geostrategi indonesia

Download Geostrategi Indonesia

If you can't read please download the document

Upload: geby-denisha-madyeca

Post on 26-Nov-2015

37 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Geostrategi Indonesia, Malaysia, Singapura: Kasus Selat Malaka

diposting oleh mutia-z-s-fisip10 pada 18 June 2012di Geopolitik dan Geostrategi - 0 komentarMutia Zakia Salma, 071012098 Geopolitik dan Geostrategi #13 Keberadaan dan fungsional jalur laut Selat Malaka telah melegenda di dunia sejak ribuan tahun silam. Bahkan hingga saat teknologi transportasi udara sudah berkembang seperti saat inipun, keberadaan jalur laut tetap tidak bisa menggantikan dengan alasan efisiensi. Pada bagian pintu masuk, Selat Malaka di wilayah pantai barat Indonesia dan Malaysia lebar selat sekitar 200 mil laut. Selat membujur ke arah tenggara sekitar 3 derajat. Di sinilah wilayah kedaulatan Indonesia dan Malaysia menjadi tumpang tindih. Bagian tersempit berada di ujung barat daya Semenanjung Melayu memiliki lebar hanya 8,4 mil laut. Jarak paling sempit di sekitar Selat Singapura adalah 3,2 km sepanjang 15 mil dengan kedalaman kurang dari 75 kaki. Selain itu, Selat Malaka dan Selat Singapura memiliki panjang sekitar 520 mil laut dan merupakan selat terpanjang yang digunakan untuk perairan internasional (Antasari, 2010). Namun dalam perkembangan hubungan multilateral antara negara-negara yang dilewati selat tersebut, terdapat beberapa permasalahan, dan yang utama adalah mengenai batas wilayah masing-masing negara. Faktor inilah yang menjadikan kondisi di Selat Malaka berbeda dengan di selat lain yang terkadang hanya melibatkan satu atau dua aktor saja. Kasus sengketa yang pertama dalam konfrontasi tapal batas laut ini adalah yang melibatkan Indonesia dan Malaysia. Batas yang tidak jelas menyebabkan buramnya ketentuan imigrasi kedua negara, sehingga yang terjadi di lapangan adalah seringkali para nelayan Indoensia ditangkap oleh otoritas Malaysia. Hal ini cukup menjadi ketegangan yang serius antara kedua negara dalam beberapa tahun. Selanjutnya adalah mengenai batas Malaysia dan Singapura, yang dalam perjanjian penentuan tapal batas antara kedua negara, selalu diwarnai kecurigaan Malaysia pada Singapura yang dikatakan memiliki gerak-gerik untuk menyalahinya. Selain faktor tapal batas bilateral, permasalahan di Selat Malaka juga didasari oleh banyaknya aktor negara dengan berbagai interest yang tergantung dengan selat tersebut, seperti Amerika Serikat, China, India, dan Jepang. Kepentingan Amerika Serikat di Selat Malaka dapat dikategorikan dalam empat hal, yaitu upaya counter terorism, memantau Korea, kontrol terhadap gerak-gerik China di Selat Malaka, dan kontrol terhadap area Pasifik. Amerika Serikat telah menetapkan kawasan selat Malaka sebagai salah satu area peperangan terhadap kelompok teroris di Asia Tenggara, mengingat banyaknya perompak dan terkoneksinya terorisme internasional (termasuk yang terkait dengan peristiwa 11 September) melalui jalur penghubung Indonesia dan Malaysia yang disinyalir menjadi aktor-aktor kunci. Seperti yang dikatakan oleh Kuppuswammy (2004), A report by the International Maritime Bureau on the extent of piracy and terrorist activity in the area justifies the proposal of the U.S to deploy its forces in the straits. Hal inipun memicu munculnya intervensi militer Amerika Serikat dengan didirikannya Regional Maritime Security Initiative atau RMSI yang memungkinkan diadakannya patroli gabungan dari otoritas negara sekitar dengan militer Amerika Serikat (Kuppuswamy, 2004). Sementara itu, Pengawasan terhadap Korea juga diperlukan oleh Amerika Seriakat, karena bagaimanapun setidaknya konfrontasi Korea Utara-Selatan merupakan konfrontasi ideologi model baru. Kontrol terhadap gerak-gerik China juga sangat ditekankan oleh Amerika Serikat, mengingat banyaknya pangkalan minyak (yang dikhawatirkan dapat berubah menjadi pangkalan militer) milik China di sepanjang kawasan string of pearl termasuk di kawasan Selat Malaka. Hal ini juga merupakan upaya untuk mencegah China terkait upayanya untuk menguasai Laut China Selatan. Kontrol terhadap area Pasifik juga dilakukan oleh Amerika Serikat melalui monitoring Selat Malaka, karena jalur energi kawasan pasifik merupakan