gagal jantung kronis
DESCRIPTION
dataTRANSCRIPT
GAGAL JANTUNG KRONIS
Pasien gagal jantung biasanya datang dalam keadaan sudah kronis, dengan keluhan
yang dirasakan bertambah berat sehingga pasien datang ke dokter. Untuk menegakkan
diagnosis pasien dengan gagal jantung kronis, perlu penggalian anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang cermat, juga didukung dengan pemeriksaan penunjang dari yang sederhana sampai
pemeriksaan teknologi terkini, diharapkan dengan demikian akan terwujud penatalaksanaan
gagal jantung kronis yang optimal.
Kemampuan fungsional penderita dengan gagal jantung didapat melalui anamnesa yang
cermat, atau jika memungkinkan melalui test saat aktivitas. Analisis udara ekspirasi saat
beraktivitas adalah pemeriksaan gold-standard untuk mengukur keterbatasan fisik seseorang.
Test ini tidak umum dilakukan diluar senter-senter transplantasi jantung. Untuk
mempermudah hal klasifikasi fungsional NYHAmengklasifikasikan gagal jantung menjadi 4
kelas fungsional yang dapat ditentukan melalui anamnesa, klasifikasi ini dapat dilihat pada
tabel 1.1.
Berdasarkan klasifikasi NYHA pasien yang dapat berjalan beberapa ratus meter tanpa
gejala namun kesulitan menaiki tangga 2 lantai memiliki gagal jantung kelas II, sementara
pasien yang tidak mampu berjalan jauh atau kesulitan saat menaiki beberapa anak tangga
dapat dimasukan kedalam kelas III. Klasifikasi fungsional gagal jantung menurut NYHA
tidak dapat dicampur-adukkan dengan stadium gagal jantung menurut ACC/AHA yang
sebelumnya dibahas. Klasifikasi NYHA didasarkan pada limitasi fungsional, sementara
stadium gagal jantung menurut ACC/AHA didasarkan pada progresi gagal jantung, terlepas
dari status fungsionalnya.
Tabel 1.1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural (ACC/AHA) atau berdasarkan gejala, berdasarkan kelas fungsionalnya (NYHA)
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan struktural dan
kerusakan otot jantung.
Beratnya gagal jantung berdasarkan gejala dan aktivitas
fisik.
Stage
A
Memiliki risiko tinggi mengembangkan
gagal jantung. Tidak ditemukan kelainan
struktural atau fungsional, tidak terdapat
tanda/gejala.
Kelas
I
Aktivitas fisik tidak terganggu, aktivitas yang
umum dilakukan tidak menyebabkan kelelahan,
palpitasi, atau sesak nafas.
Stage Secara struktural terdapat kelainan jantung Kelas Aktivitas fisik sedikit terbatasi. Saat istirahat
B
yang dihubungkan dengan gagal jantung,
tapi tanpa tanda/gejala gagal jantung. II
tidak ada keluhan. Tapi aktivitas fisik yang
umum dilakukan mengakibatkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas.
Stage
C
Gagal jantung bergejala dengan kelainan
struktural jantung. Kelas
III
Aktivitas fisik sangat terbatasi. Saat istirahat
tidak ada keluhan. Tapi aktivitas ringan
menimbulkan rasa lelah, palpitasi, atau sesak
nafas.
Stage
D
Secara struktural jantung telah mengalami
kelainan berat, gejala gagal jantung terasa
saat istirahat walau telah mendapatkan
pengobatan.
Kelas
IV
Tidak dapat beraktivitas tanpa menimbulkan
keluhan. Saat istirahat bergejala. Jika
melakukan aktivitas fisik, keluhan bertambah
berat.
Dikutip dari: Mann DL4
DIAGNOSIS GAGAL JANTUNG KRONIS
TANDA DAN GEJALA GAGAL JANTUNGPemeriksaan klinis gagal jantung selalu dimulai dari anamnesa dan pemeriksaan fisik,
yang hingga kini tetap menjadi ujung tombak evaluasi gagal jantung. Prinsip dan teknik
pemeriksaan yang benar harus dikuasai, sehingga riwayat gagal jantung yang objektif dapat
digali secara detail.1
- ANAMNESAGejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat aktivitas, dan lelah.1,5
Keluhan lelah secara tradisional dianggap diakibatkan oleh rendahnya kardiak output pada
gagal jantung, abnormalitas pada otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya seperti
anemia dapat pula memberikan kontribusi. Gagal jantung pada tahap awal, sesak hanya
dialami saat pasien beraktivitas berat, seiring dengan semakin beratnya gagal jantung, sesak
terjadi pada aktivitas yang semakin ringan dan akhirnya dialami pada saat istirahat. Penyebab
dari sesak ini kemungkinan besar multifaktorial, mekanisme yang paling penting adalah
kongesti paru, yang diakibatkan oleh akumulasi cairan pada jaringan intertisial atau
intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang
menstimulasi pernafasan pendek dan dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dypnea.
