fungsional dan budaya
TRANSCRIPT
-
8/13/2019 Fungsional Dan Budaya
1/11
TEORI FUNGSIONALISME
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budaya adalah hasil cipta, karya, dan karsa manusia. Dengan definisi seperti itu maka
kebudayaan mempunyai nilai pragmatis karena sebelum manusia mencipta yang terlebih
dahulu ada adalah tujuan dari penciptaan itu sendiri. Dalam kehidupan, antara manusia dan
kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, bahkan ada yang mengungkapkan bahwa
manusia menjadi manusia merupakan kebudayaan. Hampir semua tindakan manusia itu
merupakan kebudayaan.
Teori fungsi kebudayaan yang diungkapkan oleh Malinowski merupakan penegasan dari
definisi yang diungkapkan di awal kalau setiap kebudayaan harus memberikan manfaat untukmasyarakat. Dengan kata lain, pandangan fungsional atas kebudayaan menekankan bahwa
setiap pola tingkah-laku, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari
kebudayaan suatu masyarakat, memerankan fungsi dasar di dalam kebudayaan yang
bersangkutan.
Adapun budaya yang merupakan hasil belajar manusia termasuk dalam proses penyepakatan
sebuah budaya, dalam proses belajar itu masyarakat menelaah kekurangan dan kelebihan yang
akan mereka rasakan. Ketika kekurangan dari sebuah budaya terlalu banyak dan beresiko
untuk dipertahankan maka dengan sendirinya kebudayaan akan tersingkir. Dalam hal ini, teori
fungsi kebudayaan lebih memperinci lagi kedudukan kebudayaan di masyarakat melalui
fungsinya.
Setelah mengetahui begitu besar hubungan antara teori fungsi dengan realita kebudayaan di
masyarakat, maka dalam penulisan makalah ini akan dibahas mengenai teori fungsionalisme
dalam kebudayaan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apa hakikat fungsionalisme?
2. Bagaimana pandangan para tokoh mengenai fungsionalisme?3. Bagaimana proses perkembangan teori fungsionalisme?
4. Apa kelebihan dan kekurangan teori fungsionalisme?
5. Bagaimana pandangan teori Fungsionalisme Malinoswki dan aplikasinya dalam realita
kebudayaan di masyarakat?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan tujuan
penulisan sebagai berikut.
1. Mengetahui hakikat fungsionalisme.
2. Mengetahui pandangan para tokoh mengenai fungsionalisme.3. Mengetahui proses perkembangan teori fungsionalisme.
-
8/13/2019 Fungsional Dan Budaya
2/11
4. Mengetahui kelebihan dan kekurangan teori fungsionalisme.
5. Mengetahui pandangan teori Fungsionalisme Malinoswki dan aplikasinya dalam
realita kebudayaan di masyarakat.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pembaca dalam
mempelajari teori fungsionalisme sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
pembaca mengenai teori fungsionalisme serta aplikasinya dalam kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Fungsionalisme
Kata fungsionalisme merupakan kata dengan akhiranisme. Dalam bahasa Indonesia, kata iniberarti sebuah paham. Paham adalah salah satu bentuk aliran atau cara berpikir. Sejauh ini,
kata fungsi dimaknai sebagai kegunaan suatu hal. Setiap benda, hal, kejadian, atau peristiwa
mestinya memiliki sebuah fungsi. Apa bila tidak dilihat dari segi fungsinya, dapat pula dilihat
dari segi kegunaan.
Seperti yang sudah diungkapkan pada subbab sebelumnya, bahwa fungsional menekankan
pada fungsi-fungsi. Ini dapat diterapkan mulai dari hal-hal sederhana sampai kompleks. Tidak
dapat dipungkiri, bahwa dalam sebuah jabatan suatu instansi merupakan implementasi dari
sebuah fungsi kerja.
Fungsionalisme adalah sebuah studi tentang operasi mental, mempelajari fungsi-fungsi
kesadaran dalam menjembatani antara kebutuhan manusia dan lingkungannya.
