gangguan hematologi

16
DVT dan Embolisme Pulmoner 17 Deep vein thrombosis (DVT) dan emboli pulmoner merupakan kausa morbiditas dan mortalitas yang dapat dicegah yang relatif sering dijumpai pada penderita acute ICH. Dalam satu prospective randomized rFVIIa trial, 2 (2,1%) dari 96 penderita yang mendapatkan placebo mengalami pulmonary embolism pada hari ke-7 sampai ke-11 (1 penderita fatal). Sedangkan 4 (1,3%) dari 303 penderita yang mendapatkan rFVIIa juga mengalami embolisme pulmoner (1 penderita fatal),dan sejumlah penderita lainnya mengalami DVT. Dalam satu studi retrospektif yang melibatkan 1926 penderita dengan PIS, sebanyak 1,6% dijumpai diagnosis klinis venous thromboembolism seperti tercantum dalam kode International Classification of Diseases—9th Revision-clinical modification(ICD-9-CM). Studi menggunakan fibrinogen scanning atau MRI untuk deteksi occult venous thrombosis melaporkan adanya frekuensi yang tinggi (10% sampai 50%) kejadian DVT pada penderita stroke akut yang disertai hemiplegia. Pertanyaannya adalah bagaimana mencegah dan mengobati komplikasi thromboembolik venosa tersebut tanpa menimbulkan peningkatan risiko intracranial rebleeding. Antikoagulan, platelet antiaggregants, unfractionated heparin dan low-molecular-weight heparins/heparinoid, dan metode mekanik seperti intermittent pneumatic compression dan graduated compression stockings kesemuanya adalah upaya pilihan dengan kekuatan pembuktian yang bervariasi untuk pencegahan thromboembolisme vena pada penderita

