gangguan panik dan penanganannya
DESCRIPTION
ganggaun panikTRANSCRIPT
GANGGUAN PANIK DAN PENANGANANNYA
I. PENDAHULUANIstilah ‘panik´ berasal dari kata Pan, dewa Yunani yang setengah hantu,
tinggal di pegunungan dan hutan, dan perilakunya sangat sulit diduga. Di tahun
1895 deskripsi gangguan panik pertama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud
dalam kasus agorafobia. Serangan panik merupakan ketakutan akan timbulnya
serangan serta diyakini akan segera terjadi. Individu yangmengalami serangan
panik berusaha untuk melarikan diri dari keadaan yang tidak pernah diprediksi. (1)
Gangguan panik ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan
dan tidak diperkirakan. Serangan panik adalah periode kecemasan atau
ketakutan yang kuat dan relative singkat (biasanya kurang dari satu tahun),
yang disertai oleh gejala somatik tertentu seperti palpitasi dan takipnea.
Frekuensi pasien dengan gangguan panik mengalami serangan panik adalah
bervariasi dari serangan multiple dalam satu hari sampai hanya beberapa
serangan selama setahun. Di Amerika Serikat, sebagian besar peneliti dibidang
gangguan panik percaya bahwa agoraphobia hampir selalu berkembang sebagai
suatu komplikasi pada pasien yangmemiliki gangguan panik. (1)
Beberapa pencetus terjadinya panik adalah cedera (kecelakaan atau
operasi), penyakit, konflik, stimulan (kafein, kokain), tempat tertentu (terutama
pada pasien agorafobia)dan sertralin (dapat menginduksi panik pada pasien
asimtomatik).(1)
II. EPIDEMIOLOGIDi antara beberapa gangguan cemas yang dikenal, gangguan panik
merupakan gangguan yang lebih sering dijumpai akhir-akhir ini. Dari penelitian
diketahui bahwa di negara-negara Barat, gangguan panik dialami oleh lebih
kurang 1.7% dari populasi orang dewasa. Angka kejadian sepanjang hidup
gangguan panik dilaporkan 1.5% sampai 5%, sedangkan serangan panik
sebanyak 3% sampai 5.6%. Di Indonesia belum dilakukan studi epidemiologi
yang dapat menggambarkan berapa jumlah individu yang mengalami gangguan
1
panik, namun para professional merasakan adanya peningkatan jumlah kasus
yang datang minta pertolongan.(2)
Prevalensi sepanjang hidup gangguan panik dilaporkan 1.5% sampai 5%,
sedangkan serangan panik sebanyak 3% sampai 5.6%. Suatu penelitian di Texas
terhadap lebih dari 1600 sampel yang diseleksi secara acak, didapatkan
prevalensi sepanjang hidup 3.8% untuk gangguan panik, 5.6% untuk serangan
panik, serta 2.2% mengalami serangan panik dengan gejala yang terbatas dan
tidak memenuhi kriteria diagnostik. Gangguan panik lebih sering terjadi pada
perempuan daripada laki-laki. Panik dapat terjadi pada umur berapapun, tetapi
biasanya berkembang antara usia 18–45 tahun. Onset usia rata-rata seperti
kebanyakan gangguan cemas adalah pada dekade ketiga.(1, 2)
Sembilan puluh satu persen pasien dengan gangguan panik dan 84%
yang dengan agorafobia mengalami setidaknya satu gangguan psikiatrik
lainnya. Sepuluh hingga 15% pasien dengan gangguan panik juga mengalami
gangguan depresi berat. Sepertiga diantaranya mengalami depresi sebelum
awitan gangguan panik, serta sisanya mengalami serangan panik selama atau
sesudah awitan gangguan depresi berat.(2)
Anxietas juga sering terdapat pada gangguan panik dengan agorafobia.
Lima belas sampai 30% mengalami fobia sosial, 2-20% terdapat fobia spesifik
dan 15-30% mengalami gangguan kecemasan hingga 30% mengalami gangguan
obsesif-kompulsif.(2)
III. ETIOLOGITerdiri atas faktor biologic, genetik dan psikososial:
Faktor Biologik:
Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan panik berhubungan
dengan abnormalitas struktur dan fungsi otak. Dari penelitian juga diperoleh
data bahwa pada otak pasien dengan gangguan panik beberapa
neurotransmitter mengalami gangguan fungsi, yaitu serotonin, GABA (Gamma
Amino Butyric Acid) dan norepinefrin. Hal ini didukung oleh fakta bahwa
Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) efektif pada terapi pasien-pasien dengan
gangguan cemas, termasuk gangguan panik.(2)
2
Berdasarkan hipotesis patofisiologi, terjadi disregulasi baik pada sistem
perifer maupun sistem saraf pusat. Pada beberapa kasus ditemukan
peningkatan tonus simpatetik dalam sistem otonomik. Penelitian pada status
neuroendokrin juga menemukan beberapa abnormalitas, namun hasilnya belum
konsisten.(2)
Serangan panik merupakan respon terhadap rasa takut yang terkondisi
yang ditampilkan oleh fear network yang terlalu sensitif, yaitu amigdala,
korteks prefrontal dan hipokampus, yang berperan terhadap timbulnya panik.
