gambaran umum reformasi tenurial lahan dan hutan di maluku
TRANSCRIPT
GAMBARAN UMUM REFORMASI TENURIAL LAHAN DAN HUTAN DI MALUKUInception Workshop, 22 Agustus 2014, Swiss-belHotel, Ambon
Tom Silaya (UNPATTI)
Bentuk-Bentuk Kepemilikan lahan di Maluku
Lahan milik persekutuan masyarakat adat/negeri;
hak ulayat /petuanan
- termasuk kawasan hutan (hutan adat)
- ada sejak leluhur mereka Lahan milik kelompok marga/soa tertentu didalam
negeri (petuanan)
- termasuk kawasan hutan (hutan adat)
- ada sejak leluhur mereka.
- tempat mencari (berburu & meramu)
Lahan milik individu / keluarga tertentu yang berupa lahan usaha (dusung, kebun)
Reformasi Tenurial Lahan dan Hutan
1. Jaman Penjajahan Belanda/VOC: Abad 16: dimulainya sejarah tenurial lahan/hutan di Maluku dengan
menguasai rempah-rempah (cengkih dan pala) Abad 18: membangun lahan-lahan Perkebunan (mis: Desa Loki dan
daerah jasirah Huamual Belakang).
2. Jaman Orde Baru (1966-1997): Implementasi tenurial lahan (HGU). Peraturan perundangan terkait pengelolaan hutan yang membuka
peluang investasi asing & dalam negeri untuk pembangunan HPH dan HTI: o UU No. 1 thn 1967 tentang PMAo UU No. 5 thn 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanano UU No. 6 thn 1968 tentang PMDN
Masyarakat adat tidak memiliki kewenangan mengelola hutan (petuanan).
Eksploitasi hutan tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat adat.
Menurunnya akses masyarakat ke hutan Permasalahan lain terkait tenurial lahan dan
hutan: Pemanfaatan lahan masyarakat adat untuk
transmigrasi. Kurang berfungsinya lembaga adat dalam
mengatur pemanfaatan lahan akibat adanya UU No. 5 tahun 1979 (Sistem Pemerintahan Desa).
Reformasi Tenurial Jaman Orde Baru
3. Jaman Era Reformasi (1998) Berlakunya UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan
Beberapa pasal UU No. 41 terkait tenurial dan hak masyarakat adat: Pasal 5 (status hutan) Pasal 36,37 ( pemanfaatan
hutan hak dan hutan adat) Pasal 67 (hak masyarakat adat)
UU ini menjadi dasar hukum pelaksanaan Skema Kehutanan Berbasis Masyarakat seperti: HKm, HTR, HD, HK dan KPH.
Reformasi Tenurial Lahan dan Hutan
Jaman Era Reformasi
Pelaksanaannya Skema Kehutanan Sosial diatur dalam PP No 6/2007 jo PP No 3/2008 tentang "Alokasi Hutan, Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Lahan"
Berdasarkan PP No. 6/2007 jo. No.3 /2008, ada 3 jenis KPH yaitu KPH Konservasi; KPH Lindung; dan KPH Produksi. Dalam implementasi pembentukan wilayah
pengelolaan hutan lestari, seluruh kawasan hutan di Indonesia terbagi dalam KPH.
Pembangunan KPH harus mempertimbangkan masyarakat hukum adat berdasarkan UU No. 41/1999 Pasal 17 Ayat (2) dan PerMenHut No. P.6/Menhut-II/2009
Status tenurial hutan yang dapat diberikan izin HKm & HD adalah hutan negara.
Tujuan utama dari HKm & HD yaitu untuk rehabilitasi hutan; pemberdayaan masyarakat melalui kelompok masyarakat yang ada.
Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS) sebagai penanggung jawab
Durasi izin: 35 tahun
Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa
Hutan Tanaman Rakyat
Tujuan: 1) pembentukan kawasan hutan berbasis masyarakat untuk penyediaan bahan-baku industri kayu (termasuk industri pulp dan kertas); 2) pengembangan kesejahteraan kelompok masyarakat.