Upload: pravind-kumar

Post on 18-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dmkms

TRANSCRIPT

DVT dan Embolisme Pulmoner17 Deep vein thrombosis (DVT) dan emboli pulmoner merupakan kausa morbiditas dan mortalitas yang dapat dicegah yang relatif sering dijumpai pada penderita acute ICH. Dalam satu prospective randomized rFVIIa trial, 2 (2,1%) dari 96 penderita yang mendapatkan placebo mengalami pulmonary embolism pada hari ke-7 sampai ke-11 (1 penderita fatal). Sedangkan 4 (1,3%) dari 303 penderita yang mendapatkan rFVIIa juga mengalami embolisme pulmoner (1 penderita fatal),dan sejumlah penderita lainnya mengalami DVT. Dalam satu studi retrospektif yang melibatkan 1926 penderita dengan PIS, sebanyak 1,6% dijumpai diagnosis klinis venous thromboembolism seperti tercantum dalam kode International Classification of Diseases9th Revision-clinical modification(ICD-9-CM). Studi menggunakan fibrinogen scanning atau MRI untuk deteksi occult venous thrombosis melaporkan adanya frekuensi yang tinggi (10% sampai 50%) kejadian DVT pada penderita stroke akut yang disertai hemiplegia. Pertanyaannya adalah bagaimana mencegah dan mengobati komplikasi thromboembolik venosa tersebut tanpa menimbulkan peningkatan risiko intracranial rebleeding. Antikoagulan, platelet antiaggregants, unfractionated heparin dan low-molecular-weight heparins/heparinoid, dan metode mekanik seperti intermittent pneumatic compression dan graduated compression stockings kesemuanya adalah upaya pilihan dengan kekuatan pembuktian yang bervariasi untuk pencegahan thromboembolisme vena pada penderita dengan stroke iskemik. Akan tetapi semua pembuktian dari beragam pilihan tersebut berasal dari studi terhadap penderita dengan stroke iskemik atau imobilitas oleh kausa lainnya. Satu uji klinis mutakhir merandom penderita PIS mendapatkan compression stockings atau compression stockings plus intermittent pneumatic compression. Melalui ultrasonografi temuan asymptomatic deep vein thrombosis terdeteksi pada hari ke-10 pada 15,9% penderita yang memakai elastic stockings saja, dan pada 4,7% penderita kelompok kombinasi (risiko relatif 0,29 [95% CI: 0,08 sampai 1,00]).Boeer et al97 melaporkan uji klinis random skala kecil membandingkan 68 penderita PIS yang dirandom untuk menerima heparin dosis rendah (5000 U sodium heparin subkutan 3 kali sehari) pada hari ke-10 (kelompok 1), hari ke-4 (kelompok 2), atau hari ke-2 (kelompok 3) setelah onset PIS. Kelompok 1 sebagai kelompok kontrol oleh karena terapi heparin yang dimulai pada hari ke-10 merupakan standard treatment protocol dari intensive care unit. Semua penderita memperoleh obat-obatan dasar perawatan intensif dan evaluasi diagnostik regular. Hasil studi ini, kelompok 3 menunjukkan penurunan signifikan secara statistik kejadian emboli pulmoner dibandingkan dua kelompok lainnya; tidak dijumpai adanya peningkatan insiden rebleeding diantara ketiga kelompok; insiden DVT lebih tinggi pada beberapa hari pertama perawatan ketimbang pada hari ke-10, namun perbedaan ini tidak signifikan.Perlu dibedakan isu prevensi primer DVT dan embolisme dengan isu mengenai apa yang harus dilakukan pada penderita PIS yang mengalami DVT atau embolisme pulmoner. Frekuensi recurrent PIS selama kurun 3 bulan pertama setelah acute PIS adalah 1%.98100 Sebuah analisis teoritis memperkirakan upaya pemberian obat antikoagulasi meningkatkan risiko recurrent PIS 2-kali lipat dibandingkan dengan risiko PIS berulang secara keseluruhan. Namun, tantangan klinis pemberian terapi secara individual terletak pada mempertimbangkan secara seimbang [balanced approach] risiko thromboembolisme yang mengancam nyawa dengan risiko terjadinya recurrent PIS, dimana angka mortalitasnya >50%. Risiko PIS berulang juga bervariasi tergantung lokasi hematom dan usia, namun data prospektif sedikit sekali tersedia (mis., risiko lebih tinggi pada penderita dengan perdarahan lobar oleh karena kecurigaan angiopati amiloid sebagai penyebabnya).Pilihan lain adalah tindakan memasangkan filter pada vena cava inferior. Pemasangan vena cava filter dapat menurunkan insiden embolisme pulmoner pada penderita dengan proximal deep vein thrombosis dalam beberapa minggu pertama setelah pemasangan, namun selanjutnya memiliki risiko jangka panjang yang tinggi untuk berlangsungnya kejadian thromboembolisme vena. Belum ada uji klinis random yang membandingkan pemasangan vena cava filter dengan pemberian obat antikoagulasi pada penderita dengan PIS atau stroke iskemik. Selama penggunaan obat antikoagulasi, pengendalian tekanan darah dengan baik signifikan menurunkan risiko recurrent ICH. Uji klinis random PROGRESS (Perindopril pROtection aGainst REcurrent Stroke Study) menemukan 50% penurunan risiko perdarahan berulang pada penderita PIS yang dapat bertahan melalui penurunan tekanan darah sistolik sebesar 11 mm Hg.

Rekomendasi untuk Prevensi DVT dan Embolisme Pulmoner Class I 1. Penderita dengan acute primary ICH yang disertai hemiparesis/hemiplegia perlu menggunakan intermittent pneumatic compression untuk prevensi venous thromboembolism (Class I, Level of Evidence B). 2. Terapi hipertensi harus selalu menjadi bagian dari terapi jangka panjang oleh karena menurunkan risiko recurrent ICH (Class I, Level of Evidence B).

Class II 1. Setelah memastikan berhentinya perdarahan aktif (after documentation of cessation of bleeding), dapat dipertimbangkan pemberian low-molecular-weight heparin dosis rendah subkutan atau unfractionated heparin pada penderita dengan hemiplegia setelah kurun 3 sampai 4 hari dari onset (Class IIb, Level of Evidence B). 2. Penderita dengan PIS yang mengalami acute proximal venous thrombosis, terutama yang secara klinis maupun subklinis disertai gejala emboli pulmoner, harus dipertimbangkan pemasangan segera vena cava filter (Class IIb, Level of Evidence C). 3. Keputusan penambahan terapi antithrombotik jangka panjang beberapa minggu atau lebih setelah pemasangan vena cava filter harus mempertimbangkan: kemungkinan kausa dari PIS (angiopati amiloid [berisiko lebih tinggi mengalami recurrent ICH] ataukah hipertensi), kondisi penyerta yang meningkatkan risiko thrombotik arterial (mis., atrial fibrillation [AF]), serta kesehatan dan mobilitas penderita secara menyeluruh (Class IIb, Level of Evidence B).