Fungsionalisme menekankan pada totalitas dalam hubungan pikiran and perilaku. Dengan
demikian, hubungan antar manusia dengan lingkungannya merupakan bentuk manifestasi dari
pikiran dan perilaku.
Dalam salah satu bentuknya, fungsionalisme yang diterangkan oleh David Kaplan dan Robert
A. Manners dalam Teori Budaya, adalah penekanan dominan dalam studi antropologi
khususnya penelitian etnografis, selama beberapa dasawarsa silam. Dalam fungsionalisme ada
kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni
diktum metodologis bahwa kita harus mengeksplorasi sistem sistemik budaya.
Artinya, kita harus mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-
struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat. Kemungkinan lain
ialah memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan tanpa kaitan,
yang muncul disana-sini karena kebetulan historis (Kaplan & Manners, 2002).
Dalam tafsir fungsionalis, fungsionalisme adalah metodologi untuk mengeksplorasi saling
ketergantungan. Di samping itu para fungsionalis juga menyatakan bahwa fungsionalisme
merupakan teori tentang proses kultural.
-
8/13/2019 Fungsional Dan Budaya
3/11
-
8/13/2019 Fungsional Dan Budaya
4/11
1. Aliran Fungsionalisme Chicago
Terdapat banyak tokoh Fungsionalisme di Universitas Chicago sehingga dapat dikatakan
menjadi aliran tersendiri yang disebut Fungsionalisme Chicago.
a. John Dewey (1859-1952)
Pada tahun 1886 menulis buku yang berjudul Psychology dan dalam bukunya ini
beliau mengenalkan cara orang Amerika belajar ppsikologi yaitu melalui cara
pragmatisme
Sarjana-sarjana di Amerika kurang tertarik dengan pertanyaan Apakah jiwa itu?
tetapi lebih tertarik pada pertanyaan Apakah kegunaan jiwa?
John Dewey juga menganjurkan metode yang Ia sebut dengan Learning by doing
(belajar sambil melakukan)
Dewey berpendapat bahwa segala pemikiran dan perbuatan harus selalu mempunyai
tujuan, oleh karena alasan itulah ia menentang teori elementarisme.
b. James Rowland Angell
James memiliki tiga pandangan terhadap fungsionalisme, yaitu:
Fungsionalisme adalah psikologi tentang mental operation (aktivitas bekerjanya
jiwa) sebagai lawan dari psikologi tentang elemen-elemen mental,
Fungsionalisme adalah psikologi tentang kegunaan dasar-dasar kesadaran. Ini juga
disebut sebagai teori emergensi dari kesadaran,
Fungsionalisme adalah psiko-phisik, yaiitu psikologi tentang keseluruhan organisme
yang terdiri dari badan dan jiwa.
2. Aliran Fungsionalisme Columbia
Selain di Chhicago, Fungsionalisme juga mempunyai banyak tokoh di Teachers College
Columbia yang disebut aliran Columbia. Ciri aliran ini adalah kebebasannya meneliti tingkah
laku yang dianggap sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dan psikologi tak perlu ersifat
deskriptif karena yang penting adalah korelasi tingkah laku dengan tingkah laku lain.
a. James MC Keen Cattel (1866-1944)
Keen Cattel mengusung teori mengenai kebebasan dalam mempelajari tingkah laku. Ia
mempunyai dua pandangan mengenai aliran fungsionalisme, yaitu: Fungsionalisme tidak perlu menganut paham dualisme karena manusia dianggap
sebagai keseluruhan yang merupakan suatu kesatuan,
Fungsionalisme tidak perlu deskriptif dalam mempelajari tingkah laku, karena yang
penting adalah fungsi tingkah laku. Sehingga yang harus dipelajari adalah hubungan
(korelasi) antara satu tingkah laku dengan tingkah laku lainnya.
Dapat dikatakan bahwa semua cabang-cabang psikologi modern merupakan
perkembangan dari fungsionalisme. Dalam percobaanya Cattel menemukan kapasitas
individual kemudian ia menciptakan alat-alat untuk mengukur kapasitas, kemampuan
individual yang sekaran kita kenal sebagai psikotes / mental test.
