gudeg manggar khas bantul

6
Resistensi Budaya dalam Hidangan Gudeg Manggar Oleh : Bagus Kurniawan, S.S., M.A. Ada perkembangan yang cukup tajam di Yogyakarta periode 1990-an sampai dengan periode 2000-an. Jika pada periode 1990- an Yogyakarta hanya dikenal sebagai kota pendidikan maka pada periode 2000-an Yogyakarta dikenal sebagai daerah tujuan wisata dan basis industri kreatif yang menjadi primadona wisatawan lokal maupun mancanegara. Perkembangan yang dimaksud adalah tumbuhnya industri kreatif berbasis kuliner di Yogyakarta. Sebagai daerah tujuan wisata, Yogyakarta memiliki bernagai jenis varian kuliner yang menarik bagi para pelancong. Jika berbicara tentang wisata kuliner di Yogyakarta maka kita tentu tidak boleh melupakan tradisi kuliner tradisional khas Yogyakarta, yaitu gudeg. Hampir setiap wisatawan lokal dan mancanegara jika berkunjung ke Yogyakarta menyempatkan diri untuk merasakan kenikmatan gudeg Jogja. Ada beberapa sentra penjualan gudeg maupun penjual-penjual gudeg yang sangat terkenal di Jogja, sebut saja Gudeg Yu Djum, Gudeg Bu Mur, Gudeg Song Djie, dll. Bahkan, sentra gudeg di wilayah kraton, yaitu Wijilan sangat kewalahan memenuhi permintaan pelanggan saat musim liburan. Ragam gudeg sebenarnya tidak hanya didominasi oleh varian gudeg nangka (gori), tetapi ada juga ragam gedeg lain yang layak untuk dikembangkan sebagai salah satu menu andalan kuliner tradisional, yaitu gudeg manggar. Di wilayah Bantul, khususnya di daerah pesisir selatan meliputi wilayah Kecamatan

Upload: vinie-m-kalam

Post on 15-Aug-2015

315 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Gudeg Manggar Khas Bantul

Resistensi Budaya dalam Hidangan Gudeg Manggar

Oleh : Bagus Kurniawan, S.S., M.A.

Ada perkembangan yang cukup tajam di Yogyakarta periode 1990-an sampai dengan

periode 2000-an. Jika pada periode 1990-an Yogyakarta hanya dikenal sebagai kota

pendidikan maka pada periode 2000-an Yogyakarta dikenal sebagai daerah tujuan wisata dan

basis industri kreatif yang menjadi primadona wisatawan lokal maupun mancanegara.

Perkembangan yang dimaksud adalah tumbuhnya industri kreatif berbasis kuliner di

Yogyakarta. Sebagai daerah tujuan wisata, Yogyakarta memiliki bernagai jenis varian kuliner

yang menarik bagi para pelancong.

Jika berbicara tentang wisata kuliner di Yogyakarta maka kita tentu tidak boleh

melupakan tradisi kuliner tradisional khas Yogyakarta, yaitu gudeg. Hampir setiap wisatawan

lokal dan mancanegara jika berkunjung ke Yogyakarta menyempatkan diri untuk merasakan

kenikmatan gudeg Jogja. Ada beberapa sentra penjualan gudeg maupun penjual-penjual

gudeg yang sangat terkenal di Jogja, sebut saja Gudeg Yu Djum, Gudeg Bu Mur, Gudeg

Song Djie, dll. Bahkan, sentra gudeg di wilayah kraton, yaitu Wijilan sangat kewalahan

memenuhi permintaan pelanggan saat musim liburan.

Ragam gudeg sebenarnya tidak hanya didominasi oleh varian gudeg nangka (gori),

tetapi ada juga ragam gedeg lain yang layak untuk dikembangkan sebagai salah satu menu

andalan kuliner tradisional, yaitu gudeg manggar. Di wilayah Bantul, khususnya di daerah

pesisir selatan meliputi wilayah Kecamatan Pajangan dan sekitarnya, gudeg manggar

merupakan salah satu hidangan yang sangat terkenal dan memiliki tingkat pretise yang cukup

tinggi. Seperti dikutip dari situs www.antaranews.com, pada tanggal 22 Desember 2010

pernah diadakan festival gudeg manggar di Mangir, Pajangan, Bantul yang bertujuan

mengangkat dan memopulerkan gudeg manggar sebagai salah satu menu masakan tradisional

yang berasal dari Kecamatan Mangir.