Faktor lain yang dapat memberikan kontribusi pada timbulnya sesak antara lain adalah
kompliance paru, meningkatnya tahanan jalan nafas, kelelahan otot respiratoir dan
diagfragma, dan anemia. Keluhan sesak bisa jadi semakin berkurang dengan mulai timbulnya
gagal jantung kanan dan regurgitasi trikuspid.1
- ORTHOPNU DAN PAROXYSMAL NOCTURNAL DYSPNEA
Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur mendatar, dan
biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan sesak saat aktivitas.1
Gejala ortopnu biasanya menjadi lebih ringan dengan duduk atau dengan menggunakan
bantal tambahan. Ortopnu diakibatkan oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan
ekstrimitas bawah kedalam sirkulasi sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan
meningkatnya tekanan kapiler paru. Batuk-batuk pada malam hari adalah salah satu
manisfestasi proses ini, dan seringkali terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau
orthopnea merupakan gejala yang relatif spesifik untuk gagal jantung, keluhan ini dapat pula
dialami pada pasien paru dengan obesitas abdomen atau ascites, dan pada pasien paru dengan
mekanik kelainan paru yang memberat pada posisi tidur.1
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan batuk yang
umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidurnya, biasanya terjadi
1 hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi PND antara lain batuk atau mengi,
umumnya diakibatkan oleh meningkatnya tekanan pada arteri bronchialis yang
mengakibatkan kompresi jalan nafas,disertai edema pada intersitial paru yang mengakibatkan
meningkatnya resistensi jalan nafas. Keluhan orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak
pada sisi tempat tidur dengan kaki menggantung, pada pasien dengan keluhan PND, keluhan
batuk dan mengi yang menyertai seringkali tidak menghilang, walau sudah mengambil posisi
tersebut. Gejala PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac Asthma(asma cardiale)
berhubungan erat dengan timbulnya PND, yang ditandai dengan timbulnya wheezing
sekunder akibat bronchospasme, hal ini harus dibedakan dengan asma primer dan penyebab
pulmoner wheezing lainnya.5
- EDEMA PULMONER AKUT
Hal ini diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga alveolar sebagai akibat
meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler paru secara akut sekunder akibat menurunnya
fungsi jantung atau meningkatnya volume intravaskular. Manisfestasi edema paru dapat
berupa batuk atau sesak yang progresif. Edema paru pada gagal jantung yang berat dapat
bermanifestasi sebagai sesak berat disertai dahak yang disertai darah. Jika tidak diterapi
secara cepat, edema pulmoner akut dapat mematikan.5
- RESPIRASI CHEYNE STOKES
Dikenal pula sebagai respirasi periodik atau siklik, adalah temuan umum pada gagal
jantung yang berat, dan umumnya dihubungkan dengan kardiak output yang rendah.
Respirasi cheyne-stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas pusat respirasi terhadap
kadar PCO2 arteri. Terdapat fase apnea, dimana PO2 arteri jatuh dan PCO2 arteri meningkat.
Perubahan pada gas darah arteri ini menstimulasi pusat nafas yang terdepresi dan
mengakibatkan hiperventiasi dan hipokapni, yang diikuti kembali dengan munculnya apnea.
Respirasi cheyne-stokes dapat dicermati oleh pasien atau keluarga pasien sebagai sesak nafas
berat atau periode henti nafas sesaat.5
- GEJALA LAINNYA
Pasien dengan gagal jantung juga dapat muncul dengan gejala gastrointestinal.
Anorexia, nausea, dan rasa cepat kenyang yang dihubungkan dengan nyeri abdominal dan
kembung adalah gejala yang sering ditemukan, dan bisa jadi berhubungan dengan edema dari
dinding usus dan/atau kongesti hati. Kongesti dari hati dan pelebaran kapsula hati dapat
mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan atas. Gejela serebral seperti kebingungan,
disorientasi, gangguan tidur dan emosi dapat diamati pada pasien dengan gagal jantung berat,
terutama pada pasien lanjut usia dengan arteriosklerosis serebral dan berkurangnya perfusi
serebral. Nocturia juga umum ditemukan dan dapat memperberat keluhan insomnia.5
Manisfestasi tanda dan gejala klinis gagal jantung yang diutarakan diatas sangatlah
bervariasi. Sedikit yang spesifik untuk gagal jantung, sensitivitasnya rendah dan semakin
berkurang dengan pengobatan jantung.1 Pada tabel 1.2. dibawah ini menunjukkan sensitivitas
dan spesifitas berbagai tanda dan gejala tersebut. Walau orthopnea dan paroxysmal nocturnal
dyspeu relatif spesifik untuk gagal jantung, gejala tersebut tidak sensitif untuk diagnosis
gagal jantung. Banyak orang dengan gagal jantung tidak memiliki gejala ini pada anamnesa.
Tidak jauh berbeda, tekanan vena jugular yang meningkat sangat spesifik, tapi tidak sensitif
dan membutuhkan keahlian klinis untuk deteksi tepat.
Tabel 1.2 Sensitivitas dan Spesifitas Tanda dan Gejala Gagal Jantung pada pasien yang dianggap memiliki gagal jantung (Ejeksi Fraksi < 40%) pada 1306 pasien Penyakit Jantung Koroner yang menjalani Angiography Koroner.
Tanda dan Gejala Gagal Jantung Sensitivitas (%)
Spesifitas (%)
(+) Predictive Value (%)
Anamnesa
Mudah sesak 66 52 23 Orthopnea 21 81 2 Nocturnal dyspnea 33 76 26 Riwayat bengkak 23 80 22Pemeriksaan Fisik Takikardi 7 99 6 Ronkhi 13 99 6 Edema 10 93 3 Ventricular gallop (S3) 31 95 61 Distensi Vena Jugularis 10 97 2Thorax Foto (Chest X-Ray) Cardiomegaly 62 67 32Anamnesa 66 52 23 Mudah sesak 21 81 2 Orthopnea 33 76 26 Nocturnal dyspnea 23 80 22
Dikutip dari: Harlan WR dkk.13
Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara luas.
Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor
disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak
berhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati,
atau sindroma nefrotik. 1 Kriteria mayor dan minor dari Framingham untuk gagal jantung
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal JantungKriteria Mayor:Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopneaDistensi vena leherRales paruKardiomegali pada hasil rontgenEdema paru akutS3 gallopPeningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kananHepatojugular refluxPenurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan gagal jantungKriteria Minor:Edema pergelangan kaki bilateralBatuk pada malam hariDyspnea on ordinary exertionHepatomegali
Efusi pleuraTakikardi ≥ 120x/menit
Dikutip dari: Mann DL4
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang cermat harus selalu dilakukan dalam mengevaluasi pasien
dengan gagal jantung. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan apa
penyebab gagal jantung dan juga untuk mengevaluasi beratnya sindroma gagal jantung.