PIS Akibat Gangguan Koagulasi dan Fibrinolisis:Dalam sejumlah laporan mutakhir, kejadian PIS memiliki frekuensi 0,3% sampai 0,6% per tahun pada penderita yang menjalani chronic warfarin anticoagulation.105 Disamping itu, warfarin berhubungan dengan proporsi signifikan kejadian PIS yang masuk rumah sakit: dari penderita dengan supratentorial ICH yang masuk ke Massachusetts General Hospital selama periode 7 tahun, sebanyak 23,4% menggunakan warfarin106; dalam sejumlah seri klinis sebelumnya, perdarahan intraserebral oleh karena penggunaan warfarin dilaporkan sebanyak 6% dan 16%. Faktor risiko utama dari warfarin-related PIS meliputi: usia, riwayat hipertensi, intensitas antikoagulasi yang diberikan [INR], dan kondisi penyerta seperti cerebral amyloid angiopathy (CAA) dan leukoaraiosis. Evaluasi nilai INR yang melebihi rentang terapeutik 2 sampai 3 terbukti berhubungan dengan peningkatan yang nyata dari frekuensi kejadian PIS, terutama INR diatas 3,5 sampai 4,5: Risiko PIS meningkat hampir duakali lipat dalam setiap peningkatan 0,5 poin pada nilai INR diatas 4,5. Derajat peningkatan INR juga berkorelasi dengan penambahan volume hematom (hematoma expansion) dan prognosis (kematian dan outcome fungsional). Meskipun peningkatan frekuensi PIS sebagai risiko dari excessive prolongation (pemanjangan berlebihan) dari nilai INR merupakan bukti yang kuat, namun kebanyakan warfarin-related ICH kedapatan terjadi pada nilai INR dalam rentang terapeutik yang direkomendasikan. Cerebral amyloid angiopathy sangat mungkin merupakan kondisi patologis umum yang mendasari penderita usia lanjut dengan warfarin-related lobar ICH. Leukoaraiosis, disamping frekuensinya tinggi pada penderita dengan cerebrovascular disease dan hipertensi, namun juga sangat mungkin merupakan faktor risiko untuk terjadinya warfarin-related ICH. Leukoaraiosis dijumpai sebanyak 92% dalam satu seri studi penderita PIS yang menggunakan warfarin (diberikan setelah suatu episode stroke iskemik), dibandingkan dengan 48% pada kelompok kontrol penderita tanpa PIS yang menggunakan warfarin setelah mengalami stroke iskemik. Problema manajerial dari warfarin-related ICH adalah diperlukannya upaya pembalikan segera (rapidly reverse) gangguan koagulasi (coagulation defect) yang terjadi untuk mengurangi bertambahnya volume hematom serta perlunya dan memungkinkan atau tidaknya pemberian kembali (reinstituting) antikoagulasi oral. Upaya yang ada untuk mengatasi efek warfarin meliputi pemberian: vitamin K1, fresh frozen plasma (FFP), prothrombin complex concentrate, dan rFVIIa. Vitamin K1 diberikan dengan dosis 10 mg intravena. ; pemberian intravena memiliki risiko kecil untuk terjadinya anafilaksis, yang dapat dihindari meskipun waktu kerja obat menjadi lebih lambat dengan cara pemberian subkutan (slower-acting subcutaneous injection route). Vitamin K1 tidak dapat diandalkan sebagai preparat tunggal oleh karena pemberiannya memerlukan beberapa jam (sekurangnya 6 jam) untuk menormalkan nilai INR. Oleh karena itu perlu diberikan FFP untuk mengembalikan faktor koagulasi (vitamin Kdependent coagulation factors) yang telah dihambat oleh warfarin. FFP adalah cara efektif dalam koreksi INR, dan kerjanya lebih cepat ketimbang vitamin K1; namun, penggunaannya dengan dosis yang direkomendasikan sebanyak 15 sampai 20 mL/kg memerlukan infusi volume plasma dalam jumlah besar, yang bukan saja memerlukan waktu infusi beberapa jam (kurun yang potensial untuk berlanjutnya penambahan volume hematom), namun juga dapat menimbulkan kelebihan cairan (volume overload) dan gagal jantung.118 Disamping itu, konsentrasi clotting factors yang terkandung dalam FFP bervariasi, sehingga derajat efektifitas dari seri fabrikan (batches) yang berbeda tidak dapat diprediksi. Yang terakhir, konsentrasi faktor IX dalam darah dapat masih tetap rendah (sehingga menghasilkan perbaikan hemostasis yang inkomplit) meskipun telah mendapatkan penambahan seluruh faktor pembekuan lainnya melalui pemberian FFP. Keterbatasan ini, terutama panjangnya waktu yang dibutuhkan dalam proses normalisasi nilai INR menghadapi emergency life-threatening situation yang