gender dan pekerjaan

44
kajian hermeneutika paul ricoeur oleh chrispina Senin, 14 Maret 2011 GENDER DAN PEKERJAAN: FEMINISME MARXIS DAN CHARLOTTE PERKINS GILMAN GENDER DAN PEKERJAAN: FEMINISME MARXIS DAN CHARLOTTE PERKINS GILMAN Bab ini diawali dengan survei terhadap para teoris feminis Marxis, yang difokuskan pada karya-karya novel Emma Goldman: The Traffic in Women (1970), Michele Barrett: Women's Oppression Today (1980) dan Lillian Robinson: Sex, Class and Culture (1978). Konsep teoretis dasar yang diuraikan di sini antara lain: kapitalisme versus patriarki, berkaitan dengan hubungan antara penindasan kelas dan gender; ekonomi publikasi; pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin; dan analisis feminis Marxis sebagai identifikasi terhadap aspek-aspek struktural yang menentukan kualitas dan sifat pengalaman kita. Pada bagian selanjutnya setelah survei teoretis ini, pembahasan kita akan beralih ke analisis feminis Marxis di dalam novel Charlotte Perkins Gilman yang berjudul 'The Yellow Wallpaper' dan beberapa cerita pendeknya. Tinjauan mengenai Teori Feminis Marxis Ringkasan Prinsip-prinsip Feminis Marxis Feminisme Marxis diatur di seputar konflik-konflik pokok antara kapitalisme dan patriarki serta kelas versus penindasan

Upload: chairunnisa-nurhandayani

Post on 31-Dec-2015

46 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Feminisme Marxis dan Charlotte Perkins Gilman.kajian hermeneutika paul ricoeur oleh chrispina.Tinjauan mengenai teori feminismePenindasan Wanita Dewasa IniAnalisis feminisme MarxisBab ini diawali dengan survei terhadap para teoris feminis Marxis, yang difokuskan pada karya-karya novel Emma Goldman: The Traffic in Women (1970), Michele Barrett: Women's Oppression Today (1980) dan Lillian Robinson: Sex, Class and Culture (1978). Konsep teoretis dasar yang diuraikan di sini antara lain: kapitalisme versus patriarki, berkaitan dengan hubungan antara penindasan kelas dan gender; ekonomi publikasi; pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin; dan analisis feminis Marxis sebagai identifikasi terhadap aspek-aspek struktural yang menentukan kualitas dan sifat pengalaman kita. Pada bagian selanjutnya setelah survei teoretis ini, pembahasan kita akan beralih ke analisis feminis Marxis di dalam novel Charlotte Perkins Gilman yang berjudul 'The Yellow Wallpaper' dan beberapa cerita pendeknya.

TRANSCRIPT

Page 1: Gender Dan Pekerjaan

kajian hermeneutika paul ricoeur oleh chrispina

Senin, 14 Maret 2011

GENDER DAN PEKERJAAN: FEMINISME MARXIS DAN CHARLOTTE PERKINS GILMAN

GENDER DAN PEKERJAAN: FEMINISME MARXIS DAN CHARLOTTE

PERKINS GILMAN 

Bab ini diawali dengan survei terhadap para teoris feminis Marxis, yang

difokuskan pada karya-karya novel Emma Goldman: The Traffic in Women

(1970), Michele Barrett: Women's Oppression Today (1980) dan Lillian

Robinson: Sex, Class and Culture (1978). Konsep teoretis dasar yang

diuraikan di sini antara lain: kapitalisme versus patriarki, berkaitan dengan

hubungan antara penindasan kelas dan gender; ekonomi publikasi;

pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin; dan analisis feminis Marxis

sebagai identifikasi terhadap aspek-aspek struktural yang menentukan

kualitas dan sifat pengalaman kita. Pada bagian selanjutnya setelah survei

teoretis ini, pembahasan kita akan beralih ke analisis feminis Marxis di dalam

novel Charlotte Perkins Gilman yang berjudul 'The Yellow Wallpaper' dan

beberapa cerita pendeknya.

Tinjauan mengenai Teori Feminis Marxis

Ringkasan Prinsip-prinsip Feminis Marxis

Feminisme Marxis diatur di seputar konflik-konflik pokok antara

kapitalisme dan patriarki serta kelas versus penindasan gender. Feminisme

Marxis menggabungkan studi tentang kelas dengan analisis mengenai

gender. Kapitalisme dipandang sebagai eksploitasi secara seksual dan

ekonomi; patriarki kapitalis dipandang sebagai sumber penindasan wanita:

pengucilannya dari dunia kerja (lewat pembentukkan sekelompok tenaga

kerja yang ada), kepemilikan patriarkal atas alat-alat produksi dan

Page 2: Gender Dan Pekerjaan

reproduksi, konstruksi kaum wanita sebagai kelas konsumen pasif, dan

eksploitasi atas pekerjaan wanita. Yang disebutkan terakhir ini merupakan

perspektif umum yang menyatukan semua wanita dan memungkinkan

mereka mengenali cara-cara dimana kapitalisme mengharuskan bahwa pria

mendominasi wanita, lewat suatu analisis politis terhadap ideologi patriarki.

Jadi, gender adalah penyebab yang lebih mendasar dan pokok terjadinya

penindasan ketimbang kelas, dan penindasan gender membentuk seluruh

hubungan sosial kita. ‘Walaupun masyarakat kelas tampaknya merupakan

sumber, penyebab penindasan terhadap wanita, justru sebenarnya dia

hanyalah akibat’, kata Nancy Hartsock, dalam ulasannya tentang Marx. Lebih

lanjut dia mengatakan, 'Jadi, "hanya pada titik kulminasi terakhir dari

perkembangan masyarakat kelas-lah [bahwa] hal ini, rahasianya, muncul

kembali, yakni, bahwa di satu sisi ini adalah produk dari penindasan wanita,

dan bahwa di sisi lain ini adalah alat melalui mana kaum wanita

berpartisipasi di dalamnya dan menciptakan penindasan atas dirinya sendiri'

(penekanan dan elipsis Hartsock, 1983, (hal. 86). Identitas personal dan

budaya dipandang sebagai produk-produk ideologi. Salah satu kontradiksi

kapitalisme yang terungkap melalui suatu analisis feminis adalah bahwa

kapitalisme menyepelekan apa yang sangat dibutuhkannya—tenaga kerja

wanita. Kaum feminis Marxis mendapati dirinya berbeda pandangan dengan

kaum feminis sosialis mengenai pertanyaan-pertanyaan: apakah kelas dan

jenis kelamin mempertegas pemisahan pokok antara pria dan wanita? Kaum

feminis Marxis mensubstitusi seks untuk peran yang dijalankan oleh kelas

dalam analisis-analisis Marxis klasik dan menaruh perhatian pada kondisi-

kondisi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin.

Kondisi-kondisi material dalam rumah tangga menggambarkan

berbagai macam pertentangan gender, seperti pemisahan yang dianalisis

oleh Marx sebagai efek samping dari pertarungan kelas: di antara

pertentangan-pertentangan ini juga termasuk pertentangan-pertentangan

yang terbentuk antara tubuh dan pikiran, alam dan budaya, riil dan ideal.

Dominasi pihak maskulin atas tiap dikotomi dan akibatnya devaluasi atas

Page 3: Gender Dan Pekerjaan

kaum wanita adalah ciri khas patriarki. Ketika hubungan-hubungan politis

dalam lingkungan rumah tangga dipandang seperti dalam sebuah

mikrokosmos, menjadi jelas bahwa hubungan-hubungan serupa dalam ranah

publik menghasilkan devaluasi sistematis atas ‘pekerjaan wanita’ yang

membentuk relasi-relasi sosial dan kehidupan politik publik.

Dalam konteks teorisasi sastra, kaum feminis Marxis fokus pada

hubungan antara membaca dan realitas sosial. Seni, termasuk literatur,

dianggap ditentukan oleh sistem-sistem  produksi ekonomi. Kondisi-kondisi

yang memengaruhi penyusunan buku-buku sastra ditentukan oleh ekonomi

publikasi dan distribusi, pemasaran dan profit. Kaum feminis Marxis

mempertanyakan pengaruh gender pada cara dimana dunia kepenulisan

diterima dan peraturan-peraturan dibentuk. Makna-makna tekstual

diasumsikan diproduksi oleh konteks sosial-ekonomi mereka dan ideologi

pembaca ketimbang berada dalam bidang apolitik transenden tertentu.

Analisis Marxis berkutat pada identifikasi determinan-determinan

pengalaman yang struktural. Ini melibatkan proses menelaah cara-cara

dimana pengalaman pribadi ditentukan oleh kondisi-kondisi politik publik,

dan, dengan demikian, bagaimana pengalaman-pengalaman publik dibentuk

oleh hubungan-hubungan personal. Tiga pemikir feminis Marxis terkemuka

adalah Emma Goldman, Lillian Robinson dan Michele Barrett; dan pada

bagian-bagian selanjutnya kita akan memusatkan perhatian pada karya

ketiga wanita ini.

Emma Goldman, The Traffic in Women dan Esei-esei lainnya (1970)

Buku ini menyadur kembali sebagian esei Emma Goldman tentang prostitusi,

perkawinan dan hak pilih wanita, yang ditulisnya terlepas dari anarkisme

yang diilhami Marx, pada awal abad ini. Saya ingin memfokuskan perhatian

di sini pada esei judul dari kumpulan karya ini dimana Goldman menyajikan

suatu analisis awal tentang subordinasi kaum wanita sebagai sebuah kelas

lewat perpaduan hubungan kelas dan jenis kelamin. Emma Goldman

membuka esei ini dengan membentuk suatu hubungan antara prostitusi seks

Page 4: Gender Dan Pekerjaan

dan prostitusi ekonomi–perbudakan upah versus perbudakan seks; keduanya

merupakan bagian dari apa yang disebut Goldman 'lalulintas perbudakan

kulit putih' (Goldman, 1970, hal. 19). Lebih lanjut dia mengemukakan bahwa

sesungguhnya subordinasi terhadap wanita dari segi ekonomi merupakan

penyebab dan akar dari prostitusi: 'Moloch kapitalisme yang tidak kenal

ampun telah meningkatkan jumlah tenaga kerja yang tidak dibayar,

sehingga mendorong ribuan wanita dan gadis remaja terjerumus ke dalam

prostitusi' (hal., 20). Untuk apa bekerja lama, waktu yang terbuang percuma

hanya untuk bayaran yang sangat rendah, tanyanya, ketika prostitusi

mampu menawarkan peluang yang lebih menarik? Goldman menyebut

beberapa contoh para wanita yang bekerja di pabrik-pabrik di New York City

dengan upah enam dolar seminggu sebagai bayaran untuk kerja selama 48

sampai 60 jam. Dari kondisi ekonomi wanita pekerja yang spesifik ini,

Goldman beralih ke uraian tentang determinan-determinan sosial terkait

yang memengaruhi perilaku wanita sebagai suatu kelas yang berbeda.