Dalam model ini, seseorang dengan gangguan panik menjadi takut akan
terjadinya serangan panik.(2)
Faktor biologik lain yang berhubungan dengan terjadinya serangan panik
adalah adanya zat panikogen yang digunakan terbatas pada penelitian, serta
tampilan pencitraan dengan MRI (Magnetic Resonance Imaging) menunjukkan
ukuran lobus temporalis lebih kecil, walaupun ukuran hipokampus normal.(1, 2)
Zat Penyebab panik neurokimiawi yang bekerja melalui neurotransmitter
spesifik adalah yohimbin (Yocon), suatu antagonis reseptor adrenergik alfa2;
fenfluramine (pondimin), suatu obat pelepas serotonin; m-
chorophenylpiperazine (mCPP), suatu obat dengan efek serotogenik multiple;
obat beta-carboline; agonis pembalik reseptor GABA; flumazenil, suatu
antagonis reseptor GABAB, kolesistokinin; dan kafein.(6)
Zat penyebab panik neurokimiawi diperkirakan memiliki efek primernya
secara langsung pada reseptor noradrenergic, serotonergik, dan GABA pada
sistem saraf pusat.(6)
Faktor Genetik:
Pada keturunan pertama penderita gangguan panik dengan agorafobia
mempunyai resiko 4 sampai 8 kali mendapatkan serangan yang sama.(2)
Penelitian terhadap anak kembar yang telah dilakukan sampai sekarang
biasanya melaporkan bahwa kembar monozigotik adalah lebih berkemungkinan
sesuai untuk gangguan panik dibandingkan dengan kembar dizigotik.(6)
Faktor Psikososial:
3
Analisis penelitian mendapatkan bahwa terdapat pola ansietas akan
sosialisasi saat masa kanak, hubungan dengan orangtua yang tidak mendukung
serta perasaan terperangkap atau terjebak. Pada kebanyakan pasien, rasa
marah dan agresivitas sulit dikendalikan. Pada pasien-pasien dengan gangguan
panik, terdapat kesulitan dalam mengendalikan rasa marah dan fantasi-fantasi
nirsadar yang terkait. Misalnya pasien mempunyai harapan dapat melakukan
balas dendam terhadap orang tertentu. Harapan ini merupakan suatu ancaman
terhadap figur yang melekat.(2)
Menurut teori kelekatan, pasien-pasien dengan gangguan panik memiliki
gaya kelekatan yang bermasalah, antara lain dalam bentuk preokupasi terhadap
kelekatannya itu. Mereka sering berpandangan bahwa perpisahan dan
kelekatan sebagai sesuatu yang mutually exclusive; hal ini karena sensitivitas
yang tinggi baik akan kehilangan kebebasan maupun kehilangan akan rasa
aman dan perlindungan. Kesulitan ini tampak dalam keseharian pasien yang
cenderung menghindari perpisahan – yang terlalu menakutkan – dan pada saat
yang sama secara simultan juga menghindari kelekatan yang terlalu intens;
sering hal ini tampak dalam gaya interaksi pasien yang terlalu mengontrol
orang lain.(2)
Banyak pasien menggambarkan serangan panic berasal dari kesedihan,
seakan-akan tidak ada faktor psikologis yang terlibat , tetapi penggalian
psikodinamika sering kali mengungkapkan suatu pemicu psikologis yang jelas
untuk serangan panik. Pasien dengan gangguan panik memiliki insidensi lebih
tinggi peristiwa kehidupan yang penuh ketegangan, khususnya kehilangan,
dibandingkan dengan control dalam beberapa bulan sebelum onset gangguan
panik.(6)
IV. PERJALANAN PENYAKITGangguan ini biasa dimulai pada akhir masa remaja, awal masa dewasa
atau pada usia pertengahan. Pada umumnya tidak ditemukan stresor saat
serangan, walaupun sering pula dihubungkan dengan adanya stresor
psikososial.(2)
Gangguan panik biasanya berlangsung kronis, sangat bervariasi pada
tiap pasien. Dalam jangka panjang, 30-40% pasien tidak lagi mengalami
4
serangan panik, 50% mengalami gejala ringan sehingga tidak memengaruhi
kehidupannya. Sisanya masih mengalami gejala yang bermakna.(2)
Pada saat serangan pertama atau kedua, pasien sering mengabaikannya
dan baru menyadari setelah frekuensi dan intensitas bertambah. Hal ini juga
dapat dipacu oleh konsumsi kafein dan nikotin yang berlebihan.(2)
Depresi sering menyertai, yaitu pada 40-80% kasus. Walaupun jarang
terungkap ide bunuh diri, namun resiko tersebut meningkat dan 20-40%
diantara pasien juga mengkonsumsi alcohol atau zat lainnya. Sering terjadi
perubahan perilaku, interaksi dalam keluarga dan hasil akademis dan pekerjaan
mungkin dapat memburuk.(2)
Agorafobia yang terjadi pada gangguan panik akan reda bila gangguan
paniknya mendapat terapi.(2)
V. TANDA DAN GEJALAGejala-gejala serangan panik biasa berlangsung sekitar 10 menit, antara lain:(2,
3)
Kesulitan bernafas
Jantung berdebar atau nyeri dada
Perasaan takut yang berlebihan
Merasa tercekik
Pusing atau merasa mau pingsan
Gemetaran
Berkeringat
Mual atau nyeri perut
Kaku pada jari tangan dan kaki
Takut kehilangan kendali atau bahkan rasa hampir mati
Kondisi ini dapat berulang hingga membuat individu yang mengalaminya
menjadi sangat khawatir bahwa ia akan mengalami lagi keadaan tersebut
(disebut anticipatory anxiety). Hal itu membuatnya berulang kali berusaha
mencari pertolongan dengan pergi ke rumah-rumah sakit terdekat.(2, 3,10)
Sistem pernafasan merupakan topik yang penting dalam investigasi
pasien dengan gangguan panik, karena pernafasan yang cepat dan pendek
merupakan gejala yang sangat jelas dirasakan pasien. Disamping itu, menurut
5
Donald D. Klein, gejala tersebut merupakan suffocation false alarm. Berbeda
dengan abnormalitas kardiovaskuler, pernafasan yang tidak stabil adalah
spesifik pada gangguan panik, termasuk sindrom hiperventilasi dan
peningkatan variasi pernafasan. Penting diketahui bahwa peningkatan denyut
nadi dan pernafasan yang tidak stabil bisa timbul tanpa terjadi serangan panik.
Sebaliknya, serangan panik tidak selalu disertai pengukuran objektif dari
hiperventilasi atau disfungsi kardiovaskuler.(2)
Gejala mental yang dirasakan pada gangguan panik adalah rasa takut
yang hebat dan ancaman kematian atau bencana. Pasien bisa merasa bingung
dan sulit berkonsentrasi. Tanda fisik yang menyertai adalah takikardia,
palpitasi, dispne dan berkeringat. Penderita akan segera berusaha ‘keluar’ dari
situasi tersebut dan mencari pertolongan. Serangan dapat berlangsung selama
20-30 menit, jarang sampai lebih dari satu jam.(2)
Pada pemeriksaan status mental saat serangan dijumpai ruminasi,
kesulitan bicara seperti gagap dan gangguan memori. Depresi, derealisasi dan
depersonalisasi bisa dialami saat serangan panik. Fokus perhatian somatik
pasien adalah perasaan takut mati karena masalah jantung atau pernafasan.
