gbs tinjauan pustaka

32
BAB II PENDAHULUAN Guillain Barre syndrome (GBS) adalah suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemis. John Lettsom, 1787 , merupakan orang pertama yang mengangkat masalah neuropati perifer. Ia mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat dari konsumsi alkohol yang berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti tentang adanya kelainan patologis maupun anatomis dari penderita. James Jackson, 1822, kembali mendeskripsikan penyakit ini sebagai alcoholic neuropathy , namun tanpa kelainan patologis dan anatomis. Pada tahun 1859, Landry, mempublikasikan artkelnya yang berjudul “ A note on acute ascending paralysis “ . Artikel ini bercerita tentang seorang pasien yang telah mengalami paralisis akut selama lebih dari 8 hari, sebelum akhirnya meninggal dunia. Paralisis ini meliputi kelemahan otot otot proksimal, otot pernapasan, kelemahan dan kehilangan refleks, dan takikardi. Paralisis ini dikenal dengan sebutan Landry’s paralysis. 5)

Upload: steven-lia

Post on 12-Jan-2016

5 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

GBS bab II Tinjauan pustaka

TRANSCRIPT

Page 1: GBS Tinjauan Pustaka

BAB II

PENDAHULUAN

Guillain Barre syndrome (GBS) adalah suatu sindroma klinis dari

kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan

bukan oleh penyakit sistemis.

John Lettsom, 1787 , merupakan orang pertama yang mengangkat masalah

neuropati perifer. Ia mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat dari konsumsi

alkohol yang berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti tentang

adanya kelainan patologis maupun anatomis dari penderita.

James Jackson, 1822, kembali mendeskripsikan penyakit ini sebagai

alcoholic neuropathy , namun tanpa kelainan patologis dan anatomis.

Pada tahun 1859, Landry, mempublikasikan artkelnya yang berjudul “ A

note on acute ascending paralysis “ . Artikel ini bercerita tentang seorang pasien

yang telah mengalami paralisis akut selama lebih dari 8 hari, sebelum akhirnya

meninggal dunia. Paralisis ini meliputi kelemahan otot otot proksimal, otot

pernapasan, kelemahan dan kehilangan refleks, dan takikardi. Paralisis ini dikenal

dengan sebutan Landry’s paralysis. 5)

Osler, 1982, lebih terperinci dengan apa yang disebutnya sebagai Acute

Febrile Polyneuritis. 7)

Pada tahun 1916, Guillain, Barre, dan Strohl mempublikasikan penelitian

mereka yang berjudul “ On a syndrome of radiculoneuritis with hyperalbuminosis

of cerebrospinal fluid without a cellular reaction : Remarks on the clinical

characteristics and tracings of the tendons reflexes “ . Ketiga orang ini

menemukan kelainan patologis yaitu adanya disosiasi albuminositologi di dalam

cairan serebrospinal dan disertai dengan radikuloneuritis. Guillain tetap

berpendapat bahwa apa yang mereka bertiga kemukakan sebenarnya adalah

Landry’s paralysis . Tahun 1927, Draganescu dan Claudian memberi nama

penyakit ini sebagai Guillain – Barre Syndrome. Sebab mengapa Strohl tidak

diikutsertakan sampai saat ini belum diketahui. 5)

Page 2: GBS Tinjauan Pustaka

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan

tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri 3)

dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang

sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,

otonom, maupun susunan saraf pusat. 7)

Etiologi

Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena

hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut

demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf

tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi

dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS

disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy

(AIDP)1,2)

Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini

belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh

penyakit autoimun. 2,3)

Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan

oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus,

cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV.1,5,8) Selain virus, penyakit ini juga

didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni

Page 3: GBS Tinjauan Pustaka

pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella

dan , Mycobacterium Tuberculosa. 1,5,8,12) ; vaksinasi seperti BCG, tetanus,

varicella, dan hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit

kolagen dan sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester ketiga ; pembedahan

dan anestesi epidural. 8,12) Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 – 4 minggu sebelum

timbul GBS .10)

Patofisiologi

Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain

memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. 5) Antigen

tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses

pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. 4) Ada beberapa

teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri

mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya

sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut

menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri

berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin 5)

bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon. 6)

Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin

disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan

myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di

invasi oleh antigen tersebut. 5)

Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat

mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya

untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls

sensoris dari seluruh bagian tubuh. 6)

Makalah ini akan membahas secara singkat patologi Guillain-Barre Syndrome,

dan secara mendetail akan membahas problem dan penatalaksanaan fisioterapi,

baik dalam tahap akut maupun kronis.

Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain-Barre

Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada

saraf tepi. Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih

ujung (distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian

Page 4: GBS Tinjauan Pustaka

depan (anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan

akar saraf bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput

myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf

tepi yang lebih tinggi (Fredericks et all 1996, dan Nolte 1999).

Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh

karenanya hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf,

bahkan mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999). Sehingga penderita GBS

mengalami gangguan motor dan sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot

bisa dilihat dari hasil pemeriksaan EMG. Disamping itu, hancurnya selaput

myelin mungkin juga menyerang cranial nerves (Pryor & Webber 1998) termasuk

diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf otonomik.

Oleh karena itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem saraf

otonomik mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain

mungkin saja terserang, misalnnya saraf ke-XI.

Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian

bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi

lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki 'terseret',

hingga tidak bisa berdiri. Perlahan-lahan kelemahan 'naik' otot lebih tinggi, seperti

lutut dan paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut

kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang punggung, punggung dan

dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu,

akan terjadi kelemahan dalam bernafas. Penderita merasa nafasnya berat.

Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik,

sehingga akan terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak

adalah gejala naik-turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat

di tempat yang dingin (Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan cranial

nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan, berbicara atau bernafas, atau

kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot biasanya simetris, artinya

anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama dengan anggota badan

kanan.

Selain gangguan motorik, biasanya juga disertai gangguan sensorik.

Gangguannya bisa berupa rasa kesemutan, 'terbakar', tebal, atau nyeri. Pola

Page 5: GBS Tinjauan Pustaka

penyebaran gangguan sensorik biasanya tidak sama dengan gangguan motorik.

Gangguan sensorik bisa berpindah dari waktu ke waktu (Fredericks et all 1996).

Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi

gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot

pernafasan (baik otot intercostal maupun diafragma), hingga gangguan ritmik oleh

karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru

tidak bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital menurun, dan

bisa menimbulkan atelektasis. Bila kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru,

pneumonia, yang akan memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya pasien

dalam kondisi seperti di atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan

menurunkan fungsi paru (Pryor & Webber 1998). Bila fungsi glotis terganggu,

akibat terganggunya sistem otonomik, penderita mungkin akan tersedak. Sehingga

makanan masuk ke saluran pernafasan, dan akan menambah infeksi paru.

Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung juga terganggu.

Sehingga tekanan darah bisa naik-turun secara mendadak, atau 'flushing', yaitu

muka memerah secara mendadak.

Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2

minggu. Sesudah itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2

sampai 4 minggu sesudah kelemahan berhenti.

Epidemiologi

Di Amerika Serikat, insiden terjadinya GBS berkisar antara 0,4 – 2,0 per

100.000 penduduk. 7)

GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko terjadinya adalah

sama di seluruh dunia pada pada semua iklim. Perkecualiannya adalah di Cina ,

dimana predileksi GBS berhubungan dengan Campylobacter jejuni, cenderung

terjadi pada musim panas.

GBS dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras.

Insiden kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 – 1,9 per 100.000 penduduk.

Insiden ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. GBS merupakan

penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat. 4,7)

Page 6: GBS Tinjauan Pustaka

Angka kematian berkisar antara 5 – 10 %. Penyebab kematian tersering

adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan total terjadi pada +

penderita GBS. Antara 5 – 10 % sembuh dengan cacat yang permanen. 7)

Gejala klinis

GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal,

parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat

ekstremitas yang bersifat asendens 1,3,8,11). Parestesia ini biasanya bersifat

bilateral.1,2) Refelks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama

sekali. 2,10)

Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan

menyebar secara progresif 8), dalam hitungan jam, hari maupun minggu, 7) ke

ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi

mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid.

