia. Hal ini
diwujudkan dengan melakukan prosesi ritual
terhadap kekuatan gaib yang mendiami alam raya
sebagai bagian dari kekuasaan Dewata Suwwae.
Eksistensi Arajang dalam Masyarakat Luwu
- Mitos tentang Arajang dan Tomanurung
Bagi masyarakat tradisional, mitos
merupakan cerita yang benar dan menjadi milik
mereka, seperti halnya cerita dalam La Galigo
tentang Tomanurung, yang dianggap cerita yang
sangat berharga dan penuh makna dan nilai dalam
kehidupan orang Bugis, khususnya di Luwu.
Mitos selalu menyangkut suatu penciptaan yang
dianggap sebagai jaminan eksistensi dunia dan
manusia.
Seperti halnya keberadaan arajang pada
Kerajaan Luwu tidak terlepas dari mitologi
dan kosmologi orang Luwu. Bahkan dalam
naskah La Galigo yang merupakan naskah
mytologi terpanjang di dunia, mengatakan
bahwa raja pertama di Luwu bersemayam di
Boting Langi, yaitu berada di langit ke tujuh
bersama permaisurinya. Atas saran dari menteri-
menterinya dan hasil kesepekatan seluruh
dewa-dewa penguasa di alam semesta ini, maka
dimufakatilah untuk menurunkan salah seorang
putera Patoto’e (yang maha pencipta) yang
bernama Batara Guru Latoge Langi Sangkuru
Wira untuk dijadikan raja dari segala raja di muka
bumi (Pangeran, 2011:6).
Dister dalam Daeng (2008:81) mengatakan,
bahwa mitos merupakan sebuah cerita pemberi
pedoman atau arah tertentu kepada sekelompok
orang. Mitos memberikan arah kepada kelakuan
manusia dan merupakan pedoman bagi manusia
untuk bertindak bijaksana. Bahkan mitos
menyadarkan manusia akan adanya kekuatan-
kekuatan ajaib. Seperti halnya cerita mitos tentang
Tomanurung di dalam cerita La Galigo yang
menceritakan asal mula terbentuknya Kerajaan
Luwu.
Dikatakan bahwa, Batara Guru pada
mulanya diturunkan di suatu tempat bernama
Ussu (di Malili Luwu Timur). Tempat tersebut
kemudian menjadi pusat pemerintahan Kerajaan
Luwu yang pertama. Batara Guru diturunkan
melalui sebilah bambu emas atau bambu kuning
yang disebut “tellang pulawengnge”. Dikatakan
juga bahwa setelah proses pengujian untuk
menjadi raja selesai atau setelah meletakkan dasar
pemerintahan Kerajaan Luwu, maka Batara Guru
digantikan oleh putranya yang bernama Batara
Lettu sebagai Pajung Luwu. Kemudian Batara
Lettu bersama permaisurinya Datu Sengngeng
melahirkan seorang putera yang bernama
Sawerigading Latoge Langi To Appanyompa
yang melakukan beberapa kali peperangan dan
penaklukan. Kemudian Sawerigading bersama
permaisurinya bernama We Cudai seorang putri
dari Kerajaan Cina, melahirkan seorang anak yang
bernama La Galigo, sebagai penulis naskah klasik
yang dikenal sebagai buku La Galigo.
Pada akhir naskah La Galigo disebutkan
bahwa”wettu rigilinna sinapatie” yaitu pada
waktu alam raya dibalikkan, maka Sawerigading
dan permaisurinya We Cudai serta seluruh
Kerajaan Luwu diperintahkankan oleh Patoto’e
untuk turun ke dasar samudera yang ke tujuh
(tinrelle lao ti toddang toja). Dengan demikian
maka berakhirlah periode La Galigo.
Menurut lontara, setelah berakhirnya
periode La Galigo, terjadi kekosongan kekuasaan
di Kerajaan Luwu, sehingga timbul kekacauan
tanpa ada norma-norma yang mengatur, sehingga
dikenal dengan sianrebale. Masa ini berlangsung
cukup lama yang kemudian berakhir dengan
munculnya Tomanurung di berbagai daerah
di Sulawesi Selatan, seperti manurungnge ri
Matajang di Kerajaan Bone, dan di Kerajaan
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 183—195
187
Luwu muncul Tomanurung yang kedua yang
dikenal dengan nama Sampurusiang menjadi
pajung di Luwu (Pangeran, 2011:10).
Adanya istilah Tomanurung dalam mitologi
sistem pemerintahan tradisional Sulawesi Selatan
sangat terkait dengan adanya arajang, sebab
alat legitimasi yang digunakan oleh penguasa
untuk memiliki dan tetap mempertahankan
kekuasaannnya adalah arajang. Dianggap bahwa
Tomanurung yang akan menjadi pemimpin atau
raja/pajung/datu di suatu daerah bersamaan
dengan kehadiran arajang sebagai tanda kebasaran
seorang raja atau datu yang dianggap mempunyai
kekuatan magis.
Tomanurung dianggap sebagai peletak dasar
pembentukan dan perkembangan kerajaan. Selain
itu Tomanurung memiliki sumber kekuasaan yang
suci, bukan dari manusia, melainkan berasal dari
dewa yang tidak diketahui nama dan asal-usulnya
(Amir, dkk, 2012:37).
Tomanurung bersama arajangnya
merupakan titisan dewa yang turun dari kayangan
untuk menjadi pemimpin manusia di suatu negeri.
