documentg

28
G.1. Harta Di Minangkabau bila orang menyebut harta, maka sering tertuju penafsirannya kepada harta yang berupa material saja. Harta yang berupa material ini seperti sawah ladang, rumah gadang, emas perak dan lain-lain. Sebenarnya disamping harta yang berupa material ini, ada pula harta yang berupa moril seperti gelar pusaka yang diwarisi secara turun temurun. Orang yang banyak harta material, dikatakan orang berada atau orang kaya. Tetapi menurut pandangan adat, orang berada atau banyak harta ditinjau dari banyaknya harta pusaka yang turun temurun yang dimilikinya. Dari status adat lebih terpandang orang atau kaum yang banyak memiliki harta pusaka ini, dan tidak karena dibeli. Sampai sekarang khusus mengenai harta pusaka berupa sawah ladang masih ada perbedaan pendapat tentang pembagian jenis harta tersebut.Perbedaan pendapat ini detemui ketika diadakan Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan dari tanggal 21 s/d 25 Juli 1968, dengan titik tolak yang diseminarkan adalah Hukum Tanah dan Hukum Waris. Sebelum seminar yang diadakan di Padang ini sebelumnya juga telah diadakan rapat lengkap adat di Bukittinggi yang permasalahannya juga berkaitan dengan materi seminar diatas. Pada pertemuan adat yang diadakan di Bukittingi telah diputuskan dengan kongkrit, bahwa harta orang Minangkabau itu hanya terbagi atas dua bahagian, yaitu harta Pusaka Tinggi dan harta Pusaka Pencaharian. Dilain pihak, pendapat ini tidak disetujui, dan mengatakan harta di Minangkabau ada pusaka tinggi, ada pusaka rendah. Pendapat umum lebih cenderung, bahwa harta itu dibedakan atas empat bahagian, keempat pembahagian itu adalah sebagai berikut: 1. Harta Pusaka Tinggi 2. Harta Pusaka Rendah 3. Harta Pencaharian 4. Harta Suarang Walaupun ada perbedaan pendapat, namun demikian yang berkaitan dengan pusaka tinggi, tidak ada perbesaan pendapat. 1. Harta Pusaka Tinggi