Tidak dimanapun juga wanita diperlakukan sesuai dengan manfaat

pekerjaannya, tetapi lebih karena terdapat unsur kesenangan seks. Karena

itu, hampir tidak bisa dihindari bahwa dia harus membayar bagi haknya agar

tetap eksis, untuk mempertahankan posisi di lini apapun, dengan

kesenangan seks. Jadi ini semata-mata adalah sebuah pertanyaan mengenai

tingkatan apakah dia menjual diri kepada satu pria, dalam atau di luar

perkawinan, atau kepada banyak pria. Apakah para reformis kita

mengakuinya atau tidak, rendahnya kedudukan wanita di bidang ekonomi

dan sosial bertanggung jawab terhadap prostitusi (hal. 20).

Untuk menekankan bahwa karena faktor ketergantungan ekonomi-lah dan

bukan karena kondisi, moral, personal, dan sosial, yang menyebabkan para

wanita tertentu, sebagai suatu kelas seksual, beralih ke prostitusi, atau

semacamnya, Goldman menunjuk ke alasan-alasan berbeda mengapa para

wanita menjadi WTS: kebutuhan finansial, melarikan diri dari rumah,

ketidakmampuan fisik yang membuat mereka tidak bisa masuk ke jenis-jenis

pekerjaan tertentu. Goldman juga sangat hati-hati untuk mengemukakan

Page 5: Gender Dan Pekerjaan

bahwa para wanita menikah membentuk proporsi yang cukup besar dalam

komunitas prostitusi, sehingga tidak diperlukan lagi penjelasan moral

tentang mengapa prostitusi terjadi. Menurut Goldman, alasan terjadinya

prostitusi didasarkan pada hubungan antara kelas ekonomi dan status

wanita sebagai komoditas seks. Jadi wanita kelas pekerja menjadi pelacur

sementara wanita borjuis menjadi pelacur de facto dalam perkawinan.

Menurut pendapat kaum moralis prostitusi tidak selalu terletak dalam fakta

bahwa wanita menjual tubuhnya tetapi justru dia menjualnya di luar

perkawinan. Bahwa tidak di mana pun juga pernyataan dibuktikan oleh fakta

bahwa perkawinan karena pertimbangan-pertimbangan finansial sangat

legitimate, diperkuat oleh hukum dan opini publik, sementara bentuk

kesatuan (union) lainnya dikutuk dan ditolak' (p. 25). Hubungan seksual

ditentukan oleh relasi kelas; status individu wanita tergantung pada

kedudukan kelasnya, tetapi status ekonomi wanita sebagai sebuah kelas

seksual merupakan kondisi ketergantungan bersama. Bahkan, Goldman

menunjukkan bahwa prostitusi bayaran menawarkan beberapa keuntungan

dibanding hubungan seksual dan kerja rumah tangga setelah menikah yang

tidak dibayar: karena WTS tidak pernah melepaskan haknya atas dirinya

sendiri, dia tetap memiliki kebebasan dan hak-hak pribadi, juga dia tidak

pernah dipaksa untuk menyerahkan diri ke pelukan pria lain' (pp. 26-27).

Tetapi, istri mendapati dirinya dalam suatu kondisi yang mirip dengan

perbudakan dimana dia terikat sepenuhnya pada pria yang dinikahinya. Jadi,

status komoditas wanita di bawah sistem kapitalisme dan status

ketergantungan wanita di bawah sistem patriarki menciptakan sejumlah

hubungan sosial yang mengubah semua relasi seksual ke dalam bentuk

prostitusi.

Goldman bisa meramalkan transformasi relasi-relasi ini kecuali jika

prostitusi diakui sebagai sebuah produk dari kondisi-kondisi sosial (sebagai

suatu isu sosial ketimbang isu moral), dan hanya ketika kita mencapai ‘suatu

transvaluasi sempurna pada semua nilai yang diakui... disertai dengan

penghapusan perbudakaan di bidang industri' (hal. 32). Hanya transformasi

Page 6: Gender Dan Pekerjaan

semua hubungan eksploitatif yang bisa menghapus kelas seksual terhadap

mana kaum wanita telah diposisikan, yang disertai dengan komodifikasi

pekerjaan seksual yang diwakili oleh prostitusi. Analisis Emma Goldman

mengenai prostitusi merupakan indikasi dari pandangan feminis Marxis-nya,

di mana eseinya mengaitkan antara penindasan kelas dan penindasan

gender, dalam konteks pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin di bawah

sistem patriarki kapitalis, dalam kaitan dengan aktivisme revolusioner

Goldman sendiri.

Michele Barrett, Penindasan Wanita Dewasa Ini: Masalah-masalah

dalam Analisis Feminis Marxis (1980)

Fokus perhatian Barrett dalam buku ini adalah  untuk menyatukan analisis

tentang hubungan-hubungan gender dengan analisis materialis tentang

masyarakat kapitalis kontemporer. Dia memulai dengan mengakui bahwa

hanya ada sedikit kesamaan landasan berpikir yang dianut oleh teori Marxis

dan feminisme: Marxisme berhubungan dengan relasi-relasi apropriasi dan

eksploitasi, yang disebabkan oleh pertentangan mendasar antara modal dan

tenaga kerja, dan bukan, seperti dikemukakan oleh Barrett, dengan gender

para eksploiter dan gender dari orang-orang yang pekerjaannya

diapropriasikan (Barrett, 1980, hal. 8). Dan selanjutnya Barrett mengakui

bahwa pembagian-pembagian gender yang menimbulkan diskriminasi dan

penindasan seksual mendahului transisi ke ekonomi-ekonomi kapitalis dan

karena itu tidak bisa dihapuskan oleh transisi yang semakin menjauh dari

kapitalisme dalam konteks suatu revolusi sosialis saja. Walaupun tidak peduli

dengan masalah gender, ada pekerjaan yang harus dilakukan oleh Marxisme

dalam konteks gerakan feminis. Feminisme Marxis bisa ‘mengidentifikasi

kerja hubungan-hubungan gender ketika dan bilamana mereka mungkin

berbeda dari, atau berkaitan dengan, proses-proses produksi dan reproduksi

yang dipahami oleh materialisme historis' (hal. 9). Penting bahwa Barrett

mengkhususkan pemakaian istilah 'reproduksi’ dengan menempatkannya

secara jelas dalam suatu konteks materialis historis, dengan mengambil

konsep Louis Althusser mengenai reproduksi hubungan-hubungan produksi.

Page 7: Gender Dan Pekerjaan

Ini penting karena Barrett ingin membedakan pemakaian istilahnya tersebut

dari pemakaian kaum feminis radikal yang mendefinisikan reproduksi

sebagai pengalaman maternitas yang didasarkan pada perbedaan biologis

antara pria dan wanita, dan yang bersumber pada penindasan atas wanita

(lihat pembahasan mengenai The Dialectic of Sex Shulamith Firestone, pada

bab lima). Barrett sangat kritis dengan argumen-argumen biologistis

Firestone, terhadap reduksionismenya, terhadap penghilangan definisi-

definisi seks sebagai suatu kategori biologis dan gender sebagai suatu

kategori sosial, terhadap kemungkinan penegasan ulang atas lingkungan-

lingkungan yang berbeda (publik versus pribadi) untuk pria dan wanita.

Justru, Feminisme Marxis akan fokus pada 'hubungan-hubungan antara

organisasi seksualitas, produksi rumah tangga, rumah tangga, dan

sebagainya, dan perubahan-perubahan historis dalam moda produksi serta

sistem-sistem apropriasi dan eksploitasi' (hal. 9).

Akibatnya, pendekatan Feminisme Marxis terhadap konsep patriarki

didasarkan bukan pada landasan biologis dari hubungan-hubungan

kekuasaan tetapi dalam hubungan dengan analisis kelas, guna

memungkinkan pemahaman yang lebih tepat tentang penindasan wanita.

Barrett menyebut contoh istri yang diceraikan oleh pria borjuis; wanita ini

adalah anggota kelas borjuis hanya karena perkawinannya, akibatnya dia

adalah anggota kehormatan kelas menengah. Namun di luar hubungan

perkawinan, wanita ini harus mencari nafkahnya sendiri dan mengambil

tempat dalam kelas pekerja tempat dia menjadi anggota seumur hidupnya.

Ini adalah contoh perkawinan yang sangat bagus sebagai bentuk produksi

rumah tangga, yang melibatkan apropriasi suami atas kerja gratis istrinya,

tetapi ini tidak mengindikasikan bagaimana konsep patriarki berkaitan

dengan moda produksi khusus ini. Malahan, patriarki direpresentasikan

sebagai prinsip penindasan yang ahistoris dan universal. Kendala untuk

menetapkan patriarki sebagai suatu sistem dominasi pria dalam kaitan

dengan mode produksi kapitalis dalam beberapa hal semakin menambah

kesulitan untuk merumuskan analisis feminis Marxis yang tepat. Kesulitan ini

Page 8: Gender Dan Pekerjaan

makin terasa ketika mempertimbangkan hubungan-hubungan reproduksi

sebagai hubungan-hubungan patriarkal yang bisa dikatakan tercipta terlepas

dari hubungan-hubungan produksi kapitalis. Kerja rumah tangga yang tidak

diupah, contoh, berada di luar parameter-parameter analisis eksploitasi Marx

di bawah kapitalisme, yang berlaku pada kontrak upah eksploitatif dan yang

tentu tidak berlaku pada situasi istri yang tidak diupah. Tetapi, pekerjaan

istri mungkin berguna untuk memproduksi pekerjaan buruh sama seperti

ketika dia mereproduksi hubungan-hubungan ideologis kapitalis dalam hal

dominasi dan submisi dalam konteks keluarga. Dengan cara ini, pekerja

rumah tangga yang tidak diupah dan pekerja yang diupah rendah memiliki

kepentingan kelas yang sama. Dalam hal ini, analisisnya adalah reduksionis

dan dengan demikian, analisis tersebut tidak mempertimbangkan

pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dalam masyarakat pra-kapitalis

dan sosialis. Barrett menyimpulkan bahwa dalam kenyataannya penindasan

terhadap wanita tidak selalu merupakan kerja kapitalisme tetapi bentuk

penindasan ini ‘telah memperoleh landasan material dalam hubungan-

hubungan produksi dan reproduksi kapitalisme dewasa ini' (hal. 249).