ditimbulkan oleh warfarin-related ICH, membuat pendekatan menggunakan FFP tidak praktis. Kesulitan menggunakan FFP menstimulasi pencaharian pilihan yang lebih baik. Prothrombin complex concentrate mengandung vitamin Kdependent factors (II, VII, dan X) dalam kadar tinggi, dan factor IX complex concentrate mengandung faktor II, VII, IX, dan X. Preparat tersebut memiliki kelebihan volume infusi yang lebih kecil dibandingkan FFP namun mengkoreksi koagulopati dengan lebih cepat. Kekurangan kedua preparat tersebut adalah risiko memicu komplikasi thromboembolik, dari superficial thrombophlebitis, deep vein thrombosis dan pulmonary embolism, thrombosis arterial sampai disseminated intravascular coagulation [DIC]. Sedangkan kekawatiran mengenai transmisi viral telah dapat diminimalisasi melalui skrining yang sangat ketat terhadap produk darah dewasa ini. Kemampuan rFVIIa dengan cepat menormalkan INR pada penderita yang terantikoagulasi menggunakan warfarin dan laporan mutakhir adanya efek manfaat pada penderita dengan spontaneous ICH mendorong pengujian modalitas terapi ini pada warfarin-related PIS. Satu studi skala kecil melibatkan 7 penderita dengan warfarin-related ICH mendapatkan rFVIIa dengan dosis antara 15 dan 90 g/kg menunjukkan terjadinya penurunan cepat nilai INR setelah pemberian dosis tunggal.41 Karena waktu paruh rFVIIa pendek (2,6 jam), maka respon permulaan yang cepat memerlukan penyuntikan ulangan untuk mempertahankan nilai INR berada pada rentang normal. Oleh karena adanya peningkatan signifikan terjadinya komplikasi thromboembolik (7% versus 2% pada kelompok kontrol) pada penderita "spontaneous" ICH yang mendapatkan rFVIIa, terdapat kekawatiran adanya potensi risiko lebih tinggi dari obat prokoagulan ini pada penderita yang memiliki kecenderungan embolisme, seperti penderita dengan katup jantung prosthetik atau chronic AF. Diperlukan uji klinis random berkontrol terhadap rFVIIa, begitu pula pilihan terapi lainnya bagi warfarin-related ICH. Pada PIS yang diakibatkan oleh penggunaan heparin intravena, manajemen mengandalkan upaya normalisasi cepat dari activated partial thromboplastin time melalui pemberian protamine sulfat; dosis yang direkomendasikan adalah 1 mg per 100 U heparin, dan dosis pemberian memerlukan penyesuaian berdasarkan periode waktu yang terlampaui semenjak pemberian heparin terakhir; bila heparin telah dihentikan selama 30 sampai 60 menit, maka dosis pemberian protamine sulfat adalah 0,5 sampai 0,75 mg per 100 U heparin, turun menjadi 0,375 sampai 0,5 mg per 100 U heparin apabila telah dihentikan selama 60 sampai 120 menit, dan 0,25 sampai 0,375 mg per 100 U heparin apabila telah dihentikan selama >120 menit semenjak penyuntikan protamine sulfat. Protamine sulfat diberikan dengan cara injeksi intravena perlahan, dengan kecepatan tidak melebihi 5 mg/menit, dengan dosis total tidak melebihi 50 mg; penyuntikan dengan kecepatan yang lebih tinggi dapat mengakibatkan hipotensi sistemik derajat berat. Isu pemberian kembali (reinstitution) upaya antikoagulasi setelah terjadinya warfarin-related ICH terutama diperuntukkan bagi penderita yang semula mendapatkan warfarin untuk prevensi embolisme kardiogenik yang berhubungan dengan prosthetic heart valves atau chronic AF. Mengingat data angka kejadian cerebral embolism sebesar 5% per tahun pada penderita dengan nonvalvular AF tanpa riwayat stroke sebelumnya, 12% per tahun pada penderita dengan AF yang disertai riwayat stroke iskemik sebelumnya, dan sekurang-kurangnya 4% per tahun pada penderita dengan prosthetic mechanical heart valves, maka upaya re-anticoagulation menggunakan warfarin kembali seringkali menjadi pertimbangan setelah suatu warfarin-related ICH. Keputusan yang sulit tersebut harus diambil melalui pendekatan seimbang (balance) antara upaya prevensi stroke iskemik dan risiko terjadinya recurrent ICH. Sayangnya, tidak ada data tersedia mengenai angka kejadian PIS berulang pada penderita yang sedang mendapatkan terapi warfarin. Pada satu kelompok agregat penderita sebanyak 114 orang dengan PIS yang didapat dari 3 studi seri klinis, upaya pembalikan antikoagulasi (reversal of