-
8/13/2019 Fungsional Dan Budaya
5/11
b.Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Edward Lee pernah bekerja di Teachers College of Columbia dibawah kepemimpinan
James Mc. Keen Cattel. Thorndike lebih menekankan penelitiannya pada cara dan dasar
belajar. Dasar pembelajaran yaitu asosiasi dan cara coba-salah (trial and error). Ia
merumuskan beberapa prinsip:
The Law of Effect yaitu hukum yang menyatakan intensitas hubungan antara stimulus-
respons akan meningkat jika mengalami keadaan yang menyenangkan, sebaliknya
akan melemah jika keadaan tak menyenangkan.jika terjadi suatu keadaan akan terjadi
asosiasi dengan keadaan yang sebelumnya yaitu hubungan stimulus-respon atau
responsrespons.
The Law of Exercise atau The Law of use and disuse adalah hukum bahwa stimulus-
respons dapat timbul atau didorong dengan latihan berulangulang. Jika tak dilatih
hubungan tersebut akan melemah dan kemudian menghilang.
Berdasarkan kedua aliran fungsionalisme di atas, maka dapat dirumuskan bahwa aliranfungsionalisme memiliki beberapa ciri khas, yaitu :
Menekankan pada fungsi mental dibandingkan dengan elemen-elemen mental.
Fungsi-fungsi psikologis adalah adaptasi terhadap lingkungan sebagaimana adaptasi biologis
Darwin. Kemampuan individu untuk berubah sesuai tuntutan dalam hubungannya dengan
lingkungan adalah sesuatu yang terpenting.
Sangat memandang penting aspek terapan atau fungsi dari psikologi itu sendiri bagi berbagai
bidang dan kelompok manusia.
Aktivitas mental tidak dapat dipisahkan dari aktivitas fisik, maka stimulus dan respons adalah
suatu kesatuan.
Psikologi sangat berkaitan dengan biologi dan merupakan cabang yang berkembang dari
biologi. Maka pemahaman tentang anatomi dan fungsi fisiologis akan sangat membantu
pemahaman tentang fungsi mental.
Menerima berbagai metode dalam mempelajari aktivitas mental manusia, meskipun sebagian
besar riset dilakukan di Univ. Chicago ( pusat perkembangn fungsionalisme) menggunakn
metode eksperimen, pada dasarnya aliran fungsionalisme tidk berpegang pada satu metode
inti. Metode yang digunnakan sangat tergantung dari permasalahan yang dihadapi.
2.3 Perkembangan fungsionalismeYang melatar belakangi lahirnya fungsionalisme adalah karena masih didapatkannya
kelemahan-kelemahan pada paradigma-paradigma sebelumnya (evolusi, difusi, dan sejarah
kebudayaan), meskipun sudah menggunakan metode dengan baik, dan bahkan mereka selalu
memperbaiki metode analisis dalam penelitiannya. Akan tetapi kesan yang muncul dari hasil
atau kesimpulan dari penelitian mereka seakan spekulatif. Kelemahan-kelemahan muncul
antara lain disebabkan karena, studi-studi yang mereka lakukan tidak membandingkan
kebudayaan-kebudayaan yang saling berdekatan, akan tetapi lebih kepada data yang telah
tersedia dalam budaya itu sendiri, dan tidak dilakukannya penelitian lapangan untuk
memperoleh data tersebut (Ahimsa dalam Andi, 2010). Meskipun ada beberapa ilmuwan yang
telah melakukan penelitian lapangan, sampai pada sejarah kebudayaan pun, seperti yang
dilakukan Boas dan dikembangkan murid-muridnya hingga abad ke 20, masih juga terdapat
-
8/13/2019 Fungsional Dan Budaya
6/11
kelemahan-kelemahan didalamnya. Terbukti dengan berbagai kritik yang dilontarkan pada
teori tersebut.