Upload: anakbisa

Post on 24-Nov-2015

28 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

hgh

TRANSCRIPT

G.1. HartaDi Minangkabau bila orang menyebut harta, maka sering tertuju penafsirannya kepada harta yang berupa material saja. Harta yang berupa material ini seperti sawah ladang, rumah gadang, emas perak dan lain-lain. Sebenarnya disamping harta yang berupa material ini, ada pula harta yang berupa moril seperti gelar pusaka yang diwarisi secara turun temurun. Orang yang banyak harta material, dikatakan orang berada atau orang kaya. Tetapi menurut pandangan adat, orang berada atau banyak harta ditinjau dari banyaknya harta pusaka yang turun temurun yang dimilikinya. Dari status adat lebih terpandang orang atau kaum yang banyak memiliki harta pusaka ini, dan tidak karena dibeli. Sampai sekarang khusus mengenai harta pusaka berupa sawah ladang masih ada perbedaan pendapat tentang pembagian jenis harta tersebut.Perbedaan pendapat ini detemui ketika diadakan Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan dari tanggal 21 s/d 25 Juli 1968, dengan titik tolak yang diseminarkan adalah Hukum Tanah dan Hukum Waris. Sebelum seminar yang diadakan di Padang ini sebelumnya juga telah diadakan rapat lengkap adat di Bukittinggi yang permasalahannya juga berkaitan dengan materi seminar diatas. Pada pertemuan adat yang diadakan di Bukittingi telah diputuskan dengan kongkrit, bahwa harta orang Minangkabau itu hanya terbagi atas dua bahagian, yaitu harta Pusaka Tinggi dan harta Pusaka Pencaharian.Dilain pihak, pendapat ini tidak disetujui, dan mengatakan harta di Minangkabau ada pusaka tinggi, ada pusaka rendah. Pendapat umum lebih cenderung, bahwa harta itu dibedakan atas empat bahagian, keempat pembahagian itu adalah sebagai berikut:1. Harta Pusaka Tinggi2. Harta Pusaka Rendah3. Harta Pencaharian4. Harta SuarangWalaupun ada perbedaan pendapat, namun demikian yang berkaitan dengan pusaka tinggi, tidak ada perbesaan pendapat.1. Harta Pusaka TinggiHarta pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi secara turun temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu. Adanya harta pusaka tinggi berkaitan dengan sejarah lahirnya kampuang dan koto yang diikuti dengan membuka sawah ladang sebagai sumber kehidupan. Pembukaan tanah untuk sawah ladang ini sebagai hasil galuah taruko oleh pendiri kampung dan koto. Hasil usaha nenek moyang inilah yang diwarisi oleh generasi sekarang dan paling kurang setelah lima generasi disebut sebagai harta pusaka tinggi.Harta pusaka tinggi yang berupa material seperti sawah ladang, kebun dan lain-lain disebut juga pusako. Disamping itu ada pula harta pusaka tinggi yang berupa moril yaitu gelar pusaka kaum yang diwarisi secara turun temurun yang disebut dalam adat sako.Harta pusaka tinggi dikatakan juga pusako basalin (pusaka bersalin), karena persalinan terjadi dari generasi ke generasi selanjutnya.2. Harta Pusaka RendahMengenai harta pusaka rendah ada perbedaan pendapat dan hal ini bisa mengundang permasalahan dalam pewarisan. H.K. Dt. Gunung Hijau dalam kertas kerjanya waktu Seminar Hukum Adat Minangkabau mengatakan, bahwa pusaka rendah adalah segala harta yang diperdapat dari hasil usaha pekerjaan dan pencaharian sendiri. Harta ini boleh dijual dan digadaikan menurut keperluan dengan sepakat ahli waris. Pendapat ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak dan diantaranya dari Damsiwar SH., yang mengatakan bahwa yang dimaksud harta pusaka rendah oleh H.K Dt Gunuang Hijau sebenarnya adalah harta pencaharian. Selanjutnya dikatakan bahwa harta pusaka rendah itu merupakan harta tambahan bagi sebuah kaum dan ini diperoleh dengan membuka sawah, ladang atau perladangan baru, tetapi masih di tanah milik kaum. Jadi tanah yang dibuka itu sudah merupakan pusaka tinggi, hanya saja pembukaan sawah ladangnya yang baru.Pendapat yang kedua terakhir merupakan pendapat yang umum karena dilihat dari sudut harta selingkar kaum. Maksudnya harta tambahan itu seluruh anggota kaum merasa berhak secara bersama.3. Harta pencaharianHarta pencaharian yaitu harta yang diperoleh dengan tembilang emas. Harta pencaharian adalah harta pencaharian suami istri yang diperolehnya selama perkawinan. Harta pencaharian yang diperoleh dengan membeli atau dalam istilah adatnya disebut tembilang emas berupa sawah, ladang, kebun dan lain-lain. Bila terjadi perceraian maka harta pencaharian ini dapat mereka bagi.4. Harta suarangSuarang asal katanya surang atau seorang. Jadi harta suarang adalah harta yang dimiliki oleh seseorang, baik oleh suami maupun istri sebelum terjadinya perkawinan. Setelah terjadi perkawinan status harta ini masih milik masing-masing. Jadi harta suarang ini merupakan harta pembawaan dari suami dan harta istri, dan merupakan harta tepatan. Karena harta ini milik surang atau milik pribadi, maka harta itu dapat diberikannya kepada orang lain tanpa terikat kepada suami atau istrinya. Oleh sebab itu dalam adat dikatakan suarang baragiah, pancaharian dibagi (suarang dapat diberikan, pencaharian dapat dibagi). Maksudnya milik seorang dapat diberikan kepada siapa saja, tetapi harta pencaharian bisa dibagi bila terjadi perceraian.G.2. Pewarisan Harta PusakaAda yang perlu untuk dijelaskan yang berkaitan dengan pewarisan ini, yaitu waris, pewaris, warisan dan ahli waris. Waris adalah orang yang menerima pusaka. Pewaris adalah orang yang mewariskan. Warisan adalah benda yang diwariskan: Pusaka peninggalan. Sedangkan ahli waris semua orang yang menjadi waris. Hubungan antara yang mewariskan dengan yang menerima warisan dapat dibedakan atas dua bahagian, yaitu:1. Waris Nasab atau Waris PangkatWaris nasab maksudnya antara si pewaris dengan yang menerima warisan terdapat pertalian darah berdasarkan keturunan ibu. Harta pusaka tinggi yang disebut pusako secara turun temurun yang berhak mewarisi adalah anggota kaum itu sendiri yaitu pihak perempuan. Hal ini sesuai dengan garis keturunan matrilineal.Mengenai pewarisan gelar pusaka yang disebut sako sepanjang adat tetap berlaku dari mamak kepada kemenakan laki-laki. Dalam kewarisan sako ini dikatakan:Ramo-ramo sikumbang jatiKatik endah pulanga bakudoPatah tumbuah hilang bagantiPusako lamo baitu puloWaris nasab yang berkaitan dengan sako dapat pula dibagi atas dua bahagian yaitu:a. Warih Nan Salurui (waris yang selurus).Dalam adat dikatakan saluruih ka ateh, saluruih kabawah nan salingkuang cupak adat, nan sapayuang sapatagak. (selurus keatas selurus kebawah, yang sepayung sepetagak). Artinya keturunan setali darah sehingga delapan kali keturunan atau disebut juga empat keatas, empat kebawah menurut ranji yang benar.Sebuah contoh, jika anggota kaum sudah berkembang, yang pada mulanya dari tiga orang nenek. Turunan laki-laki dari ketiga nenek ini sama-sama berhak untuk memakai pusaka kaum yang dimiliki. Gelar pusaka kaum tadi tidak boleh pindah atau digantikan kepada lingkungan kaum lainnya, selain dari kaum keluarga ketiga nenek yang sekaum ini dalam adat dikatakan suku dapek disakoi, pusako dipusakoi (suku dapat disukui pusaka dapat dipusakai), maksudnya gelar pusaka dapat digantikan dan harta pusaka boleh dipusakai.b. Warih Nan Kabuliah (waris yang dibenarkan)Dalam adat dikatakan jauah dapek ditunjuakkan dakek dapek dikakokkan, satitiak bapantang hilang, sabarih bapantang lupo, (jauh dapat ditunjukkan, dekat dapat dipegang, setitik berpantang hilang, sebaris berpantang lupa). Maksudnya belahan yang asli dari sebuah kaum yang sampai