anticoagulation) menggunakan FFP disertai penghentian pemberian warfarin setelah PIS selama rentang mean 7 sampai 10 hari ternyata berhubungan dengan kejadian embolisme pada 6 penderita (5%); sedangkan kejadian rebleeding setelah pemberian kembali (reinstitution) antikoagulasi pada antara hari ke-7 dan hari ke-10 setelah onset PIS dijumpai sebanyak 1 penderita (0,8%). Pada satu kelompok agregat penderita sebanyak 78 orang yang didapat dari 7 seri klinis, pemberian prothrombin complex concentrate dalam upaya pembalikan (reversal) antikoagulasi mengakibatkan 4 kejadian thromboembolik (5%), dan 5 kejadian ekspansi kontinyu hematom (6%).119,130135 Sedangkan data angka kejadian thromboembolisme pada pemberian rFVIIa dalam setting klinis ini belum ada. Dari data yang sangat terbatas ini mengesankan bahwa upaya pembalikan antikoagulasi (reversal of anticoagulation) menggunakan FFP atau prothrombin complex concentrate setelah kejadian PIS pada penderita dengan prosthetic heart valves atau chronic nonvalvular AF berhubungan dengan frekuensi kejadian embolik yang rendah sepanjang periode 7 sampai 10 hari setelah PIS, dimana setelah periode tersebut terlampaui pemberian kembali (reinstitution) antikoagulasi menggunakan warfarin tampaknya aman dilakukan. Satu studi decision analysis, menggunakan quality-of-life years sebagai outcome, membandingkan risiko reinstitusi antikoagulasi pada penderita dengan chronic AF yang mengalami perdarahan lobar atau perdarahan struktur dalam secara umum, penderita usia tua dengan perdarahan lobar yang sangat mungkin disebabkan oleh angiopati amiloid [CAA] memiliki proyeksi resiko yang jauh lebih besar untuk mengalami poor outcome dengan meneruskan kembali pemberian warfarin; sedangkan penderita dengan small deep ICH, meneruskan kembali atau tidak melanjutkan pemberian warfarin memiliki risiko yang hampir sama. Dilema klinis mengenai perlu atau tidaknya dan kapan waktu yang tepat untuk memulai kembali pemberian antikoagulan pada penderita dengan PIS yang memiliki risiko kardioembolik tidaklah dapat terpecahkan sampai tersedianya data prospektif mengenai angka kejadian PIS berulang setelah reinstitusi warfarin. Namun demikian, bagi penderita yang memiliki risiko infark serebral yang rendah (mis., AF tanpa riwayat stroke iskemik sebelumnya) dan penderita yang memiliki risiko tinggi angiopati amiloid (mis., usia tua dengan PIS lobar, terutama dengan temuan small microbleeds pada MRI), maka antiplatelet merupakan pilihan yang lebih baik ketimbang warfarin dalam upaya prevensi stroke iskemik pada kondisi klinis ini. PIS Akibat Fibrinolisis Dalam satu uji klinis dengan kontrol, terapi thrombolitik yang dilakukan pada stroke iskemik akut mengakibatkan terjadinya symptomatic ICH pada 3% sampai 9% penderita yang mendapatkan tissue-type plasminogen activator (tPA) intravena, pada 6% penderita yang mendapatkan kombinasi tPA intravena dan intra-arterial, dan pada 10,9% penderita yang mendapatkan prourokinase intra-arterial prourokinase. Disamping itu, PIS juga terjadi pada 0,5% sampai 0,6% penderita yang mendapatkan obat thrombolitik oleh kondisi oklusi akut arterial dan venosa lainnya, dengan angka lebih tinggi pada penderita usia tua. Onset PIS setelah suatu kondisi fibrinolisis memberikan prognosis buruk oleh karena perdarahan cenderung massif, dapat multifokal, dan berhubungan dengan 30-day death rate sebesar 60% atau lebih. Tidak tersedia data sahih yang dapat menuntun klinisi dalam pemilihan terapi efektif penanganan PIS pada kondisi ini. Terapi mutakhir yang direkomendasikan meliputi infusi platelet (6 sampai 8 U) dan infusi cryoprecipitate yang mengandung faktor VIII yang bertujuan melakukan koreksi cepat terhadap kondisi systemic fibrinolytic state yang ditimbulkan oleh tPA. Guidelines untuk terapi pembedahan terhadap PIS akibat kondisi fibrinolisis pada penderita dengan stroke iskemik akut adalah sama seperti halnya PIS pada umumnya, namun dengan prasarat dimana tindakan pembedahan hanya dapat dimulai setelah pemberian infusi platelet dan cryptoprecipitate yang memadai berhasil menstabilisasi perdarahan intrakranial yang terjadi.