Bronis Law Malinowski adalah salah satu ilmuwan yang menolak pendekatan sejarah
(historical approach) dalam antropologi. Dari penelitian Malinowski ini, disadari bahwa,
adanya keterbatasan pendekatan sejarah ketika digunakan untuk mempelajari masyarakat
sederhana di luar Eropa, yang belum mengenal tulisan dan juga belum pernah ditulis oranglain (Ahimsa dalam Andi, 2010). Sejarah yang dipahami oleh masyarakat di luar Eropa
(termasuk di Indonesia), adalah sejarah yang mereka yakini pernah ada di kehidupan sebelum
mereka dalam sebuah dongeng atau mitos, karena di jaman itu memang belum mengenal
tulisan. Misalnya, budaya slametan di jawa yang pernah di teliti oleh Clifford Gertz, dalam
bukunya relegion of java menerangkan bahwa slametan menjaga mereka dari gangguan
makhluk halus sehingga mereka tidak lagi merasa sakit, sedih, atau bingung. Slametan juga
dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang
ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah
rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah
penjaga desa, khitanan, memulai suatu rapat politik dan mungkin masih banyak lagi
peristiwa-peristiwa yang bisa di slameti (dilakukan slametan), dan itu dilakukan sejak duluoleh leluhur mereka yang diyakini mempunyai kisah tersendiri (Clifford Gertz dalam Andi,
2010).
Dari situlah kemudian terlihat gejala-gejala paradigma fungsionalisme yang dibawa oleh
Bronis Law Malinowski, seorang tokoh dalam sejarah teori antropologi yang lahir di Cracow,
Polandia pada tahun 1884, seorang putera bangsawan dan guru besar sastrawan slavik di
Polandia. Teori ini diilhaminya dari teori belajar, atau learning theory, yang sangat menarik
perhatiannya, sehingga dipakainya untuk memberi dasar eksak bagi pemikirannya terhadap
hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur suatu kebudayaan (Koentjaraningrat dalam
Kaplan & Manners, 2002). Dari ketertarikannya tentang teori tersebut, kemudian ia terapkan
pada sebuah tulisan mengenai aspek-aspek pada masyarakat pada kepulauan Trobrian yang
berada di bagian utara kepulauan Masim, sebelah tenggara Papua Niugini, yang pernah ia
teliti pada tahun 1914 (Koentjaraningrat dalam Kaplan & Manners, 2002). Secara tidak
langsung ia telah mengintroduksikan sebuah paradigma baru dalam ilmu antropologi,
kemudian muncul reaksi dari kalangan keilmuan antropologi, yang memberikan dorongan
kepadanya untuk mengembangkan teori tersebut, dan terciptalah sebuah paradigma baru yang
tidak historis ini yakni Fungsionalisme.
Di lain hal Radcliffe-Brown, ilmuwan yang mendeskripsikan masyarakat di kepulauan
Andaman (penduduk Negrito) sebelah utara Pulau Sumatra antara tahun 1906 dan 1908,
sebagai desertasinya yang memang sifatnya lebih struktural, tapi itu merupakan contoh lain
dari suatu deskripsi terintegrasi secara fungsional. Kemudian buku itu diterbitkan bersamaan
dengan buku Malinowski pada tahun 1922. Berkat kiprah Malinowski dan Radcliffe-Brownserta murid-murid mereka, peradigma fungsionalisme yang kemudian disebut fungsionalisme-
struktural, berhasil menjadi paradigma yang menguasai ilmu-ilmu social di Barat tahun 1940-
1960an. Berbagai teori fungsional-struktural mengenai gejala sosial-budaya bermunculan di
era tersebut, seperti teori fungsi kebudayaan, fungsi mitos, fungsi ritual, fungsi kekerabatan,
fungsi sistem politik, fungsi hukum dan sebagainya (Ahimsa dalam Andi, 2010).