Kesulitan untuk menjelaskan reproduksi sosial dari hubungan-

hubungan kelas kapitalis dalam kaitan dengan reproduksi patriarkal kelas-

kelas tersebut sebagian bergantung pada arti penting atau keistimewaan

yang melekat pada kelas atau pada gender. Konflik yang sama ini antara

klaim kelas dan klaim gender sebagai sumber penyebab penindasan muncul

dalam debat-debat mengenai posisi wanita dalam struktur kelas. Klaim

feminis radikal bahwa wanita merupakan suatu ‘kelas seks’ patriarkal yang

terlepas dari atau yang terperangkap dalam sistem kelas kapitalis. Jadi

wanita mengalami penindasan sebagai wanita dalam cara-cara yang lebih

langsung dan lebih kuat dibanding penindasan yang mereka alami karena

afiliasi kelas ekonominya. Pengalaman penindasan karena gender dalam

suatu konteks kelas bisa didekati dalam kaitan dengan revisi Louis Althusser

atas konsep ideologi sebagai pengalaman hidup, 'hubungan imajinatif

individu-individu dengan kondisi eksistensi riil mereka' (Althusser, 1971).

Page 9: Gender Dan Pekerjaan

Barrett mengemukakan bahwa, meskipun konsep ini berguna untuk

mempertahankan suatu hubungan dengan kondisi material kehidupan,

ideologi saja tidak cukup untuk  menjelaskan penindasan wanita di bawah

sistem kapitalisme; proses-proses ekonomi dan juga determinan-determinan

ideologis turut menentukan sifat spesifik dari penindasan yang dialami kaum

wanita. Sangatlah penting, seperti  dijelaskan oleh Barrett, untuk

mendefinisikan secara cermat konsep ideologi; pertama, dia membatasi ide

mengenai otonomi ideologi yang relatif: kita harus bisa menetapkan sejauh

mana terdapat kemungkinan-kemungkinan bagi proses-proses ideologis

terhadap suatu bentuk sosial tertentu: dan kemudian dia selanjutnya

membatasi konsep untuk mendeskripsikan fenomena mental ketimbang

fenomena material:

Konsep ideologi menunjuk ke proses-proses yang berhubungan dengan alam

sadar, motif, emosionalitas; ideologi sebaiknya dimasukkan dalam kategori

makna (meaning). Ideologi adalah istilah umum untuk proses-proses dimana

lewat proses-proses ini makna diproduksi, ditentang, direproduksi,

ditransformasikan. Karena makna disepakati terutama lewat cara-cara

komunikasi dan signifikasi, maka bisa dikatakan bahwa produksi budaya

menyediakan tempat yang penting bagi pembentukan proses-proses ideologi

(hal. 97).

Dengan cara ini, studi literatur dan sastra sebagai bentuk material dari

praktik budaya, terbuka bagi analisis ideologi Marxis dalam bentuk-bentuk

sosial tertentu. Jadi, analisis ideologi dalam konteks historis dan material

akan memudahkan identifikasi terhadap mekanisme-mekanisme yang

beroperasi untuk menindas wanita, seperti mitologi keluarga yang ideal,

konstruksi ideologis dari subyektivitas gender, dan sebagainya.

Lillian S. Robinson: Seks, Kelas dan Budaya (1978)

Diilhami oleh aliran politik New Left pada dasawarsa 1970-an, Lillian

Robinson menyediakan analisis materialis historis ini tentang karya-karya

sastra kanonik. Esei yang menjadi awal dari beberapa karyanya, 'Dwelling in

Decencies: Radical Criticism and the Feminist Perspective' (1971), menyoroti

Page 10: Gender Dan Pekerjaan

kesulitan dalam membangun suatu hubungan yang efektif antara feminisme

dan bentuk-bentuk turunan dari kritik sastra: `kritikan feminis tidak bisa

serta merta menjadi kritik borjuis [kata Robinson]. Kritikan tersebut haruslah

ideologis dan moral; dia harus revolusioner' (Robinson, 1978, hal. 3).

Efektivitas kritikan feminis tidak boleh diukur berdasarkan kontribusi yang

bisa diberikan kepada kritikan sastra akademis tetapi diukur oleh apa

sumbangsih dari upaya analisis ideologis feminis ini bagi kemajuan kaum

wanita. Dalam pendapatnya tentang apa yang bisa dilakukan oleh analisis

ideologis ini, di bidang sastra Robinson cenderung menggunakan konsep

ideologi yang ditetapkan oleh Michele Barrett. Robinson berpendapat:

Banyak buku tentang wanita berkonsentrasi pada ‘pilihan-pilihan’ moral dan

sosial yang mereka buat; para penulisnya hampir selalu menunjukkan

kepada kita betapa sedikitnya cakupan material yang sungguh-sungguh

mereka miliki untuk membuat pilihan-pilihan. Ini jelas lebih dari sekadar

mengatakan kepada kita seberapa banyak uang yang dipunyai atau yang

bisa diperoleh seseorang—walaupun para penulis, ketika berbicara tentang

wanita, sangat eksplisit mengenai fakta-fakta ini. Ini adalah masalah

mengaitkan pengalaman kelas di bidang ekonomi dan budaya dengan

makna yang diberikan seseorang tentang dirinya dan dengan apa yang

terjadi dalam hidupnya. Itu juga berarti memahami sejauh mana identitas

seksual itu sendiri merupakan suatu fakta material (hal. 9-10).

Di sini Robinson tidak menunjuk secara khusus ke buku-buku  yang ditulis

oleh dan tentang wanita; representasi wanita dalam karya sastra pria yang

mencakup tradisi besar juga bisa mengungkapkan banyak hal tentang

mekanisme penindasan atas wanita. Namun ini hanya bisa terjadi jika

kritikus-kritikus sastra feminis melepaskan asumsi-asumsi yang telah mereka

ketahui tentang obyektivitas dan ketidaktertarikan serta nilai tekstual.

Sebuah buku tidak mungkin seksi dan tetap 'besar’ sebagai karya sastra di

tangan feminis. Evaluasi atas sebuah buku dalam konteks feminis

mengharuskan bahwa kritikus harus melewati batas-batas bentuk tekstual

untuk mencaritahu apa hubungan antara bentuk dengan makna moral atau

Page 11: Gender Dan Pekerjaan

ideologis. Baik aspek estetis maupun aspek ideologis dari sebuah buku harus

tetap dipertahankan jika feminisme hendak difungsikan sebagai suatu

bentuk kritikan yang saling 'bertautan'; yakni, sebuah kritikan dengan suatu

alasan politis.

Apa yang Robinson inginkan agar tetap dimiliki oleh mereka yang

tugasnya ‘melakukan’ kritik terhadap feminis adalah melakukan suatu

penyelidikan gender sebagai bagian dari keilmuan yang tradisional dan

borjuis. Dalam esei tahun 1974 'Criticism and Self-Criticism' dia

menyebutkan jenis kritikan sastra feminis yang gagal mempertahankan

pendekatan ini dalam prosesnya 'seolah-olah gender berfungsi sebagai suatu

kategori alamiah ketimbang kategori sosial' (Robinson, 1978, hal. 65).

Dengan kegagalan untuk keluar dari pengakuan bahwa seksisme adalah

sebuah batasan sosial, analisis feminis terbatas semacam ini tidak mampu

mengidentifikasi bentuk-bentuk yang digunakan oleh batasan ini dalam

masyarakat tertentu. Dengan demikian kritikan ini gagal untuk berkontribusi

bagi penyebab kebebasan wanita; dia tidak membantu kita menggunakan

literatur untuk memahami suatu masalah penting bahwa literatur sangat

cocok untuk menerangkan—bentuk-bentuk khusus yang disandang oleh

seksisme dalam masyarakat kapitalis' (penekanan Robinson, hal. 65). Apa

yang seharusnya dianalisis oleh kritikan feminis adalah sejarah sosial yang

memotivasi makna karya-karya seni, baik karya-karya seni yang dihasilkan

dewasa ini maupun di masa lampau. Robinson membuat suatu pembedaan

berkaitan dengan isu-isu yang harus ditangani oleh karya-karya sastra

kontemporer dan bukan oleh karya-karya sastra historis:

Untuk jaman sekarang, itu berarti memperhatikan kultur massa secara serius

—menyelidiki seni yang diperuntukkan bagi masyarakat pekerja, bentuk

yang digunakannya, mitos yang diciptakannya, pengaruh yang

ditimbulkannya, dan mencari audiens baru bagi kritikan di antara orang-

orang yang merupakan pelaku utama dalam sejarah. Untuk masa lalu, itu

berarti memperhatikan karya-karya adiluhung terkenal sepanjang sejarah:

yang dikondisikan oleh kekuatan-kekuatan historis, yang dibuat dalam

Page 12: Gender Dan Pekerjaan

situasi-situasi material khusus, yang melayani kepentingan-kepentingan

tertentu dan yang mengabaikan, mengancam atau menindas karya-karya

yang lain. Dan itu berarti mempertimbangkan bagaimana budaya populer

biasa ada bersama dan kadang-kadang saling tumpang tindih dengan karya-

karya tersebut (hal. 67).

Dalam esei-esei yang yang ditulis dalam buku Sex, Class, and Culture,

Robinson melakukan secara persis apa yang digambarkan di sini. Esei-esei

seperti 'Who's Afraid of a Room of One's Own?' tentang Virginia Woolf,

'Woman Under Capitalism: The Renaissance Lady' tentang pemujaan

terhadap cinta yang tulus, 'Why Marry Mr. Collins?' tentang Jane Austen,

saling tumpang tindih dengan esei-esei seperti 'On Reading Trash', tentang

‘tumpang tindih’ antara romansa populer dan romansa sastra,

'Working/Women/Writing' yakni tentang tulisan wanita kelas pekerja, dan

'What's My Line? Telefiction and Women's Work'. Bentuk-bentuk sastra,

mitos, pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh buku-buku ini, dan para

audiens potensial yang akan dijangkaunya seluruhnya ditentukan

berdasarkan gender; kekuatan-kekuatan historis yang mengkondisikan buku-

buku tersebut, situasi-situasi material tertentu yang telah menghasilkan

buku-buku itu, dan kepentingan-kepentingan historis yang memiliki

keterkaitan dengan buku-buku bersangkutan, seluruhnya dibahas dalam

analisis-analisis Robinson kecuali yang menyangkut aspek-aspek gender.

