gabungan delik

18
GABUNGAN DELIK • Karakteristik perbarengan perbuatan pidana (concursus) Adakalanya seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus sehingga menimbulkan masalah tentang penerapannya. Kejadian yang sekaligus atau serentak tersebut disebut perbarengan yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit atau disebut juga dengan concursus. • Bentuk-bentuk gabungan delik : 1. Concursus idealis - Concursus idealis (eendaadsche samenloop): apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan hukum pidana. Dalam KUHP disebut dengan perbarengan peraturan. - Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbs murni, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. - Dalam KUHP bab II Pasal 63 tentang perbarengan peraturan disebutkan: (1). Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan- aturan itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2). Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Berdasarkan rumusan pasal 63 KUHP tersebut, para pakar berusaha membuat pengertian tentang perbuatan ( feit ) : - Prof. Mr. Hazewinkel-Suringa menjelaskan arti perbuatan yang dimuat dalam pasal 63 KUHP sebagai berikut : “ Perbuatan yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang berguna menurut hukum pidana, yang karena cara melakukan, atau karena tempatnya, atau karena orang yang melakukannya, atau karena objek yang ditujunya, juga merusak kepentingan hukum, yang telah dilindungi oleh undang-undang lain. - ” Hoge Raad menyatakan pendapatnya mengenai concursus idealis. Yakni satu perbuatan melanggar beberapa norma pidana,

Upload: chandramkz3069

Post on 23-Oct-2015

80 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: GABUNGAN DELIK

GABUNGAN DELIK

• Karakteristik perbarengan perbuatan pidana (concursus)Adakalanya seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus sehingga menimbulkan masalah tentang penerapannya. Kejadian yang sekaligus atau serentak tersebut disebut perbarengan yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit atau disebut juga dengan concursus.

• Bentuk-bentuk gabungan delik :1. Concursus idealis- Concursus idealis (eendaadsche samenloop): apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan hukum pidana. Dalam KUHP disebut dengan perbarengan peraturan.

- Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbs murni, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat.

- Dalam KUHP bab II Pasal 63 tentang perbarengan peraturan disebutkan:(1). Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

(2). Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.

Berdasarkan rumusan pasal 63 KUHP tersebut, para pakar berusaha membuat pengertian tentang perbuatan ( feit ) :- Prof. Mr. Hazewinkel-Suringa menjelaskan arti perbuatan yang dimuat dalam pasal 63 KUHP sebagai berikut :“ Perbuatan yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang berguna menurut hukum pidana, yang karena cara melakukan, atau karena tempatnya, atau karena orang yang melakukannya, atau karena objek yang ditujunya, juga merusak kepentingan hukum, yang telah dilindungi oleh undang-undang lain.

- ” Hoge Raad menyatakan pendapatnya mengenai concursus idealis. Yakni satu perbuatan melanggar beberapa norma pidana, dalam hal yang demikian yang diterapkan hanya satu norma pidana yakni yang ancaman hukumannya terberat. Hal tersebut dimaksudkan guna memenuhi rasa keadilan.- Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285 tentang memperkosa perempuan, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281 karena melanggar kesusilaan di muka umum. Dengan sistem absorbsi, maka diambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara.

- Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat. Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP.

Page 2: GABUNGAN DELIK

2. Concursus realis- Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang sifatnya berdiri sendiri, kita tahu berdiri sendiri dilihat dari waktu dan tempat berbeda/beberapa tindak pidana dilakukan dalam waktu dan tempat berbeda (concursus realis).

- Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu: -> Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam . Misalnya A melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jika A melakukan dua kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun, maka berlaku 1 tahun + 9 tahun = 10 tahun penjara. Tidak dikenakan 9 tahun + (1/3 x 9) tahun, karena 12 tahun melebihi jumlah maksimum pidana 10 tahun.

-> Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem kumulasi diperlunak. Misalkan A melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8 bulan kurungan.

-> Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan sistem kumulasi yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.

-> Apabila concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 (1) (penganiayaan ringan terhadap hewan), 352 (penganiayaan ringan), 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), dan 482 (penadahan ringan), maka berlaku sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara 8 bulan.