Oleh karena itu arajang dianggap sebagai titisan
dewa yang sangat dihormati beserta dengan
rajanya. Bahkan Abidin (1999:101) mengatakan
arajang merupakan pemilik kerajaan, sedangkan
yang menguasai dianggap sebagai wakil arajang
yang mewakili Tuhan (Dewata Seuae = Tuhan
yang Maha Esa; Puang Dewata, Puang Matua,
Dewata = Tuhan) yang akan memerintah. Oleh
karena itu yang dianggap sebagai pemilik kerajaan
adalah Tuhan yang diwakili oleh arajang.
Kemudian raja yang melaksanakan pemerintahan
dibantu oleh perangkat-perangkatnya. Raja atau
datu/pajung yang telah melakukan perjanjian
dengan rakyatnya akan tetap menjadi raja
sepanjang ia masih menaati isi perjanjiannya,
namun apabila ia tidak lagi menaati perjanjiannya,
maka ia akan dipecat sebagai raja, sebab dianggap
bukan lagi wakil dari Tuhan.
Arajang atau biasa juga disebut gaukeng
merupakan benda yang dianggap sangat penting
pada terbentuknya suatu permukiman baru,
sehingga sangat dihargai oleh suatu komunitas.
Arajang dapat berupa apa saja yang mempunyai
ciri-ciri yang unik, sehingga dianggap sebagai
mahluk halus yang mendiami suatu wilayah
yang mempunyai komunitas, bisa berupa biji
buah yang telah kering, tunggul pohon, bajak
tua, dan berupa batu. Eksistensi arajang tersebut
berawal dari adanya komunitas pada masa lampau
yang menemukan benda keramat, kemudian
benda tersebut dirawat bersama penemunya.
Pada akhirnya penemu benda tersebut menjadi
pemimpin pada suatu komunitas (Andaya dalam
Makkulau, 2010:53).
Setiadi (2010:779) mengatakan, bahwa
munculnya seorang pemimpin biasanya bersama
dengan keadaan kelompok yang mengalami
kegoncangan, ancaman musuh dari luar. Oleh
karena itu dalam kondisi demikian, maka anggota
kelompok mengalami kesulitan untuk mengatasi
berbagai persoalan yang muncul dan merasa
kesulitan untuk menentukan langkah-langkah
yang harus diambil untuk mengatasi kesulitan itu.
Dalam keadaan demikian, maka muncul seorang
yang memiliki kemampuan yang menonjol
yang diharapkan mampu mengatasi kesulitan
yang ada. Dengan demikian muncullah seorang
pemimpin dari hasil proses yang dinamis yang
sesuai dengan kebutuhan kelompok ini. Namun
apabila dalam keadaan demikian tidak muncul
seorang pemimpin, biasanya kelompok ini akan
mengalami disintegrasi kelompok. Seperti halnya
mitos tentang Tomanurung yang diyakini sebagai
dewa yang turun dari kayangan untuk menjaga
kemaslahatan manusia di bumi.
Keterangan tentang La Galigo banyak
diperoleh dari naskah klasik berbahasa Bugis,
yang dikenal dengan nama “galigo”. Kern
dalam (Pangeran, 2002:5) menyatakan, bahwa
naskah La Galigo merupakan salah satu naskah
mitologi yang yang terpanjang dalam bentuk
prosa lirik. Dalam naskah tersebut, diterangkan
bahwa masa paling awal, Patoto’e atau yang
menentukan nasib disebut To Palanroe (yang
maha pencipta) merupakan raja yang bersemayam
di Boting Langi’ atau puncak langit ke tujuh
bersama permaisuri yang digelar Palinge’e (maha
pengatur).
- Arajang
Luwu
Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa
keberadaan arajang sangat terkait dengan hadirnya
Tomanurung yang dianggap sebagai wakil Tuhan.
Fungsi Arajang Pada ... Iriani
188
Kemudian Tomanurung bersama arajangnya
turun ke bumi untuk memimpin manusia.
Mitologi tentang arajang dan Tomanurung
sangat terkait dengan sistem sosial atau sistem
kekerabatan orang Luwu. Raja diasosiasikan
sebagai dewa, sehingga keturunannya dianggap
sebagai bangsawan yang berdarah putih. Oleh
karena itu, apabila seorang datu atau raja
meninggal dunia, maka ia akan meninggalkan dua
hal, yakni yang pertama adalah darah dan kedua
adalah arajang.
Dapat dikatakan, bahwa prinsip kekerabatan
orang Luwu menganut sistem bilateral, dihitung
berdasarkan garis ayah maupun dari garis
keturunan ibu. Hal ini dapat dilihat pada gelar
kebangsawanan yang akan diberikan kepada
anaknya, yakni ketika ayahnya yang berdarah
bangsawan, ibunya bukan, maka anaknya tidak
mendapatkan gelar kebangsawanan, namun
apabila keduanya (ayah dan ibu) berasal dari
keturunan bangsawan, maka anaknya boleh
mendapat gelar bangsawan.
Kelompok keluarga orang Luwu dibangun
berdasarkan beberapa generasi/keturunan yang
dikenal dengan “Sulapa EppaE” yaitu empat
generasi nenek, empat generasi cucu, empat
generasi sepupu. Kelompok kekerabatan tersebut
saling mengenal dan membentuk keluarga luas
(extended family).
Kekerabatan orang Luwu mengenal
panggilan dan sebutan kekerabatan. Kadangkala
panggilan kekerabatan sama dengan sebutan
kekerabatan, dan kadangkala panggilan
kekerabatan berbeda dengan sebutan kekerabatan.
Perbedaan antara sebutan kekerabatan dan
panggilan kekerabatan, disebabkan karena adanya
pada keturunan, yakni adanya istilah bangsawan
dan bukan bangsawan. Seperti telah diungkapkan
di atas, bahwa Luwu adalah bekas kerajaan tertua
dan terbesar di Sulawesi Selatan, sehingga struktur
masyarakatnya masih dipengaruhi oleh sistem
kerajaan pada masa dahulu, khususnya pada
panggilan kekerabatan dan sebutan kekerabatan.