Memperoleh informasi tambahan mengenai profil hemodinamik, sebagai respon terhadap
terapi dan menentukan prognosis adalah tujuan tambahan saat pemeriksaan fisik.4
KEADAAN UMUM DAN TANDA VITAL
Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak memiliki keluhan,
kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar selama lebih dari beberapa menit. Pada
pasien dengan gagal jantung yang lebih berat, pasien bisa memiliki upaya nafas yang berat
dan bisa kesulitan untuk menyelesaikan kata-kata akibat sesak. Tekanan darah sistolik bisa
normal atau tinggi, tapi pada umumnya berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi LV
yang sangat menurun. Tekanan nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke
volume, dan tekanan diastolik arteri bisa meningkat sebagai akibat vasokontriksi sistemik.
Sinus tachycardia adalah gejala non spesifik yang diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang
meningkat. Vasokontriksi perifer mengakibatkan ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan
sianosis dari bibir dan ujung jari juga diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang berlebihan.5
PEMERIKSAAN VENA JUGULARIS DAN LEHER
Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium kanan, dan
secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan tekanan vena jugularis dinilai
terbaik saat pasien tidur dengan kepala diangkat dengan sudut 45o. Tekanan vena jugularis
dihitung dengan satuan sentimeter H2O (normalnya kurang dari 8 cm), dengan
memperkirakan tinggi kolom darah vena jugularis diatas angulus sternalis dalam centimeter
dan menambahkan 5 cm (pada postur apapun). Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena
jugularis bisa normal saat istirahat, tapi dapat secara abnormal meningkat saat diberikan
tekanan yang cukup lama pada abdomen (refluk hepatojugular positif). Giant V wave
menandakan keberadaan regurgitasi katup trikuspid.4
PEMERIKSAAN PARU
Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan dari
rongga intravaskular kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki dapat didengar
pada kedua lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing ekspiratoar (asma kardiale). Jika
ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi spesifik untuk gagal jantung. Walau
demikian harus ditekankan bahwa ronkhi seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan
gagal jantung kronik, bahkan ketika pulmonary capilary wedge pressure kurang dari 20
mmHg, hal ini karena pasien sudah beradaptasi dan drainase sistem limfatik cairan rongga
alveolar sudah meningkat. Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan sistem
kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pada
pleura bermuara pada vena sistemik dan pulmoner, effusi pleura paling sering terjadi pada
kegagalan kedua ventrikel (biventricular failure). Walau effusi pleura biasanya ditemukan
bilateral, angka kejadian pada rongga pleura kanan lebih sering daripada yang kiri.4
PEMERIKSAAN JANTUNG
Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat memberikan informasi yang
berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat kardiomegali, titik impulse maksimal
(ictus cordis) biasanya tergeser kebawah intercostal space (ICS) ke V, dan kesamping
(lateral) linea midclavicularis. Hipertrofi ventrikel kiri yang berat mengakibatkan pulsasi
prekodial (ictus) teraba lebih lama (kuat angkat). Pemeriksaan pulsasi prekordial ini tidak
cukup untuk mengevaluasi beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa pasien, bunyi
jantung ketiga dapat didengar dan teraba pada apex.1
Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan mengalami hipertrofi dapat
memiliki impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang sistole pada parasternal kiri (right
ventricular heave).Bunyi jantung ketiga (gallop) umum ditemukan pada pasien dengan
volume overload yang mengalami tachycardia dan tachypnea, dan seringkali menunjukkan
kompensasi hemodinamik yang berat. Bunyi jantung keempat bukan indikator spesifik gagal
jantung, tapi biasanya ada pada pasien dengan disfungsi diastolik. Murmur regurgitasi mitral
dan trikuspid umumnya ditemukan pada pasien dengan gagal jantung yang lanjut.4
PEMERIKSAAN ABDOMEN DAN EKSTRIMITAS
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien dengan gagal
jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba lunak dan dapat berpulsasi
saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid. Ascites dapat timbul sebagai akibat
transudasi karena tingginya tekanan pada vena hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam
drainase peritenium.4
Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium lanjut,
biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal jantung diakibatkan
terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti (bendungan) hepar dan hipoksia
hepatoselular.4
Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau demikian
tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah mendapat diuretik.
Edema perifer pada pasien gagal jantung biasanya simetris, beratnya tergantung pada gagal
jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial
pada pasien yang masih beraktivitas. Pada pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada
sakrum dan skrotum. Edema yang berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang
mengeras dan pigmentasi yang bertambah.4
KAKEKSIA KARDIAK
Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditemukan riwayat penurunan berat badan
dan kaheksia. Walau mekanisme kakeksia tidak sepenuhnya dimengerti, kemungkinan besar
faktor penyebabnya adalah multifaktorial, termasuk didalamnya adalah meningkatnya basal
metabolik rate, anorexia, nausea, dan muntah-muntah yang diakibatkan oleh hematomegali
hepatomegali dan rasa penuh di abdomen, meningkatnya konsentrasi sitokin pro-inflamasi
yang bersirkulasi, dan terganggunya absorpsi pada saluran cerna akibat kongesti vena
intestinal. Jika terdapat kakeksia maka prognosis gagal jantung akan semakin memburuk.4
TEST DIAGNOSTIK PADA GAGAL JANTUNG KRONIS
Seperti yang dapat dilihat pada tabel sensitifitas dan spesifitas pemeriksaan klinis baik
pada anamnesa dan pemeriksaan fisik dalam mendiagnosa gagal jantung relatif rendah.
Karenanya pemeriksaan penunjang memiliki peranan penting dalam mendiagnosa gagal
jantung. Tujuan dilakukannya pemeriksaan penunjang antara lain : (1) menentukan apakah
terdapat kelainan jantung baik struktural atau fungsional yang dapat menjelaskan gejala
pasien, (2) mengidentifikasi kelainan yang dapat diatasi oleh intervensi spesifik, dan (3)
menentukan berat dan prognosis gagal jantung.4
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara lain
adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum & kreatinine, SGOT/PT, dan
BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung karena
beberapa alasan berikut : (1) untuk mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi gangguan
elektrolit (hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan
(4) untuk mengukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan hemodinamik).4
Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung ringan-sedang, namun dapat
menjadi abnormal pada gagal jantung berat ketika dosis obat ditingkatkan. Kadar serum
kalsium biasanya normal, tapi penggunaan diuretik kaliuretik seperti thiazid atau loop
diuretik dapat mengakibatkan hipokalemia. Derajat hiponatremia juga merupakan penanda
beratnya gagal jantung, hal ini dikarenakan kadar natrium secara tidak langsung
mencerminkan besarnya aktivasi sistem renin angiotensin yang terjadi pada gagal jantung.