Sering pasien merasa seperti akan menjadi gila.(2)
Agorafobia yang dialami oleh pasien dengan gangguan panik
menyebabkan penderita menolak untuk meninggalkan rumah ketempat yang
sulit mendapatkan pertolongan. Gejala penyerta lainnya adalah depresi, obsesif
kompulsif, dan pemeriksa harus waspada terhadap tendensi bunuh diri.(2)
Problem dalam rumah tangga, kehilangan pekerjaan, kesulitan finansial
bisa merupakan konsekuensi dari gangguan panik, demikian juga penggunaan
alkohol dan zat lainnya.(2)
Gejala penyerta berupa gejala depresif sering kali ditemukan pada
serangan panik dan agorafobia, dan pada beberapa pasien suatu gangguan
depresif ditemukan bersama-sama dengan ganguan panik. Penelitian telah
menemukan bahwa resiko bunuh diri selama hidup pada orang dengan
gangguan panik adalah lebih tinggi dibandingkan pada orang tanpa gangguan
mental.(6)
Disamping agorafobia, fobia lain dan gangguan obsesif konvulsif dapat
terjadi bersama-sama dengan ganguan panik. Akibat psikologis dari gangguan
6
panik dan agorafobia, dapat berupa waktu terbuang di tempat kerja, kesulitan
finansial yang berhubungan dengan hilangnya pekerjaan, dan penyalahgunaan
alcohol dan zat lain.(6)
Agorafobia berkembang saat pasien semakin membatasi aktifitas
normalnya karena ketakutan akan berada di dalam situasi dari mana
meloloskan diri mungkin sulit atau memalukan atau dimana bantuan mungkin
tidak tersedia dalam peristiwa serangan panik.(6)
VI. DIAGNOSIS DAN KRITERIA DIAGNOSISKriteria diagnostik untuk serangan panik berdasarkan DSM-IV
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 4):(9)
(1) Palpitasi, jantung berdebar kuat, atau kecepatan jantung bertambah cepat.
(2) Berkeringat.
(3) Gemetar atau berguncang
(4) Rasa nafas sesak atau tertahan
(5) Perasaan tercekik
(6) Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman
(7) Mual atau gangguan perut
(8) Perasaan pusing, bergoyang, melayang, atau pingsang.
(9) Derealisasi (perasaan tidak realitas) atau depersonalisasi (bukan merasa diri sendiri).
(10) Ketakutan kehilangan kendali atau menjadi gila
(11) Rasa takut mati.
(12) Parestesia (mati rasa atau sensasi geli)
(13) Menggigil atau perasaan panas
Defenisi serangan panik yaitu suatu periode tertentu adanya rasa takut
yang hebat atau perasaan tidak nyaman, dimana empat atau lebih gejala diatas
terjadi secara tiba-tiba dan mencapai puncaknya dalam 10 menit. (6)
Gangguan panik (F41.0) baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila
tidak ditemukan adanya gangguan ansietas fobik (F40.-)(4)
7
Gambaran yang esensial adalah adanya serangan anxietas berat (panik)
yang berulang, yang tidak terbatas pada adanya situasi tertentu ataupun suatu
rangkaian kejadian, dan karena itu tidak terduga. Seperti pada gangguan
anxietas lainnya, gejala yang dominan bervariasi pada masing-masing orang,
tetapi onset mendadak dalam bentuk palpitasi, nyeri dada, perasaan tercekik,
pusing kepala, dan perasaan yang tidak riil (depersonalisasi atau derealisasi),
merupakan gejala yang lazim. Juga hampir selalu secara sekunder timbul rasa
takut mati, kehilangan kendali atau menjadi gila. (8,10)
Setiap serangan biasanya berlangsung hanya beberapa menit, meskipun
kadang-kadang bisa lebih lama. Seorang individu yang sedang mengalami
serangan panik sering kali merasakan ketakutan yang semakin meningkat
dengan disertai gejala otonomik yang mengakibatkan yang bersangkutan,
biasanya dengan terburu-buru meninggalkan tempat dimana ia sedang berada.
Serangan panik sering kali diikuti dengan ketakutan yang menetap akan
kemungkinan mengalami serangan lagi. (8)
Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa serangan berat
anxietas otonomik, yang terjadi dalam periode kira-kira satu bulan:(2, 4)
a. Pada keadaan-keadaan yang sebenarnya secara objektif tidak ada
bahaya;
b. Tidak terbatas hanya pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat
diduga sebelumnya (unpredictable situations);
c. Adanya keadaan relatif bebas gejala ansietas dalam periode antara
serangan-serangan panik (meskipun lazim terjadi juga ansietas
antisipatorik).
VII. PENATALAKSANAANPenatalaksanaan Ketika Serangan Panik Terjadi
Serangan panik merupakan salah satu jenis kegawatdaruratan psikiatri.
Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi pasien
serangan panik yang datang dengan keluhan nyeri dada, sesak napas, palpitasi,
atau nyaris pingsan antara lain: (1)
1. Terapi oksigen
2. Membaringkan pasien dalam posisi fowler
8
3. Memonitor tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dan EKG
4. Memeriksa ada tidaknya kelainan lain yang dialami pasien seperti
kelainan kardiopulmoner dan memastikan kalau pasien sedang
mengalami serangan panik.
5. Memberikan penjelasan dan motivasi pada pasien kalau semua keluhan
yang dialaminya dapat berkurang jika dia menenangkan diri. Komponen
utama dari terapi pasien serangan panik adalah menjelaskan pada pasien
kalau kondisi yang dialaminua bukanlah disebabkan oleh kondisi medis
yang serius dan bukan pula dikarenkan oleh gangguan mental yang
parah, tapi lebih diakibatkan oleh ketidakseimbangan kimiawi dalam
tubuh karena respon sistem simpatik atau flight response.
6. Memberikan injeksi lorazepam 0,5mg IV untuk menenangkan dan
mengurangi impuls tak terkontrol pasien.
Bila keadaan pasien membaik, lorazepam injeksi dapat diganti dengan
lorazepam oral atau golongan benzodaizepin lain. Tetapi ini tidak boleh
lebih dari 1 minggu untuk mencegah ketergantungan. Benzodiazepine
digunakan hanya untuk meningkatkan kepercayaan diri pasien. Setelah
serangan panik berlalu, pasien harus dijelaskan mengenai pentingnya
terapi jangka panjang seperti CBT dan penggunaan obat jenis SSRI.