Fokus dari analisis-analisis feminis Marxis-nya tidak sepenuhnya patriarki

ataupun kapitalisme, tetapi justru hubungan antara antara penindasan kelas

dan penindasan gender serta aspek-aspek struktural yang menentukan

kualitas dan sifat dari pengalaman kita sebagai makhluk yang ber-gender.

Contoh, dalam 'Who's Afraid of a Room of One's Own?' Robinson

menguraikan cara-cara dimana kesucian dan perilaku seks dikaitkan dengan

kelas sosial-ekonomi, baik secara historis dalam tulisan Virginia maupun

dalam pengalaman kontemporernya sendiri di Amerika. Hubungan antara

kelas dan seksualitas tampaknya hanya mengaburkan pengalaman umum

kaum wanita dalam masyarakat—ketersediaan seks dan kapasitas untuk

Page 13: Gender Dan Pekerjaan

memberikan kenikmatan seks mencirikan wanita kelas pekerja yang juga

sering diidentikkan dengan prostitusi, sementara para wanita borjuis atau

kelas atas yang ceroboh dalam hal seksual (Robinson menggunakan contoh

Lily Bart dalam karya Edith Wharton dan para pahlawan wanita almarhum

Henry James) bergantung secara finansial pada para pria sama seperti para

WTS kelas pekerja, dan kecerobohan seksual dari para “nyonya” ini juga bisa

dilacak ke kebutuhan finansial.

Pria-lah yang mengabsahkan antara wanita ‘terhormat’ dan para WTS,

namun ketergantungan wanita sebagai masyarakat kelas bawah-lah yang

menentukan perilaku-perilaku seksual wanita (kesucian maupun

berhubungan seks dengan siapa saja). Istilah `respektabilitas' membawa

serta suatu identifikasi kelas—wanita terhormat karena hubungan

perkawinan atau keturunan bisa bergabung dengan kelas menengah suami

atau ayahnya—dan dengan demikian hirarki relasi-relasi kelas membentuk

pengalaman gender karena dia menentukan pengalaman seksualitas. Para

wanita tidak memperoleh kekuasaan lewat identifikasi ini tetapi mereka

memperoleh kedekatan dengan dan keuntungan-keuntungan material dari

kedekatan mereka dengan orang-orang yang menguasai alat-alat produksi.

Robinson mencatat, 'Dalam pengertian inilah bahwa bentuk-bentuk perilaku

seks menciptakan hambatan-hambatan yang setidaknya dipahami sebagai

berbasis kelas' (hal. 108).

Feminisme Marxis dalam Praksis

Pada bagian berikut, novel Charlotte Perkins Gilman 'The Yellow Wallpaper'

dan beberapa cerita pendeknya akan dianalisis dalam konteks feminis

Marxis. Diskusi mengenai novel Charlotte Perkins Gilman dibuat dalam

konteks feminisme Gilman. Hubungan gender dan materialisme dalam

representasi Gilman menyangkut kondisi kehidupan para wanita abad

sembilan belas menciptakan kondisi-kondisi bagi  analisis feminis Marxis atas

novelnya dan tema-tema yang dibahasnya di sana: kapitalisme dan patriarki,

atau hubungan antara ketergantungan ekonomi dan identitas seksual

Page 14: Gender Dan Pekerjaan

wanita; analisis politik dalam kaitan dengan determinan-determinan

pengalaman struktural serta kehancuran individualitas wanita; dan

pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin yang, dalam 'The Yellow

Wallpaper', dibahas oleh Gilman dalam kaitan dengan tulisan dan

komunikasi. Gaya penyusunan buku ini dibicarakan dalam kaitan dengan

kondisi-kondisi produksi dan konsumsinya: pada saat publikasi awalnya,

buku ini tidak populer karena gaya Gothic dimana buku ini ditulis

mengungkapkan sensibilitas feminin yang bertentangan dengan gaya

realistis dominan yang terkenal di kalangan para sahabat Gilman (terutama

penilai gaya sastra abad sembilan belas, William Dean Howells).

Charlotte Perkins Gilman, 'The Yellow Wallpaper' dan Kisah-

kisahnya

Peranan gender membentuk fokus kritikan sosial Gilman. Suatu pendekatan

feminis Marxis terhadap tulisan Gilman bisa meningkatkan apresiasi kita

terhadap pemaparan Gilman tentang konstruksi ideologis diri dalam sistem

patriarki dan kondisi itu penting (paksaan sosial) yang membuat wanita

nyaman dengan peranan-peranan gender yang opresif. Dia melakukan ini

dalam karya sastranya dalam tiga cara pokok: pertama, dia menunjukkan

bagaimana struktur-struktur sosial berusaha untuk mereduksi potensi wanita

(dalam buku-buku seperti 'The Yellow Wallpaper', `The Cottagette', dan

'Making a Change'); kedua, dia menunjukkan bahwa wanita bisa berprestasi

apabila mereka dibebaskan dari bentuk-bentuk sosial ini (seperti dalam

'Turned', 'What Diantha Did', dan 'An Honest Woman'); ketiga, dia

merepresentasikan dunia dalam bentuk utopia, karena dunia seharusnya

lebih dari sekadar apa adanya, dengan wanita memiliki hak dan kewajiban

yang sama serta martabat yang lahir dari kesadaran akan potensi

kemanusiaan mereka sepenuhnya, walaupun strategi yang terakhir ini hanya

tersedia bagi Gilman sebagai pembalikkan dari peranan-peranan gender,

dalam buku-buku Herland, With Her in Outland, dan 'Moving the Mountain',

dimana wanita direpresentasikan sebagai dominan dan pria sebagai

marginal. Perlu berhenti sejenak untuk memperhatikan secara cermat

Page 15: Gender Dan Pekerjaan

signifikansi dari representasi Gilman mengenai aspek-aspek penindasan

wanita ini.

Kapitalisme tentu menyediakan konteks ekonomi bagi tulisan Gilman,

seperti patriarki menyediakan konteks seksual. Kapitalisme

direpresentasikan bukan sebagai penyebab dari penindasan atas wanita

tetapi sebagai konsekuensi dari sistem patriarki. Terutama dalam hubungan

dengan aspek ekonomi dari pekerjaan rumah  tangga, Gilman

mengungkapkan utang finansial yang sangat besar yang ditanggung oleh

wanita untuk pekerjaan mereka dalam rumah tangga yang tidak dibayar.

Eksistensi suatu kelompok pekerja wanita yang murah (atau gratis) adalah

bagian penting dari ekonomi kapitalis. Hal ini ditunjukkan dengan sangat

jelas oleh tokoh-tokoh wanita dalam 'What Diantha Did' (1912), yang

menghadiahi ayahnya dengan sebuah rekening yang berisi total biaya yang

diperlukan untuk membesarkan dirinya. Hadiah ini diterimanya dengan

wajah keheranan sebagai jawaban Diantha terhadap perkataannya bahwa

dia berutang kepadanya tugas merawatnya sebagai puterinya. Apa yang

tidak membuatnya heran sama sekali adalah rekening utangnya kepada

sang puteri sebagai upah untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang

dikerjakannya– pekerjaan rumah tangga dan tugasnya merawat ibu serta

adik-adiknya. 'Mr. Bell merenung dengan seksama angka-angka ini.

Memikirkan kerja anak tersebut yang mencapai hingga dua ribu dolar lebih!

Beruntunglah seorang pria memiliki istri dan anak-anak gadis yang

melakukan pekerjaan ini, atau dia tidak bisa pernah menghidupi sebuah

keluarga (Gilman, dalam  Lane, ed., 1980, hal. 133). Setting ironis bagi

kesadaran ini adalah pekerjaan rumah tangga yang dilakukan istrinya, yang

sangat terpukul dengan perjumpaan ini antara puterinya dan suaminya, dan

yang dilakukan oleh Diantha sendiri, yang harus memasak makan malam

untuk ayahnya.

Motivasi bagi hitung-hitungan ini adalah pembenaran Diantha atas

keputusannya meninggalkan rumah agar bisa bekerja. Orang tua dan

adiknya semuanya menolak dengan alasan bahwa satu-satunya pekerjaan

Page 16: Gender Dan Pekerjaan

terhormat bagi seorang wanita adalah di rumah; adiknya bisa pergi agar bisa

menikah dan kakaknya bisa pergi agar bisa bekerja tetapi Diantha, seorang

wanita, tidak bisa pergi untuk mencari pekerjaan upahan di luar rumah tanpa

mendapat persetujuan dari semua orang dekatnya. Dalam konteks finansial,

keluarganya akan kehilangan pekerjaan tanpa upahnya di rumah dan

Diantha harus berusaha untuk membayar agar pekerjaan di rumah bisa

menggantikan kedudukannya. Dalam dunia publik dimana pekerjaan diupah

Diantha menemukan pembagian yang serupa antara pekerjaan pria dan

pekerjaan wanita. Dia berhasil sebagai pengusaha wanita tidak dengan cara

menentang pembagian pekerjaan menurut jenis kelamin tetapi dengan

bekerja sama dengannya. Dia mengelola urusan pekerjaan rumah tangga

secara profesional, contoh, dengan mengatur jasa kebersihan dan

pengiriman makanan-makanan yang telah dimasak. Tetapi keberhasilannya

sebagai seorang wanita melanggengkan pembagian kelas seksual yang

memisahkan pria dan wanita. Dalam fiksi Gilman pola ini terulang kembali.

Wanita berhasil dalam bisnis tetapi bisnis dimana mereka terlibat di

dalamnya merupakan kelanjutan ke dunia publik pekerjaan rumah tangga

yang dilakukan oleh wanita, tanpa dibayar, di rumahnya sendiri: memasak,

mencuci, mengasuh anak, dan sebagainya. Jadi, dalam buku Gilman

pembagian-pembagian kelas seksual dalam masyarakat kapitalis dipandang

sebagai konsekuensi dan bukan penyebab lahirnya sistem patriarki.

Keduanya saling bekerja sama tetapi kebebasan tokoh-tokoh seperti Diantha

terjadi dalam suatu ekonomi kapitalis. Gilman menunjukkan bahwa patriarki

mendahului kapitalisme, yang merupakan akibatnya dan bukan

penyebabnya. Suatu analisis Marxis terhadap buku-buku seperti 'What

Diantha Did' tidak akan masuk melampaui konteks ekonomi tetapi sebuah

analisis feminis Marxis mampu mengungkapkan hubungan antara

kapitalisme dan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dalam sistem

patriarki.