-> Untuk concursus realis , baik kejahatan maupun pelanggaran, yang diadili pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71.Misalkan A tanggal 1 Januari melakukan kejahatan pencurian (Pasal 362, pidana penjara 5 tahun), tanggal 5 Januari melakukan penganiayaan biasa (Pasal 351, pidana penjara 2 tahun 8 bulan), tanggal 10 Januari melakukan penadahan (Pasal 480, pidana penjara 4 tahun), dan tanggal 20 Januari melakukan penipuan (Pasal 378, pidana penjara 4 tahun), maka maksimum pidana yang dapat dijatuhkan kepada A adalah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara untuk keempat tindak pidana itu, maka jika kemudian ternyata A pada tanggal 14 Januari melakukan penggelapan (Pasal 372, pidana penjara 4 tahun), maka putusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak banyak hanya dapat dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6 tahun (putusan I), yaitu 8 bulan penjara.

Dengan demikian Pasal 71 KUHP itu dapat dirumuskan sebagai berikut:Putusan II = (putusan sekaligus) - (putusan I)

Page 3: GABUNGAN DELIK

3. Perbuatan berlanjut- Perbuatan lanjutan (voortgezette handeling): apabila seseorang melakukan perbuatan yang sama beberapa kali, dan di antara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang demikian erat sehingga rangkaian perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan.

- Dalam MvT (Memorie van Toelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah:

a) Harus ada satu niat, kehendak atau keputusan.b) Perbuatan-perbuatannya harus sama atau sama macamnya.c) Tenggang waktu di antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.

- Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat. Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.

• Ada dua sistem pemidanaan untuk perbarengan, yaitu: sistem komulasi dan sistem absorbsi murni. Sedangkan system adalah sistem komulasi terbatas dan sistem absorsi dipertajam.1. Sistem Komulasi murni atau penjumlahan murni.Menurut stelsel ini, untuk setiap tindak pidana diancamkan/dikenakan pidana masing-masing tanpa pengurangan. Jadi, apabila seseorang melakukan 3 tindak pidana yang masing-masing ancaman pidananya maksimum 5 bulan, 4 bulan, 3 bulan maka jumlah (komulasi) maksimum ancaman pidana adalah 12 bulan.

2. Sistem absorsi murni atau Sistem penyerapan murni.Menurut stelsel ini, hanya maksimun ancaman pidana yang terberat yang dikenakan dengan pengertian bahwa maksimum pidana lainnya (sejenis atau tidak sejenis) diserap oleh yang lebih tinggi. Penggunaan stelsel ini sukar dielakkan apabila salah satu tindak pidana di antaranya diancam dengan pidana yang tertinggi, misalnya pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara maksimum 20 tahun. Akan tetapi dalam hal terjadi perbarengan tindakan, di mana yang satu diancam dengan pidana penjara maksimum 9 tahun dan yang lainnya maksimum 4 tahun, dengan penggunaan stelsel ini seakan-akan tindak pidana lainnya itu dibiarkan tanpa penyelesaian secara hukum pidana. Karenanya para sarjana pada umumnya cenderung untuk “ mempertajam “ atau “ menambahnya “.

3. Sistem Komulasi terbatas, atau Sistem komulasi terhambat atau reduksi.Stelsel ini dapat dikatakan sebagai bentuk antara atau bentuk tengah dari tersebut pertama dan kedua. Artinya untuk setiap tindak pidana dikenakan masing-masing ancaman pidana yang ditentukan pidananya, akan tetapi dibatasi dengan suatu penambahan yang lamanya/jumlahnya ditentukan berbilang pecahan dari yang tertinggi. Misalnya 2 tindak pidana yang masing-masing diancam dengan maksimum 6 dan 4 tahun. Apabila ditentukan maksimum penambahan sepertiga dari yang tertinggi, maka maksimum ancaman pidana untuk kedua tindakan pidana tersebut adalah 6 tahun + sepertiga x 6 tahun + 8 tahun.