Sebenarnya, gudeg manggar berkembang sebagai sebuah tradisi kuliner di wilayah

Bantul tidak dapat dilepaskan dari konteks historis maupun dari perspektif interkultural.

Konteks historis gudeg manggar sangat erat berkaitan dengan ketokohan Ki Ageng Mangir,

sedangkan dalam konteks interkultural gudeg manggar merupakan suatu tradisi kuliner yang

berdiri sejajar sebagai sebuah tradisi kuliner dengan tradisi Kraton Mataram yang sudah ada

sebelumnya, yaitu gudeg nangka.

Page 2: Gudeg Manggar Khas Bantul

Konteks Historis Mangir-Mataram

Gudeg manggar pertama kali muncul dan dipopulerkan pada masa kepemimpinan Ki

Ageng Mangir Wanabaya III ketika wilayah Mangir berdiri sebagai daerah perdikan

(merdeka) di pesisir selatan wilayah perdikan Mataram. Konon dari cerita tutur yang

disampaikan oleh masyarakat Mangir, gudeg manggar adalah masakan yang disajikan oleh

Pembayun kepada Ki Ageng Mangir III. Ditambahkan pula bahwa gudeg manggar adalah

masakan yang sangat digemari oleh Ki Ageng Mangir III saat itu. Secara sosio-historis,

gudeg manggar yang terbuat dari bahan baku bunga mayang kelapa itu merupakan suatu

upaya pembentukan tradisi masyarakat Mangir yang mengupayakan kebutuhan hidupnya dari

kehidupan bercocok tanam.

Kemunculan gudeg manggar dapat dihubungkan dengan konteks historis hubungan

Mangir-Mataram pada masa lalu. Mataram Islam pada awal mulanya adalah wilayah

perdikan di Hutan Mentaok yang diberikan oleh Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan

atas jasanya menundukkan musuh Pajang, yaitu Arya Penangsang. Pada saat yang bersamaan,

kemunculan Mataram di Hutan Mentaok yang pada saat itu tengah membangun hegemoni

politik dan ekspansi wilayah merasa tersaingi dengan perkembangan Mangir di daerah pesisir

selatan. Bahkan, pada masa kepemimpinan Ki Ageng Mangir III wilayah Mangir semakin

berkembang dan semakin makmur. Sebagai kerajaan yang tengah agresif membangun

hegemoni politiknya, keberadaan Mangir yang tetap ingin berdiri sebagai wilayah yang

merdeka dan tidak tunduk di bawah supremasi Mataram sangat mengganggu kewibawaan

dinasti Mataram. Oleh sebab itu, pada saat yang hampir bersamaan antara Mangir dan

Mataram telah terjadi sebuah pertarungan memperebutkan hegemoni yang pada akhirnya

meluas ke segala lini masyarakat, baik dalam konteks politik, sosial, maupun kebudayaan.

Ketidaktundukkan Mangir kepada Mataram mungkin dapat dijelaskan melalui

perunutan silsilah keturunan Ki Ageng Mangir dan Panembahan Senapati. Dinasti Mangir

menurut naskah Babad Mangir yang ditransliterasikan oleh Balai Bahasa Yogyakarta

merupakan trah keturunan Prabu Brawijaya V dari Majapahit, sedangkan dinasti Mataram

berasal dari keturunan Demak. Bukti-bukti bahwa Ki Ageng Mangir berasal dari Kerajaan

Majapahit tampaknya diperkuat melalui bukti-bukti arkeologis di situs Mangir dengan

ditemukannya arca Lingga-Yoni dan arca Nandi. Penemuan-penemuan artefak itu merupakan

bukti adanya peninggalan kebudayaan Hindu di wilayah Mangir. Di masa lalu, hubungan

Page 3: Gudeg Manggar Khas Bantul

antara Majapahit dan Demak secara historis juga banyak diwarnai ketegangan karena salah

satu faktor runtuhnya Majapahit adalah adanya desakan dari Kerajaan Demak. Oleh sebab itu,

berdasarkan penelusuran jejak historis silsilah keturunan Mangir-Mataram dapat dikatakan

bahwa bibit-bibit ketegangan politik dan kultural sebenarnya telah ada dan merupakan

pewarisan dari generasi sebelumnya.