Cerita-cerita seperti 'What Diantha Did' dan 'An Honest Woman' (1911)

mengeksplorasi implikasi-implikasi dari pembagian kerja menurut jenis

Page 17: Gender Dan Pekerjaan

kelamin. Eksploitasi atas pekerjaan wanita dalam sistem patriarki dan

pentingnya pekerjaan wanita sebagai komponen struktural dari ekonomi

kapitalis keduanya menjadi jelas ketika Gilman mengungkapkan apa yang

bisa diraih wanita ketika mereka dibebaskan dari sistem-sistem ekonomi dan

sosial yang represif. Tokoh-tokoh wanita dalam 'An Honest Woman'

mentransformasi dirinya dari seorang ‘wanita yang merayap’, yang

ditelantarkan oleh ayahnya di waktu kecil, menjadi seorang wanita

pengusaha sukses yang mengelola sebuah hotel terkenal dan menjadi pilar

komunitas lokal. Ketika pria penggodanya akhirnya kembali dan berharap

sama-sama menikmati kesuksesan finansialnya dia bisa menolaknya

mengingat semua kebohongan dan tipu daya yang telah dilakukannya.

Ketika pria itu mengancam akan membongkar masa lalunya kepada

masyarakat, dia bisa menanggapi ancaman itu dengan memberitahunya

bahwa semua detail di masa lalunya pun telah diketahui oleh semua

penduduk namun dia tetap dinilai sebagai ‘wanita jujur’ karena

keteladanannya, dan dengan demikian ancamannya menjadi sia-sia. Mary

menolak tuntutan patriarkal supaya dia menyediakan dirinya bagi pria ini;

dia mencoba untuk mendapatkan anaknya, namanya, dan dirinya sebagai

isterinya tetapi Mary tidak membutuhkan dirinya dalam semua hal ini karena

dirinya dan anaknya tidak bergantung secara finansial pada dirinya. Tetapi,

independensi ini bergantung pada kecocokan dirinya dengan harapan-

harapan mengenai apa itu masyarakat patriarkal. Dia dipuji karena mengirim

adiknya untuk bersekolah dan bukannya menjalani kehidupan di hotel, yang

mungkin tidak diterima oleh masyarakat; pekerjaannya sendiri adalah

kelanjutan dari pekerjaan rumah tangga tradisional wanita dan bukan

saingan bagi kategori pekerjaan ‘pria’. Keberhasilan yang diraihnya adalah

keberhasilan seorang pengusaha dan kebebasannya merepresentasikan

kesuksesan yang mampu diraih seorang wanita jika dia bebas menentukan

nasibnya sendiri dalam ekonomi kapitalis.

Cerita-cerita yang disajikan oleh Gilman menyingkap determinan-

determinan struktural atau kelas yang tersembunyi dari pengalaman wanita,

Page 18: Gender Dan Pekerjaan

terutama kekuatan-kekuatan sosial dan ekonomi yang membatasi para

wanita hanya pada kelas seksual saja: dalam cerita 'Turned', contoh, istri

yang dikhianati, Marion, menyadari bahwa perselingkuhan suaminya dengan

wanita pelayan muda Gerda bukan hanya sebuah pengkianatan personal.

Setelah goncangan dan kesedihannya mereda dia bisa merefleksi, 'Ini adalah

dosa pria terhadap wanita.... Kejahatan melawan kodrat wanita. Terhadap

kodrat seorang ibu' (hal.94), ujarnya. Suaminya mengambil keuntungan dari

sikap pasif, kepatuhan, dan hormat sang pembantu. Hubungan kelas antara

tuan dengan hamba tercermin dalam hubungan seksual antara pria dengan

wanita. Dilihat dalam konteks-konteks ini, Marion menyadari bahwa reaksi

awal yang dilakukannya mengusir Gerda dari rumah dianggap keliru. Reaksi

tersebut justru mendukung pembedaan kelas dan jenis kelamin yang telah

memungkinkan suaminya memanfaatkan gadis tersebut. Malahan, Marion

mengakui suaminya sebagai pelaku dan Gerda sebagi korban dalam situasi-

situasi ini dan kedua wanita itu pergi meninggalkan rumah untuk

membangun kehidupan yang bebas bagi keduanya dan anak Gerda. Jadi,

judul cerita tersebut mewakili bukan hanya 'berbaliknya' kedua wanita itu

melawan pria tidak setia itu tetapi juga menunjukkan cara dimana keduanya

saling memperhatikan satu sama lain sebagai anggota kelas seksual yang

sama, sama-sama mengalami eksploitasi dan pengkhianatan.

Gilman mengungkapkan konstruksi wanita sebagai kelas konsumen

pasif dan kehancuran individualitas feminin yang merupakan bagian dari

pembentukkan kesadaran kelas. Dengan menjelaskan makna femininitas

dan membatasi kesadaran feminin lewat konsep-konsep seperti kewajiban,

formula-formula sosial beroperasi untuk mengurangi potensi setiap wanita.

Cerita-cerita seperti 'The Cottagette' (1910) dan 'Making a Change' (1911)

mengungkapkan proses dimana melalui proses itu tiap wanita tereduksi oleh

ketergantungannya pada pria agar cocok dengan peranan-peranan gender

tertentu. 'The Cottagette', contoh, menggambarkan transformasi seorang

artis menjadi seorang pekerja rumah tangga ketika dia menjalankan

peranan-peranan rumah tangga yang diyakininya perlu untuk mendapatkan

Page 19: Gender Dan Pekerjaan

seorang suami. Dalam 'Making a Change' istri juga seorang seniman tetapi

dalam cerita ini dia terdorong untuk mencoba bunuh diri karena tekanan-

tekanan rumah tangga dan sebagai seorang ibu. Dalam cerita ini sang istri

dan mertuanya, yang sama-sama menderita dalam peranan

konvensionalnya, membuat sebuah rencana dimana Julia bisa memulai

kembali mengajar musik sementara suaminya bekerja dan bayinya diasuh

oleh neneknya bersama dengan semua bayi yang lain yang berada di bawah

pengasuhannya. Dengan cara ini, kedua wanita itu memperoleh cukup uang

untuk menggaji seorang tukang masak dan penjaga rumah sementara

mereka, daripada hidup sebagai konsumen pasif dari pendapatan Frank,

menjadi penyedia jasa aktif yang diupah. Sekali lagi, pekerjaan yang diupah

ini adalah perluasan dari pekerjaan rumah tangga dan awalnya Frank malu

dengan perilaku ‘tidak feminin’ ini: usaha pengasuhan anak ibunya harus

dikesampingkan demi puteranya dan kemampuan bermusik isterinya

seharusnya hanya dinikmati olehnya. Hanya karena dia sadar bahwa

kebahagiaan dan pemenuhan diri yang dirasakan oleh masing-masing wanita

yang didapat dari pekerjaan yang diupah yang membuatnya menyetujui

kedua wanita itu bekerja. Resistensi maskulin terhadap pekerjaan feminin

serta ketergantungan finansial adalah sebuah tema yang muncul kembali

dalam cerita-cerita Gilman. Konsep-konsep seperti tugas dan rasa hormat

bekerja sama dengan peranan-peranan gender patriarkal konvensional

membatasi pria maupun wanita, tetapi pelecehan terhadap individualitas

dirasakan oleh kaum wanita sangat merugikan mereka. Ini adalah pokok

bahasan utama dalam novel Gilman yang sangat terkenal, 'The Yellow

Wallpaper'.

Dalam 'The Yellow Wallpaper', hubungan antara narator dan suaminya

John mewakili stereotipe-stereotipe seksual yang bertentangan yang

dimasukkan ke dalam konflik sepanjang cerita novel tersebut. Sang suami

disebut sebagai rasional, ilmiah, obyektif dan dominan; sebaliknya, isterinya

digambarkan pasif, tidak rasional, gugup, emosional dan subyektif, `percaya

pada takhyul'. Tetapi lebih dari itu, justru kekuatan imajinasinya-lah yang

Page 20: Gender Dan Pekerjaan

disebut sebagai berbahaya. John terpaksa harus mengontrol isterinya dan

bahwa hasrat-hasrat yang berbahaya mengancam pandangannya tentang

dunia. Ketakutannya menyebabkannya menjadi otoriter, terutama ketika

obyek ketakutannya adalah `the weaker sex'. Narator melihat masalahnya

tetapi dia tidak bisa menyebut hal tersebut sebagai sebuah masalah.

Akibatnya, nada suaranya tidak menentu; pandangan berubah dengan

mudah, resistensi berubah menjadi penerimaan.

Cerita tersebut tampaknya adalah sebuah jurnal tetapi nada

penyampaiannya yang meyakinkan menunjukkan bahwa narator sedang

mencoba untuk menjangkau atau bahkan menciptakan seorang pembaca

yang sebaliknya tidak bisa ditemukannya. Hubungannya dengan suaminya

penuh dengan ketidakjujuran karena dia tidak bisa memberitahu sang suami

apa yang ingin diketahui dan tidak mau diakui oleh suaminya (karena itu

berulang kali dia menegaskan bahwa istrinya semakin membaik). Hanya

dalam jurnalnya dia bisa mengakui ketidakjujurannya dan menjelaskan

mengapa itu perlu. Dalam tulisan dia bisa menjelaskan apa yang ingin

disampaikannya kepada suaminya tetapi tidak bisa dilakukannya. Jurnal itu

sendiri adalah kebohongan terbesarnya tetapi juga mewakili upaya

terbaiknya untuk bersikap jujur. Kontradiksi-kontradiksi ini dialami sebagai

kegagalan pribadi tetapi disampaikan melalui narasi sebagai konsekuensi

yang tidak terelakkan dari peranan-peranan gender yang dijelaskan; di sini,

konsekuensi yang dialami istri. Tiap wanita ditempatkan dalam suatu situasi

dimana mereka harus berusaha menyesuaikan diri dengan stereotipe ‘isteri’

yang artifisial dan dengan tulus mengambil peranan ini sebagai jalan

pemenuhan diri. Tetapi proses ini tak terhindarkan menciptakan konflik

antara persepsi sosial dan persepsi personal tentang diri seseorang, suatu

konflik yang dialami sebagai tuntutan yang tidak terelakkan untuk bersikap

tidak jujur terhadap diri dan, sekaligus, dorongan untuk bersikap jujur.