4. Sistem penyerapan dipertajam. Sistem ini merupakan varian dari stelsel komulasi terbatas. Menurut stelsel ini, tindak pidana yang lebih ringan ancaman pidananya tidak dipidana, akan

Page 4: GABUNGAN DELIK

tetapi dipandang sebagai keadaan yang memberatkan bagi tindak pidana yang lebih berat ancaman pidananya. Penentuan maksimum pidana menurut stelsel ini, yaitu pidana yang diancamkan terberat ditambah dengan sepertiganya.

• Ketentuan pidana yang bersifat khusus dan ketentuan pidana yang bersifat umum- Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan pembunuhan terhadap bayinya, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun. Namun karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya (kinderdoodslaag), maka ibu tersebut dikenai ancaman hukuman selama-lamanya tujuh tahun sebagaimana diatur dalam pasal 341.

- Kemungkinan seperti itu oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam pasal 63 ayat 2 KUHP yang berbunyi: “ Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan “.

- Dalam hal semacam itu apabila ketentuan pidana yang disebutkan terakhir itu merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, dalam arti secara lebih khusus mengatur perilaku yang sebenarnya telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana, maka ketentuan pidana yang bersifat khusus itulah yang diberlakukan. Atau dengan perkataan lain, dalam hal semacam itu berlakulah ketentuan hukum yang mengatakan : lex specialis derogat legi generali (undang-undang khusus meniadakan undang-undang umum).

- Di dalam doktrin terdapat dua cara memandang suatu ketentuan pidana, yaitu untuk dapat mengatakan apakah ketentuan pidana itu merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus atau bukan. 1. Pertama, menurut pandangan secara logis, apabila ketentuan pidana tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Kekhususan suatu ketentuan pidana berdasarkan pandangan secara logis seperti itu, di dalam doktrin juga disebut suatu logische specisliteit atau sebagai suatu kekhususan secara logis.

2. Kedua, menurut pandangan secara yuridis atau secara sistematis, walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus. Kekhususan suatu ketentuan pidana di dalam doktrin juga disebut suatu juridische specialiteit atau suatu systematische specieliteit, yang berarti kekhususan secara yuridis atau secara sistematis.

PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE)

• Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi da¬lam hal seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan Hakim yang tetap (in krachtvan gewijsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi.

Page 5: GABUNGAN DELIK

• Jadi dalam Recidive, sama halnya dengan Concursus Realis, seseorang melakukan lebih dari satu tindak pidana. Perbedaannya ialah bahwa pada recidive sudah ada putusan Hakim yang berkekuatan tetap yang berupa pemidanaan terhadap tindak pidana yang dilakukän terdahulu atau sebelumnya.

• Recidive merupakan alasan yang dapat memperberat pemidanaan.Sebagai contoh, seperti yang diatur dalam Pasal 12 KUHP bahwa karena alasan recidive pidana penjara boleh diputuskan sampai 20 tahun, walaupun secara umum pidana penjara maksimum dijatuhkan selama 15 tahun. Recidive tidak diatur secara umum dalam Buku I “Aturan Umum”, namun diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III. Dengan demikian, KUHP Indonesia saat ini menganut sistem recidive khusus, artinya pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan jenis tindak pidana tertentu saja dan dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.

• Ada dua sistem pemberatan pidana berdasar adanya recidive, yaitu sistem :1. Recidive umum.Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk pemberatan pida¬na. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana yang di¬lakukan maupun tenggang waktu pengulangannya. Dengan tidak ditentukan tenggang waktu pengulangan¬nya, maka dalam sistem ini tidak ada daluwarsa recidive.

2. Recidive khusus.Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulang¬an merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.

• Recidive Kejahatan KUHP membedakan recidive kejahatan ini menjadi dua kelompok besar, yaitu:I. Recidive kejahatan kelompok sejenis - Recidive kejahatan yang sejenis diatur tersebar dalam 11 pasal kejahatan KUHP, yaitu Pasal 137 (2), 144 (2), 155 (2), 157 (2), 161 (2), 163 (2), 208 (2), 216 (2), 321 (2), 393 (2), dan 303 bis (2).