Penatalaksanaan Gangguan panik ketika tidak ada serangan.
Mengingat gangguan panik merupakan suatu penyakit yang bersifat
kronik, sering berulang, serta dapat menyertai berbagai gangguan mental dan
somatik lain, maka penatalaksanaan yang tepat serta hemat biaya sangat
dibutuhkan oleh pasien untuk mengurangi beban ekonomi yang bisa ikut
menjadi pemicu gangguan mental yang lain lagi pada pasien. (1)
RANZCP (Royal Australian andNewZealandCollege of Psychiatrist)
menyatakan bahwa penatalaksanaan yang direkomendasikan untuk menangani
gangguan panik adalah mengedukasi pasien dan keluarga agar dapat
mendukung pasien dalam mengatasikepanikannya.Terapi medikasi hanya
dianjurkan untuk penggunaan jangka pendek. (7)
Saat ini CBT(Cognitive-behaviour therapy) merupakan terapi yang
dianggap lebih efektif dan murah dalam mengatasi gangguan panik jika
dibandingkan dengan terapi medikasi. Untuk terapi medikasi, obat-obatan
golongan tricyclic dan SSRI dianggap memiliki efikasi yang setara serta lebih
dipilih sebagai medikasi pilihan dibanding golongan benzodiazepin yang sering
9
disalahgunakan serta dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada pasien
yang mengalami ketergantungan alkohol.(6,7)
1. Cognitive-Behavioral theraphy (CBT)
CBT dengan atau tanpa farmakoterapi, merupakan terapi pilihan untuk
gangguan panik, dan terapi ini harus diberikan pada semua pasien. CBT
memiliki efikasi yang lebihtinggi dalam mengatasi gangguan panik dan
biayanya lebih murah. Selain itu tingkat drop out dan relaps juga lebih rendah
jika dibandingkan dengan terapi farmakologi. Meskipun begitu,hasil yang lebih
superior dapat dihasilkan dari kombinasi CBT dan famakoterapi. (1,3,7)
Beberapa metode CBT :
Terdapat beberapa metode CBT. beberapa diantaranya yakni metode
restrukturisasi,terapi relaksasi, terapi bernapas, dan terapi interocepative. Inti
dari terapi CBT adalahmembantu pasien dalam memahami cara kerja
pemikiran otomatis dan keyakinan yang salahdapat menimbulkan respon emosional
yang berlebihan, seperti pada gangguan panik.(1,6)
Terapi restrukturisasi, melalui terapi ini pasien dapat merestrukturisasi
isi pikirannya dengancara mengganti semua pikiran ± pikiran negatif yang
dapat mengakibatkan perasaan tidak menyenangkan yang dapat memicu
serangan panik dengan pemikiran-pemikiran positif.
Terapi relaksasi dan bernapas dapat digunakan untuk membantu pasien
mengontrol kadar kecemasan dan mencegah hypocania ketika serangan panik
terjadi.Semua jenis CBT sepertidi atas dapat dilakukan pasien dengan atau tanpa
melibatkan dokter.(1,6)
Namun salah satu metode CBT seperti Interoceptive therapy yang
terbukti berhasil pada 87% pasien harus dilakukan dengan bantuan dokter di
suatu lingkungan yang terkontrol.Karena terapi ini dilakukan dengan
memberikan paparan yang dapat menstimulus serangan panik pasien dengan cara
meningkatkannya sedikit demi sedikit hingga pasien mengalamidesensitasi terhadap
stimulus tersebut. Adapun beberapa teknik yang dapat dilakukan
untuk mendesensitasi gangguan panik antara lain: (1)
Hiperventilasi disengaja, ini dapat mengakibatkan kepala pusing,
derealisasi, dan pandangan menjadi kabur
Melakukan putaran pada kursi ergonomis, ini dapat mengakibatkan rasa
pusing dan disorientasi
10
Bernapas melalui pipet, ini dapat mengakibatkan sesak napas dan
konstriksi saluran napas.
Menahan napas, ini dapat menciptakan sensasi seperti pengalaman
menjelang ajal
Menegangkan badan, untuk menciptakan perasaan tegang dan waspada
Semua tindakan di atas dilakukan tidak boleh lebih dari 1 menit.
Kuncinya dariteknik di atas adalah menciptakan sejumlah stimulus yang
menyerupai serangan panik. Latihan-latihan tersebut diulangi 3-5 kali sehari
hingga pasien tidak lagi merasakankepanikan terhadap stimulus seperti itu.
Biasanya butuh waktu hingga beberapa mingguuntuk dapat mencapai hal itu.(1)
Pemaparan terhadap stimulus tersebut dilakukan agar pasien dapat
belajar melalui pengalaman bahwa semua sensasi internal yang dia rasakan
seperti sesak napas, pusing dan pandangan yang kabur bukanlah hal yang
harus ditakuti. Ketika pasien mulai menyadari haltersebut maka secara
otomatis, hippocampus dan amygdala, yang merupakan pusat emosi,akan ikut
mempelajarinya sebagai hal yang tidak perlu ditakuti, sehingga respon
sistemsimpatik akan ikut berkurang.(1)
2. Terapi Medikasi
Terdapat 3 golongan besar obat yang dianjurkan untuk mengatasi
gangguan panik,yakni golongan SSRI, trisiklik, dan MAOI (Monoamine oxidase
inhibitor).Sedangkan golongan benzodiazepin hingga saat ini masih dianggap
kontoversial dalam terapi gangguan panik.(1,3,7)
2.a. Golongan SSRI
Penggunaan SSRI dan follow up keberhasilannya sebaiknya dimulai
dalam rentang2 minggu sejak serangan panik terjadi karena SSRI dapat
memicu serangan panik pada pemberian awal. Oleh karena itu dosis SSRI
dimulai dari yang terkecil lalu ditingkatkansecara perlahan di setiap
kesempatan follow up berikutnya.