Keterlibatan saraf pusat , muncul pada 50 % kasus, biasanya berupa facial

diplegia. 8) Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan 12) dan

bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas. 2,8) Anak anak

biasanya menjadi mudah terangsang dan progersivitas kelemahan dimulai dari

menolak untuk berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi

tetraplegia . 1)

Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan

dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan

sensasi getar. 8) Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan

disestesia pada extremitas distal. 11) Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai

kelemahan otot yang terjadi. 5) terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya

merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak yang dapat

menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis. 7,8)

Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan

kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi,

aritmia bahkan cardiac arrest , facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan

kelainan dalam berkeringat. 11) Hipertensi terjadi pada 10 – 30 % pasien

sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien. 10)

Page 7: GBS Tinjauan Pustaka

Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa

disfagia, kesulitan dalam berbicara, 9) dan yang paling sering ( 50% ) adalah

bilateral facial palsy. 4)

Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan

untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan

bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur

(blurred visions). 3)

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang

bersifat difus dan paralisis. 3) Refleks tendon akan menurun atau bahkan

menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan

pada otot otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan

kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak

ditemukan.9)

Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar

protein ( 1 – 1,5 g / dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh

Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi albumin sitologis.1,3,5,6.8) Pemeriksaan

cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil

apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau

kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel

yang kurang dari 10 / mm3 4,7,9) pada kultur LCS tidak ditemukan adanya virus

ataupun bakteri 1)

Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,

kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu

kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. 10)

Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya

keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls , gelombang F yang

memanjang dan latensi distal yang memanjang 4,7,9,10) .Bila pemeriksaan dilakukan

Page 8: GBS Tinjauan Pustaka

pada minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari

beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.7)

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan

kira kira pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan

gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95%

kasus GBS. 7)

Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit .Biopsi otot tidak

diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat

adanya denervation atrophy. 1)

Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and

Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS) 4)

Gejala utama

1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan

atau tanpa disertai ataxia

2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general

Gejala tambahan

1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu

2. Biasanya simetris

3. Adanya gejala sensoris yang ringan

4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral

5. Disfungsi saraf otonom

6. Tidak disertai demam

7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4

Pemeriksaan LCS

1. Peningkatan protein

2. Sel MN < 10 /ul

Pemeriksaan elektrodiagnostik

1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf

Gejala yang menyingkirkan diagnosis

1. Kelemahan yang sifatnya asimetri

Page 9: GBS Tinjauan Pustaka

2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten

3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul

4. Gejala sensoris yang nyata

Diagnosis banding

GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat

seperti myelopathy, dan poliomyelitis. Pada myelopathy ditemukan adanya spinal

cord syndrome dan pada poliomyelitis kelumpuhan yang terjadi biasanya

asimetris, dan disertai demam.4, 8, 11, 12 )

GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya seperti

porphyria, diphteria, dan neuropati toxic yang disebabkan karena keracunan

thallium, arsen, dan plumbum 4, 11 )

Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis

juga harus dibedakan dengan GBS. Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot

extraoccular dan terjadi konstipasi. Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi

ophtalmoplegia. 4, 8 12 )

Myositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS, namun

kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan

peningkatan sedangkan LCS normal 4, 11)

Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus

dilakukan observasi tanda tanda vital. 1) Ventilator harus disiapkan

disamping pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot

pernapasan dalam waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga

mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan vasoaktive juga harus

disiapkan . 1,4)

Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi

tanpa diberikan medikamentosa. 1)

Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat obatan

berupa steroid. 1) Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian

Page 10: GBS Tinjauan Pustaka

steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat

memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi

maupun mempercepat penyembuhan.4,12)

Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat

memperpendek lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan.

Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu

setelah munculnya gejala. Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 – 50 ml

/ kg BB) dengan saline dan albumine sebagai penggantinya. Perdarahan

aktif, ketidakstabilan hemodinamik berat dan septikemia adalah

kontraindikasi dari PE 1,4,12)

Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat

menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto

antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang

kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells

patologis tidak terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu

setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari.

Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil yang

lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau IVIg. 1,3, 4,7,12)

Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan

dan fleksibilitas otot setelah paralisa. 4,6,12)

Heparin dosis rendah dapat diberikan unutk mencegah terjadinya

trombosis .11)

2. Penatalaksanaan Fisioterapi

Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai

sejak awal, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan

penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam

memberikan fisioterapi. Yang pertama adalah fase ketika gejala masih

terus berlanjut hingga berhenti sebelum kondisi pasien terlihat membaik.