Sebutan maupun panggilan kekerabatan
dalam berinterkasi di dalam masyarakat. Dalam
hal ini sebutan kebangsawanan semakin populer
dan marak digunakan, seperti panggilan opu dan
sebutan opu, bahkan gelar tersebut digunakan
sampai ke kantor-kantor pemerintahan yang
bersifat formal.
Dalam masyarakat tradisional secara realitas
proses pelapisan sosial umumnya ditentukan oleh
faktor yang bersifat mitos yang berkaitan dengan
unsur-unsur yang bersifat “supranatural”. Kondisi
sosial dan pemikiran demikian merupakan suatu
hal umum yang terjadi atau berlaku pada semua
kelompok etnis yang terdapat di Indonesia,
termasuk di Luwu, yang mana pelapisan sosial
berasal dari adanya mitos tentang Tomanurung
atau orang yang turun dari kayangan.
Masyarakat Luwu mengenal adanya
stratifikasi sosial atau lapisan sosial menurut
dimensi kekuasaan sebagai dimensi yang cukup
menonjol pada masa dahulu. Dalam suatu garis
berikut.
1. Rombena Kamumu : 1. anak mattola
2. anak angileng
2. To maradeka : 1. To deceng
2. Jema lappa
3. Ata
Bentuk stratifikasi ini dipengaruhi oleh
adanya sistem kerajaan pada masa lampau yang
sangat terkait dengan adanya Tomanurung,
sehingga ada yang disebut bangsawan dan bukan
dipengaruhi dengan sistem bilateral, yaitu untuk
menentukan status atau gelar seorang anak
dihitung berdasarkan garis ayah dan garis ibu.
Menurut Sorokin (dalam Narwoko,
penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-
kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudan
tinggi dan kelas yang rendah, akibat dari adanya
sesuatu yang dianggap berharga oleh masyarakat.
Sesuatu yang dianggap berharga oleh masyarakat
tersebut sangat berbeda-beda, karena sangat
bergantung pada sistem nilai yang berkembang
di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Bagi bangsawan Luwu, sampai saat ini,
gelar (pattellarang) opu diberikan ketika orang
tersebut telah melangsungkan pernikahan. Bahkan
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 183—195
189
masuk dalam rangkaian acara pernikahan adat
Luwu. Gelar tersebut diambil dari nama nenek
atau kakek, dari pihak ayah maupun dari pihak
ibu yang dianggap bisa diteladani akhlaknya.
Namun gelaran diambil dari keluarga ayah
atau keluarga ibu yang dianggap mempunyai
keturunan bangsawan yang masih asli (matase).
Selain dari keturunan yang matase, juga diambil
berdasarkan sifat dan karakter yang bisa dijadikan
suri tauladan. Selain gelaran diambil dari nama
nenek atau kakak, gelaran juga bisa diambil
dari paman atau bibi, juga bisa diambil dari
keponakan (sigona/dipasigona) atau anak saudara
laki-laki maupun anak saudara perempuan yang
mempunyai darah kebangsawanan yang matase
dan sifat yang terpuji. Gelaran juga diberikan
sesuai dengan jenis kelamin, yakni apabila yang
akan diberi gelar adalah perempuan, maka diambil
pula dari nama nenek atau keponakan yang
perempuan pula.
Dinamika sistem kekerabatan di Luwu,
akhirnya menghasilkan sistem piramida terbalik,
yakni darah kebangsawan seseorang semakin
berkurang. Misalnya seorang laki-laki bengsawan
(A) menikah dengan seorang perempuan bukan
bangsawan (B), maka hasil perkawinan kedua
orang tersebut akan melahirkan seorang anak yang
mempunyai kadar kebangsawanannya berkurang
atau tidak lagi seratus persen seperti ayahnya.
Demikian juga apabila seorang perempuan (C)
bangsawan menikah dengan seorang laki-laki
bukan bangsawan (D), maka anak dari hasil
perkawinan tersebut dianggap bukan bangsawan,
sehingga tidak mempunyai gelar bangsawan.
Soekanto (2009:24) menjelaskan, bahwa
ada beberapa alasan seseorang dapat memperoleh
kedudukan dalam masyarakat, yakni :
1. Diperoleh dengan sendirimya (berdasarkan
keturunan)
2. Diperoleh secara sengaja berdasarkan usaha
atau perjuangan
Bagi masyarakat Luwu, gelar andi dan opu
juga diperoleh melalui 2 alasan sesuai dengan
yang diungkapkan di atas, yakni gelar yang
diperoleh berdasarkan keturunan, akan sendirinya
berada pada kelas sosial tersebut. Seperti apabila
seorang anak yang yang berasal dari ayah dan
ibu adalah bangsawan, maka dengan sendririnya
dia bergelar bangsawan (andi atau opu) dan
sebaliknya.
Sementara ada gelar dan kedudukan
yang diperoleh melalui perjuangan atau usaha.
Misalnya jabatan dalam suatu instansi dan gelar
yang diperoleh karena jabatannya. Dengan
demikian maka orang tersebut berusaha untuk
menduduki jabatan penting agar dapat dengan
mudah mendeklarasikan dirinya sebagai kelas
sosial yang tinggi, baik dari kelas ekonomi maupun
kelas karena keturunan. Seperti yang banyak
terjadi pada masyarakat Luwu dewasa ini, karena
mempunyai harta banyak dan mempunyai jabatan
penting di pemerintahan, serta menganggap
dirinya masih mempunyai hubungan kekerabatan
dengan keluarga bangsawan, walaupun sudah jauh
sekali, maka ia dengan mudah dan tidak segan-
segan memberi gelar bangasawan pada dirinya
(opu atau andi).