- Syarat adanya recidive disebutkan dalam masing-masing pasal di atas, yang pada umumnya dapat diringkas sebagai berikut.1. Kejahatan yang diulangi harus sama/sejenis.

2. Antara kejahatan yang terdahulu dengan kejahatan yang diulangi harus telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.

3. Pelaku melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencaharian, kecuali Pasal 216, 303 bis dan 393.

4. Pengulangan tindak pidana dalam tenggang waktu tertentu, yaitu:a) 2 tahun sejak adanya putusan hakim yang tetap (Pasal 137, 144, 208, 216, 303 bis, dan 321)b) 5 tahun sejak adanya putusan hakim yang tetap (Pasal 155, 157, 161, 163, dan 393)

Page 6: GABUNGAN DELIK

- Dengan adanya syarat keputusan Hakim yang berupa pemidanaan dan mempunyai kekuatan tetap (in kracht van gewijsde) seperti tersebut pada syarat kedua diatas, maka tidak ada recidive dalam hal :1. Keputusan Hakim tersebut tidak merupakan pemidanaan, misalnya keputusan yang berupa “pembe¬basan dari segala tuduhan” (vrijspraak) berdasar pasal 313 RIB, dan yang berupa “pelepasan dari segala tuntutan” (ontslag van alle rechts vervol¬ging) berdasar pasal 314 RIB; (Sekarang pasal l91 (2) KUHAP).

2. Keputusan Hakim tersebut masih dapat diubah dengan upaya-upaya Hukum yang berlaku (misalnya dengan upaya banding atau kasasi);

3. Keputusan Hakim tersebut berupa “penetapan¬-penetapan” (beschikking) misalnya :a) Keputusan yang menyatakan tentang tidak berwenangnya Hakim untuk memeriksa perkara ybs. (pasal 247 dan pasal 252 RIB),b) Keputusan tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa karena terdakwa tidak melakukan keja¬hatan (pasal 250 ayat 3 RIB),c) Tidak diterimanya perkara karena penuntutan¬nya sudah daluwarsa.

- Pada syarat keempat diatas ditegaskan bahwa saat pengulangan dihitung sejak adanya putusan Hakim yang berkekuatan tetap. Jadi tidak disyaratkan apakah jenis pidana yang dijatuhkan oleh Hakim sebelumnya dan tidak pula disyaratkan apakah pidana yang dijatuhkan itu sudah dijalankan atau belum baik seluruhnya atau sebagian.

- Pemberatan pidana yang dapat dijatuhkan dalam recidive kejahatan sejenis ini, juga tampak berbeda-beda, yaitu:

1. Pidana tambahan berupa pencabutan hak menjalankan pencahariannya.2. Pidana pokok ditambah 1/33. Pidana penjara dikalikan 2 X (berlaku khusus Pasal 393)

II. Recidive kejahatan kelompok jenis - Recidive kejahatan kelompk jenis diatur dalam Pasal 486, 487, dan 489 KUHP. Dalam pasal-pasal tersebut dimasukkan beberapa kejahatan yang masuk kelompok jenis, yaitu:

1. Pasal 486 tentang kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan yang terdiri atas:Pasal 244-248 (pemalsuan mata uang)Pasal 263-264 (pemalsuan surat)Pasal 362,363,365 (pencurian)Pasal 368 (pemerasan)Pasal 369 (pengancaman)Pasal 372,374,375 (penggelapan)Pasal 378 (penipuan)Pasal 415,417,425,432 (kejahatan jabatan)Pasal 480,481 (penadahan)

2. Pasal 487 tentang kejahatan terhadap orang yang terdiri atas:Pasal 131,140,141 (penyerangan dan makar kepada Kepala Negara)Pasal 338,339,340 (pembunuhan) Pasal 341,342 (pembunuhan anak)Pasal 344 (euthanasia)

Page 7: GABUNGAN DELIK

Pasal 347-348 (abortus)Pasal 351,353,354,355 (penganiayaan)Pasal 438-443 (kejahatan pembajakan pelayaran)Pasal 459-460 (insubordinasi)