Dalam salah satu bentuknya, fungsionalisme adalah penekanan dominan dalam studi
antropologi khususnya penelitian etnografis, selama beberapa dasawarsa silam. Artinya,
menonjolnya fungsionalisme dan kerja lapangan dalam antropologi secara bersamaan ini
bukanlah suatu hal yang kebetulan (Kaplan dan Manners, 2002:76). Fungsionalisme, menurut
para ilmuwan-ilmuwannya adalah sebuah paradigma kebudayaan yang meliputi, metodologi
untuk mengeksplorasi saling ketergantungan, dan fungsionalisme merupakan teori tentangproses kultural. Selain berminat melacak cara saling pertautan yang sangat bermacam ragam
-
8/13/2019 Fungsional Dan Budaya
7/11
dan sering kali mengejutkan antara unsur-unsur suatu budaya, banyak fungsionalis
berpandangan dan mengklaim bahwa mereka telah menciptakan sosok teori yang menjelaskan
mengapa unsur-unsur itu berhubungan secara tertentu, dan mengapa terjadi pola budaya
tertentu atau setidak-tidaknya mengapa pola itu bertahan. Ketika Malinowski menjelaskan
magic Trobrian sehubungan dengan fungsinya untuk mengurangi kecemasan menghadapi hal-
hal yang tidak di pahami, dia seolah menjelaskan alasan kehadiran dan kelestarian magic itudalam budaya masyarakat Trobriand.
2.4 Kelebihan dan Kekurangan Teori Fungsionalisme
Menurut Kaplan dan Manners dalam bukunya mengatakan bahwa dalam fungsionalisme ada
kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni,
(diktum metodologis), bahwa kita harus mengeksplorasi ciri sistemik budaya, artinya kita
harus mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu
masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat, kemungkinan lain adalah
memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan tqanpa kaitan yang
muncul disana-sini karena kebetulan historis. Fungsionalisme sebagai perspektif teoretik
dalam antropologi bertumpu pada (analogi dengan organisme), artinya ia membawa kita
memikirkan sistem sosial-budaya sebagai semacam organisme, yang bagian-bagiannya tidakhanya saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas,
dan kelestarian hidup organisme itu. Dengan demikian dasar semua penjelasan fungsional
adalah asumsi (terbuka maupun tersirat) bahwa semua sisem budaya memiliki syarat
fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Atau sistem budaya memiliki
kebutuhan (mungkin dikatakan sebagai kebutuhan sosial ala Radcliffe-Brown, atau
diungkapkan dalam peristilahan biologis individual ala Malinowski) yang semuanya harus
dipenuhi agar sistem itu dapat bertahan hidup.dapatlah diduga bahwa jika kebutuhan sistem
fungsional itu tidak dipenuhi maka sistem itu akan mengalami disintegrasi dan mati. Atau ia
akan berubah menjadi sistem lain yang berbeda jenis. Maka dalam hal ini institusi, kegiatan
budaya, dan kompleks kultural lainnya, dipahami atau dijelaskan bukan hanya sebagai
spesifikasi hubungan dengan suatu sistem yang lebih besar dan mengimplikasikan hal-hal
tersebut. Hendak ditunjukkan pula bahwa hubungan tadi ikut berperan memelihara sistem
besar itu atau sebagian tertentu darinya (Kaplan dan Manners, 2002: 77-78).
Dari uraian diatas menimbulkan asumsi bahwa kesempurnaan paradigma fungsionalis masih
harus dibumbui dengan beberapa aspek yang tanpanya bisa jadi wujud fungsionalis adalah
sebuah paradigma yang stagnan atau bahkan bisa dikatakan mati. Artinya paradigma ini masih
mempunyai kelemahan, meskipun secara eksplisit teorinya sudah mampu menyimpulkan
keadaan sebuah kebudayaan. Kelemahan-kelemahan yang ada mungkin bisa di kategorikan
sebagai berikut.
1. Manakala analisis fungsional berupaya untuk tidak berhenti pada metodologi pencarian
hubungan struktural bamun terus mengarah ke suatu teori tentang asal mula atau persistensistruktur tertentu, maka ia terkendala oleh keterbatasan logis yang itu ke itu juga. Karena
pelekatan fungsi pada suatu institusi selalu merupakan hal yang bersifat post hoc.