Kemudian Errington (1989:98) menjelaskan
tentang kebangsawanan Luwu, bahwa:
Social ranking in akkarungeng Luwu, viewed
gradual dispersion or diminution of the white
blood lodged in its purest form in the Pajung or
Like light cast from a single source, white
blood in Akkarungen Luwu can be Pajung’s
to darkness at the vague perimeter.
Uraian di atas menjelaskan, bahwa
bangsawan Luwu atau keturunan pajung dikenal
dengan akkarungeng berasal dari keturunan
berdarah putih (maddarata takku) atau berasal
dari sumber yang bersih. Pajung atau pun raja
dianggap sebagai dewata (spirit) yang merupakan
keturunan Batara Guru atau manurung (turun dari
langit) yang dianggap sebagai pajung pertama
di Kerajaan Luwu. Para keturunan pajung atau
pajung dianggap to malebbi dan mampu menjaga
“siri” berprilaku yang baik, dan bertutur kata yang
baik, serta disenangi oleh masyarakat.
Selain itu untuk dinobatkan menjadi pajung
harus dari keturunan raja (pajung) yang lebih
dikenal dengan istilah anak mattola atau anak
angileng. Namun tidak dibenarkan anak angileng
menjadi pajung apabila masih ada golongan anak
Fungsi Arajang Pada ... Iriani
190
mattola. Apabila hal ini dilanggar maka akan
menimbulkan kekacauan di dalam Kerajaan Luwu
pada masa dahulu.
Pranata kekerabatan orang Luwu akibat
pengaruh keberadaan kerajaan (kepajungan)
Luwu tergambar dengan jelas, bahwa para
kerabat elit (bangsawan) perempuan dan laki-
laki yang belum menikah bergelar andi dan
apabila perempuan dan laki-laki telah menikah,
maka diberi gelar opu dan disapa dengan opu.
Bahkan pada masa dahulu sebelum memberi
gelar kepada seorang anak, terlebih dahulu
meminta pendapat kepada raja apakah anak
tersebut berhak menyandang gelar andi, apabila
raja atau pajung menyetujui, maka gelar tersebut
boleh diberikan kepada yang bersangkutan.
Misalnya apabila kedua orang tuanya berasal
dari keluarga bangsawan (andi) yang dianggap
matasa’, maka anaknya akan diberi gelar andi,
namun apabila hanya ibunya atau ayahnya yang
berketurunan bangsawan, maka anaknya tidak
berhak memperoleh gelar andi (Iriani, 2011:23).
Begitu ketatnya gelar kebangsawanan pada masa
dahulu, sehingga apabila ada seseorang yang
memakai gelar andi yang bukan dari keluarga
bangsawan, maka ia akan ditegur oleh pajung
agar tidak menggunakan gelar andi. Bahkan
ada kepercayaan masyarakat, bahwa apabila
menggunakan gelar andi bagi orang yang tidak
pantas atau bukan keturunan pajung Luwu maka
orang tersebut akan (durhaka) mabusung kepada
leluhur. Hal semacam ini juga diungkapkan oleh
Errington (1989:101), bahwa apabila seorang
laki-laki bangsawan menikah dengan perempuan
bukan bangsawan, maka anaknya tidak akan
mendapat gelar kebangsawanan (andi).
Seiring dengan perkembangan zaman yang
diiringi dengan perubahan struktur masyarakat
Luwu khususnya di Kota Palopo, maka gelar
kebangsawanan tidak lagi menjadi suatu pranata
kekerabatan yang ketat seperti pada masa kerajaan
dahulu sebab adanya pola perkawinan eksogami
dan sistem bilateral. Kelompok inilah yang
mewarnai pelapisan sosial yang terdapat dalam
struktur sosial orang Luwu pada masa dahulu.
Namun seiring dengan perkembangan zaman
strata ketiga sudah mengalami perubahan menjadi
strata kedua, sebab sudah mengalami pergeseran
kriteria, dilihat dari derajat dan peranannya di
masyarakat, tingkat pendidikan, kedudukan dan
kemampuan ekonomi.
Fungsi Arajang pada Masyarakat Luwu
- Simbol Kekuasaan
Kekusaan merupakan kemampuan
menggunakan sumber-sumber pengaruh yang
dimiliki seseorang atau sekelompok orang untuk
mempengaruhi pihak lain, sehingga pihak lain
yang dipengaruhi berperilaku atau bertindak
sesuai dengan keinginan atau kehendak pihak
yang mempengaruhi (Setiadi, 2010:746). Setiadi
juga membedakan antara kekuasaan (power)
dan kewenangan (authority). Setiap kemampuan
untuk mempengaruhi pihak lain disebut dengan
kekuasaan, sedangkan kewenangan menekankan
legalitas dari pengaruh yang ada pada diri
seseorang. Oleh karena itu maka kewenangan
diartikan sebagai kekuasaan yang melekat pada
diri seseorang atau sekelompok orang yang telah
mendapat dukungan dari orang yang dikuasainya
(legalized power).
Seperti telah diungkapkan sebelumnya,
bahwa arajang merupakan simbol kekuasaan
dan legitimasi sistem politik pada masa kerajaan
di Sulawesi Selatan pada umunya dan khususnya
di Luwu. Bahkan Mappangara (2005:160)
mengatakan, bahwa alat legitimasi yang digunakan
oleh penguasa dalam hal ini raja untuk memiliki
dan mempertahankan kekusaannya adalah
arajang. Walaupun ada unsur mitos di dalamnya.