Selain itu, rektriksi garam bersamaan dengan terapi diuretik yang intensif dapat
mengakibatkan hiponatremia. Gangguan elektrolit lainnya termasuk hipofasfatemia,
hipomagnesemia, dan hiperurisemia.4
Anemia dapat memperburuk gagal jantung karena akan menyebabkan meningkatnya
kardiak output sebagai kompensasi memenuhi metabolisme jaringan, hal ini akan
meningkatkan volume overload miokard. Penelitian juga telah menunjukkan bahwa anemia
(kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25% penderita gagal jantung.
Pemeriksaan Biomarker BNP sangat disarankan untuk diperiksa pada semua pasien
yang dicurigai gagal jantung untuk menilai beratnya gangguan hemodinamik dan untuk
menentukan prognosis. Biomarker Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dan BNP disekresikan
sebagai respon terhadap meningkatnya tekanan pada dinding jantung dan/atau neurohormon
yang bersirkulasi. Karena ANP memiliki waktu paruh yang pendek, hanya NT-ANP yang
secara klinis berguna. Untuk BNP, N-Terminal Pro-BNP dan BNP memiliki nilai klinis yang
bermakna. Kadar ANP dan BNP meningkat pada pasien dengan disfungsi sistolik, sementara
disfungsi diastolik peningkatan kadarnya lebih rendah. Pada disfungsi sistolik, kadar BNP
ditunjukan berbanding lurus dengan wall stress, ejeksi fraksi, dan klasifikasi fungsional.
Pemeriksaan BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal jantung berdasarkan kelas
fungsionalnya.1
Gambar 4. Kadar BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal jantung menurut kelas
fungsionalnya. Dikutip dari: Maisel AS dkk.1
Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi ventrikel dan gagal
jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama pada glomerular filtration rate (GFR),
menurut NYHA adalah prediktor mortalitas yang lebih kuat dibandingkan klasifikasi kelas
fungsional.4
Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal jantung sebagai akibat
hepatomegali yang menyertai. Aspartate aminotransferase (AST/SGOT) dan alanine
aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin time (PT) dapat memanjang,
dan pada sebagian kecil kasus dapat terjadi hiperbilirubinemia.4
Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien dengan gagal jantung untuk mencari
infeksi bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri. Konsentrasi dan volume urine harus
mendapat perhatian seksama terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan yang
mendapat diuretik.4
PEMERIKSAAN FOTO TORAKS
Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan dibidang kardiologi, selain
menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan perfusi dari paru dapat dievaluasi.
Kardiomegali dapat dinilai melalui CXR, cardiothoracic ratio (CTR) yang lebih dari 50%,
atau ketika ukuran jantung lebih besar dari setengah ukuran diameter dada, telah menjadi
parameter penting pada follow-up pasien dengan gagal jantung. Bentuk dari jantung menurut
CXR dapat dibagi menjadi ventrikel yang mengalami pressure-overload atau volume-
overload, dilatasi dari atrium kiri dan dilatasi dari aorta asenden. 4
Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan memiliki gambaran hipertensi
pulmonal dan/atau edema paru intersitial, sementara pasien dengan gagal jantung kronik tidak
memilikinya. Kongesti paru pada CXR ditandai dengan adanya Kerley-lines, yaitu gambaran
opak linear seperti garis pada lobus bawah paru, yang timbul akibat meningkatnya kepadatan
pada daerah interlobular intersitial akibat adanya edema. Edema intersitial dan perivaskular
terjadi pada dasar paru karena tekanan hidrostatik di daerah tersebut lebih tinggi. Temuan
tersebut umumnya tidak ditemukan pada pasien gagal jantung kronis, hal ini dikarenakan
pada gagal jantung kronis telah terjadi adaptasi sehingga meningkatkan kemampuan sistem
limfatik untuk membuang kelebihan cairan interstitial dan/atau paru. Hal ini konsisten dengan
temuan tidak adanya ronkhi pada kebanyakan pasien gagal jantung kronis, walau tekanan
arteri pulmonal sudah meningkat. Keberadaan dan beratnya effusi pleura juga merupakan
informasi penting dalam evaluasi pasien dengan gagal jantung, dan terbaik dinilai melalui
CXR dan CT-scan.3 Temuan pada foto toraks dengan penyebab dan implikasi klinisnya dapat
di lihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Temuan pada Foto Toraks , Penyebab dan Implikasi Klinis
Kelainan Penyebab Implikasi Klinis
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel
kanan, atria, efusi perikard
Ekhokardiografi, doppler
Hipertropi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta,
kardiomiopati hipertropi
Ekhokardiografi, doppler
Kongesti vena paru Peningkatan tekanan pengisian
ventrikel kiri
Gagal jantung kiri
Edema interstisial Peningkatan tekanan pengisian
ventrikel kiri
Gagal jantung kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan
peningkatan pengisian tekanan
jika ditemukan bilateral, infeksi
paru, keganasan
Pikirkan diagnosis non kardiak
Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik Mitral stenosis atau gagal jantung
kronis
Dikutip dari : Mann DL dkk. 4
ELEKTROKARDIOGRAMPemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk setiap pasien yang
dicurigai gagal jantung.1 Dampak diagnostik elektrokardiogram (ECG) untuk gagal jantung
cukup rendah, namun dampaknya terhadap terapi cukup tinggi.1 Temuan EKG yang normal
hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung.1 Gagal jantung dengan perubahan
EKG umum ditemukan. Temuan seperti gelombang Q patologis, hipertrofi ventrikel kiri
dengan strain, right bundle branch block (RBBB), left bundle branch block (LBBB), AV
blok, atau perubahan pada gelombang T dapat ditemukan. Gangguan irama jantung seperti
takiaritmia supraventrikuler (SVT) dan fibrilasi atrial (AF) juga umum. Ekstrasistole
ventrikular (VES) dapat sering terjadi dan tidak selalu menggambarkan prognosis yang
buruk, sementara takikardi ventrikular sustained dan nonsustained dapat dianggap sebagai
sesuatu yang membahayakan. Jenis aritmia seperti ini biasanya tidak terdeteksi pada resting
ECG tapi dapat terdeteksi pada monitoring holter 24- atau 48- jam.4
PEMERIKSAAN UJI LATIH BEBAN JANTUNG
Pemeriksaan uji latih beban jantung (ULBJ) ini memiliki keterbatasan dalam diagnosis
gagal jantung, walau demikian hasil yang normal pada pasien yang tidak mendapat terapi
hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung. Nilai pemeriksaan ini adalah dalam
penilaian kapasitas fungsional dan stratifikasi prognosis. Kapasitas fungsional ditentukan
melalui aktivitas yang secara progresif ditingkatkan hingga pasien tidak dapat meneruskan.