2. Penjelasan fungsional berlagak pura-pura arif dan masuk akal dalam memandang
institusi beserta fungsinya. Seolah ia menjelaskan lebih banyak daripada yang betul-betul ia
jelaskan. Misalnya, dikatakan bahwa daam masyarakat X pelaksanaan ritual tertentu
memupuk solidaritas sosial sehingga mendukung sistem di mana ritual itu menjadi bagian.
Marilah kita abaikan dahulu apa yang dimaksud dengan solidaritas sosial dan memelihara
sistem itu. Kita melihat suatu masyarakat sedang mendenyut, dan kita saksikan para warga
pribuminya melaksanakan ritual. Memang sangat masuk akal bila kedua hal itu lalu dikait-
kaitkan secara yang tersebut diatas, akan tetapi penjelasan macam apakah yang telah kita
berikan mengenai ritual itu, baik mengenai asal-mula maupun kesestarian pelaksanaannya?
-
8/13/2019 Fungsional Dan Budaya
8/11
-
8/13/2019 Fungsional Dan Budaya
9/11
dilakukan dengan tukar menukar (barter) berupa berbagai macam bahan makanan, barang-
barang kerajinan, alat-alat perikanan, selain daripada itu yang paling menonjol dan menarik
perhatian adalah bentuk pertukaran perhiasana yang oleh penduduk Trobriand sangat berharga
dan bernialai tinggi. Yakni kalung kerang (sulava) yang beradar satu arah mengikuti arah
jarum jam, dan sebaliknya gelang-gelang kerang (mwali) yang beredar berlawanan dari arah
kalung kerang dipertukarkan.
Karangan etnografi dari hasil penelitian lapangan tersebut tidak lain adalah bentuk
perkeonomian masyarakat di kepulauan Trobriand dengan kepulauan sekitarnya. Hanya
dengan menggunakan teknologi sederhana dalam mengarungi topografi lautan pasifik, namun
disis lain tidak hanya itu, tetapi yang menraik dalam karangan tersebut ialah keterkaitan
sistem perdagangan atau ekonomi yang saling terkait dengan unsur kebudayaan lainnya
seperti kepercayaan, sistem kekerabatan dan organisasi sosial yang berlaku pada masyarakat
Trobriand. Dari berbagai aspek tersebut terbentuk kerangka etnografi yang saling
berhubungan satu sama lain melalui fungsi dari aktifitas tersebut. Pokok dari tulisan tersebut
oleh Malinowski ditegaskan sebagai bentuk Etnografi yang berintegrasi secara fungsional.
Selain dari hasil karya etnografinya, tentunya harus diperhatikan pula upaya-upayaMalinowski dalam mengembangkan konsep teknik dan metode penelitian. Dan sangat lugas
ditekankan pentingnya penelitian yang turun langsung ketengah-tengah objek masyarakat
yang diteliti, menguasai bahasa mereka agar dapat memahami apa yang objek lakukan sesuai
dengan konsep yang berlaku pada masyarakat itu sendiri dan kebiasaan yang dikembangkan
menjadi metode adalah pencatatan. Mencatat seluruh aktifitas dan kegiatan atau suatu kasus
yang konkret dari unsur kehidupan. Selain dari pada itu yang patut untuk para peneliti
menurut Malinowski adalah kemampuan keterampilan analitik agar dapat memahami latar
dan fungsi dari aspek yang diteliti, adat dan pranata sosial dalam masyarakat. Konsep tersebut
dirumuskan kedalam tingkatan abstraksi mengenai fungsi aspek kebudayaan, yakni :
1. saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap aspek lainnya.
2. konsep oleh masyarakat yang bersangkutan.
3. unsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi secara fungsional.
4. esensi atau inti dari kegiatan /aktifitas tersebut tak lain adalah berfungsi untuk pemenuhan
kebutuhan dasar biologis manusia.