Mekanisme kerja SSRI
SSRI dipercaya dapat meningkatkan kadar serotonin di ekstraselular
dengan caramenghambat pengambilan kembali serotonin ke dalam sel
presinaptik sehingga ada lebih banyak serotonin di celah sinaptik yang dapat
11
berikatan dengan reseptor sel post-sinaptik. SSRI memiliki tingkat selektivitas
yang cukup baik terhadap transporter monoamin yang lain,seperti pada
transporter noradrenaline dan dopamine, SSRI memiliki afinitas yang lemah
terhadap kedua reseptor tersebut sehingga efek sampingnya lebih sedikit.SSRI
merupakan obat psikotropik pertama yang dianggap memiliki desain
obatrasional, karena cara kerjanya benar-benar spesifik pada suatu target
biologi tertentu dan memberikan efek berdasarkan target tersebut. Oleh karena
itu SSRI digunakan secara luas dihampir semua negara sebagai lini pertama
pengobatan antipanik. (1)
SSRI dapat diberikan selama 2-4 minggu, dan dosisnya dapat
ditingkatkan secara bertahap tergantung pada kebutuhan. Semua jenis SSRI
yang dikenal saat ini memilikiefektifitas yang baik dalam menangani gangguan
panik. Salah satunya, Fluoxetine dalamsalut memiliki masa paruh waktu yang
panjang sehingga cocok digunakan untuk pasien yangkurang patuh minum
obat. Selain itu waktu paruh yang panjang dapat meminimalisir
efek withdrawl yang dapat terjadi ketika pasien lelah atau tiba-tiba
menghentikan penggunaan SSRI. (1)
Contoh Obat Golongan SSRI
Fluoxetine (Prozac)
Fluoxetine secara selektif menghambat reuptake seotonin presinaptik, dengan
efek minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap reuptake norepinephrine
atau dopamine.
Paroxetine (Paxil, Paxil CR)
Ini merupakan SSRI alternatif yang bersifat sedasi karena cara kerjanya
berupakan inhibitor selektif yang poten terhadap serotonin neuronal dan
memiliki efek yang lemah terhadap reuptake norepinephrine dan dopamine.
Sertraline (Zoloft)
Cara kerjanya mirip fluoxetine namun memiliki efek inhibisi yang lemah pada
reuptake norephinephrine dan dopamine neuronal.
Fluvoxamine (Luvox, Luvox CR)
Fluoxamine merupakan inhibitor selektif yang juga poten pada reuptake
serotonin neuronal serta secara signifikan tidak berikatan pada alfa-adrenergik,
histamine atau reseptor kolinergik sehingga efek sampingnya lebih sedikit
dibanding obat-obatan jeis trisiklik.
Citalopram (Celexa)
12
Citalopram meningkatkan aktivitas serotonin melalui inhibisi selektif reuptake
serotonin pada membran neuronal. Efek samping antikolinergik obat ini lebih
sedikit.
Escitalopram (Lexapro)
Escitalopram merupakan enantiomer citalopram. Mekanisme kerjanya mirip
dengan citalopram.
Efek samping SSRI
Efek samping SSRI biasanya timbul selama 1-4 minggu pertama
ketika tubuh mulaimencoba beradaptasi dengan obat (kecuali efek
samping seksual yang timbul pada fase akhir pengobatan). Biasanya
penggunaan SSRI mencapai 6-8 minggu ketika obat mulai mendekat potensi
terapi yang menyeluruh. Adapun beberapa efek samping SSRI antara
lain: anhedonia,insomnia, nyeri kepala, tinitus, apati, retensi urin,
perubahan pada perilaku seksual, penurunan berat badan, mual, muntah
dan yang ditakutkan adalah efek sampinng keinginan bunuh diri dan
meningkatkan perasaan depresi pada awal pengobatan. (1)
2.b. Golongan Tricyclic/Trisiklik
Golongan trisiklik zat kimia heterosiklik yang awalnya digunakan untuk
mengatasi depersi. Pada awal penemuannya, golongan trisiklik merupakan
pilihan pertama untuk terapi depresi. Meskipun masih dianggap memiliki
efektifitas yang tinggi, namun saat ini penggunaannya mulai digantikan oleh
golongan SSRI dan antidepresan lain yang terbaru.(1,7)
Golongan trisiklik beberapa memiliki kelebihan di antaranya, dosisnya
cukup 1x/hari, rendah resiko ketergantungan, dan tidak perlu ada pantangan
makanan. TCAs have the advantages of once-daily dosing, low risk of
dependence, and no dietary restrictions. Namun 35% penggunanya langsung
menghentikan pengobatan karena efek samping yang tidak menyenangkan.
Golongan trisiklik harus dimulai dengan dosis kecil untuk menghindari
amphetamine like stimulation. Biasanya pengobatan dengan menggunakan
trisiklik membtuhkan waktu sekitar 8-12 minggu untuk mencapai respon
terapi.
Trisiklik masih tetap digunakan dalam terapi terutama untuk depresi atau panik
yang resisten terhadap obat antipanik terbaru. Selain itu golongan trisiklik
13
tidak menyebabkan ketergantungan sehingga dapat digunakan dalam jangka
waktu yang lama. Hanya saja kelemahan golongan ini adalah, efek sampingnya
biasanya mendahului efek terapi sehingga banyak pasien yang justru segera
menghentikan pengobatan meskipun efek terapinya belum tercapai. (1)
Mekanisme Kerja Trisiklik
Mekanisme kerja kebanyakan trisiklik menyerupai cara kerja SNRI
(serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor) dengan cara memblok
transporter serotonin dan norepinephrine, sehingga terjadi peningkatan
neurotransmiter ekstraseluler yang dapat bereaksi dalam proses
neurotransmisi. TCA sama sekali tidak bereaksi terhadap transporter dopamin
sehingga efek samping akibat peningkatan dopamin seperti halusinasi dapat
berkurang.(1)
Selain bereaksi pada reseptor norepinephrine dan serotonin, trisiklik juga
bereaksi sebagai antagonis pada neurotransmiter 5-HT2 (5-HT2A and 5-HT2C),
5-HT6, 5-HT7, α1-adrenergic, and NMDA receptors, dan sebagai agonists pada
sigma receptors (σ1 and σ2), yang memberikan kontribusi pada efek terapi dan
efek sampingnya. Trisiklik juga dikenal sebagai antihistamin dan antikolinergik
kuat karena dapat bereaksi dengan reseptor histamine dan asetilkolin
muskarinik.(1)
Kebanyak trisiklik juga dapat menghambat kanal natrium dan kalsium,
sehingga dapat bekerja seperti obat-obatan natrium channel blocker dan
calcium channel blocker. Karena itu penggunanaan berlebih trisiklik dapat
menyebabkan kardiotoksik. (1)
Contoh Obat Trisiklik
Imipramine (Tofranil, Tofranil-PM)
Imipramine menghambat reuptake norepinephrine dan serotonin pada neuron
presinaptikin.