3. Pasal 488 tentang kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbit/percetakan. Pasal 134-137 (penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden) Pasal 142-144 (penghinaan kepada Kepala Negara sahabat)Pasal 207-208 (penghinaan kepada penguasa badan umum)Pasal 310-321 (penghinaan kepada orang pada umumnya)Pasal 483,484 (kejahatan penerbit/percetakan)

- Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk recidive kelompok jenis ini adalah:1. Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan terdahulu. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan recidive jika orang melakukan pencurian (Pasal 362), kemudian melakukan pembunuhan (Pasal 338), dan kemudian melakukan penghinaan (Pasal 310). Kejanggalannya adalah adanya beberapa tindak pidana yang tidak dimasukkan dalam beberapa kelompok jenis ini, seperti Pasal 104 (delik makar), Pasal 281-303 (delik-delik kesusilaan), Pasal 356 (bentuk terkualifikasi tindak pidana Pasal 351-355), dan Pasal 349 (bentuk terkualifikasi delik abortus Pasal 346-348).

2. Antara kejahatan yang terdahulu dengan kejahatan yang diulangi harus telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

3. Pidana yang pernah dijatuhkan hakim terdahulu berupa pidana penjara.

4. Tenggang waktu melakukan pengulangan tindak pidana adalah:a) belum lewat 5 tahunb) belum lewat tenggang waktu daluwarsa kewenangan menjalankan pidanaContoh: Pada tahun 2000 A melakukan tindak pidana pembunuhan (Pasal 338) dijatuhi pidana penjara 10 tahun. Kemungkinan tenggang waktu recidivenya adalah:

1) Apabila A menjalani keseluruhan pidana, tenggang waktu recidivenya 2000 + 10 tahun + 5 tahun = 20152) Apabila A menjalani sebagian, misalnya 5 tahun kemudian (tahun 2005) A mendapatkan pelepasan bersyarat, maka tenggang waktu recidivenya 2000 + 5 + 5 = 20103) Apabila A menjalani sebagian karena melarikan diri, misal setelah 7 tahun di penjara A melarikan diri, maka tenggang waktu recidivenya adalah sebelum tenggang waktu daluwarsa kewenangan menjalankan pidana penjara terdahulu. Jadi tenggang waktu recidivenya = 2000 + 7 + 16 tahun = 2023- Dalam recidive kelompok jenis ini, pemberatan pidananya adalah ancaman pidana pokok maksimum ditambah 1/3. Dalam Pasal 486 dan Pasal 487, yang dapat diperberat adalah pidana penjara. Sedangkan dalam Pasal 488, pemberatan berlaku bagi semua jenis pidana pokok.

• Recidive Pelanggaran- Sama seperti recidive kejahatan, recidive pelanggaran dalam KUHP menganut sistem

Page 8: GABUNGAN DELIK

recidive khusus, dalam arti bahwa hanya pelanggaran- pelanggaran tertentu saja yang dapat dijadikan recidive.

- Terdapat 14 jenis pelanggaran dalam KUHP yang jika dilakukan dipidana sebagai recidive, yaitu Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549 yang apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana.

- Adapun persyaratan recidive pelanggaran pada umumnya sebagai berikut :1. pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis. Khusus Pasal 492, dapat merupakan alasan recidive untuk pelanggaran Pasal 536 dan sebaliknya. Pasal 302 dapat merupakan alasan recidive untuk pelanggaran Pasal 540 dan 541.2. Antara pelanggaran yang terdahulu dengan pelanggaran yang diulangi harus telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.3. belum tenggang waktu pengulangannya, yaitua. belum lewat waktu 1 tahun, untuk pelanggaran Pasal 489, 492, 495, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549b. belum lewat waktu 2 tahun, untuk pelanggaran Pasal 501, 512, 516, 517, dan 530.

- Berdasar syarat ketiga ini maka perhitungan tenggang waktu pengulangannya tidak tergantung pada jenis pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu dan apakah pidana tersebut sudah dijalankan atau belum (seluruh atau sebagian).