sekarang masih dapat dicari asal usulnya secara terang. Dalam adat hal seperti ini disebut gadang nan bapangabuangan, panjang nan bapangarek-an, laweh nan basibiran, anak buah nan bakakambangan, (besar yang berpengabuan, panjang yang berpengeretan, luas yang bersibiran, anak buah yang berkekembangan).Sebab contoh sebuah anggota kaum pindah kesebuah nagari yang berdekatan dan kemudian menetap sebagai penduduk di nagari tersebut karena sudah berkembang maka mereka ingin untuk mengangkat gelar kebesaran kaum. Pada kaum yang ditinggalkannya mempunyai gelar pusaka Datuak Marajo. Di tempat baru belahan kaum yang pindah ini dapat pula mengangkat gelar Datuak Marajo.Sepanjang adat yang dapat memakai gelar pusaka kaum adalah orang yang ada pertalian darah. Kemenakan bertali adat, bertali budi tidak dibenarkan memakai gelar kebesaan kaum karena tidak bertali darah. Adat mengatakan sako tatap pusako baranjak (sako tetap, pusaka beranjak), artinya gelar pusaka tidak dapat berpindah dari lingkungan keturunan asli kecuali harta pusaka. Beranjaknya harta pusaka sperti adanya pemindahan hak yang terjadi karena pupus, gadai dan lain-lain. Gelar pusaka kaum tidak dibenarkan dipakai oleh orang di luar kaum, ini dengan alasan bila terjadi akan membawa dampak negatif dari kaum tersebut.Adat mengatakan dimano batang tagolek, disinan cindawan tumbuah (dimana batang rebah disana cendawan tumbuh). Ketentuan adat ini mempunyai pengertian bila gelar pusaka itu dipakai oleh seseorang, maka menurut adat orang yang memakai gelar pusaka ini akan diikuti kebesarannya oleh harta pusaka yang ada pada kaum itu. Dengan arti kata semua harta pusaka tinggi yang ada pada kaum itu berada di tangannya, dan kaum tadi akan bermamak kepada penghulu baru ini yang tidak seketurunan dengannya. Kalau ini terjadi dikatakan kalah limau dek banalu (kalah limau karena benalu).2. Warih Sabab atau Warih Badan (waris sebab atau waris badan).Waris sebab maksudnya hubungan antara pewaris dengan yang menerima warisan tidaklah karena hubungan darah, tetapi karena sebab. Di dalam adat dikatakan basiang dinan tumbuah, menimbang dinan ado, bersiang bila sudah ada yang tumbuh, menimbang bila sudah ada). Waris sebab ini seperti karena bertali adat, berali buat, dan bertali budi. Waris sebab hanya yang menyangkut harta pusaka. Waris sebab ini dibedakan atas tiga bahagian, yaitu:a. Warih Batali Adat (waris bertali adat).Waris bertali adat seperti hubungan sesuku. Mungkin terjadi sebuah kaum punah, dengan arti keturunan untuk melanjutkan kaum itu tidak ada lagi menurut garis ke-ibuan, akhirnya harta pusaka dari kaum yang punah tersebut dapat jatuh kepada kaumyang sesuku dengannya di kampung tersebut.b. Warih Batali Buek (waris bertali buat)Buek artinya peraturan atau undang-undang. Waris bertali buek maksudnya waris berdasarkan peraturan yaitu peraturan sepanjang yang dibenarkan oleh adat.Warih batali buek ini berlaku manitiak mako ditampuang, maleleh mako di palik, sasuai mako takanak, saukua mako manjadi (menitik maka ditampung, meleleh maka dipalit, sesuai maka dikenakan, seukur maka menjadi). Sebagai contoh seorang bapak yang sudah punah keluarganya maka atas mufakat dengan waris bertali adat si bapak dapat memberikan harta pusaka kepada anaknya, tetapi tidak gelar pusaka dari kaum.c. Warih Batali Budi (waris bertali budi).Menjadi waris karena kebaikan budi dari kaum yang didatanginya karena rasa kasihan dan tingakah lakunya yang baik sehingga sudah dianggap anak kemenakan, dia diberi hak atas harta pusaka namun demikian tergantung pada kata mufakat dalam kaum tersebut.Waris menurut adat Minangkabau tidak ada istilah putus karena dalam warisan ini adat menggariskan adanya waris yang bertali adat, bertali buek, bertali budi dan hal ini bila ada kesepakatan kaum. Bila kaum itu punah warisan jatuh kepada waris yang bertalian dengan suku dan bila yang sesuku tidak ada pula harta pusaka kaum yang punah itu jatuh pada nagari. Ninik mamak nagarilah yang menentukan. Menurut Doktor Iskandar Kemal SH., bila tidak ada perut yang terdekat, anggota waris yang terakhir dapat menentukan sendiri waris yang terdekat dari orang-orang yang bertali adat untuk melanjutkan hak-hak dari perut itu, sesudah punah sama sekali, baru ditentukan oleh kerapatan adat nagari.G.3. Tanah UlayatTanah ulayat, tanah yang sudah ditentukan pemilik-pemiliknya tetapi belum diusahakan. Untuk jelasnya dapat dikemukakan yang punya tanah ulayat tersebut hanya nagari dan suku dan di luar dari harta pusaka tinggi. Tanah ulayat nagai yaitu tanah yang dimiliki bersama oleh sebuah nagari dan dikuasai secara bersama oleh penghulu-penghulu yang ada dalam nagari tersebut dan pengawasannya diserahkan kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN).Demikian pula tanah ulayat suku, dikuasai secara bersama oleh suatu suku dan pengawasannya diserahkan kepada kepala suku. Hak ulayat menurut hukum adat adalah hak yang tertinggi. Seseorang yang menguasai bukanlah memiliki hak ulayat, hanya dapat mempunyai hak sementara. Ketentuan-ketentuan mengenai tanah ulayat adalah sebagai berikut:1. Memberi hak untuk memungut hasil warga persekutuan atas tanah dan segala yang tumbuh diatas tanah tersebut seperti mengolah tanah, mendirikan tempat pemukiman, menangkap ikan, mengambil kayu perumahan, mengembalakan ternak, mengambil hasil hutan dan lain-lain. Kesemuanya harus setahu atau seizin dari penghulu-penghulu atau yang mengawasi tanah ulayat tersebut.2. Hak-hak perseorangan terhadap tanah ulayat dibatasi oleh hak persekutuan. Hak perseorang tetap diawasi dan jangan sampai terjadi pemakaian hak perseorangan terhadap tanah ulayat itu berpindah tangan seperti jual beli.3. Persekutuan atau pemegang hak tanah ulayat dapat menunjuk atau menetapkan sebagian dari tanah ulayat untuk kepentingan umum. Untuk kepentingan umum ini seperti untuk lokasi pembangunan mesjid, sekolah, tempat pemakaman umum, lapangan olah raga dan lain-lain.4. Tanah ulayat yang dikerjakan diberi jangka waktu. Tanaman muda tidak diadakan pembagian dengan yang punya hak ulayat, sedangkan tanaman keras yang ditanam, seperdua menjadi hak pemilik ulayat, seperdua untuk orang yang mengerjakan. Bila yang diolah tanah ulayat nagari, maka hasilnya nagari akan memanfaatkannya untuk kepentingan nagari. Dulunya untuk mendirikan balairung adat, bangunan mesjid dan lain-lain.5. Apabila terjadi delik-delik berat, seperti pembunuhan di tanah ulayat dan yang mati itu bukan anggota warga yang punya ulayat, maka untuk menjaga jangan sampai terjadi permusuhan, yang punya ulayat harus membayar secara adat. Mamangannya mengatakan luko bataweh, bangkak batambak tangih bapujuak, ratok bapanyaba.6. Orang yang berasal dari lain nagari dapat memperoleh sebidang tanah pada tanah ulayat dan diperbolehkan manaruko atas dasar persetujuan terlebih dahulu. Walaupun sudah diberi secara adat, tetapi status tanahnya masih menjadi wilayah nagari. Sawah yang ditaruko selama enam musim kesawah boleh dimiliki seluruhnya. Setelah itu hasil tanah ulayat tadi seperduanya harus diserahkan kepada yang punya ulayat.Pada dasarnya tanah ulayat dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakan, terutama untuk kebutuhan ekonominya. Kalau pemakaian tanah ulayat bersifat produktif seperti untuk dijual hasilnya, maka disini berlaku ketentuan adat karimbo babungo kayu, kasawah babungo ampiang, kalauik babungo karang (kerimba berbunga kayu, kesawah berbunga emping, kelaut berbunga karang), dengan arti