Seperti yang dikatakan oleh Fahmid (2012:
5) bahwa benda-benda kerajaan atau pusaka
kerajaan, termasuk arajang sangat berperan
dalam meraih dan memiliki kekuasaan. Konsep
tentang adanya kekuasaan akan melahirkan
hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin
atau pengikut. Oleh karena itu maka struktur
masyarakat Luwu umumnya dapat dilihat sebagai
masyarakat yang memiliki struktur sosial politik
yang didominasi oleh ikatan solidaritas vertikal.
Menurut Weber (dalam Mappangara,
2005:160) ada tiga hal yang mendasari suatu
legitimasi, yaitu:
1. Sifat rasional, yakni keyakinan pada
keberlakuan peraturan yang dibuat dari
otoritas yang melekat pada peraturan-
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 183—195
191
peraturan yang mengharuskan.
2. Sifat tradisional, yakni keyakinan pada
kesucian tradisi yang sudah berjalan lama
dan keabsahan terhadap pelaksanaan
otoritas yang melingkupi tradisi tersebut.
3. Sifat kharisma, yakni peletakan kesetiaan
pada hal-hal yang sangat suci. Kepahlawanan
atau sifat-sifat individu yang patut dicontoh,
dan pola-pola normatif yang diperlihatkan
olehnya.
Menurut Mappangara (2005:162), alat
legitimasi yang bisa dijadikan sebagai jaminan
oleh seseorang untuk mendapatkan kekuasaan
dan dianggap mendapat restu dari penguasa alam
adalah orang yang menguasai ornament kerajaan
yang disebut arajang. Oleh karena itu, siapaun
yang memegang arajang, maka ialah yang
dianggap sebagai penguasa atau raja.
Ramlan Surbakti dalam (Setiadi, 2010:750)
menjelaskan ada beberapa sumber yang
menjadikan seseorang atau sekelompok kecil
orang berkuasa atas orang lain yaitu, sarana
status sosial, keahlian, massa yang terorganisasi,
jabatan dan pers. Sumber normatif merupakan
sumber kekuasaan seseorang atau sekelompok
kecil orang yang memiliki pengaruh terhadap
pihak lain karena norma sosial yang berlaku
mengharuskan masyarakat patuh. Pemimpin
tersebut mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan,
seperti raja dan sultan.
Sistem Pemerintahan Kerajaan, Luwu
dipimpin oleh seorang raja yang disebut
dengan pajung. Di dalam menjalankan sistem
pemerintahannya, pajung dibantu oleh beberapa
pejabat kerajaan yang disebut dengan pakkatenni
ade. Mereka ini terdiri atas: opu patunru, opu
cenning, opu pabicara, opu temmarilaleng, dan
opu balirante. Masing-masing pejabat kerajaan
tersebut mempunyai tugas yang telah diatur
menurut peraturan kerajaan pada saat itu.
Sudah menjadi ketentuan adat, bahwa
apabila seorang pajung meninggal dunia, maka
secara otomatis dia akan digantikan oleh Opu
Cenning (putra mahkota atau saudara kandung
dari pajung atau datu), sekaligus sebagai panglima
perang Kerajaan. Orang yang menggantikan
posisi pajung, ketika pajung sedang berhalangan,
disebut dengan opu cenning, baik dia seorang
perempuan maupun seorang laki-laki (Pangeran,
2011:15).
Dalam setiap situasi dan hubungan
kekuasaan terdapat tiga unsur yang terlibat
di dalamnya, yaitu tujuan dari kekuasaan ini,
cara penggunaan sumber-sumber pengaruh dan
hasil penggunaan sumber-sumber pengaruh.
Seseorang dapat dikatakan mempunyai kekuasaan
potensial jika ia memiliki sumber-sumber
kekuasaan, misalnya tanah yang luas, kekayaan
yang melimpah ruah, senjata, pengetahuan dan
informasi, popularitas, status sosial yang tinggi,
massa yang terorganisasi dan jabatan (Setiadi,
2010:747).
Menurut Max Weber (dalam Soekanto,
2009:174) adalah kesempatan yang ada pada
seseorang atau sejumlah orang untuk melaksanakan
kemauannya sendiri dalam suatu tindakan sosial.
Kesempatan dapat dihubungkan dengan ekonomi,
dengan kehormatan, partai politik atau apa saja
yang menjadi sumber kekuatan bagi seseorang.
Kekusaaan merupakan peluang bagi
seseorang atau sejumlah orang untuk mewujudkan
keinginan mereka sendiri melalui suatu tindakan
komunal meskipun mengalami tantangan dari
orang lain yang ikut serta dalam tindakan komunal
itu, Geotano Mosca (dalam Soekanto, 2009:231)
menyatakan, bahwa dalam setiap masyarakat
selalu terdapat dua kelas penduduk, satu kelas yang
menguasai dan satu kelas yang dikuasai, Kelas
pertama jumlahnya selalu lebih kecil, menjalankan
semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan
dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh
kekuasaan itu, sedangkan kelas kedua jumlahnya
jauh lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas
pertama.
Asal mula sistem pemerintahan di Luwu
mengalami beberapa fase perkembangan, yakni
sebelum masa pemerintahan kerajaan, dikenal
adanya istilah anang, yaitu persekutuan yang
terdiri dari beberapa orang atau keluarga yang
dipimpin oleh orang tertua dalam keluarga.