Narator tidak bisa berhenti menipu dirinya mengenai hakikat dari

sikapnya. Jadi, deskripsi-deskripsinya menghasilkan ironi yang dramatis

ketika pembaca berusaha membedah makna-makna yang sangat tidak

Page 21: Gender Dan Pekerjaan

dipahaminya. Contoh, deskripsinya tentang kamarnya yang menurutnya

seperti sebuah kamar anak-anak tetapi menurut pembaca tampak seperti

sebuah kamar yang dirancang untuk membatasi gerak para pasien yang

kasar. Perbedaan antara hal-hal fisik dalam lingkungannya dengan

interpretasinya atas hal-hal tersebut sebagian besar muncul dari

keinginannya untuk mempercayai segala sesuatu yang dikatakan oleh

suaminya kepada dirinya. Apa yang dia ungkapkan dalam cara ini adalah

sejauh mana dia terjebak dalam konsepsi tentang dirinya yang didapat dari

John dan nilai-nilai masyarakat patriarkal yang diwakili suaminya. Lewat

nilai-nilai patriarkal inilah kaum wanita bisa dikendalikan dengan sangat

efektif dan sementara narator mungkin keberatan dengan kata-kata yang

digunakan untuk menggambarkan situasi yang dihadapinya, dia tidak punya

kata-kata yang bisa digunakan untuk menentang otoritas suaminya.

Bukan hanya narator tetapi juga suaminya ternyata adalah korban dari

masyarakat represif tempat mereka hidup. Sikap kasarnya didorong oleh

cinta; suaminya tidak mau menyiksanya tetapi tidak punya solusi lain bagi

kesulitannya selain mengatakan bahwa isterinya menyukai peranan-peranan

gender yang diberikan kepadanya. Tugas 'mencintai suami' dan 'isteri yang

setia’ justru menjerumuskan mereka yang mencoba menjalankan peranan-

peranan ini ke dalam bahaya. Jenny juga berpandangan sama seperti John

mengenai masalah yang dihadapi narator dan imajinasinya yang sangat

berbahaya; dalam hal ini dia menggambarkan kepelikan yang dihadapi para

wanita dalam mempertahankan peranan-peranan sosial yang opresif dengan

mendramatisir tokoh wanita yang diidentikkan dengan pria. Jenny

mengidentifikasikan diri bukan dengan kepentingan wanita tetapi dengan

kepentingan-kepentingan khusus pria; dia berpihak dengan orang-orang

yang sangat berkuasa, dengan para penindas, karena di situ dia bisa

memperoleh keuntungan pribadi. Dalam cerita tersebut tidak ada petunjuk

tentang suatu komunitas wanita selain visi gila narator tentang sekelompok

‘wanita yang tak berdaya'. Kedua wanita dalam cerita itu terkungkung oleh

peranan sebagai isteri yang dibebankan oleh masyarakat kepada mereka,

Page 22: Gender Dan Pekerjaan

seperti wanita imajinatif yang terpenjara di balik kertas dinding yang berpola

dan wanita nyata yang terpenjara di balik jendela berjerujinya. Pada

akhirnya, dia terbebas dari kungkungan namun kebebasan yang

diperolehnya hanyalah kebebasan dari kebutuhan untuk menipu dirinya

sendiri dan orang lain mengenai hakikat dari peranannya. Dia telah

menyingkirkan jebakan-jebakan peranan sebagai isteri dan ibu; dia dibiarkan

begitu saja dengan kegilaannya dan pandangannya tentang pekerjaan

sesungguhnya dalam sistem patriarki. Dia dihukum karena menolak untuk

memikul dan menyesuaikan diri dengan peranan-peranan gender yang telah

dikondisikan oleh masyarakat; dia menjadi contoh bagi para wanita seperti

Jenny yang berpandangan bahwa di luar tugas-tugas yang telah menjadi

kodrat mereka tidak ada tempat bagi para wanita dalam masyarakatnya.

Wanita bebas, wanita tanpa perlindungan pria, disingkirkan dan dikucilkan.

Jadi identitas seksual dan ketergantungan ekonomi ada bersama dalam

suatu hubungan yang kompleks yang menentukan setiap aspek kehidupan

sosial.

Analisis feminis Marxis berkaitan dengan pengidentifikasian

determinan-determinan pengalaman yang bersifat struktural, seperti

koeksistensi ketergantungan ekonomi wanita dan identitas seksual wanita.

Nancy Hartsock melukiskan kekerasan yang dilakukan terhadap pengalaman

wanita akan dirinya melalui pengaturan misoginistik atas kehidupan wanita

dalam suatu sistem patriarki kapitalis:

Organisasi keibuan (motherhood) sebagai suatu institusi dimana seorang

wanita sendirian bersama dengan anak-anaknya, pengucilan terhadap

wanita dari satu dengan yang lain dalam pekerjaan rumah tangga, patologi

wanita akan hilangnya diri dalam pelayanan bagi orang lain– seluruhnya

menandai peralihan kehidupan ke kematian, distorsi atas apa yang mungkin

bisa menjadi aktivitas yang kreatif dan komunal menjadi alat opresif, dan

hancurnya kemungkinan komunitas yang ada dalam definisi diri relasional

wanita (Hartsock, 1983, hal. 84).

Page 23: Gender Dan Pekerjaan

Bagian ini menguraikan sifat-sifat pokok dalam cerita Gilman. Narator

menentang isolasi bersama dengan anak-anaknya, dia merasa bayinya

sebagai ancaman bagi otonomi pribadinya (anaknya membuatnya 'lelah')

dan cerita tersebut menunjukkan bahwa penyebab awal penyakitnya adalah

depresi pasca-kelahiran. Tetapi, ini hanya berarti bahwa Jenny dibiarkan

merawat sendiri anaknya dan begitu pula seorang wanita yang lain diisolasi

bersama dengan anak tersebut. Sementara suaminya pergi ke kota dan

berpartisipasi dalam dunia publik, para wanita diisolasi dalam rumah dan

mereka tetap dibiarkan terpisah oleh hubungan-hubungan berbeda dengan

John, kepala rumah tangga. Jenny adalah sekutu diamnya yang juga memiliki

nilai-nilai dan pandangan yang sama seperti dirinya dan melaksanakan

pendapat-pendapatnya; isterinya berseberangan dengan dirinya karena dia

berusaha untuk melibatkannya dalam dialog mengenai nilai-nilai dan

pendapat-pendapat tersebut. Terutama, adalah ‘patologi wanita yang

kehilangan jati dirinya karena harus melayani orang lain' yang didramatisir

oleh 'The Yellow Wallpaper’. Dari dua tokoh wanita utama, Jenny

menunjukkan tidak memiliki rasa diri (sense of self); dia hanya melayani

kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan John. Tetapi, narator

berjuang untuk mengendalikan rasa individualitas dirinya yang akut dan

tunduk pada keinginan suaminya. Dalam skema nilai masyarakat ini yang

kontradiktif, yang dianggap patologis di sini adalah kegagalan untuk

mematikan identitas wanita.

Perjuangan ini untuk melawan sense of self-nya ketika narator

mencoba untuk menyesuaikan diri, namun gagal, menyediakan prinsip

struktur dasar dari narasi tersebut. Dalam `The Yellow Wallpaper', struktur

narasi direpresentasikan sebagai suatu proses, suatu proses yang

ditematisasikan sebagai proses interpretasi. Narator bergerak antara

tuntutan-tuntutan identitas dirinya dan tuntutan-tuntutan yang diletakkan

atas gendernya oleh masyarakat dan ketika dia melakukan itu persepsinya

tentang kertas dinding, dan makna yang dia temukan di situ, berubah.

Interpretasinya tentang detil-detil dalam pola kertas dinding itu menuntun ke

Page 24: Gender Dan Pekerjaan

suatu subyektivitas persepsi yang lengkap, dimana kertas dinding dan

wanita yang mengamatinya menyatu. Narator menemukan bahwa dia bisa

membebaskan dirinya yang suka memberontak dari jeruji-jeruji yang

membentuk pola pada kertas tersebut, tetapi pembebasan diri semacam ini

justru menjadi penjara diri dalam kegilaan ketika dia mengasingkan diri dari

semua yang berada di luar dirinya. Narator kehilangan daya persepsinya, dia

kehilangan pendengaran di dunia, sehingga walaupun detil-detil masih

tersaji secara realistis dalam narasi, makna dari detil-detil tersebut menjadi

kabur. Narasi tersebut mempertanyakan desiferabilitas dari dunia fisik

eksetrnal ketika kategori-kategori dasar persepsi menemui jalan buntu: riil

versus fantasi, hidup versus mati, aktual versus imajinatif, sahabat versus

musuh.

Narator menemukan dua lapisan realitas: suatu pola superfisial dari

hal-hal sehari-hari dan suatu represi dunia atau fisik yang ada di bawah

permukaan tenang ini. Rasa keterbataasn diri yang dijumpainya menemukan

sebuah penyeimbang dalam kontras-kontras antara ruang tertutup dan

pandangan taman terbuka. Pertama, dia melihat keduanya secara realistis,

tetapi lambat laut pandangannya menjadi lebih personal dan subyektif

ketika tokoh-tokoh di taman menjadi identik dengan tokoh dalam kertas

dinding itu. Terakhir, narator menyatu dengan tokoh ini dan, walaupun

identifikasi ini memungkinkannya untuk melepaskan rasa amarah dan

frustrasi yang dialaminya, namun kegilaan yang berkembang kemudian

hanyalah bentuk lain dari keterkungkungan. Diri tersembunyi ini yang bisa

diungkapkannya hanya dengan mengidentifikasinya dengan tokoh dalam

kertas dinding itu dianggap gila dalam masyarakatnya. Dia tidak bisa

mengartikulasikan rasa dirinya kepada suaminya, meski telah dicobanya,

karena dia tidak memiliki bahasa yang tepat untuk menandingi istilah-istilah

patriarkal dimana dia berpikir. Dia berjuang bukan hanya melawan orang-

orang dan masyarakat di sekelilingnya tetapi juga melawan pendidikannya

sendiri, indoktrinasinya dalam nilai-nilai patriarki kapitalis. Akibatnya, satu-

satunya saluran bagi pemberontakkannya adalah menanggalkan bangunan

Page 25: Gender Dan Pekerjaan

ilusi-ilusi, pola-pola yang keliru dan superfisial, yang membuat rasa

individualitasnya tetap tertindas.

Sejak awal kertas dinding telah dipandang sebagai amarah dan

kekerasan – dengan 'kedua mata' yang mencoba 'membaca' dirinya. Dia

menyadari bahwa wanita yang sedang mengintai itu berada di dalam dirinya

tetapi tertutup dan tersembunyi oleh pola-pola eksternal; jadi wanita

tersebut tampaknya ‘tercekik’. Ketika penglihatan realistisnya mencair, dia

melihat suatu refleksi dirinya yang lebih langsung dalam kertas dinding itu.