kata harus dikeluarkan sebahagian hasilnya untuk kepentingan suku dan nagari demi pembangunan nagari.Sebenarnya tanah ulayat juga merupakan tanah cadangan bagi anak kemenakan, seandainya terjadi pertumbuhan penduduk dari tanah ulayat itulah sumber pendapatan bagi kesejahteraannya dan pembangunan nagari. Bila direnungkan secara mendalam betapa jauhnya pandangan kedepan dari tokoh-tokoh adat Minangkabau pada masa dahulunya.G.4. Pemindahan HakTerlebih dahulu dikemukakan pengertian pemindahan hak untuk memperjelas permasalahan yang akan dibicarakan. Pemindahan hak maksudnya berpindahnya hak, baik hak memiliki, menguasai maupun memungut hasil, karena terjadinya sesuatu transaksi antara seseorang atau kelompok kepada pihak lain. Pada mulanya pemindahan hak terhadap harta pusaka tinggi tidak tertulis, tetapi sejak dikenal tulis baca dengan aksara arab dan kemudian aksara latin maka pemindahan hak itu sudah dibuat secara tertulis.Pamindahan hak yang dikenal sampai saat sekarang ini adalah sebagai berikut:1. Jual BeliMenurut adat menjual harta pusaka tinggi dilarang apalagi untuk kepentingan pribadi si penjual. Menjual harta pusaka berarti tidak mengingat masa yang akan datang, terutama bagi generasi kaumnya. Adanya suatu anggapan bahwa orang yang menjual harta pusaka yang tidak menurut semestinya hidupnya tidak akan selamat, karena kutukan dari nenek moyang mereka yang sudah bersusah payah mewariskannya.Namun demikian ditemui juga dewasa ini penjualan harta pusaka dengan berbagai alasan. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:Tanah pusaka itu tidak produktif lagi, tidak bisa dijadikan sawah maupun ladang. Lantas dijual dan dipergunakan untuk membangun pabrik perkantoran dan perumahan. Yang penting tentu atas kesepakatan anggota kaum.Tidak ada yang mengurus sehingga terlantar. Ahli waris merantau dan tipis kemungkinan untuk pulang mengurus harta pusaka itu.Harta pusaka dijual dengan tujuan untuk dibelikan uangnya kembali kepada benda yang lain yang lebih produktif, benda itulah yang kemudian berstatus harta pusaka.Kesemuanya itu dapat terjadi bila ada kesepakatan seluruh anggota kaum baik yang dirantau maupun yang dikampung.2. GadaiHarta pusaka dapat digadaikan kalau berkaitan dengan kepentingan kaum atau menjaga martabat kaum. Ada ketentuan adat harta pusaka itu digadaikan bila ditemui hal sebagai berikut:1. Adat tidak berdiri, seperti pengangkatan penghulu2. Rumah gadang ketirisan3. Gadih gadang tidak bersuami4. Mayat terbujur di tengah rumahGadai ini dapat dilaksanakan dengan syarat semua anggota ahli waris harta pusaka tersebut sudah sepakat. Jadi untuk menggadaikan harta pusaka syaratnya sangat berat. Dengan digadaikan harta itu dapat ditebus kembali dan tetap menjadi milik ahli warisnya. Gadai tidak tertebus dianggap hina. Disamping itu manggadai biasanya tidak jatuh pada suku lain melainkan kepada kaum sabarek sapikua (seberat sepikul) yang bertetangga masih dalam suku itu juga.Si penggadai memperoleh sejumlah uang atau emas yang diukur dengan luas harta yang digadaikan dan penafsirannya atas persesuaian kedua belah pihak. Bila sawah yang menjadi jaminan atau sebagai sando (sandra), maka boleh ditebusi oleh si penggadai paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali turun kesawah tidak juga ditebusi, maka hasil tetap dipungut oleh orang yang memberi uang atau emas tadi.Berkaitan dengan pegang gadai ini, perlu juga disimak bunyi pasal 7-UU 56 Prp th 1960 (undang-undang pokok agraria-UUPA) yang berbunyi:barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen.Bila dilihat isi dari UUPA yang dikutip di atas tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau dalam hal pegang gadai. Pada umumnya yang memegang gadai adalah orang yang kekurangan tanah. Seandainya dibelakukan UUPA itu tentu saja uang si pemegang tidak kembali sedangkan dia kekurangan pula dalam segi harta, tentu saja hal ini tidak adil. Oleh karena itu pegang gadai di Minangkabau masih tetap seperti semula dan masih berlangsung secara azaz kekeluargaan. Bahkan gadai dalam adat dirasakan suatu upaya pertolongan darurat yang berfungsi sosial.3. HibahDisamping pegang gadai, yang dibolehkan juga oleh adat adalah hibah. Hibah berasal dari bahasa arab hibbah yang artinya pemberian, misalnya pemberian seorang ayah kepada anak berupa harta pusaka. Pemberian ini timbul karena alasan kasih sayang dan tanggung jawab kepada anaknya. Ada tiga macam hibah dalam adat yaitu:1. Hibah LalehHibah laleh adalah pemberian dari seorang ayah kepada anaknya untuk selama-lamanya. Dalam adat pemberian seperti ini dikatakan salamo dunia takambang, salamo gagak hitam, salamo aia ilia, (selama dunia terkembang, selama gagak hitam, selama air hilir). Yang menjadi syaratnya adalah sepakat waris kaum yang bertali darah. Bila habis yang bertali darah harus sepakat waris yang bertali adat. Hibah laleh ini jarang terjadi karena tidak mungkin waris yang dikatakan di atas habis sama sekali. Kalau terjadi juga tidaklah dihibahkan seluruhnya, paling kurang sebagian kecil dari harta keseluruhan. Inipun tergantung kepada persetujuan bersama. Adat mengatakan hibah basitahu-tahu, gadai bapamacik, jua bapalalu, (hibah saling mengetahui, gadai berpegangan, jual berpelalu).2. Hibah Bakeh, (hibah bekas)Adalah pemberian harta dari ayah kepada anak. Hibah bakeh ini sifatnya terbatas yaitu selama anak hidup. Bila ada anaknya tiga orang tidak jadi soal, yang pokok bila anak-anaknya ini telah meninggal, maka harta yang dihibahkan kembali kepada kaum ayahnya. Di dalam adat hibah bakeh ini dikatakan kabau mati kubangan tingga, pusako kanan punyo, (perlu berhati-hati dalam melaksanakannya).3. Hibah PampehHibah pampeh atau hibah pampas yaitu pemberian harta dari ayah kepada anaknya caranya yang berbeda karena kasih sayang kepada anak, si ayah mengatakan kepada anggota kaumnya, bahwa selama ini ia telah menggunakan uang anak-anaknya itu untuk biaya hidup dan biaya karena sakit-sakitan. Untuk itu buat sementara sawah sekian piring dibuat dan diambil hasilnya oleh anak-anaknya. Sawah itu jatuh kembali kepada ayahnya bila kaum ayahnya punya kesanggupan untuk mengganti uang anaknya yang terpakai. Hibah pampeh ini hanyalah merupakan pampasan dan hanya sebagai siasat dari sang ayah untuk membantu anak-anaknya (perlu berhati-hati dalam melaksanakannya).Muncul istilah hibah bukan berarti pemberian seorang kepada orang lain, seperti dari ayah kepada anak tidak dikenal sebelum masuknya islam ke Minangkabau. Sebelumnya dalam adat istilah pemberian berupa hibah ini adalah agiah laleh (agiah lalu), agiah bakeh, dan agiah pampeh.4. WakafWakaf adalah suatu hukum islam yang berlaku terhadap harta benda yang telah diikrarkan oleh pewakaf, yaitu orang yang berwakaf kepada nadzir (orang yang menerima dan mengurus wakaf).Kata wakaf berasal dari bahasa arab yang berarti terhenti dari peredaran, atau menahan harta yang sumber atau aslinya tidak boleh diganggu gugat, dan membuat harta itu berguna untuk kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, terhadap harta benda yang telah diwakafkan tidak boleh diambil kembali oleh pihak yang berwakaf atau ahli warisnya dan tidak boleh pula dianggap milik sendiri oleh pihak yang mengurusnya.Wakaf yang berupa tanah di Minangkabau sering dipergunakan untuk kepentingan sosial seperti untuk pendirian surau, mesjid, panti asuhan, sekolah dan lain-lain. (Kesepakatan kaum dalam mewakafkan harta pusaka adalah syarat utama yang perlu dicapai).