- Menarik untuk diperhatikan bahwa khusus didalam pasal 536 (mabuk dijalan umum), disamping mengatur persyaratan pengulangan seperti dikemukakan diatas, diatur pula pengulangan yang kedua kali dan seterusnya.

- Mengenai pemberatan pidana untuk recidive pelang¬garan disebutkan dalam masing-masing pasal pelanggaran yang bersangkutan. Jadi tidak ada satu ketentuan umum mengenai sistem pemberatan pidananya. Namun demikian pada umumnya mengikuti salah satu sistem pemberatan pidana sebagai berikut:a. Pidana denda diganti atau ditingkatkan menjadi pidana kurungan.b. Pidana (denda/kurungan) dilipatkan dua kali.

• RECIDIVE DILUAR KUHP1. Recidive kejahatan diluar KUHP terdapat didalam pasal 39 Undang-undang Narkotika (UU No.9 Tahun 1976) yang berbunyi sebagai berikut:

a. Pidana penjana yang ditentukan dalam pasal 16 ayat 1 sampai dengan ayat 7 dapat ditambah dengan sepertiga jika terpidana ketika melakukan kejahatan, belum lewat 2 (dua) tahun sejak men¬jalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan padanya.b. Dalam hal pengulangan kejahatan yang dimaksud dalam ayat 1 diancam dengan pidana denda, maka pidana denda tersebut dikalikan dua.

- Dari rumusan diatas terlihat, bahwa UU Narkotika me¬nganut juga sistem recidive khusus yaitu, baik tindak pidana yang diulangi maupun tenggang waktu pengulangannya sudah tertentu.

- Adapun sistem pemberatan pidananya, ialah:a) Untuk pidana penjara : ditambah sepertiga dari ancaman maximum.b) Untuk pidana denda : dilipatkan dua kali.

Page 9: GABUNGAN DELIK

2. Recidive pelanggaran diluar KUHP terdapat antara lain didalam:a. Pasal 11 (5) Ordonansi Perlindungan Cagar Alam (Natuurbesehermingsondonnantie) S. 1941 No.167;b. Pasal 18 (2) Undang-undang Kerja No.12 Tahun 1948 jo UU No.1 tahun 1951;c. Pasal 32 (2) dan 33 (2) Undang-undang Lalu Lin¬tas dan Angkutan Jalan Raya No.3 Tahun 1965.

- Dalam peraturan-peraturan tersebut juga dianut sistem recidive khusus.

- Tenggang waktu pengulangannya ada yang 1 tahun dan ada yang 2 tahun; sedangkan pemberatan pidananya ada yang ditambah separuh, sepertiga dan ada yang dilipat¬gandakan (dikalikan dua).

ALASAN HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT DAN MENJALANKAN PIDANA

• Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut PidanaKewenangan menuntut pidana dapat hapus dengan alasan-alasan sebagai berikut:1. Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan.Dalam Bab VII Pasal 72-75 diatur mengenai siapa saja yang berhak mengadu dan tenggang waktu pengaduan. Namun ada pasal-pasal khusus mengenai delik aduan ini, yaitu Pasal 284 (perzinahan) yang berhak mengadu adalah suami/istrinya, dan Pasal 332 (melarikan wanita) yang berhak mengadu adalah :

a. jika belum cukup umur oleh wanita yang bersangkutan atau orang yang memberikan izin bila wanita itu kawin, b. jika sudah cukup umur oleh wanita yang bersangkutan atau suaminya.

2. Ne bis in idem (telah dituntut untuk kedua kalinya)Ne bis in idem yang diatur dalam Pasal 76 KUHP ini disyaratkan:

a. telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetapb. orang terhadap siapa putusan itu dijatuhkan adalah samac. perbuatan yang dituntut adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu.

3. Matinya terdakwa (Pasal 77)Mau dijelasin apalagi, orang yang udah mati ya sudah. Hukum pidana tidak mengenal pewarisan hukuman. Namun untuk kasus koruptor yang mati dalam proses persidangan, PU dapat mengajukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.