Pada saat aktivitas maksimal, uptake maksimal oksigen (Vo2 MAX) dapat dihitung. Parameter
ini mencerminkan kemampuan aerobik pasien dan berkorelasi dengan mortalitas
kardiovaskular pada pasien dengan gagal jantung.1, Pemeriksaan ini juga memungkinkan
untuk menentukan ambang batas metabolisme anaerob, yaitu titik dimana metabolisme
pasien beralih dari aerob ke anaerob, yang menghasilkan laktat berlebih. Secara praktis
prinsip perhitungannya ULJB dihentikan ketika : (1) Vo2 tidak meningkat lagi saat intensitas
latihan ditingkatkan, (2) pasien menghentikan latihan karena timbulnya gejala berat seperti
sesak atau letih. Hasil dari ULBJ memiliki arti prognostik yang penting. Puncak Vo2 <10
ml/kg/menit dikategorikan sebagai pasien berisiko tinggi, >18 ml/kg/menit adalah pasien
berisiko ringan. Nilai diantaranya adalah zona abu-abu dengan risiko sedang. Data prognostik
untuk puncak Vo2 pada wanita masih terbatas. Nilai Vo2 max digunakan sebagai batasan
untuk menentukan kapan pasien dengan gagal jantung yang progresif harus dipertimbangkan
untuk menjalani transplantasi jantung. Walau demikian harus tetap diingat bahwa puncak Vo2
max dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, massa otot, dan status pelatihan aerobik. Hal
ini menjelaskan mengapa pada beberapa pasien dengan Vo2 max yang rendah (<14
ml/kg/menit) masih tetap memiliki prognosis yang cukup baik. Karena hal tersebut beberapa
peneliti telah mengusulkan angka prediksi persentase Vo2 dibandingkan nilai absolut Vo2
max.1
Karena pasien dengan gagal jantung umumnya memiliki kemampuan latihan yang
terbatas dan ULBJ tidak ditoleransi baik oleh banyak pasien, latihan submaksimal atau
symptom-driven exercise test yang dikenal dengan 6-minutes walking test menjadi popular
digunakan untuk evaluasi rutin. Pada test ini diukur jarak yang dapat ditempuh dalam 6 menit
pada koridor yang datar dimana pasien dapat berjalan sesuai kemampuannya, berjalan lebih
pelan, lebih cepat, atau berhenti. Test ini memperkirakan puncak Vo2 max dan merupakan
faktor independen yang berhubungan erat dengan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.
Karena kemudahan-nya, test ini semakin sering digunakan pada uji klinis multisenter untuk
menilai efektivitas suatu terapi.
ECHOCARDIOGRAPHY
Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik umum digunakan untuk
menilai anatomi dan fungsi jantung, myokardium dan perikadium, dan mengevaluasi gerakan
regional dinding jantung saat istirahat dan saat diberikan stress farmakologis pada gagal
jantung. Pemeriksaan ini non-invasif, dapat dilakukan secara cepat di tempat rawat, dapat
dengan mudah diulang secara serial, dan memungkinkan penilaian fungsi global dan regional
ventrikel kiri. Pada penilaian gagal jantung echocardiography adalah metode diagnostik yang
dapat dipercaya, dapat diulang, dan aman dengan banyak fitur seperti doppler echo, doppler
tissue imaging, strain rate imaging, dan cardiac motion analysis.4
Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian Left-ventricular
ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi
diastolik.3 Echo dua dimensi sangat berharga dalam menilai fungsi sistolik dan diastolik pada
pasien dengan gagal jantung. Tabel 4 mendeskripsikan temuan ekokardiografi yang sering
ditemukan pada gagal jantung.
Tabel 4. Temuan Echocardiography pada Gagal Jantung
TEMUAN UMUM DISFUNGSI SISTOLIK DISFUNGSI DIASTOLIK
Ukuran dan bentuk ventrikel
Ejeksi fraksi ventikel kiri
(LVEF)
Gerakan regional dinding
jantung, synchronisitas
kontraksi ventrikular
Remodelling LV (konsentrik
vs eksentrik)
Hipertrofi ventrikel kiri atau
kanan (Disfunfsi Diastolik :
hipertensi, COPD, kelainan
katup)
Morfolofi dan beratnya
kelainan katup
Mitral inflow dan aortic
outflow; gradien tekanan
ventrikel kanan
Status cardiac output
(rendah/tinggi)
Ejeksi fraksi ventrikel kiri
berkurang <45%
Ventrikel kiri membesar
Dinding ventrikel kiri tipis
Remodelling eksentrik
ventrikel kiri
Regurgitasi ringan-sedang
katup mitral*
Hipertensi pulmonal*
Pengisian mitral berkurang*
Tanda-tanda meningkatnya
tekanan pengisian ventrikel*
Ejeksi fraksi ventrikel kiri
normal > 45-50%
Ukuran ventrikel kiri
normal
Dinding ventrikel kiri tebal,
atrium kiri berdilatasi
Remodelling eksentrik
ventrikel kiri.