Perspektif Interkultural

Berdasarkan ketegangan politik, sosial, dan kultural yang ada antara Mangir-Mataram

ternyata juga berdampak pada wilayah kultural. Dalam perspektif interkultural, kedua

kekuatan politik tersebut saling mengeluarkan dua kultur yang menunjukkan persaingan satu

sama lain. Dalam bidang tradisi kuliner, hegemoni dan supremasi Mataram diresistensi oleh

Mangir. Gudeg nangka dalam hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah produk budaya yang

telah mapan dan dikembangkan oleh Mataram. Adanya gudeg nangka tersebut diresistensi

oleh Mangir dengan menciptakan tradisi yang berbeda dengan tradisi yang menjadi

lawannya, yaitu dengan memunculkan tradisi gudeg manggar. Bagi Mangir, penciptaan

tradisi kuliner yang berbeda dengan tradisi kuliner Kraton Mataram adalah suatu bukti

eksistensi dan kemerdekaan Mangir dalam bidang politik, sosial, dan budaya. Mangir bukan

sebagai suatu bagian integral dari kebudayaan yang coba dikembangkan oleh Kraton

Mataram pada waktu itu. Mangir memosisikan diri sebagai pusat kebudayaan yang berbeda

dengan Kraton Mataram di Hutan Mentaok.

Berdasarkan pemahaman di atas, setidak-tidaknya ada beberapa nilai yang perlu

dikemukakan dengan adanya pembentukan tradisi kuliner gudeg manggar oleh Mangir.

Pertama, gudeg manggar adalah sebuah simbol resistensi Mangir terhadap hegemoni politik

Kraton Mataram. Kedua, gudeg manggar dapat dimaknai sebagai simbol eksistensi kultural

Mangir dalam konstelasi kultural yang coba dikembangkan oleh Mataram. Ketiga, gudeg

manggar adalah sebuah produk budaya tandingan terhadap pusat kekuasaan pada waktu itu.

Dalam hal ini, Mangir dapat dikatakan sebagai periferi, sedangkan Kraton Mataram sebagai

sebuah episentrum kekuasaan. Ketiga penilaian gudeg manggar tersebut merupakan cara

pandang filosofis bahwa terdapat kesejajaran antara dua kultur yang berkembang pada waktu

itu, yaitu Mangir-Mataram. Dengan demikian, perkembangan dua ragam tradisi kuliner

gudeg tersebut menunjukkan dua identitas budaya yang berbeda antara satu dengan yang lain.

Menyikapi adanya rivalitas sejarah dan politik di masa lalu antara Mangir-Mataram,

pada masa sekarang ini, ketika masyarakat Yogya sudah berada pada satu ruang yang sama,

Page 4: Gudeg Manggar Khas Bantul

gudeg manggar dan gudeg nangka harus dipandang sebagai suatu keragaman tradisi kuliner

Yogyakarta. Kita tidak perlu terjebak pada romantisme masa lalu yang mungkin dalam hal

tertentu akan merugikan. Gudeg manggar saat ini sudah bukan lagi milik semata-mata

masyarakat Mangir. Gudeg manggar saat ini telah melampaui batas-batas yang pada masa

lalu tidak mampu ditembus. Saat ini gudeg manggar merupakan salah satu kekayaan tradisi

masyarakat Yogyakarta dan tanpa pertarungan merebut hegemoni pun, keduanya merupakan

suatu warisan tradisi kuliner yang amat berharga. (Pajangan, 22 Agustus 2012)