gender & hukum islam di indonesia

12
HUKUM ISLAM DI INDONESIA Ahsanul Minan, MH Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Disampaikan dalam Acara Sekolah Islam Gender, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Minggu 2 April 2017

Upload: ahsanul-minan

Post on 29-Jan-2018

284 views

Category:

Law


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Gender & hukum islam di indonesia

HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Ahsanul Minan, MHDosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

Disampaikan dalam Acara Sekolah Islam Gender, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Minggu 2 April 2017

Page 2: Gender & hukum islam di indonesia

Seputar Masuknya Islam ke Indonesia

Masih terdapat kontroversi tentang

kapan tepatnya Islam masuk ke Indonesia

Terdapat kontroversi tentang metode penyebaran Islam di Indonesia

Islam masuk pada abad 7 M

Islam masuk pada abad 11

M

Terdapat kontroversi tentang jalur penyebaran

Islam di Indonesia

Islam masuk pada abad 13 M

Gujarat, India

China Iran

Arab

Perdagangan

Perkawinan

Dakwah

Pendidikan (Pesantren)

Politik (Kerajaan)

Mengusung Islam PuritanMengusung Islam

Sufistik, Syafiiyah

Page 3: Gender & hukum islam di indonesia

Pergerakan & Perkembangan Hukum Islam di Indonesia

Pada masa awal, hukum Islam

hanya diberlakukan

sebagai hukum sosial di

komunitas muslim

Pada masa berkembangnya

kerajaan Islam, hukum Islam diberlakukan

sebagai hukum positif kerajaan

Pada masa penjajahan Belanda, hukum Islam

diberlakukan dalam batas tertentu;

Hukum waris diberlakukan untuk kaum muslim

(statuta Batavia 1642), Disusun kompilasi hukum keluarga Islam (antara lain compendium freijer, 1760)

Pada masa penjajahan Jepang, tidak banyak terjadi perubahan, kecuali

pembentukan Kantor Urusan Agama

(Shumubu)

Pada masa Orla, tidk banyak terjadi

perubahan terkait hukum Islam, karena

kerasnya pergulatan

politik

Pada masa Orba,

perkembangan hukum Islam ditandai oleh pengakuan terhadap eksistensi Pengadilan Agama dan Kompilasi

Hukum Islam

Pada masa Orde Reformasi,

perkembangan hukum Islam sangat

signifikan, baik dalam bentuk

penyerapan secara sektoral hukum Islam menjadi hukum positif,

maupun pengakuan atas keberlakuan

hukum Islam tertentu

Page 4: Gender & hukum islam di indonesia

ASAS NEGARA

INDONESIA adalah negara hukum —> seluruh ketentuan yang berlaku mengikat warga negara harus diatur melalui hukum positif.

INDONESIA bukan negara agama —> Indonesia tidak menerapkan satu sistem hukum berdasarkan agama tertentu yang berlaku untuk seluruh warga negara.

Page 5: Gender & hukum islam di indonesia

ISLAM DAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA

Ismail Sunny

Periode persuasive source, di mana setiap orang Islam diyakini mau menerima keberlakuan hukum Islam itu (hukum normatif)

Periode authority source, di mana setiap orang Islam menyakini bahwa hukum Islam memiliki kekuatan yang harus dilaksanakan (hukum positif)

Page 6: Gender & hukum islam di indonesia

MODEL-MODEL PENYERAPAN KONSEP ISLAM DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Formalisasi dalam bentuk

Undang-Undang /

Perda

Hukum Islam diformalisasikan

dalam kerangka perundang-undangan

Formalisasi dalam bentuk

Peraturan di bawah UU

Penyerapan nilai/hukum Islam untuk dimasukkan dalam norma

Undang-Undang / Perda

Hukum Islam diserap dan dijadikan rujukan dalam kerangka perundang-

undangan

Penyerapan dalam bentuk

pengakuan atas keberlakuan hukum Islam oleh hukum

positif

Contoh: • UU Wakaf • UU Haji • Perda

Syari’ah

Contoh: • Inpres

1/1991 ttg KHI

Contoh: • UU 11/2006

ttg Pemerintahan Aceh (Ps 16 ayat (2))

Contoh: • UU 11/2006

ttg Pemerintahan Aceh (Ps 16 ayat (2))