Pada fase tersebut yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi

pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.

Sedangkan yang kedua adalah pada fase penyembuhan, ketika

kondisi pasien membaik. Pada fase ini pengobatan fisioterapi ditujukan

Page 11: GBS Tinjauan Pustaka

pada penguatan dan pengoptimalan kondisi pasien. Pada fase pertama

penekanan pada semua problem menjadi sangat penting. Sedangkan pada

fase kedua hanya problem muskuloskeletal dan kardiopulmari yang

menjadi penekanan. Secara keseluruhan penatalaksanaan fisioterapi

ditujukan pada pengoptimalan kemampuan fungsional.

Meskipun ada 4 komponen problem dari sudut fisioterapi,

penatalaksanaannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh

karenanya sulit memisahkan satu masalah dengan masalah yang lain.

Penulis berusaha memisahkan penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap

problem, sesuai dengan penguraian problem di atas supaya lebih detail.

Tetapi pada prakteknya, pemberian fisioterapi tidak dapat dipisahkan satu

dari yang lain.

a. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal

Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah

penting baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya

motorik adalah masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal

sebagai akibat dari gangguan motorik. Pada fase pertama yang perlu

diberikan adalah mempertahankan kekuatan otot, panjang otot, luas

gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa kondisi pasien masih akan

terus memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu.

Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama,

fisioterapi pada fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot,

dengan tetap memperhitungkan jumlah motor unit yang kembali

bekerja.

b. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot

Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah

latihan aktif, bila memungkinkan. Bila penderita tidak mampu

menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya bantuan diberikan

(=aktif asistif). Bila kemudian kondisi kelemahan otot sangat menonjol,

latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis yang menggerakkan

angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi penderita

Page 12: GBS Tinjauan Pustaka

akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis

kepada pasien semakin banyak dari waktu ke waktu.

Sebaiknya seorang fisioterapis mempunyai sistematis dalam

menggerakkan anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang

terlewati. Selain itu fisioterapis juga akan bisa sekaligus mengamati

perkembangan motorik pasien bila dilakukan secara sistematis.

Dianjurkan menggerakkan anggota tubuh dari bawah, sehingga akan

diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Secara psikis hal ini juga

akan sangat membantu motivasi pasien. Selain menggerakkan bagian

tubuh secara sistematis, juga sebaiknya arah gerakan tiap sendi dibuat

secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot yang tertinggal.

Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis

mengamati tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai

pasien dibiarkan terlalu lelah atau memaksa menggerakkan anggota

tubuh, karena akan merusak motor unit. Berikan kesadaran kepada

pasien bahwa pada waktunya ototnya akan kembali bergerak, asalkan

dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS, frekuensi latihan

seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah

kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas.

Intensitas latihan dalam sehari bisa ditingkatkan dengan melakukan

lebih banyak sesi dalam sehari.

Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase

sebelumnya. Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan

otot. Meskipun demikian latihan yang diberikan masih harus tidak

boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit yang aktif terbatas.

Program latihan aktif seharusnya ditingkatkan bila penderita sudah

mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa

kesulitan. Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif, artinya

menggunakan beban unntuk meningkatkan kekuatan otot.

Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual,

artinya fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan

dengan alat, seperti misalnya quadricep bench. Dalam memberikan

Page 13: GBS Tinjauan Pustaka

program latihan, hendaknya selalu diingat bahwa tujuan akhir program

fisioterapi adalah memaksimalkan kemampuan fungsional. Jadi dalam

meningkatkan kekuatan otot, perlu diingat otot-otot mana saja yang

diperlukan dalam beraktivitas, atau mensiasati bila ada keterbatasan.

Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan

pengukuran kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja

pada fase pertama kekuatan pasien tidak akan mengalami kenaikan,

sesuai dengan perjalanan penyakit. Tetapi pengukuran kekuatan terakhir

pasien, saat kekuatan biasanya berhenti sebelum kemudian membaik,

bisa dijadikan titik balik pengukuran pada tahap berikutnya. Sebaiknya

pengukuran dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu, atau tiap 3

hari. Dengan demikian fisioterapis maupun penderita bisa melihat

perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan menjadi motivasi

keduanya.

c. Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)

Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita,

bisa dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat

bahwa pada fase pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu

menggerakkan LGS secara penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu

membantu penderita untuk menggerakkan sendi sesuai dengan luas

gerak sendi yang normal, minimal yang fungsional.

Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi

sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang

tertinggal. Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya

ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS

maksimal untuk mempertahankan LGS. Berbeda dengan program untuk

kekuatan otot, untuk mempertahankan sendi sama pada fase pertama

dan kedua.

Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi

adalah pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah

goniometer. Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam

satu institusi biasanya disepakati sistem apa yang digunakan, posisi

Page 14: GBS Tinjauan Pustaka

penderita dan posisi goniometer pada setiap sudut pengukuran.

Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari waktu ke waktu, agar

pada akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan fungsional

yang maksimal.

d. Penatalaksanaan pada Panjang Otot

Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS,

sebagian besar otot juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot

yang panjangnya melewati dua sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu

gerakan khusus untuk mempertahankan panjangnya. Otot-otot seperti

quadricep, iliotibial band, sartorius adalah contoh otot yang melewati

dua sendi. Otot-otot tersebut penting dalam kegiatan sehari-hari,

misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga bila panjang ototnya

tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila

sembuh nanti.

Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang

otot tiap individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan

keturunan. Karenanya untuk mengetahui panjang otot yang normal,

secara nalar, berarti fisioterapis harus tahu penderita sebelum menderita

GBS. Kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi. Sehingga salah satu

cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas

penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan

kaki atau bersimpuh.

Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang

bersangkutan cukup untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya.

Cara lain yang bisa digunakan adalah membandingkan otot sebelah kiri

dan kanan, karena biasanya keduanya mempunyai panjang otot yang

sama. Pencatatannya baru dilakukan bila ada keterbatasan panjang otot.

e. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari

Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada

kasus GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal

disebabkan karena berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi.

Akibatnya tidak dapat melakukan inspirasi secara penuh, sehingga

Page 15: GBS Tinjauan Pustaka

kapasitas vital menjadi berkurang. Seperti yang telah disebutkan di atas,

menurunnya kemampuan batuk, akan menurunkan kemampuan untuk

membersihkan saluran pernafasan. Sehingga saluran pernafasan

semakin menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang juga.

Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan kapasitas vital.

f. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada

Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif

tidak bisa dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan

dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan

terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital, maka pertukaran

gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan

ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan jaringan-jaringan lunak

disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk

terpelihara.

Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali

membaik, rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot

intercostal dan diafragma sudah menigkat, maka latihan penguatan

harus segera diberikan. Oleh karena tekanan positif yang diberikan

lewat ventilator dan manual hyperinflation bisa memberikan efek

samping, seperti barotrauma. Maka latihan aktif harus segera diberikan.

Pemberian latihan masih harus memperhatikan aturan rendah frekuensi

dalam satu sesi dan banyak sesi dalam sehari. Ini berarti harus diberikan

kesempatan istirahat cukup bagi penderita diantara sesi latihan, untuk

menghindari kelelahan.

g. Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan

Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml

sekresi saluran pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai

bagian dari sistem pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian

tertelan. Bila sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada

kegagalan kerja cilia, maka diperlukan mekanisme batuk untuk

mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa meletupkan batuk

yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara.

Page 16: GBS Tinjauan Pustaka

Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot

pernafasan yang menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat

untuk mengeluarkan sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk, maka

diameter saluran pernafasan akan menyempit. Ini berarti volume udara

yang bisa masuk ke paru berkurang, sehingga kemampuan ventilasi

menjadi berkurang.

Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot

pernafasan yang menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa

dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation.

Dengan teknik tertentu, maka panjang ekspirasi bisa diperpendek,

sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa

meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa

dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan manual

hyperinflation, bisa dilakukan postural drainage untuk membantu

memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal ke yang lebih

proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan,

penderita harus mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction.

Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-

tanda gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi

permenit, atau saturasi penderita agar selalu dalam batas normal.

Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini sangatlah diperlukan untuk

meningkatkan kemampuan pembersihan saluran pernafasan. Hal ini

biasanya bisa terlaksana pada fase ke-dua, ketika otot-otot pernafasan

mulai menguat. Atau pada fase pertama bila kelemahan otot-otot

pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga latihan batuk

berguna untuk mempertahankan kekuatan otot.

h. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan

Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada

semakin tinggi. Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke

saluran pernafasan menjadi lebih besar. Benda tersebut kemudian akan

menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal ini ada dua masalah dalam

sistem respiratori, yakni benda itu sediri, dan sekresi yang berlebihan

Page 17: GBS Tinjauan Pustaka

akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Bila

kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu

mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan dan membersihkan

sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan menelan disertai kelemahan

otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.

Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima

makanan melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga

tidak perlu dikawatirkan akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase

pertama tidak banyak fisioterapi yang bisa dilakukan. Tetapi pada fase

ke dua program fisioterapi yang bisa diberikan adalah segera

memberikan latihan batuk, bila otot-otot pernafasan sudah bertambah

kuat. Sehingga pada saatnya penderita belajar menelan, resiko

masuknya benda asing ke saluran pernafasan sudah teratasi.

i. Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik

Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul,

bila kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih

tinggi, yakni cranial nerves. Pada umumnya gangguann saraf

otonnomik tersebut adalah hal yang perlu dicermati dalam melakukan

tindakann fisioterapi. Gangguan-gangguan tersebut antara lain labilnya

tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai keadaan, atau postural

hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi masalah, biasanya

pada waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari berbaring

ke duduk, tubuh memerlukan berbagai adaptasi, oleh karena terjadi

perbedaan pengaruh terhadap tubuh.

Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring

lama memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah.

Adaptasi tersebut teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah

mendapatkan input, kemudian tekanann darah meningkat atas pengaruh

saraf otonnom. Bila terjadi gangguan saraf otonnomik, maka adaptasi

tersebut akan terganggu.

Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu

dicermati tekanan darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur

Page 18: GBS Tinjauan Pustaka

adalah tekanan darah, maka yang dijadikan aturan adalah tekanan

darah. Bila memungkinkan digunakan spirometer elektronik yang terus

bisa dimonitor setiap saat. Disamping tekanan darah, bisa dicermati

kemampuan komunikasi penderita, atau warna muka sebagai indikator

tekanan darah.

j. Penatalaksanaan pada Problem Sensasi

Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa

terbakar, kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa

dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa

terbakar, atau kesemuta. Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan

pemberian TNS. Rasa nyeri bisa disebabkan murni oleh karena

gangguan sensasi.

Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh

kurangnya gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah

peregangan sendi-sendi tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya,

rasa nyeri berkurang, maka rasa nyeri tersebut disebabkan oleh

kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa nyeri tersebut tidak hilang, maka

gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan sensasi.

Seringkali rasa nyeri yang timbul karena kombinasi

keduanya.

Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak

hilang sama sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan

sendi, tindakan yang bisa dilakukan adalah peregangan lebih lanjut,

atau lebih spesifik bisa dilakukan manipulasi atau mobilisasi pada

tulang belakang tertentu. Selain ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa

menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus.

Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan

kasur pada penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan

terjadi lecet dan akhirnya dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi

harus selalu dilakukan sebagai usaha pencegahan. Idealnya perubahan

posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap penonjolan tulang harus selalu

Page 19: GBS Tinjauan Pustaka

mendapatperhatian.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau

cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,

trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan

kontraktur pada sendi. 3)

Prognosis

95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya

sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural

tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien. 3,10)

Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian , pada 5 % pasien, yang

disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. 2,3)

Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama

kali timbul . 3)

3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan

beberapa tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan

terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy. 12)

BAB III

Page 20: GBS Tinjauan Pustaka

PENUTUP

Guillain – Barre Syndrome merupakan penyakit serius dengan angka

kesakitan dan kematian yang cukup tinggi.

Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulator

spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian dan 12 % tidak

dapat berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama muncul

20 % pasien akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.

Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling baik dan

paling efektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali gejala

GBS sehingga dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin

Penegakan diagnosis lebih dini akan memberikan prognosis yang lebih

baik.