perpanjangan dari jalur transportasi laut Selat Malaka yang kemudian mengambil jalan menembus laut Indonesia. Sementara itu bagi China, kepentingan dalam jalur laut selat malaka adalah kepentingan ekonomi. Selat Malaka telah menjadi jalur pemasaran produknya ke Asia Tenggara, Asia Selatan, bahkan hingga kawasan Timur Tengah dan Afrika. Begitu juga dalam keperluan impor bahan baku yang dilakukan oeh negara-negara tersebut terhadap China. Selat Malaka juga menjadi jalur gas dan minyak yang menguntungkan bagi China. China dalam hal ini, disinyalir mempunyai geostrategi penguasaan Selat Malaka utuk menjadi jembatan bagi penguasaan Laut China Selatan. Lebih lanjut, China juga berfikir posisi Singapura, yang menjadi salah satu aktor otoritas Selat Malaka, dinilai terlalu dekat dengan Amerika Serikat, seingga China memandang perlu untuk semakin memperkuat pengaruhnya di kawasan ini dengan membangung pangkalan-pangkalan. Bagi Malaysia, China dinilai sebagai partner non-barat yang cukup membantu, sedangkan bagi Indonesia, terutama di masa pemerintahan orde baru, China hanya melakukan hubungan bilateral yang terbatas dengan Indonesia dalam konteks ini. Sementara itu, 900 km panjang Selat Malaka yang menghubungkan Eropa dan Timur Tenah dengan Asia-Pasifik, yang merupakan jalur bagi 40% perdagangan dunia dan lebih dari 50.000 kapal dagang tiap tahun, merupakan geopolitik yang sangat krusial bagi Jepang yang dapat menerima sekitar 3,3 juta barel per hari (barrels per day/ bpd) dari Timur Tengah (Bill Tarant, 2010). Sementara itu penekanan bagi India adalah persoalan keamanan, di mana perompak yang beroperasi di sekitar Selat Malaka banyak pula yang berasal dari negara tersebut. Pada intinya, kasus Selat Malaka didasari oleh faktor tapal batas antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura; kasus keamanan termasuk di dalamnya perompakan dan upaya counter on terrorism Amerika Serikat; kasus sphare of influence dari Amerika Serikat dan China termasuk interest kedua negara pada interest di kawasan lain. Sedangkan kerjasama multilateral yang terjadi di dalamnya, seperti contohnya dalam hal keamanan, telah dicanangkan gerakan Eyes in the Sky yang merupakan bagian dari Malacca Strait Security Initiative (MSSI).Indonesia Selat Malaka bagi Indonesia telah menjadi pintu masuk sejak beratus-ratus tahun silam. Jalur Malaka telah menjadi salah satu jalur perdagangan utama di dunia, dan dalam hal ini, Indonesia sangat mendapat keuntungan, yaitu sebagi pemicu meningkatnya geliat ekonomi dalam negeri. Jalur tersebut mempermudah Indonesia untuk mendapatkan akses pada pelabuhan-pelabuhan penting dan mempermudah mobilisasi komoditas-komoditas ekspor impor Indonesia. Selain itu, posisi Indonesia juga dipandang strategis bagi kawasan-kawasan di sebelah tenggara, sehingga Indonesia dijadikan tempat untuk dilewati oleh perpanjangan jalur sea highway minyak dan komoditas lain dari Selat Malaka. Jalur tambahan tersebut adalah yang mengarah ke Australia dan kawasan Pasifik, dengan melewati perairan tengah horisontal kawasan laut Indonesia. Hal ini pada dasarnya juga merupakan suatu pekerjaan tersendiri bagi Indonesia untuk menjaga keamanan jalur yang melewati kawasan negaranya tersebut. Dari banyaknya kepentingan negara-negara yang bermain dalam mekanisme seahigway Selat Malaka, Indonesia sangat mengharapkan keamanan di dalamnya dapat diupayakan bersama-sama, mengingat akan kepemilikannya yang memang disangga oleh tiga negara. Namun bagaimanapun kepentingan negara-negara sentral seperti Amerika Serikat, China, India, dan Jepang untuk turut menjaga keamanan di Selat Malaka merupakan interest tersendiri bagi Indonesia yang kawasannya dilewati oleh jalur tersebut dan sangat menginginkan stabilnya kawasan regional, terutama yang terkait dengan kasus pembajakan dan terorisme. Lebih lanjut, Indonesia menekankan pengawasan pada banyaknya kapal tanker China dan pangkalan China yang berada di sekitar Selat Malaka. Selain itu, sinyal kepentingan strategis Amerika Serikat untuk menggunakan selat ini untuk mengontrol posisi militer Asia Tenggara, juga menjadi perhatian khusus bagi Indonesia.Sedangkan mengenai kasus persengketaan wilayah Indonesia dan Malaysia yang juga mencakup kawasan Selat Malaka, kedua