Rekomendasi untuk Manajemen PIS yang disebabkan oleh Gangguan Koagulasi dan Fibrinolisis Class I 1. Protamine sulfat harus diberikan untuk membalikkan kondisi dari heparin-associated PIS, dengan dosis pemberian tergantung pada periode waktu yang terlampaui semenjak penghentian heparin (Class I, Level of Evidence B). 2. Penderita dengan warfarin-associated ICH harus mendapatkan vitamin K intravena untuk membalikkan efek warfarin serta mendapatkan terapi pengembalian faktor pembekuan (Class I, Level of Evidence B).

Class II 1. Prothrombin complex concentrate, factor IX complex concentrate, dan rFVIIa menormalkan peningkatan laboratoris dari INR dengan sangat cepat dan dengan volume infusi yang lebih kecil dibandingkan FFP namun dengan potensi thromboembolisme yang lebih besar. FFP adalah pilihan terapi yang potensial namun dengan volume infusi yang lebih besar dan waktu infusi yang jauh lebih panjang (Class IIb, Level of Evidence B). 2. Keputusan untuk memulai kembali terapi antithrombotik setelah suatu PIS yang diakibatkan oleh terapi antithrombotik tergantung pada risiko thromboembolisme arterial atau venosa berikutnya, risiko recurrent ICH, dan keseluruhan kondisi penderita. Pada penderita yang relatif memiliki risiko lebih kecil untuk mengalami infark serebral (mis., AF tanpa riwayat stroke iskemik) dan penderita yang memiliki risiko amyloid angiopathy lebih tinggi (mis., penderita usia tua dengan lobar ICH) atau penderita dengan keseluruhan fungsi neurologis yang sangat buruk, maka pilihan terbaik untuk prevensi stroke iskemik adalah antiplatelet ketimbang warfarin. Pada penderita yang memiliki risiko sangat tinggi untuk mengalami thromboembolisme dimana memulai kembali pemberian warfarin merupakan pertimbangan, maka terapi warfarin dapat dimulai pada 7 sampai 10 hari setelah onset PIS (Class IIb, Level of Evidence B). 3. Terapi penderita dengan PIS yang diakibatkan oleh terapi thrombolitik meliputi pemberian segera terapi empirik yang bertujuan mengembalikan faktor pembekuan dan platelet(Class IIb, Level of Evidence B).

17 daftar pustaka nya