Tidak ada mitral
regurgitasi, jika ada
minimal.
Hipertensi pulmonal*
Pola pengisian mitral
abnormal.*
Terdapat tanda-tanda
tekanan pengisian
meningkat.
Keterangan : * Temuan pada echo-doppler.
Dikutip dari: Mann DL4
TATALAKSANA GAGAL JANTUNG KRONIS
- TUJUAN MANAJEMEN TERAPI GAGAL JANTUNG KRONIS
Tujuan dalam mendiagnosa gagal jantung dan memberi terapi dini tidak
berbeda dengan kondisi kronis lainnya, yaitu menurunkan mortalitas dan morbiditas.
Karena angka kematian tahunan gagal jantung sangatlah tinggi, penekanan pada end-
point ini menjadi goal pada banyak tujuan uji klinis. Walau demikian pada
kebanyakan pasien, terutama orang tua, kemampuan untuk hidup mandiri, terbebas
dari gejala mengganggu yang tidak nyaman, dan menhindari perawatan adalah tujuan
yang seringkali seiring dengan keinginan untuk meningkatkan usia harapan hidup.
Upaya untuk mencegah timbulnya gagal jantung atau progresinya tetap merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari managemen terapi. Banyak uji klinis acak gagal
jantung mengevaluasi pasien dengan disfungsi sistolik dengan LVEF 35-40%.
Patokan LVEF <40% ini relatif arbitrary, dan terdapat bukti yang terbatas bahwa
gagal jantung dapat simtomatik pada antara LVEF 40-50%. 15
Dapat disimpulkan bahwa tujuan pengobatan gagal jantung antara lain :
a) Menurunkan mortalitas
b) Mempertahankan / meningkatkan kualitas hidup
c) Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresivitas kerusakan miokard,
remodelling miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung dan akumulasi cairan,
dan perawatan di rumah sakit.
ALGORITMA TATALAKSANA GAGAL JANTUNG KRONIS
Penatalaksanaan gagal jantung kronis yang dapat dipakai dapat dilihat pada
skema tata laksana gagal jantung kronik pada Gambar 5.
Gambar 5. Alrogitma yang dapat dijadikan acuan pada penatalaksanaan gagal
jantung akut. Dikutip dari:Dickstain dkk15
TERAPI NONFARMAKOLOGIS
PERAWATAN MANDIRI(SELF CARE)
Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan
dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan pasien, kapasitas fungsional,
morbiditas dan prognosis. Perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan
yang bertujuan untuk mempertahankan stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan. Untuk bisa merawat dirinya
pasien perlu diberi pelatihan baik oleh dokter atau perawat terlatih. Topik-topik penting dan
perilaku perawatan mandiri yang perlu dibahas antara lain dapat dilihat pada Tabel 5.15
Tabel 5. Topik Keterampilan Merawat Diri yang perlu dipahami penderita Gagal Jantung.
Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri
Definisi dan etiologi gagal
jantung
Memahami penyebab gagal jantung dan mengana keluhan-keluhan
timbul
Gejala-gejala dan tanda-
tanda gagal jantung
Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung
Mencatat berat badan setiap hari
Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan
Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai anjuran
Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat digunakan
Mengenal efek samping yang umum obat
Modifikasi faktor risiko Berhenti merokok, memantau tekanan darah
Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas
Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi
Rekomendasi olah raga Melakukan olah raga teratur
Kepatuhan mengikuti anjuran pengobatan
Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan membuat
keputusan realistik
Dikutip dari: Dickstain dkk15
TERAPI FARMAKOLOGIS
Pengobatan gagal jantung dengan farmakologis, secara garis besar bertujuan
mengatasi permaslahan preload, dengan menurunkan preload, meningkatkan
kontraktilitas juga menurunkan afterload. Pemilihan terapi farmakologis ini
tergantung pada penyebabnya. Selama bertahun-tahun, obat golongan diuretik dan
digoksin digunakan dalam terapi gagal jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup, namun belum terbukti menurunkan angka mortalitas.
Setelah ditemukan obat yang dapat mempengaruhi sistem neurohumoral, RAAS dan
sistem saraf simpatik, barulah morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung
membaik.1
ANGIOTENSIN CONVERTING ENZYME INHIBITORS(ACEI)
Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran
terhadap ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan
gagal jantung yang simtomatik dan LVEF < 40%. Terapi dengan ACEI memperbaiki
fungsi ventrikel dan kesejahteraan pasien, menurunkan angka masuk rumah sakit
untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan. Pada pasien
yang menjalani perawatan terapi dengan ACEI harus dimulai sebelum pasien pulang
rawat.Dosis awal ACEI dengan target pada tdosis dapat dilihat pada Tabel 6. KELAS
REKOMENDASI I, TINGKAT BUKTI A.
Pasien yang harus mendapatkan ACEI :
LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.
Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi
Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :
Riwayat adanya angioedema
Stenosis bilateral arteri renalis
Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L
Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)
Stenosis aorta berat
Cara pemberian ACEI :
Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.
Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan
secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.
Tabel 6. Obat –obat Gagal Jantung dengan Dosis Awal dan Target Dosis yang
diinginkan
Dikutip dari: Dickstain dkk.15
Kemungkinan yang dihadapi saat memberikan ACEI :
Perburukan fungsi renal – peningkatan urea dan kreatinin saat diberikan ACEI
adalah sesuatu yang diharapkan, dan tidak dianggap penting secara klinis
kecuali jika peningkatanya cepat dan bermakna. Periksa obat-obatan
nefrotoxic yang mungkin diberikan bersamaan seperti obat anti inflamasi non
steroid (OAINS). Jika diperlukan turunkan dosis ACEI atau jangan teruskan.