erbedaan pandapek tentang harato pusako ko sabananyo telah terjadi sejak dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy, malah beliau mengarang sebuah kitab berjudul : Ad Doi al Masmu fil Raddi ala Tawarisi al ikwati wa Awadi al Akawati ma a Wujud al usuli wa al Furui, yang artinya : Dakwah yang didengar Tentang Penolakan Atas Pewarisan Pewarisan Saudara dan anak Saudara Disamping Ada Orang Tua dan Anak. Kitab itu di Tulis di Mekah pada akhir abat ke XIX. ( DR Amir Syarifuddin Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau 275 ) Namun, beliau beda pendapat dengan murid beliau seperti Syekh Dr.H.Abd.Karim Amrullah. Murid beliau Syekh Rasul ( H.Abdul Karim Amrullah ) ulama yang belakangan ini melihat harta pusaka dalam bentuk yang sudah terpisah dari harta pencarian. Beliau berpendapat bahwa harta pusaka itu sama keadaannya dengan harta wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlkukan oleh Umar ibn Kattab atas harta yang didapatnya di Khaybar yang telah dibekukan tasarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan harta pusaka dengan harta wakaf tersebut walaupun ada masih ada perbedaannya, adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat diwariskan. Karena tidak dapat diwariskan, maka terindarlah harta tersebut dari kelompok harta yang harus diwarisklan menurut hukum Faraid; artinya tidak salah kalau padanya tidak berlaku hukum Faraid. Pendapat beliau ini di ikuti oleh ulama lain di antaranya Syekh Sulaiman ar Rasuli. ( DR Amir Syarifuddin Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau 278).Kemudian Buya Hamka berpendapat tentang harta pusaka sebagai berikut :Yang pertama Bahwa Islam masuk ke Minangkabau tidak mengganggu susunan adat Minangkabau dengan pusaka tinggi. Begitu hebat perperangan Paderi, hendak merubah daki-daki adat jahiliyah di Minangkabau, namun Haji Miskin, Haji A.Rachman Piobang, Tuanku Lintau, tidaklah menyinggung atau ingin merombak susunan harta pusaka tinggi itu. Bahkan pahlawan Paderi radikal, Tuanku nan Renceh yang sampai membunuh uncu-nya (adek perempuan ibunya) karena tidak mau mengerjakan sembahyang, tidaklah tersebut, bahwa beliau menyinggung-nyinggung susunan adat Itu, Kuburan Tuanku Nan Renceh di Kamang terdapat di dalam Tanah Pusako Tinggi. (IDAM hlm 102 )Yang kedua : Tetapi Ayah saya DR. Syekh Abdulkarim Amrullah Berfatwa bahwa harta pusaka tinggi adalah sebagai waqaf juga, atau sebagai harta musaballah yang pernah dilakukan Umar bin Khatab pada hartanya sendiri di Khaibar, boleh diambil isinya tetapi tidak boleh di Tasharruf kan tanahnya. Beliau mengemukan kaidah usul yang terkenal yaitu; Al Adatu Muhak Kamatu, wal Urfu Qa-Dhin Artinya Adat adalah diperkokok, dan Uruf ( tradisi) adalah berlaku. (IDAM hlm 103)Yang ke tiga : Satu hal yang tidak disinggung-singgung, sebab telah begitu keadaan yang telah didapati sejak semula, yaitu harta pusaka yang turun menurut jalan keibuan. Adat dan Syarak di Minangkabau bukanlah seperti air dengan minyak, melainkan berpadu satu, sebagai air dengan minyak dalam susu. Sebab Islam bukanlah tempel-tempelan dalam adat Minangkabau, tetapi satu susunan Islam yang dibuat menurut pandangan hidup orang Minangkabau. (Hamka, Ayahku hlm. 9)Yang ke empat : Pusaka Tinggi inilah dijual tidak dimakan bali di gadai tidak dimakan sando (sandra). Inilah Tiang Agung Minangkabau selama ini. Jarang kejadian pusako tinggi menjadi pusako rendah, entah kalau adat tidak berdiri lagi pada suku yang menguasainya (Hamka, dalam Naim, 1968:29)Keputusan Seminar I. Keputusan pada Seminar atau Musyawaratan Alim Ulama, Niniak mamak dan cadiak pandaiMinangkabau pada tanggal 4 s/d 5 Mei 1952 di Bukittinggi maka Seminar menetapkan :1. Terhadap Harta Pencarian berlaku hukum Faraidh, sedangkan terhadap Harta Pusakaberlaku hukum adat.2. Berhubung I.K.A.H.I. Sumbar ikut serta mengambil keputusan dalam seminar ini, makaSeminar menyerukan kepada seluruh Hakim-hakim di Sumbar dan Riau supayamemperhatikan ketetapan Seminar ini ( Naim 1968 : 241)II. Kemudian pada Seminar Hukum Adat Minangkabau tahun 1968 di Padang, yang di hadiri olehpara cendikiawan dan para ulama Minagkabau, ditetapkan bahwa terhadap hartapencaharian berlaku hukum faraidh, dan terhadap harta pusaka tinggi berlaku hukum adat.Selanjutnya, tentang hukum waris diputuskan sebagai berikut :a. Harta pusaka di Minangkabau merupakan harta badan hukum yang diurus dan diwakilioleh Mamak Kepala Waris di luar dan di dalam peradilan.b. Anak kemenakan dan mamak kepala waris yang termasuk ke dalam badan hukum itumasing-masingnya bukanlah pemilik dari harta badan hukum tersebut. (Naim, 1968:243)Kemudian Dr.Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa pewarisan menurut adat bukanlah berarti peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris, tetapi peralihan peranan atas pengurusan harta pusaka itu. Dengan demikian terlihat adanya perbedaan dalam system. Perbedaan tersebut akan lebih nyata dalam keterangan di bawah ini.Pertama ; Harta pusaka melekat pada rumah tempat keluarga itu tinggal dan merupakan dana tetap bagi kehidupan keluarga yang tinggal di rumah itu. Harta itu dikuasai oleh perempuan tertua di rumah itu dan hasilnya dipergunakan untuk manfaat seisi rumah. Pengawasan penggunaan harta itu berada di tangan mamak rumah. Bila mamak rumah mati, maka peranan pengawasan beralih kepada kemenakan yang laki-laki. Bila perempuan tertua dirumah itu mati, maka peranan penguasaan dan pengurusan beralih kepada perempuan yang lebih muda. Dalam hal ini tidak ada peralihan harta.Penerusan peranan dalam system kewarisan adat, adalah ibarat silih bergantinya kepengurusan suatu badan atau yayasan yang mengelola suatu bentuk harta. Kematian pengurus itu tidak membawa pengaruh apa apa terhadap status harta, karena yang mati hanya sekedar pengurus.Hal tersebut di atas berbeda sama sekali dengan bentuk pewarisan dalam hukum Islam. Dalam Hukum Islam pewarisan berarti peralihan hak milik dari yang mati kepada yang masih hidup. Yang beralih adalah harta. Dalam bentuk harta yang bergerak, harta itu berpindah dari suatu tempat ketempat yang lain. Sedangkan dalam bentuk harta yang tidak bergerak, yang beralih dalam status pemilikan atas harta tersebut.Kedua, yang merupakan ciri khas dari harta pusaka ialah bahwa harta itu bukan milik perorangan dan bukan milik siapa -siapa secara pasti. Yang memiliki harta itu ialah nenek moyang yang mula-mula memperoleh harta itu secara mencancang melatah. Harta itu ditujukan untuk dana bersama bagi anak cucunya dalam bentuk yang tidak terbagi-bagi. Setiap anggota dalam kaum dapat memanfaatkannya tetapi tidak dapat memilikinya. ( DR Amir Syarifuddin Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau 269-270).Maka dengan demikianlah, jelaslah bahwa telah ada kesepakatan para alim ulama, niniak mamak, dan cadiak pandai tentang status harta pusaka itu sebagai warih bajawek, pusako batolong dari niniak turun kemamak dari mamak turun kekemanakan. Dan kemudian diturunkan pula kebawah menurut jalur Ibu dalam kaum atau suku yang bersangkutan. Indak buliah dihilang dilanyokkan, kok dibubuik layua dianjak mati, dijua indak dimakan bali di gadai indak dimakan sando.Kemudian seperti sering saya kemukakan, bahawa harta pusaka itu adalah sebagai bukti, asal usul bahwa seseorang itu dapat dikatakan keturunan Minang ( Etnis Minangkabau) apabila mempunyai harta pusaka tinggi. Dalam adat dikatokan, nan ba pandam ba pakuburan nan ba sasok bajarami, kok dakek dapek di kakok, kok jauah dapek di antakan. Seseorang nan indak punyo atau indak lai mempunyai harta pusaka, berarti indak lai basasok bajarami, tidak ba pandam ba pukuburan, maka orang atau keluarga yang telah habis harta pusakanya tidakalah lagi langkap Minangnyo. Indak lai baurek tunggang, indak bapucuak bulek, atau dengan kato lain kateh indak bapucuak kabawah indak baurek orang tersebut dapat juga dikatakan punah punah dalam hal harta pusaka menurut aturan adat, jika dia meninggal dia dikatakan mati ayam mati tunggau. Malah ada pendapat para ahli adat, mangatokan bahwa apabila satu kaum sudah abih harato pusakonya, mako indak paralu lai ma angkek seorang panghulu, karena adat itu berdiri di ates pusako, cancang balandasan lompek basitumpu.- Harta pusaka itu adalah sebagai alat permersatu dalam jurai, kaum, dan bagi masyarakat Minang pada umum, sekaligus untuk mengetahui, nan sa asa sakaturunan menurut jalur adat.- Harta tersebut juga sebagai harta cadangan, jika ada dunsanak kemanakan yang kehidupannya agak susah di perantauan boleh babaliak kakampung uruihlah harata itu. Oleh karenanya dapat kita bayangkan jika harta pusaka di Minangkabau di perjual belikan, maka masyarakat Minangkabau akan sama nasibnya dengan masyarakat daerah-daerah lain, akan tersingkir dari nagari asalnya sendiri.- Harta itu adalah amanah, yang boleh hanyo diambil asilnya dan tidah untuak dimiliki, maka harta itu jangan sampai ilang atau lenyap ditangan kita. Karena harta itu bukanlah milik pribadi, tetapi adalah milik bersama, maka bersama-sama pula memeliharanya.Namun, demikian jika ada yang berpendapat dengan mengatakan bahwa harta pusaka itu haram, itu adalah haknya. Tetapi bagaimana dengan pendapat para ulama Minangkabau diatas, apa itu tidak boleh di katakan sebagai IJMAK para ulama Minangkabau?Dan selanjutnya, jika pendapat tersebut sudah sangat di yakini bahwa harta pusaka tersebut adalah haram menurut Agama. Mulailah terlabih dahulu dari diri sendiri, atas harta pusako nan saparuik, nan sakaum atau sapayung sapasukuan dan nan sanagari. Adat kan salingka nagari, pusako salingka kaum, tidak ada yang akan melarang, jika nan berhak telah sepakat untuk membuat apa saja atas harta pusaka tersebut. Dan kepada yang masih meyakini atas pendapat para uluma Minangkabau tersebut diatas, tentu juga itu merupakan hak, tidak ada pulah yang boleh memeksa kan ke endak. Ini tentu bukan berarti taklid buta, kerana kita yakin para ulama Minang tersebut tentu telah melalui penelitian atau IJTIHAT pula.Demikianlah nan dapek ambo sampaikan, ambo mohon maaf jikok ado nan kurang pado tampeknyalam adat Minang harta pusaka terdiri dari 2 macam: 1) Harta pusaka tinggi dan 2) Harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi diwariskan secara turun-temurun kepada satu kaum, sedangkan harta pusaka rendah merupakan hasil pencaharian seseorang dan diwariskan menurut hukum Islam (faraidh). Jadi, kita tidak akan bahas harta pusaka rendah disini karena sudah sesuai dengan hukum waris Islam (faraidh).

