gudeg manggar khas bantul
TRANSCRIPT
Resistensi Budaya dalam Hidangan Gudeg Manggar
Oleh : Bagus Kurniawan, S.S., M.A.
Ada perkembangan yang cukup tajam di Yogyakarta periode 1990-an sampai dengan
periode 2000-an. Jika pada periode 1990-an Yogyakarta hanya dikenal sebagai kota
pendidikan maka pada periode 2000-an Yogyakarta dikenal sebagai daerah tujuan wisata dan
basis industri kreatif yang menjadi primadona wisatawan lokal maupun mancanegara.
Perkembangan yang dimaksud adalah tumbuhnya industri kreatif berbasis kuliner di
Yogyakarta. Sebagai daerah tujuan wisata, Yogyakarta memiliki bernagai jenis varian kuliner
yang menarik bagi para pelancong.
Jika berbicara tentang wisata kuliner di Yogyakarta maka kita tentu tidak boleh
melupakan tradisi kuliner tradisional khas Yogyakarta, yaitu gudeg. Hampir setiap wisatawan
lokal dan mancanegara jika berkunjung ke Yogyakarta menyempatkan diri untuk merasakan
kenikmatan gudeg Jogja. Ada beberapa sentra penjualan gudeg maupun penjual-penjual
gudeg yang sangat terkenal di Jogja, sebut saja Gudeg Yu Djum, Gudeg Bu Mur, Gudeg
Song Djie, dll. Bahkan, sentra gudeg di wilayah kraton, yaitu Wijilan sangat kewalahan
memenuhi permintaan pelanggan saat musim liburan.
Ragam gudeg sebenarnya tidak hanya didominasi oleh varian gudeg nangka (gori),
tetapi ada juga ragam gedeg lain yang layak untuk dikembangkan sebagai salah satu menu
andalan kuliner tradisional, yaitu gudeg manggar. Di wilayah Bantul, khususnya di daerah
pesisir selatan meliputi wilayah Kecamatan Pajangan dan sekitarnya, gudeg manggar
merupakan salah satu hidangan yang sangat terkenal dan memiliki tingkat pretise yang cukup
tinggi. Seperti dikutip dari situs www.antaranews.com, pada tanggal 22 Desember 2010
pernah diadakan festival gudeg manggar di Mangir, Pajangan, Bantul yang bertujuan
mengangkat dan memopulerkan gudeg manggar sebagai salah satu menu masakan tradisional
yang berasal dari Kecamatan Mangir.
Sebenarnya, gudeg manggar berkembang sebagai sebuah tradisi kuliner di wilayah
Bantul tidak dapat dilepaskan dari konteks historis maupun dari perspektif interkultural.
Konteks historis gudeg manggar sangat erat berkaitan dengan ketokohan Ki Ageng Mangir,
sedangkan dalam konteks interkultural gudeg manggar merupakan suatu tradisi kuliner yang
berdiri sejajar sebagai sebuah tradisi kuliner dengan tradisi Kraton Mataram yang sudah ada
sebelumnya, yaitu gudeg nangka.
Konteks Historis Mangir-Mataram
Gudeg manggar pertama kali muncul dan dipopulerkan pada masa kepemimpinan Ki
Ageng Mangir Wanabaya III ketika wilayah Mangir berdiri sebagai daerah perdikan
(merdeka) di pesisir selatan wilayah perdikan Mataram. Konon dari cerita tutur yang
disampaikan oleh masyarakat Mangir, gudeg manggar adalah masakan yang disajikan oleh
Pembayun kepada Ki Ageng Mangir III. Ditambahkan pula bahwa gudeg manggar adalah
masakan yang sangat digemari oleh Ki Ageng Mangir III saat itu. Secara sosio-historis,
gudeg manggar yang terbuat dari bahan baku bunga mayang kelapa itu merupakan suatu
upaya pembentukan tradisi masyarakat Mangir yang mengupayakan kebutuhan hidupnya dari
kehidupan bercocok tanam.
Kemunculan gudeg manggar dapat dihubungkan dengan konteks historis hubungan
Mangir-Mataram pada masa lalu. Mataram Islam pada awal mulanya adalah wilayah
perdikan di Hutan Mentaok yang diberikan oleh Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan
atas jasanya menundukkan musuh Pajang, yaitu Arya Penangsang. Pada saat yang bersamaan,
kemunculan Mataram di Hutan Mentaok yang pada saat itu tengah membangun hegemoni
politik dan ekspansi wilayah merasa tersaingi dengan perkembangan Mangir di daerah pesisir
selatan. Bahkan, pada masa kepemimpinan Ki Ageng Mangir III wilayah Mangir semakin
berkembang dan semakin makmur. Sebagai kerajaan yang tengah agresif membangun
hegemoni politiknya, keberadaan Mangir yang tetap ingin berdiri sebagai wilayah yang
merdeka dan tidak tunduk di bawah supremasi Mataram sangat mengganggu kewibawaan
dinasti Mataram. Oleh sebab itu, pada saat yang hampir bersamaan antara Mangir dan
Mataram telah terjadi sebuah pertarungan memperebutkan hegemoni yang pada akhirnya
meluas ke segala lini masyarakat, baik dalam konteks politik, sosial, maupun kebudayaan.