Pemimpinnya adalah seorang yang dianggap
bijaksana. Kemudian lama-kelamaan muncul
keinginan untuk mempersatukan seluruh anang,
yang wilayahnya terdiri atas wilayah pantai/laut
(akkayang) dan wilayah daratan yang dijadikan
Fungsi Arajang Pada ... Iriani
192
sebagai tempat untuk bercocok tanam atau
padang/hutan, yang disebut dengan allaong-
rumang. Selain itu, juga dilengkapi dengan pasar
untuk dijadikan sebagai tempat jual beli hasil-hasil
bumi. Akhirnya terbentuklah persekutuan yang
lebih luas dan terorganisir, yang dikenal dengan
kedatuan yang dipimpin oleh seorang yang berasal
dari luar anang, dikenal dengan kepemimpinan
Tomanurung (Mattulada, 1998:26).
Dewasa ini Pemerintah Kota Palopo dan
para komunitas adat selalu berusaha untuk
mempertahankan identitas Kerajaan Luwu. Hal ini
dapat dilihat dengan masih eksisnya pajung Luwu
sebagai pemimpin adat saat ini dan juga beberapa
anak suku atau daerah bawahan Kerajaan Luwu,
seperti para ma’dika yang berkedudukan di tiga
daerah seperti pada masa dahulu, yaitu Ma’dika
Buah, Ma’dika Ponrang, dan Makole Baebunta.
Pada saat ini para perangkat Kerajaan Luwu
yang masih eksis, dalam hal ini baik pajung
maupun ma’dika, namun tidak lagi mengurus
masalah pemerintahan, akan tetapi mengurus
masalah yang berkaitan dengan adat dalam
masyarakat, seperti masalah tanah adat, yang saat
ini lagi hangat-hangatnya dibicarakan, masalah
upacara adat yang menyangkut orang banyak,
contohnya upacara maccerak tasik dan upacara
pernikahan adat. Selain itu juga mayarakat masih
merasa terikat dengan pemimpin lokal, sehingga
apabila ada kekacauan, mereka lebih dahulu
melapor kepada pemimpin adat, dalam hal ini
kepada ma’dika. Misalnya acara pernikahan adat,
siapa saja yang pantas menggunakan walasuji atau
bangunan dari bambu yang di pasngan di depan
rumah bagi yang akan melangsungkan pernikahan.
Bahkan ada informan yang menyatakan, bahwa
perkawinan tidak dianggap sakral apabila tidak
dihadiri oleh tokoh adat, seperti ma’dika atau
tokoh adat lainnya yang dianggap bisa mewakili
ma’dika. Berarti, bahwa para perangkat adat tidak
bertugas seperti pada masa kerajaan dahulu, sebab
tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat saat
ini. Walaupun demikian, umumnya masyarakat
masih merasa terikat dengan pemimpin adat
mereka, sehingga tetap menghormati dan
menujunjung tinggi pemimpin adat tersebut.
Sejak dahulu hingga dewasa ini arajang
menjadi simbol kekuasaan, walaupun para
keturunan datu Luwu sudah cenderung berkurang,
akibat pola perkawinan eksogami, namun
arajanglah yang menjadi artefak yang bisa
membuktikan, bahwa pernah ada kerajaan besar
di Luwu. Arajang tidak dapat musnah hingga
beberapa keturunan. Walaupun nantinya lama
kelamaan para keturunan raja atau datu sudah
tidak ada lagi yang berhak memegang arajang,
sebab darah kebangsawanannya sudah memudar
atau sudah tidak mencapai seratus persenlagi.
Mereka hanya dapat mengakui, bahwa dirinya
adalah keturunan datu Luwu, namun tidak dapat
mengambilnya sebagai warisan kekuasaan.
Walaupun simbol kekuasaan saat ini berbeda
dengan pada zaman dahulu, yang mana pada zaman
dahulu sistem kerajaan masih ada. Namun pada saat
ini arajang hanya bisa dikenang oleh masyarakat
pendukungnya, bahwa di Luwu pernah berdiri
suatu kerajaan yang besar dibuktikan dengan
adanya artefak arajang.
Pada struktur pemerintahan Kerajaan
Luwu dikenal istilah pajung sebagai pemimpin
tertinggi kerajaan. Gelar pajung hanya dapat
disandang apabila seseorang telah dinobatkan
menjadi raja, namun apabila belum dinobatkan
menjadi raja atau pajung, maka ia hanya bergelar
datu. Dalam pelaksanaan pemerintahan, pajung
dibantu oleh beberapa orang yang di kenal dengan
opu patunru, opu pabicara, opu to marilaleng,
dan opu balirante. Keempat jabatan tersebut
menyimbolkan keberadaan pranata politik dalam
realitas masyarakat Luwu pada masa dahulu.
Kebesaran dan keberadaan Kerajaan Luwu bukan
saja mempunyai gaung pada masa dahulu, tetapi
juga sangat berpengaruh terhadap sistem sosial
dan kebudayaan orang Luwu.
-Identitas Lokal
Parson (dalam Narwoko, 2006:259)
menyatakan bahwa.masyarakat sebagai sistem
interaksi kolektif dan perilaku, merujuk pada
persekutuan hidup (social community) dan ini
merupakan intisari struktur sosial yang fungsi
utamanya adalah mengintegrasikan. Fungsi
integrative setidaknya bisa ditunjuk dalam dua
hal,yakni perama memberikan criteria dan atau
identitas keanggotaan dalam sistem sosial, kedua
menciptakan norma sosial yang mengatur hubungan
individu dan subkolektif dalam sistem sosial.
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 183—195
193
Identitas lokal merupakan ungkapan nilai-
nilai budaya yang membedakannya dengan daerah
lain. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa
arajang merupakan alat legitimasi sistem politik
pada masa kerajaan dahulu. Sehingga semua
raja-raja di Sulawesi Selatan memiliki arajang
sebagai simbol kekuasaannya. Di samping itu
arajang bersifat territorial, seperti arajang yang
ada di Luwu khusus dijadikan sebagai simbol
kekuasaan raja Luwu pada masa dahulu, demikian
pula halnya arajang yang ada di daerah lain.