Terlihat ada kegamangan orang Minang disini, satu sisi mengaku tunduk pada syara tetapi di sisi lain tidak menggunakan hukum waris Islam (faraidh) dalam hal harta pusaka tinggi.

Ulama Minang yang paling keras menentang pengaturan harta pusaka tinggi yang tidak mengikuti hukum waris Islam adalah Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekah, Syaikh Thahir Jalaluddin di Perak Malaysia dan KH Agus Salim.Lihat 4, hal 23 Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, imam dan khatib Masjidil Haram Mekah, menyatakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk harta syubhat sehingga haram untuk dimanfaatkan. Beliau konsisten dengan pendapatnya itu dan tidak mau kembali kekampungnya, Beliau meninggal di Mekah tahun 1916.Lihat 4, hal 103 Hanya murid-murid Beliau yang pulang ke kampung halaman dan menyebarkan Islam, seperti: Syaikh M. Jamil Jambek, DR. Abdul Karim Amrullah (Bapak Buya Hamka), DR. Abdullah Ahmad, Syaikh Jamil Jaho, KH. Ahmad Dahlan dan lain-lain.

Sementara para pahlawan Perang Paderi yang di kenal keras merubah adat Minang yang bertentangan dengan Islam tidak mengusik masalah harta pusaka tinggi, Beliau antara lain H. Miskin, H. Abdurrahman Piabang, Tuanku Lintau, Tuanku Nan Renceh dan lain-lain. Syaikh Abdulkarim Amrullah (Bapak Buya Hamka) mengambil jalan tengah dengan memfatwakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk kategori wakaf.Lihat 4, hal 103

Harta Pusaka Tinggi

Harta pusaka tinggi adalah harta milik seluruh anggota kaum dan diperoleh secara turun temurun melalui jalur wanita (padusi).Lihat 3, hal 5 Biasanya harta ini berupa rumah, sawah, ladang, kolam dan hutan. Harta pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan dan hanya boleh digadaikan. Anggota kaum memiliki hak pakai dan biasanya di kelola oleh Mamak Kepala Waris (Angku).

Hak pakai dari harta pusaka tinggi ini antara lain: hak membuka tanah, memungut hasil, mendirikan rumah dan hak menggembala. Jika berupa air (tabek) maka hak pakainya adalah memanfaatkan air dan menangkap ikan.Lihat 3, hal 23

Disamping harta pusaka tinggi, masih ada harta pusaka lain yang dimiliki oleh masyarakat Minang, seperti: tanah ulayat nagari dan tanah ulayat suku, tetapi status tanah seperti ini sudah punah dan jarang ditemukan di Minang karena perkembangan penduduk dan sosial ekonomi.Lihat 3, hal 5

Harta pusaka tinggi tidak boleh di jual dan hanya boleh digadaikan. Menggadaikan harta pusaka tinggi hanya dapat dilakukan setelah dimusyawarahkan diantara petinggi kaum, diutamakan digadaikan kepada suku yang sama tetapi dapat juga digadaikan kepada suku lain.

Tergadainya harta pusaka tinggi karena 4 hal:

1. Gadih gadang indak balaki (perawan tua yang tak bersuami) Jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sementara umurnya sudah telat. 2. Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah) Jika tidak ada biaya untuk mengurus jenazah yang harus segera dikuburkan. 3. Rumah gadang katirisan (rumah besar bocor) Jika tidak ada biaya untuk renovasi rumah, sementara rumah sudah rusak dan lapuk sehingga tidak layak huni. 4. Mambangkik batang tarandam (membongkar kayu yang terendam) Jika tidak ada biaya untuk pesta pengangkatan Penghulu (Datuk) atau biaya untuk menyekolahkan seorang anggota kaum ke tingkat yang lebih tinggi.

Klan Wanita

Adat Minang mengikuti klan Wanita, artinya mereka menggunakan sistem Matrilineal sehingga nasab (hubungan kekeluargaan) mengikuti jalur ibu.Lihat 1

Sistem klan wanita ini dijelaskan dari 4 Tapak Pijakan orang Minang:

1. Ba-nasab pado ibu.2. Ba-sandi pado syarak.3. Ba-sako ka pusako. 4. Ba-ulayat ka tanah tinggi /pusako tinggi.Lihat 2

Terkait dengan nasab yang mengikuti jalur wanita maka struktur adat juga mengacu kepada jalur wanita: 1) Suku (kumpulan dari beberapa kaum), 2) Kaum (kumpulan dari beberapa jurai), 3) Perut (kumpulan dari beberapa keluarga komunitas seibu), 4) Jurai (kumpulan dari beberapa keluarga inti dari garis ibu yang sama), 5) Keluarga inti (kumpulan ibu dan anak, tidak termasuk ayah).Lihat 1; juga 4, hal 23

Jika kaum ini semakin besar dan keluarga dari kaum tersebut makin berkembang maka kumpulan dari beberapa kaum ini bisa membentuk sebuah suku dan mengangkat seorang Datuk sebagai pemimpinnya.

Anduang adalah nenek tertua dari kaum. Angku adalah saudara laki-laki tertua dari nenek, sedangkan Mamak adalah saudara laki dari ibu. Kumpulan Angku dan Mamak ini di sebut Ninik Mamak

Angku merupakan pemimpin kaum dan mempunyai kewenangan mengelola harta pusaka tinggi. Namun demikian, pemilik asli dari harta pusaka tinggi berada di pihak wanita yang dikepalai oleh Anduang. Anduang pula yang mempunyai kewenangan komersialisasi, menyimpan dan mendistribusikannya harta pusaka tinggi.Lihat 3

Sehingga tidak lazim di daerah Minang jika pemilik tanah pusaka menggunakan nama laki-laki, karena pemilik aslinya adalah wanita. Misal: Ini tanah Anduang Rukayah, bukan tanah Sutan Bagindo!

Sialnya Laki-laki Minang

Laki-laki Minang adalah korban dari sistem matrilineal, dimana nasab anak mengacu kepada Ibu, kepemimpinan di tangan Mamak dan harta pusaka tinggi turun temurun jatuh ke jalur wanita. Sehingga laki-laki Minang paling sial di dunia!, ini bukan sekedar ungkapan tetapi begitulah kenyataannya. Kesialan ini terjadi karena keteguhan menjalankan adat dan meninggalkan ajaran Islam, Adat indak lakang jo paneh, indak lapuak jo hujan (adat tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan).