Melalui tingkatan abstraksi tersebut Malinowski kemudian mempertegas inti dari teorinya
dengan mengasumsikan bahwa segala kegiatan/aktifitas manusia dalam unsur-unsur
kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan
naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kelompok sosial
atau organisasi sebagai contoh, awalnya merupakan kebutuahn manusia yang suka berkumpul
dan berinteraksi, perilaku ini berkembang dalam bentuk yang lebih solid dalam artian
perkumpulan tersebut dilembagakan melalui rekayasa manusia.Dalam konsep fungsionalisme Malinowski dijelaskan beberapa unsur kebutuhan pokok
manusia yang terlembagakan dalam kebudayaan dan berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan manusia. Seperti kebutuhan gizi (nutrition), berkembang biak (reproduction),
kenyamanan (body comforts), keamanan (safety), rekreasi (relaxation), pergerakan
(movement), dan pertumbuhan (growth). Setiap lembaga sosial (Institution, dalam istilah
Malinowski) memiliki bagian-bagian yang harus dipenuhi dalam kebudayaan.
Sebenarnya inti dari teori fungsional Malinowski adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan
itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri
mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya (Nana, 2011). Kebutuhan
itu meliputi kebutuhan biologis maupun skunder, kebutuhan mendasar yang muncul dari
perkembangan kebudayaan itu sendiri. Sebagai contoh, Malinowski menggambarkan bahwacinta dan seks yang merupakan kebutuhan biologis manusia, harus diperhatikan bersama-
-
8/13/2019 Fungsional Dan Budaya
10/11
sama dalam konteks pacaran, pacaran menuju perkawinan yang menciptakan keluarga, dan
keluarga tercipta menjadi landasan bagi kekerabatan dan klen, dan bila kekerabatan telah
tercipta akan ada sistem yang mengaturnya. Selanjutnya akan dibahas mengenai sistem
kekerabatan dan fungsinya dalam kebudayaan.
Kesenian misalnya yang merupakan salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula
manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan jugatimbul karena kebutuhan naluri manusia untuk tahu. Di samping itu, masih banyak aktivitas
kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa kebutuhan masyarakat. Misalnya budaya
yang muncul akibat kepentingan kelompok masyarakat tertentu, umpamanya kelompok
masyarakat petani, nelayan, atau para politikus, akademisi dan lain-lain . Masing-masing dari
kelompok tersebut akan selalu berusaha menjaga eksistensinya agar dapat menjalankan
fungsinya untuk memenuhi kebutuhan dari kelompoknya sendiri.
Manusia, melalui instrumentalisasi kebudayaan, maka di dalam mengembangkan maupun
memenuhi kebutuhannya, ia harus mengorganisasi peralatan, artefak, dan kegiatan
menghasilkan makan melalui bimbingan pengetahuan, dengan kata lain yaitu melalui proses
belajar manusia dapat meningkatkan eksistensinya. Jadi kebutuhan akan ilmu dalam proses
belajar adalah mutlak. Dan di samping itu tindakan manusia juga harus dibimbing olehkeyakinan, demikian pula magik. Karena tatkala manusia mengembangkan sistem
pengetahuan ia akan terikat dan dituntut untuk meneliti asal mula kemanusiaan, nasib,
kehidupan, kematian dan alam semesta. Jadi, sebagai hasil langsung kebutuhan manusia untuk
membangun sistem dan mengorganisasi pengetahuan, timbul pula kebutuhan akan agama.
Konsep kebudayaan terintegarasi secara menyeluruh dalam upaya pemenuhan kebutuhan
manusia. Kebudayaan sebagai seperangkat sarana adalah masalah mendasar. Kepercayaan,
dan magik sekalipun, harus mengandung inti utilitarian, karena ia memenuhi fungsi
psikologis. Aturan-aturan dan ritual magik dan agama tertentu dapat memantapkan kerjasama
yang diperlukan, di samping juga untuk memenuhi kepuasan pribadi sesorang.
Magik bagi sebagian masyarakat manusia di dunia ini diyakini memiliki daya kerja, meredam
kecemasan terhadap masa depan yang tak dikendalikan. Dan dengan agama, magik
dikembangkan dan berfungsi dalam situasi-situasi stress emosional, dan fungsi magik adalah
ritualisasi optimisme manusia, melancarkan keyakinannya dalam kemenangan harapan atas
ketakutan, dan ketakutan manusia itu meliputi ketakutan akan bencana alam, akan penyakit
dan lain-lain, dan semua ketakutan itu berpangkal dari ketakutan manusia akan kematian.