Setiap raja atau datu yang telah meninggal
dunia atau telah habis masa jabatannya memiliki
keturunan dan didampingi oleh arajang sebagai
simbol legitimasi. Maka untuk meninggalkan atau
menandakan bahwa raja atau datu pernah ada
dan berkuasa, maka disitulah arajang berfungsi.
Sehingga walaupun keturunan dari raja atau datu
telah tiada akibat perkawinan eksogami, maka
arajang tetap ada dan tidak habis. Seperti yang
diungkapkan oleh salah seorang informan (Andi
Anton Pangeran,tgl 10 Februari 2014), bahwa:
Fungsi arajang sekarang hanya sebagai
identitas kelompok, (colectivity identity), orang
Bugis kalau ditanya bilang orang bugis Bone,
artinya orang Bugis mengidentifikasi dirinya
secara kolektif, karena dia punya arajang,
Kolektif identitas, sekarang penting, kalau tidak
punya, buktinya kalau lebaran mudik, sampai
berdasarkan arajang.
Kesatuan budaya dan adat istiadat, serta
arajang memperkuat identitas kolektif orang
Luwu. Oleh sebab itu, pada saat ini seseorang
yang masih menganggap dirinya sebagai bagian
dari keturunan datu Luwu atau bagian dari
arajang, maka mereka akan datang ke arajang
untuk melakukan penghormatan, baik yang
tinggal di Luwu maupun mereka yang berada di
perantauan.
Untuk menjaga agar arajang tetap menjadi
simbol kekuasaan datu Luwu pada masa dahulu
dan sebagai identitas orang Luwu masa sekarang,
maka arajang tetap dijaga dan dipelihara, bahkan
di tempatkan di tempat terhormat di dalam istana
yang disebut dengan palakka artinya ditinggikan,
bahkan dikeramatkan. Selain itu diberi kelambu
berwarna kuning dan tidak dapat diambil
gambarnya oleh siapapun. Apabila arajang
berserta tempatnya diambil gambarnya (difoto),
maka akan ada bencana yang menimpa bagi si
pengambil gambar atau bagi si penjaga arajang.
Hal tersebut dipercaya oleh si penjaga arajang.
Begitu tingginya nilai arajang bagi
masyarakat Luwu, sehingga tidak dibolehkan untuk
mengambil gambarnya atau didokumentasikan.
Padahal arajang hanya sebuah pedang yang
lengkap dengan tempatnya dengan panjang sekitar
75 cm.
Setiap malam Jumat di ruangan arajang
disiapkan sirih dan perlengkapan berupa dupa dan
lainnya. Hal ini salah satu cara untuk menghormati
arajang yang dianggap masih ada, bahkan
dianggap sebagai benda yang memiliki roh,
sehingga harus diperlakukan sama dengan raja/
datu pada saat raja masih hidup. Bahkan sampai
saat oleh sebagain orang Luwu menganggap
arajang sebagai raja yang mempunyai kekuatan
sakti. Oleh karena itu tidak jarang orang Luwu
yang datang ke istana dengan tujuan ingin
menghadap arajang guna meminta berkah. Pada
umumnya yang datang ke arajang adalah orang-
orang yang diperintahkan melalui mimpi. Melalui
mimpi mereka menginterpretasikan masing-
masing mimpi itu, bahwa ia harus berkunjung
ke arajang dengan membawa sesajen. Adapun
sesajen yang dibawanya adalah berupa ayam
kampung satu ekor dan kelapa muda, serta
seperangkat sirih. Sesajen merupakan salah
satu bentuk penghargaan kepada arajang agar
apa yang menjadi permasalahan dalam hidup
seseorang dapat terselesaikan.
Pada umumnya orang yang datang berziarah
ke arajang adalah mereka yang diberi petunjuk
melalui mimpi. Baik orang yang berasal dari
daerah Kota Palopo sendiri maupun orang
yang berasal dari luar Kota Palopo. Orang yang
datang berkunjung ke arajang menganggap
dirinya bagian dari arajang, yang dapat
mempengaruhi kehidupannya. Sehingga apabila
ia tidak melakukan sesuai dengan apa yang ada
dalam mimpinya, maka dapat mempengaruhi
kehidupannya ke arah yang buruk, begitupun
sebaliknya.
Fungsi Arajang Pada ... Iriani
194
- Sebagai Lembaga Adat
Keberadaan arajang hingga saat ini masih
mempengaruhi sistem kelembagaan dalam struktur
masyarakat Luwu, khususnya pada lembaga
Kerajaan yang masih ada hingga saat ini. Arajang
struktur lembaga kerajaan tetap eksis, walaupun
tidak semua, yakni disesuaikan dengan kondisi
masyarakat Luwu saat ini.
Hubungan antara arajang atau kalompoang
dan penemunya sebagai pemimpin kelompok
masyarakat yang akhirnya menciptakan
ketergantungan kepemimpinan pada arajang
atau gaukang atau kalompoang. Ketergantungan
inilah yang menciptakan jabatan kepemimpinan
dalam masyarakat menjadi jabatan warisan
dimana keturunan langsung dari penemu arajang
yang boleh dan dapat dipilih menjadi pemimpin
(Poelinggomang, 2004: 54). Hal inilah yang
menjadi cikal bakal lembaga adat yang ada di
Luwu hingga saat ini, seperti masih eksisnya
beberapa jabatan datu, opu pabicara, madika
bua, madika ponrang, dan makole Baebunta. Ada
jabatan-jabatan tertentu yang masih eksis dalam
lingkungan istana kedatuan Luwu hingga saat
ini, yakni jabatan yang masih dianggap penting
dan masih dibutuhkan oleh masyarakat. Seperti
yang dikatakan oleh Levi-Strauss dalam Gibson
(2009:222) menyatakan, bahwa dalam banyak
masyarakat “feodal” hal penting mengenai aset
para bangsawan masih tetap dipertahankan dan
diturunkan dari waktu ke waktu. Kemudian
bagaimana aset-aset ditransmisikan di Sulawesi
Selatan, tergantung dari beberapa faktor, seperti
di Luwu dengan melalui garis keturunan pendiri
kerajaan. Walaupun mereka tidak lagi memerintah
seperti dahulu, namun keberadaannya masih
dihargai oleh masyarakat, khususnya pada saat
pelaksanaan upacara adat dan ketika timbul
permasalahan dalam masyarakat.