Seperti dijelaskan di atas bahwa sitem matrilineal menjadikan wanita sebagai penguasa penuh atas harta pusaka tinggi. Sistem matrilineal juga menempatkan Angku/Mamak sebagai penguasa di tengah kaumnya.

Anak laki-laki dari anggota kaum tidak memiliki hak atas rumah yang ditempatinya karena kepemilikan turun temurun kepada jalur wanita. Ketika anak laki-laki sudah mulai beranjak baligh maka dia harus meninggalkan rumah dan tinggal di surau (mesjid), memalukan bagi anak laki-laki remaja masih tinggal di rumah ibunya. Di surau dia di tempa menjadi mandiri dan sekaligus belajar Islam dari para Buya (ulama).

Ketika dewasa dia menikahi seorang wanita dari suku lain maka dia akan tinggal di rumah istrinya, rumah yang merupakan milik anggota suku istrinya dan bukan miliknya. Di tengah suku isterinya dia tidak memiliki kekuatan apapun, kewajiban nafkah ada di tangan Mamak (saudara laki-laki isterinya), bahkan malu seorang isteri meminta nafkah kepada suaminya karena dianggap mamaknya tidak bertanggung jawab. Segala keputusan ada di tangan Mamak, hanya saat menikahkan anaknya saja sang Mamak berunding dengan dirinya. Konsekuensi dari tanggung jawab nafkah di tangan Mamak, laki-laki Minang dengan mudah kawin lagi dengan wanita lain kemudian keluarga baru itu dinafkahi lagi oleh sang Mamak. Bisa jadi kerjanya hanya nongkrong di warung kopi, main koa, berburu babi, mengurus perkutut dan mengadu ayam.

Ketika laki-laki ini bekerja dan memperoleh kekayaan, jika dia buat rumah di atas tanah suku isterinya maka harta itu menjadi milik isterinya, jika isterinya meninggal maka dia tidak berhak lagi menempati rumah itu karena rumah dimiliki oleh suku isterinya, sementara sukunya berbeda dengan suku isterinya. Jika rumah dibelikan buat kemenakan yang satu suku dengannya, maka rumah itu juga bukan miliknya karena kepemilikan semua harta jatuh ke tangan wanita, laki-laki Minang tidak berhak menerima warisan menurut adat.Lihat 4, hal 39 Di rumah isteri dia tidak punya hak, di rumah kemenakan tidak punya waris, ketika tua dia terdampar kembali di surau menunggu ajal menjemputnya.

Ketika remaja terusir dari rumah ibunya dan tinggal di surau, serta berusaha menghidupi dirinya. Dewasa dan menikah dia tinggal di rumah isterinya, tidak punya wewenang dan tanggung jawab atas keluarganya. Setelah tua terusir lagi dari rumah isterinya dan kembali tinggal di surau. Bahkan Mamak-mamak yang tadinya berkuasa, di hari tuanya akan bernasib sama, padahal dia telah berjasa mengolah harta pusaka tinggi tetapi tidak bisa menikmati hasilnya. Laki-laki Minang hanya sebagai Kabau pahangkuik abu, gajah palajang bukik (pekerja keras). Benar-benar sial! Alhamdulillah, adat jahiliyah seperti ini sudah mulai punah.

Akibatnya banyak laki-laki Minang memilih merantau dan tidak kembali lagi kekampungnya akibat sistem adat yang tidak adil ini. Sebut saja Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekah, Syaikh Thahir Jalaluddin di Perak Malaysia, Rajo Bagindo di Sabah dan Serawak Malaysia (Rajo Bagindo juga mengembara hingga ke Mindanao Pilipina dan menurunkan Raja-raja Sulu), Rajo Malewar mendirikan kerajaan di Negeri Sembilan Malaysia dan masih eksis hingga kini, Makhudum Sati yang merantau ke Aceh.Lihat 4, hal 110

Pendekatan Hukum Islam

Kedatangan agama Islam ke ranah Minang di terima dengan baik oleh tokoh adat, hanya saja dalam masalah harta pusaka tinggi mereka tidak mau mewariskan kepada anaknya karena bertentangan dengan adat.Lihat 4, hal 25 Akhirnya di ambil jalan tengah bahwa harta pusaka rendah (harta pencaharian) dibagi menurut hukum waris Islam (faraidh) dan harta pusaka tinggi ditetapkan sebagai Wakaf Ahli (zurri). Tetapi betulkah pendekatan seperti ini, cukupkah syarat harta tersebut ditetapkan sebagai Wakaf Ahli?

Perpindahan harta dari satu pihak ke pihak lain menurut Islam antara lain karena sedekah, jual beli, barter dan waris. Wakaf bisa dimasukkan dalam kategori sedekah.

Wakaf terdiri dari: wakaf umum, khusus dan ahli. Harta pusaka tinggi sendiri termasuk wakaf ahli, yakni wakaf dimana si pewakaf menentukan penggunaan harta untuk keluarga dan keturunannya (dalam hal ini hanya melalui jalur wanita).Lihat 3, hal 39

Syarat wakaf adalah adanya waqif (pewakaf), nadzir (yang menerima wakaf), mauquf (benda yang diwakafkan), sighat (ikrar wakaf), tujuan peruntukan wakaf dan jangka waktu wakaf.Lihat 5, hal 642 Sighat (ikrar wakaf) harus dilafadzkan ketika menyerahkan wakaf kepada nadzir dan disaksikan oleh 2 orang saksi.

Kritik Terhadap Adat

Nasab Aplikasi dari sistem matrilineal ini adalah nasab si anak mengikuti nasab ibunya, suku anak sesuai dengan suku ibunya, bukan bapaknya. Hal ini jelas bertentangan dengan Islam, karena menurut Islam nasab seorang anak berdasarkan bapaknya.

Siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka syurga baginya haram (HR Ibnu Majah).

Seorang yang bernama Syamsuar Koto maka dia masih bernasab kepada ibunya karena dia menggunakan suku Ibunya (Koto) di belakang namanya. Jika Bapaknya bernama Nazaruddin maka namanya yang benar menurut Islam adalah Syamsuar bin Nazaruddin.

Sehingga kita temukan nama-nama Islam, seperti: Muhammad bin Abdullah, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan lain-lain. Ketika anak angkat Rasulullah saw yang bernama Zaid dinasabkan kepada Rasulullah saw dan di beri nama Zaid bin Muhammad, Rasulullah saw di tegur oleh Allah swt melalui surah Al-Ahzab ayat 5 dan dinasabkan kembali kepada Bapaknya menjadi Zaid bin Haritsah.Lihat 6, hal 827

Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka (Al-Ahzab 5).

Wakaf Harta pusaka tinggi boleh saja diwakafkan kepada ahli waris dan keluarga tertentu saja, misal: hanya kepada wanita.Lihat 5, hal 643

Jika harta pusaka tinggi ini mau ditetapkan hukumnya sebagai wakaf maka syarat wakaf harus dipenuhi, yakni Lafadz sighat (ikrar wakaf) ketika diserahkan kepada Nadzir.