4. DaluwarsaPasal 78 mengatur tenggang waktu, yaitu:

a. untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan sesudah 1 tahun.b. untuk kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara maksimal 3 tahun, daluwarsanya sesudah 6 tahun. c. untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun, daluwarsanya 12 tahun.d. untuk kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, daluwarsanya sesudah 18 tahun.

Page 10: GABUNGAN DELIK

- Daluwarsa ini berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan kecuali hal-hal tertentu, seperti ditangguhkan karena ada perselisihan dalam hukum perdata.Sebagai contoh daluwarsa: A melakukan tindak pidana pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) pada tanggal 1 Januari 2004 yang diancam pidana maksimal 15 tahun penjara. Jika A kemudian menghilang dan tidak tertangkap polisi, maka kewenangan penuntutan terhadap A akan berakhir setelah waktu 12 tahun (1 Januari 2016).

5. Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (Pasal 82).

6. Ada abolisi atau amnestyDengan pemberian amnesti, semua akibat hukum pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana dihapuskan. Sedangkan dengan pemberian abolisi, hanya dihapuskan penuntutan terhadap mereka. Oleh karena itu, abolisi hanya dapat diajukan sebelum adanya putusan.

• Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana- Menurut KUHP, kewenangan menjalankan pidana dapat hapus karena beberapa hal, yaitu:

1. Matinya terdakwa (Pasal 83)2. Daluwarsa (Pasal 84-85)Tenggang waktu daluwarsanya adalah sebagai berikut:a. semua pelanggaran daluwarsanya 2 tahunb. kejahatan percetakan daluwarsanya 5 tahunc. kejahatan lainnya daluwarsanya sama dengan daluwarsa penuntutan ditambah 1/3d. pidana mati tidak ada daluwarsa

Daluwarsa dihitung mulai keesokan harinya sesudah putusan hakim dapat dijalankan.Sebagai contoh, A melakukan tindak pidana perkosaan (Pasal 285) yang diancam dengan pidana penjara maksimal 12 tahun. A kemudian disidangkan dan diputus pidana penjara 10 tahun oleh hakim pada tanggal 1 Januari 2004. Sebelum menjalankan pidana, A kemudian melarikan diri. Maka bagi A batas tenggang waktu dia untuk tidak menjalankan pidana penjara adalah daluwarsa penuntutan di tambah 1/3 (12 tahun + (1/3 X 12 tahun)). Sehingga A “bebas” dari menjalankan pidana penjara kalau dia “berhasil” melarikan diri selama 16 tahun atau setelah tanggal 1 Januari 2020.

3. GrasiGrasi diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1950. Grasi tidak menghilangkan putusan hakim yang bersangkutan, tetapi pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi. Oleh karena itu, grasi dapat berupa

(a) tidak mengeksekusi seluruhnya, (b) hanya mengeksekusi sebagian, dan (c) mengganti jenis pidana/komutasi.

4. Kadaluwarsa.Rancangan KUHP mengatur bahwa kewenangan pelaksanaan pidana penjara gugur karena kadaluwarsa setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu kedaluwarsa

Page 11: GABUNGAN DELIK

kewenangan menuntut ditambah 1/3 dari tenggang waktu kedaluwarsa tersebut (Pasal 147 ayat (1)).

Termasuk dalam hal ini pidana mati yang kemudian diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara. Sedangkan pelaksanaan pidana mati tidak mempunyai tenggang waktu kadaluwarsa.

DELIK ADUAN

• dalam KUHP Bab VII Kitab Undang Undang Hukum Pidana tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan.

• Pengaduan merupakan hak dari korban untuk diadakan penuntutan atau tidak dilakukan penuntutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu dalam perkara delik aduan diberikan jangka waktu pencabutan perkara yang diatur dalam Pasal 75 KUHP. Hal ini dilakukan agar korban dapat mempertimbangkan dengan melihat dampak yang akan ditimbulkan bagi korban apabila perkara tersebut tetap dilanjutkan, diadakanya delik aduan tersebut untuk melindungi pihak yang dirugikan dan memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat

• Pengaduan : pemberitahuan disertai permohonan dari pihak yg merasa dirugikan utk menindak org yg diadukanLaporan : pemberitahuan, karena hak dan kewajiban seseorang, karena adanya atau akan atau telah adanya suatu tindak pidana.