Ketidaktundukkan Mangir kepada Mataram mungkin dapat dijelaskan melalui
perunutan silsilah keturunan Ki Ageng Mangir dan Panembahan Senapati. Dinasti Mangir
menurut naskah Babad Mangir yang ditransliterasikan oleh Balai Bahasa Yogyakarta
merupakan trah keturunan Prabu Brawijaya V dari Majapahit, sedangkan dinasti Mataram
berasal dari keturunan Demak. Bukti-bukti bahwa Ki Ageng Mangir berasal dari Kerajaan
Majapahit tampaknya diperkuat melalui bukti-bukti arkeologis di situs Mangir dengan
ditemukannya arca Lingga-Yoni dan arca Nandi. Penemuan-penemuan artefak itu merupakan
bukti adanya peninggalan kebudayaan Hindu di wilayah Mangir. Di masa lalu, hubungan
antara Majapahit dan Demak secara historis juga banyak diwarnai ketegangan karena salah
satu faktor runtuhnya Majapahit adalah adanya desakan dari Kerajaan Demak. Oleh sebab itu,
berdasarkan penelusuran jejak historis silsilah keturunan Mangir-Mataram dapat dikatakan
bahwa bibit-bibit ketegangan politik dan kultural sebenarnya telah ada dan merupakan
pewarisan dari generasi sebelumnya.
Perspektif Interkultural
Berdasarkan ketegangan politik, sosial, dan kultural yang ada antara Mangir-Mataram
ternyata juga berdampak pada wilayah kultural. Dalam perspektif interkultural, kedua
kekuatan politik tersebut saling mengeluarkan dua kultur yang menunjukkan persaingan satu
sama lain. Dalam bidang tradisi kuliner, hegemoni dan supremasi Mataram diresistensi oleh
Mangir. Gudeg nangka dalam hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah produk budaya yang
telah mapan dan dikembangkan oleh Mataram. Adanya gudeg nangka tersebut diresistensi
oleh Mangir dengan menciptakan tradisi yang berbeda dengan tradisi yang menjadi
lawannya, yaitu dengan memunculkan tradisi gudeg manggar. Bagi Mangir, penciptaan
tradisi kuliner yang berbeda dengan tradisi kuliner Kraton Mataram adalah suatu bukti
eksistensi dan kemerdekaan Mangir dalam bidang politik, sosial, dan budaya. Mangir bukan
sebagai suatu bagian integral dari kebudayaan yang coba dikembangkan oleh Kraton
Mataram pada waktu itu. Mangir memosisikan diri sebagai pusat kebudayaan yang berbeda
dengan Kraton Mataram di Hutan Mentaok.
Berdasarkan pemahaman di atas, setidak-tidaknya ada beberapa nilai yang perlu
dikemukakan dengan adanya pembentukan tradisi kuliner gudeg manggar oleh Mangir.
Pertama, gudeg manggar adalah sebuah simbol resistensi Mangir terhadap hegemoni politik
Kraton Mataram. Kedua, gudeg manggar dapat dimaknai sebagai simbol eksistensi kultural
Mangir dalam konstelasi kultural yang coba dikembangkan oleh Mataram. Ketiga, gudeg
manggar adalah sebuah produk budaya tandingan terhadap pusat kekuasaan pada waktu itu.
Dalam hal ini, Mangir dapat dikatakan sebagai periferi, sedangkan Kraton Mataram sebagai
sebuah episentrum kekuasaan. Ketiga penilaian gudeg manggar tersebut merupakan cara
pandang filosofis bahwa terdapat kesejajaran antara dua kultur yang berkembang pada waktu
itu, yaitu Mangir-Mataram. Dengan demikian, perkembangan dua ragam tradisi kuliner
gudeg tersebut menunjukkan dua identitas budaya yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Menyikapi adanya rivalitas sejarah dan politik di masa lalu antara Mangir-Mataram,
pada masa sekarang ini, ketika masyarakat Yogya sudah berada pada satu ruang yang sama,
gudeg manggar dan gudeg nangka harus dipandang sebagai suatu keragaman tradisi kuliner
Yogyakarta. Kita tidak perlu terjebak pada romantisme masa lalu yang mungkin dalam hal
tertentu akan merugikan. Gudeg manggar saat ini sudah bukan lagi milik semata-mata
masyarakat Mangir. Gudeg manggar saat ini telah melampaui batas-batas yang pada masa
lalu tidak mampu ditembus. Saat ini gudeg manggar merupakan salah satu kekayaan tradisi
masyarakat Yogyakarta dan tanpa pertarungan merebut hegemoni pun, keduanya merupakan
suatu warisan tradisi kuliner yang amat berharga. (Pajangan, 22 Agustus 2012)