Page 7: Gender & hukum islam di indonesia

PROBLEMATIKA DALAM UU PERKAWINAN ISU

HAM:KETENTUAN TENTANG SYARAT

SAH-NYA PERKAWINAN

ISU HAK ANAK: BATAS USIA CALON

MEMPELAI

ISU HAM: KEDUDUKAN DAN PERAN

SUAMI & ISTRI

ISU HAK ANAK: KEDUDUKAN

ANAK

Pasal 2 ayat (1) & (2)

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”tampaknya netral dan tanpa masalah,tetapi justru ketentuan ini bertentangan dengan kehidupan sosial di masyarakat

Usia seseorang diperbolehkan menikah adalah 21 tahun sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Namun demikian, pasal ini memberi kebolehan bagi orang di bawah usia 21 tahun untuk menikah jika telah mendapat izin dari orangtua, sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan tersebut tidak sesuai dengan undang-undang lain yang menyebutkan usia kedewasaan ditetapkan dengan usia 18 tahun. Misalnya, UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1) menetapkan batas usia anak-anak adalah sampai usia 18 (delapan belas) tahun

Pasal 31 (3): “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.” Pasal 34 (1): “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”

Pasal 34 (2): “Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik- baiknya.”

Pasal 42 menentukan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Sementara Pasal 43 ayat (1) menetapkan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Ketentuan ini selain sangat diskriminatif ditinjau dari kepentingan anak, juga sangat memberatkan kaum perempuan.

Ketentuan pasal ini telah dirubah melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) harus dibaca sebagai berikut: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”

UU Perkawinan menganut asas monogami. Pasal 3 ayat (1). Namun demikian, UU ini juga membolehkan poligami.(ayat 2)

Dalam prakteknya, pengadilan tidak ketat menerapkan syarat-syarat yang sudah ditentukan. Banyak manipulasi persayaratan misalnya memalsukan identitas.

Putusan MK No 12/PUU-V/2007

ISU HAK PEREMPUAN:

POLIGAMI

Page 8: Gender & hukum islam di indonesia

PROBLEMATIKA DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM

PERSPEKTIF PROSES PEMBENTUKAN

HUKUM

PERSPEKTIF MATERI HUKUM

PERSPEKTIF IMPLEMENTASI

HUKUM

PERSPEKTIF FUNGSI HUKUM

Proses pembentukan KHI bersifat semi-responsif, karena proses pembentukannya didominasi oleh pihak eksekutif (Kemenag) dan Yudikatif. Sedangkan pihak legislatif sebagai perwakilan masyarakat tidak terlibat dalam proses pembentukan KHI. Adapun pihak komunitas masyarakat (ormas dan perguruan tinggi) hanya dilibatkan secara terbatas

Materi KHI bersifat otonom, reduksionistik dan konservatif. Artinya, materi hukum Islam pada KHI secara substansial diakui sebagai fiqh (yurisprudensi Islam), namun hanya sebagian kecil materi hukum Islam yang dilegislasikan [perkawinan, kewarisan, dan perwakafan] dengan formulasi bahasa dan pokok masalah yang tidak adaptif dan inovatif

KHI memiliki karakter fakultatif, tidak mengikat secara utuh kepada umat Islam

KHI memiliki karakter regulatif dan limitatif, dalam arti pengaturannya lebih bersifat teknis-prosedural dan praktis-operasional ketimbang strategis-konsepsional. aturannya cenderung membenarkan praktek birokratis yang telah ada sebelumnya dan membenarkan institusi-institusi negara yang telah terbentuk sebelumnya seperti seperti KUA Pengadilan Agama, dll. Hukum Islam dalam KHI telah bergeser dari otoritas hukum agama [divine law] menjadi otoritas hukum negara [state law]

Page 9: Gender & hukum islam di indonesia

No Diskusi KHI- Impres No1 /1991 CLD- KHI

1 Pernikahan Pernikahan adalah bentuk ibadah (Pasal 2) Pernikahan bukan bentuk ibadah ('ibadah), tetapi milik mu'amalat (kontrak berdasarkan kesepakatan bersama antara dua pihak) (Pasal 2)

2 Wali Ini adalah pilar (RUKN) pernikahan (Pasal 14)

Hal ini tidak pilar pernikahan (Pasal 6)3 Administrasi Pernikahan Tidak pilar perkawinan (Pasal 14) Pilar perkawinan (Pasal 6)4 Perempuan saksi dalam

pernikahanPerempuan tidak diizinkan untuk menjadi saksi (Pasal 25)

Perempuan, seperti laki-laki diperbolehkan untuk menjadi saksi dalam pernikahan (Pasal 11)