• Perbedaan pengaduan dan laporan1. Aduan hanya berupa hak, sedangkan laporan berupa hak dan kewajiban2. Pengaduan hanya untuk delik aduan, yg semuanya untuk kejahatan3. Aduan hanya dapat dilakukan oleh orang yang berhak mengadu, sedangkan laporan boleh oleh siapa saja4. Pengaduan merupakan syarat utk adanya penuntutan, sedangkan laporan boleh ada atau tidak.5. Pengaduan terikat oleh tenggat waktu 6 bulan utk org di Indonesia, dan 9 bulan utk org diluar Indonesia, kecuali untuk perbuatan cabul (9 dan 12), sedangkan laporan tidak.6. Pengaduan dapat ditarik kembali dalam waktu 3 bulan(kec. Perzinahan) sedangkan laporan tidak dapat ditarik kembali.

• Dalam delik aduan ada yang bersifat absolut atau dengan kata lain yang benar-benar diatur oleh KUHP dan Delik aduan yang bersifat relatif. Perbedaannya adalah :1. Delik aduan absolute, diajukan terhadap kejahatannya, sedangkan aduan relative pada orangnya.2. Delik aduan absolute, dapat dilakukan penuntutan terhadap orang yg tidak tercantum dalam pengaduan, sedangkan yang relative orang yang tidak tercantum tidak dapat dituntut.

• Contoh delik aduan absolut adalah sebagai berikut :a. pencurian dalam keluarga dan pencurian dalam waktu pisah meja-ranjang (schidding van tavel en bed, terdapat pada Pasal 367 ayat (2)KUHP);b. perzinahan (overspelling bagi yang sudah menikah yang diadukan istri atau suami, terdapat

Page 12: GABUNGAN DELIK

pada Pasal 284 KUHP);c. terkait hal membuka rahasia (terdapat pada Pasal 323 KUHP); dan lain-lain.maka faktor penyebab pencabutan pengaduan terhadap delik adua absolut adalah di karenakan korban tidak menginginkan aibnya diketahui oleh masyarakat luas yang menimbulkan efek pencemaran nama baik bagi korban. Kedua karena adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dengan memenuhi hak korban dalam bentuk ganti kerugian dengan sejumlah uang atau memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh korban

• Delik aduan relatif - Pada hakikatnya delik aduan relatif merupakan delik biasa yang berhubungan dengan keluarga maka delik tersebut menjadi delik aduan yang hanya bisa dilakukan penuntutan apabila ada pengaduan dari korban. - contohnya terdapat pada :a. penghinaan; danb. penipuan.

- Sedangkan faktor penyebab pencabutan pengaduan terhadap delik aduan relatif adalah korban tidak ingin citra keluarganya menjadi buruk dimata masyarakat kemudian karena adanya kesepakatan bersama dalam keluarga untuk mencabut perkara tersebut

• Mengenai proses pelaksanaan pencabutan pengaduan dapat dilakukan pada tahap penyidikan, pemeriksaan berkas perkara (Pra Penuntutan) dan pemeriksaan dimuka persidangan, selama jangka waktu pencabutan pengaduan masih beraku.

• Akibat hukum yang ditimbulkan apabila pengaduan itu dicabut ialah tehadap pencabutan pengaduan yang bersifat absolut maka penuntutanya pun menjadi batal.

• Pencabutan pengaduan terhadap delik aduan absolut menjadi syarat mutlak untuk tidak dilakukan penuntutan. Sedangkan terhadap delik aduan relatif pencabutan pengaduan dapat diakukan, tetapi proses pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan baik dalam tahap penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan dimuka pengadilan.

• Delik aduan bisa ditarik kembali apabila si pelapor menarik pengaduannya dalam jangka waktu 3 bulan setelah pengaduan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 75 KUHP, kecuali perzinahan bagi pasangan yang sudah menikah dapat ditarik sampai dengan pemeriksaan pengadilan belum dimulai sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 284 ayat (4) KUHP.