Desipramine (Norpramin)
Desipramine dapat meningkatkan konsentrasi norepinephrine pada celah
sinaptik SSP dengan cara menghambat reuptakenya di membran presinaptik.
Hal ini dapat menyebabkan efek desensitasi pada adenyl cyclase, menurunkan
regulasi reseptor beta-adrenergik, dan regulasi reseptor serotonin.
Clomipramine (Anafranil)
Obat ini berefek langsung pada uptake serotonin sedangakan pada efeknya
uptake norepinephrine terjadi ketika obat ini diubah menjadi metabolitnya,
14
desmethylclomipramine.
Efek Samping Trisiklik
Ada banyak efek samping yang dapat disebabkan oleh trisiklik yang
berkaitan dengan antimuskarinik-nya. Beberapa di antaranya adalah mulut
kering, hidung kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, gangguan
memori dan peningkatan temperatur tubuh.
Efek samping lainnya adalah pusing, cemas, anhedonia, bingung, sulit tidur,
akathisia, hipersensitivitas, hipotensi, aritmia serta kadang-kadang
rhabdomiolisis. (1)
2.c. MAO Inhibitor
Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) merupakan salah satu jenis
antidepresi yang dapat digunakan untuk mengatasi gangguan panik. Pada masa
lalu golongan ini digunakan untuk mengatasi gangguan panik dan depresi yang
sudah resisten terhadap golongan trisiklik.
MAO paling efektif digunakan pada gangguan panik yang disertai agoraphobia.
Selain itu MAO juga dapat digunakan untuk mengatasi migraine dan penyakit
parkinson karena target dari obat ini adalah MAO-B yang berperan dalam
timbulnya nyeri kepala dan gejala parkinson. (1)
Kelebihan MAO adalah tingkat ketergantungan terhadap obat ini rendah
dan efek antikolinergiknya lebih sedikit dibanding obat golongan trisiklik.
Cara Kerja MAOI
MAOI bekerja dengan cara menghambat aktivitas monoamine oxidase,
sehingga ini dapat mencegah pemecahan monoamine neurotransmitters dan
meningkatkan avaibilitasnya. Terdapat 2 jenis monoamine oxidase, MAO-A dan
MAO-B. MAO-A berkaitan dengan deaminasi serotonin, melatonin, epinephrine
and norepinephrine. Sedangkan MAO-B mendeaminasi phenylethylamine and
trace amines. Dopamine dideaminasi oleh keduanya.
Contoh Obat MAOI
Phenelzine (Nardil)
Nardil merupakan obat golongan MAOI yang paling sering digunakan dalam
mengatasi gangguan panik. Hal ini telah dibuktikan merlalui superioritas yang
jelas terhadap placebo dalam percobaan double-blind untuk mengatas
15
gangguan panik. Obat ini biasanya digunakan untuk pasien yang tidak respon
terhadap obat golongan trisiklik atau obat antidepresi golongan kedua.
Tranylcypromine (Parnate)
Obat ini juga efektif terhadap gangguan panik karena berikatan secara
ireversibel pada MAO sehingga dapat mengurangi pemecahan monoamin dan
meningkatkan avaibilitas sinaptik.
Efek Samping MAOI
Ketika dikonsumsi peroral, MAOI menghambat katabolisme amine.
Sehingga ketika makanan yang mengandung tiramin dikonsumsi, seseorang
dapat menderita krisis hipertensi. Jika makanan yang mengandung tiptofan
dimakan juga, maka hal ini dapat menyebabkan hiperserotonemia. Jumlah
makanan yang dibutuhkan hingga menimbulkan reaksi berbeda-beda pada tiap
individu.
Mekanisme pasti mengapa konsumsi tiramin dapat menyebabkan krisis
hipertensi pada pengguna obat MAOI belum diketahui, tapi diperkirakan
tiramin menggantikan norepinefrin pada penyimpanannya di vesikel, dalam hal
ini norepinefrin terdepak oleh tiramin. Hal ini dapat memicu aliran pengeluaran
norepinefrin sehingga dapat menyebabkan krisis hipertensi. Teori lain
menyatakan bahwa proliferasi dan akumulasi katekolamin yang menyebabkan
krisis hipertensi. (1)
Beberapa makanan yang mengandung tiramin antara lain hati, makanan
yang difermentasi dan zat-zat lain yang mengandung levodopa seperti kacang-
kacangan. Makanan-makanan itu harus dihindarkan dari pengguna MAOI. (1)
2.d. Golongan Benzodiazepin
Golongan benzodiazepin merupakan salah satu obat piliahnyang
digunakan untuk mengatasi serangan panik akut.
Cara Kerja Benzodiazepin
Benzodiazepin bekerja dengan cara meningkatkan efek neurotransmiter
GABA (gamma-butyric acid), yang berakibat pada inhibisi fungsi eksitasi
sehingga dapat menimbulkan kantuk, menekan kecemasan, anti-kejang,
melemaskan otot dan dapat mengakibatkan amnesia.
16
Ada 3 jenis benzodiazepin yakni yang short acting, intermediate acting
dan long acting. Benzodiazepin short- dan intermediate acting digunakan untuk
mengatasi insomnia sedangkan yang golongan long-acting digunakan untuk
mengatasi gangguan panik.(1)
Contoh Obat Benzodiazepin
Lorazepam (Ativan)
Lorazepam merupakan suatu hipnotik-sedatif yang memiliki efek onset singkat
dan paruh waktunya tergolong intermediate. Dengan meningkatkan aksi GABA,
yang merupakan inhibitor utama di otak, lorazepam dapat menekan semua
kerja SSP, termasuk sistem limbik dan formasi retikuler.
Clonazepam (Klonopin)
Clonazepam menfasilitasi inhibisi GABA dan transmiter inhibitorik lainnya.
Selain itu, obat ini memiliki waktu paru yang relatif panjang sekitar 36 jam.