PENUTUP
Arajang bagi masyarakat Luwu dimaknai
sebagai benda yang mempunyai kekuatan
sakti. Pemahaman masyarakat tentang arajang
sangat terkait dengan adanya mitos tentang
Tomanurung, atau dewa yang turun dari langit
beserta perangkatnya yaitu arajang. Arajang
dianggap sebagai benda yang sangat sakral,
sehingga menjadi simbol kekuasaan Kerajaan
Luwu pada masa dahulu sampai saat ini. Arajang
masih dihargai sebagai warisan Kerajaan Luwu
yang tidak dapat berubah atau hilang begitu saja
identitas kebangsawanannya dibandingkan darah
kebangsawanan.
Sehubungan dengan fungsi arajang
sebagai simbol kekuasaan Kerajaan Luwu, juga
dimaknai sebagai Tomanurung yang merupakan
masyarakat di Luwu. Oleh karena itu arajang
atau Tomanurung melahirkan istilah bangsawan
dan bukan bangsawan. Dapat dikatakan, bahwa
saat ini arajang dapat berfungsi sebagai pemersatu
masyarakat Luwu. Masyarakat Luwu Menganggap
dirinya sebagai bagian dari Kerajaan Luwu atau
arajang.
Terkait dengan arajang sebagai benda
kerajaan yang mempunyai pengaruh sangat
besar pada sistem sosial dan budaya masyarakat
Luwu yang sangat kaya dengan nilai-nilai
kepemimpinan dan masih sangat relevan dengan
kondisi saat ini. Maka perlu kiranya nilai-nilai
kepemimpinan yang melekat pada arajang dapat
diterapkan dalam masyarakat, yang diawali
dengan melakukan sosialisasi pada generasi
muda, yang nantinya akan bisa diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, A. Zainal. 1999. Kapita Selekta Sejarah
Sulawesi Selatan. Ujung Pandang:
Hasanuddin University Press.
Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2004. Kearifan
Tradisional dan Lingkungan Sosial. Makalah
ini disampaikan dalam seminar sehari
”Forum Peduli Tradisi” di selenggarakan
oleh Bidang Pelestarian dan Pengembangan
Kebudayaan. Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata, di Jakarta, 16 Februari 2004.
Amir, Muhammad, Syahrir Kila, Rosdiana
(Kajian Sejarah Perlawanan Tiga Kerajaan
Terhadap Pemerintah Hindia Belanda),
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar:
De La Macca.
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 183—195
195
Daeng, Hans J. 2008. Manusia Kebudayaan
dan Lingkungan, Tinjauan Antropologis.
Yoyakarta: Pustaka Pelajar.
Errington. 1989. Meaning and Power in a
Southeast Asian Realm. United States of
Amerika: Princeton University Press.
Fahmid, Imam Majahidin. 2012. Identitas dalam
Kekusaan. Makassar: Ininnawa ISPEI.
Gibson, Thomas. 2009. Kekusaan, Raja, Syeikh,
dan Ambtenaar, Pengetahuan Simbolik dan
Kekuasaan Tradisional Makassar 1300-
2000. Makassar: Ininnawa.
Iriani. 2011. Gelar Opu Pada Orang Luwu :Suatu
Identitas Untuk Mendapatkan Kekuasaan.
Makassar: Balai Pelestarian Nilai Budaya
Makassar. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok
Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Makkulau, M.Farid. 2010. Manusia Bissu.
Mattulada. 1998. LATOA Suatu Lukisan Analitis
terhadap Antropologi Politik Orang Bugis.
Yogyakarta: Gadjamada Universiti Press
Mappangara, Suryadi. 2005.”Konsep Kekuasaan
Orang Bugis dan Makassar di Sulawesi
Selatan” dalam Bosara, Nomor 01/1.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,
D e p u t i B i d a n g P e l e s t a r i a n d a n
Pengembangan Budaya. Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional.
Narwoko, J. Dwi Bagong Suyanto. 2006.
Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Paeni, Mukhlis. 2002. Batara Gowa Missianisme
dalam Gerakan Sosial di Makassar. Proyek
Pemasyarakatan dan Desiminasi Kearsipan
Nasional, Arsip Nasional Indonesia (ANRI),
kerjasama dengan Gadjah Mada University
Press.
Pangeran, Andi. 2011. Sinopsis Kirab Keraton
Luwu (Langkanae). Festival Keraton
Nusantara XI di Palembang.
Poelinggomang, Edward L. 2004. Perubahan
Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar
1906-1942. Yogyakarta: Ombak.
Setiadi, Elly M. 2010. Pengantar Sosiologi,
P e m a h a m a n F a k t a d a n G e j a l a
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan
Pemecahannya. Jakarta: Kencana.
Soekanto, Soerjono. 2009. Pengantar Sosisologi.
Jakarta: Rajawali Press.
Fungsi Arajang Pada ... Iriani