negara telah melakukan banyak kesepakatan, diantaranya Continental Shelf Boundary di tahun 1969 dan Teritorial Sea Boundary di tahun 1970. Singapura Selat Malaka bagi Singapura merupakan kawasan yang sangat vital, karena selain menjadi salah satu akses keluar masuk Singapura (selain selat Singapura), Selat Malaka juga menjadi jalur pemenuh kebutuhan rumah tangga warga Singapura, sperti yang dilansir oleh Singapore Journal of International & Comparative Law, The Straits are her lifeline for trade, food supply and other material needs (Singapore Journal of International & Comparative Law, 1998). Kepentingan geopolitik Singapura terhadap Selat Malaka diantaranya dilandaskan pada selain faktor pemenuhan kebutuhan rumah tangga Singapura, juga dilandaskan oleh upaya tetap terkoneksinya pelabuhan laut Singapura dengan 400 Shipping Lines dan 700 pelabuhan di seluruh dunia. Lebih lanjut, hal ini juga untuk menjaga interkoneksi Selat Singapura yang memisahkan Batam (Indoensia) dengan wilayah Singapura. Tentunya masalah keamanan dalam hal ini juga menjadi kepentingan yang sentral di Singapura mengingat pentingnya fungsi Selat Malaka dan banyaknya kasus pembajakan di selat tersebut. Dalam upaya ini, Singapura banyak mengerahkan kapal militer untuk lebih meningkatkan intensitas patroli laut. Selanjutnya dalam hal ini, faktor pariwisata juga berperan. Singapura juga menggantungkan sektor partiwisatanya pada selat ini, seperti halnya yang terjadi di Sentosa Island, di mana keberadaannya tepat di Selat Malaka itu sendiri. Mengenai masalah teritorial, Singapura tergolong mendapat bagian kepemilikan yang kecil. Ketika Indonesia menekankan prinsip non intervensi (yang tentunya ditujukan pada negara-negara seperti Amerika Serikat dan China) yang mengindikasikan porsi pengelolaan yang lebih besar kepada negara-negara yang menjadi pemilik, Singapura justru menekankan penghadiran dunia internasional. Singapura menginginkan bahwa kawasan Selat Malaka menjadi kawasan bebas internasional yang dapat digunakan oleh semua negara. Singapura meyakini bahwa dengan konsep free transit akan lebih menjanjikan bila dibandingkan dengan konsep innocent passage yang membuat negara pantai akan semakin diperumit tanpa memperoleh keuntungan, sedangkan dengan menjadikan selat Malaka sebagai laut bebas yang memfasilitasi pelayaran dari seluruh negara, maka setiap negara luar akan bersama membantu mewujudkan adanya keamanan dan stabilitas di kawasan tersebut (www.setneg.go.id). Hal ini diindikasikan oleh beberapa pihak sebagai geostrategi Singapura untuk tetap menjaga agar kepentingannya pada Selat Malaka tidak terganggu oleh kebijakan Indonesia dan Malaysia.Malaysia Sedangkan dari sisi Malaysia, kepentingan terhadap Selat Malaka berangkat dari keinginan untuk membangun jembatan penghubung antara Indonesia dan Malaysia. Proyek yang diperkirakan memakan waktu 10 tahun ini telah disiapkan dana oleh Malaysia sekitar sebesar 12, 45 juta dollar Amerika. Tujuan dari dibangunnya jembatan 53 kilometer ini adalah untuk meningkatkan interkoneksi ekonomi serta sektor pariwisata dan pastinya menambah devisa negara. Malaysia dalam proyek ini turut menggandeng China dalam persiapan proyeknya termasuk dalam hal pendanaan. Hal inilah yang menjadi faktor kehati-hatian bagi Indonesia untuk tidak segera menerima kerjasama proyek kerjasama pembangunan jembatan tersebut, untuk lebih memprioritaskan pembangunan jembatan dalam negeri seperti di Selat Sunda. Keputusan Malaysia untuk menggandeng China secara terang-terangan dianggap sebagai strategi yang gegabah mengingat posisi Indonesia yang cenderung tidak menginginkan intervensi, dan Singapura yang malah lebih condong pada pihak Amerika Serikat. Pada dasarnya Malaysia memang merupakan saingan Singapura dalam berbagai hal. Salah satu upaya Malaysia dalam hal ini adalah seperti proyek Selat Kra dengan Thailand yang pada akhirnya memungkinkan lalulintas dari China ke kawasan Timur Tengah tidak perlu melewati Singapura. Selain itu keinginan Malaysia untuk menghubungkan kawasan Malaysia dengan pulau Sumatera di Indonesia juga dilandasi oleh kepentingan investasi Malaysia akan kelapa sawit yang memang telah menggurita di Malaysia. Hal ini tentunya sangat diwaspadai oleh Indonesia.