Alprazolam (Xanax, Xanax XR)
Alprazolam merupakan terapi pilihan untuk manajemen serangan panik. Obat
ini dapat terikat pada reseptor-reseptor pada beberapa bagian otak, termauk
sistem limbik dan RES. Meskipun begitu banyak ahli yang tidak menyarankan
penggunaan alprazolam dalam waktu lama karena tingkat ketergantungannya
sangat tinggi.
Diazepam (Valium, Diastat, Diazepam Intensol)
Diazepam meruapakan salah satu jenis benzodiazepin yang potensinya rendah.
Namun dapat digunakan untuk mengatasi serangan panik.
Efek Samping Benzodiazepin
Efek samping yang paling sering ditemukan pada benzodiazepin biasanya
berkaitan dengan efek sedasi dan relaksan ototnya. Beberapa di antaranya
adalah mengantuk, pusing, dan penurunan konsentrasi dan kewaspadaan.
Kurangnya koordinasi bisa mengakibatkan jatuh dan kecelakaan, terutama pada
orang tua. Akibat lain dari benzodiazepin adalah penurunan kemampuan
menyetir sehingga dapat berakibat pada tingginya angka kecelakaan.
Efek samping lainnya adalah hipotensi dan penekanan pusat pernapasan
terutama pada penggunaan intravena. Beberapa efek samping lain yang dapat
17
timbul pada penggunaan benzodiazepin adalah mual, muntah, perubahan selera
makan, pandangan kabur, bingung, euforia, depersonalisasi dan mimpi buruk.
Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa benzodiazepin bersifat liver toksik. (1)
2.e. Serotonin Reuptake Inhibitor/Antagonist
Mekanisme kerja obat ini belum terlalu dipahami. Namun diketahui obat
ini dapat mengatasi gangguan panik dengan cara kerja yang berbeda dari
MAOI, serta tidak seperti obat jenis amphetamine, obat ini tidak menstimulasi
CNS. (1)
Contoh Obat
Trazodone
Trazodone sangat berguna dalam terapi gangguan panik yang disertai
agorafobia. Pada hewan, obat ini secara selektif mampu menghambat uptake
serotonin melalui sinaptosom otak dan mepotensiasi perubahan perilaku
melalui induksi prekursor serotonin, 5-hidroksitriptofan.
2.f. Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitors
Ini merupakan salah golongan antipanik terbaru. Cara kerja obat ini
adalah mencegah reuptake inhibitor serotonin-norepinefrin sehingga dapat
mengatasi kepanikan.
Contoh Obat
Venlafaxine (Effexor, Effexor XR)
Venlafaxine merupakan salah satu contoh obat inhibitor reuptake
serotonin/norepinephrine selain itu cara kerja obat ini adalah menurunkan
regulasi reseptor beta.(1)
3. Interaksi Obat
Adapun beberapa interaksi obat yang harus diperhatikan pada penggunaan
terapi medikasi
gangguan panik antara lain: (5)
• Obat anti-panik trisiklik (Imipramine/Clomipramine) +
Haloperidol(Phenothiazine) = mengurangi kecepatan ekskresi dari trisiklik
sehingga kadar dalam plasma meningkat, sebagai akibatnya dapat terjadi
potensiasi efek samping antikolinergik seperti ileus paralitik, disuria, gangguan
absorbsi dan lain-lain.
18
• Obat trisiklik/SSRI + CNS Depressant (alkohol, opioid, benzodiazepine, dll)
menyebabkan potensiasi efek sedasi dan penelanan terhadap pusat pernapasan
bahkan dapat terjadi gagal napas.
• Obat trisklik/SSRI + Obat simpatomimetik (derivat amfetamin) = dapat
membahayakan kondisi jantung.
• Obat trisiklik/SSRI + MAOI tidak boleh diberikan bersamaan karena dapat
terjadi Serotonin Malignant Syndrome. Perubahan penggunaan trisiklik/SSRI
menjadi MAOI atau sebaliknya harus menunggu waktu sekitar 2-4 minggu
untuk wash out period.
• Obat trisiklik + SSRI, dapat meningkatkan toksisitas obat trisiklik.
4. Pemilihan Obat dan Pengaturan Dosis
• Semua jenis obat anti-panik hampir sama efektifnya dalam menanggulangi
sindrom panik pada taraf sedang dan pada stadium awal dari gangguan panik.
• Bila pasien peka terhadap efek samping obat, maka golongan obat yang
dianjurkan adalah SSRI atau RIMA yang lebih sedikit efek sampingnya.
• Alprazolam menjadi pilihan untuk menangani pasien yang terkena serangan
panik akut.
• Obat anti-panik harus dimulai dengan dosis kecil lalu ditingkatkan secara
perlahan hingga tercapai dosis maintenance. Dan harus diingatkan pada pasien
bahwa efek obat anti-panik bekerja dalam jangka waktu 2-4 minggu sehingga
meyakinkan pasien agar tetap patuh minum obat sangatlah penting.
• Lamanya pemberian obat anti-panik bisa mencapai 6-12 bulan dan bila
sudah tidak terdapat lagi gejala, dosisnya dapat diturunkan selama 3 bulan
hingga pasien tidak tergantung lagi pada obat. Namun apabila terdapt lagi
serangan, pasien harus memulai lagi pengobatan dari awal. (5)
5. Pemilihan Obat dan Pengaturan Dosis
• Semua pasien yang baru saja memakan obat anti-panik tidak dianjurkan
membawa kendaraan atau menjalankan mesin karena pasien dapat tertidur saat
melakukan aktivitas.
• Semua ibu hamil tidak dianjurkan memakan obat anti-panik.