Emosi-emosinya terpantul ke sekelilingnya, dimana perasaan-perasaan

tersebut lebih mudah ditangani. Walaupun dia mungkin berusaha

menyingkirkan rasa bersalah yang dirasakannya, tidak ada obat yang

tersedia di dunia narasi bagi gangguan emosional yang sedang dideritanya.

Distorsi persepsi, usahanya untuk menghilangkan beban-beban dunia luar,

adalah jawaban terhadap ketidakpastian, isolasi dan kungkungan hidupnya.

Secara fisik dan psikis dia dihancurkan oleh kemustahilan untuk menemukan

bagi dirinya suatu identitas personal yang pasti dan bermakna, yang melekat

dalam suatu jaringan hubungan keluarga yang mendukung dan menguatkan.

Kertas tempat dia menuliskan jurnalnya digantikan oleh kertas dinding

ketika pengamatan obyektifnya digantikan oleh imajinasi-imajinasi subyektif.

Substitusi ini menunjukkan bahwa rasa dirinya sedang menyusut, menjadi

tidak pasti dan terbagi. Tulisan menjadi semakin melelahkan bagi dirinya

dan barangkali juga menjadi ancaman bagi apa yang masih tersisa dari

identitas dirinya. Kemudian, dia berhenti  menuliskan beberapa detil dari

pengalamannya. Pembaca, seperti John dan Jenny, tertutup dari dunia

pribadinya. Mereka tidak memiliki bagian dalam dunia tersebut untuk alasan-

alasan yang sama bahwa mereka bertanggung jawab terhadap kemustahilan

kedudukannya: mereka adalah representasi dari sistem patriarki yang telah

menghancurkan dirinya. Di mata suaminya dia-lah, dan bukan masyarakat,

yang bertanggung jawab terhadap kehancurannya. Dia telah gagal

memberikan respons-respons konvensional terhadap pengalaman, bentuk-

bentuk respons yang bisa dijelaskan menurut gagasan-gagasan

Page 26: Gender Dan Pekerjaan

konvensional, dan kegagalan ini menyebabkan kegilaan. Namun dari sudut

pandang narator – perspektif yang didukung oleh cerita itu sendiri—kegilaan

tentu lahir dari penolakan terhadap aturan-aturan sosial yang ditentukan

oleh pria. Usaha-usahanya untuk menolak mekanisme-mekanisme budaya

yang mereduksi pribadi wanita menjadi stereotipe-stereotipe dengan

menindas rasa individualitasnya menimbulkan penolakan total dirinya

terhadap dunia sosial dan lebih menyukai satu-satunya alternatif yang

tersedia baginya – dunia pribadi yang penuh kegilaan.

Rasa harga diri yang mulai muncul dalam diri narator, rasa identitas

dirinya sebagai pribadi yang berbeda, terancam bertentangan dengan

prinsip dasar patriarki kapitalis: koeksistensi ketergantungan ekonomi wanita

dan identitas seksual wanita. Kedudukan wanita lebih rendah, sehingga dari

segi ekonomi mereka sangat tergantung pada pria; karena wanita secara

ekonomi tergantung pada pria, mereka harus inferior. Citra seorang wanita

independen yang memandang dirinya setara dengan suaminya sangat

subversif dan akibatnya tidak diperbolehkan dalam masyarakat patriarkal.

Ketika narator 'The Yellow Wallpaper' mengetahui risiko sangat besar yang

dihadapinya, di bawah sistem patriarki seorang wanita independen

disejajarkan dengan wanita gila.

Dalam Women and Economics (1898) Gilman mengemukakan bahwa

dengan menghapus 'pekerjaan wanita', dengan menyediakan semua

pekerjaan bagi kedua jenis kelamin, wanita bisa meningkatkan statusnya

dan menjadi lebih produktif sebagai anggota masyarakat. Pekerjaan rumah

tangga—memasak, mencuci, membesarkan anak—harus

diprofesionalisasikan dan disosialisasikan. Para profesional terlatih harus

melaksanakan pekerjaan yang dilakukan secara tradisional, tidak dibayar,

oleh wanita di rumah dan karena itu wanita harus beralih ke dunia publik

untuk melakukan pekerjaan sesuai pilihannya. Hal yang menentukan status

sosial rendah wanita adalah ketergantungan ekonomi wanita dalam

perkawinan, pekerjaan yang tidak dibayar dan begitu diremehkan yang

Page 27: Gender Dan Pekerjaan

mereka lakukan di rumah. Dalam banyak cerita pendek Gilman, dia

menggambarkan konsekuensi-konsekuensi bagi tiap wanita yang mampu

memenuhi sendiri kebutuhan ekonominya dan karena itu

mentransformasikan dirinya menjadi pribadi-pribadi yang otonom dan

bermartabat. Tetapi Gilman bukan seorang feminis Marxis. Dia mengusulkan

perubahan-perubahan strategis pada struktur ekonomi patriarki tetapi dia

tidak mendukung restrukturisasi kapitalisme secara menyeluruh. Patriarki

harus direformasi agar memudahkan wanita mengakses ekonomi kapitalis,

dan dalam fiksinya wanita yang membebaskan dirinya menemukan

kebebasan sebagai pengusaha dan kapitalis skala kecil (wanita pebisnis

skala kecil, dsb.). Dalam novel utopia Herland, contoh, anak-anak dibesarkan

secara bersama oleh para ahli terlatih, yang memperoleh keuntungan

finansial dari keahliannya dalam mengasuh anak. Pandangan bahwa

ekonomi kapitalis adalah bidang yang netral gender adalah naif— wanita

menemukan bahwa pekerjaan yang dibayar di luar rumah tidak membawa

kebebasan atau akhir bagi penindasan. Lingkungan-lingkungan yang

terpisah menjamin bahwa makna dan nilai pekerjaan tetap tidak berubah

bahkan ketika semakin banyak wanita yang masuk pasar tenaga kerja (17%

pada 1900, hampir 22% menjelang tahun 1929). Tetapi  wanita memasuki

apa yang disebut 'profesi mengasuh’, pekerjaan kleris dan rumah tangga,

dan upah yang diterima tidak sama walaupun pekerjaan yang dilakukan

sama. Pekerjaan wanita secara khusus ditargetkan selama Depresi, dengan

pria menuntut sedikit pekerjaan yang tersedia dan keputusan undang-

undang untuk menguatkan tuntutan ini (contoh, menurut Undang-undang

Ekonomi Federal tahun 1933 hanya satu anggota keluarga yang bisa

dipekerjakan oleh pemerintah).

Menulis atau komunikasi adalah satu-satunya pekerjaan yang mampu

dikerjakan oleh narator dan dia benar-benar mengabaikan peluang untuk

melakukannya dan, akibatnya, mengabaikan peluang untuk mengalami

dirinya sebagai pribadi yang produktif. Dia telah memproduksi tetapi psikosis

depresi pasca-kelahiran menghambatnya untuk memenuhi peranannya

Page 28: Gender Dan Pekerjaan

sebagai ibu. Justru, dia ingin melakukan pekerjaan pria (menulis) yang

sangat bertentangan dengan peranan sosialnya. Pembalikkan ‘tidak lazim’

peranan-peranan seksual oleh para dokter (suami dan saudara laki-laki

narator) disebut 'gangguan syaraf'. John menentukan apa yang harus

dikomunikasikan. Menulis dilarang; dia membaca baginya ketimbang

mengijinkan narator membaca untuk dirinya sendiri. Narator meninggalkan

‘kertas mati’ tulisan dan justru memusatkan energi-energi interpretatifnya

pada kertas dinding. Dia menjadi terobsesi dengan masalah makna,

bagaimana menghadirkan yang imajinatif dan yang aktual ke dalam

hubungan. Pola-pola yang tidak dikenali dari pengalaman hidup nyatanya

dilambangkan oleh pola-pola kertas dinding itu, dan lewat proses interpretasi

dia menemukan gambaran situasi dirinya yang tidak menyenangkan. Namun

pandangan ini bukan pembebasan: dengan mendekodekan gambar-gambar

dirinya pada kertas dinding dia mendekodekan kembali gambar-gambar

tersebut dalam pikiran dimana mereka tidak bisa dihindari. Yang imajinatif

dan yang aktual menjadi satu ketika dia menjadi wanita di dalam kertas

dinding itu. Dia membaca sebagai seorang wanita konvensional, John

sebagai pria konvensional; interpretasi keduanya ditentukan oleh gender.

Tetapi konvensionalitas keduanya membuat mereka salah membaca situasi

mereka dimana pandangan yang tidak konvensional merupakan perspektif

yang menyenangkan. Aktivitas menulis dianggap berpotensi subversif

namun potensi ini untuk menimbulkan reaksi-reaksi sosial yang nyata

digunakan oleh masyarakat untuk menentukan persepsi-persepsi sosial

warganya. Lalu, Gilman menggunakan tulisan untuk memperluas wawasan

perseptual dan interpretatif dari para pembacanya (lihat eseinya tahun

1913, 'Why I Wrote 'The Yellow Wallpaper”).

Gilman menemui kesulitan besar dalam mempublikasikan 'The Yellow

Wallpaper' dan cerita tersebut hampir dilupakan sepanjang abad ini. Prestasi

Gilman sebagai seorang penulis fiksi banyak diakui hanya sebagai

konsekuensi dari upaya-upaya saat ini di kalangan para kritikus sastra

feminis yang berusaha untuk memulihkan tradisi tulisan wanita dengan

Page 29: Gender Dan Pekerjaan

menyelamatkan teks-teks tersebut dari kemusnahan. Ketika ‘When 'The

Yellow Wallpaper' dibaca, ternyata itu adalah cerita horor: contoh cerita

pendek tersebut dimasukkan dalam koleksi tahun 1971 yang berjudul Ladies

of Horror:  Two Centuries fo Supernatural Stories by the Gentle Sex

(Doubleday, 1971). Hubungan antara kegilaan dan gender dari para korban

diabaikan, juga tidak ada hal supernatural dalam cerita tersebut. Cerita itu

termasuk dalam genre novel Gothic, yang dipopulerkan oleh Edgar Allan Poe,

tetapi Gilman menyadur ceritanya sesuai dengan ekspresi sensibilitas

feminin yang bertentangan dengan ortodoksi maskulin. Gaya narasi dan

jenis alam psikologis yang digunakan Gilman sebegitu cerdas membawanya

ke dalam konflik dengan pandangan-pandangan ortodoks atau realisme yang

direkomendasikan oleh kritikus-kritikus berpengaruh seperti William Dean

Howells. Karena itu, diharuskan untuk mempertimbangkan dalam cara-cara

yang bagaimana gaya tulisan Gilman bertentangan dengan gaya yang

modern dan bagaimana hal ini berkaitan dengan pertanyaan tentang

gender.