Apa yang diuraikan di atas adalah teori fungsional kebudayaan sesuai dengan pemikiran
Bronislaw Malinowski, yang menguraikan tentang kebutuhan manusia yang terdiri dari
kebutuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan sampingan. Sedangkan menurut Maslows
Hierarchy of Needs, menguraikan tingkat kebutuhan yang dibutuhkan manusia ada lima
tingkatan yaitu dari kebutuhan tingkat terendah sampai tingkat kebutuhan tertinggi meliputi :
1. Physiologi, kebutuhan faal tubuh meliputi pemenuhan kebutuhan akan rasa haus, lapar,istirahat dan aktivitas.
2. Safety Scurity, yaitu kebutuhan akan rasa aman yang bebas dari takut dan cemas atau
kekhawatiran.
3. Belongings and love, manusia membutuhkan harta benda dan kasing sayang untuk
mendukung eksistensinya
4. Esteemself and others, kebutuhan manusia akan penghargaan pribadi dan orang lain.
5. Self actualization, personal self fulfillment, kebutuhan akan aktualisasi diri, pemenuhan
diri pribadi.
Apa yang diuraikan di atas adalah merupakan kebutuhan yang ideal. Namun dalam
kenyataannya untuk memenuhi setiap kebutuhan itu harus disertai faktor pendukung. Bila kita
amati dalam kehidupan masyarakat, masih banyak hal yang masih perlu diperbuat dan
-
8/13/2019 Fungsional Dan Budaya
11/11
diusahakan oleh setiap individu maupun masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhannya dari
tingkat paling bawah sampai ketingkatan yang teratas.
BAB III
PENUTUP
3.1 SimpulanAliran fungsionalisme merupakan jenis level pola pikir jangka panjang. Aliran ini dapat
diaplikasikan dalam berbagai bidang. Apabila ada seseorang yang ingin melangkah ke suatu
tempat, jalan berpikir secara fungsionalisme menuntut untuk mengikutsertakan faktaor-faktor
yang tidak secara langsung terlibat. Barulah dapat ditelusur simpulan atas hasil pemikirannya
tersebut.
Aliran fungsionalisme ini memiliki kekurangan dalam hal profesionalitas. Sebagai analogi,
apabila sebuah piring digunakan tidak hanya sebagai tempat nasi, tetapi juga sebagai wakul
atau yang lainnya akan berdampak pada hakikat dari piring tersebut. Bahwa secara struktur
memang benar bahwa piring adalah tempat nasi, dan sendok adalah alat untuk mengambil
nasi. Tetapi bila piring digunakan untuk mengambil nasi, maka kedudukan piring menjadi
tidak jelas. Analagi sederhana tersebut sekiranya dapat menjelaskan garis besar teorifungsionalisme.
3.2 Saran
Kita sebagai mahasiswa yang hidup di tengah-tengah masyarakat hendaknya memahami akan
kebudayaan sekitar. Dalam memahami kebudayaan yang semakin kompleks, maka diperlukan
berbagai teori atau paham agar kita dapat mengkajinya. Oleh karena itu, kita sebagai generasi
terpelajar hendaknya berusaha menambah ilmu sebanyak mungkin agar bermanfaat bagi
kehidupan. Semakin banyak ilmu yang kita kuasai maka semakin berarti kita dalam
kehidupan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, David & Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lydia, Sepvirna E. P & Maratus Sholihah. 2009. Aliran Fungsionalisme (jurnal online), dalam
http://psikologi.or.id diunduh pada 24 September 2013 pukul 19.32 wib.
Widya, Nana. 2011. Aplikasi Teori Fungsional Struktural, dalam
http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-struktural.html diunduh
16 September 2013 pukul 14.35 wib.
Yusuf, Andi. 2010. Fungsionalisme Malinowski. dalam
http://oechoe.blogspot.com/2010/04/fungsionalisme-malinowski.html diunduh pada 22
September 2013 pukul 12.48 wib