Jika terdapat peningkatan kreatinin lebih dari 50% dari baseline atau hingga
konsentrasi absolut 265 mmol/L (~3 mg/dL). Jika konsentrasi kreatinine
meningkat hingga 310 mmol/L (~3.5 mg/dL) atau diatasnya stop ACEI
secepatnya dan monitor kimia darah secara erat.
Hiperkalemia – periksa penggunaan agen lain yang dapat menyebabkan
hiperkalemia, misalnya suplementasi kalsium, diuretik hemat kalsium, dan
hentikan penggunaannya. Jika kadar kalsium meningkat diatas 5.5 mmol/L,
turunkan dosis ACEI setengahnya dan monitor kima darah secara erat. Jika
kalisum naik diatas 6 mmol/L stop penggunaan ACEI secepatnya dan monitor
kimia darah secara erat.
Hipotensi simtomatik (misal : pusing) adalah hal yang umum terjadi – hal ini
seringkali membaik seiring waktu, dan pasien perlu diyakinkan. Jika
mengganggu pertimbangkan untuk mengurangi dosis diuretik dan agen
hipotensif lainnya (kecuali ARB/ β-bloker/antagonis aldosteron). Hipotensi
asimtomatik tidak memerlukan intervensi.
ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKER(ARB)
Pada pasien dengan tnpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE, ARB
direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang tetap
simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB, kecuali
telah mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi
ventrikel dan kejahteraan pasien dan mengurangi hospitalisasi untuk perburukan
gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
Pemberian ARB mengurangi risiko kematian karena penyebab kardiovaskular.
Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B. ARB direkomendasikan sebagai alternatif
pada pasein yang intoleran terhadap ACEI. Pada pasien-pasien ini pemberian ARB
mengurangi risiko kematian akibat kardiovaskular atau perlunya perawatan akibat
perburukan gagal jantung. Pada pasien yang dirawat, terapi dengan ARB harus
dimulai sebelum pasien dipulangkan.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B.14
Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien
dan menurunkan angka masuk rumah sakit akibat perburukan gagal jantung.
Angiotensin Reseptor Blockerdirekomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien yang
tidak toleran terhadap ACEI.14
Pasien yang harus mendapatkan ARB :
Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%
Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun
sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.
Memulai pemberian ARB:
Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.
Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara
cepat sangat mungkin pada pasien yang monitoring ketat.
β-bloker / PENGHAMBAT SEKAT-β
Alasan penggunaan beta bloker(BB) pada pasien gagal jantung adalah adanya
gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat memperburuk kondisi
gagal jantung. Pasien dengan kontraindikasi atau tidak ditoleransi, BB harus diberikan
pada pasien gagal jantung yang simtomatik, dan dengan LVEF < 40%. BB
meningkatkan fungsi ventrikel dan kesejahtraan pasien, mengurangi kejadian rawat
akibat perburukan gagal jantung, dan meningkatkan keselamatan. Jika memungkinkan
pada pasien yang menjalani perawatan, terapi BB harus dimulai secara hati-hati
sebelum pasien dipulangkan. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A.
Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:
Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik sehingga
memperbaiki perfusi miokard.
Meningkatkan LVEF
Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal
Pasien yang harus mendapat BB:
LVEF < 40%
Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV), pasien
dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark miokard.
Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis jika
diindikasikan).
Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis diuresis).
Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk diberikan pada
pasien yang baru saja masuk rawat karena GJA, selama pasien telah membaik
dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada obat inotropik intravenous, dan
dapat diobservasi di rumah sakit setidaknya 24 jam setelah dimulainya terapi
BB.
Kontraindikasi :
Asthma (COPD bukan kontranindikasi).
AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan
pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm).
Bagaimana menggunakan BB pada gagal jantung :
Dosis awalan : bisoprolol 1 x 1.25 mg, carvedilol2 x 3.125-6.25 mg,
metoprolol CR/XL 1 x 12.5-25 mg, atau nebivolol 1 x 1.25 mg. Dengan
supervisi jika diberikan dalam setting rawat jalan.
Pada pasien yang baru mengalami dekompensasi, BB dapat dimulai sebelum
pasien dipulangkan dengan hati-hati.
Titrasi dosis :
Kunjungan tiap 2-4 minggu dapat digunakan untuk meningkatkan dosis BB
(peningkatan dosis yang lebih lambat mungkin dibutuhkan pada beberapa pasien
degan gagal jantung yang berat). Jangan tingkatkan dosis bila terdapat
perburukan gagal jantung, hipotensi sistemik, atau bradikardia yang berlebih
(<50x/menit).
Pasien dengan tanpa permasalahan diatas, dosis BB dapat ditingkatkan 2x lipat
tiap kunjungan hingga dicapai target dosis. (Bisoprolol 10 mg o.d., carvedilol 25-
50 mg b.i.d., metaprolol CR/XL 200 mg o.d., atau vebivolol 10 mg o.d.-atau
dosis yang bisa ditoleransi maksimal.
DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung yang disertai tanda dan
gejala kongesti.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B
Diuretik memperbaiki kesejahteraan hidup pasien dengan mengurangi tanda dan
gejala kongesi vena sistemik dan pulmoner pada pasien dengan gagal jantung.
Diuretik mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan
biasanya digunakan bersamaan dengan ACEI atau ARB. Dosis diuretik harus
disesuaikan dengan kebutuhan tiap pasien dan membutuhkan monitoring klinis yang
cermat. Secara umum loop diuretik dibutuhkan pada gagal jantung sedang-berat.
Thiazid dapat pula digunakan dengan loop diuretik untuk edema yang resisten, namun
harus diperhatikan secara cermat kemungkinan dehidrasi, hipovolemia, hiponatremia,
atau hipokalemia. Selama terapi diuretik, sangat penting level kalium, natrium, dan
kreatinine dipanantau secara berkala.14
Hal yang harus dicermati pada pemberian diuretik :
Diuretik dan ACEI/ARB/atau antagonis aldosteron dapat meningkatan risiko
hipotensi dan disfungsi ginjal, terutama jika digunakan bersamaan.
Pasein dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron digunakan
bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium biasanya tidak dibutuhkan.
Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat kalsium termasuk
antagonis aldosteon digunakan bersamaan dengan ACEI/ARB. Penggunaan
diuretik antagonis non-aldosteron harus dihindari. Kombinasi dari antagonis
aldosteron dan ACEI/ARB hanya boleh diberikan pada supervisi yang cermat.
Penggunaan diuretik pada gagal jantung :
Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid karena
efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan natriuresis.
Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat perbaikan
klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Jenis dan dosis pemberian dapat
dilihat pada tabel 7.
Dosis harus disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal telah
tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan untuk
mencapai hal ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah mungkin.
Keadaan yang mungkin terjadi pada penggunaan diuretik dapat dilihat pada
tabel 8.
Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat badan
harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus selalu disokong
pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk mencapai hal ini diperlukan
edukasi pasien.
Tabel 7. Diuretik yang umum diberikan pada gagal jantung dan dosis hariannya
Keterangan:
*Dosis harus disesuaikan dengan volume status / berat badan pasien , dengan pertimbangan dosis yang besar dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan ototoksisitas.
** Jangan menggunakan thiazid jika eGFR < 30mL/menit, kecuali diresepkan dengan loop diuretic
Dikutip dari: Dickstain dkk.15
Tabel 8. Keadaan yang mungkin terjadi pada pemberian diuretik jangka panjang, dan tindakan
yang disarankan
Dikutip dari: Dickstain dkk.15
ANTAGONIS ALDOSTERON
Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan
gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan jika ditambahkan pada terapi
yang sudah ada, termasuk dengan ACEI.
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :
LVEF < 35%
Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB
Memulai pemberian spironolakton :
Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan meningkatkan
dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
HYDRALIZIN & ISOSORBIDE DINITRAT
Pada pasien simtomatik dengan LVEF < 40%, kombinasi dari Hidralizine-ISDN dapat
digunakan sebagai alternatif jika terdapat intoleransi baik oleh ACEI dan ARB.
Penambahan kombinasi H-ISDN harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala
yang persisten walau sudah diterapi dengan ACEI, BB, dan ARB atau Aldosteron
Antagonis.Terapi dengan H-ISDN pada pasien-pasien ini dapat mengurangi risiko
kematian.9Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B
Mengurangi angka kembali rawat untuk perburukan gagal jantung.Kelas
Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B
Memperbaiki fungsi ventrikel dan kemampuan latihan.Kelas Rekomendasi IIa,
Tingkat Bukti A
Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak uji klinis
adalah :
Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.
Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron
tidak dapat ditoleransi.
Manfaat pengobatan secara lebih jelas ditemukan pada keturunan afrika-
amerika.
Kontraindikasinya anatara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal ginjal
berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).
Cara pemberian hidralizin dan ISDN pada gagal jantung :
Dosis awalan : hidralizin 37.5 mg dan ISDN 20 mg tiga kali sehari.
Pertimbangkan untuk menaikan titrasi setelah 2-4 minggu, jangan dinaikan
bila terdapat hipotensi simtomatik.
Jika dapat ditoleransi, upayakan untuk mencapai target dosis yang digunakan
pada banyak uji klinis- yaitu hidralizine 75 mg dan ISDN 40 mg tiga kali sehari, atau
jika tidak dapat ditoleransi hingga dosis maksimal tertoleransi.
Kemungkinanan efek samping yang dapat timbul :
Hipotensi ortostatik (pusing) – seringkali membaik seiring waktu,
pertimbangkan untuk mengurangi dosis obat yang dapat menyebabkan hipotensi
(kecuali ACEI/ARN/BB/Antagonis aldosteron). Hipotensi yang asimtomatik tidak
membutuhkan intervensi.
Artralgia, nyeri sendi atau bengkak, perikarditis/pleuritis, ruam atau demam –
pikirkan sindroma mirip lupus akibat obat, cek antinuclear antibodies (ANA), jangan
teruskan H-ISDN.
GLIKOSIDA JANTUNG (DIGOXIN)
Pada pasien gagal jantung simtomatik dan atrial fibrilasi, digoxin dapat digunakn
untung mengurangi kecepatan irama ventrikel. Pada pasien dengan AF dan LVEF <
40% digoxin dapat pula diberikan bersamaan dengan BB untuk mengontrol tekanan
darah.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
Pada pasien sinus ritme dengan gagal jantung simtomatik dan LVEF < 40%, terapi
dengan digoxin bersamaan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan
kesejahteraan pasien, mengurangi kemungkinan perawatan ulang untuk perburukan
gagal jantung, hal ini walau demikian tidak memiliki dampak terhadap angka
mortalitas.Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B.
Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan
meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium bebas
dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar natrium
intrasel akibat penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam ekspulsi
kalsium melalui penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium intrasel.
Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :
Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi
ventrikel kiri.
Menstimulasi baroreseptor jantung
Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan
penekanan sekresi renin dari ginjal.
Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan vagal
tone.
Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat> 80x/menit, dan
saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.
Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%)
yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta bloker dan
antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat
dipertimbangkan.
ANTIKOAGULAN (ANTAGONIS VIT-K)
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif lainnya) direkomendasikan pada pasien
gagal jantung dengan atrial fibrilasi permanen, persisten, atau paroksismal tanpa
adanya kontraindikasi terhadap antikoagulasi. Dosis antikoagulan harus disesuaikan
dengan risiko komplikasi tromboembolik termasuk stroke.Kelas Rekomendasi I,
Tingkat Bukti A
Antikoagulasi juga direkomendasikan pada pasien dengan trombus intrakardiak yang
terdeteksi pada echocardiography atau bukti adanya tromboembolisme sistemikKelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
Temuan yang perlu diingat :
Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis acak,
termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan dapat mengurangi
risiko stroke dengan 60-70%.
Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding terapi
antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke yang lebih tinggi,
seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.
Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali pada
mereka yang memiliki katup prostetik.
Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas
warfarin dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa risiko
perawatan kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang mendapat terapi
aspirin, dibandingkan warfarin.