Howells dalam Criticism and Fiction (1891) dan Novel-Writing and

Novel-Reading (1899) melukiskan ciri-ciri dari fiksi yang ’bagus’:

Dalam novel-novel, kami selalu memulai dengan sesuatu yang kami ketahui

tentang hidup, yakni, dengan hidup itu sendiri; lalu kami melanjutkan dan

meniru apa yang telah kami ketahui tentang hidup. Jika kami sangat ahli dan

sangat sabar kami bisa menyembunyikan hubungannya. Tetapi hubungan

tersebut selalu ada di sana, dan di satu sisinya terdapat tanah nyata dan

rumput nyata, dan di sisi lainnya terdapat gambar-gambar tanah dan rumput

yang dilukis (Howells, dalam Baym dkk., 1994, vol.2 hal. 241).

Skill ini meliputi penciptaan sudut pandang yang obyektif, tokoh-tokoh yang

meyakinkan yang berbicara dalam bahasa sehari-hari yang aktual, yang

bergerak di dalam suatu lingkungan historis dan geografis yang spesifik,

dimana nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan bisa dikenali, dan menghindari

efek-efek melodramatik atau sentimentil. Gaya realisme yang didukung oleh

Howells, melalui lembar-lembar majalahnya yang sangat berpengaruh,

Page 30: Gender Dan Pekerjaan

menekankan yang 'biasa'. Novelis, seperti didiskusikan oleh Howells, selalu

pria, walaupun Howells menyebut karya novel Jane Austen dan George Eliot

termasuk di antara beberapa prestasi terbesar dalam bentuk novel. Tetapi

Howells buta dengan bias gender dalam preskripsinya untuk tulisan yang

bagus. Realitas obyektif yang selalu dipilih oleh Howells sebagai subyek fiksi

adalah dunia seperti yang dirasakan oleh pria. Dalam Criticism and Fiction

dia menulis bahwa keberhasilan artis terletak pada relasinya dengan alam

manusia, yang kita semua ketahui, yakni kebebasan pribadinya, tugas

pentingnya, untuk menginterpretasi. 'Alam manusia' yang menurut asumsi

Howells kita semua telah memahaminya, kemudian diidentifikasi sebagai

‘kumpulan manusia biasa’. Howells sedang berbicara dari sudut pandang

pria yang menurut pendapatnya adalah 'alamiah' and 'universal'. Dia tidak

menyadari bahwa definisi-definisinya menghambat wanita untuk menulis

apa yang disebutnya sebagai fiksi yang bagus. Akibatnya, Howells tidak bisa

melihat nilai tersebut dalam bentuk realisme seperti 'The Yellow Wallpaper'

yang mewakili dunia sebagaimana tampaknya di mata wanita.

Para penulis seperti Gilman menunjukkan bahwa realitas bukanlah

sesuatu yang hanya bisa kita asumsikan dipahami secara universal dan

secara universal sama; justru, realitas adalah sesuatu yang diciptakan oleh

masyarakat lewat usaha-usaha ideologi. Realitas berbasis kelas dan berbeda

untuk orang kaya dan orang miskin, pria dan wanita. Pengalaman realitas

seseorang tergantung pada di mana tempat seseorang diletakkan dalam

masyarakat. Realitas terletak tidak melulu dalam dunia obyektif seperti

dalam persepsi individu. Dalam 'The Yellow Wallpaper' Gilman melukiskan

pengalaman wanita akan realitas secara kualitatif berbeda dengan pria',

tetapi mengaitkan penyebab dari perbedaan ini dengan pembedaan gender

yang artifisial dan peranan-peranan seks yang ditentukan secara kultural.

Pengalaman ini dan persepsi-persepsi tentang dunia berbeda dengan realitas

pria dominan yang didefinisikan sebagai persepsi 'biasa' dan 'obyektif'.

Gilman menggambarkan konflik ini dengan menggunakan gaya Gothic, yang

disesuaikan dengan tujuan-tujuan feminisnya.

Page 31: Gender Dan Pekerjaan

Bentuk Gothic cocok untuk merepresentasikan pandangan yang tidak

disadari dan subyektif tentang dunia, tetapi bilamana dunia itu adalah dunia

mimpi buruk. Bentuk tersebut menekankan pemisahan dari apa yang

diterima sebagai dunia obyektif sehari-hari, yang dianggap oleh Howells

sebagai satu-satunya subyek yang tepat untuk fiksi. Konflik antara nilai-nilai

masyarakat dan kemampuan individu untuk memainkan peranan sosial bisa

dilihat melalui perbedaan antara realitas yang subyektif dan obyektif.

Keberadaan dari dua realitas melemahkan ide bahwa sebuah dunia ada.

Karena itu, dengan menanyakan pembaca pertanyaan mengenai keaslian

dunia, fiksi yang ditulis dalam gaya Gothic bisa mengungkapkan secara

efektif protes seorang penulis terhadap pembatasan masyarakat.

Dalam 'The Yellow Wallpaper' konflik antara masyarakat dan individu

atau realitas obyektif dan realitas subyektif yang diwakili oleh sebuah pikiran

(mind) terjebak dalam situasi yang menimbulkan kegilaan. Penyembuhan

yang harus dijalani oleh narator dirancang untuk membuat dirinya diam dan

tergantung (sesuai dengan peranan sosialnya) melalui teknik deprivasi

sensorik. Tetapi deprivasi semacam itu selalu menimbulkan kegilaan. Jadi,

dengan segala radikalnya, cerita tersebut meminta kita untuk

mempertimbangkan apakah penyesuaian diri dengan peranan-peranan

gender adalah suatu bentuk kegilaan dan apakah masyarakat patriarkal kita

memang didasarkan pada kegilaan yang terkendali. Gilman menaruh

perhatian pada kegilaan, ketidaklogisan, dari ketidakadilan sosial. Dalam hal

ini dia menyebutkan absurditas dalam menangani penindasan dengan

strategi-strategi deprivasi yang dirancang untuk mengatasi simptom-

simptom kelelahan syaraf. 'Pengobatan' yang dimaksudkan sekurang-

kuranya adalah suatu penanganan medis dan lebih dari itu sebagai alat

untuk mengontrol cara wanita mengaitkan dirinya, satu sama lain dan dunia.

Menjadi jelas bahwa itu akan menjadi kenyataan ketika narator mulai

kembali berbicara dan berpikir menurut cara-cara yang dianggap tepat dan

‘gila’ oleh suami dokternya bahwa dia akan terbebas dari penjara fisiknya.

Jadi persepsi-persepsi dan cara dia mengungkapkannya dianggap simptom

Page 32: Gender Dan Pekerjaan

nyata penyakitnya dan pengobatan yang dianjurkan dimaksudkan untuk

menyembuhkan simptom-simptom ini.

Gilman mengatakan bahwa peranan wanita pada dalam budaya

Amerika abad sembilan belas berkaitan dengan konsep-konsep ideologis

dominan di dunia. Perspektif wanita adalah suatu pandangan imajinatif yang

harus dikendalikan dan dibiarkan tetap di bawah pandangan dunia yang

rasional, logis, praktis dan obyektif yang mendukung kepentingan-

kepentingan pria Amerika abad sembilan belas. Ketika cerita tersebut

menyelidiki ketegangan-ketegangan antara dunia subyektif dan dunia

obyektif dia tidak menunjukkan bahwa yang satu lebih nyata daripada yang

lainnya tetapi bagaiman seperangkat hubungan keluarga dan komunitas

yang mendukung diperlukan bagi persepsi yang tepat atau pembentukkan

realitas. Gilman memaparkan betapa mudahnya bagi hubungan individu

dengan dunia menjadi rusak. Ketika peranan-peranan sosial yang ditetapkan

ditentang atau diancam, interpretasi seseorang mengenai lingkungan-

lingkungan fisik bisa terdistorsi. Hubungan antara individu dan dunia sangat

tergantung pada hubungan dengan orang lain. Ketika seorang wanita tidak

bisa memainkan peranan sosialnya sebagai isteri dan ibu maka seluruh

jaringan hubungan sosialnya akan kehilangan arah dan persepsinya tentang

realitas menjadi tidak tepat. Kesehatan psikologis dan fisik seseorang dan

kesehatan ekonomi masyarakatnya tergantung pada keadilan universal

dalam semua hubungan sosial.

Akhirnya, narator 'The Yellow Wallpaper' bukan seorang reporter yang

handal bagi pengalamannya sendiri; dia tidak menyadari seluruh

tindakannya ataupun dia juga tidak bisa menguasai pikiran-pikirannya ketika

logikanya berubah menjadi kegilaan. 'Ciuman' di dinding adalah hasil dari

cakarannya; tanda di papan ranjang adalah hasil gigitannya. Jarak antara

gambar dan maknanya melukiskan keterasingan dirinya dari kediriannya

sebagai istri ketika dia semakin menjadi wanita kertas. Pengucilannya dari

realitas material, yang memiliki sebab material dan ideologis, menjadi

pengasingan dari dirinya sendiri.

Page 33: Gender Dan Pekerjaan

Feminisme Marxis memungkinkan kita untuk mengidentifikasi dalam

'The Yellow Wallpaper' penciptaan kelas seksual yang berbeda yang

didisposisikan dan tetap dibiarkan dalam suatu posisi inferioritas lewat

penggunaan strategi-strategi penindasan di bidang ideologi dan ekonomi.

Inferioritas wanita tidak sekadar diasumsikan: masyarakat menghendaki

subordinasi wanita pada pria dan ini menciptakan sebuah kelas sosial yang

miskin pikiran dan fisik---yang disimbolkan dalam novel ini oleh sekelompok

‘wanita yang merayap’ yang tidak mau menonjolkan diri dalam setiap cara

yang mungkin karena hanya dengan mengingkari keberadaan sosialnya

mereka berusaha untuk tetap bertahan hidup.

--oo000oo--

Diposkan oleh chrispina.blogspot.com di 07.50 Sumber; http://impiandalamhati.blogspot.com/2011/03/gender-dan-pekerjaan-feminisme-marxis.html