Status tenurial: Hutan Negara, Zona Hutan produksi.
Direktorat Jenderal Produksi Kehutanan (Ditjen BPK) Kemenhut sebagi penanggung jawab.
Durasi izin: 35 tahun. Hasil hutan: kayu.
Pelaksanaan Skema Kehutanan Sosial di SBB dan Lampung
Activity Seram Barat Lampung Barat
Total Land Area 6.948 Km2 2.064,4 Km2
Total Forest Area 659.000 Ha (95%) 126.956,27 Ha (61,50%)
HKm Yes (formalization process has started)
Yes (implementation)
HTR No Yes
Hutan Desa No No
KPH Yes
Kelompok perempuan memiliki beberapa bentuk hubungan dengan SDA & Hutan saat melakukan peran penting dalam mengelola SDA&H, termasuk akses ke hutan, tanah sendiri, tanah suami, tanah perkawinan, tanah kerabat /tetangga, komunal, serta negeri-negeri lain termasuk tanah negara
Kontrol akses SDA&H masih didominasi oleh laki-laki (tokoh adat, anggota keluarga, tetangga, penjaga hutan negara, dll) yang menempati posisi yang berbeda dalam kaitannya dengan tanah pada periode tertentu.
GENDER DAN TENURIAL DI TINGKAT NASIONAL
GENDER DAN TENURIAL DI MALUKU
Hak-hak perempuan terkait kepemilikan lahan diatur dalam hukum adat.
Hubungan kekerabatan secara patrilineal umumnya masih berlaku.
Berdasarkan sistem patrilineal, laki-laki lebih diprioritaskan dalam hak waris atas tanah (petuanan/dusung), sedangkan perempuan dikategorikan sebagai kelompok yang kurang diperhatikan.
GENDER DAN TENURIAL DI MALUKU
Hak waris atas lahan /dusung dapat dilihat pada jenis-jenis dusung sbb: Dusung Dati: Dusung di dalam atau di atas tanah dati, hanya
diwariskan kepada keturunan/anak laki-laki. Dusun Pusaka: Dusung yang menjadi milik suatu kelompok ahli waris
dan diperoleh berdasarkan pewarisan orang tua, selanjutnya diwariskan secara turun-temurun ke anak laki-laki.
Contoh dusung yg mengakomodir hak perempuan: Dusung Atiting: Dusung dati yang diberikan ke anak
perempuan yg telah berkeluarga. Dusung Papeda: Dusung sagu yg diberikan ke anak
perempuan yg tidak kawin atau yg telah berkeluarga tetapi suaminya tidak mempunyai dusung sagu.
Upaya lainnya terkait Tenurial Lahan dan Hutan di Maluku
Sertifikasi tanah hak milik masyarakat: Setelah reformasi 1999, banyak program pemerintah terkait sertifikasi tanah masyarakat.
Penelitian Hak Ulayat Masyarakat Adat:Dilaksanakan tahun 2005-2007 antara Unpatti dan beberapa pemkab Maluku.
Program-program UPT Kemehut terkait reboisasi dan rehabilitasi lahan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat hutan.
Perda tentang Tenurial Lahan dan Hutan di Maluku
Perda No. 14/2005 tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku.
Perda Provinsi Maluku No. 3/2008 tentang Wilayah Petuanan
Perda Kab. Malteng No. 01/2006 tentang NEGERI Perda Kab. Malteng No. 03-11 /2006 tentang
masyarakat hukum adat di Maluku Tengah:o Perda Kab. Malteng No. 11/2006 tentang Pedoman
Umum Kerjasama antar Negeri di Kab. Malteng. Perda Kota Ambon No. 3/2008 tentang Negeri (negeri
Adat) di Kota Ambon. Perda Kab. Maluku Tenggara No. 3/2009 tentang
Ratshap dan Ohoi (Negeri Adat) di Kab. Maluku Tenggara