5 Usia minimal Tua untuk pengantin 16 tahun, dan 19 yeras tua untuk pengantin pria (Pasal 15)

Tua untuk kedua pengantin 19 tahun (Pasal 7)

6 Pernikahan untuk Virgin (gadis yang pernahmenikah sebelumnya)

Tidak peduli usia, dia harus menikah di bawah kendali walinya atau orang atas nama walinya (Pasal 14)

Gadis dalam 21 tahun dia berusia bisa menikah tanpa izin darinyawali (Pasal 7)

7 Mahar Diberikan oleh pengantin pria ke pengantin (Pasal 30)

Dapat diberikan oleh pengantin untuk pengantin pria dan sebaliknya (Pasal 16)

8 Sikap suami& istri Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah kiper rumah tangga (Pasal 79)

Stance, hak dan kewajiban suami dan istri adalah sama (Pasal49)9 Kebutuhan dasar hidup

(nafkah) Kewajiban suami(Pasal 80 angka 4) Kewajiban suami dan istri (Pasal 51)

10 Perjanjian tentang periode waktu tertentu pernikahan

Tidak Diatur, Diatur; pernikahan berakhir bersama-sama dengan akhir periode tercantum dalam perjanjian (Pasal 22, 28, dan 56 titik 11 Antar-agama pernikahan Benar-benar dilarang

(Pasal 44 dan 61)Diizinkan, asalkan bertujuan untuk mencapai tujuan perkawinan (Pasal 54)

12 Poligami (ta'addudal-zawjât)

Diizinkan, dengan beberapa kondisi (Pasal 55-59)

Tidak diizinkan sama sekali, haram li ghairihi(Pasal 3)

13 Iddah (masa transisi) Iddah hanya diterapkan pada istri (Pasal 153)

Iddah diterapkan untuk kedua suami dan istri (Pasal 88)14 Iddah cerai Berdasarkan dukhûl (Pasal 153) Berdasarkan akad, bukan pada dukhûl

(Pasal 88).15 Ihdâd (berkabung) Ihdâd hanya diterapkan pada istri (Pasal

170)Selain untuk istri, ihdâd juga diterapkan pada suami (Pasal 112)

16 Nusyuz (memberontakDari melakukan Kewajiban)

usyuz hanya mungkindilakukan oleh istri (Pasal 84)

Nusyuz dapat dilakukan dengan istri dan suami (Pasal 53 [1])

17 Khulu` (perceraian oleh inisiatif istri)

Khulu` dinyatakan sebagai Thalaq bâ'in Sughra, baik suami dan istri yang diizinkan untuk mendamaikan dengan kontrak pernikahan baru (Pasal 119)

Khulu` adalah sebagai sama Thalaq, suami dan istri yang diizinkan untuk reconcilliate (raj'iy Thalaq) (Pasal 1 dan 59)

Page 10: Gender & hukum islam di indonesia

No Diskusi KHI- Impres No.1/ 1991 CLD- KHI

1 Agama yang berbeda antara orang mati dan ahli warisnya

Hal ini menjadi kendala (mani ') dalam proses pewarisan (Pasal 171 dan 172)

Ini bukan halangan (mani ‘) dalam proses pewarisan (Pasal 2)

2 Anak ilegal Hanya memiliki hubungan dengan-NyaIbu (pasal 186)

Jika / ayah kandungnya itu diketahui, ia / dia memiliki hak untuk inherite kekayaan / nya ayahnya (Pasal 16)

3 Awl dan radd Kedua aul dan radd yangdiadopsi (Artikel 192 dan193)

Dihilangkan

4 Berbagi untuk anak danputri

Berbagi untuk anak adalah dua kali dari itu untuk putri

Berbagi untuk putra dan putri adalah sama (Pasal 8 [3]).

KETENTUAN WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM

Page 11: Gender & hukum islam di indonesia

No Diskusi KHI- Impres No.1/ 1991 CLD- KHI

1 Hak intelektualk e k a y a a n sebagai milikdisumbangkan ke penggunaan agama

tidak diatur Diatur (Pasal 11)

KETENTUAN WAKAF DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM

Page 12: Gender & hukum islam di indonesia

–KH. Abdurrahman Wahid

“Demokrasi itu intinya cuma dua: kedaulatan hukum dan perlakuan yang sama bagi setiap warga negara, apa pun perbedaan mereka, di

muka Undang-undang. Jika dua itu dijalankan, di Indonesia atau di tempat lain itu sama saja.”