• Pada manula dan yang menderita gangguan hati serta ginjal, maka dosis
obat anti-panik harus diberikan seminimal mungkin.(5)
19
VIII. PROGNOSISWalaupun gangguan panik merupakan penyakit kronis, namun penderita
dengan fungsi premorbid yang baik serta durasi serangan yang singkat
bertendensi untuk prognosis yang lebih baik.(2)
IX. PREVENSIPencegahan primer (yaitu bagi yang belum pernah mengalami gangguan
panik), maka harus waspada bila dalam keluarganya ada yang mengalami. Juga,
menurut penelitian, bila seseorang pernah mengalami cemas perpisahan
(separation anxiety) ketika pertama kali masuk sekolah, maka bisa jadi ketika
dewasa mungkin akan mengalami gangguan panik.(2)
Pencegahan sekunder (bila individu pernah mengalami serangan panik
satu kali) dan telah berobat ke dokter, maka pencegahan yang dapat dilakukan
agar tidak terjadi kekambuhan adalah dengan melakukan latihan relaksasi
secara teratur dan terus menerus, datang konsultasi sampai dinyatakan sembuh
oleh dokter.(2)
20
KESIMPULAN
Gangguan panik ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan dan
tidak diperkirakan. Etiologi gangguan panik terdiri atas faktor organobiologik,
psikoedukatif (termasuk psikodinamik), sosiokultural. Defenisi serangan panik
yaitu suatu periode tertentu adanya rasa takut yang hebat atau perasaan tidak
nyaman, dimana empat atau lebih gejala serangan panik terjadi secara tiba-tiba
dan mencapai puncaknya dalam 10 menit. Gejala-gejala serangan panik antara
lain:
(1) Palpitasi, jantung berdebar kuat, atau kecepatan jantung bertambah cepat.
(2) Berkeringat.
(3) Gemetar atau berguncang
(4) Rasa nafas sesak atau tertahan
(5) Perasaan tercekik
(6) Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman
(7) Mual atau gangguan perut
(8) Perasaan pusing, bergoyang, melayang, atau pingsang.
(9) Derealisasi (perasaan tidak realitas) atau depersonalisasi (bukan merasa diri sendiri).
(10) Ketakutan kehilangan kendali atau menjadi gila
(11) Rasa takut mati.
(12) Parestesia (mati rasa atau sensasi geli)
(13) Menggigil atau perasaan panas
Kondisi ini dapat berulang hingga membuat individu yang mengalaminya
menjadi sangat khawatir bahwa ia akan mengalami lagi keadaan tersebut
(disebut anticipatory anxiety). Hal itu membuatnya berulang kali berusaha
mencari pertolongan dengan pergi ke rumah-rumah sakit terdekat.
Gejala mental yang dirasakan pada gangguan panik adalah rasa takut yang
hebat dan ancaman kematian atau bencana. Pasien bisa merasa bingung dan
sulit berkonsentrasi. Tanda fisik yang menyertai adalah takikardia, palpitasi,
dispne dan berkeringat. Penderita akan segera berusaha ‘keluar’ dari situasi
tersebut dan mencari pertolongan. Pada pemeriksaan status mental saat
21
serangan dijumpai ruminasi, kesulitan bicara seperti gagap dan gangguan
memori. Depresi, derealisasi dan depersonalisasi bisa dialami saat serangan
panik. Fokus perhatian somatik pasien adalah perasaan takut mati karena
masalah jantung atau pernafasan.
Langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi pasien serangan panik yang
datang dengan keluhan nyeri dada, sesak napas, palpitasi, atau nyaris pingsan
antara lain:
1. Terapi oksigen
2. Membaringkan pasien dalam posisi fowler
3. Memonitor tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dan EKG
4. Memeriksa ada tidaknya kelainan lain yang dialami pasien seperti
kelainan kardiopulmoner dan memastikan kalau pasien sedang
mengalami serangan panik.
5. Memberikan penjelasan dan motivasi pada pasien kalau semua keluhan
yang dialaminya dapat berkurang jika dia menenangkan diri.
Memberikan injeksi lorazepam 0,5mg IV untuk menenangkan dan
mengurangi impuls tak terkontrol pasien.
Sedangkan untuk penatalaksanaan pasien gangguan panik ketika tidak ada
serangan antara lain dengan CBT (Cognitive-behaviour therapy) yaitu terapi
yang dianggap lebih efektif dan murah dalam mengatasi gangguan panik jika
dibandingkan dengan terapi medikasi. terapi medikasi SSRI dan trisiklik
sebagai terapi lini pertama dan golongan benzodiazepin potensi tinggi, MAOI
dan obat anti-panik jenis lain menjadi terapi lini kedua. CBT saja mungkin
efektif digunakan untuk terapi jangka panjang, namun efikasi terapi dapat
bertambah serta tingkat relaps dapat berkurang jika CBT dikombinasikan
dengan terapi medikasi.
Pencegahan untuk pasien gangguan panik juga sangat penting. Terbagi menjadi
pencegahan primer yaitu harus waspada bila dalam keluarga ada yang
mengalami gangguan panic, dan pencegahan sekunder yaitu pencegahan yang
dilakukan agar tidak terjadi kekambuhan dengan melakukan latihan relaksasi
secara teratur dan terus menerus, datang konsultasi sampai dinyatakan sembuh
oleh dokter.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Memon MA. Panic Disorder. Medscape Reference; 2011 [updated
29/03/2011; cited on January 2012]; Available from:
http://emedicine.medscape.com.
2. Kusumadewi I, Elvira SD. Gangguan Panik. In: Elvira SD, Hadisukanto G,
editors. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2010. p. 235-
41.
3. Chakraburtty A. Panic Disorder. WebMD; 2009 [updated 09/02/2009;
cited on January 2012]; Available from: http://www.webmd.com.
4. Maslim R, editor. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya; 2001.
5. Maslim R, editor. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. 3rd ed. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya; 2007.
6 Saddock BJ, Saddock VA. Gangguan Panik dan Agorafobia. Dalam: Kaplan
HI, Sadock BJ. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku dan Psikiatri
Klinis jilid II. hal.32-46
7 Cloos JM. Treatment of panic disorder. Updated on January 2005. [Cited
on January 2012]. Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/497207_1
8 Departeman Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama. Hal. 178-9
9 American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder IV, 4th ed. Washington; DC: p.209-16.
10 Cameron, N. Personal Development and Psychopathology, A dynamic
Approach. p.257-8.
23
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN.............................................................................................1
II. EPIDEMIOLOGI..............................................................................................1
III. ETIOLOGI.......................................................................................................2
IV. PERJALANAN PENYAKIT...............................................................................4
V. TANDA DAN GEJALA......................................................................................5
VI. DIAGNOSIS DAN KRITERIA DIAGNOSIS......................................................6
VII. PENATALAKSANAAN.....................................................................................8
VIII. PROGNOSIS..............................................................................................18
IX. PREVENSI.....................................................................................................18
KESIMPULAN………………………………………………………………………………………………………………………….. 20
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………………………………………….22
24