Lantas apakah syarat wakaf telah dipenuhi ketika harta pusaka tinggi berubah statusnya menjadi wakaf?. Jika belum, maka tentu saja harta tersebut masih syubhat seperti difatwakan oleh Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Kesimpulan

Tujuan pengaturan adat Minang terhadap harta pusaka tinggi bertujuan baik yakni agar keluarga besar kaum tidak melarat dan mempunyai bekal ketika ahli waris meninggal, Ganggam Bauntuak, Hiduik Bapangadok Juga, untuk membentengi tanah-tanah Minang dari penguasaan orang-orang dari luar Minang. Tetapi tujuan baik ini (maslahat) jangan sampai mengabaikan syara (syariat) yang menjadi landasan adat Minang.

Indak ado kusuik nan tak salasai, indak ado karuah nan tak janiah (tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan). Tapi penyelesaian masalah (kusuik) tetap harus mengacu kepada syara, jika ada syara yang tidak terpenuhi maka harus disempurnakan agar sesuai dengan hukum syara.

Jika di rasa bahwa ada hukum Islam yang belum dipenuhi dalam masalah harta pusaka tinggi ini, maka adat harus mengikuti syara karena posisi syara lebih tinggi daripada adat (adat basandi syara). Adat bukanlah suatu yang sakral dan bisa saja di ubah jika memang kondisinya menghendaki, Sakali aia gadang, sakali tapian barubah (sekali air besar, sekali tepian berubah).

Wallahualam

Sumber bacaan:

1. http://my.opera.com/: Menanti Badai Sawit Reda; Kisah Kelam dari Lubuak Pudiang. 2. http://www.solok-selatan.com/: Lentera Adat : Jika Nafsu Sebagai Panglima, akan Menciptakan Masyarakat Terpecah Belah dan Berkonflik. 3. Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Sajuti Thalib, Bina Aksara, cetakan I, Oktober 1985. 4. Islam dan Adat Minangkabau, Hamka, Pustaka Panjimas, cetakan II, Agustus 1985. 5. Pedoman Hidup Muslim, Abu Bakar Jabir al-Jaziri, Pustaka Litera Antar Nusa, cetakan I, 1996. 6. Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifai, Gema Insani Press, cetakan V, Jan

Harato Pusako (Harta Pusaka) terbagi dua sebagai berikut :1. Harato Pusako TinggiYang dimaksud harato pusako tinggi ialah segala harta pusaka yang diwarisi secara turun temurun sesuai dengan pantun sebagai berikut :Biriak-biriak tabang kasasak Dari sasak turun ka halaman Dari niniak turun ka mamakDari mamak turun ka kamanakanProses pemindahan kekuasaan atas harta pusaka ini dari mamak ka kemenakan dalam istilah adat disebut juga dengan Pusako Basalin bagi harta pusaka tinggi berlaku ketentuan adat seperti pantun berikut :Tajua indak dimakan baliTasando indak dimakan gadaiArtinya :Terjual tidak bisa dibeliAgunan nan indak dapat digadai.Hal ini berarti bahwa harta pusaka tinggi tidak boleh dijual. Oleh karena harta pusaka tinggi sesungguhnya bukan diwariskan dari mamak kepada kemenakan, tetapi dari ande atau nenek kita, jadi harta pusako tinggi tidak saja milik kita yang hidup pada masa sekarang ini tetapi juga milik anak cucu kita, yang akan lahir seratus atau seribu tahun lagi, kita yang hidup sekarang wajib menjaga dan memelihara dan boleh memanfaatkannya, untuk kepentingan dan kehidupan kita saat sekarang, seperti mamang adat : aianyo buliah disauak, buahnya buliah di makan tanah jo buminya adat nan punyo di Silungkang kita tidak lagi mempunyai wilayat suku, yang ada hanya wilayat kaum, wilayat kaum ini tidak boleh di perjual belikan, tanah wilayat kaum ini di kuasai oleh mamak kepala kaum, dan dipakai serta di mamafaatkan oleh dunsanak nun padusi, apa bilah satu kelompok dari kaum yang memakai tanah itu punah, tanah itu kembali di mamfaatkan secara bersama oleh seluruh anggota kaum yang tertera di dalam ranji (silsila) secara adat, kelompok yang punah itu tidak boleh menjual tanah itu karenah tanah itu bukan hakiki miliknya, tapi hanya hak pakai selagi keturununnya yang satu ranji masih ada, kalau suda tidak ada pula kaum yang satu ranji maka pusako berpinnda kepada kaum yang bertali adat kaum yang bertali adat inilah yang akan mempusokoinya.2. Harato Pusako RandahYang disebut dengan harta pusaka rendah adalah segala harta hasil pencarian dari bapak bersama ibu (orang tua kita) selama ikatan perkawinan, ditambah dengan pemberian,dan hasil pencaharian ongku bersama nenek kita dan pemberian mamak kepada kamanakannya dari hasil pencarian mamak dan tungganai itu sendiri. Harta pencaharian dari orang tua atau bapak bersama ibu ini, setelah diwariskan kepada anak-anaknya disebut dengan harta-susuk. harta-susuk ini mempunyai potensi besar dimasa mendatang untuk menambah harta pusaka tinggi di Minangkabau, baik di RanahMinang sendiri, lebih-lebih di rantau. Bila harta pusaka diluar Ranah Minang dapat dinaikkan statusnya menjadi harta pusaka tinggi yang tidak boleh dijual atau dipindah tangankan diluar orang sasuku, maka akan bertambah luaslah harta pusaka tinggi milik orang Silungkang di perantauan.C. SANGSOKOSangsoko ialah gelar kebesaran yang diberikan oleh raja, olek lembaga kerapatan kepada suatu nagari atau suku atau perorangan oleh karena jasa-jasanya kepada nagari, suku dll Sifat sangsoko ini tidak turun temurun tapi berpindah- pindah dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lain menurut hasil musyawara dan mufakat oleh P. Andiko di dalam suku bersangkutan atau hasil musyawara penghulu-penghulu dalam nagari untuk yang bersifat nagari. Tetapi perpindahan ini selalu menurut ketentuan adat pula seperti :Sangsoko pakai memakai Manuruik barih balabehGelar ini bisa saja berpindah-pindah dari suatu lingkungan cupak kepada lingkungan cupak yang lain, dan penempatan gelar sangsoko ini senantiasa dilandaskan kepada kata mufakat, dan menurut mungkin dan patut. Contoh seperti gelar sangsoko yang kita berikan kepada Irwan Husein Yaitu Datuak Pahlawan Gagah Malintang Lobieh Kasatian Gajah Tongga Koto Piliang, gelar ini tidak termasuk di dalam struktur adat dalam nagari, tapi merupakan gelar kebesaraan dan gelar kehormatan nagari, merupakan simbul kebesaran nagari Silungkang Padang Sibusuk orang yang memangku gelar ini hanya akan menjalankan seremonial atau perdamaian antar nagari, gelar sangsoko ini tidak ada sangkut pautnya dengan harta pusako. Begitu juga untuk jabatan Imam, Khatib, Bilal, Ongku Kadhi, gelar itu gelar kehormatan untuk suku, gelar itu tidak boleh diturun temurunkan, apabila yang bersangkutan tidak mampu lagi menjalankan tugasnya, maka dipilih, orang lain di dalam suku yang bersangkutan untuk memangku jabatan tersebut, orang yang akan di angkat untuk memangku jabatan tersebut, sesuai menurut adat yaitu manuruik bari jo balobe, manuruik mungkin jo patuik.Tergadainya harta pusaka tinggi karena empat hal: Gadih gadang indak balaki (perawan tua yang belum bersuami)Jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sementara umurnya sudah telat. Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah)Jika tidak ada biaya untuk mengurus jenazah yang harus segera dikuburkan. Rumah gadang katirisan (rumah besar bocor)Jika tidak ada biaya untuk renovasi rumah, sementara rumah sudah rusak dan lapuk sehingga tidak layak huni. Mambangkik batang tarandam (membongkar kayu yang terendam)